Tim Penyusun: Nugraha Firdaus Aris Sudomo Endah Suhaendah Tri Sulistyati Widyaningsih Sanudin Devy Priambodo Kuswantoro Reviewer: A. Ngaloken Gintings Nurheni Wijayanto Harry Budi Santoso Budiadi
Hak dpta oleh Balai Penelitian. Teknologi Agroforestry .. Dilarang menggandakan maupun bentuk buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk fotokopi, lainnya, kecuali untuk pendidikan atau non komersial lainnya, dengan mencantumkan sumbernya se~:»aacu Firdaus, N., A. Sudomo, E. Suhaendah, T.S. Widyaningsih, Sanudin, dan D.P. Kuswantoro. Riset Agroforestri di Indonesia. Balai Penelitian Teknologi Agroforestry. Ciamis.
Diterbitkan oleh: Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Jl. Raya Ciamis !11 Banjar Km. 4 Pamalayan, Po. BOX 5 Ciamis 46201 T: +62 (265) f:+62(265)775866 E :
[email protected],
[email protected] Sumber pembiayaan: DIP A Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Tahun Disain cover: M. Siarudin
ISBN: 978-602-17616-0-1
Kegiatan penelitian dapat menjawab pertanyaan yang salah apabila, salah satunya, tidak diketahui terlebih dahulu status riset dari penelitian tersebut. Mengetahui status riset. berarti telah mengumpulkan data dan informasi terkini akan dari sebuah penelitian terhadap topik tertentu. Seperti sebuah terlihat celah kosong dari suatu topik yang perlu diisi dengan kegiatan penelitian yang tepat sehingga akan mendapat hasil dan informasi yang menyeluruh mengenai suatu topik. Penyusunan buku Status Riset Agroforestri di Indonesia yang dimulai sejak tahun 2011 lalu, dimaksudkan untuk mengetahui sampai sejauhmana kegiatan penelitian agroforestri di Indonesia dan hasil-hasilnya. Berbagai hasil penelitian yang sudah dipublikasikan baik di dalam jurnal, presiding, buku, maupun hasil-hasil riset yang tidak dipublikasikan seperti skripsi, tesis, dan disertasi dikumpulkan untuk menyusun status ini. Penyajian buku Status Riset Agroforestri di Indonesia terbagi dalam enam bab yaitu pendahuluan, tinjauan aspek teknik silvikultur, aspek lingkungan, aspek sosial, aspek ekonomi, dan prediksi kebutuhan riset agroforestri ke depan. Status riset agroforestri ini menjadi penting sebagai salah satu pijakan langkah bagi Balai Penelitian Teknologi Agroforestry (BPT Agroforestry) sebagai satu-satunya lembaga penelitian pemerintah yang secara khusus diberikan mandat untuk melaksanakan kegiatan penelitian agroforestri. Dengan mengetahui status riset agroforestri di Indonesia, diharapkan kegiatan yang akan dilakukan oleh BPT !groforestry bukan penelitian yang [1]jalan di te mpat[1] dan menjawab pertanyaan yang salah, namun up to date dalam memberikan sumbangsih bagi penerapan agroforestri di masa kini dan mendatang. Kepada Tim penyusun dan editor serta pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini, disampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya; Pepatah lZJTiada gading yang tak retaklll rasanya patut disampaikan mengingat penyusunan buku ini tentu masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, masukan dan saran sangat diharapkan demi perbaikan buku ini dan terlebih pada riset agroforestri itu sendiri.
Ciamis,
Februari 2013
Kepala Balai Penelitian forestry Teknolo
iii vi
1
.........................................................
