PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO
Oleh:
YAYU ALITALIA A34304025
PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN YAYU ALITALIA. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tunas Mikro Kantong Semar (Nepenthes Mirabilis) Secara In Vitro. (Dibimbing oleh DINY DINARTI) Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP dan NAA yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro kantong semar (Nepenthes mirabilis) secara in vitro. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 hingga Maret 2008 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor yaitu konsentrasi BAP dan NAA pada media dasar yaitu ½ MS. Faktor pertama adalah BAP yang terdiri dari empat taraf konsentrasi, yaitu 0; 0.5; 1.0 dan 2.0 ppm. Faktor kedua adalah NAA dengan empat taraf konsentrasi, yaitu 0; 0.1; 0.2 dan 0.5 ppm. Penelitian ini terdiri dari 16 kombinasi perlakuan masingmasing diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 160 satuan percobaan dengan 1 eksplan untuk setiap satu satuan percobaan (1 botol kultur). Pengamatan dilakukan setiap hari dan minggu selama 16 minggu setelah tanam. Peubah yang diamati setiap hari yaitu: waktu inisiasi tunas, waktu inisiasi daun, waktu inisiasi kantong dan waktu inisiasi akar. Peubah yang diamati setiap minggu yaitu: jumlah tunas, jumlah daun, jumlah kantong dan jumlah akar. Peubah yang diamati pada akhir pengamatan yaitu: panjang daun terpanjang, panjang akar terpanjang dan tinggi tanaman. Sidik ragam menunjukkan pengaruh BAP nyata terhadap inisiasi tunas dan inisiasi daun dan sangat nyata terhadap inisiasi kantong, panjang daun terpanjang dan tinggi tanaman. BAP memberikan pengaruh yang nyata pada 2 MST dan sangat nyata pada 3 hingga 16 MST terhadap jumlah tunas yang terbentuk. BAP juga memberikan pengaruh yang nyata pada 3 MST dan sangat nyata pada 4 hingga 16 MST terhadap jumlah daun dan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah kantong pada 5-16 MST. NAA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap panjang akar terpanjang, panjang daun terpanjang, tinggi tanaman dan jumlah akar pada 10 hingga 16 MST. NAA memberi pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 3 hingga 7 MST dan terhadap jumlah kantong pada 5 MST. NAA juga menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun pada 4 hingga 8 MST dan pengaruh nyata pada 9-14 MST dan 16 MST. Kombinasi antara BAP dan NAA hanya memberikan pengaruh sangat nyata terhadap panjang daun terpanjang (30.9 mm), jumlah tunas pada 2 MST (1.6 tunas per eksplan) dan jumlah daun pada 4 MST (4.1 daun per eksplan).
PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Yayu Alitalia A34304025
PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul :
PENGARUH PEMBERIAN BAP DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TUNAS MIKRO KANTONG SEMAR (Nepenthes mirabilis) SECARA IN VITRO
Nama :
Yayu Alitalia
NRP
A34304025
:
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Diny Dinarti, MSi NIP. 131 999 963
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 13 maret 1986. Penulis merupakan putri pertama dari Bapak Lili Hanapi dan Ibu Aminah. Riwayat pendidikan penulis yaitu pada tahun 1998 lulus dari SD Negeri Puspanegara 03 Citeureup-Bogor, pada tahun 2001 lulus dari SLTP Negeri 1 Cibinong-Bogor, pada tahun 2004 lulus dari SMU Negeri 3 Bogor dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Hortikultura. Selama kuliah penulis sempat menjadi panitia Festival Tanaman (FESTA) yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Agronomi (Himagron) ke-XXVI (2005), FESTA ke-XXVII (2006), Panitia Pelatihan Terarium (2006) dan menjadi panitia pada Hard Launching Indo Flower Nursery IPB (2008). Pada tahun 2005 penulis juga mendapat kesempatan magang di Agrowisata Strawberry Petik Sendiri di “Kurnia Strawberry” Ciwidey, Bandung selama 1 bulan.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Pengaruh Pemberian BAP dan NAA Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tunas Mikro Kantong Semar (Nepenthes Mirabilis) Secara In Vitro” ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Ir Diny Dinarti, MSi selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi
atas bimbingan,
kesabaran,
motivasi dan
waktu
hingga
terselesaikannya skripsi ini. 2. Dr Ir Nurul Khumaida, MSi dan Ir Megayani Sri Rahayu, MS sebagai penguji atas masukan ilmu serta kritik dan sarannya. 3. Papa dan Mama tercinta yang telah memberikan segala kasih sayang, doa dan cinta yang tidak akan pernah terbalaskan. 4. M. Reza Cordova atas segala motivasi, semangat, bantuan dan dorongan yang telah diberikan. 5. Urip Sayekti, atas semua arahan dalam pelaksanaan penelitian ini. 6. Purnawati, Ardhanariswari, Rima dan Rini Riestiani atas semua bantuan dan waktu untuk saling berbagi suka dan duka. 7. Melly, Aji, Hanna, Mbak Retno, Mbak Ella, Doni, Eneng dan temanteman di Laboratorium Kultur Jaringan. 8. Noni, Kiki, Yesa, Heni, Rini, Mbak Ayi, Enggar, Nika, Roy, Mega dan teman-teman yang telah membantu dalam setiap kegiatan. 9. Teman-teman Hortikultura angkatan 41 serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.
Bogor, Mei 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN........................................................................................ Latar belakang ................................................................................... Tujuan ............................................................................................... Hipotesis ...........................................................................................
1 1 3 4
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. Botani dan Morfologi Kantong Semar ............................................... Ekologi .............................................................................................. Kultur Jaringan Tanaman................................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan ...... Eksplan ....................................................................................... Media Kultur .............................................................................. Zat Pengatur Tumbuh.................................................................. Kultur JaringanTanaman Karnivora ...................................................
5 5 10 11 12 12 13 14 17
BAHAN DAN METODE ............................................................................ Waktu dan Tempat ............................................................................ Bahan dan Alat ................................................................................. Metode Penelitian .............................................................................. Pelaksanaan ....................................................................................... Sterilisasi Alat, Botol dan Media Tanam ..................................... Pembuatan Larutan Stok ............................................................. Pembuatan Media Kultur ............................................................ Persiapan Ruang Tanam .............................................................. Penanaman.................................................................................. Pemeliharaan .............................................................................. Pengamatan .......................................................................................
18 18 18 18 19 19 19 20 20 21 21 22
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... Kondisi Umum .................................................................................. Waktu Inisiasi Tunas ......................................................................... Waktu Inisiasi Daun........................................................................... Waktu Inisiasi Kantong...................................................................... Waktu Inisiasi Akar ........................................................................... Jumlah Tunas..................................................................................... Jumlah Daun ...................................................................................... Jumlah Kantong ................................................................................. Jumlah Akar ...................................................................................... Tinggi Tanaman................................................................................. Panjang Daun Terpanjang .................................................................. Panjang Akar Terpanjang ...................................................................
23 23 27 28 30 30 32 35 38 40 42 44 45
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... Kesimpulan ....................................................................................... Saran .................................................................................................
47 47 47
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
48
LAMPIRAN ................................................................................................
51
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Teks
1. Rekapitulasi Sidik Ragam Respon Peubah yang Diamati pada Kultur Nepenthes mirabilis .................................................................................
26
2. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Waktu Inisiasi Tunas, Inisiasi Daun, dan Inisiasi Kantong Nepenthes mirabilis ................................................
27
3. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Waktu Inisiasi Akar Nepenthes mirabilis .................................................................................
31
4. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2-16 MST ........................................................
32
5. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2-8 MST ..........................................................
34
6. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2 MST .............................................................
35
7. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST ........................................................
36
8. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST ........................................................
36
9. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 4 MST .............................................................
37
10. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Rata-rata Jumlah Kantong Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST ........................................................
39
11. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Kantong Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST ........................................................
39
12. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Jumlah Akar Nepenthes mirabilis pada 10-16 MST ......................................................
41
13. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Tinggi Tanaman Nepenthes mirabilis .................................................................................
43
14. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun Terpanjang Nepenthes mirabilis...............................................................
44
15. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun Terpanjang Nepenthes mirabilis...............................................................
45
18. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Panjang Akar Terpanjang Nepenthes mirabilis .................................................................................
46
Nomor
Halaman Lampiran
1. Komposisi Media Murashige-Skoog .......................................................
51
2. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Tunas N.mirabilis .......................................
52
3. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Daun N.mirabilis .......................................
52
4. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Kantong N.mirabilis ...................................
52
5. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Akar N.mirabilis ........................................
53
6. Sidik Ragam Panjang Daun Terpanjang N.mirabilis ...............................
53
7. Sidik Ragam Panjang Akar Terpanjang N.mirabilis ................................
53
8. Sidik Ragam Tinggi Tanaman N.mirabilis ..............................................
54
9. Sidik Ragam Jumlah Tunas N.mirabilis pada 2-16 MST .........................
54
10. Sidik Ragam Jumlah Daun N.mirabilis pada 3-16 MST ..........................
56
11. Sidik Ragam Jumlah Kantong N.mirabilis pada 5-16 MST .....................
58
12. Sidik Ragam Jumlah Akar N.mirabilis pada 6-16 MST...........................
60
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman Teks
1.
(A) Nepenthes yang Merambat di Pohon ................................................ (B) Menyemak Diatas Permukaan Tanah ................................................
5 5
2.
(A) Bunga Jantan N.mirabilis ................................................................. (B) Bunga Betina N.gracilis ...................................................................
6 6
3.
(A) Struktur Bunga Jantan ...................................................................... (B) Struktur Bunga Betina ......................................................................
6 6
4.
(A) Buah N.mirabilis .............................................................................. (B) Buah yang Telah Merekah ................................................................
7 7
5.
(A) Biji yang Berasal dari Buah yang Matang......................................... (B) Biji yang Siap Ditanam ....................................................................
7 7
6.
(A) Tipe Kantong Atas ........................................................................... (B) Tipe Kantong Bawah ........................................................................
8 8
7.
Serangga yang Terjebak di dalam Kantong .............................................
9
8.
(A) N.hookeriana x N.mirabilis .............................................................. (B) N.gracilis x N.mirabilis ....................................................................
10 10
9.
Struktur Molekul NAA ...........................................................................
15
10. Struktur Molekul BAP ............................................................................
16
11. Tanaman Induk yang Digunakan Sebagai Eksplan ..................................
23
12. (A) Kontaminasi yang Disebabkan oleh Cendawan ................................ (B) Kontaminasi yang Disebabkan oleh Bakteri......................................
24 24
13. Kantong yang Terbentuk pada Eksplan N.mirabilis. ...............................
24
14. (A) Tahap Perkembangan Eksplan dari Sebelum Bertunas...................... (B) Tahap Perkembangan Eksplan Setelah 2 MST ..................................
28 28
15. Inisiasi Daun pada Eksplan Nepenthes....................................................
29
16. (A) Ukuran Daun Nepenthes pada Perlakuan NAA 0.2 ppm ................... (B) Ukuran Daun Nepenthes pada Perlakuan NAA 0.5 ppm ...................
29 29
17. Inisiasi Kantong pada Eksplan Nepenthes. ..............................................
30
18. Inisiasi Akar pada Eksplan Nepenthes. ...................................................
31
19. (A) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan BAP 1 ppm ............. (B) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan BAP 2 ppm .............
33 33
20. (A) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan NAA 0.1 ppm ......... (B) Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan NAA 0.5 ppm ..........
34 34
21. Jumlah Tunas pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.5 ppm. ..................
35
22. Jumlah Daun Nepenthes pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat Pengatur Tumbuh ...................................................................................
37
23. Warna Daun pada Eksplan Nepenthes mirabilis ......................................
38
24. Kantong yang Terbentuk pada Eksplan Nepenthes mirabilis ...................
40
25. Jumlah Akar dilihat dari Bagian Bawah Botol Kultur .............................
41
26. Bulu Akar pada Akar Nepenthes mirabilis ..............................................
42
27. (A) Tinggi Tanaman Nepenthes pada Perlakuan BAP 2 ppm .................. (B) Perlakuan NAA 0.2 ppm + BAP 1 ppm ............................................
43 43
28. Panjang Daun Terpanjang pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.2 ppm ..................................................................
44
29. Panjang Akar Terpanjang pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat Pengatur Tumbuh ...................................................................................
