Pertumbuhan Biji Dendrobium taurulinum secara in vitro Pengaruh Penambahan Kombinasi Konsentrasi ZPT NAA dan BAP terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Biji Dendrobium Taurulinum J.J Smith Secara In Vitro AISYA INTAN PARAMARTHA Program Studi Biologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Jl. Raya ITS, Sukolilo-Surabaya 10111 Email :
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP yang efektif untuk perkembangan biji D. taurulinum secara in vitro. Kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA yang dipakai adalah (0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5 mg/L) dan BAP (0,1; 0,3; 0,5 mg/L) dengan perlakuan tanpa penambahan Zat Pengatur Tumbuh sebagai kontrol. Penelitian menunjukkan bahwa setelah 5 bulan inokulasi hasil terbaik ditunjukkan pada medium tanpa penambahan ZPT dengan 100% biji berkembang menjadi planlet. Pada penambahan berbagai kombinasi Zat Pengatur Tumbuh didapatkan hasil dominasi pertumbuhan hanya mampu membentuk protocorm. Hal ini membuktikan bahwa suatu organ dan jaringan tumbuhan mengandung hormon endogen yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organ atau jaringan tersebut hingga tahapan yang paling sempurna walaupun tidak ditambahkan zat pengatur tumbuh dari luar. Kata Kunci: BAP, In Vitro, NAA, pertumbuhan biji D. taurulinum, Zat Pengatur Tumbuh. Abstract This study aims to determine the effect of combinations of plant growth regulators concentrations of NAA and BAP is effective for the development of seeds D. taurulinum in vitro. The combination of plant growth regulators NAA concentration used was (0.1: 0.2: 0.3: 0.4, 0.5 mg / L) and BAP (0.1; 0.3, 0.5 mg / L ) with the treatment without the addition of plant growth regulators as a control. Research shows that after 5 months of inoculation of the best results are shown in medium without addition of NAA and BAP with 100% seed develop into plantlets. On the addition of various combinations of plant growth regulators dominance results obtained are only able to form protocorm growth. This proves that the organs and tissues of plants contain endogenous hormones that may affect the growth and development of the organ or tissue is to stage the most perfect, although not added plant growth regulators from the outside. Key words: Plant Growth Regulator, NAA, BAP, Development of D.taurulinum seed, In Vitro
PENDAHULUAN Anggrek Dendrobium taurulinum hanya terdapat di pulau Seram, provinsi Maluku, dan distribusinya terbatas di Seram bagian utara dan tengah. Hal ini terutama disebabkan oleh isolasi dari pegunungan dan bentuk wilayah yang merupakan pulau. Habitat dominan dari D. taurulinum adalah di dataran rendah dan banyak ditemukan tumbuh di pohon tepi laut . Dalam setahun, anggrek ini berbunga pada bulan September-Oktober (Cribb, 1986). Berdasarkan daftar spesies prioritas konservasi hasil workshop di Kebun Raya Bogor pada tanggal 2-3 juni 2009 (Risna et al, 2010) D. taurulinum merupakan jenis anggrek alam asli Indonesia yang terancam punah. (Yulia dan Nur, 2008) menyebutkan bahwa penyebab terancamnya jenis anggrek alam dikarenakan para kolektor dan pebisnis tanaman hias banyak
yang melakukan pengambilan anggrek alam langsung dari habitat aslinya. Penyebab lain kepunahan anggrek alam disebabkan oleh kerusakan habitat karena pembakaran hutan, penebangan liar, bencana alam dan alih fungsi hutan menjadi pemukiman. D. taurulinum termasuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan dikarenakan bijinya tidak memiliki endosperm sehingga sulit tumbuh di alam. Biji ini hanya akan dapat tumbuh apabila bersimbiosis dengan jamur (mikoriza) yang sesuai (Arditti & Earnst, 1993). Upaya konservasi perlu dilakukan untuk menyelamatkan anggrek langka ini dari kepunahan. Salah satu upaya konservasi anggrek ini adalah dengan perbanyakan anggrek melalui kultur biji. Dalam proses kultur biji secara in vitro, biji ditabur pada media agar dalam kondisi aseptis dengan penambahan berbagai jenis zat
