HASlL DAN PEMBARASAN Morfologi Tanah Hasil pengunatan morfologi tanah di lapangan dikemukakan dalam Tabel Lampiran 7
Tabel tersebut mmunjukkan bahwa horizon pmtrulrsan (Ap) pedon di b a n rendah Pancur Batu formasi Qvbs berwarna cokht kdabu (10YR312) dan ketebalannya &tar cm, sedangkan
14
pedon di dataran tinggi Bandar Baru dm Kuta Gadung horiton
pennukaannya (Ap atau ALZ)berwa~lllcoklat sangat gelap (IOYR 212) sampai hitam (IOYR
-
24) dan ketebalannya berkisar antara 20 40 cm. Fakta ini rnenunjukkan bahwa horizon A
pedon di dataran rendah relatif lebih cerah dan lebii tipis dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi Warna horizon permukaan pedon di dataran tinggi memenuhi syarat sebagai epipedon melanik; sedaogkan wama horizon A pedon di dataran rendah Panarr Batu memenuhi epipedon molik
Warna horizon penrmkaan pedon di dataran tinggi juga menunjukkan tidak terdapat peddaan tegas antara pedon di punggung bukit dan di ctkungan. Namun ketebalannya sangat berbeda dimana horizon permukaan pedon di cekungan (30
- 41 cm)
lebih tebal
-
dibandiigkan dengan pedon di punggung bukit (IS 22 an). Hal ini menunjukkan adanya proses erosi dan kumulisasi yang mengangkut lapisan pamukaan dari lereng atas dan mengendapkannya di cekungan Horizon B pada pedon di dataran rendah Pancur Batu benvarna coklat gelap sampai wklat kekuningan (IOYR 416- 618) sedangkan horizon B pedon di dataran t i n e Bandar Baru dm Kuta Gadung benvarna coklat kuning gelap (IOYR 316-416) sampai coklat cerah
(7,5YR5/8)Horizon B pada pedon di dataran rendah relatif lebih tebal dibandingkan dengan horizon B horizon pedon di dataran thggi. Di dataran rendah Pancur Batu horizon B menunjukkan adanya peningkatan jumlah liat dibandingkan dengan horizon di atas dan di bawahnya sehingga dapat disebut sebagai horizon Bt, sedangkan di dataran tin& tidak ditemukan peningkatan bat pada horizon B secara tegas. Wama horizon B pedon di dataran t i n 3 juga dipengaruhi oleb topografi. Horizon B pedon di cekungan di dataran tin@ Kuta Gaduq berwama kuning muda (2.5YR 6/8) sampai coklat pucat (IOYR 713) sedangkan di Bandar Baru memperlihatkan warna cowat kuning gelap (IOYR 414) sampai coklat kuning kelabu (IOYR 516), coklat kekmingan
(IOYR 518) sampai kelabu (IOYR 511). Gejala ini menunjukkan bahwa tejadi perubahan warna horizon B dari pedon di punggung bukit ke pedon di cekungan: coklat kekuningan=> coklat kekuningan pucat => kelabu. Perubahan warm tanah tersebut, baik secara vertikal mau pun horizontal berhubungan dengan kandungan bahan organik, jumlah dan bentuk oksida besi, dan kandungan air tanah.
Wama hitam pada horizon permukaan (Ap atau All) d i m h i oleh kandungan bahan organik yang sangat tinggi. Kandungan C-organikpada horizon permukaan pedon di dataran tin& Kuta Gadung dan Bandar Baru mencapai 9,86 *3,84% dan pedon di dataran rcndah Pancur Batu sebanyak 3,77 % (Tabel Lampiran 10) Warna coklat gelap-coklat kekuningan (IOYR 414
- 416) pada horizon
AB dan B
disebabkan oleh menurunnya kandungan bahan organik clan meningkatnya jumlah besi (Fed) dibandingkan dengan horizon A (Tabel Lampiran 10). Akibatnya nisbah bahan organik terhadap oksida-besi semakin kecil sehingga pengaruh oksida-besi menjadi lebih dominan; sedangkan pengaruh bahan organik semakin berkurang. Dominasi pengamh besi-oksida mengakibatkan warna tanah cenderung ke arah warm merah-kuning. Hal ini lebih dominan terjadi pada pedon di dataran rendah dibandingkm dengan pedon di dataran tinggi. Wama coktat kekuningan (IOYR 516, 518, 618) pada horizon BC dan C (pedon KG,,
KG2, BB3, BB*,) menunjukkan adanya proses hictaiasi tenhaclap oksida besi. Hal ini dapat terjadi karena tingkat kelembaban tanah (kandungan air alami) relatif tin& (Tabd Lampiran 9). Proses hidratasi mengakibatkan tehentuknya oksida besi berhidrat sehingga terjadi
perubahan warna merah menjadi &ng Eez03 + H20
(Buol et al. 1982) dengan reaksi sebagai berikut:
- > F-03.
(merah)
x W ..................
(1)
Funing)
Proses hidratasi relatif lebih kuat pada tanah di dataran tinggi dibandingkat~dengan di dataran rendah. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan air tanah di dataran tinmi lebih tinggi dibandingkan dengan tanah di dataran rendah. Di samping itu, pengaruh bahan organik pada horizon BC dan C sanga! kecil karena jumlahnya yang relatif rendah sebesar 3,40
(i 1%);
sedangkan jumlah besi (Fed) (Tabel Lampiran 10)
* 1.S2% tergolong sangat tin&
(Blackmore el d 1987). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pengaruh besi sangat dominan dan pengaruh bahan organik rebtif kecil.
Pedon di dataran tinggi yang terletak di kaki lereng (KG3 dan BBI) ditemukan horiwn BC berwama kelabu (IOYR 511). Gejala ini menunjukkan bahwa pada horizon BC telah
wadi
proses reduksi senyawa-senyawa besi. Proses tersebut dapat terjadi
akibat
kandungan air tanah yang relatif tinggi (Tabel Lampiran 9) dan kemungkinan bertahan relatif lama. Proses perubahan senyawa besi akibat reduksi (Tan, 1982, Tejoyuwono dan Supamowo. 1978) adalah sebagai berikut, F@3
> 2Fe0 + Hz0
+ 2H'
<
+ 2H'
<========== > ~ e ~+ ' Hz0
....................... (2)
(merah)
FeO
+ 2 6 ............. (3)
Perubahan warna tanah tersebut merupakan akibat pembahan bentuk feri (merah) menjadi fero (kelabu). Namun uji dengan aadipyidyl 2% di lapangan menunjukkan reaksi negatif yang berarti jumlah Fe2' masih sangat rendah. Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa proses reaksi oksida besi pada pedon di cekungan (BB, dan KG,) baru mencapai tahap reaksi seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 1 (hidratasi) dan persamaan 2 (reduk.6). Pada formasi Qvbj horizon permukaan pedon di dataran rendah Sei Mencirim bewama kelabu sangat gelap sampai coklat sangat gelap (IOYR 2J2, 311, 312). Pedon pada ketinggian 100 m dm1 di Namuterasi, 200 m dm1 di Simpang Sipirok, clan 550 rn dm1 di Tanjung Gunung warna horizon Ap berkisar antara kelabu-sangat-gelap (IOYR 311) dan
hitam (IOYR Wl). Fakta tersebut menunjukkan bahwa horizon permukaan pedon di dataran tinggi relatif lebih gelap dibandingkan dengan pedon di dataran rendahnya. Hal ini disebabkan
oleh
kandungan
bahan
organik
lebih
tinggi
pada
pedon-pedon
Namuterasi,Simpang Sipirok, dan Tanjung Gunung (8,6W 4,42%) dibandingkan dengan pedon di Sei Mencirim (4,61 - 5,23) (Tabel Lampiran 10). Ketebalan horizon permukaan juga menunjukkan adanya perbedaan. Ketebalan horizon permukaan dataran rendah Sei Mencirim berkisar antara 15-18 cm; di Namuterasi berkisar antara 28-3 1 cm; di Simpang Sipirok sekitar 22 cm, dan di Tanjung Gunung berkisar antara 20-28 cm. Ketebalan horiwn tersebut cenderung meningkat dari pedon dataran rendah ke pedon yang terletak lebih tinggi formasi Qvbj. Horizon permukaan pedon dataran rendah Sei Mencirim juga lebih tebal daripada pedon dataran rendah Pancur Batu tetapi lebih tipis daripada pedon di dataran tinggi pada formasi Qvbs
Horizon B dan BC pedon dataran rendah Sei Mencirim berwarna kuning kecoklatan (IOYR 416-516) sampai coklat kekuningan (IOYR 5Q); sedangkan horizon B padon di dataran tinggi berwarna coklat-kekuningan (I OYR 518) m p a i coklat kuning cerah (IOYR 614). Pada tanah sawah di Namuterasi horizon C berwanu kelabu gelap (5Y4/1), kelabu-
coktatcerah (IOYR 612) sampai kuning pcat (5Y716) Warna tanah pedon di dataran rendah Sei Mencirim sangat dipengaruhi oleh topografi. Horizon Ap atau All pada pedon di punggung bukit (SMI dan SMs ) dan lereng tengah (SM2) berwama kelabu sangat gelap sampai wklat sangat gelap (IOYR W2, 311, 312);
sedangkan pedon di cekungan bawarna coklat kuning gelap (1 0YR3/4) (SM,), dan kelabu gelap (5Y3/1-312) (SW). Horizon bawah (B dan BC) pedon di punggung bukit (SMI dan SMS) memperlitkan kuning kecoklatan (IOYR 416-516); sedangkan wama horizon bawah pedon di cekungan (SM,.SM.)
adalah wklat kekuningan (IOYR 512). coklat kelabu (IOYR
6/3), hingga kelabu (5Y -1OYR 711). Fakta di atas menunjukkan bahwa di dataran rendah formasi Sei Mencirim Qvbj terdapat perubahan warm yang tegas antara pedon di punggung bukit dengan pedon di cekungan, baik pada horizon pamulcaan mau pun horizon bawah. Perubahan wama tanah dari punggung bukit ke cekungan dapat diwsun sebagai berikut: (1) horizon Ap dan All pedon di punggung bukit adalah coklatkelabu sangat gelap (SMI.SM~SMS) => kelabu gelap (SW) => coklat kehningan (SM3) dan (2) horizon B dan BC adalah coklat kekuningan gelap (SMl,SMrSM5) => coklat kekuningan
(SM3) => kelabu (SM3,SW) Pededaan wama horizon Ap antara pedon di punggung bukit (SMI,SM5) dengan pedon di cekungan berkaitan dengan kandungan bahan organik dan air tanah. Kandungan Corganik (Tabei Lampiran 10 ) horizon All atau Ap pedon di punggung bukit (SM1,SMs) lebih tinggi (4,24*1,04%)
dibandingkan dengan C-organik (1,39
* 0.82%) pedon di
cekungan (SMJ,SW). Oleh karenanya, horizon AII atau Ap pedon di punggung bukit (SMl.SM5) lebih gelap dibandingkan dengan pedon dicekungan (SM3,S&). Perubahan wama horizon B dari coklat pada pedon di punggung bukit menjadi kelabu pada pedon di cekungan disebabkan oleh pengaruh air tanah terhadap pedon di cekungan relatif lebih h a t sehingga tq.adi reduksi Fe 011) menjadi Fe (11). Muka air tanah pedon di cekungan sangat dangkal,
* lm(Tabel Lampiran 6). Pengaruh air tanah tedibat dalam proses
reduksi seperti yang dikemukakan pada persamaan 2 dan 3. Intensitas proses reduksi pada
pedon-pedon ini sangat kuat di lapisan horizon paling bawah pada kedalaman 2 74 cm pada pedon SM, dan 2 40 cm pada pedon SM4 .
dan berkurang semakin ke atas. Akibatnya
adalah di bagian paling bawah berwarna kelabu-cerah tebih homogen tanpa karatan, sedangkan di bagian atas benvarna coklat kelabu dan terbentuk karatan berukuran halusnedang Proses ini disebut glei.wi dan horizon yang terbentuk disebut horizon glei (Bg) Selain perubahan warna tanah, proses ini juga mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah oksida besi bebas (Mohr dan van Baren 1954). Hal ini sesuai dengan analisis jumlah besi (Fed) yang menunjukkan penurunan baik dari horizon B pedon di punggung bukit mau pun
horizon permukaan ke horimn Bg pedon di cekungan (SM3,SW) (Tabel Lampiran 10). Proses reduksi senyawa besi horizon Bg dapat dianggap telah mencapai tahap sempurna; artinya, semua senyawa besi feri telah direduksi menjadi ~ e ~ Nilai '. chroma horizon Bg pedon di cekungan (SM3,SN) adalah 1 dan value bernilai 7 yang memenuhi syarat sebagai deplesi re&
(redox depletion) dan penciri regim kelembaban tanah aquic.
Sementara pada pada kedalaman
< 74 cm (horizon Bw dan Bgl), proses reduksi kurang
intensif karena semakin jauh dari pengaruh air tanah sehingga masih ditetnuh dnunulasi karatan benvarna c o k l a t - k d a n yang disebut sebagai km?s?nha-?i re&
(redox
concentration) (USDA, 1994).
Uji lapangan dengan menggunakan aa-dipyridyl, horizon Bg pedon di cekungan Sei Mencirim memperlihatkan reaksi positif yang sangat kuat (Tabei Lampiran 7) yang mempertegas ciri aquic. Gejala ini mernberi petunjuk bahwa konsentrsi ~e~ telah berada pada tingkat yang sangat tinggi (USDA, 1994) sebagai hasil reduksi senyawa feri menjadi fero. Atas dasar fakta ini maka proses reduksi pedon di cekungan (SM,. S*)
tea
mencapai tahapan reaksi seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 3. Pedon-pedon Namuterasi merupakan areal persawahan dengan sistim irigasi teknis. Kejenuhan tanah dengan cara ini disebut anthric saturation (USDA, 1994). Wama tanah horizon B adalah coklat-kekuningan sampai wklat kuning m a h dan kelabu gelap merupakan petunjuk adanya proses hidratasi dan reduksi akibat pengaruh air irigasi, terutarna sawah yang telah digunakan
* 70 tahun. Gejala ini menuyukkan adanya proses
gleim'. Dibandingkan dengan pedon di cekungan dataran rendah Sei Memhim, tingkat reduksi (gleisasi) tanah Andisol yang disawahkan di Namuterasi relatif lebii lemah sehingga
wama kuning-coklat sampai kuning masih mendominasi. Karatan diternukan dalam jumlah sedikit sampai sedang. Tingginya intensitas reduksi pada pedon di cekungan Sei Mencirim dibandingkan dengan pedon di Namuterasi disebabkan oleh pen&
air tanah pada pedon Sei Mencirim
bersiiat alami (natural); sedanglcan pedon Nmuterasi bersifat buatan (attiticid). Pada ktadaan dami, diperkirakan, prom reduksi telah terjadi sjak bahan induk berada pada lingkungan tersebut dan berlangsung secara terus menerus schingga proses reduksi telah mencapai maksimaVkeseimbangan, terutama pada horizon paling bawah (Bg). Sementara
areal persawahan (kondisi buatan) barn brmmur
* 40 tahun (NTI) dan 70 tahun (NT2).
Penggenangan dengan sistim irigasi dilakukan secara terputus karena disesuaikan dengan musim tanam padi sehingga perubahan yang mungkin terjadi berlangsung relatif lambat. Uji dengan aa-dipyi&I tanah sawah di lapangan juga memberikan hasil positif (Tabel Lampiran 7 ) sebagai bukti telah terjadi proses reduksi. Namun tidak sesensitif reaksi seperti pada pedon di cekungan Sei Mencirim. Hal im menunjukkan bahwa jumlah ~ e mash ~ ' relatif rendah. Berdasarkan gejala ini dapat dinyatakan bahwa r&~ yang dominan baru mencapai tahapan reaksi seperti yang ditunjukkan oleh persamaan 1 dan 2. Pada transek Tanjung Gunung, horizon A dan AB berwarna coklat sangat gelap ( I OYR 2/2-313) dan horimn bawah berwarna coklat kuning gelap sampai kuning kecoklatan (IOYR 416
- 618) baik pedon di punggung bukit (TG2) mau pun
di kaki lereng m3).Fakta ini
menunjukkan bahwa faktor topograti di Tanjung Gunung kurang berpengaruh terhadap warna tanah secara tegas. Hal im dapat disebabkan oleh drainase pada transek i~ lebih
lancar karena horizon C terdiri dari
campuran batuan sehingga air dapat bergerak
melalui celah batuan tersebut. Kelancaran drainase didukung pula oleh dalamnya muka air tanah (* 6m) (Tabel Lampiran 6) yang berarti tingginya kapasitas intiltrasi. Peristiwa ini mernungkinkan proses hidratasi dan reduksi terhadap oksida besi kurang intensif. Horizon permukaan pedon di cekungan Tanjung Gunung tertimbun oleh bahan tererosi
setebal
* 7 cm. Peristiwa i~
mengakibatkan terbentuknya
horizon At1 dan horizon
permukaan menjadi horizon tertimbun (Ab). Gejala ini menunjukkan bahwa proses erosi dan
kumul'isasi sangat intensiitejadi di dataran tinggi Tanjung Gunung. Karatan ditemukan lebii banyak pada pedon di datarau rendah, baik pada formasi Qvbs (pedon Pancur Batu) rnau pun formasi Qvbj (SM) dibandingkan dengan di dataran
tinggi (Tabel Lampiran 6 ). Di dataran tinglg, karatan ditemukan lebih banyak pada pedon di cekungan (BBI dan KG,) Pada formasi Qvbj, karatan juga ditemukan dalam jumlah sedikit sampai sedang pada tanah yang disawahkan (NT). Karatan tersebut umumnya berada pada lapisan bawah. Di dataran rendah ditemukan karatan berwama hitam (IOYR 2.11) dan cow-kuninggelap (IOYR 416) pada pedon Pancur Batu dan Sei Mencirim. Sedangkan di dataran tin@ umumnya karatan benvama coklat-kekuningan yang merupakan senyawa oksida-besi. Karatan hitam merupakan senyawa Mn yang menimbulkan reaksi mendidih dalam H a 15%; sedangkm karatan coklat kekuningan adalah senyawa oksida-besi. Karatan Mn
berada pada posisi lebih dalam dibandingkan dengan karatan Fe. Hal ini disebabkan oleh mobilitas M n lebih tinggi dibandiigkan dengan Fe (Krauskofl, 1983) sehingga Mn lebih cepat bennigrasi ke lapisan bawah karena proses pencucian.
Bahan kasar adalah bahan yang baukuran lebih dari 2 mm.Bahan-bahan tersebut dapat berupa kerikil, batuan berukuran sedan% dan batuan besar. Pada formasi Qvbs bahan kasar
dijumpai berupa batuan yang telah mulai melapuk sebagian pada pedon di Bandar Baru dan Kuta Gadung dalam horizon BC clan C; sedangkan pada pedon dataran rendah Pancur Batu, bahan kasar hanya ditemukan berupa kerikil halus dalamjurnlah sangat sediit. Pada formasi Qvbj, bahan kasar umumnya terdiri atas kerikil halus, batuan melapuk, dan batuan-batuan berukuran besar. Kerikil halus clan bahan melapuk dijumpai dalam jumlah sedikit pada pedon Sei Mencirim
dan pedon Namuterasi. Batuan berukuran besar
ditemukan pada pedon SP dan TG. Jumlah batuan tersebut meningkat dengan semakin tin& tempat. Hal ini sesuai dengan pendapat van Bemmelen (1970) bahwa bahan erupsi
semakin halus dengan semakin jauhnya dari pusat erupsi. Bahan tanah pada ketinggian 550
m dm1 f o m i Qvbj w o n TGI) hmya mengisi celah-ce1ah antar batuan-batuan yang besar. Jumlah batuan cukup banyak sehingga kelas ukuran butir sangat memungkinkan sebagai skeletal hingga hgmental. Gejala ini rnenunjukkan bahwa tanah pada formasi Qvbs telah berkembang relatiflebih lanjut dibandingkan dengan tanah pada formasi Qvbj. Pada fonnasi Qvbj, horizon C pada pedon di Sei Mencirim berupa bahan yang relatif keras tetapi rapuh dan banyak mengandung pasir. Sifat bahan yang serupa juga ditemukan pada ketinggian 100 m dm1 (pedon NT). Sedangkan pada ketinggian 200 m dml w o n
SP) dm ketinggian 400
- 550 m dm1 w
o n TG), horizon C tercampur dengan batuan
sehingga secara fisik lebii heterogen. Jumlah batuan meningkat dengan semakin tingginya 59
tempat karena sanakin dekat dengan pusat erupsi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Van Bemmelen (1970) bahwa ukuran partikd bahan akan semakin halus dengan semakin jauhnya jar& dari pusat erupsi. Atas dasar ini maka, bahan i d&yang ditunjukkon oleh horizon C akan &in
kasar dengan d
n tingginya tempat (formasi
Qvbj) h e m semakin dekat ke pusat erupsi (Gn.Sibayak).
Berdasarkan urainn di atas dapat disimpulkan bahwa: (I) horizon A tanah dataran rendah Sei Mencirirn formasi Qvbj berwarna relatif lebih cerah dan lebih tipis dibandingkan
dengan pedon di dataran tinggi tetapi lebih gelap dm tebal dibandingkan dengan pedon dataran rendah Pancur Batu fonnasi Qvbs, (2) wama horizon B tanah di dataran rendah Sei
Mencirirn dipen@
oleh keadaan air tanah sehingga terbentuk horizon @ei yang
memenuhi regim kelembaban aquic; sedangkan di dataran tinggi tidak ditemukan horizon glei, (3) jumlah karatan pedon dataran rendah relatif lebih banyak dibandiigkan dengan
pedon dataran tinggi, (4) horizon permukaan pedon di punggung bukit lebih tipis
dibandingkan dengan pedon di cekungan akibat proses erosi dan kumulisasi yang lebih intensif di dataran tinggi daripada di dataran rendah, dan (6) perkembangan tanah di dataran
rendah lebih lanjut dibandingkan dengan tanah di dataran tinggi.
Susunan Mineral Fraksi Pasir
Susunan mineral fraksi pasir total dikemukakan dalam Tabel 6. Tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah mineral mudah lapuk (MML) terutama amfibol, hiperstin, plagioklas, dan gelas volkan dan mineral tahan lapuk terutama kwarsa cukup t i n e . Pada formasi Qvbs susunan mineral tersebut menunjukkan adanya kesamaan antara pedon di
dataran rendah Pancur Batu dengan pedon di dataran tin& Bandar Bary Kuta Gadung, dan Kaban Jahe. Namun jumlah MML pedon di dataran rendah relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi. Pada formasi Qvbj menunjukkan jumlah dan susunan mineral tidak berbeda secara tegas antara pedon di dataran rendah Sei Mencirim dengan pedon di Namuterasi, S i p a n g Sipirok, dan Tanjung Gunung. Jumlah kwarsa baik pedon di dataran rendah mau pun di dataran tinggi formasi Qvbs dan Qvbj cukup tinggi. Selain itu juga ditemukan hiperstin pada semua pedon yang diteliti.
Tmgginya jumlah kwarsa
menunjukkan bahan induk tanah tersebut bersifat dasit,
sedangkan hiperstin mencirikan bahan andesit (Mohr dan van Baren, 1954). Jumlah kwarsa relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah hiperstin pada semua pedon.
Berdasarkan susunan mineral dan berpedoman pada kriteria Mohr dan van Baren (1954) tersebut maka bahan induk dapat disebut sebagai hit-andesitik. Sifkt ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Druif (1939) dan Lembaga Penelitian Tanah (1976b). Asosiasi mineral Andisol di dataran tinggi dan dataran rendah baik formasi Qvbs mau pun Qvbj adalah amfibol-hiperstin. Asosiasi mineral ini sesuai dengan laporan Lembaga Penelitian Tanah (1976a,b) untuk formasi Qvbj, tetapi berbeda dengan Andisol pada formasi Qvbs di dataran tinggi yakni hiperstin-augit. Namun, amfibol (12-19%) menunjukkan jumlah yang dominan dibandingkan dengan augit (1-7%) dan hiperstin (16%) dalam M
i total (LPT, 1976b) dan tidak berbeda jauh dengan jwnlah amfibol hasil
penelitian ini. Jumlah hiperstin dalam fraksi berat pada tanah di dataran tinggi hasil penelitian ini juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah hiperstin tanah di dataran rendah. Susunan mineral (Tabel 6) juga menunjukkan adanya orthit. Mineral ini tidak umum ditemukan, baik andesit rnaupun dasit tetapi ditemukan pada bahan liparit (Mohr dan van B a r g 1954). Bahan liparit berasal dari erupsi tufa Toba (LPT, 1976a) yang lebih tua dari
Tabel 6. Susunan mineral pasir beberapa pedon yang diteliti.
[ HOWMI
RC C TG I A ~ C
ngt
I
k
25 14
1
1
I
kj
1 1
I khs I gv I PI I am I or I hp 1 h I h ~ pI ag I MH 1 ~ ~ 1 . MI> 1 IMIJMMI.~
7
-
4 2
2 6
7
.d nd
7
d n d
-
60 62
-
-
27 23
13
I5
60 69
462 4.60
- I5 5 48 IS 0.41 37 I n - s 20 n 3.60 3 1 1 7 6 - 1 6 8 76 9.50 mgt:magnem (opak); k k k m m keruh;kj:kwarsa jernih; konkresi besi:konkresi besi;gv:gelas volkan; p1:plagiokias; am:amfiboi;o r : d l ; hp:hip&n; bi:biotil; h1p:hasil lapukan; ag:augit; MR:mineralresisten Orlimapetit (@I, Mh4L:mineral mudah lapuk (hp,ag,ampl, g v); ML:mineral lapuk @Ip,kbs) 28
w
s
17 d 13
3 s
-
-
5 4 2
16 13 3
9 2 1
2
.d
-
Tabel 6. Lanjulan Imgl]
kk
1
kj I k h s I g v I pl l a m l o r I h p ~ b i 1 h l p I 8 g I M H I ~ 1 . 1 ~ 1 . I ~ 1 ~ 1 .
Uvha PI 3
---Ap AB
7 7
9 4 R
3 I3w 6 8 RC BWI A p 9 4 A B 6 s d B w l 2 s d B w 2 - 3 R C I
sd 4 3
sd -
KG4 A AB Bw BC KG3
Ap A Uwl Rw2 BCI BL2
3 1 2 2
7 3 5 4
1 sd sd sd
3 1 sd nd 1
8 3 5 7 6 7
sd 1 1 2
d
-
-
1
-
-
-
2
13 I5
1 I
4 I
IR
2
6
1
2
14
5
7
ad
2
13 16
10 3 ad 2 sd 1 4 8 I d 2 4 1 - l a d 9 2 2 4 - 1 - 9 8 1 3 - 2 - 8 3 5
-
-
13
I 2
6 I2 4
11 17 2 1 8 7 11 1 II
24 I4 12 19 1 4
7 7 sd 2 1 1
-
-
3 -
sd 1 d ad
-
18 15 14 1 3 4 12 sd 10 sd
53 48 57
58 69 7 0 1 5
6 sd 42 1 - 6 9 2 sd 60 I d 7 5 7 6 2 1 3 2
-
33 53 66 56 73 76
-
2 1 1 sd
I 1 sd d
1.71
16 I6
31 35
53 49
14
29
57
1-97
14
28
58
2.07
13 6 2 3 1
18 7 8 5 14
69 87 90 85
3.83 12.43 11.25 18.40 6.07
11 4 8 8
47 42 2 7 6 9 32 61 17 77
0.89 2.56 1.91 4.53
11 5 6 9 10 7
42 28 35 17 17
33 53 66 56 76 76
0.59 1.26 2.36 1.60 4.47 4.47
56
92
1.41
W
- 57 d l 6 27 59 2.19 1 9 1 2 - 57 - 18 25 58 2.32 1 23 4.65 79 11 4 4 17 79 Rwl - 10 - 2 - 71 - 16 13 72 5.54 Rw2 3 I - 46 - 16 38 47 1.24 8 1 1 35 1 4 WC 0.86 4 9 4 2 6 - 4 2 9 C 3 4 3 8 5 mgt:magnetit (opak); klr:kwarsa keruh; kj:kwarsa jemib; konlrresi besi:konkresi besi;gv:gelaswlkan; p1:plagioklas; am:amfibol; or:ortit; hp:hiperstin; bi:biotit; hlp:hrlsil lapukan; ag:angit; M H : m i m l resistcn (kk.magnelit (opak); M M L : m i d mudah lap& Olp.agam,pl. g v); ML:mineral lapuk (hlRkbs) A
AB
5 3
8 9 4 12
1 5 sd sd 3 1
2 1
3 I 2 1 I 1
2 sd
-
-
-
-
dari formasi Qvbs dan Qvbj. Keberadaan ortit ini diduga akibat kontaminasi dari bahan liparit yang telah tererupsi lebih dahulu. Susunan mineral juga dapat digunakan untuk menerangkan tingkat pelapukan. Susunan mineral pedon di dataran rendah P a n w Batu (PB) fonnasi Qvbs rnenunjukkan bahwa jumlah amfibol, hiperstin, biotit, dan gelas volkan sangat rendah sedangkan jumlah
hasil lapukan sangat tinggi. Sementara pada pedon-pedon di dataran tinggi Bandar Baru Kuta Gadung, dan Kaban Jahe, jumlah mineral tersebut masih sangat tinggi clan hasil lapukan relatif rendah. Gejala ini menunjukkan bahwa pengaruh iklim terhadap tanah di dataran rendah lebih kuat sehingga pelapukan sangat intensif. Indeks pelapukan pedon di dataran rendah 8,01*1,69 lebih tinggi daripada pedon di dataran tinggi yang nilai rerata berkisar antara 1,79-2.80. Pada pedon di dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj yang menunjukkan jumlah mineral mudah lapuk (hiperstin, arnfibol. plagioklas, dan gelas volkan) masih sangat tinwi. Jika dibandingkan dengan pedon-pcdon yang terletak lebih tin@ (Namuterasi, Simpang Sipirok, dm Tanjung Gunung), susunan mineralnya tidak menunjukkan perbedaan yang tegas. Fakta ini mernbuktikan bahwa pengaruh bahan induk terhadap tanah di Sei Mencirim formasi Qvbj masih sangat jelas. Dibandingkan dengan pedon dataran rendah Pancur Batu, jumlah mineral mudah lapuk pedon dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj juga lebih tinggi meskipun berada di bawah pengaruh iklim yang sama. Sementara pedon di dataran tinggi Bandar Baru dan Kuta Gadung tidrrk memperlihatkan perbedaan yang tegtts. Gejda ini menunjukkan bahwa pengaruh iklim terhadap pedon di dataran rendah Pancur Batu lebih berperan. l'opografi pada berbagai ketinggian juga menunjukkan pengaruh berbeda t h a d a p susunan mineral (Tabel 7). Tabel tersebut menunjukkan bahwa transek Sei Mencirim di dataran rendah formasi Qvbj, pedon di punggung bukit Sei Mencirim (SM5) memiliki mineral rnudah lapuk lebih banyak dan hasil lapukan lebih sedikit dibandingkan dengan pedon di lembah (SMB). Perbedaan ini disebabkan oleh pengaruh fluktuasi air tanah dan drainase yang jelek mendukung proses reduksi-oksidasi dan hidrolisis secara intensif pada pedon di cekungan sehingga mempercepat proses pelapukan mineral. Secara vertikal, pedon di cekungan Sei Mencirim (SM3) menunjukkan ( I ) jumlah ML terutama amfibol dan gelas volkan menurun, dan (2) nisbah MUMML meningkat dari horizon permukaan ke horizon lebih dalam yang ditunjukkan oleh Gambar 13. Hal ini dapat disebabkan oleh proses reduksi-oksidasi sangat intensif pada horizon permukaan sedangkan proses reduksi semakin intensif di horizon bawah seperti yang ditunjukkan oleh perubahan warm tanah kelabu (Tabel Lampiran 7). Amfibol adalah salah satu dari mineral feromagnesian yang mmgandung besi sehingga peka terhadap proses oksidasireduksi. Ini berarti proses pelapukan pedon di cekungan (SM3) semakin intensif dari 64
horizon pennukaan ke horizon-horizon bawah. Sementara pedon di punggung bukit (SMJ) seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 14, tingkat pelapukan mineral tidak menunjukkan perbedaan yang tegas antar horizon karena proses yang terlibat tidak
berbeda secara tegas. Tabel 7. Pengaruh topografi terhadap susunan mineral dan indeks pelapukan Pod$ I Eori%-m
MML
Pb: A
26.5
I
ML
I
IP
I
Porma~~ Qvbj 45.5
I
1.86
B
34.0 49,O 58.0 32.0 35.0 53,O 22,o 19,o I 3 13.0 68,O Lb:A 41.0 21.5 B 32.0 . 44.0 Fonnasi Qvbs Pb: A 33.0 I 51.0 B 28.5 57.5 Lb: A 12.5 78.0 381 B 89.0 9.0 KG4(1300 m) 47,O Pb:A 42.0 B 32.0 61.0 Lb:A 49.0 43,O KG3 B 68.5 24.3 &ka dalam kolom k d n m a 6raloor W mA dun B W L ; n d & &ah Swh: A B Pb: A
I
i
~
p
~
I
I ,M, 2.02 8.13 14.83 0.89 1.91 0.93 3.23
@&MI;
rnrnuol la&;
IP:
n ;S w (k ; r m h M bwlr1gurl:~pcnggung ~ badkit Lb:cr&ngan
Transek Bandar Baru (BB) fonnasi Qvbs juga menunjukkan bahwa pedon di punggung bukit (BB1) memiliki kandungan MML lebih tin&, ML dan indeks peiapukan iebih rendah dibandingkan dengan pedon di lembah (BB,). Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat pelapukan pada pedon di lembah lebih tinggi daripada tingkat pelapukan pada pedon di punggung bukit. Ini berarti bahwa proses pelapukan yang berlangsung dalam pedon di cekungan (BBI) lebii intensif daripada pedon di cekungan (BB3). Perbedaan pelapukan antara pedon di punggung bukit dan di cekungan disebabkan oleh berbedanya intensitas proses pelapukan yang terlibat. Atas dasar ciri morfologi tanah, terutama warna dan jumlah karatan (Tabel Lampiran 7), pedon di cekungan (BBl)
memperlihatkan adanya gejala reduksi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh tineginya kandungan air tanah aiami pedon di cekungan (BBI) daripada pedon di punggung bukit (BBa) (Tabel Lampiran 9). Tingginya kandungan air tanah pada pedon di cekungan (BB,)
tersebut disebabkan oleh terkonsentrasinya air di daerah cekungan sehing~asangat mendukung untuk berlangsungnya proses reduksi-oksidasi, hidrolisis, dan hidratasi (Buol el al. 1982) yang -ng
jawab terhadap pelapukan mineral.
