BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Federalisme merupakan salah satu sistem pemerintahan yang telah diterapkan di beberapa negara di dunia dan latarbelakang negara-negara untuk menerapkan sistem pemerintahan ini berangkat dari keinginan koloni-koloni untuk membentuk suatu pemerintah pusat yang dapat menangani masalah-masalah yang berskala nasional. Menurut William Riker, yang menjadi alasan untuk mendirikan suatu negara federal adalah adanya “common enemy” yaitu ancaman akan keamanan wilayah yang berasal dari luar. Keputusan bersama untuk membentuk suatu entitas politik yang lebih besar bertujuan agar dapat mengatasi “common enemy” tersebut yang tidak bisa diatasi apabila masing-masing koloni/negara kecil tersebut berdiri sendiri-sendiri. Selain itu, motif ekonomi juga menjadi faktor yang menjadi dasar pembentukan suatu pemerintahan yang lebih besar/pemerintahan federal sehingga dapat mengakomodasi kepentingan tersebut. Terbentuknya pemerintah federal diharapkan dapat menghilangkan batas-batas wilayah yang menghambat perdagangan. Akan tetapi disaat yang bersamaan, tidak ingin terjadi suatu kekuasaan menjadi sangat terpusat yang akan mengganggu atau melampaui kedaulatan koloni-koloni/negara-negara kecil yang telah ada sebelumnya. Federalisme sendiri merupakan suatu bentuk kompromi [1]
dari sistem pemerintahan yang sudah ada sebelumnya yaitu unitary system dan confederation 1 . Bentuk pemerintahan tersebut memiliki kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan yang ingin digabungkan sesuai dengan karakteristik negara yang menganutnya, seperti karakteristik wilayah, sosial masyarakat, latarbelakang sejarah. Beberapa negara-negara modern saat ini telah menerapkan sistem federal dengan jumlah sekitar 30 negara di dunia, diantaranya adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, Mexico dan juga Jerman2. Secara singkat, federalisme yang dianut oleh banyak negara didunia menerapkan dual-level federalism dimana terdapat dua pemerintahan yaitu pemerintah
pusat/federal/Commonwealth
dan
pemerintah
negara
bagian/states/province/kanton. Kedua pemerintahan ini berfungsi melayani kepentingan masyarakat secara efektif dan efisien sesuai dengan ruang lingkup kekuasaannya masing-masing seperti telah dicantumkan di dalam Konstitusi. Secara umum, ruang lingkup kedua level pemerintah tersebut cukup berbeda dimana pemerintah pusat memiliki ruang lingkup yang lebih umum namun berskala nasional sedangkan ruang lingkup pemerintah negara bagian lebih spesifik namun hanya berskala regional. Contoh ruang lingkup kekuasaan yang dapat dijalankan oleh pemerintah pusat diantaranya adalah mengenai pertahanan nasional, urusan luar negeri, keuangan, imigrasi dan lain sebagainya sedangkan 1
http://www.ushistory.org/gov/3.asp -- diakses pada tanggal 20 Agustus 2014.
2
Ibid. diakses pada tanggal 20 Agustus 2014.