46
PENDAHULUAN
Latar Belakang Nepenthes atau yang lebih dikenal dengan sebutan kantong semar merupakan salah satu tanaman unik dan langka yang ada di Indonesia. Menurut Direktorat Budidaya Tanaman Hias (2006), nepenthes merupakan jenis tumbuhan yang termasuk dalam CITES Appendix 1 Tahun 2003. Tanaman yang termuat di dalamnya merupakan jenis-jenis yang telah terancam punah (endangered) sehingga perdagangan internasional spesimen yang berasal dari habitat alam harus dikontrol dengan ketat dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non komersial tertentu dengan izin khusus. Menurut Mansur (2007), terdapat 64 jenis nepenthes yang hidup di Indonesia dari sekitar 82 jenis yang ada di dunia. Borneo (Kalimantan, Serawak, Sabah dan Brunei) merupakan pusat penyebaran nepenthes di dunia dan saat ini terdapat sekitar 32 jenis nepenthes yang hidup disana. Sumatera menempati urutan kedua dengan jumlah sebanyak 29 jenis. Berdasarkan hasil penelusuran spesimen herbarium di Herbarium Bogorinse-Bogor, ditemukan bahwa di Sulawesi terdapat minimum 10 jenis, New Guinea 9 jenis, Maluku 4 jenis dan Jawa hanya terdapat 2 jenis nepenthes. Nepenthes diberi sebutan kantong semar karena ujung daunnya termodifikasi menjadi kantong seperti perut semar yang buncit. Kantong-kantong ini sangat menarik, karena bentuk dan warnanya yang indah. Keunikan lainnya terdapat pada kantung yang berbentuk corong berisi cairan yang di dalamnya dapat ditemukan berbagai jenis serangga. Penampilannya yang seperti ini menjadikannya sebagai tanaman yang unik jika dibandingkan dengan tanaman yang lain. Menurut Handayani (2006), tanaman ini memiliki potensi untuk dijadikan tanaman hias ornamental karena bentuk, warna dan ukurannya yang menarik. Tanaman nepenthes sebenarnya hanya menjadi tanaman liar di hutanhutan tempat asalnya. Kelestarian nepesthes semakin terancam akhir-akhir ini karena adanya konversi lahan. Keadaan ini justru sangat berbeda dengan kondisi
2 nepenthes di luar negeri. Tanaman ini banyak digemari dan bahkan pengembangan budidayanya jauh lebih maju. Semakin menyusutnya luasan hutan yang disertai kerusakan pada beberapa waktu ini, dikhawatirkan akan berdampak langsung terhadap berkurangnya populasi dan keanekaragaman nepenthes. Kepunahan nepenthes pun bisa terjadi jika hal ini tidak ditanggulangi. Usaha konservasi ex-situ perlu dilakukan dengan cara domestikasi melalui mekanisme budidaya dan pemuliaan (Mansur, 2007). Metode perbanyakan tanaman nepenthes yang banyak dilakukan selama ini adalah dengan menggunakan biji, stek dan pemisahan anakan. Cara perbanyakan melalui stek terbatas dari jumlah buku dan waktu yang relatif lama untuk menyiapkan tanaman induk siap stek (Sayekti, 2007). Suska (2006) dalam Sayekti (2007) juga menyatakan bahwa untuk mempersiapkan tanaman induk siap stek pada Nepenthes mirabilis yang berasal dari semai biji diperlukan waktu sekitar dua tahun. Metode perbanyakan dengan pemisahan anakan terbatas oleh sedikitnya jumlah anakan yang terbentuk. Pada Nepenthes mirabilis juga anakan jarang terbentuk. Salah satu alternatif metode perbanyakan yang dapat ditempuh adalah melalui kultur in vitro. Metode ini diharapkan mampu menghasilkan tanaman dalam skala besar dengan waktu yang relatif cepat serta kualitas tanaman yang dihasilkan menjadi lebih baik. Menurut Gunawan (1992), melalui kultur jaringan kebutuhan ketersediaan bibit tanaman dalam jumlah yang banyak dapat terpenuhi. Sudarmonowati et al. (2002) juga menambahkan bahwa perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan (in vitro) telah banyak dilakukan untuk tanaman yang bernilai ekonomi tinggi atau tanaman yang tergolong langka dan sulit dipropagasi dengan cara konvensional. Penelitian
tentang
pengaruh
media
terhadap
pertumbuhan
dan
perkembangan Nepenthes mirabilis secara in vitro telah dilakukan sebelumnya oleh Sayekti (2007) dengan menghasilkan media perkecambahan yang terbaik adalah ¼ KC dan ½ MS. Pada penelitian ini juga diperoleh tanaman yang membentuk kalus dan multiplikasi tunas pada minggu ke-8 setelah berkecambah. Media yang mampu memberikan respon pertumbuhan tersebut adalah ¼ KC + Thidiazuron (TDZ) dan ½ MS + TDZ. Pertumbuhan tanaman pada media ini
3 berbeda dengan yang lain. Tanaman menjadi kerdil (abnormal), daun tidak berkantong, roset, berukuran kecil dengan jumlah yang banyak. Hal ini diduga disebabkan oleh aktivitas TDZ sebagai sitokinin yang sangat aktif walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Menurut Maryani dan Zamroni (2005), perbanyakan krisan secara kultur jaringan melalui multiplikasi tunas dapat menghemat waktu dan dapat diperoleh bibit dalam jumlah banyak. Keseimbangan antara BAP dan IAA juga sangat penting dalam menginduksi tunas karena masing-masing zat pengatur tumbuh tersebut mempunyai peranan dalam menginduksi tunas. Hal ini menunjukkan bahwa sitokinin (termasuk BAP) dan auksin (termasuk IAA) berperanan saling melengkapi dalam menginduksi tunas. Keadaan ini juga dibuktikan oleh kombinasi BAP 1 ppm dan IAA 1 ppm yang memberikan penggandaan tunas krisan terbanyak. Sudarmonowati et al. (2002) juga menyatakan, respon tanaman untuk
menghasilkan tunas baru (multiplikasi tunas) atau kalus embriogenik
bervariasi dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain bagian tanaman yang digunakan, umur fisiologis bagian tersebut atau umur pohon induk, jenis (spesies) tanaman dan prosedur perbanyakan termasuk jenis zat pengatur tumbuh yang ditambahkan pada media.
Tujuan 1. Mempelajari pengaruh BAP pada pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis. 2. Mempelajari pengaruh NAA pada pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis. 3. Mendapatkan perlakuan terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis.
4 Hipotesis 1. Terdapat pengaruh BAP pada pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis. 2. Terdapat pengaruh NAA pada pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis. 3. Terdapat interaksi BAP dan NAA terbaik untuk pertumbuhan dan perkembangan tunas mikro Nepenthes mirabilis.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Kantong Semar Nepenthes pada sistem klasifikasi tanaman termasuk dalam kerajaan Plantae, filum Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, Subkelas Dilleniidae, Ordo Nepenthales, famili Nepenthaceae, dan genus Nepenthes (Mansur, 2007). Menurut James dan Pietropaolo (1996), tanaman nepenthes merupakan herba tahunan yang mempunyai batang sangat kasar dengan diameter lebih dari 2 inchi (5 cm). Pada beberapa spesies panjang batang nepenthes dapat mencapai hingga 66 kaki (20 m). Batang tersebut merambat diantara semak belukar dan pohon atau dapat juga menyemak di atas permukaan tanah (Gambar 1).
(A) (B) Gambar 1. Nepenthes yang Merambat di Pohon (Mansur, 2007) (A), dan Menyemak Diatas Permukaan Tanah (Tim Redaksi, 2006) (B). Nepenthes termasuk jenis tanaman berumah dua. Satu tanaman berupa tanaman jantan dan yang lainnya betina, tidak keduanya. Bunga dihasilkan dari bagian apex pada batang tanaman yang telah dewasa (Gambar 2). Untuk menghasilkan biji pada tanaman ini dibutuhkan pollen dari tanaman jantan untuk di transfer ke stigma pada tanaman betina (Gambar 3). Ovary akan berkembang menjadi buah setelah fertilisasi berlangsung (Clarke, 1997).
6
(A) (B) Gambar 2. Bunga Jantan N.mirabilis (Mansur, 2007) (A), dan Bunga Betina N.gracilis (Tim Redaksi, 2006) (B).
anters
stigma ovary
column sepal pedicel (A) (B) Gambar 3. Struktur Bunga Jantan (A), dan Bunga Betina (B) (Clarke , 1997) Buah nepenthes membutuhkan waktu sekitar 3 bulan untuk berkembang penuh hingga masak setelah masa fertilisasi (Gambar 4.A). Ketika masak, buah akan retak menjadi empat bagian dan biji-bijinya akan terlepas (Gambar 4.B). Penyebaran biji biasanya dengan bantuan angin. Kapsul buah nepenthes tersebut banyak yang rusak karena gigitan ngengat. Ngengat biasanya memakan buah nepenthes yang sedang berkembang (Clarke, 1997).
7
(A) (B) Gambar 4. Buah N.mirabilis (Mansur, 2007) (A), dan Buah yang Telah Merekah (Tim Redaksi, 2006) (B). Biji yang dihasilkan tanaman nepenthes memiliki sayap yang panjangnya dapat mencapai 30 mm, sangat ringan dengan endosperm yang kecil (Gambar 5). Terdapat lebih dari 500 biji dalam satu kapsul biji yang masak, tapi diantaranya banyak yang merupakan biji-biji steril. Biji-biji tersebut juga hanya sedikit yang mampu bertahan hidup hingga menjadi tanaman dewasa.
(A) (B) Gambar 5. Biji yang Berasal dari Buah yang Matang (http://rumputijo.wordpress.com/) (A), dan Biji yang Siap Ditanam (B). Bentuk batang dari tiap tanaman kantong semar berbeda tergantung dari spesiesnya. Batang berbentuk segitiga dimiliki oleh N. gracillis dan N. reinwardtiana; batang segi empat dimiliki oleh N. spathulata; dan batang bersudut dimiliki oleh N. andrianii. Batang ini berwarna hijau, kadang-kadang ungu tua atau merah tua. Daun kantong semar akan muncul di ruas-ruas batang
8 dengan jarak tetap, pada ujung daun tersebut akan muncul sulur panjang yang tipis, sulur ini menjadi penopang ketika ia merambat ke pohon lain dan di ujung sulur inilah akan muncul kantong-kantong yang sangat unik (Tim Redaksi, 2006). Daun nepenthes mempunyai helaian yang panjang berwarna hijau sampai hijau kekuningan dengan calon kantong terdapat di luar helaian daun keluar dari sulur berbentuk silinder dengan ukuran sama panjang atau lebih panjang dari daun. Ujung sulur yang berwarna kuning kehijauan berkembang menjadi kantong pada lingkungan yang sesuai (James dan Pietropaolo, 1996). Tiap spesies tanaman nepenthes memiliki tipe kantong yang berbeda. Secara umum tanaman ini memiliki dua tipe kantong, yaitu kantong atas dan bawah (Gambar 6). Kantong bawah (kantong roset) biasanya memiliki mulut yang lebar. Kantong roset muncul pada tanaman yang relatif muda atau yang sudah dipangkas. Kantong atas bentuknya cenderung seperti corong jika dibandingkan kantong bawah.
Kantong atas juga menyimpan cairan dalam
jumlah sedikit dibandingkan kantong bawah sehingga lebih ringan. Kantong tersebut muncul pada ujung sulur yang memiliki warna dan bentuk yang beragam. Kantong itu juga berlubang dan terbuka, dengan tepi lubang yang disebut peristome. Kantong tertutup oleh penutup yang beraneka macam bentuknya pada awal pembentukan (Tim Redaksi, 2006). Struktur tambahan berambut kelenjar
Penutup Peristome/bibir
sulur
Zona pencernaan
sayap
B A Gambar 6. Tipe Kantong Nepenthes, Tipe Kantong Atas (A), dan Tipe Kantong Bawah (B) (Clarke, 1997).
9 Biasanya serangga-serangga mendatangi kantong nepenthes karena tertarik oleh bentuk, warna dan aroma dari cairan nepenthes yang khas (Gambar 7). Cairan ini berguna untuk menjebak serangga atau binatang kecil lainnya yang terbang mengerumuni, sehingga terjerumus masuk ke dalam kantung (Pudjiastuti et al., 1997). Cairan khas ini sebenarnya merupakan enzim yang disebut proteolase. Enzim ini dikeluarkan oleh kelenjar yang ada pada dinding kantong di zona pencernaan yang berfungsi sebagai enzim pengurai. Enzim ini juga dikenal dengan sebutan nepenthesin, bekerja dengan cara menguraikan protein serangga atau binatang lain yang terperangkap di dalam cairan kantong menjadi zat-zat yang lebih sederhana, seperti nitrogen, fosfor, kalium dan garam-garam mineral. Zat-zat sederhana inilah yang kemudian diserap oleh tanaman untuk kebutuhan hidupnya. Aktivitas enzim ini sangat dipengaruhi oleh pH (keasaman) cairan kantong dan setiap jenis nepenthes memiliki nilai pH yang berbeda, umumnya di bawah 4 (Mansur, 2007).
Gambar 7. Serangga yang Terjebak di dalam Kantong (Tim Redaksi, 2006).
