TAX EXPENDITURE: PENGENALAN KONSEP DAN PRAKTIK DI BEBERAPA NEGARA Zainul Arifin1 Pusat Kebijakan Pendapatan Negara A. Latar Belakang Pelaporan tax expenditure dalam kerangka anggaran pemerintah sekarang ini semakin terlihat di banyak negara. Negara anggota OECD telah mulai melaporkan tax expenditure dalam dokumen anggaran yang umumnya untuk keperluan transparansi dan pengambilan keputusan. Namun sayangnya, tax expenditure belum banyak dipahami oleh pemerintah maupun masyarakat. Di indonesia sendiri terminologi tax expenditure ini pun masih baru dan belum banyak mendengar terlebih memahaminya. Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya membangun pemahaman aparatur pemerintah dan masyarakat terhadap konsep dan praktik tax expenditure. B. Konsep Tax expenditure Konsep tax expenditure pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1960an dalam sistem pajak penghasilan federal. Dalam konsep ini disebutkan bahwa sistem pajak penghasilan federal terdiri atas dua bagian, yaitu bagian yang berisi ketentuan yang sifatnya struktural untuk wajib pajak individu maupun perusahaan dan bagian yang sifatnya tax expenditure sebagai program bantuan melalui ketentuan perpajakan khusus sebagai ganti atas bantuan langsung pemerintah (direct expenditures). Konsep tax expenditure ini dimaksudkan sebagai alat kontrol bagi Kongres terhadap belanja pemerintah federal. Disisi lain, tax expenditure ini mendapat kritikan karena dianggap tidak memenuhi rasa kesetaraan (equity)
dalam
perpajakan,
serta
mengesampingkan
asas
efisiensi
dan
kesederhanaan (simplicity). Tax expenditure semakin mendapat tempat dalam kerangka penganggaran pemerintah di banyak negara, terutama negara-negara yang tergabung dalam OECD. Menurut OECD, tax expenditure merupakan transfer sumber daya kepada publik yang dilakukan bukan dengan memberikan bantuan atau belanja langsung (direct transfer) namun melalui pengurangan kewajiban pajak dengan mengacu
1
Email:
[email protected] 1
pada standar perpajakan yang berlaku (tax benchmark). Namun demikian tidak semua negara mengikuti definisi OECD ini. Banyak negara merumuskan konsep dan definisi tax expenditure sesuai dengan kondisi di negaranya masing-masing, terutama berkaitan dengan tax benchmark yang dipakai. Tax benchmark itu sendiri secara umum dianggap sebagai ketentuan umum perpajakan yang telah berlaku di setiap negara. Akibatnya, muncul adanya perbedaan dari berbagai ketentuan dan elemen perpajakan perbedaan di setiap negara, seperti struktur tarif pajak, standar perhitungan, pengurangan atas pembayaran yang sifatnya wajib, dan ketentuan untuk memfasilitasi administrasi pajak. OECD memberikan guideline bahwa pengurangan kewajiban pajak dapat dikategorikan sebagai tax expenditure apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (i) akan berkontribusi dan memberi manfaat kepada sektor industri, aktifitas, atau kelompok pendapatan wajib pajak tertentu; (ii) harus mendukung suatu maksud yang jelas dan tujuan yang dapat dicapai lewat kebijakan publik lainnya; (iii) harus ada patokan umum yang memadai sebagai pembeda (tax benchmark) dari ketentuan khusus tersebut;(iv) perubahan ketentuan pajak dimungkinkan jika sewaktu-waktu ingin menghilangkan tax expenditure; (v) harus ada ketentuan lain dalam sistem pajak yang dapat mengimbangi dampak yang diperoleh dari tax expenditure. Tax expenditure diterapkan dengan tujuan yang belum tentu seragam di setiap negara. Namun demikian, secara umum terdapat beberapa kesamaan tujuan penerapan tax expenditure, yaitu untuk mencapai skala ekonomis dan menghemat biaya suatu program. Penghematan dan skala ekonomis didapat dari pemanfaatan sistem administrasi perpajakan yang sudah ada dibandingkan apabila program tersebut dijalankan sendiri yang tentu saja membutuhkan biaya penyelenggaraan administrasi program. Selain itu tax expenditure dianggap lebih simple dibandingkan dengan program bantuan langsung, misalnya cash transfer maupun subsidi belanja kepada kelompok tertentu karena tidak memerlukan pengajuan, pendataan ulang, atau verifikasi karena data dan administrasi perpajakan telah mengakomodasi hal ini. Saat ini dikenal tiga metode untuk mengukur besaran tax expenditure, yaitu revenue forgone method, final revenue loss method, dan outlay equivalent method. Revenue forgone method atau dikenal pula dengan initial revenue loss ini mengukur besaran tax expenditure dengan cara menghitung selisih penerimaan pajak akibat 2