Secara vertikal, tingkiit pelapukan antar horizon pmnukaan ke horizon di bawah juga menunjukkan adanya pcrbadaan. Perbedaan ini ditunjukkan oleh pedon di cekungan (BB I ) mernpunyai: (1) jumlah MML, terutama gelas volkan dan plagioklas menurun dan (2) jumlah ML dan nisbah MUMML meningkat dari horizon pennukaan ke horizon lebih
dalam seperti ditunjukkan oleh Gambar 15; sedangkan pada pedon di punggung bukit (BBs) tidak menunjukkan perbedaan yang tegas seperti ditunjukkan oleh Gambar 16. Peristiwa seperti ini mirip yang tejadi pada pedon di dataran rendah Sei Mencirim formasi Qdj. Transek Kuta Gadung (1 300 m dml) formasi Qvbs menunjukkan bahwa jurnlah MML, ML, dan indeks pelapukan antara pedon di punggung bukit dengan pedon di lembah tidak jauh berbeda. Namun pedon yang terletak di kaki lereng (KG3) menunjukkan (1) jumlah
MML terutarna gelas volkan, plagioklas, amfibol, dan hiperstin menwn, dan (2) jurnlah
ML dan nisbah MUMML meningkat dengan semakin dalamnya horizon. Gejala ini ditunjukkan oleh Garnbar 17. Ini berarti pelapukan mineral meningkat dengan sunakin dalamnya horizon. Sernentara pelapukan mineral pada pedon di punggung bukit (KG4 relatif lebih homogen yang diinjukkan oleh Gambar 18 dibandingkan dengan padon di cekungan O
*
29.27%) dibandingkan dengan kandungan air alami pedon TG3 (1 18.96 + 15.65%) (Tabel Lampiran 9). T i n y a kandungan air alami pada pedon TG2 disebabkan oleh tiogginya jumlah alofan dan C-organik; masing-masing sebesar t7,47
* 4,98%
dan 9.05 i 3,89%
secara berurutan. Baik alofan mau pun C-organik, pada pedon TG2 menunjukkan anglca yang lebii tinggi dibandingkan dengan jurnlah alofan (15,47
* 5,95%) pada pedon TG3 (Tabel Lampiran 10).
3,47%) dan C-organik (8.98
AP
M
.
C
o
omnl lapuk
Y m
*--
L
0
I IkP
ec
0
20
.
C
0
+mnl lapuk
L
plqJPn
N -
0
z
i I
6
Tinyginya kandungan air pada pedon TG2 dapat mendukung berbagai proses pelapukan, antara lain: hidratasi dan reduksi-oksidasi relatif lebih cepat. Sementara tingginya kandungan bahan organik tanah dapat meningkatkan daya larut air melalui asam-asam organik yang dihasilkan (Mohr dan van Daren, 1954; Stevenson, 1982) sehingga mempercepat proses pelapukan mineral Atas dasar ini maka pelapukan mineral pasir pada pedon TG2 dapat bejalan lebih cepat dibandingkan dengan pedon TQ, TG3, pelapukan ML menjadi partikel yang berukuran
(2) pada pedon
berjalan lebih cepat
dibandingkan dengan pelapukan MML menjadi ML. Kemungkinan ini didukung obh hasil analisis ukuran butir (Tabel Lampiran 9) yang menunjukkan jumlah fraksi IV (0,250,lmrn) pedon TG3 lebih sedikit (9,17*4,45%) dibandingkan dengan pedon TG2 (17,756,76%). Gejala ini dapat diartikan bahwa bagian fiaksi IV pada pedon T G telah melapuk menjadi fraksi lebih kecil (
* 7,43%)
dan ti-aksi VI
(45,15*7,48%) pada pedon TG, yang lebih banyak dibandingkan dengan fraksi V (15,3M 5,46%) dan VI (35,24*12,38%) pedon TG2 (Tabel Larnpiran 9). Fraksi IV yang mengalami pelapukan tersebut sebagian besar b e r d dari kelompok ML. Hal ini ditunjukkan oieh koefisien korelasi yang sangat erat antara fraksi 1V dengan fraksi VI (r:
-
0,80 **) dan antara fraksi IV dengan M s i V (r: 0,41f*). Atas dasar uraian di atas n u b dapat diiemukakan dua alternatif model pelapukan seperti yang dikernukan pada Gambar 19. Kedua model tersebut yakni: (1) pada pedon
TG2 : V+V2 dan (2) pada pedon TG3 : V I < V ~dimana: VI adalah laju pelapukan MML menjadi ML;V2 laju pelapukan ML menjadi fiaksi lebih halus.
Gambar 19. M&l pelapukan m i d pada palm transek TG (400 m dml) formasi Qvbj.
Beberapa kemungkinan lain adalah: (1) secara geomorFologi, proses erosi dari punggung bukit dan dari lereng
Gunung Sibayak ke daerah cekungan sangat
memungkinkan terjadi sehingga di daerah cekungan ( T G ) mendapat tarnbahan bahan
tanah relatif segar Hal in1 juga berarti terjadi penambahan m~neralpada daerah cekungan Adanya akumulasi ini terbukti dengan terbentuknya horizon Ab yang merupakan horizon timbunan (Tabel Lampiran 7) pada pedon TG3 Akumulasi bahan tanah tersebut akan menambah jumlah MML sehingga mengurangi jumlah ML Pakta ini memperkuat proses yang berlanglwng seperti yang dikemukakan pada Gambar 19, (2) keadaan transek TG
tidak seekstrim seperti pada pedon transek SM, BB, dan KG yang menciptakan keadaan sangat berbeda antara pedon yang terletak di punggung bukit dengan pedon yang terletak di kaki lereng, terutama dalam hubungannya dengan keadaan air tanah sehingga proses yang beketja tidak dipengaruhi oleh keadaan topografi, dan (5) transek ini terletak pada formasi Qvbj relatif muda sehingga perbedaan keadaan belum berjwngaruh terhadap pelapukan Transek Namutrasi (100 m dm]) formasi Qvbj merupakan areal persawahan yang mendapat perlakuan pengairan secara periodik Susunan mineral pedon yang disawahkan selama
40 tahun (NTI) dan
* 70 tahun (NT*) tidak mernperlihatkan perbedaan susunan
mineral yang tegas, baik antar pedon NTI dengan NT2 mau pun dengan pedon Sei Men~irim,Simpang Sipirok, dan Tanjung Gunung formasi Qvbj Namun dernikian, Tabel 7 menunjukkan bahwa pedon NT2 memperlitkan tingkat pelapukan relatif lebih tinggi daripada pedon NTI Hal ini Qsebabkan oleh perbedaan umur penggunaan tanah dimana pedon N T 2 telah lebih lama disawahkan daripada pedon NTI sehingga proses pelapukan, misalnya reduksi-oksidasi telah berlangsung lebih lama pada pedon NT2 Umumnya, secara vertikal horizon permukaan mengandung hasil lapukan iebih rendah dan meningkat semakin ke horizon bawah, kecuali horizon C pada beberapa pedon (Tabel 6) Keadaan ini mengakibatkan
horizon permukaan
tingkat pelapukan,
berdasarkan nisbah MYMML,
menjadi lebih rendah dibandingkan dengan horizon-horizon di
bawahnya Hal ini sangat bertentangan dengan
keadaan yang seharusnya horizon
permukaan mengalami pelapukan yang sangat intensif Peristiwa ini disebabkan oleh perbedaan intensitas pengaruh beberapa &or
yang diperkirakan bertanggung jawab
terhadap pelapukan mineral pada setiap horizon Faktor-faktor tersebut antara lain. suhu dan fluktuasinya, kandungan bahan organik, dan air tanah Pengamh suhu pada horizon permukaan relatif lebih besar karena langsung bersinggungan dengan suhu atrnosfir. Fluktuasi suhu tanah horizon permukaan relatif lebih besar sedangkan suhu horizon bawah relrttif stabil (Hillel, 1992) Pengamh suhu dan fluktuasinya antara lain: berperan 71
dalam proses pembasahan-pengeringan dan men~ngkatkan daya melarut air terhadap mineral tanah Pengaruh curah hujan dapat berupa pembasahan terhadap mineral-lapukan eehingga menjadi lebih lunak dan lebih mudah melapuk Energi mekanik yang ditimbulkan oleh butir-butir hujan, kemungkinan besar dapat memecahkan bahan-bahan mineral yang telah mulai melapuk pa& horizon permukaan, terutama mineral lapukan Keadaan ini dapat mengakibatkan mineral lapukan menjadi bagian-bagian yang lebih halus dan sebagian larut Butis-butir halus tersebut atau yang larut kemungkinan juga tercuci ke lapisan bnwah sehingga jumlah mineral lapukan pada horizon permukaan berkurang dan mineral yang belum melapuk relatif tinggi sehingga nisbah mineral lapukan terhadap mineral mudah lapuk (MUMML) menjadi lebih rendah daripada horizon bawah Pengaruh bahan organik dapat terjadi melalui asam organik yang diproduksinya
Asam organik dapat mempercepat proses pelarutan (Buol mineral lapukan Kandungan bahan organik tinggi di p
el
al. 1980) terutama terhadap
m
b dan berkurang dengan
semakin ke dalam tanah (Tabel Lampiran 10) sehingga pengaruh asam-asam organi-k sangat besar pada horiwn permukaan dan berkurang semakin ke horiwn bawah Keadaan ini memungkinkan proses pelapukan terhadap mineral lapukan lebih intensif pada horizon permukaan dan berkurang semakin ke horizon bawah. Akibatnya adalah jumlah mineral lapukan menjadi letirh cepat berkurang di horizon permukaan dibandingkan dengan horizon bawah Atas dasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga faktor tersebut dapat
-
mempercepat pelapukan ML yang berukuran O,1 0,25 mm menjadi partikel-partikel M L yang berukuran lebih kecil (
Laju proses ini
diperkirakan lebih cepat dari proses pelapukan MML menjadi ML (V3Vl) sehingga jumlah ML yang berukuran >O,lmm menjadi berkurang dan nisbah MUMML menjadi lebih kecil Sementara pada horizon-horizon bawah dimana keadaan suhu relatif stabil, kandungan bahan organik rendah, dan suasana lebih reduktif, diperkirakan, pelapukan
MML menjadi ML lebih cepat (VI>V~); sedangkan pelapukan ML menjadi partikel yang lebih lebih kecil berlangsung lambat (V,
Berdasarkan susunan mineral dan tingkat pelapukan menurut Mohr dan van Baren (1954) maka pedon di dataran rendah Pancur Batu fonnasi Qvbs dapat digolongkan ke
dalam tingkat pelapukan peralihan dari lahap vrrrl ke sen& (renrk stage) yang dicirikan oleh jumlah mineral mudah lapuk masih tersedia berkiear 7-10 %, jumlah mineral tahan lapuk rdatif tinggi (13-3 1 %), d m hasil lapukan sangat tinggi (61 -80 %), dan jumlah liat cukup tinggi berkisar 23-61 % Sementara pedon di dataran rendah d m dataran tinggi fomasi Qvbj serta dataran tinggi formasi Qvbs tergolong ke dalam tingkat pelapukan lahap vrrtl
(virrl stage). Hal ini diiandai dengan tingginya jumlah mineral mudah lapuk
pada setiap pedon tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan. (1) bahan induk tanah dataran rendah dan dataran tinggi tergolong sebagai dasit-andesitik, (2) jumlah gelas volkan dan mineral mudah lapuk lainnya (hiperstin, amfibol, plagioklas) tanah dataran rendah Sei Mencirim masih cukup tinggi dibandingkan dengan tanah dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs, tetapi tidak berbeda jauh dengan tanah di dataran tinggi, (3) tingkat pelapukan tanah dataran rendah Sk Mencirim dan dataran tinggi tergolong viril; sedangkan tanah di dataran rendah Pancur Batu berada pada tahap peralihan dari viril ke senile, dan (4) jumlah MML pedon di punggung bukit relatif lebih tinggi dan ML lebih rendah.
Susunan Mineral Lint Haqil analisis fraki liat dari beberapa pedon terpilih dengan m a d e Differential
Thermal Analysis (DTA) dan Diffraksi Sinar X (XRD) dikemukakan dalam Tabel 8 d m
Garnbar 20 - 28.
4.1 XOoX2.842.46;
QgibsiS WoisiS K r M C Kskwmq timagoIiS **: didasakan atas puncak suhu adodan b e ': sangal I d dan (id&. m d pada XRD, GxgoetiS Fh:fddriS IjmogoliCO: orgad PB:Panntr Batu (60 m dml); BBBendw Baru (800 m dmlk KQKuta Oadung (1300 m dmlk SM:Sei Menciriol(40 m dml), W.Namtak4 (100 m dmlk TGTanjung Gunung (550 m d d ) A:Al&
Tabel 8 dan Gambar 20 menunjukkan bahwa eaksi liat pedon di dataran rendah Pancur
Batu formasi Qvbj (PB) didominasi oleh haloisit diikuti oleh alofan dan gibsit. Haloisit dicirikan oleh suhu endotermik 495°C yang sesuai dengan suhu endotermik haloisit yang 74
tiambar 20 ..Tennogram DTA fraks~hat pedon Pancur Batu
(PB)
t
.
Gwnbar 2 1 Termogram DTA fraksi hat pcdon Bandar B ~ N(BE1 )
Gambar 1-2 . Tcmiogram DTA fraksi liat pcdon Kuta Gadung (KG$)
w
.
A
110
BCI
125 IIC
1
Cambar 23 Termogram DTA fraksi liat pcdon di punmun8 bukit Sei Mcncirim (SM5)
Gambar 3.1 . Tcrmogram DTA fraksi liat pdocl di dungan Sei Mcncirim ( 3 4 3 )
Gambar 25
.
Termogram DTA fraksi liat (< 0 . 2 ~ )padon di Namuterasi
(Sawah) (
1
N T )~ 295
Gambar 26
,
Termogram DTA fraksi liat podon di Tanjung
Gunung
(T63)
fi-aks
berkisar antara 400-540°C (Tan, 1982). Alofan ditunjukkan oleh suhu endotnmik 55°C dan eksotermik 900-910°C sesuai dengan suhu endo dan eksotermik ciri alofan yang berkisar antam 50-150°C dan 850-1000°C (Jackson, 1975; Tan, 1982). Gibsit ditunjuldran oleh whu endotermik 265°C sesuai dengan ciri gibsit yang berkisar antara 250-350.C (Tan, 1982;
Heu, 1989). Munculnya puncak cksotennik pada suhu sekitar 320°C merupakan penciri bahan organik (Taylor 1959; Mn. 1995) yang k e m u m kamaiaei dargan h k k anorganik sehingga tidak teroksidasi secara sempuma dengan H a 2 Badasarkan hasil
XRD (Gambar 27a) haloisit dicirikan oleh puncak diaksi 7,40 A dan gibsit dicirikan oleh puncak d i s i 4,85 A (Tan, 1982; Wilson, 1987) Selain itu, juga ditemukan analisis
kristobalit yang dicirikan oleh pun& difraksi 4,05
kwama yang dicirikan oleh pun&
A (Wilson, 1987) dan goetit 4,15 A (Schwertmann dan Taylor, 1989). dan ferihidrit 2,s A (Childs et al. 1991) . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dafam
difraksi 3,34
fraksi liat pedon di dataran rendah for&
Qvbs tersusun dari: haloisit, atofan, gibsit, goetit,
ferihidrit, histobalit, dan kwarsa. Pedon di dataran tin& Bandar Baru fonnasi Qvbs menunjukkan bahwa Ersksi lint dominasi alofan yang dicirikan oleh puncak endotennik pada suhu 95-125°C yang saagat
kuat dan puncak eksotennik lemah pada suhu 845-860°C (Gambar 21 dan Tabel 8). Gibsit hanya ditemukan pada horizon Ap dan Bw yang dicirikan oleh puncak endotermik sangat
lemah 26S°C. Haloisit tidak ditemukan pada pedon di dataran tinggi. Adanya pun& eksotennik lemah pada suhu berkisar antara 290-3 10°C diperkirakan addah bahan organik yang tidak teroksidasi secara baik karena berasosiasi dengan
mineral atau seb&
kompleks organik (Taylor, 1959; Arifin, 1995). Berdasarkan d i i o g r a m sinar-X (Gambar 2%) dominasi alofan dipertegas oleh pola difraksi tanpa bentuk pada sudut 2% berkisar
i. Selain itu, juga ditemukan kristobalit (4,05 i), goetit (4,15 A), ferihidrit (2,50 dan 2,20 A), dan kwarsa (4,30i). Oleh
antara 4
-
9" dan imogolit dicirikan oleh puncak 3,73
karenanya, susunan fraksi fiat pedon di dataran tinggi terdiri atas alofan, imogoIit, goetit, ferihidrit, kristobalit, clan kwarsa.
gram fraksi liat (Gambar 22) pedon dataran tinggi Kuta Gadung mirip deagan tennogram
liat pedon Bandar Baru (Gambar 21) sebingga susunan liat tidak berbeda.
Fraksi liat pedon Kuta Gadung juga didominasi oleh alofan yang dicirikan oleh puncak endotermik sangat kuat pada suhu 120-140°C. Gibsit hanya diternukan pada horizon Bw
dan BC dalam jumlah sangat sedikit yang dicirikan oleh puncak endotermik 265°C. sedangkan haloisit hanya ditemukan pada horizon A clan Bw dalam jumlah sangat eedikit yang dicirikan oleh puncak endotermik sangat lemah pada suhu 475°C Fraksi liat pedon di punggung bukit dataran rendah Sei Mencirim (SMI) f o d Qvbj (Gambar 23) di dominasi oleh dofan yang dicirikan oleh puncak endotermik yang mgat kuat pada suhu 70-135°C dan pun& suhu eksotermik I
d pada suhu 890-900°C Giisit
dan haloisit ditemukan pada horizon At, dan BCI dicirikan oleh suhu endotermik, masingmasing pada suhu 265°C dan 470-480°C dengan intensitas sangat lemah B e r h k a n
yang merupakan ciri
difiaktogram (Gambar 28a) ditemukan puncak difralrsi 9,90 metahaloisit (Tan, 1982; Wilson, 1987), puncak d* ii kristobalit (Wilson, 1987), 4,15
dan 2,s
4,05
A
yang merupakan ciri
adalah penciri goetit (Schwertmann clan Taylor, 1989).
adalah ferihidrit (Child9 et al. 1991). Pada horizon 2C (Garnbar 23) puncak
endotermik 480°C rdatif lebih kuat dibandingkan dengan puncak pada horizon A dan BCI
sebagai penciri haloisit. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa susunan mineral daIam tiaksi liat pedon di punggung bukit dataran rendah formasi Qvbj ( S m ) terdiri atas dofan, imogolif metahaloisit, goetit , den laistobalit. S w a n ini sangat berbeda dibandingkan dengan susunan fi-aksi liat pedon di dataran rendah formasi Qvbs yang didominasi oleh haloisit. Fraksi liat horizon A dan BCI (Gambar 23) menunjukkan bahwa luas puncak endotermik penciri alofan adalah terbesar dibandingkan dengan puncak gibsit dan haloigit.
Hal ini membuktikan bahwa alofan adalah lebih dominan daripada gibsit dan haloisit, sedangkan jumlah gibsit dan haloisit relatif sarna
sehingga dapat disusun alofan >
gibsit=haloisit Dominannya alofan dibandingkan dengan gibsit dan haloisit pada horizon A dan BC, membuktikan bahwa (1) proses pelapukan berlanpng kurang intensif s e w mobilisasi silikat atau A1 dan Fe sangat rendah., clan (2) proses sr11ku.w dan dt?s~l~kan' bejalan h a n g intensif sehingga jumlah gibsit dan haloisit relatif sangat rendah Tennogram fraksi liat horizon 2C pedon SM5 (Gambar 23) menunjukkan luas puncak
ciri alofan dm giisit relatif sama sehingga dapat dinyatakan bahwa kdua m i n d liat tersebut mempunyai jumlah relatif sama (alofan
haloisit), sedangkan gibsit relaiii lebih
sedikit. Oleh karenanya dapat diiemdcakan bahwa pada pedon di punggung bukit dataran
rendah fonnasi Qvbj jumlah haloisit menjnykat dan alofan menurun dengan semakin dalamnya horizon Pada fiaksi liat pedon di cekungan dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj (SM3) ditemukan dofan, haloisit, dan gibsit (Tabel 8 dan Gambar 24). Alofan dicirikan oleh
puncak endotermik w g a t kuat pada suhu 65°C dan puncak eksotermik lemah pada suhu 890-910°C Gibsit ditemukan sedikit yang dicirikan oleh pun& endotermik sangat lemah
pada mhu 22Q270"C. Haloisit dicirikan oleh puncak endotennik sangat kuat pada suhu 465485°C Berdasarkan difraktognun sinar-X (Gambar 28c) metahaloisit dipertegas oleh difraksi 7,30 2.50
A (Tan, 1982). Selain itu juga ditemukan pin&
A ciri ferihidrit, clan 4,05
difraksi 4,15
A ciri goetit,
yang sesuai dengan ciri kristobalit. Berdasarkan ciri
tersebut maka susunan fiaksi liat pedon di cekungan (SM3) terdiri atas metahaloisit, alofan, imogolit, gibsit, goetit, dan kristobalit
Atas dasar luas puncak endoterrnik DTA yang kztmtuk (Gambar 24). alofan d m metahaloisit mempunyai jumlah yang rdatif sama pada m u a horizon; sedangkan giisit sangat sedikit sehingga dapat dinyatakan bahwa
alofan I metahaloisit > gibsit.
Terbentuknya metahdoisit menunjukkan adanya proses silikasi dan hidratmi sedangkan terbentuknya gibsit menunjukkan adanya desilikasi danlatau hidrdisis A?'. Dalam 6aksi liat pedon yang diwahkan NT2 (Gambar 25 dan 27d) ditemukan slob yang dicirikan oleh puncak endotermik kuat pada suhu 55-125°C dan eksotermik pa& suhu 855-920°C dan pola diiaksi tanpa bentuk pada sudut 28 b
g dari 10"; imogolit diciriLBn
oleh puncak difraksi 3,25A (Wilson, 1987). gibsit dicirilran oleh puncak endotermik kuat pada suhu 265°C dan puncak difraksi 4,85 dan 4,35J\, dan haloisit dicirikan oleh pucak endotermik lernah pada suhu 479°C dan puncak difraksi tidak muncul karena jumlahnya sedikit. Adanya puncak endotermik pada suhu 55°C dan eksotennik lemah pada suhu 300°C pada horizon Ap adalah bahm organik yang berasosiasi dengan bahan arnorf(Taylor, 1959; Arifin, 1995). Kurve difraktogram Gambar 27d juga menunjukkan adanya goetit yang dicirikan puncak 4,15 A dan ferihidrit yang dicirikan oleh puncak 2,s A, dan plagioklas yang 0
dicirikan oleh puncak 3,21-3,25 (Jackson, 1973). Atas dasar cm-ciri tersebut maka fraksi liat pedon NT tersusun atas: alofanlimogolii gibsit, goetit, ferihidrit, plagioklas, dan sedikit haloisit.
Secara vertikal susunan mineral liai pedon Namuterasi berbeda antar honzon Ap dengan Bg Perbedaan tersebut ditunjukkan oleh berbedanya luas puncak endotermik yang terbentuk (Gambar 25) Pun& endotermik horizon Ap yang mencirikan alofan adalah lebih luas dan diikuti oleh puncak endotermik penciri gibsit dan haloisit. Oleh karenanya dapat dinyatakan bahwa susunan mineral horizon Ap adalah a l o h > gibsit > haloisit Sementara pada horiwn Bg,puncak penciri gibsit lebih luns daripada puncak endotermik penciri alofan dan puncak penciri gibsit horizon Ap; sedangkan puncak penciri haloisit sangat lemah sehingga susunan mineral adalah gibsit = alofan > haloisit. Dengan
dernikian dapat
disimpulkan bahwa (1) jumlah alofan dan gibsit relatifsama pada horizon Bg (alofan z gibsit
< haloisit), dan (2) jumlah alofan meningkat dan haloisit berkurang dari horizon atas ke horizon bawah. Gejala ini menggambarkan bahwa pada horizon Ap terjadi proses ciesilikasr atau silikasi sangat lemah. Dalam fiaks'~liat pedon di Tanjung Gunung (Gambar 26) ditemukan alofan yang dicirikan oleh puncak endotermik pada suhu 55, 110-135°C dan puncak eksotermik Bangat lemah pada suhu 835-870°C dan pola difraksi tanpa bentuk (Gambar 27c); gibsit dicirikan oleh puncak endotermik pada suhu 365°C dan puncak difraksi 4,85 dan 4,35
A.
Hasil
analisis XRD juga ditemukan puncak difraksi 3,25A sebagai penciri hornblende (Jackson, 1973), puncak difiaksi 4,05
A sebagai penciri Wstobalit. Munculnya puncak eksotermik
pada suhu 295-3 10°C merupakan bahan organik yang berasosiasi dengan d o h (Taylor, 1959). Alofan d m Imogolit Secara .semi kuantitatif jumlah alofan+imogolit dapat dihitung berdasarkan jumlah Sio (Si amorf terekstrak amonium oksalat masam) dengan rumus %Sio x 7,14 (Shoji el al. 1988). Kedua jenis mineral ini sulit dipisahkan karma mempunyai kalarutan yang sama dalam larutan amonium oksalat masam @lizota
dan van Reeuwijk, 1989). Jumlah
alofan+imogolit pada horiwn A dan horizon B pada formasi Qvbs dan Qvbj, masing-masing disajikan dalam Gambar 29 dan 30. Gambar 29 menunjukkan bahwa jumlah alofanhmogolit pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs (PB) relatif lebih rendah dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi (BB, KG, dan KJ). Perbedaan tersebut disebabkan oleh pedon di dataran tin& berada di bawah pengaruh regim temperatur isotennik dan curah hujan tipe C. Keadaan
tersebut relatif lebih dingin sehingga lebih sesuai untuk pembentukan a l ~ f ~ m o g o l i t . Pembentukan alofan pada keadaan tersebut dapat berasal dari pelapukan gelas volkan dan plagioklas. Alofan yang terbentuk relatif stabil sehingga dapat bertahan lebih lama (FitzPatrick, 1984). Hal ini memungkinkan terjadinya penimbunan alofan. Sementara pedon di dataran rendah Pancur Batu berada di bawah pengaruh suhu tinggi giisohipatermik) sehingga suasana lebih panas. Pada keadaan ini pembentukan alofan hanya berad dari pelapukan gelas volkan (Perfitt el al. 1984) dan alofan yang tertKntuk kurang stabil dengan keadaan lingkungan sehingga tidak dapat bertahan lama. Keadaan iklim di dataran rendah juga mendukung pelapukan berlangsung intensif yang membebsskan Fe, Al, dan Si scrta unsur-unsur lain. Jika Fe dan Al tercuci karena pH relatif rendah maka Si mendominasi sehingga mendukung proses silikasi yang berperan dalam pembentukan haloisit (Fiiatridc, 1984) dan Al terbebas akan mengalami hidiolisis membentuk gibsit. Akibatnya adalah jumlah haloisit dan gibsit meningkat sedangkan jumlah alofan menjadi berkurang seperti yang diperlihatkan oleh hasil analisis
DTA (Gambar 20).
Pada formasi Qvbj jumlah alofan/imogolit berhubungan dengan ketinggian (Gambar 30). Jumlah alofanfimogolit tanah di dataran rendah Sei Mencirim relatif lebih tinggi dan meningkat dengan ketinggian tempat. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan suhu yang semakin dingin dengan semakin tinggi tempat yang mendukung proses pembentukan d o h . Secara vertikal, jumlah a l ~ f ~ m o g o lpedon it di dataran tinggi formasi Qvbs (Gambar 29) clan pedon-pedon pada fomasi Qvbj (Gambar 30) menunjukkan perbedaan a n t k horizon A dengan horizon B. Jumlah doW1mogoIit pada horizon A relatif lebih rendah dibandingkan dengan horizon B. Perbedaan tersebut disebabkan oleh Al hasil pelapukan mineral primer pada horizon permukaan membentuk Al-humus karena tingginya kandungan bahan organik pada horizon pemukaan. Proses ini
menghambat pembentuksn alofim
(Wada, 1989; Syarif, 1990). Sementara pa& horizon-horizon bawah, jumlah bahan organik semakin berkurang sehingga pembentukan alofan lebih intensif berlangsung. A l u i jumlah alofan lebih tinggi pada horizon bawah (B). Peristiwa ini dapat diartikan bahw pembentukan d o h dan Al-humus t q a d i kompetisi. Gejala ini dipertegas oleh kodisien korelasi antara alofan dan AI-humus yang bersifat negatif (-0,25*). Berbeda dengan pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs B (Gambsr 29) dimana jumlah alofan horizon A rdatif lebih tinggi daripada horizon. Peristiwa ini dapat disebabkan oleh: (I) jumlah bahan organik relatif rendah sehingga kompetisi dengan 87
Gambar29. .',Sebaran alofan + imogolit menurut ke-. tinggian pada t d formael Qtba
Gambar30.Sebaran alofan + imogolit menurut ketinggiaa pada tanah f o m a a i qvbj
pembentukan Al-humus relatif kecil, (2)dikasi pada horizon B mengaldbatkan alofan berubah menjadi haloisit. Hal ini terbukti dengan semakin tingginya jumlah haloisit pada horizon B yang ditunjukkan oleh semakin luasnya puncak endotermik DTA (Gambar 20),
(3) adanya perpindahan bahan yang mengandung alofan dari tempat yang lebih tinggi.