[2]
pemerintah negara bagian mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, transportasi, pendidikan dan lain sebagainya. Namun pada perkembangannya, terjadi tumpang tindih kekuasaan antar level pemerintah tersebut dikarenakan oleh proses politik yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan kepentingan masyarakat. Tumpang tindih ruang lingkup kekuasaan yang terjadi ditandai dengan batasan-batasan dan balance of power masing-masing level pemerintah yang berubah-ubah. Tumpang tindih kekuasaan tersebut di dorong oleh perkembangan-perkembangan sosial, ekonomi, politik dan teknologi yang terjadi di masyarakat dimana sebelumnya belum pernah ada. Masyarakat menuntut pemerintah untuk lebih adaptif terhadap berbagai isu berkembang yang ada di masyarakat sehingga perubahan-perubahan pada struktur dan proses politik menjadi suatu hal yang seharusnya dilakukan. Apabila perubahan-perubahan pada tataran struktur maupun proses politik tidak dilakukan maka pemerintah akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, pada gilirannya pemerintah melakukan beberapa penyesuaian-penyesuaian agar dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat. Biasanya penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh pemerintah diawali dengan munculnya kasus-kasus yang berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing level pemerintah. Pada titik ini dapat diartikan bahwa kasus-kasus tersebut menjadi pemicu bagi penyesuaian-penyesuaian yang [3]
dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun negara bagian, karena kasus-kasus tersebut merupakan suatu akibat dari perkembangan-perkembangan yang terjadi di masyarakat. Pada kenyataannya, penyelesaian kasus-kasus tersebut sedikit banyak memberikan pengaruh atau dampak bagi federalisme negara tersebut. Salah satu contoh negara yang telah mengalami perkembangan dalam federalisme-nya adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat telah mengalami beberapa kali perkembangan-perkembangan dalam sistem federal negara tersebut dimana diantara fase-fase perkembangan yang dialami oleh Amerika Serikat adalah:3 1) fase dual-federalism atau disebut juga dengan layer-cake federalism, dimana proses politik dan hubungan antar level pemerintah terbagi dengan jelas dan jarang terjadi tumpang tindih kekuasaan; 2) fase cooperative federalism atau disebut juga dengan marble-cake federalism, dimana proses politik dan hubungan antar level pemerintah lebih cair dan banyak terjadi kerjasama berdasarkan pada political compromise; 3) fase creative federalism, dimana pada fase ini hubungan kekuasaan bergeser antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian ditandai dengan kecenderungan menguatnya kekuasaan pemerintah federal; 4) fase contemporary federalism. Hal yang sama juga terjadi di Australia dimana perlahan pergeseran keseimbangan kekuasaan terjadi sebagai akibat dari respon-respon yang dilakukan atas berbagai permasalahan baik yang berasal dari luar maupun yang 3
http://usa.usembassy.de/etexts/gov/federal.htm -- diakses pada tanggal 24 Oktober 2014.
[4]
ada di dalam masyarakat pada masa kini. Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang berkembang seperti permasalahan sosial, ekonomi, politik, keamanan dan bahkan menyangkut permasalahan yang tergolong low politics seperti teknologi informasi, lingkungan hidup dan lain sebagainya. Beberapa contoh kasus-kasus sengketa konstitusional sedikit banyak mengakibatkan pergeseran keseimbangan kekuasaan antar level pemerintah seperti Engineer Case, Koowarta Case, maupun Franklin Dam Case. Faktor dari luar seperti terjadinya Perang Dunia dapat memicu pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang berujung pada meluasnya kekuasaan pemerintah federal. Kasus Franklin Dam bermula ketika pemerintah negara bagian Tasmania berencana untuk membangun sebuah bendungan/dam. Bendungan tersebut akan dibangun di sungai Franklin sebelah barat daya wilayah negara bagian Tasmania pada akhir tahun 1970an oleh Hydro Electric Commission4. Bendungan tersebut dibutuhkan oleh pemerintah Tasmania guna mendukung perkembangan perekonomian bagi masyarakatnya. Proyek tersebut akan menyediakan 1/3 kebutuhan listrik di negara bagian Tasmania dan akan membanjiri sekitar 35% wilayah di areal sungai Franklin5.
4 5
http://lawgovpol.com/case-study-tasmanian-dams-affair/ -- diakses pada tanggal 03-02-2015. Ibid.