Pertumbuhan Biji Dendrobium taurulinum secara in vitro pengatur tumbuh untuk memacu perkecambahan dan pertumbuhannya (Bey, 2006). Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan pada awal kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin. Auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang berfungsi untuk menginisiasi pemanjangan dan pembesaran sel (Salisburry&Ross, 1995). Salah satu golongan auksin yang paling banyak digunakan pada teknik kultur in vitro adalah Naphthalene Acetic Acid (NAA). NAA merupakan zat pengatur tumbuh sintetik yang mempunyai sifat lebih stabil dan tidak mudah terurai oleh enzim yang dikeluarkan sel atau pemanasan pada proses sterilisasi dibandingkan golongan auksin lainnya (Hendaryono 1994). Zat pengatur tumbuh lain yang digunakan adalah sitokinin. Sitokinin berfungsi untuk meregulasi pembelahan sel, memacu morfogenesis, perkembangan kloroplas, menginduksi embriogenesis, dan organogenesis (Salisburry, 1995). Golongan sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur in vitro adalah kinetin, BA, zeatin dan BAP. Penggunaan BAP sering digunakan karena bersifat tahan terhadap degradasi dan harganya lebih murah (Zulkarnain, 2009). Penambahan 0,4 mg/L NAA dan 0,1 mg/L BAP menunjukkan pertumbuhan tertinggi pada perkecambahan biji dendrobium capra (Kurnianti, 2012) sedangkan 0,1 mg l-1 NAA atau 0,5 mg l-1 BA efektif untuk meningkatkan tingkat perkecambahan biji Calanthe hybrid oleh Shin YK. et al. (2011). Penggunaan kombinasi NAA dan BAP dengan konsentrasi baik untuk perkecambahan biji Dendrobium sp. secara in vitro oleh Luan V.Q., et al (2006) adalah NAA 1 mg.L-1 dan BAP 0,5 mg.L-1. Pada spesies Vanda coerulea yang ditanam pada medium Phytamax dengan kombinas NAA 5,36µM dan 3,80µM menginduksi protokorm paling tinggi (Roy A.R., et al, 2011). Protokorm adalah bentukan bulat padat berwarna hijau yang siap membentuk pucuk dan akar sebagai awal perkecambahan pada biji yang tidak mempunyai endosperm (Bey, 2006). Struktur ini adalah struktur yang paling awal terbentuk selama perkembangan biji (Ishii et al, 1998). Setelah protocorm terbentuk maka tahap selanjutnya adalah pembentukan daun dan akar yang kemudian akan menjadi planlet. Proses ini terbagi dalam 5 fase, fase 0: biji belum belum berkecambah, fase 1: biji berkembang menjadi protokorm, fase 2: protokorm dengan primordia daun, fase 3: prokorm dengan daun dan akar pertama, fase 4: protokorm dengan beberapa daun dan akar, fase 5: planlet (Nurfadilah,
2011). Perkembangan biji menjadi planlet berlangsung selama 18 minggu (Johnson, 2007) Penelitian mengenai perkembangan protokorm telah banyak dilakukan, namun informasi mengenai perkembangan dan penambahan konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam medium yang menggunakan eksplan dari spesies anggrek langka masih kurang. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui pengaruh kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji D. Taurulinum. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Eksplan biji Dendrobium taurulinum diperoleh dari Green house Dede Orchid yang berlokasi di Batu, Malang. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2012 di laboratorium Kultur Jaringan Kebun Raya Purwodadi - LIPI. Cara Kerja Tahap Persiapan a. Sterilisasi Ruang Laminair Air Flow (LAF) disterilisasi dengan menggunakan handsprayer berisi alkohol 70%. Alat – alat yang dibutuhkan dalam inokulasi eksplan disemprot dengan alkohol 70% dan dimasukkan ke dalam LAF. Kemudian lampu ultraviolet (UV) dinyalakan selama 1 jam. Saat akan digunakan lampu UV dimatikan, lampu neon dan kipas dinyalakan (Zulkarnain, 2009 dalam Desriatin (2010)). b. Sterilisasi Alat
Dilakukan sterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121oC tekanan 1,5 atm selama 20 menit (Nugroho, 2004), setelah itu semua alat dan bahan di masukkan ke Laminair Air Flow (LAF) yang sudah disemprot dengan alkohol 70% c.
Sterilisasi Media Media yang digunakan adalah media Murashige and Skoog atau MS (lampiran 1) di masukkan ke dalam botol kultur dan disterilisasi dengan autoklaf dengan suhu 1210C selama 15 menit (Hendaryono dan Wijayani, 1994). d. Sterilisasi Biji D. taurulinum Biji yang akan digunakan sebagai bahan tanam dalam penelitian adalah biji yang telah masak (umur + 2,5 bulan setelah penyerbukan (hand pollination)). Biji diletakkan di kertas saring kemudian dilipat dan ditutup rapat (menggunakan stapler). Setelah itu dimasukkan ke dalam larutan Bayclin 10% selama 30 menit dan dibilas dengan aquades steril sebanyak 3 kali masing – masing selama 10 menit. Setelah
