ISSN 1978-9513
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
PENGARUH PEMBERIAN BAP (6-Benzyl Amino Purine) PADA MEDIA MULTIPLIKASI TUNAS Anthurium hookerii Kunth. Enum. SECARA IN VITRO Rahayu Kurnianingsih1, Marfuah2, Ikhsan Matondang1 1 Fakultas Biologi Universitas Nasional ; 2 Dinas Pertamanan DKI Jakarta Raya
ABSTRACT Anthurium hookerii Kunth. Enum. is a species of Anthurium which attract high interest from many people, because of its unique shape of leaves. Tissue culture or in vitro culture is an alternative propagation method for Anthurium and it has high potential to be developed. In this experiment the axillary buds from in vitro plants of Anthurium hookerii Kunth. Enum. was used as explant. The experiment was conduted according to Completely Randomized Design with five replication each and five treatments of MS media added with varying concentrations of BAP (6Benzyl Amino Purine) (0; 0.2; 0.4; 0.6 and 0.8 ppm). The result showed that addition of BAP in the MS media increased shoot formation and multiplication of Anthurium hookerii Kunth. Enum. compared to MS media without BAP. Addition of 0.2 ppm BAP in the MS media was the best media for increased shoot formation and multiplication of Anthurium hookerii Kunth. Enum. with the most optimum number of shoot and leaves. Key words : Anthurium hookerii, in vitro culture
PENDAHULUAN Anthurium merupakan tanaman hias komersial di Indonesia. Tanaman ini disukai oleh masyarakat karena keindahan warna, bentuk bunga dan daunnya yang beragam, diantaranya adalah bentuk jantung, lanset dan bulat telur. Anthurium dibedakan menjadi dua golongan yaitu Anthurium daun dan Anthurium bunga. Anthurium daun terkenal karena keindahan daunnya sehingga disebut sebagai tanaman hias berdaun indah, sedangkan Anthurium bunga terkenal dengan kesegaran bunganya yang dapat bertahan lama sehingga sering dimanfaatkan sebagai bunga potong (cutting flower) (Budhiprawira dan Saraswati, 2006). Anthurium daun merupakan tanaman hias yang sangat populer dan diminati oleh masyarakat karena Kurnianingsih, dkk.
mempunyai daun dengan bentuk yang unik dan bervariasi (Kadir, 2007). Henny dkk. (2007) menyebutkan Anthurium hookerii adalah salah satu jenis Anthurium daun yang diminati oleh masyarakat. Tanaman ini terkenal dengan nama Anthurium sarang burung atau Bird’s Nest Anthurium. Daunnya yang berukuran besar dan berbentuk lanset dengan tepi daun bergelombang merupakan daya tarik tersendiri dari Anthurium hookerii (Budhiprawira dan Saraswati, 2006). Anthurium merupakan tanaman hias yang berpotensi untuk diekspor selain anggrek (Rukmana, 1997). Perkembangan ekspor tanaman Anthurium Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004 ekspor tanaman Anthurium Indonesia mencapai 1.112.724 ton, tahun 2005 meningkat menjadi 2.615.999 ton (Departemen Pertanian, 23
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
2005; Dinas Pertanian dan Kehutanan Propinsi DKI Jakarta, 2006). Permintaan konsumen yang semakin meningkat terhadap tanaman hias Anthurium menyebabkan produsen tanaman hias berusaha untuk meningkatkan produksi tanaman tersebut dengan melakukan berbagai cara perbanyakan. Marlina (2004) menjelaskan bahwa secara konvensional, perbanyakan Anthurium dilakukan melalui biji dan pemisahan anakan, tetapi teknik ini tidak dapat diharapkan untuk memenuhi permintaan konsumen dalam skala besar karena memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan biji atau memisahkan anakan. Melalui biji diperlukan waktu kurang lebih 3 tahun, sejak penyerbukan, biji masak, hingga tanaman menjadi dewasa, sedangkan melalui pemisahan anakan memerlukan waktu antara 6 - 12 bulan untuk siap dipisahkan dan untuk pendewasaan hingga tanaman siap dijual memerlukan waktu sekitar 6 - 8 bulan. Peningkatan produksi tanaman hias Anthurium hanya dapat dicapai dengan usaha perbanyakan tanaman yang efisien. Metode kultur jaringan atau kultur in vitro merupakan salah satu metode perbanyakan alternatif pada tanaman Anthurium (LeeEspinosa dkk., 2003). Kultur in vitro merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan maupun organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Teknik ini mampu memperbanyak tanaman dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang relatif singkat. Oleh karena itu perbanyakan Anthurium dengan teknik kultur in vitro memiliki potensi untuk dikembangkan (Marlina dan Rusnandi, 2007). BAP (6-Benzyl Amino Purine) merupakan golongan sitokinin sintetik yang paling sering digunakan dalam perbanyakan tanaman secara kultur in vitro. Hal ini karena BAP mempunyai efektifitas yang cukup tinggi untuk Kurnianingsih, dkk.