adanya ketentuan tax expenditure, dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan perilaku wajib pajak dan penerimaan dari pajak lainnya. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana dan paling banyak dipakai di negara-negara berkembang maupun negara maju. Final revenue loss method mengukur besaran tax expenditure dengan cara menghitung selisih penerimaan pajak akibat adanya ketentuan tax expenditure dengan mempertimbangkan perubahan wajib pajak dan penerimaan dari pajak lainnya sebagai respon atas tax expenditure. Sedangkan outlay equivalent method dilakukan dengan cara menghitung besaran transfer dana kepada wajib pajak yang dibutuhkan apabila pemerintah hendak menanggung biaya tax expenditure wajib pajak. Pelaporan tax expenditure dimaksudkan untuk meningkatkan transparansi anggaran pemerintah. Secara umum, tax expenditure dilaporkan dalam dokumen anggaran sebagai lampiran atau off budget sehingga legislatif atau masyarakat dapat mengkritisi tax expenditure tersebut. Miranda Steward, seorang profesor di bidang perpajakan dari Australia, merumuskan bahwa informasi yang dimuat dalam laporan tax expenditure haruslah mencakup aspek berikut: (i)keandalan perhitungan dan kualitas data yang dipergunakan; (ii) sumber ketentuan tax expenditure baik yang berasal dari hukum pajak yang berlaku, praktik otoritas, maupun tax treaty; (iii) tipe tax expenditure (pengurangan, keringanan pajak, insentif, dan sebagainya); (iv) durasi berlakunya tax expenditure; (v) argumen kebijakan; (vi) implikasi terhadap distribusi pendapatan; (vii) informasi waktu terakhir penilaian atas tax expenditure yang bernilai besar atau utama; (viii) data antar waktu; (ix) pengelompokan berdasarkan sektor (kesehatan, tunjangan sosial, lingkungan dsb) baik secara terpisah atau aggregat. Laporan tax expenditure tersebut juga harus disajikan dalam tiap tingkatan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
C. Tax expenditure di Australia Tax expenditure merupakan hal yang relatif masih baru di Australia dan baru dipahami secara baik dalam 10-15 tahun terakhir oleh Australian Treasury. Namun demikian, aparatur pemerintahan selain Australian Treasury dan masyarakat secara umum masih belum memahami konsep tax expenditure ini secara baik. Di Australia, Tax expenditure didefinisikan sebagai “results from a provision of the tax law that causes a deviation from the standard tax treatment that would apply to an activity or class of taxpayer - that is, from the benchmark tax treatment”. Jadi, 3
tax expenditure merupakan pengurangan penerimaan pajak sebagai konsekuensi dari konsesi atas standar perpajakan yang berlaku (tax benchmark). Tax expenditure yang diterapkan di Australia secara umum dapat dikelompokkan ke dalam jenis-jenis berikut: o Pembebasan pajak (tax exemptions) : misalnya pembebasan pajak atas kelompok masyarakat berpenghasilan rendah tertentu, pembebasan pajak atas keuntungan penjualan rumah pribadi utama. o Penurunan/peningkatan tarif pajak atas kelompok atau sektor tertentu : misalnya pengenaan tarif pajak sebesar 10% atas pendapatan offshore banking unit (di australia berlaku flat tax rate sebesar 30% bagi perusahaan), pengenaan tarif pajak sebesar 15% untuk iuran pensiun pemberi kerja sampai dengan nominal tertentu, apabila melebihi nominal tersebut dikenakan tarif pajak sebesar 31,5%. o tax rebates: misalnya lembaga non-profit dan lembaga non-pemerintahan tertentu dapat memperoleh rebate hingga 48 persen atas pajak tunjangan (fringe benefit tax), licence fee rabate bagi stasiun televisi dalam periode tertentu. o Pengurangan pajak (tax deductions) : misalnya pemberian/hadiah kepada kelompok tertentu (deductible gift recipients) dan penyusutan yang dipercepat atas aset tertentu dapat dijadikan sebagai pengurang pajak o Penangguhan pajak : misalnya penangguhan pajak atas pendapatan dari penjualan