11
............................................................ 133
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
TABEl 1 2 3
4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
hal. Distribusi tulisan berdasarkan aspek tulisan ................. ."...................... Kemampuan adaptasi beberapa jenis tanaman komponen penyusun agroforestri pada suatu lokasi ............................................................. Beberapa kombinasi jenis tanaman agroforestri yang berinteraksi positif .................................................................................................... Beberapa kombinasi tanaman agroforestri yang berinteraksi netral .. Beberapa kombinasi jenis tanaman agroforestri yang berinteraksi negatif .... ... ... .. .. .. ... .. .. .. .. ... ... .. .. .. ...... ... ......... .. ... . .. ..... ....... ... .... ...... ... .... . Teknik penanaman agroforestri pada lahan alang-alang ................... Beberapa hasil penelitian kontribusi tanaman agroforestri terhadap kesuburan tanah ......................................................... ~........................ Beberapa hasil penelitian pengaruh 11Upukan terhadap tanaman agroforestri ......·..........................·........................................................... Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh pemangkasan pohon terhadap tanaman agroforestri ........................................................... Hasil penelitian dampak agroforestri terhadap sifat fisik tanah ......... Hasil penelitian dampak agroforestri terhadap seresah ..................... Hasil penelitian dampak agroforestri terhadap unsur hara ................ Potensi agroforestri sebagai penyimpan karbon ................................. Dampak agroforestri terhadap KTA ..................................................... Hasil penelitian mengenai lahan pada agroforestri ............................. Hasil penelitian tentang lanskap pekarangan ·..................................... Motivasi petani mengelola lahan dengan pola agroforestri ................ Faktor yang mempengaruhi praktikagroforestri di Indonesia ............ Penelitian agroforestri skala semi komersial ....................................... Kontribusi pendapatan dari usaha agroforestri terhadap ekonomi rumah tangga petani ............................................................................. Hasil-hasil kajian pelaksanaan PHBM dan pembagian hasilnya .......... Kelayakan finansial usaha agroforestri ................................................ Beberapa produk agroforestri yang sudah diteliti pemasarannya ..... Riset optimasi pemanfaatan lahan secara agroforestri .......................
6 14 18 21 22 30
33 34 37 56 57 58 61 63 66 67 80 87 105 107 109 112 117 123
GAMBAR hal. 1 Grafik distribusi lokasi penelitian tiap aspek di tiap wilayah ................ 5 2 Alur pemasaran kayu jati rakyat (Perdana, 2010} ............................... 120
A. , Sebagai mekanisme penggunaan lahan, praktik agroforestri telah lama dikenal dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia. Secara ringkas, ini menjadi sebuah sistem unik yang praktik pengelolaan mengkombinasikan antara tanaman dengan komoditas pertanian. Dalam implementasinya, daerah mempunyai kekhasan d~n karakteristik tersendiri baik dalam penamaan maupun dalam sistem pengelolaannya. Berbagai contoh bagi sistem yang dikembangkan oleh masyarakat lokal adalah repong damar di Krui, Lampung; model di Jambi dan Sumatera Selatan; model tembawang sebagai sistem agroforestri penghasil buah dan kayu di Kalimantan Barat; sistem pelak di Kerinci, Jambi; sistem durian di Gunung Palung, Kalimantan Barat; sistem parak di Maninjau, Barat; dan sistem talun (dudukuhan) di Jawa Barat (De Foresta et a/., 2000). model yang dikembangkan tersebut diklaim lokal dalam mengkombinasikan berbagai faktor sebagai perwujudan ekonomi dan biofisiknya et 2000). Dalam agroforestri diharapkan dapat menjadi jembatan lahan pertanian dengan mempertahankan fungsi hutan dan diproyeksikan mampu menjadi jalan bagi peningkatan kemakmuran sekaligus untuk mengatasi masalah global, seperti penurunan kualitas kemiskinan, dan pemanasan global (Sabarnurdin et a/., 2011). Hal tersebut sebenarnya telah dipromosikan oleh para peneliti, seperti kontribusi repong damar terhadap pendapatan tahunan petani di samping adanya peningkatan kualitas lingkunganQya (Budidarsono et a!., 2000). Sejalan dengan hal tersebut, (2004) menyatakan bahwa kemenyan (Styrax benzoine) memberikan 70% dari pendapatan petani. Berbagai produk dari juga berkontribusi terhadap pendapatan rumah sistem dudukuhan tangga petani (Manu rung eta/., 2008). Berbagai tanaman dalam sistem agroforestri juga dipandang tabungan yang menyediakan berbagai produk yang mendukung ketersediaan sumber pendapatan petaninya {Van Noordwijk eta/., 2008). terkandung dalam sistem agroforestri dapat menjadi Prinsip-prinsip jembatan dalam mencapai visi Kementerian Kehutanan yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera (Sabarnurdin et a/., 2011). Hanya saja, selain dukungan lain yang lebih nyata, termasuk di dalamnya adalah politik, diperlukan aspek-aspek penelitian untuk cara terbaik (best practices) dalam penerapannya. Dalam hal ini, berbagai hasil penelitian yang telah dilaksanakan baik oleh peneliti lokal maupun internasional dapat menjadi rujukan untuk mencari jalan terbaik dalam penerapannya untuk mendukung visi Kementerian Kehutanan, sekaligus mendukung prinsip-prinsip yang terkandung dalam pengelolaan hutan
merupakan
lestari. Selain itu, pijakan bagi penelitian lebih potensi lebih untuk meningkatkan ekonomi, dan ekologi (Sanchez,
secara sosial,
1. Definisi "'"ln"'""'~""'"\~" Pendefinisian ............ ,.....,.,..,. ... /"\ ... .,. .... .... ,IE''I!'II"R
lahan ini lahan di tahap
dipromosikan secara daerah tropis perkembangan awal yang rnnnrr\n melekat pada terminologi ...,,.,..,..,...,.,..., ... '"',<'",. ....
