Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.36048/PP/M.VII/19/2012 Jenis Pajak
: Bea Masuk
Tahun Pajak
: 2011
Pokok Sengketa
: bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah, Penetapan Tarif Kembali dan/atau Nilai Pabean Nomor : SPKTNP-3/BC.6/2011 tanggal 12 Januari 2011, yang diterbitkan oleh Direktorat Audit Kepabeanan berdasarkan Laporan Hasil Audit nomor LHA-3/BC.62/REG/2011 tanggal 11 November 2011.
Menurut Terbanding : bahwa terdapat kekurangan pembayaran nilai pabean oleh Pemohon Banding. Menurut pendapat Terbanding, kekurangan pembayaran tersebut berasal dari nilai royalti yang belum diitambahkan ke dalam harga yang sebenarnya atau seharusnya dibayar sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) huruf c Keputusan Menteri Keuangan RI. No. 690/KMK.05/1996 jo. Lampiran I paragraf 4.3.1 sampai 4.3.4 KEP-81/BC/1999 jo. P-01/BC/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk (selanjutnya disebut sebagai "Kep-81/1999") yang pada dasarnya menyebutkan bahwa biaya-biaya tertentu yang ditambahkan pada harga yang sebenarnya dibayar atau harus dibayar oleh importir adalah royalti dan lisensi yang dibayar oleh importir secara langsung atau tidak langsung, sebagai persyaratan jual-beli barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya, sepanjang royalti dan biaya lisensi tersebut belum termasuk harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan. Menurut Pemohon
: bahwa Pembayaran Royalti Atas Hak Distribusi Tidak Dapat Ditambahkan Dalam Harga Yang Sebenarnya atau Yang Seharusnya Dibayarkan Karena Nilai Pabean Tidak Dapat Ditentukan Secara Objektif Dan Terukur. Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Pendapat Majelis
: bahwa Surat Banding Nomor: 021/AMF/III/2011 tanggal 10 Maret 2011, ditandatangani oleh Direktur; bahwa Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa “Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya”; bahwa Pemohon Banding dalam persidangan menyampaikan Akta Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT XXX tanggal 30 Desember 2010 Nomor 69 yang dibuat oleh dan dihadapan Ilmiawan Dekrit Supatmo, S.H., Notaris yang berkedudukan di Jakarta, yang menyatakan bahwa Suprayitno adalah Presiden Direktur PT XXX; bahwa berdasarkan pembuktian tersebut, Majelis berpendapat Suprayitno, berwenang menandatangani Surat Banding tersebut, sehingga pengajuan banding memenuhi ketentuan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor: 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; bahwa Majelis XVII belum selesai menyatakan Pemohon Banding telah memenuhi Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, tetapi telah mengalihkan ke sidang Acara Biasa dengan Penetapan Ketua Majelis XVII Nomor: Pen-038/PP/M.XVII/2011 tanggal 09 Juni 2011; bahwa penetapan tersebut disertai catatan:
1. Masih terdapat hal-hal yang mendasar yang memerlukan pendalaman lebih lanjut tentang ketentuan pembayaran pajak yang terutang dalam sengketa kepabeanan; 2. Pada saat pemeriksaan Acara Biasa akan dilakukan pemeriksaan kembali lebih lanjut tentang ketentuan Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; bahwa tidak diketahui alasan Majelis XVII mengalihkan ke Acara Biasa, padahal Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak belum ada bukti dipenuhi oleh Pemohon Banding; bahwa selanjutnya karena telah dialihkan ke Acara Biasa, Pengadilan Pajak berdasarkan Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding kepada Terbanding, dan berdasarkan Pasal 45 ayat (3) Undang-undang Pengadilan Pajak meminta Surat Bantahan kepada Pemohon Banding; bahwa selanjutnya Ketua Pengadilan Pajak dengan Pen.00615/PP/PM/X/2011 tanggal 26 Oktober 2011 Majelis VII Harsinom Kamis untuk memeriksa dan dengan nomor berkas: 19-054664-2011 atas nama tersebut;
Penetapan Nomor: telah menetapkan memutus sengketa Pemohon Banding
bahwa dari berkas sengketa tersebut dapat diketahui oleh Majelis VII sebagai berikut: bahwa dari berkas Pemeriksaan Acara Cepat yaitu Penetapan Ketua Majaelis XVII (sekarang M.VI) Nomor : Pen.038/PP/M.XVII/2011 tanggal 09 Juni 2011 diketahui pemeriksaan pemenuhan pelunasan pungutan yang terutang yang dimaksud dalam Pasal 95 Undang-undang Nomor : 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 jo. Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak belum selesai diperiksa, tetapi sudah dialihkan ke Acara Biasa; bahwa Acara Biasa tersebut menurut Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Pen.00615/PP/PM/X/2011 tanggal 26 Oktober 2011 akan diperiksa oleh M.VII; bahwa Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan : “Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)”; bahwa selanjutnya karena sengketa ini tentang sengketa Kepabeanan pemenuhan pelunasan pungutan terutang berupa BM, PPN, PPh Ps 22 dan Sanksi Administrasi berupa Denda memakai Pasal 95 Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 menyatakan sebagai berikut: “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) keputusan Direktur Jenderal sebagimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu enam puluh hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi”
bahwa tagihan Terbanding yang termuat dalam SPKTNP-3/BC.6/2011 tanggal 12 Januari 2011 adalah sebagai berikut: Bea Masuk PPN PPh Ps. 22 Denda Administrasi Jumlah