ternak
(livestock)
akibat
bencana
alam
atau
kekeringan,
penangguhan pajak atas replacement asset milik usaha kecil. Satu hal perlu dicatat dari tax expenditure di Australia, yaitu adanya negatif tax expenditure. Negatif tax expenditure ini berimplikasi pada penambahan penerimaan pajak. Negatif tax expenditure muncul sebagai konsekuensi dari tax benchmark yang dianut. Sebagai contoh, Australia menganut tax benchmark bahwa barang impor dibebaskan dari bea masuk (kecuali pengenaan bea masuk yang setara dengan pajak barang yang diproduksi dalam negeri), sehingga pengenaan bea masuk dianggap sebagai penyimpangan dari tax benchmark yang berimplikasi pada penambahan penerimaan negara. Tujuan utama pelaporan tax expenditure di Australia adalah untuk transparansi dan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Hal ini tercermin dalam tahapan yang dilakukan di Australia: 4
1. Setiap pengambilan kebijakan baru harus disertai dengan proposal yang didalamnya memuat analisa biaya, termasuk tax expenditure jika ada. 2. Melaporkan dampak terhadap tax expenditure atas keputusan yang diambil dalam budget secara eksplisit sehingga masyarakat Australia dapat mengkritisinya. 3. Melaporkan tax expenditure secara tahunan dalam Tax expenditure Statement (TES). Australian Tax expenditure Statement (TES) tidak memuat isu tentang kesetaraan (equity) dan efisiensi namun hanya berisi rincian jenis pajak dan perkiraan besaran nominal hingga empat tahun ke depan, yang selanjutnya akan di update setiap tahun. Isu kesetaraan ini sering mengemuka karena pemberian tax incentive seringkali dianggap tidak fair oleh kelompok tertentu karena merupakan produk dari political negotiation. Dalam TES 2013 terdapat 355 jenis Commonwealth tax expenditure yang hanya sekitar 57 persennya saja yang bisa dikuantifikasi, sedangkan sisanya sebesar 43 persen atau 154 jenis diungkapkan tanpa estimasi nominal karena keterbatasan data. Dalam setiap jenis tax expenditure dinyatakan tingkat reliabilitas estimasi dengan tingkatan yaitu very low, low, medium low, medium, medium high, dan high. Tingkatan ini menggambarkan derajad keyakinan estimasi besaran nominal setiap jenis tax expenditure. Estimasi besaran nominal tax expenditure tidak hanya dilakukan untuk tahun berjalan tetapi sampai dengan empat tahun ke depan. Penghitungan besaran nominal tax expenditure di Australia dilakukan melalui dua tahap; Pertama, mengidentifikasi potensi tax expenditure. Cara ini secara sederhana dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jenis-jenis tax expenditure yang terdapat dalam undang-undang pajak. Cara lain yang dianggap lebih kompleks yaitu dengan melakukan audit yang komprehensif; Kedua, memperkirakan besaran nominal tax expenditure. Dalam proses ini ketersediaan data menjadi faktor kunci reliabilitas estimasi. Australia menggunakan metode revenue forgone approach dalam menghitung besaran nominal tax expenditure, yaitu dengan menghitung selisih pajak yang diterima aktual dengan pajak yang akan diterima apabila tax expenditure dihapuskan. Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh negara-negara di dunia karena sifatnya yang sederhana. 5