Gambar 3 1 menunjukkan bahwa pembentukan dofan pada pedon di dataran rendah S a Mencirim formaai Qvbj sangat d i m h i oleh topogrd. Jumlah alofan pada pedon di cekungan (SM3 dan SM.) relatif lebih rendah dibandingkan di punggung bukit (SM, dan SMs). Hal ini disebabkan pelapukan pada pedon SM, dan Sh& lebih intensif karena pengaruh reduksi-oksidasi akibat drainase jclek sehingga kcmungkinan Si lebih banyak dibebaskan. Gejala ini diperkuat oleh adanya pelapukan plagioklas melalui proses pelarutan (hasil analisis irisan tipis). Silika juga dapat berasal dari hasil pelapukan di daerah yang lebih tinggi yang terangkut oleh aliran permukaan dan dikonsentrasikan di cekungan. Akibatnya
akan tejadi silikasi yang mendukung pembentukan haloisit. Oleh karena pengaruh air tanah, haloisit r n e n g M ~hidratasi sehingga terbentuk metahaloisit. Nasan ini diperkuat dengan tingginya jumlah metahaloisit pada pedon S M A b hasil analisis DTA (Gambar 24). Sementara padtl pedon di punggung bukit (SM9IPb) mmpunyai drainase lebih baik menunjukkan jumlah alofan masih cukup tinggi. Fakta ini sesuai dengan hasil analisis DTA (Gambar 23).
Gambar31. Sebaran a l o f a n + i m o ~ o l i tm e n u r u t transek lereng (pb: punggung 6ukit; TL: tengah lereng; Lb:lembah )
Gambar 3 1 juga menunjukkan bahwa dl dataran tinggi, topografi juga berpengaruh terhadap jumlah alofan/imogolit Pedon di cekungan (BBILb dan K G U ) menunjukkan jumlah alofan relatif lebih rendah daripada pedon di punggung bukit (BBIPb, KGIPb) Rendahnya jumlah alofan pedon di cekungan bukan karena berubah menjadi haloisit, tetapi &bat tingginya bahan organik yang mendukung pembentukan A-humus dan menghambat pembentukan alofan.
Pedon di Sei Mencirim juga menunjukkan bahwa jumlah alofan horizon A lebih tinggi daripada horizon B (Gambar 31) Pe&daan
ini berhubungan dmgan (1) silikasi pada
horizon B lebih intensif sehingga alofan berubah menjadi haloisit (Gambar 23 dan 24) dan (2) jumlah bahan organik relatif rendah kurang mendukung pembentukan A-humus sehingga pembentukan alofan lebih intensif Pedon di dataran rendah Sei Mencirim (SM) fonnasi Qvbj (Gambar 30) memmjukkan bahwa jumlah alofan lebih tinggi dibandingkan dengan pedon di dataran rendah Pancur Batu (PB)formasi Qvbs. Hal ini disebabkan oleh formasi Qvbj lebih muda dasipada fonnasi Qvbs (Cameron el al. 1982) sehingga pengmh ikIim belum sekuat seperti yang tajadi pada pedon dataran rendah formasi Qvbs. Pada keadaan ini pengaruh bahan induk masih lebih dominan yang ditunjukkan oleh tingginya jumlah gelas volkan dan mineral mudah lapuk lainnya dalarn tanah tersebut (Tabel Larnpiran 8). Tingginya jumlah gelas volkan merupakan faktor utama yang menyebabkan jumlah alofan tinggi di b a n rendah Sei Mencirim . Ferihidrit Hasil perhitungan ferihidrit berdasarkan Fe terekstrak oksalat masam (Feo) dengm rumus Feo x 1,7 (Mizota dan van Reeuwijk, 1989) dikemukakan daIam Tabel Lampiran 10 Sebaran ferihidrit pada horizon A dan B pada formasi Qvbs dan Qvbj, masing-masing disajikan dalam Gambar 32 dan 33. Gambar 32 menunjukkan bahwa jumlah ferihidrit pedon di dataran rendah Pancur Batu (PB) fonnasi Qvbs relatif lebih rendah dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi (BB d m KG) Perbedaan ini disebabkan oleh: (1) pedon di dataran rendah telah mengalami pelapukan lebih lanjut sehingga Fe yang dibebaskan cenderung rnembentuk goetithematit, (2) suhu dan evaporasi yang tinggi (Gambar lob) mendorong ferihicirit mengalami dehidratasi sehingga mendukung pembentukan goetit danlatau hematit, dan (3) sebagian Fe yang terbebas dari pelapukan mineral fe~omagnesianmembentuk Fe-humus, dan (4) bahan
Gambar 32.Sebaran ferihidrit menurut ketinggian pada fonnasi Qvbs
Gambar 33. Sebaran ferihidrit menurut ketinggian pada formasi Qvbj
organ~kyang rendah mengurangl protoniaasi Fe yang d~bebaskan s e h i n m mengurangl pembentukan ferihidnt (Schwertmann dan Taylor 1989) Dua alasan pertama diperkuat oleh tingginya jumlah goetithematit pada pedon PB tersebut (Gambar 35) Sementara di dataran tinggi, suhu dan evapotranspirasi lebih rendah dan curah hujan tinggi memungkinkan tanah dalam keadaan lebih lembab karena kandungan air tanah cukup tinggi (Tabel Lampiran 9)
Keadaan ini sangat mendukung pembentukan ferihidrit Hal ini disebabkan oleh ferihidrit yang merupakan Fe-oksida berhidrat amorf banyak mmgikat molekul air seperti yang ditunjukkan oleh rumus SF8203 9H20
(Schwertmann dan Taylor, 1989) sehingga
pembentukannya memerlukan banyak molekul air Oleh karena itu, tingginya jumlah ferihidrit pada pedon Bandar Baru (BB) disebabkan oleh pedon ini terletak di daerah dengan
curah hujan tertinggi (Gambar 6) dan bahan organik tinggi (Tabel Lampiran 10) Gambar 32 juga menunjukkan jumlah ferihidrit berbeda antar horiwn A dan horizon B Di dataran tinggi jumlah ferihidrit pada horizon A lebih tinggi
Perbedaan
daripada horizon B
im dapat d i i k a n : (1) perhitungan menurut rumus Feo x 1,7 tidak
mengkorckasi Fe dalam bentuk Fehumus sehingga Fahumus yang terdapat pada horizon permukaan diperhitungkan sebagai ferihidrit, dan (2) jumlah bahan organik horizon A lebih tinggi sehingga mendukung protonisasi dalam pembentukan ferihidrit (Schwertrnann clan Taylor 1989). dan (3) pada horizon B dimana bahan organik relatif rendah, Fe yang dibebaskan omderung membentuk goetitmematit. Hal ini sesuai dengan meningkatnya jumlah goetithernatit pada horizon B (Gambar 35) Sementara di dataran rendah P a n w Batu, jumlah ferihidrit horimn A lebih rendah daripada horizon B. Hal ini disebabkan oleh tingkat kelembaban tanah pada horizon A lebih rendah d i d i n g k a n dengan horizon B (Tabel Lampiran 9) Pada formasi Qvbj menunjukkan jumlah ferhidrit tanah dataran rendah Sei Mencirim
relatif lebih rendah dan
meningkat dengan ketinggian (Gambar 33) Peningkatan ini
disebabkan oleh peningkatan auah hujan, kandungan air tanah, dan kandungan bahan amorf Curah hujan sebagai sumber air bertanggung jawab ddam h d pembentukan hidrat terhadap struktur ferihidrit. Dibandingkan dengan jumlah ferihidrit tanah dataran rendah Pancur Batu (PB) form& Qvbs (Gambar 32), jumlah ferihidrit pedon di dataran rendah Sei Mencirim (SM) formasi Qvbj d a t i f lebih rendah (Gambar 33) Hai ini disebabkan oleh i k l i masih belum u
h kuat karena hrmasi Qvbj relatif lebii muda sehingga tingkat pelapukan masih 92
rendah. Akibatnya Fe yang terbebas relatif masih sedikit. Alasan ini diperkuat oleh tingginya jurnleh mineral feromagnesian (amfibol dan hiperstin) pada pedon Sei Mencirirn dibandingkan dengan pedon di Pancur Batu.(Tabel Lampiran 8).
SLYPb
SnlwCm
SLYLb
MnL
W
BBRD
05Wma?
W
L
K W b
K&luUCan KGTL
Gambar 34. Sebaran Eerihidrit transek lereng (Pb:punggung bukit; TI.:tengah lereng; Lb:lembah) Di dataran rendah Sei Mencirim fonnasi Qvbj menunjukkan bahwa topografi sangat berpengaruh terhadap jumlah ferihdrit (Garnbar 34). Jumlah ferihidrit pada pedon di tengah lereng dan cekungan relatif lebii tinggi dibandingkan dengan pedon di punggung bukit. Hal ini disebabkan oleh (I) tingkat peiapukan pada pedon di cekungan lebih tinggi sehingga Fe lebih banyak yang telah dibebaskan ke dalam sistem tanah, (2) pengaruh air tanah pada pedon-pedon tersebut sangat kuat, dan (3) adanya pencucian yang intensif pada pedon di punggung bukit sehingga jumlah Fe berkurang dalam solurn tanah (Tabel Lampiran 10) Dua
alasan pertama sangat rnendukung Mam proses pembentukan ferihidrit sehingga jwnlahmya menjadi lebih tinggi. Sementara di dataran tinggi, faktor topografi kurang berpengaruh terhadap jumlah ferihidrit Namun ada kecenderungan bahwa jumlah ferihidrit lebih tinggi pada pedon di punggung bukit dan cenderung menunm pada pedon di cekungan. Peristiwa ini berhubungan dengan adanya persaingan antara pembentukan ferihidrit dengan Fehumus karena tingginya bahan organik pada pedon di cekungan. G a t i t dm Hematit
Fe-loistalin (goetit dan hematit) dapat dihitung berdasarkan selisih Fe terekstrak sitratdithionit (Fed) dengan Fe terekstrak amonium oksalat rnasam (Feo) (Miwta dan van
Reeuwijk, 1989, Parfitt, 1980). Goetit dan hematit mernpunyai kelarutan yang sama dalam sitratdithionit sehingga sukar dipisahkan secara kuantitatif Jumlah goetithematit pada horizon A dan horizon B disajikan dalam Gambar 35 dan 36 Gambar 35 menunjukkan bahwa jumlah goetithematit pedon di dataran rendah Pancur Batu (PB) formasi Qvbs relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pedon-pedon di dataran tinggi (BB. KG dan KJ). Tingginya jumlah goetiaernatit pedon di dataran rmdah diibabkan oleh guhu tinggi, Corganik rendah, dan keadaan drainase baik Tingginya suhu mcnyebabkan evapotranspirasi tinggi (Gambar lob) sehingga mengurangi tingkat keiembaban tanah yang diperlihatkan oleh rendahnya kandungan air tanah alami (Tabel Lampiran 9). Keadaan ini *at
meningkatkan
dehidratasi dan mengurangi hidrasi terhadap oksida Fe yang m e n d u h g pembentukan goetitlhematit (Schwertmann dan Taylor, 1989) Rendahnya jumlah M a n organik, di sarnping mengurangi kapasitas menahan air tanah, juga mengurangj p e m h k a n Fehumus sehingga Fe yang dibebaskan dari pelapukan cenderung membentuk goetitlhematit. Sematara di dataran tinggi, proses pelapukan relatif lebih lambat sehingga pembtbasan Fe juga lambat, bahan organik tinggi berkompetisi dalam pembentukan Fe-humus, suhu rendah menciptakan tingkat kelembanan tanah tinggi sehingga hidratasi lebih intensif dan dehidratasi lambat. Keadaan ini kurang mendukung pembentukan goeWhematit tetapi mendukung pembentukan ferihidrit. Oleh karenanya dapat dinyatakan bahwa jumlah goetithematit di dataran rendah lebih tinggi daripada jumlah ferihidrit; sPdangkan di dstaran tinggi,jumlah goetithematit lebih rendah dibandingkan dengan jumlah ferihidrit.
Gambar 35. Sebaran goetit+hematit menurut ketinggian pada formasi Qvbs
.
Pada formasi Qvbj (Garnbar 36) menunjukkan bahwa jumlah goetitlhematit pedon dataran rendah Sei Mencirim lebih rendah dan rneningkat pada pedon di dataran tinggi Tanjung Gunung . Hal ini disebabkan di dataran tinggi antara lain: (1) keadaan drainase yang relatif lebih baik pada tempat yang lebih tinggi sehinaa dehidratasi lebih efektif daripada hidratasi,
dan (2) jumlah magnetit lebih banyak, selain mineral feromagnesim (Tabel Lampiran 8)
yang pelapukannya akan terbentuk goetithematit (Schwertmann dan Taylor 1989). Aim pertama terbukti dengan lebih tingginya jumlah goetitlhematit dibandingkan dengan jumlah ferihidrit. Sementara di dataran rendah Sei Mencirim dan Namuterasi dirnana drainase relatif jclek mendukung reduksi-oksidasi. Proses ini di samping menghalangi pembentukan ferihidrit d m goetithematit, juga dapat mengubah ferihidrit dan goetithematit yang telah terbentuk. Proses ini sangat intensif terutama pada horizon B karena dipengaruhi oleh air tanah sehingga goetitlhematit dan ferihidrit horizon B menjadi sangat rendah dibandingkan
dengan horizon A. Sementara di dataran tinggi, jumlah goetitlhematit horizon A lebih rendah daripada horizon B. Hal ini disebabkan oleh drainase baik dan tingginya bahan organik pada horizon A. Keadaan ini mendukung pembentukan ferihidrit pada horizon A (Gambar 34) dan goetitlhematit pada horizon B (Gambar 35).
Gambar 36 Sebaran goetilhematit menurut ketinggian pada formasi Qvbj
Kadar goetithematit antara horizon A dan horizon 3 berbeda (Gambar 35 dan 36) Umumnya jumlah goetithematit pada horiwn A relatif lebih rendah dan meningkat pada horiwn B Fallu temebut menggambarkan bahwa pembentukan goetit clan hematit tcrhambat pada hotizon A dan intemsif pada horizon B. Hal ini disebabkan oleh pada horizon
permukaan mengandung bahan organik relatif tinggi sehingga Fe yang dibebaskan dari pelapukan mineral sebagian membentuk Fahumus Hal ini sesuai dengan hasil analisis Fe terekstrak Na-piroforsfat (Fep) lebih tinggi pada horizon A daripada horizon B (Tabel Lampiran 10) Sementara pa& horizon B, jumlah bahan organik semakin berkurang
sehingga proses pembentukan Fe-humus berkurang dan pembentukan goetitlhematit menjadi lebih berpeluang. Dibandingkan dengan dataran rendah Pancur Batu (PB) formasi Qvbs (Gambar 3 9 , jumlah goetitlhematit pada pedon di dataran rendah Sei Mencirirn (SM) formasi Qvbj relatif lebih rendah. Hal ini dapat disebabkan antara lain: (I) pelapukan tanah di dataran rendah formasi Qvbs lebih tanjut sehingga Fe yang dibebaskan dari pelapukan lebih banyak. Hal ini disebabkan umur formasi Qvbs relatif lebih tua daripada formasi Qvbj
(Cameron el aL
1982), (2) jurnlah bahan organik pedon PB lebih rendah (Tnbel Lampiran 10) sehingga
mengurangi kompetisi pembentukan Fe-humus, dan (3) keadaan air tanah pedon PB lebih dalam daripada pedon SM (Tabel Lampiran 6) sehingga rnemungkinkan dehihtsi lebih efektif daripada hidratasi.
Gambar 37. Sebaran goetitrhematit rnenurut transek lereng (Pb:punggung bukit; TL:tengah lereng; Lb:lembah)
Gambar 37 menunjukkan bahwa faktor topografi di dataran rendah Sei Mencirim sangat berpengaruh terhadap jumlah goetithematit dibandingkan dengan di dataran tinggi Jumlah goetithematit pada pedon di punggung bukit Sei Mencirim relatif lebih rendah clan meningkat pada pedon di cekungan. Hal ini dapat dihubungkan dengan. (1) jumlah bahan organik pedon di punggung bukit dataran rendah Sei Mencirim relatif lebih tinggi daripada pedon di cekungan sehingga sebagian Fe akan membentuk Fe-humus, dan (2) tingkat pelapukan pedon di cekungan relatif lebih tinggi sehingga jumlah Fe yang dibebaskan relatif lebih banyak
SIFAT FISlKA TANAH Sebann Besar Butir Sebaran bemr butir beberap pedon pewakil dataran rendah dan dataran tin& fonnasi Qvbs dm Qvbj dikemukakan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Sebaran bcsar butir pedon pcw&11 dataran Fcndah dan dataran thggi formrui Qvbs
BBI(800m dm1 )
I
*) jumlah fnemsl
Ap AB Bwl BwZ BC
29.9 1 30.50 34.05 59.45 71.91
IBC I
54;72
46.74 41,89 39.22 28.07 16.05
I
26;42
24.03 27.60 26.73 12.48 12.04
I
18;87
0.20 0.13 0.47 0.8 1 3.70
I
I
balu~ > 2 mn mencapai lebii dari 75% PBPancuc Batu; BB:Budar Bmq KGKuta Gsdung; SWSei Mencirim; SP:Shpmg Sipimk; TCkTmjung Gurumg
Tanah pada formasi Qvbj (Tabel 9) menunjukkan bahwa sebaran besar butir (fraksi < 2 mm) umumnya
didominasi oleh fraksi pasir Sebaran besar butir tersebut tidak
memperlihatkan perbedaan yang tegas antara tanah rnenumt ketinggian karena tanah ini masih terletak di bawah pengmh iklim yang relatif sama. Namun, terdapat kecendc~ngan bahwa jumlah fraksi debu relatif lebih tinggi dan liat lebih rendah pada tanah di dataran tinggi Tanjung Gunung sedangkan di dataran rendah Sei Mencirim pasir dan l i t relatif lebih tinggi Hal ini dapat didabkan di dataran tinggi (1) tanah di Tanjung Gunung (400
-
550 m dml) berada di bawah curah hujan tertinggi, (2) jumlah Csrganik cukup tinggi (Tabel Lampiran lo),
(3) keadaan suhu juga masih cukup tinggi. Suasana ini
memungkinkan proses pelapukan relatif lebih intensif sehingga jumlah fraksi debu relatif lebih banyak. Sementara di dataran rendah tingginya fhksi pasir dapat disebabkan oleh adanya proses perernajaan (rejuvinasi) bahan dari tempat lain Pada fonnasi Qvbs, Tabel 9 menunjukkan bahwa sebaran besar butir terdapat perbedaan yang sangat tegas antara tanah dataran rendah di Pancur Batu (60 m dml) dengan tanah di dataran tinggi (Bandar Baru, 800 m dml, Kuta Gadung, 1300 m dml,dan Kaban Jahe 1100 m dml) Antara tanah di dataran tin@ (800, 1300, dan 1100 m dml) tidak memperlihatkan perbedaan yang tegas. Sebaran besar butir pedon dataran rendah didominasi oleh fraksi liat, sedangkan pedon-pedon dataran tinggi umumnya didominasi oleh butir berukuran pasir dan debu. Dengan kata lain, jumlah butir berukuran bat menurun
sedangkan pasir dan debu meningkat dengan semakin tingginya tempat. Perbedaan ini disebabkan pedon dataran rendah Pancur Batu dipengaruhi oleh regim suhu isohipertermik dan curah hujan tipe A, sedanghn, tanah di dataran tinggi dipengaruhi oleh regim suhu isotermik dan curah hujan tipe C Keadaan iWim pada pedon dataran rendah lebih mendukung proses pelapukan lebih intensif Pelapukan butir-butir berulcuran kasar menjadi butir- butir berukuran lebih hdus relatif lebih cepat akibatnya jumlah butir kasar berkurang dan butir halus meningkat, terutama jurnlah liat. Sementara, keadaan iklim di dataran tinggi menyebabkan proses pelapukan relatif lebih lambat sehingga perubahan butir-butir berukuran kasar menjadi butir-butir berukuran lebih halus relatif lebih lambat. Keadaan ini juga mengakibatkan, butir-butir berukuran kasar dapat bertahan ddam waktu relatif lebih lama sehingga jumlahnya relatif tin& dan jumlah butir berukuran lebih Mus relatif lebih rendah.
Dibandingkan dengan pedon dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj, jumlah liat pedon di dataran rendah (Pancur Batu) formasi Qvbs juga jauh lebih tin@ dan jumlah pasir lebih rendah. Fakta ini menunjukkan bahwa (I) tingkat pelapukan pedon Pancur Batu lebih lanjut daripada pedon Sei Mencirim.(2) pada formasi Qvbs, pengaruh iklim lebih kuat, dan (3) pada formasi Qvbj, pengaruh bahari induk relatif m d h cukup kuat dibandingkan dengan
pengaruh iklim. Hal ini disebabkan oteh (1) umur bahan in&k fonnasi Qvbs lebii tua daripada formasi Qvbj (Cameron el at. 1982). dan (2) bahan pada formasi Qvbs berupa tuff bersifat lebih porous sehingga lebih mudah melapuk sedangkan bahan fonnasi Qvbs adalah lahar yang relatif masiv sehingga relatif lebih lambat mclapuk.. Topogrd pada berbagai ketinggian juga berpengaruh terhadap sebaran besar butir (Tabel Lampiran 9). Umumnya pedon yang terletak di punggung bukit (SM1,SMa TG3,
BB3, dan KG,) memperlihatkan jumlah fraksi pasir relatif lebih tinggi sedangkan debu dan liat lebih rendah dibandingkan dengan pedon-pedon di cekungan (SM3, SW, TG3, BBI, dan KQ).
Perbedaan ini dapat
disebabkan oleh (1) tingkat pelapukan pedon-pedon di
cekungan relatif lebih tinggi dan (2) adanya bahan halus yang terangkut akibat erosi dari lereng di atasnya. Sebaran besar butir pada tanah sawah di Namuterasi (pedon NT) tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang tegas dengan pedon-pedon lain. Fakta ini menunjukkan bahwa penggunaan sebagai persawahan belum berpengatuh besar terhadap sebaran besar butir. Tabel 9 juga menunjukkan bahwa jumlah bahan kasar lebih banyak ditemukan pa@ pedon-pedon forrnasi Qvbj daripada formasi Qvbs. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh satu atau lebih alasan berikut: (1) umur bahan induk formasi Qvbs relatif lebih tua (Cameron er al. 1982) sehingga proses pelapukan telah berlangsung lebih lam& (2) bahan induk andesitik
pada formasi Qvbs dapat melapuk lebih cepat daripada bahan induk dasitik pada forrnasi Qvbj, dan (3) sifat bahan induk pada formasi Qvbs relatif lebih halus daripada formasi Qvbj. Pada formasi Qvbs, bahan kasar tidak ditemukan pada pedon yang terletak di dataran rendah Pancur Batu (60 m dml) tetapi ditemukan pada pedon-pedon di dataran tinggi (Bandar Baru, Kuta Gadung, dan Kaban Jahe). Hal ini disebabkan oleh pelapukan pedon di dataran rendah lebih intensif.
Gejala ini juga menunjukkan bahwa faktor iklim sangat
berperan pada formasi Qvbs. Sementara pedon di dataran rendah formasi Qvbj di Sei
Mencirim (40 m dml) menunjukkan jumlah M a n kasar masih cukup banyak clan ditemukan pada semua pedon. Jumlah bahan ini menunjukkan peningkatrtn pada pedon yang terletak 100
leb~htingg~(Narnuteras~,Simpang Sipwok, dan Tanjung Gunung) Ttngg~nyajumlah bahan kasar ini merupakan petunjuk bahwa, tingkat pelapukan relatif masth rendah dan pengaruh bahan induk wlatif lebih dominan dibandingkan dengan pengaruh iklim Selain bahan kasar bempa kerikil halu yang terikut dalam contoh tanah, hasil pengematan lapangan pada pedon Simpang Sipirok (200 m dml) dan Tanjung Gunung (400550 m dml) formasi Qvbj juga ditcmukan kerakal dan batuan bemkuran besar dalam jumlah cukup banyak Pada pedon TGI di Tanjung Gunung (550 m dml), jumlah batuan tersebut
-
diperkirakan mencapai 40 50 % volume Berdamkan data ini. kelas pengganti besar butir pedon TG, dapat memenuhi syarat sebagaifragmental. Bobot Isi Hasil pengukuran bobot isi (Tabel Lampiran 9) menunjukkan bahwa pedon-pedon di dataran rendah formasi Qvbs (Pancur Batu) dan formasi Qvbj (Sei Mencirim), kecuali SM5, memiliki bobot isi >0,9 g/m3; sedangkan pedon di dataran tinggi memiliki bobot isi <0,9 g/cm3 Fakta ini menunjukkan bahwa faktor iklim lebih berperan daripada bahan induk terhadap bobot isi Hasil perhitungan koehien korelasi (Tabel 10) antara bobot isi dengan beberapa sifat
tanah menunjukkan bahwa bobot isi berkorelasi negatif secara nyata dengan C-organik, alofan, ferihidrit, pasir, dan berkorelasi positif dengan L i dan kekerasan tanah. Korelasi negatif dapat diartikan bahwa semakin tinggi kandungan C-organik, alofan, ferihidrit, pasir kasar, pasir sedang, clan alofan, nilai bobot isi akan semakin kecil, sedangkan korelasi positif dapat d i i k a n bahwa, peningkatan jumlah liat dan kekerasan menyebabkan bobot isi semakin tinggi Oleh karena itu, tingginya bobot isi pada pedon di dataran rendah (Pancur Batu) lebih disebabkan oleh pengaruh tingginya kandungan liat dan rendahnya kandungan bahan organik, alofan, ferihidrit, pasir dan 1Uo+l/2Feo Sedangkan
tingginya bobot isi pada pedon
SMt,SMLSM3,dan S W disebabkan oleh rendahnya alofan, bahan organik, Alo+l/2Feo, dan tingginya tingkat kekerasan tanah Perbedaan bobot isi antara pedon SM5 dengan SM,, SM2SM3. dan SM 4 dapat disebabkan oleh jumlah alofan, bahan organik relatif lebih tinggi (Tabel Lampiran 10) dan jumlah liat dan kekerasan tanah relatif lebih rendah (Tabel Lampiran 9) pada pedon SM5 dibandiian dengan pedon SMI.SMzSM3, dan SM4. Hubungan linier antara bobot isi (Ybi) tanah dengan C-organik (XI), alofan (Xz), ferihidrit (X3), dan liat (&) dikemukakan pada persamaan (5) 101
-
Y , = 1.15 - 0,0270 (XI) -0,023 1 (X2) 0,0077 (X3)+ 0,0014 ( X ) , ~ ~ : 0 , 5 4...* *(5)
Berdasarkan koefisien korelasi (Tabel 10) dan kefisien regresi (persamaan 5) maka bahan organik mernpunyai peranan yang paling dominan dalam mempengamhi bobot isi tanah karena nilai koeftsien korelasi (r. 0,65**) dm koefisien regmi (-0,027) adalah tertinggi.
Tabel 10. Koefisien korelasi antara bobot isi dengan bebaapa sifat tanah. S~fattanah
c-
Koefisien kodasi, r 4.65**
Alofan
Ferihidnl Pasir tola1 Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasir sedm Pasir halus Pasir sangat halus Debu Liat Kokerasan tanah Kdr asr ku Kandungan air I5 bar ku Kandungan air IS bar lb
Di samping itu, kandungan air kering udara dan kandungan air 15 bar juga menunjukkan ko.relasi negatif sangat nyata dengan bobot isi (Tabel 10). Koreiasi ini dapat terjadi, antara
lain, melalui pengaruh bahan organik dan alofan. Pengaruh bahan organik dan alofan sangat nyata terhadap kandungan air tanah 15 bar kering udara dan lembab kandungan air tanah kering udara, kandungan air alami yang diperlihatkan oleh koefkien korelasi (Tabel 1 I). Tabcl 1 I. Kocfisicn korclasi bahan
Lembab 1.5 bar **:np&po&r tanf0.01
Kekerasan Tanah Kekerasan tanah adalah kemampuan tanah dalam menahan beban yang dinyatakan dalam satuan kg/cm3. Sifat ini diukur dengan alat penetrometer pada setiap horizon pada keadaan lapangan. Siat ini sangat penting karena dapat digunakan untuk, antara lain: (1) menduga tingkat kemudahan/kemampuan akar tanaman menernbus tanah, (2) tingkat pemadatan tanah (sail compaction), baik hasil proses alami mau pun oleh adanya a k t i i mekanisasi alat-alat pertanian, (3) tingkat kemantapan/kekompakan struktur tubuh tanah.
Hasil pengukuran ttngkat kekerasan tanah (Tabel Lampiran 9) menunjukkan bahwa tingkat kekerasan tanah bervariasi antar horizon dalam satu pedon Umumnya, tingkat kekerasan tanah pada horizon permukaan relatif lebih rendah dan meningkat pada horizon SM2, SM3, dan S h ) bawah pemmlraan, k d i pada pedon-padon di Sei Mencirim (SM,,
(Tabd Lampiran 9) Hal ini merupakan salah satu Faktor penyebab jumlah akar tanaman semakin sedikit semakin ke dalam tanah pada empat pdon terscbut (Tabel Lampiran 2). Tingkat kekerasan tanah horizon-horizon permukaan pedon SMi.SM2 SM3, Sh& menunjukkan angka relatif lebih tinggi d m menurun semakin ke dalarn tanah, sedangkan pedon di SM, menunjukkan tingkat kekerasan tanah horizon permukaan relati lebih rendah
dan meningkat semakin ke horizon di bawahnya (Tabel 12) Gejala ini membuktikan bahwa empat pedon pertarna telah mengalami proses peamiatan (soil a m p t i o n ) . Proses ini
diduga berhubungan deqpn penggunaan tanah dan sistim pengdolaan yang diterapkan
Keempat pedon tersebut terletak di areal pericebunan ternbakau Ddi yang dikdola sejak
zaman Belanda dan sekarang dikonversi menjadi perkebunan tebu yang dikelola oleh PTP U (sekarang PTP Nusantara n) Tanah pada areal tersebut telah medopat perlalam pengolahan tanah secara intensif dalam waktu yang cukup lama Pengolahan l a ~ hyang
intensif d m bersifat sangat ekstrim jug8 diperlakukan pada seat pedihan
budidaya tanaman
tembakau ke tanaman tebu Bekas pengaruh pengolahan tanah tersebut dibuktikan oleh
adanya pencampuran antara bahan tanah horizon pamukaan dengan horizon bawah dan batas antar horizon atas dengan horizon bawah menjadi te-rganggu Penerapan sistim pengolahan tanah dengan
menggunakm alat-alat berat dapat
mengakibatkan pemadatan tanah di bawah lapisan olah karena tekanan beban oleh alat mekanisasi tersebut (Hillel, 1980) Sementara pedon SM3 terletak di luar areal perkebunan
yang tidak terganggu oleh mekanisasi sehingga tidak terjadi pemadatan tanah Pengolahan tanah juga dapat mempercepat proses pelapukan bahan organik tanah Hal ini disebabkan oleh membaiknya keadaan aerasi tanah sehingga mendukung aktifitas biologi
dalam melakukan oksidasi bahan organik. Di samping itu, keadsan suhu dan curah hujan yang tinggi juga merupakan falaor pendukung mempercepat pelapukan bahan organik (Alexander, 1977) sehinggajumlahnya menjadi relatif sangat rendah, terutama pada pedon SMi.SMz SM%
dan S& (Tabel Lampiran 10). Peranan bahan organik tanah tehadap tingkat kekemsm tanah menunjukkan korelasi negatif nyata, pada formasi Qvbj (r =-0,58**) mau pun f o e Qvbs
(r
= -0,42**).
Ini berarti, semakin rendah kandungan bahan organik mengakibatkan tingkat
kekcrassn tanah scmakin tinggi. Hal ini juga yang menyebabkan tingkat kekerasan tanah h o b n pennukaan lcbih tinggi daripada horizon di bawahnya.