[5]
Akan tetapi, rencana tersebut mendapat penolakan dari sebagian masyarakat yang menaruh perhatian terhadap kelestarian lingkungan yang ada di situs bendungan tersebut. Menurut mereka, area yang menjadi proyek pembangunan dam tersebut merupakan area yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang sangat besar serta terdapat situs kuno peninggalan suku Aborigin sehingga mereka menentang proyek pemerintah Tasmania tersebut. Mereka yang menaruh perhatian terhadap isu lingkungan tergabung dalam sebuah gerakan yang dikenal dengan Tasmania Wilderness Society (TWS) yang dipimpin oleh Bob Brown6. Pemerintah negara bagian Tasmania dituntut untuk segera menghentikan proyek pembangunan dam tersebut oleh gerakan masyarakat yang dipimpin oleh TWS. Gerakan perlawanan tersebut mencapai puncaknya dengan adanya pembangkangan sipil yang memblokade situs proyek dam di sungai Franklin. Aksi tersebut berujung dengan ditahannya sukarelawan yang ikut melakukan blokade, termasuk Bob Brown. Kelompok TWS kemudian mengalihkan gerakannya di level federal dan juga organisasi internasional seperti UNESCO. TWS mendukung Partai Buruh dalam pemilu federal yang diadakan pada tahun 1983. Pemilu federal tersebut dimenangkan oleh Partai Buruh dengan dukungan dari gerakan anti-dam yang mampu menggalang dukungan masyarakat untuk memilih calon dari Partai Buruh yaitu Bob Hawke yang kemudian terpilih menjadi Perdana Menteri.
6
Ibid.
[6]
Perdana Menteri terpilih, Bob Hawke menepati janjinya pada waktu kampanye dengan mengeluarkan kebijakan yang akan menghentikan proyek pembangunan dam tersebut yaitu World Heritage Properties Conservation Act 1983 (Cth 7 ). Kebijakan berupa undang-undang World Heritage Properties Conservation Act 1983 (Cth) tersebut merupakan penerapan dari perjanjian internasional yang telah diikuti oleh pemerintah Australia sejak tahun 1974 yaitu UNESCO Convention for Protection of the World Cultural and Natural Heritage 8 . Kebijakan pemerintah federal tersebut akan menghentikan segala bentuk pembangunan yang terkait dengan bendungan di areal sungai Franklin. Akan tetapi, pemerintah Tasmania tidak mengakui keabsahan kebijakan pemerintah federal tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan Konstitusi. Pada titik ini upaya menghentikan proyek dam di sungai Franklin yang semula di tingkat negara bagian beralih hingga ke tingkat nasional yang melibatkan pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian Tasmania. Kasus ini juga menarik perhatian masyarakat luas karena melibatkan kedua level pemerintah yaitu pemerintah federal/Commonwealth dan pemerintah negara bagian/state, khususnya pemerintah Tasmania. Pada bulan Juli 1983, Pengadilan Tinggi Australia mengeluarkan keputusan terkait dengan kasus Franklin Dam. Keputusan tersebut terbagi menjadi 4:3
7
http://www.crispinhull.com.au/high-court-book/chapter-5-major-cases-3/ -- diakses pada tanggal 03-02-2015. 8 http://www.saulwick.info/biogs/E000444b.htm -- diakses pada tanggal 03-02-2015.
[7]
dengan suara mayoritas menyatakan bahwa UU yang dikeluarkan pemerintah federal telah sesuai dengan Konstitusi 9 . Pemerintah federal menggunakan power/kekuasaannya—external affairs, trade corporations, dan race power— sebagaimana mestinya. Keputusan High Court tersebut mengakhiri proyek pembangunan Franklin Dam yang dilakukan oleh HEC dengan dukungan pemerintah Tasmania. Namun kasus tersebut menyisakan kekhawatiran terkait dengan keputusan High Court yang menyatakan bahwa pemerintah federal—berbasis pada external affairs power—dapat menerapkan isi dalam perjanjian internasional ke dalam kebijakan domestiknya dalam bidang apa pun sesuai dengan perjanjian internasional yang diikuti. Hal itu memungkinkan pemerintah federal mengeluarkan kebijakan di ruang lingkup yang merupakan kewenangan negara bagian. Pada gilirannya
akan mengganggu balance of power antara
Commonwealth dengan State sehingga kemudian berdampak pada sistem federal yang dianut oleh Australia. Perkembangan federalisme menjadi suatu hal yang pasti mengingat pada masa-masa awal pembentukan negara federal permasalahan di masyarakat yang menjadi acuan pembagian ranah kekuasaan masing-masing level pemerintah tidak sebanyak dan seberagam seperti pada masa kini. Sehingga, agar pemerintah
9
http://ohrh.law.ox.ac.uk/the-tasmanian-dams-case-30-years-on-unfulfilled-promises/ -- diakses pada tanggal 03-02-2015.