10 Ekologi Seperti kebanyakan carnivorous plant lainnya, nepenthes tumbuh pada tanah yang miskin unsur hara, seperti tanah kapur, tanah pasir, tanah merah dan tanah gambut. Umumnya, tanah-tanah tersebut kekurangan unsur nitrogen dan fosfor. Dengan kondisi ini sering kali nepenthes dijadikan sebagai indikator bahwa tempat tersebut merupakan tanah marginal (Mansur, 2007). Dilihat dari segi geografis, tanaman ini tumbuh di daerah tropis yang basah dan tersebar mulai dari Madagaskar, Kepulauan Seychelles, Srilanka, India, menyebrang ke Cina, Asia Tenggara, Papua, Australia dan Kaledonia Baru. Menurut James dan Pietropaolo (1996), penyebaran nepenthes juga terbatas di daerah-daerah tropis di dunia. Clarke (1997) menambahkan bahwa populasi paling banyak terdapat di Pulau Kalimantan dan Sumatra. Menurut Mansur (2007), N. mirabilis memiliki daya adaptasi lebih tinggi daripada N. gracilis dan jenis nepenthes lainnya. Jenis ini dapat hidup di berbagai habitat pada tempat-tempat yang basah dan kering. Penyebaran N. mirabilis juga sangat luas di Asia Tenggara. Di Indonesia tumbuh mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Irian Jaya. N. mirabilis umumnya ditemukan tumbuh baik di bawah ketinggian 500 m dpl pada tanah podsolik merah, tanah liat, tanah gambut, maupun tanah kapur. Tanaman ini juga sering tumbuh bersama dengan jenis nepenthes lainnya, khususnya N. reinwardthiana, N. rafflesiana, N. gracilis, N. ampullaria dan N. bicalcarata sehingga sering terjadi silang alami antara N. mirabilis dan jenis nepenthes lain (Gambar 8).
(A) (B) Gambar 8. N.hookeriana x N.mirabilis (Tim Redaksi, 2006), dan N.gracilis x N.mirabilis (Mansur, 2007) (B).
11 Kultur Jaringan Tanaman Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Pada mulanya, orientasi teknik kultur jaringan hanya pada pembuktian teori totipotensi sel. Kemudian hal ini menjadi sarana penelitian di bidang fisiologi tanaman dan aspek-aspek biokimia tanaman (Gunawan, 1987). Perbanyakan mikro beberapa tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif, merupakan contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan. Teknik kultur jaringan juga dapat diterapkan dalam pemuliaan tanaman untuk mempercepat pencapaian tujuan dan membantu dimana cara-cara konvensional menemui rintangan alamiah (Gunawan, 1987). Teknik kultur jaringan tanaman terdiri dari beberapa tahapan yang secara umum terdiri dari: tahap persiapan, tahap inisiasi kultur, tahap multiplikasi tunas, tahap pemanjangan tunas, induksi akar dan perkembangan akar dan tahap terakhir berupa pemindahan ke rumah kaca (aklimatisasi). Salah satu teknik yang dilakukan di kultur jaringan yaitu subkultur. Subkultur merupakan pemindahan kultur ke media yang baru, baik media yang sama maupun media yang komposisi kimianya berbeda (Gunawan, 1992). Subkultur dapat menjadi kebutuhan untuk memperbanyak tanaman dan mempertahankan kultur (George dan Sherrington, 1984). Pierik (1987) juga menyatakan bahwa subkultur perlu dilakukan jika unsur hara dan hormon yang terdapat pada media telah berkurang atau habis, untuk merubah pola pertumbuhan dan perkembangan kultur, serta bila kultur telah memenuhi botol kultur. Cahaya dalam kultur jaringan berguna untuk mengatur proses-proses morfogenik tertentu seperti pembentukan pucuk dan akar, dan tidak untuk fotosintesis karena sumber energi bagi eksplan telah disediakan oleh sukrosa (George dan Sherrington, 1984). Cahaya juga penting dalam pengendalian perkembangan eksplan dan unsur-unsur cahaya yang perlu diperhatikan adalah kualitas cahaya, panjang penyinaran dan intensitas cahaya. Temperatur ruang kultur juga menentukan respon fisiologi kultur dan kecepatan pertumbuhannya
12 (Gunawan, 1987). Armini et al. (1991), menambahkan bahwa fotosintesis jaringan sebagian besar jenis tanaman secara in vitro sangat rendah dan sebagian besar tergantung pada suplai sukrosa dari luar (medium kultur). Dalam hal ini cahaya sangat penting untuk fotomorfogenesis. Fotomorfogenesis merupakan proses menginduksi perkembangan suatu tanaman dan tidak melibatkan energi cahaya dalam jumlah besar. Reaksi fotomorfogenesis dibagi menurut tipe bagian spektrum yang menghasilkan respon. Respon yang utama adalah yang diinduksi oleh spekrum cahaya merah atau biru.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan propagul in vitro adalah eksplan, media tanam, kondisi fisik media, Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dan lingkungan tumbuh (Wattimena et al., 1992).
Eksplan Eksplan merupakan sebutan bagi bahan tanaman yang dikulturkan. Menurut Harjadi (1989) bagian tanaman yang dijadikan sebagai eksplan mencakup ujung pucuk (shoot tips), irisan-irisan batang, daun, daun bunga, daun keping biji, akar, buah, embrio, meristem pucuk apikal (yang betul-betul merupakan titik tumbuh) dan jaringan nuselar. Rasco jr dan Maquilan (2005) menggunakan eksplan biji pada studi perkecambahan N. truncata, dan Sayekti (2007) juga menggunakan eksplan biji pada studi perkecambahan N. mirabilis dan N. ampularia. Menurut Gunawan (1987), eksplan harus diusahakan agar dalam keadaan aseptik melalui prosedur sterilisasi dengan berbagai bahan kimia. Melalui eksplan yang aseptik kemudian diperoleh kultur yang axenik yaitu kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan. Eksplan yang ditanam pada media tumbuh yang tepat dapat beregenerasi melalui proses yang disebut organogenesis atau embriogenesis. Organogenesis merupakan suatu proses terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar. Sedangkan embriogenesis merupakan suatu proses terbentuknya embrio somatik.
13 Embrio yang terbentuk ini bukan dari zigot, melainkan dari sel biasa dari tubuh tanaman (Gunawan, 1987). Menurut Gunawan (1987), ukuran eksplan yang dikulturkan turut menentukan keberhasilan dari suatu teknik kultur jaringan. Ukuran eksplan yang terlalu kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan.
Sedangkan bila
ukurannya terlalu besar akan sulit didapatkan eksplan yang steril. Mariska dan Sukmadjaja (2003) juga menambahkan bahwa ukuran eksplan yang dapat digunakan dalam teknik kultur jaringan bervariasi dari ukuran mikroskopik (± 0,1 mm) hingga 5 cm.
Media Kultur Gunawan (1987) menyatakan bahwa keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan. Media ini tidak hanya menyediakan unsur hara (makro dan mikro) tetapi juga karbohidrat (gula) untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui fotosintesis. Hasil yang lebih baik akan kita peroleh, bila ke dalam media tersebut ditambahkan vitamin, asam amino dan zat pengatur tumbuh. Umumnya media kultur jaringan tersusun atas komposisi hara makro, hara mikro, vitamin, gula, asam amino dan N-organik, persenyawaan kompleks alamiah (air kelapa, ekstak ragi, juice tomat, dsb), buffer, arang aktif, zat pengatur tumbuh (terutama auksin dan sitokinin) dan bahan pemadat. Faktor lain yang tidak kalah penting dalam teknik kultur jaringan adalah pengaturan pH media. Tingkat kemasaman media harus diatur supaya tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH sitoplasma (Gunawan, 1987). Gamborg dan Shyluk (1981) menambahkan bahwa sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5.5-5.8. Secara umum menurut Armini (1991), pembentukan tunas secara in vitro baik melalui morfogenesis langsung maupun tidak langsung sangat tergantung pada jenis dan konsentrasi yang tepat dari senyawa organik, in-organik dan zat pengatur tumbuh. Namun tidak berarti bahwa suatu kombinasi medium hanya untuk satu jenis tanaman.
14 Penambahan agar-agar ke dalam kultur bertujuan agar terjadinya kontak antara jaringan tanaman, media dan udara. Jika media berbentuk cair, kultur harus selalu digoyangkan dengan shaker agar aerasi yang baik tetap terjaga. Jika media tersebut tidak digoyang-goyangkan, eksplan akan tenggelam seluruhnya yang dapat menyebabkan terjadinya kematian eksplan karena kondisi anaerobik (Wetherell, 1982). Sayekti (2007) menyatakan media ½ MS mampu menghasilkan waktu inisiasi berkecambah tercepat pada perkecambahan Nepenthes mirabilis (37.61 HST), jumlah daun terbanyak dan tanaman paling tinggi (3.99 mm). Tinggi tanaman terendah (1.07 mm) diperoleh pada media MS. Hal ini diduga terjadi karena adanya penghambatan pertumbuhan pada media MS yang disebabkan oleh konsentrasi garam yang tinggi.
Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh (ZPT) didefinisikan sebagai senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6-10-5 mM) yang disintesiskan pada bagian tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis (Wattimena, 1988). Dua golongan zat pengatur tumbuh yang penting dalam kultur jaringan yaitu auksin dan sitokinin.
Zat pengatur tumbuh ini
mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen menentukan arah perkembangan suatu kultur
(Gunawan, 1987).
Armini et al. (1991)
menambahkan bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro diperlukan komposisi dan atau konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda untuk satu varietas dengan varietas lain dari suatu tanaman. Penentuan taraf konsentrasi juga disesuaikan dengan tipe organ atau eksplan, metode kultur jaringan dan tingkat kultur jaringan (pembuatan kalus, induksi tunas, induksi akar, dan lain-lain).
15 Auksin banyak digunakan secara luas pada kultur jaringan dalam merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ (Gunawan, 1987). Bentuk-bentuk auksin yang biasa ditambahkan ke dalam media kultur adalah 2.4D (2.4 Diclorophenoxy Asetic Acid), IBA (Indole Butyric Acid), NAA (Naphthalene Asetic Acid) dan IAA (Indole-3-Acetic Acid). Auksin yang secara alami terdapat dalam tumbuhan adalah IAA. Menurut Wattimena (1988), setelah ditemukan IAA sebagai salah satu fitohormon yang penting, maka disintesis senyawa-senyawa serupa dan diuji keaktifan biologis dari senyawa-senyawa tersebut. Asam naftalena asetat (NAA) dan 2.4-D merupakan senyawa tanpa ciri indol tapi mempunyai aktivitas biologis seperti IAA. NAA banyak digunakan sebagai hormon akar dan selang konsentrasi yang mendorong pembesaran sel-sel pada akar adalah sangat rendah. Menurut Zaer dan Mapes (1985), NAA memiliki sifat kimia lebih stabil dibanding IAA dan tidak mudah teroksidasi oleh enzim. Anwar (2007) menambahkan bahwa NAA merupakan IAA sintetik yang sering digunakan karena memiliki sifat yang lebih tahan, tidak terdegradasi dan lebih murah. Naphthalene Asetic Acid/Naphtyl Acetic Acid (NAA) memiliki berat molekul 186.21 dengan rumus molekul C12H10O2 (Gambar 9).
Gambar 9. Struktur Molekul NAA Sitokinin merupakan senyawa organik yang menyebabkan pembelahan sel yang dikenal dengan proses sitokinesis. Menurut Wattimena (1988), sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman terutama mendorong pembelahan sel. Selain itu menurut Armini (1991), sitokinin juga berpengaruh dalam ploriferasi tunas ketiak, penghambatan pertumbuhan akar dan induksi umbi mikro pada kentang. Sitokinin yang biasa digunakan adalah kinetin, zeatin, 2iP (N6-2-Isopentanyl Adenin) , BAP (6-Benzyl Amino Purin), PBA, 2C 1-4 PU, 2.6C1-4 dan TDZ (thidiazuron) (Gunawan, 1987).
16 6-Benzyl amino purine (BAP) merupakan sitokinin sintesis yang memiliki berat molekul sebesar 225.26 dengan rumus molekul C12H11N5.
Wattimena
(1988) menambahkan bahwa BAP merupakan turunan adenin yang disubstitusi pada posisi 6 adalah yang memiliki aktivitas kimia paling aktif (Gambar 10).
Gambar 10. Stuktur Molekul BAP (www.wuzhouchem.com) Hasil penelitian Maryani dan Zamroni (2005), pada penggandaan tunas krisan secara in vitro apabila perlakuan tanpa BAP (0 ppm) ternyata memberikan jumlah akar banyak dan kecenderungan jumlah akar menurun dengan meningkatnya konsentrasi BAP. Keadaan ini membuktikan bahwa BAP mampu menekan pertumbuhan akar. Kemampuan menghambat pertumbuhan akar ini sangat penting dalam penggandaan tunas atau (multiplikasi). Nursandi (2006) juga menambahkan bahwa BAP dan TDZ bisa menghambat pembentukan akar nenas secara spontan pada konsentrasi yang berbeda, yaitu BAP dengan konsentrasi 17.76 µM sedangkan TDZ dengan konsentrasi 4.54 x 10-2 µM. Menurut Supriati et al., (2006), zat pengatur tumbuh BAP juga telah banyak digunakan pada berbagai spesies tanaman karena dapat meningkatkan multiplikasi tunas secara langsung maupun tidak langsung. Aktivitas sitokinin tergantung juga dari aktivitas fitohormon yang lainnya, terutama auksin baik dalam efek menghambat maupun efek yang mendorong pembelahan sel (Wattimena, 1988). Sitokinin dan auksin memiliki peran yang sangat penting dalam hal menginduksi tunas adventif. Nisbah keduanya akan menentukan apakah suatu kalus akan membentuk tunas adventif, akar, atau tunas adventif dan akar (Armini et al., 1991). Menurut Gunawan (1992), nisbah auksinsitokinin yang tinggi akan mendorong morfogenesis akar, sebaliknya nisbah sitokinin-auksin yang tinggi akan mendorong pembentukan tunas.