didasarkan pada pengalaman Somarriba (1992) pentingnya agroforestri, yaitu 1) setidaknya terdapat tumbuhan, 2) setidaknya salah satu berkayu, dan 3) setidaknya salah satu dikhususkan untuk pakan ternak atau komoditas Meskipun banyak oleh para ahli, definisi agroforestri yang dipromosikan Centre (ICRAF) yaitu: ~! collective name for landuse woody perennials with crops and/or animals on the same land are deliberately management unit. The integration can be either in a m(xture in a temporal sequence. There are normally both and economic interactions between dan Raintree dalam woody and non-woody components in agroforestry~ Nair, 1993a)
menjadi definisi yang saat digunakan. (1993a), definisi ini mengisyaratkan bahwa: tumbuhan yang 1) Agroforestri setidaknya melihatkan salah satunya merupakan tumbuhan 1'"\0I~V-:1\II 2) Sistem agroforestri setidaknya mempunyai luaran (output), 3} Siklus dari agroforestri lebih satu 4) Meskipun terlihat sederhana, sistem agroforestri melibatkan proses ekologi dan ekonomi yang lebih kompleks dibanding mbnokultur. Nilai-nilai prinsip yang terkandung dalam definisi nrn>Tn,r·<:>c-,·r·l tersebut juga mengisyaratkan keunggulan-keunggulan sistem. dibandingkan dengan sistem lain, seperti yang diungkapkan oleh dalam Hairiah, eta/. (2003) yaitu terciptanya kestabilan ekologi lebih kesinambungan ekonomi yang berimbas pada tingkat kesesuaian yang lebih tinggi dengan budaya dan ' terpenuhinya kestabilan politik akibat daya terima yang lebih di masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Sanchez (1999} menyatakan bahwa beberapa hasil riset mengenai agroforestri di Asia dan Afrika membuktikan keunggulan sistem pengelolaan lahan ini untuk menunjang ketahanan pangan, kayu bakar, pakan ternak, kayu pertukangan, dan obat yang dapat dipergunakan secara 1'"\rTO,T-:11'"\
lama agroforestri telah awalnya berkembang agroforestri dari praktis utama, yaitu kompetisi (profitability), dan tidak terlepas dari sifat lahan yang di dalamnya tanaman untuk mengoptimalkan kompetisi berimplikasi pada kompleksitas ekologi juga dimaksudkan pengelolaan lahan tersebut, di untuk mendapatkan hasil yang
maupun petani. bagi masa lalu
landasan bagi Teknologi lingkup · Kementerian penelitian teknologi landasan ilmiah bagi mendukung pencapaian berbagai sumber terdiri dari silvikultur, dalam status riset
ini merupakan hasil penelitian dan bukan merupakan studi pustaka. Dari hasil pengumpulan data tersebut, diperoleh sejumlah 450 tulisan. Dari 450 tulisan terse but, 440 tulisan dianggap memenuhi syarat untuk dijadikan bah an rujukan.