Pertumbuhan Biji Dendrobium taurulinum secara in vitro itu, kertas saring yang berisi biji diambil menggunakan pinset steril kemudian dipindah di atas Petri dish. Kertas saring dibuka menggunakan gunting dan pinset dan biji di dalam kertas saring siap untuk diinokulasi (McKendrick, 2000). Pembuatan Media a. Pembuatan Larutan Stok Zat Pengatur Tumbuh NAA dan BAP Pembuatan larutan stok NAA (MERCK) 50 ppm dilakukan dengan penimbangan bahan sebanyak 5 mg. padatan NAA dilarutkan dengan KOH 1 N sambil di aduk sampai larut lalu ditambahkan 50 ml aquades steril ke dalam erlenmeyer 100 ml (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Setelah larutan homogen, larutan ditambahkan aquades kembali hingga volumenya mencapai 100 ml. Pembuatan larutan stok BAP 50 ppm yaitu bahan ditimbang sebanyak 5 mg dan ditambahkan HCl 1 N lalu 50 ml aquades steril ke dalam erlenmeyer 100 ml. setelah bahan larut (homogen) larutan ditambahkan aquades steril sampai 100 ml. Stok zat pengatur tumbuh disimpan dalam erlenmeyer 100 ml dan permukaan botol ditutup dengan alumunium foil serta diberi label. Semua larutan stok ZPT disimpan dalam lemari pendingin. Penghitungan volume larutan stok zat pengatur tumbuh yang dicari menggunakan rumus di bawah ini :
V1.M1 = V2.M2 (Hendaryono dan Wijayani (1994) dalam Desriatin (2010)) Keterangan : V1 = volume larutan stok yang dicari M1 = konsentrasi larutan stok yang tersedia V2 = volume larutan stok yang akan dibuat M2 = konsentrasi larutan stok yang akan dibuat b. Pembuatan Larutan Stok Mikro Bahan penyusun unsur mikro ditimbang satu persatu dengan 1000 kali konsentrasi, yaitu MnSO 4 . 7 H 2 O (22,3 g/l), ZnSO4.7H2O (8,6 g/l), H 3 BO 3 (6,2 g/l), KI (0,83 g/l), CuSO4.H2O (0,025 g/l), Na2MoO4.2H2O (0,25 g/l), CoCl2.6H2O (0,025 g/l). Masing – masing padatan dilarutkan dalam aquades secara terpisah. Setelah padatan larut, larutan disatukan dalam Erlenmeyer kemudian ditambahkan aquades hingga mencapai tanda batas cekungan dibagian leher Erlenmeyer. Larutan dikocok dan dipindahkan pada botol dengan label Stok
Mikronutrien. Setelah itu, larutan stok disimpan dalam lemari es. c. Pembuatan Larutan Stok FeSO 4 . 7 H 2 O dan Na 2 EDTA Padatan FeSO 4 . 7 H 2 O ditimbang sebanyak 2,78 g/l kemudian dilarutkan dalam aquades sedikit demi sedikit. Setelah padatan larut, larutan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dengan ukuran 1000 mL. larutan ditambah aquades hingga mecapai batas 1 L dalam Erlenmeyer. Larutan dikocok lalu dipindah dalam botol dengan di beri label stok FeSO 4 . 7 H 2 O dan dismpan dalam lemari es. Pembuatan larutan stok Na 2 EDTA dilakukan dengan menimbang padatan Na 2 EDTA ditimbang sebanyak 3,73 g/l kemudian dilarutkan dalam aquades sedikit demi sedikit. Setelah padatan larut, larutan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dengan ukuran 1000 mL. larutan ditambah aquades hingga mecapai batas 1 L dalam Erlenmeyer. Larutan dikocok lalu dipindah dalam botol dengan di beri label stok Na 2 EDTA dan dismpan dalam lemari es. d. Pembuatan Media Kultur (1/ 2 MS) Unsur makro ditimbang dan dilarutkan menggunakan aquades. Unsur makro, larutan stok, sukrosa, agar, air kelapa dan zat pengatur tumbuh dituang kedalam gelas Beaker. Kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh ditambahkan ke dalam gelas Beaker sesuai perlakuan (Tabel 3.1). Larutan media ditambah aquades hingga mencapai volume 1L. pH diset 5,8 dengan penambahan NaOH atau HCl. Media dipanaskan di atas api dan diaduk hingga homogen dan mendidih. Media dituang kedalam tabung sterilisasi. Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121oC dan tekanan 1,5 atm selama 30 menit. Setelah suhu autoklaf turun, media dikeluarkan dan dituang pada Petri dish diruang Laminar Air Flow. e. Inokulasi Eksplan Jarum oose disterilisasi dengan teknik pembakaran yaitu dilewatkan diatas api bunsen dan didinginkan pada kertas saring yang steril. Biji anggrek diambil dengan jarum Oose dan disebar pada permukaan medium dalam Petri dish. Petri dish ditutup kemudian dililitkan parafilm pada bagian tepinya. Media yang berisi biji diinkubasi di rak kultur dan diberi penyinaran 16 jam photoperiod suhu 25oC.