[8]
mampu mengatasi isu-isu yang berkembang di masyarakat maka penyesuaianpenyesuaian selayaknya dilakukan.
B. Rumusan Masalah. “Apa respon yang muncul terkait dengan isu Franklin Dam?” “Bagaimana Franklin Dam Case telah berhasil mempengaruhi federalisme di Australia?”
C. Landasan Konseptual. Federalisme. Pembahasan mengenai pengertian federalisme secara detil dan pasti belum menemui kesepakatan karena banyaknya versi tentang definisi federalisme. Walaupun begitu, terdapat beberapa persamaan diantara definisi-definisi tersebut sehingga dapat digunakan sebagai acuan dasar mengenai federalisme. Federalisme sendiri secara umum berarti suatu cara/model dalam mengelola pemerintahan dimana terdapat pemerintah nasional dan sub-unit yang memiliki kedaulatannya masing-masing serta memberikan sebagian otonomi kepada beberapa bagian pemerintahan yang telah ditetapkan secara geografis. Oleh karena itu, federalisme juga bisa dikatakan merupakan model pemerintahan yang [9]
menganut
"two-level
government"
pusat/federal/Commonwealth
dan
dimana
terdiri
pemerintah
negara
dari
pemerintah
bagian/state
yang
merupakan sub-unit. Sir Robert Garran juga mengemukakan definisi dari federalisme, yaitu: “a form of government in which sovereignty or political power is divided between the central and local government, so that each of them within its own sphere is independent of the other.”10 Definisi klasik yang dikemukakan oleh Wheare menyebutkan bahwa federalisme berarti: “suatu metode pembagian kekuasaan/power, dimana pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian, dalam ruang lingkup kekuasaannya masing-masing, saling bekerjasama disatu sisi dengan tetap berdiri sendiri/independent disisi yang lainnya.”11 Selain itu ada pula David Elazar yang mendeskripsikan federalisme sebagai, ‘hubungan antara individu-individu, kelompok-kelompok, dan pemerintah menggunakan cara-cara yang ada untuk mencapai tujuan bersama dengan tetap menjaga kesatuan seluruh kelompok’ 12 . William Riker berpendapat mengenai federalisme sebagai, ‘sebuah organisasi politik dimana aktivitas-aktivitas pemerintah dibagi antara pemerintah regional dan pemerintah pusat sedemikian
10
Jaensch, Dean. 1984. An Introduction to Australian Politics. Longman Cheshire: Melbourne hal.48
11
Emy, Hugh V. and Owen E. Hughes. 1991. Australian Politics: Realities in Conflict (Second Edition). Macmillan Education Australian: Melbourne hal. 306 12
Ibid
[10]
rupa sehingga masing-masing level pemerintah memiliki aktivitas-aktivitasnya sendiri dan kemudian mengeluarkan kebijakan-kebijakan sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya tersebut’13. Walaupun masing-masing ahli saling mengungkapkan pendapatnya sehingga tidak ada definisi pasti mengenai federalisme, akan tetapi terdapat beberapa kata kunci yaitu: terdapat power-sharing diantara dua level pemerintah, dimana mempunyai tingkat otonominya masing-masing dan menetapkan batasan-batasan atas kekuasaan/power yang dimilikinya seperti yang tercantum di dalam Konstitusi. Dean Jaensch mengemukakan poin-poin yang ada dalam pengertian federalism, yaitu: 14 1) power/kekuasaan pemerintah dibagi antara pemerintah federal dan negara bagian; 2) masing-masing level pemerintah dipilih oleh rakyat dan berkerja demi kepentingan rakyat, oleh karena itu pemerintah negara bagian tidak bertindak sebagai cabang namun setara yang mempunyai kedaulatan atas ruang lingkup kekuasaannya; 3) masing-masing pemerintah memiliki ruang lingkup kekuasaan dan tanggung jawabnya; 4) ada mekanisme tersendiri untuk melingdungi negara bagian dari gangguan/campur tangan atas otonominya oleh pemerintah pusat, yang dilakukan oleh otoritas yudisial.