Rp 5.562.433.000,00 Rp 6.118.676.000,00 Rp 1.529.669.000,00 Rp 55.300.572.000,00 Rp 68.511.350.000,00
bahwa 50% dari Rp 68.511.350.000,00 adalah Rp 34.255.675.000,00; bahwa dari bukti SSPCP Nomor : 009.001.000502 tanggal 10 Maret 2011 dari Bank PT.BNI (Persero), Tbk, Kantor Cabang Jakarta Pusat diketahui jumlah yang dilunasi adalah: Bea Masuk : Rp. 5.562.433.000,00 PPN : Rp. 6.118.676.010,00 PPh : Rp. 1.529.669.010,00 Jumlah : Rp. 13.210.778.000,00 bahwa dengan demikian Pemohon Banding hanya melunasi BM, PPN, PPh Ps.22 saja, sedang sanksi administrasi berupa denda Rp.55.300.572.000,00 tidak/belum dilunasi; bahwa dengan demikian menurut Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 terdapat kekurangan pelunasan pungutan yang terutang: Rp.34.255.675.000,00 – Rp.13.210.778.000 = Rp.21.044.897.000,00 bahwa sanksi administrasi berupa denda tersebut berdasarkan Pasal 17 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 dan Pasal 6 ayat (1) huruf e dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi berupa Denda di Bidang Kepabeanan; bahwa dalam Berita Acara Sidang Majelis XVII (sekarang Majelis VI) tanggal 26 Mei 2011, Pemohon Banding menyatakan hanya melunasi Rp.13.210.778.010,00 saja, berarti sanksi administrasi berupa denda tidak dibayar; bahwa menurut SUB Nomor : SR-521/BC.8/2011 tanggal 09 Agustus 2011 Terbanding menyatakan Surat Banding tidak memenuhi ketentuan formal Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2011 tanggal 06 Juni 2011, Pemohon Banding menyatakan “arti pungutan yang terutang” adalah “ bea masuk” saja, sehingga hanya melunasi jumlah Rp.13.210.778.000,00, sesuai SSPCP tersebut diatas; bahwa dengan demikian dari berkas diperoleh data Pemohon Banding belum melunasi 50% dari SPKTNP Nomor : SPKTNP-3/BC.6/2011 tanggal 12 Januari 2011; bahwa dari keterangan Terbanding, Pemohon Banding, dan bukti yang diajukan oleh Terbanding dan Pemohon Banding dalam persidangan dapat diketahui fakta dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai berikut:
Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor: Pen.00615/PP/PM/X/2011 tanggal 26 Oktober 2011 telah menunjuk Majelis VII untuk memeriksa dan memutus sengketa nomor 19-054664-2011 dan Penetapan Ketua Majelis XVII Nomor : Pen.038/PP/M.XVII/2011 tanggal 09 Juni 2011 tentang pengalihan perkara berkas nomor 19-054664-2011 atas nama Pemohon Banding dari Acara Cepat ke Acara Biasa, menyatakan akan terlebih dahulu memeriksa tentang pemenuhan ketentuan formal Pasal 36 ayat (4) Undangundang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak jo. Pasal 95 Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 yaitu tentang pelunasan 50% dari pungutan yang terutang sebesar 50% dari nilai SPKTNP Nomor : SPKTNP-3/BC.6/2011 tanggal 12 Januari 2011 sebesar Rp.68.511.350.000,00 yaitu Rp.34.255.675.000,00; bahwa atas pertanyaan Majelis, Terbanding menyatakan Pemohon Banding hanya melunasi Bea Masuk: Rp.5.562.433.000,00, PPN: Rp.6.118.676.010,00, dan PPh: Rp.1.529.669.010,00 dengan jumlah seluruhnya Rp.13.210.778.000,00, untuk memenuhi 50% dari Rp.68.511.350.000,00 yaitu Rp.34.255.675.000,00, sehingga masih terdapat kekurangan Rp.21.044.897.000,00 yang dimaksud Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak jo. Pasal 95 Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undangundang Nomor 17 Tahun 2006; bahwa Terbanding menunjukkan bukti SSPCP dengan jumlah Rp.13.210.778.000,00 yang telah disetor ke Bank PT. BNI (Persero) Tbk., Kantor Cabang Jakarta Pusat pada tanggal 10 Maret 2011; bahwa atas pertanyaan Majelis, Kuasa Hukum Pemohon Banding yaitu Sdr. Darussalam S.E., Ak., M.S., L.L.M., yang selanjutnya disebut Pemohon Banding menyatakan benar telah melunasi SPKTNP tersebut sebesar Rp.13.210.778.000,00 dengan menunjukkan SSPCP yang bersangkutan; bahwa Pemohon Banding menyatakan memang tidak melunasi sanksi administrasi berupa denda Rp.55.300.572.000,00 sampai saat persidangan tanggal 22 Desember 2011, karena mempunyai alasan yang akan disampaikan kepada Majelis; bahwa Pemohon Banding menyatakan dengan telah dialihkan pemeriksaan dari Acara Cepat ke Acara Biasa, maka Majelis diingatkan akan Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan: “Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap Sengketa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), dinyatakan tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu sebagai berikut: a. 30 (tiga puluh) hari sejak batas waktu pengajuan Banding atau Gugatan dilampaui; b. 30 (tiga puluh) hari sejak Banding atau Gugatan diterima dalam hal diajukan setelah batas waktu pengajuan dilampaui.” bahwa Majelis menyatakan benar ketentuan demikian, namun faktanya Pemohon Banding belum melunasi 50% pungutan yang terutang yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak jo. Pasal 95 Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006; bahwa Majelis menyatakan hal tersebut juga sudah diketahui Pemohon Banding dalam sidang Acara Cepat di Majelis XVII dan Ketua Majelis XVII