A2
1.20
BC1 BC2 CI
4,33
&
4.43 4,40 4.2 1
cs
4.23
2C
1,05
Pengolahan tanah yang intensif juga dapat merusak struktur tanah. Kerusakan struktur tanah mempermudah terjadinya dispersi oleh air hujan. Butir-butir yang terdispersi, terutama liat ddam bentuk tersuspensi akan bermigrasi ke horizon bawah (horizon B) sehingga tejadi akumulasi liat. Proses ini diperkirakan mempakan penyebab adanya peningkatan kandungan liat pada horizon B @on-pedon tersebut. Peristiwa ini sangat mungkii terjadi karena pedonpedon tersebut berada di bawah pengaruh regim temperatw isohi-.k
dan curah hujan
tipe A (temperatur dan curah hujan tinggi). Namun, kandungan l i tidak mermnjulckan
korelasi yang nyata terhadap tingkat kekerasan tanah (r
= -0.06)
Oleh karenanya dapat
dinyatakan bahwa sistem pengolahan tanah merupakan penyebab utama tingginya tingkat kekerasan tanah dan berat jenis pada pedon SMI. SMz SM3. dan SM4 Hal ini diperkuat dengan ditemukan nilai berat jenis yang rendah (0,77&0,08 @em3) pada pedon SM, yang berada dalam satu transek Pedon ini berada di luar areal perkebunan dan relatif sedikit
menerima perlakuan pengolahan tanah. Tingkat kekerasan horizon permukaannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan horizon permukaan keempat pedon yang lain Sedangkan tingkat kekerasan tanah horizon bawahnya s a r n a h p i r sama dengan tingkat kekerasan tanah horizon pennukaan Tabel 13. Hubungan tingkat kekerasan tanah dengan beberapa sifat tanah Sifat tanah Koefisienkorelasi Ca@k Pasir total Pasir sangat kasar Pasir kasar Pasirsedang
I
-0.58**
Pasir balm Dcbu Fuihidrit
Beberapa sifat tanah berhubungan nyata dengan
tingkat kekerasan tanah yang
ditunjukkan oleh koefisien korelasi (Tabel 13). Tabel tersebut menunjukkan bahwa Corganik, debu, dan ferihidrit berkorelasi negatif dengan tingkat kekerasan tanah, kelompok pasir mempelihatkan korelasi positif secara nyata; sedangkan liat berkorelasi negatif tidak nyata. Rendahnya jumlah bahan organik tanah dan liat; dan tingginya pasir tidak mendukung kekompakan struktur tanah sehingga tanah seharusnya lebih lunak, tetapi kenyataannya tanah lebih keras. Hal ini juga memperkuat bahwa, kekerasan tanah disebabkan oleh proses pemadatan. Rendahnya angka korelasi antara liat dengan kekerasan tanah merupakan fakta yang juga memperkuat bahwa tingginya bobot isi dan kekerasan tanah lebih disebabkan pengaruh pemadatan tanah, terutama pada transek di Sei Mencirim. Tingginya tingkat kekerasan tanah horizon permukaan pedon SMI,SMz S&, dan SM, dapat dianggap bahwa tanah tersebut mulai/telah mengalami degradasi. Jika dibiarkan atau tanpa ada usaha konmasi, tingkat d w a s i akan semakin parah. Hal ini didasarkan atas
-
tingkat kekerasan tanah telah berada pada rentang 3 4,4 kg/cm3.Tingkat kekerasan tanah ini telah sangat menghambat pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman
Untuk
pertumbuhan akar secara normal, tingkat kekerasan tanah berada s 2,s kg.cm3; di atas angka ini, perkembangan akar mutai terhambat. Hal ini ditujuWran oleh sedikitnya akar yang .ditemukan pada horizan-horizon keempat pedon tersebut (TaM Lampiran 7 ). Ksdar Air Tanah Lembsb Lapang dam Kering Udarr
Hasil pengukuran kadar air tanah lembab lapang dan lcaing udara (Tabel Lampiran 9 )
dan nilai rataannya pada setiap pedon (Tabel 14) menunjukka adanya perbetlaan antara pedon dataran tinggi dengan dataran rendah, antar bahan induk formasi Qvbs dengan formasi Qvbj, dan antara pedon di punggung bukit dengan di cehngm. Kadar air lembab lapang, di samping menentukan keadaan aerasi dan wrasana reduksi-oksidasi dalam tanah di lapangan, juga berhubungan dengan beberapa sifat kimia, fisika, dan tingkat pelapukan
mineral serta pembentukan mineral liat. Hasil analisis regresi tinier (persamaan 6 dan 7) clan korelasi (Tabet 15) antara ksndungan air tanah fembab lapang (Yb) dan kering u d m (Yh)dengan C-organik (XI), a l o h (X2),
dan liat (X3)menunjukkan hubungan yang sangat nyata (masing-masing R ~ :0.47** dan 0,46**) Y I ~ 14,M = + 5.94 (XI)+ 3.14 (Xz)+ 0,19 (X,) RZ: 0,47**............ (6) Y h =-2,17 + 2 , 1 4 @ 1 ) + 1 , 1 9 @ ~ + 0 , 1 4 @ ~ )R2:0,46" .......... (7)
Tabel 14. Kandungan air tanah alami horimn A dan B pada pedon yang diteliti (%) l-aoah I~?mbabm g m Tanah Kering Udara Pcdon Ho&A Formasi 0vb1 P B / P ~ / &III ~o~ BB l/kV800m dm1 BB2 /tl BB3W KGlik1111300m dm1 KG2ltl KG3Mz KG4lpb KJ/tV1100 m dm1 Formasi Qvbj SMllpW40 m dm1 SMUtl SM3M SM4M SM5rpb NTl1100 m dm1 NT2 SP/pb/2W m dm1 TG3/kU400 m dm1 TGupb TGlEpbl550 m dm1
I
I
42.32 152.80 121.57 111.72 68-26 62.43 64.79 55.52 6 1.95 36,92 36.84 30.08 22.40 37.13 87.78 100.18 95.116 78.14 125,45 113.26
7b:pnggung Mc; k k M h n g : 11:tqah *reng
HorhoB
H-oA
IHorironB
I
Persamaan (6) dan (7) juga menunjukkan bahwa koefisien regresi (parameter) C-organik adalah teninmi dan diikuti oleh alofan dan jumlah hat. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah bahan organik dan alofan mempunyai peranan yang aangat bcsar dalam mempengaruhi kadar air tanah dibandingkan dengan jumlah liat. Tabel 15. Kocfisien korclasi air alami dengan bebcrapa a& tanah Kodisien b &. r S i tanah Tanah Lwnbab I Tenahkeringudara C-organik
Debu
Pasir total
0,58**
I
0;37** -0,32**
0.35' 0;l l 0.08
* * : " , w p d a laro/O,ol; "."a10 pado Nlmf0.M
Tabel 14 menunjukkan bahwa pada fonnasi Qvbq kadar air tanah alami pedon di &taran rendah Pancur Batu (60 m dml) relatif lebih rendah dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi di Bandar Baru (800 m dml), Kaban Jahe (1 100 m dml), dan Kuta Wung (1300 m
dml). Perbedaan ini disebabkan oleh: (1) jumlah bahan organik dan alofan pedon & dataran rendah relatif lebih sedikit; sedangkan pedon di &taran tinggi mempunyai jumlah bahan organik dan alofan sangat tinggi (Tabel Lampiran 10). den (2) suhu yang tinggi di dataran rendah mendukung laju evapotranspirasi lebih cepat sehingga mengurangi jumlah air tanah yang tertahan; sedangkan di dataran tinggi, laju evapotranspirasi relatif lebih kecil sehingga air dapat ditahan tanah lebih banyak (Gambar 10). Di dataran tinggi, pedon di Bandar B m mempunyai kandungan air tanah alami lembab lapang yang tertinggi. Hal ini dixbabkan pedon ini terletak di herah curah hujan (Gambar 4) dan jumlah bahan organik tertinggi (Tabel Lampiran 10). Pada formasi Qvbj, pedon di dataran rendah Sei Mencirim (40 m dm]) juga menmjukkan jumlah air alami relatif lebih rendah dan meningkat pada pedon yang terletak lebih t i n e (Tabel 14). Rendahnya kandungan air pedon di dataran rendah, selain disebabkan oleh rendahnya bahan organik dan alofan (Tabel Lampiran lo), juga discbabkan oleh j d a h liat sangat rendah (Tabel Lampiran 9) dan evapotranspirasi cukup tinggi. Sementara tingginya kandungan air alami pada pedon yang terletak lebih tinggi (100 - 550 m dml) disebabkan oleh tingginya jumlah bahan organik dan alofan (Tabel Lampiran 10). Kandungan air tanah alami pedon dataran rendah di Pancur Batu fonnasi Qvbs dan dataran rendah Sei Mencirim fonnasi Qvbj tidak memperlihatkan perbedaan yang trgas. Hal yang sama juga terjadi antara pedon di dataran tinggi (Bandar Baru, Kuta G&mg 107
.. dan
Kaban Jahe) formasi Qvbs dengan pedon dl Namutras~,S~mpangS~plrok,dan Tanjung
-
Gunung (I00 550 m dml) formasi Qvbj Ini berarti, fsktor iklim lebih berpenyaruh daripada bahan induk terhadap kandungan air tanah alami Secara topografis. Tabel 14 juga menunjukkan bahwa pedon yang terletak di punggung bukit (BB-, KG,, SMI, SMS, TG2) mempunyai kandungan air alami relatif lebih rendah dan rneningkat pada pedon di cebngan (BB,, KG3, SMI. TGa). Perbedaan ini disebabkan oleh satu atau lebih alasan berikut (1) pedon di cekungan menampung air dari berbagai arah Iereng sehingga jumlah air akan lebih banyak, (2) gerakan air relatif lebih lambat sehingga air tcrtahan lebih lama, (3) jumlah bahan organik pedon di cehngan rclatif lebih tinggi, kecuali pedon SW, dan (4) jumlah fiakd liat tebih tinggi
Secara vertikal, umumnya pedon-pedon yang diteliti menunjukkan kandungan air alami pada horizon p e m n ~ relatif h lebih rendah dibandingkan dengan horizon bawah permukaan (Tabel Lampiran 9) Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, antara lain (1) evaporasi pada horizon tersebut menyebabkan sebagian air menguap ke atmosfir sehingga kondisi tanah horizon permukaan relatif lebih kering, (2) jumlah alofan relatif lebii sedikit d i n g g a mengurangi sebagian kapasitas menahan air twah. (3) gerakan air ke horizon bawah
akan mengurangi sebagian air yang telah tertahan pada horizon permukaan, (4) pengamh temperatur sangat berperan pada horizon permukaan sehingga sebagian masa tanah kemungkinan mengering membentuk pasir srmu @seudosand) atau debu semu yang bersifat tidak dapat balik (irreversible shrinkxge) sehingga mengurangi kapasitas menahan air tanah Kandungan Air Tanab I5 bar
Kandungan air tanah pada tekanan 15 bar (1 500 kPa) adalah sifat tanah yang digunakan sebagai penciri dalam klasifikasi tanah. Sifat ini juga dapat digunakan untuk menduga tingkat irreversibilitasbahan tanah akibat pengeringan dm menduga jumlah liat, terutama pada tanahtanah yang sulit mengalami dispersi Hasil pengukuran kandungan air 15 bar contoh tanah kering udara dan tanah lembab dikemukakan dalam Tabel Lampiran 9 dan nilai pada horizon A dan B dikemukakan dalam Tabel 17 dan hasil analisis korelasi dikemukakan dalam Tabel 16 Tabel tersebut menunjukkan bahwa terdapat keragaman kandungan air tanah 15 bar, bmk pada formasi Qvbj
mau pun fonnasi Qvbs dan adanya korelasi yang erat antara kandungan air tanah 15 bar tanah kering udara dan tanah lembab dengan beberapa sifat tanah 108
Hnsil perhitungan koefisien korelasi antara kandungan air 15 bar dengan beberapa sifat tanah menunjukkan hubungan yang erat (Tabel 16). Tabel tersebut menunjukkan bahwa kandungan air tanah I5 bar berkorelasi positif secara nyata dengan: C-organik, alofan, ferihidrit, jumlah Aloi InFeo, Alo, Feo, Fep, dan Alp; dan berkorelasi negatif dengan fraksi pasir. Hubungan tersebut dapat diartikan bahwa : (1) semakin tinggi jumlah Corganik, alofan, ferihidrit, jurnlah Alo+l/2Feo, Alo, Fao, Fep, dan Alp akan semakii tinggj kemampuan tanah menahan air pada tekanan 15 bar dan (2) kapasitas menahan air I5 bar akan meningkat j i b jumlah fraksi pasir semakin sedikit atau fraksi halus semakin banyak. Eratnya korelasi antara debu dengan kandungan air I5 bar menunjukkan bahwa debu memberikan kontribusi yang besar terhadap kapasitas menahan air tanah. Pengaruh debu tersebut kemungkinan disebabkan oleh: ( I ) h k s i debu berasal dari hasil pelapukan butir lebii
kasar yang berbentuk amorf Bahan ini kelihatannya lunak dan porous (seperti pada gambar
irisan tipis) yang dapat menahan air dalam jumlah tertentu sehingga menambah kapasitas tanah menahan air, (2) liat amorf dan debu membentuk mikro agregat yang sulit terdispersi sehingga gabungannya menambah kontribusi kapasitas menahan air tanah, dan (3) antar butir liat amorf membentuk debu semu (pseudosilt) akibat perbedaan muatan, misalnya imogolit dengan alofan yang mempunyai kapasitas menahan air relatif besar. rabel 16.Koetisien korelasi kandungan air tanah 15 Sifat tanah Tanah keiing udara C-organik Alofan Lit Debu
Pasir total Pasir sangal kasar Pasir kasar Msedang Pasir halus
Pasir sangat hdus Ferihidrit
AIoclLIFeo AIo
Feo Fs,
I Alp
*:mu@
I~cf0,05;
0.7Sf* 0,67** 0,24 0.48' 4.46** 4,42** 4,47** 4.50** 4.43** 0.03 0,70** 0,76** 0.71** 0,66** 0,64** 0,44*
**:Aap&
u~o,oJ
I
0,40**
I
Tabel 16 juga menunjukkan bahwa hampir semua s a t tanah berkorelasi nyata dengan kandungan air 15 bar (tanah kering udara clan lembab), kecuali kandungan liat dan pasir halus. Tidak nyatanya korelasi antara jumlah liat dengan kandungan air 15 bar dapat
disebabkan antara lain (I) dalam fraksi liat terdapat mineral kwarsa, amfibol, dan kristobalit dari hasil analisis XRD (Gambar 27 dan 28) yang kemampuan daya menahan aimya sangat
rendah sehingga mengurangi kemampuan fiaksi liat menahan air, (2) dalam pengoksidasian bahan organik dan pendispersian kondisi asam kemungkinan sebagian fraksi liat akan terlarut sehingga mengurangi jumlah liat, dan (3) adanya campuran fraksi liat alofan dan imogolit mempersulit dispersi ~ehinggajumlah l i t tidak meqgpmbarkan yang sebenamyq dan (4) jumlah liat dan pasir halus relatif lebih rendah sehingga pengmuhnya juga rendah. Rendahnya peranan liat dalam mempengaruhi kandungan air 15 bar juga diiemulcan terhadap kandungan air alami seperti yang ditunjukkan oleh rendahnya nilai koefisien regresi dalam prrsamaan (6) (7).
Hasil analisis regresi linier hubungan antara kandungan air IS bar dengan C-organik (XI), alofan (XZ),dan liat
-3)
dikemukakan pada persamaan (8) dan (9) juga menunjukkan
bahwa koefisien regresi liat adalah terendah d i b a n d i i dengan Corgenik dan alofan, baik pada wntoh tanah lembab mau pun pada wntoh tanah kering udara.
Persamaan (8) dan (9) menunjukkan bahwa nilai parameter (koefisien regresi) mengalami penurunan dari wntoh tanah lembab ke wntoh tanah kering udara. Koefisien regresi Corganik berubah dari 4,13 menjadi 3,69; alofan dari 3,35 menjadi 1,68; dan liat dari 0,35 menjadi 0,25. Penrbahan ini disebabkan oleh sifat reaksi yang tidak dapat balik (irreversibje) oleh masa bahan organik, alofan, dan liat sehingga mengurangi kemampuan menyerap air setelah mengalami kekeringan (kering udara). Dengan kata lain, tanah yang telah mengalami kekeringan tidak mampu lagi menyerap air seperti keadaan tanah sebelum mengalami kekeringan. Oleh karenanya, dalam pengelolaan tanah sangat penting menjaga keadaan air tanah agar tidak terjadi kekeringan tanah. Tabel 17 menunjukkan bahwa pada formasi Qvbs, perbedaan kandungan air 15 bar ditemukan secara jelas antara pedon dataran rendah Pancur Patu (60 m dml) dibandingkan dengan pedon dataran tinggi Bandar Baru (BB), Kuta Gadung (KG) clan K&an Jahe (KJ). Kandungan air 15 bar pada pedon dataran rendah Pancur Batu relatif rendah dan meningkat pada pedon-pedon di dataran tinggi dimana pedon Bandar Baru adalah tertinggi (Gambar 38). Perbedaan tersebut disebabkan oleh, kandungan bahan organik, ferihidrit, Feo, Alo,
Fep, Alp pada pedon di dataran rendah Pancur Batu relatif lebih rendah dibandingkan dengan pedon-pedon di dataran t i n e Bandar Bary Kuta Gadung, dan, Kaban Jahe (Tabel Lampiran 10). Sungguhpun jurnlah liat pedon dataran rendah Pancur Batu c u h p tinggi, tctapi didominasi oleh haloisii yang kapasitas menahan aimya rendah sedangkan a l o h sangat rendah sehingga kapasitae menahan air tanah juga akan rendah. Sementara tingginya
kandungan air 15 bar pedon dataran tinggi Bandar Baru diiabkan oleh kandungan bahan organikferihidrit, Feo, Alo, Feo, dan Alp relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pedon Kuta Gadung clan Kaban Jahe. Tabel 1 7. Kandungm air tJMh IS bar horizon A dan B pada pedon yang diteliti Pedon
Formmi ~ v b a PB/pb (60hdm]) BBl/ki (800 m dml) B W KGJkIZ(1300 m dml) KG4rpb KJN (1 100 m dml) Forausi Qvbj SM,/pb (40 m dml) SMJkl SM&b NT, (100 m dml) NTz SP/pb (200 m dml)
TanahkeriugudafaYo) H o r i m A I Horizm~B
I
Tanah 1emW (Sb) Horizon A 1 Horkan B
I
Sifat irreversibilitas pedon dataran rendah Pancur Batu sangat rendah dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi. Perbedaan ini ditunjukkan oleh selisih kandungan air 15 bar tanah lembab dan tanah kering udara yang sangat rendah (1,20
- 4,23 YO) pada pedon di
dataran rendah Pancur Batu dan relatif sangat tinggi (25 -60%) pa& pedon di dataran tinggi (Bandar Baru, Kuta Gadung, Kaban Jahe). Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan susunan mineral liat dimana pedon dataran rendah didorninasi oleh haloisit dan jumlah alofan relatif lebih rendah; sedangkan pedon di dataran tinggi didominasi oleh alofan.
Pada fonnasi Qvbj juga menunjukkan adanya kempnan kandungan air 15 bar menurut ketinggian tempat. Kandungan air 15 bar pedon dataran rendah Sei Mencirim (40 m dml) relatif lebih rendah dan meningkat dengan semakin tingginya tempat (Gambar 39).
PBldO
BBlWO
WH1W
KG11300
(mdrcr)
Gambar 38 . Hubungan ketinggian d & a n kandungan air alami dan 15 bar pada fonnasi Qvbs [tlb:tanah lembab; tku:tanah kering udara].
Gambar 39 Hubungan ketinggian tempat dengan kandungan air alami dan 15 bar pada formasi Qvbj [tlb:tanah lembab; tku:tanah kering udara]. .
.
Rendahnya kandungan air 15 bar pedon Sei Mencirim disebabkan oleh jumlah alofan Corganik, sedangkan peningkatan kandungan air 15 bar tersebut dengan
ketinggian
disebabkan oleh meningkatnyajumlah kandungan C-organik dan alofan (Tabel Lampiran 10)
Pedon dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj juga menunjukkan sifat irreversibili yang sangat rendah yang ditunjukkan oleh selisih kandungan air I5 bar tanah kering udara dan
tanah lembab ang gat kecil (Tabel Lampiran 9) Keadaan ini dapat disebabkan oleh, antara lain (I) dalam fraksi liat, d a i n bahan amo~Valofan,juga ditemukan haloisit dan gibsit, (2) jumlah pasir dan debu relatif tinggi (Tabel Lampiran 9), dan (3) jumlah bahan organik relatif lebih rendah (Tabel Lampiran 10) Mineral liat kristalin, pasir, dan debu tidak mengalami perubahan sifat yang besar akibat pengeringan di bawah kondisi suhu kamar (tanah kering udara) sehingga kemampuan mengabsorbsi air tidak mengalami perubahan yang besar Sementara pada pedon-pedon yang terletak lebih tinggi, jumlah bahan amorf dan bahan organik masih cukup tinggi. Sifat bahan amorf dan bahan organik bila kering sukar kembali ke sifat semula sehingga kemampuan absorbsi air mengalami penutunan. Pada pedon Tanjung Gunung juga menunjukkan selisih kandungan air 15 bar tanah kering udara dengan tanah lembab sangat rendah Hal ini diduga disebabkan oleh jumlah gibsit yang relatif tinggi (Gambar 23) yang tidak mengalami perubahan berarti akibat kering udara sehingga kapasitas menahan air tidak mengalami perubahan yang besar
Perbedaan bahan induk antara formasi Qvbs dan formasi Qvbj tidak menunjukkan perbedaan yang jelas terhadap kandungan air tanah 15 bar, baik pada pedon di dataran r e n a mau pun pedon-pedon di dataran tinggi Ini berarti, pengaruh bahan induk relatif lebih kecil daripada pengaruh iklim terhadap retensi air 15 bar Pengaruh topografi terhadap kandungan air 15 bar kurang terlihat secara jelas Namun, kandungan air I5 bar rata-rata pedon di cekungan Bandar Baru (BBI) dan Sei Mencirim (SW) cenderung meningkat dibandingkan dengan pedon-pedon di punggung bukit (Tabel 17) Tingginya kandungan air 15 bar rerata pada pedon di cekungan dapat disebabkan, antara lain, oleh kandungan Csrganik, jumlah MHL (hasil lapukan berbentuk amorf), jumlah li, dan ferihidrit relatif lebih tinggi (Tabel Lampiran 8 dan 10)
Secara vertikal, kandungan air 15 bar (tanah lembab dan kering udara) menunjukkan adanya keragaman antar horizon (Tabel Lampiran 9). Umumnya, kandungan air 15 bar pada horizon permukaan (A) relatif lebih rendah dibandingkan dengan horizon bawah (B) (Gambar 40 dan 41) demikian juga horizon paling bawah (BC dan C) relatif lebih rendah daripada horizon 113
bawah (B) tetapi Iebih tinggi daripada horizon permukm. Hal ini dapat tajadi karena: (1) jumlah alofan pada horizon permukaan relatif lebih rendah (Tabel Lampiran 10). (2) bahan organik pada horizon permukaan, kcmungkinan sebagian telah matgalami kekeringan yang ti& dapat balik (irreversible) aehingga mengurangi kcmampuan absorbsi air. dan (3) jumlah liat relatif lebih mdah karena tercuci ke Iapisan bawah
Kandungan air 15 bar digunakan sebagai penciri &lam pengklaPifikasii tanah. S i ini digunakan sebagai ciri pembeda pada kategori Greuf Group dan penciri pen&
kdss
ukuran butir untuk kategori FamiIi. Pada kategori Great Group, kandungan air 15 bar digunakan untuk menentukan sifat vifric dan M c ; sedangkan dalam pengganti kelas ukuran butir digunakan untuk pembeda medial dan hi&ous. Penciri vitric memerlukan penyamtan kandungan air 15 bar kering udara 4 5 % dan kandungan air I5 bar lembab GO%, di samping syarat-syarat lain. Hyrlhc mmerlukan persyaratan kandungan air 15 bar tanah lembab,r 70%; meuW memerlukan syarat kmdungpn
air 15 bar tanah kering udara r 12% atau tanah Iembab r 30.4 aedangkan hithus memerlukan syarat kandungan air 15 bar tanah lembab 2 lW?,di samping syarat-syarat lainnya. Ataa dasar kriteria tersebut dan dengan memperhatkan kritaia la*
maka semua
pedon yang diteliti dapat dikelompokkan atas: (1) pedon Bandar Baru (BBS BBrBB3) dan padon di Kuta Gadung (KG3 memenuhi kriteria M
c dan w o w ,(2) ppedon Kuta
Gadung (KGr KG3,danKG,) dan pedon Kaban Jahe 0memenuhi kriteria sebagai hyrbc clan medal, (3) pedon di Sei Mencirim (SMz S&, Swdan SMS), N a m u t d (NTLNTa),
dan Simpang Sipirok (SP) memenuhi kriteria sebagai medal, h (4) )on G u n q (TGl,TGzdan TG 3) mmememhi lrriteria &a@
di Tanjung
hidious.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan: (1) sebaran besar butir tanah dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj tidak berbeda s e w a tegas dibandingkan dengan tanah di
dataran tinggi; namun jumlah liat cendewng lebih tinggi pada tanah dataran rendah tetapi lebih rendah daripada jumlah liat tunah dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs. Sanentara jumlah fiaksi > 2 mm tanah pada formasi Qvbj lebih tinggi daripada tanah pada f o d Qvbs, (2) bobot isi tanah dataran rendah Sei Mencirim lebih tinggi (> 0.9 g/cm3) dibandingkm dengan bobot isi tanah di dataran tinggi (< 0.9 dengan tanah dataran rendah Pancur Batu
dan tidak berbeda jauh
0-9 @an3),(3) tingkat kekenisan tanafi
horizon perrnukaan (Ap dan A12) tanah dataran rendah Sei Mencirhn lebih t i n e
dibandingkan dengan horizon bawahnya dan dengan honwn yang sama pada pedon-pedon di dataran tinggi Tingkat kekerasan tanah tersebut mulai mengarah pada penurunan kualitas tanah sehingga telah menghambat perkembangan akar tanaman, dan (4) kandungan air alami (lernbab lapang &ankering udara) dan 15 bar (tanah kering udara dan lembab) tanah dataran
rendah Sei Mencirim lebih rendah dibandingkan dengan tanah di dataran tinggi dan tidak berbeda secara nyata dengan tanah di dataran rendah Pancur Batu
Sifat Kimia Tanah Hasil analisis sifat kimia tanah yang d i k e m u b dalam Tabel Lampiran 10 terdiri atas pH (H20,1 N KCl, dan 1N NaF), Al-dd, basa dapat ditukar (Ca, Mg, K, dan Na), Al dan Fe terekstrak sitrat-dithionit (Ald dan Fed), A1 dan Ee terekstrek amonium o k d m masam (Alo dan Feo), A1 dan Fe terekstrak Na-pirofosfat (Alp dan Fcp), C-organik, retensi P, kapasitas
tukar kation (KTK),dan indeks melanik
Demjad Kernasaman Tanah (pH) Nilai rataan ~HHD,p H ~ a ,dan p H w , masing-masing dikemukakan dalam Tabel 18 Tabel tersebut menunjukkan bahwa PHISKI pedon di dataran rendah Pancur Batu (60 m dml) formasi Qvbs relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi. Di dataran tinggi, pedon di Kaban Jahe menunjukkan nilai p h , o tertinggi d i b a n d i n w dengan pedon di Bandar Baru dan Kuta Gadung Tanah di dataran rendah Sei Mencirim fonnasi Qvbj juga menunjukkan p
h lebih ~ tinggi dan menurun pada pedon N~muterasi,Simpang Sipirok, dan
Tanjung Gunung yang terletak lebih tinggi Sementara p&,o
tanah dataran rendah Sei
Mencirim dan Pancur Batu tidak memperlihatkan perbedaan yang tegas. Perbedaan ~ H H K I tanah dataran rendah clan dataran tinggi disebabkan antara lain (1) jumlah bahan organik pedon di dataran rendah relatif lebih sedikit daripada pcdon di dataran tinggi dan (2) jumlah basa dan KB pedon di dataran rendah relatif lebih tinggi Hasil analisis koefisien korelasi menunjukkan hubungan yang nyata antara PHHB dengan C-organik (r -0,43**), Aldd (r -0,21*), dan KR (r 0,71**) Hubungan linier antara p ~ t l a
( Y , )
dengan C-organik (XI), Add (XZ), dan KB (Xs) dikemukakan pada persamaan 10
Tabel 18 juga menunjukkan PI-IKCI tidak memperlihatkan keragaman yang besar. Umumnya ~ H K Clebih I rendah dibandingkan dengan p
b sehingga nilai ApH relatif kecil. Niai ApH
pedon di dataran rendah, baik formasi Qvbs mau pun formasi Qvbj, menunjukkan nilai negatif yang lebih besar (< -0.5) dan cenderung semakin kecil (> -0.5) pada pedon yang lebih tinggi; bahkan ada yang bernilai positif terutama pedon di Tanjung Gunung. Menurut Uehara dan Gillman (1981), nilai ApH berhubungan dengan sifat muatan petmukaan. Nilai ApH positif, nol, dan negatif 0-0,5), menunjukkan bahwa tanah didominasi oleh mineral liat bermuatan variabel.
1029 5.78 4;42 620 6.03 -0.53 10.44 5-50 I0,39 6.01 5,s 4.4s 5.65 W.03 10.50 5.68 S,95 5.33 . 4.62 10.34 6,1M28 10,222210.42 Qhl n t u n 5.52M.33 Pkpnggung bukit; n:tengah .I1b:lembah; Swwmk * : d W Gunung SibayaL
NIZ/Sw2
SPmb TG3m T G m TGlm*
-
hpf+PrIrcI PHIDO
Berdasarkan kriteria tersebut, maka pedon di dataran tinggi didominasi oleh liat bemuatan variabel dan jurnlah liat bennuatan variabel ini berhrang di dataran rendah, baik di Pancur Batu mau pun di Sei Mencirirn. Hal ini disebabkan oleh fraksi liat di dataran rendah didominasi haloisit, gibsit, dan sedikit alofan; sedangkan pedon di dataran tin& (Bandar Baru, Kuta Gadung, Kaban Jahe) didominasi oleh alofan/imogolit. Menurut Mehlich (1981) alofan rnempunyai muatan variabel sangat tin@. (40,7 md100g) dibandingkan den*
haloisit
(12,3 md100g) dan gibsit ( 5 , s me1100g). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Arifin (1994)
yang melaporkan bahwa pada Andisol tua di Jawa Barat yang didominasi oleh haloisit dan gibsit mempunyai muatan variabel relatif kecil dan muatan permukaan tetap relatif tinggi. Sifat p H ~ . r(diukur setelah 60 menit) dapat digunakan untuk menduga ada tidaknya liat runorf dalam tanah, rnisalnya alofan dan itnogolit (Perrot et al. 1976). Penambahan NaF menyebabkan alofan dan imogolit membebaskan ion OK sekitar 1000-1900 mmoV 100g tanah sehingga pH menjadi sangat tinggi. Nilai pHw > 9,4 telah pernah digunakan sebagai penciri A d p l (Soil Survey Staff, 1975).
Pedon di dataran rendah, baik pada formasi Qvbs di Pancur Batu mau pun forrnasi Qvbj di Sei Mencirim menunjukkan pHw relatif lebih rendah dibandingkan dengan pedon di
dataran tinggi (Gambar 42 d m 43). Perbedaan ini disebabkan jumlah alofan lebih rendah pada pedon di dataran rendah daripada di dataran tinggi. Nilai p H w pedon dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj relatif lebih tin& dibandingkan dengan pedon dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs. Hal ini disebabkan jumlah alofan pedon di dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj lebih tinggi daripada jumlah alofan pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs. Secara vertikal, ~ H Ujuga P menunjukkan berbeda antar horizon. Umumnya, nilai ~ H w relatif lebih rendah pada horizon permukaan dan meningkat pada horizon bawah (Gambar 42 dan 43). Pcrbcdaan ini discbabkan oleh jumlah alofan pada horizon permukaan relatif lebih rendah dan meningkat pada horizon di bawahnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh beberapa peneliti (Syarif, 1990; Arifin, 1994) Pada pedon dataran rendah Sei Mencirim, pengaruh topografi terhadap PHNGsangat jelas dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi (Gambar 44). Pedon yang terletak di tengah dan kaki lereng (SMzSM,.Sh.t) mempunyai nilai rata-rata ~HN.Frelatif lebih rendah dibandingkan dengan nilai pHtua pedon-pedon yang terletak pada posisi punggung bukit (SMI dan SMd. Hal ini didabkan ada pedon di punggung bukit (SMI dan SMs) mempunyai kandungan alofan lebih tinggi sedangkan pada pedon di tengah dan kaki lereng didominasi oleh haloisit (Gambar 23 dan 24). Hasil perhitungan juga menunjukkan bahwa kandungan alofan lebih rendah pada pedon SMzSM3, S& (2,61-10,O 1%) dibandingkan dengan pedon SMI dan SMr (10.50-1 1.77%) (Tabel Lampiran 10). Sementara pada pedon di tempat lebih tinggi (Tanjung Gunung, Bandar Baru, dan Kuta Gadung), topografi kurang berpengaruh terhadap p H ~ karena s susunan mineral liat tidak b d e d a seperti yang ditunjukkan oleh hasil analisis XRD dan DTA. Nilai ~ H N berhubungan & dengan jumlah alofan. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh koefisien korelasi sangat nyata antara PHN.Fdan alofan, baik pada formasi Qvbs (r :0,53**) mau pun pada formasi Qvbj (r: 0,57**). Hubungan tinier antara p H w (YN.F)dengan jumlah alofan dikemukakan pada persamaan I I. Yw = 9/53 + 0,057 (Alofan), R~: 0,43** ............ (I 1) Berdasarkan hubungan ini dapat disimpukan bahwa ~HN.F meningkat dengan meningkatnya jumlah dofan.