Kekurangan dari metode ini adalah tidak memperhitungan respon perilaku akibat penghapusan tax expenditure. Data yang digunakan di Australia untuk penghitungan tax expenditure diperoleh dengan tiga metode yaitu aggregate modeling, distributional modeling dan microsimulation. Aggregate modeling digunakan pada saat dampak tax expenditure dapat direpresentasikan dalam persentase dari total transaksi. Misalnya, untuk penghitungan Australian fuel excise digunakan data volume produksi fuel. Distributional modeling digunakan apabila tax expenditure menimbulkan dampak yang berbeda bagi taxpayers. Misalnya, untuk penghitungan konsesi pajak bagi golongan ekonomi lemah atau kenaikan pajak bagi golongan ekonomi tinggi di Australia digunakan data survei. Terakhir, microsimulation digunakan apabila dampak tax expenditure ditujukan/ditargetkan kepada kelompok tertentu. Metode ini membutuhkan data yang komprehensif atau sampel yang reliable. Misalnya, Australia menggunakan data survei untuk penghitungan dependent spouse rebate bagi taxpayers yang memenuhi kriteria tertentu. Faktor kunci dalam menghitung tax expenditure adalah tax benchmark. Tax benchmark ini pula yang menjadi kriteria apakah suatu jenis pajak dapat digolongkan sebagai tax expenditure atau tidak. Australia memiliki beberapa tax benchmark diantaranya income tax benchmark, fringe benefit tax benchmark, dan capital gain tax benchmark. Prinsip utama dalam dalam penentuan tax benchmark adalah perlakuan pajak yang sama terhadap aktifitas atau wajib pajak yang sama. Namun demikian, tax benchmark dapat merepresentasikan struktur tertentu dalam sistem pajak seperti penerapan pajak progresif. Penentuan tax benchmark tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah judgement sehingga membuka ruang adanya perbedaan pandangan atas suatu kasus/kondisi.
D. Tax expenditure di Beberapa Negara Lainnya Secara umum konsep tax expenditure yang digunakan di banyak negara memiliki kesamaan, yaitu adanya ketentuan khusus yang menyimpang dari ketentuan pajak secara umum (tax benchmark). Namun demikian, terdapat perbedaan dalam menentukan apa yang menjadi tax benchmark. Perbedaan ini mengakibatkan kesulitan untuk membandingkan tax expenditure antar negara 6
secara apple to apple. Dari telaahan tax expenditure terhadap 10 negara, yaitu Amerika Serikat, Bangladesh, China, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Polandia, Perancis, dan Spanyol, hanya Jepang yang mendefinisikan tax expenditure dengan agak berbeda, yaitu tax expenditure adalah suatu special tax measures. Beberapa negara ternyata juga menambahkan tax expenditure dengan kriteria tertentu, seperti Bangladesh, China, dan Spanyol. Negara-negara ini menyatakan bahwa tax expenditure ditujukan untuk mendorong tabungan individu, mendorong investasi, serta memfasilitasi pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, Perancis justru mendefinisikan tax expenditure secara luas, yaitu segala ketentuan hukum pajak yang pelaksanaannya menyebabkan penerimaan yang lebih rendah bagi negara. Konsekuensinya, seluruh ketentuan yang menyebabkan penurunan penerimaan negara dianggap sebagai tax expenditure meskipun ada yang merupakan bagian struktural dari tax system seperti allowance untuk orang tua tunggal (single parent). Konsep tax benchmark ternyata juga didefinisikan secara berbeda antar negara. Polandia misalnya, mereka menggunakan konsep tax benchmark secara luas, yaitu ketentuan pajak secara umum. Sebaliknya, Kanada mendefinisikan tax benchmark secara detail, yaitu dengan mendefinisikan tax benchmark untuk pajak penghasilan sebagai sistem pajak penghasilan bagi badan usaha dan individu yang mencakup pula tarif pajak dan kelompok (tax brackets), subyek pajak, kerangka waktu, perlakuan inflasi pada perhitungan penghasilan, dan segala sesuatu yang diatur untuk mengurangi atau mengliminasi pemajakan berganda. Penggunaan definisi tax benchmark sebagaimana disebut diatas menimbulkan konsekuensi yang berbeda. Misalnya, dengan definisi secara luas maka ketentuan penghasilan tidak kena pajak dianggap merupakan tax expenditure, sedangkan berdasarkan definisi Kanada maka penghasilan tidak kena pajak tidak dianggap sebagai tax expenditure. Secara umum, tax expenditure diterapkan terhadap semua jenis pajak mulai dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, bea masuk, cukai dan pajak lainnya. Namun, menurut Darussalam dan Kristiaji, hanya Amerika Serikat saja yang mengkhususkan tax expenditure pada jenis pajak penghasilan dan tidak untuk jenis pajak lainnya. Selain itu Amerika Serikat bersama Korea Selatan dan Spanyol hanya 7