2. Distribusi Tulisan Seluruh tulisan yang memenuhi syarat untuk dijadikan rujukan kemudian dibagi berdasarkan aspek masing-masing, yaitu silvikultur, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Untuk melihat persebaran lokasi penelitian, seluruh tulisan juga dibagi berdasarkan enam wilayah lokasi penelitian yaitu Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Maluku-Papua. Sebaran lokasi penelitian dari tiap wilayah tersaji daJam Gam bar 1. Riset agroforestri dengan lokasi di Pulau Jawa menempati ururtan teratas dalam jumlah riset. Riset mengenai aspek ekonomi (32%) dan aspek teknik silvikultur (30%) menjadi riset yang paling banyak dilakukan di wilayah Pulau Jawa. Sementara itu riset agroforestri dengan lokasi di wilayah Sumatera, yang menjadi :nengangkat dan menggali aspek urutan kedua dalam jumlah riset, lingkungan {33%) dan disusul dengan aspek sosial dalam agroforestri (28%). Riset agroforestri yang dilakukan di wilayah Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara banyak mengkaji aspek sosial (52%) dan lingkungan (25%). Riset agroforestri yang dilakukan di wilayah Kalimantan banyak mengambil tema dan mengangkat aspek teknik silvikultur (34%) dan· aspek lingkungan (33%). Adapun kajian mengenai ekonomi agroforestri {41%} dan informasi teknik silvikultur (38%) banyak dilakukan di wilayah Sulawesi. Sementara itu, di wilayah Maluku dan Papua, riset agroforestri banyak difokuskan pada aspek-aspek sosial (43%) dan pada urutan kedua ditempati oleh aspek penelitian silvikultur (29%). Beragamnya topik penelitian dan banyaknya kegiatan penelitian dalam suatu aspek agroforestri di setiap wilayah menunjukkan bahwa di setiap daerah mempunyai bentuk-bentuk agroforestri yang khas maupun yang layak dikaji.
Jaw a
Sumatera
Gam bar 1. Grafik distribusi lokasi penelitian tiap aspek di tiap wilayah
Setiap aspek tersebut kemudian dibagi dan dianalisis menurut tema utama dari masing-masing tulisan. Distribusi tulisan berdasarkan aspek dan tema tersebut tersaji dalam Tabell. Tabel1. Distribusi tulisan berdasarkan aspek tulisan No. 1.
Aspek Tulisan Silvikultur
2.
lingkungan
3.
4.
Sosial
Ekonomi
Tema Tulisan Pemilihan Jenis (Uji jenis tanaman agroforestri, Produktivitas dan interaksi tanaman agroforestri); Teknik Silvikultur Agroforestri (Penyiapan lahan, Penanaman, Pemeliharaan}; Bentuk-bentuk Agroforestri di Masyarakat (Agrisilvikultur, Silvofishery, Apikultur). Pengaruh Komponen Abiotik dan Biotik dalam Agroforestri (Cahaya; Makroorganisme); Dampak Agroforestri terhadap lingkungan (Dampak agroforestri terhadap sifat fisik tanah; Dampak agroforestri terhadap seresah; Dampak agroforestri terhadap unsur hara; Dampak agroforestri terhadap siklus air; Potensi agroforestri sebagai penyimpan karbon; Dampak agroforestri terhadap keanekaragaman hayati; Dampak agroforestri terhadap konservasi tanah dan air; Peran agroforestri dalam rehabilitasi); Agroforestri dan Dinamika Pemanfaatan Ruang (Agroforestri dan pemanfaatan Jahan; Penerapan agroforestri dalam bentuk pekarangan). Kearifan Budaya lokal dalam Bentuk Agroforestri Khas Indonesia; Faktor Sosial dalam Praktik Agroforestri {Persepsi, motivasi, dan penerimaan sosial; Pola adopsi dan partisipasi; Pengambilan keputusan; Analisis gender}; Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri di Indonesia (Kelembagaan dan penerapan kebijakan terkait sistem agroforestri, Faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan kebijakan agroforestri di Indonesia, Penyuluhan dan pengembangan masyarakat). Pendapatan dan Kontribusi Ekonomi Agroforestri {Agroforestri dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat; Pengelolaan agroforestri berdasarkan orientasi ekonomi; Kontribusi pendapatan usaha agroforestri); Kelayakan Finansial Usaha Agroforestri; Kesempatan Kerja dalam Pengelolaan Agroforestri; Pemasaran Hasil Agroforestri; Agroforestri dan 1 Perekonomian Wilayah; Pemodelan dan Optimasi Hasil dalam Agroforestri
Jumlah
Sumber: Analisis Data Primer (2011)
Jumlah 121 (28 %)
109 (25 %)
98 (22 %)
112 (25 %)
440
