TANTANGAN IMPLEMENTASI KONSEP ECO-SETTLEMENT DALAM UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN Anih Sri Suryani Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI
Abstract Provision of quality housing and settlements is the basic right mandated by the Constitution. The enactment of Law No. 1 of 2011 on Housing and Settlements Area is the legal basis of housing maintenance and settlement areas in Indonesia. The concept of eco-settlement is a concept of ecologically developed from the concept of sustainable development. The concept harmonized the three pillars, namely social, economic, and ecological sustainability supported by established institution. Related to the concept of eco-settlement, the Law on Housing and Settlements Area accommodates several parameters in the concept, but some issues such as healthy and environmental friendly housing criteria, community education, community participation and institutional strengthening to be arranged in a more detailed regulations. Keywords: Housing, Settlement, Eco-settlement
Abstrak Penyediaan perumahan dan permukiman yang layak merupakan hak dasar yang menjadi amanat Undang-Undang Dasar. Ditetapkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman merupakan dasar hukum penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di Indonesia. Konsep ecosettlement merupakan konsep tempat bermukim/bertempat tinggal yang ekologis yang dikembangkan dari konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini mengharmonisasikan tiga pilar yaitu sosial, ekonomi dan ekologi yang didukung oleh institusi yang mapan. Terkait dengan konsep eco-settlement, Undang-Undang Perkim telah mengakomodir beberapa parameter dalam konsep tersebut, namun 1
beberapa hal seperti kriteria rumah sehat dan berwawasan lingkungan, proses pendidikan kepada masyarakat, partisipasi masyarakat dan penguatan kelembagaan perlu diatur dalam peraturan lain yang lebih rinci. Kata Kunci: Perumahan, Permukiman, Eco-settlement
Pendahuluan Pembangunan Millenium (millennium development) abad ke-21 ditandai dengan pesatnya laju pembangunan infrastruktur kawasan perkotaan hingga pedesaan. Hal ini berkontingensi kuat, selain dengan arus globalisasi juga dengan realisasi dari resolusi PBB No. 43/181/Des 1988 tentang penyediaan perumahan dan permukiman di Indonesia untuk mewujudkan rumah yang layak bagi semua (shelter for all). Dalam skala global, diperkirakan dua pertiga penduduk dunia akan tinggal di kawasan perkotaan sedangkan di Indonesia diperkirakan hingga 60 persen, artinya kawasan perkotaan di Indonesia akan menghadapi tantangan kompleks berupa dampak tekanan penduduk yang meningkat (Mangunjaya, 2006). Dampak dari meningkatnya tekanan penduduk adalah ketidakseimbangan ekologi lingkungan kawasan perkotaan khususnya oleh perluasan kawasan permukiman. Beberapa kota di Indonesia misalnya Jakarta, Medan, dan Surabaya telah mengalami hal yang demikian. Penyebabnya adalah arus urbanisasi yang cepat, konsentrasi pembangunan infrastruktur pada kawasan metropolis, alih fungsi lahan yang tinggi – konversi dari hutan kota, cagar alam, lahan pertanian produktif, pantai, dan daerah resapan air menjadi permukiman dan kawasan industri – dan dukungan pemerintah (political will) yang lemah serta partisipasi masyarakat yang rendah. Dampak negatif oleh tingginya tekanan penduduk antara lain meningkatnya intentitas genangan air, banjir, polusi udara, polusi suara, suhu perkotaan, kemacetan, permukiman kumuh, sedimentasi dan erosi Daerah Aliran Sungai (DAS), dan penyakit berbahaya seperti demam berdarah (DBD) dan diare. Pemerintah dituntut untuk mampu 2
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
memberikan mutu pelayanan tinggi terhadap masyarakatnya tetapi di sisi lain, penanganan masalah-masalah diatas membutuhkan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan sehingga berbagai permasalahan yang ada dapat tertangani. Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman merupakan indikator penting dalam menyangga peradaban manusia. Ini karena kondisi masyarakat dalam bermukim dapat menjadi tolok ukur kesejahteraan masyarakat. Pemerintah juga menjadikan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman sebagai program nasional untuk mewujudkan rumah layak huni bagi setiap keluarga di Indonesia. Hal itu dikarenakan pemenuhan hak dasar atas rumah merupakan amanat UUD 1945 Pasal 28H, setiap penduduk Indonesia berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain itu, perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa. Realisasi permukiman berwawasan lingkungan adalah bentuk mutu pelayanan yang tinggi dari pemerintah kota kepada masyarakatnya. Namun untuk mencapai hal tersebut, bertumpu pada peran pemerintah kota dan partisipasi masyarakat luas. Mengantisipasi masalah permukiman di kota-kota metropolis, di kota-kota besar –yang kelak akan menjadi kota metropolis, di kota kecil yang kelak akan menjadi kota besar- dan juga di pedesaan– yang kelak mungkin akan semakin padat- memerlukan langkah-langkah strategis. Perencanaan permukiman penduduk harus bertumpu pada pendekatan-pendekatan ekologis guna menjamin keberkelanjutannya. Menuju permukiman penduduk berwawasan lingkungan, ada dua prinsip yang perlu diperhatikan yaitu: [1] Ekosistem merupakan bagian integral dari permukiman penduduk sehingga pengelolaannya untuk memenuhi kebutuhan fisik, sosial, dan ekonomi harus melestarikan aspek
Anih Sri Suryani, Tantangan Implementasi …
3
keseimbangan ekosistem, dan [2] Harus ada harmonisasi unsur-unsur buatan manusia dengan unsur-unsur alami lingkungan yang ada.1 Pada tahun 2011, telah ditetapkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU Perkim). Berdasarkan Undang-undang tersebut negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Pada Pasal 2 dinyatakan bahwa perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan salah satunya dengan asas kesehatan, kelestarian dan berkelanjutan. Asas kesehatan adalah memberikan landasan agar pembangunan perumahan dan kawasan permukiman memenuhi standar rumah sehat, syarat kesehatan lingkungan, dan perilaku hidup sehat. Yang dimaksud dengan “asas kelestarian dan keberlanjutan” adalah memberikan landasan agar penyediaan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan memperhatikan kondisi lingkungan hidup, dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan laju kenaikan jumlah penduduk dan luas kawasan secara serasi dan seimbang untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Ditetapkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tersebut diharapkan dapat memperkuat komitmen dari seluruh pemangku kepentingan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan perumahan dan kawasan permukiman yang sehat, bersih dan memperhatikan kelestarian lingkungan. Tantangan untuk mewujudkan hal itu tidaklah mudah, 1
“Pembangunan Pedesaan Bertumpu pada Masyarakat”, http://amiere.multiply.com/ journal/item/10/LINGKUNGAN_Masyarakat_dan_Pemukiman, diakses tanggal 22 Februari 2011
4
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
kondisi perumahan di Indonesia saat ini dan juga kesiapan dari seluruh pemangku kepentingan untuk dapat mengimplementasikannya merupakan hal yang perlu dijadikan perhatian. Oleh karena itu tulisan ini akan mencoba mengupas bagaimana peluang dan tantangan implementasi konsep-konsep permukiman berwawasan lingkungan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2010 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta melihat fungsi dari masing-masing pemangku kepentingan dalam turut serta mengimplemetasikannya. Adapun tujuannya adalah untuk melihat apakah Undang-undang yang dimaksud sudah cukup mengakomodir prinsip-prinsip kelestarian lingkungan dan melihat peran dari masing-masing pemangku kepentingan dalam mewujudkan perumahan dan kawasan perumahan yang berwawasan lingkungan. Permasalahan Perumahan dan Permukiman di Indonesia Permasalahan pembangunan perumahan dan permukiman tidak bisa dilihat dari satu perspektif saja, melainkan perlu dilihat secara holistik. Karena penyelenggaraan bidang perumahan dan permukiman akan berimplikasi ke pelbagai aspek kehidupan diantaranya; aspek politik, aspek ekonomi, aspek sosial-budaya dan aspek lingkungan. Aspek politik terkait political will terhadap kebijakan perumahan baik dari segi kelembagaan maupun dari segi subsidi bidang perumahan dan permukiman yang berpihak kepada seluruh masyarakat. Aspek ekonomi menyangkut nilai bisnis pembangunan perumahan yang cukup tinggi. Aspek sosial-budaya terkait dengan proses interaksi masyarakat di dalam suatu kawasan perumahan dan permukiman yang perlu pembinaan. Aspek lingkungan menyangkut keseimbangan alam akibat pembangunan perumahan dan pengembangan permukiman yang tidak memperhatikan norma lingkungan sehingga menyebabkan bencana banjir dan krisis air tanah. Fenomena krisis perumahan dan permukiman bertambah kompleks dengan meningkatnya jumlah penduduk. Karena sejak era reformasi tidak digalakkan lagi program Keluarga Berencana (KB). Anih Sri Suryani, Tantangan Implementasi …
5
Sehingga terjadi pertambahan penduduk yang tidak terkendali. Akibatnya kebutuhan perumahan dan permukiman semakin tinggi, yang sulit diimbangi dengan tersedianya perumahan yang layak dan memadai. Kebijakan pembangunan perumahan sejak reformasi mengalami perubahan yang signifikan, yaitu terkait dengan perubahan sistem ketata-negaraaan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Era desentralisasi sebetulnya bisa menjadi momentum untuk membagi peran pembangunan perumahan kepada setiap daerah. Dalam PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pemerintah daerah memiliki wewenang dan kewajiban menyediakan perumahan rakyat mulai dari pembiayaan, pembinaan perumahan formal dan swadaya, pengembangan kawasan, pertanahan, pembinaan teknologi, hingga pengembangan pelaku pembangunan perumahan. Permasalahan yang akan muncul dikemudian hari, terkait implementasi kebijakan ini adalah tidak adanya landasan hukum yang memperkuat struktur di pemerintah pusat untuk melakukan intervensi kebijakan. Sehingga pembangunan bidang perumahan dan permukiman hanya diserahkan ke pemerintah daerah saja tanpa ada pengawalan yang tersistem dari struktur pemerintah pusat (Ilham, 2009).2 Berkaitan dengan aspek lingkungan, berbagai permasalahan lingkungan yang diakibatkan adanya perumahan atau permukiman yang tidak terencana/tertata baik antara lain: 1. Permasalahan banjir akibat pengelolaan drainase yang tidak terkelola baik dan ruang terbuka hijau yang tidak mencukupi; 2. Permasalahan pengelolaan limbah baik limbah padat rumah tangga/sampah, maupun limbah cair baik itu pembuangan dari dapur maupun dari kakus/MCK; 3. Terjadinya polusi udara dan kebisingan; 2
6
“Formulasi Atasi Masalah Perumahan di Era Otonomi Daerah”, http://pro-ilham. blogspot.com/2009/02/formulasi-atasi-masalah-perumahan-di.html, diakses tanggal 3 Maret 2011.
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
4. Kurang baiknya sarana dan prasarana lingkungan tersebut tidak hanya berdampak pada kenyamanan tetapi juga menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti diare, penyakit kulit, ISPA, dsb. 5. Kerusakan dan pencemaran air tanah dan air permukaan karena adanya ekploitasi kawasan permukiman. Masalah lingkungan dapat diukur dengan menggunakan skala spasial, yang meliputi rumah tangga, komunitas, kota, dan daerah/ bangsa. Pada banyak kejadian, isu-isu penting seperti kesehatan dan akses terhadap pelayanan dasar menghasilkan sebuah “masalah” lingkungan. Di negara berkembang, yang paling sering diperbincangkan adalah yang berkaitan dengan permukiman penghuni liar. Antara 30 s/d 60% penduduk di daerah perkotaan tinggal di permukiman liar yang cenderung menjadi permukiman kumuh (Srinivas, 2002). Hal tersebut pada umumnya diakibatkan oleh kebijakan yang berat sebelah dan berpihak pada kepentingan tertentu dan kekuatan pasar, yang menghalangi distribusi tanah dan pelayanan infrastruktur lain secara adil. Konsep Eco-settlements Definisi Pemikiran tentang eco-settlement bermula dari lingkup yang lebih kecil berupa single building yang secara mikro membahas secara lebih detail aspek-aspek teknologi atau rekayasa bangunan seperti penggunaan material lokal, atau teknologi-teknologi yang berkaitan dengan konservasi energi bangunan (Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2006). Selanjutnya, dari pemikiran eco-building dikembangkan ke lingkup yang lebih luas menjadi eco-settlement atau eco-city. Beberapa negara dan kota telah mengembangkan konsep eco-settlements yang dikaitkan dengan pengembangan konsep sustainable building, sustainable technologies, eco-town, dan eco-city (e.g., Turki, Leeds, dan London dalam Puslitbangkim, 2006). Eco-settlements terdiri dari dua kata yaitu eco dan settlements yang berarti tempat bermukim/tempat tinggal yang ekologis. Berdasarkan Anih Sri Suryani, Tantangan Implementasi …
7
arti tersebut terlihat konsep eco-settlements mengarah pada pencapaian nilai ekologis. Di sisi lain, konsepsi eco-settlements dapat dinyatakan sebagai pengembangan dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal ini dikarenakan dalam penerapannya konsep ini harus mengharmonisasikan tiga pilar berkelanjutan yaitu sosial, ekonomi, dan ekologi. Oleh karena itu, definisi eco-settlements harus mengarah pada pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan merupakan kapasitas sistem dalam mempertahankan keberlanjutan dari sistem tersebut (Moldan dan Dahl, 2007). Selain itu, pembangunan berkelanjutan juga dapat didefinisikan sebagai pembangunan manusia, sistem sosial, dan sistem ekonomi untuk mempertahankan keberlanjutannya melalui harmonisasi dengan sistem biofisik. Komponen dalam pembangunan berkelanjutan dikenal dengan tiga pilar keberlanjutan yang mencakup aspek sosial, ekonomi, dan ekologis, Dalam pengembangannya UN Commission on Sustainable Development (CSD) mencantumkan aspek insitusi/ kelembagaan sebagai pilar yang keempat. Insitusi/lembaga dipandang sebagai bagian yang dapat memfasilitasi dalam melakukan program dan kegiatan. Berdasarkan hal tersebut diperoleh definisi eco-settlements adalah suatu konsep penataan permukiman dengan mengharmonisasikan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi menuju keberlanjutan ekosistem dengan didukung oleh sistem kelembagaan yang kapabel. Secara diagramatis, keterkaitan antar aspek tersebut dapat terlihat pada Gambar 1.
8
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Gambar 2.1 Aspek-aspek yang Terkait dalam Eco-settlements
Kriteria Dalam menerapkan konsep eco-settlements harus diketahui terlebih dahulu kriteria/karakteristik dari eco-settlements itu sendiri. Identifikasi kriteria eco-settlements dapat diperoleh dari karakteristik sustainable building, sustainable technologies, eco-town, dan eco-city yang telah dikembangkan di beberapa negara dan kota (e.g., Turki, Leeds, dan London), seperti yang disampaikan pada Tabel 1.
Anih Sri Suryani, Tantangan Implementasi …
9
Tabel 1. Kriteria Eco-settlements yang Telah Diterapkan di Beberapa Negara dan Kota Aspek Eco-settlements Pembangunan Berkelanjutan34 Sosial Kesehatan dan keamanan Pengetahuan dan pendidikan Persepsi dalam hidup sehat Capacity building Ekonomi Material dan energy Siklus ekonomi Distribusi pendapatan Pertumbuhan ekonomi Aksesibilitas Local EconomicDevelopment Ekologi
Institusi/Kelembagan
3 4 5 6 7
Biodiversity Kualitas Udara Kualitas dan Pemanfaatan Air Guna lahan Energi Pemanfaatan Sumberdaya Perubahan Iklim Teknologi tepat guna
Kapasitas Institusi
Bauler et al. (2007) Said (2006) Leeds City Region Urban Eco-settlements (2009) Acma (n.a) Department of Communities and Local Government (2008)
10
Kriteria Eco-settlements Leeds5 Turkey6 Kebiasaan masyarakat Budaya Kapasitas masyarakat Pendidikan Partisipasi Pemberdayaan masyarakat Aksesibilitas ke pusat Kesempatan kerja perekonomian Pendapatan Kesempatan kerja Skala ekonomi Pendanaan Inovasi teknologi replikasi di lokasi lain Kualitas permukiman Kualitas udara dan rumah Kualitas dan kuantitas Air Standar rumah dan Rumah sehat gedung Guna lahan Perubahan iklim Perubahan iklim Energi (siklus hidrologi, Biodiversity sistem kalor) Energi Emisi CO2 Teknologi berwawasan Pemanfaatan lingkungan sumberdaya Sustainable technologies Guna lahan (ruang terbuka, RTH) Integrasi antar stakeholders Dukungan kerjasama antar stakeholders Dukungan Kebijakan
London7 Pemberdayaan komunitas
Aksesibilitas/ transportasi Strategi ekonomi Kesempatan kerja Inovasi pengurangan cost dan replikasi Sarana dan prasarana Biodiversity Kualitas udara (Zero carbon) Kualitas, konservasi, dan pemanfaatan air (efisiensi) Siklus hidrologis Manajemen Sumberdaya Perubahan iklim Mitigasi bencana Material dan energi Teknologi Limbah Guna lahan (ruang terbuka, daerah konservasi, landscape) Pelayanan Publik Dukungan pemerintah
Berdasarkan Tabel 1 tersebut, dapat teridentifikasi kriteria ecosettlements. Kriteria tersebut ditentukan berdasarkan kesamaan kriteria yang digunakan oleh beberapa kota dan negara dalam menerapkan konsep eco-settlements. Adapun kriteria tersebut, dapat terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kriteria Eco-settlements Aspek Eco-settlements Ekologi
Kriteria
Biodiversity Kualitas udara (termasuk emisi CO2) Kualitas dan kuantitas air Rumah sehat Guna lahan Perubahan iklim Energi (siklus kalor, siklus hidrologis) Teknologi berwawasan lingkungan
Sosial
Kapasitas masyarakat (pendidikan, partisipasi, kebiasaan) Pemberdayaan masyarakat
Ekonomi
Inovasi teknologi Local economic development (kesempatan kerja, peningkatan kesejahteraan/pendapatan) Aksesibilitas (transportasi)
Kapasitas institusi (kerjasama dan dukungan kebijakan) Sumber: Puslitbangkim, 2006 Kelembagaan
Dari kriteria yang telah teridentifikasi, maka dapat dijadikan sebagai dasar dalam penentuan indikator dan parameter dari Ecosettlements. Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman Menurut naskah akademiknya, Undang-undang tentang perumahan dan permukiman ini diharapkan dapat menjadi affirmative action negara yang memberikan jaminan dan memprioritaskan pengadaan perumahan dan permukiman yang layak bagi masyarakat Anih Sri Suryani, Tantangan Implementasi …
11
miskin berpenghasilan rendah, yang sampai saat ini terpinggirkan oleh meluasnya penguasaan perumahan dan permukiman oleh pengembang besar. Penyelenggaraan perumahan dan permukiman diarahkan untuk mengusahakan dan mendorong terwujudnya kondisi setiap orang atau keluarga di Indonesia yang mampu bertanggung jawab di dalam memenuhi kebutuhan perumahannya yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan guna mendukung terwujudnya masyarakat serta lingkungan yang berjati diri, mandiri, dan produktif. Masyarakat ditempatkan sebagai pelaku utama dengan strategi pemberdayaan karena hakekatnya keberadaan rumah akan sangat menentukan kualitas masyarakat dan lingkungannya di masa depan, serta prinsip pemenuhan kebutuhan akan perumahan adalah merupakan tanggung jawab masyarakat sendiri. Sementara pemerintah harus lebih berperan sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya pemberdayaan bagi berlangsungnya seluruh rangkaian proses penyelenggaraan perumahan dan permukiman demi terwujudnya keswadayaan masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau secara mandiri sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam rangka pengembangan jati diri, dan mendorong terwujudnya kualitas lingkungan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan, baik di perkotaan maupun di perdesaan Secara sosiologis rumah dilihat sebagai tempat suatu keluarga membentuk jati diri keluarga, dengan adanya rumah, keluarga menjadi mempunyai kebanggaan dan mempunyai jati diri. Berangkat dari keadaan itu dapat diharapkan suatu keluarga menjadi keluarga yang lebih sejahtera. Dalam padangan sosiologis oleh karenanya rumah dan permukiman seringkali dianggap dapat memberikan citra pada pemiliknya. Persoalan kesehatan lingkungan perumahan dan permukiman sangat mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat penghuninya. Selain secara fisik perumahan harus memenuhi syarat rumah sehat, 12
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
perilaku hidup sehat dari masyarakat sangat penting dan strategis untuk terus didorong dan ditumbuhkembangkan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Aktualisasi pembangunan yang berwawasan kesehatan sangat diperlukan dalam upaya penanganan permukiman kumuh, dan pencegahan terjadinya lingkungan yang tidak sehat serta menghambat penciptaan lingkungan permukiman yang responsif. Dalam Undang-Undang Perkim itu dinyatakan bahwa dalam rangka pengembangan penataan lingkungan perumahan dan permukiman serta pemantapan standar pelayanan minimal perumahan dan permukiman, harus pula dipertimbangkan pentingnya: pencegahan perubahan fungsi lahan; menghindari upaya pemaksaan/penggusuran dalam pelaksanaan pembangunan; mengembangkan pola hunian berimbang; menerapkan proses perencanaan dan pengaturan perumahan dan permukiman yang bertujuan untuk menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, serasi, aman, teratur, terpadu,terencana, dan berkelanjutan; menganalisis dampak lingkungan melalui kegiatan: - Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); - Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL); - Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL); - Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL); - Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) secara konsisten; meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan; memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan permukiman. Konsep Eco-settlement dalam Undang-Undang Perkim Kriteria eco-settlements menurut Puslitbangkim Kementrian Pekerjaan Umum meliputi empat aspek yaitu ekologi, sosial, ekonomi Anih Sri Suryani, Tantangan Implementasi …
13
dan kelembagaan (Tabel.2). Harmonisasi dari keempat aspek itu diharapkan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan menuju keberlanjutan ekosistem yang didukung oleh sistem kelembagaan yang kapabel. Jika dikaitkan dengan Undang-Undang Perkim, berbagai kriteria tersebut telah diakomodir dalam berbagai pasal yang tertuang dalam UU Perkim. Pembangunan berkelanjutan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman dilaksanakan dengan pencapaian tujuan pembangunan lingkungan, pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi. Aspek Ekologi Dalam aspek ekologi, kriteria yang terkait langsung dengan UU Perkim adalah kualitas udara, kualitas air, rumah sehat, guna lahan dan teknologi berwawasan lingkungan. UU Perkim sarat akan muatan ekologis. Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup. Tempat tinggal yang layak dan rumah sehat yang menjamin lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang merupakan salah satu ketentuan terkait permukiman yang dinyatakan UU Perkim ini. Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman pun hendaknya memanfaatkan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta memanfaatkan industri bahan bangunan yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal yang aman bagi kesehatan. Kualitas udara dan kualitas air tidak disinggung langsung dalam UU Perkim ini, hanya disinggung secara umum yaitu kualitas lingkungan. Dengan demikian, peraturan lanjutannya yang akan dibuat (misal peraturan pemerintah dan peraturan daerah) harus menyinggung secara spesifik tentang pentingnya menjaga kualitas udara, serta kualitas dan kuantitas air.
14
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Aspek Sosial Aspek sosial meliputi kapasitas masyarakat (pendidikan, partisipasi, dan kebiasaan) dan juga pemberdayaan masyarakat. UU Perkim mengamanatkan bahwa masyarakatlah yang ditempatkan sebagai pelaku utama dengan strategi pemberdayaan karena hakekatnya keberadaan rumah akan sangat menentukan kualitas masyarakat dan lingkungannya di masa depan, serta prinsip pemenuhan kebutuhan akan perumahan adalah merupakan tanggung jawab masyarakat sendiri. Dengan demikian kriteria pemberdayaan masyarakat diberi bobot yang demikian besar dalam implementasi UU Perkim ini. Pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat. Kapasitas masyarakat berkenaan dengan pendidikan, partisipasi dan kebiasaan belum tertuang secara langsung di UU Perkim ini. Dengan demikian, merupakan tanggung jawab pemerintah untuk dapat terus membina dan memberikan pendidikan yang cukup kepada masyarakat agar mereka dapat berpartisipasi dalam penyelenggaran perumahan dan permukiman. Berbagai bentuk pembinaan dan sosialisasi perlu terus dilakukan agar masyarakat mengetahui dan memahami hak dan kewajibannya. Aspek Ekonomi Salah satu hal yang menjadi bahan pertimbangan ditetapkannya UU Perkim ini adalah bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia. Selain itu perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan dengan berasaskan kesejahteraan, keadilan dan pemerataan, serta keterjangkauan dan kemudahan. Dengan demikian kriteria aspek ekonomi yang meliputi peningkatan kesejahteraan dan aksesibilitas sudah terwakili dalam UU Perkim ini. Anih Sri Suryani, Tantangan Implementasi …
15
Kriteria inovasi teknologi juga disinggung dalam UU Perkim dimana pemeritah harus merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa teknologi di bidang perumahan dan kawasan permukiman yang juga ramah lingkungan. Kelembagaan Kapasitas institusi, kerja sama antar institusi dan dukungan kebijakan merupakan kriteria penting dalam aspek kelembagaan. UU Perkim merupakan penegasan politik hukum nasional di bidang perumahan dan kawasan permukiman. Dalam hal institusi UU Perkim telah mengatur tugas dan wewenang dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam pelaksanaan UU ini. UU ini juga mengatur tentang penguatan kelembagaan bidang perumahan. Dalam hal ini wewenang Kementerian Perumahan Rakyat ke depan akan diperkuat sehingga dapat mengurangi kekurangan kebutuhan (backlog) perumahan. Pemerintah bertugas melaksana-kan pembinaan dalam hal penyelenggaraan rumah dan perumahan. Pemerintah dapat mendirikan suatu lembaga atau badan yang bertanggung jawab:
a. membangun rumah umum, rumah khusus, dan rumah negara; b. menyediakan tanah bagi perumahan; dan c. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian. Selain Pemerintah, dan Pemerintah Daerah juga dapat memberikan izin kepada badan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia yang kegiatannya di bidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Pemerintah Daerah wajib memberikan kemudahan perizinan bagi badan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR.
16
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Penerapan Konsep Dikarenakan akan dilakukan penerapan skala penuh, maka penerapan konsep menjadi salah satu bagian yang penting untuk dikaji dalam studi literatur. Dalam penerapan konsep Eco-settlements, selain memperhatikan berbagai kriteria yang telah ditentukan, juga dapat studi komparatif dari penataan dengan konsep permakultur, yang disusun oleh yayasan IDEP – Bali. Permakultur yaitu mengharmonisasikan antara alam dan manusia dengan cara berkelanjutan. Permakultur dapat digunakan baik di desa maupun di kota. Permakultur menggunakan praktik-praktik pengelolaan alam tradisional yang diintegrasikan dengan teknologi modern tepat guna. Prinsip permakultur meliputi (IDEP): Rumah-rumah yang dirancang untuk kesehatan, dengan pemanfaatan energi sedikit mungkin dan serta dibangun dengan bahan-bahan berkelanjutan; Semua air limbah dibersihkan di lokasi. Air limbah dan sampah digunakan kembali/didaur ulang atau dikelola dengan cara yang bertanggungjawab. Salah satu penanggulangan limbah dapat menggunakan bagan alir seperti pada Gambar 2. Gambar 2. Bagan Alir Penanggulangan Air Limbah
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009
Anih Sri Suryani, Tantangan Implementasi …
17
Pohon-pohon menyediakan naungan, buah-buahan, kacangkacangan dan menahan angin; Penggunaan teknologi tepat guna, seperti sumber listrik alami. Hal ini sejalan dengan teknologi Biogas yang telah dihasilkan oleh LIPI yang memanfaatkan limbah ternak (3 ekor) atau limbah manusia atau sampah organik untuk menghasilkan listrik 700 watt yang dapat dimanfaatkan selama 7-8 jam pada pemakaian setiap hari (Sudrajat, 2007); Kebun dapur, kompos, pembibitan, peternakan kecil, akuakultur terintegrasi dan saling berdekatan; Tindakan tepat untuk mengurangi resiko bencana dilakukan untuk membantu melindungi desa;
Peluang Implementasi Konsep Eco-settlements di Indonesia Uraian di atas mengaksentuasikan, selain dukungan permerintah dalam hal regulasi, dana, bantuan teknis juga perlu penyiapan komponen-komponen lain berupa: [1] Fisik (lahan, vegetasi, limbah rumah tangga, air, suhu, dsb), [2] Sosial (pendidikan, kesadaran, pengetahuan, keterampilan, penguasaan teknologi, partisipasi dan solidaritas masyarakat, dsb), [3] Ekonomi (lapangan pekerjaan, usaha, dan manfaat ekonomi lainnya), dan [4] Teknologi (pengolahan limbah, pemeliharaan vegetasi, pemanfaatan hasil vegetasi, bioenergi, dsb). Jumlah dan jenis vegetasi sangat menentukan kualitas ekosistem permukiman karena berfungsi sebagai produsen oksigen dan mengurangi emisi karbondioksida (CO2) melalui proses fotosintesa. Manfaat lain yaitu sebagai peredam suara, penyejuk udara, pencegah erosi, meningkatkan daya resap tanah, estetika, sumber obat-obatan alami dan gizi berupa karbohidrat, vitamin, mineral dan protein Pengolahan limbah rumah tangga (RT) seperti limbah organik dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik, bahan biopori, bahan hidroponik, dan sumber bioenergi. Hal ini akan memberikan nilai lebih (surplus value) dan secara perlahan akan mengubah persepsi masyarakat tentang limbah khususnya limbah organik.
18
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Partisipasi masyarakat dalam memelihara permukimannya sangat ditentukan oleh tingkat sumberdaya manusia (human resource) meliputi kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan penguasaan teknologi. Selain itu, solidaritas sosial sebagai perilaku kolektif masyarakat menentukan optimalisasi pencapaian pelestarian ekosistem permukiman sehingga metode investasi sumberdaya manusia dan pendekatan partisipasif secara berkesinambungan sangat penting artinya. Minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian lingkungan sangat ditentukan oleh pertimbangan manfaat yang akan mereka dapatkan nantinya, hal ini wajar mengingat masyarakat kita umumnya tergolong ekonomi lemah. Oleh karena itu, upaya pengintegrasian kepentingan ekonomi dan ekologi adalah tantangan utama. Agribisnis perkotaan berbasis pendayagunaan tanaman dan pengolahan hasil produk pertanian adalah bentuk usaha ekonomi yang berwawasan lingkungan. Teknologi sangat membantu manusia dalam memenuhi kebutuhannya, namun memiliki dampak positif dan negatif sehingga pertimbangan aspek kemanfaatan terhadap lingkungan adalah yang utama. Untuk mengurangi genangan air dan banjir (sumber penyakit) dapat dilakukan melalui penerapan teknologi lubang resapan biopori (LRB) yang ramah lingkungan, sederhana, dan ekonomis serta mudah diterima oleh masyarakat (acceptable). Simpulan Permukiman yang sehat bertumpu dari suasana harmonis antara kondisi ekosistem dan fisik permukiman. konsep eco-settlement yang mengharmonisasikan tiga pilar berkelanjutan yaitu sosial, ekonomi, dan ekologi baik untuk dikembangkan dalam mewujudkan permukiman yang berwawasan lingkungan. Peran pemerintah selain dalam hal regulasi, dana, bantuan teknis juga perlu penyiapan komponen-komponen berupa komponen fisik, sosial, dan ekonomi. Terkait dengan UU Perkim, beberapa kriteria eco-settlement telah terakomodir dalam Undang-undang tersebut, namun beberapa hal seperti kriteria rumah sehat dan berwawasan lingkungan, proses Anih Sri Suryani, Tantangan Implementasi …
19
pendidikan kepada masyarakat, partisipasi masyarakat dan penguatan kelembagaan perlu diatur dalam peraturan lain yang menyertainya. Partisipasi masyarakat dalam memelihara permukimannya sangat ditentukan oleh tingkat sumberdaya manusia (human resource) meliputi kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan penguasaan teknologi. Selain itu, solidaritas sosial sebagai perilaku kolektif masyarakat menentukan optimalisasi pencapaian pelestarian ekosistem permukiman sehingga metode investasi sumberdaya manusia dan pendekatan partisipasif secara berkesinambungan sangat penting artinya bagi terwujudnya perumahan dan permukiman yang berwawasan lingkungan.
20
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
DAFTAR PUSTAKA Buku Hadi, Sudharto, 2005. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Yogyakarta, Gajah Mada University Press. Inoguchi, Takashi, Edward Newman, Glen Paoletto, 2003. Kota dan Lingkungan Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Jakarta:LP3ES. Neolaka, Amos, 2008. Kesadaran Lingkungan, Jakarta: Rineka Cipta Soeriaatmadja, R.E, 1997. Ilmu Lingkungan, Bandung: Penerbit ITB Triyadi, Sugeng, Andi Harapan, 2008. Lingkungan Bangunan & Utilitasi. Bandung: Penerbit ITB. Dokumen Naskah Akademik Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, 2006, Penerapan Eco-Settlements di Hulu DAS Cimanuk, Bandung: Puslitbangkim. Internet Pembangunan Pedesaan Bertumpu pada Masyarakat”, http://amiere. multiply.com/journal/item/10/LINGKUNGAN_Masyarakat_dan _Permukiman, diakses tanggal 22 Februari 2011. “Formulasi Atasi Masalah Perumahan di Era Otonomi Daerah”, http://pro-ilham.blogspot.com/2009/02/formulasi-atasi-masa lah-perumahan-di.html, diakses tanggal 3 Maret 2011. http://www.konsumenproperti.com/Regulasi/dpr-uu-perumahan-dankawasam-permukiman-siap-disahkan.html, diakses 3 Juni 2011. http://wartapedia.com/sosial/psks/1191-uu-perumahan-rakyat--dorongkepemilikan-perumahan-warga-berpenghasilan-rendah.html, diakses tanggal 3 Juni 2011. http://www.gema-nurani.com/2011/01/uu-perumahan-dan-permukim an-untuk-kehidupan-yang-lebih-layak/, diakses 3 Juni 2011.
Anih Sri Suryani, Tantangan Implementasi …
21
22
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
TINDAK KEKERASAN TERHADAP JAMAAH AHMADIYAH INDONESIA: Sebuah Kajian Psikologi Sosial Lukman Nul Hakim Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI Abstract This article studies the violence towards Jamaah Ahmadiyah member from social psychology perspective. It tries to find out the process of how the negative attitudes formed and how we can resolve them. Some factors contribute to the formation of negative attitude towards Jamaah Ahmadiyah members, such as benchmark policy from another country towards Jamaah Ahmadiyah, government decision, fatwa from an Islamic Cleric Groups, statement from prominent people, weak law enforcement, and so forth. A comprehensive action should be implemented to overcome the problem. Keywords: Ahmadiyah, Agression, Violence, Social Psychology Abstrak Tulisan ini mempelajari kekerasan terhadap anggota Jamaah Ahmadiyah dilihat dari sudut pandang Psikologi Sosial. Tulisan ini mencoba mencari tahu bagaimana proses terbentuknya sikap negatif tersebut dan bagaimana cara memperbaikinya. Beberapa faktor mempengaruhi pembentukan sikap negatif terhadap anggota Jamaah Ahmadiyah, diantaranya kebijakan negara lain terhadap Jamaah Ahmadiyah, keputusan pemerintah, fatwa dari kelompok ulama Islam, pernyataan dari tokoh-tokoh, lemahnya penegakan hukum, dsb. Tindakan yang komprehensif harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kata kunci: Ahmadiyah, Agresi, Kekerasan, Psikologi Sosial
Pendahuluan Insiden-insiden kekerasan dimana seorang warga masyarakat biasa dapat melakukan tindak kekerasan di luar batas norma masyarakat merupakan sinyal ada yang salah di masyarakat. Sebuah 23
penyakit sosial yang jika dibiarkan dapat menyebar lebih luas. Kondisi menjadi lebih buruk ketika kekerasan telah diadopsi menjadi bagian dari budaya dalam masyarakat. Penulis tertarik untuk menelaah masalah ini dari sudut pandang ilmu Psikologi. Berbeda dengan Sosiologi yang lebih memfokuskan perhatiannya pada sistem dan struktur sosial yang dapat berubah atau konstan tanpa tergantung pada individu-individu, Psikologi Sosial lebih memusatkan perhatiannya pada perilaku individu. Singkatnya unit analisis Psikologi Sosial adalah individu, sedangkan Sosiologi adalah kelompok. (Sarwono, 1997). Dari sekian banyak aksi kekerasan yang terjadi di Masyarakat penulis memfokuskan diri pada kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah. Ketertarikan ini dipicu oleh tindak kekerasan yang telah dilakukan oleh sejumlah oknum masyarakat terhadap Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik pada 6 Februari 2011 dan menewaskan empat orang. Fakta menunjukkan grafik kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah semakin meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi eskalasi rasa marah terhadap Jamaah Ahmadiyah. Sehingga dipandang perlu adanya tinjauan masalah kekerasan, atau dalam terminologi psikologi biasa disebut agresi, terhadap Jamaah Ahmadiyah ini secara lebih mendalam dengan pendekatan ilmu Psikologi Sosial. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaanpertanyaan berikut, pertama, bagaimana proses terbentuknya sikap negatif yang berujung pada tindak kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah Indonesia dilihat dari perspektif psikologi sosial? Kedua, apa saja langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menetralisir sikap negatif dan menghilangkan atau setidaknya mengurangi tindak kekerasan terhadap JAI? Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas penulis menggunakan studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan datadata sekunder dari buku, koran, dan internet. Untuk kemudian data-
24
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
data tersebut diolah dengan pendekatan deskriptif analitis yaitu dianalisa berdasarkan data-data yang tersedia secara detail.
Ahmadiyah Ahmadiyah adalah sebuah kelompok yang mengambil prinsipprinsip dasarnya dari ajaran Agama Islam. Ahmadiyah dibentuk oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mulai membangun kelompoknya pada tahun 1889 di Punjab yang berjarak sekirat 90 mil dari Lahore di India. Mirza Ghulam Ahmad lahir pada tanggal 13 Februari 1835, ia merupakan anak kedua dari Mirza Ghulam Murtaza, seorang kepala suku di Punjab dan tuan tanah di Desa Qadian di India. Ia terlahir kembar, saudari kembarnya meninggal beberapa hari setelah kelahirannya. Paragraph awal buku biografi Mirza Ghulam Ahmad of Qadian dimulai dengan kalimat, “Muhammad, Nabi Allah yang suci, telah berkata bahwa setelah dia akan datang Al Masih yang dijanjikan. Yang salah satu tugasnya adalah membangkitkan kembali Islam, mengubah dunia dan menyatukan semua agama-agama”, dan Mirza Ghulam Ahmad meyakini bahwa dialah Al Masih yang dijanjikan itu. Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia pada tanggal 26 Mei 1908 dan dikebumikan di Qadian, sehingga ia sering disebut sebagai Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Sebelum meninggal ia berwasiat supaya kepemimpinan Jamaah Ahmadiyah diserahkan kepada majelis yang dipilih dari anggota Jamaah tersebut. Khalifah pertama sepeninggalnya ialah Maula Nuruddin. Pada perkembangannya Kelompok Ahmadiyah terpecah dua, yaitu kelompok Qadian dan Kelompok Lahore. Kelompok Qadian meyakini Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi yang tidak membawa syariat. Sedangkan Kelompok Lahore hanya menganggap ia sebagai seorang pembaharu dalam Islam. Konsep kenabian inilah yang menjadi titik pangkal berbagai tindakan diskriminasi terhadap jamaah Ahmadiyah.
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap …
25
Ahmadiyah Qadian mengklaim bahwa pengikutnya pada tahun 1989 sekitar 10 juta orang dari 120 negara. Dan telah berhasil menafsirkan sebagian besar Kitab Suci Al Quran dalam 117 bahasa. Di Indonesia masuknya Ahmadiyah dimulai ketika tiga pemuda Indonesia asal Madrasah Tawalib di Padang, Sumatra Barat memutuskan untuk menimba ilmu agama ke India, yang didasari kekaguman mereka terhadap seorang Da’i Islam asal India karena telah memfasilitasi masuk Islamnya seorang berkebangsaan Inggris. Langkah ke tiga orang tersebut yaitu Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan kemudian diikuti oleh 23 orang pemuda dari Madrasah Tawalib untuk ikut belajar di Lahore (saat itu wilayah India, sekarang Pakistan). Untuk mengembangkan ajarannya pada tahun 1925 Jamaah Ahmadiyah mengirimkan muballigh-nya yang bernama Maulana Rahmat Ali ke Indonesia. Setelah menyebarkan ajarannya di Tapaktuan Aceh, Ia melanjutkan misinya ke Padang, Sumatra Barat, dan secara resmi mendirikan organisasi Ahmadiyah pada tahun 1929. Tahun 1930 Maulana Rahmat Ali melanjutkan misinya ke Jakarta, dan pada tahun 1932 terbentuk Pengurus Besar Ahmadiyah di Jakarta dengan R. Muhyiddin menjadi ketuanya. Pada tahun 1987 Pusat Jamaah Ahmadiyah pindah ke Parung Bogor. Saat ini terdapat 181 cabang Jamaah Ahmadiyah di seluruh Provinsi di Indonesia. Beberapa pandangan dari ajaran Kelompok Ahmadiyah yang bertentangan dengan Islam arus utama, yaitu bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi. Sedangkan dikalangan Islam arus utama diyakini Nabi Muhammad SAW adalah nabi penutup (Khataman Nabiyyin). Zulkarnaen (2011) menuliskan bahwa Ahmadiyah Qadian memahami kenabian atas tiga klasifikasi, pertama nabi Sahibu al-syariah dan mustaqil. Sahibu al-syariah artinya nabi yang membawa syariat (hukum-hukum) untuk manusia. Mustaqillah artinya menjadi nabi dengan tidak karena hasil itha’at, mengikuti nabi sebelumnya. Seperti nabi Musa as, beliau menjadi nabi bukanlah hasil dari mengikuti nabi 26
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
atau syariat sebelumnya. Ia langsung menjadi nabi dan membawa Taurat, begitu pula Nabi Muhammad SAW. Nabi semacam ini dapat juga disebut Nabi Tasyri’i dan mustaqil (langsung). Kedua, nabi Mustaqil Ghair al-Tasyri’i, yakni menjadi nabi dengan langsung, bukan hasil mengikuti nabi sebelumnya, tetapi tidak membawa syariat baru. Ia digabungkan dengan syariat yang dibawa nabi sebelumnya. Artinya Ia ditugaskan menjalankan syariat yang dibawa nabi sebelumnya. Seperti nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya dan Nabi Isa. Ketiga nabi zhilli, ghair al-tasyri’i, artinya Ia mendapat anugerah Allah menjadi nabi semata-mata hasil kepatuhan kepada nabi sebelumnya dan juga mengikuti syariatnya. Jadi kenabian itu dibawah kenabian sebelumnya dan tidak ada syariat baru, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. Permasalahan lainnya yang berbeda dengan pemahaman Islam arus utama di Indonesia (sunni) adalah mengenai meninggalnya Nabi Isa. Islam Sunni meyakini bahwa Nabi Isa AS setelah disalib kemudian diangkat oleh Allah SWT. Akan tetapi menurut Jamaah Ahmadiyah Qadian Nabi Isa AS telah meninggal dunia. Dalam buku Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Imam Muhammad Abu Zahrah (1996) menuliskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad mulai menyebarkan aktivitasnya di kalangan Muslimin India ketika Ia mengungkap tentang sebuah makam seorang wali yang bernama Yusuf Asa’af di Kashmir yang menurutnya adalah makam Nabi Isa Ibn Maryam. Mirza Ghulam Ahmad meyakini Nabi Isa telah meninggal seperti manusia pada umumnya. Setelah di salib Nabi Isa tidak meninggal dunia melainkan berhasil melarikan diri dari kejaran bangsa Yahudi. Mirza Ghulam Ahmad mencoba membuktikan salah satu bagian yang ditegaskan Al-Quran yaitu bahwa kaum Yahudi tidak mampu membunuh Nabi Isa. Pada saat yang sama ia mengatakan bahwa ‘Isa tidak diangkat ke langit, ia justru dimakamkan di bumi”.