Gambar 42. Hubungan ketinggian dengan p H w pada fomasi Qvbs
SM1140m
spnoom
TO14CQn
TGI~SO~
PedonKetinggian
Gambar 43. Hubungan ketinggian dengan p H w pada formasi Qvbj
Gambar 44. Hubungan topogrd dengan pH-NaF [Pb:punggung bukit; TL:tengah lereng, Lb:lembahj B a s a - b . ~Dapat Ditukar
Basa-basa dapat ditukar terdiri atas kation-kation Ca", Takronomi T d , j
Mg", K', d m Na' Dalam
d basa dapat ditukar dan A1 dapat ditukar (Aldd) digunakan sebagai
penciri acraquoxic, acrudoxic (jumlah basa + AlddL 2,O crnol (+)/kg) dan eutric (jurnlah basa > 25.0 cmol (+)/kg) pada tingkat Sub Group OJSDA, 1994).
Kandungan rataan Ca, Mg,K, dan Na disajikan dalam Gambar 45 dan 46; sedangkan
KB disajikan dalam Tabel 19. Gambar dan tabel tersebut menunjukkan bahwa sebaran basa dapat ditukar dan KB lebih tinggi pada pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs dan dataran rendah Sei Mencirim
formasi Qvbj dibandingkan dengan pedon pedon yang
terletak lebih tinggi. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh plapukan pedon di dataran rendah lebih intensif dan pencucian relatif lebih lambat sehingga kation yang berasal dari pelapukan dapat bertahan lebih lama di dalarn tanah, sedangkan di dataran tinggi, pelapukan relatif lebih lambat d m pencucian lebih intensif sehingga kation yang dibebaskan lebih cepat tercuci. Gejala ini menunjukkan bahwa faktor iklim sangat berpengaruh terhadap sebaran basa dapat ditukar. Tabel 19 menunjukkan bahwa pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs mempunyai kandungan basa (Ca, Mg, K, dan Na) dan jumlah basa dapat ditukar lebih tinggi
dibandingkan dengan pedon di dataran rendah Sei Mencirirn formasi Qvbj.
PW60
BB31800
KYllOO
KOUISM)
PedonIKetinggian (rn dml)
Garnbar 45. Sebaran Ca, Mg, K, dan Na pada tanah formasi Qvbs
Gambar 46. Sebaran Ca, Mg, K, dan Na pada tanah formasi Qvbj
Perbedaan ini dapat dihubungkan dengan (1) pedon di Pancur Batu telah melapuk lebih lama karena lebih tua sehingga kation basa telah dibebaskan lebih banyak dan (2) pencucian relatif lebih lambat pada formasi Qvbs karena jumlah liat dan KTK relatif lebih t i n e . label 19 N i h mltvm Cq Mg,K, Na. Jumlah baJa (me/100g), dan KB (%) pd.pedungcdon ynng Lk11l1
Tabel 19 juga menunjukkan bahwa nilai rata-rata kandungan Ca, Mg,K, dan Na, masingmasing adalah 3,22, 0,81, 0,68, 0,31 rnd1OOg untuk fonnasi Qvbs dan 3.12, 0,78, 0.42, dan 0.25 md100g untuk formasi Qvbj secara berurutan Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pada kedua formasi tersebut, jumlah Ca adalah yang terbanyak dan diikuti oleh Mg,K, dan Na Urutan tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh beberapa peneliti ( Syarif,1990, Supriyo et al, 1992;Arifin, 1994).
Jumlah basa dapat ditukar dipengaruhi oleh faktor topografi Pedon di cekungan Sei Mencirim (SM3 dan SM),Tanjung Gunung (TG3), Kuta Gadung (KG,dan KG3) mernpunyai jumlah basa dapat ditukar relatif lebih tinggi d i b a n d i a n dengan pedon-pedon di punggung bukit (Tabel 19) Gejala ini dapat disebabkan oleh: (I) proses pelapukan pedon-pedon di lembah lebih intensif daripada yang terletak di punggung bukit seliigga jumlah kation basa yang dibebaskan dari pelapukan mineral lebih banyak, dan (2) kation hasil pelapukan mineral pedon pada lereng di atasnya dapat terangkut oleh emsi clan diakumulasikan di cekungan Kedua proses tersebut akan memperkaya kandungan jumlah kation pada pedon-pedon yang
terletak pada posisi cekungan Namun, kation basa pedon dl cekungan juga dapat tercucl oleh aliran air tanah seepage. Peristiwa ini kemungkinan tqadi pada pedon di Bandar Baru
sehingga jumlah basa pedon di cekungan relatif lebih rendah Keadaan
ini sangat
meml~ngkink~ karena pedon tersebut berada di daerah curah hujan tertinggi (Garnbar 10)
Sementara, pedon lain, pmcucian kemungkian relatif lebih kccil dibandingkan dengan jumlah basa yang d i m u l a s i k a n . Pada pedon di Namuterasi menunjukkan bahwa tanah yang disawahkan lebih lama @IT2) menunjukkan jumlah basa dapat ditukar dan KB lebih tinggi diiandingkan dengan pedon yang disawahkan lcbih muda (NTI) Hal ini dapat disebabkan oleh ( I ) pelapukan mineral primer telah berlangsung lebih lama dan intensif sehingga pembcbasan kation lebih banyak. (2) adanya tambahan dari luar, misalnya pemupdcan danlatau e h p a n dari air irigasi. Secara vertikal, sebaran kandungan kation dan jumlab kation beragam antar horizon (Garnbar 47). Atas dasar distribusi tersebut ditemukan dua kelornpok pedon (1) pedonpedon yang mempunyai kandungan kation basa relatif lebih t i n e pada horizon wh dibandingkan dengan horizon bawah permukaan (PB, BBl, BBI, KC,KG3, KG,) dan (2) pedon-pedon yang mengandung kation basa meningkat dari horizon atas ke horizon di bawahnya (BB2, KGI. SMI, SM2, SM3, SU*, dan TG). Pedon kelompok pertama sesuai dengan hasil peneliian Shoji el a1 (1985) yang menemukan jumlah basa sebesar 5 0 md100g pada horizon permukaan dan 1,4 mdlOOg pada horizon bawah permulaan. Hal ini dapat disebabkan oleh (I) adanya tambahan basa dari sumber Lain, misalnya pemupukan karena
tanah tdah digunakan sebagai areal pertanian, dan (2) alaunulasi basa pedon di cekungan yang diangkut oleh erosi dari pedon di tengah dan kaki lereng, dan (3) pembebasan basa dari mineral primer karena proses pelapukan sangat intensif pada horizon permukaan dan kemungkinan tertahan oleh bahan organik, dan pengaruh pencucian relatif lebih kecil. Pada pedon kelompok kedua, peningkatan jumlah kation dari horizon atas ke horizon bawah dapat disebabkan oleh (1) pencucian sangat intensif karena hampir semua pedon kelompok ini terletak di kaki lereng. kecuali pedon di Bandar Baru (BBS terletak di tengah lereng dan (2) pengaruh pengolahan tanah yang sangat intens* terutama pedon-pedon di Sei Mencirim (SMI,SM~SMJ,SK) menyebabkan pencucian berlangmg intensif Gambar 47 juga menunjukkan bahwa nisbah Ca/Mg mmingkat dari horizon permukaan ke horizon bawah permukaan, baik di dataran rendah mau pun di dataran tinggi.
LkM2kwu
Ap 153 0.32 3.30 4.84
AB 0.67 0.12 1.34 5.50 Bw 0.69 0.12 1.30 5.63 BC 0.62 0.11 1.08 5.80
-
t
0.54 0.26 5.97 1.97 Bwl 4.73 0.30 3.14 6.49 BWZ 3.87 0.58 1.58 6.74 BC 3.30 0.78 2.36 524 Ap
m
4.78 1.41 8.33 3.39 A 0.66 0.33 2.12 1.96 BWI0.87 0.34 2.48 2.57 B w 1.14 0.52 2.95 221 BCI 1.91 0.54 4.94 3.50 BC23.95 0.73 5.28 5.43 Ap
-
BB3
Ap 6.93 0.95 8.45 7.32
AB 1.42 0.49 2.40 2.91 Bw 0.72 023 1.28 3.1 1 BC 0.64 0.16 1.00 4.00
Ap 4.95 0.82 6.37 6.04
AB 1.18 Bwl 1.60 BW2 0.54 BC 0.73
Ap
129 022 6 3 5.77
AB 1.42 0.16 2.45 8.90 Bw 1.47 0.1 3 2.42 11.75 BC 1.87. 0.12 2.86 14.80 BC/C 1.10 027 2.53 4.00
0.45 0.45 0.35 0.42
2.19 2.57 I28 1.71
2.63 3.54 1.54 1.71
TG
5.42 1.88 7.81 2.89 Ab 5.48 1.19 7.33 4.59 AB 1.57 0.40 2.38 3.92 BwKJC 2.84 0.57 4.05 4.97 A
-U SMS Ca Mn Tba CatMa Ap 526 1.08 6.75 4.86 A 4.55 0.55 5,40 8.35 BCI 2.73 035 3.43 7.70
BCz 2.52 024 Cl 228 0.17 C2 1.99 0.16 C3 2.57 025 ZC 4.55 0.84
3-05 2.73 2.49 3.41 7.85
10.35 13.13 12.13 1026 5.42
U
SM3
Ap 322 0.83 A 3.44 0.92 Bw 3.13 0,65 Bg1 3.08 0.77 B ~ 4 . 7 42.26 BC 6 3 3.68
529 5.42 4.46 4.60 8.01 11.08
3.87 3.72 4.85 4,02 2.10 1.71
Gambar 47.Sebaran kation dan nisbah CaIMg pada pedon terpilih.
125
SMI
Ca Mn %CslMg Ap 2-37 0.33 3.09 7.23 A 2.79 0.31 3.35 8.96 BC 2.78 023 3.36 12.19 2BCt 1.67 0.21 2.09 8.00 2BC2 0.79 0.10 1.08 7.80
Perubahan tersebut merupakan bukti adanya pengaruh pencucian terhadap unsur, terutarna Ca, dari horizon permukaan ke horizon bawah Al dan H ckstnk IN KC1 dan Kejenuhaa Al
Aluminium (Al) dan Hidrogen (H) yang terekstrak dengan IN KC1 m p a k n n bentuk Al dan H yang dapat dipertukarkan (Aldd dan Hdd) Kedua unsur t e W t merupakan sumber kmrasaman tanah yang berpengaruh terhadap pH tanah Konsentrasi Al-dd IN KCI,
dalam TakPummr Tanah, digunakan sebagai kriteria sifat alic pada kategori Great Group
S i die dapat -thi
jika konsentrasi Aldd >2,0 cmol(+)/kg Di samping itu, bersama
dengan jumlah basa dapat ditukar, Al-dd merupakan syarat dalam menartukan kriteria acrudouc m a s a+ Al < 2.0 Cmol(+)/kg).
Hasil penelitian (Tabel Lampiran 10) menunjukkan bahwa jumlah Al-dd tergolong rendah (< 2,O me1100g) sehingsa tidak memenuhi sifkt aIrc Tabd tersebut juga menunjukkan bahwa
jumlah Aldd pedon di dataran rendah Pancur Batu fonnasi Qvbs relatif lebii tinggi dibandingkan dengan pedon di dataran tin& yang terletak di punggung bukit nP-
ini
kemungkinan disebabkan oleh tingginya tingkat pelapukan pada pedon di dataran rendah dan pencucian pedon di dataran tin&
Di dataran tinggi, pedon KG3 di cekungan juga
menunjukkan jumlah Aidd tertinggi yang berhubungan dengan rendahnya pH tanah. Pada formasi Qvbj, jumlah Al-dd pedon di dataran rendah relatif lebih rendah dan meningkat pada pedon yang lebih tinggi (Simpang Sipirok dan Tanjung Gunung) Perbedaan pada formasi ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh pH yang relatif rendah (Tabel 18) sehingga sebagkn oksida Al akan melarut Keadaan ini didukung pula oleh tingginya jurniah ion
H'dan gibsit
pada f o m i ini Selain itu, Al-dd dapat berasal dari AI-humus dan amorf yang jumlahnya relatif t i n m Hal ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang nyata antara Aldd dengan Alp (0.44**), N o (0,35**), dan alofan (-0,14) Hubungan antara N-dd dengan Aip adalah yang paling erat clan korelasi negatif dengan alofan kemungkinan Al-dd dierap oleh alofan Kandungan C-organik Tanah
Kandungan C-organik pada horizon permukaan formasi Qvbs dan Qvbj, masing-masing disajikan dalam Gambar 48 dan 49 Gambar 48 menunjukkan bahwa kandungan C-organik pedon di dataran rendah Pancur Batu fonnasi Qvbs lebih rendah dan meningkat pada pedon di dataran tin& (Bandar Baru, Kuta Gadung, dan Kaban Jahe) Jurnlah C-organik tertinggi
Gambar 48. Sebaran C-organik menurut ketinggian pada tanah formasi Qvbs
Gambar 49. Sebaran C-organik menurut ketinggian pada tanah formasi Qvbj
berada pada pedon di Bandar Batu. Sementara pada formasi Qvbj, juga menunjukkan pola sebaran C-organik tanah yang sama dimana k a n d u n p C-organik tanah dataran rendah Sei
Mencirim lebih rendah dan meningkat dengan semakin tinggi tempat. Kandungan C-organik
tanah dataran rendah Pancur Batu relatif lebih rendah daripada dataran rendah Sei Mencirim. Rmdahnya C-organik pada pedon di dataran rendah Pancur Batu mau pun di Sei
Mencirim disebabkan 01th pelapukan bahan organik sangat i d f karma suhu tinggi.
Ssmentara tingginya Corganik pada pedon di Tanjung Gunuq dan Bandar Baru disebabkan oleh tingginya curah hujan dan suhu relatif rendah (Gambar 6 dan 7). Pola sebaran Gorganik tanah tersebut kelihatannya mengihti pola curah hujan dimana
pada deerah curah hujan tertinggi juga ditemukan kandungan C-organik tanah tertinggi (pedon Tanjung Gunung dan Bandar B m ) . Pola sebaran C-organik tersebut sesuai dengan hasil penelitian Arifin (1994) yang menemukan kandungan Gorganik tertinggi pada Andisol yang berkembang di bawah pengaruh curah hvjan tinggi. Tingginya curah hujan mendukung pertumbuhan vegetasi yang menrpakan sumber bahan organik tanah; sedangkan suhu rendah menghambat proses dekomposisi bahan organik tanah. Kedua aspek tersebut mmdukung untuk terjadinya laju akumulasi bahan organik lebih tinggi daripada laju dekomposisi sehingga kandungan C-organik selalu Warn jumlah tinggi. Sementara pedon di dataran tinggi Kuta Gadung dan Kaban Jahe, meskipun berada di bawah pengaruh iklim yang ma,tetapi curah hujan dan suhu relatif lebih rendah (Gambar 6 dan 7). Keadaan tersebut maryebabkan produksi bahan organik relatif rendah. Selain itu, pedon di Kuta Gadung dan Kaban JBhe telah digunakan sebagai areal pertanian yang
mendapat perlakuan pengolahan tanah
yang sangat intensif. Perlakuan tersebut dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Sebaran kandungan C-organik juga sangat dipengaruhi oleh faktor topografi (Tabel Lampiran 10) Kandungan C-organik pada pedon di kaki lereng Tanjung Gunung (TG), Bandar Baru (BB,), dan Kuta Gadung (KG,) relatif lebih tinggi daripada C-organik pada pedon di punggung bukit (KG,, BB3, dan TG2) Di samping itu, pedon KG,,KG,. TG3, dan BBI mempunyai ketebalan horizon A yang mengandung Csrganik >6% juga lebih tebal. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh erosi dan akumulasi bahan dari daaah lereng yang lebih tinggi. Berbeda dengan transek di dataran rendah Sei Mencirim, pedon yang terletak di lembah (SMJ dan SM4)mengandung C-organik relatif lebih rendah daripada pedon-pedon yang terletak di punggung bukit (SM, dan SM5). Gejala tersebut dapat 128
disebabkan oleh: (I) pengaruh erosi kurang berperan karena kemiringan relatif rendah ( I 2%), (2) pedon di cekungan mendapat pengolahan tanah sangat intensif karena berada di areal perkebunan sehingga memungkinkan dekomposisi bahan organik lebih cepat, dan (3) proses pelapukan pada pedon di cekungan (SM3 dan SM4) lebih intensif karena reduksioksidasi akibat pengaruh fluktuasi air tanah sangat beqcran sepanjang tahun; sedangkan pedon di punggung bukit (SMI dan SM5) kurang dipengaruhi oleh keadaan air tanah. Pengaruh pengolahan tanah sangat jelas berperan dalam mernpengaruhi C-organik. Hal ini
dibuktikan oleh kandungan C-organik pada pedon yang diolah intensif (SM,. SMt SMa SM,) lebih rendah dibandingkan dengan C-organik pedon yang tidak diolah intensif (SM, ). Pedon SMI, SMZ, SM3, dan SM, terletak di areal perkebunan tembakau-tebu PTP IX (sekarang
bernama PTPN 11) yang mendapat perlakuan pengolahan tanah
~ecaniintensic
sedangkan
pedon SM3 terletak pada areal yang relatif kurang tergangguhelum mendapat pengolahan yang intensif
Bahan organik berperan dalam pembentukan Fe- dan A-humat, jumlah alofan, dan daya menahan air. Peranan tersebut dibuktikan oleh kordasi yang nyata antara C-organik dengan beberapa sifat tanah ((Tabel 20). Adanya korelasi positif C-organik dengan Feo, Fep, Alo, dan Alp menunjukkan bahwa peningkatan C-organik akan diikuti oleh meningkatnya pembentukan kompleks organik @edan Al-humat). Hal ini sesuai dengan hasil penelitan Arifin (1994) yang menemukan bahwa peningkatan C-organik disertai dengan peningkatan Al, Fe, dan Si pada Andisol w g berumur lebih tua. Sementara menurut Wada (1989), Fe dan AI yang dibebaskan dari pelapukan mineral akan membentuk kompleks F s dan Al-organik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kandungan Feo, Fep, Alo, dan Alp berhubungan dengan kandungan Corganik tanah dalam pembentukan kompleks organik. Tabel 20. Korelasi kandungan C-organik dengan beberapa sifat tanah. Sifat tanah Alo
Alp (Al+ lRFe)o Feo pep Alofan
AhISharth Ai115twUb
Ks-lmhb lapang Ka-kering udam 0: drsalat; ppirorosfat
KoeIisien koreIasl, r 0.65.. 0.4S8* 0.62.. 0.43'. 0,67** 0f 8" 0.6S8* 0.63.. 0,5S0* 0,62*'
Korelasi Corganik dan alofan (r.0,28**) menunjukkan adanya saling pen-
antara
bahan organik dan dofan Menwut Wada (1989) d o h dapat berinterakni dengan bahan organik tMah antarn lain asetat, sitrat, anion organik BM tinggi, dan enzim (protease dan
amilase wta aubstratnya). Ikatan antara bahnn organik dengan alofan W i t m&dungi bahan organik dari dekomposid 01th mikroorgardsme tanah, sedangkan dommogolit
dengan enzim mengurangi aktihtas enzim
ikatan antan
dalam merombak bahan organik
sehingga bahan organik dapat bertahan dalam waktu lebih lama Atas dasar ini maka rendahnya jumlab C-organik pada pedon di cekungan dataran rendah Sei Mencirim (SM3) lcemungkinan diiabkan oleh rendahnya jumlah alofan karena tclah berubah menjadi metahaloisit/hdoisit. Keadaan ini juga ditemukan pada pedon dataran rendah Pancur Batu yang juga mengandung jumlah alofan rendah dan haloisit relatif tinggi ternyata juga mengandung C-organik yang rendah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada tanah yang mengandung jumlah alofan rendah juga mcrmnjukkan jumlah bahan organik rendah sehingga alofm dapat d
i
i sebagai pengawet bahan organik.
Kapwitas Tukar Kation Nilai KTK-NH40AcpH7 dan KTKefektif rataan dikemukakan dalam bentuk Gambar 50
dan 5 1. Gambar 50 menunjukkan bahwa pedon di dataran rendah P m r Bahr fommsi Qvbs m d i KTK-NH40AcpH7 nlatif lebih rendah daripada pedon di dataran tinggi Bandar
Barudan Kuta Gadung Pads formasi Qvbj, pedon di dataran rendah Sei Mencirim jv menunjukkan KTK-NH40AcpH7 relatif lebih rendah
dm meningkat pada pedon
Nmuterasi, Simpang Sipirok, dan Tanjung Gunung yang terletak lebih tinggi. Perbcdaan ini disebabkan oleh jumlah bahan organik dan alofan relatif rendah pada pedon di dataran rendah daripada pedon di dataran tinggi. Korelasi -fat
positif antara KTK-NH40AcpH7 dengan bahan organik, alofan, dan
beberapa sifat tanah lain seperti dikemukakan dalam Tabel 20. Hubungan Vier antara KTKNH40AcpH7 (Ym) dengan Peo,Alo, C-organik, dan liat dikemukakan pada persamaan 12. YpHl= 3,93 + 2,91Feo + 0,77Alo + 0,28C + 0,lSLii
R': 0,60**................ (12)
KTK-NH40AcpH7 pedon di dataran rendah Pancur Batu fonnasi Qvbs menmjukkan nilai lebii tinggi diimdingkan dengan pedon dataran rendah Sci Mencirim formasi Qvbj.
Gambar 50. Sebaran nilai KTK,menmt ketinggian pada formasi Qvbs.
Gambar 51. Sebaran nilai KTK menurut ketinggian tanah formasi Qvbj
Hal ini disebabkan oleh jumlah liat pada pedon di Pancur Ratu lebih tinggi sehingga luas
permukaan spesifik akan lebih luas; sedangkan, pedon di Sei Mencirim mempunyai jumlah pasir sangat tinggi atau liat relatif rendah sehingga luas pemukaan spesifik relatif kecil.
Jumlah bahan organik p d a kedua pedon tersebut tidak jauh berbeda. Secara umum KTKNH40AcpH7 pedon formasi Qvbs juga menunjukkan lebih tinggi daripada pedon formasi
Qvbj.
KTK-efektif juga menunjukkan keragaman antara dataran rendah dan dataran tinygi Pedon di dataran rendah, baik di Pancur Batu formasi Qvbs rnau pun di Sei Mencirirn, menunjukkan KTKefektif lebih tinggi dan cenderung menurun pada pedon-pedon yang terletak lebih tinggi (Garnbar 50 dan 51). Perbedaan te.rsebut dapat disebabkan oleh: (1) pedon di dataran tinggi, proses pelapukan mineral relatif lebih lambat sehingga jumlah basa
dan Aldd yang dibebaskan masih sedikit sedangkan tinght pencucian lebih intensif karena curah hujan lebih tinggi sehingga jumlah bw-basa dalam solurn menjadi sedikit dan (2) pedon di dataran rendah, proses pelapukan lebih intensif sehingga jumlah basa yang dibebaskan relatif banyak sementara pcucian relatif lebih rendah karena curah hujan lebih rendah sehingga jumlah basa lebih tinggi. Korelasi antara KTKefektif dengan jumlah basa, Aldd,
dan sejumlah sifat tanah lainnya dikemukakan dalam Tabel 21 dan hubungan linier antara KTKefektif (Y-
) dengan jumlah basa dan Al-dd diiemuhkan pada persamaan 13
Tabel 21. Korelasi KTK-NH40Ac dan KTK-efektif dengan beberapa sifat tanah Sifat fanah KOmsien lrorclasi Lial C-organik
Fed Fw FV Ald Alo ALP
Ferihidrit Aldd Basa dapat ditukar
Alofan nyata pada 05; **: nyata pada .O1
KTKNH40Ac 0.41.. 0,56** 0.45** 0.58** 0,66** 0,74** 0,57** 0,49** 0,57** 0.22' 0.06
0.20
KTK-dii 0.26* 4.19
-0.02 4.15 -0.oo4 -0.13 4.08
-0.008 -0.08 0,24* 0,94** -0.37*
KTK-efehif juga dipengaruhi oleh topografi, terutarna pada transek lereng di Sei Mencirim. Tanjung Gunung, dan Kuta Gadung. Pedon di pungeung bukit mempunyai KTKefektif relatif lebih rendah dan cenderung meningkat pada pedon di cekungan (Tabel Lampiran 10) Perbedaan tersebut diibabkan, antara lain, oleh. (1) kation basa hasil pelapukan di lereng lebih tinggi yang kemungkinan terangkut oleh erosi dan diendapkan di cekungan, (2) pelapukan pedon di cekungan relaiif lebih intensif sehingga dapat membebaskan jumlah basa lebih banyak, dan (3) adanya peningkatan KTKM&OAcpedon dj cekungan sehingga mampu menahan jumlah basa lebih banyak, dm (4) kemungkinan proses
pencucian relatif lebih intensif pedon di punggung karena drainase lebih baik, sedangkan, proses pencucian pedon di cekungan lebih lambat karma drainase lebih terharnbat Retensi Fosfat Retensi P menurut ketinggian pada formasi Qvbs dan Qvbj disajikan dalam bentuk
Garnbar 52 dan 53 Gambar 52 menunjukkan bahwa retensi P pada pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs adalah yang terendah dibandingkan dengan pedon-pedon di dataran tinggi Bandar Baru, Kuta Gadung, dan Kaban Jahe. Hal ini disebabkan oleh kandungan alofan pedon di dataran rendah Pancur Batu adalah sangat rendah dan meningkat pada pedon di dataran tinggi seperti yang telah dikemukakan dalam uraian terdahulu Pada formasi Qvbj. Gambar 53 juga menunjukkan bahwa retensi P relatif lebih rendah pada pedon di dataran rendah Sei Mencirirn dan m e n i q h t pada pedon yang terletak lebih tinggi. Peningkatan ini sesuai dengan peningkatan jumlah alofan dengan semakin tingginya tempat Dibandingkan dengan pedon dataran rendah Pancur Batu (Gambar 52), retensi P di dataran rendah Sei Mencirim (Gambar 53) masih lebih tinggi Hal ini disebabkan oleh jumlah alofan pada tanah di Sei Mencirirn relatif lebih tinggi daripada di Pancur Batu
PB160
BBlUW
KYIIOGm
K'J11300
PedonlKetinggian (m dml)
Gambar 52. Hubungan ketinggian dengan retensi P pada formasi Qvbs
Gamba~53.Hubungan yang kctinggian dengan retensi P pada formasi Qvbj Di dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj, retensi P dipengaruhi oleh topografi
(Tabel 22). Retensi P pedon di lembah (SW dan SM,) relatif lebih rendah diidingkan
NTI (100m dml)
KG4 (1 300 m dml)
dengan pedon di punggung bukit (SMI dan SM,). Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan susunan mineral liat dimana pedon di pungyng bukit (SM, dan SMr) didominasi oleh alofm, sedangkan pedon di cekungan (SM,) didominasi oleh metahaloisit seperti yang ditentukan oleh hasil analisis DTA. Pada transek lain (Tanjung Gunung, Bandar Baru, dan
Kuta Gadung), topograti tidak berpengamh terhadap retensi P karena susunan mineral liat tidak be&da Retensi P berhubungan dengan beberapa sifat tanah yang ditunjukkan oleh korelasi yang nyata antara retensi P dengan beberapa sifat tanah (Tabel 23). Tabel tersebut menunjukkan bahwa rctensi P berkorclasi positif dengan Jofan, Fc(d,o), Ald, Fc(d-o), Fe(d-p) dan pHw. Hubungan linier juga ditemukan secara nyata antara retensi P (Yp) dengan No, Feo, dan Jofan yang ditunjukkan oleh persamaan 14. Persamaan 14 menunjukkan bahwa koefisien regresi alofan adalah terbesar dibandingkan dengan koefisien regresi Feo dan Alo. Ini berarti bahwa alofan mempunyai pengaruh yang terbesar dalam retensi P.
Tabel 23. Koefisien korelasi retensi P dengan beberapa sifat tanah Sifat tanah Koefisien korelasi, r Ald No NP Nofan
I
0,44**
I
Fed Feo Fcp E'aihidnl Lil Ndd PFIN.F ~e(d4)'
A1 dan Fe Terekstrak Sitrat-dithionit (Ald dan Fed)
Aluminium terekstrak sitratdithionit (Ad) adalah A yang berasal dari kompleks organik (A-humus), oksida A berhidrat non kristalin, dan sedikit gibsit; sedangkan Fed adalah Fe terekstrak dari Fskompleks organik (Fe-humus), oksida-hiroksida Fe non kristalin (ferihidrit), dan oksida Fe kristdin (goetithematit) (Mizota dan van Reeuwijk, 1989; Wada, 1989). Kandungan Ald dan Fed masing-masing pada horizon A dan B disajikan dalam Gambar 54 dan 55. Gambar 54 menunjukkan bahwa kandungan Ald pedon di dataran rendah Pancur
BBnOO
KYllOha
K(111300
PedoMetinggian (rn dml) Ciamlxir 54. S e h d n Fed dan Ald pada fllnah fdm& Qvbj. [PB:Pdncur Batu; 6B:Bandar Bm; KG:KutaGactung; KI:Kaban Jahe]
0 SW40
SP1200
ml4W
El550
PedonIKetinggian (m dml) Gamhar
Sebaran Fed dan Ald pada tanah formaqi Qvbj [SM:Sei Mcncirirn; SP:SimpangSipirok;W~:Tanjung Cmnung]
Batu formasi Qvbs relatif lebih rendah dan meningkat pada pedon dataran tinggi Bandar Baru dan Kuta Gadung. Di dataran tinggi, kandungan Ald pedon di Bandar Baru adalah tertinggi dan pedon di Kaban Jahe menunjukkan jumlah sangat rendah. Perbedaan ini disebabkan oleh pedon dataran rendah di Pancur Batu mempunyai jumlah alofan dan bahan organik relatif rendah. Rendahnya bahan organik mengakibatkan pembentukan Alhumus rendah sehingga A1 yang dibebsskan dari pelapukan cmderung membentuk gibsit dantatau sebagian tercuci.