17 Kultur Jaringan Tanaman Karnivora Salah satu yang meneliti perbanyakan tanaman karnivora secara in vitro yaitu Rasco dan Maquilan (2005) tentang perkecambahan Nepenthes truncata secara in vitro yang menghasilkan waktu inisiasi perkecambahan tercepat 18 hari setelah tanam (HST). Pada peubah persentase inisiasi perkecambahan hasil yang terbaik yaitu pada perlakuan media ¼ WPM (17.5%) diikuti ¾ KC (14 %) dan KC (13.8 %). Pada peubah rata-rata perkecambahan terbaik pada media MS (1.8 % perkecambahan per hari) dan peubah perkecambahan akhir terbaik pada media KC (95 %).
Pada peubah bentuk kantong, kondisi daun dan panjang pucuk
terbaik pada media ¼ KC. Penelitian
tentang
pengaruh
media
terhadap
pertumbuhan
dan
perkembangan Nepenthes mirabilis secara in vitro telah dilakukan oleh Sayekti (2007) dengan menghasilkan media perkecambahan yang terbaik adalah ¼ KC dan ½ MS. Media ½ MS mampu menghasilkan waktu inisiasi berkecambah tercepat yaitu pada 37.61 HST, tanaman tertinggi dengan nilai 3.99 mm dan jumlah daun terbanyak setiap minggu. Media ¼ KC menghasilkan waktu inisiasi kecambah pada 40.56 HST dan terbukti dapat menghasilkan jumlah akar terbanyak pada setiap minggu selama 12 minggu setelah tanaman berkecambah dan daun terpanjang (9.11 mm). Perbedaan waktu inisiasi diduga dipengaruhi oleh perbedaan spesies dan perbedaan masa simpan sebelum biji dikecambahkan.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung mulai bulan Oktober 2007 hingga Maret 2008. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan adalah tunas mikro Nepenthes mirabilis. yang merupakan hasil dari penelitian Sayekti (2007) di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Media yang digunakan adalah ½ MS ditambah dengan zat pengatur tumbuh, yaitu sitokinin (BAP) dan auksin (NAA). Pengaturan pH media dengan menambahkan KOH (1 N) atau HCl (1 N). Bahan yang digunakan untuk sterilisasi berupa alkohol 70%. Bahan lainnya adalah agar-agar, gula pasir, aquades, karet gelang, plastik, tissue, spirtus dan label. Alat yang digunakan antara lain botol kultur, pipet, cawan petri, labu takar, alat ukur gelas, pinset, gunting, scalpel, mata pisau, timbangan, pH paper, hand sprayer, bunsen, autoklaf dan laminar air flow cabinet. Rak penyimpanan kultur dilengkapi dengan lampu fluorescence yang mempunyai intensitas 15002000 lux sebagai sumber penyinaran dengan suhu ruang 20°-22°C.
Metode Penelitian Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor yaitu konsentrasi BAP dan NAA pada media dasar yaitu ½ MS. Faktor pertama adalah BAP yang terdiri dari empat taraf konsentrasi, yaitu 0 ppm; 0.5 ppm; 1.0 ppm dan 2.0 ppm. Faktor kedua adalah NAA dengan empat taraf konsentrasi, yaitu 0 ppm; 0.1 ppm; 0.2 ppm dan 0.5 ppm. Penelitian ini terdiri dari 16 kombinasi perlakuan, masing-masing diulang sebanyak 10 kali sehingga terdapat 160 satuan percobaan dengan 1 eksplan untuk setiap ulangannya (1 botol kultur).
19 Model statistika yang digunakan sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ε ijk Dimana: Yijk
= Nilai pengamatan unit percobaanpada taraf perlakuan BAP ke-i, NAA ke-j, dan ulangan ke-k
µ
= Nilai tengah umum
αi
= Pengaruh BAP ke-i
βj
= Pengaruh NAA ke-j
(αβ)ij = Nilai tambah pengaruh interaksi BAP ke-i dan NAA ke-j εijk
= Galat percobaan
i
= 1, 2, 3 dan 4
j
= 1, 2, 3 dan 4
k
= 1, 2, … dan 10
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji F pada sistem SAS (Statistical Analysis Sistem). Perlakuan yang berpengaruh nyata pada uji F diuji lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%.
Pelaksanaan Sterilisasi Alat, Botol dan Media Tanam Sterilisasi merupakan kunci keberhasilan dari pelaksanaan kultur jaringan. Botol dan alat-alat yang akan dipakai dalam pembuatan media dan penanaman tunas nepenthes dicuci hingga bersih kemudian disterilkan ke dalam autoklaf pada temperatur 1210C dengan tekanan 17.5 psi dengan waktu satu jam. Penghitungan waktu dimulai saat tekanan yang diinginkan telah dicapai. Alat-alat yang perlu disterilkan yaitu pinset, gunting, pengaduk, erlenmeyer, botol kultur, gelas piala dan cawan petri.
Pembuatan larutan stok Larutan stok dibuat sesuai dengan komposisi media MS yang disimpan dalam erlenmeyer dengan konsentrasi yang lebih pekat. Larutan stok F, vitamin dan myo-inositol disimpan dalam lemari es sedangkan stok A, B, C, D dan E disimpan dalam suhu kamar. Pembuatan larutan stok ini bertujuan untuk
20 memudahkan pekerjaan dalam pembuatan media. Larutan stok ini kemudian disimpan dalam lemari es.
Pembuatan Media Kultur Media yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu media ½ MS. Media ½ MS dibuat dengan memipet 10 ml larutan stok A, 10 ml larutan stok B, 2.5 ml larutan stok C, D dan E, 5 ml larutan stok F, 10 ml vitamin, 5 ml larutan stok myoinositol ke dalam labu takar satu liter (Tabel Lampiran 1). Setelah itu ditambahkan NAA sebanyak 1 ml untuk mendapatkan media dengan konsentrasi 0.1 mg/l dari stok 100 mg/l NAA dan BA sebanyak 1 ml untuk mendapatkan media dengan konsentrasi 0.1 mg/l dari stok 100 mg/l BA. Kemudian gula dilarutkan sebanyak 20 gram dalam aquades dan dimasukkan ke dalam larutan media setelah disaring lebih dahulu. Volume ditetapkan dengan menambahkan aquades hingga 1 liter. Kemasaman media diukur menggunakan pH meter 6.0 diatur dengan penambahan KOH atau HCl. Larutan media tersebut dipindahkan ke panci pemanas yang volumenya 1 liter lalu ditambahkan agar-agar sebanyak 6 gram. Larutan media tersebut di panaskan sambil diaduk-aduk. Botol kultur yang telah steril disiapkan untuk menempatkan larutan agar-agar tersebut. Larutan media yang telah mendidih dituang ke botol kultur yang telah disiapkan. Botol ditutup rapat dengan plastik setelah semua media dituang ke botol kultur. Botol-botol yang telah terisi media disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210 C dan tekanan 17.5 psi selama 30 menit. Media steril disimpan dalam ruang penyimpan media. Media ini dapat digunakan setelah diinkubasi selama 4 hari dan bebas dari kontaminasi.
Persiapan Ruang Tanam Seluruh permukaan laminar air flow cabinet sebelumnya dibersihkan terlebih dahulu dengan di lap menggunakan alkohol 70% lalu di sterilkan dengan sinar Ultra Violet selama 1 jam sebelum proses penanaman dilakukan. Semua alat dan bahan yang akan dipakai harus disemprot dengan alkohol 70% sebelum dimasukkan ke dalam laminar air flow cabinet. Hal ini dilakukan untuk menghindari resiko bahan penelitian terkontaminasi.
21
Penanaman Eksplan tunas Nepenthes mirabilis dikeluarkan dari botol kultur dan dipilih yang memiliki penampilan baik. Kriteria tunas yang baik yaitu tanaman Nepenthes mirabilis yang pertumbuhannya baik, daunnya hijau cerah tidak berwarna kuning, tidak vitrus, pertumbuhannya tidak merana seperti kekurangan hara dan tidak berbentuk kalus. Eksplan diperoleh dari tunas yang dipotong dari pangkal batang tanpa akar, tiap potongan masing-masing memiliki 5 buku. Ujung tanaman yang memiliki tunas apikal di potong agar semua eksplan seragam. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan dominasi tunas apikal pada pucuk tersebut. Potongan kecil ini kemudian ditanam di media perlakuan. Setiap botol kultur terdiri dari 1 eksplan. Botol kultur diletakkan di rak kultur di bawah cahaya penuh.
Pemeliharaan Botol kultur diletakkan pada rak kultur selama 16 minggu. Kondisi ruang kultur dijaga pada suhu 20-22 °C dan dijaga kebersihannya agar terhindar dari kontaminasi.
22 Pengamatan Pengamatan dilakukan setiap hari dan minggu selama 16 minggu setelah tanam. Peubah yang diamati: 1. Waktu inisiasi tunas, diamati setiap hari setelah tanam. 2. Waktu inisiasi daun, diamati setiap hari setelah eksplan bertunas. 3. Waktu inisiasi kantong, diamati setiap hari setelah eksplan memiliki daun. 4. Waktu inisiasi akar, diamati setiap hari selama 16 minggu setelah tanam. 5. Jumlah tunas diamati setiap minggu setelah tanam. 6. Jumlah daun diamati setiap minggu dimulai setelah munculnya tunas. 7. Jumlah kantong diamati setiap minggu dimulai setelah munculnya daun. 8. Jumlah akar diamati setiap minggu dimulai setelah munculnya tunas. 9. Panjang daun terpanjang, panjang akar terpanjang dan tinggi tanaman diamati pada minggu terakhir pengamatan dengan cara mengeluarkan tanaman dari botol kultur kemudian diukur menggunakan milimeter block.
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Eksplan (tunas mikro Nepenthes mirabilis) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Sayekti (2007) di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ekplan tersebut telah berumur sekitar satu tahun (Gambar 11).
Gambar 11. Tanaman Induk yang Digunakan Sebagai Eksplan. Kontaminasi terjadi pada minggu ketiga setelah tanam (MST) sebesar 15%. Terjadinya kontaminasi pada eksplan diduga karena beberapa hal, antara lain kurang sterilnya ruang tanam maupun laminar air flow cabinet saat penanaman dan ruang kultur yang terekspos lingkungan luar yang tidak steril serta kurangnya perlakuan sterilisasi pada ruang kultur. Kontaminan yang ditemukan selama pengamatan yaitu cendawan dan bakteri (Gambar 12).
Kultur yang
terkontaminasi cendawan ditandai dengan adanya benang-benang hifa maupun spora cendawan pada tunas, media ataupun botol kultur, sedangkan tunas yang terkontaminasi oleh bakteri ditandai dengan munculnya lendir pada eksplan maupun pada media perlakuan. Menurut Gunawan (1992), inisiasi kultur yang bebas kontaminasi merupakan langkah yang sangat penting. Kontaminan akan tumbuh dengan cepat pada media yang mengandung gula, vitamin dan mineral
24 bila faktor kontaminasi tidak dihilangkan. Eksplan dapat mati sebagai akibat langsung dari serangan cendawan atau bakteri atau secara tidak langsung akibat persenyawaan toksik yang diproduksi cendawan atau bakteri.
(A) (B) Gambar 12. Kontaminasi yang Disebabkan oleh Cendawan (A); dan yang Disebabkan oleh Bakteri (B). Eksplan pada penelitian ini menghasilkan kantong seperti tanaman yang berada di lapang. Kantong terbentuk di setiap ujung daun. Kantong-kantong tersebut memiliki ukuran yang beragam menyesuaikan dengan bentuk daun yang ada (Gambar 13).
Gambar 13. Kantong yang Terbentuk pada Eksplan N.mirabilis.
25 Rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) menunjukkan pengaruh BAP nyata terhadap inisiasi tunas dan inisiasi daun dan sangat nyata terhadap inisiasi kantong, panjang daun terpanjang dan tinggi tanaman.
BAP memberikan
pengaruh yang nyata pada 2 MST dan sangat nyata pada 3 hingga 16 MST terhadap jumlah tunas yang terbentuk. BAP juga memberikan pengaruh yang nyata pada 3 MST dan sangat nyata pada 4 hingga 16 MST terhadap jumlah daun dan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah kantong pada 5-16 MST. NAA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap panjang akar terpanjang, panjang daun terpanjang, tinggi tanaman dan jumlah akar pada 10 hingga 16 MST. NAA memberi pengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 3 hingga 7 MST dan terhadap jumlah kantong pada 5 MST.
NAA juga
menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun pada 4 hingga 8 MST dan pengaruh nyata pada 9-14 MST dan 16 MST. Kombinasi antara BAP dan NAA memberikan pengaruh sangat nyata terhadap panjang daun terpanjang, jumlah tunas pada 2 MST dan jumlah daun pada 4 MST.
