1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang mengkhawatirkan masyarakat karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki “window periode” dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya. Saat ini, penyakit HIV/AIDS sudah menjadi masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005). Kasus AIDS pertama kali dilaporkan di USA pada tahun 1981 dan dalam kurun waktu 10 tahun telah menyebar hampir ke seluruh negara di dunia. Secara global, 34 juta (31.400.000-35.900.000) orang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2011. Diperkirakan 0,8% orang dewasa usia 15-49 tahun di seluruh dunia hidup dengan HIV. Di Sub-Sahara Afrika hampir 1 dari setiap 20 orang dewasa (4,9%) hidup dengan HIV. Meskipun prevalensi regional infeksi HIV adalah hampir 25 kali lebih tinggi di Sub-Sahara Afrika dibandingkan di Asia, namun hampir 5 juta orang Asia hidup dengan HIV yaitu di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur (UNAIDS, 2012). Kasus AIDS pertama di Indonesia dilaporkan di Bali pada bulan April 1987. Pada awalnya penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terjadi pada pekerja seks beserta pelanggannya dan kaum homoseksual. Setelah itu mulai terjadi penularan ke ibu-ibu
2
rumah tangga yang tertular dari pasangannya dan berlanjut ke bayi-bayi yang lahir dari ibu yang positif HIV (Nasronudin, 2007). Menurut data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan (Dirjen PP & PL Kemenkes RI) secara kumulatif jumlah kasus HIV & AIDS sejak 1 Januari 1987 s.d. 30 September 2014 adalah 206.095 kasus yang terdiri atas kasus HIV 150.296 dan kasus AIDS 55.799 dengan 9.785 kematian. Persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok umur 2029 tahun (32,9%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (28,5%), 40-49 tahun (10,7%), 50-59 tahun (3,4%), dan 15-19 (3,1%). Persentase AIDS pada laki-laki sebanyak 54% dan perempuan 29%. Sementara itu 17% tidak melaporkan jenis kelamin. Jumlah AIDS tertinggi adalah pada ibu rumah tangga (6.539), diikuti wiraswasta (6.203), tenaga nonprofesional/karyawan (5.638), petani/peternak/nelayan (2.324), buruh kasar (2.169), penjaja seks (2.052), pegawai negeri sipil (1.658), dan anak sekolah/mahasiswa (1.295). Faktor risiko penularan terbanyak melalui heteroseksual (61,5%), penasun (15,2%), diikuti penularan melalui perinatal (2,7%), dan homoseksual (2,4%) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Penyebaran HIV/AIDS terjadi di semua propinsi di Indonesia termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan data Dirjen PP & PL Kemenkes RI sejak 1 Januari 1987 s.d. 30 September 2014 untuk propinsi DI Yogyakarta jumlah
3
penderita HIV terdapat 2611 orang, sedangkan penderita AIDS adalah 916 orang. Hal inilah yang menyebabkan DI Yogyakarta menduduki urutan ke-14 dari 33 propinsi di Indonesia (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Jumlah penderita HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga jumlah perempuan yang menderita HIV juga meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya jumlah perempuan dengan HIV/AIDS tidak hanya terjadi di Indonesia namun juga di negara lain di dunia. Berdasarkan penelitian dari Jones (2004), penderita HIV/AIDS pada perempuan di Amerika semakin meningkat dan saat ini infeksi HIV merupakan penyebab kematian ketiga pada perempuan usia 25-44 tahun. Tingginya kasus HIV/AIDS pada perempuan dikhawatirkan akan ikut berdampak pula terhadap meningkatnya kasus HIV pada anak-anak yang didapat melalui penularan
perinatal
atau
penularan
infeksi
yang
terjadi
pada
saat
kehamilan/persalinan karena perempuan yang menderita HIV/AIDS tersebut paling banyak berusia 25-44 tahun dimana pada usia tersebut merupakan usia produktif atau usia subur untuk melahirkan (Muma et al., 1997). Perempuan dengan HIV/AIDS mengalami berbagai permasalahan baik masalah fisik, psikososial, emosional maupun spiritual. Masalah fisik yang terjadi pada perempuan dengan HIV/AIDS akibat penurunan daya tahan tubuh yang mengakibatkan perempuan tersebut rentan terhadap berbagai penyakit infeksi. Selain masalah fisik, perempuan dengan HIV/AIDS juga mengalami masalah sosial antara lain dikucilkan oleh teman, keluarga maupun masyarakat (Bare & Smeltzer, 2002).