Pertumbuhan Biji Dendrobium taurulinum secara in vitro f. Rancangan Penelitian dan Hipotesis Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial dengan faktor kombinasi NAA dan BAP. Masing – masing perlakuan dilakukan 3 kali ulangan. Tabel rancangan penelitian ditunjukkan sebagai berikut: Tabel 1 Kombinasi konsentrasi NAA dan BAP
•
Kontrol (Tanpa Perlakuan NAA dan BAP)
•
Tidak ada Perlakuan NAA dan BAP
g. Uji Kuantitatif Persentase biji yang menggunakan rumus:
tumbuh
dihitung
% pertumbuhan biji = jumlah biji yang membentuk protocorm Jumlah biji yang ditabur
X 100%
(Hossain, 2010) Jumlah biji yang tumbuh pada tiap fase dihitung menggunakan ”hand tally counter” kemudian data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Uji Kualitatif Beberapa tahapan (fase) pertumbuhan biji anggrek adalah sebagai berikut Fase 0: biji yang belum berkembang Fase 1: biji berkembang membentuk protokorm Fase 2: protokorm dengan primordia daun Fase 3:protokorm dengan daun pertama dan munculnya akar Fase 4: protokorm dengan beberapa daun dan akar Fase 5 : planlet (Nurfadilah, 2011) HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan adalah peningkatan permanen ukuran organisme atau bagiannya yang merupakan hasil dari peningkatan jumlah dan ukuran sel. Selain pertumbuhan, tanaman juga mengalami perkembangan dalam siklus hidupnya. Perkembangan sendiri merupakan koordinasi pertumbuhan dan diferensiasi dari suatu sel tunggal menjadi jaringan, organ, dan organisme seutuhnya. Pada teknik kultur jaringan, pertumbuhan dan perkembangan sel ditandai dengan perubahan eksplan menjadi suatu massa parenkematis yang terus-menerus
tumbuh hingga akhirnya membentuk organorgan dan individu tanaman baru. Respon pertumbuhan Dendrobiuum taurulinum yang ditanam pada medium MS dengan penambahan variasi kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP diukur melalui persentase pertumbuhan biji selama 5 bulan dengan perlakuan penambahan kombinasi konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA (0.1; 0.2; 0.3;0.4; dan 0.5 ppm) dan BAP (0.1; 0.3; dan 0.5 ppm). Persentase pertumbuhan biji Anggrek Dendrobium taurulinum disajikan dalam grafik pada gambar 5. Nurfadilah (2011) mengemukakan bahwa pada saat berkembang biji anggrek mengalami 5 fase. Fase 0 (nol) merupakan fase awal dimana biji belum terlihat berkecambah. Selanjutnya fase 1 yaitu tahapan dimana biji membentuk protokorm. Protokorm adalah tahap awal perkecambahan biji anggrek yang merupakan massa sel yang diproduksi ketika biji berkecambah . Setelah fase 1, biji akan mengalami fase 2 yang ditandai dengan membesarnya protokorm dan terbentuknya primordia daun. Kemudian biji akan mengalami fase 3 dimana protokorm mulai membentuk daun dan akar yang pertama. Selanjutnya akan tumbuh beberapa helaian daun-daun kecil beserta akar yang menandakan pertumbuhan biji berada pada fase 4. Tahapan perkembangan yang terakhir adalah terbentuknya tanamana kecil atau planlet yang merupakan fase 5 sekaligus fase tahapan terakhir dari pertumbuhan dan perkembangan awal biji anggrek. Berikut adalah tabel pertumbuhan dan perkembangan biji Dendrobium taurulinum setelah 5 bulan inokulasi Pertumbuhan tanaman termasuk pada biji anggrek Dendrobium taurulinum yang digunakan pada penelitian ini dipengaruhi oleh suatu senyawa pengatur tumbuh yang lebih dikenal sebagai zat pengatur tumbuh (ZPT). Menurut Santoso dan Nursandi (2002) zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik ataupun anorganik yang hanya dibutuhkan tanaman dalam konsentrasi yang sangat sedikit. Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan untuk menginduksi pertumbuhan pada teknik mikropropagasi adalah kombinasi golongan auksin dan sitokinin dimana pada penelitian ini jenis yang digunakan adalah NAA yang dikombinasikan dengan BAP.
Pertumbuhan Biji Dendrobium taurulinum secara in vitro
Gambar 1 Grafik Rerata Pertumbuhan dan Perkembangan Biji Anggrek Dendrobium taurulinum
Berdasarkan grafik pada gambar 1 terlihat bahwa pertumbuhan biji anggrek D.taurulinum hingga fase lima (5) hanya terjadi pada perlakuan kontrol. Biji D.taurulinum mengalami proses perkecambahan yang merupakan pertumbuhan awal dari suatu biji yang kemudian embrio di dalamnya membentuk individu baru. Biji merupakan organ tempat disintesisnya hormon giberelin dimana ketika biji anggrek mulai dikulturkan pada media yang kaya akan nutrisi, biji yang awalnya berada pada masa dorman mulai melakukan aktivitas metaboliknya. Aktivitas metabolisme biji dimulai ketika biji tersebut disterilisasi dengan aqudes. Perlakuan tersebut merupakan salah satu proses hidrasi jaringan biji yang kemudian mengaktifkan hormon giberelin. Aktifnya