Keadaan ini mengurangi jumlah A1 terekstrak sitratdithionit. Rendahnya kandungan Ald pedon di Kaban Jahe juga disebabkan oleh rendahnya jumlah alofan dan bahan organik. Hubungan antara Ald dengan alofan dan beberapa bentuk Al lain dikemukakan ddam Tabel
Pada formasi Qvbj, Gambar 55 menunjukkan bahwa jumlah Ald pedon di dataran rendah
Sei Mencirim relatif rendah dan meningkat pada pedon di Simpang Sipirok. dm Tanjung Gunung yang terletak semakin tinggi. Peningkatan im juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah alofan dan bahan organik dengan semakin tinggi tempat Dibandingkan dengan formasi Qvbs (Gambar 54), umumnya Ald pedon di fomasi Qvbj (Gambar 55) relatif lebih kndah. Hal ini disebabkan oleh (I) jumlah alofan relatiflebih tinggi pada formasi Qvbs daripada formasi Qvbj, (2) tingkat pelapukan pedon formasi Qvbs relatif lebih tinggi sehingga jumlah A1 yang dibebaskan dari pelapukan mineral primer lebih banyak, dan (3) jumlah bahan organik pedon pada formasi Qvbs relatif lebih tinggi sehingga potensi pembentukan Al-humus lebih besar, dan (4) jumlah gibsit pada formasi Qvbj relatif lebih
tinggi dimana mineral ini sangat sedikit dapat terekstrak oleh sitrat-dithionit. Kandungan Fed (gambar 54) juga menunjukkan bahwa pada horizon B pedon di
dataran rendah Pancur Batu relatif lebih tinggi dm cenderung menurun pada pedon di
dataran tinggi Gejala ini berhubungan dengan tingkat pelapukan yang semakin rendah dengan semakin tinggi tempat sehingga jumlah Fe yang dibebaskan dari pelapukan mineral primer sernakin berkurang dan pembentukan Al-humus relatif lebih intensif. Pada formasi Qvbj, Garnbar 55 menunjukkan bahwa Itandungan Fed pedon di dataran
rendah relatif rendah dan meningkat pada pedon yang tertetak lebih tinggi. Peningkatan ini disebabkan oleh. (1) kandungan bahan organik di dataran rendah Sei Mencirim relatiifrendah sehingga pembentukan Fe-humus sangat rendah, akibatnya sebagian Fe yang dibebaskan dari pelapukan akan tercuci, (2) Fe pada h o r i m B pedon di dataran rendah Sei Mencirim mengalami reduksi sangat intensif sehingga kelarutan Fe sangat tinggi dan mudah tercuci, (3) jumlah bahan organik di dataran tinggi lebih tinggi sehingga mendukung pembentukan Fehumus yang dapat mengurangi pencucian Fe, dan (4) pedon di tempat lebih tinggi (Simpang Sipirok dan Tanjung Gunung menunjukkan jumlah magnetit relatif tinggi (Tabel Lampiran 8) Menurut Wada (1989) pelapukan mineral ini &an membentuk goetifiematit dan ferihidrit
Hal ini sesuai dengan meningkatnya jumlah ferihidrit dan goetit/hematit dengan kctinggian tempat seperti yang telah dibahas dalam susunan mineral Baik Fe-humus, ferihidrit mau pun goetithanatit adalah bentuk Fe yang dapat diekstrak oleh sitrat-dithionit dengan baik. Hubungan antara Fed dengan Fe-humus (Fep), ferihidrit, dan goetithematit dikemukakan dalam Tabel 24 Kandungan Fed pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs (Gambar 54) lebih tinggi daripada pedon di dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj (Gambar 55). Perbedaan ini berkaitan dengan tingkat pelapukan pedon di Pancur Batu lebih tinggi sehingga memungkinkanjumlah Fe yang dibebaskan lebih banyak Pengaruh topografi terhadap Fed secara tegas ditemukan pada pedon di dataran rendah Sei Mencirim fonnasi Qvbj, sedangkan pada pedon lain, pengaruh topograli kurang tegas (Tabel Lampiran 10) Pedon di tengah lereng dan cekungan (SM2 dan SM,) di dataran rendah Sei Mencirim menunjukkan jumlah Fed lebih tinggi dibandingkan dengan pedon di punggung bukit (SM, d m SM5) Hal ini dapat disebabkan oleh (1) pelapukan mineral pada pedon di
cekungan lebih intensif dibandingkan dengan pedon di punggung bukit, dan (2) kemungkinan sebagian Fe hasil pelapukan pedon di punggung bukit terangkut oleh erosi d m diakumulasikan di cekungan.
A1 dan Fe Terekstrnk Ammonium Oksalat Masam (Alo dan Feo)
Seperti Ad, A1 terekstrak oksalat (Alo) masam juga berasal dari sumber Al yang hampir eama, yakni alofan/imogolit kompleks organik (A-humus), oksida Al berhidrat non kristalin.
Perbedaannya adalah dalam ha1 kemampuan pelarutan masing-masing ekstraktan. Oksalat
masam mempunyai kanampuan relatif lebih kuat dalam melarutkan Al dari alofan dan imogolit; aedangkan sitratdithionit relatif lebih lemah. Sitrat-dithionit dapat melarutkan gibsit relatif lebih kuat dibandingkan dengan oksalat masam (Miwta dan van Reeuwijk. 1989;Wada, 1989). Oleh karenanya, menurut Pariitt el al. (1982). kandungan Ald dan Alo tidak be&
jauh dan Alo relatif lebih sesuai digunalcan untuk menduga jumlah Al yang
berasal dari bahan amorf. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa jumlah Alo tidak beheda jauh dan umumnya relatif lebih ti&
daripada Ald (Tabel Lampiran 10). Hal i~
d i i k a n oleh pengekstrak oksalat masarn mempunyai kemampuan yang lebih baik
dibandingkan dengan sitrat dithionit
dakm mengekstrak A dari bahan amorf
( a l ~ f ~ m o g o l i(Mizota t) dan van Rceuwijk, 1989). Hasil seperti ini juga telah dilaporkan oleh banyak peneliti (Syarif, 1990; Shoji el al. 1988; Parfitt dan Hanmi, 1982). Kandungan Alo pada horizon A dan B disajikan dalam bentuk Gambar 56 dan 57.
Garnbar 56 menunjukkan bahwa Alo pedon di dataraa tinggi Bandar Baru dan Kuta Gadung relatif lebiih tinggi; sedangkan pedon di Kaban Jahe relatiflebih rendah dibandingkan dengan pedon di dataran rendah Pancur Batu. Rendahnya Alo pedon di dataran rendah Pancur Batu
dan dataran tinggi Kaban Jahe disebabkan jumlah bahan amorf dan bahan organik pada kedua pedon tersebut relatif rendah. Rendahnya bahan organik mengurangi jumlah Al-humus yang terbentuk menjadi sedikit. Korelasi antara N o dengan Alp sebagai A-humus (r:0.69* *) dan C-organik (r: 0,65**) dikemukakan pada Tabel 25. Pada formasi Qvbj (Gambar 57) juga menunjukkan Alo tanah di dataran rendah dan meningkat dengan
sernakin tingginya tempat. Berdasarkan ketinggian, kandungan Alo
tatinggi berada pada ketinggian 500 m dm1 (Tanjung Gunung) dan 800 m dml (3andar Baru). T ' i y a jumlah Alo pada daerah tersebut dapat dihubungkan dengan jumlah alofan dan bahan organik sangat tinggi di daerah tersebut. Pengaruh topografi terhadap Alo secara tegas ditemukan pada transek di dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj (Tabel Lampiran 10). Kandungan Alo pedon di tengah lereng dan cekungan (SML SM3,dan SM,) lebih tinggi dibandingkan dengan pedon di punggung bukit (SMl dan SM,). Perbedaan tersebut juga disebabkan proses pelapukan sangat intensif pada
Cambar 56. Sebaran A1 drsalatpacla tanah formasi Qvbs 1PB:PancurBahl;BB:Bandar &IN; KG:Kuta Gadung; KJ:Kabaa Jahe)
0Alo H o n m A
Gambar 57. Sebaran A1 oksalat pada pedon fomasi Qvbj [SM.Sei Mencirim; SP:Simpang Sipirok;TG:TanjungGunung]
Tabel 25 Koefisien korelasi Alo dan Feo dengan beberapa sifat tanah. Alo
Sifat Alofan
Alp Caganik
0.09 0,75** 0.35** 0,6Y** 0.65**
AIO+
o,~Y**
Ald Aldd
n~c
Fco 0.58.' 0.27** 0.84** 0.5 1** 0,43* 0.61'.
Fod
Wd-0) F~*P) W~-P)
w
k
Fm
pedon di tengah lereng dan cekungan dibandingkan dengan pedon di punggung bukit
sehingga jumlah ML pedon di cekungan lebih tinggi (43-79%) dibandingkan dengan ML pedon di punggung Wt (24-39). Bahan ini diduga mengandung A1 oksida berhidrat Itarena sangat dipergmuhi oleh air tanah Di samping itu, menurut M
i dan van Reeuwijk
(1989) bahwa Al-silikatlmetahaloisit sebagian dapat terekstrak amonium oksalat masam
Atas dasar ini maka Al pada metahdoisit yang ditermrkan dalam jumlah dominan pada pedon
SM3 dapat terekstrak sebagian Secara vertikal sebaran Alo ditemukan lebih tinggi pada horizon permukaan dan berkwang pada horizon bawah permukaan, baik pada fonnasi Qvbs (Gambar 56) mau pun
pada formasi Qvbj (Gambar 57) Hal ini disebabkan, di samping bahan am04 proses pelapukan pada horizon permukaan sangat intensif dan kontribusi Al- humus relatif tinggi pada horizun permukaan dan berkurang pada horizon bawah karma jumlah bahan organik semakin sedikit Pola sebaran Alo dalam profil seperti ini juga ditemukan oleh beberapa peneliti (Syarif, 1990; Mizota dm van Reeuwijk, 1989; Arifin, 1995).
Fe terekstrak o l d a t masam (Feo) berasal dari Fe kompleks organik (F-humus) clan oksiddhidroksida behidrat (ferihidrit) (h4izata dan van Reeuwijk, 1989, Wada, 1989). Jumlah Feo dapat digunakan untuk menghitung ferihidrit dengan rumus %Fe x 1.7 (Childs, 1985 dalam M
i dan van Reeuwijk, 1989). Hasil perhitungan ferihidrit dengan rumus ini
telah dibahas dalam topik susunan mineral liat.
Fe dan A1 Terekstnk Na-pirofosfat (Fep dan Alp)
Al dan Fe terekstrak Na-pirofosfat, terutama berasal dari Al dan Fe dalam bentuk kompleks organik dan sedikit berasal dari bahan amorf (alofd~mogolit) Oleh karenanya Alp dan Fep dapat diylnakan untuk menduga Fehumus dan Al-humus (Mizota dan van Rccuwijk, 1989; Parfitt at a1 1982) Kandungan Fep dan Alp disajikan ddam bentuk Gambar 58 dan 59 Gambar 58 menunjukkan bahwa Alp pada horizon permukaan lebih tin& dan menurun pada horizon di bawahnya Perubahan kandungan Alp tersebut disebabkan oleh (1) proses pelapukan pada horiwn permukaan relatif intensif sehingga Al lebih banyak dibebaskan, dan (2) bahan organik tinggi pa& horizon permukaan mendukung pembentukan AI-humus yang dapat diekstrak oleh Na-piroforsfat Sementara, di horizon bawah, Belain tingkat pelapukan semakin rendah, jugs bahan organik semaki berkurang sehingga penbmtuknn Al-humus terhambat
Pada forrnasi Qvbs (Gambar 58) menunjukkan jumlah Alp horiwn permukaan pedon di
dataran rendah Pancur Baku relatif lebih rendah dibandingkan dengan pedon-@on di dataran tinggi Bandar Baru dan Kuta Gadung dan tidak berbeda jauh dengan pedon di Kaban Jahe. Pada formasi Qvbj (Gambar GI) juga menunjukkan bahwa jumlah Alp horizon permukaan pedon di Sei Mencirim relatif lebih rendah dan meningkat pada pedon Namuterasi, Simpang Sipirok, dan Tanjung Gunung. Jumlah Alp pedon di dataran rendah Pancur Batu lebih tin& daripada dataran rendah Sei Mencirim Perbedaan ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah bahan organik dengan semakin tingginya tempat Rendahnya kandungan Alp, baik pedon di Pancur Batu mau pun pedon di Kaban Jahe, disebabkan oleh rendahnya bahan organik sehingga menghambat pembentukan Al-humus Dari sisi lain, proses pdapukan yang intensif di Pancur Batu, kemungkinan bahan organik tanah dalam bentuk kompleks Al-humus mengalami dekomposisi sehingga sebagian Al akan tercuci dan sebagian lagi membentuk oksida A1 kristalin (gibsit) sehingga mengurangi jumlah A1 yang dapat terekstrak oleh Na-pirofosfat akibatnya jumlah Alp rendah
Pengaruh topografi terhadap sebaran Alp secara tegas ditemukan pada transek dataran rendah Sei Mencirim formasi Qvbj (Tabel 26), sedangkan pedon di transek lain tidak terdapat perbedaan yang tegas Transek Sei Mencirim, menunjukkan bahwa Alp pedon di punggung bukit (SMI, SM5) hanya ditemukan pada horizon permukaan (A1 dan A 2) dan horizon paling bawah (2C) Gejala ini memberikan petunjuk bahwa pembentukan Al-humus
PWM
BWMO
~yllm
KG11300
PedoruKetinggien (m dml)
Gambar 58. Sebaran Alp pada tanah fonnasi Qvbs Bsru: KG-
C
W G O
[PB~sncurBat&
BB:Randar
i K1.Xnbm I&]
SP12W
TOIIW
T(illS0
PedonKetinggian (m dml)
Gambar 59. Sebaran Alp pada tanah fonnasi Qvbj [sM:~eiM e n e m TCkTmjung Cunung]
s~:simpangSipirok
pada pedon di punggung bukit hanya tejadi pada horizon permukaan, sedangkan pedon di tengah dan cekunyan, pembentukan Al-humus tejadi pada sernua horizon Hal ini disebabkan oleh. antara lain ( I ) mobilitas bahan organik tanah masih sangat terbatas pada pedon di punggung bukit dan lebih intensif pedon di tengah lereng dan cekungan, (2) ti-t pelapukan pedon di punggung bukit sangat rendah sehingga jumlah A1 yang dibebaskvt eangat d i k i t . Kedua hal ini mengharnbat pembentukan Al-humus.
&:ti&
lenrkcr
Tabel 27 menunjukkan bahwa Alp berkorelasi negatif dengan alofan (r:-0,25*) dan
p
b (r:-0.22.).
Hal ini mcnunjukkan adanya kompetisi antam pembentukan alofan dengan
pembentukan Al-humat (Mizota dan van Reeuwijk, 1989). Di samping itu, jug8 ditemukan korelasi positif antara Alp dengan alofan (r:0,45**). Ini berarti pembentukan Al-humat meningkat dengan meningkatnya C-organik. Kandungao Fep pada tanah fonnasi Qvbs d m Qvbj, masmg-masing dikemukakan pada Garnbar 60 dan 61. Gambar 60 menunjukkan bahwa kandungan Fep pedon dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs lebih rendah dari pada pedon di dataran tinggi Bandar Barn &m Kuta Gadung. Sementara pedon dataran rendah Sei Mencirim fonnasi QQvbj,kandungan Fep
horizon permukaan juga lebih rendah dan cenderung meningkat dengan meningkatnya ketinggian. Pehedaan ini juga disebabkan oleh perbedaan kandungan bahan organik tanah. Pedon yang mengandung Fep tinggi menunjukkan kandungan bahan organik tinggi (Tanjung Gunung, Bandar Baru, dan Kuta Gadung); sedangkan pedon yang mengandung Fep lebih rendah mempunyai kandungan bahan organik relatif lebih rendah (Pancur Batu dan Kaban Jahe, dan Sei Mencirim). Hal ini diperkuat oleh adanya korelasi yang sangat erat antara Corganik dengan Fep (r:0,65**). Kandungan bahan organik yang tinggi, lebih meadukung Fe
yang dibebaskan dari pelapukan mineral primer (mineral feromagnesian)
ke arah
pembentukan kompleks Fe-humus lebih dominan; sedangkan kandungan bahan organik
P
W
~
6-00
XI11 100
K(IIIM0
PedonlKetinggian(m dmi)
Gambar 60. Sebaran Fep pada tanah'formasi Qvbs [PB:PancurBatu, BB:Bandar Baru; KJ:Kaban Jahe; KG:Kuta Gadungl
.W40
SP1200
TO1400
TOISSO
PedonlKetinggian (m dml) Gambar 61. Sebaran Fep pada tanah formasi Qvbj [shtsci Mmcirim; S P : Y ~ S i p s , TG:Tanjung h u n g ]
tanah relatif rendah memungkinkan pembentukan Fe kristalin (goetithematit) danlatau
ferihidrit . Secara vertikal kandungan Fep umurnnya lebih tinggi pada horizon permukaan dan semakin berkurang pada horiwn di bswahnya (Cambar 60 dan 61) Gejala ini menunjukkan bahwa pembentukan Fehumat sangat intensif pada horizon pennukaan dan berkurang pada
at ini disebabkan oleh proses pelapukan pada horiwn permukaan horizon yang lebih dalam. H lebih intensif eehingga Fe lebih banyak dibebaskan dan kandungan bahan organik tin@ Kedua aspek tersebut mendorong pembentukan Fe-humus lebih intensif. Sementara pada horizon bawah dimana pclapukan dan kandungan bahan organik semakin berkurang sehingga pembentukan Fehumus juga semakin berkurang. Tabel - 27. Koefiieo korelasi Alp dan Pep dew11beberapa sifat tanah. Saat
Alp 4J5*
Alofan
0.65.. 0,44**. 0.45'. -0.22'
Aid Aldd
c-& PW~F Alo+ l R k
O,rn**
Fcp
0.4 1**
Fed FHd-0)' ~d0.p)~ Fe(d-p)' C d
0,M" 0,22** 03.
0.67.. 0.87**
AlotlRFa, a:gosnrrlvmaUC b:f.rlM&C
c:qoear/h.~)~~h@mhrdnl
Pengaruh topograii terhadap sebaran Fep juga ditemukan secara jelas pada transek Sei Mencirim (Tabel 26); sementara pada pedon lain kurang jelas. Pedon di punggung bukit (SM5) menunjukkan bahwa kandungan Fep horiwn bawah (BC,. BC2, CI, Cr dan C d hanya
ditemukan sebanyak 0,01% yang tergolong sangat rendah (Blackmore er al. 1987) clan pada pedon di punggung bukit (SMI), kandungan Fep tidak terukur. Sernentara pedon di tengah dan cekungan menunjukkan kandungan Fep ditemukan pada semua horizon dalam jumlah relatif lebih tinggi. Perbedaan ini disebabkan oleh pelapukan pada pedon di punggung bukit relatif lebih rendah sehingga jumlah Fe yang dibebaskan juga rendah; sedangkan pelapukan pedon di cekungan lebih intensif sehingga Fe lebih banyak dibebaskan. Selain itu, ada kemungkinan Fe hasil pelapukan pada lereng yang lebih tinggi terangkut oleh erosi dan diendapkan di cekungan.
Angka koefisien korelasi Fep dengan beberapa sifat lain dikemukakan dalam Tabel 27 Tabel tersebut menunjukkan bahwa Fep berkorelasi dengan C-organik (r:0,67**) lebih erat ,
dibandingkan dengan Fe ekstrak lain. Ini berarti C-organik sangat berperan dalam
pernbcntulcan Fshumat. Perbedaan angka korelasi menunjukkan adanya kompetisi antara pembentukm Fahumat dengan pcmbentukangoetit, hematit, atau ferihidrit.
Niabab Binar (AlplAlo) Nisbah binar (AlpIAlo) menggambarkan tentang komposisi relatif fraksi koloid antara Al-
humus dan ferihidrit serta kecenderungan pmbahan komposisi tersebut dalam satu profil tanah. Mizota dan van Reeuwijk (1989) melaporkan nilai nisbah binar berkisar antara 0,O-1,O.
I
0.07
I
(*
0.37
I
pb:p#aurrg bukll;&:bemg lungoh; lb:lemb&; su;rrrwlr I 4Uluhun). 2 (*70&t: u: (&Alpfldu; b: nlsbah binar (linghl ki~IolInltaskddd): c: nlsbah ~ ~ l a r ' ( r i n g ! brrroIr~op+tmur aI FeaCItda)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai ~ s b a hbinar AlplAlo berkisar antara 0,O-0,2 (Tabel Lampiran 10) dan nilai rataan setiap pedon dikemukakan dalam Tabel 28. Tabel tersebut menunjukkan, pada fonnasi Qvbs, nisbah AlpIAlo pedon di dataran rendah relatif lebih tinggi dan menurun pada pedon di dataran tinggi. Hal ini disebabkan oleh pedon di dataran rendah mempunyai jumlah bafian arnorfdatif lebih rendah dan bahan kristalin (gibsit
dan haloisit) lebih tinggi, akibatnya Alo rendah sehingga nisbah Alp/Alo menjadi tinggi
Pada formasi Qvbj, secara umum, nisbah Alp/Alo tidak menunjukkan perbedaan yang tegas Namun, pada pedon di punggung bukit dataran rendah Sei Mencirim, nisbah AIp/Alo tidak membcrikan nilai karena Alp tidak terukur. Dibandingkan dengan nisbah AlpIAlo pada formasi Qvbs, nisbah AlpIAlo pedon di formasi Qvbj relatif Iebih rendah. Ini berarti, Alhumus pada tanah formasi Qvbj adalah rendah dan Al-amorf lebih dominan; &gkan
AI-
humus pada tanah formasi Qvbs lebih dominan dan A l - m r f lebih sedikit. Umumnya nisbah binar AlpIAlo ditemukan lebih tinggi pada horizon pemrukaan (A, AB) dan menurun pada horizon-horizon di bawah (B, BC,C). Perubahan ini menunjukkan bahwa Al-humus lebih tinggi pada horizon permukaan (A, AB) dan berkurang pada horizon bawah
03, BC. C). Nisbah Aktifitas (FeolFed)
Nisbah aktifitas Feo/Fed menggambarkan indeks tingkat kristalisasi atau umur Fe-oksida yang telah terbentuk dan kecenderungan pembentukan antara Fsamorf dan kristalin. Pada tanah hndisol muda dicirikan oleh nilai nisbah aktifitas FeoIFed yang tinggi (0,75) sedangkan tanah yang lebih tua, nilai nisbah aktifitas Feo/Fed yang lebih rendah. Pada tanah Oxisol, nilai nisbah aktifitas
rendah ditemukan pada pedon yang terletak pada formasi Qvbj sedangkan nilai yang lehih tinggi berada pada formasi Qvbs. Fakta ini juga merupakan bukti bahwa formasi Qvbj lebih muda daripada formasi Qvbs. Namun atas dasar kriteria ini, secara umum dapat disimpulkan bahwa Andisol yang diteliti teqolong relatif tua karena telah mernpunyai nilai Feo/Fed <0,75. Pada formasi Qvbs, nisbah Feo/Fed pedon dataran rendah Pancur Batu lebih rendah dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi. Di dataran tinggi, pedon di Kaban Jahe juga menunjukkan nilai F e o M relatif rendah dan tidak berbeda jauh dengan pedon di Pancur Batu. Berarti pada pedon Pancur Batu dan Kaban Jahe, Fe yang dibebaskan cendemng membentuk Fekristalin lebii intensif; sedangkan di dataran tinggi Bandar Baru dan Kuta &dung cenderung membentuk Feamorf. Hal ini sesuai dengan hasil yang telah dibahas bahwa jumlah goetithematit lebih tinggi pada pedon di Pancur Batu dan Kaban Jahe;sedangkan jumlah ferihidrit lebih tinggi pada pedon di Bandar Baru dan Kuta Gadung.
Secara vertikal nisbah FeolFed cenderung menurun dan honzon permukaan ke horizon bawah (B) (Tabei Lampiran 10) Gejala ini jugs menunjukkan bahwa Fe horizon bawah
cenderung mmrbentuk mineral besi kristalin sedangkan di horizon permukaan cenderung mcmbcntuk Fe-amorf dan Fe-humus Ifal ini dapat disebabkan jumlah C-organik menurun
pad8 horizon bawah nehingga mengurangi pembentukan Pe-humat.
Mikromorfologi
Sebagtan gejala pedologi (pedofeatures) yang meliputi pelapukan mineral primer, pembentukan mineral liat, clan pencucian atau pengisian pori akan dibahas dalam topik pedogenesis. Ddam bagian ini akan diiahaa mengenai gejala pedologi yang meliputi sifat struktur mikro, rongga, dan mesa tanah (ground mass) Hasil analisis irisan tipis gejala pedologi tersebut dikemukakan dalam Tabel 29 dan Gambar 62 Struktur Mikro
Sifat struktur mikro dibedakan atas tingkat agregasi, akomodasi, dan pedalitas (perkembangan struktur) Pada contoh batuan menunjukkan bahwa tingkat agregasi tergolong kompak dan tidak terakomoctasi Pada wntoh batuan juga ditemukan rongga berbentuk packing, wgh, dan chanel dengan ukuran berkisar antara 1-10pn (Gambar 62e). Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pada batuan tersebut telah bwlangsung proses pelapukan sehingga tecbentuk rongga-rongga yang dalam hubungannya dengan permukaan agregat tidak terakomodasi Proses pelapukan dapat disebabkan oleh masuknya pelaku pelapukan, antara lain: air, 0 2 , dan asam-asam organik, melalui &ah retakan dan atau pori-pori batuan Bahan tersebut melalui proses hidrasi, hidrolisis, oksidasi, reduksi dan hidratasi dapat menghancurkan/melarutkan unsur penyusun sebagian mineral sehingga pada tempat dimana mineral rusaknarut akan terbentuk rongga-rongga (void) Proses ini dibuktikan oleh gejala yang ditunjukkan oleh Gambar 62a dan 62c yang akan dijelaskan dalam uraian tentang pedogenesis. Selain itu, rongga-rongga pada batuan juga dapat terbentuk oleh adanya udara yang terperangkap saat pembekuan lava akibat pendinginan Proses ini kemungkinan terbentuk rongga berbentuk bulat-silinder seperti yang ditemukan pada Gambar 62a Rongga-rongga ini juga merupakan sarana tempat masuknya air dan
0 2
ke dalam masa batuan Pada dinding rongga
tersebut juga terlihat adanya bahan yang bewama coklat-kemerahan Diduga bahan tersebut
addah oksida besi, hasil proses oksidasi terhadap ~ e "yang terdapatldibebaskan dari pelapukan mineral feromagnesian Pada wntoh tanah peralihan horizon BC ke C pedon formasi Qvbj, memperlihatkan tingkat agregasi struktur mikro adalah kompak dan gumpal membulat pada contoh da6 pedon lainnya Tingkat akomodasi tergolong tidak terakomodasi hingga terakomodasi sebagian dan pedalitas tergolong lemah hingga sedang. Sementara m t o h dari pedon formasi Qvbs memperlihatkan
h Gambar 62.
Kenampakan pedolologi dalam irisan tipis: a: pelapukan batuan, pt 2,SxlO (SM,.,); b:susunan mineral dan pelapukan plagioklas dalam fiagmen bahran, pl2,SxlO (AB/SM,,); c:pelapukan plagioklas, pl 2,5x10 (AB/SM,,); d: pelapukan amfibol, pl2,SxlO (BCISM,); e: akumulasi liat dalam pori batuan, pl 23x4 (BB,,); f: akumulasi liat dalam pori chanel xpl 2,5x10 (BCITG,); g: gibsit dalam pori xpl2,SxlO (BUNT,); h: sebaran butir mineral dalam fraksi IVISM,,, pl 2,SxlO Ipl:plagioklas, v:void; i:inklusi; r:retakan; m:matriks; hp:hiperstin; am:amtibol; x:bagian terlapuk, s1:selaputliat; gu:gelas volkank, mhl:mineralhasil lapukan].
tiqkat agregasi yang sama, gumpal membulat hingga kompak. Tingkat akomodasi berktsar antara tidak terakomodasi hinggi terakomodasi sebagian dengan pedalitas lemah sampai sedang. Secara m u m ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa tingkat perkembangan struktur masih tergolong sangat lemah.
Pada contoh tanah dari horizon AB pedon dataran rendah Sei Mencirim (SM:, SM2dan SMI) fonnasi Qvbj memperlihatkan tingkat agregasi struktur rnikro masing-masing adalah granular,
granular-gumpal membulat, dan gumpal membulat. Perbedaan tersebut dapat disebabkan deh tingkar pelapukan dan kandungan bahan organik dimana dua pedon pertama (SMI dan SM2) mempunyai kandungan bahan organik relatif lebih tinggi dan tingkat pelapukan lebih rendah dibandingkan dengan pedon SM3. Tingknt akomodasi tergolong terakomodasi sebagian pada
.
@on SMI dan SM2 dan terakomodasi pada pedon SMa sedangkan tingkat pedalitas adalah sedang sampai pedal. Menurut Bullock el al. (1989) tingkat akomodasi berkaitan dengan proses genesis, terutama pencucian dan akumulasi liat. Intensitas pencucian yang tinggi dapa! menyebabkan akumuiasi l i t pada dinding pori sefiingga meningkatkan akomodasi permukaan mikro agregat. Hal ini ditemukan pada pedon SM3 yang d i p e r l i permukaan pori lebih mulus
karena pedon ini sangat dipengarubi oleh nuktuasi air tanah. Fakta ini juga menunjukkan bahwa tingkat perkembangan Btruktur pada horizon AB relatif lebih baik dibandingkan dengan comb
tanah yang berasal dari peralihan horizon BC ke C. Mass Tanah (Groundmass) Fraksi kasar dalam contoh batuan yang ditemukan antara lain: plagioklas, amlibol, kwam , dan piroksen (hiperstin dan augit) sedangkan fraksi halus adalah berupa bahan amorf. Bentuk mineral tersebut dapat digolongkan ke dalam subhedral-euhedral (terlapuk sebagian). Nilai dfio
berkisar antara 68/32
- 70130 yang menunjukkan fraksi kasar (>lo
pm) lebih dominan yakni
berkisar antara 68 - 70 % sedangkan W s i halus (
-
pola distribusi terkait termasuk close open porphyric. Pada contoh tanah peralihan horizon BC ke C pedon SM,, SM5, NT:, TG*, dan TG3 fonnasi Qvbj umumnya menunjukkan bahwa fraksi kasar terdiri atas hiperstin, amfibol, plagioklas, dan
kwarsa. Selain itu ortit juga ditemukan pada pedon SM5 dan TG3 dalam jumlah sedikit. !bmmtara dalam fiaksi halus terdiri atas bahan m r f dan mikrolit plagioklas dan amlibol yang mash dapat d i k d secara rioskopik. Mineral-mineral yang terlihat banyak yang masih dalam keadaan relatif masih utuh atau sebagian kecil yang mulai NS&
karena proses pelapukan. Bentuk-bend
mineral yang teramati antara lain tiang, membulat, lempengan dan tidak beraturan Pola distribusi terkait tergolong close sampai open porphyric Nilai c / f i ~umumnya tertinm. berkisar antara 60140
- 75125 Pada formasi Qvbs contoh bahan dari pedon dataran tinggi (BBI, KG1 dan K G ) fonnasi Qvbs memperlihatkan fraksi kasar yang terdiri atas piroksen (augit dan hiperstin), plagioklas, dan kwarsa sedangkan fraksi halus didominasi oleh bahan amorf dan mikrolit plagioklas Mineralmineral yang terlihat banyak yang msak sebagian, terutama di bagian pinggir dengan bentuk antara lain bersudut, silinder, tiang, membulat, dan tidak beraturan Karakteristik masa tanah peralihan horizon BC ke C tersebut menunjukkan bahwa : (1) pola distribusi t&tt
pada formasi Qvbj tidak mempunyai variasi yang besar. Hal ini menunjukkan
bahwa faktor lingkungan belum berpengaruh besar terhadap perkernbangan pada peralihan hori7an BC ke C sehingga masih memperlihatkan sifat yang relatif tidak berbeda antara horizon BC dan C, dan (2) pola distribusi terkait pada f o m Qvbs relatif lebih besar yang ditunjukkan oleh nilai CICo cukup tinggi. Nilai C/fio pada contoh pedon dataran tinggi Bandar Baru relatif lebih besar dibandingkan dengan Clflo pada pedon Kuta Gadung. Gejala tersebut dapat disebabkan: (1) tingkat pelapukan pedon Kuta Gadung lebih intensif dnripada pedon Bandar Bary dan (2) terdapat kemungkinan bahwa di daerah pedon Bandar Baru adanya bahan masukan baru karena posisi pedon tersebut secara makro berada pada lereng pegumngan sehingga memungkinkan adanya penambahan jumlah fraksi kasar yang berasal dari tempat yang lebih tinggi. Pada contoh tanah horizon AB pedon dataran rendah Sei Mencirim (SMI, SM2,
Sw)f o r p s i
Qvbj, dalam fraksi kasar juga terdiri atas hiperstin, adibol, plagioklas, dan kwarsa; sedangkan dalam fraksi halus diternukan mikrolit plagioklas, amfibol, dan bahan arnorf Mineral-mineral masih banyak dalam keadaan utuh, temtama pedon SMI dan SM2; sedangkan pedon SM, jumlah mineral rusak relatif lebih banyak. Bentuk mineral yang terlihat antara lain: membulat, tiang, bersudut, dan tidak beraturan. Pola distribusi terkait tergolong open porphyric dengan C/f,o masing-masing adalah 70130, 75/25, dan 10190 secara berurutan. Pada contoh tanah horizon B pedon PB, BB, dan KJ formasi Qvbs menunjukkan bahwa fraksi kasar terdiri atas hiperstin, plagioklas, dan kwarsa; sedangkan dalam fraksi halus ditemukan bahan amorf dan sedikit mikrolit plagioklas. Jumlah mineral yang terlihat pada pedon dataran rendah Pancur Batu relatif sedikit dan umumnya rusak dan ukurannya relatif kecil dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi (BB dan KJ).Pedon di Pancur Batu (PB) juga menunjukkan bentuk mineral antara lain: bersudut, mernbulat, dan tidak beraturan. Pola distribusi terkait pedon 155
di Pancur Batu adalah IO/90, sedangkan pedon di Bandar Baru dan Kaban Jahe adalah 30170. Ini berarti pedon di dataran rendah Pancur Batu terdiri dari 90% fraksi halus (< 10 um) dan 10% fraksi kasar (> 10 um) sedangkan pedon di dataran tinggi Bandar Baru 30 % fraksi kasar (> 10 um) dan 70 % fraksi halus (< 10 urn) Ciri mikromorfologi contoh tanah tersebut menunjukkan bahwa. (I) pada fonnasi Q h j , pedon di dataran rendah S k Mencirim formasi Qvbj menunjukkan jumlah mineral primer masih
cukup tinggi dan bentuknya relatif utuh dibandingkan dengan pedon dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs, (2) pada fonnasi Qvbs, pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs mcrmnjukkan mineral telah banyak yang rusak, jumlah fraksi kasar relatif sedikit, dan jumlah fraksi halus lebih banyak dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi Bandar Baru dan Kuta Gadung, dan (3) tingkat pelapukan pedon formasi Qvbs lebih lanjut s e h i n ~ jumlah a 6aksi kasar relatif sedikit dan jumlah fraksi halus relatif banyak dibandingkan dengan formasi Qvbj. Fakta tersebut menurjukkan bahwa pedon dataran rendah Sei Mencirim masih sangat dipengaruhi oleh sifat bahan induk, sedangkan pedon dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs pengaruh bahan induk telah berkurang. Dibandingkan antara pedon di dataran tinggi dan pedon dataran rendah Sei Mencirim tidak menunjukkan perbedaan yang tegas, terutama berdasarkan jumlah mineral yang masih utuh dan pola diitribusi terkait.