perbanyakan tunas, mudah didapat dan relatif lebih murah dibandingkan dengan kinetin (Krikorian, 1995; Yusnita, 2003). Penggunaan BAP dalam perbanyakan tanaman Anthurium secara kultur in vitro dilakukan oleh Puchooa dan Sookun (2003) yang menggunakan 0,5 mg/L BAP dalam media Nitsch untuk menginduksi multiplikasi tunas Anthurium andreanum. Penggunaan BAP 1 mg/L dalam media ½ MS dilakukan oleh Marlina (2004) untuk menginduksi pembentukan kalus dan bakal tunas pada Anthurium hasil silangan Merah Filipina x Merah Belanda. Oleh karena itu penggunaan BAP dengan beragam konsentrasi diharapkan dapat meningkatkan multiplikasi tunas tanaman Anthurium hookerii Kunth. Enum. secara in vitro. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan konsentrasi BAP yang terbaik untuk multiplikasi tunas tanaman Anthurium hookerii Kunth. Enum. secara in vitro.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Kebun Bibit Ciganjur Seksi Pembibitan Tanaman, Sub Dinas Budidaya Tanaman, Dinas Pertamanan DKI Jakarta pada bulan Maret - Agustus 2007. Bahan tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah tunas samping (tunas aksiler) dari biakan Anthurium hookerii Kunth. Enum. secara in vitro. Media dasar yang digunakan adalah media Murashige-Skoog (MS) dalam bentuk padat dengan penambahan agar swallow sebanyak 7 g/L. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 ulangan dan 5 perlakuan yaitu media MS padat dengan penambahan zat pengatur tumbuh sitokinin 24
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
berupa BAP (6-Benzyl Amino Purine) dengan beberapa konsentrasi yaitu 0 (tanpa BAP); 0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 ppm. Botol-botol kultur yang telah ditanam dengan eksplan diletakkan di atas rak-rak kultur secara acak. Kondisi ruangan kultur diatur pada suhu 21ºC, kelembaban 50 - 60% dengan lama penyinaran 11 jam terang dan 13 jam gelap. Pengamatan dilakukan pada minggu ke-8 setelah tanam dengan variabelvariabel pengamatan yaitu jumlah tunas, jumlah daun dan tinggi tunas (cm).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan secara visual selama 8 minggu menunjukkan bahwa secara umum eksplan yang ditanam pada media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh BAP maupun pada media MS dengan penambahan zat pengatur tumbuh BAP memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Masing-masing perlakuan menunjuk-
kan pengaruh yang berbeda-beda terhadap pertumbuhan dari eksplan. Pertumbuhan eksplan ditandai dengan eksplan terlihat membesar dan adanya nodul-nodul bakal tunas. Eksplan yang ditanam pada media MS tanpa penambahan BAP menunjukkan adanya pertumbuhan yang ditandai dengan terjadinya pemanjangan sel, tetapi tidak terjadi perbanyakan atau multiplikasi tunas sehingga eksplan yang ditanam hanya terlihat bertambah tinggi. Selain itu, pada perlakuan ini juga terlihat adanya pembentukan akar (Gambar 1). Hal ini mungkin disebabkan eksplan tunas samping yang ditanam pada media kultur menghasilkan auksin endogen dengan konsentrasi yang cukup tinggi sehingga pertumbuhan eksplan lebih diarahkan pada pemanjangan sel dan pembentukan akar. Pendapat tersebut didukung oleh Widyastuti (2004) bahwa akar yang tumbuh pada media tanpa zat pengatur tumbuh kemungkinan diinduksi oleh auksin endogen.