Pemilihan tema dari masing-masing aspek tersebut didasarkan pada bidang kajian utama dari aspek-aspek yang dikaji. Apabila kemudian dalam sebuah tulisan terdapat beberapa aspek kajian, maka analisis ditekankan pada aspek utama yang menjadi bahasan dari tulisan tersebut. a. Silvikultur Aspek silvikultur merupakan salah satu bidang kajian dalam riset agroforestri yang berhubungan dengan strategi aplikasi teknik budidaya di lapangan. Pemilihan rejim silvikultur yang tepat merupakan salah satu jalan yang penting dilakukan menuju arah kelestarian hutan yang mampu memakmurkan masyarakat (Sabarnurdin et a/., 2011). Penggunaan teknik silvikultur yang tepat juga menjadi kunci bagi keberhasilan dalam optimalisasi penggunaan sumberdaya . yang ada. Contoh nyata dari hal ini terungkap dari hasil review yang dilakukan terhadap penelitian-penelitian dalam bidang silvikultur {Bagian II), seperti pentingnya pemilihan jenis-jenis yang tepat agar tercipta intera.ksi antar jenis yang positif serta teknik-teknik silvikultur yang diperlukan untuk meningkatkan hasil dari komoditas yang ditanam. Selain itu, aspek ini melihat praktikj.praktik pola agroforestri yang dilakukan oleh masyarakat. b.Ungkungan • Dalam Bagian IH, kajian mengenai aspek lingkungan dalam penelitian agroforestri meliputi tema agroforestri dan pengaruhnya terhadap komponen abiotik dan biotik, keanekaragaman hayati, agroforestri serta pengaruhnya . terhadap konservasi dan rehabilitasi lahan, serta dinamika pemanfaatan ruang ~ dalam praktik agroforestri. Terkait dengan isu perubahan iklim yang berkembang saat ini, terungkap bahwa agroforestri merupakan salah satu strategi menjanjikan bagi mitigasi perubahan iklim.
c. Sosial Aspek sosial telah mewarnai riset agroforestri berdampingan dengan riset yang berhubungan dengan aspek biofisik. Seperti yang dipaparkan di Bagian IV, aspek ini berhubungan erat dengan dinamika sosial yang terjadi dalam hubungannya dengan praktik agroforestri di masyarakat yang menciptakan polapola agroforestri yang unik. Faktor-faktor tersebut dapat berupa dorongan internal dari individu masyarakat dan pengaruhnya terhadap pola adopsi, · partisipasi, dan pengambilan keputusan, serta pembagian peran dalam pengelolaannya. Selain itu, aspek sosial juga mengkaji sistem kelembag~an yang ada serta berbagai kebijakan yang mempengaruhi .perkembangan praktik agroforestri di masyarakat.
d. Ekonomi Pertimbangan ekonomi merupakan faktor yang berhubungan dengan . pilihan masyarakat terhadap praktik agroforestri. Dalam Bagian V, tergambarkan bahwa aspek ekonomi dalam riset agroforestri tidak hanya terpaku pada aspek kelayakan ekonomi dan finansial semata, tetapi juga meliputi aspek-aspek lain seperti kontribusi agroforestri terhadap perekonomian rumah tangga serta
perekonomian
pemasaran.
Sanchez, P.
Somarriba, E. 1992. Revisiting the Past: An Essay on Agroforestry Definition. Agroforestry System 19: 233-240. Van Noordwijk, M., J. M. Roshetko, M.D. Murniati, Angeles, Suyanto, C. Fay, dan T. P. Tomich. 2008. Farmer Tree Planting Barriers to Sustainable Forest Management. Dalam: Sneider, D. J. dan Lasco, R. D. (eds.) Smallholder Tree Growing for Rural Development and Environmental Services: Lessons from Asia. Springer.
IL TINJAUAN ASPEK TEK IK SIL\JIKULTUR DALAM PERKEMBANGAN RIS AGROFORESTRI DIIND NESIA
Dalam rangka mengembalikan fLLngsi hutan dan lahan kritis agar <;Japat berm anfaat set:: ara ekonom i, sosia I, dan posit if bagi lingku ngan 'dip,erlu ka n tekoologi agroforestri. Hal ini disebabkc:m pengelolaan hutan lestari hanya dapat tercapai jika dapat mengakomodir ketiga fungsi tersebut. Peningkatan 1' . ' kesejahteraan masyarakat hanya dapat tercapai jika komoditas .agroforestri yang diusahakan mempunyai kelayakan secara finansial, teknis, dan sesuai keinginan mas y ar· aka t. KeIay akan se ~a r a t eknis d apat d icapai den gan p e'n get ah u an t ekn'o Iogl · agroforestri mulai dari pemilihan jenis, tekf1ik silvikultur agroforestri, <jan m anaj em en t apak t enip at t u m b uh, sert a pen gen d. aIian ham ct an pen yak it
a
t~naman.