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap …
27
Pembentukan Agresivitas Dalam upaya memahami proses terbentuknya sikap negatif dan prasangka yang bermuara pada tindakan kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah Qadian, penulis memandang perlu menyajikan beberapa kerangka pemikiran teoritis psikologi sosial. Dalam perspektif psikologi sosial, proses pembentukan perilaku kekerasan dapat dilihat dari prinsip teori belajar yang diperkenalkan oleh Edward L. Thorndike (1901) dan kemudian dipertajam oleh B.F. Skinner (1953) yaitu Instrumental Conditioning dan Observational Learning. Prinsip teori belajar instrumental adalah bahwa ketika suatu perilaku mendapatkan konsekwensi yang positif, atau konsekwensi yang diharapkan maka perilaku tersebut akan dilakukan kembali. Sedangkan sebaliknya, suatu perilaku yang mendapatkan konsekwensi negatif atau respon yang tidak diharapkan, maka perilaku tersebut tidak akan diulangi lagi. Sebagai contoh, ada seorang siswa SD bernama A yang selalu mengganggu teman-temannya. Dia tidak pernah berhenti menggoda teman-temannya sampai temannya itu menangis. Melihat perilaku A, guru memberikan hukuman dengan berdiri di depan kelas. Anehnya hukuman tersebut tidak menyurutkan kenakalan si A, justru kenakalannya makin menjadi-jadi. Setelah berkonsultasi dengan psikolog, guru mengubah bentuk hukuman terhadap si A. Kali ini setiapkali A nakal maka dia tidak di marahi, tetapi justru di cuekin. Perlahan namun pasti A kemudian berubah, A tidak lagi berperilaku nakal yang ternyata hanyalah upayanya untuk mendapatkan perhatian, lambat laut perilakunya lebih bisa diterima teman-temannya. Cerita tersebut memperjelas bahwa yang dimaksud dengan konsekwensi negatif adalah, konsekwensi yang tidak diharapkan oleh yang bersangkutan. Guru memberikan hukum berdiri didepan kelas karena secara umum orang memandang bahwa hal tersebut adalah hukuman. Tetapi untuk orang lain, hukuman tersebut ternyata malah menjadi reward atau hadiah, karena membuat dia lebih ‘exist’, lebih keren, dan ia justru berhasil mendapatkan yang diinginkan. Begitupun konsekwensi positif adalah respon yang sesuai dengan yang diharapkan. 28
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Sedangkan Pembelajaran observasi (Observational Learning) terjadi ketika individu mendapatkan bentuk perilaku baru atau pikiran baru dengan hanya mengamati aksi orang lain. Proses Observational Learning terjadi tanpa harus adanya keinginan dari satu pihak untuk mempengaruhi perilaku pihak lainnya. Pembelajaran juga terbentuk melalui social comparison, yaitu kecenderungan manusia untuk membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain, untuk menentukan apakah pandangan kita terhadap kenyataan sosial adalah benar atau tidak benar. Seorang anak misalnya tidak perlu menyentuh api untuk mengetahui bahwa memegang api itu dapat melukai. Cukup dengan melihat orang lain kesakitan karena terkena api seorang anak tahu bahwa api berbahaya.
Prasangka, Diskriminasi dan Agresi Prasangka adalah sebuah sikap (yang biasanya negatif) terhadap anggota sebuah kelompok, semata-mata karena keanggotaannya pada kelompok tersebut. Dengan kata lain seseorang yang berprasangka terhadap sebuah kelompok cenderung menilai anggota kelompok tesebut dengan cara tertentu (yang biasanya negatif) semata-mata karena mereka merupakan anggota kelompok tersebut. Sementara diskriminasi adalah tindakan negatif terhadap kelompok yang menjadi target prasangka (Baron & Byrne, 2004). Myers (dalam Hakim, 2010) mendefinisikan sikap sebagai reaksi penilaian terhadap sesuatu atau seseorang yang ditunjukkan melalui keyakinan, perasaan maupun kecenderungan bertingkah laku. Sedangkan Eagly dan Chuken (dalam Hakim, 2010) mengatakan bahwa sikap merupakan kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi suatu entitas tertentu dengan derajat kesukaan atau ketidaksukaan.
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap …
29
Dalam prasangka terdapat dua unsur yang menyertainya. Pertama, bahwa sikap berfungsi sebagai skema1, yang merupakan kerangka kerja untuk mengorganisir, menginterpretasikan, dan mengingat informasi tertentu. Sehingga seseorang yang berprasangka terhadap kelompok tertentu cenderung memproses informasi mengenai kelompok tersebut secara berbeda dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sebagai contoh, informasi terkait target prasangka seringkali diberikan lebih banyak perhatian, atau diproses secara lebih seksama dibandingkan dengan informasi yang tidak terkait target prasangka. Selain itu juga, informasi yang konsisten dengan pandangan negatif seringkali mendapatkan perhatian lebih sehingga diingat dengan lebih akurat dibandingkan dengan informasi yang tidak sesuai dengan pandangan negatif yang sudah ada dipikirannya. Sebagai hasilnya prasangka menjadi semacam kacamata pembesar kognitif yang mempunyai zoom, dan cenderung semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Kedua, sebagai sikap, prasangka juga melibatkan perasaan negatif atau emosi kepada target prasangka baik saat kehadiran mereka ataupun ketika membayangkan mereka. Prasangka juga bisa bersifat implisit. Prasangka tersebut dapat dipicu dengan cara otomatis, dengan sekedar eksposur terhadap anggota kelompok tersebut, dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang secara overt (terlihat jelas dalam perilaku). Orang yang berprasangka ini seringkali tidak menyadari bahwa mereka mempunyai pandangan negatif tersebut, dan mereka menolak dikatakan mempunyai prasangka seperti itu. Prasangka juga mencakup keyakinan dan harapan terhadap anggota kelompok tesebut, misalnya berkeyakinan bahwa semua anggota kelompok tersebut mempunyai karakter tertentu. Keyakinan-keyakinan semacam itu disebut dengan stereotype2. Prasangka juga melibatkan kecenderungan untuk bertindak secara negatif terhadap mereka yang menjadi objek 1
2
Skema adalah kerangka kerja kognitif yang berkembang melalui pengalaman yang mempengaruhi proses mengolah informasi sosial yang baru. Stereotype adalah keyakinan bahwa semua anggota kelompok sosial tertentu mempunyai karakteristik dan keperibadian yang sama. Stereotype merupakan kerangka kerja kognitif yang sangat mempengaruhi cara memproses informasi sosial yang diterima seseorang. (Baron & Byrne, 2004).
30
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
prasangka. Ketika kecenderungan-kecenderungan ini diterjemahkan kedalam perilaku, maka hasilnya adalah perilaku-perilaku diskriminatif. Dalam upaya memahami perilaku agresi, teori agresi juga mengalami evolusi. Teori awal mengenai agresi dikemukakan oleh Sigmund Freud (1961) yang mengatakan bahwa perilaku agresi didasari kondisi biologis, bahwa agresi merupakan suatu hal yang bersifat inherent (bawaan lahir). Agresi didasari oleh instinct thanatos3, yaitu keinginan untuk mati yang dimiliki oleh semua orang. Menurut Freud insting ini pada awalnya bertujuan untuk menghancurkan diri sendiri, akan tetapi kemudian diarahkan keluar dalam bentuk agresi terhadap orang ataupun benda lain diluar dirinya. Dalam perkembangan selanjutnya para psikolog sosial memandang bahwa agresi didasari oleh faktor-faktor diluar diri seseorang, atau yang disebut dengan Drive Theory yang diperkenalkan oleh Dollard & Miller (1939) dan dikembangkan oleh Berkowitz (1993). Menurut teori ini kondisi eksternal seperti rasa frustrasi menyiapkan seseorang untuk bertindak agresif. Dan ketika frustrasi dipicu, maka frustrasi akan meledak menjadi perilaku agresif. Pakar psikologi sosial kini telah memasuki tahapan ketiga dalam upaya memahami agresi. Psikolog sosial modern memandang bahwa perilaku agresi tidak hanya didasari oleh satu faktor melainkan beberapa faktor yaitu hasil pembelajaran, kognisi, mood dan dorongan. Salah satu pelopor teori modern tentang agresi adalah Anderson (dalam Baron & Byrne, 2004) yang memperkenalkan teori General Affective Aggression Model (GAAM). Menurut teori ini agresi dipicu oleh sejumlah input variabel (aspek-aspek situasi terkini ataupun kecenderungan yang dibawa oleh seseorang dalam suatu situasi tertentu). Variabel yang masuk dalam kategori pertama adalah sebagai contoh rasa frustrasi, serangan oleh 3
Sigmund Freud mengatakan bahwa perilaku manusia didasari atas dua macam insting, yaitu insting Eros yaitu insting untuk hidup dan insting Thanatos yaitu insting untuk mati. Perilaku yang didasari insting eros misalnya keinginan untuk menikah, sedangkan yang didasari insting thanatos misalkan perilaku bunuh diri, agresif, suka mengambil resiko yang berbahaya, dsb.
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap …
31
seseorang, hinaan, menyaksikan perilaku agresif seseorang, adanya cues (petunjuk, isyarat, benda-benda) yang merujuk pada agresifitas (seperti pistol, pisau, dll), dan berbagai hal lain yang mengakibatkan rasa tidak nyaman seperti temperatur udara yang panas, perkuliahan yang membosankan, dll. Sedangkan variabel-variabel yang masuk kategori kedua seperti karakter, sikap dan pemahaman seseorang mengenai kekerasan (menganggap perilaku kasar dapat diterima), nilai yang dianut terkait kekerasan (misalkan kekerasan dipandang sebagai bentuk maskulinitas), memiliki skil yang terkait kekerasan (tahu bagaimana cara berkelahi, tahu bagaimana menggunakan senjata, dll). Menurut teori GAAM variabel-variabel situasional dan individual dapat mendorong perilaku agresif setelah melalui 3 tahapan, pertama adalah arousal, yaitu adanya suatu dorongan energi dalam diri berbentuk dorongan fisiologis ataupun rasa gembira yang sangat. Kedua adalah affective states, yaitu kedua variabel tersebut dapat meningkatkan perasaan dan ekspresi bermusuhan. Ketiga cognition, kedua variabel tersebut dapat menyebabkan pikiran-pikiran permusuhan ataupun mengingat kembali memori peristiwa-peristiwa kekerasan yang pernah dialami. Zillman (dalam Baron & Byrne, 2004) melihat bahwa perilaku agresif juga bisa timbul akibat akumulasi dorongan energi negatif. Excitation transfer theory mengatakan bahwa suatu dorongan energi yang diakibatkan oleh suatu situasi dapat bertahan dan mengintensifkan reaksi emosional yang muncul disituasi berikutnya.
Insiden-insiden Kekerasan Dalam rentang waktu tujuh bulan (14 Juli 2010 – 06 Februari 2011) telah terjadi setidaknya 15 kali insiden antara Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dengan sejumlah oknum masyarakat yang mengaku memeluk agama Islam arus utama, seperti yang terliput media (lihat tabel 1). Komnas HAM bahkan mencatat bahwa hanya antara tahun 2007-2008 saja telah terjadi 342 kali aksi serangan dan intimidasi 32
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
kepada anggota JAI. Bentuk serangan bervariasi mulai pengusiran, pengrusakan kediaman dan tempat ibadah, hingga pembunuhan. Tindak kekerasan terburuk yang telah terjadi adalah insiden di Cikeusik Pandeglang, Banten, Minggu (6/2/2011), dimana 4 orang jamaah Ahmadiyah tewas akibat dianiaya massa. Pada rekaman video insiden Cikeusik yang diunggah pada situs www.youtube.com terlihat kekerasan massa yang jauh dari gambaran bangsa Indonesia sebagai bangsa Timur yang mempunyai karakter sopan, santun, altruistik, ramah tamah, gambaran sebuah sikap dan perilaku yang mengindikasikan keluhuran budi pekerti hasil bentukan budaya dalam masyarakat yang adiluhung4. Menyaksikan video itu memunculkan pertanyaan, ada apa dengan bangsa ini? Insiden kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah ini hanya salah satu contoh dari banyaknya kekerasan di masyarakat. Di Bulan Februari ini saja selain insiden Cikeusik ada juga Insiden Temanggung (8/2/11), tawuran warga di Manggarai (23/2/11), tawuran warga di Johor Baru (3/2/11). Tabel 1. Berbagai tindak kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah NO
Tanggal
Lokasi
Kejadian
1. 6-2-2011
Cikeusik Massa menyerang Jamaah Banten, Jawa Ahmadiyah Barat 2. 29-1-2011 Makassar Massa FPI berunjuk rasa memaksa jamaah Ahmadiyah untuk keluar dari Masjid Ahmadiyah. 3. 27-12-2010 Cianjur, Jawa Madrasah milik ahmadiyah Barat dibakar orang tak dikenal. Seminggu sebelumnya sebuah musola juga dibakar. 4. 10-12-2010 Sukabumi, Sekitar seribu santri di Sukabumi, Jawa Barat Jawa Barat membongkar masjid Ahmadiyah di Kampung Panjalu Sukabumi.
4
Korban/ Kerusakan 4 orang tewas, rumah dan mobil dibakar. Tidak ada data
Gedung Madrasah dan Mushola Tidak ada data
Adiluhung mempunyai arti: tinggi mutunya; seni budaya yang bernilai sehingga wajib dipelihara.
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap …
33
5. 8-12-2010
Tasikmalaya, Jawa barat Ciputat, Tangerang Selatan
Sejumlah sarana milik Ahmadiyah di kota Tasikmalaya ditutup. 6. 3-12-2010 Sekelompok orang bersepeda motor menyerang dan merusak sebuah masjid Ahmadiyah di Jalan Ciputat Raya 7. 26-11-2010 Lombok Massa membakar puluhan rumah Barat, Nusa milik Ahmadiyah di Lombok Barat, Tenggara karena terdapat warga yang tidak Barat ingin desanya ditinggali jamaah Ahmadiyah. Bupati Lombok Barat Nusa Tenggara Barat memerintahkan warga Ahmadiyah untuk tidak tinggal di Dusun Ketapang. 8. 5-11-2010 Tanjung Massa dari Perguruan Tinggi Priok, Jakarta Dakwah Islam Tanjung Priok Utara menuntut penyegelan Masjid Nuruddin Jalan Kebon Bawang X, Tanjung Priok, Jakarta Utara 9. 29-10-2010 Ciamis, Jawa FPI beserta ormas se-kabupaten Barat Ciamis berupaya menyegel masjid Ahmadiyah di Jalan Gayam, Ciamis. 10. 11-10-2010 Garut, Jawa Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat Barat, melarang Jemaaah Ahmadiyah berada di wilayahnya. 11. 4-10-2010 Pekan Baru Penghentian aktivitas jemaah Ahmadiyah di Kecamatan Tampan, Pekanbaru, oleh Pemerintah Kota Pekanbaru. 12. 1-10-2010 Bogor, Jawa Sekitar enam bangunan milik Barat jemaah Ahmadiyah di Desa Kampung Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Bogor, dibakar massa 13. 10-8-2010
Surabaya
14. 29-7-2010
Kuningan, Jawa Barat
34
Tidak ada data Tidak ada
Puluhan rumah dibakar
Tidak ada data
Tidak ada data
Tidak ada data
Tidak ada data
bangunan dibakar. Termasuk Masjid, Surau, Madrasah dan rumah. Tidak ada data
Ratusan Massa FPI dan Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) merusak paksa papan nama Jamaah Ahmadiyah yang terpasang di masjid An Nur Ribuan orang perang batu dengan Tidak ada data jamaah Ahmadiyah. 1 Masjid dan 7
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Mushola Ahmadiyah di segel. Penyegelan pada beberapa kantor Pemda Garut karena dugaan 10% Pegawai Pemda pengikut Ahmadiyah Sumber: www.tempointeraktif.com 15. 14-7-2010
Garut, Jawa Barat
Tidak ada data
Tindak Kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah Tindak kekerasan terhadap kelompok Jamaah Ahmadiyah merupakan hasil sebuah proses yang kompleks dan akumulatif. Jamaah Ahmadiyah Indonesia telah masuk ke Indonesia sejak tahun 1925, dan sejak awal kedatangan telah mendapatkan penerimaan yang berbeda dimasyarakat, ada yang menerima dan ada juga yang tidak menerima yaitu dari masyarakat Islam arus utama. Penentangan dunia internasional secara formal terhadap kelompok Jamaah Ahmadiyah versi Qadian terjadi pada Konferensi Organisasi Islam sedunia (Rabithah ‘Alam Islami) pada bulan april 1974 yang mengeluarkan rekomendasi bahwa kelompok Ahmadiah Qadian berada diluar Islam. Rekomendasi tersebut kemudian diikuti oleh Pemerintah Pakistan dan Saudi Arabia. Saudi Arabia bahkan secara tegas melarang anggota kelompok Ahmadiyah Qadian memasuki wilayah Saudi Arabia. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa MUI tahun 1980 yang menetapkan bahwa alirah Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Fatwa tersebut kemudian diperkuat pada tahun 2005 melalui Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 11/MUNAS VII/MUI/15/20055. Menurut (Zulkarnaen, 2011) tindakan anarkis
5
Keputusan Fatwa MUI tentang Ahmadiyah: 1. Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah berada diluar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam). 2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Quran dan al-Hadis. 3. Pemerintah berkewajiban untuk
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap …
35
terhadap anggota JAI dimulai sejak munculnya fatwa MUI. Dalam laporan sementara pemantauan kasus Ahmadiyah oleh Komnas HAM (2006) dituliskan bahwa fatwa MUI itu dikalangan masyarakat sipil, terutama yang menentang aliran ahmadiyah, dianggap dan diperlakukan sebagai salah satu dasar atau alat pembenaran (justifikasi) dan pengabsahan (legitimasi) dari berbagai bentuk kelakukan dan tindakan mereka. Fatwa MUI tersebut tidak hanya berpengaruh pada masyarakat tetapi juga ke jajaran aparat Negara. Pada 9 Juni 2008 Pemerintah kemudian menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri6 yang menurut Jaksa Agung Hendarman Supandji intinya memerintahkan menghentikan seluruh kegiatan JAI. Justifikasi bertambah ketika Menteri Agama Suryadharma Ali yang menyatakan dimedia masa bahwa Ahmadiyah akan dibubarkan setelah lebaran idul fitri tahun 2009. Rekomendasi MUI kemudian tersosialisasi ke masyarakat luas melalui media massa sehingga menjadi isu nasional dan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Penyebaran mengenai ketidak sepakatan pemahaman yang disertai sikap negatif dengan cepat tersebar ke berbagai penjuru Indonesia melalui ceramah-ceramah keagamaan yang semakin memojokkan posisi JAI. Seperti pada insiden Ketapang
6
melarang penyebaran faham Ahmadiyah diseluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya. 7 butir SKB 3 Menteri: 1. Memberi peringatan dan memerintahkan untuk semua warga negara untuk tidak menceritakan, menafsirkan suatu agama di Indonesia yang menyimpang sesuai UU No 1 PNPS 1965 tentang pencegahan penodaan agama. 2. Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. 3. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada anggota atau pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan tersebut dapat dikenani saksi sesuai peraturan perundangan. 4. Memberi peringatan dan memerintahkan semua warga negara menjaga dan memelihara kehidupan umat beragama dan tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap penganut JAI. 5. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga yang tidak mengindahkan peringatan dnan perintah dapat dikenakan sanksi sesuai perundangan yang berlaku. 6. Memerintahkan setiap pemerintah daerah agar melakukan pembinaan terhadap keputusan ini. 7. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, 09 Juni 2008
36
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
(Laporan Komnas HAM, 2006) dimana seorang pemuka agama memberikan seruan terbuka secara berulang-ulang dalam pengajian agar warga memusuhi serta melakukan pengusiran terhadap JAI, seruan untuk menyerang, melakukan tindakan kekerasan yaitu membakar, melempar, menyerbu, dan mengusir. Ceramah-ceramah keagamaan dan pemberitaan di media massa yang hanya melihat dari satu sisi, yaitu sisi pemahaman JAI yang tidak sesuai dengan Islam arus utama semakin membentuk sikap negatif masyarakat terhadap JAI. Sikap tidak tercipta dengan sendirinya, melainkan melalui sebuah proses yang biasanya memakan waktu yang panjang (Lukman, 2010). Sikap negatif tersebut menciptakan prasangka dalam kognisi masyarakat. Ketika prasangka telah terbentuk maka orang cenderung menilai anggota kelompok JAI semata-mata hanya karena mereka merupakan anggota kelompok tersebut. Sehingga pada orang yang berprasangka, mereka kemudian mengorganisir, menginterpretasi dan mengingat informasi tentang JAI dengan cara khusus. Informasi negatif tentang JAI akan mendapatkan perhatian lebih dibanding informasi yang positif tentang JAI. Secara afeksi, prasangka juga menimbulkan perasaan negatif dan emosi tentang JAI yang kemudian dapat muncul dalam bentuk perilaku. Input data tentang JAI yang diterima dan disimpan dalam kognisi masyarakat sehingga membentuk sikap negatif dan prasangka menjadi variabel individual dalam kerangka teori General Affective Aggression Model. Sedangkan seruan dari tokoh masyarakat yang mengajak untuk memusuhi JAI menjadi variabel situasional. Dorongan emosi negatif tersebut seperti dijelaskan Excitation Transfer Theory oleh Zullivan (dalam Baron & Byrne, 2004) kemudian terakumulasi dan berada dalam kondisi siap meledak ketika muncul pemicu. Beberapa insiden kekerasan terhadap Ahmadiyah seperti dituliskan pada Laporan Komnas HAM diindikasikan merupakan upaya terorganisir untuk menyerang JAI. Dalam kondisi penyerangan Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap …
37
terpimpin maka aba-aba dan instruksi menyerang menjadi pemicu meledaknya rasa marah, kesal dan emosi negatif lainnya. Ketika tindakan penyerangan terjadi maka yang berlaku kemudian adalah diffusion of responsibility, yaitu suatu kondisi dimana seseorang merasa bahwa kadar tanggung jawab-nya atas suatu kejadian menjadi berkurang karena ditanggung bersama-sama dengan orangorang yang ada disekitar lokasi. Pada kasus Cikeusik, banyaknya orang yang berada dilokasi kejadian dan melakukan penyerangan terhadap anggota JAI membuat para pelaku tidak merasa bersalah karena yang menyebabkan terlukanya para korban ditanggung bersama. Tindakan kekerasan terhadap anggota JAI sudah sangat sering terjadi, dan masyarakat belajar bahwa mereka tidak perlu merasa khawatir akan mendapatkan hukuman jika mereka ingin melakukan tindak kekerasan terhadap JAI, karena seperti laporan Komnas HAM bahwa tidak ada penyelesaian tuntas atas kasus-kasus kekerasan terhadap JAI. Telah terjadi semacam pembiaran. Fakta ini menjadi reward atau hadiah bagi pelaku kekerasan, dan membuat pelaku tidak merasa takut untuk mengulangi kembali tindakan-tindakan negatif yang telah mereka lakukan (instrumental conditioning). Bagi mereka yang mempunyai akumulasi kemarahan yang sama, dan belum terlibat dalam aksi kekerasan terhadap JAI, maka mereka tidak merasa ragu untuk turut melakukan kekerasan karena mereka telah melihat bahwa mereka tidak akan mendapatkah hukuman (observational learning). Menurut Deaux et al (1993) pemberian hukuman hanya efektif bila persyaratan berikut terpenuhi: (1) Hukuman itu dapat diramalkan pasti terjadi. Ini berarti harus ada konsistensi antar waktu dan antar individu bahwa perilaku agresif yang sama akan mendapat hukuman yang sama; (2) Hukuman tersebut harus diberikan segera sesudah perilaku agresif terjadi; (3) Penggunaan hukuman ini disahkan oleh norma-norma sosial yang berlaku dimasyarakat; (4) Orang yang memberikan hukuman tidak boleh dilihat sebagai model yang agresif; (5) Memperkuat norma sosial melawan perilaku agresif dengan memuji perilaku non agresif dan mengabaikan perilaku agresif; (6) Mengurangi pemaparan (exposure) terhadap model yang berperilaku agresif. 38
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Simpulan Tindakan kekerasan terhadap jamaah ahmadiyah bukan sebuah proses yang instan, melainkan telah melalui proses yang panjang. Yang sebenarnya dalam rentang proses tersebut dapat dilakukan intervensi pemerintah agar dapat dihindari atau diminimalisir jatuhnya korban kekerasan fisik maupun psikis, korban jiwa, kerugian moril maupun kerugian materil. Yang patut disesalkan Negara tidak melakukan upaya preventif yang efektif, melainkan Negara justru telah turut berpartisipasi dalam pembentukan sikap negatif yang memicu terjadi kekerasan terhadap jamaah JAI. Fatwa MUI, SKB 3 Menteri, komentar pejabat negara di media telah digunakan masyarakat sebagai justifikasi atas berbagai tindakan negatif terhadap JAI. Sementara dalam insiden penyerangan, aparat keamanan telah melakukan pembiaran dan tidak memberikan efek jera berupa hukuman sehingga mengundang masyarakat yang tidak bersimpati terhadap JAI mengulang aksi kekerasan yang mereka lakukan. Rekomendasi Ketika emosi meningkat maka kemampuan orang menggunakan rasio akan menurun. Untuk menghindari sikap negatif ataupun kekerasan terhadap JAI perlu dirangsang upaya berfikir secara rasional dampak-dampak yang akan terjadi ketika tindakan negatif dilakukan. Masyarakat perlu dilatih melihat sisi kemanusiaan anggota JAI, bahwa mereka hanya manusia biasa. Masyarakat perlu dilatih bertanya apakah yang akan terjadi ketika dilakukan tindak kekerasan terhadap orang lain meskipun orang itu mempunyai keyakinan yang berbeda. Pemerintah, MUI dan tokoh-tokoh masyarakat tidak boleh menyediakan justifikasi-justifikasi atas tindak kekerasan terhadap jamaah JAI. Dalam setiap keputusan yang dibuat pemerintah ataupun lembaga, dan komunikasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh, harus dengan kesadaran bahwa keputusan ataupun Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap …
39
informasi yang mereka sampaikan tidak akan menjadi pembenaran atas segala macam bentuk kekerasan. Aliran proses terbentuknya prasangka harus dipotong sehingga prasangka tidak kadung terbentuk dalam pikiran banyak orang. Pemerintah melalui media massa dapat melatih masyarakat dengan cara menyajikan pemberitaan ataupun informasi2 yang dapat menciptakan suasana tenang dan damai. Selain itu perlu juga diskusi dengan para pimpinan redaksi media massa agar sensitif terhadap dampak pemberitaan yang dipublikasikan. Bahwa pemberitaan media massa berpotensi menjadi pemicu suatu tindak agresifitas, ataupun memperkeruh suatu kasus. Selain itu Pemerintah juga harus memberikan hukuman (punishment) kepada para oknum-oknum pelaku tindak kekerasan sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan hukuman tersebut harus tegas dan konsisten agar tercipta efek jera
40
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
DAFTAR ISI Buku Adamson, Ian. 1989. Mirza Ghulam Ahmad of Qadian. British: Elite International Publications Limited. Ahmad, M.B.M. 1976. Ahmadiyya Movement. Qadian: Mirza Wasim Ahmad Baron, R. A. & Byrne, D. 1997. Social Psychology, 8th edition. Boston, MA: Allyn and Bacon. Berkowitz, L. 1993. Aggression: Its causes, consequences, and control. New York: McGraw-Hill. Billah, M.M, et al. 2006. Laporan Sementara Pemantauan Kasus Ahmadiyah. Jakarta: Komnas HAM. Dollard, Miller et al. 1939. Frustration and aggression, Yale University Press, New Haven. Freud, Sigmund. 1961. Beyond the Pleasure Principle (The Standard Edition). Trans. James Strachey. New York: Liveright Publishing Corporation. Hakim, L.N. 2010. Pengaruh Intensitas Mengikuti Informasi Tentang Terorisme terhadap Sikap Mengenai Terorisme. Jurnal Aspirasi P3DI Setjen DPR RI Vol.1 No. 1 :103-118 Sarwono, Sarlito W. 1997. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sekretariat Jendral MUI. 2007. Fatwa MUI tentang Aliran-aliran Sesat di Indonesia: Mengawal Aqidah Umat. Skinner, B.F. 1953. Science and human behavior. Oxford, England: Macmillan. Thorndike, E.L. 1901. Animal intelligence: An experimental study of the associative processes in animals. Psychological Review Monograph Supplement, 2, 1–109 Zahrah, I.M.A. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos. Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap …
41
Zulkarnaen, Iskandar. Yogyakarta: LKIS.
2005.
Gerakan
Ahmadiyah
di
Indonesia.
Makalah Zulkarnaen, Iskandar. 2011. Eksistensi Ahmadiyah di Indonesia. Makalah dipresentasikan pada Workshop diselenggarakan oleh P3DI Sekretariat Jendral DPR RI. Internet Ahmadiyah Bantah Pihaknya Provokasi Warga Cikeusik. http://www.detiknews.com/read/2011/02/06/170509/1561097 /10/ahmadiyah-bantah-pihaknya-provokasi-warga-cikeusik?Nd 99 2203605. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Ditemukan Senjata Api di Rumah Pimpinan Ahmadiyah. http://regional.kompas.com/read/2011/02/09/0912237/Ditem ukan.Senjata.Api.di.Rumah.Pimpinan.Ahmadiyah. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Harus Dilakukan Investigasi Projustisia. http://nasional.kompas.com /read/2011/02/08/20363659/Harus.Dilakukan.Investigasi.Proj ustisia. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Islamic mob lynched minorities in Cikeusik Indonesia http://www.youtube.com/watch?v=CqCTz2xopdk, dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Polri: Jemaah Ahmadiyah Memprovokasi. http://nasional.kompas.com /read/2011/02/08/12054097/Polri.Jemaah.Ahmadiyah.Mempr ovokasi. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Polri Imbau Masyarakat Tak Emosional. http://nasional.kompas.com/ read/2011/02/08/16111494/Polri.Imbau.Masyarakat.Tak.Emosi onal. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Warga cikeusik sempat usir jamaah ahmadiyah november-2010 http://www.detiknews.com/read/2011/02/06/222324/1561164 /10/warga-cikeusik-sempat-usir-jamaah-ahmadiyah-november2010. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00.
42
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Seribuan Penyerang, Baru Satu Tersangka. http://nasional.kompas. com/read/2011/02/09/11081741/Seribuan.Penyerang.Baru.Satu .Tersangka. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. Setahun, 15 'Kekerasan' terhadap Ahmadiyah. http://tempointeraktif. com/hg/politik/2011/02/07/brk,20110207-311528,id.html. Dikunjungi 25 Februari 2011 pukul 14.00. SKB
3 Menteri Tentang Ahmadiyah Dinilai Masih Bias. http://www.detiknews.com/read/2008/06/09/235058/953208/ 10/skb-3-menteri-tentang-ahmadiyah-dinilai-masih-bias.
www.Artikata.com
Lukman Nul Hakim, Tindak Kekerasan terhadap …
43
44
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
PENYEBAB RELAPSE (KEMBALI MEROKOK) PADA PEROKOK BERAT DITINJAU DARI HEALTH BELIEF MODEL Sulis Winurini Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI Abstract Smoking cessation is not a simple thing for smokers. Most of them realized smoking is danger for their health, therefore they intense to quit. Nevertheless, many of them can’t be succeed in oversteping the rehabilitation process and than relapse. This research explore rehabilitation problem experienced by heavy smokers who have more complex relapse experience rather than smokers with lower level. This research used cognition approach, that is Health Belief Model (HBM). To explore the problem deeply, qualitative method has been used. The result is, although smokers have been through rehabilitation process, they didn’t fully understood that smoke is danger for themselves. Internal factor is the most influenting factor, especially health motivation and locus of control. This factors influence their perception on health threat and their evaluation of health behavior. Government has significant role for a successful modification of healthy new behavior through regulations. Keywords: Smoke, Relapse, Health Belief Model
Abstrak Berhenti merokok bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh perokok. Kebanyakan dari mereka menyadari bahwa rokok berbahaya bagi kesehatannya dan karenanya mereka berniat berhenti merokok. Namun, tidak semua perokok berhasil melewati masa rehabilitasinya dan seringkali mengalami relapse. Penelitian ini mendalami permasalahan rehabilitasi yang dirasakan perokok berat, yang memiliki pengalaman relapse lebih kompleks dibanding tingkat perokok yang lain, dengan pendekatan kognisi, yaitu Health Belief Model (HBM). Untuk memahami permasalahan secara mendalam, metode kualitatif digunakan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan, bahwa kendati sudah menjalani masa rehabilitasi, perokok belum menyadari sepenuhnya bahaya merokok bagi dirinya. Faktor internal 45
paling berperan adalah motivasi kesehatan dan kontrol diri, yang mempengaruhi persepsi mereka terhadap ancaman kesehatan serta evaluasi mereka terhadap perilaku sehat. Pemerintah memiliki peran dalam menyukseskan perubahan perilaku baru yang sehat, melalui peraturan-peraturan yang dibuat. Kata Kunci: Rokok, Relapse, Health Belief Model
“Rokok bertanggung jawab untuk 5 juta kematian tiap tahun, dan jika pola penggunaan rokok yang sekarang ini terus berlanjut, pada tahun 2030, kematian akan mencapai 10 juta per tahun. Paling tidak, 70% kematian akan terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah seperti India, Cina dan Indonesia” (TFI 2004).1
Pendahuluan Kebiasaan menghisap tembakau sudah dikenal sejak lama. Adalah suku bangsa Indian di Amerika yang pertama kali menghisap tembakau melalui pipa besar untuk keperluan ritual. Kebiasaan menghisap tembakau atau yang dikenal dengan istilah merokok diikuti oleh bangsa Eropa. Bangsa Eropa merokok tidak untuk keperluan ritual seperti halnya bangsa Indian, namun untuk kesenangan semata-mata.2 Di Indonesia, rokok mulai dikenal pada abad ke-19. Rokok yang dikenal adalah rokok kretek, yaitu rokok yang menggunakan bahan baku tembakau dan cengkeh serta pembungkus dari daun jagung. Rokok digunakan pertama kali sebagai obat pereda sakit.3 Kebiasaan merokok berkembang luas, permintaan rokok pun meningkat, seiring dengan itu industri rokok bermunculan hingga saat ini.
1
2 3
Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Merokok pada Mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi oleh Albertus Nugraha, http://www.scribd.com/doc/ 31399697/Karya-Tulis-Ilmiah-Sarjana-Kedokteran, diakses tanggal 2 Maret 2011. Rokok, http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok, diakses pada tanggal 28 Februari 2011 Berbagai Upaya Penanggulangan Perilaku Merokok di Indonesia oleh R. Kintoko Rochadi, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18863/1/ikm-okt20059%20%282%29.pdf , diakses pada tanggal 3 Maret 2011
46
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Perilaku merokok tidak menular namun sukar dihentikan karena rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bisa menimbulkan ketergantungan bagi penggunanya. Perilaku merokok termasuk faktor berisiko bagi kesehatan. Ini dikarenakan di dalam rokok terdapat kurang lebih 4.000 zat kimia. Di antara ribuan zat kimia tersebut, ada tiga komponen utama yang mengancam kesehatan perokok aktif dan perokok pasif. Ketiga komponen itu adalah karbonmonoksida (CO), nikotin dan tar. Karbonmonoksida (CO) adalah gas beracun yang bisa mengurangi pengikatan oksigen di dalam darah serta menimbulkan kematian apabila kandungannya di dalam badan melebihi 60%. Nikotin yang juga terkandung di dalam ganja, heroin, amfetamin dan kokain, dapat mempengaruhi otak dan menjadi penyebab utama rasa ketagihan serta meningkatkan risiko serangan penyakit jantung dan stroke. Selain karbonmonoksida dan nikotin, terdapat tar yang mengandung sekurang-kurangnya empat puluh tiga bahan kimia, yang diketahui menjadi penyebab kanker (karsinogen).4 Bermacam kandungan yang dimiliki rokok mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik, dan gangguan kehamilan (Penjelasan PP RI No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan). Selain penyakit kardiovaskuler dan kanker, konsumsi rokok juga bisa menyebabkan keadaan alergi dan penurunan daya tahan tubuh, diabetes melitus, perubahan genetik, gangguan kromosom, menghambat perbaikan DNA yang rusak serta mengganggu sistem enzimetik. Akhir-akhir ini para ahli juga menghubungkan kebiasaan merokok dengan katarak mata dan osteoporosis. (Aditama, 1996).5 Dampak ini akan dirasakan oleh perokok aktif dalam kurun waktu 20-25 tahun dari mulai ia merokok. Separuh dari perokok
4 5
Ibid Faktor- Faktor Penyebab Perilaku Merokok Pada Mahasiswa Di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi oleh Albertus Nugraha,http://www.scribd.com/doc/ 31399697/Karya-Tulis-Ilmiah-Sarjana-Kedokteran, diakses tanggal 2 Maret 2011.
Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
47
meninggal karena kebiasaan tersebut mengurangi kira-kira 20-25 tahun produktifnya.6 Tidak hanya pada perokok aktif, rokok juga berbahaya bagi orang lain bukan perokok tetapi menghisap asap rokok tersebut (perokok pasif). Menurut estimasi International Labor Organization (ILO) (2005) tidak kurang dari 200.000 pekerja yang mati setiap tahun karena paparan asap rokok orang lain di tempat kerja. Kematian karena paparan asap rokok orang lain merupakan satu dari tujuh penyebab kematian akibat kerja (Tobacco Control Support Center, 2008). Perilaku merokok tidak hanya berdampak bagi kesehatan, namun juga bagi perekonomian masyarakat. Di Indonesia, mayoritas konsumen rokok adalah masyarakat kelas bawah dan berpendidikan rendah. Ironisnya, anggaran membeli rokok menempati posisi kedua setelah beras.7 Diperkirakan seorang perokok yang berpendapatan rendah mengeluarkan uang sekitar Rp 1.440.000 tiap tahunnya untuk rokok yang dibeli batangan @ Rp 400. Jumlah ini dapat digunakan untuk membeli produk lain yang tidak merusak kesehatan dan lebih menguntungkan bagi keluarga.8 Untuk mencegah sekaligus menghambat munculnya perilaku merokok, diperlukan promosi kesehatan. Promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya (WHO dalam Notoatmodjo, 2007). Promosi kesehatan bertujuan meningkatkan perilaku sehat sehingga ancaman rokok bagi kesehatan dapat diminimalisir. Badan Pengaturan dan Penanggulangan Penyakit di Amerika, atau Centers for Disease Control and Prevention (1990, dalam Pradana, 2008:1) menyatakan 6
7
8
Mitos dan Fakta Tentang Tembakau di Indonesia oleh Depkes RI, http://www.litbang.depkes.go.id/tobaccofree/media/FactSheet/FactInd/8_mitosfak ta_dec404.pdf, diakses tanggal 2 Maret 2011. Beleid Pengendalian Rokok Berlaku Tahun ini oleh Kontan Online, http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/59273/Beleid-pengendalian-rokokberlaku- tahun-ini, diakses pada tanggal 3 Maret 2011. Mitos dan Fakta Tentang Tembakau di Indonesia oleh Depkes RI, http://www.litbang.depkes.go.id/tobaccofree/media/FactSheet/FactInd/8_mitosfa kta_dec404.pdf, diakses pada tanggal 2 Maret 2011.