4
Permasalahan yang terjadi pada perempuan dengan HIV/AIDS salah satunya adalah karena perempuan mempunyai tugas berat di dalam rumah tangga dalam perannya sebagai ibu yaitu pada saat hamil, melahirkan dan mengasuh anak. Selain itu perempuan juga bertugas merawat suami, terlebih jika suaminya sakit karena HIV yang dideritanya. Terkadang perempuan menggantikan suami untuk bekerja mencari nafkah. Menjadi seorang ibu merupakan suatu perubahan atau transisi pada perempuan baik perubahan status maupun peran. Adanya infeksi HIV membuat kesulitan dalam perannya sebagai seorang ibu. Hal ini dikarenakan adanya stigma negatif pada perempuan dengan HIV dimana HIV dikenal merupakan penyakit yang terjadi karena perilaku seksual yang tidak wajar sehingga perempuan tersebut dikucilkan atau dijauhi oleh keluarga maupun masyarakat. Akibatnya perempuan dengan HIV tidak mendapatkan dukungan sosial yang diperlukan dalam menjalankan perannya sebagai ibu. Permasalahan yang terjadi pada perempuan dengan HIV/AIDS akan lebih kompleks jika status HIV seorang perempuan baru diketahui ketika ia sudah berada dalam tahap lanjut kehamilan, yaitu trimester ketiga. Hal ini bisa terjadi karena perempuan tersebut segan memeriksakan diri dan mengetahui status HIVnya karena stigma negatif yang disandangnya. Terlambat mengetahui status HIV pada perempuan saat hamil dapat mengakibatkan timbulnya tekanan-tekanan psikologis yang akan mempengaruhi kondisi kesehatan kehamilan sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa seorang ibu hamil yang positif HIV berkeinginan untuk
5
menghentikan kehamilannya atau melakukan aborsi karena khawatir bayinya akan tertular HIV (Yayasan Spiritia, 2009). Penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi pada saat kehamilan maupun persalinan atau biasa disebut dengan penularan perinatal merupakan salah satu faktor resiko penularan HIV. Sampai dengan bulan September 2014, di Indonesia terdapat 1506 jumlah penularan AIDS melalui transmisi perinatal (Dirjen PP & PL Kemenkes, 2014). Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi ketika kehamilan, pada saat persalinan (waktu bayi lahir) maupun saat bayi disusui oleh ibu terinfeksi HIV. Dari 25-40 bayi yang terinfeksi HIV, 5-10 bayi terinfeksi dalam kandungan, ± 15 bayi terinfeksi waktu lahir dan 5-15 bayi terinfeksi melalui ASI (Yayasan Spiritia, 2009). Menurut De Cock., et al (2000), ibu yang menyusui bayinya mempunyai resiko menularkan HIV sebesar 10-15% dibandingkan ibu yang tidak menyusui bayinya sedangkan menurut Green (2009), dari 100 bayi yang terlahir dari ibu HIV yang menyusui tanpa intervensi akan ada 60-75 bayi dengan HIV. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah dengan salah satunya adalah menggunakan obat Antiretroviral (ARV) selama kehamilan, saat persalinan dan untuk bayi yang baru dilahirkan. Beberapa negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, Eropa Tengah, Eropa Timur dan Asia Tenggara telah mengimplementasikan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dengan memberikan ARV. Ibu dengan
6
HIV/AIDS yang menggunakan ARV dapat memperpanjang masa menyusuinya tanpa beresiko menularkan HIV/AIDS pada anaknya (Departemen Kesehatan RI, 2010). Di Indonesia, jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan September 2014 sebanyak 45.631 orang. Pemakaian rejimennya adalah 97,03% (44.275 orang) menggunakan Lini 1 dan 2,97% (1.356 orang) menggunakan Lini 2 (Dirjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Depertemen Kesehatan RI (2010) menyatakan upaya pencegahan penularan HIV dari Ibu ke anak dilakukan dengan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA). Jumlah anak yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HIV akan menurun dengan adanya intervensi PPIA karena negara yang memasukkan program PPIA secara komprehensif terbukti menurunkan angka kematian pada bayi dan anak kecil akibat HIV. Namun, di Indonesia pemerintah belum menyediakan pelayanan PPIA