Akar
Gambar 1. Pembentukan akar pada media MS tanpa penambahan BAP
Rahardja (1989) dan Cleland (1995) menyebutkan bahwa dalam kultur jaringan auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang dapat menyebabkan terjadinya pemanjangan sel pada jaringan tunas muda dan merangsang pembentukan akar. Jika konsentrasi auksin dalam media
Kurnianingsih, dkk.
kultur tinggi maka akan menghambat pertumbuhan tunas (Jacobs, 1979). Pada komposisi media perlakuan yaitu media MS yang ditambah zat pengatur tumbuh BAP dengan beragam konsentrasi (0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 ppm) menunjukkan terjadinya pembentukan dan multiplikasi tunas melalui organogenesis 25
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
secara langsung dari eksplan tunas samping (tunas aksiler) Anthurium hookerii Kunth. Enum. Komposisi media MS dengan penambahan BAP 0,2 ppm merupakan komposisi media perlakuan yang paling banyak merangsang pembentukan dan multiplikasi tunas dibandingkan dengan konsentrasi BAP yang lainnya. Terjadinya pembentukan dan multiplikasi tunas pada media perlakuan diduga karena konsentrasi sitokinin eksogen yang ditambahkan ke dalam media kultur lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi auksin endogen yang dihasilkan oleh eksplan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Gunawan (1992) bahwa interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen dan endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur. Jika dalam media kultur konsentrasi sitokinin lebih tinggi dibandingkan dengan auksin maka
akan merangsang pembentukan dan multiplikasi tunas (Hartmann dan Kester, 1959; Widiastoety dkk., 1997).
A. Jumlah Tunas Hasil sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata (signifikan) antara beberapa perlakuan yang diberikan terhadap nilai rata-rata jumlah tunas (p = 0,000). Pemberian zat pengatur tumbuh BAP beragam konsentrasi dalam media MS mampu meningkatkan terjadinya pembentukan dan multiplikasi tunas Anthurium hookerii Kunth. Enum. bila dibandingkan dengan media MS tanpa penambahan BAP. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata jumlah tunas yang lebih banyak terdapat pada perlakuan pemberian BAP (Tabel 1).
Tabel 1. Ringkasan Statistik Deskriptif Jumlah Tunas.
Konsentrasi BAP
N
0 ppm 0,2 ppm 0,4 ppm 0,6 ppm 0,8 ppm Total
5 5 5 5 5 25
Mean
Std. Deviation
Std. Error
3.4 18.4 17.8 15.6 15.2 14.08
.894427 .894427 .447214 1.516575 1.303840 5.678321
.400000 .400000 .200000 .678233 .583095 1.135664
Widiastoety dkk. (1991) melaporkan bahwa pemberian BAP dalam media kultur dapat merangsang terjadinya pembentukan dan multiplikasi tunas dari eksplan (potongan jaringan). Hal ini terlihat dari nilai rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan pada media dengan penambahan BAP lebih banyak dibandingkan dengan media tanpa penambahan BAP. Menurut Utami (1998) sitokinin dalam hal ini BAP berperan memacu Kurnianingsih, dkk.
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound 2.28942 4.51058 17.28942 19.51058 17.24471 18.35529 13.71692 17.48308 13.58107 16.81893 11.73610 16.42390
Min 2 18 17 14 14 2
Max 4 20 18 17 17 20
terjadinya sintesis RNA dan protein pada berbagai jaringan yang selanjutnya dapat mendorong terjadinya pembelahan sel. Selain itu, BAP juga dapat memacu jaringan untuk menyerap air dari sekitarnya sehingga proses sintesis protein dan pembelahan sel dapat berjalan dengan baik. Chaerudin dkk. (1996) menambahkan BAP merupakan suatu zat pengatur tumbuh sintetik yang tidak mudah dirombak oleh
26
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
sistem enzim dari tanaman sehingga dapat memacu induksi dan multiplikasi tunas. Pemberian BAP dengan konsentrasi 0,2 ppm ke dalam media dasar MS merupakan media yang paling baik untuk merangsang terjadinya pembentukan dan multiplikasi tunas melalui organogenesis secara langsung (Gambar 2). Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lee-Espinosa dkk. (2003), yang dengan menggunakan BAP 0,2 mg/L dalam media MS padat dapat menginduksi tunas-tunas adventif dan meningkatkan kemampuan regenerasi yang tinggi melalui organogenesis secara langsung dari eksplan tunas aksiler pada tanaman Anthurium andreanum kultivar Midori dan Kalapana.
Gambar 2. Jumlah tunas dan daun terbanyak pada media MS dengan penambahan BAP 0,2 ppm.
MS mempunyai pengaruh merangsang pembentukan daun yang lebih baik bila dibandingkan dengan media MS tanpa penambahan BAP. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata jumlah daun yang lebih banyak terdapat pada perlakuan pemberian BAP (Tabel 2).