48
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
bahwa pada usia berapapun individu memutuskan berhenti merokok dapat mengurangi risiko penyakit kronis yang berkaitan dengan rokok. Lebih spesifik lagi dikatakan bahwa usaha berhenti merokok yang dilakukan sebelum individu mencapai usia 30 tahun telah terbukti dapat menghilangkan sebagian besar penyakit dari rokok yang memicu kematian (Doll,dkk, 2004 dalam Pradana, 2008:1). Oleh karenanya, semakin dini perilaku merokok tersebut dihentikan, maka risiko terkena penyakit dan kematian bisa dihindari. Selanjutnya, promosi perilaku sehat tidak dapat dilakukan begitu saja, karena harus diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku itu sendiri. Banyak penelitian mengungkapkan jika health belief mempengaruhi perilaku sehat individu. Marteau (1995) menyatakan bahwa health belief merupakan faktor yang mampu mempengaruhi kesehatan individu melalui dua cara, yaitu: (1) dengan mempengaruhi perilakunya; dan (2) dengan mempengaruhi sistem psikologisnya. Health Belief Model (HBM) pertama kali dikembangkan pada tahun 1950-an untuk menjelaskan mengapa medical screening program yang ditawarkan oleh US Public Health Service tidak berhasil terutama untuk penyakit TBC (Hochbaum, 1958).9 Menurut HBM, perilaku sehat ditentukan oleh keyakinan personal atau persepsi tentang penyakit serta strategi untuk mengurangi risiko terjangkit penyakit tersebut (Hochbaum, 1958).10 HBM mencakup beberapa faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku kesehatan. Di antara beberapa faktor, HBM berfokus pada persepsi ancaman dan evaluasi perilaku kesehatan yang dikatakan sebagai aspek primer dalam pemahaman representasi perilaku sehat (Strecher dan Rosenstock, 1997 dalam Albery dan Munafo, 2011). Persepsi terhadap ancaman terdiri dari dua keyakinan utama, yaitu perceived susceptibility dan perceived severity. Perceived susceptibility adalah persepsi individu tentang kemungkinannya terkena suatu penyakit, sementara perceived severity adalah persepsi individu tentang beratnya penyakit tersebut. Evaluasi perilaku 9
Health Belief Model Chapter 4, http://www.jblearning.com/samples/0763743836/ Chapter%204.pdf, diakses pada tanggal 3 Maret 2011. 10 Ibid
Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
49
kesehatan juga terdiri dari dua keyakinan utama, yaitu perceived benefit dan perceived barriers. Perceived benefit adalah persepsi individu tentang keuntungan atau manfaat yang dirasakan oleh individu di dalam proses pengobatan atau rehabilitasi. Sementara perceived barriers adalah persepsi individu tentang konsekuensi negatif atau hambatan yang dirasakan oleh individu dalam menjalani proses rehabilitasi. Faktor lain yang berpengaruh adalah pemicu, yaitu faktor yang mengawali seseorang untuk mengubah perilakunya. Variabel-variabel lain terkait dengan pribadi individu ikut berpengaruh terhadap pengadopsian perilaku baru, termasuk keyakinan pribadi mengenai kemampuannya untuk melakukan sesuatu.11 Menurut Albery dan Munafo (2011), faktor-faktor di dalam HBM adalah faktor-faktor berbasis kognitif yang mampu memprediksi keputusan individu untuk mengadopsi perilaku sehat serta mematuhi intervensi pedidikan kesehatan. Oleh sebab itu, pendekatan HBM dianggap tepat untuk menjawab pertanyaan: Apa penyebab relapse pada perokok berat ? Melalui pendekatan HBM, peneliti dapat menelaah secara mendalam permasalahan yang dialami perokok berat yang sudah memiliki kesadaran untuk berhenti merokok, namun ternyata gagal menjalani masa rehabilitasinya. Pertanyaan lain yang perlu dijawab adalah: Bagaimana peran pemerintah dalam mempengaruhi health belief pengguna rokok? Pertanyaan ini muncul untuk memahami peran pemerintah dalam memperkuat health belief perokok supaya berhasil menghentikan perilaku merokoknya secara total. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah penting mengingat pembangunan kesehatan masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Artinya, tinggi rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, termasuk tinggi rendahnya prevelensi pengguna rokok dalam suatu negara dipengaruhi oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas dapat menjadi masukan bagi semua kalangan, termasuk pemerintah dalam 11
Ibid
50
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
penyusunan kebijakan, atau kalangan masyarakat lainnya untuk menentukan intervensi berhenti merokok secara tepat. Pada akhirnya, perubahan perilaku baru yang sehat pada pengguna rokok bisa bertahan dan prevelensi pengguna rokok bisa ditekan semaksimal mungkin. Sekilas Tentang Data dan Pemerolehannya Untuk mendapat gambaran utuh terkait pertanyaan-pertanyaan di atas, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus, yaitu pendekatan yang memungkinkan peneliti mempelajari kasus relapse pada perokok berat secara mendalam dan mendetail. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari buku-buku dan hasil penelitian, dan berbagai data yang diakses dari internet. Sedangkan data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara secara mendalam terhadap perokok berat yang mengalami relapse. Wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ada dua orang yang menjadi informan dalam penelitian ini. Mereka berusia antara 30-35 tahun, yaitu usia yang sebenarnya cukup matang untuk berpikir dan mengambil keputusan. Mereka adalah perokok berat yang pernah mengalami relapse. Penentuan informan mengacu pada batasan-batasan berikut ini. Menurut Doll dalam British Medical Journal,12 perokok adalah seseorang yang merokok sedikitnya satu batang/hari selama sekurang-kurangnya enam bulan. Lebih lanjut, perokok aktif adalah seseorang yang menunjukkan perilaku merokok. Sementara perokok berat adalah seseorang yang merokok lebih dari 15 batang sehari (Sitepoe 1997, dalam Pradana, 2008). Informan dalam penelitian ini adalah seorang perokok berat yang pernah mencoba
12
Faktor- Faktor Penyebab Perilaku Merokok Pada Mahasiswa Di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi oleh Albertus Nugraha, http://www.scribd.com/ doc/31399697/Karya-Tulis-Ilmiah-Sarjana-Kedokteran, diakses pada 2 Maret 2011.
Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
51
berhenti merokok, namun setelahnya kembali merokok secara berkelanjutan. Gambaran Perokok di Indonesia Kebiasaan merokok berkembang dengan sangat cepat, terbukti prevalensi perokok aktif di Indonesia meningkat secara tajam dalam dua dekade terakhir (Penjelasan PP RI No. 19/2003). Berdasarkan data dari The ASEAN Tobacco Control Report (2007),13 Indonesia merupakan negara perokok terbesar se-ASEAN. Sementara data dari WHO (2008)14 mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara perokok terbesar ke-3 di dunia di bawah Cina, India dan di atas Rusia, Amerika Serikat. Berdasarkan data dari Survey Kesehatan Nasional (2001 dalam Depkes RI, 2010), persentase penduduk Indonesia dewasa yang merokok adalah sebesar 31,8%. Pada tahun 2001, persentase laki-laki berusia 15 tahun ke atas yang merokok adalah sebesar 62,9%, sedangkan persentase perempuan berusia 15 tahun ke atas yang merokok adalah sebesar 1,3%. Lebih lanjut, Survei Kesehatan Nasional (2001, dalam Penjelasan PP RI No. 19/2003) menyebutkan bahwa 54,5% laki-laki dan 1,2% perempuan Indonesia berusia lebih dari 10 tahun, merupakan perokok aktif. Jumlah tersebut tidak mengherankan karena dipahami ada 70% dari perokok di Indonesia memulai kebiasaannya sebelum berumur 19 tahun. Gagal Berhenti Merokok: Relapse Merokok adalah perilaku yang sulit disembuhkan. Menurut U.S. Department of Health and Human Services (1990 dalam Pradana, 2008), sebagian besar perokok berkeinginan untuk berhenti merokok karena secara sadar mereka percaya rokok dapat berakibat 13
14
52
Indonesia Negara Perokok Terbesar se-ASEAN, http://forumkristen.com/ komunitas/index.php?topic=13946, diakses pada tanggal 28 Februari 2011 10 Negara Dengan Jumlah Perokok Terbesar di Dunia oleh Sri Astutik, http://ksupointer.com/10-negara-dengan-jumlah-perokok-terbesar-di-dunia, diakses pada tanggal 2 Maret 2011
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
membahayakan diri mereka sendiri. Kaplan, Sallis dan Petterson (1993 dalam Pradana, 2008) menyebutkan beberapa alasan-alasan umum yang biasa digunakan seorang perokok untuk berniat mengakhiri perilaku merokoknya, yaitu: 1. kesehatan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain; 2. penerimaan sosial; 3. biaya atau keuangan karena anggaran untuk menunjang perilaku merokok tidaklah murah; 4. menjadi contoh yang baik bagi anak-anak dan keluarga; 5. demi usia lanjut, banyak orang berkeinginan untuk hidup lama pada masa tuanya Namun, alasan-alasan ini ternyata tidak cukup kuat untuk membuat perokok berhasil menghentikan perilaku merokoknya. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh National Health Interview Survey pada tahun 2000 (CDC, 2002),15 sebanyak 70% perokok aktif di Amerika berniat untuk berhenti merokok dan di antaranya hanya 4,7% perokok aktif yang berhasil berhenti sedikitnya selama 3 bulan. Sedangkan 41% perokok aktif lainnya yang memang berupaya berhenti merokok hanya mampu bertahan untuk tidak merokok hanya dalam waktu sehari atau beberapa hari.16 Adanya kondisi emosi negatif, withdrawal symptoms akibat adiksi terhadap rokok merupakan beberapa hal yang berkontribusi terhadap kekambuhan merokok. Istilah relapse dan lapse digunakan untuk menjelaskan kekambuhan merokok, namun demikian istilah relapse dan lapse tetap berbeda. Konsep lapse menandai transisi dari berhenti merokok menjadi kembali merokok dan ini terjadi sekali-sekali. Biasanya, kasus lapse berubah menjadi relapse dan kecenderungannya untuk berubah tergolong kuat. Konsep relapse menggambarkan kegagalan rehabilitasi dalam jangka panjang. Ketika mengalami relapse,
15 16
Cigarette Smoking Among Adults, United States, 2000. MMWR, 51, 542-645. Tidak dijelaskan secara terperinci mengenai kondisi perokok aktif lainnya yang tidak termasuk dalam perokok yang berhasil berhenti merokok dalam kurun waktu 3 bulan dan berhasil berhenti merokok dalam waktu 1 hari.
Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
53
individu kembali merokok secara berkelanjutan selama beberapa hari atau lebih setelah melewati periode berhenti merokok (Piasecki, 2006). Health Belief Perokok Berat yang Mengalami Relapse Perokok berat diasumsikan memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dalam menghadapi kasus relapse dibandingkan perokok ringan dan menengah. Asumsi ini muncul terkait pemahaman bahwa perokok berat merokok lebih banyak dibandingkan perokok ringan dan menengah. Artinya, pengalaman merokok perokok berat, termasuk pengalamannya menghadapi relapse juga lebih kompleks dibandingkan perokok ringan dan menengah. Ini diperkuat oleh adanya penelitian yang menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil perokok berat yang bisa berhasil mempertahankan perilaku sehatnya sampai masa evaluasi satu tahun. Artinya, sebagian besar dari mereka kambuh lagi akan kebiasaan lamanya dan merokok kembali dalam waktu kurang dari satu tahun sejak berhenti merokok (Aditama, 1992 dalam Pradana, 2008). Menurut Health Belief Model (HBM), individu gagal mengubah perilaku menuju perilaku sehat dikarenakan beberapa faktor, yaitu persepsinya terhadap ancaman rokok, evaluasinya mengenai perilaku sehat, keberhasilan pemicu, keyakinan diri serta faktor lain dalam pribadi individu. Di antara faktor-faktor tersebut, peneliti akan fokus membahas persepsi terhadap ancaman rokok dan evaluasi terhadap perilaku sehat karena dua faktor ini dianggap sebagai faktor primer dalam HBM. Adapun keberhasilan pemicu akan dibahas di dalam evaluasi perilaku sehat karena pembahasannya memiliki keterkaitan satu sama lain. Sementara pribadi individu akan dibahas, baik di dalam persepsi ancaman maupun evaluasi perilaku sehat, karena memiliki pengaruh di setiap faktor-faktor tersebut. 1. Persepsi terhadap Ancaman Bahaya rokok bagi kesehatan sebenarnya diketahui oleh perokok melalui informasi-informasi yang dimuat di koran, majalah, internet, iklan, termasuk peringatan bahaya merokok yang tertulis di 54
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
kemasan rokok.17 Beberapa dampak negatif rokok, seperti penyakit batuk, daya tahan tubuh menurun, perasaan tidak nyaman karena bau rokok, dan lain-lain biasanya juga sudah dirasakan oleh individu yang notabenenya perokok berat.18 Bahkan ada pula perokok yang sudah terserang penyakit serius, seperti sakit paru-paru. Ia tahu penyakit yang dirasakannya itu adalah akibat dari kebiasaan merokok yang sudah dilakukan bertahun-tahun.19 Pengetahuan sekaligus pengalamannya merasakan sakit memang sempat membuat dirinya merasa terancam. Namun pada kenyataannya, perubahan perilaku baru hanya terjadi dalam jangka waktu yang singkat dan ia kembali melanjutkan kebiasaan merokoknya. ”Sempat seram juga waktu batuk-batuk. Kalau batuk ya berhenti, berarti sudah waktunya berhenti dulu. Tapi sekarang sudah tahu, kalau batuk minum obat herbal. Kalau minum obat itu sembuh. Sampai sekarang, kalau sudah terasa mau batuk, saya langsung minum obat herbal, jadi sudah tidak masalah.” (Informan A, 4 Maret 2011) ”Ya sempat berhenti merokok karena penyakit paru-paru saya kambuh. Tapi ya kalau sudah nggak masalah, ya terpancing juga merokok.” (Informan B, 4 Maret 2011) Keunikan karakteristik yang dimiliki setiap individu menjelaskan situasi mengapa persepsi mengenai ancaman rokok antara satu individu dengan yang lainnya bisa berbeda-beda. Oleh karena keunikannya tersebut, persepsi individu bisa sesuai, mendekati atau berbeda dengan realitas. Pada kasus relapse, persepsi individu mengenai keseriusan penyakit yang diderita sangat berbeda dengan realitas penyakit itu sendiri. Persepsinya terhadap penyakit tidak kuat dikarenakan motivasi kesehatan yang terbatas. Pengalaman bahwa sakit tidak dirasakan secara terus-menerus, menimbulkan anggapan bahwa dirinya masih baik-baik saja dan kalaupun penyakit itu kambuh, maka bisa diatasi dengan mudah. 17
Wawancara dengan informan A pada penelitian tanggal 4 Maret 2011 Ibid 19 Wawancara dengan informan B pada penelitian tanggal 12 Maret 2011 18
Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
55
Motivasi kesehatan yang terbatas juga mempengaruhi perokok relapse dalam memilih strategi guna meminimalisir perasaan terancam akibat rokok. Mereka tidak menghentikan kebiasaan merokoknya secara total, melainkan menciptakan alasan pembenaran, seperti mempercayai bahwa rokok bukan pengendali kematian karena kematian adalah rahasia Tuhan.20 Batas toleransinya terhadap munculnya perilaku merokok tergolong lemah. Mereka tidak merokok di depan keluarga, namun merokok ketika anggota keluarga lain sudah tidur. Mereka memperbolehkan dirinya untuk merokok dengan jumlah sangat sedikit pada satu waktu, meskipun tahu bahwa semakin lama dirinya akan membutuhkan jumlah rokok lebih banyak daripada itu.21 Upaya mentolerir perilaku merokok bisa berupa penetapan target yang tidak maksimal atas perilaku sehatnya, misalnya berhenti merokok hanya selama beberapa bulan ditujukan untuk membuang racun dari dalam tubuh.22 Mereka mudah puas atas hasil yang diperoleh dari proses rehabilitasi. Ketika fisik sudah segar atau penyakit sudah sembuh, mereka merasa hasil yang diperoleh dari rehabilitasi sudah cukup sehingga kembali merokok bukan masalah bagi dirinya. Kasuskasus seperti ini menggambarkan bahwa kepercayaannya terhadap ancaman penyakit tergolong lemah sehingga mereka mudah terpengaruh untuk kembali merokok. 2. Evaluasi Perilaku Sehat Keputusan individu untuk berhenti merokok diawali dengan kehadiran pemicu sebagai penggugah perilaku. Namun, pada kasus relapse, efek pemicu semakin lama dirasakan melemah. “Iya waktu itu berhenti merokok karena pernah ke dokter, dokter bilang harus berhenti karena bisa merusak paru-paru. Ya, setelah itu saya juga kepikiran untuk berhenti merokok dan sempat berhenti merokok. Tapi ya lama-kelamaan merokok lagi” (Informan A, 4 Maret 2011). 20
Wawancara dengan informan A pada penelitian tanggal 4 Maret 2011 Ibid 22 Ibid 21
56
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Individu sebagaimana layaknya makhluk hidup yang terus berinteraksi dengan lingkungan, menerima banyak rangsangan. Rangsangan yang diterima bisa memperkuat dan bisa juga melemahkan pembentukan perilaku baru. Manfaat dari perubahan perilaku merupakan rangsangan yang memperkuat pembentukan perilaku baru. Beberapa manfaat yang dirasakan ketika mereka menjalankan perilaku sehat adalah badan jadi lebih segar, tidur jadi lebih cepat, pengeluaran sehari-hari jadi hemat, tidak perlu cemas mencari tempat untuk merokok,23 serta tidak lagi menerima teguran dari keluarga maupun orang lain yang bukan perokok.24 Di sisi lain, individu juga merasakan rangsangan yang melemahkan pembentukan perilaku baru, berupa konsekuensi negatif atau hambatan dari proses rehabilitasi. Salah satunya adalah adanya withdrawal symptoms, yaitu suatu gangguan dari pemutusan penggunaan benda yang mengandung zat adiktif. Ini terjadi pada awal masa rehabilitasi, pada beberapa kasus terjadi hingga enam bulan masa absen merokok. Withdrawal symptoms bisa berupa gangguan fisik seperti sakit perut, sulit tidur, dan lemas, di samping bisa juga berupa gangguan psikis.25 Biasanya, perokok berat memiliki persepsi yang positif mengenai rokok, misalnya menganggap rokok sebagai teman sejati yang setia menemani dirinya dalam kondisi apapun. “Merokok itu sudah seperti teman, mau menemani dalam kondisi apapun,lagi sedih, senang, kalau istri kan beda..” (Informan A, 4 Maret 2011). 23
Wawancara dengan informan A pada penelitian tanggal 4 Maret 2011 Wawancara dengan informan B pada penelitian tanggal 12 Maret 2011 25 Stroebe dan Stroebe (1995 dalam Pradana, 2008) menyatakan bahwa kondisi emosi negatif terjadi sebanyak 35% dari seluruh kasus relapse, konflik dengan orang lain terjadi sebanyak 16% dari seluruh kasus relapse, dan tekanan dari lingkungan sosial ditemukan sebanyak 20% dari seluruh kasus relapse. Lebih lanjut, tidak dijelaskan mengenai sisa penyebab kasus relapse lainnya yang tercatat sebanyak 29%. Diasumsikan ada beberapa alasan lain yang tidak tersebut oleh Stroebe dan Stroebe (1995 dalam Pradana, 2008) namun memiliki kontribusi atas terjadinya kasus relapse. 24
Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
57
Persepsi yang demikian semakin memicu perasaan negatif ketika berhenti merokok. Individu merasa cemas, tidak aman dan nyaman karena harus meninggalkan kebiasaan merokok serta harus beradaptasi dengan perubahan perilakunya. Dalam proses adaptasi tersebut, tidak jarang emosinya menjadi fluktuatif; ia cepat merasa tersinggung, motivasi kerjanya juga terganggu. “… Makanya pas berhenti merokok, pas kerja, rasanya tuh jadi nggak semangat. Merasa nggak ditemani rokok… Saya jadi gampang marah juga, apalagi kalau ada komentar yang meremehkan usaha saya untuk berhenti merokok…” (Informan A, 4 Maret 2011). Konsekuensi negatif terkait withdrawal symptoms memang menjadi salah satu penyebab individu mengakhiri masa rehabilitasinya. Namun, bagi perokok yang sering menjalani rehabilitasi biasanya sudah tahu bagaimana mengatasinya. Ia menyadari bahwa gejala ini akan berlalu dalam jangka waktu yang tidak lama sehingga dianggap kurang mengancam.26 Hal ini diperkuat juga oleh pendapat Sarafino (1990 dalam Pradana, 1998) yang mengatakan bahwa withdrawal syndrome hanya berlangsung sementara dan bisa teratasi oleh kebanyakan perokok yang sedang menjalani masa rehabilitasi. Lebih lanjut, konsekuensi negatif lain yang dirasakan berat adalah dukungan sosial yang minim. Pada saat individu berada dalam proses rehabilitasi, dukungan sosial menjadi hal yang sangat berpengaruh terutama untuk memperkuat perubahan perilaku barunya. Sayangnya, reaksi lingkungan sekitar terkadang tidak seperti yang diharapkan. Seringkali lingkungan menurunkan semangatnya untuk berhenti merokok, misalnya menawarkan rokok, meragukan kesungguhannya saat menjalani proses rehabilitasi (Pradana, 2008), serta mengkritik perubahan perilakunya. “Karena saya berhenti merokok, ya saya sengaja menghindari tempattempat nongkrong. Karena di situ teman-teman merokok semua, 26
Wawancara dengan informan A pada tanggal 4 Maret 2011
58
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
takutnya nanti terpengaruh. Tapi kemarin ditegor sama teman. Dibilang saya jadi jarang silaturahmi sama teman-teman. Wah, saya nggak enak banget. Jadi, ya sekarang saya ikut lagi kesana. Nah, melihat orang pada merokok, ya mau nggak mau saya jadi tertarik lagi. Ya kadang-kadang merokok satu dua batang. Saya paling nggak bisa berhenti merokok kalau ada teman di depan saya merokok. Rasanya nggak enak” (Informan A, 4 Maret 2011) . Ketika menerima manfaat dan konsekuensi negatif dari perilaku sehat, baik secara sadar maupun tidak, individu melakukan evaluasi. Pada kasus relapse, pengaruh rangsangan berupa manfaat dari perilaku sehat terhadap pembentukan persepsi individu terasa lebih lemah dibanding pengaruh rangsangan berupa konsekuensi negatif. Pada saat menjalani perilaku sehat, konsekuensi negatif lebih sering muncul dan dirasakan lebih melelahkan. Sebaliknya, hadirnya rangsangan berupa manfaat dianggap kurang menggairahkan dan tidak sebanding dengan konsekuensi negatifnya. “Ya memang, berhenti merokok itu memang ada manfaatnya. Tapi ya manfaatnya bukan yang bikin seneng kayak ngerokok. Gimana sih, biasa merokok, kan ada tuh rasa yang bikin enak, senang, rileks. Begitu berhenti merokok, ya hilang. Malah jadi cemas karena kan biasa ditemani rokok.. Yah, kalo dibandingin manfaatnya, ya memang kadang-kadang mikir, manfaatnya belum dahsyat banget...” (Informan B, 12 Maret 2011). Oleh karena penilaiannya tersebut, perhatiannya lebih terfokus kepada konsekuensi negatif perilaku sehat. Ia sibuk memikirkan cara untuk menghentikan kehadiran konsekuensi negatif dibanding meyakini manfaatnya. Ia tidak lagi memikirkan secara serius mengenai kehadiran pemicu yang pernah menggugahnya untuk berhenti merokok karena sudah mendapat pemicu lain untuk membuatnya kembali merokok. “Ya lihat teman-teman semua merokok, ya lama-lama merokok lagi. Apalagi kalo ada yang nawarin, waktu itu bisa nolak, tapi makin Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
59
lama susah juga nolaknya. Terus teman juga cerita kalau omnya juga perokok, tapi umurnya tetap panjang. Semenjak dari situ, saya merokok lagi…Nasehat dari dokter ya nggak gitu ngaruh lagi. Tau deh kenapa, bingung juga” (Informan B, 12 Maret 2011). Akibat-akibat di atas terjadi tidak hanya karena pengaruh dari rangsangan semata, namun juga dari pribadi perokok itu sendiri. Individu dengan motivasi kesehatan yang terbatas akan rentan ketika dituntut untuk beradaptasi pada perilaku baru. Perilaku sehat yang ditampilkan jadi tidak konsisten, terkadang tidak merokok dan terkadang kembali merokok meskipun hanya satu dua batang.27 Lebih lanjut, individu yang mengalami relapse, terlalu mengandalkan kontrol eksternal atau kontrol dari luar diri sehingga terkesan lebih mudah dipengaruhi lingkungan. “ Ya, karena merokok itukan tidak seperti narkoba. Narkoba itu jelas ada sanksi hukumnya, jadi ya wajar kalau sulit berhenti merokok. Sanksinya nggak gitu kuat. ” (Informan B, 12 Maret 2011). Individu meyakini bahwa setiap tindakan yang mereka lakukan didasari rangsangan yang muncul dari lingkungan serta konteks lingkungan itu sendiri. Berbeda dengan Amerika Serikat yang telah menganggap merokok sebagai perilaku menyimpang karena tidak sehat dan tidak logis, mengindikasikan bahwa sanksi sosialnya terasa tajam (Sarafino, 1990 dalam Pradana, 2008), di Indonesia, kebiasaan merokok masih dianggap sebagai suatu kebiasaan yang umum karena dilakukan oleh kebanyakan orang. Masih banyak ditemukan perokok yang merokok di tempat umum tanpa merasa bersalah, sementara orang lain yang berada di sekitarnya juga terkesan permissive dikarenakan ada perasaan sungkan jika harus menegur. Bagi individu dengan tipe kontrol eksternal kuat dan motivasi kesehatan yang lemah, situasi yang demikian memicu persepsi bahwa berhenti merokok tidak menimbulkan akibat yang berarti, selain masalah kesehatan yang notabenenya belum dirasakan 27
Wawancara dengan informan A dan B pada tanggal 4 dan 12 Maret 2011
60
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
mengancam.28 Baginya, tidak berat meninggalkan perilaku sehatnya, tidak seberat ketika ia harus meninggalkan kebiasaan merokoknya.29 Ironisnya, meskipun pada dasarnya individu tidak begitu sukses menjalani proses rehabilitasi, seringkali ia beranggapan bahwa proses rehabilitasi adalah hal yang mudah dijalani. Baginya, rehabilitasi bisa dijalankan kapanpun dan proses tersebut diyakini bisa dilewati suatu saat.30 Seakan-akan ia memiliki keyakinan atas kemampuan diri sendiri yang tinggi, padahal dikarenakan motivasi kesehatan yang terbatas, mereka jadi mudah memberikan nilai berhasil pada dirinya. Pada kasus lain, individu yang sering mengalami kegagalan dalam proses rehabilitasi menjadi tidak yakin atas kemampuannya untuk berhenti merokok secara total.31 Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Marlatt dan Gordon (1980 dalam Pradana, 2008:21), yang menyatakan bahwa melanggar komitmen untuk berhenti merokok (walaupun hanya dengan satu batang rokok) dapat menghancurkan keyakinan diri untuk mengubah perilaku merokoknya. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa di antara faktor-faktor yang ada di dalam HBM, pribadi individu memiliki pengaruh paling menonjol terhadap keberhasilan pembentukan perilaku sehat. Ini terlihat dari pengaruhnya terhadap setiap faktor HBM, mulai dari persepsi terhadap ancaman, evaluasinya terhadap perilaku sehat, serta keberhasilan pemicu. Faktor pribadi yang pertama adalah kontrol diri eksternal yang lebih menonjol dibandingkan kontrol diri internal sehingga memperbesar peluang bagi rangsangan untuk mengatur setiap tindakan yang ia pilih. Jadi, keberhasilan proses rehabilitasi yang terjadi pada dirinya tergantung dari rangsangan, yang notabenenya bisa memperkuat atau justru memperlemah proses rehabilitasi. Kedua adalah motivasi kesehatan. Bisa dikatakan motivasi kesehatan merupakan inti dari keberhasilan proses rehabilitasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Aditama (1992 28 29 30 31
Wawancara dengan informan B pada tanggal 12 Maret 2011 Ibid Wawancara dengan informan A pada tanggal 4 Maret 2011 Wawancara dengan informan B pada tanggal 12 Maret 2011
Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
61
dalam Pradana, 2008: 4) yang mengatakan bahwa kemauan kuat dan motivasi menjadi faktor penting yang harus dimiliki oleh perokok yang ingin mengakhiri perilaku merokoknya. Menurutnya, metode apapun akan gagal jika individu tidak memiliki dasar motivasi yang kuat, dan kalaupun si perokok berhasil berhenti merokok untuk jangka waktu tertentu, maka tidak lama lagi ia akan kembali merokok. Peran Pemerintah dalam Mempengaruhi Health Belief Perokok Mengingat bahwa keberhasilan pembentukan perilaku sehat tidak terlepas dari pengaruh lingkungan, maka peran pemerintah sebagai pengendali lingkungan terbesar dalam suatu masyarakat, yaitu negara, harus diperhitungkan. Pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat serta menetapkan regulasi guna mengatur perilaku masyarakat dalam suatu negara. Di dalam peraturan, ditetapkan batasan-batasan yang harus diikuti dan terlihat jelas peran pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban individu sebagai warga negaranya. Terkait dengan perilaku kesehatan, pemerintah melalui peraturan-peraturannya, memiliki andil dalam menentukan tinggi rendahnya tingkat kesehatan masyarakat, termasuk tingkat prevelensi merokok. Peraturan-peraturan tidak hanya berfungsi untuk mengatur individu sebagai pengguna rokok atau individu bukan perokok yang juga harus dilindungi hak-haknya. Lebih dari itu, peraturan juga mengatur peran serta masyarakat. Kalangan masyarakat baik yang berbentuk perorangan, kelompok, badan hukum, badan usaha, lembaga, organisasi diperlukan partisipasinya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya rokok. Secara spesifik, bagaimana peran pemerintah dan bagaimana pengaruhnya bagi pengguna rokok akan dijelaskan dalam sub pembahasan berikut ini. 1. Peraturan Pemerintah Tentang Rokok Ada beberapa peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengamanan rokok bagi kesehatan. Pertama adalah PP 81/1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan yang diterbitkan oleh pemerintah untuk membantu pelaksanaan upaya pengendalian 62
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
tembakau sesuai dengan UU 23/1992 Tentang Kesehatan. Kemudian, PP 81/1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan direvisi menjadi PP 38/ 2000 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, lalu direvisi lagi menjadi PP 19/2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (Depkes RI, 2010). Pengaruh peraturan pemerintah terhadap peningkatan health belief pengguna rokok tidak terlepas dari substansi peraturan pemerintah yang ada, terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan, pembinaan serta pengawasan atas pelaksanaan pengamanan rokok. Dalam PP 19/2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, dijelaskan mengenai pengaturan pemberian informasi mengenai kandungan nikotin dan tar serta peringatan terhadap bahaya kesehatan di dalam kemasan rokok. Persyaratan iklan dan promosi rokok juga diatur. Materi iklan dilarang merangsang atau menyarankan orang untuk merokok, sebaliknya iklan tersebut harus mencantumkan bahaya rokok bagi kesehatan. Tidak hanya itu, pemerintah juga mengatur kawasan tanpa rokok yang mencakup tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah serta angkutan umum. Sementara itu, pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan melalui pemberian informasi, penyuluhan, dan pengembangan kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat. Untuk mewujudkan kesuksesan pelaksanaan pengamanan rokok, pemerintah memerlukan dukungan dari masyarakat. Peran masyarakat dilaksanakan melalui: a. Pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijaksanaan dan/atau pelaksanaan program pengamanan rokok bagi kesehatan; b. Penyelenggaraan, pemberian bantuan dan/atau kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pengembangan penanggu-langan bahaya merokok terhadap kesehatan; c. Pengadaan dan pemberian bantuan sarana dan prasarana bagi penyelenggara pengamanan rokok bagi kesehatan;
Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
63
d. Keikutsertaan dalam pemberian bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan informasi kepada masyarakat berkenaan dengan penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan; e. Kegiatan pengawasan dalam rangka penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan. Saat ini, sejalan dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pemerintah sedang merevisi PP 19/2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, bentuknya masih berupa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). RPP ini bernama RPP Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan, atau dikenal dengan RPP Rokok. RPP ini menekankan penetapan kawasan tanpa rokok yang lebih spesifik untuk membatasi perilaku merokok masyarakat sekaligus melindungi kesehatan orang lain bukan perokok, terutama anak-anak dan perempuan hamil. Sementara itu, pemerintah juga mengatur bentuk peringatan kesehatan di dalam iklan rokok, yaitu dengan menambahkan gambar bahaya rokok. Ini dilakukan untuk menarik perhatian perokok supaya terekam di dalam kesadarannya bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Pemerintah juga menetapkan larangan iklan orang yang sedang merokok. Namun larangan ini dilaksanakan secara bertahap karena mempertimbangkan kesiapan industri rokok.32 2. Pengaruh Peraturan Pemerintah terhadap Health Belief Perokok Relapse Upaya yang dilakukan pemerintah melalui peraturan-peraturan yang ada, diakui oleh perokok relapse memiliki pengaruh. “Ya jelas ada pengaruhnya. Ada kawasan tanpa rokok itu membuat saya jadi mikir-mikir kalau mau merokok di tempat umum. Lihat-lihat dulu. Jadinya nggak sembarangan lagi kalau mau merokok, ada aturannya” (Informan A, 4 Maret 2011). 32
64
Beleid Pengendalian Rokok Berlaku Tahun Ini oleh Kontan Online, http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/59273/Beleid-pengendalianrokok- berlaku- tahun-ini, diakses pada tanggal 3 Maret 2011.
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Aturan yang dibuat oleh pemerintah merupakan rangsangan yang bisa memicu pengguna rokok untuk berhenti merokok atau setidaknya membuat pengguna rokok merasa kurang nyaman apabila merokok di sembarang tempat, seperti yang dialami oleh Informan A. Dengan demikian, pengaturan penetapan kawasan rokok bisa berfungsi sebagai punishment dan bisa menjadi pertimbangan bagi individu ketika mengevaluasi perilaku sehat. Pengaturan materi iklan yang mencantumkan bahaya rokok memiliki pengaruh, terutama dalam meningkatkan persepsi individu mengenai ancaman rokok. Hal ini diakui oleh Informan B, sebagai berikut: “Ya tau juga bahaya merokok dari kemasannya kan ada. Kalau merokok lagi, terkadang suka terpikir lagi, ini bahaya. Sempat ragu juga untuk lanjut merokok...” (Informan B, 12 Maret, 2011). Jadi, sebenarnya, informasi-informasi tersebut berguna bagi individu, setidaknya berguna untuk membangkitkan kembali motivasi awal mereka ketika menjalani rehabilitasi. Namun, perlu diakui bahwa pengaruh ini belum dirasakan secara signifikan, terbukti masih banyak pelanggaran yang dilakukan, misalnya masih banyak orang merokok di tempat umum, terutama di angkutan umum. Kebanyakan perokok belum mengetahui secara spesifik peraturan mengenai penetapan kawasan tanpa rokok. Biasanya, mereka mengidentifikasi kawasan tanpa rokok dari tanda dilarang merokok yang tercantum atau dari informasi yang diberikan oleh rekanrekannya.33 Individu juga sering menggantungkan perilakunya terhadap sanksi yang berlaku dan ketika sanksi tidak dijalankan secara tegas, mereka kembali melanjutkan kebiasaan merokoknya.34
33 34
Wawancara dengan informan B, 12 Maret 2011. Ibid.
Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
65
Simpulan Menurut Health Belief Model, pengguna rokok bisa mengalami relapse atau kambuh lagi karena beberapa faktor. Dua faktor yang utama adalah persepsinya terhadap ancaman serta evaluasinya terhadap perilaku sehat. Perokok belum menyadari sepenuhnya bahwa rokok berbahaya bagi dirinya. Motivasi kesehatan yang terbatas membuat dirinya mudah puas atas hasil yang diperoleh dari proses rehabilitasi. Mereka mentolerir munculnya perilaku merokok, bahkan batas toleransi yang diberikan cenderung lemah. Selain itu, mereka juga rentan ketika dihadapkan pada konsekuensi negatif perubahan perilaku sehat. Kontrol diri eksternal yang kuat membuat mereka mudah dipengaruhi lingkungan. Rangsangan berupa konsekuensi negatif dari perubahan perilaku sehat dirasakan lebih kuat mempengaruhi persepsinya dibanding rangsangan berupa manfaat. Pada akhirnya, perhatian mereka terfokus pada konsekuensi negatif dan cara untuk menghentikannya. Pemicu yang pernah menggugah mereka untuk berperilaku sehat, semakin lama efeknya terasa lemah karena mereka mendapatkan pemicu lain untuk membuatnya kembali merokok. Selanjutnya, keberhasilan pembentukan perilaku sehat tidak terlepas dari peran pemerintah. Melalui peraturan-peraturannya, pemerintah berupaya meningkatkan kesadaran pengguna rokok mengenai bahaya rokok serta melindungi orang yang bukan perokok melalui penetapan kawasan tanpa rokok. Hal-hal tersebut tercantum dalam peraturan pemerintah tentang pengamanan rokok bagi kesehatan, dari mulai PP 81/1999; PP 38/2000; serta PP 19/2003. Saat ini, pemerintah juga sedang menyiapkan RPP tentang Rokok untuk merealisasikan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. RPP ini menekankan penetapan kawasan tanpa rokok yang lebih spesifik, peringatan bahaya rokok bergambar di dalam iklan, serta larangan iklan rokok yang dijalankan secara bertahap. Semua hal di dalam peraturan tersebut dapat berfungsi sebagai rangsangan bagi pengguna rokok supaya menjalankan perilaku sehat. Oleh karenanya, ada hal yang peneliti sarankan melalui tulisan ini. Pertama adalah saran bagi penelitian. Untuk memperkaya 66
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
pengambilan data, metode observasi tampaknya perlu dilakukan. Begitu pula dengan pengujian kuantitatif. Dengan pengujian kuantitatif, maka akan mudah melihat secara pasti, besaran pengaruh tiap-tiap faktor HBM terhadap perilaku sehat sekaligus menentukan secara pasti faktor HBM yang paling berpengaruh terhadap perilaku sehat. Selain teknik pengambilan data, informan perlu diperbanyak supaya kompleksitas individu semakin terlihat. Peneliti juga berharap adanya penelitian lanjutan yang mengupas permasalahan pada perokok ringan dan menengah. Dengan pemahaman yang utuh, diharapkan intervensi terhadap perilaku merokok bisa tepat sasaran. Saran kedua berkaitan peran pemerintah. Untuk menurunkan jumlah perokok yang kian meningkat, diperlukan keseriusan pemerintah menjalankan peraturan yang ada. Konsistensi pelaksanaan peraturan perlu ditekankan supaya perubahan perilaku sehat benarbenar terlaksana dan dapat bertahan selamanya. Pemberian peringatan bahaya rokok berbentuk gambar di dalam iklan rokok adalah solusi yang baik. Akan lebih optimal apabila iklan layanan masyarakat terkait rokok diperbanyak. Pemaparan data-data yang mendukung serta penyajian pengalaman mantan perokok bisa dipertimbangkan guna meningkatkan kesadaran perokok. Untuk mengantisipasi munculnya permasalahan merokok, peran serta masyarakat, seperti guru di sekolah, perlu diperhitungkan. Sekolah merupakan tempat dimana pendidikan berlangsung dan tempat dimana seorang anak menghabiskan banyak waktunya dalam sehari. Oleh karenanya, pendidikan di sekolah menjadi penting untuk membentuk kesadaran peserta didik mengenai dampak rokok bagi kesehatan. Pemahaman ini perlu dibentuk sedini mungkin mengingat banyak kasus merokok terjadi pada tahap remaja awal, bahkan pada beberapa kasus terjadi pada tahap kanak-kanak. Pemahaman mengenai bahaya rokok tidak hanya diberikan melalui pelajaran atau nasehat, namun juga melalui perilaku yang ditunjukkan oleh semua pihak, terutama guru. Guru dituntut menjadi role model yang baik, artinya guru harus dapat memberi contoh bagi anak didiknya dengan berperilaku sehat, termasuk menghindari rokok secara konsisten. Dengan demikian, diharapkan, anak-anak tidak mencoba-coba merokok hanya Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
67
karena pergaulan atau karena ingin mendapat citra perkasa. Sebab, ketika mereka sudah mencoba, tidak menutup kemungkinan perilaku merokok itu akan berlanjut hingga mereka dewasa atau bahkan tua nantinya.