13
Ibid
14
Jaensch, Dean. op.cit., hal.28
[11]
Federalisme sendiri tidak hanya berkaitan dengan konteks struktural saja akan tetapi juga berkaitan dengan proses politik yang berlangsung. Konteks struktural yang dimaksud adalah kekuasaan masing-masing level pemerintahan yang telah tercantum dalam Konstitusi sedangkan yang dimaksud dengan proses politik adalah hubungan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian dalam menjalankan fungsinya. Secara tradisional, federalisme memiliki tujuan untuk melayani masyarakat dengan mengeluarkan kebijakan atau undang-undang yang efektif dan efisien, menjamin self-governance, dan mencegah munculnya tirani 15 . Masing-masing level pemerintahan, baik pemerintah federal maupun pemerintah negara bagian, memiliki fungsi melayani masyarakat secara efektif dan efisien sesuai dengan ruang lingkup kekuasaannya masing-masing dimana pemerintah federal mengurusi bidang-bidang yang lebih bersifat nasional sedangkan pemerintah negara bagian mengurusi bidang-bidang yang lebih spesifik sesuai dengan karakter masyarakat dan wilayahnya yang lebih bersifat lokal. Terdapat beberapa jenis kekuasaan yang dikenal dalam teori federalisme. Jenis kekuasaan tersebut adalah enumerated power, implied power, residual power dan concurrent power. Keempat jenis kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan yang dijalankan oleh masing-masing level pemerintahan di Australia. 15
Schapiro, Robert A. 2009. Polyphonic Federalism: Toward the Protection of Fundamental Rights. University of Chicago Press: Chicago hal.105
[12]
Selain itu, jenis-jenis kekuasaan tersebut menekankan pada bidang-bidang apa saja yang dapat dijalankan oleh masing-masing level pemerintah. Enumerated/Exclusive Power. Enumerated/exclusive power merupakan jenis kekuasaan yang hanya dimiliki oleh pemerintah federal. Kekuasaan yang tersurat dalam Konstitusi tersebut merupakan kekuasaan yang diberikan oleh negara bagian kepada pemerintah federal pada masa-masa pembentukan negara federal. Hal ini bertujuan agar pemerintah federal memiliki cukup kemampuan untuk mengurusi hal-hal yang bersifat nasional dan dapat melayani masyarakat dengan efektif dan efisien. Selain itu akan tercipta keseimbangan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian sehingga tidak terjadi dominasi negara bagian terhadap pemerintah federal seperti dalam sistem konfederasi. Ruang lingkup exclusive power pemerintah federal Australia tercantum dalam Konstitusi pasal 51. Dalam pasal 51 dijabarkan bidang-bidang apa saja yang termasuk dalam kewenangan Commonwealth diantaranya adalah
16
: a)
pertahanan; b) perpajakan; c) mencetak mata uang; d) perbankan; e) imigrasi dan emigrasi; f) urusan luar negeri; g) perusahanan, baik di bidang perdagangan dan
16
http://www.austlii.edu.au/au/legis/cth/consol_act/coaca430/s51.html -- diakses pada tanggal 1611-2014.
[13]
perbankan; h) hak cipta, paten, dan trade marks; i) sensus dan statistik; j) telekomunikasi. Reserved/Residual Power. Adapula jenis kekuasaan yang disebut dengan residual power. Residual power merupakan kekuasaan yang hanya dimiliki oleh pemerintah negara bagian. Kekuasaan pemerintah negara bagian ini adalah kekuasaan sisa setelah sebagian diberikan kepada pemerintah federal. Pemerintah negara bagian biasanya mengurusi bidang-bidang yang lebih spesifik dan biasanya berskala kecil tidak seperti bidang-bidang yang dikelola oleh pemerintah federal. Bersifat spesifik karena bidang-bidang tersebut tidak bisa disamaratakan secara nasional mengingat karakteristik wilayah, sosial, ekonomi antara negara bagian yang satu dengan yang lainnya berbeda. Ruang lingkup kekuasaan pemerintah negara bagian tidak tercantum di dalam Konstitusi karena merupakan kekuasaan sisa setelah sebagian diberikan kepada pemerintah federal. Ruang lingkup yang biasanya menjadi domain dari pemerintah negara bagian diantaranya sebagai berikut 17 : a) kesehatan; b) pendidikan; c) industri dan komersial; d) transportasi; e) lingkungan dan pengelolaan lahan.