dengan penetapannya tersebut di atas menyatakan pemenuhan Pasal 36 ayat (4) akan diperiksa dan diputus pada sidang Acara Biasa; bahwa Majelis menyatakan Majelis XVII tidak membuat putusan, meskipun membuat penetapan tentang pengalihan dari Acara Cepat ke Acara Biasa; bahwa menurut Majelis, hal tersebut dapat digunakan oleh Terbanding dan Pemohon Banding untuk mempelajari ketentuan perundang-undangan kepabeanan yang berlaku; bahwa menurut Majelis keterangan lisan yang diajukan Terbanding dan Pemohon Banding adalah sama dengan yang telah dikemukakan dalam Surat Banding, Surat Uraian Banding, dan Surat Bantahan; bahwa alasan yang dipakai Pemohon Banding untuk tidak melunasi pungutan yang terutang adalah sebagai berikut : 1. Pemohon Banding menyatakan penerbitan SPKTNP tersebut tidak melalui prosedur yang benar dan tidak sesuai ketentuan bahwa menurut Pemohon Banding, penerbitan SPKTNP Nomor: SPKTNP3/BC.6/2011 tanggal 12 Januari 2011 tanpa melalui prosedur yang benar dan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; bahwa menurut Majelis ketentuan penerbitan SPKTNP tersebut adalah sebagai berikut: bahwa tentang penetapan ini, Nilai Pabean atas PIB yang diberitahukan di Kantor Pemeriksaan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) oleh Pejabat Pemeriksa Dokumen (PFPD) dilakukan pemeriksaan dan penetapan Nilai Pabean sebagai pelaksanaan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 menyatakan: “Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean barang impor untuk penghitungan bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. bahwa peraturan pelaksanaannya diatur dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), ayat (2) dan ayat (3) dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 51/PMK.04/2008 tanggal 11 April 2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, Dan Sanksi Administrasi, Serta Penetapan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Atau Pejabat Bea Dan Cukai, yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 147/PMK.04/2009 tanggal 04 September 2009 yang menyatakan : (1) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean atas barang impor yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor. (1a) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan dalam hal nilai pabean yang diberitahukan berbeda dengan hasil penelitian. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada penetapan, nilai pabean yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor dianggap diterima; bahwa selanjutnya Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan tersebut menyatakan :
“Penetapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, penetapan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan penetapan tarif dan/atau nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, yang mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor dituangkan dalam Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP)”; bahwa atas PIB atas nama Pemohon Banding tersebut, tidak dikenakan tagihan kekurangan pembayaran Bea Masuk, PPN, PPh dan denda berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang tersebut, sehingga tidak pernah diterbitkan SPTNP, sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan di atas; bahwa setelah lewat 30 hari setelah tanggal PIB tersebut, Terbanding dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean sesuai dengan Pasal 17 Undangundang tersebut; bahwa Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 menyatakan: “Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean.” bahwa dalam penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang tersebut dinyatakan: “Pada dasarnya penetapan pejabat bea dan cukai sudah mengikat dan dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika hasil penelitian ulang atas pemberitahuan pabean atau dalam hal pelaksanaan audit kepabeanan ditemukan adanya kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran bea masuk yang disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan tarif dan/atau nilai pabean, Direktur Jenderal membuat penetapan kembali.” bahwa penetapan kembali nilai pabean tersebut dilakukan oleh Terbanding melalui proses audit yang dinyatakan pada Pasal 86 ayat (1) Undang-undang tersebut yang menyatakan: “Pejabat Bea dan Cukai berwenang memeriksa buku, catatan, surat menyurat yang bertalian dengan Impor atau Ekspor, dan sediaan barang dari orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 untuk kepentingan audit di bidang Kepabeanan.” bahwa tata cara pelaksanaan audit yang dilakukan Terbanding berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 125/PMK.04/2007 tanggal 05 Oktober 2007 tentang Audit Kepabeanan; bahwa pelaksanaan audit terhadap pembukuan Pemohon Banding dilakukan Terbanding dengan menerbitkan Surat Tugas Nomor: ST-192/BC.6/2010 tanggal 13 Juli 2010 untuk periode importasi 1 Agustus 2008 sampai dengan 30 Juni 2010; bahwa tata laksana pelaksanaan audit tersebut telah dilakukan Terbanding yang tertuang pada Laporan Hasil Audit Nomor: LHA-3/BC.62/REG/2011 tanggal 11 November 2011 seperti yang telah di serahkan kepada Majelis oleh Terbanding dalam persidangan tanggal 22 Desember 2011; bahwa dalam Laporan Hasil Audit tersebut Terbanding memperoleh temuan audit berupa kekurangan pemberitahuan nilai pabean atas copy film dan belum ditambahkannya royalty ke dalam nilai pabean atas 102 PIB yang
mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, PPN, PPh Pasal 22 dan denda sebesar Rp.68.511.350.000,00 sesuai Lampiran 2 Kertas Kerja Audit Nomor 2D dari Laporan Hasil Audit tersebut; bahwa selanjutnya Terbanding menerbitkan tagihan atas jumlah tersebut kepada Pemohon Banding berupa SPKTNP Nomor: SPKTNP-03/BC.6/2011 tanggal 12 Januari 2011; bahwa ketentuan pelaksanaan dari Pasal 17 ayat (1) Undang-undang tersebut diatur dalam Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2008 tanggal 11 April 2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, dan Sanksi Administrasi, Serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Atau Pejabat Bea dan Cukai yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2009 tanggal 4 September 2009, sebagai berikut: “(1) Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan/atau nilai pabean dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor. (2) Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan apabila hasil dari penelitian ulang atau pelaksanaan audit kepabeanan mengenai tarif dari/atau nilai pabean berbeda dengan yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor dan mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor. (3) Dalam hal penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor sebagai akibat dari kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan, selain wajib membayar kekurangan bea masuk dan pajak dalam rangka impor, Importir yang dikenai penetapan kembali dikenakan sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. (4) Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor, dituangkan dalam Surat Penetapan Kembali Tarif dari/atau Nilai Pabean (SPKTNP). (5) Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berfungsi sebagai: a. penetapan Direktur Jenderal; b. pemberitahuan; dan c. penagihan kepada Importir. “ bahwa formulir atau form dari SPKTNP tersebut penerbitannya diatur dalam Pasal 3 dan Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor 25/BC/2009 tanggal 18 Mei 2009 tentang Tentang Bentuk dan Isi Surat Penetapan, Surat Keputusan, Surat Teguran, dan Surat Paksa; bahwa penandatanganan SPKTNP tersebut oleh Direktur Audit atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai telah berdasarkan wewenang dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang dituangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-43/BC/2010 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Direktur Teknis Kepabeanan, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Untuk dan Atas Nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai Membuat dan Menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan Nilai Pabean; bahwa menurut Majelis, penerbitan SKPNTP tidak harus didahului dengan penerbitan SPTNP;
bahwa ketentuan ini berbeda dengan Pasal 15 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, yang menyatakan penerbitan SKPKBT harus didahului dengan penerbitan ketetapan pajak (SKPKB, SKP NIHIL atau SKPLB); bahwa dengan demikian, pendapat Pemohon Banding bahwa Terbanding diwajibkan menerbitkan terlebih dahulu SPTNP sebelum menerbitkan SPKTNP adalah tidak benar; bahwa dengan demikian penerbitan SPKTNP oleh Terbanding tersebut menurut Majelis telah memenuhi keputusan yang sah sebagaimana pendapat Van der Pot yang dikutip oleh Sadjiono dalam halaman 99 dalam bukunya “Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi”, Laksbang PRESSindo, Jogjakarta, yang disebut oleh Pemohon Banding dan sesuai pula dengan pendapat Prof. Kuntjoro Purbopranoto dalam halaman 48 dan 49 buku “Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara” yang diterbitkan Alumni, Bandung, cetakan ketiga, September 1981; bahwa dengan demikian menurut Majelis penerbitan SPKTNP tersebut telah melalui prosedur yang benar dan sesuai ketentuan yang berlaku; 2. Pemohon Banding menyatakan cara penetapan pungutan terutang dengan menambahkan denda pada kekurangan bea masuk tidak sesuai dengan Article 11 ayat (1) dan ayat (2) dari Implementasi Article VII GATT 1994; bahwa Pemohon Banding membacakan Article 11 dari Agreement on Implementation of Article VII of The General Agreement on Tariffs and Trade 1994 yang bunyinya sebagai berikut: Article 11 “1. The legislation of each Member shall provide in regard to a determination of customs value for the right of appeal, without penalty, by the importer or any other person liable for the payment of the duty. 2. An initial right of appeal without penalty may be to an authority within the customs administration or to an independent body, but the legislation of each Member shall provide for the right of appeal without penalty to a judicial authority. 3. Notice of the decision on appeal shall be given to the appellant and the reason for such decision shall be provided in writing. He also be informed of this rights of any further appeal.” bahwa terjemahannya menurut buku yang diterbitkan oleh Customs Cooperation Council 1997, Brussel adalah sebagai berikut: Pasal 11 “1. Dalam perundang-undangan masing-masing anggota harus tersedia ketentuan yang mengatur hak banding tanpa dikenakan denda, yang diajukan oleh importer atau pihak-pihak yang berkewajiban melakukan pembayaran bea masuk. 2. Banding tahap awal tanpa dikenakan denda, dapat disampaikan kepada pihak Pabean atau lembaga independen. Perundang-undangan masingmasing anggota juga harus mengatur hak banding tanpa dikenakan denda yang diajukan ke lembaga pengadilan. 3. Keputusan atas banding tersebut harus diberikan kepada pemohon, dna dasar perhitungan keputusan banding juga harus disampaikan secara tertulis, yang bersangkutan juga harus diberitahu tentang haknya.” bahwa dengan demikian Article 11 dari implementasi Article VII GATT 1994 tersebut adalah hak mengajukan banding dari importir dengan tidak disertai pengenaan denda;