68
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
DAFTAR PUSTAKA Buku: Albery, Ian P., Munafo, Marcus. (2011). Psikologi Kesehatan: Panduan Lengkap Dan Komprehensif Bagi Studi Psikologi Kesehatan. Palmall. Marteau, Theresa .M. (1995). Health Beliefs and Attributions dalam Health Psychology: Processes and Applications Second Edition. Chapman and Hall: London. Notoatmodjo, Soekidjo (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta. Artikel: CDC. (2002). Cigarette Smoking Among Adults, United States, 2000. MMWR, 51, 542-645. Depkes RI (2010). Laporan Eksekutif Menteri Kesehatan RI Tentang Framework Convention On Tobacco Control (TFCC) Atau Konvensi Pengendalian Masalah Tembakau. Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia. (2008). Paket pengembangan Kawasan Tanpa Rokok: Pedoman Untuk Advokator. Jurnal: Piasecki, Thomas. M. (2006). Relapse to Smoking. Clinical Psychology Review 26 196-215. Department of Psychological Sciences, University of Missouri-Columbia, Columbia, USA. Skripsi: Pradana, Kemal Adhi (2008). Dinamika Motivasi Mengakhiri Perilaku Merokok Pada Mantan Perokok Yang Pernah Mengalami Relapse. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Sulis Winurini, Penyebab Relapse …
69
Situs Internet: http://id.wikipedia.org/wiki/Rokok, diakses tanggal 28 Februari 2011. http://forumkristen.com/komunitas/index.php?topic=13946.0, diakses pada tanggal 28 Februari 2011. http://www.who.int/tobacco/mpower/mpower_report_full_2008.pdf, diakses pada 2 Maret 2011. http://www.litbang.depkes.go.id/tobaccofree/media/FactSheet/Fact Ind/8_mitosfakta_dec404.pdf, diakses pada tanggal 2 Maret 2011 http://www.scribd.com/doc/31399697/Karya-Tulis-Ilmiah-SarjanaKedokteran, diakses pada tanggal 2 Maret 2011. http://ksupointer.com/10-negara-dengan-jumlah-perokok-terbesar-didunia, diakses pada tanggal 2 Maret 2011. http://www.jblearning.com/samples/0763743836/Chapter%204.pdf, diakses pada tanggal 3 Maret 2011. Kintoko, Rochadi. (2005). Berbagai Upaya Penanggulangan Rokok di Indonesia. Info Kesehatan Masyarakat, Vol. IX. No. 2 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18863/1/ikmokt2005-9%20%282%29.pdf, diakses pada tanggal 3 Maret 2011. http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/59273/Beleid-pengen dalian-rokok-berlaku-tahun-ini, diakses pada tanggal 3 Maret 2011. Perundang-Undangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
70
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
INTERAKSI DAN KEPENTINGAN ELIT PADA PERUBAHAN STATUS RUMAH SAKIT DAERAH MENJADI PERSEROAN TERBATAS Dumilah Ayuningtyas Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Abstract The Provincial Administration of Jakarta turned Pasar Rebo Hospital, Cengkareng Hospital and Haji Hospital into limited liabilities corporations through the issuance of Provincial Regulation No. 13, 14, 15 in 2004. To identify the interaction between elite and their role toward public hospital privatization. This study examines the factors underlying the establishment of the privatization policy, and the interaction between elites and their role toward public hospital privatization. This study found that the interaction between elites, both political elites and non political elites, was influenced by their interest, ideology and behavior. From these cases of hospital privatization, it can be analyzed that all elites that involved in this process have their own interests, whether it be the desire to defend the power and ownership, vision and purpose, a belief in values, including the history of the establishment or the financial aspect. In the case of privatization of government hospitals in Jakarta, elites’ personality – including the commitment preferences and values or vision- proven to influence the process of formulation, implementation, and termination of the policy. Policy and politics in health sector has to be directed to make sure that state is not only become the arena of vested interest and social politics conflict. The role of the state as regulator and policy maker must delivered fairly and proportionally to guarantee the public health interest become the major priority rather than profit orientation, include the role and involvement private sector and other ruling elite. Keywords: Hospital Privatization, Health Policy, Politic, Elite Abstrak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah merubah status RS Pasar Rebo, RS Cengkareng dan RS Haji menjadi Perseroan Terbatas 71
melalui Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 13, 14, dan 15 Tahun 2004. Untuk mengidentifikasi interaksi para elit dan peran mereka terhadap privatisasi rumah sakit umum. Kajian ini mengkaji faktor-faktor yang mendasari pembentukan kebijakan privatisasi, serta interaksi para elit dan peran mereka terhadap privatisasi rumah sakit umum. Kajian ini menemukan bahwa interaksi antarpara elit, baik elit politik maupun elit nonpolitik, dipengaruhi oleh ideologi, minat dan perilaku mereka. Dari kasus-kasus privatisasi rumah sakit, dapat dianalisis bahwa semua elit yang terlibat dalam proses ini memiliki kepentingan mereka sendiri, mulai dari keinginan untuk mempertahankan kekuasaan dan kepemilikan, visi dan misi, nilainilai yang dianut, sampai dengan sejarah pendirian atau aspek keuangan. Dalam kasus privatisasi rumah sakit pemerintah di Jakarta, kepribadian para elit –termasuk komitmen dan nilai yang dipegang serta visi- terbukti mempengaruhi proses perumusan, pelaksanaan, dan pengambilan keputusan. Kebijakan dan politik di sektor kesehatan harus diarahkan untuk memastikan bahwa negara tidak hanya menjadi ajang para pihak yang berkepentingan serta berpotensi konflik baik sosial maupun politik. Peran negara sebagai regulator dan pembuat kebijakan harus disampaikan secara adil dan proporsional untuk menjamin kepentingan masyarakat di bidang kesehatan menjadi prioritas utama daripada orientasi keuntungan, termasuk peran dan keterlibatan sektor swasta dan elit penguasa lainnya. Kata Kunci: Privatisasi Rumah Sakit, kebijakan kesehatan, politik, elit.
Pendahuluan Hasil amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terhadap pasal 28H 1 tentang Hak Pelayanan Kesehatan dan pasal 34 ayat 3 menyebutkan bahwa negara bertanggung jawab atas fasilitas kesehatan dan fasilitas umum yang layak. Beberapa butir tujuan yang tercakup dalam deklarasi MDGs (Millenium Development Goals 2015), terkait dengan pembangunan kesehatan seperti penurunan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi sebagai bagian dari perlindungan kelompok rentan dan penurunan angka kemiskinan 72
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
karenanya juga menjadi bagian dari tanggung jawab pemerintah. Ketidakberhasilan pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi secara adil dan merata dapat dijadikan sebagai indikator kegagalan pemerintah dalam menjalankan perannya. Oleh karena itu, dalam keadaan sumber daya paling minimal, negara tetap harus dapat memberikan peluang agar setiap warga negara dapat hidup sehat. Pelaksanaan peran negara dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang adil dan berkualitas tidak mudah dilaksanakan, terlebih dengan mengingat karakteristik sektor kesehatan yang penuh dengan ketidakpastian dan adanya hubungan asimetris antara masyarakat atau pasien dengan institusi pelayanan kesehatan karena ketidaktahuan konsumen, sering kali dijadikan kontestasi elit dalam mempertaruhkan kepentingan ekonomi. Daya tarik industri rumah sakit, dalam mengembangkan sayap bisnis bagi elit kesehatan dapat tergambar dalam Kebijakan Pemerintah DKI mengubah Rumah Sakit Pasar Rebo, Rumah Sakit Haji dan Rumah Sakit Cengkareng menjadi PT. Dengan berbagai karakteristik khasnya, Pelayanan kesehatan juga seringkali dijadikan komoditas pada pertarungan politik, termasuk untuk menarik suara pemilih (Gill Walt, 1994). Kandidat Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan atau Nusa Tenggara Barat, M. Zainul Madji (keduanya kemudian terpilih sebagai gubernur) adalah bukti dari elit politik yang menjanjikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat kurang mampu, pendirian rumah sakit atau puskesmas, subsidi biaya obat untuk menarik simpati konstituen yang akan memilihnya. Tidak hanya elit politik, juga elit non politik (termasuk kalangan akademis) ikut menjadikan sektor kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan pemerintah sebagai arena untuk mempertarungkan kepentingan individu baik yang bersifat politis, ideologis, motif ekonomi dan lainnya. Salah satu makalah yang membahas privatisasi rumah sakit dikeluarkan oleh Health Affairs Journal yang diterbitkan pada MaretApril 2000 dengan judul “Public Hospitals: Privatization and Uncompensated Care”, namun artikel ini pun lebih menekankan pada Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
73
analisis manajerial dan ekonomi bukan dari sisi ilmu politik. Oleh karena itu penelitian ini mencoba menganalisis lebih lanjut kebijakan privatisasi rumah sakit pemerintah melalui Perda No. 13, 14, dan 15 tahun 2004 yang mengubah Rumah Sakit Pasar Rebo, Rumah Sakit Haji dan Rumah Sakit Cengkareng menjadi PT, juga bagaimana para elit terlibat dan berperan pada proses penetapan serta implementasi Perda tersebut. Mengapa lahir kebijakan perubahan status Rumah Sakit Daerah menjadi PT (Perseroan Terbatas) yang mengarah pada privatisasi rumah sakit melalui Perda No. 13, 14 dan 15 tahun 2004 di Provinsi DKI Jakarta, siapa saja elit utama dan bagaimana dinamika peran dan interaksi elit yang terlibat di dalamnya? Penelitiaan ini menggunakan pendekatan kualitatif perhatiannya pada realitas sosial yang selalu berubah dan merupakan hasil konstruksi sosial yang berlangsung antara para pelaku dan institusi sosial. Pencapaian tujuan penelitian didukung dengan argumen rasional dari para informan kunci dan pakar yang didukung oleh data dan teori yang meyakinkan . Strategi penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus dipilih karena metode ini kaya informasi, memberikan pencerahan, dan dapat memanifestasikan fenomena kepentingan yang terjadi di antara elit yang telibat. Penelitian ini bersifat deskriptif-eksplanatoris, hal ini untuk mendeskripsikan dan memberikan eksplanasi tentang bagaimana dinamika peran dan interaksi elit berhubungan dan mempengaruhi kebijakan privatisasi perumahsakitan di DKI Jakarta. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indepth interviews), observasi terbatas, penelusuran dokumen dan kepustakaan serta dengan meminta pandangan pakar (expert judgment). Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali “mengapa dan bagaimana” politik kebijakan kesehatan terjadi, termasuk pula bagamana upaya-upaya elit mempengaruhi keputusan agar lebih menguntungkan pihaknya ataupun rekonsiliasi terhadap berbagai kepentingan dan permintaan yang saling berbeda untuk mencapai atau
74
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
mempertahankan stabilitas dan cohesiveness dalam posisi tawarmenawar, penetapan otoritas, alokasi sumber daya. Penelusuran kepustakaan juga menjadi instrumen yang penting dan mendasar. Data ini akan dipilih dari berbagai sumber tertulis dan dokumen terpercaya yang berhubungan dengan masalah penelitian, seperti laporan riset, majalah dan surat kabar serta sejumlah dokumen yang penting dan peraturan hukum. Kriteria yang akan dipakai untuk menerjemahkan asas kesesuaian dan kecukupan dalam penetapan informan kunci adalah kriteria posisi/jabatan dan kekuasaan, pengalamannya yang terkait dengan masalah penelitian serta sikap dan tingkat keterlibatannya dalam proses penetapan dan implementasi Perda No. 13, 14, 15 tahun 2004 DKI Jakarta. Kriteria ini dianggap memadai untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Analisis dilakukan dengan dasar pemahaman bahwa penetapan kebijakan adalah sebuah sistem yang melibatkan serangkaian komponen, proses, alokasi sumber daya, elit dan kekuasaan yang berperan pada penetapan kebijakan sebagai sebuah sistem. Fokus analisis akan diarahkan untuk mengetahui mengapa dan bagaimana kebijakan tersebut terjadi, terimplementasi terjadi politik proses penetapan kebijakan tersebut terjadi, termasuk pula bagaimana upayaupaya para elit yang terlibat mempengaruhi keputusan agar lebih menguntungkan pihaknya ataupun rekonsiliasi terhadap berbagai kepentingan (interest) yang saling berbeda untuk mencapai atau mempertahankan stabilitas dan cohesiveness. Validitas data dilakukan dengan strategi triangulasi. Triangulasi sumber dilaksanakan dengan menggunakan berbagai informan yang berbeda serta melakukan kontras data. Triangulasi metode dijalankan dengan menggunakan lebih dari satu cara pengumpulan data. Triangulasi analisis dilakukan dengan meminta umpan balik informan dan dengan meminta pandangan para pakar.
Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
75
Privatisasi dan Kepentingan Elit Menurut Joseph Stigliz, proses pengonversian perusahaan negara menjadi perusahaan swasta disebut privatisasi (Joseph Stigliz, 1998 dalam Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo, 2002: 58). Sementara menurut Savas, privatisasi adalah tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran swasta, khususnya aktivitas yang menyangkut kepemilikan atas asset (E.S. Savas, 1987 dalam Safri Nugraha, 2002: 10). Adanya arus besar privatisasi sebagai representasi politik liberalisasi setidaknya dapat dipahami dengan mengacu pada pandangan J.A. Kay dan D.J. Thomson yang menganggap bahwa privatisasi tidak semata-mata soal pengalihan kepemilikan badan usaha saja melainkan merupakan cara mengubah hubungan antara pemerintah dan sektor swasta. Secara lebih subtanstif dalam perspektif filsafat-politik, privatisasi berarti kegiatan mengurangi peranan pemerintah (state control) dan meningkatkan peran swasta. Privatisasi adalah: “the act of reducing the role of government and expanding that of the private sector.” (E.S. Savas, 1987 dalam Safri Nugraha, 2002: 10). Posisi, peran dan kekuasaan elit yang berpengaruh di dalam sebuah penetapan kebijakan dikemukakan oleh Mills sebagai The Power Of Elites. Dalam kaitan tersebut Mills memandang The Power Elite tidak hanya ada pada The Ruling Class saja akan tetapi juga ada pada ”power elites” lainnya di bidang ekonomi, politik dan militer. Bagi Mills ”ruling elites” yang sedang memegang kekuasaan pemerintahan negara merupakan salah satu saja dari berbagai ruling atau power elites di dalam masyarakat Amerika (E.S. Savas, 1987 dalam Safri Nugraha, 2002: 10). Mereka termasuk dalam kategori elit penentu seperti yang disampaikan oleh Suzanne Keller. Sebelumnya Keller menyebutkan bahwa elit menguasai masyarakat atau bahwa elit itu adalah kelompok-kelompok yang unggul dalam status dan kekuasaan (Suzanne Keller, 1984: 123). Dengan kekuasaan yang dimiliki maka lahirlah kepemimpinan, baik secara sosial maupun non-sosial. Pada lapisan sosial, elit mendapat kekuasaan karena memiliki spesialisasi yang istimewa sesuai dengan jasa yang 76
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
diberikan dan disebut oleh Keller sebagai elit-elit penentu (Suzanne Keller, 1984: 43). Elit penentu berkembang dalam masyarakat industri yang maju karena kondisi-kondisi sejarah yang mendahuluinya, kekuatan-kekuatan sosial yang sedang berjalan, dan tuntutan fungsional dari sistem berukuran besar (Suzanne Keller, 1984: 123). C Wright Mills dalam bukunya, The Power Elit mengatakan semua kebijakan besar dan penting ditentukan oleh sekelompok elit individu, yang memiliki kedudukan sangat kuat. Thomas Dye dan Harmon Ziegler dalam The Irony of Democracy memberikan suatu ringkasan pemikiran tentang elit, sebagai berikut: (1) Masyarakat terbagi dalam kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan (power) dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan; (2) Elit yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para elit ini (the ruling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat ekonomi tinggi; (3) Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elit sangat pelan dan berkeseimbangan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi; (4) Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem; (5) Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan massa, tetapi nilai-nilai elit yang berlaku; (6) Para elit relatif memperoleh pengaruh langsung dalam skala sangat kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya, para elit mempengaruhi massa yang besar (Thomas Dye dan Harmon Ziegler dalam Budi Winarno: 43). Ketika seseorang memiliki kekuasaan, maka kepribadian orang tersebut akan berpengaruh pada produk kebijakan yang dikeluarkan. Itu sebabnya cukup banyak kajian yang mengkaitkan produk kebijakan dalam sebuah sistem politik dengan pendekatan behavioralisme yang memandang politik dari segi apa adanya (what it is) yang berupaya menjelaskan mengapa gejala politik tertentu terjadi seperti itu, dan kalau mungkin memperkirakan juga gejala politik apa yang akan terjadi. Konsep black box dalam proses pengambilan keputusan sesungguhnya dapat dilihat sebagai gambaran pola perilaku manusia menyangkut aspek behavioralisme lainnya yaitu berupa kekuasaan, konflik, dan fungsionalisme. Secara singkat faktor-faktor tersebut dianggap pula sebagai penentu partisipasi politik (David E. Apter, 1978: 236-237 dalam Dumilah Ayuningtyas, 2008: 47).
Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
77
Dalam formulasi pendekatan lain De Tracy (1796) mengungkapkan bagaimana ideologi mempengaruhi proses penetapan kebijakan. De Tracy mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pikiran manusia yang dapat mampu menunjukkan arah yang benar bagi masa depan (Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed.), 2004 dalam Dumilah Ayuningtyas, 2008: 47). Ideologi tersusun dari komponen nilai, kepentingan dan pilihan (values, interest and preferences) yang saling berkaitan bahkan seringkali tumpang-tindih (David E. Apter, 1978: 236-237). Latar Belakang Perubahan Status Rumah Sakit Pemerintah Daerah Menjadi Perseroan Terbatas (PT) Rumah sakit pemerintah telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk, mulai dari Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan (UPTD), Unit Swadana, Perusahaan Jawatan (Perjan), Lembaga Teknis Daerah (LTD), Badan Usaha Milik Daerah bahkan Perseroan terbatas hingga berakhir pada saat ini pada bentuk Badan Layanan Umum. Perubahan status rumah sakit pemerintah akan berdampak pada perbedaan pengelolaan rumah sakit. Implikasi terbesar dari perubahan bentuk rumah sakit pemerintah adalah aspek kemandirian, wewenang dan otonomi pengelolaan keuangan. Lahirnya Perda DKI Jakarta No. 13, 14, 15 tahun 2004 tentang perubahan bentuk hukum RS pemerintah daerah menjadi PT dilatarbelakangi oleh persoalan-persoalan buruknya mutu layanan yang diberikan oleh RSUD (RS milik negara/pemerintah), sementara upaya untuk meningkatkan mutu terkendala oleh ketat dan kakunya aturanaturan birokrasi pengelolaan rumah sakit pemerintah. Perubahan RSUD ke PT akan mengubah pengelolaan manajemen rumah sakit menjadi business like sehingga profesionalisme kerja akan terwujud untuk peningkatan mutu layanan rumah sakit pemerintah yang selama ini dikenal buruk. Belum optimalnya kinerja pemerintah daerah mengakibatkan pembiayaan rumah sakit bersumber APBD tersebut seringkali turun tak tepat waktu dan aturan penggunaannya pun harus melalui prosedur panjang, sementara sesuai dengan karakteristik sektor kesehatan, pelayanan kesehatan di rumah sakit harus diberikan dalam 78
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
waktu dan respon yang cepat dan tepat. Sementara itu kebijakan tentang status rumah sakit pemerintah yang berlaku justru tidak dapat memberikan fleksibilitas dan otonomi pengelolaan yang menjadi syarat manajemen rumah sakit yang efisien dan efektif. Tujuan privatisasi PT Rumah Sakit Haji, Pasar Rebo dan Cengkareng adalah ingin meningkatkan mutu layanan rumah sakit, efektifitas dan efisiensi pengelolaan rumah sakit serta memutus panjangnya rantai birokrasi. Hal tersebut sejalan dengan asumsi yang dibangun oleh WHO tentang privatisasi rumah sakit pemerintah “privatisasi sektor kesehatan seringkali didorong oleh beberapa asumsi yang dipahami oleh pengambil kebijakan sebagai manfaat atau keuntungan privatisasi, antara lain privatisasi dapat memutus rantai panjang birokratisasi sehingga manajemen pengelolaan rumah sakit dapat lebih efisien dan efektif. Selain itu pengaruh mekanisme pasar, kompetisi serta peluang untuk mendapatkan insentif akan mendorong peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan” (Jett Muschell, 1995: 5). Temuan ini juga memperkuat argumentasi Florence Eid tentang berbagai tujuan atau alasan yang melatarbelakangi privatisasi rumah sakit pemerintah yaitu untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan, meningkatkan profesionalisme, serta mengurangi campur tangan birokrasi dan pemerintah terhadap pengelolaan rumah sakit (Florence Eid, t.th). Namun demikian, penelusuran data sekunder pada studi ini memperlihatkan bahwa alasan yang melatarbelakangi lahirnya Perda 13, 14, 15 sebagai dasar perubahan rumah sakit pemerintah menjadi PT tidaklah sesederhana itu. Argumentasi dalam naskah akademik pembuatan Perda tersebut serta pidato Gubernur DKI di depan sidang DPRD pada pengajuan Raperda serta pencanangan DKI Jakarta Service City yang menyebut-nyebut tujuan membuka peluang bagi masuknya investor, peningkatan daya saing, pencegahan keluarnya devisa negara dan pelayanan berstandar internasional yang memperlihatkan pengaruh kendali pasar bebas pada proses lahirnya Perda tersebut. Tidak dapat dinafikan bahwa penetapan kebijakan privatisasi sangat kental dipengaruhi oleh ideologi liberal yang menekankan pada prinsip efisiensi dan pengurangan peran negara. Kondisi ini sejalan dengan Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
79
proses demokratisasi yang semakin dekat dengan arah liberal yang menekankan kebebasan individual, pembatasan peran negara, dan representasi kepentingan melalui forum publik terpilih dan partisipasi kelompok (Charlotte Bretherton dan Geoffrey Ponton [ed.], 1996: 223). Meski prinsip demokrasi langsung pun tercermin pada pemilihan umum secara langsung yang menjadi jalan keterlibatan masyarakat dalam untuk berpartisipasi dalam pembangunan, namun warga masyarakat yang terlibat pun (elit) juga dibatasi oleh kemampuan warga itu sendiri baik dari sisi finansial maupun dukungan moral. Sementara sesuai dengan konstitusi, akar sejarah dan sosial Negara ini menegaskan bahwa kesejahteraan masyarakat dan prinsip kolektif lebih diutamakan ketimbang kebebasan individu. Tidak mengherankan jika kemudian kebijakan privatisasi mendapat respons keras dari masyarakat. Masyarakat melihat sesungguhnya sesuai dengan konstitusi yang berlaku kebijakan yang digariskan di Indonesia termasuk Jakarta adalah kebijakan yang berpihak pada rakyat dan untuk kesejahteraan bukan berpihak pada kepentingan swasta dengan alasan efisiensi dan profit maksimum. Oleh karena itu pula, pada proses pembatalannya di tahap Mahkamah Agung disebutkan bahwa perda ini dicabut dengan alasan tidak sesuai dengan UUD 1945. Interaksi Kepentingan Antar Elit Penetapan Perda DKI Jakarta No.13, 14, 15 tahun 2004 Tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum menjadi PT dan Penyertaan Modal Pemerintah Propinsi DKI Jakarta pada PT Rumah Sakit Haji, Pasar Rebo dan Cengkareng adalah sebuah sistem pengambilan keputusan atau penetapan kebijakan yang berlangsung sebagai sebuah sistem. Pada sistem pengambilan keputusan perubahan beberapa rumah sakit daerah DKI Jakarta menjadi PT, interaksi dan tawar menawar antar elit yang memiliki nilai, preferensi atau kepentingan masing-masing untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan yang dikenal sebagai Black Box of Policy Making.
80
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Kehadiran elit dalam ruang publik dan penetapan kebijakan merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini dikuatkan oleh pandangan Mosca tentang adanya “The Ruling Class” sebagai suatu fenomena universal. Harus ada kepemimpinan dalam bermasyarakat yang dipegang oleh kemompok minoritas (jumlahnya sedikit). Sistem yang demikian itu oleh Mosca dianggap tidak bertentangan dengan pengertian demokrasi oleh karena “... no democracy would endure if it followed the “will” of the ignorant and peace loving masses instead of the aggressive leadership of the enlightened few” (demokrasi tidak akan bertahan jika diikuti oleh keinginan dari mereka tang tidak peduli dan cinta damai, bukan melalui kepemimpinan agresif dari sedikit orang yang telah tercerahkan). Pendapat yang demikian itu banyak kesamaannya dengan Suzanne Keller yang mengatakan bahwa “The Mass is unable to act directly on its behalf and must therefore delegate responsibility to professional representatives” (Massa tidak dapat bertindak secara langsung atas nama massa itu sendiri, oleh karena itu harus mendelegasikan tanggung jawab kepada wakil-wakil profesional) (Charlotte Bretherton dan Geoffrey Ponton [ed.], 1996: 9). Konstelasi Elit Politik Indonesia dalam kurun waktu 13 tahun pasca reformasi, tak kunjung mengalami perubahan yang signifikan dalam pelayanan kesehatan, baik dari segi alokasi anggaran maupun pelayanan kesehatan dasar lainnya. Hal ini tentu berdampak pada kualitas pembangunan bangsa, antara lain terepresentasi pada IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang memasukkan ukuran-ukuran kesehatan di dalamnya. IPM Indonesia masih terkategori rendah bahkan di bawah Vietnam yang baru saja bangkit membenahi diri pasca perang saudara yang terjadi. Kondisi ini akan menjadi semakin kontras jika kita mencermati sebuah penelitian komparatif yang membandingkan antara Republik Czech dan Slovak menunjukkan Republik Czech mengalami perubahan yang lebih cepat dalam perbaikan pelayanan kesehatan setelah terbentuknya kelompok penekan (pressure group) yang terdiri atas Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
81
dokter, rumah sakit, perusahaan farmakimia, perusahaan asuransi kesehatan pasca komunisme. Artinya konstelasi elit jelas mempengaruhi berbagai kebijakan yang dibuat, termasuk di bidang kesehatan (Colin Lawson dan Juraj Nemec, dalam International Political Science Review, 2003, Vol. 24, No. 2: 219-235). Karena itu dapatlah dikatakan bahwa buruknya wajah kesehatan Indonesia tentu tak dapat dilepaskan dari para elit pembuat kebijakan, nilai-nilai, preferensi dan kepentingan yang melekat pada mereka. Rumah sakit merupakan instrumen kesehatan yang sangat strategis, terlebih bagi rumah sakit milik negara. Kepahaman bahwa rumah sakit yang dimiliki oleh negara memiliki keluasan jangkauan dengan banyaknya jumlah pasien serta fakta masih buruknya pelayanan yang diberikan dan terjadinya inefisensi pengelolaan keuangan di sisi lain, mendasari keinginan para elit terkait untuk melakukan sebuah perubahan. Salah satu tujuannya adalah agar rumah sakit dapat bergerak lebih fleksibel dan dikelola lebih efisien pula. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, alasan-alasan tersebut secara umum mengemuka dari para elit politik yang terlibat pada penetapan kebijakan perubahan rumah sakit pemerintah daerah menjadi PT yang merasa sangat yakin bahwa PT adalah bentuk rumah sakit yang ideal bagi DKI Jakarta pada saat itu. Buruknya pelayanan pasien adalah disebabkan oleh ketatnya aturan birokrasi sehingga rumah sakit menjadi lamban dalam merespons kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, rumah sakit memang harus diberikan otonomi yang luas dalam pengelolaan uang, SDM dan barang, namun mengingat kembali ke bentuk swadana dan Perjan yang membolehkan penggunaan langsung pendapatan rumah sakit, tentu tidak bisa dilakukan sesudah penghapusannya di tahun 2003, maka mem-PT-kan rumah sakit adalah jalan yang tepat. Namun demikian, tudingan bahwa ada interest politik di antara para elit yang terlibat dalam penetapan kebijakan perubahan rumah sakit menjadi PT tidak bisa dielakkan, karena para elit yang semula bulat mendukung lahirnya Perda No. 13, 14, 15 tahun 2004 pada kenyataannya berubah sikap dan tidak berkeberatan atau menunjukkan 82
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
perlawanan terhadap upaya pembatalannya. Kritik pun dilontarkan ketika DPRD DKI Jakarta akhirnya mengeluarkan Perda pencabutan Kekentalan isu politis juga terungkap dari pengakuan para informan yang mengatakan bahwa partai politik ikut memainkan perannya dalam penetapan, pelaksanaan hingga akhirnya upaya pembatalan perda yang mengubah rumah sakit menajdi PT. PKS ditenggarai ikut mengadvokasi Rumah Sakit Haji karena alasan Kedekatan ideologis sebagai partai Islam. Sementara privatisasi Rumah Sakit Pasar Rebo, lebih mendapat dukungan partai non-islam. Kentalnya nuansa politis dan tajamnya interaksi antar elit dengan berbagai preferensi nilai atau kepentingan, akhirnya melibatkan intervensi Menteri Kesehatan pada saat itu. Posisi dan interaksi antar elit memang sulit untuk dilepaskan dari konteks kepentingan, setidaknya jika mengacu pada pandangan Laswell yang memaknai kaum elit sebagai: “Mereka yang memperoleh paling banyak daripada apa yang akan diperoleh”. Masih menurut Laswell, ada tiga hal berharga yang diharapkan para elit yaitu kehormatan, pendapatan, dan keamanan. Kepentingan pribadi atau vested interest para elit hampir selalu dikaitkan dengan uang. Interaksi elit yang terlibat dalam penetapan kebijakan Perda No. 13, 14, 15 tahun 2004 hingga pelaksanaan dan kemudian pembatalannya memiliki pola yang hampir sama, namun juga ada keragaman pola sesuai dengan kekhususan rumah sakit. Khusus untuk Rumah Sakit Haji, interaksi yang berlangsung menjurus pada konflik yang memanas dan menimbulkan kekerasan fisik. Hal tersebut terjadi antara lain karena status Rumah Sakit Haji yang tak hanya dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetapi juga Departemen Agama. Masalah ini kian membesar ketika akhirnya melibatkan elit yang lebih signifikan. Disebutkan bahwa Direktur Rumah Sakit Haji adalah representasi Departemen Agama. Kemudian Gubernur Sutiyoso menolak untuk memenuhi panggilan Departemen Agama untuk masalah privatisasi RS Haji, karena merasa posisinya setara dengan Departemen, dan hanya mau memenuhi panggilan dari pihak posisinya secara struktur lebih tinggi. Akhirnya dicari solusi untuk menghadirkan pihak ketiga yaitu Departemen Kesehatan yang menjalankan perannya Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
83
sebagai representasi Wakil Presiden. Pada saat itu diputuskan otoritas RS Haji berada di Departemen Kesehatan, bukan milik Departemen Agama atau Pemerintah DKI Jakarta. Analisis kasus perubahan status rumah sakit pemerintah menjadi PT memperlihatkan bahwa semua elit yang terlibat dalam proses ini memiliki kepentingan masing-masing, baik berupa keinginan mempertahankan kekuasaan dan kepemilikan, visi dan tujuan, keyakinan akan nilai-nilai, termasuk sejarah pendirian ataupun aspek finansial. Pada kasus privatisasi rumah sakit pemerintah di DKI Jakarta personalitas atau kepribadian elit, termasuk preferensi komitmen dan nilai-nilai atau visi mereka terbukti mempengaruhi proses penetapan, pelaksanaan hingga pembatalan kebijakan tersebut. Ironisnya semua kepentingan elit tersebut digaungkan dengan menggunakan bahasa dan simbol atas nama kepentingan rakyat atau negara. Mungkin hal ini dapat dipandang sebagai cara para elit untuk menunjukkan eksistensi mereka. T.B. Bottomore (2006: v) menyebutkan bahwa eksistensi para elit ditentukan, antara lain oleh sejauh mana mereka mampu mempertahankan posisi dan pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat, yang terus berubah. Daya tahan elit tidak hanya sebatas bagaimana mereka mampu beradaptasi dengan dinamika lingkungan yang terus berubah itu, tetapi juga oleh sejauh mana mereka mampu mempertahankan, bahkan mengembangkan pengaruh yang semakin meningkat. Konstelasi Elit Non Politik Setelah Perda No 13, 14, 15 tahun 2004 yang mengubah rumah sakit milik pemerintah DKI Jakarta menjadi PT ditetapkan dan memancing pro dan kontra di masyarakat, bergeraklah elit non politik yang terdiri atas kelompok akademisi, dokter, dan LSM untuk menggagalkan Perda ini. Penentangan kaum elit ini dapat dipandang sebagai gerakan untuk mewakili aspirasi masyarakat yang memang belum siap dan tidak meyetujui perubahan rumah sakit pemerintah menjadi perseroan terbatas. Namun pemunculan para elit non politik ini juga merepresentasikan pandangan Mills tentang adanya “power 84
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
elites” di berbagai bidang yang menghimpun dan mengatur serta menyalurkan kekuatan sosial melewati hierarki yang kuat. Ketidaksiapan masyarakat menerima privatisasi rumah sakit pemerintah akan berubah menjadi kekuatan besar penentang bila ada sosok orang kuat atau kekuasaan elit yang menggerakkan dan mengorganisir. Mills mengatakan bahwa “The power elite is composed of men whose positions to make decisions having major consequences ... for they are in command of major hierarchies and organizations of modern society” (Para elit daya terdiri dari orang-orang yang berada di posisi untuk membuat keputusan yang memiliki konsekuensi besar ... karena mereka berada dalam komando hierarki utama dan organisasi-organisasi masyarakat modern). Selanjutnya dikatakan pula bahwa “No one can be truly powerful unless he has access to the command of major institutions, for it is over these institutional means of power that the truly powerful are, in the first instance, powerful” (Tidak ada yang bisa benar-benar kuat kecuali ia memiliki akses ke kepala institusi utama, karena itu berarti lebih kuat dari kekuatan institusional yang dalam contoh pertama, kuat), (Suzanne Keller, 1984: 10). Artinya pemosisian seseorang sebagai elit antara lain ditentukan oleh kekuatan dan kemampuannya untuk menggerakkan dan memberi komando kepada masyarakat luas. Jika demikian maka kelompok profesi dokter termasuk bagian dari “power elites” seperti yang diungkapkan oleh Mills sebelumnya. Apa yang dilakukan oleh kelompok profesi dokter merupakan wujud dari partisipasi politik. Hal ini mengacu pada definisi yang disebutkan oleh Samuel P Huntington dan Joan M. Nelson dalam membahas hubungan partisipasi politik di negara-negara berkembang. Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi ini bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Lebih lanjut apa yang dilakukan oleh kelompok profesi dokter dapat juga dikelompokkan sebagai aktivitas kelompok kepentingan. Hal ini ditegaskan dengan definisi kelompok kepentingan itu sendiri. Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
85
Kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang berusaha untuk mempengaruhi kebijakan publik dalam suatu bidang penting untuk anggota-anggotanya (Marcus Ethridge dan Howard Handelman, 1994: 150 dalam Maryam Budiharjo, 2008: 383). Kelompok kepentingan ini dibagi dalam beberapa kelompok oleh Gabriel A, Almond dan Bingham G. Powell dalam buku Comparative Politics Today: A World View (1992) yang diedit bersama pada beberapa kategori, yaitu: a) kelompok anomi (anomic groups), b) kelompok non asosiasional (nonassociational groups), c) kelompok institusional (institutional groups), dan d) kelompok asosiasional (associational groups) (Marcus Ethridge dan Howard Handelman, 1994: 150 dalam Maryam Budiharjo, 2008: 383). Pada klasifikasi ini kelompok profesi dokter dapat kita masukkan pada kategori kelompok asosiasional. Merujuk kembali pada klasifikasi Keller, kelompok profesi dokter dapat dikatakan juga sebagai elit penentu. Keberadaan mereka penting meski tidak berada dalam pemerintahan dan diakui karena spesialisasi dan keistimewaannya atau kemampuannya. Meski demikian tidak semua dokter merupakan elit penentu. Mereka yang mendapat pengakuan dan spesialisasi teristimewalah yang dapat terkategori sebagai elit penentu. Dominasi dokter dalam dunia kesehatan termasuk rumah sakit bukanlah isu baru. Dalam kasus obat-obatan, sudah bukan rahasia lagi jika dokter dan produsen obat menjalin hubungan simbiosis mutualisme. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan pasien karena ia tidak memiliki pilihan untuk memilih obat lain yang bisa saja harganya lebih murah. Sebagian narasumber mengungkapkan bahwa alasan yang mendasari bergeraknya para dokter untuk menentang keluarnya kebijakan mem-PT-kan rumah sakit pemerintah adalah adanya ketidaksetujuan terhadap pengaturan pendapatan dokter sebagai karyawan PT, berubah status dari sebelumnya sebagai karyawan pemerintah. Terganggunya kepentingan para dokter yang sebelumnya memiliki posisi yang ’untouchable’ kini harus selalu dievaluasi dan dikontrol kinerjanya, termasuk ruang untuk menjalankan bisnis obat 86
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
atau alat kesehatan yang sebelumnya kerapkali menjadi wilayah ekslusif para dokter kini harus ditarik ke rumah sakit dalam kontrol manajemen menjadi alasan penolakan dokter akan pelaksanaan PT RS. Adanya dugaan tidak transparansi pengelolaan keuangan oleh direksi dan pimpinan PT Rumah Sakit Haji, ditambah dengan keinginan Depag untuk menjadikan Rumah Sakit Haji sebagai rumah sakit pendidikan Fakultas Kedokteran UIN adalah pendorong kuat terjadinya penolakan RS ini sebagai PT, demikian antara lain temuan dari studi ini. Analisis terhadap faktor yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan perubahan rumah sakit dan pelaksanaan interaksi kepentingan elit telah memperlihatkan adanya elit tertentu yang memiliki peran menonjol. Mengapa muncul kaum elit strategis atau penentu di sebuah masyarakat dijelaskan oleh Suzanne Keller sebagai sesuatu yang berkait dengan homogenitas atau heterogenitas sebuah masyarakat. Apabila masyarakat masih kecil dan belum terpecah-pecah menjadi beberapa golongan maka setiap anggota dapat ikut serta langsung dalam usaha melayani kepentingan umum, sehingga solidaritasnya bersifat mekanis. Namun apabila masyarakat bertambah besar dan kompleks maka di samping pusat kekuasaan umum timbul berbagai pusat kekuasaan khusus dalam masyarakat. Dengan demikian timbul solidaritas organis dalam arti bahwa pusat kekuasaan umum atau ruling elit tidak lagi dapat berhubungan langsung dengan tiap-tiap anggota masyarakat secara individual, akan tetapi harus berkomunikasi dengan organ-organ di dalam masyarakat, yaitu dalam hal ini pusatpusat kekuasaan khusus atau strategic elite tadi (Marcus Ethridge dan Howard Handelman, 1994: 150 dalam Maryam Budiharjo, 2008: 383). Kompleksitas tersebut terjadi akibat dari pembangunan nasional dan perubahan-perubahan sosial yang mengikutinya, maka masyarakat Indonesia bertambah cerdas pikirannya, bertambah luas pengetahuannya, dan bertambah banyak pengalamannya. Proses perkembangan dan perubahan sosial ini selaras dengan perkembangan di berbagai bidang termasuk kesehatan. Dengan sendirinya akan tumbuh organisasi-organisasi yang lebih formal di tiap-tiap bidang Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
87
dengan hierarki yang senantiasa bertambah jelas dalam tiap-tiap organisasi itu. Dengan demikian akan terbentuk wadah di kehidupan masyarakat di tiap-tiap bidang dan sekaligus mengisi kekosongan yang dewasa ini masih dihadapi “The Ruling Class” di negara kita (Marcus Ethridge dan Howard Handelman, 1994: 150 dalam Maryam Budiharjo, 2008: 383). Selain kalangan dokter yang menjadi elit strategis atau elit penentu menurut klasifikasi Suzane Keller, ada elit non politik lain yang juga terlibat dalam pro kontra pelaksanaan perubahan rumah sakit menjadi PT, yaitu para karyawan. Belum adanya kesiapan dari para karyawan untuk meninggalkan status sebagai PNS untuk menjadi pegawai PT yang harus dilakukan dalam rentang waktu singkat menyebabkan penolakan sebagian besar karyawan. Keterlibatan para karyawan atau serikat pekerja dalam proses pelaksanaan Perda No. 13, 14, 15 tahun 2004 yang mem-PT-kan rumah sakit pemerintah memainkan peran yang penting pula. Khususnya serikat pekerja Rumah Sakit Pasar Rebo yang berjuang untuk menekan pemerintahan provinsi DKI Jakarta agar segera mengeksekusi keputusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah memutuskan bahwa pemerintah provinsi DKI Jakarta harus memberikan hak karyawan non PNS yang memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Rumah Sakit Pasar Rebo. Serikat pekerja juga memainkan peran signifikan di Rumah Sakit Haji meskipun dengan perbedaan fokus permasalahan. Serikat karyawan Rumah Sakit Haji terpecah menjadi dua, yaitu Serikat Pekerja (SP) dan Forum Koalisi Karyawan (FKK). Serikat pekerja ini terpecah karena, masing-masing mereka bersaing antara kelompok yang pro kepemilikan Rumah Sakit Haji kepada Departemen Agama atau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Peran serikat pekerja di rumah sakit lebih signifikan karena mereka masuk dalam jajaran RUPS. Karena hal inilah sempat jajaran direksi mengeluarkan satu karyawan, walaupun pada akhirnya kembali dipanggil untuk menjadi karyawan Rumah Sakit Haji (Wawancara, Salimar mantan Wakadinkes Propinsi DKI Jakarta, 17 Februari 2010). 88
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Selain serikat pekerja, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memainkan peran yang juga sangat signifikan sebagai kelompok penekan. LSM inilah yang menginisiasi pengajuan hak uji materiil terhadap Perda privatisasi rumah sakit pemerintah. Beberapa LSM yang terlibat secara aktif seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. LSM ini berjuang karena meyakini Perda ini merupakan sebuah langkah memotivasikan rumah sakit. Privatisasi rumah sakit pada akhirnya juga akan mempersulit akses pelayanan kesehatan terjangkau bagi rakyat yang tidak mampu. Sesuatu yang diyakini oleh YPKKI sebagai hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Gerakan ikatan profesi dan LSM merupakan pengejawantahan fungsi civil society di masyarakat. Civil society merupakan suatu space atau ruang yang terletak antara negara di satu pihak, dan masyarakat di pihak lain, seperti yang diungkapkan Michael Walker, dan dalam ruang tersebut terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan terbangun sebuah jaringan hubungan di antara asosiasi tersebut. Oleh karena itu, civil society merupakan suatu bentuk hubungan antara negara dengan sejumlah kelompok sosial, misalnya keluarga, kalangan bisnis, asosiasi masyarakat, dan gerakan-gerakan sosial yang ada dalam negara, namun sifatnya independen terhadap negara. Itulah yang disebut civil society (Eisenstadt dalam Seymour Martin Lipset, t.thn: 180). Beberapa komponen yang disyaratkan oleh Eisenstadt setidaknya juga telah dimiliki oleh gerakan yang dilakukan oleh ikatan profesi dalam hal ini dokter dan LSM. Komponen tersebut antara lain meliputi empat hal: (1) otonomi, (2) akses masyarakat terhadap lembaga negara, (3) arena publik yang bersifat otonom, dan (4) arena publik tersebut terbuka bagi semua lapisan masyarakat (Eisenstadt dalam Seymour Martin Lipset, t.thn: 180). Kelompok penekan dan kelompok kepentingan lainnya yang memiliki peran yang sangat penting adalah kelompok profesi akademisi atau pakar. Masyarakat menempatkan mereka sangat tinggi ketika ditempatkan pada kedudukan status relatif. Dalam sebuah studi tentang kedudukan (occupations) yang dilakukan oleh National Opinion Research Centre Universitas Chicago dan Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
89
dipublikasikan tahun 1953, para pengajar perguruan tinggi menempati posisi tertinggi dari kedudukan non-politik setelah dokter. Artis, musisi pada simponi orkestra, dan penulis juga menempati posisi setara tingginya dengan pengajar universitas. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan para profesor sesungguhnya sangat dihargai (Eisenstadt dalam Seymour Martin Lipset, t.thn: 220). Para intelektual atau akademisi yang terlibat secara aktif menolak Perda ini terlibat aktif dengan menekan pemerintah melalui pendekatan pribadi kepada menteri kesehatan dan bahkan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Keterlibatan para elit dan kepentingan masing-masing pada kasus ini dapat dipahami dengan mengacu pada pandangan Allport tentang motif, karakter dan kepribadian. Ketika seseorang memiliki kekuasaan karena posisinya di dalam sistem penetapan kebijakan dan berada pada situasi yang memungkinkannya menggunakan kekuasaan tersebut untuk mempengaruhi kebijakan, maka kepribadian orang tersebut akan berpengaruh pada produk kebijakan yang dikeluarkan (David Easton, dalam Mohtar Mas’oed Mac Andrews, 2001: 5-6). Adanya kepentingan dan interest para elit juga ditegaskan oleh Laswell. Politics, Who Get What, When, and How (Ilmu Politik, Siapa Mendapat Apa, Bilamana, dan Bagaimana). Laswell menentukan definisi elit itu dalam artian sosiologis historis, artinya kaum elit adalah “mereka yang memeroleh paling banyak daripada yang apa yang akan diperoleh”, dan tiga hal yang berharga untuk didapatkan yaitu kehormatan, pendapatan, dan keamanan. Seorang elit bahkan bisa secara sekaligus memonopoli atau memborong ketiga jenis imbalan. Pengamatan Lasswell mencatat bahwa yang paling menentukan adalah kecakapan, sifat-sifat pribadi, sikap-sikap dan lambang-lambang dalam perjuangan mencapai dan mempertahankan status elit (Suzanna Keller, 1984: 20-21). Simpulan Berbagai temuan dalam studi ini memperlihatkan kesesuaian dengan pandangan Keller bahwa dengan menggeser tingkat analisis dari 90
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
sekadar normatif (norma-norma) dan mencukupkan sebatas kajian lembaga-lembaga untuk fokus kepada elit, kesulitan untuk mendapatkan gambaran konkrit (upaya mengkronkritkan) pun akan hilang. Para elit sendiri tidak akan bertindak semata-mata sesuai dengan tuntutan-tuntutan fungsional status atau asal kelembagaan mereka. Ketidaksempurnaan moral dan kepribadian manusia (baca: elit), godaan-godaan lingkungannya dan juga sifat struktur sosial akan mempengaruhinya (Suzanna Keller, 1984: 133). Oleh karena itu jelas dapat dikatakan bahwa elit terlibat dalam pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan privatisasi rumah sakit pemerintah dengan preferensi nilai dan kepentingan atau interest masing-masing. Teori Keller yang menegaskan peran penting elit penentu yang terdiri dari perseorangan yang dipilih atas dasar motivasi dan kemampuan individual yang menyebar ke struktur sosial telah terbuktikan dalam studi ini (Suzanna Keller, 1984: 80). Para elit non politik yang terlibat pada pelaksanaan dan juga proses atau upaya pembatalannya adalah dokter-dokter spesialis (sebagai elit strategis atau elit penentu), juga akademisi, LSM dan serikat pekerja yang masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Studi ini juga memberi penambahan makna tentang vested interest yang tidak sekadar imbalan uang, atau materi dan jabatan, posisi tetapi juga ideologi, visi, atau nilai-nilai pribadi yang berbeda dengan aspirasi masyarakat. Sebagaimana ungkapan dari elit politik dan pengambil kebijakan yang terlibat yang mengakui mereka mengejar tidak sekadar uang dalam perjuangan untuk mem-PT-kan rumah sakit pemerintah tetapi mimpi dan cita-cita mereka tentang kualitas pelayanan. Pertarungan perbedaan ideologi negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam UUD 45 yang merupakan amanat konstitusi dengan ideologi liberal di belakang kebijakan privatisasi juga menjelaskan latar belakang penetapan, pelaksanaan dan juga penentangan terhadap Perda 13.14.15 tahun 2004 tentang perubahan Rumah Sakit Daerah menjadi Perseroan Terbatas.
Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
91
DAFTAR PUSTAKA Anthony Giddens, 2000. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ascobat Gani, 2000. Cost Benefit Analysis Program KB dalam Pembangunan Nasional, paper pada Simposium Menuju Era Baru Gerakan KB Nasional, BKKBN, Jakarta 7 Maret 2000. Battaglo Jr, R. Paul and Legge, Jr, Jerome S, ”Citizens Support for Hospital Privatization: The Convergence of Self-Interest and Simbolic Variables,” University of Nevada, Last Vegas and University of Georgia. Lexy J. Moleong, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. C. Wright Mills, 1956. The Power Elit, New York: Oxford University Press. Carol Barker.1996. The Health Care Policy Process, London: Sage Publications. Cristoper Pierson, 1996, The Modern State, London: Routledge. David E. Apter, 1978. Introduction to Political Analysis, Amerika Serikat: Prentice Hall. David Easton, 2001. “Analisis Sistem Politik” dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. E.S, Savas, 1987. Privatization: The Key to Better Government, New Jersey: Chatham House Publishers, Inc. Florence Eid, “Governance & Incentives in Corporatized Hospital” (Working Paper, The American University of Beirut) G. L. Peiris, 1994. Democracy in Asia: Old Experiences and New Challenges dalam Tommy Legowo, Demokratisasi: Refleksi Kekuasaan yang Transformatif, Analisis CSIS Tahun XXIII No.1 1994 Hans Keman, Jar Kleinnijenh, 1999. Doing Research in Political Science an Introduction to Comparative Methods and Statistik, London: Sage Publications (London, Thousand Oaks, New Delhi.
92
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Hasbullah Thabrany, t.thn. “Risiko Konversi rumah Sakit Publik Menjadi Perusahaan”, Heywood, A, 1999. Political Theory: An Introduction Politics,Government and the State,2nd ed, New York: Palgrae. http://www.theasa.org/applications/ethics/stakebriefing.htm, diakses pada tanggal 18 April 2007. James A.Caporaso dan David P.Levine, 1982. Theories of Political Economy, New York: Cambridge University Press. James Anderson, 1969. Public Policy Making, New York: Holt, Renehart and Winston. Jerry C. Johnson dan Nancy Smith, 2002. “Health and Social Issues Associated with Racial, Eth and Cultural Disparities,” Academic Research Library 26, 3. John W. Creswell, 1994. Research Design Qualitatif & Quantitatif Approaches, USA: Sage Publications (California, London, New Delhi. Michael Beesley and Stephen Little Child in John Kay, et.al, 1986. Privatization and Regulation. Michael Quinn Patton, 2000. Qualitative Research Evaluation Methods, London: Sage Publications. Miriam Budhiharjo, 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Myrdal, Gunnar, 1952. Economic Aspects of Health, Chron. World Health Org. 6: 211, August 1952. Patria Nezar dan Andi Arief, 2003. Antonio Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nicos Poulantzas, 1973. “The Problem of Capitalist State” dalam Robin Blackburn, ed, Ideology in Social Science, London: Penguin Books. Peter C. Smith et. al, 2005. Health Policy and Economics: Opportunities and Challenges, New York: Open University Press. Peter C. Smith et. al, 2005, Health Policy and Economics: Opportunities and Challenges, New York: Open University Press. Peter M. Jackson and Catherine M. Price, 1994. Privatizaton and Regulating, A Review of The Issues. Dumilah Ayuningtyas, Interaksi dan Kepentingan …
93
Ralph Miliband, 1996. The State in Capitalist Society, New York: Basic Books, Inc. Revrisond Baswir, 2003. Bahaya Globalisasi Neoliberal, Republika Senin 8 Desember 2003. Robert R.Alford dan Roger Friedland, 1985. Powers of Theory Capitalism, The State and Democracy, USA: Cambridge University Press. Theda Skocpol, 1991. Negara dan Revolusi Sosial: Suatu Analisis Komparatif Tentang Perancis, Rusia, dan China, Jakarta: Penerbit Erlangga. Virginia A.Hodgkinson and Michael W. Foley (ed.), 2002. The Civil Society Reader, Hanover and London: University Press of New England. www.desentralisasi kesehatan,volume II/04/2004. Yuliastuti,“Warga tolak privatisasi RS Pasar Rebo”, www.interaktif.com, Rabu, 18 Mei 2007 diakses tanggal 17 Januari 2007.
94
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN TINGGI Faridah Alawiyah Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DPR RI Abstract One of the most urgent issue in the development of Indonesia today is the quality of human resources, mainly generated by higher education which is the source of innovation and solutions for the growth and development of the nation. This paper description how quality assurance has been regulated in Indonesia trough the Sistem Pendidikan Nasional laws. But the direction and coordination of higher education quality assurance system is still uncleared, so that the quality of higher education is not yet guaranteed. Therefore, a grand design of quality assurance systems should be made to solve the problem of the low quality of higher education in Indonesia. Keywords: higher education, collage, quality of higher education, quality assutance system of higher education Abstrak Salah satu persoalan yang sangat mendesak dalam pembangunan di Indonesia saat ini adalah kualitas sumber daya manusia, terutama yang dihasilkan oleh pendidikan tinggi yang menjadi sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan pengembangan bangsa. Tulisan ini menggambarkan bagaimana penjaminan mutu yang telah dilaksanakan di Indonesia seperti yang diatur dalam UU Sisdiknas. Namun arah dan koordinasi dari sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi masih belum jelas dan mengakibatkan mutu pendidikan tinggi tidak terjamin. Untuk itu, perlu dibuat grand disain sistem penjaminan mutu untuk mengatasi masalah masih rendahnya mutu pendidikan tinggi yang ada di Indonesia. Kata Kunci: Pendidikan tinggi, perguruan tinggi, mutu pendidikan tinggi, sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi
95
Pendahuluan Bagaimana menciptakan kualitas manusia Indonesia yang mampu menjawab semua permasalahan serta mampu bersaing merupakan persoalan dalam pembangunan di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah serta potensi yang besar, namun hal tersebut tidak didukung dengan manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada di Indonesia untuk dapat bersaing dengan negara-negara lain di dunia. Ketidaksiapan Indonesia terkait hal tersebut harus diperhatikan dalam pembangunan Indonesia ke depan. Sampai saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang dikalkulasi oleh United Nation Development Programme (UNDP) menunjukkan peningkatan sejak tahun 2006. Sampai tahun 2008 Indonesia menduduki angka 71,17 yang berada pada peringkat ke-109 dari 179 negara. Namun peringkat Indonesia itu masih jauh berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Brunei Darussalam yang menduduki peringkat ke-27, Singapura peringkat ke28, dan Malaysia peringkat ke-63 yang berada pada kategori IPM tinggi. Sedangkan pada kategori menengah Indonesia berada di bawah Thailand yang menduduki peringkat ke-81 dan Philipina peringkat ke1021. Berdasarkan hasil perhitungan UNDP peningkatan IPM negaranegara di dunia dari tahun ke tahun hampir seluruhnya berasal dari kinerja ekonomi dan pendidikan, terutama peningkatan pendidikan yang menjadi indikator penting. Pemberdayaan pendidikan nasional dalam pembangunan merupakan langkah strategis yang berdampak panjang. Pendidikan pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan kecerdasan intelektual masyarakat agar dapat menghidupi dirinya sendiri, mengembangkan keterampilan sehingga dapat hidup bersama dengan baik, serta membangun karakter sehingga ikut serta memuliakan dan membangun peradaban maju. Indonesia menjalankan fungsi pendidikan melalui Sistem Pendidikan Nasional yang mengacu 1
Indeks Pembangunan Manusia, http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan _Manusia. Diakses Tanggal 4 mei 2010.
96
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
pada Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun pada kenyataannya pencapaian pendidikan nasional masih jauh dari harapan, meskipun berbagai upaya perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah telah dilakukan, pencapaian peningkatan mutu pendidikan yang seharusnya berdampak pada peningkatan kualitas manusia Indonesia masih belum meningkat secara signifikan, bahkan cenderung disusul oleh negera-negara berkembang lainnya. Keterpurukan mutu kualitas manusia Indonesia menunjukan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia termasuk mutu pendidikan tingginya. Pendidikan tinggi merupakan salah satu jenjang pada jalur formal dari Sistem Pendidikan Nasional yang menjalankan proses pendidikan tinggi yang menjadi sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan pengembangan bangsa seiring dengan berkembangnya zaman, proses pendidikan tersebut dilakukan di perguruan tinggi. Di setiap masa, perguruan tinggi tetap menjadi motor dalam perubahan sosial masyarakat yang merupakan kekuatan moral, tempat pembelajaran, pusat kebijakan, serta pusat kebajikan. Ikut serta dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi berarti ada peran serta dalam memajukan negara untuk dapat secara maju mengikuti pasar kerja dan pasar usaha demi mempertahankan pertumbuan sosial ekonomi, dan berbagai bidang lainnya. Persoalan mutu pada pendidikan tinggi menjadi penting untuk dijadikan satu kajian khusus dalam upaya perbaikan pendidikan yang akan berdampak para pembangunan Indonesia di berbagai bidang, karena di pendidikan tinggi inilah para peletak pembuat kebijakan, ilmuan, seniman, dan para perekayasa teknologi seharusnya lahir dengan tidak melulu mementingkan kepintaran, tetapi lebih dari itu pembangunan karakter generasi penerus bangsa ke depan. Banyak faktor yang menjadikan mutu pendidikan tinggi rendah, salah satu diantaranya adalah tidak terlaksananya penjaminan mutu pendidikan tinggi. Penjaminan mutu sendiri seharusnya menjadi satu sistem tersendiri yang menjamin keberlangsungan pendidikan tinggi bermutu. Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdapat tiga komponen yang mengatur persoalan Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
97
penjaminan mutu pendidikan tinggi yang ada saat ini diantaranya adalah Kementerian Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Badan Standar Nasional Pendidikan, serta Badan Akreditasi Nasional. Satu sama lain seharusnya membentuk sistem yang saling berkoordinasi, namun pada kenyataannya masing-masing nampak masih berdiri sendiri. Persoalan tersebut pastinya akan berdampak pada perguruan tinggi sebagai institusi otonom yang menyelengarakan pendidikan tinggi, masyarakat pengguna layanan pendidikan tinggi, serta dunia usaha dan dunia industri sebagai pengguna lulusan pendidikan tinggi. Bagaimana penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia akan dibahas pada tulisan ini. Pembahasan Saat ini kebutuhan dunia kerja akan lulusan pendidikan tinggi sangat tinggi, komposisi tenaga kerja dengan pendidikan terakhir dari pendidikan tinggi lebih rendah bila dibandingkan dengan lulusan yang memiliki pendidikan terakhir sekolah dasar ataupun sekolah menengah. Berikut ini merupakan gambaran perkembangan komposisi tenaga kerja di Indonesia berdasarkan pendidikan terakhir: Tabel 1. Perkembangan Komposisi Tenaga Kerja Indonesia Tingkat Pendidikan SD atau tidak tamat SD SMP SMA SMK Diploma I, II, III Universitas
2001
2006
2010
63.0 % 17.7 % 10.3 % 5.5 % 1.6 % 1.8 %
55.5 % 20.2 % 12.7 % 6.2 % 2.2 % 3.2 %
51.5 % 18.9 % 14.6 % 7.8 % 2.7 % 4.6 %
Sumber: Paparan Ditjen Dikti dalam RDPU Panja RUU Pendidikan Tinggi tanggal 27 Januari 2011
98
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Bila kita lihat dari tabel tersebut, tenaga kerja yang berasal dari lulusan perguruan tinggi di tahun 2010 hanya mampu mencapai angka 7,3 % (lulusan diploma I,II,III, dan Universitas). Angka tersebut menunjukan tingkat pendidikan tenaga kerja di Indonesia rendah. Hal ini akan berpengaruh pada jenis pekerjaan yang dilakukan serta penghasilan yang diperoleh. Bila kita lihat perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan namun angkanya jauh sekali dari harapan. Tabel 2. Perkembangan APK Pendidikan Tinggi di Indonesia (2005-2009) Komponen
2005
2006
Tahun 2007
2008
2009
Penduduk usia 19-24 24.347.200 25.349.300 25.350.900 25.359.000 25.644.690 tahun Jumlah 3.868.359 4.285.645 4.357.505 4.501.543 4.657.483 mahasiswa APK (%) 15.26 % 16.91 % 17.26 % 17.75 % 18.36 % Sumber: Paparan Dirjen Dikti Pengembangan Sumber Daya Manusia Berpendidikan Tinggi Menuju Indonesia Negara Maju 2030 dalam RDPU RUU Pendidikan Tinggi bersama Komisi X DPR RI tanggal 27 Januari 2011
Tahun 2010 Indonesia sudah mencapai angka APK berada di angka 21,49% untuk usia 19-23 tahun atau 17,93% untuk usia 19-24 tahun. Demikian pula fakta persentase masyarakat miskin yang menikmati pendidikan tinggi baru mencapai 4,19% dari keluarga kurang mampu yang masuk ke jenjang pendidikan tinggi2. Memang dari tahun ke tahun APK perguruan tinggi mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut tidak signifikan dengan kebutuhan APK yang seharusnya, angka APK perguruan tinggi di negara lain lebih dari empat puluh persen bahkan Korea yang merupakan negara kecil memiliki APK mencapai sembilan puluh persen. Ini menunjukan 2
PP 66 Tahun 2010, Komitmen Pemerintah Perangi Kemiskinan melalui Pendidikan http://bataviase.co.id/node/414428. Diakses tanggal 04 Maret 2011
Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
99
rendahnya partisipasi masyarakat Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi. Padahal menurut hasil studi yang intensif mengenai hubungan sumber daya manusia dan pembangunan yang dilakukan di berbagai negara sekitar 40 tahun silam, meyakinkan pengelola universitas mengenai adanya korelasi yang positif antara pendidikan tinggi dengan keberhasilan pembangunan (Surakhmad, 2009:90). Persoalan lain yang muncul di Indonesia adalah keinginan masyarakat untuk ikut memajukan pendidikan tinggi semakin besar, setiap tahun jumlah perguruan tinggi di Indonesia semakin bertambah. Ini dapat menjadi peluang dalam upaya peningkatan APK pendidikan tinggi di Indonesia, namun persoalan mutu pendidikan dan mutu lulusan menjadi permasalahan yang timbul. Pada kenyataannya, saat ini pendidikan tinggi belum bisa menjadi indikator penting dalam penyiapan Indonesia untuk mampu bersaing, hal ini dikarenakan pendidikan tinggi belum mampu melahirkan para pekerja yang handal dan para entrepreneur yang siap menjawab kebutuhan pembangunan. Yang terjadi adalah semakin banyaknya perguruan tinggi juga semakin banyaknya pengangguran terdidik dari pendidikan tinggi. Pendidikan di Indonesia merosot akseleratif tajam dalam lima dekade terakhir, khususnya lembaga pendidikan yang terbaik pun ternyata hanya mampu menduduki peringkat yang lebih rendah dari negara kecil seperti Hongkong (Surakhmad, 2009:90). Persoalan ini juga merupakan persoalan yang perlu menjadi bahan evaluasi. Rendahnya mutu pendidikan tinggi dikarenakan sistem penjaminan mutu pendidikan di Indonesia terutama pendidikan tinggi sekarang ini masih bersifat insidental dan tidak berkelanjutan yang pada umumnya tidak dilakukan dengan kesadaran penuh. Akibatnya, strategi penjaminan mutu yang dilakukan pemerintah, diantaranya penetapan pedoman penjaminan mutu pendidikan tinggi dari Dirjen Dikti belum sepenuhnya berhasil meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.3 3
Potret Hasil Pendidikan Indonesia 2007 Kualitas Minim, Daya Saing Rendah Oleh: Diana Andriyani P. http://kustejo.wordpress.com/2008/06/24/potret-hasilpendidikan-Indonesia-2007/, diakses tanggal 04 Maret 2011.
100
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Pendidikan Tinggi di Indonesia Pendidikan tinggi menurut Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Surakhmad (2009: 433) mengungkapkan pendidikan tinggi merupakan sarana pencetak sumber daya manusia, perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan sebagai tempat mendidik sumber daya manusia yang berkemampuan tinggi; dinamisator pembangunan; penghasil ilmuan yang canggih; penghasil pemikir yang tajam; lembaga pelatihan penemu yang handal; persemaian pemimpin-pemimpin yang tangguh dan; penghasil pakar yang menjadi pemikir dan pelaku pembangunan. Misi pendidikan tinggi di Indonesia diaplikasikan melalui tugas dan fungsi pendidikan tinggi dengan Tridharma pendidikan tinggi yakni sebagai sarana pendidikan melalui pengajaran, sarana riset, serta pengabdian pada masyarakat untuk mewujudkan visi pendidikan nasional yang tercantum dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah dengan tetap memperhatikan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Hadirnya era otonomi pendidikan memberikan imbas juga pada otonomi pendidikan tinggi yang dikuatkan dalam UU Sisdiknas Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Sejalan dengan itu Pasal 50 ayat (6) UU Sisdiknas juga menyatakan perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Implikasi kebijakan yang mengusung otonomi pendidikan tinggi tersebut membuka peluang yang besar untuk perguruan tinggi baik negeri maupun swasta untuk mengatur pengelolaannya sendiri. Hal tersebut disambut baik oleh masyarakat, keinginan kuat masyarakat untuk ikut Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
101
berperan serta dalam memajukan pendidikan dengan membangun perguruan tinggi yang ditunjang dengan kebutuhan masyarakat untuk mengenyam pendidikan tinggi semakin besar. Masyarakat disini dikatakan sebagai swasta memiliki peran yang cukup berarti dalam upaya melihat peluang tersebut. Namun permasalahan yang kemudian muncul adalah semakin banyaknya perguruan tinggi terutama yang didirikan oleh swasta dengan kontrol terhadap mutunya belum dapat dijamin. Wiyono (2010:16) menyatakan bahwa konsekuensi logis dari otonomi kampus ini berdampak pada setiap perguruan tinggi akan berlomba-lomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana namun dengan mengabaikan mutu. Masalah lain yang kemudian timbul dari masalah mutu ini adalah kasus-kasus seperti kuliah singkat, kuliah jarak jauh, ijazah palsu, dan lain sebagainya menunjukan semakin banyak perguruan tinggi yang lahir tanpa ada standar mutu yang terjamin, kurangnya tenaga profesional, kurangnya sarana dan prasarana pendukung kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi, tidak adanya perpustakaan yang memadai, dan dengan demikian, perguruan tinggi terlihat hanya sebatas pusat penampungan lulusan sekolah menengah yang tidak masuk ke perguruan tinggi negeri. Menjamurnya unversitas yang tidak terjamin mutunya dapat menjadi suatu kerugian bahkan ancaman bagi keberlangsungan pendidikan. Dalam proses pendidikan di perguruan tinggi sendiri pun nampaknya sudah diabaikan, runtuhnya karakter bangsa, penyimpangan perilaku seperti perilaku anarkis, hedonis, dan apatis yang dilakukan oleh mahasiswa menjadi cerminan pendidikan tinggi yang tidak mengedepankan soal karakter dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kondisi seperti ini harus segera ditanggulangi, bila tidak, Indonesia hanya akan melahirkan lulusan pendidikan tinggi yang memiliki mentalitas yang rendah. Berdasarkan hasil survey tenaga kerja nasional 2009 yang dikeluarkan Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), dari 21,2 juta masyarakat yang masuk dalam angkatan kerja, ada 4,1 juta atau sekitar 22,2 persen menganggur. Tingkat pengangguran terbuka itu didominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran diatas dua juta 102
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
orang (Kompas, 23 Februari 2010). Itu terjadi karena perguruan tinggi lebih terfokus pada pemberian pendidikan yang hanya bersifat akademis dengan mengesampingkan pendidikan moral dan kemasyarakatan sebagai bekal mahasiswa. Selain itu banyak terjadi juga para lulusan dari pendidikan tinggi yang cenderung pilih-pilih pekerjaan. Seharusnya perguruan tinggi mempersiapkan mahasiswa yang bukan hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga kompetensi, pengalaman kerja, dan kepribadian pun tetap harus di bekali. Berbagai fenomena seperti yang telah disebutkan diatas tidak sejalan dengan tujuan perguruan tinggi yang merupakan pusat pengembangan ilmu dan keterampilan yang seharusnya menciptakan manusia berkualitas. Semakin bertambahnya perguruan tinggi di Indonesia harus dilakukan bersamaan dengan penjaminan mutu pendidikan tinggi sehingga menjadi peluang besar bagi keberlangsungan pendidikan tinggi di Indonesia. Dari segi mutu, bila dibandingkan perguruan tinggi Indonesia dengan negara lain, peringkat perguruan tinggi di Indonesia masih jauh dari harapan, contohnya saja Universitas Indonesia yang merupakan perguruan terbaik di Indonesia baru mampu menduduki peringkat ke201 dari univesitas di seluruh dunia. Hal ini menunjukan betapa jauh ketertinggalan pendidikan tinggi di Indonesia. Tabel 3. Peringkat Perguruan Tinggi di Indonesia Nama Perguruan Tinggi University of Indonesia (UI) Gadjah Mada University (UGM) Bandung Institute of Technology (ITB) Airlangga University (UNAIR) Bogor Agricultural University (IPB) Diponegoro University (UNDIP) University of Brawijaya (UNBRAW) Institute of Technology Sepuluh Nopember (ITS)
Peringkat 201 250 351 401-500 501-600 501-600 501-600 601+
Sumber: Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, 2009.
Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
103
Lahirnya UU Sisdiknas mempertegas perguruan tinggi melakukan proses penjaminan mutu. Indonesia menyelenggarakan sistem penjaminan mutu secara utuh dan terintegrasi dalam sistem tata kelola perguruan tingginya. Upaya penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia sebenarnya telah dilaksanakan sejak dulu, didukung dengan Undang-Undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP tentang Standar Nasional Pendidikan. Terdapat 3 komponen yang membangun pendidikan tinggi di Indonesia yaitu Pemerintah, Institusi Otonom (perguruan tinggi), serta masyarakat. Hirarki komponen yang membangun pendidikan tinggi tersebut digambarkan dalam gambar 1 Gambar 1. Komponen Pendidikan Tinggi
KEMENDIKNAS DIKTI BSNP BAN-PT DPT
PTN PTS
PEMERINTAH
PERGURUAN TINGGI
MASYARAKAT
INDUSTRI ASOSIASI PROFESI ALUMNI LSM
Perguruan tinggi merupakan institusi otonom sebagai penyedia jasa bagi masyarakat di bidang pendidikan tinggi yang terdiri dari perguruan tinggi yang didirikan oleh pemerintah dan perguruan tinggi yang didirikan oleh masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak bisa lepas dari masyarakat. Masyarakat merupakan masukan sumber daya baik manusia, dana, serta penyerap output pendidikan tinggi nantinya. Unsur masyarakat disini terdiri dari industri, asosiasi profesi, para alumni perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta warga masyarakat pada umumnya. Karena semua berawal dari masyarakat maka akuntabilitas pendidikan tinggi akan kembali kepada masyarakat sebagai sumber maupun pengguna. Ghafur (2008:5) 104
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
menyatakan bahwa tuntutan akuntabilitas dan tanggung jawab mengharuskan perguruan tinggi memberi penjaminan mutu (quality assurance) kepada masyarakat. Negara wajib melindungi hak masyarakat atas pendidikan yang salah satunya adalah pendidikan tinggi. Para pemangku dan pelaksana kebijakan penjaminan mutu di perguruan tinggi saat ini adalah pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) serta jajarannya seperti Menteri Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) wilayah, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Badan Akreditas Pendidikan Tinggi (BAN-PT), serta lembaga semi pemerintah lainnya seperti Dewan Perguruan Tinggi (DPT). Semua komponen tersebut membentuk satu sistem dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi bermutu. Sistem penjaminan mutu sendiri telah tertuang dalam UU Sisdiknas, Peraturan Meteri Pendidikan Nasional No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan serta Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Penjaminan mutu merupakan proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan. Dengan demikian, penjaminan mutu pendidikan tinggi adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan pendidikan tinggi secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan4. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, penjaminan mutu pendidikan 4
Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 2003.
Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
105
adalah kegiatan sistemik dan terpadu oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah daerah, pemerintah, dan masyarakat untuk menaikkan tingkat kecerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Sedangkan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan adalah subsistem dari Sistem Pendidikan Nasional yang fungsi utamanya meningkatkan mutu pendidikan. Penjaminan mutu pendidikan tinggi menjadi program untuk melaksanakan pengawasan, pengendalian, serta pembinaan perguruan tinggi dalam rangka peningkatan mutu yang berkesinambungan yang dilakukan secara sistematis terhadap semua aspek yang harus ada pada pendidikan tinggi. Langkah penjaminan mutu yang utama adalah adanya proses evaluasi baik internal yang dilakukan oleh perguruan tinggi sendiri maupun evaluasi secara eksternal yang dilakukan oleh lembaga independen yang disebut akreditasi. Menurut Undang-Undang Sisdiknas pasal 57 ayat (1) evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihakpihak yang berkepentingan, diantaranya terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. Evaluasi disini ditujukan dalam rangka penjaminan mutu, termasuk penjaminan mutu pendidikan tinggi. Hal tersebut dilakukan melalui sistem penjaminan mutu, seperti diungkapkan Sukardi (2010:5) evaluasi sistem merupakan evaluasi yang paling luas. Macam kegiatan yang termasuk dalam evaluasi sistem diantaranya evaluasi diri, evaluasi internal, evaluasi eksternal, dan evaluasi kelembagaan untuk mencapai tujuan tertentu suatu lembaga, sebagai contoh evaluasi akreditasi lembaga pendidikan. Dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi, perguruan tinggi dituntut untuk melakukan penjaminan mutu baik internal melalui evaluasi yang dilakukan oleh sendiri, serta ekternal melalui akreditasi. Evaluasi internal oleh perguruan tinggi diharapkan mampu mengontrol kondisi secara internal ketercapaian program perguruan tinggi dalam mencapai tujuannya. Stuffelbeam dalam Hasan (2008:35) mengatakan “evaluation is process of delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternative”. Pengertian evaluasi ini 106
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
menempatkan evaluasi sebagai suatu kegiatan untuk merumuskan apa yang harus dilakukan, mengumpulkan informasi, serta menyajikan informasi yang berguna untuk menetapkan alternatif keputusan. Menurut Stuffelbeam kegiatan evaluasi belum dapat dikatakan selesai sebelum suatu keputusan ditentukan dari berbagai alternatif yang tersedia. Begitu penting peran evaluasi yang dilakukan internal untuk mengukur dan menentukan kebijakan yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi. Sementara evaluasi ekternal dilakukan sebagai langkah unjuk kerja dan penilaian akuntabilitas publik perguruan tinggi itu sendiri. UU Sisdiknas secara tegas memberikan arahan mengenai sistem penjaminan mutu eksternal pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam UU Sisdiknas diproyeksikan tiga lembaga yang bertanggung jawab terkait mutu perguruan tinggi yaitu Dirjen Dikti, BSNP, dan BAN-PT. Ketiga badan tersebut membentuk satu koordinasi seperti tergambar pada gambar 2. Gambar 2. Koordinasi Penjaminan Mutu Ekternal Perguruan Tinggi KEMENDIKNAS
BSNP
DIRJEN DIKTI
BAN-PT
Bagan tersebut menunjukan koordinasi yang dilakukan oleh tiga lembaga yang masuk dalam sistem penjaminan mutu perguruan tinggi. Pemerintah bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan menjamin tersedia dan terselenggaranya pendidikan tinggi yang bermutu. Pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan penyelenggaraan pendidikan tinggi harus mengupayakan penjaminan mutu pendidikan tinggi. Dalam melaksanakan tanggung jawab penyelenggaran pendidikan tinggi bermutu pemerintah melalui Dirjen Dikti telah menyusun renstra pendidikan tinggi yang salah Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
107
satunya adalah memfasilitasi, menguatkan, dan memberdayakan perguruan tinggi yang bermutu, efisien, transparan dan akuntabel serta menjaga terlayaninya kepentingan masyarakat dan mendorong peran serta masyarakat dalam meningkatkan mutu dan ketersediaan layanan pendidikan tinggi. Sistem penjaminan mutu yang saat ini dilaksanakan di indonesia tergambar pada gambar 3. Gambar 3. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi
Sumber: Bahan Rapat Panja RUU Pendidikan Tinggi DPR-RI 11 Maret 2011
Dirjen Dikti sebagai perumus, pelaksana kebijakan mutu, dan melakukan pembinaan serta pengawasan mutu perguruan tinggi, BSNP berperan sebagai lembaga perumus standar mutu perguruan tinggi dan hasil rumusannya akan diserahkan kepada Dirjen Dikti dan BAN-PT untuk dilaksanakan, dan terakhir adalah BAN-PT yang merupakan badan yang mengimplementasikan kebijakan akreditasi dan sekaligus sebagai pelaksana penjaminan mutu eksternal dan akreditasi perguruan tinggi (Ghafur, 2008:151). Perguruan tinggi sebagai institusi otonom memiliki tugas menjalankan sistem penjaminan mutu internal, melaporkan penjaminan mutu internalnya kepada dirjen dikti untuk
108
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
kemudian dilakukan sistem penjaminan mutu eksterlal yang dilakukan oleh BAN-PT Karena mutu bersifat relatif, maka perlu ada standar mutu yang ditetapkan. Saat ini penyusunan standar mutu disusun dan ditetapkan oleh BSNP. Standar tersebut merupakan standar minimum yang harus dipenuhi oleh penyedia layanan pendidikan tinggi. BSNP merujuk pada PP 19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan menetapkan delapan standar pendidikan nasional yang merupakan kriteria minimal penyelenggaraan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Kedelapan standar tersebut adalah: standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Kedelapan standar tersebut harus menjadi patokan penyelenggaraan perguruan tinggi. Standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional, pemenuhan standar nasional pendidikan oleh suatu perguruan tinggi akan berarti bahwa perguruan tinggi tersebut menjamin mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya. Oleh karena itu, standar nasional pendidikan dapat disebut pula sebagai standar mutu pendidikan tinggi di Indonesia yang harus dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi5. Kegiatan penjaminan mutu yang dijalankan secara internal oleh perguruan tinggi, kemudian dikontrol dan diaudit melalui kegiatan akreditasi yang dijalankan oleh BAN-PT atau lembaga lain secara eksternal. Akreditasi sendiri, yang merupakan penilaian dalam upaya pengendalian mutu perguruan tinggi, menjadi bagian dari sistem penjaminan mutu terpadu (total quality assurance system). Berdasarkan Permendiknas No. 28 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Pasal 8, BAN PT memiliki tugas merumuskan kebijakan operasional, melakukan sosialisasi kebijakan, serta melaksanakan akreditasi perguruan tinggi. BAN PT memiliki fungsi (1) merumuskan kebijakan dan menetapkan akreditasi perguruan 5
Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi, http://www.dikti.go.id/index. php?option=com_content&view=article&id=743&Itemid=316, diakses 3 Maret 2011.
Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
109
tinggi; (2) merumuskan kriteria dan perangkat akreditasi perguruan tinggi untuk diusulkan kepada Menteri; (3) melaksanakan sosialisasi kebijakan, kriteria, dan perangkat akreditasi perguruan tinggi; (4) melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan akreditasi perguruan tinggi; (5) memberikan rekomendasi tentang tindak lanjut hasil akreditasi; (6) mengumumkan hasil akreditasi perguruan tinggi secara nasional; (7) melaporkan hasil akreditasi perguruan tinggi kepada Menteri; serta (8) melaksanakan ketatausahaan BAN-PT. Gambar 4. Proses akreditasi program studi oleh BAN-PT
Sumber : Sistem Akreditasi BAN-PT Dikti6
Melalui fungsinya sebagai penyelenggara akreditasi, BAN-PT melakukan evaluasi mulai dari tahapan evaluasi diri yang dilakukan oleh perguruan tinggi itu sendiri, kemudian dilakukan visitasi dan reevaluasi yang dilakukan oleh asesor kompeten yang selanjutnya dilakukan pleno hasil visitasi dan evaluasi hingga mencapai keputusan kelayakan, yang menghasilkan rekomendasi baik rekomendasi penutupan ataupun pembinaan. Pelaksanaan akreditasi dilakukan
6
Sistem Akreditasi BAN-PT, http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content &view=article&id=736&Itemid=316, diakses tanggal 08 Mei 2011.
110
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
secara kontinyu pada jangka waktu tertentu. Hal ini dimaksudkan agar standar pendidikan di perguruan tinggi terus terjamin. BAN-PT melaksanakan akreditasi berdasarkan standar nasional pendidikan tinggi yang ditetapkan oleh BSNP dengan tujuan untuk pemetaan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi pada setiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Menurut Ghafur (2008:151) status akreditasi sendiri memberi dua keuntungan yaitu perwujudan dari unjuk kinerja mutu dan akuntabilitas publik. Akreditasi sebagai unjuk kerja dimaksudkan agar dapat memberi motivasi positif dan situasi yang kondusif agar perguruan tinggi melakukan perbaikan mutu berkelanjutan dan berkompetisi mutu secara sehat. Hal ini akan memacu PTN maupun PTS untuk bekerja keras, dan siap bersaing satu dengan yang lainnya. Sementara akreditasi sebagai wujud akuntabilitas publik dilakukan untuk memberikan kepercayaan dan menepis keraguan masyarakat, karena akreditasi adalah simbol kepercayaan masyarakat karena dilakukan secara profesional dan terpercaya. Meskipun sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi telah dikuatkan melalui Undang-Undang Sisdiknas, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri, namun pada pelaksanaannya ternyata komponen-komponen dari sistem tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dirjen Dikti, BSNP, BAN PT bahkan institusi perguruan tinggi sendiri memiliki tugas dan fungsi masing-masing, namun belum membentuk satu buah sistem yang dapat membentuk garis koordinasi yang tegas yang pada akhirnya akan menjamin mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Sampai saat ini bentuk koordinasi antara perguruan tinggi, Dirjen Dikti, BSNP, serta BAN-PT masih belum jelas arahnya. Setiap lembaga tersebut masih menjalankan fungsinya tanpa koordinasi satu sama lain. Hingga kini BSNP ini belum dapat menyusun standar pendidikan nasional untuk pendidikan tinggi secara utuh untuk delapan standar nasional pendidikan tinggi, sementara untuk tetap menjalankan tugasnya BAN-PT menyusun sendiri standar penilaian akreditasi perguruan tinggi tanpa berpedoman pada standar nasional pendidikan tinggi yang seharusnya disusun oleh BSNP. BAN PT seharusnya memiliki tugas untuk mengevalusi perguruan tinggi melalui Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
111
akreditasi dengan berdasarkan acuan standar nasional pendidikan untuk pendidikan tinggi yang seharusnya disusun oleh BSNP, namun pada kenyataannya standar nasional pendidikan untuk pendidikan tinggi belum ada, sehingga BAN PT menyusun sendiri instrumen akreditasi untuk pendidikan tinggi. Masalah ini harus segera dikembalikan pada sistem yang seharusnya berjalan. Ketika standar mutu belum ada maka yang terjadi adalah mutu pun masih dikatakan relatif, hal ini terbukti adanya beberapa catatan kekurangan yang terjadi pada saat pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan tinggi, beberapa kelemahan dari BAN-PT diungkapkan Ramly (2005:45-46) bahwa hasil penilaian BAN belum menunjukan kenyataan yang sesungguhnya tentang kinerja program studi, banyak program studi yang dinilai baik masyarakat pada umumnya ternyata mendapatkan nilai yang lebih rendah dari mutunya begitupun sebaliknya. Selain itu terdapat beberapa perguruan tinggi luar negeri yang pedoman pendiriannya tidak berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku. Beberapa kekurangan tersebut harus segera ditangani. Pemerintah harus segera menyusun satu sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi secara utuh dan menyeluruh, bahkan bila mungkin dikuatkan dalam satu buah peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi. Pada dasarnya UU Sisdiknas telah memberikan rambu-rambu mengenai penjaminan mutu, namun pada pelaksanaannya penjaminan mutu tersebut tidak pada tataran sistem yang menghubungkan satu komponen dengan komponen lainnya secara utuh. Penguatan terhadap sistem inilah yang kemudian harus segera diupayakan untuk dibenahi kembali baik melalui restrukturisasi sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi maupun pembenahan terhadap lembaga lembaga tekait penjaminan mutu. Tilaar ( 2009:309) mengatakan bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan tinggi perlu dilakukan pembenahan manajemen, menurutnya manajemen yang bersifat sentralistik dapat mengakibatkan kemerosotan mutu, selain itu masalah yang berkaitan dengan dualisme PTN dan PTS yang perlu segera dihilangkan, karena PTS juga merupakan aset nasional yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam rangka 112
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
mengembangkan pendidikan tinggi di Indonesia. Creech dalam Tilaar (2009:309) juga menyebutkan dalam rangka menghasilkan produk pendidikan tinggi yang bermutu adalah penerapan prinsip-prinsip manajemen seperti Total Quality Management (TQM) dalam konsep tersebut disebutkan lima prinsip penting yaitu organisasi sebagai pusat pengembangan mutu, produk yang relevan dengan kebutuhan konsumen, proses yang diarahkan pada kepada produk bermutu sebagaimana yang diharapkan, adanya kepemimpinan yang kuat, dan akhirnya adalah komitmen dari sejumlah civitas akademika dan seluruh stakeholder pendidikan tinggi untuk mewujudkan visi dan misi pendidikan tinggi. Ramly (2005:31) juga mengatakan Total Management Quality in Education perlu merumuskan kualitas sehingga kualitas perguruan tinggi dapat didisain (designable), dikendalikan (controllable), dan dikelola (manageable). Total Quality Management disini lebih menekankan pada upaya peningkatan mutu dalam sistem proses. Pembenahan terhadap sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi harus segera dilakukan, pemerintah sebagai penanggung jawab sistem pendidikan tinggi, berkewajiban memastikan perguruan tinggi negeri dan swasta menyelenggarakan layanan pendidikan tinggi dengan kualitas melampaui standar mutu (minimum) tersebut. Pemerintah harus mengupayakan restrukturisasi komponen yang berpengaruh terhadap sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi. Agar sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi tetap terjaga diperlukan satu grand desain sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi yang dapat mengatur jalannya penjaminan mutu pendidikan tinggi yang dikuatkan dalam peraturan perundangan yang secara khusus mengatur sistem pendidikan tinggi. Hal ini pun mencegah terjadinya tumpang tindih lembaga-lembaga terkait dalam hal tugas dan fungsinya. Peran regulasi, fasilitasi, pendanaan, dan pengawasan pemerintah harus diperkuat, terutama dalam mengelola kebijakan yang terkait penjaminan mutu pendidikan tinggi, termasuk penguatan koordinasi Kementerian Pendidikan Nasional dengan lembaga terkait lainnya seperti pemerintah daerah, lembaga semi pemerintah, perguruan tinggi otonom, masyarakat profesional, masyarakat Industri, dan masyarakat umum. Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
113
Simpulan Krisis manusia Indonesia berkualitas merupakan persoalan mendesak dalam pembangunan di Indonesia saat ini, pendidikan tinggi sebagai salah satu pencetak lulusan yang menjalankan proses pendidikan tinggi yang menjadi sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan pengembangan bangsa seiring dengan berkembanganya zaman. Kebutuhan dunia kerja akan lulusan pendidikan tinggi sangat tinggi, namun kenyataannya komposisi tenaga kerja dengan pendidikan terakhir dari pendidikan tinggi lebih rendah bila dibandingkan dengan lulusan yang memiliki pendidikan terakhir sekolah dasar ataupun sekolah menengah. Pemerintah telah berupaya memperluas akses pendidikan tinggi, didukung dengan otonomi pendidikan tinggi yang diberikan kepada perguruan tinggi. Namun persoalan lain timbul dari mulai bermunculan perguruan tinggi yang tidak bermutu, hal tersebut terjadi karena kontrol terhadap mutunya belum dapat dijamin. Perguruan Tinggi baik yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun masyarakat seharusnya menjunjung tinggi mutu pendidikan dalam rangka memajukan pendidikan di Indonesia yang output-nya adalah menghasilkan manusia-manusia berkualitas yang mampu bersaing di pasar lokal maupun internasional. Upaya penjaminan mutu dilakukan melalui satu sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi yang dilakukan adalah dalam rangka pencapaian standar mutu pendidikan tinggi. Sistem penjaminan mutu di Indonesia sudah dilaksanakan, namun kenyataan di lapangan masih banyak terjadi kendala, salah satunya tumpang tindih tugas dan fungsi beberapa lembaga terkait penjaminan mutu. Padahal regulasi penjaminan mutu sendiri telah tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa setiap perguruan tinggi harus melakukan penjaminan mutu dilakukan melalui evaluasi internal yang dilakukan oleh perguruan tinggi itu sendiri dan ekternal yang dilakukan oleh BAN-PT melalui proses akreditasi yang mengacu pada standar yang telah ditetapkan BSNP. Hanya saja ketidak jelasaan arah dan koordinasi dari sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi inilah yang harus segera di benahi. 114
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Oleh karenanya, permasalahan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi harus segera diatasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pembuatan grand desain sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi yang mampu menjamin penyelenggaraan pendidikan tinggi bermutu yang dikuatkan dalam satu peraturan perundangan. Grand desain ini dimaksudkan untuk memperbaiki atau bahkan merubah sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia, grand desain sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi diharapkan mempu memperjelas dan mempertegas arah koordinasi penjaminan mutu pendidikan tinggi. Tugas pemerintah untuk mengupayakan dan menyelenggarakan Sistem Pendidikan Nasional guna tercapainya amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa yang salah satunya melalui perluasan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi, penyelenggaraan pendidikan tinggi yang bermutu, serta pemberdayaan pendidikan tinggi dalam mempersiapkan manusia berkualitas yang memiliki kesiapan dalam menghadapi dunia nyata di tengah persaingan global. Dengan begitu peranan negara dalam upaya peningkatan mutu dan akses pendidikan tinggi semakin besar, pemerintah sebagai pusat sentral kebijakan harus senantiasa melakukan kontrol seluruh pergerakan dan dinamika di perguruan tinggi.
Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
115
DAFTAR PUSTAKA Buku Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekontruksi dan Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Ghafur, Hanief Saha. 2008. Manajemen Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi di Indonesia Satu Analisis Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara. Hasan, Said Hamid. 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Koesoema, Doni A. 2010. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta : Kompas Gramedia. Nugroho, Riant. 2008. Kebijakan Pendidikan yang Unggul. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ramly Nadjamuddin. 2005. Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerahkan. Jakarta: Grafindo. Sukardi, M.S., 2010. Evaluasi Pendidikan Prinsip dan Operasionalnya. Jakarta: Bumi Aksara. Surakhmad, Winarno. 2009. Pendidikan Nasional, Strategi dan Tragedi. Jakarta: Kompas. Syah, Muhhibin. 2000. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja rosda Karya. Tilaar, H.A.R. 2008. Manajemen Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. ----------------. 2009. Kekuasaan dan Pendidikan Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta. ---------------, dan Riant Nugroho. 2009. Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wiyono, Teguh. 2010. Rekonstruksi Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
116
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Meteri Pendidikan Nasional No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Permendiknas No. 28 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Artikel/Makalah Paparan Ditjen Dikti dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panitia Kerja RUU Pendidikan Tinggi Komisi X DPR-RI tanggal 27 Januari 2011. Bahan Rapat Panja RUU Pendidikan Tinggi DPR RI 11 Maret 2011. Internet “Indeks Pembangunan Manusia” http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_ Pembangunan_Manusia, diakses Tanggal 04 Mei 2010. “Mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi” http://ongkiebudhi dharma.blogspot.com/2008/05/mahalnya-biaya-pendidikan-diperguruan.html, diakses tanggal 04 Maret 2011. “Peringkat Perguruan Tinggi Indonesia” http://www.dikti.go.id/index. php?option=com_content&view=article&id=762&Itemid=316, diakses tanggal 08 Maret 2011 “Potret Hasil Pendidikan Indonesia 2007 Kualitas Minim, Daya Saing Rendah“ http://kustejo.wordpress.com/2008/06/24/potret-hasil -pendidikan-Indonesia-2007/, diakses tanggal 04 Maret 2011.
Faridah Alawiyah, Penjaminan Mutu Pendidikan …
117
“PP 66 Tahun 2010, Komitmen Pemerintah Perangi Kemiskinan melalui Pendidikan” http://bataviase.co.id/node/414428. diakses tanggal 04 Maret 2011. “Sistem Akreditasi BAN-PT” http://www.dikti.go.id/index.php? option=com_content&view=article&id=736&Itemid=316, diakses tanggal 08 Mei 2011. “Sistem Penjaminan Mutu Internal Perguruan Tinggi” http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=a rticle&id=743&Itemid=316, diakses tanggal 03 Maret 2011. “Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di Amerika Serikat” http://ipan.staff.uii.ac.id/2009/02/sistem-penjaminan-mutupendidikan-tinggi-di-amerika-serikat/, diakses tanggal 04 Maret 2011. “Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia” http://www.dikti.go.id/ index.php?option=com_content&task=view&id=224&Itemid=1, diakses tanggal 03 Maret 2011. Surat Kabar “Pengangguran Terdidik Berbahaya” Kompas, Selasa 23 februari 2010.
118
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
BUKU DIGITAL DAN PENGATURANNYA Elga Andina Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI
Abstracts The development of telecommunication technology has enable people to bring the highest used of Internet. People can now access many new sources of information from the net. We can download book from the net and bring it home cheaply. The trend of digital book is soon covered Indonesia in the next five to ten years. This trend gives new way to define book. It is not only printed papers anymore, but also a digital work that can be read and even heard. The trend would also change the way book system works. Not to mention, people's culture in macro. Digital product change the way people producing, reading, reasoning to buy a book and the means of transfer knowledge. Having the trend grows rapidly in every cities, Government must find way to control the system. Digital works is basically free of control, which can lead to various point of view, including the misuse of the product.. As the Government need to protect citizen's intellectual rights, at the same time must provide the easy way to access knowledge, the rule of book system must be considered carefully. Keywords: Digital Book, Government, Rule, Publishing Abstrak Perkembangan teknologi komunikasi telah memungkinkan manusia untuk menggunakan internet lebih baik. Orang dapat mengakses berbagai sumber informasi dari jejaring. Kita juga bisa mengunduh buku dan membawanya pulang dengan mudah. Tren buku digital pun segera melanda Indonesia dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang. Tren ini memberikan makna baru atas definisi buku. Buku bukan hanya hasil cetakan saja, namun dapat pula berbentuk digital yang dapat dibaca bahkan didengar. Tren ini juga akan mengubah sistem perbukuan yang ada. Budaya masyarakatpun secara umum ikut bergeser. Produk digital mengubah cara orang memproduksi, membaca, alasan orang membeli buku dan cara mengirim pengetahuan. Melihat 119
perkembangan pesat berbagai kota ini, Pemerintah harus menemukan cara untuk mengontrol sistem baru tersebut. Sistem digital pada dasarnya bebas kontrol, yang dapat mengarahkan pada berbagai sudut pandang, termasuk penyalahgunaan produk. Pemerintah tidak hanya bertugas melindungi hak cipta, namun disisi lain juga memberikan keluasan akses pengetahuan bagi masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah perlu merumuskan aturan sistem perbukuan secara hati-hati. Kata Kunci: Buku Digital, Pemerintah, Peraturan, Penerbitan
Pendahuluan You cannot open a book without learning something. ~Confucius Berdasarkan amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara bertujuan untuk membangun peradaban bangsa dengan pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan melalui buku sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umum. Dalam melaksanakan tugas tersebut, negara harus dapat menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, termasuk memastikan terbukanya akses terhadap kepemilikan pengetahuan. Dengan kata lain, negara harus dapat memastikan ketersediaan buku di tengah masyarakat. Buku sebagai alat bantu pendidikan yang paling penting menempati pos permasalahan pelik di Indonesia. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mengakui bahwa produksi buku belum mencukupi jumlah pembaca. Saat ini rasio jumlah bacaan hanya 1 berbanding 5 dengan pembaca, artinya satu buku dibaca oleh 5 orang. Di lain sisi, pertumbuhan perpustakaan baik milik pemerintah maupun pribadi mulai meningkat menunjukkan harapan masyarakat terhadap pengetahuan. Menurut daftar nomor pokok perpustakaan di tahun
120
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
20111, terdapat 331.747 perpustakaan sekolah (dari Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas), 2.774 perpustakaan universitas, 65.687 perpustakaan umum dan 202 perpustakaan khusus yang telah mendapatkan nomor pokok perpustakaan. Penyebarannya tidak merata. Menurut data tersebut, perpustakaan terbanyak berada di Jawa Tengah (2312 perpustakaan), diikuti Jawa Timur (1438 perpustakaan) dan Jawa Barat (1354 perpustakaan). Sedangkan, daerah Indonesia bagian timur seperti Papua Barat (2 perpustakaan), Maluku Utara (8 perpustakaan), Sulawesi Barat (14 perpustakaan) dan Gorontalo (24 perpustakaan), perpustakaan tidak tumbuh subur2. Kenyataan ini mengindikasikan terjadinya hambatan dalam penyebaran pengetahuan di daerah yang kurang berkembang. Sebenarnya, signifikansi buku dalam proses transfer pengetahuan telah dipahami benar oleh Pemerintah. Hal ini diwujudkan dengan adanya Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2008 Tentang Buku. Aturan ini merupakan peraturan komplementer dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Buku sebagai sarana ajar dinilai penting untuk dikelola agar tercapai sistem pendidikan yang kondusif. Sayangnya, peraturan yang telah dibuat di atas belum mampu mencakup semua aspek perbukuan dan tidak dapat terlaksana sebagaimana yang telah digariskan. Buku teks menjadi domain tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, namun kedua kementerian tersebut belum optimal dalam menyuplai buku-buku pendidikan yang bermutu, murah dan dapat diakses semua anak didik. Sedangkan perniagaan buku non-teks luput dari pengaturan pemerintah. Tata kelolanya diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, yang berujung pada kompetisi tidak sehat, variasi kualitas buku dan harga yang melangit.
1
2
Registrasi Nomor Pokok Perpustakaan. http://npp.pnri.go.id/npp/nppJmlPerpus. aspx. diakses tanggal 27 Juni 2011. Laporan Statistik Jumlah Perpustakaan. http://npp.pnri.go.id/npp/nppLaporan. aspx#. diakses tanggal 27 Juni 2011.
Elga Andina, Buku Dgital …
121
Belum lagi benang kusut diatas teruraikan, perniagaan buku nasional diramaikan pula dengan kehadiran buku digital. Perkembangan buku digital di Indonesia mendapat sambutan luar biasa dari para pembaca. Hal ini disebabkan karena: pertama, terjadi kesulitan untuk mendapatkan buku cetak konvensional, apalagi bukubuku impor yang dibutuhkan dunia pendidikan, kedua, perkembangan teknologi komunikasi yang semakin pesat telah membuka akses pada usaha pengunduhan buku digital, ketiga, adanya kecenderungan masyarakat untuk memilih buku yang murah dan cepat. Dengan meningkatnya aktivitas perbukuan digital, berarti tercipta sebuah sistem perbukuan baru. Masyarakat perbukuan digital makin bertambah. Tata niaga perbukuan digital pun menjadi suatu sistem yang baru disamping perniagaan buku konvensional. Sekarang orang tidak harus ke toko buku untuk mendapatkan buku. Mereka cukup membuka komputer dan memesan atau mengunduh buku melaui internet. Cara ini tentu saja berpengaruh terhadap industri lain seperti: industri perbankan, layanan kurir, penyedia layanan internet dan penerbit. Pergerakan tata niaga buku digital mempengaruhi meningkatnya ketergantungan orang terhadap industri perbankan dalam konteks transfer dana untuk pembelian buku. Penyedia layanan internet seperti Telkom pun ikut terdongkrak penghasilannya karena semakin banyak masyarakat terhubung dengan internet. Untuk penjualan buku-buku secara online, tenaga layanan kurir menjadi signifikan. Dengan adanya buku digital, maka terjadi pemotongan proses publikasi dengan melewati prosedur penerbitan. Buku digital dapat dipublikasikan tanpa harus dicetak dan diterbitkan oleh penerbit. Akibatnya, banyak penerbit melihat ini sebagai ancaman yang nyata. Pada hakikatnya tata kelola buku digital tidak jauh berbeda dengan buku konvensional, yaitu meliputi aktivitas penerbitan, baik oleh perseorangan maupun penerbit yang dipublikasikan melalui internet. Hanya saja, hubungan antara pembuat buku dengan pembaca tidak lagi dijembatani oleh toko buku, namun cukup dengan layar komputer. Perpendekan ini membawa perubahan bentuk transaksi yang tadinya langsung menjadi transaksi elektronik. 122
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Berdasarkan uraian diatas, diperlukan pengaturan yang tegas dalam sistem perbukuan, terutama yang terkait dengan digitalisasi buku. Oleh karena itu, tulisan ini ingin mengulas mengenai buku digital dan pengaturannya di Indonesia. Masalah utama ini dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi dan kecenderungan sistem perbukuan digital di Indonesia? 2. Apa hambatan yang dihadapi dalam mengembangkan perniagaan buku digital? 3. Bagaimana pengaturan buku digital sekarang dan akan datang? Kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD) dengan subjek pemangku kebijakan pemerintah, pemerhati dan penulis di provinsi Jawa Timur pada bulan November 2010. Data sekunder diambil dari kajian pustaka dari koran, buku dan laporan rapat Komisi X DPR RI. Analisa data dilakukan dengan analisa teks dengan teknis tematis untuk mengetahui pokokpokok ide yang sering muncul dan menjadi perhatian setiap unit penelitian. Mengenal Buku Digital Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, buku diartikan sebagai lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong; kitab (KBBI 1994: 152); kertas berlembar-lembar yang sama ukuran panjang lebarnya yang dijilid baik bertulisan maupun tidak (Badudu 1996: 217). Namun, definisi ini tampaknya akan terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan teknologi. Buku tidak lagi ditemukan dalam bentuk berjilid dan berbahan kertas, namun juga berbentuk digital baik yang tertulis maupun berbentuk rekaman suara. Buku digital yang dimaksud disini adalah publikasi berupa teks dan gambar dalam bentuk digital yang diproduksi, diterbitkan dan dapat dibaca di komputer atau alat digital lainnya. Hal senada dituliskan dalam Kamus Bahasa Inggris Oxford yang memberi istilah Elga Andina, Buku Dgital …
123
E-book pada buku versi elektronik. E-book adalah singkatan dari Electronic Book atau buku elektronik, adalah sebuah bentuk buku yang dapat dibuka secara elektronis melalui komputer. Bentuk digital buku dibagi pula menjadi 2 yaitu Buku Elektronik dan buku audio. E-book yang berupa file memiliki berbagai format seperti portable document format (pdf) yang dapat dibuka dengan program Acrobat Reader atau sejenisnya. Ada juga yang dengan bentuk format hypertext markup (htm), yang dapat dibuka dengan browsing atau internet eksplorer secara offline. Ada juga yang berbentuk format aplikasi. E-book dirancang untuk dibaca di perangkat bernama e-readers atau ebook devices seperti komputer, handphone, iPod dan iPad. Selain buku digital yang dibaca, ada juga yang yang dapat didengarkan. Jenis buku digital ini disebut audiobook. Buku audio adalah tren baru dalam dunia perbukuan. Tren ini diperkenalkan oleh Apple melalui iTunesU yang memberikan layanan unduh buku yang dapat didengar. iTunesU saat ini menyediakan lebih dari 35000 kuliah, video, film gratis dari berbagai universitas di dunia. Di Indonesia, penggunaan buku digital dalam dunia pendidikan difasilitasi dengan program Buku Sekolah Elektronik atau yang disingkat dengan nama BSE, yaitu buku berbentuk digital yang telah diuji kelayakan pakainya oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan telah ditetapkan sebagai Buku Teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam pembelajaran melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 46 Tahun 2007, Permendiknas No. 12 Tahun 2008, Permendiknas Nomor 34 Tahun 2008, dan Permendiknas No. 41 Tahun 2008. Buku ini meliputi buku mata pelajaran Matematika, Bahasa indonesia, Bahasa inggris, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Pendidikan KewargaNegaraan (PKN), Seni Budaya dan Keterampilan (SBK), Pendidikan Jasmani (PENJAS), dan Pendidikan Agama Islam (PAI).
124
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
A. Kondisi Perbukuan Digital di Indonesia Pertumbuhan buku digital di Indonesia memasuki tahap perkenalan. Teknologi komunikasi semakin akrab dalam kehidupan masyarakat sehingga menjadi bagian penting dalam pertumbuhan buku digital, penggunaan telepon dan internet, data terakhir menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sampai dengan tahun 2006 adalah 220 juta jiwa. Sebanyak 14,8 juta (6,7 persen dari jumlah penduduk) menggunakan telepon. Pengakses internet sebanyak 14.5 juta (6.6 persen dari jumlah penduduk) dan pelanggan internet mencapai 0.6 persen dari jumlah penduduk (Suryo, 2006; The Jakarta Post, 2006). Survei lembaga riset Nielsen menunjukkan penetrasi internet di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 17 persen dari jumlah penduduk (Andina, 2010:119-120). Upaya pengembangan dan penetrasi internet di Indonesia tidak lepas dari tantangan. Harian The Jakarta Post melaporkan sebuah hasil penelitian bahwa harga yang tinggi dari sewa sambungan internet untuk hubungan dalam dan luar negeri di Indonesia yang mencapai 48 kali lebih mahal dari negara-negara lain, menghambat perkembangan Internet and harus segera diatur. Biaya sambungan domestik tahunan untuk sambungan dua kilometer dengan kapasitas 2 Megabits per detik (Mbps) di sini adalah 18.000 dollar Amerika, 48 kali lebih tinggi dari 376 dollar Amerika yang diterapkan di India, demikian hasil penelitian yang dilakukan LIRNEasia, sebuah organisasi regional penguatan kapasitas kebijakan dan peraturan ICT (Information And Communication Technology) pada bulan Agustus lalu (The Jakarta Post, 15 November 2006). Pada saat bersamaan, terjadi pula peningkatkan akses masyarakat terhadap perangkat elektronik berupa laptop. Harga komputer jinjing saat ini sudah terjangkau dan bukan lagi hak eksklusif orang-orang kaya saja. Dengan kurang dari 3 juta rupiah, seorang mahasiswa dapat memiliki perangkat komputer tersebut. Dalam daftar harga laptop yang dipublikasikan pada tanggal 3 Maret 20113, nilainya 3
http://www.hargalaptop.net/daftar-harga-laptop-termurah.php. Diakses tanggal 3 Maret 2011.
Elga Andina, Buku Dgital …
125
berkisar antara Rp. 2.400.000 hingga Rp. 3.200.000. Menariknya, pasar laptop murah tidak hanya diusung oleh produsen laptop dalam negeri, namun juga produsen terkenal seperti Hewlett Packard (HP) dan Asus. Hal ini menunjukkan peluang pasar yang luar biasa di Indonesia. Selain melalui laptop, masyarakat juga memanfaatkan telepon genggam untuk mengakses internet. Menurut Ketua Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno, jumlah pengguna seluler di Indonesia hingga Juni 2010 mencapai 180 juta pelanggan, atau sekitar 80 persen populasi penduduk4. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi perbukuan digital di daerah, dapat kami ambil contoh keadaan di Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Tata kelola perbukuan di daerah Provinsi Sumatera Selatan berada dibawah kewenangan Kementerian Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan dan Kementerian Pendidikan Kota Palembang. Pengelolaan perbukuan ini difokuskan pada pengaturan buku teks sekolah sebagai tugas utama yang diamanatkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota masing-masing diberi kewajiban untuk mengelola tata niaga buku sekolah yang didanai oleh APBN. Buku Digital di Masa Depan Munculnya buku digital menjadi pilihan dalam penyampaian pengetahuan di nusantara. E-book yang dianggap gratis dan mudah didapat, hanya dengan mengunduh, sangat sesuai dengan pola hidup bangsa Indonesia yang cenderung menyukai hal-hal murah dan praktis. Selain itu, tren E-book di Indonesia cepat menyebar karena pada dasarnya masyarakat kita memiliki tingkat konformitas yang tinggi. Menurut Hofstede (1993), Indonesia digolongkan pada negara dengan masyarakat kolektivis. Dalam masyarakat kolektivis, individu memiliki kesetiaan terhadap kelompok. Hal ini dapat berarti sebagai pemerataan kesejahteraan, dimana individu dengan pendapatan lebih wajib membantu keluarganya yang kekurangan. Budaya malu dikembangkan 4
http://www.harianberita.com/jumlah-pemakai-handphone-di-indonesia.html. Diakses tanggal 27 Juni 2011.
126
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
bila individu melakukan kesalahan. Individu cenderung merasa malu terhadap kelompoknya bila ia melakukan penyimpangan, bukan merasa bersalah yang lebih mengarah pada introspeksi pribadi. Hal ini berkaitan dengan kuatnya ikatan kelompok, sehingga kesalahan individu seringkali disamakan dengan kesalahan kelompok yang harus ditanggung bersama (Septarini & Yuwono, 200:4). Dengan kata lain, masyarakat kolektivis cenderung ingin menyamakan diri dengan anggota kelompoknya. Ambisi Google tentang Perpustakaan Digital Perkembangan buku digital memang masih banyak mendapat batu sandungan di masyarakat perbukuan. Bahkan perusahaan sebesar Google pun harus berjuang keras untuk mendapat tempat di persaingan bebas ini. Saat ini Amazon menguasai kurang lebih 60 persen bisnis buku elektronik dan Barnes & Noble memiliki bagian 20 hingga 25 persen. iBookstore milik Apple menguasai 10 persen, dan Kobo memiliki kurang dari 10 persen pula. Artinya sangat sedikit celah yang dapat dimasuki Google5. Google melihat peluang besar dalam industri buku digital bersamaan dengan semakin canggihnya gadget yang beredar di pasaran. Para pengguna gadget tentu tidak keberatan untuk mendapatkan jutaan buku dalam genggaman mereka. Apalagi dengan meningkatnya popularitas gadget berbasis Android yang menjadi andalah Google untuk menggapai konsumennya. Gadget ini memungkinkan pembeli buku untuk dapat membeli dengan mendebit pulsa, tanpa harus memiliki akun paypal ataupun alat transfer uang lainnya6. Google melihat industri buku digital memberikan keuntungan kepada pembaca dalam hal: pertama, kemudahan registrasi, karena semua dilakukan secara online. Kedua, kemudahan dalam membeli. 5
6
Watters, Audrey. 25 Mei 2011. Is Google planning an E-Book Rental Service?. http://www.readwriteweb.com/archives/is_google_planning_an_e-book_rental_ service.php. Diakses tanggal 27 Juni 2011. http://www.citydirectory.co.id/news/item/popularitas-android-bangkitkan-erabuku-digital. diakses tanggal 27 Juni 2011.
Elga Andina, Buku Dgital …
127
Namun, tetap saja impian Google ini mendapat kecaman, terutama dari kompetitornya. Google mendapat gugatan class action yang diajukan pada tahun 2005 oleh serikat pengarang dan serikat penerbit (Association of American Publisher) yang menuduh Google atas pelanggaran hak cipta. Google menyelesaikan persoalan itu dengan membayar 125 juta dolar dan membangun secara independen “pendaftaran hak atas buku” yang akan memberikan sebagian besar pendapatan dari penjualan dan publisitas untuk penulis dan penerbit7. Buku Digital untuk Sekolah Pola Google ini rupanya yang menjadi landasan bagi program BSE Kementerian Pendidikan Nasional. Pemerintah membeli hak cipta dari penulis untuk waktu 15 tahun, kemudian menyediakan buku tersebut secara gratis di website BSE agar dapat diunduh oleh siswa. Buku ini merupakan suplemen dari buku teks yang digunakan para siswa. Tujuan pengadaan BSE adalah untuk memudahkan siswa memperoleh buku dengan harga murah. Buku dalam bentuk media elektronik merupakan terobosan untuk menjanjikan akses terbaik bagi seluruh siswa. Indonesia memang perlu becermin pada India, yang berupaya agar buku dapat diakses dengan mudah. Pemerintah India membuat terobosan melalui beberapa alternatif. Pertama, Pemerintah India memproduksi kertas khusus yang ringan dan murah untuk pengadaan buku. Kedua, Pemerintah India juga memiliki program pembelian hak cipta (Ghofur, 2006). Implikasi dari alternatif tersebut adalah Pemerintah India mengalokasikan dana besar untuk membeli hak cipta naskah-naskah bermutu, termasuk naskah asing untuk diterjemahkan ke dalam bahasa lokal. Sebagai bagian dari upaya-upaya tersebut, penerbitan buku elektronik pada basis komersial sedang mendapatkan momentum di India. Pada level sekolah, tutorial tersedia secara on-line dan dalam bentuk CD-ROM untuk berbagai mata pelajaran, dan sekolah-sekolah
7
http://arsipberita.com/show/hakim-belum-putuskan-buku-digital-google-66429. html. Diakses tanggal 27 Juni 2011.
128
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
tinggi dan universitas-universitas sedang menggunakan database offline untuk menyediakan informasi bagi peserta didiknya (Rao, 2004). Kenyataan serupa tampaknya akan terjadi di Indonesia. Di Indonesia sudah dikenal program-program seperti Internet Masuk Sekolah (Internet Goes to School) yang diprakarsai oleh Telkom dan perusahaan penyediaan jasa telekomunikasi sejenis bekerjasama dengan Pemerintah. Pemetaan terhadap kemajuan program-program seperti ini dan survei secara luas mengenai melek internet di kalangan pendidik dan peserta didik merupakan hal yang cukup penting untuk mewujudkan program pemerintah dalam pengembangan sistem perbukuan (Pusat Perbukuan, 2010). Tantangan pendidikan di dunia digital membutuhkan pemahaman mengenai perubahan natur bagaimana pendidikan dilaksanakan. Makna pengetahuan, pembelajaran dan kemampuan aksara, tidak ketinggalan cara kerja, ikut berubah sebagai hasil penggunaan komputer dan jejaring (Wilburg, 2003: 114). Kehadiran buku digital merupakan sebuah kenyataan yang harus diterima dunia pendidikan dengan tangan terbuka. Sebuah survei menyebutkan bahwa teknologi dapat meningkatkan hasil pendidikan (Haydn, 2002:396). Peningkatan pendidikan memang harus memanfaatkan semua pergerakan teknologi yang ada. Hal ini juga sudah menjadi tujuan Kementerian Pendidikan Nasional dengan memulai pembelajaran elektronik sebagai upaya percepatan peningkatan kualitas pendidikan kita. Namun, di Jawa Timur, konsep E-book yang ditawarkan ternyata belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh sekolah. Program ini terkesan tergesa-gesa karena tidak semua sekolah memiliki sarana penunjang untuk mengakses internet. Kebijakan E-book tidak didukung dengan kebijakan subsidi bagi penyediaan sarana sekolah. Kurang efektifnya BSE di Jawa Timur disebabkan faktor-faktor sebagai berikut: 1. Tidak semua daerah memiliki sarana komputer dan internet yang memadai. 2. Siswa cenderung lebih menyukai bentuk cetakan konvensional, Elga Andina, Buku Dgital …
129
3.
4.
sehingga kemudian mencetak hasil unduhan. Hal ini malah membuat harga BSE menjadi lebih mahal. Siswa lebih tertarik menggunakan BSE hasil cetakan penerbit (yang diunduh dari website), ketimbang mengunduh sendiri. Terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh penerbit. Ada penerbit yang mengunduh BSE kemudian menerbitkannya dan menjual buku tersebut kepada siswa. BSE dianggap tidak cukup komprehensif untuk membantu pembelajaran siswa. BSE yang disediakan masih terbatas tulisan, belum dilengkapi dengan tampilan multimedia yang mendukung proses pembelajaran. Dengan BSE yang ada sekarang, siswa masih harus bergantung pada penjelasan guru dalam memahami informasi yang tersedia.
Buku Digital non-Teks Perkembangan buku digital umum sangat terpaut dengan keterampilan masyarakat mengakses internet. Mereka yang berpengetahuan luas cenderung menggunakan fasilitas internet dengan optimal dan menguntungkan. Masyarakat perbukuan digital ini memunculkan beberapa tren, diantaranya: 1. Tren Self Printing Perkembangan digitalisasi buku di berbagai daerah di Indonesia bergerak signifikan dimotori oleh berbagai pemerhati buku, aktivis, akademisi dan lembaga. Di Surabaya, misalnya, meningkatnya informasi dan dukungan terhadap penulis-penulis muda telah memberikan dorongan untuk menciptakan tren self-printing. Penulis dapat mendaftarkan naskahnya ke sebuah website berjudul nulisbuku.com untuk kemudian ditampilkan sebagai komoditi. Disini, penulis menampilkan E-book sebagai ulasan singkat yang dapat diunduh peminat sehingga peminat dapat mengintip isi buku sebelum memutuskan untuk membeli. E-book yang ditampilkan hanya berupa cuplikan dan diberikan secara cuma-cuma. Calon pembeli tinggal memilih buku yang diinginkan dari halaman web untuk kemudian dicetak (sesuai jumlah pesanan) dan dikirimkan ke pembeli. Untuk itu 130
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
pembeli dikenai ongkos kirim sebagai tambahan harga buku. Hal ini menjadi tren dikalangan penulis muda yang ingin segera menerbitkan karyanya. Penulis tidak harus melalui proses pengeditan yang panjang seperti yang terjadi dalam proses penerbitan konvensional, yang berarti berpengaruh terhadap kualitas tulisan itu sendiri. Kehadiran tren ini berdampak pada sistem sosial masyarakat. Kemudahan untuk menerbitkan dan mengakses buku menjadi keuntungan tersendiri. Setiap orang yang menulis dapat menerbitkan bukunya tanpa harus melalui prosedur penerbit konvensional yang kadang memakan waktu lama. Penerbitan buku dengan cara ini cepat dan menghemat kertas. Pencetakan hanya dilakukan sesuai pesanan, jadi tidak akan ada buku-buku sisa karena penerbitan secara grosir. Namun, disisi lain penerbitan instan tersebut tentu memangkas waktu untuk menilai kualitasnya. Pada buku konvensional, penerbit berperan sebagai saringan untuk menentukan kelayakan naskah sebelum dapat dicetak. Ketika penulis mencetak sendiri, maka ia telah mengeliminasi saluran sensor tertentu, dalam hal ini penerbit. Dengan begitu, dapat terjadi penurunan kualitas buku yang diterbitkan. Penerbitan dengan cara ini juga menjadi tantangan bagi penerbit di masa yang akan datang. Penerbitan sendiri akan mengurangi daya saing dari penerbit biasa karena dianggap lebih mudah dan murah. Hanya saja, sistem ini belum dapat diandalkan untuk: a. Memastikan kualitas buku, karena tidak ada pihak yang dapat mengawasi dan melakukan sensor terhadap kualitas naskah. b. Menekan harga jual perlu dilakukan pencetakan jarak jauh, seperti yang dilakukan koran Jawa Pos, namun tidak setiap daerah memiliki fasilitas tersebut. c. Diterapkan secara general di seluruh Indonesia karena perbedaan daya beli masyarakat. Harga jual semestinya disesuaikan dengan daya beli masyarakat setempat, sehingga dapat terjadi perbedaan harga buku antara satu daerah dengan daerah lain.
Elga Andina, Buku Dgital …
131
2. Audio Book Tujuan audio book adalah memberikan kemudahan bagi pendengar untuk mendapatkan pengetahuan dengan metode audio dimana saja. Audio book sangat mudah digunakan melalui handphone, laptop, komputer rumah dan alat pemutar suara lainnya. Dengan format MPEG-1 Audio Layer 3 (MP3) yang ringan dan mudah diakses dimana saja, pendengar dapat memutarnya dalam perjalanan ke kantor, ketika menunggu antrian atau sedang duduk di kafe. Audio book adalah alat bantu belajar bagi mereka yang memiliki tipe pembelajaran auditori. Ada tiga (3) tipe pembelajaran yang umum digunakan masyarakat. Pertama, tipe belajar visual, yaitu proses pembelajaran dengan memfokuskan pada fungsi indera penglihatan. Kedua, tipe pembelajaran auditif yang mengedepankan fungsi pendengaran, dan terakhir, tipe pembelajaran kinestetik yang menggunakan gerakan tubuh untuk memahami informasi. Audio book dirancang untuk membantu percepatan akselerasi pembelajaran bagi tipe pembelajar auditif. Sedangkan E-book dengan tampilan yang menarik dapat membantu pembelajaran visual. Hal ini didasarkan pada salah satu dari 8 tipe intelegensi spesifik Gardner (1983,1993, 2002, dalam Santrock, 2010: 140), yaitu:
132
Keahlian verbal: kemampuan berpikir dengan kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna; Keahlian matematika: kemampuan untuk menyelesaikan operasi matematika; Keahlian spasial: kemampuan untuk berpikir tiga dimensi; Keahlian tubuh-kinestetik: kemampuan untuk memanipulasi objek dan cerdas dalam hal-hal fisik; Keahlian musik: sensitif terhadap nada, melodi, irama, dan suara; Keahlian intrapersonal: kemampuan untuk memahami diri sendiri dan menata kehidupan dirinya secara efektif; Keahlian interpersonal: kemampuan untuk memahami dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain; dan Keahlian naturalis: kemampuan untuk mengamati pola-pola di alam dan memahami sistem alam dan sistem buatan manusia. Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Mereka dengan keahlian musik akan mudah menerima rangsangan berupa suara. Dengan begitu, mereka lebih mudah menangkap ini pesan yang diberikan melalui audio. Teori Gardner ini merupakan pengembangan dari teori klasik VAK (Visual, Auditori, Kinestetik). Tipe pembelajaran visual meliputi penggunaan indera penglihatan atau pengobservasian, termasuk gambar, diagram, demonstrasi, display, handout, film, flip chart, dll. Tipe pembelajaran auditori mengedepankan kemampuan pendengaran untuk memperoleh informasi. Dengan kata lain, seorang pembelajar auditori lebih mudah menangkap kata yang diucapkan, suara ataupun bunyi berisik. Sedangkan tipe pembelajaran kinestetik menggunakan pengalaman fisik dalam memahami sesuatu, misalnya dengan merasakan, memegang, melakukan dan mempraktekkan. B. Hambatan Perkembangan Perbukuan di Indonesia Sistem perbukuan yang berlaku saat ini belum dapat melayani setiap golongan masyarakat dalam rangka mewujudkan tujuan pencerdasan kehidupan bangsa. Hal ini dilihat dari hambatanhambatan berikut. Pertama, sumber daya manusia kurang memadai. Sumber daya pembuat buku, produsen (penerbit) dan tenaga pengembang masih perlu didukung untuk dapat menghasilkan karya yang sesuai dengan kebutuhan masa kini. Tenaga perbukuan saat ini tidak terdidik secara profesional untuk mengelola perbukuan. Akibatnya, kualitas buku tidak dapat dioptimalkan. Contohnya saja di negara kita belum ada pendidikan khusus untuk tenaga perwajahan. Oleh karena itu kompetensi pelaku perwajahan masih bervariasi dan tidak dapat dikontrol. Kedua, pengaturan pola pendidikan kurang kondusif yang tidak berpihak kepada murid. Pada prakteknya, penggunaan buku di sekolah kurang efektif, misalnya beberapa sekolah mengurangi porsi mata pelajaran mengarang sehingga anak-anak kurang terampil untuk mengambil inti sari dari bacaan. Selain itu, penerapan penggunaan buku yang sekali pakai memberatkan murid dan orang tua. Dengan begitu, penggunaan buku di sekolah pun bergerak dari fungsi Elga Andina, Buku Dgital …
133
pendidikan menjadi lebih ke fungsi ekonomi. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 10 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2008 tentang Buku yang berbunyi: “Satuan pendidikan dasar dan menengah menetapkan masa pakai buku teks sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sesingkat-singkatnya 5 tahun.” Pada kenyataannya, belum ada aturan turunan berupa Peraturan Daerah (Perda) maupun Petunjuk Teknik (Juknis) pelaksanaannya. Dengan begitu, Pemerintah Daerah mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan aturan pusat secara optimal. Ketiga, rendahnya akses masyarakat terhadap buku. Hal ini terjadi karena adanya konflik kepentingan antarpemangku kepentingan pendidikan untuk kasus buku teks pelajaran, seperti kepentingan penerbit, dinas pendidikan, birokrasi sekolah, orang tua, toko buku, dan siswa, muncul dalam bentuk penjualan langsung oleh penerbit kepada sekolah. Beberapa kasus yang diberitakan media massa mencatat masih ada sekolah yang menjual buku-buku teks pelajaran kepada siswa, baik berupa buku lembar kerja siswa (LKS) matematika, bahasa Indonesia, sains, PKn, bahasa daerah, agama, maupun buku pelajaran lain. Kondisi demikian berdampak kepada melemahnya fungsi toko buku dan memicu munculnya penyimpangan. Padahal, tata niaga buku teks telah diatur pada Pasal 7 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.2 Tahun 2008 tentang Buku yang berbunyi “Untuk memiliki buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), peserta didik atau orangtua/walinya membelinya langsung kepada pengecer.” Namun, pada kenyataannya, penerbit langsung menjual ke sekolah dan melewati proses distribusi untuk menawarkan harga yang murah kepada konsumen. Akibatnya, harga buku teks pelajaran menjadi lebih tinggi. Harga mahal juga terjadi pada perniagaan buku umum. Hal ini terjadi karena proses distribusi yang panjang. Distributor meningkatkan 60 persen dari harga awal penerbit. Akibatnya, masyarakat kesulitan mendapatkan buku murah. Hal ini juga terkait penyebaran lokasi penerbitan di Indonesia yang tidak merata. Dengan begitu, aktivitas distribusi buku pun terpolar pada pulau tertentu. Menurut IKAPI Jawa Timur, sebanyak 80 persen penerbit beroperasi di Pulau Jawa, sehingga 134
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
menimbulkan multiplasi harga buku yang dikirim ke daerah-daerah. Selain itu, penyebaran toko buku pun mengalami hambatan di daerahdaerah terpencil. Dengan akses terbatas tersebut, harga buku pun melonjak. Dalam tataran buku umum, pemerintah tidak memiliki wewenang untuk memberikan pagar dalam tata niaganya. Hal ini disebabkan tidak adanya payung hukum yang mewadahi tugas tersebut. Lain halnya dengan buku teks yang berada dibawah kewenangan Kementerian Pendidikan Nasional dan buku agama yang diatur Kementerian Agama, buku umum terlepas dari berbagai pengaturan. Dengan begitu, kualitas konten, harga dan prosedurnya tidak dapat dikendalikan pemerintah. Hal inilah yang menyebabkan tingginya harga buku dan sulitnya buku ditemukan di daerah. C. Peran Pemerintah dalam Tata Kelola Buku Digital Pengaturan Buku Digital Dalam mengatur perniagaan buku digital, Pemerintah telah memiliki sejumlah perangkat aturan sebagai berikut: 1. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 10 (1) Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan. Pasal 25 Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan 2. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pada Undang Undang ini disebutkan pengertian hak cipta sebagai berikut: Elga Andina, Buku Dgital …
135
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan‑pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada Pasal 12 disebutnya mengenai Ciptaan yang dilindungi, yaitu: (1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks; e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. arsitektur; h. peta; i. seni batik; j. fotografi; k. sinematografi; l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. (2)
Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu. 136
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
3. Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Undang-undang ini mengatur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibebankan kepada setiap pengusaha atas transaksi jual belinya. Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen8. Setiap pengusaha wajib untuk melapotkan usahanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3A dan Pasal 4A sebagai berikut: Pasal 3A (1)
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
(2)
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf d dan atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 4A
(1)
8
Jenis barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan jenis jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 yang tidak dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_pertambahan_nilai. Diakses 15 Maret 2011
Elga Andina, Buku Dgital …
137
(2)
Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut: a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya; d. uang, emas batangan, dan surat‑surat berharga.