B. Jumlah Daun Hasil sidik ragam menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata (signifikan) antara beberapa perlakuan yang diberikan terhadap nilai rata-rata jumlah daun (p = 0,000). Pemberian BAP dengan beragam konsentrasi dalam media
Tabel 2. Ringkasan Statistik Deskriptif Jumlah Daun 95% Confidence Interval for Mean Konsentrasi BAP
N
0 ppm 0,2 ppm 0,4 ppm 0,6 ppm 0,8 ppm Total
5 5 5 5 5 25
Kurnianingsih, dkk.
Mean
Std. Deviation
4.6 16.8 15.6 13.6 13.2 12.76
.547723 1.303840 .547723 1.341641 .836660 4.465423
Std. Error .244949 .583095 .244949 .600000 .374166 .893085
Lower Bound 3.91991 15.18107 14.91991 11.93413 12.16115 10.91676
Upper Bound 5.28009 18.41893 16.28009 15.26587 14.23885 14.60324
Min 4 15 15 12 12 4
Max 5 18 16 15 14 18
27
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Menurut Hess (1975) sitokinin mempunyai kemampuan mendorong terjadinya pembelahan sel dan diferensiasi jaringan terutama dalam pembentukan pucuk. Senyawa nitrogen yang terkandung dalam sitokinin berperan untuk proses sintesis asam-asam amino dan protein secara optimal yang selanjutnya digunakan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan eksplan dalam hal ini pembentukan daun (Gardner dkk., 1991).
konsentrasi (0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 ppm) ternyata tidak berpengaruh terhadap tinggi tunas karena nilai rata-rata tinggi tunas yang dihasilkan terlihat lebih rendah bila dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan BAP (Tabel 3). Hal ini diduga pada perlakuan tanpa BAP eksplan yang ditanam menghasilkan auksin endogen dengan konsentrasi yang cukup tinggi sehingga menyebabkan terjadinya proses pemanjangan sel dan eksplan yang ditanam bertambah tinggi lebih cepat, sedangkan pada perlakuan dengan BAP, aktivitas dari auksin endogen terhambat karena adanya sitokinin eksogen (dalam hal ini BAP). Menurut Klerk (2006) zat pengatur tumbuh sitokinin dapat menghambat terjadinya pemanjangan sel sehingga eksplan yang ditanam tidak bertambah tinggi.
C. Tinggi Tunas Hasil sidik ragam yang dilakukan menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata (signifikan) antara beberapa perlakuan yang diberikan terhadap nilai rata-rata tinggi tunas (p = 0,000). Pemberian BAP dengan beragam
Tabel 3. Ringkasan Statistik Deskriptif Tinggi Tunas (cm)
Konsentrasi BAP
N
Mean
Std. Deviation
0 ppm 0,2 ppm 0,4 ppm 0,6 ppm 0,8 ppm Total
5 5 5 5 5 25
1.0634 .6786 .6708 .5690 .5556 .70748
.087022 .002608 .008526 .006671 .012033 .192233
Std. Error .038917 .001166 .003813 .002983 .005381 .038447
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound .95535 1.17145 .67536 .68184 .66021 .68139 .56072 .57728 .54066 .57054 .62813 .78683
Min 1.000 .676 .662 .562 .535 .535
Max 1.167 .683 .683 .579 .565 1.167
Gambar 3. Tunas yang tertinggi pada media MS tanpa penambahan BAP
Kurnianingsih, dkk.
28
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Menurut Gunawan (1992) bahwa level zat pengatur tumbuh endogen merupakan salah satu faktor yang mendorong proses pertumbuhan dan morfogenesis. Auksin yang terkandung dalam eksplan berperan dalam sintesis nukleotida DNA dan RNA serta sintesis protein dan enzim yang selanjutnya digunakan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan pada eksplan. Pemanjangan sel terjadi karena adanya proses pembelahan, pemanjangan dan pembesaran sel-sel baru yang terjadi pada meristem ujung sehingga eksplan yang ditanam bertambah tinggi (Gardner dkk., 1991).
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pemberian zat pengatur tumbuh BAP dalam media MS dapat meningkatkan pembentukan dan multiplikasi tunas Anthurium hookerii Kunth. Enum. bila dibandingkan dengan media MS tanpa penambahan BAP. 2. Perlakuan penambahan BAP 0,2 ppm dalam media MS merupakan media yang terbaik untuk pembentukan dan multiplikasi tunas Anthurium hookerii Kunth. Enum terlihat dari nilai rata-rata jumlah tunas dan daun yang terbanyak. 3. Perlakuan MS tanpa penambahan BAP berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya yaitu penambahan BAP beragam konsentrasi (0,2; 0,4; 0,6 dan 0,8 ppm) dalam media MS, terlihat dari nilai rata-rata tunas yang tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA Budhiprawira S dan D Anthurium. Penebar Jakarta, 2006. Kurnianingsih, dkk.