giberelin pada biji menyebabkan peningkatan aktivitas auksin dan sitokinin yang ada di dalam jaringan biji. Aktivitas tersebut merupakan pembelahan dan pembesaran sel (Salisbury 1995). Perkecambahan adalah proses pertumbuhan embrio dan komponen-komponen biji yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh secara normal menjadi tanaman baru. Saat jaringan mengalami hidrasi, giberelin (GA 3 ) yang ada di dalam jaringan aktif dimana aktivasi GA 3 tersebut menyebabkan jaringan mengeluarkan enzim hidrolitik. Selain itu, secara sinergis, pengaktifan GA 3 pada suatu jaringan juga diiringi oleh aktifnya auksin dan sitokinin. Hendaryono (1994) mengemukakan bahwa keberadaan auksin pada sel menyebabkan semakin meningkatnya permeabilitas sel terhadap air sehingga tekanan dinding sel menurun dimana hal tersebut menyebabkan dinding sel melunak yang ditandai dengan pecahnya kulit biji sehingga air dapat masuk ke dalam sel yang menyebabkan bertambahnya volume sel. Trasnport auksin pada sel tanaman bersifat polar, yaitu dari atas ke bawah. Menurut hipotesis pertumbuhan asam, pompa proton
yang terletak di dalam membran plasma memiliki peranan penting dalam respon sel-sel tumbuhan terhadap keberadaan auksin. Saat auksin disintesis oleh sel, pH dinding sel menurun dimana pengasaman dinding sel ini mengaktifkan enzim ekspansin yang memecahkan ikatan hidrogen yang terdapat di antara mikrofibril selulosa sehingga melonggarkan serat-serat dinding sel. Dengan begitu air dari lingkungan dapat masuk ke dalam sel secara osmosis dan menyebabkan penambahan volume sel. Ketika sel mulai bervolume dinding sel akan mengaktifkan enzim extensin yang berfungsi untuk merekatkan kembali mikrofibril selulosanya, perlahan-lahan auksin akan mengalir melalui jaringan floem ke sel yang ada di bawahnya dan melakukan mekanisme yang sama dengan sel sebelumnya sehingga terjadilah pembesaran suatu jaringan (Campbell, 2002). Sementara itu, sitokinin memacu pembelahan sel biji dimana ketika rasio antara auksin dan sitokinin seimbang akan tumbuh selsel meristem yang terus membelah dan berkembang membentuk organ. Secara sinergis, meningkatnya konsentrasi auksin di dalam sel merupakan stimulus untuk aktivasi sitokinin. Aktifnya sitokinin diikuti dengan aktifnya enzim yang menaikkan laju sintesis protein yang merupakan protein pembangun sel sehingga terbentuklah sel-sel baru yang pada akhirnya terdiferensiasi menjadi organ tertentu. Salisburry (1992) menjelaskan bahwa selain berperan pada pembelahan sel, sitokinin sangat berpengaruh terhadap pembesaran kotiledon biji yang sedang berkecambah dimana pembesaran kotiledon tersebut dimulai dengan munculnya radikula yang ada di dalam embrio yang selanjutnya diikuti perkembangan tunas yang pada akhirnya menjadi kecambah atau hasil pertumbuhan dan perkembangan biji. Hoad (1995) menjelaskan bahwa transport auksin dan sitokinin di dalam jaringan dipengaruhi oleh keberadaan nutrisi yang ada di dalam jaringan itu sendiri. Lebih lanjut lagi dijelaskan mengenai Nutrive Diversion Theory; yaitu suatu jaringan tumbuhan yang memiliki konsentrasi hormon pertumbuhan yang tinggi merupakan tempat suplai utama suatu metabolit primer yang merupakan nutrisi-nutrisi untuk mekanisme pertumbuhan dan perkembangan. Karena itulah, perkecambahan pada biji terjadi sangat cepat walaupun tidak ditambahkan suatu senyawa regulator pertumbuhan. Walaupun tidak ditambahkan ZPT, perlakuan kontrol ini menghasilkan 100% fase 5 pada pertumbuhan
Pertumbuhan Biji Dendrobium taurulinum secara in vitro kecambahnya. Hal ini membuktikan bahwa suatu organ dan jaringan tumbuhan mengandung hormon endogen yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan org an atau jaringan tersebut hingga tahapan yang paling sempurna walaupun tidak ditambahkan zat pengatur tumbuh dari luar. Penambahan 0.1 ppm NAA dan 0.1 ppm BAP pada medium mengakibatkan biji didominasi oleh perkecambahan pada fase 1 yaitu sebesar 89.3% sedangkan beberapa diantaranya berkembang hingga fase 2 dan 3 secara berturut-turut sebesar 4 dan 5.33% serta hanya 1% yang mencapai fase 4. Pada perlakuan lainnya pun terlihat bahwa pertumbuhan biji didominasi oleh fase I yaitu mulai terbentuknya protokorm pada biji yang pada gambar 5 terlihat bahwa perlakuan 2 hingga 16 memiliki persentase secara berturut-turut yaitu 89.3% , 87.8% , 98.9%, 87.4% ,19.8% , 74.6%, 86.2%,92.3%, 100% , 100%, 69.7%, 82.9%, 60.2%, 59.4% dan 65%. Terbentuknya fase 1 serentak muncul 30 hari setelah inokulasi. Fase 1 merupakan tahapan awal bagi suatu perkecambahan biji anggrek yang dikulturkan secara in vitro. Pada fase ini biji mulai mengalami morfogenesis atau perubahan bentuk yaitu bentukan bulat padat berwarna hijau. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kombinasi penggunaan zat pengatur tumbuh (ZPT) auksin dan sitokinin mempengaruhi pertumbuhan eksplan. Jika rasio sitokinin dan auksin relatif seimbang maka eksplan akan membentuk massa sel yang bersifat meristematik dan terus melakukan pertumbuhan. Hal ini terjadi pada perlakuan 0.1 NAA/0.1 BAP, 0.2 NAA/0.1 BAP, 0.2 NAA/0.3BAP, 0.3 NAA/0.3 BAP, 0.4 NAA/ 0.3 NAA, 0.4 NAA/0.5 BAP dan 0.5 NAA/0.5 BAP dimana dominasi perkecambahan biji berada pada fase 1, yaitu berupa protokorm yang merupakan massa meristemasik. Penambahan auksin dengan konsentrasi tinggi mempunyai efek menghambat pertumbuhan jaringan yang disebabkan terdapat persaingan dengan auksin endogen untuk mendapatkan tempat kedudukan penerima sinyal membran sel sehingga penambahan auksin dari luar tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel (Gardner et al, 1991). Bey (2005) dalam Bey (2006) mengemukakan bahwa penambahan giberelin 2 ppm dapat meningkatkan pertumbuhan biji anggrek hingga muncul daun dan akar pertama dibandingkan penambahan auksin dan juga sitokinin. Selain itu diindikasikan pula bahwa konsentrasi sitokinin endogen lebih besar
dibandingkan konsentrasi auksin eksogen, dimana konsentrasi tersebut berkebalikan dengan konsentrasi auksin dan sitokinin eksogen yang pada akhirnya konsentrasi keduanya di dalam jaringan menjadi seimbang sehingga pertumbuhan biji yang terjadi adalah fase 1, hanya membentuk protokorm. Pada kombinasi zat pengatur tumbuh (ZPT) 0.1 NAA/0.5 BAP, 0.2 NAA/0.5 BAP, 0.3 NAA/0.5 BAP, serta 0.1 NAA/0.3 BAP didapatkan perkecambahan pada fase 1. Akter et all (2007) mengemukakan bahwa Anggrek Dendrobium yang dikulturkan pada medium dengan tambahan air kelapa yang sifatnya sama dengan sitokinin menghasilkan tunas yang lebih banyak daripada Anggrek Dendrobium yang dikulturkan pada medium dengan tambahan senyawa organik lainnya. Hasil yang berbeda dengan teori tersebut diindikasikan karena konsentrasi sitokinin yang ditambahkan serta sitokinin endogennya tidak cukup tinggi untuk menggiatkan perkembangan protokorm menjadi tunas (daun) sehingga aktivitas sel hanyalah pembelahan dan pembesaran tanpa adanya diferensiasi menjadi organ. Dari seluruh perlakuan dapat diketahui bahwa konbinasi zat pengatur tumbuh (ZPT) NAA dan BAP tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan biji Anggrek Dendrobium taurilinum karena tidak dihasilkan perkecambahan fase lima (5) yang merupakan planlet hasil kultur. Hal ini didukung dengan penelitian Hosain (2010) yang menggunakan biji anggrek Cymbidium giganteum Wall. ex Lindl. sebagai objek penelitiannya dengan pemberian perlakuan pengaruh media dan penambahan ZPT Auksin (2,4D) dan Sitokinin (BAP), diketahui bahwa penambahan auksin dan sitokinin tidak berpengaruh terhadap persentase perkecambahan. Perubahan bentuk suatu jaringan atau sel menjadi struktur yang memiliki fungsi tertentu disebut organogenesis. Organogenesis pada biji terjadi secara langsung yang lebih dikenal dengan istilah direct organogenesis. Organogenesis secara langsung tidak melalui fase kalus, organ-organ yang terbentuk pada umumnya adalah akar, batang dan daun, yang mana pada penelitian ini organogenesis secara lengkap terlihat pada kontrol, atau tanpa penambahan zat pengatur tumbuh.
Pertumbuhan Biji Dendrobium taurulinum secara in vitro pertumbuhan eksplan tersebut. Yelnitis (2001) menyatakan bahwa pemberian hormon secara eksogen akan mengubah level hormon endogen yang terdapat pada tanaman Jika hormon endogen telah mencukupi lalu eksplan dikulturkan pada medium yang ditambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT) maka proses fisiologis pertumbuhan eksplan akan terhambat dan bahkan dapat menyebabkan kematian eksplan.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengaruh kombinasi konsentrasi ZPT NAA dan BAP terhadap pertumbuhan biji D. capra J.J. Smith selama 4 MSI sebesar 3.75% -18,79%. 2. Berdasar hasil Anova bahwa penambahan kombinasi konsentrasi ZPT NAA dan BAP tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan biji D. capra J.J. Smith.. Gambar. 3. Perkembangan biji Dendrobium taurulinum sampai menjadi planlet. (a) fase 0: biji belum berkecambah; (b) fase 1; biji membentuk protokorm; (c) fase 2: protokorm dengan primordium daun; (d) fase 3: protokorm dengan daun dan akar pertama; (e) fase 4: protokorm dengan beberapa daun dan akar; (f) fase 5: planlet; (1) primordia daun; (2) daun pertama; (3) akar pertama