17
Rifai, Amzulian. 1994. Pengantar Konstitusi Australia. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta hal. 9
[14]
Concurrent Power. Selanjutnya jenis kekuasaan berikutnya adalah concurrent power. Concurrent power merupakan kekuasaan yang dapat dijalankan secara bersama-sama antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Implied Power. Teori federalisme juga mengenal jenis kekuasaan yang disebut dengan implied power. Implied power merupakan suatu kekuasaan yang mengalir dari executive/enumerated power yang dimiliki oleh pemerintah federal dan biasanya diterapkan pada bidang yang berkaitan dengan masalah lingkungan 18 . Implied power diperlukan untuk menunjang terlaksananya enumerated power yang dimiliki oleh pemerintah federal dan jenis kekuasaan ini tidak tercantum dalam Konstitusi melainkan ditafsirkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan tersebut yaitu Pengadilan Tinggi Australia. Implied power bersifat tersirat daripada tersurat sehingga tidak terdapat di dalam Konstitusi Australia19. Sebagai contoh dari penerapan implied power tersebut adalah: “The Constitution does not specifically grant Congress the power to regulate telecommunications because such technology did not exist at the time of the founding. But according to the Constitution, Congress has the power to 18
http://socialscience.tjc.edu/mkho/Online_Courses/american_textbook_outlines/ap/ch3-out.htm - diakses pada tanggal 15-11-2014. 13
http://www.sparknotes.com/us-government-and-politics/americangovernment/federalism/section1.rhtml -- diakses pada tanggal 15-11-2014.
[15]
regulate interstate commerce. Regulating telecommunications is considered necessary for Congress to properly regulate interstate commerce, and so Congress has since assumed this power.”20 Karena kekuasaan ini merupakan suatu tambahan terhadap executive power pemerintah federal, maka tidak akan merubah Konstitusi secara langsung. Namun, pada penerapannya implied power berpengaruh pada proses pelaksanaan kekuasaan pemerintah federal. Pemerintah federal dapat memperluas ruang lingkup kekuasaannya di bidang-bidang yang sebenarnya bukan merupakan wewenangnya selama dirasa perlu untuk mendukung pelaksanaan executive power-nya. Selain itu ada pula kategori hubungan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian dalam konteks federalisme yaitu co-ordinate federalism, co-operative federalism dan organic federalism. Co-ordinate federalism merupakan tipe federalisme yang paling ideal dimana kekuasaan dan tanggung jawab diantara pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian terdefinisi dengan jelas sehingga dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan tanpa konflik yang menyertai dalam menjalankan fungsinya. Co-operative federalism dimana tipe federalisme ini lebih bersifat politis daripada legal konstitusional seperti pada co-ordinate federalism. Co-operative federalism lebih cair karena dalam proses politiknya terdapat political compromise yang dilakukan oleh masing-masing level pemerintah dalam menjalankan fungsi20
Ibid.
[16]
fungsi
pemerintahan
secara
bersama-sama,
walaupun
mungkin
secara
konstitusional dimiliki oleh salah satu level pemerintah, baik federal atau states. Bentuk federalisme ini tidak terlalu menekankan pada pembagian kekuasaan, akan tetapi lebih pada akomodasi antar level pemerintah. Organic federalism berarti pemerintah pusat yang dominan. Pemerintah pusat memiliki kontrol penuh atas sumber finansial dan dapat menentukan kebijakan-kebijkan pokok. Pemerintah negara bagian masih memiliki sedikit otonomi namun terjadi lebih banyak paksaan/coercion dibandingkan dengan model-model yang lainnya. Pemerintah wilayah hanya sebatas cabang administratif dari pemerintah pusat yang dominan. Sentralisme. Sentralisme adalah cara/metode dalam pemerintahan suatu negara atau dalam sebuah organisasi dimana satu pihak/grup memiliki kekuasaan penuh dan memerintahkan orang/pihak lainnya untuk melakukan suatu kebijakan
21
.