secara sistematis dan belum menjadi program wajib bagi ibu hamil di pelayanan KIA sehingga pencegahan primer untuk perempuan usia produktif dan kesadaran akan resiko penularan HIV dari ibu ke bayi sangat terbatas termasuk akses terhadap VCT. Tindakan pencegahan menjadi sangat terlambat untuk dilakukan karena VCT dilakukan ketika kehamilan sudah lebih dari 7 bulan. Padahal aborsi merupakan tindakan ilegal yang melawan hukum dan secara medis tidak diperkenankan walaupun untuk tindakan pencegahan. Implementasi yang dapat dilaksanakan oleh perawat khususnya perawat maternitas untuk mensukseskan program PPIA tersebut adalah 1. Sebagai praktisi
7
pelayanan keperawatan yaitu menyediakan perawatan secara langsung pada ibu hamil dalam sehari-hari yakni pelayanan selama antenatal, intranatal dan postpartum. 2. Sebagai konselor, perawat memberikan konseling untuk mengenal dan mengatasi masalah yang dihadapi oleh ibu dengan HIV/AIDS sepanjang periode child bearing dan keluarganya. 3. Berperan serta dalam promosi kesehatan, dan 4. Berperan serta dalam penelitian (Suryani, 2012). Di Yogyakarta, banyak sekali lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sasarannya adalah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) salah satunya adalah LSM Victory Plus. Berdasarkan studi pendahuluan yang penulis lakukan, menurut data dari LSM Victory Plus bulan Juli-Oktober 2013, jumlah ODHA Yogyakarta yang didukung oleh LSM ini terdapat 1160 orang yang terdiri dari laki-laki 730 orang dan perempuan 430 orang dimana dari 430 orang perempuan tersebut terdapat 25 orang yang melaporkan pernah hamil dan melahirkan. Jumlah penderita menurut faktor resiko adalah wanita pekerja seks langsung (WPSL) atau yang mempunyai lokalisasi: 38 orang, wanita pekerja seks tidak langsung (WPSTL) atau yang tidak berlokalisasi seperti tempat pijat: 26 orang, waria: 48 orang, pria pekerja seks (PPS): 7 orang, Lelaki Seks Lelaki (LSL): 141 orang, pengguna napza suntik (penasun): 159 orang, pasangan penasun: 32 orang, pelanggan WPSL: 264 orang, pelanggan WPSTL: 34 orang, pelanggan waria: 3 orang, dan pasangan resiko tinggi: 297 orang. Penelitian mengenai pencapaian peran sebagai ibu (maternal role attainment) pada perempuan dengan HIV/AIDS di Yogyakarta sangat penting sebagai salah
8
satu sumber informasi terkait perencanaan program kesehatan pemerintah sebagai upaya pencegahan dan penularan HIV-AIDS dari ibu ke bayi di Yogyakarta serta mensukseskan program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA). B.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah “Bagaimana pencapaian peran sebagai ibu (maternal role attainment) pada perempuan dengan HIV/AIDS di Yogyakarta”
C.
Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui gambaran pencapaian peran sebagai ibu (maternal role attainment) pada perempuan dengan HIV/AIDS di Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui bagaimana peran ibu pada perempuan dengan HIV/AIDS selama hamil, melahirkan dan setelah melahirkan dalam merawat bayinya b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian peran sebagai ibu (maternal role attainment) pada perempuan dengan HIV/AIDS
9
D.
Manfaat Penelitian 1. Bagi perempuan dengan HIV/AIDS Memberikan informasi dan pengetahuan kepada perempuan dengan HIV/AIDS agar dapat menjaga kesehatan dan meningkatkan kualitas hidupnya dalam menjalankan perannya sebagai ibu 2. Bagi keluarga yang mempunyai anggota keluarga perempuan dengan HIV/AIDS yang sudah menjadi seorang ibu Memberikan informasi dan pengetahuan kepada keluarga agar mampu memberikan perawatan yang baik dan tepat kepada anggota keluarga perempuan dengan HIV/AIDS saat menjalani perannya sebagai ibu 3. Bagi Keperawatan Memberikan kontribusi pada praktek keperawatan maternitas utamanya untuk meningkatkan kualitas dalam memberikan asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS. 4. Bagi Peneliti lain Sebagai data dasar dan bahan acuan bagi peneliti selanjutnya.