E. I b A rd.p"ku
Tingkat Pelapukao Tinykat pelapukan dapat dinilai atas dasar (I) nisbah mineral hasil lapukan terhadap mineral mudah lapuk (MUMML)(Mohr dan van Barren, 1960). (2) nisbah CaMg. (3) jerus dan jumlah mineral liat yang terbentuk (Hardjowigeno, 1993), (4) nisbah F d e d , (Mizota dan van Reeuwijk, 1989), dan (5) C/f 10 iriaan tipie wntoh tanah (Bullock el a1
1985) Tingkat pelapukan semakin tinggi dengan semakin tingginya nilai MUMML, jumlah liat, jenis liat kristalin, df,,,, dan semakin rendah nisbah CaIMg, dan F e o k d Atas dasar kriteria tersebut
(Tabel 30). pedon di dataran rendah Pancur Batu
formasi Qvbs (PB) menunjukkan tingkat peiapukan lebih lilnjut dibandingkan dengan p d o n di dataran tin& (Bandar Baru, Kuta Gadung, dan Kaban Jahe) Perbedaan ini ditunjukkan oleh pedon Pancur Batu mempunyai nisbah MUMML lebih tinggi, dan nisbah Ca/Mg dan Feo/Fed lebih rendah, jumlah liat dan Fe kristalin ( g o e t i b a t i t ) lebih tinggi, Fe amorf (ferihidrit) lebih rendah dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi Dalam fraksi liat pedon Pancur Batu juga ditemukan haloisit lebih dominan dan jumlah alofan relatif sangat rendah; sedangkan @on di dataran tinggi didominasi oleh alofan
dan haloisit tidak ditemukan Dalam irisan tipis contoh AB pedon di Pancur Batu juga menunjukkan bahwa nilai c/f 10 adalah lebih rendah (30/70) daripada di dataran tinggi (35165
- 40160)
Angka tersebut menunjukkan bahwa pedon dl dataran rendah Pancur
Batu terdiri atas 70 % fraksi halus berukuran < 10 pm dan 30 % fraksi kasar berukuran
> 10 p,sedangkan pedon di dataran t i n e terdiri atas sekitar 60 -65 % fraksi halus berukuran
- 40% fraksi kasar berukuran >
I0 p.IN berarti judah
fraksi halus lebih banyak dan fraksi kasar lebih sedikit pada pedon di dataran rendah daripada pedon di dataran tinggi Mineral-mineral pada pedon di dataran rendah Pancur Batu menunjukkan banyak yang telah rusak sedangkan di dataran tinggi relatif banyak yang masih utuh Ini berarti tingkat pelapukan relatif lebih tinggi pada di dataran rendah daripada pedon dataran tinggi. Antara pedon di dataran tinggi yang terletak pada ketinggian 800 m dm1 (Bandar Baru), 1300 m dm1 (Kuta Gadung), dan 1100 m dm1 (Kaban Jahe), tingkat pelapukan
menunjukkan tidak berbeda secara tegas. Namun, berdasarkan nisbah MUMML dan F d e d , tingkat pelapukan pedon Kaban Jahe relatif lebih lanjut. Tingkat pelapukan
yang t i n e ke tingkat pelapukan yang lebih rendah pedon-pedon pada formasi Qvbs dari
pedon-pedon pada fonnasi Qvbs dapat disusun sebagai berikut: PB > KJ > BB = KG
1 9
18.92
1.25
3.11
0,71
3.83 12,43 11.25 18,40 6,007
24.03 27.60 26.73 12,48 12.04
1.92 1.52 1.47 2,25 1,33
604 2,63 3.54 1,54 t,71
O,& 0.45 0.26 936 0.58
BC
0.89 2.56 1.91 4.53
19.44 23.97 21.35 18.87
1.75 1.60 2.17 1.40
4.84 5.50 5.63 5.88
0.34 0.30 0.3 t 0.15
KGJ* AP A12 Bwl BwZ BC I BC2
0.59 1.26 256 1.60 4.47 4,47
20.89 25.55 28.87 19.97 28.1 1 18.21
2.50 1.71 0.80 1,50 0.44 0.79
3.39 1.% 2.57 2,21 3.50 5.43
0.75 0,53 0.61 0.37 0.19 0.33
11.12 lo,% 8.18 9,26 12.68 8.86
0.27 0.26 0.20 0.09 0.45 0.23
Bw
BBI* AP
AB
Bwl Bw2 BC
KG4 (1300 m) All AB
Bw
'
AX3
rOn0
Iw (1100 m) A1 1 AB Bw 1
2.19
29.92
1.20
2,32
3U.W
0,8Y
35/65
4,65 21.31 1.60 0.86 5.54 31.67 1.24 38.62 0.64 BC 0.86 9,89 1.20 C *) pudm di crknngan: A:al~an;H;holdn't:G:~bsit; &:%I Lolp:Ld:liof total: PB:Pcneur &a; BB:Bmdor &m;KG:Ku#a &fungi U : K a b m Jahe:ML:minmrl haril lap&m: &MkminemI nndrJl
Bw2
lapuk:Fm:F8--
&I
muam;FEd:F&nkrhak aimdithimit
Tight pelapukan pada formasi Qvbj (Tabel 31) menunjukkan tidak tadapat
pe&edaan yang tegas. Namun, berdasarkan susunan mineral liat pedon di Sei Meocirim
ditemukan haloisit/m&oisit sedangksn
dan gibsit relatif tinggi dsn d o h relatif lebih rendah;
pedon yang terletak lebih tin&
(100
-
550 m dml) tidak ditemukan
haloisit/metahaloisit tetapi jumlah d o h dan gibsit relatiflebih tinggi.
Tabcl 3 I . Bcbcrapa pcubah untuk mcnilai tingkat pclapukan pedon di formasi Qvbj MUMML Link% M n t Ca/Mg FmlFed Susunaa Won1 df 10 Horimn
Lilll
S M S (40 m) All A12 BCI BC2 CI
C2 C3 2C
2.21 1.50 I ,50 1.29 1.39 1.53 0.97 1.44
15.59 16,58 18.98 17.64 7.89 5.89 13.35 12.68
1,25 1,25 0.60 0.20 1.67 1,00 0.60 2.20
4.86 8.35 7-70 10.35 13.13 12.13 10.26 5.42
0.4 1 0.5 1 0.19 0.13 0.27 0.30 0.32 092
A>DH
1.52 0.96 1.77 5.00 3.84 3.89
20.86 26.69 42.32 29.30 35.49 15.13
2,33 1.55 1-21 1.82 1-22 1.00
3.87 3.72 4,115 4.02 2.10 1.71
0,n 0,27 0,65 0.36 0.66 0.54
hH>G
1.10 2.07 1.44 0.38
23.46 16.96 17.84 13.76
1.50 1.75 0.50 0.33
5.70 .1,42 0.80 1.61
0.39 0.57 0.62 0f 9
M > H
0.55 2.18 1.51 1.41
22.87 20,71 24.39 10.26
1.67 1,80 0.50 2,W
5.64 4,20 3.48 3.20
0,29 0,08 0.3 1 0.18
0.28 0.64 0,85
20.73 22.06 16.71
1.50 1.33 2,OO
9,82 5.75 3,W
0.2 1 0,45 0.16
0.54 9.00 6.9 1 4.62 4.60
36.10 32.32 27.89 11.91 6.88
1.25 0.86 1.00 2,OO 7.50
5.77 8.90 . 11.75 14.80 4.00
0.32 0,4 1 0,29 0.43 0.27
0.79 0.52 2.64 0,7 1
18.54 34.69 16.32 21.55
2.67 2.50 2.67 2.50
2.89 4-59 3.92 4,97
0.32 0.29 0.25 0,41
0.4 1 3.60 1,92
19,38 35.65 14,96
3.00 1,25 2.67
4.94 2.80 3.90
0.43 0.46 0,22
75/25
AXZ'H
kH>G
SM3* AP A12
Bw Bgl B@
BC
NTl(100 m) AP
Bw
BC C NT2 AP
Bw Bg
BC SP(ZO0 m) All
Bw BC TG2 (400 m) All AB
Bw BC C TQ* All Ab AB
Bw TGl(550 m) All AB
C
70/30
bH>G
W M
A>G
65/35
68/32
M~1~irirn:W:Nnnru&msi(tanah aannh;SP:Simputg Spirok;7G:Tqonlnng ')palm di &gan;SM:Sci ~;A:al&;H:lurIolrit,.O:~Cbai:. M L : h m l hadl la+: MML:minaml mu& 1apuk;Fm:Femwktmh abolat marom:Fsd:Fe-tsmbhJ sitddiihimiL
Gejala ini menunjukkan bahwn pedon di Sei Mencirim relatif lebih melapuk dibandiigkan
-
dengan pedon lebih tinggi. Berdasarkan MLIMhlL, pedon di Tanjung Gunung (400 550
m dml) menunjukkan t~nykatpelapukan leb~htinggi yang ditunjukkan oleh tlnmnya
nisbah MUMML. Hal ini dapat dihubungkan dimana pedon tersebut berada di bawah pengaruh curah hujan yang lebih tinggi sehingga pembahan MML rnenjadi ML
beriangsung cepat tetapi ukuran butirnya relatif kasar.
Dibandingkan dengan pedon dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs @abed 30), pedon di dataran rendah Sei Mencirim Qvbj mempunyai tingkat pelapukan relatif lebih
rendah. Perbedaan ini ditunjukkan oleh pedon Sei Mencirim mempunyai: (1) jurnlah mineral mudah lapuk (plagioklas, hiperstin, anttibol, gelas volkan) masih cukup tinggi, (2) jumlah mineral hasil lapukan relatif lebih rendah, (3) mineral-mineral prima umumnya banyak yang mash utuh, (4) c / f l O berkisar antara 65/35
- 75/25, (5) jwnlah liat lebih
rendah. (6) jumlah alofan relatif masih tingBi dan haloisit relatif lebih rendah. Fakta ini menunjukkan bahwa pedon di Pancur Batu lebih kuat dipengaruhi oleh iklim sedangkan pedon di Sei Mencirim masih h a t dipengaruhi oleh sifat bahan induk meskipun b d a di bawah pengaruh ikilim yang sama. Tingkat pelapukan juga dipengaruhi oleh topograf~.Tingkat pelapukan meningkat dari pedon punggung bukit ke pedon di kaki lereng. Perbedaan ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan jumlah ML dan penurwan jumlah MML sehingga nisbah MUMh4L
meningkat, nisbah CaiMg cenderung memuun, jumlah liat meningkat dari pedon di punggung bukit ke pedon di cekungan (Tabel 31). Di dataran rendah Sei Mencirim f o W Qvbj menunjukkan bahwa jumlah alofan menurun dan haloisit meningkat dari pedon punggung bukit (SMI)ke pedon di cekungan (SM3). Ini berarti tingkat pelapukan pedon di cekungan lebih intensif dibandingkan dengan
pedon di punggung bukit. Di dataran tinggi, juga menunjukkan tingkat pelapukan yang cenderung meningkat pada pedon di cekungan tetapi tidak diikuti oleh pembentukan haloisit Penggunaan tanah sebagai persawahan di Namuterasi belum berpengaruh besar terhadap tingkat pelapukan sehingga tidak terlihat adanya perbedaan tingkat pelapukan dibandingkan dengan pedon-pedon lain formasi Qvbj secara tegas (Tabel 31). Hal ini terbukti dengan masih cukup tngginya jumlah mineral mudah lapuk dan keadaannya masih utuh dan jumlah alofan masih cukup tinggi. Nisbah ML/MML juga menunjukkan relatif rendah.
Dari uraian di atas dapat dis~mpulkan(1) tinghat pelapukan mineral pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs lebih lanjltdibandingkan dengan pedon di dataran tinggi (Bandar Baru. Kuta Gadung, dan Kaban); sedangkan antara pedon di dataran tinggi tidak menunjukkan perbedaan yang tegas, (2) tingkat pelapukan pedon di Sei Mcncirim relatif
-
lebih lanjut dibandingkan dengan pedon yang terletak lebih tinggi (100 550 m dml) pads fonnasi Qvbj, (3) di dataran rendah (iklim sama), tinght pelapukan pedon di P a m r Batu fonnasi Qvbs lebih lanjt dibandingkan dengan pedon dataran rendah Sei Mencirim fonnasi Qvbj; sementara tingkat pelapukan pedon dataran rendah dan dataran tinggi fonnasi Qvbj tidak berbeda jauh dengan pedon di dataran tinggi formasi Qvbs, (4) pcnggunaan tanah sebagai persawahan bdum berpengaruh besar terhadap tingkat pelapukan, dm (5) tingkat pelapukan meningkat dari pedon punggung bukit ke pedon di cekungan.
Proses p e d o g e Bdama perkernbangan tanah umumnya t e d i atas ( 1 ) pelqukan (batunn induk, bahan induk, dan mineral), (2) pedentulran hrdtl ptapuLM (minaal iiat,
kompleks orgarrik logsm), dan (3) perpindahan secara vatikal dan horizontal @cmxlcisn,
erod, dan sedimentmi) (Hdjowigeno, 1993). Prosel Pd.pak.a Had pcnpnatan irisan tipis ditennrh bebcrapa gejala pcdologi (jmkhtures) terpenting yang mdiputi: (1) pelapukan plagioklas melafui r.takan dalam hgmm batuan. (2) peta-
pan-
p l a g i o a pada rowga, (3) pelapub smfibol dalam (4) giisit dalam rongga (autigenik), (5) pencucian dan alarmulasi tiat d8lam pori
batuan dan (6) peneuciaa dan alaunulasi liat dalam pori. Gejala-gqjala pedologi tersebrt
dikemukakan pada Gambar 62 yang dapat dipnakan untuk maenm&m prosea pembmtukan tiat, dan penarcian Bsgian batuan yang masih tcrausun oleh ajumlah mineral ditemukan pda pedon
dataran rendah Sei Mencirim f o d Qvbj (Gambar 624 b). Oejala ini tidak Qtamrhn
dalam msan tips pedon di dataran rendah Pancur Bafu fonnasi Qvbs. Fakts ini juga merupalcan bukti: (1) bahwa pengaruh bahan induk pedon di dataran rendah Sei Mencirim masih sangat jelas pad8 fonnasi Qvbj dibandingkan dengau pedon dataran rend& Penan Batu formasi Qvbs, dan (2) tingkat pelapukan pedon fonnasi Qvbs lebii lanjut darip8da
formasi Qvbj. Pelapukan &rllcM
Pelapukan batuan dituqiikkan ofeh Gambar 62a Bagian terlapuk ditunjukkan okh
adanya retakan berbentuk garis yang berwarna coklat-kemerahan. Retakan tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan, misalnya f l M du,sehingga keadaan mineral menjadi tidak stabil. Wama kuning, &at,
dan merah di dalam tanah, bmanya
disebabkan oleh adanya oksida besi (FitzPatrick, 1982). Pem-
oksida be& tmebut
berhgsung melalui proses oksidasi teihadap ~e"'yangterdapat pada bagian retakan atau
dalarn struktur mineral fmmagnesian yang tehndung dalam bagian batuan tersebut Oksida Fe yang
masih menempel pada bagian retakan sehingga membentuk garis
berwarna coklat-kelruningan Rases ini jug8 mengakiiatkan ion Fe mengalami paubahan
ukuran dan muatan yang menyebabkan struktur mineral menjadi rusak Rusaknya bagian batuan akan diikuti oleh pembebasan mineral penyusun dan sejumlah unsur ke ddam tanah Gambar 62a juga menunjukkan pada bagian batuan ditemukan pori Pori tetsebut diduga terbentuk akibat pelapukan mineral melalui p r o m p e h t a n Pelatutan dapat terjadi karena kation basa dalarn struktur mineral sehingga mineral rusak &&an
dan unsur
penyusunnya lmt Bagian yang msak dan larut membentuk pori. Di dalam pori tersebut juga terlihat adanya gejala oksidasi yang ditandai 01eh adanya oksida Fe yang menempel di dinding pori tersebut Oksida Fe ini dapat berasal dari hasil oksidasi Fe pada bagian permukaan mineral yang rusak dan oksida Fe yang tercuci dari lapisan atas Berdasarkan uraian di atas maka proses pelapukan bagian batuan meliputi peretakan secara fisik, oksidasi ~ e ' ' pada bagian mineral yang patah, hidrolisis,
d m pelarutan Hasil
proses tersebut bempa mineral primer, bahan amorf. dan sebagian unsur-unsur Produkproduk ini akan mengalami berbagai proses selanjutnya Pdapuh M i d
Mineral-mineral yang dibebaskan dari pelapukan batuan akan mengalami p a l a p u b tahap berikutnya. Kenampakan pedologi yang menunjukkan proses mineral yang sedang melapuk dikemukctkan pada Gambar 62b, c, d, dan h. Gambar 62b,c menunjukkan plagioklas melapuk dan Gambar 62d memperlihatkan amfib01 yang sedang melapuk, dan Gambar 62h menunjukkan amfibol melapuk sebagian, gelas volkan, dan bahan amorf (hasil lapukan) Pelapukan plagioklas dan amfibol menunjukkan pola yang sama dimana hasil pelapukan menjadi larut, sedangkan pelapukan amfibol danlatau gelas volkan menghasilkan bahan amorf(Gambar 62h) Dua mineral pertama (Gambar 62c,d), ddam hubungannya dengan ruang, terletak di
dinding ronggafpennukaan agregat mikro Bagian yang mengarah ke dalam rongga telah mengalami pelapukan sedangkan bagian yang berada dalam matriks masih utubhelum mengalami pelapukan Pola pelapukan tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh air yang masuklmelewati pori-pori Pengaruh air dapat berperan melalui proses hidrasi, hidrolisis, reduksi-oksidasi, dan pelarutan Pelapukan plagioklas (feldspar), terutama disebabkan oleh proses hidrasi dan hidrolisis terhadap kation-kation basa dalam struktur mineral (Buol et a1 1980, Huang, 1989) Sedangkan
amfibol, disamping kedua proses tersebut, ada
kernungkinan terjadi reduksi dan oksidasi karena terdapat besi ddam struktur mineralnya 163
Proses hidrasi terjadi melalui aksi dipol H z 0 terhadap permukaan yang bermuatan (atom dan ion yang terbuka pada pennukaan playioklas). Energi yang dihasilkan dari aksi tersebut dapat mempolarisasikan Hz0 sehingga terdisosiasi menjadi H' dan OH. Ion OH' hasil d i s o s i i teraebut akan berikatan dengan kation-kation yany terbuka bebas dan ion If'
akan berikatan dmgan 0-dan anion-anion lainnya. Dengan demikian, posisi ion logam akan digantikan oleh ion H' yang terdimsiasi dari air/komponen asam sehingga struktur mineral menjadi tidak stabil dan mudah ntsak. Ion H' m p u n y a i peranan sangat penting dalam pelapukan plagioklas karma ukuran ionnya sangat kecil sehingga memungkinkan penetrasi ke dalam struktur kristal sangat mudah dan tingginya nisbah muatanlradius ion flebih tinggi dari ion-ion lainnya) mempunyai pengaruh besar terhadap keseimbangan muatan dalam struictur (Huang, 1989). Penggantian ikatan kation 01eh ion W menyebabkan struktur mineral menjadi tidak stabil dan diikuti oleh mobilisasi silika mela1u.i proses hidroliis ikatan AI-0-Si (Loughnann, 1962 dalam Huang, 1989). Di samping pembebwm Al, proses hidrolisis juga mengakibatkan silika pada patahan kristal dapat diubah menjadi selaput asam silikat (silicic acid coating) dan selanjutnya akan berubah menjadi asam silikat dalam larutan tanah. Proses-proses tersebut dengan adanya gerakan air dalam pori menyebabkan bagian yang mengarah ke pori mengalami pelarutan yang mengakibatkan mineral msak hanya sebagian sedangkan yang berada dalam matriks tetap utuh karena tidak terjangkau oleh pengaruh air secara intensif. Proses pelarutan akan semakin intensif jika air mengandung
asam organik d m suhu tinggi (Krauskopc 1983). Jika jumlah A1 dan Si yang dibebaskan sebanding maka akan terbentuk haloisit @uol el at. 1980). Peristiwa ini terjadi pada pedon yang terletak di bawah pengaruh regim kelembaban tanah aquic, terutama pedon di cekungan (SM,) yang dominan metahdoisit dalam fiaksi liatnya karena tingginya intensitas pelapukan. Di samping hidrasi dan hidrolisis, untuk amfibol dapat juga mengalami pelapukan melalui proses reduksi dan oksidasi terhadap besi yang terdapat dalam strukturnya. Reduksi akan terjadi pada saat pori terisi air dalam jangka waktu tertentu sehingga menciptakan
suasana reduktii. Sementara oksidasi akan terjadi pada saat rongga dalam keadaan kosong dan terdapat cukup 02. yang mengisi rongga tersebut. Silih bergantinya proses ini akan lebih mempercepat proses pelapukan amfibol atau mineral feromagnesian lainnya.
Selain itu, dl dalam pori selalu terjadi gerakan air (Hillel, 1980) Adanya proses gerakan air dalam rongga yang terus menerus akan menimbulkan gaya rnekanik Meskipun gaya ini tidak begitu besar, namun jika air yang bergerak dalam rongBa mengandung asam-asam organik dan mhu air relatif tin@ maka daya lamtnya akan meningkat (Mob dan van Baren, 1954,Krauskopf. 1983) Jika berlangsung dalam waktu yang lama, gerakan air
tersebut akan mampu mmgikis pemmkaan mineral yang menjorok ke dalam rongga sehingga bagian mineral a h larut secara perlahan-lahan Genesis M i n e d Liat
Produk-produk dari proses pelapukan antara lain: Fo, Al, dan Si juga akan mengalami proses lebih lanjut antara lain, meliputi (1) silikasi terhadap bahan amorf membentuk l i t haloisit, (2) desilikasi bahan amorf rnembentuk gibsit, (3) oksidasi ~ e yang ~ 'dibebaskan dmi pelapukan mineral feromagnesian rnembentuk goetit danlatau hematit, (4) hidratasi oksida besi membentuk ferihidrit, (5) khelasi membentuk kompleks Al- dan Fe-humat, (5) reduksi oksida besi menjadi ~
e dan ~ (6) , hidrolisis ~ 1 membentuk ~ ' gisit bentukan baru
(neoformation) dalam pori Hasil analisis fraksi l i t menunjukkan bahwa susunan mineral liat pedon di dataran rendah Pancur Batu dan di dataran tinggi (Bandar Baru dan Kuta Gadung) pada formasi Qvbs terdapat perbedaan Di dataran rendah, fraksi liat didominasi oleh haloisit dan diikuti oleh alofan dan gibsit (haloisit
alofan > gibsit) Sementara di dataran tinggi (BB dan KG),
fraksi liat didominasi oleh alofan/imogolit, sedangkan gibsit dan haloisit tidak ditemubn Tingginya jumlah haloisit pedon di dataran rendah karena dipengaruhi oleh
regim
temperatur isohipertermik dan curah hujan tipe A yang sangat mendukung untuk berlangsungnya proses pelapukan dan diikuti oleh silikasi bahan amorf Pada suhu tinggi, haloisit dapat terbentuk dari pelapukan alofan dan plagioklas (FitzPatrick, 1984) Hal ini menyebabkan jumlah haloisit akan meningkat karena berasal dari dua sumber mineral (plagioklas dan alofan) dan jumlah alofan akan semakin menurun karma pelapukan Sementara pada pedon di dataran tinggi berada di bawah pengaruh regim temperatur isotermik dan curah hujan tipe C yang lebih dingin FitzPatrick (I 984) juga mengemukakan bahwa, pada keadaan dingin alofan dapat terbentuk dari pelapukan gelas volkan dm plagioklas sehinggajumlahnya akan lebih banyak Tingginya jumlah haloisit dalam fiaksi liat pedon di dataran rendah Pancur Batu memperkuat bukti bahwa pedon ini telah berkembang lebii lanjut Terbentuknya haloisit 165
ini menunjukkan adanya proses . s ~ l r k a s ~Silikasi . adalah proses pencucian Al dan Fe dan meningyalkan Si sehingga jumlah Si menjadi lebih dominan (Buol
el
al. 1980). Adanya
pencucian A1 dan Fe juga terbukti dengan meningkatnya jumlah Fed dan Ald dengan kedalaman tanah (Tabel Lampiran 10). Keadaan ini mendukung pembentukan haloisit. S h e n t a r a gibsit rnenunjukkan adanya proses desilikusi. Desilikasi adalah proses
pemindahan silika ke luar solum yang mendukung pembmtukan gibsit. Proses-proses ini mengakibatkan, jumlah alofan akan semakin berkurang sedangkan haloisit danlatau gibsit cenderung meningkat sampai pada waktu dan kondisi t m . Proses silikasi pedon di dataran rendah Pancur Batu adalah lebih dominan dibandingkan dengan desilikasi yang ditunjukkan oleh jumlah haloisit relatif lebih banyak daripada jumlah gibsit. Tidak ditemukan haloisit dan gibsit pada pedon di dataran tinggi (Bandar Baru dan Kuta Gadung) merupakan petunjuk bahwa proses silikasi danlatau desilihri tidak berjalan intensif pada pedon tersebut. Peristiwa ini disebabkan oleh pedon tersebut berada pada daerah di bawah pengaruh regim temperatur isotermik sehingga pelapukan kurang intensif. Sdain itu pada keadaan dingin, alofan relatif stabil sehingga dapat bertahan dalam waktu relatif lama (FitzPatrick, 1984). Hasil penelitian ini sesui dengan Syarif (1990) yang juga melaporkan bahwa jumlah alofan ditemukan meningkat dan haloisit menurun dengan semakin tingginya tempat. Atas dasar susunan mineral liat maka dapat dikemukakan dua model genesis lim m e n w t ketinggian tempat (Gambar 63) pada formasi Qvbs. Model pertama (a) pelapukan gelas volkan yang dikuti oleh pembentukan alofd~mogolit,haloisit, dan gibsit di bawah pengaruh regim temperatur isohipertermik dan curah hujan tipe A. Model kedua @) pelapukan gelas volkan membentuk alofm dan imogolit
di bawah pengaruh regim
temperatur isotermik dan curah hujan tipe C. Secara vertikal, jumlah alofan dalam fraksi liat pedon di dataran tinggi (BB dan KG ) meningkat semakin ke horizon bawah yang ditunjukkan oleh semakin luasnya puncak endotemik penciri alofan tersebut (Gambar 21 dan 22). Gejala tersebut rnenunjukkan bahwa proses genesis alofan pada horizon permukaan berbeda intensitasnya dengan horizon di bawahnya. Pembentukan alofan pada horizon permukaan agak terhambat dibandimgkan dengan horizon bawah. Hal ini disebabkan pada horizon permukaan mempunyai kandungan bahan organik. yang tinggi. Bahan organik berhubungan dengan Al d m Fe yang dilepaskan dari hasil pelapukan dalam pembentukan kompleks Al- dan Fe-hurnat. Proses ini 166
menghambat pembentukan alofan (Wada, 1989). Sedangkan pada horizon bawah dimana jumlah bahan organik relatif rendah, proses pembentukan kompleks Al- dan Fe-humat semakin berkurang. Hal ini terbukti semakin rendahnya kandungan Al dan Fe terekstrak pirofosfat (Fep) yang merupakan petunjuk adanya ikatan antara Al- dan Pe dengan bahan organik (AI- dan Fe-humat) (Parfitt., 1980) dan meningkatnya jumlah alofan semakin ke horizon bawah (Tabel Lampiran 10). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan alofan semakin intensif dengan semakin ke horizon bawah.
Gambar 63. Model genesis liat formasi Qvbs: (a) di dataran rendah regim m u isohipertermik dan curah hujan tipc A (Pancur Batu) dan (b) di dataran tin@ rcgim suhu isutcrmik dan curah hujan tipe C (Bandar Baru dan Kuta Gadung ).
Di dataran rendah formasi Qvbj, dalam fraksi liat pedon di punggung bukit (SM5) didominasi oleh alofan dan sedikit haloisit dan gibsit; sedangkan pcdon di cekungan didominasi oleh haloisit dan alofan dalam perbandingan seimbang. Susunan mineral liat ini hampir sama dengan pedon di dataran rendah formasi Qvbs tetapi jumlah alofan lebih tinggi pada formasi Qvbj. Tingginya jumlah alofan pada pedon dataran rendah formasi Qvbj juga merupakan bukti bahwa: (1) pedon dataran rendah formasi Qvbs telah berkembang lebih lanjut, (2) pada formasi Qvbs pengaruh iklim lebih dominan daripada fonnasi Qvbj, dan (3) pada formasi Qvbj, pengaruh bahan induk lebih dominan.
Susunan mineral liat pedon di dataran rendah fonnasi Qvbj (SM) menunjukkan bahwa jumlah alofan menurun dan haloisit rneningkat dari pedon di pungbwng bukit ke pedon di cekungan.(Garnbar 23 dan 24). Perbedaan ini disebabkan oleh (1) pelapukan pedon di cekungan lebih intensif karena dipengaruhi air tanah (redoks) sehingga pernbebasan d l i relatif besar, (2) proses silikusi kemungkinan lebih intensif sehingga rneningkatkan jumlah Si
tanah di cekungan, dan (3) adanya akumulasi silika dari hasil pelapukan pedon di punggung bukit yang terangkut oleh erosi. Keadaan ini mendorong pembentukan haloisit sehingga jumlahnya meningkat. Akibat kuatnya pengaruh air tanah maka haloisit mengalami hidratasi sehingga rnenjadi metahaloisit. Selain itu, tingginya jumlah metahaloisit juga dapat disebabkan oleh pelapukan plagioklas dapat secara langsung terbentuk haloisit tanpa menjadi bahan amorf terlebih dahulu (Parfitt et al. 1984). Gejala ini menunjukkan bahwa pada keadaan drainase baik, pelapukan abu volkan akan menghasilkan alofan (horizon
BC, pedon SM5); sedangkan
Ail-
pada keadaan drainase jelek, pelapukan abu voikan
membentuk haloisit/methaloisit (pedon S& ). Di dataran tinggi (Bandar Baru dan Kuta Gadung), susunan mineral liat antara pedon di punggung bukit dan pedon di cekungan tidak menunjukkan adanya perbedaan. Baik
pedon di punggung bukit mau pun pedon di cekungan didorninasi oleh alofan. Namun jumlah alofan menunjukkan penurunan dari pedon di punggung bukit ke pedon di cekungan. Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya C-organik pada pedon di cekungan yang menghalangi pembentukan alofan. Pedon pada ketinggian 100-550 rn dm1 (NT dan TG) formasi Qvbj menunjukkan jumlah alofan dan gibsit lebih tinggi dibandingkan dengan pedon di dataran rendah (SM).