Centralisme dapat dipahami sebagai suatu upaya untuk memusatkan kekuasaan ke dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintah pusat sehingga dapat melakukan kontrol terhadap negara bagian. A. V. Dicey dalam bukunya Law of the Constitution menyatakan bahwa federalisme ketika sukses akan menjadi satu tahapan untuk kemudian
21
http://www.ldoceonline.com/Government-topic/centralism -- diakses pada tanggal 03-02-2015.
[17]
berkembang menjadi unitary system22. Hal tersebut dapat dilihat pada Amerika Serikat sebagai salah satu negara penganut federalisme yang telah berkembang menjadi negara dengan kekuasaan yang semakin terpusat di tangan pemerintah pusat/federal23. Walaupun masih menerapkan sistem pemerintahan federal akan tetapi kekuasaan pemerintah federal di Amerika Serikat sudah semakin terpusat dan pemerintah negara bagian hanya memiliki sedikit ruang dalam menjalankan kekuasaannya. Pihak sentralis memiliki pandangan bahwa federalisme memiliki beberapa kelemahan yang sangat signifikan24. Kelemahan yang dimaksuk oleh kelompok sentralis adalah federalisme memunculkan duplikasi sistem pemerintahan sehingga
mengakibatkan
tidak
efisiennya
kinerja
pemerintah
dalam
menyelesaikan tuntutan dan permasalahan di masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan pemerintah pusat/federal yang kuat dengan kekuasaan yang terpusat. Kekusaan yang terpusat dapat mendorong pemerintah menjalankan kinerja yang efektif dan efisien demi kepentingan rakyat25. Banyak negara-negara di dunia yang menganut sistem federal mengalami fenomena pemusatan kekuasaan yang terjadi antara pemerintah federal/pusat dengan pemerintah negara bagian seperti Amerika Serikat, Venezuela, Meksiko, 22
http://www.constitution.org/cmt/avd/law_con.htm -- diakses pada tanggal 03-02-2015. Ibid. 24 https://www.aph.gov.au/binaries/senate/pubs/pops/pop44/craven.pdf -- diakses pada tanggal 0302-2015. 25 http://press.anu.edu.au//anzsog/fra/mobile_devices/ch12s04.html -- diakses pada tanggal 03-022015. 23
[18]
Jerman dan juga Australia26. Fenomena tersebut terjadi dikarenakan adanya tarikmenarik kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah negara bagian kaitannya dengan pihak mana yang paling cocok untuk menjalankan kekuasaan tertentu. Pada sistem pemerintahan federal, proses memusatkan kekuasaan kepada pihak pemerintah federal/pusat dapat dilakukan melalui mekanisme amandemen atau menggunakan judicial review terhadap kekuasaan pemerintah federal di dalam Konstitusi. Judicial review dilakukan oleh lembaga yang berwenang melakukannya yaitu Pengadilan Tinggi (High Court/Supreme Court). Mekanisme perubahan Konstitusi melalui interpretasi/penafsiran yang dilakukan oleh High Court atau sering disebut dengan Judicial Review. High Court melakukan penafsiran terhadap poin-poin dalam Konstitusi, biasanya pada power/kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing level pemerintah yang dibawa ke meja pengadilan menyangkut sengketa kasus-kasus konstitusional tertentu. Perlu diketahui bahwa dalam merumuskan undang-undang, suatu pemerintahan tidak boleh keluar dari lingkup kekuasaan yang telah ditetapkan dalam Konstitusi dan menjelaskan power yang digunakan. Mekanisme judicial review sendiri amat penting bagi Konstitusi dan sistem politik yang dibangun diatasnya. Galligan berpendapat bahwa, melalui
26
http://www.gencat.cat/drep/iea/pdfs/iacfs08_edpaper10.pdf -- diakses pada tanggal 03-02-2015.