26 Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Respon Peubah yang Diamati pada Kultur Nepenthes mirabilis Perlakuan
Peubah 1 2 3 4 5
Inisiasi Akar Inisiasi Daun Inisiasi Tunas Inisiasi Kantong Panjang Akar Terpanjang 16 MST 6 Panjang Daun Terpanjang 16 MST 7 Tinggi tanaman 16 MST 8 Jumlah Tunasa 2 MST 3 MST 4-7 MST 8-16 MST 9 Jumlah Dauna 3 MST 4 MST 5-8 MST 9-14 MST 15 MST 16 MST 10 Jumlah Kantonga 5 MST 6-16 MST 11 Jumlah Akara 6-9 MST 10-16 MST Keterangan: tn : Tidak nyata pada uji F 5% * : Nyata pada uji F 5% ** : Sangat nyata pada uji F 5% a : Hasil Transformasi √(x+0.5) MST : Minggu Setelah Tanam
BAP
NAA
BAP*NAA
tn * * **
tn tn tn tn
tn tn tn tn
tn
**
tn
**
**
**
**
**
tn
* ** ** **
tn tn * tn
** tn tn tn
* ** ** ** ** **
tn ** ** * tn *
tn ** tn tn tn tn
** **
* tn
tn tn
tn tn
tn **
tn tn
27 Waktu Inisiasi tunas Berdasarkan hasil sidik ragam, pemberian kombinasi BAP dan NAA tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu inisiasi tunas mikro Nepenthes mirabilis. Pengaruh yang nyata diperoleh dari pemberian BAP secara tunggal (Tabel 2). Pemberian BAP hingga 1 ppm mampu menghasilkan waktu inisiasi tunas tercepat.
Peningkatan konsentrasi BAP menjadi 2 ppm justru
memperlambat waktu inisiasi tunas. Tabel 2. Pengaruh Pemberian BAP terhadap Waktu Inisiasi Tunas, Inisiasi Daun dan Inisiasi kantong Nepenthes mirabilis. BAP (ppm)
Inisiasi Tunas (HST)
Inisiasi Daun (HST)
Inisiasi Kantong (HST)
0 0.5 1 2
18.8 b 19.2 b 17.8 b 24.8 a
29.1 b 29.7 b 27.3 b 35.7 a
41.4 c 52.7 b 56.0 b 69.7 a
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Data pada tabel 2 memperlihatkan waktu inisiasi tunas terjadi pada konsentrasi BAP rendah atau tanpa pemberian BAP.
Hal ini diduga adanya
akumulasi sitokinin endogen yang cukup tinggi pada tanaman induk nepenthes yang dijadikan eksplan, sehingga dengan pemberian BAP lebih dari 1 ppm akan menghambat inisiasi tunas.
Pada perbanyakan klon lili yang dilakukan oleh
Setiawati (2003), konsentrasi sitokinin yang tinggi akan mempercepat inisiasi tunas. Waktu inisiasi tunas lili paling cepat terjadi pada klon 500-2 pada media MS + BA 2 mg/l + NAA 1 mg/l (13 HST). Klon yang paling lambat bertunas yaitu klon 500-3, pada media MS + BA 1 mg/l + NAA 1 mg/1 (23 HST). Menurut Gunawan (1992), sitokinin sering berperan penting dalam pengaturan pembelahan sel. Mufa’adi (2003) juga menyatakan tanaman terpacu untuk lebih cepat melakukan multiplikasi tunas disebabkan oleh pemberian sitokinin BAP.
Pada penelitian ini pengaruh BAP 0, 0.5 dan 1 ppm tidak
menghasilkan perbedaan yang nyata dalam mempercepat waktu munculnya tunas sehingga tanpa pemberian BAP pun dapat menginisiasi tunas mikro Nepenthes dengan cepat. Menurut Sudarmonowati et al. (2002), apabila penggunaan tanpa
28 hormon tidak berpengaruh nyata maka tidak diperlukan penggunaan BAP sehingga biaya produksi akan jauh lebih murah. Tahap inisiasi tunas diawali dengan munculnya calon tunas berupa tonjolan kecil menyerupai calon batang berwarna hijau (Gambar 14). Umumnya inisiasi tunas ini terjadi pada minggu kedua setelah tanam, sekitar satu minggu kemudian muncul daun pertama yang berukuran sangat kecil pada tunas tersebut. Tunas baru
(A) (B) Gambar 14. Tahap Perkembangan Eksplan dari Sebelum Bertunas (A) dan Setelah 2 MST (B).
Waktu Inisiasi Daun Berdasarkan hasil sidik ragam, kombinasi BAP dan NAA tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu inisiasi daun. Pemberian BAP secara tunggal memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu inisiasi daun (Tabel 2). Pemberian BAP hingga 1 ppm mampu menghasilkan waktu inisiasi daun tercepat. Hasil ini sesuai dengan waktu inisiasi tunas pada tabel 2, karena inisiasi daun terjadi setelah inisiasi tunas sebelumnya. Inisiasi daun terbentuk sekitar satu minggu setelah adanya inisiasi tunas pada eksplan. Daun pertama yang terbentuk berukuran sangat kecil (Gambar 15). Daun pertama ukurannya seperti tereduksi dan belum memiliki kantong di ujungnya. Daun yang terbentuk berikutnya memiliki ukuran dan bentuk yang normal.
29
Gambar 15. Inisiasi Daun pada Eksplan Nepenthes. Bentuk dan ukuran daun eksplan umumnya normal seperti tanaman induk. Pada perlakuan NAA 0.1 ppm, NAA 0.2 ppm dan NAA 0.5 ppm ukuran daun seperti tereduksi sehingga berukuran kecil (Gambar 16). Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan eksplan tersebut lambat.
Keadaan ini diduga karena
perlakuan tersebut tidak mendapat tambahan sitokinin eksogen, yaitu BAP.
(A)
(B)
Gambar 16. Ukuran Daun Nepenthes pada Perlakuan NAA 0.2 ppm (A) dan Perlakuan NAA 0.5 ppm (B).
30 Waktu Inisiasi Kantong Pemberian BAP secara tunggal memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap waktu inisiasi kantong Nepenthes mirabilis.
Data pada tabel 2
memperlihatkan perlakuan tanpa pemberian BAP mampu memberikan waktu inisiasi kantong tercepat.
Pemberian BAP 2 ppm justru memberikan waktu
inisiasi kantong paling lama. Hal ini terjadi karena BAP 2 ppm memiliki waktu inisiasi daun terlama sehingga proses pembentukan kantong pun menjadi terhambat. Inisiasi kantong nepenthes terjadi setelah daun terbentuk sempurna. Kantong-kantong tersebut umumnya mulai terbentuk pada daun kedua di setiap eksplan (Gambar 17). Kantong yang terbentuk mulanya berukuran sangat kecil dan lama-kelamaan akan membesar menyesuaikan dengan ukuran daunnya.
Gambar 17. Inisiasi Kantong pada Eksplan Nepenthes.
Waktu Inisiasi Akar Berdasarkan hasil sidik ragam, pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap waktu inisiasi akar tunas Nepenthes mirabilis, baik secara tunggal maupun kombinasi. Umumnya akar akan terbentuk apabila nisbah konsentrasi sitokinin dan auksin rendah.
Menurut Sukawan
(2000), pembentukan akar selain dipengaruhi oleh pemberian auksin eksogen juga dipengaruhi oleh perbedaan genetik yang disebabkan oleh eksplan yang digunakan dan kandungan sitokinin endogennya.
31 Tabel 3. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Waktu Inisiasi Akar Nepenthes mirabilis Perlakuan
Waktu Inisiasi Akar (HST)
BAP (ppm) 0 0.5 1 2 NAA (ppm) 0 0.1 0.2 0.5 Menurut
Sukawan
70.7 80.2 74.0 77.7 74.2 82.7 73.8 91.5 (2000),
pembentukan
akar
ditentukan
oleh
keseimbangan yang tepat antara auksin dan nutrisi. Auksin bertindak sebagai trigger pada level transkripsi dan nutrisi sebagai sumber karbon untuk mengatur translasi dalam sintesis protein yang diperlukan untuk diferensiasi aktivitas kambium menjadi primordial akar dan perkembangan dari primordial akar. Inisiasi akar yang terjadi pada penelitian ini membutuhkan waktu yang cukup lama (Gambar 18).
Menurut Pierik (1987), sitokinin efektif dalam
menghambat inisiasi akar. Rasco jr dan Maquilan (2005) juga menambahkan bahwa untuk menghindari tekanan osmotik, kekurangan air dan nutrisi memungkinkan terjadinya penghambatan pertumbuhan akar pada perkecambahan Nepenthes truncata di media MS.
Gambar 18. Inisiasi Akar pada Eksplan Nepenthes.
32 Jumlah Tunas Pemberian BAP dan NAA secara tunggal memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah tunas Nepenthes mirabilis pada 2-16 MST. Kombinasi pemberian NAA dan BAP hanya memberikan hasil yang nyata terhadap jumlah tunas pada 2 MST. Rata-rata jumlah tunas umumnya meningkat pada semua perlakuan BAP setiap minggunya (Tabel 4). Penggunaan 0, 0.5 dan 1 ppm BAP tidak berbeda nyata terhadap rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan. Pemberian BAP 2 ppm menghasilkan jumlah tunas yang lebih rendah daripada pemberian konsentrasi BAP yang lain. Tabel 4. Pengaruh Pemberian BAP Terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2-16 MST BAP (ppm)
Waktu Pengamatan (MST) 2
3
6
9
12
0 0.6 b 3.1 a 4.1 a 4.7 a 4.9 a 0.5 0.8 b 2.6 a 3.8 a 4.4 a 4.8 a 1 1.1 a 2.8 a 3.8 a 4.6 a 4.6 a 2 0.7 b 1.8 b 2.8 b 2.9 b 3.1 b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi √(x+0.5).
15 5.3 a 5.0 a 4.9 a 3.2 b
16 5.3 a 5.0 a 4.9 a 3.2 b
sama tidak berbeda
Data pada tabel 4 memperlihatkan bahwa nepenthes sudah mampu menghasilkan rata-rata jumlah tunas yang banyak dengan konsentrasi BAP yang rendah atau tanpa penambahan BAP.
Pemberian BAP hingga 1 ppm
menghasilkan jumlah tunas yang banyak, sedangkan BAP 2 ppm menunjukkan penurunan jumlah tunas (Gambar 19). Hal ini diduga karena adanya kandungan sitokinin endogen yang cukup tinggi pada eksplan, sehingga dengan penambahan BAP berkonsentrasi rendah sudah mampu merangsang tanaman untuk manghasilkan tunas yang banyak.
33
(A) (B) Gambar 19. Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan BAP 1 ppm (A) dan Perlakuan BAP 2 ppm (B). Penelitian kultur kaspea yang telah dilakukan oleh Wydiastuti (2001), juga menghasilkan jumlah tunas yang semakin banyak dengan meningkatnya konsentrasi BAP hingga 1 ppm, sedangkan BAP 2 ppm menunjukkan penurunan jumlah tunas.
Menurut Wydiastuti (2001), diduga pada konsentrasi 2 ppm
tanaman sudah tidak responsif terhadap penambahan BAP dan pertumbuhannya menjadi terhambat. Tanaman yang tidak diberikan NAA mampu menghasilkan jumlah tunas paling banyak pada 5 hingga 8 MST (Tabel 5).
Semakin meningkatnya
konsentrasi NAA, jumlah tunas yang dihasilkan semakin sedikit (Gambar 20). Keadaan ini terjadi karena pada konsentrasi yang tinggi auksin akan menghambat pertumbuhan tunas. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Gunawan (1992), dimana nisbah auksin-sitokinin yang tinggi akan mendorong morfogenesis akar, sebaliknya nisbah sitokinin-auksin yang tinggi akan mendorong pembentukan tunas.
34 Tabel 5. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2-8 MST NAA (ppm) 0 0.1 0.2 0.5
Waktu Pengamatan (MST) 2 0.9 0.7 0.8 0.9
4
5
6
7
3.2 ab 3.3 a 3.0 ab 2.6 b
3.7 a 3.5 a 3.2 ab 2.9 b
3.9 a 3.7 a 3.5 ab 3.1 b
4.2 a 3.8 ab 3.7 ab 3.3 b
8 4.3 4.0 3.9 3.6
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT Data merupakan hasil transformasi √(x+0.5).
(A) (B) Gambar 20. Jumlah Tunas yang Dihasilkan pada Perlakuan NAA 0.1 ppm (A) dan Perlakuan NAA 0.5 ppm (B). Data pada tabel 6 memperlihatkan pengaruh interaksi BAP dan NAA, perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.5 ppm merupakan perlakuan yang mampu menghasilkan jumlah tunas terbanyak pada 2 MST yaitu 1.6 tunas per eksplan (Gambar 21).
Menurut Sayekti (2007), pertumbuhan nepenthes setelah
berkecambah relatif lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman herbaceous lain secara in vitro tetapi jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman Nepenthes di lapang.