Tabel 3 Organogenesis Biji Dendrobium taurulinum pada Perlakuan Kontrol Parameter Pertumbuhan Nilai No Dan Perkembangan Biji rerata Menjadi Planlet 1 Jumlah Akar 1,8 2 Panjang Akar 0,3 cm 3 Jumlah Daun 4,5 4 Panjang Daun 0,8 cm 5 Tinggi Planlet 2,1 cm Organogenesis diawali dari peningkatan jumlah vakuola dan sebagian besar sel parenkim, kemudian mengalami inisiasi menjadi organ pada kondisi yang sesuai. P~ada penelitian ini, organogenesis hanya terjadi pada kontrol. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT) dapat meningkatkan organogenesis, namun Santoso dan Nursandi (2002) menyatakan bahwa tidak semua eksplan membutuhkan tambahan hormon eksogen karena di dalam jaringan eksplan tersebut telah memiliki hormon endogen yang cukup untuk menggiatkan
DAFTAR PUSTAKA Amilah dan Astuti Y. 2006. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Taoge Dan Kacang Hijau Pada Media Vacin And Went (Vw) Terhadap Pertumbuhan Kecambah Anggrek Bulan ( Phalaenopsis amabilis, L). Bulletin Penelitian No.09 Tahun 2006 Andaryani, S. 2010. Kajian Penggunaan Berbagai Konsentrasi BAP Dan 2,4-D Terhadap Induksi Kalus Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Secara In Vitro. Skripsi. Agronomi Fakultas Pertanian UNS : Surakarta Arditti, J., Ernst, R., 1993. Micropropagation of Orchids. John Wiley and sons, New York. Arditti, J. & Ghani, A.K.A. 1999 Numerical And Physical Properties Of Orchid Seeds And Their Biological Implications. Tansley Review No. 110. New Phytologist 145: 367–421. Badhra, S.K dan Hossain, M.M. 2003. In vitro Germination and Micropropagation of Geodorum densiflorum (Lam.) Schltr., an Endangered Orchid Species. Plant Tissue Cult. 13(2) : 165-171 Bey Y, Syafii W dan Sutrisna. 2006. Pengaruh Pemberian Giberelin (Ga3) Dan Air Kelapa Terhadap Perkecambahan Bahan Biji Anggrek Bulan (Phalaenopsis Amabilis Bl) Secara In Vitro. Jurnal Biogenesis Vol. 2(2):41-46. ISSN : 1829-5460. Comber, J. B. 1990. Orchids of Java. Kew England: Royal Botanic Gardens. D’Agostino, Ingrid B dan Kieber, Joseph J. 1999. Molecular Mechanisms Of Cytokinin Action. Department of Biological Sciences, Laboratory for Molecular Biology, University of Illinois USA; Current Opinion in Plant Biology 1999, 2:359– 364. Deb dan Temjensangba. 2006. Effect Of Different Factor On Non-symbiotic Seed Germination, Formation Of Protocorm Like Bodies And Planlet Morphology Of Cleisostoma racemiferum (Lindl.) Garay.
Pertumbuhan Biji Dendrobium taurulinum secara in vitro Departement Of Botany. Nagaland University: India. Indian Journal Of Biotechnology. Vol 5, pp 223228 Desriatin, N.L. 2010. Pengaruh Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh Iaa Dan Kinetin Terhadap Morfogenesis Pada Kultur In Vitro Tanaman Tembakau (Nicotiana Tabacum L. Var. Prancak-95). Skripsi. Biologi FMIPA ITS : Surabaya a, Daniela. 2008. Reproductive Biology And Asymbiotic Seed Germination Of Cyrtopodium punctatum, An Endangered Florida Orchid. Thesis. University Of Florida : Florida Dutta S. et al. 2011. In vitro multiplication and protocorm development of Dendrobium aphyllum (Roxb.) CEC Fisher. Assam University Journal of Science & Technology : Biological and Environmental Sciences. Vol. 7 Number I 57-62, 2011. ISSN 09752773. Gardner F.P. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta Hendaryono, D. P. 1994. Teknik Kultur Jaringan (Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif-Modern). Kanisius : Yogyakarta Hendaryono, D. P. 2000. Pembibitan Anggrek dalam Botol. Kanisius : Yogyakarta Hendriyani, E. 2007. Uji Media Pada Perkecambahan Biji Anggrek Phapiopedilum javanicum (Reinw. ex Lindl.) Pfitzer. Secara In Vitro. UPT. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ‘ Eka Karya’ Bali-LIPI : Bali Hossain M.M. et al. 2010. Seed germination and tissue culture of Cymbidium giganteum Wall. ex Lindl. Scientia Horticulturae 123 (2010) 479–48. Karjadi, A.K. dan Buchory A. 2008. Pengaruh Auksin dan Sitokinin terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Jaringan Meristem Kentang Kultivar Granola. Balai Penelitian Tanaman Sayuran : Bandung Kauth, Philip. 2005. In Vitro Seed Germination And Seedling Development Of Calopogon tuberosus And Sacoila lanceolata var. lanceolata: Two Florida Native Terrestrial Orchids. Thesis. University Of Florida. Florida Kong Q. et al. 2007. Micropropagation of an orchid Dendrobium strongylanthum Rchb.f. International Journal of Horticultural Science 2007, 13 (1): 61– 64. Agroinform Publishing House, Budapest, Printed in Hungary. ISSN 1585-0404 Luan V.Q. et al. 2006. In Vitro Germination Capacity And Plant Recovery Of Some Native And Rare Orchids. Nong Lam University Ho Chi Minh City. Vietnam. Proceedings of International Workshop on Biotechnology in Agriculture Lo et al. 2004. Asymbiotic Germination Of Immature Seeds, Plantlet Development And Ex Vitro Establishment Of Plants Of Dendrobium tosaense Makino – A Medicinally Important Orchid. In Vitro Cell. Dev. Biol.—Plant 40:528–535 DOI: 10.1079/IVP2004571. Society for In Vitro Biology Manning, J.C. and J. van Staden. 1987. The development and mobilization of seed reserves in some African orchids. Australian Journey of Botany McKendrick, Sheena. 2000. In vitro germination of orchids : a manual. Copyright Ceiba Foundation for Tropical Conservation Miryam A., Suliansyah I., dan Amril D. 2006. Multiplikasi Jeruk Kacang (Citrus nobilis L.) Pada Beberapa Konsentrasi NAA DAN BAP Pada Media Wpm