Pengembangan teknologi agroforestri agar dapat mencapai tujuannya harus didukung oleh scienttfic bose knowledge. Meskip·un demikian kenyataan. menunjukkan bahvva aplikasi agroforestri telah lama diimplementasikan oleh masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa" masyarakat mempunyai indegenous knowledge dalam pengernbangan agroforestri. Dengan pengetahuan yang dim''iliki, · masyarakat telah mengaplikasikan usaha agroforestri baik untuk tuju~n subsisten, semi komersial, dan komersial. Pembelajaran terhadap experience base knowledge yang masyarakat miliki menjadi penting untu~ pengembangan agroforestri. Atas dasar pengetahuan masyarakat tersebut dapat disempurnakan dengan penelitianpenelitian yang bersifat scientific untuk menjawab permasalahan-permasalahan di lapangan. Setelah diketahui experience base knowledge yang dimiliki masyarakat dan status riset yang telah dilakukan bisa menjadi dasar pijakan untuk melakukan penelitian-pene!itian ke depan agar menghasilkan inovasi teknologi agroforestri yang mampu menjawab permasalahan y.ang aktual. Kompleksitas agroforestri memerlukan pendekatan teknologl yang berbeda dengan pola tanam lainnya. Komponen teknologi agroforestri adalah teknik pemilihan jenis, teknik interaksi, teknik silvikultur, teknik manajemen tapak, serta teknik pengendalian hama dan penyakit. Pendekatan silvikultur intensif yaitu pemilihan bibit unggull manipulasi lingkungan, dan pengendalian hama penyakit dapat di,gunakan untuk meningkatkan produktivitas hutan dan lahan (Soekotjo, 2004). Tetapi pada kenyataannya hal ini baru diimplementasikan oleh perusahaanperusahaan kayu dan belum banyak diimplementasikan oleh masyarakat petani. Silvikultur intensif yang belum berjalan di masyarakat memberikan peluang untuk melakukan pendekatan dengan metode agroforestri yang telah lama diaplikasikan oleh masyarakat. Silvikultur agroforestri diharapkan sesuai dengan kondisi masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan hutan dan lahan yang lestari. Seiring dengan aplikasi agroforestri yang telah berjalan dan hasil-hasil pene!itian silvikultur
ii>=ll~
J~
agroforestri yang telah ada bisa sebagai pijakan pengembangan agroforestri ke depan. Bagaimanapun juga produktivitas fisik suatu lahan hanya dapat tercapai dengan aplikasi silvikultur intensif baik pada pola tanam monokultur, campuran, maupun pola tanam agroforestri.