35 Tabel 6. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Nepenthes mirabilis pada 2 MST NAA (ppm) 0 0.1 0.2 0.5
BAP (ppm) 0
0.5
1
2
0.5 bc 0.0 c 0.0 c 0.4 bc
0.3 bc 0.0 c 1.4 ab 0.0 c
0.7 abc 0.8 abc 0.2 c 1.6 a
0.3 bc 0.4 bc 0.3 bc 0.2 c
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi √(x+0.5).
Gambar 21. Jumlah Tunas pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.5 ppm.
Jumlah Daun Pemberian BAP dan NAA sebagai faktor tunggal memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun Nepenthes mirabilis. Kombinasi pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang nyata hanya pada 4 MST. Rata-rata jumlah daun umumnya meningkat untuk perlakuan BAP setiap minggu (Tabel 7).
Jumlah daun terbanyak dihasilkan oleh perlakuan tanpa
pemberian BAP pada 6 hingga 16 MST. Seperti halnya jumlah tunas pada tabel 4, pemberian BAP 0, 0.5 dan 1 ppm mampu menghasilkan rata-rata jumlah daun paling banyak.
Penggunaan BAP dalam konsentrasi rendah atau tidak
ditambahkan BAP cukup efisien untuk menghasilkan jumlah daun yang banyak.
36 Tabel 7. Pengaruh Pemberian BAP Terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST BAP (ppm) 0 0.5 1 2
Waktu Pengamatan (MST) 3
6
0.4 b 0.9 a 0.7 ab 0.3 b
1.5 a 5.9 a 6.4 a 2.7 b
9 10.8 a 9.5 a 9.9 a 4.6 b
12
15
16
13.6 a 12.2 a 12.8 a 6.4 b
15.5 a 15.3 a 14.7 a 8.1 b
16.1 a 15.8 a 15.7 a 8.5 b
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi √(x+0.5).
Pertumbuhan daun pada nepenthes tergolong cukup lambat. Keadaan ini diindikasikan dari sedikitnya jumlah daun yang terbentuk setiap minggunya. Menurut Sayekti (2007), jumlah daun pada tanaman Nepenthes dapat dijadikan sebagai indikator jumlah buku dimana dalam tiap buku tersebut terdapat satu helai daun.
Sedikitnya jumlah buku mempengaruhi jumlah bagian tanaman untuk
disubkultur atau diperbanyak pada tahapan berikutnya. Data pada tabel 8 memperlihatkan tanpa pemberian NAA mampu memberikan jumlah daun terbanyak pada setiap minggu pengamatan. Pemberian NAA 0.5 ppm menghasilkan jumlah daun lebih sedikit dari perlakuan lain Tabel 8. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 3-16 MST NAA (ppm) 0 0.1 0.2 0.5
Waktu Pengamatan (MST) 3
6
9
12
15
16
1.0 0.8 0.9 0.6
6.8 a 5.1 b 5.3 b 4.3 b
10.3 a 8.8 ab 8.2 b 7.6 b
12.9 a 11.4 ab 10.7 ab 10.0 b
15.1 13.5 13.0 12.0
16.1 a 14.0 ab 13.6 ab 12.4 b
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT Data merupakan hasil transformasi √(x+0.5).
37 Data pada tabel 9 memperlihatkan interaksi BAP dan NAA yang mampu memberikan jumlah daun terbanyak pada 4 MST yaitu perlakuan tanpa pemberian BAP dan NAA (4.1 daun per eksplan). Hal ini diduga karena tanaman memiliki kandungan sitokinin endogen yang cukup tinggi, sehingga tanpa penambahan BAP dan NAA tanaman dapat menghasilkan jumlah daun yang banyak (Gambar 22). Tabel 9. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Daun Nepenthes mirabilis pada 4 MST NAA (ppm) 0 0.1 0.2 0.5
BAP (ppm) 0
0.5
1
2
4.1 a 0.0 e 0.4 de 1.2 bcde
2.7 ab 1.7 bcd 3.5 ab 0.4 de
2.7 abc 2.7 abc 2.0 abc 1.9 bcd
1.0 cde 0.9 cde 0.4 de 0.4 de
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi √(x+0.5).
Gambar 22. Jumlah Daun Nepenthes pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat Pengatur Tumbuh. Warna daun yang terbentuk secara umum tidak berbeda untuk semua perlakuan yaitu hijau kekuningan (Gambar 23). Warna kekuningan daun ini diduga karena tanaman kekurangan unsur besi dan magnesium pada media. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa belum diketahui dengan jelas mengapa kekahatan besi dengan cepat dapat menghambat pembentukan klorofil. Tapi ada dua atau tiga macam enzim yang mengkatalis reaksi tertentu dalam
38 sintesis klorofil tampaknya memerlukan Fe2+.
Salah satu bentuk besi yang
mantap dan banyak terdapat di daun disimpan dalam kloroplas sebagai kompleks besi-protein yang disebut fitoferitin.
Lakitan (2004) menambahkan bahwa
kekurangan magnesium juga dapat menyebabkan tanaman tidak dapat membentuk klorofil dengan sempurna. Magnesium merupakan unsur penyusun klorofil dan aktivator dari berbagai enzim dalam reaksi fotosintesis, respirasi, dan pembentukan DNA dan RNA.
Gambar 23. Warna Daun pada Eksplan Nepenthes mirabilis. Sayekti (2007) juga mengemukakan warna kuning pada daun tanaman nepenthes disebabkan oleh pertumbuhan sel yang terlalu cepat tetapi tidak diikuti oleh pembentukan klorofil yang cepat. Selain itu diduga kandungan sukrosa pada media juga telah habis diserap tanaman, sehingga tanaman kekurangan sukrosa yang mengakibatkan daun berwarna kekuningan.
Jumlah Kantong Pemberian BAP secara tunggal memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah kantong pada 5 hingga 16 MST. Jumlah kantong umumnya meningkat pada semua perlakuan BAP setiap minggunya (Tabel 10). Pemberian BAP hingga 1 ppm mampu menghasilkan jumlah kantong paling banyak. Hal ini sesuai dengan tabel 7, pemberian BAP hingga 1 ppm menghasilkan jumlah daun paling banyak sehingga akan menghasilkan jumlah kantong yang banyak juga.
39 Tabel 10. Pengaruh Pemberian BAP Terhadap Rata-rata Jumlah Kantong Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST BAP (ppm)
Waktu Pengamatan (MST) 5
7
9
11
0 1.1 a 3.5 a 5.9 a 7.8 a 0.5 0.9 a 3.3 a 4.6 a 6.6 a 1 1.0 a 2.8 a 5.0 a 6.3 a 2 0.5 b 1.3 b 1.9 b 2.8 b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi √(x+0.5).
13 9.1 a 7.9 a 8.1 a 3.5 b
15
16
10.5 a 9.6 a 10.0 a 4.5 b
11.2 a 10.6 a 10.5 a 5.9 b
kolom yang sama tidak berbeda
Pemberian NAA secara tunggal memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah kantong N.mirabilis hanya pada 5 MST (Tabel 11). Jumlah kantong pada minggu berikutnya tidak berbeda nyata pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan pemberian NAA tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah kantong N.mirabilis yang dihasilkan. Tabel 11. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Kantong Nepenthes mirabilis pada 5-16 MST NAA (ppm)
Waktu Pengamatan (MST) 5
8
12
15
16
0 0.9 a 3.6 6.9 9.0 10.0 0.1 0.7 ab 2.3 5.5 7.6 8.2 0.2 0.5 b 2.2 5.2 7.4 7.9 0.5 0.4 b 2.0 4.7 6.7 7.1 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi √(x+0.5).
Kantong pada tanaman nepenthes merupakan modifikasi dari daun. Strukturnya di alam, daun akan membentuk sulur panjang terlebih dahulu baru membentuk kantong di bagian ujung sulur tersebut. Pada penelitian ini, kantongkantong nepenthes langsung terbentuk di bagian ujung daun tanpa pembentukan sulur terlebih dahulu (Gambar 24).
Hal ini diduga karena kantong belum
berfungsi sebagai penyedia hara bagi tanaman. Ketersediaan hara bagi tanaman sudah dipenuhi oleh zat hara pada media yang diberikan.
40
Gambar 24. Kantong yang Terbentuk pada Eksplan Nepenthes mirabilis.
Jumlah Akar Hasil sidik ragam menunjukkan kombinasi pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap rata-rata jumlah akar setiap minggunya. Pengaruh yang nyata terhadap rata-rata jumlah akar diperoleh dari pemberian NAA secara tunggal. Jumlah akar umumnya meningkat setiap minggunya. Data pada tabel 12 memperlihatkan bahwa perlakuan tanpa pemberian NAA menghasilkan rata-rata jumlah akar terbanyak pada 10-16 MST. Hal ini menunjukkan bahwa eksplan yang dikulturkan tanpa penambahan NAA memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain. Menurut Ammirato (1986) dalam Marlin (2005), beberapa sel tanaman dapat tumbuh, berkembang dan beregenerasi menjadi tanaman baru dalam media tanpa penambahan hormon.
Dengan
demikian, tanpa suplai auksin dan sitokinin eksogen, akar akan tetap tumbuh dan memanjang.
41 Tabel 12. Pengaruh Pemberian NAA Terhadap Rata-rata Jumlah Akar Nepenthes mirabilis pada 10-16 MST NAA (ppm)
Waktu Pengamatan (MST) 10
11
12
13
14
0 1.2 a 1.9 a 2.7 a 3.2 a 4.0 a 0.1 0.1 b 0.2 b 0.2 b 0.3 b 0.3 b 0.2 0.3 b 0.4 b 0.5 b 0.5 b 0.6 b 0.5 0.0 b 0.0 b 0.0 b 0.1 b 0.2 b Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang nyata pada uji DMRT 5% Data merupakan hasil transformasi √(x+0.5)
15
16
4.6 a 0.3 b 0.6 b 0.3 b
4.9 a 0.3 b 0.6 b 0.3 b
sama tidak berbeda
Jumlah akar yang terbentuk pada tanaman nepenthes sangat sedikit seperti strukturnya di alam (Gambar 25). Menurut Sayekti (2007), jumlah akar yang berjumlah sedikit ini menunjukkan bahwa fungsi akar tidak terlalu berperan dalam memberikan stok hara bagi pertumbuhan tanaman. Mansur (2007), menambahkan secara alami kantong dibuat untuk mensuplai kekurangan nutrisi yang diserap akar dari tanah.
Gambar 25. Jumlah Akar dilihat dari Bagian Bawah Botol Kultur. Akar yang terbentuk pada eksplan berwarna cokelat kehitaman dengan banyak bulu halus disekitarnya (Gambar 26).
Menurut Lakitan (2004), akar
membentuk bulu-bulu akar untuk memperluas permukaan kontaknya. Bulu akar merupakan penonjolan dari sel-sel epidermis akar. Lapisan sel ini berada pada bagian paling luar dan umumnya berbentuk agak pipih.
Panjang bulu akar
umumnya sekitar 1.5 mm. Bulu-bulu akar ini terbentuk pada daerah dekat dengan ujung akar, tidak pada semua bagian akar.
42
Gambar 26. Bulu Akar pada Akar Nepenthes mirabilis.
Tinggi tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan kombinasi pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang tidak nyata pada peubah tinggi tanaman. Pengaruh sangat nyata di dapat dari pemberian BAP dan NAA secara tunggal. Data pada tabel 13 memperlihatkan tanaman tertinggi di dapat dari pemberian BAP hingga 1 ppm dan tanpa pemberian NAA. Hal ini menunjukkan untuk menghasilkan tanaman yang cukup tinggi hanya diperlukan konsentrasi BAP yang cukup rendah. Hasil ini serupa dengan penelitian yang telah dilakukan Marlin (2005), eksplan jahe yang dikulturkan pada media tanpa pemberian BAP (0 ppm) atau BAP dengan konsentrasi yang rendah menghasilkan tunas yang berukuran lebih tinggi.
Dalam kondisi tersebut kebutuhan sel akan sitokinin
untuk pemanjangan sel telah terpenuhi.
43 Tabel 13. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Tinggi Tanaman Nepenthes mirabilis Perlakuan BAP (ppm) 0 0.5 1 2 NAA (ppm) 0 0.1 0.2 0.5
Tinggi Tanaman (mm) 9.1 a 9.1 a 10.2 a 5.9 b 10.7 a 7.8 b 7.5 b 8.2 b
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Tinggi tanaman merupakan peubah yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Hal ini didasarkan karena tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat (Anwar, 2007). Pertumbuhan tanaman nepenthes cukup lambat, hal ini dapat dilihat dari tinggi tanaman yang relatif pendek (Gambar 27).
(A) (B) Gambar 27. Tinggi Tanaman Nepenthes, pada Perlakuan BAP 2 ppm (A) dan Perlakuan NAA 0.2 ppm + BAP 1 ppm (B).