Saraswati. Swadaya,
Chaerudin TS, T Supriatun dan A Bavadal. Multiplikasi Tunas Tanaman Mentha arvensis Melalui Kultur Jaringan. Fakultas MIPA Universitas Padjajaran, 1996. Cleland RE. Auxin And Cell Elongation. In Davies PJ. Plant Hormones “Physiology, Biochemistry And Molecular Biology”. Kluwer Academic Publishers, London, 1995: 214-227. Departemen Pertanian. Peluang Pasar Tanaman Hias Ekspor Ke Mancanegara. Ditjen Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta, 2005. Dinas Pertanian dan Kehutanan Propinsi DKI Jakarta. Signifikan Peningkatan PDB Dari Tanaman Hias. Jakarta, 2006. Gardner FP, RB Pearce and RL Mitchell. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press, Jakarta, 1991. Gunawan LW. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor, 1992. Hartmann HT dan DE Kester. Plant Propagation Principles And Practices. Second Edition. Prentice-Hall Inc., New Jersey, 1959. Henny RJ, AR Chase dan LS Osborne. Anthurium. CFREC-Apopka Foliage Plant Research Note RH-91-3, University Of Florida. http://mrec.ifas.ufl.edu/foliage/folnot es/anthurium.htm, 2007; 26 November.
29
VIS VITALIS, Vol. 02 No. 2, September 2009
Hess D. Plant Physiology. Springer-Verlag New York Inc., New York, 1975.
Agriculture, University Of Mauritius, Mauritius, 2003.
Jacobs WP. Plant Hormones And Plant Development. Cambridge University Press, USA, 1979.
Rahardja PC. Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern. Penebar Swadaya, Jakarta, 1989.
Kadir A. Anthurium Daun. Swadaya, Jakarta, 2007.
Penebar
Klerk GJ de. Plant Hormones In Tissue Culture. In Duchefa Biochemie. Biochemicals Plant Cell And Tissue Culture Phytopathology. Duchefa Biochemie BV, Haarlem, Netherlands, 2006. Krikorian AD. Hormones In Tissue Culture And Micropropagation. In Davies PJ. Plant Hormones “Physiology, Biochemistry And Molecular Biology”. Kluwer Academic Publishers, London, 1995: 774-796. Lee-Espinosa HE, JG Cruz-Castillo dan B Garcia-Rosas. Multiple Shoot Proliferation And Acclimation Of ‘Midori’ And ‘Kalapana’ Anthurium (Anthurium andreanum L.) Cultured In Vitro. Revista Fitotecnia Mexicana 2003; 26 (4): 301-307. Marlina N. Teknik Perbanyakan Anthurium Dengan Kultur Jaringan. Buletin Teknik Pertanian 2004; 9 (2): 73-75. Marlina N dan D Rusnandi. Teknik Aklimatisasi Plantlet Anthurium Pada Beberapa Media Tanam. Buletin Teknik Pertanian 2007; 12 (1): 38-40. Puchooa D dan D Sookun. Induced Mutation And In Vitro Culture Of Anthurium andreanum. Faculty Of
Kurnianingsih, dkk.
Rukmana R. Anthurium. Yogyakarta, 1997.
Kanisius,
Utami ESW. Pengaruh Penambahan Ragi Roti Sebagai Alternatif Pengganti Zat Pengatur Tumbuh BA Untuk Diferensiasi Pada Kultur Jahe Merah (Zingiber officinale var. sunti val). Fakultas MIPA Universitas Airlangga, 1998. Widiastoety D, Syafril dan B Haryanto. Kultur In Vitro Anggrek Dendrobium Dalam Medium Cair. Jurnal Hortikultura 1991; 1 (3): 6-10. Widiastoety D, S Kusumo dan Syafni. Pengaruh Tingkat Ketuaan Air Kelapa Dan Jenis Kelapa Terhadap Pertumbuhan Plantlet Anggrek Dendrobium. Jurnal Hortikultura 1997; 7 (3): 768-772. Widyastuti N. Abnormalitas Pertumbuhan dan Morfogenesis Pada Plantlet Krisan (Chrysanthemum morifolium) Dan Kalalili (Zantedeschia rehmannii) Dalam Kultur In Vitro. Pusat Pengkajian Dan Penerapan Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi, Jakarta, 2004. Yusnita. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agromedia Pustaka, Jakarta, 2003.
30