memperhitungkan tax expenditure yang dipungut oleh pemerintah pusat sedangkan negara-negara lain memasukkan tax expenditure yang dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Berkenaan dengan metode pengukuran, ternyata enam dari sepuluh negara tersebut di atas menggunakan revenue forgone method, yakni Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Kanada, Perancis, dan Spanyol. Adapun empat negara lainnya yakni Bangladesh, Korea Selatan, Polandia, dan China tidak memiliki metode pengukuran yang jelas. Persoalan ketersediaan data seringkali dianggap menjadi penyebab kegagalan melakukan estimasi tax expenditure. Dari sisi pelaporan, sebagian negara telah mempraktikan pelaporan tax expenditure kepada parleman dan publik. Misalnya, Korea Selatan telah menerbitkan Tax expenditure Budget Document setiap tahun sejak tahun 1999 dan Spanyol yang telah menerbitkan Budget on Tax expenditure yang bisa diakses publik sejak tahun 1996. Dokumen pelaporan tax expenditure ini umumnya disertakan dalam dokumen anggaran berupa lampiran. Namun disayangkan, hampir seluruh negara sebagaimana tersebut di atas belum memiliki mekanisme evaluasi tax expenditure untuk menilai seberapa efisien dan efektif tax expenditure diterapkan untuk mencapai tujuan suatu kebijakan. Sejauh ini, hanya evaluasi atas besaran biaya tax expenditure saja yang telah dilaksanakan oleh negara seperti Polandia dan Perancis. Untuk program tertentu yang memiliki durasi tertentu, yang biasa dikenal dengan mekanisme sunset dates, negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan telah melaksanakan evaluasi yang cukup komprehensif atas dampak tax expenditure. E. Kesimpulan dan Rekomendasi Tax expenditure sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Pemerintah sejatinya telah menerapkan berbagai jenis tax expenditure namun belum dilaporkan sebagai suatu kesatuan yang utuh dan komprehensif dalam kerangka konsep tax expenditure, tetapi masih bersifat parsial. Berbagai jenis insentif telah diberikan baik kepada individu maupun perusahaan sejak dahulu, misalnya pengecualian beasiswa dari objek PPh dan tax holiday untuk industri pionir. Selain itu, masih terdapat pula jenis insentif yang
bisa diperdebatkan apakah bisa digolongkan sebagai tax
expenditure atau tidak. 8
Pemerintah dapat memulai penerapan konsep tax expenditure dengan cara yang sederhana dan kemudian memperbaikinya seiring dengan peningkatan pemahaman seluruh stakeholder. Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis yang dapat dimulai dengan merumuskan definisi tax expenditure dan tax benchmark serta jenisnya di Indonesia. Definisi ini sangat penting untuk memberikan pedoman yang jelas dalam membuat kriteria tax expenditure itu sendiri. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi dan mengumpulkan ketentuan yang merupakan deviasi dari tax benchmark. Tahap selanjutnya adalah menelaah ketentuan-ketentuan tersebut dengan menggunakan kriteria tax expenditure sehingga bisa diperoleh kumpulan ketentuan yang termasuk tax expenditure di Indonesia. Apabila langkah-langkah strategis tersebut telah dilaksanakan maka selanjutnya pemerintah dapat memulai menghitung besaran tax expenditure dengan menggunakan data yang tersedia sehingga dapat dihasilkan laporan tax expenditure Indonesia. Laporan ini selanjutnya dapat disertakan dalam lampiran dokumen penganggaran tahunan sebagai bahan pengambilan keputusan.
9