44 Panjang Daun Terpanjang Panjang daun terpanjang diamati pada minggu pengamatan terakhir (Gambar 28). Berdasarkan hasil sidik ragam, kombinasi pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang sangat nyata pada peubah panjang daun terpanjang. Pemberian NAA dan BAP secara tunggal juga memberikan pengaruh yang sangat nyata. Data pada tabel 14 memperlihatkan bahwa pemberian BAP yang mampu menghasilkan panjang daun terpanjang yaitu BAP 0.5 ppm (19.5 mm) dan BAP 1 ppm (19.8 mm). Ketika konsentrasi BAP ditingkatkan menjadi 2 ppm, panjang daun menjadi setengahnya (9.1 mm).
Hal ini mengindikasikan BAP efektif
digunakan dalam konsentrasi yang rendah. Panjang daun terpanjang juga didapat dari NAA 0 ppm (23.4 mm).
Gambar 28. Panjang Daun Terpanjang pada Perlakuan BAP 1 ppm + NAA 0.2 ppm. Tabel 14. Pengaruh Pemberian BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun Terpanjang Nepenthes mirabilis Perlakuan BAP (ppm) 0 0.5 1 2 NAA (ppm) 0 0.1 0.2 0.5
Panjang Daun (mm) 15.3 b 19.5 a 19.8 a 9.1 c 23.4 a 14.4 b 13.3 b 12.7 b
45 Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Panjang daun terpanjang dipengaruhi sangat nyata oleh pemberian BAP dan NAA. Data pada tabel 15 memperlihatkan panjang daun terpanjang diperoleh dari perlakuan tanpa pemberian zat pengatur tumbuh (30.9 mm) dan panjang daun terpendek dari perlakuan 2 ppm BAP + 0.1 NAA (5.8 mm).
Hal ini
mengindikasikan perlakuan tanpa pemberian zat pengatur tumbuh memiliki kemampuan perpanjangan sel tanaman paling besar. Tabel 15. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA terhadap Rata-rata Panjang Daun Terpanjang Nepenthes mirabilis NAA (ppm) 0 0.1 0.2 0.5
BAP (ppm) 0
0.5
1
2
30.9 a 12.0 def 6.9 f 11.4 ef
26.1 ab 19.9 bcd 15.2 de 16.7 cde
23.3 abc 19.8 bcd 24.5 abc 11.7 def
13.4 def 5.8 f 6.4 f 10.9 ef
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Panjang Akar Terpanjang Panjang akar terpanjang diamati pada minggu akhir pengamatan. Berdasarkan hasil sidik ragam, interaksi pemberian BAP dan NAA memberikan pengaruh yang tidak nyata pada peubah panjang akar. Pengaruh yang sangat nyata didapat dari pemberian BAP secara tunggal. Tabel 16 memperlihatkan bahwa panjang akar terpanjang didapat dari perlakuan tanpa pemberian NAA. Hal ini diduga kandungan auksin endogen tanaman cukup tinggi. Peningkatan konsentrasi auksin akan menghambat inisiasi akar, pembelahan sel dan pemanjangan akar (Wattimena, 1988). Ekawati (2006), juga menambahkan konsentrasi NAA yang ditingkatkan ke media pengakaran akan meningkatkan auksin endogen sehingga terjadi akumulasi auksin. Akumulasi auksin ini akan menghambat pemajangan akar. Konsentrasi auksin endogen yang tinggi dapat menyebabkan pemendekan sel-sel.
46 Tabel 16. Pengaruh Pemberian NAA terhadap Rata-rata Panjang Akar Terpanjang Nepenthes mirabilis NAA (ppm) 0 0.1 0.2 0.5
Panjang Akar (mm) 6.1 a 0.5 b 0.6 b 0.1 b
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%
Panjang akar merupakan hasil dari perpanjangan sel-sel dibelakang meristem ujung (Gardner et al., 1991 dalam Anwar, 2007). Pertumbuhan akar dipengaruhi oleh pertumbuhan tunas, tunas yang terbentuk makin banyak maka akar akan semakin pendek atau bahkan tidak memiliki akar sama sekali (Mufa’adi, 2003). Akar nepenthes yang terbentuk pada percobaan ini umumnya pendek dan berjumlah sedikit (Gambar 29). Di alam pun, akar nepenthes tidak dapat masuk jauh ke dalam tanah. Akarnya hanya terbenam hingga kedalaman 10 cm dari permukaan tanah (Tim Redaksi, 2006).
Gambar 29. Panjang Akar Terpanjang pada Perlakuan Tanpa Penambahan Zat Pengatur Tumbuh Wattimena (1987) menyatakan bahwa selang konsentrasi zat pengatur tumbuh untuk pembesaran sel-sel pada batang menjadi penghambat pada pembentukan sel-sel akar. Interaksi BAP dan NAA mempengaruhi aktivitas selsel di batang untuk memunculkan tunas sehingga aktivitas sel-sel di akar terhambat.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pemberian konsentrasi BAP hingga 1 ppm terbukti mampu memberikan waktu inisiasi tunas (17.8 HST), waktu inisiasi daun (27.3 HST) dan waktu inisiasi kantong (41.4 HST) tercepat, jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah kantong terbanyak setiap minggunya, dan menghasilkan tanaman tertinggi (10.2 mm). Tanpa pemberian NAA terbukti menghasilkan jumlah tunas, jumlah daun dan jumlah akar terbanyak setiap minggunya, tinggi tanaman terbaik (10.7 mm) dan panjang akar terpanjang (6.1 mm). Interaksi BAP 1 ppm dan NAA 0.5 ppm terbukti mampu menghasilkan tunas terbanyak (1.6 tunas per eksplan) pada 2 MST, media tanpa pemberian zat pengatur tumbuh menghasilkan jumlah daun terbanyak (4.1 daun per eksplan) pada 4 MST dan panjang daun terpanjang (30.9 mm).
Saran Media BAP 1 ppm dan NAA 0.5 ppm dapat digunakan untuk menghasilkan multiplikasi tunas Nepenthes mirabilis. Tanaman dapat dipindah ke media tanpa penambahan zat pengatur tumbuh agar memiliki jumlah daun yang banyak. Sebaiknya konsentrasi MgSO4.7H2O dan FeSO4.7H2O yang terkandung di media ditingkatkan agar unsur hara yang tersedia cukup, sehingga daun tanaman tidak berwarna kuning.
Konsentrasi sukrosa juga perlu ditingkatkan untuk
memperpanjang vase life tanaman.
DAFTAR PUSTAKA Anwar, N. 2007. Pengaruh Media Multiplikasi Terhadap Pembentukan Akar pada Tunas In Vitro Nenas (Ananas comocus (L.) Merr.) cv. Smooth Cayenne di Media Pengakaran. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 37 hal. Armini, N. M., G. A. Wattimena dan L. W. Gunawan. 1991. Perbanyakan tanaman. Hal 17-149. Dalam: Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman (Eds.). Bioteknologi Tanaman 1. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Insitut Pertanian Bogor. Bogor. . 1991. Zat pengatur tumbuh. Hal 150-200. Dalam: Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman (Eds.). Bioteknologi Tanaman 1. Pusat Antar Universitas. Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Clarke, C. 1997. Nepenthes of Borneo. Natural History Publications Kota Kinabalu. Sabah. 207p. Direktorat Budidaya Tanaman Hias. 2006. Profil Tanaman Hias: Zingiberaceae Phalaenopsis – Cordyline. Direktorat Jenderal Hortikultura. Departemen Pertanian. 163 hal. Ekawati, M. 2006. Pengaruh Media Multiplikasi Terhadap Pembentukan Akar dari Tunas In Vitro Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) cv. Smooth Cayenne pada Media Pengakaran. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 39 hal. Gamborg, O. L. dan J. K. Shyluk. 1981. Nutrition, media and characteristic of plant cell and tissue culture. P: 21-24. In: T.A. Thorpe (Ed). Plant Tissue Culture Methods and Application in Agriculture. Academic Press Inc. New York. George, E. F. dan P. D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Exegetics Ltd., England. 596 p. Gunawan, L. W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 252 hal. . 1992. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Departemen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 165 hal. Handayani, T. 2006. Perbanyakan Tanaman Kantong semar (Nepenthes spp.). www.lipi.go.id. [30 September 2006] Harjadi, S. S. 1989. Dasar-dasar Hortikultura. Jurusan Budidaya Pertanian. Faperta. IPB. Bogor. 506 hal.
49 http://rumputijo.wordpress.com/ [5 mei 2008]. James dan P. Pietropaolo. 1986. Carnivorous Plants of The World. Timber Press, Inc. USA. 206p. Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Cetakan kelima. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 205 hal. Mansur, M. 2007. Nepenthes Kantong Semar yang Unik. Penebar Swadaya. Jakarta. 100 hal.
Cetakan ketiga.
Mariska, I dan D. Sukmadjaja. 2003. Perbanyakan Bibit Abaka Melalui Kultur Jaringan. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. http://biogen.litbang.deptan.go.id/terbitan/pdf/Buku_Abaka.pdf. [14 November 2007]. Marlin. 2005. Regenerasi in vitro planlet jahe bebas penyakit layu bakteri pada beberapa taraf konsentrasi 6-Benzil amino purine (BAP) dan 1-Naphtalene acetic acid (NAA). Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. 7 (1):8-14 Maryani, Y dan Zamroni. 2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur Jaringan. http://agrisci.ugm.ac.id/vol12_1/6.krisan_yekti.pdf. [14 November 2007]. Mufa’adi, A. 2003. Pengaruh Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh BAP dan IAA Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Daun Dewa (Gynura procumbens (Back.)) dalam Kultur In Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 28 hal. Nursandi, F. 2006. Studi Perbanyakan In Vitro Tanaman Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) dan Analisa Kestabilan Genetik Berdasarkan Karakter Morfologi, Isozim dan RAPD. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Istitut Pertanian Bogor. Bogor. 148 hal. Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plant. Martinus Nijhoff Publisher. Dardrecht. 344p. Pudjiastuti, L. E., Erniwati dan Mumpuni. 1997. Fauna kantung semar Nepenthes sp. Prosiding Seminar Nasional Biologi XV. Perhimpunan Biologi Indonesia Cabang Lampung dan Universitas Lampung. Lampung. Vol.7: 224-227. Rasco Jr., E. T. dan M. A. D. Maquilan. 2005. Initial studies on in vitro germination and early seedling growth of Nepenthes truncata Macf. Carnivorous Plant Newsletter. June (34): 51. Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid I. Edisi keempat. Penerbit ITB. Bandung. 241 hal.
50 Sayekti, U. 2007. Pengaruh Media Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Kecambah Kantong Semar (Nepenthes mirabilis) secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hal. Setiawati, E. 2007. Teknik perbanyakan klon Lili terseleksi secara in vitro. Buletin Teknik Pertanian. 12 (1): 4-6. Sudarmonowati, E., R. Hartati dan T. Taryana. 2002. Produksi Tunas, Regenerasi dan Evaluasi Hasil Ubi Kayu (Manihot Esculenta) Indonesia Asal Kultur Jaringan di Lapang. http://www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol4(2)/enny.pdf. [14 November 2007]. Sukawan, I. K. 2000. Perbanyakan Tanaman Nenas Varietas Veriegata (Ananas comosus ”veriegatus”) secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 39 hal. Supriati, Y., I. Mariska dan Mujiman. 2006. Multiplikasi Tunas Belimbing Dewi (Averrhoa carambola) melalui Kultur In Vitro. http://indoplasma.or.id/publikasi/buletin_pn/pdf/buletin_pn_12_2_2006_5 0-55_yati.pdf. [14 November 2007]. Tim Redaksi. 2006. Trubus Info Kit: Nepenthes. PT Trubus Swadaya: Jakarta. 284 hal. Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Universitas Institut Pertanian Bogor. Bogor. 145 hal.