10
E.
Keaslian Penelitian 1. Sanders (2008), Telah meneliti tentang “Women’s Voices: The Lived Experience of Pregnancy and Motherhood After Diagnosis With HIV”. Desain penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Sampel pada penelitian ini adalah 9 wanita yang berumur 34-53 tahun yang didiagnosis HIV ketika hamil atau menjadi seorang ibu setelah didiagnosis HIV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman kehamilan wanita dengan HIV merupakan salah satu ketakutan karena adanya isolasi, kecemasan dan ketidakpercayaan. Tetapi ini juga merupakan salah satu harapan bisa menjadi seorang ibu secara normal. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada variabel dan lokasi penelitian, pada penelitian ini variabel yang digunakan adalah pencapaian peran sebagai seorang ibu serta bertempat di Yogyakarta. Sedangkan persamaannya adalah pada subyek dan desain penelitian. Subyek penelitian adalah perempuan yang didiagnosis HIV ketika hamil atau menjadi seorang ibu setelah didiagnosis HIV,sedangkan desain penelitian yang digunakan yaitu menggunakan desain penelitian kualitatif. 2. Birhanu et al., (2013) Telah meneliti tentang “Predictors of intended infant feeding options among HIV positive pregnant women in Addis Ababa: The perspective of theory of planned behavior”. Metode penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Sampel pada penelitian ini adalah
11
196 ibu hamil dengan HIV positif yang direkrut dari 19 pusat kesehatan umum di Addis Ababa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 159 (81.12%) berniat untuk menyusui secara eksklusif, 25 (12.76%) berniat untuk menggunakan makanan pengganti dan 12 (6.12%) berniat untuk menyusui tetapi juga memberikan makanan pengganti. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada metode, variabel dan lokasi penelitian, pada penelitian ini desain penelitian yang digunakan kualitatif, variabel yang digunakan tidak hanya tentang pengalaman menyusui namun mencakup semua hal dalam pencapaian peran menjadi seorang ibu serta bertempat di Yogyakarta. Sedangkan persamaannya adalah pada salah satu variabel yaitu menyusui. 3. Pennapa Pakdewong et al., (2006) telah meneliti tentang “A Structural Model of Maternal Role Attainment in Thai HIV sero-positive Mothers”. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Sampel adalah 263 ibu dengan HIV positif yang berusia 18 tahun ke atas, dan tinggal dengan bayi mereka yang berusia 3 sampai 12 bulan di rumah sakit pemerintah di daerah metropolitan Bangkok. Hasil penelitian menunjukkan harga diri dan dukungan sosial memiliki pengaruh langsung positif yang signifikan terhadap pencapaian peran ibu. Stigma yang dirasakan memiliki efek negatif tidak langsung yang signifikan terhadap pencapaian peran ibu melalui harga diri ibu. Selain itu, stigma yang dirasakan juga memiliki
12
pengaruh langsung yang negatif, sementara dukungan sosial memiliki dampak positif langsung terhadap harga diri. Selanjutnya, stigma yang dirasakan dan status kesehatan ibu memiliki efek positif langsung pada depresi ibu, sedangkan dukungan sosial memiliki efek langsung negatif terhadap depresi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada metode dan lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dimana penelitian
ini
tidak
hanya
menggambarkan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pencapaian peran sebagai ibu saja namun juga dapat menggambarkan secara mendalam bagaimana kemampuan ibu dalam melakukan perawatan terhadap bayinya sejak hamil sampai melahirkan, dan lokasi
penelitian
ini
bertempat
di
Yogyakarta.
Sedangkan
persamaannya adalah pada variabel penelitian yaitu tentang pencapaian peran ibu dan sampel penelitian yaitu ibu yang sudah melahirkan dengan HIV positif.