bahwa menurut Majelis, penjelasan dari Article 11 tersebut harus dibaca oleh Pemohon Banding; bahwa penjelasan Article 11 tersebut adalah sebagai berikut : Note to Article 11 “1. Article 11 provides the importer with the right to appeal against a valuation determination made by the customs administration for the goods being valued. Appeal may first be to a higher level in the customs sdministration, but the importer shall have the right in the final instance to appeal to the judiciary. 2. “Without penalty” means that the importer shall not be subject to a fine or threat of fine merely because he chose to exercise his right of appeal. Payment of normal court costs and lawyers’ fees shall not be considered to be a fine. 3. However, nothing in Article 11 shall prevent a member from requiring full payment of assessed customs duties prior to an appeal.” bahwa penjelasannya dari Customs Cooperation Council 1997, Brussel adalah sebagai berikut: Penjelasan Pasal 11 “1. Pasal 11 mengatur hak bagi importir untuk mengajukan banding atas penetapan Nilai Pabean yang dilakukan oleh administrasi pabean atas barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya. Banding tahap awal diajukan ke intern organisasi pabean yang tingkatannya lebih tinggi, selain dari pada itu untuk tahap terakhir importir berhak mengajukan banding ke pengadilan. 2. Yang dimaksud dengan “tanpa sanksi” adalah importir tidak harus membayar denda atau mendapatkan ancaman pembayaran denda hanya semata-mata karena mereka menggunakan hak bandingnya. Biaya pengadiilan dan ongkos pengacara tidak dianggap sebagai sanksi. 3. Tidak satupun ketentuan dalam Pasal 11 yang menghalangi setiap anggota untuk mengharuskan pembayaran Pungutan pabean secara penuh sebelum importir mengajukan banding.” bahwa menurut Terbanding, pengajuan banding tersebut tidak akan menambah denda lagi dari denda yang sudah ditetapkan; bahwa menurut Terbanding pungutan yang terutang harus dibayar penuh oleh importir; bahwa Agreement on Implementation on Article VII GATT 1994 tersebut telah dimasukkan dalam Lampiran 1A dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization; bahwa World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi perdagangan dunia yang semula bernama GATT; bahwa tentang Nilai Pabean dalam lampiran 1A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tersebut telah diadopsi dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006; bahwa dengan demikian sesuai dengan ketentuan tersebut, dan sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Majelis memeriksa mengadili dan memutus berdasarkan Undangundang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006;
bahwa menurut Majelis Article VII dari GATT 1994 tersebut telah dilaksanakan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, dan Article 11 dari implementasi Article VII GATT 1994 tersebut telah sesuai dengan Pasal 95 Undang-undang tersebut; 3. Pengertian “PUNGUTAN TERUTANG” bahwa menurut Majelis, dalam pemeriksaan akan memakai ketentuan dalam Undang-undang tersebut di atas; bahwa dengan adanya perbedaan pendapat antara Pemohon Banding dan Terbanding tentang pengertian "pungutan terutang" yang harus dilunasi pada saat pengajuan Banding Kepabeanan kepada Pengadilan Pajak sesuai Pasal 95 Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 (kemudian disebut Undang-Undang Kepabeanan dalam tulisan ini) jo. Pasal 36 ayat (4) Undangundang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menurut Majelis adalah sebagai berikut: bahwa praktek yang terjadi pada pemeriksaan dan putusan Pengadilan Pajak sampai dengan hari ini adalah, untuk memenuhi Pasal 36 ayat (4) Undangundang Pengadilan Pajak jo. Pasal 95 Undang-undang Kepabeanan adalah dari angka total SPKPBM/SPTNP/SPKTNP/SPP/ SPSA, yaitu mengikuti dari jumlah total angka Bea Masuk, PPN, PPN BM, dan Denda Administrasi; bahwa semula yang eksplisit adalah kata "Bea Masuk yang terutang" pada Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan L.N. 1995 No. 75 yang kemudian sejak 15 November 2006 telah diubah dengan kata "pungutan yang terutang" pada Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, L.N. 2006 Nomor 93; bahwa kata "pungutan" dipakai pada Pasal 95 Undang-undang Kepabeanan yang telah diubah karena ditambah bea keluar maka tugas pokok kepabeanan termasuk "memungut" pajak yang terdiri atas: 1. Bea masuk; 2. Cukai dalam rangka impor; 3. Bea keluar; 4. Denda administrasi; 5. Tugas titipan dari Undang-undang PPN dan Undang-undang PPh: a) PPN b) PPn BM c) PPh Pasal 22 bahwa sebagai pajak obyektif, maka bea masuk dan bea keluar dikenakan terhadap barang, sehingga diperlukan peran aktif pejabat bea dan cukai untuk memungut bea masuk dan bea keluar pada saat melewati batas negara; bahwa tugas pejabat Bea Cukai selain melakukan pungutan tersebut juga melakukan penegakan hukum; bahwa pengertian “pungutan” menurut DR.C. Goedhart, dalam bukunya “Garis-garis Besar Ilmu Keuangan Negara” yang diterbitkan oleh penerbit Djembatan, 1982, pada halaman 120, 121, dan 122 dinyatakan: “Pungutan dapat dibagi dalam: a. Retribusi b. Sumbangan c. Pajak d. Denda.”