-
Hal ini membuktikan bahwa pedon pada ketinggian 100 550 m dm1 mengalami proses d e s i I i h i lebih intensif yang mendorong pembentukan gibsit.
Hasil analisis irisan tipis menunjukkan bahwa gibsit terbentuk dalam pon (Gambar 62g). Ciri gibsit sesuai dengan hasil penelitian Mulyanto (1995). Proses pembentukan gibsit tersebut dapat tejadi melalui A1 yang dilepaskan dari
pelapukan berada dalam
bentuk larutan sehingga mudah tercuci oleh air perkolasi. Di dalam pori dimana gerakan air mulai terhambat dan pH relatif tinggi (6,2W0,17), A1 yang larut akan mengkristal membentuk giisit. Kenaikan pH tanah dapat tejadi sebagai akibat penggenangan (Ponnampenuna, 1970) dan tingginya kandungan kation basa (6,3W1,29mdIOOg), hasil
pelapukan mineral primer (Tabel Lampiran 10) Proses pembentukan gibsit melibatkan hidrolisis A1 (Hsu, 1989) Al"'
+ HOH
=-
> AI(OH)3
+ 3H'
gibsr~ Berdasarkan susunan mineral liat pedon pada form&
Qvbj dapat disimpulkan: (I)
i dengan semakin jumlah haloisit menurun h g k a n jumlah a l o f d ~ m o g d meningkat tingginya tempat. Pedon di daman rendah (Sei Mencirim, S M ) menunjukkan bahwa jumlah alofanlimogolit memurun dan metahdoisit meningkat dari pedon di pungpng b u m
(SM,)ke pedon
yang terletak di cekungan
(SM,) Atas dasar susunan liat juga dapat
dikemukakan dua model proses genesis liat (Gambar 64)
Bahan volkan
Bahan vot
(iambar 64. Model genesis liat pada formasi Qvbj :(el pedon di punggunp bukit drain= baik (Sei Mencirim.40 m dm1 ), tanah sawah (100 rn dml), dan pedon Tanjung Gunnng (400 m dml) dan (d): pedon di cekungan (SM3 dan horimn 2C (SM5 ) berdrainasjclek
Besi yang terbebas dari shuktur mineral primer (mineral feromagnesian) akibat proses pelapukan dengan gugus O H dan 0 2 akan membentuk mineral oksida hi(Buol et al. 1980). Hasil penelitian menemukan bahwa oksida Fe sebagai gwithematit dan ferihidrit
Pada fonnasi Qvbq jumlah goetithematit pedon di dataran rendah Pancur Batu d
f lebii
tinggi dm fen'hidrit lebih rendah dibandingkan dengan pedon di dataran tine. Hal ini
disebabkan oleh di dataran rendah (I) suhu lebih tinggi dan kelembaban lebih rendah sehingga mendukung dehidratasi, (2) pelapukan di dataran rendah lebih intensif sehingga
pembebasan Fe lebih cepat sehingga Fe lebih banyak, dan (3) jumlah C-organik lebih rendah mengurangi protonisasi dan pembentukan Fe-humus. Keadaan ini menurut Schwertmann dan Taylor (1989) sangat mendukung pembentukan goetifiematit. Sedangkan di dataran tinggi dimana whu dan kelembaban tinggi, pelapukan relatif lambat, dan C-organik tinggi,
Fe p g dibebaskan cenderung mernbentuk ferihidrit dan Fe-humus sehingga mengurangi jumlah goefit/hematit. Proses pembentukan ferihidrit dm goetitlhematit dapat dikemukakan sepeiti Gambar 65
.
hiperstin, augit, amfibol 1,
ion ~ e ~ '
+ 4
3
Fe-humus
w
Ferihidrit
.
6
Gambar 65. Pembentukan g&tkmatif ferihidrit, dan Fe-humus: (1) pelapukan, (2) pembentukan Fo-humus, (3) protonisasi, (4) deprotonisasi, (5) dan (6) knstalii
Telah dijelaskan bahwa pada fonnasi Qvbj, jumlah goetithematit dan ferihidrit pada pedon yang terletak pada ketinggian 100-550 m dm1 (Namuterasi, Simpang Sipirok, Tanjung Gunung) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah goetithematit
pedon di
dataran rendah Sei Mencirim Jumlah goetithematit di dataran rendah Sei Mencirim juga lebih sedikit dibandingkan dengan pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs. Faktor utama yang bertanggung jawab adalah tingkat pelapukan pedon formasi Qvbj lebih rendah sehingga jumlah Fe yang dibebaskan masih rendah. Ilal ini ditunjukkan oleh rnasih tingginya jumlah mineral feromagnesian pada pedon di dataran rendah Sei Mencirim. Pmsm-prorcs Pcdogenik
Produk proses pelapukan danjutnya akan mengalami berbagai proses pedogenik. Proses pedogenik yang ditemukan di daerah penelitian meliputi: (1) pencucian dan pengendapan dalam solum tanah, (2) erosi permukaan, (3) hmulasi, (4) braunifikasi, (5)
pengerasan tanah (hardening), (6) humifikasi dan melanisasi. (7) gleisasi, dan (8) pedoturbasi. Tiga proses pertama melibatkan perpindahan (translokasi) secara vertikal dan horizontal (spasid).
Pencueion don pengen@m dalam mlum umumnya ditemukan pada semua pedon yang diteliti. Gcjala ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan jumlah liat, kation Ca, big, niabah:CalMg, Fe dan Al dari horizon permukaan ke horizon bawah. Berdasarkan jumlah liat
(Tabel Lampiran 9). intensitas pencucian pedon di b a n rendah formasi Qvbs (pedon PB)
dan formasi Qvbj w o n SM) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pedon di dataran tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan liat dari horizon permukaan ke horizon
bawah yang sangat nyata. Sementara k
m
n jumlah Ca, M& Ca/Mg, Fe, dan A1 (Tabel
Lampiran lo), intensitas pencucian dan akumulasi. pedon di cekungan dataran tinggi menunjukkan intensitas pencucian relatif lebih tinggi daripada pedon di punggung bukit; sedangkan pedon di dataran rendah intensitaspencucian'tidakjauh berbeda antara pedon di punggung bukit dengan di cekungan. Selain itu, gejala adanya pengaruh pencucian juga ditunjukkan oleh adanya akumulasi liat dalam pori (infilling) seperti yang dikemukan pada
Gambar 62e,f,g. Hasil analisis irisan tipis, pencucian liat ditunjukkan oleh adanya akumulasi liat dalam pori (Gambar 62e, g dan f ) yang ditemukan pada pedon Namuterasi (100 m dml), pedon Tanjung Gurmng (400 mdl) dan pedon Bandar Baru (800 m dml). Gambar 62e menunjukkan bahwa pencucian dan akumulasi liat dapat teijadi dalam pori atau celah batuan yang terbentuk akiiat pelapukan. Proses pencucian dan akumulasi liat ini dapat teijadi &bat adanya gerakan air melatui celah retakan clan rongga yang mungkin terdapat pada batuan yang bersangkutan. Sernentara liat yang tercuci dapat berasal dari hasil proses 171
,
pelapukan mlneral yang terdapat dalam batuan yang bersangkutan sepertl yang dikemukakan pada Gambar 62a dan liat yang terbentuk di dalam tanah horizon di atasnya Gejala ini menunjukkan proses pencucian dan akumulasi liat, tidak hanya tejadi dalam tanah tetapi juga dapat terjadi di dalam pori dan celah batuan yang telah melapuk sebagian dengan intensitas yang berbeda dibandingkan dengan yang terjadi dalam tnnah Gunbar 62f menunjukkan liat yang terakumulasi dalam pori pada pedon Tanjung Gunlmg Hal ini disebabkan, baik pedon-pedon Tanjung Gunung mau pun pedon Bandar Banr, keduanya terletak pada ketinggian antara 500-800 m dm1 yang merupakan daerah dengan tingkat curah hujan tertinggi (Gambar 6) dibandingkan dcngan daerah yang terletak iebih rendah
clan daerah yang lebih tinggi sehingga memungkinkan pencucian berlangsung sangat intensif Erosi mengakibatkan tqadinya perpindahan bahan tanah secara horizoatal/spasial; sedangkan kumlisasi mengakibatkan tertirnbunnya bahan tanah pada matu tempat. Gejala erosi ditunjukkan oleh adanya penipisan horizon permukaan pedon-pedon yang terletak di punggung bukit-tengah lereng dan kumulisasi ditunjukkan olch penebakn horbm permukaan pada pedon di cekungan (Tabel 32) Tabel tersebut menunjukkan babwa proses erosi sangat berperan pada transek di dataran tinggi Tanjung Gunung (400 m dmi), Bandar Baru (800 m dml), dan Kuta Gadung (1300 m dml) tetapi kurang berperan pad8 transek di dataran rendah Sei Mencirim (40 m dml) Besarnya p e n g a d erosi pada transek dataran tinggi disebabkan oleh: (1) derajad kemiringan yang relatif tin& (10-12%) dan berrtuk geornorfologi umurnnya cembung dan mempunyai beberapa arah lereng, (2) terletak, di bawah pengaruh daerah curah hujan yang tertinggi (Gambar 6), terutama trans& Tanjung
Gunung dan Bandar Baru, sehingga sangat memungkinkan tejadinya erosi
sectra
in-
dan (3) transek di Kuta Gadung merupakan areal pertanian produktif yang seldu terbuka
dan mendapat pengolahan tanah secara intensif Cara pengolahan tanah dilakukan menurut [ere% Tabel 32. Ketebalan horizon permukaan (cm)pada posii lereng berbeda. 1 TranscW I Punggung I Kaki lercng1 -- - bukit 1 Lereng - kngab -
1 Ketinggian (mdml) I
I SW40 m dm1
+I diukrtr pada minipit
I
1
I
18
I
20
I
I
20
I
Sementara pada transek dataran rendah di Sei Mencirim
terletak pada (I) derajad
kemiringan hanya berkisar antara 1-2% dan (2) daerah curah hujan relatif rendah (Gambar 6). Keadaan ini kurang mendukung proses erosi.
Perubahan yang terjadi akibat pengaruh erosi antara lain: (1) pedon di punggung bukit mengalami pengikisan aehingga solum tanah menjadi lebih tipis, (2) @on di cekungan mengalami penimbunan sehingga solum menjadi lebih tebal, (3) t&h,bya
horizon
tertimbun (Ab) seperti yang terdapat pada pedon di cekungan di Tanjung Gunung dan (4) pemiskinan C-organik dan u m r - u m r hara pedon di punggung bukit d m pengkayaan pada pedon di cekungan yang berpengaruh terhadap sifat tanah lainnya.
Bruumfikusi adalah proses pelepasan Fe dari mineral dan perubahan bcntuk oksida
Fe akibat oksidasi dan hidrasi. Proses ini berperan dalarn menktukan warm tanah coklat dalam pembentukan warna horizon B. Pada formasi Qvbs, proses ini lebih intensif pada pedon di dataran rendah Pancur Batu yang ditunjukkan oleh warna wklat pada horizon B (IOYR 416) sedangkan di dataran tins memperlihatkan warna wklat-kekuningan (IOYR 518). Perbedaan warna ini disebabkan oleh tanah di dataran rendah lebih dominan
godthematit sedangkan
-
di dataran tinggi lebii dorninan ferihidrit. Goetitmematit
cenderung memberikan warna wk1at hingga merah sedangkan
ferihidrit cenderung
memberikan wama kuning. Proses ini juga ditemukan lebii intensif pada pedon yang terletak di punggung bukit sedangkan pedon di cekungan lebih lemah.
kimia yang
bertanggung jawab terhadap pembahan oksida Fe telah diuraikan dalam uraian morfologi tanah. Gldsasi adalah proses yang melibatkan reduksi Fe pada keadaan anaerob (tergenang)
sehingga menghasilkan warna kebiruan atau kelabu. Proses ini hanya ditemukan pada pedon di cekungan dataran rendah formasi Qvbj (Sei Mencirim) dan pedon tanah sawah (di Namuterasi). Sedangkan di dataran tinggi, proses im tidak ditemukan. Tanah di dataran rendah Sei Mencirim, proses ini terjadi pada horizon bawah yang disebabkan oleh pengmh air tanah dan darainese kurang baik; sedangkan
pedon di Namuterasi
disebabkan oleh pengaruh irigasi. Intensitas gleisasi pedon di Sei Mencirim relatif lebih tinggi daripada pedon tanah sawah di Namuterasi. Di dataran tinggi, proses giekasi i~ tidak ditemukan. Horizon yang terbentuk akibat proses ini disebut horizon glei yang memperlihatkan warna kelabu karena Fe tereduksi. Reaksi kimia yang terlibat telah dikemukan dalam uraian morfologi tanah. 173
Pengera~nn(hardening) adalah proses yang mengakibatkan pori tanah berkurang
akibat pemadatan. Proses ini ditemukan pada pedon di dataran rendah Sei Mencirim (formasi Qvbj) yang terletak di areal PT Perkebunan Nusantara [I tetapi tidak ditemukan pada pedon-pedon di dataran tin*.
Pengersan tanah tersebut akibat pengaruh pmgaruh
beban alat mekanisasi yang digunakan dalam pengolahan tanah dalam waktu cukup lama. Mclrmi~cru'adalah proses pembentukan warna kelam akibat pencampuran senyawa
organik. Intesitas melanisasi dapat diduga berdasarakan indeks melanik. Indeks melanik ditentukan oleh jumlah asam humat tipe A yang tcrbcntuk melalui proses humifikasi. Berdasarkan nilai indeks melanik, intensitas melanisasi tertinggi ditemukan pada pedon yang terietak di dataran tinggi dengan indeks melanik mencapai > 1,7 sebagai batas penciri epipedon melanik (Soil Suwey Staff, 1994). Hal ini disebabkan oleh jumlah bahan organik di dataran tinggi relatif lebih banyak. Sementara pedon di dataran rendah relatif
sangat rendah karena jumlah bahan organik rendah. Proses ini berperan dalam pembentukan epipedon melanik, horizon A,, atau epipedon molik). Pedoturbusi adalah pemindahan bahan oleh aktifitas biologi sehingga terjadi pencampuran. Proses ini ditemukan pada pedon dataran rendah Sei Mencirim (SMs) dan pedon Bandar Baru dan Kuta Gadung. Peran proses ini masih sangat lemah sehingga belum berpengaruh nyata terhadap perubahan sifat-sifat tanah. Aktifitas hewan tanah, terutarna cacing tanah, relatif lebih tinggi pada pedon di dataran tinggi daripada pedon di dataran rendah. Keadaan ini disebabkan oleh jumlah bahan organik yang tinggi dan sufiu lebih dingin sangat mendukung aktifitasnya. Siliklrsi addah proses pemindahan
Al d m Fe d m atau bahan organik dan meninggal
kan silika sehingga konsentrasi silika menjadi tinggi. Proses ini sangat berperan dalam pembentukan haloisit. Proses ini ditemukan intensif pada pedon di dataran rendah forrnasi Qvbs (Pancur Batu) d m formasi Qvbj (Sei Mencirim). Pada pedon di Sei Mencirim yang terletak di cekungan menunjukkan silikasi lebih intensif yang ditandai oleh meningkatnya jumlah haloisit. Sedangkan di dataran tinggi, intensitas proses ini sangat rendah sehingga kurang mendulcung pembentukan haloisit. Peristiwa ini dapat dihubungkan dengan: (I) suhu yang tinggi di dataran rendah mengakibatkan kelarutan Si dari bahan amorf dan
kwarsa lebih tinggi (Siever, 1960 dalam Buol et al. 1980) dm, (2) keadaan pH tanah relatif rendah mengakibatkan Al dan Fe larut dan mudah tercuci sedangkan Si relatif lebih
stabil sehingga relatif tidak tercuci akibatnya jumlahnya meningkat (Tqoyuwono dan Supamowo, 1978). Dckompsisi bahan organik lebih intensif pada pedon di dataran rendah baik pada
formasi Qvbs (Pancur Batu) mau pun pada formasi Qvbj (Sei Mencirim). Hal ini terbukti dengan rendahnya jumlah C-organik pada pedon-pedon di daerah tersebut. Peristiwa ini disebabkan olch p e n g ~ hsuhu yang tinggi sehingga dekomposisi berlangsung sangat cepat.
Dari uraian diatas proses pedogenesis tanah dataran rendah dan dataran tinggi di daerah penelitian dapat diringkaskan seperti &lam Tabel 33.
Tabel 33. Proses-proses pedogenesis tanah dataran rendah dan dataran tinggi yang diteliti
*: Mlebih rsdah; -: gcjala tidak hidrolisia, pelsrolgs h W , 2: tenah di Sei Mencirim
**: lebih
E B W 1:
meliputi peretalran hsluan, dc&ssi-teduk
Klasifikasi Tanah Pengklasifikasi tanah merupakan teknik yang dapat memberikan informasi tentang sifat-sifat tanah clan keragamannya yang dapat digunakan sebagai dasar dalam perencanam dan penerapan sistan pengelolaan tanah yang tepat Dalam penelitian ini, kl&ifiLasi tanah
dildahn menurut Sistem Taksonomi Tanah yang didasarkao atas sifat-sifat tanah dan lingkungannya. Klasifikasi tanah dilakukan sampai tingkat famili yang bapedoman kepada
Keys to Soil Taxonomy (USDA, 1996) Sifat-sifat tanah yang digunakan sebagai penciri
dikemukakan dalam Tabd 32 yang terdiri atas Alo+lL?Fm, bobot isi, retensi P, jumlah
fraksi 0,02-2.0 mm, jumlah gelas volkan, warna tanah, Landungan air IS bar (tanah lembab dan kering udara), karatan, reaksi aa-dipyridyl, indeks mdanik, kejenuhan air tanah, KB, A13', dan jumlah basa +A13' Semua pedon yang diteliti memenuhi kriteria sebagai Andisol kecuali pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs Narnun, pada pedon di dataran rendah Sei Mencirim terdapat pednxhkluiteria sifat andik Pedon di punggung bukit (SMs) memenuhi semua
lcritaia sifat andik yang meliputi jumlah Alo +1/2Feo adalah 2 % atau lebih, bobot isi 33 kPa 0,90 glm3atau kurang, dan retensi P 85% atau lebih; sedangkan
pedon lain
(SM,,SM2SM3.S3 mpedihatkan kriteria yang agak menyimpang dari kriteria i i Pedon SMl,SM2, dan SM3 menunjukkan bahwa bobot isi > 0.9 g/cm3 , sedangkan retensi P >850/., kearali pedon SM4 <85%. Hasid analisis Al dan Fe amorf juga menunjukkan sngka yang cukup tinggi Nilai Alo + IdFeo umumnya > 0,4%, bahkan ada yang mencapai > 2% Jumlah gelas volkan pada kedalaman 46 cm pedon S& dan 50 cm pedon SMs, masingmasing menunjukkan 9,9 -15.3 % dan 5,4
-
9,O % berat Berat gelas volkan tersebut
dihitung menurut rumus Eden dan Milne (1987 dalmn ICOMAND 1988) Jumlah fraksi 2.0
- 0,05 mm masih mencapai >30 %, meskipun tanpa fraksi 0,05 - 0,02 mm seperti yang disyaratkan ddam kriteria. Oleh karenanya, keempat pedon tersebut masih dapat memenuhi
ciri sifat andik yang meliputi retensi P 25 % atau lebih, butir berukuran 0.02-2,00 mm sebanyak 30 % atau lebih, dan satu dari syarat berikut (a) jumlah Alo + 112Feo adalah 0.4 % atau lebih dan kandungan gelas volkanik 30 % atau lebih, atau @) jumlah Alo + 1IZFeo
2% atau lebih dan gelas volkan 5 % atau lebih, atau (c) jumlah Alo + 1/2Feo adalah 0.4 % dan kandungan gelas volkan 5
diklasifikasikan sebagai Andisol.
-2
- 20 % secara proporsional. Oleh karenanya dapat
4 7
8 9 10 1 C
I
0
AB
2
2 22-34 ~ ~
brrt ~ r r l sen #: TOJI SW C -.m
17.32 13.74 6 08.m 52s 4.30
78.85 6.01 23.20
0 . ~90.87 29.01 03 90.~0 30s 0.41 W.M 0.45 91.33 58.45 m a 71.01
-
2.m 1 0 n t ~ 430 -1
im im 1.00 ~ O W I U ~ tloiowt~ 10YRM
ML
O Y 6602
iiae
am
12737 87.37 *m em 51.77 1 % imai ~ bn.k
-
. .
195 2.00 250 3.m 4.m
ahn
U7nd o.1~ 2.19 2.57 o.mi 1 s o.m/ 1.71 0.001
I
6.45 2.s~ 2.85 1.4 3.3~1
I
pi~q'yl'r a m r n
no00
c n a
Sernua pedon pada formasi Qvbj berkembang di bawah regim kelembaban udik kecuali 2 pedon di cekungan Sei Mencirim (SM3 dan S K ) yang sangat dipengaruhi oleh air tanah
Dua pedon terakhir mempunyai regim kelembaban aquic yang ditunjukkan oleh adanya gejala redoksimorkik pada horizon Bg setebal
60 cm dengan ciri. wama lembab, value
lembab r 4 den chroma < 3 dan bcai fero aktif cukup memberikan reaksi positif dengan qa-dipyridyl. Ber-
ciri ini maka pedon SMa dan S W dapat diklasifikapih sebagai
Aquand; sedangkan pedon-pedon lainnya diklasifikasikan scbagai Udand.
Di tingkat kategori Great Group, Aquand tidak mempunyai tarnbahan sifat pembeda. Pengamatan di lapangan menunjukkan keadaan tanahjenuh air pada kedalaman s e k 2 70
cm. Sifat kejenuhan seperti ini disebut sebagai endosaturasi (endosaturation).Dengan memasukkan keadaan im sebagai kriteria makn pedon SM3.4 dapat diklasifikasikan sebagai Endoaquand. Udand di Kuta Gadung mempunyai epipedon melanik yang dicirikan oleh horizon permukaan mempunyai kdebalan 2: 30 cm,wama valudchroma <2/2, indeks melanik < 1.7, C-organik > 4 %. Ciri ini dapat manenuhi syarat sebagai Melanudand. Sementm Udand di Bandar Baru dan Kaban Jahe, pada ketebalan yang sama meanpunyai ciri valudchroma lebih
tin& 213 -3/3, indeks melanik > 1,7 sehingga memenuhi sebagai Fulvudand. Udand di Tanjung Gunung dicirikan oleh sifat hydrik yakni retensi air IS bar tanah lembab 2 100 % pada ketebalan 35 cm horizon pennukaan Oleh Lartnanya, pedon ini dillasifikasikan
sebagai Hydrudand. Pedon di Sei Mencirim (SMW). Namuterasi, dan Simpang Sipirok tidak mempunyai tambahan sifat pembeda pada kategori Great Group sehingga di klasifikasikan sebagai Hapludand. Endoaquand di Sei Mencirim tidak mempunyai tambahan sifat sehingga termasuk ke dalam kelas tipik Kelas pengganti ulcuran butir tergolong ke dalam medial yang dicirikan oleh fraksi tanah halus mempunyai retensi air 15 bar tanah kering udara 212%. Pedon ini juga berkembang di bawah regim temperatur isohipertermik sehingga pada kategori Famili, dapat diklasifikasikan sebagai Endoaquand, medial. isohipertennik. Melanudand di Kuta Gadnng dan Kaban Jahe mempunyai sifat hydric yang dicirkan oleh retensi air 15 bar tanah lembab 2: 70 % pada ketebalan I 35 cm. Kelas pengganti ukuran butir tergolong medial dan regim temperatur tanah adalah isotermik. D e n p
demikian, pedon di dua lokasi tersebut dapat diklasifik&ikan ke dalam Hydric Melanudand, medial, isotermik Fulwdand di Bandar Barn juga mempunyai ciri hydric. Kelas pengganti ukuran butir tergolong hidrous yang dicirikan oleh retemi air 15 bar tanah lembab > 100 % dan fragmen batuan < 30 % Regim ternperatur tanah adalah isotmnik rthingga tanah ini di klasifikasikan sebagai Hydric Fulvudand, hidrous, isotermik. Hapludand di Sei Mmcirim (pedon SM,,SM5, dan SM,) tidak mempunyai tambahan sifat pada kategori sub group sehingga termaauk ke dalarn tipik Kelas pengganti ukuran butir tergolong medial dan regim temperatur tanah adalah isohiperkrmik Berdasarkan ciri ini maka tanah dapat diklasifikasikan sebagai Typic Hapludand, medial, isohipertermik. Hapludand di Nmuterasi mendapat perlakuan irigasi karena digunakan sebagai persawahan sehingga tanah dalam keadaan jenuh. Penjenuhan seperti ini disebut anthraquic saturation dan digunakan sebagai penciri sub group Kelas pengganti ukuran butir juga tergolong medial sehingga tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai Anthraquic Hapludand, medial, isohipatermik. Sementara Hapludand di Simpang Sipirok mempunyai sifat lithic karena ketebalan tanah < 50 cm. Kelas pengaanti ukuran butir memenuhisebngai medial. Namun, hasil pmgamatan di lapangan menunjukkan bahwa tanah ini banyak batuan sehingga kelas penggnti ukuran butir adalah lebih realistik jika digunakan medial-sekeletal sehingga lebih menggambarkan kendaan tanmj
sebenarnya. Tanah ini dapat d i i i k r s h n
sebagai Lithic Hapludand, medial-sekeletal, isohipertermik. Hydrudand di Tanjung Gunung (400 m dml) tidak mempunyai tambahan sifat sehingga termasuk ke dalam typic Kelas pengganti ukuran butir adalah hidrous dan jumlah batuan
juga masih tergolong banyak sehingga masih dapat di kelompokkan ke dalam medialskeletal
Regim temperatur tanah masih tergolong isohipertermik sehingga tanah
diklasifikasikan sebagai Typic Hydrudand, medial-skeletal, isohipertermik. Sementara Hydrudand di Tanjung Gunung (550 m dml) mempunyai sifat lithic dan kelas pengganti ukuran butir adalah hidrous. Pengamatan di lapangan menunjukkan jumlah batuan pada pedon ini lebih banyak dibandingkan dengan pedon di Simpang Sipirok dan Tanjung Gunung (400 m dml). Oleh karenanya, kelas pengganti ukuran butir lebih sesuai sebagai medial-berbatu apung Tanah ini diklasiikasikan sebagai Llthic Hydrudand, medial-berbatu apung, isohipertennik
Pedon di dataran rendah Pancur Batu formasi Qvbs tidak memenuhi syarat sebagai Andisol. Epipedon pada pedon ini mempunyai sifat kejenuhan basa >50%, C-organik Xl.6 %, struktur butiran (granular), dan n-value 0,56 (syarat c0.7). Sifat-sifat ini sesuai dengan
Byarat epipedon molik sehingga memenuhi syarat sebagai Ordo Inceptisol. Tanah ini
berkcmbang di bawah regim tcmperatur isohipertennik sehingga, di tingkat Sub Ordo,dapat dildasifrkasikan sebagai Tropept. Pada kedalaman > 30 cm, KB <50°/0 dan kandungan Corganik dari horizon p m u k a a n hingga 109 cm berkisar antara 1,s
- 3,77 %. Dengan
mengabailcan sedikit sprat batas kedalaman, yang schanrsnya > 25 cm, maka pedon ini dapat di klasifikasikan sebagai Humitropept. Jika berpegang kepada kriteria batas kedalam
> 25 cm maka pedon ini t m a s u k ke dalam Dystropept. Dalam ha1 ini, klasifikasi sebagai Humitropept lebih mencerminkan sifat tanah yang sebenamya dibandingkan dengan
-
Dystropepts. Hal ini didasarkan pada nilai KB dan bahan organik pada kedalaman 0 30
cm, masing-masing berkisar antara 67,97
: 99,22
% dan 1,5
-
3,77 % yang tidak
terinfromasikan dalam nama Dystropept. Padahal sifat ini sangat berpengaruh terhadap tanaman karena berada di horizon pmukaan. Pada kedalaman 0
- 109 cm,bobot isi berkisar antara 0,98 -
1,lO (ditetapkan 1.0
g.cm3), Alo + InFeo berkisar antara 1,97 -2,57 %. S i a t ini memenuhi sifat andik untuk penciri Sub Croup. Retensi air 15 bar tanah kering udara 2 12 % yang memenuhi kelas pengganti ukuran butir medial. Badasarkan kriteria hi maka tanah tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai Andie Humiiropept, medal, isohipertennik. Terbentuknya Andic Humitropept, medial, isohipertermik di dataran rendah formasi Qvbs menunjukkan suatu gejala telah tefjadinya peralihan
Perubahan Andisol =>
Andisol menjadi Inceptisol.
lnceptisol akibat pengaruh iklim terhadap perkembangan tanah
pedon di dataran rendah formasi Qvbs lebih h a t . Meskipun berada di bawah iklim yang m a , pedon dataran rendah formasi Qvbj belum memperliiatkan adanya peralihan seperti
pada formasi Qvbs. Hal ini membuktikan bahwa pedon-pedon pada formasi Qvbj masih lebih dipengaruhi oleh sifat bahan induk dibandiigkan dengan pengaruh iklim. Hasil klasifikasi tanah-tanah yang diteliti dikernukan &lam Tabel 35. Menurut beberapa laporan (LPT, 1976a,b dan Adiwiganda, 1991) bahwa pada fonnasi Qvbj, Andisol terkesan hanya berada di sekitar ketinggian 40 - 200 m dm1 atau di sekitar Sei
Mencirim clan Namuterasi. Hasit penelitian ini membuktikan bahwa tanah yang berkembang
dari dataran rendah Sei Mencirim (40 m dml) hin*
Tanjung Gunung (550 m d d ) di kaki
Gunung Sibayak, tanyata masih tergolong seb@
Andisol. Namun sifat Andisol tersebut
menunjukkan adanya keragnman yang tinggi Andisol di aeLitar Simpang Sipirok dan Tan-
Gunuq dWkm oleh si&t lithic dan kelm pangeanti ukuran butir medial-skeletal
hingga hidmw-babatu spung. Sancntara Andisol di dataran rend& Sci Mendrim mampMyai s o h yang rclatif lebih tebal.
Tabd 35. N a m tanah hasil Wfikaei pedon-pedon yang ditaliti Pedoa
p w
~~P*)/ I S M I ~
40 m
sM2
SMJLb SW sMJ/pa
NT~/swl NTalSd SPIRY TG4.b
TGdPb
200 m 400 m
1 I
Frm* Typic Hapludand, medial, isohipeakmuk Typic Hapludand, madial, imbiputumik Typic Endoaquand, medial, imMpumm& Typic Endoaquand, medial, isohiputmnik lLpic Haplwland,medial, imhi@am&
-
Lithic Hapludand medial4daal. ' Typic H~& hi-etal,=rmik Qpic Hydiudand hidmudddal, isohipwtennik Lithic H y M ihuhiptfbmik
TG,nt* 550 m F e w PB M c Humitnpzp, medial, Wpalamik 60 m BB,/Lb 800 m Hydric Fulvudand, hidrous, isotermik HydricFulvudand, hidmus, isutumik i3Bd-t BBfi Hydric-F hidmus, isotumiL 1300 m Hydric Fulmdad hidmus, isutumik KW7-b HydricMalanudafulmedial,isotcnn* KG& Hydric M e l d medi.l, isotcnn* KG4-b Hydric M e l d medial, imtemik KGKJnt I100 m Hydnc Melanudad, &, imtumik PB:Panau Batu; BB:Bandar Ban& KG:Kuta Gabung, UKaban Jab, WSei Mencirim; NT:Namuterad (Swl:sawah benunur 40 tahun; Sw2:mwah buumur 70 tahun); SP.Simpang S~pimk,TG:Tanjmg Gunung:Pb.pmggmg bukiq Lb:Ltlmug tengat& *' Q kalu Gn.Sibayak ke arah Seiatan