(3)
Penetapan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok‑kelompok jasa sebagai berikut: a. jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; b. jasa di bidang pelayanan sosial; c. jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; d. jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi; e. jasa di bidang keagamaan; f. jasa di bidang pendidikan; g. jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan; h. jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; i. jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air; j. jasa di bidang tenaga kerja; k. jasa di bidang perhotelan; l. jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
Pengaturan ini kurang efektif karena: 1. tidak ada pengaturan turunan yang bersifat teknis di lapangan. Kurangnya kerja sama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dibatasi dengan kebijakan otonomi daerah yang belum selaras dengan misi Pemerintah Pusat. Akibatnya, masyarakat kebingungan dengan pengaturan yang ambigu ini. 138
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
2. Adanya pembatasan pembiayaan negara karena Undang-Undang Otonomi Daerah, sehingga Pemerintah Pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengatur kebijakan di daerah. 3. Variasi lingkungan lokal yang membutuhkan perhatian berbeda di setiap daerah. Untuk itu Pemerintah Daerah perlu membuat pengaturan yang sesuai dengan konteks lingkungannya. Namun, karena tidak ada legitimasi hukum, Pemerintah Daerah belum mampu melakukannya. Berangkat dari kondisi diatas, maka pengelolaan buku digital memang perlu diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggung jawabkan isinya. Pengelolaan buku ini bersifat parsial dan tidak menyentuh konten. Pengelolaan buku digital tidak dimaksudkan untuk membatasi konten yang beredar karena pemerintah tidak berhak menghalangi kreativitas masyarakat.pemerintah hanya harus mengelola tata niaga yang bersifat online. Intervensi Efektif Kehadiran buku digital menimbulkan pola baru dalam pergerakan perniagaan buku. Namun, belum ada pengaturan yang tegas mengenai peredaran buku-buku, terutama buku umum, di Indonesia. Akibatnya, semua orang dapat menerbitkan buku tanpa ada sensor yang jelas. Dengan begitu, informasi yang beredar di masyarakatpun beragam dan tidak dapat dikendalikan. Kita berada pada jaman dimana pengendalian konten tidak dapat dilakukan secara mudah. Bercermin pada manuver Menteri Komunikasi dan Informasi pada pertengahan tahun 2010 yang melarang situs-situs porno beredar di Indonesia, maka Pemerintah harus hati-hati dalam menerapkan pengaturan. Aturan yang bersifat positif ini ternyata tidak efektif. Pelarangan seringkali menjadikan motivasi untuk mencoba-coba melakukan tindakan terlarang tersebut. Hal ini terkondisikan dalam masyarakat kita. Begitu pula yang terjadi dengan pembajakan, apalagi ketika objek yang dibajak berbentuk digital. Penggandaan buku digital Elga Andina, Buku Dgital …
139
lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan buku cetakan konvensional. Selain itu, terbatasnya akses terhadap buku cetakan membuat masyarakat memilih mengambil dari internet yang lebih mudah diakses. Ada dua pandangan disini, pertama, pembajakan terjadi bukan karena ingin merugikan pembuat buku, namun sekedar ingin memenuhi kebutuhan pribadi. Kedua, pembajakan terjadi karena terdapat peluang kebutuhan (demand) akan sebuah buku yang tidak dapat dipenuhi penerbit konvensional. Selain pembajakan, tumbuh pula sikap kurang menghargai kerja keras. Generasi muda yang dekat dengan teknologi terbaru lebih mudah menemukan cara singkat untuk mendapatkan konten yang diinginkan. Mereka lebih tidak sabaran dan lebih rentan terhadap birokrasi. Hal ini mengembangkan masyarakat yang tidak tahan banting dan bermental lemah. Generasi ini tidak dapat bekerja dengan tekun, mudah menyerah dan tidak tahan tekanan. Salah satu buktinya adalah banyaknya anak-anak yang tidak lulus UN tahun 2010 lalu yang mencoba bunuh diri. Sikap masyarakat ini merupakan bentuk kebiasaan yang dijelaskan dengan konsep jadwal penguatan Skinner (1953, dalam Santrock, 2010: 277). Menurutnya, suatu perilaku dapat terjadi tergantung pada penguatnya. Manusia menjadi kurang kurang menghargai karena semuanya dapat diperoleh dengan cara instan. Orang menjadi kurang menghargai proses panjang pembuatan buku karena mudah mendapatkannya. Dari sudut pandang teori belajar (Hovland, Janis, & Kelley, 1953, dalam Santrock, 2010: 167), hal ini terjadi karena orang mempelajari informasi dan fakta tentang objek sikap yang berbeda-beda dan mereka juga mempelajari perasaan dan nilai yang diasosiasikan dengan fakta itu. Asosiasi bahwa “sesuatu hal dapat diperoleh dengan mudah” menjadi landasan sikap meremehkan, kurang sabaran dan kurang mampu bertoleransi terhadap semua hal yang tidak efisien. Itulah yang menyebabkan gaya hidup di kota besar dengan segala fasilitasnya menjadi lebih tergesa-gesa dibandingkan kehidupan di pedesaan. 140
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Dengan begitu, Pemerintah harus melakukan pendekatan yang hati-hati dan bertahap dalam mengantur konten digital. Pemerintah harus belajar dari hambatan yang dialami ketika Kemenkominfo melakukan pelarangan situs porno dan BlackBerry. Permasalahan digitalisasi tidak terletak dari format ataupun tempat publikasinya, namun tata niaganya yang terkait dengan pertambahan nilai. Sebagai salah satu bentuk perniagaan baru, Pemerintah harus dapat memagari dengan jernih sehingga tidak terjadi praktik monopoli, merugikan negara dan masyarakat serta menjadi penghalang tujuan-tujuan pendidikan yang positif. Dengan begitu, peran Pemerintah perlu dilaksanakan dengan cara: 1. Membentuk Undang Undang Sistem Perbukuan Nasional untuk menciptakan sistem perbukuan yang sehat, termasuk dalam hal buku digital. 2. Memastikan tata niaga yang adil namun berpihak pada rakyat. 3. Peningkatan akses terhadap buku. Dengan kata lain, pemerataan pembangunan di seluruh pelosok Indonesia agar terjadi penyebaran toko buku. 4. Menetapkan standar mutu untuk setiap terbitan. 5. Meningkatkan pengontrolan terhadap pelaksanaan undangundang terkait, seperti Undang- Undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dan Undang Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 6. Memastikan hukuman yang berat dan menjerakan untuk setiap pelanggaran peraturan. 7. Membimbing penerbit konvensional untuk bersiap menerima dengan buku digital. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan peluang seluas-luasnya bagi penerbit untuk mulai mengembangkan sarana dan prasarana publikasi buku digital. Simpulan Perkembangan teknologi digital akan segera menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Buku-buku digital akan menjadi suplemen kuat dalam upaya transfer ilmu. Kehadiran Elga Andina, Buku Dgital …
141
buku digital memberikan cara pandang dan peluang baru dalam menggunakan buku. Perkembangan tata kelola dan tata niaganya dapat menimbulkan bisnis baru dan pada saat yang sama mengancam tata niaga yang sudah ada. Namun, setiap perkembangan membutuhkan keberanian untuk berubah. Disinilah peran Pemerintah sebagai katalisator perubahan. Dengan begitu, pengaturan buku digital perlu untuk segera dipagari dengan Undang-undang perbukuan yang menekankan pada peran pemerintah sebagai: 1. Memfasilitasi perkembangan sarana dan prasarana digitalisasi buku untuk memastikan tersedianya akses masyarakat terhadap buku digital. 2. Segera mempersiapkan pengaturan yang terpadu dan komprehensif untuk menjamin tata kelola perbukuan digital yang sehat hingga ke seluruh pelosok. 3. Memberikan kesempatan yang merata bagi semua masyarakat perbukuan untuk melakukan praktek tata niaga yang adil, tidak memonopoli dan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 4. Menjadi penyaring kualitas buku digital dengan memberikan standar mutu yang objektif yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan bangsa.
142
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
DAFTAR PUSTAKA Buku Badudu J. S., dan Zain, Sutan Mohammad. (1996). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Santrock, John.W. 2010. Psikologi Pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Jurnal Andina, Elga.2010. Studi Dampak Negatif Facebook terhadap Remaja Indonesia. Aspirasi. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, hal: 119-120. Haydn, Terry. 2002. ”The Book Versus the Screen: Educational Media in the Digital Age”, Paedagogica Historica, 38:1, 387-401. Hofstede, Geert . 1993. "Cultures and Organizations: Software of the Mind". Administrative Science Quarterly (Johnson Graduate School of Management, Cornell University) 38 (1): 132–134. WIPO. (1980). WIPO Glossary of Terms of the Law of Copyrigth and Neighboring Rigths. Geneva: World Intellectual Propherty Organization. Wiburg, Karin M.(2003) 'Technology and the New Meaning of Educational Equity', Computers in the Schools, 20: 1, 113 — 128 Surat Kabar Dahlan, M. M. 23 Desember 2006. ”Dari Kantor Pos ke Revolusi Informasi”. Kompas. Makalah dan Presentasi IKAPI. 2011. Disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X DPR RI, tanggal 9 Februari 2011.
Elga Andina, Buku Dgital …
143
Pusat Perbukuan. 2010. Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Perbukuan Nasional (Draf 11). Tidak diterbitkan. Suryo, R. (2006). “Peran Teknologi Komunikasi dalam Pengalihan Hak Cipta Buku”. Paper dipresentasikan pada seminar Pengalihan Hak Cipta Buku: Suatu Gagasan dalam Upaya Perluasan Akses Pendidikan diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Hotel Atlet Century, Jakarta, 4 Desember 2006. Website: Daftar Nomor Pokok Perpustakaan. http://npp.pnri.go.id/npp/npp JmlPerpus.aspx. Diakses tanggal 2 Maret 2011. Ghofur, S.A. 15 Oktober 2006, http://www.pontianakpost.com/ berita/index.asp?Berita=Edukasi&id=126631 Diakses pada tanggal 4 November 2006. Rao, S.S. (2004). “E-book Technologies in Education and India’s Readiness”. Emerald Program: Electronic Library and Information Systems, Volume 38 – Nomor 4 2004, halaman 257267, www.emeraldinsight.com/0033-0337.htm, Diakses 18 Desember 2006. Telkom, Costly Leased Lines Hamper Internet. http://www.telkom.net /ig2s.php. The Jakarta Post, 15 November 2006,. Diakses 1 Desember 2006. Watters, Audrey. 25 Mei 2011. Is Google planning an E-Book Rental Service? http://www.readwriteweb.com/archives/is_google_ planning_an_e-book_rental_service.php. Diakses 27 Juni 2011. --,--. 14 Juli 2010. Jumlah Pemakai Handphone di Indonesia. http://www.harianberita.com/jumlah-pemakai-handphone-diindonesia.html. Diakses tanggal 2 Maret 2011. --,--.
2011.Harga laptop. http://www.hargalaptop.net/daftar-hargalaptop-termurah.php. Diakses tanggal 3 Maret 2011.
--,-- Pajak Pertambahan Nilai. http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_ 144
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
pertambahan_nilai. Diakses tanggal 15 Maret 2011. --,--.
Popularitas Android bangkitkan era buku digital. http://www.citydirectory.co.id/news/item/popularitas-androidbangkitkan-era-buku-digital. diakses tanggal 27 Juni 2011.
--,--.
Hakim Belum Putuskan Buku Digital Google. http://arsipberita.com/show/hakim-belum-putuskan-bukudigital-google-66429.html. Diakses tanggal 27 Juni 2011.
Undang-Undang Undang- Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2008 tentang Buku.
Elga Andina, Buku Dgital …
145
146
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
WALI NAGARI PEREMPUAN DI ERA REFORMASI: Studi Kasus Terpilihnya Wali Nagari Batu Basa Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar Tahun 2009 Israr Iskandar Universitas Andalas Padang Sumatera Barat Abstract This article attempts to describe the role and the pursuit of women's leadership in Nagari (the villages) in West Sumatra. The issue is related to success of women appeared as Wali Nagari (Nagari’s formal leader) in the Era of Reform with a case study of Wali Nagari Batu Basa in Dictrict Tanah Datar. The victory of Bariana Sain, a middle-aged woman, even in a direct election in 2009, as a wali nagari Batu Basa are a new chapter in political history of women in West Sumatra. Previous elections with representative system at Nagari’s People's Representative Council (BPRN) tends to choose men as wali nagari. However, democratization in the Reform Era have influenced the "perception" of local community towards women's leadership. A victory of women as formal leaders in the Nagari Batu Basa was not only reflection of an egalitarian attitude of society, but also the competence of the women figure. Another winning factor is, of course, also related to the declining her rivals popularity, including incumbent. Keywords: Nagari’s formal leader, women, leadership Abstrak Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan peran dan upaya kepemimpinan perempuan di Nagari (desa) di Sumatra Barat. Masalah ini berkaitan dengan keberhasilan perempuan muncul sebagai Wali Nagari (pemimpin formal Nagari) di Era Reformasi dengan studi kasus Wali Nagari Batu Basa di Kabupaten Tanah Datar. Kemenangan Bariana Sain, seorang wanita setengah baya, terutama dalam pemilihan langsung pada 2009 sebagai Wali Nagari Batu Basa adalah babak baru dalam sejarah politik perempuan di Sumatera Barat. Pemilu sebelumnya dengan sistem perwakilan di Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) cenderung memilih laki-laki sebagai Wali Nagari. Namun, demokratisasi di Era Reformasi telah mempengaruhi “persepsi” masyarakat lokal terhadap kepemimpinan perempuan. Kemenangan perempuan sebagai Wali Nagari Batu Bahasa tidak hanya 147
refleksi sikap egaliter masyarakat, tetapi juga memperlihatkan kompetensi sosok perempuan yang ada. Tentu saja faktor penentu lainnya adalah terkait dengan menurunnya popularitas lawan yang pada waktu itu masih menjabat. Kata Kunci: Wali Nagari, Perempuan, Kepemimpinan
Pendahuluan Kiprah perempuan di sektor publik, termasuk politik, sudah lama menjadi bahan wacana, namun sejak beberapa tahun belakangan perbincangannya semakin intens. Gelombang reformasi memungkinkan makin terbukanya peluang bagi kaum perempuan dan kalangan aktivis gender, tidak hanya untuk membicarakan pada tataran wacana, tapi juga implementasi tuntutan peningkatan keterwakilan perempuan di sektor publik di Tanah Air. Di Sumatera Barat, pembicaraan representasi perempuan di sektor publik tentu relevan, karena masyarakatnya dikenal memiliki adat dan budaya bercorak demokratis. Adat matrilineal juga memuliakan posisi kaum perempuan, tidak hanya karena penarikan garis keturunan (nasab) dari garis ibu, tetapi juga ketentuan tradisional bagi perempuan untuk memiliki dan menguasai harta pusaka. Dalam cerita-cerita tradisional, seperti di tambo, kaba dan legenda, peran perempuan Minang dalam kehidupan sosial, termasuk politik, juga tergambarkan. Kaba Mande Rubiah (Ibu Rubiah) sebagai Bundo Kanduang, misalnya, jelas merepresentasikan posisi penting perempuan dalam kehidupan sosial di ranah Minang (Nurwani Idris, 2010: 167). Dalam historiografi modern terbaca, bahwa etnis Minang sendiri memang pernah menorehkan tinta emas dalam sejarah dengan tampilnya tokoh-tokoh perempuan pelopor, seperti Rohanna Koeddoes (1884-1972), Rahmah El Yunusyiah (1900-1969), dan Rasuna Said (1910-1965), namun pasca-Kemerdekaan hingga Era Reformasi disinyalir terjadi stagnasi dan bahkan degradasi peran perempuan lokal di banyak sektor publik, termasuk politik. Akar masalahnya tak hanya dihubungkan pada sistem politik patrimonial dan otoriter pada masa 148
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Demokrasi Terpimpin (1958-1966) dan Orde Baru (1966-1998), namun juga pengaruh adat dan budaya lokal yang dianggap masih patriarkis. Pada masa Orde Baru, perempuan Minang bahkan termarginalisasikan lewat pola-pola kekuasaan rezim yang hegemonik. Mereka diinstitusionalisasi lewat organisasi Bundo Kanduang (Bunda Kandung) yang tak hanya bertujuan kultural, tetapi juga politis guna menyokong legitimasi penguasa otoriter. Lewat organisasi Bundo Kanduang, PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) dan Dharma Wanita, pada periode ini terjadi upaya homogenesasi aspirasi (politik) perempuan lokal (Lusi Herlina dkk., 2003: 3). Pada awal Era Reformasi, sisa-sisa sub-ordinasi negara atas perempuan lokal belum hilang. Politik “atas nama perempuan” pun masih dimainkan untuk suatu pembelaan terhadap kepentingankepentingan tertentu yang belum tentu mewakili kepentingan masyarakat, termasuk golongan perempuan.1 Ketika perbaikan sistem demokrasi diimplementasikan, khususnya terkait ketentuan pemilupemilu Era Reformasi, perbaikan peran politik perempuan lokal ternyata masih “jauh” dari harapan banyak kalangan. Hasil-hasil pemilu pasca-Orde Baru menunjukkan, jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota legislatif di DPR dan DPRD masih minimal dibandingkan jumlah pemilih perempuan secara keseluruhan. Sekalipun demikian, ada gejala baru di Era Reformasi yakni terpilihnya beberapa wali nagari perempuan di beberapa nagari (nama kesatuan wilayah administratif dan wilayah adat setingkat desa di Minangkabau, Sumatera Barat). Pemilihan wali nagari dengan sistem langsung ternyata dapat membuka kesempatan kepada perempuan untuk tampil lebih jauh di panggung politik nagari-nagari, yang selama ini didominasi laki-laki. Terpilihnya wali nagari perempuan di Batu Basa (Kabupaten Tanah Datar) di awal Era Reformasi, sebagai salah 1
Politik “atas nama” ini terjadi misalnya dalam kasus gerakan menuntut pemisahan PT Semen Padang dari PT Semen Gresik di awal Reformasi. Lihat Israr Iskanar, Elit Lokal, Pemerintah dan Modal Asing Kasus Gerakan enuntut Spi-Off PT Semen Padang atas PT Semen Gresik Tbk 1999-2003, (Jakarta: CIRUS-SAD, 2007).
Israr Iskandar, Wali Nagari Perempuan …
149
satu dari sedikit nagari di Sumbar yang memiliki wali nagari perempuan di awal reformasi,2 tentu menarik dicermati. Di tengah gencarnya sorotan atas rendahnya partisipasi dan kiprah kepemimpinan politik perempuan di Era Reformasi, masyarakat nagari tersebut ternyata mampu menampilkan wali nagari perempuan sebagai hasil pilihan rakyat. Kenyataan itu juga seakan berbeda dengan tendensi kepemimpinan formal di Minangkabau selama ini, mulai di tingkat propinsi, kabupaten, nagari dan desa (masa akhir Orde Baru) yang selalu didominasi laki-laki. Politisi perempuan hanya dalam peran substitusi. Dalam sistem adat pun, perempuan bahkan hanya diposisikan sebagai pemilik harta pusaka dan anak, tetapi tak diberi peran dalam mengurus politik yang sejatinya terkait kepentingan banyak orang (publik). Lagi pula, secara tradisi, perempuan tak pernah diangkat dan dipilih jadi penghulu (pemimpin adat). Padahal penghulu memegang peran sentral di dalam kaum sebagai kesatuan masyarakat adat di Minang. Di pihak lain, secara umum, pandangan masyarakat lokal masih patriarkis. Seakan yang layak dan harus menjadi pemimpin sosial dan politik itu adalah laki-laki. Konstruksi sosial ini berkembang luas di tengah masyarakat, termasuk masa Reformasi. Keterpilihan perempuan dalam pemilihan wali nagari di beberapa nagari yang disebutkan di atas tentu, dalam batas tertentu, mampu mematahkan mitos itu. Kepemimpinan dan Gender Kepemimpinan merupakan topik yang banyak dibahas dalam ilmu-ilmu sosial, seperti politik, sosiologi, dan tentu saja manajemen. (Kartodirdjo, 1990). Secara umum kepemimpinan dikaitkan dengan cara-cara seseorang menggunakan power (kekuasaan) untuk mempengaruhi perilaku orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai keinginan pihak yang menghendakinya (Kanter, 1979). Karena itu 2
Wali Nagari perempuan lain adalah Nurdianis Nurdin, wali nagari Koto Lamo, Kabupaten Limapuluh Kota.
150
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
kepemimpinan bisa saja terfokus pada satu individu, tapi bisa juga pada golongan tertentu (Hunt dalam Kuper & Kuper, 2000). Berbicara mengenai perspektif gender tentang kepemimpinan memiliki dimensi yang cukup kompleks juga. Tinjauannya bisa beragam, mulai dari sosiologis, politis, manajemen, psikologis, hingga aspek biologis. Kajian terhadap sejumlah literatur terkait isu kepemimpinan dan gender menampilkan dua resume utama. Pertama, adanya penyamaan kepemimpinan laki-laki dan perempuan; kedua, terdapat perbedaan pokok dalam (gaya) kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan (Sudarmo, 2009). Adanya anggapan tentang kesamaan kepemimpinan laki-laki dan perempuan tidaklah terlalu mengherankan. Hampir semua studi yang menelaah isu tersebut menggunakan “jabatan manajerial” sebagai persamaan kepemimpinan. Kalau ada perbedaan gender, hal itu merupakan atas dasar pilihan rasional dan seleksi organisasi. Individu baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesamaan dalam hal sifat kepribadian yang berkaitan dengan kepemimpinan seperti kecerdasan, kepercayaan diri, dan kemampuan bersosialisasi. Organisasi cenderung merekrut atau mempromosikan orang yang memiliki kualifikasi tersebut, apapun gendernya ( Sudarmo, 2009). Sebaliknya, ada pula anggapan perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam kepemimpinan. Perempuan malah diasumsikan cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih demokratik. Mereka mendorong partisipasi, berbagi kekuasaan dan informasi, dan mencoba meningkatkan kemanfaatan bagi pengikutnya. Mereka cenderung memimpin dengan pelibatan atau pemberdayaan dan mendasarkan pada karisma, keahlian, kontak, dan keahlian interpersonal dalam mempengaruhi orang lain. Sementara laki-laki cenderung menggunakan gaya yang mendasarkan pada kontrol dan perintah (direction). Kepemimpinan pada laki-laki lebih mendasarkan pada jabatan otoritas formal sebagai dasar baginya untuk melakukan pengaruhnya (Sudarmo, 2009). Sekalipun demikian, bisa dikatakan, pandangan kedua masih dominan. Bahkan, pandangan bahwa kepemimpinan bukanlah domain Israr Iskandar, Wali Nagari Perempuan …
151
perempuan masih sangat kuat hingga kini, termasuk di masyarakat negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat. Seperti dikatakan Gaffney dan Blaylock (2010), bahwa umumnya publik beranggapan “rendah” pada kapasitas kepemimpinan perempuan. Sekalipun perempuan disukai karena dinilai pribadi ramah, baik hati dan demokratik, namun dianggap tidak kompeten dalam kepemimpinan (Gaffney dan Blaylock mengutip Fiske et al, 2002). Dalam analisis kualitas kepemimpinan para manajer mengungkap kepercayaan responden bahwa manajer sukses adalah tipe pribadi agresif, percaya diri dan kompetitif yang semua itu lebih identik dengan lelaki dibandingkan perempuan. Hal itu dilatari kecenderungan orang mengasosiasikan kepemimpinan dengan karakteristik maskulin. Begitu pula dalam dunia politik, publik juga menyukai politisi yang kompeten (yang diasosiasikan dengan laki-laki) dibandingkan politisi yang ramah dan baik hati, suatu sifat yang distereotipkan pada perempuan (Funk dalam Gaffney dan Blaylock, 2010). Beberapa teori sosial juga memperkuat asumsi tertentu tentang kepemimpinan perempuan dibandingkan laki-laki. Teori peranan sosial menilai munculnya stereotip tentang adanya perbedaan peranan lakilaki dan perempuan dalam masyarakat karena secara historis memang ada distribusi peranan antara laki-laki dan perempuan (misalnya dikatakan, perempuan secara historis bekerja dalam peranan yang ramah, seperti profesi guru, sementara laki-laki punya peranan kepemimpinan, seperti politisi). Perbedaan pekerjaan laki-laki dan perempuan secara tradisional melatari kepercayaan orang bahwa lakilaki dan perempuan mempunyai perbedaan karakter dalam kepemimpinan. Bahkan, secara spesifik, orang lebih sering mengasosiasikan pemimpin itu dengan laki-laki daripada perempuan, karena prototipe pemimpin lebih pada seorang laki-laki dengan pelbagai atribusinya (Eagly dikutip Gaffney dan Blaylock, 2010). Ada pula teori yang serta merta ber-prejudice terhadap pemimpin perempuan di mana pemimpin perempuan dinilai lebih negatif dibandingkan laki-laki. Semua itu terkait pandangan awam bahwa perempuan tidak cocok dengan peran kepemimpinan. Ini merujuk 152
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
pada “asal usul kepemimpinan” yang membedakan pengalaman lakilaki dan perempuan. Kenyataan tersebut agaknya konsisten dengan argumen bahwa sosialisasi dari usia dini sangat menentukan penerimaan peran dan stereotip gender di kemudian hari, termasuk dalam aspek kepemimpinan yang identik dengan laki-laki (Gaffney dan Blaylock, 2010). Apapun, terus tampilnya perempuan sebagai pemimpin di ranah publik di banyak tempat, termasuk di Indonesia, telah menimbulkan diskusi luas. Di Indonesia, partsipasi perempuan di ranah publik, khususnya politik, memang masih minimal, tetapi terus menunjukkan peningkatan. Terlebih sejak era reformasi, jumlah perempuan tampil mengisi jabatan-jabatan politik terus bertambah, mulai dari kursi eksekutif (presiden, menteri dan kepala daerah), legislatif (DPR, DPD dan DPRD) hingga eksekutif di BUMN. Dalam konteks pilkada, misalnya, sudah mulai banyak perempuan maju dalam pesta politik lokal itu. Ada yang berhasil menang, tapi tidak sedikit pula yang gagal (Wardhani, 2010). Di Sumatera Barat, yang menjadi basis etnik Minangkabau, masalah kepemimpinan perempuan bukanlah sesuatu yang baru. Adat dan budaya matrilineal (garis keturunan berdasarkan garis ibu) bahkan memposisikan perempuan seakan lebih tinggi dari laki-laki, khususnya dalam hal keluarga dan penguasaan harta pusaka. Kaum perempuan dipanggil dengan sebutan tinggi sebagai bundo kanduang (bundo kandung) yang mewartakan penghargaan kepada kaum ibu atau perempuan. Masalahnya, dalam ranah publik dan modern, peran perempuan Minang masih terbatas. Sejauh ini belum ada satu pun kepala daerah di Sumbar yang dijabat perempuan. Catatan sejarah peran perempuan Minang, seperti Rahmah El Yunusyiah, Rasuna Said dan lainnya memang memberikan citra positif, tapi secara umum jumlah perempuan tampil sebagai pemimpin di ranah publik, khususnya politik, masih sangat minim di Sumbar hingga dewasa ini (Iskandar, 2009).
Israr Iskandar, Wali Nagari Perempuan …
153
Profil Nagari Batu Basa Batu Basa merupakan salah satu nagari di Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Letaknya kurang lebih 15 km sebelah barat dari Batusangkar, Ibukota Kabupaten Tanah Datar, yang dikenal juga sebagai Luak nan Tuo.3 Batu Basa secara administratif terdiri dari tiga jorong (setingkat dusun), yakni Batu Basa, Koto Baru, dan Sialahan. Penduduk Batu Basa berjumlah 3868 jiwa (Profil Nagari Batu Basa, tahun 2009). Pola pemukiman warga tak jauh beda dengan nagari-nagari darek lainnya. Warga tinggal di rumah-rumah yang letaknya saling berdekatan, bahkan agak menumpuk di satu area, sehingga terkesan padat. Model rumah pun bermacam-macam, mulai rumah kayu, semipermanen (bahan kayu, batu dan semen), permanen (dominan batu, semen dan besi). Pemukiman penduduk biasanya terpusat di sekitar masjid atau sekolah. Di Batu Basa juga masih terdapat sejumlah rumah gadang (rumah tradisional Minangkabau yang berukuran lebih besar dari rumah biasa) yang masih ditinggali beberapa keluarga. 4
Warga Batu Basa 100 persen muslim. Aktualisasi keagamaan mereka antara lain tercermin dari kegiatan-kegiatan yang digelar di masjid, musala dan surau (Profil Nagari Batu Basa, tahun 2008). Dibandingkan dengan nagari-nagari tetangga, rata-rata tingkat pendidikan warga cukup baik. Di sini terdapat 5 buah SD dan 2 TK. Untuk lanjut ke SMP dan SMA, warga harus pergi ke nagari Simabur (pusat administrasi pemerintahan kecamatan), Kota Batusangkar (pusat kabupaten) atau Kota Padangpanjang. Hanya akses ke pendidikan tingkat universitas saja yang belum maksimal, karena pada umumnya warga mengaku terkendala faktor kesulitan ekonomi. Dalam pandangan mereka, kuliah di perguruan tinggi mahal. 3
4
Menurut tambo, ada tiga luak (daerah utama) di Minangkabau, yakni Luak Tanah Datar, Agam dan Limapuluh Koto. Darek adalah wilayah yang berada di sekitar Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan Gunung Sago. Secara tradisional, darek hampir sama dengan Luak nan Tigo. Lawan darek adalah rantau, yang terdiri dari dua jenis, yakni rantau barat dan rantau timur.
154
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Perekonomian masyarakat Batu Basa umumnya bertumpu pada sektor pertanian. Ada juga yang menggeluti perdagangan, jasa angkutan, industri rumah tangga, dan pegawai negeri. Batu Basa juga menghasilkan sejumlah jenis makanan tradisional, seperti dakak-dakak, lamang, tapai dan kipang. Sebagian warga juga merantau ke berbagai daerah di Sumbar dan luar Sumbar. Sedangkan pendanaan pemerintahan nagari sendiri berasal dari Dana Alokasi Pembangunan Nagari (DAPN) senilai 109 juta (per 2009) yang bersumber dari APBD Tanah Datar (Epi Fitri, Sekretaris Wali Nagari, wawancara, 23 Agustus 2009).
Kelompok-kelompok Sosial Kehidupan sosial di Batu Basa dipengaruhi model struktur masyarakat perdesaan Minangkabau yang pada umumnya berlaku. Ada kelompok keagamaan, adat, pemuda, bundo kanduang (perempuan) dan perantau. Kelompok keagamaan dipimpin para alim ulama yang kerap disebut buya, ustadz atau malin. Sebutan ustadz akhir-akhir ini memang kian populer dibandingkan buya atau malin. Sedangkan kelompok adat (yang menggeluti tradisi) dipimpin ninik mamak atau penghulu yang biasanya bergelar datuak. Kelompok keagamaan antara lain tergabung dalam organisasi Majelis Taklim, yang merupakan kelompok pengajian warga. Ada juga secara spesifik kelompok pengajian untuk kalangan tua (manula). Di kalangan perempuan, ada organisai PKK yang aktif dalam kegiatan Posyandu yang bertugas memberikan penyuluhan kepada warga di bidang kesehatan. Kelompok pemuda biasanya tergabung dalam organisasi Karang Taruna, sekalipun kiprah organisasi ini tak selalu menonjol. Sebagai nagari yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian, terdapat 12 organisasi kelompok tani yang kerap menjalankan sebagian fungsi pemerintah daerah dalam menyalurkan bibit unggul, panduan penanaman dan panen, serta proses pasca-panen. Kelompok kepentingan (interest groups) lainnya tentu saja partai politik. Israr Iskandar, Wali Nagari Perempuan …
155
Tiga kali pemilu di Era Reformasi, yakni Pemilu 1999, 2004 dan 2009, Partai Golkar selalu tampil sebagai pemenang. Tapi khusus untuk Pilpres 2009 lalu, capres Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono, menang 70 persen di Batu Basa, mengalahkan capres Golkar Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto (Bariana Sain, Wali Nagari Batu Basa, wawancara, 1 Juli 2009). Profil Elit Nagari Dinamika politik lokal di aras nagari tentu tak terlepas dari peran elitnya sendiri. Merekalah yang menjadi aktor politik demokrasi di level pemerintahan terendah di Minang itu. Untuk memahami lebih baik dinamika politik di Batu Basa, ada baiknya mengetahui profil elitelit nagari setempat. Jamiris Dt Rajo Endah. Nama Jamiris sudah tak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Batu Basa. Saat Orde Baru, ia pernah menjadi Kepala Desa Batu Basa. Saat Pemilihan Wali Nagari tahun 2002, Jamiris maju dan menang secara signifikan. Namun sebagian pihak menilai, kinerjanya sebagai wali nagari kurang memuaskan. Tak ada kemajuan signifikan selama kepemimpinannya. Pada Pemilihan Wali Nagari 2009, Jamiris maju lagi. Sebagai incumbent, ia hendak melanjutkan program kepemimpinan yang sudah ia rintis sebelumnya. Jamiris mengusung motto “bersihkan hati luruskan niat”. Visinya hendak mewujudkan masyarakat Batu Basa yang sejahtera, berlandas iman, takwa dan ilmu pengetahuan. Ia mengatakan hendak memperkuat program-program nagari yang sudah dijalankan. Ia juga ingin memberdayakan unsur-unsur pemerintahan nagari, termasuk BPRN, sebagai badan legislatif nagari. Jamiris menyatakan, visi yang ia usung tak bisa diwujudkan secara maksimal jika tak dapat dukungan penuh dari seluruh komponen warga. Ia mengutip salah satu ungkapan Minangkabau klasik, “ka bukik samo mandaki ka lurah samo manurun, saciok bak ayam sadanciang bak basi nan sarumpun bak sarai” (ke bukit sama mendaki ke 156
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
lurah sama menurun, seciat ba ayam, sedencing bak besi, yang serumpun seperti serai). Ia sendiri mengaku menjadi wali nagari sebagai panggilan untuk pengabdian kepada masyarakat kampung halamannya, bukan mencari kekayaan dan prestise. Secara detail, Jamiris menawarkan 8 agenda strategis, yakni: 1) meningkatkan iman dan takwa warga; 2) meningkatkan kualitas pendidikan dan teknologi; 3) meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan warga; 4) percepatan pertumbuhan ekonomi nagari; 5) terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat; 6) melaksanakan tata pemerintahan yang baik dan memberikan pelayanan prima; 7) meningkatkan pembangunamn insfrastruktur, sarana dan prasarana nagari; dan 8) mewujudkan partisipasi aktif masyarakat sebagai pelaku pembangunan (Wawancara dengan Jamiris Dt. Rajo Endah, 2 Februari 2009). Irfan Amir. Ia adalah calon wali nagari dari unsur pemuda. Ia dilahirkan di Batu Basa, 16 Juli 1973. Pendidikan terakhir adalah SMA Negeri Pariangan (tamat 1991). Pekerjaan tetapnya adalah wiraswasta. Namun sejak remaja, dia terbilang aktif dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan kepemudaan di Batu Basa. Saat maju tahun 2009, motto Irfan “sesuai makonyo manjadi”. Ada pesan pokok dalam, yakni hendak merangkul semua warga dengan mengutamakan. Anak muda pernah merantau bertahun-tahun ke Sibolga ini punya sejumlah visi dan misi yang tak banyak beda dengan beberapa calon lain. Visinya adalah “menjadikan nagari Batu Basa sebagai nagari yang terus berkembang, berpotensi dan bermartabat”. Misinya antara lain: 1) pembenahan dan pembinaan anak nagari sebagai aset bangsa pada umumnya dan aset nagari pada khusunya; 2) nagari sadar hukum yang didukung oleh semua unsur masyarakat nagari; 3) pemerintahan nagari yang amanah, transparan dan berbasis informasi yang memadai; 4) menghidupkan fungsi masjid dan surau bagi pemantapan akhlak anak nagari; 5) pengembangan, peningkatan dan pemanfaatan SDM melalui pendidikan dan praktek kerja; 6) mengembangkan kreasi dan inovasi anak nagari di bidang olahraga seni dan budaya; dan 7) menumbuhkan kebersamaan antara Israr Iskandar, Wali Nagari Perempuan …
157
anak nagari dengan perantau (Wawancara, Irfan Amir, 2 Februari 2009). Bariana Sain. Calon ketiga adalah Bariana Sain. Dia satusatunya calon perempuan. Mantan PNS di Pemkab tanah Datar ini dilahirkan di Sialahan tahun 1952. Visinya “membangun Batu Basa bersama niniak mamak, alim ulama, cerdik pandai, pemuda, dan bundo kanduang, untuk mewujudkan kehidupan banagari dan kembali ke surau.” Hampir sama dengan calon lainnya, visi Bariana agak sloganistis (Wawancara dengan Nel Azra, 1 Juli 2009). Adapun misinya; 1) menyamakan persepsi setiap unsur untuk membangun kenagarian Batu Basa; 2) meningkatkan peranan masingmasing unsur untuk bersama-sama membangun nagari adat basandi syarak syarak basandi Kitabullah; 3) memfungsikan surau sebagai tempat ibadah dan menjadikan anak nagari yang beriman; dan 4) mempererat hubungan “ukhuwah islamiyah” antarjorong (Wawancara dengan Bariana Sain, 23 Februari 2009). F. PK Marajo. Ia seorang elit nagari yang berperan penting dalam Pemilihan Wali Nagari 2009. Pria 50 tahun ini berasal dari Jorong Batu Basa dan istrinya dari Koto Baru. Mantan pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) ini sekarang ini aktif sebagai guru di Thawalib Sungai Limau, Simabur. Jabatannya sangat strategis yakni Ketua Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) Batu Basa. Lembaga legislatif ini adalah mitra wali nagari dalam menjalankan pemerintahan nagari. Pemilihan BPRN berdasarkan keterwakilan unsur-unsur masyarakat di nagari, yakni alim ulama, cadiak pandai, niniak mamak, pemuda dan bundo kanduang. Eldi Peri. Tokoh ini cukup berpengaruh di lingkungan pemuda. Ia adalah Sekretaris BPRN Batu Basa. Eldi Peri lahir di Koto Baru tahun 1974, sedangkan istrinya berasal dari Sialahaan. Mulanya banyak orang melirik Eldi sebagai calon wali nagari. Namun dia tak berminat. Apalagi pekerjaannya sebagai PNS di Dinas Pendidikan Pariangan tak bisa dilepaskannya. Eldi cenderung mendorong Irfan Amir, sejawatnya. 158
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Secara historis, dia juga pernah merantau tahun 1998 ke Riau, tapi kemudian pulang kampung dan menjadi PNS. Ia kemudian menjadi tokoh masyarakat. Statusnya sebagai PNS menjadi modal sosial tersendiri. Apalagi, ia tergolong aktif dalam kegiatan kemasyarakatan (Wawanacara dengan Ipi Fitri, 23 Agustus 2009) Sahibu. Ia adalah Ketua Panitia Pemilihan Wali Nagari 2009. Sahibu adalah suami dari calon wali nagari, Bariana Sain. Ia lahir Sulawesi Selatan dan pernah merantau di Papua, sebagai PNS. Di bumi Cenderawasih inilah ia bertemu Bariana dan menikahinya tahun 1980an. Tahun 2000-an mereka pindah ke Pemkab Tanah Datar. Proses Pemilihan Wali Nagari 2009 Proses Pemilihan Wali Nagari Batu Basa 2009 dimulai dengan penjaringan dan pandaftaran calon wali nagari pada akhir Januari 2009. Walaupun persyaratannya tak terlalu ketat, namun hanya tiga calon saja yang mendaftarkan diri, yakni Bariana Sain, Jamiris, dan Irfan Amir. Bariana mewakili unsur Bundo Kanduang (perempuan), Jamiris mewakili niniak mamak (golongan adat), dan Irfan dari unsur pemuda. Tahap berikutnya penyampaian visi dan misi pada 23 Februari di Aula SD Negeri 3 Batu Basa. Pada saat ini tampil ketiga calon wali nagari. Visi dan misi mereka pada dasarnya tak banyak beda dan normatif. Pada 28 Februari dilanjutkan dengan pemungutan suara. Penghitungan dilakukan sore itu juga. Pemenangnya pun diketahui yakni Bariana Sain. Ia mengalahkan incumbent, Jamiris Dt Rajo Endah. Bariana memperoleh suara 977 dari 1800 suara yang masuk. Artinya dia menang mutlak, yakni sekitar 60 persen. (Rekapitulasi Hasil Pemilihan Wali Nagari Batu Basa, 2009). Sekalipun sudah diperkirakan banyak pihak, terpilihnya wali nagari perempuan di Batu Basa di era reformasi merupakan fenomena menarik untuk dicermati. Berdasarkan catatan sejarah, sebelumnya tak pernah ada wali nagari perempuan di wilayah itu, bahkan di Tanah
Israr Iskandar, Wali Nagari Perempuan …
159
Datar sendiri, yang dianggap sebagai salah satu pusat budaya Minangkabau. Terpilihnya Bariana, dalam batas tertentu, juga mengagetkan. Saingannya, Jamiris Dt Rajo Endah masih berstatus incumbent (calon yang sedang menjabat wali nagari) dan seorang penghulu atau pemimpin tradisional. Jamiris juga dinilai memiliki banyak sumber daya politik, seperti popularitas dan jaringan sosial. Tidak hanya itu, Jamiris juga terbilang masih badunsanak (hubungan kerabat) dengan Bariana. Tapi kekalahan Jamiris nampaknya lebih karena faktor “kebosanan” masyarakat dengan kepemimpinan dia sebelumnya. Ia dianggap gagal mewujudkan good governance di lingkungan pemerintahan nagari. Tak heran muncul kecurigaan-kecurigaan, bahwa banyak dana nagari yang menguap. Sedangkan Irfan Amir juga dikenal sebagai tokoh pemuda yang supel dalam bergaul, dan juga berpengalaman di rantau. Namun karena kiprahnya di pemerintahan dan masyarakat dianggap masih “tanggung” ikut menjadi faktor kegagalannya meraih kursi wali nagari. Sekalipun demikian, suara yang diperoleh Irfan sebenarnya cukup signifikan. Dengan kata lain, kalau saja, ia berkampanye lebih intens, kansnya untuk menang akan lebih besar (Wawancara dengan Epi Fitri, 23 Agustus 2009). Di sisi lain, Bariana seakan memberikan harapan baru kepada masyarakat. Tokoh ini bahkan masih menyimpan “magis” tentang kesuksesannya di rantau yang jauh (Papua dan Sulawesi) serta peran dia di masa muda di kampung halaman. Cerita sukses (success story) Bariana ini menyebar dari mulut ke mulut, sehingga memunculkan opini publik yang luas di Batu Basa. Cerita dari mulut ke mulut inilah yang menjadi medium informasi bagi sosialisasi politik calon-calon yang bertarung dalam pemilihan wali nagari. Pemilihan wali nagari Batu Basa tersebut berlangsung cukup demokratis. Tak ada tekanan politik kepada masyarakat maupun caloncalon yang maju. Jumlah pemilih adalah 1.800 orang dari jumlah 2.600 orang wajib pilih. Jadi, terdapat 800 orang golput. Dengan demikian kelihatan, tingkat partisipasi masyarakat masih rendah. Mungkin 160
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
karena faktor sosialisasi yang minimal, sehingga banyak masyarakat yang tidak ikut serta memilih. Masyarakat memilih di 4 lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS). 2 TPS di Batu Basa, 1 TPS di Koto Baru, dan 1 TPS di Sialahan. Masyarakat antusias ke TPS-TPS untuk memilih Wali Nagari mereka (Wawancara dengan Baraiana Sain). Ketika diketahui pemenangnya, yakni Bariana Sain, pendukungnya menyambut antusias. Pasalnya, Bariana mendapatkan 977 suara atau lebih dari 60 persen. Kemudian diikuti Irfan Amir 436 suara, dan Jamiris 387 suara. Profil Wali Nagari Terpilih Wali nagari terpilih, Bariana Sain, sebenarnya sudah lama tak terdengar kiprahnya di kampung halaman. Ia lama merantau di Papua dan Sulawesi Selatan. Hanya, bagi generasi sebaya atau berdekatan dengan usia Bariana (yang berumur 40 tahun ke atas) di kampung halaman, namanya belumlah hilang. Semasa muda dulu, Bariana dikenal tipe perempuan aktivis dan organisatoris (Wawancara dengan Bariana Sain, 23 Februari 2009). Ia dilahirkan di Jorong Silahaan, 27 Desember 1952. Orangtuanya hanya seorang petani kecil, namun kenyataan itu tak mematahkan semangatnya untuk maju, khususnya bidang pendidikan. Ia tak ingin seperti kebanyakan perempuan desa yang tunduk pada kenyataan bahwa fungsi perempuan terbatas pada urusan-urusan domestik, khususnya sebagai ibu yang menjaga keluarga, rumah tangga dan lahan pertanian di kampung. Bariana menempuh pendidikan sejak SD sampai sarjana muda di Tanah Datar. Dimulai di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Simabur, lalu Thawalib Sungai Limau, Pariangan (1973), dan kemudian Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol di Lima Kaum, Batusangkar (1977). Selepas mendapatkan sarjana muda dari IAIN, Bariana aktif dalam program Tenaga Kerja Sukarela (TKS) “Butsi”, suatu program pemerintah yang populer awal tahun 1980-an dalam memberikan Israr Iskandar, Wali Nagari Perempuan …
161
konsultasi dan penadampingan kepada masyarakat. Karena program itu bersifat nasional, ia bahkan kemudian ditempatkan di Papua. Ia tidak menolak penugasan itu, karena ia anggap sebagai pengabdian kepada negara. Di bumi Cenderawasih itulah, Bariana melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Swasta (STAIS) Irian Jaya di Jayapura (Wawancara dengan Baraiana Sain, 2009). Saat ditugaskan sebagai TKS Butsi, ia melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia pun akhirnya diangkat menjadi PNS di Kantor Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Irian Jaya. Selama bekerja, ia aktif pula di berbagai organisasi sosial bercorak Islam, etnis Minang, maupun organisasi lainnya. Menurutnya, aktif dalam organisasi sosial di rantau sangat berkesan, mengingat komunitas muslim di Papua terbilang minoritas. Di Papua pula ia mendapatkan jodoh dengan seorang Bugis, bernama Sahibu. Pada awal 2000-an, pasangan ini pindah ke Sulawesi Selatan, lalu kemudian pindah ke BKKBN Tanah Datar di Batusangkar. Ia memutusan pindah ke tanah Minang ini, karena hendak mengakhiri karir PNS-nya di daerah kelahirannya. Suaminya pun akhirnya ikut pindah kerja ke Kantor Dinas Informasi dan Komunikasi (Infokom) Batusangkar. Saat maju sebagai calon Wali Nagari, ia mengaku hanya hendak mengabdi bagi kampung halamannya, memajukan nagarinya. Ia sadar sejak awal, sebagai wali nagari di banyak daerah di Sumbar, akan lebih banyak menjalankan fungsi sosial bagi masyarakat ketimbang tampil sebagai pejabat pemerintah yang bergelimang fasilitas kemewahan. Sebab kalau mengharapkan kekayaan, menurutnya, jabatan wali nagari tentu bukan pilihan yang tepat. “Saya ke kantor ini tiap hari naik ojek” (Wawancara dengan Baraina Sain, 23 Februari 2009). Simpulan Terpilihnya Bariana Sain sebagai wali nagari di Batu Basa, dalam batas tertentu, menunjukkan fenomena umum pemimpin politik baru. Faktor kapasitas dan kapabilitas tokoh perempuan menjadi faktor 162
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
keterpilihan mereka sebagai wali nagari. Mereka yang berposisi sebagai incumbent justru sedang mengalami degradasi kepercayaan dari masyarakat. Faktor lain, tentu saja lebih karena ketokohan sang wali nagari terpilih. Mereka dinilai memiliki segudang pengalaman dalam mengurus masalah kemasyarakatan, baik sewaktu menjadi PNS maupun setelahnya. Bariana misalnya yang sebelumnya tercatat sebagai pegawai BKKBN di Papua, Sulawesi Selatan dan Tanah Datar, tentu dinilai memiliki banyak “jam terbang” mengurus kepentingan masyarakat dan pemerintahan. Khusus untuk Bariana, segudang pengalaman dan prestasinya sebagai aktivis sosial dan organisatoris di kampung maupun perantauan telah menjadi modal dan sekaligus pedoman bagi masyarakat di kampung halamannya untuk mempercayainya sebagai wali nagari. Artinya, elektabilitas Bariana bukan saja karena pengalaman lama sebagai PNS, tetapi juga hidup dengan modal kepercayaan masyarakat. Hal menarik lain, bahwa alasan mayoritas masyarakat memilih Bariana pada akhirnya bukan karena jenis kelamin. Publik tak mempersoalkan Bariana sebagai perempuan, asal memiliki kapabilitas dan dipercaya. Warga nampaknya juga kurang peduli dengan keyakinan sebagai kalangan bahwa perempuan tak akan mampu menjadi pemimpin. Adat dan budaya sekalipun, dalam pandangan mereka, tak menghalangi tampilnya kepemimpinan perempuan. Masyarakat Batu Basa juga tak memedulikan asal jorong sang calon. Bariana misalnya justru dari Jorong Sialahaan yang penduduknya kecil, tetapi ia berhasil meraup kemenangan besar di tiga jorong sekaligus, termasuk di Jorong Batu Basa yang penduduknya paling padat. Kenyataan itu, dalam batas tertentu memperlihatkan masyarakat Batu Basa cenderung rasional dalam menjatuhkan pilihannya. Mereka yakin perempuan dapat memimpin roda pemerintahan nagari. Kalau pun adat dalam batas tertentu masih “resisten” dengan kepemimpinan Israr Iskandar, Wali Nagari Perempuan …
163
perempuan, namun pemerintahan nagari bukanlah domain kaum adat. Nagari sebagai wilayah adat sepenuhnya menjadi tanggung jawab institusi yang bernama Kerapatan Adat Nagari (KAN). Faktor penting lain, karena terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk maju dalam pemilihan wali nagari yang bersifat terbuka, sesuatu yang sulit terjadi jika proses pencalonan kepala pemerintahan harus melewati partai politik. Tak hanya itu, untuk maju sebagai wali nagari, seperti dalam kasus Batu Basa, tak memerlukan biaya besar. Di pihak lain, ada tendensi, warga ingin melihat kiprah pemimpin baru yang belum bercimpung sebelumnya di kampung halaman sendiri, walaupun perempuan. Di atas semuanya, apa signifikansi wali nagari perempuan ini? Dibandingkan jabatan sebagai anggota DPRD misalnya, jabatan wali nagari tentu tak ada apa-apanya, baik dari segi pendapatan (gaji), fasilitas maupun “prestise” politik. Namun, terpilihnya Bariana tetap penting. Khususnya Bariana, ia tak hanya simbol kapabilitas dan akseptabilitas perempuan dalam memimpin pemerintahan, sekalipun di level terendah, tetapi juga keberanian untuk menjalankan amanah rakyat di tengah kesederhanaan. Ia bahkan seakan ikut menjawab mitos tentang adanya resistensi adat terhadap kepemimpinan politik perempuan di Minang. Bagaimanapun, terpilihnya wali nagari perempuan di Batu Basa merupakan fenomena politik lokal menarik dan bersejarah di Minangkabau di Era Reformasi. Tak pernah ada wali nagari perempuan, khususnya dalam konteks sejarah kontemporer Sumatra Barat. Mereka tak hanya mencoba menjadi simbol kapabalitas perempuan dalam kepememimpin politik dan pemerintahan, sekalipun di level terendah, tetapi juga keberanian mengemban kepercayaan masyarakat. Tampilnya perempuan sebagai wali nagari bahkan seakan mencoba menjawab mitos tentang adanya diskrepansi antara nilai-nilai adat dan budaya lokal dengan nilai-nilai egaliterianisme yang inheren dalam sistem demokrasi modern.