Secara In Vitro. Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Andalas. Padang. ISSN 1979-0228 Mulyani. 2006. Anatomi Tumbuhan. Kanisius : Yogyakarta Nasiruddin, K.M, Begum R. dan S. Yasmin. 2003.Protocorm Like Bodies and Planlet Regeneration from Dendrobium formosum Leaf Callus. Asian Journal of Plant Sciences 2 (13):955957. ISSN 1682-3974. Nurfadilah, Siti. 2011. The Effect of light on the germination and the growth of the seeds of Dendrobium spectabile Bl (Orchidaceae) in vitro. Prosiding Makalah Seminar Kebun Raya Cibodas-LIPI Pedroza-Manrique J. dan Gutie´ rrez Y.M, 2006. Asymbiotic Germination Of Odontoglossum Gloriosum Rchb.F. (Orchidaceae) Under In Vitro Conditions. In Vitro Cell. Dev. Biol.—Plant 42:543–547. Pedroza-Manrique, J., Fernandez-Lizarazo, C., SuarezSilva, A. 2005. Evaluation of the effect of three growth regulators in the germination of Comparettia falcata seeds under in vitro conditions. In Vitro Cell. Dev. Biol. – Plant 44, 838–843. Ramsay M. Margaret dan Dixon W. K. 2003. Propagation Science, Recovery, And Translocation Of Terrestrial. Copyright Of Orchid Conservation. Rännbäck, Linda-Marie. 2007. Propagation, cultivation and breeding of terrestrial temperate orchids, with focus on Cypripedium spp. Bachelor project. DanishSwedish Horticulture programme. SLU. Alnarp Risna R.A, et al. 2010. Spesies Prioritas Untuk Konservasi Tumbuhan Indonesia. Seri I. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI. Roy, et al. 2011. Asymbiotic seed germination, mass propagation and seedling development of Vanda coerulea Griff ex.Lindl. (Blue Vanda): An in vitro protocol for an endangered orchid. Division of Horticulture, I.C.A.R. Research Complex for NEH Region, Umiam, Meghalaya 793 103, India. Scientia Horticulturae 128 (2011) 325–331. Santoso dan Nursandi, Fatimah. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang Shin Y-K. et al. 2011. Effects of activated charcoal, plant growth regulators and ultrasonic pre-treatments on in vitro germination and protocorm formation of Calanthe hybrids. Australian Journal Of Crop Science. AJCS AJCS 5(5):582-588 (2011). ISSN:1835-2707 Stewart, S.L., Kane, M.K., 2006. A symbiotic seed germination and invitro seedling development of Habernaria macroceratitis (Orchidaceae) a rare Florida terrestrial orchid. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 86, 147–158. Sugiyanti, E. 2008. Pengaruh Kombinasi BAP (Benzil Amino Purine) Dan NAA (Naphtalene Acetic Acid) Terhadap Pertumbuhan Tunas Zodia (Euodia Suaveolens Scheff.) Secara In Vitro. Skripsi. Agronomi Fakultas Pertanian UNS : Surakarta Sungkumlong dan Deb. 2008. Effects Of Different Factors On Immature Embryo Culture, PLBs Differentiation And Rapid Mass Multiplication Of Coelogyne suaveolens (Lindl.) Hook. Indian Journal Of Experimental Biology. Vol. 46, pp. 243 – 248. Temjengsangba dan Deb, C. R. 2005. Regeneration And Mass Multiplication of Arachnis labrosa (Lind. Ex Paxt.) Reichb A rare And Threatened Orchid. Curr Science 88-1966
Pertumbuhan Biji Dendrobium taurulinum secara in vitro Thompson Dave I dan Edward T. J. 2006. Evaluating Asymbiotic Seed Culture Methods And Establishing Disa (Orchidaceae) Germinability In Vitro: Relationships, Requirements And First-Time Reports. Review Paper. Plant Growth Regul (2006) 49:269–284. DOI 10.1007/s10725-006-9137z. Vasudevan R. dan Staden J. V. 2010. In vitro asymbiotic seed germination and seedling growth of Ansellia africana Lindl. University of KwaZulu-Natal Pietermaritzburg. South Africa. Scientia Horticulturae 123 (2010) 496–504 Yulia, N. D. dan Ruseani S. Nur. 2008. Studi Habitat dan Inventarisasi Dendrobium capra J.J. Smith J.J. Smith di Kabupaten Madiun dan Bojonegoro. Biodiversitas Volume 9, Nomor 3 Halaman: 190-193.ISSN: 1412033X Yuliarti N.S. 2008. Pengaruh Konsentrasi Zat Pengatur Tumbuh BA dan NAA Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Protocorm Biji Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis L. (BI.)). Skripsi. UNAIR : Surabaya.