bahwa dengan demikian arti pungutan adalah termasuk denda; bahwa Pasal 95 dari Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 menyatakan: “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi.” bahwa pengertian “pungutan yang terutang” dalam Pasal 95 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 adalah termasuk sanksi administrasi berupa denda, sebenarnya sudah jelas bila dilihat dari rumusan Pasal 95 tersebut dan kaitannya dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut, yaitu sebagai berikut : Yang dapat diajukan banding kepada Pengadilan Pajak
Pasal
Substansi
1 Penetapan Direktur Jenderal atas Tarif dan Nilai Pabean Keputusan Direktur Jenderal atas Tarif dan Nilai Pabean
2 Ps. 17 ayat (2) Ps. 93 ayat (2)
3 Penetapan kembali atas Tarif dan/atau Nilai Pabean Keputusan Keberatan atas Tarif dan/atau Nilai Pabean
Keputusan Direktur Jenderal atas selain Tarif dan Nilai Pabean
Ps. 93A ayat (4)
Keputusan Keberatan atas selain Tarif dan/atau Nilai Pabean
Keputusan Direktur Jenderal atas Sanksi Administrasi berupa denda
Ps. 94 ayat (2)
Keputusan Keberatan atas Sanksi Administrasi berupa denda
Pasal penetapan Pejabat BC yang diajukan keberatan 4 Ps. 16 ayat (1) dan ayat (2), Ps. 115 Ps. 25 ayat (4), Ps. 26 ayat (4), Ps. 8A ayat (2), Ps. 10B ayat (6), Ps.10D ayat (5) dan (6), Ps. 45 ayat (4), Ps. 86A, Ps. 82 ayat (5) dan (6) Ps. 7A ayat (7) dan (8), Ps. 8C ayat (3) dan (4), Ps. 9A ayat (3) Ps. 10A ayat (3), (4), (8), Ps. 11A ayat (6), Ps. 45 ayat (3), Ps. 52 ayat (1) dan (2), Ps. 82 ayat (3), Ps. 86 ayat (2), Ps. 90 ayat (4)
Jenis pungutan yang ditagih selain cukai, PPN, PPnBM dan PPh 5 Bea Masuk & Denda
Formulir penetapan dan penagihan 6 SPKTNP
Bea Masuk & Denda
SPTNP
Bea Masuk, Bea Keluar & Denda
SPP
Denda
SPSA
bahwa dari daftar sanding di atas pada kolom 5 yang merupakan “pungutan terutang”,terdiri atas Bea Masuk, Bea Keluar dan Denda (selain PPN, PPnBM, dan PPh, dan kalau ada, cukai) adalah yang ditagih Terbanding dengan formulir SPTNP, SPKTNP, SPP dan SPSA; bahwa ternyata meskipun hanya terdiri dari denda saja, seperti tersebut pada kolom 4 baris 4, denda yang ditagih dalam Pasal 95 disebut juga sebagai “pungutan yang terutang”; bahwa dapat diambil kesimpulan pengertian “pungutan yang terutang” termasuk „denda‟; bahwa selanjutnya peraturan pelaksanaannya sebagai berikut :
bahwa Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 147/PMK.04/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 51/PMK.04/2008 tanggal 11 April 2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, dan Sanksi Administrasi, serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai yang telah diubah dengan yang menyatakan: (1) Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan/atau nilai pabean dalam jangka waktu 2(dua) tahun sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor. (2) Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan apabila hasil dari penelitian ulang atau pelaksanaan audit kepabeanan mengenai tarif dan/atau nilai pabean berbeda dengan yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor dan mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor. (3) Dalam hal penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor sebagai akibat dari kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan, selain wajib membayar kekurangan bea masuk dan Pajak dalam rangka impor, Importir yang dikenai penetapan kembali dikenakan sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar. (4) Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor, dituangkan dalam Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP). (5) Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berfungsi sebagai: a. penetapan Direktur Jenderal; b. pemberitahuan; dan c. penagihan kepada Importir; bahwa mengenai bentuk formulir Pasal 3 Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : 25/BC/2009 tentang Bentuk dan Isi Surat Penetapan, Surat Keputusan, Surat Teguran, dan Surat Paksa yang menyatakan : (1) Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan/atau nilai pabean. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP). (3) Bentuk, isi, dan tata cara pengisian SPKTNP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang ditetapkan dalam Lampiran IV yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. bahwa bentuk SPKTNP seperti tersebut dalam lampiran IV Peraturan Terbanding tersebut; bahwa mengenai kewajiban pembayaran pungutan terutang tersebut diatur dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Kepabeanan yang menyatakan: “ Bea masuk, denda administrasi, dan bunga yang terutang kepada negara menurut Undang-undang ini, dibayar di kas negara atau di tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri.” bahwa Pasal 1 butir (17) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 213/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara dalam Rangka Impor, Penerimaan Negara dalam Rangka Ekspor, Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai, dan Penerimaan Negara yang Berasal dari Pengenaan Denda Administrasi atas Pengangkutan Barang Tertentu tanggal 16 Desember 2008 yang menyatakan:
“ Penerimaan negara dalam rangka impor terdiri dari : a. bea masuk, termasuk bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk pembalasan, bea masuk ditanggung pemerintah atas hibah (SPM Nihil), dan bea masuk dalam rangka Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE); b. denda administrasi pabean; c. pendapatan pabean lainnya; d. PPN Impor; e. PPh pasal 22 impor; f. PPnBM impor; g. bunga penagihan PPN; dan h. Penerimaan Negara Bukan Pajak.” bahwa selanjutnya Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan tersebut menyatakan: “ Pembayaran penerimaan negara dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan menggunakan SSPCP yang dilampiri dokumen dasar pembayaran antara lain pemberitahuan pabean impor atau Surat Penetapan.” bahwa kemudian mengenai tugas bank devisa persepsi untuk meneliti angka SSPCP dan SPTNP/SPKTNP/SSP/SPSA menurut Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan tersebut adalah sebagai berikut: “ Bank Devisa Persepsi, Bank Persepsi, dan Pos Persepsi yang menerima pembayaran penerimaan negara dalam rangka impor, penerimaan negara dalam rangka ekspor, penerimaan negara atas barang kena cukai, dan penerimaan negara yang berasal dari pengenaan denda administrasi atas pengangkutan barang tertentu wajib : i. meneliti kelengkapan dan kebenaran pengisian SSPCP; ii. mencocokkan jumlah penerimaan negara yang tercantum dalam SSPCP dengan yang tercantum dalam dokumen yang dijadikan dasar pembayaran; iii. memberikan NTB atau NTP, nomor SSPCP dan unit Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN), validasi penerimaan pembayaran, tanggal dan waktu penerimaan pembayaran, nama dan tanda tangan petugas penerima pembayaran; iv. memberikan bukti pembayaran berupa SSPCP kepada Wajib Bayar; v. mengirimkan credit advice kepada Kantor Bea dan Cukai yang telah terhubung dengan PDE Kepabeanan dan Cukai; vi. memberikan NTPN pada SSPCP dalam hal dilakukan penyetoran penerimaan negara; dan vii. menjawab setiap permintaan konfirmasi dari Kantor Bea dan Cukai.” bahwa bilamana pembayaran tersebut bukan dilakukan pada bank devisa persepsi, maka diatur dalam Pasal 13 ayat (2) sebagai berikut: “ Kantor Bea dan Cukai dan Kantor Pos yang menerima pembayaran penerimaan negara dalam rangka impor, penerimaan negara dalam rangka ekspor dan penerimaan negara atas barang kena cukai, wajib: a. meneliti kelengkapan dan kebenaran pengisian SSPCP; b. mencocokkan jumlah pungutan negara yang tercantum dalam SSPCP dengan yang tercantum dalam dokumen yang dijadikan dasar pembayaran; c. memberikan nomor SSPCP, tanggal dan waktu penerimaan pembayaran, dan nama serta Nomor Identitas Pegawai (NIP) dan tanda tangan Bendahara Penerimaan, dan cap dinas Kantor Bea dan Cukai yang bersangkutan pada SSPCP; d. memberikan bukti pembayaran berupa SSPCP kepada Wajib Bayar; dan
e. melakukan penyetoran ke Kas Negara melalui Bank Devisa Persepsi, Bank Persepsi, atau Pos Persepsi untuk setiap penerimaan yang diterima pada hari sebelumnya dengan menggunakan SSPCP yang sama dengan yang diterima oleh Wajib Bayar.” bahwa dari ketentuan ini diketahui tugas bank devisa persepsi/bea cukai/kantor pos yang menerima setoran pungutan kepabeanan adalah mencocokkan angka yang tercantum dalam SSPCP dengan angka pada SPTNP/SPKTNP/SPP/SPSA, dan bila tidak cocok maka seharusnya tidak diterbitkan SSPCP. bahwa mengenai pengertian Surat Penetapan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan di atas maka Pasal 1 butir 19 Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P - 39/BC/2008 tentang Tatalaksana Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara dalam Rangka Impor, Penerimaan Negara dalam Rangka Ekspor, Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai, dan Penerimaan Negara yang Berasal dari Pengenaan Denda Administrasi atas Pengangkutan Barang Tertentu 23 Desember 2008 menyatakan: “ Surat Penetapan adalah surat tagihan yang diterbitkan oleh Pejabat Bea dan Cukai atau Direktur Jenderal yang meliputi Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), Surat Penetapan Perhitungan Bea Keluar (SPPBK), Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK), dan Surat Tagihan Cukai (STCK-1).” bahwa dari bentuk SSPCP tersebut dapat diketahui masing-masing jenis penerimaan negara telah mempunyai kode akun mata anggaran penerimaan negara misalnya: (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Bea Masuk Denda administrasi pabean PPN Impor, NPWP: ... PPn BM Impor, NPWP: ... PPh Pasal 22 Impor, NPWP: ... Bunga penagihan PPN -
412111 411213 411212 411222 411123 411622
bahwa mengenai tagihan atas kekurangan Bea Masuk dan Denda ada juga yang dilakukan dengan Surat Penetapan Pabean (SPP) yaitu yang diatur dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2009 tersebut di atas, sebagai berikut: “(1) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif dan/atau nilai pabean selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam melaksanakan ketentuan Pasal 8A ayat (2), Pasal 10A ayat (3), Pasal 43 ayat (3), Pasal 45 ayat (4), dan Pasal 86A Undang-Undang Kepabeanan. (2a) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan dalam pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (5) Undang-Undang Kepabeanan, dilaksanakan dalam hal penetapan, dilakukan lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Surat Penetapan Pabean (SPP). (4) Surat Penetapan Pabean (SPP) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berfungsi sebagai : a. penetapan pejabat bea dan cukai; b. pemberitahuan; dan c. penagihan kepada orang.”