164
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Memang masih harus dibuktikan enam tahun ke depan, apakah mereka akan dicatat sebagai wali nagari sukses atau justru sebaliknya. Semuanya masih bersifat menunggu jalannya sejarah. Rekomendasi Sistem demokrasi, termasuk demokrasi liberal, harus memberi peluang sama kepada perempuan untuk tampil lebih leluasa di ruang publik, termasuk politik. Citra pemimpin perempuan di Nagari Minang relatif baik, sehingga perlu terus dijaga agar tidak terdistorsi arus pragmatisme politik yang menggejala dalam praktik politik kenegaraan kita di pusat dan daerah selama ini. Perlu peningkatan terus menerus kapasitas perempuan dalam bidang politik, karena politik dalam konteks praktis tak hanya terkait dengan integritas dan kapasitas personal, tapi juga leadership atau kepemimpinan. Keberhasilan kepemimpinan perempuan pada aras nagari tidak hanya dapat menjadi inspirasi bagi peningkatan peran kepemimpinan perempuan pada aras lebih tinggi, tapi juga citra kepemimpinan perempuan dalam kepemimpinan politik dan sosial pada umumnya. Budaya lokal, yang didukung para pemimpin formal dan masyarakat, harus terus membuka diri dalam menerima pluralitas politik yang kian niscaya dalam konteks politik modern, termasuk di tingkat lokal. Perlu dibuka juga ruang lebih luas lagi bagi perempuan lokal untuk tampil pada jabatan-jabatan publik pada level lebih tinggi, khususnya jabatan-jabatan kepala daerah sehingga dapat mempengaruhi (memperbaiki) output kebijakan publik yang ada.
Israr Iskandar, Wali Nagari Perempuan …
165
DAFTAR PUSTAKA Asnan, Gusti. 2006. Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi. Jakarta: Citra Pustaka. Alfirdaus, Laila, 2009. “Representasi Politik Perempuan: Analisis Teori dan Regulasi.” Makalah pada Seminar Internasional ke-Sepuluh, Percik, Salatiga. Bentham, David & Kevin Boyle. 2000. Demokrasi: 80 Tanya Jawab. Yogyakarta: Kanisius. Cahyono, Ceppy Harry, tanpa tahun. Psikologi Kepemimpinan. Surabaya: Usaha Nasional. Evelyn Blackwood, Februari 2001. “Representing women: The politics of Minangkabau Adat writings” The Journal of Asian Studies. Ann Arbor. Goettner-Abendroth, Heide. 2008. “Matriachies as Societies of Peace: Re-Thingking Matriarchy” in jurnal Off Our Backs. Washington. Vol. 38, Iss. 1; hlm. 49. Hakimi Dt Rajo Panghulu, Idrus. 1978. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau, Bandung: Rosda Karya De Stuers, Cora Vreede, 2008. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Percapaian. Jakarta: Komunitas Bambu. Dr. Amber M. Gaffney and Dr. Danielle L. Blaylock. 2010. “Hillary Clinton’s Race: Did She Match the Presidential Prototype?” dalam Advancing Women in Leadership Journal, Vol. 30. Hamka, 1984. Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas. Hunt, James. 2000. “Leadership” dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper (eds). Eksiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Press. Idris, Nurwani. “Perempuan Minangkabau dalam Politik” dalam Jurnal Humaniora Vol. 22. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Juni 2010.
166
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Iskandar, Israr. 2007. Elit Lokal, Pemerintah dan Modal Asing Kasus Gerakan Menuntut Spi-Off PT Semen Padang atas PT Semen Gresik Tbk 1999-2003. Jakarta: CIRUS-SAD. Kartodirdjo, Sartono, (eds), 1992. Pesta Demokrasi di Pedesaan: Studi Kasus Pemilihan Kepala Desa di Jawa Tengah dan DIY. Yogyakarta, UGM Press. --------------- (eds). 1990. Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES. Kato, Tsuyoshi, 2007. Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektf Sejarah, Jakarta: Balai Pustaka. Mulyana (eds), 2005. Demokrasi dalam Budaya Lokal.Yogyakarta: Tiara Wacana. Navis, AA, 1984. Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers. Sudarmo, 2009. “Dramtisasi Asumsi Gaya Kepemimpinan Perempuan bagi Efektifitas Organisasi” dalam Agus Pramunsito dam Erwan Agus Purwanto (eds). Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gava Media. Syahmunir, 2006. “Kedudukan Wanita dalam Kepemilikan Hak Ulayat di Minangkabau”, dalam Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat: 70 tahun Prof Syahmunir SH, Padang: Unand Press. Wardani, Sri Budi Eko, “Perempuan dan Pilkada Langsung” dalam Jurnal Ilmu Politik Edisi 21, 2010. Zed, Mestika, et.all, 1995. Sumatra Barat di Panggung Sejarah 1945-1995. Jakarta: Sinar Harapan.
Israr Iskandar, Wali Nagari Perempuan …
167
168
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Book Review
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DAN PENERAPANNYA PADA PERUSAHAAN DI INDONESIA A. Muchaddam Fahham Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI
Judul Buku
Penulis Penerbit Tahun Tebal
: Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Studi tentang Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nasional dan BUMN di Indonesia : Mukti Fajar : Pustaka Pelajar Yogyakarta : 2010, cetakan I : 396 + XVIII halaman
Pendahuluan Buku dengan judul, ”Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia: Studi tentang Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nasional dan BUMN di Indonesia,” pada awalnya adalah disertasi Mukti Fajar ND, yang diajukannya untuk mendapatkan gelar Doktor dalam Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia pada tahun 2009. Menurutnya studi tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia, penting dilakukan karena adanya kewajiban hukum dalam penerapan kewajiban CSR bagi perusahaan yang dituangkan dalam dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa: “Tanggung 169
Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.” Sementara dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 15 huruf b disebutkan bahwa: “Setiap penanam modal berkewajiban: (b) melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan.” Dalam penjelasan Pasal 15 huruf b tersebut dinyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat”. Kewajiban CSR bagi perusahaan yang dituangkan dalam dua undang-undang di atas menurur Mukti Fajar, justru menimbulkan ketidakjelasan karena (1) adanya perbedaan definisi dan terminologi yang digunakan oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 15 huruf b disebut bahwa “Setiap penanam modal berkewajiban: (b) melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan.” Sementara dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas digunakan istilah “tanggung jawab sosial dan lingkungan”, selain itu, dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menggunakan kata “tanggung jawab yang melekat” sementara dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menggunakan kata” komitmen perusahaan” dua istilah ini menurut Mukti Fajar tidak bisa diartikan sama. Sementara jika dilihat dari tujuan kewajiban CSR bagi perusahaan pada dua UU itu, juga terdapat perbedaan, yakni jika dalam UU tentang Perseroan terbatas kewajiban itu ditujukan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat, sementara kewajiban CSR bagi perusahaan dalam UU tentang Penanaman Modal ditujukan untuk menciptakan hubungan yang serasi.
170
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Di sisi lain, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak ada pembatas terhadap bentuk perusahaan dan bidang usahanya, sementara dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya diperuntukkan bagi bentuk perusahaan Perseroan Terbatas khusus yang bergerak di bidang Sumber Daya Alam dan yang terkait, seperti yang tersebut dalam pasal 74 ayat (1) yaitu: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.” Klausu ini menurut Mukti Fajar melahirkan beberapa persoalan, yaitu: (a) diskriminasi bagi perusahaan Perseroan Terbatas dan (b) diskriminasi hanya bagi perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya dan atau terkait saja. Sedangkan perusahaan non Perseraon Terbatas dan tidak bergerak dibidang tersebut dianggap tidak dibebani kewajiban CSR. Selanjutnya apabila CSR hanya dimaknai secara sempit, dalam bentuk memberikan sebagian kekayaan kepada masyarakat, seperti yang diatur dalam Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yakni: “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.” CSR sebagai bentuk kewajiban menyalurkan kekayaan dianggap melanggar hak kepemilikan privat (private property right) dari korporasi. Sebab korporasi sebagai institusi privat mempunyai hak kepemilikan yang dilindungi penuh secara hukum. Hak milik pribadi (private property right) harus dijamin sepenuhnya oleh hukum negara sebagai sesuatu yang sakral (the sacret right of private property). Berbagai masalah dalam penerapan kewajiban CSR bagi perusahaan di atas, mendorong Mukti Fajar untuk mengkaji masalah tersebut dengan tiga fokus utama, pertama, pengaturan CSR di Indonesia; kedua, ruang lingkup tanggungjawab CSR, dan ketiga, pelaksanaan CSR di Indonesia. Untuk mengkaji tiga masalah tersebut, Mukti Fajar menggunakan reflexive law theory. Teori ini menurutnya A. Muchaddam Fahham, Book Review: Tanggung Jawab …
171
digunakan untuk mengatasi kebuntuan atas pendekatan formal terhadap kewajiban perusahaan dalam sistem hukum. Hukum formal yang dimaksud adalah bentuk intervensi negara dalam mengatur persoalan privat melalui aturan perundang-undangan, seperti UndangUndang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Perlindungan Konsuman dan sebagainya. Di samping itu teori ini juga digunakan sebagai pisau analisis untuk memberi solusi atas perdebatan konsep CSR yang berdasar prinsip sukarela (voluntary) atau kewajiban (mandatory). Kajian Mukti Fajar ini mengasumsikan bahwa: (1) penerapan kewajiban hukum (mandatory) terhadap CSR akan lebih efektif dan terukur dibandingkan dengan prinsip sukarela (voluntary). Selain itu juga akan memberikan kemanfaatan, baik kepada masyarakat maupun korporasi dalam jangka panjang; (2) ruang lingkup CSR di Indonesia sebaiknya ditentukan lebih luas dari apa yang selama ini dipahami dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Begitu pula pengaturan CSR di Indonesia sebaiknya merupakan peraturan yang berbeda dengan isu-isu yang telah diatur dalam berbagai Peraturan perundang-undangan yang telah ada; (3) berbagai masalah dalam penerapan CSR di Indonesia mempunyai karakteristik yang khas di antara Perusahaan Swasta Nasional, Badan Usaha Milik Negara dan Multi National Corporation. Karakteristik CSR tersebut meliputi sumber pembiayaan, persepsi atas definisi dalam peraturan, serta bentuk pelaksanaan di lapangan. Perihal inilah yang diperlukan menjadi pertimbangan pengaturan CSR di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan oleh Mukti Fajar dalam kajian ini adalah metode penelitian hukum sosiologis (socio legal research/empirical legal research). Metode ini dipilih karena obyek kajian penelitian adalah mengenai fakta-fakta empiris (reality) dari interaksi antara hukum dan masyarakat. Realitas yang menjadi pengamatan penelitian ini berupa pengaruh penerapan peraturan terhadap perilaku masyarakat dan atau mengenai perilaku masyarakat yang mempengaruhi pembentukan hukum. Ruang lingkup perilaku yang diamati adalah perilaku verbal yang didapat melalui wawancara 172
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
maupun perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan langsung. Penelitian ini juga mengamati hasil dari perilaku manusia berupa peninggalan fisik maupun arsip (dokumen) yang terkait dengan penerapan CSR. Pengaturan CSR di Indonesia Terdorong oleh motivasi bahwa pembangunan berkelanjutan yang hanya dapat dicapai atau dipertahankan manakala tercipta keseimbangan antara aspek-aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup telah melahirkan kesadaran baru di kalangan komunitas bisnis di Indonesia untuk melaksanakan CSR. Karena banyaknya kesenjangan sosial pemerintah kemudian mengambil keputusan untuk mengatur CSR dalam peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa: “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.” Sementara dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 15 huruf b disebutkan bahwa: “Setiap penanam modal berkewajiban: (b) melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Dalam penjelasan Pasal 15 huruf b tersebut dinyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat”.
A. Muchaddam Fahham, Book Review: Tanggung Jawab …
173
Pengaturan CSR dalam peraturan perundang-undangan itu ditolak oleh para pelaku usaha di Indonesia. Pada tanggal 16 Juli 2007 Kadin Indonesia, Emiten Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia dan 10 pelaku usaha dari beragam sektor membuat pernyataan bersama yang menuntut pembatalan kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas yang sudah berada tahap final pembahasannya di DPR. Upaya penolakan tersebut berpuncak pada pengajuan surat permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi untuk pengujian Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang diajukan secara resmi oleh Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI), Dewan Pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan Pengurus Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) (disebut dengan para pemohon) pada tanggal 28 November 2008, dengan nomor register 53/PUUVI/2008. Dalam surat Permohonan Judiacial Review itu, para pemohon mengatakan bahwa Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: (1) Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepatian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” (2) Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif.” (3) Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Selain itu, para pemohon juga mengatakan bahwa eksistensi Pasal 74 dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 22A UUD 1945 junto Pasal 5 huruf c dan e 174
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu antara lain: (1) Perumusan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dan Penjelasannya tidak didukung oleh Naskah Akademik; (2) Perumusan Pasal 74 dan Penjelasannya mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang bersifat materiil dimasukkan tanpa landasan yang jelas pada UU No. 40 Tahun 2007 yang notabene mengatur tentang mekanisme pembentukan Perseroan Terbatas (hukum formil), sehingga tidak ada kesesuaian antara jenis dan materi muatan dalam UU a quo (melanggar asas kesesuaian antara jenis dan materi); (3) Pasal 74 UU Nomor 40 Tahun 2007 mengenai TJSL, dalam proses pembentukannya telah mengesampingkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yaitu asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Para pemohon mengajukan judicial review karena merasa hak konstitusionalnya dirugikan, ada sembilan hal yang ditunjuk oleh para pemohon untuk membuktikan hal tersebut, enam diantaranya adalah sebagai berikut: pertama, Corporate Social Responsibility (CSR)/tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) merupakan suatu prinsip yang bersifat etis dan moral yang dinormakan oleh Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 UU a quo sehingga menjadi bersifat kewajiban dan memiliki sanksi bagi yang tidak menjalankan Pasal dimaksud. Tindakan tersebut menyebabkan Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang memberi norma pada sifat etis dan moral pada CSR/TJLS sehingga menjadi bersifat wajib dan harus dianggarkan serta diperhitungkan sebagai biaya operasional korporasi dengan pemberian sanksi; kedua, tindakan tersebut di atas juga menimbulkan ketidakpastian dan contradictio in terminis karena menyebabkan terjadinya ketidakjelasan antara tanggung jawab yang didasarkan atas karakter sosial (social responsibility) yang bersifat voluntary dengan kewajiban yang bersifat hukum (legal obligation) yang memounyai daya memaksa; ketiga, pemberian norma pada prinsip CSR/TJSL dengan sifat wajib juga telah menimbulkan perlakukan yang tidak sama di muka hukum dan juga mempunyai tendensi sebagai tindakan yang dapat A. Muchaddam Fahham, Book Review: Tanggung Jawab …
175
dikualifikasi bersifat diskriminatif karena perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam sudah menjalankan kewajibannya berdasarkan Undang-undang sektoral, tetapi masih diwajibkan untuk menganggarkan TJSL, sedangkan terhadap perusahaan-perusahaan lain tidak diwajibkan untuk melaksanakan TJLS. Demikian juga terhadap perusahaan-perusahaan lain, yang tidak tunduk pada UU Perseroan Terbatas tidak diwajibkan; Keempat, Pasal 1 angka 3 UU a quo menyatakan bahwa “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan, untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan linkungan yang bermanfaat.” Tetapi Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2) UU a quo merumuskannya menjadi kewajiban bagi perseroan untuk menjalankan TJSL serta wajib menganggarkan dan memperhitungkannya sebagai biaya perseroan kewajiban menganggarkan biaya TJSL justru juga menimbulkan kerancuan pengertian TJSL, karena TJSL didefinisikan seolah-olah hanya kegiatan yang harus mengeluarkan biaya saja. Ada begitu banyak kegiatan TJSL yang tidak menimbulkan konsekuensi biaya bahkan dapat menghemat biaya, seperti upaya penghematan energi dan air, pemberdayaan masyarakat dengan pelibatan dalam lembaga keuangan mikro, dan memperlakukan karyawan dengan lebih manusiawi. Kelima, CSR/TJSL yang dinormakan menjadi kewajiban menciptakan atau setidaknya potensial menciptakan penyelewengan (sikap dan perilaku koruptif), tidak hanya pada birokrasi lebih jauh meluas di kalangan masyarakat umum, karena TJSL hanya ditafsirkan secara sempit saja, yaitu sebagai ganti kerugian, bukan sebagai biaya untuk membangun hubungan harmonis jangka panjang antara perusahaan dengan stakeholder. Keenam, CSR/TJSL sebagai kewajiban merupakan tindakan penyeragaman dan potensial bersifat artifisial karena hanya dilihat dari perspektif pemenuhan prasyarat legal formal. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip demokrasi ekonomi terutama frasa “efisiensi berkeadilan” karena TJSL tiap perusahaan berbeda-beda tidak bisa 176
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
disamaratakan, dan secara relatif yang paling memahami, apakah suatu program TJSL bermanfaat bagi steakholder adalah pelaku usaha sendiri, sehingga pemerintah tidak pada posisi melakukan tindakan penyeragaman kebijakan TJSL dan bahkan menjadikannya sebagai suatu kewajiban. TJSL tidak hanya sekedar dan berarti memberi pemberian ganti, tetapi membangun hubungan harmonis perusahaan dengan lingkungannya itu bisa berwujud beragam program, seperti: membangun sekolah, rumah sakit, tempat pendidikan atau upaya lain mensejahterakan lingkungannya. Itu sebabnya, besar kecilnya dan peruntukan TJSL tidak dapat dibuat serupa dan ditentukan keseragamannya. Dengan demikian, TJSL sebagai kewajiban yang legal normative bertentangan dengan esendi “efisiensi berkeadilan.” Surat permohonan judicial review tersebut disidangkan oleh Mahkamah konstitusi. Hasil sidang tersebut telah diputuskan pada tanggal 15 April 2009 dengan Putusan Nomor 53/PUU-IV/2008 adalah yang isinya sebagai berikut: (1) menyatakan permohonan Pemohon I, pemohon II, dan Pemohon III tidak dapat diterima; (2) menyatakan permohonan pengujian formil Pemohon IV, Pemohon V, dan pemohon VI terhadap Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta penjelasannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) ditolak; (3) menyatakan menolak permohonan pengujian materiil Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk seluruhnya; (4) menyatakan Pasal 74 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas beserta penjelasannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
A. Muchaddam Fahham, Book Review: Tanggung Jawab …
177
Ruang Lingkup CSR Ruang lingkup CSR dalam buku ini dibagi menjadi tiga, ruang lingkup CSR dalam arti sempit, ruang lingkup CSR dalam arti luas dan ruang lingkup CSR menurut perusahaan-perusahaan di Indonesia. Dalam lingkup yang sempit CSR mencakup antara lain: (1) tanggung jawab sosial kepada karyawan; (2) tanggung jawab sosial kepada steakholder, yakni pihak-pihak eksternal yang ikut mempengaruhi jalannya korporasi. Pihak-pihak tersebut baik langsung mapun tidak mempunyai hubungan hukum baik secara kontraktual maupun karena undang-undang dengan korporasi, yaitu konsumen dan mitra kerja; (3) Tanggung Jawab Sosial kepada Masyarakat Umum. Ruang lingkup CSR pada masyarakat umum berupa pembangunan masyarakat lokal (masyarakat yang ada di sekitar korporasi) dan atau masyarakat umum (sekelompok masyarakat yang tidak mempunyai hubungan secara kontraktual dengan korporasi. Masyarakat umum bukan termasuk konsumen, karyawan atau pihak ketiga lainnya). Pembangunan masyarakat (community development) dalam konteks CSR diukur berdasarkan kenaikan taraf kualitas hidup dari masyarakat, dengan mengacu pada nilai keadilan dan kesetaraan atas kesempatan, pilihan partisipasi, timbal balik, kebersamaan. Community development dilakukan dengan pemberdayaan dan juga termasuk dalam bidang pendidikan. Persoalan sosial sebagai sasaran community development, menurut Mukti seyogyanya berpijak pada beberapa bagian konsep Millenium Development Goals dari United Nations Develompent Program (UNDP MDGs), seperti kita ketahui terdapat 8 program dari UNDP MDGs, yaitu: (a) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (b) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (c) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (d) menurunkan angka kematian anak; (e) meningkatkan kesehatan ibu; (f) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya; (g) memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan (h) membangun kemitraan global untuk pembangunan. Ruang lingkup CSR dalam arti luas meliputi antara lain: (1) tanggung jawab sosial terhadap lingkungan: (2) tanggung jawab sosial 178
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
terhadap hak asasi manusia; (3) tanggung jawab sosial perusahaan dan anti korupsi. Pandangan perusahaan-perusahaan di Indonesia tentang ruang lingkup CSR tidak seragam, ada yang memandang CSR sebagai kegiatan philantropy atau kedermawanan sosial dari korporasi untuk membantu orang miskin. Ada juga perusahaan yang memandang CSR sebagai keikutsertaan korporasi dalam pembangunan bangsa bersamasama pemerintah. Bagi Bakrie & Brothers misalnya, CSR bukan hanya merupakan aksesories, pelengkap atau sekedar kepatutan, namun lebih jauh dari itu harus menjadi komitmen dalam bisnis yang dijalankan. Karena itu, ruang lingkup CSR bagi Bakrie & Barothers mencakup empat hal, yaitu: (1) tanggung jawab sebagai warga negara yang baik; (2) tanggung jawab etis; (3) tanggung jawab dalam menjunjung hukum dan (4) tanggung jawab terhadap nilai ekonomi dari bisnis. Sementara bagi Medco Energi, CSR merupakan bagian tak terpisahkan dalam upaya pencapaian keberlanjutan usaha. Ruang lingkup CSR Medco Energi lebih difokuskan pada masyarakat, baik dalam bentuk pemberian bantuan (charity) maupun pemberdayaan masyarakat (community development) yang bertujuan untuk: (1) menyediakan akses untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kehidupan spiritual; (2) membantu perbaikan infrastruktur yang menunjang peningkatan kualitas pendidikan dan kehidupan spiritual; (3) mengurangi tingkat kemiskinan dan pengangguran dengan memberdayakan usaha kecil dan; (4) memberi bantuan kemanusiaan bagi masyarakat korban bencana alam. Dari tujuan inilah kemudian dibuat program CSR yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Problem dalam Penerapan CSR Mukti Fajar menjelaskan bahwa banyak problem yang lahir dalam penerapan CSR di Indonesia. Sedikitnya ada dua problem mendasar dalam penerapan CSR tersebut, pertama, ranah regulasi, dan kedua, ranah sumber pembiayaan. Dalam ranah regulasi problem yang A. Muchaddam Fahham, Book Review: Tanggung Jawab …
179
mengemuka antara lain adalah: (1) tidak adanya kejelasan definisi apa yang dimaksud dengan CSR; (2) ketidakjelasan definisi itu melahirkan kerumitan dalam pelaksanaan dan penegakan hukum; (3) regulasi CSR sebaiknya berbasis sistem pasar. Sementara dalam ranah sumber pembiayaan CSR melahirkan problem antara lain; (1) apakah pendanaan CSR bagian dari anggaran operasional perusahaan; (2) pembiayaan CSR diambil dari sebagian keuntungan perusahaan; (3) intensif pajak bagi perusahaan yang melaksanakan CSR. Praksis CSR di Indonesia Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menurut Mukti Fajar belum begitu jelas mengatur bentukbentuk pelaksanaan CSR. Karena itu, tidak ada keseragaman program CSR yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Dari sisi penamaan program juga sangat beragam. Ada yang menggunakan istilah community development, community empowerment, sustainability development, program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL), program kepedulian sosial, ada juga yang secara tegas menyebut tanggung jawab sosial perusahaan. PT Unilever misalnya melalui Yayasan PT Unilever Peduli melaksanakan program antara lain: (1) Program pendidikan kesehatan terpadu di Jawa Timur dan Yogyakarta, bekerja sama dengan Lifebuoy dan Pepsodent; (2) Program-program untuk menghubungkan usaha kecil dan menengah dengan lembaga keuangan; (3) Road Show pencegahan HIV/AIDS di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta bekerja sama dengan YCAB, BNN, dan Radio Prombors. PT Unilever Indonesia bekerja sama dengan enam perusahaan besar lainnya di Indonesia membentuk koalisi yang dinamakan IBCA. Koalisi ini bertujuan untuk memerangi penyebaran HIV/AIDS. Sementara PT INCO (International Nickel Indonesia) melaksakan program CSR mengenai beberapa isu antara lain: (1) Pendidikan; (2) Kesehatan; (3) Pengembangan Ekonomi Lokal; (4) 180
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
Pengembangan Pertanian dan Perikanan; (5) Menumbuhkan Pemahaman Melalui Seni, Budaya, dan Kampanye Perdamaian; dan (6) Bantuan Tanggap Darurat. Penutup Dari berbagai kajiannya tentang CSR dalam buku ini, Mukti Fajar kemudian menyimpulkan bahwa: pertama, CSR adalah suatu aktifitas korporasi yang dapat diwajibkan oleh hukum. Kedua; ruang lingkup tanggung jawab sosial sebaiknya tidak perlu dibatasi; ketiga, pelaksanaan CSR menghendaki kejelasan pengaturan dari sisi regulasi, sehingga dapat dijadikan acuan yang efektif dan tidak menimbulkan multi-persepsi, di sisi lain, kewajiban CSR tidak bisa dimaknai sempit sebagai bentuk penyaluran sebagian kekayaan perusahaan kepada masyarakat. Banyak model CSR yang tanpa menggunakan dana, seperti merekrut karyawan dari masyarakat sekitar, menjalin kemitraan dengan pengusaha atau petani lokal, mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, memproduksi barang yang tidak membahayakan konsumen dan lingkungan. Jika CSR dimaknai sebagai penyaluran dana kepada masyarakat, justru akan menjadi hambatan bagi perusahaan kecil atau perusahaan yang belum mendapatkan keuntungan. Selanjutnya untuk mendorong iklim usaha yang kondusif, pemerintah harus mendorong korporasi untuk melaksanakan CSR dengan memberikan pengurangan pajak. Hal ini akan mengurangi beban perusahaan dan tidak bertentangan dengan prinsip efesiensi. Di samping kesimpulan di atas, Mukti Fajar juga merekomendasikan beberapa hal berikut: (1) sebaiknya pemerintah segera mengamandemen Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terutama ketentuan-ketentuan yang secara khusus mengatur CSR. Seyogyanya dalam UU tersebut CSR diberi makna yang sama agar tidak menimbulkan kebingungan para pelaku usaha dalam memahami CSR; (2) pemerintah segera membuat peraturan pelaksanaan CSR dalam bentuk Peraturan Pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang, agar dapat dijadikan acuan bagi A. Muchaddam Fahham, Book Review: Tanggung Jawab …
181
korporasi untuk melaksanakan CSR secara efektif, tepat, dan terukur; (3) dalam Peraturan pemerintah tersebut sebaiknya mengatur hal-hal penting berikut: (a) memberikan kewajiban bagi setiap korporasi untuk melaporkan kegiatan CSRnya kepada masyarakat secara berkala dalam bentuk reporting; (b) memberikan insentif dalam bentuk pengurangan pajak bagi korporasi yang melaksanakan CSR; (c) Memberikan keleluasaan bagi korporasi mengenai bentuk pelaksanaan CSR, yang menyesuaikan dengan kemampuan korporasi serta situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi. Akhirnya, harus dikatakan bahwa dari sisi materi yang dikaji buku ini penting untuk dibaca oleh para pengkaji hukum dan pemerhati CSR, meskipun begitu tidak berarti buku ini terlepas dari kekurangan, di antara kekurangan itu adalah: adanya kesalahan ketik (hal. 269), adanya hasil pengumpulan data yang tidak diedit (hal. 332), adanya kata yang hilang (hal. 3). Karena tiga hal itu, dapat dikatakan bahwa buku ini tampaknya diterbitkan secara tergesa-gesa dan belum melalui proses editing yang sempurna. Tapi bukankah memang tidak ada buku yang terbit sempurna? Selamat membaca!
182
Aspirasi Vol. 2 No. 1, Juni 2011
BIODATA PENULIS Achmad Muchaddam Fahham, Peneliti Muda bidang Agama dan Masyarakat. Kandidat Doktor Ilmu Agama Islam Universitas Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Magister Filsafat Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sarjana Syari’ah (Hukum Islam) IAIN Sunan Ampel Surabaya. Mengawali karirnya sebagai dosen di lingkungan PTAIN Kementerian Agama RI. Email:
[email protected] Anih Sri Suryani, calon peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. Magister Teknik Lingkungan ITB, minat khusus pada bidang Kebijakan Lingkungan, Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim. Email:
[email protected] Dumilah Ayuningtyas, ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Administrasi Rumah Sakit (PS KARS) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menjadi staf pengajar di Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan sekaligus peneliti pada Pusat Studi Adminisitrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI. Menyelesaikan Magister PS KARS FKM UI dan program doktor ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia dengan fokus studi Politik Kesehatan. Bidang Peminatan dan Kepakaran adalah Politik Kesehatan, Kebijakan Kesehatan dan Manajemen Perumahsakitan. Email:
[email protected] Elga Andina, calon peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Magister Psikologi Industri dan Organisasi Universitas Indonesia. Isu penelitian yang diminati tentang SDM yang terkait dalam bidang Pendidikan, Organizational Behavior dan Mental Health. Email:
[email protected]
Biodata Penulis
Faridah Alawiyah, calon peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Magister Pengembangan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia. Sarjana Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Minat professional Isu-isu Pendidikan, Kurikulum, Pendidikan dan Pelatihan Guru, Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Tinggi, Pendidikan Luar Sekolah, Pendidikan Luar Biasa, Manajemen Pendidikan, Kebijakan Pendidikan, Administrasi Pendidikan, Teknologi Pendidikan, email:
[email protected] Israr Iskandar, dosen sejarah politik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang. Menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang sejarah di Universitas Andalas dan magister ilmu politik di Universitas Indonesia. Ia tidak hanya mendalami politik dari aspek kesejarahannya, tapi juga pada isu-isu terkini (current issues) politik Indonesia. Email:
[email protected] Lukman Nul Hakim, calon peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Magister Psikologi Sosial dan Magister Psikologi Perilaku Organisasi dari University of Jamia Millia Islamia dan Annamali University di India, mengembangkan minat professional penelitian dalam bidang Studi Kemasyarakatan, SDM, Lansia, Kognisi, Industri dan Organisasi ditinjau dari sudut pandang psikologi. Email:
[email protected] Sulis Winurini, calon peneliti Bidang Kesejahteraan Sosial pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI, Magister Psikologi Industri dan Organisasi. Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Minat penelitian dalam bidang Psikologi, Kinerja, Persepsi, Pembelajaran, Kognisi, Penuaandan Organisasi Industri, Sosial dan Kemasyarakatan. Email:
[email protected]
ii
Biodata Penulis
PEDOMAN PENULISAN
Redaksi ASPIRASI menerima sumbangan naskah asli (belum pernah dipublikasikan di tempat lain) untuk dipertimbangkan pemuatannya. Naskah harus dalam bentuk cetak (print out) dan file digital, ditik dua spasi, panjang tulisan keseluruhan antara 20-25 halaman ukuran A4, disertai abstrak dalam bahasa Inggris dan Indonesia, disertai dengan identitas dan riwayat hidup singkat penulis. Naskah tulisan juga dapat dikirim melalui email
[email protected]. Format penulisan sebaiknya mengikuti aturan teknis dari The American Psychological Association Style, yang memungkinkan penulis untuk tidak menggunakan catatan kaki dan cacatan akhir. Contoh pengutipan: Menurut Hefner (1999: 1) perubahan ekonomi adalah suatu proses moral dan sekaligus material. Pengutipan dapat juga dilakukan dengan cara berikut: Perubahan ekonomi adalah suatu proses moral dan sekaligus material (Hefner, 1999: 1). Sumber internet diperlakukan sebagai catatan kaki penjelas (explanation note), contoh: Penyebab dari pencemaran udara di Jakarta itu sekitar 80 persen berasal dari sektor transportasi, dan 20 persen dari industri serta limbah domestik (Antara, 2009)1 -------------1 “Mengkhawatirkan, Pencemaran Udara di Indonesia,” hhtp://www. antaranews.com/view/?i=124445239&c=WBM&s=PEM, diakses tanggal 20 September 2010. Daftar Pustaka disusun menurut abjad. Pustaka acuan dalam daftar pustaka ditulis dengan urutan: nama belakang dan nama depan penulis, tahun terbit, judul buku, kota terbit dan penerbit. Antarbagian tersebut diberi tanda titik kecuali antara bagian kota terbit dan penerbit, yang dipisahkan oleh tanda titik dua. Judul buku ditulis dengan huruf miring (italic). Contoh: Hefner, W Robert. 1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LKis. Pedoman Penulisan
iii
Naskah akan diseleksi oleh Dewan Redaksi. Jika dianggap perlu, naskah akan disunting melalui konsultasi terus-menerus dengan penulisnya. Penulis dari dalam negeri yang naskahnya dimuat akan diberi honorarium. Untuk terbitan Volume 2 Nomor 1 Juni 2011 naskah diterima redaksi paling lambat 31 Maret 2011, sementara untuk terbitan Volume 2 Nomor 2 Desember 2011 naskah diterima redaksi paling lambat 28 Oktober 2011.
iv
BiodataPenulisan Penulis Pedoman