[19]
mekanisme judicial review, High Court memiliki peran penting dalam menentukan arah proses politik yang berjalan 27 . Hasil penafsiran yang telah ditetapkan sebagai sebuah keputusan akan berdampak pada proses politik yang berjalan, menentukan pemenang dari sengketa kasus konstitusional yang terjadi dan pada gilirannya berpengaruh terhadap balance of power antara pemerintah federal dan negara bagian. Sehingga berdasarkan pada peran High Court dalam menafsirkan Konstitusi tersebut maka dapat diartikan bahwa lembaga yudiaktif itu turut membentuk sistem dan proses politik yang ada karena sifat Konstitusi sebagai suatu instrumen pemerintahan.
D. Argumen Utama. Kasus Franklin Dam telah berhasil mendorong perkembangan terhadap federalisme yang berjalan di Australia dan terjadi pergeseran/pemusatan kekuasaan dari milik pemerintah negara bagian ke tangan pemerintah federal. Franklin Dam Case banyak menitiberatkan pada tafsiran Commonwealth terhadap external affairs power-nya dalam menerapkan isi perjanjian internasional ke dalam kebijakan domestik Australia. Hal itu semakin diperkuat dengan judicial review yang dilakukan oleh High Court Australia. Hasilnya, balance of power berubah dimana kekuasaan semakin luas dan terpusat ditangan
27
Emy, Hugh V. dan Owen E. Hughes. op.cit., hal. 276
[20]
pemerintah federal. Penafsiran tersebut memungkinkan pemerintah federal dapat merumuskan kebijakan dalam bidang lingkungan yang sebelumnya merupakan domain pemerintah negara bagian. Sementara pemerintah negara bagian tidak dapat lagi dengan bebas mengelola lahan di wilayahnya tanpa sepengetahuan pemerintah federal. Oleh karena itu, federalisme Australia pada masa sekarang telah banyak berkembang dibandingkan dengan federalisme pada saat awal pembentukannya dahulu. Pemicunya adalah kemunculan kasus-kasus Konstitusional berkaitan dengan permasalahan di masyarakat yang semakin berkembang seperti dalam bidang sosial, politik, ekonomi, teknologi informasi, transportasi dan juga dalam hal lingkungan hidup sehingga menuntut pemerintah untuk mampu beradaptasi dan memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Kasus Konsitusional seperti Franklin
Dam
Case
menjadi
ajang
tarik-menarik
kekuasaan
antara
Commonwealth dengan state.
E. Metode Penelitian. Penelitian skripsi yang berjudul “Perkembangan Federalisme Australia Studi Kasus: Franklin Dam Case” ini, penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan referensi sumber-sumber data sekunder berupa buku, jurnal, surat kabar dan artikel pada situs-situs internet. [21]
F. Sistematika Penulisan. Tulisan dalam skripsi yang berjudul “Perkembangan Federalisme Australia Studi Kasus: Franklin Dam Case” ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab pertama akan berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka konseptual yang digunakan untuk menjelaskan mengenai perkembangan federalisme yang terjadi di Australia dimana dipicu oleh kasus sengketa konstitusional Franklin Dam, antara pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian Tasmania. Bab
kedua,
membahas
tentang
kronologi
sejarah
kasus
sengketa
konstitusional Franklin Dam. Pembahasan akan berisi awal mula kasus Franklin Dam, pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut, yaitu pemerintah federal dan pemerintah negara bagian Tasmania, Hydro Electric Commission, dan Tasmania Wilderness Society. Kemudian respon masing-masing pihak atas kasus Franklin Dam tersebut. Bab ketiga, berisi pembahasan mengenai perdebatan yang terjadi terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah federal terhadap pemerintah negara bagian Tasmania. Selain itu ada pula pembahasan mengenai judicial interpretation yang dilakukan oleh High Court Australia terhadap kasus Franklin Dam. [22]
Bab keempat, berisi analisa terkait dampak kemenangan pemerintah federal atas sengketa kasus tersebut—berujung pada meluasnya ruang lingkup kekuasaan pemerintah federal—terhadap perkembangan federalisme di Australia. Bab kelima, akan menjadi penutup sekaligus kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Pada bab terakhir ini akan diuraikan secara singkat mengenai jawaban atas rumusan masalah sebelumnya. Kemudian diakhiri dengan kesimpulan mengenai perkembangan federalisme yang terjadi di Australia.
[23]