bahwa keputusan keberatan Terbanding atas SPP ini bila diajukan banding harus dilunasi terlebih dahulu, disebut juga sebagai pungutan yang terutang harus dilunasi; bahwa dengan demikian, menurut Majelis : bahwa pengertian “pungutan yang terutang dilunasi” yang dimaksud dalam Pasal 95 Undang-undang kepabeanan adalah angka total tagihan yang tersebut dalam SPKTNP, bila menyangkut Pasal 17 Undang-undang tersebut. Dengan demikian denda administrasi, PPN, dan PPh Pasal 22 termasuk yang harus dilunasi, selain bea masuk, untuk memenuhi Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Pengadilan Pajak dalam pemeriksaan formal; bahwa praktek yang selama ini dipakai untuk memeriksa dan mengadili ketentuan formal Surat Banding dalam pemenuhan formal Pasal 36 ayat (4) jo. Pasal 95 Undang-undang Kepabeanan tersebut adalah angka total pada SSPCP yang harus sesuai dengan angka total pada SPTNP/SPKTNP/SPP/SPSA. bahwa ketentuan dalam Undang-undang kepabeanan tentang “pungutan yang terutang dilunasi” sudah jelas tidak perlu ditafsirkan lagi, yaitu angka total bea masuk, denda adiministrasi, PPN, PPn BM, PPh Pasal 22 yang angka totalnya tersebut dalam SPKTNP. bahwa sejak 2004 sampai dengan 21 Desember 2011, Pengadilan Pajak telah memutus lebih dari 13.500 sengketa kepabeanan yang semuanya melalui proses pemenuhan ketentuan formal Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Pengadilan Pajak jo. Pasal 95 Undang-undang Kepabeanan; bahwa dari keterangan lisan Terbanding dan Pemohon Banding, serta buktibukti yang diajukan Terbanding dan Pemohon Banding antara lain : SPKTNP, SSPCP, LHA dan peraturan perundang-undangan Kepabeanan yang berlaku, Majelis mengambil kesimpulan : - bahwa Pungutan yang terutang yang dimaksud dalam Pasal 95 Undangundang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 terdiri atas jumlah Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai, PPN, PPnBM, PPh Pasal 22 dan Sanksi Administrasi berupa denda; - bahwa pungutan yang terutang tersebut tertulis pada SPKTNP Nomor : SPKTNP-3/BC.6/2011 tanggal 12 Januari 2011 sebesar Rp.68.511.350.000,00; - bahwa menurut Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pengajuan banding harus disertai bukti SSPCP untuk menunjukkan pelunasan 50% dari pungutan terutang : 50% x Rp.68.511.350.000,00 = Rp.34.255.675.000,00; - bahwa Pemohon Banding sengaja hanya membayar Bea Masuk sebesar Rp.5.562.433.000, PPN sebesar Rp.6.118.676.000,00 dan PPh Pasal 22 sebesar Rp.1.529.669.000,00, total sebesar Rp.13.210.778.000,00, dengan alasan pungutan yang terutang tersebut menurut Pemohon Banding tidak termasuk denda; - bahwa jumlah yang dilunasi Pemohon Banding kurang dari 50% menurut ketentuan tersebut; - bahwa Pengadilan Pajak telah memeriksa dan memutus lebih dari 13.500 putusan kepabeanan sejak 2004 s.d. 21 Desember 2011 dan tidak ada pihak yang mempermasalahkan pungutan terutang yang angkanya meliputi Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai, PPN, PPnBM, PPh Pasal 22 dan Denda, yang tertuang dalam SPTNP, SPKTNP, SPP; - bahwa dengan demikian, Pemohon Banding tidak memenuhi ketentuan formal Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak juncto Pasal 95 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006; bahwa dengan demikian, Majelis tidak melanjutkan persidangan untuk membahas materi, karena ketentuan formal tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon Banding; bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan Majelis dalam persidangan tersebut di atas, pengajuan banding Pemohon Banding memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 35 ayat (1), Pasal 35 ayat (2), Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (3) dan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak tetapi tidak memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, karenanya Majelis berpendapat pengajuan banding Pemohon Banding tidak dapat diterima; Memperhatikan
:
Surat Banding Pemohon Banding, Surat Uraian Banding Terbanding, Surat Bantahan Pemohon Banding, hasil pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan serta kesimpulan tersebut di atas.
Mengingat
:
1.
Memutuskan
:
Menyatakan permohonan banding Pemohon Banding terhadap Surat Penetapan Tarif Kembali dan/atau Nilai Pabean Nomor : SPKTNP3/BC.6/2011 tanggal 12 Januari 2011, tidak dapat diterima. .
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.