Pusat Antar
, L. W. Gunawan, N. A. Matjik, E. Syamsudin, N. M. Armini dan A. Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman Laboratorium Kultur Jaringan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 309 hal. Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman secara In vitro. Avery Pub Group Inc. New Jersey. 110 p. Wydiastuti, E. T. 2001. Pengaruh BAP dan IAA Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Tunas serta Jenis Media Terhadap Pengakaran Tunas Kaspea (Limonium caspium) secara In Vitro. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 37 hal. Zaer, J. S. dan M. O. Mapes. 1985. Action of Growth Regulators. p. 231-255. In J. M. Bonga and P. J. Duczan (eds.). Tissue Culture in Forestry. Martinus NIJHOFF. London. www.wuzhouchem.com/catalogue/agro/PGR/6-Benzylaminopurine(6-BA).htm [28 Pebruari 2008]
51 Tabel lampiran 1. Komposisi Media Murashige-Skoog
Stok
Bahan
Konsentrasi
Pemakaian
Larutan (g/l)
ml/L media
ppm
A
NH4NO3
82.500
20
1.650.000
B
KNO3
95.000
20
1.900.000
C
KH2PO4
34.000
170.000
H3BO3
1.240
6.200
KI
0.166
NaMoO4.2H2O
0.050
0.250
CoCl2.6H2O
0.005
0.025
D
CaCl.2H2O
88.000
E
MgSO4.7H2O
74.000
MgSO4.4H2O
4.460
ZnSO4.7H2O
1.720
CuSO4.5H2O
0.005
Na2EDTA.2H2O
3.730
FeSO4.7H2O
2.780
Myo-Inositol
10.000
F
Myo Vitamin
Thiamin
0.010
Niacin
0.050
Pyridoxine
0.050
Glycin
0.200
Gula Sumber: Gunawan (1987)
40
5
5
0.830
440.000 370.000
5
22.300 8.600 0.025
10 10
37.300 27.800 100.000 0.100
10
0.500 0.500 2.000
52 Tabel Lampiran 2. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Tunas N.mirabilis SK
db
BAP 3 NAA 3 BAP*NAA 9 Galat 131 Total Koreksi 146 Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5) * : Nyata pada uji F 5%
F Hit
Pr > F
KK (%)
(3.92) (0.37) (0.61)
(0.0102)* (0.7719) (0.7907)
(18.092)
Tabel Lampiran 3. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Daun N.mirabilis SK
db
BAP 3 NAA 3 BAP*NAA 9 Galat 131 Total Koreksi 146 Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5) * : Nyata pada uji F 5%
F Hit
Pr > F
KK (%)
(3.06) (1.75) (1.51)
(0.0306)* (0.1593) (0.1519)
(17.798)
Tabel Lampiran 4. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Kantong N.mirabilis SK
db
BAP 3 NAA 3 BAP*NAA 9 Galat 122 Total Koreksi 137 Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5) ** : Sangat nyata pada uji F 5%
F Hit
Pr > F
KK (%)
(9.41) (0.57) (0.55)
(0.0001)** (0.6337) (0.8343)
(18.817)
53 Tabel Lampiran 5. Sidik Ragam Waktu Inisiasi Akar N.mirabilis SK
db
BAP 3 NAA 3 BAP*NAA 4 Galat 24 Total Koreksi 34 Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5)
F Hit
Pr > F
KK (%)
(0.72) (1.38) (1.65)
(0.5486) (0.2733) (0.1940)
(8.700)
Tabel Lampiran 6. Sidik Ragam Panjang Daun Terpanjang N.mirabilis SK
db
BAP 3 NAA 3 BAP*NAA 9 Galat 144 Total Koreksi 159 Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5) ** : Sangat nyata pada uji F 5%
F Hit
Pr > F
KK (%)
(19.06) (12.90) (2.74)
(0.0001)** (0.0001)** (0.0056)**
(29.330)
Tabel Lampiran 7. Sidik Ragam Panjang Akar Terpanjang N.mirabilis SK
db
BAP 3 NAA 3 BAP*NAA 9 Galat 144 Total Koreksi 159 Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5)
**
: Sangat nyata pada uji F 5%
F Hit (0.29) (26.25) (1.60)
Pr > F (0.8333) (0.0001)** (0.1214)
KK (%) (69.748)
54 Tabel Lampiran 8. Sidik Ragam Tinggi Tanaman N.mirabilis SK
db
F Hit
BAP 3 NAA 3 BAP*NAA 9 Galat 144 Total Koreksi 159 Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5)
**
(8.87) (4.25) (1.58)
Pr > F (0.0001)** (0.0066)** (0.1250)
KK (%) (23.019)
: Sangat nyata pada uji F 5%
Tabel Lampiran 9. Sidik Ragam Jumlah Tunas N.mirabilis pada 2-16 MST MST 2
3
4
5
SK
F Hit
Pr > F
KK (%)
3
(3.20)
(0.0252)*
(41.364)
NAA
3
(0.41)
(0.7433)
BAP*NAA
9
(2.86)
(0.0039)
BAP
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(7.84)
(0.0001)**
NAA
3
(1.58)
(0.196)
BAP*NAA
9
(0.47)
(0.8938)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(8.47)
(0.0001)**
NAA
3
(2.71)
(0.0474)*
BAP*NAA
9
(0.54)
(0.8421)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(12.37)
(0.0001)**
NAA
3
(3.56)
(0.016)*
9
(1.43)
(0.181)
BAP*NAA
6
db
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(12.31)
(0.0001)**
NAA
3
(2.90)
(0.0373) *
9
(1.03)
(0.4222)
BAP*NAA Galat
144
Total Koreksi
159
(36.250)
(30.991)
(24.577)
(24.835)
55 7
8
9
10
11
12
13
BAP
3
(12.87)
(0.0001)**
NAA
3
(3.09)
(0.0291)*
BAP*NAA
9
(0.91)
(0.5221)
3
(12.3)
(0.0001)**
NAA
3
(2.23)
(0.0876)
BAP*NAA
9
(2.23)
(0.0876)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(13.56)
(0.0001)**
NAA
3
(1.23)
(0.3024)
BAP*NAA
9
(1.11)
(0.3568)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(13.62)
(0.0001)**
NAA
3
(1.26)
(0.2902)
BAP*NAA
9
(1.17)
(0.3156)
3
(13.69)
(0.0001)**
NAA
3
(1.15)
(0.3324)
BAP*NAA
9
(1.04)
(0.4111)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(12.85)
(0.0001)**
NAA
3
(0.77)
(0.5123)
BAP*NAA
9
(1.01)
(0.4376)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(13.44)
(0.0001)**
NAA
3
(0.58)
(0.6315)
9
(1.59)
(0.1233)
3
(11.29)
(0.0001)**
NAA
3
(0.77)
(0.5131)
BAP*NAA
9
(0.96)
(0.4731)
BAP*NAA
14
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
Galat
144
Total Koreksi
159
(24.173)
(24.481)
(24.246)
(24.095)
(24.102)
(24.388)
(23.654)
(24.526)
56 15
16
BAP
3
(11.29)
(0.0001)**
NAA
3
(0.77)
(0.5131)
BAP*NAA
9
(0.96)
(0.4731)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(11.29)
(0.0001)**
NAA
3
(0.77)
(0.5131)
9
(0.96)
(0.4731)
BAP*NAA Galat
(24.526)
(24.526)
144
Total Koreksi 159 Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5) * : Nyata pada uji F 5% ** : Sangat nyata pada uji F 5%
Tabel Lampiran 10. Sidik Ragam Jumlah Daun N.mirabilis pada 3-16 MST MST 3
4
SK
6
F Hit
Pr > F
BAP
3
(3.28)
(0.023)*
NAA
3
(2.15)
(0.096)
BAP*NAA
9
(1.35)
(0.219)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(6.78)
(0.0003)**
NAA
3
(5.95)
(0.0007)**
9
(3.03)
(0.0024)**
3
(11.6)
(0.0001)**
NAA
3
(6.90)
(0.0002)**
BAP*NAA
9
(1.46)
(0.1665)
BAP*NAA
5
db
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(13.75)
(0.0001)**
NAA
3
(4.40)
(0.0054)**
BAP*NAA
9
(1.40)
(0.1935)
Galat
144
Total Koreksi
159
KK (%) (40.878)
(46.330)
(41.080)
(38.987)
57 7
8
9
10
BAP
3
(15.79)
NAA
3
(4.67)
(0.0038)**
BAP*NAA
9
(1.18)
(0.3150)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(17.73)
(0.0001)**
NAA
3
(4.08)
(0.0081)**
BAP*NAA
9
(1.10)
(0.3698)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(18.18)
(0.0001)**
NAA
3
(3.47)
(0.0178)*
BAP*NAA
9
(0.94)
(0.4899)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(18.71)
(0.0001)**
NAA
3
(3.30)
(0.0223)*
9
(0.94)
(0.4886)
BAP*NAA
11
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(16.84)
(0.0001)**
NAA
3
(3.14)
(0.0273)*
9
(0.87)
(0.5509)
3
(17.67)
(0.0001)**
NAA
3
(2.96)
(0.0342)*
BAP*NAA
9
(0.85)
(0.5727)
BAP*NAA
12
13
14
(0.0001)**
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(17.19)
(0.0001)**
NAA
3
(2.93)
(0.0356)*
BAP*NAA
9
(0.81)
(0.6060)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(17.37)
(0.0001)**
NAA
3
(2.72)
(0.0468)*
9
(0.83)
(0.5938)
BAP*NAA Galat
144
Total Koreksi
159
(37.230)
(33.632)
(32.548)
(31.522)
(30.863)
(30.109)
(29.235)
(28.204)
58 15
16
BAP
3
(17.12)
(0.0001)**
NAA
3
(2.64)
(0.0518)
BAP*NAA
9
(0.75)
(0.6662)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(17.41)
(0.0001)**
NAA
3
(3.24)
(0.0240)*
BAP*NAA
9
(0.70)
(0.7110)
Galat
144
Total Koreksi
159
(27.896)
(27.377)
Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5) * : Nyata pada uji F 5% ** : Sangat nyata pada uji F 5%
Tabel Lampiran 11. Sidik Ragam Jumlah Kantong N.mirabilis pada 5-16 MST MST 5
6
7
8
SK
F Hit
Pr > F
KK (%)
3
(2.85)
(0.0001)**
(36.333)
NAA
3
(2.85)
(0.0397)*
BAP*NAA
9
(1.37)
(0.2092)
BAP
db
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(10.07)
(0.0001)**
NAA
3
(1.58)
(0.1973)
BAP*NAA
9
(1.60)
(0.1217)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(11.65)
(0.0001)**
NAA
3
(1.77)
(0.1557)
BAP*NAA
9
(1.42)
(0.1855)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(11.92)
(0.0001)**
NAA
3
(2.17)
(0.0937)
BAP*NAA
9
(1.19)
(0.3069)
Galat
144
Total Koreksi
159
(41.120)
(47.969)
(53.043)
59 9
10
11
12
BAP
3
(11.50)
(0.0001)**
NAA
3
(1.83)
(0.1447)
BAP*NAA
9
(1.13)
(0.3422)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(13.30)
(0.0001)**
NAA
3
(1.96)
(0.1221)
BAP*NAA
9
(1.00)
(0.4431)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(13.30)
(0.0001)**
NAA
3
(1.97)
(0.1210)
BAP*NAA
9
(1.03)
(0.4176)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(14.65)
(0.0001)**
NAA
3
(1.98)
(0.1194)
9
(1.03)
(0.4197)
BAP*NAA
13
14
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(14.77)
(0.0001)**
NAA
3
(2.20)
(0.0908)
BAP*NAA
9
(1.01)
(0.4336)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(14.99)
(0.0001)**
NAA
3
(2.02)
(0.1144)
9
(0.86)
(0.5622)
BAP*NAA
15
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(16.08)
(0.0001)**
NAA
3
(1.75)
(0.1600)
9
(0.99)
(0.4536)
3
(17.46)
(0.0001)**
NAA
3
(2.50)
(0.0617)
BAP*NAA
9
(0.95)
(0.4865)
BAP*NAA
16
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
Galat
144
Total Koreksi
159
(52.638)
(49.467)
(47.144)
(44.298)
(41.373)
(39.314)
(36.319)
(34.271)
60 Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5) * : Nyata pada uji F 5% ** : Sangat nyata pada uji F 5%
Tabel Lampiran 12. Sidik Ragam Jumlah Akar N.mirabilis pada 6-16 MST MST 6
SK
db
F Hit
Pr > F
KK (%)
BAP
3
(1.00)
(0.3948)
(18.053)
NAA
3
(1.00)
(0.3948)
9
(1.00)
(0.4429)
(0.71)
(0.5461)
BAP*NAA
7
8
9
10
11
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
NAA
3
(0.71)
(0.5461)
BAP*NAA
9
(1.10)
(0.3695)
(0.72)
(0.5438)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
NAA
3
(0.72)
(0.5438)
BAP*NAA
9
(1.09)
(0.3704)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(0.58)
(0.6284)
NAA
3
(1.70)
(0.1706)
BAP*NAA
9
(1.48)
(0.1608)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(0.19)
(0.9019)
NAA
3
(6.97)
(0.0002)**
BAP*NAA
9
(0.42)
(0.9206)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(0.46)
(0.7093)
NAA
3
(11.38)
(0.0001)**
BAP*NAA
9
(0.43)
(0.9194)
Galat
144
Total Koreksi
159
(25.456)
(31.343)
(39.270)
(53.709)
(58.380)
61 12
13
14
15
16
BAP
3
(0.32)
(0.8144)
NAA
3
(14.67)
(0.0001)**
BAP*NAA
9
(0.43)
(0.9196)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(0.47)
(0.7064)
NAA
3
(17.58)
(0.0001)**
BAP*NAA
9
(0.37)
(0.9491)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(0.64)
(0.6908)
NAA
3
(24.08)
(0.0001)**
BAP*NAA
9
(0.25)
(0.9865)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(0.76)
(0.5171)
NAA
3
(25.34)
(0.0001)**
BAP*NAA
9
(0.22)
(0.9905)
Galat
144
Total Koreksi
159
BAP
3
(0.67)
(0.5707)
NAA
3
(25.60)
(0.0001)**
BAP*NAA
9
(0.20)
(0.9935)
Galat Total Koreksi Keterangan: BAP : Konsentrasi BAP NAA : Konsentrasi NAA KK : Koefisien Keragaman (…) : Hasil Transformasi √(x+0.5) * : Nyata pada uji F 5% ** : Sangat nyata pada uji F 5%
144 159
(62.944)
(63.197)
(62.023)
(64.321)
(65.416)