A. Pemilihan Jenis Pemilihan jenis tanaman dalam pola tanam agroforestri lebih komplek dibandingkan dengan pemilihan jenis dalam pola tanam monukultur seperti dalam pembangunan hutan tanaman. Meskipun demikian karena salah satu komponen utama agroforestri adalah pohon, maka dasar-dasar pemilihan jenis pohon untuk pembangunan hutan tanaman bisa menjadi salah satu acuan dalam pemilihan jenis tanaman berkayu dalam pola agroforestri. Penentuan jenis komoditas agroforestri hanya atas dasar dugaan semata sangat besar resikonya karena dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit nilainya. Pemilihan jenis yang hanya berdasarkan prediksi semata seringkali kurang Ketidaksesuaian antara jenis dengan tapak (site) dan terjadinya penurunan kesuburan t~nah karena teknik budidaya yang rendah, merupakan faktor yang menyebabkan kurang optimalnya produktivitas hutan tanaman {Hardiyanto, 2005). Menurut Nallliem (2004), jenis yang cocok bukan hanya tercermin dari segi pertumbuhan, nilai ekonomi dan kemampuan adaptasinya pada suatu lingkungan tertentu, tetapi kemampuannya membentuk struktur pertumbuhan yang ideal. Struktur pertumbuhan yang ideal dalam pola tanam agroforestri akan lebih kompleks karena melibatkan beberapa jenis tanaman baik tanaman kehutanan maupun komoditas pertanian yang akan saling berinteraksi. Pemanfaatan sumber daya alam secara lestari (termasuk praktik agroforestri) tidak hanya tercermin dari keberhasilan komponen · terkait secara masing-masing pad a suatu sumberdaya lahan, tetapi akan dinilai dari performa seluruh komponen terkait secara kolektif dan kontribusinya pada lingkungan lokal maupun global (Nambiar, 1996 dalam Naiem dan Sabarnurdin, 2003}. Beberapa jenis baik yang sudah atau belum dikenal oleh masyarakat bisa mempunyai potensi ekonomi, sehingga diperlukan informasi tentang struktur pertumbuhan beberapa jenis tersebut dalam pola agroforestri dan kemampuan adaptasi pada lingkungan tertentu. Hal ini sebagai dasar untuk pengembangan jenis tersebut dalam pemanfaatan hutan dan lahan dengan pola tanam agroforestri. Menurut Soekotjo (2004), metode pemilihan jenis ada dua yaitu naturalis dan eksperimental. Metode naturalis dilakukan dengan menyesuaikan persyaratan tempat tumbuh suatu jenis. tanaman dengan kondisi tapak tempat · pengembangan. Metode eksperimental yaitu dengan melakukan percobaan penanaman langsung pada suatu karakteristik lahan yang akan menjadi lokasi pengembangan. Uji eksperimental tentunya akan memberikan hasil struktur pertumbuhan yang lebih akurat meskipun dengan waktu yang relatif lebih lama. Hasil penelitian Thamrin (2003) dalam Mindawati eta/. {2006) di Desa Bukit Baru, Tenggarong, Kalimantan Timur, menyimpulkan bahwa suatu jenis akan
diusahakan oleh masyarakat dan dap,at meningkatkan kesejahteraan masyarakat pemilik Ia han jika memenuhi 4 (em pat} faktor ber:ikut : 1} Jenis: Jenis tanaman yang ditanam adalah"' jenis yapg sodah dikenal . masyarakat ·dan sudah diketahui teknologi penanamannya. 2} Kesesuaian lahan: K·esesuaian lahan berkenaan dengan kecocokan antara jenis tanaman dan lah~n yang ditanam agar produktivitas laban ma~simaL" · 3) Pasar: Hasil produksi t.anaman yang· dihasilkan sudah memilik(jaringan pemasaran yang menampungnya. · . 4} Aksesibilitas: Adanya sarana dan prasara·na penunjang" untuk pemasaran hasil berupa jaringan jalan dan ala·t transportasL · Sastradiharja {2011} menjelaskan bahwa dengan pemilihan jenis yang tepat, pada pola tanam polikultur (termasuk agroforestri) dapat memberikan beberapa keuntungan antarcfiain: 1) mengurangi hama dan penyakit tanaman, 2) menambah kesuburan tanah, 3) memutuskan siklus hidup hama dan penyakit 4) dapat memperoleh hasil panen yang beragam. Namun demikian jika pada pola tanam polikultur jenis tanaman yang dipilih tidak sesuai, dapat mengakibatkan dampak ------~-••,,M-- --negatlf, misalnya: 1) ham a dan penyakit yang menyerang tanaman akan semakin ban yak sehingga menyulitkan dalam pemeliharaan, 2) terjadinya persaingan unsur hara, nutrisi dan sinar matahari diantara jenis tanaman yang ditanam, sehingga pertumbuhan tanaman tidak maksimal.
1. Uji JenisTanaman Agroforestri Tujuan dari pertanaman uji jenis adalah sebagai salah satu usaha untuk memilih jenis yang menguntungkan atau cocok, baik jenis asli maupun luar (eksotik) ditinjau dari nilai kepentingan serta kemampuan adaptasi dan produktivitasnya dari suatu areal. Oleh karena itu demonstrasi plot-plot sangat diperlukan sebagai dasar penentuan jenis yang lebih akurat. Kegiatan ini memang memerlukan biaya yang relatif besar sehingga penelitian-penelitian uji pola tanam agroforestri relatif masih terbatas. Meskipun demikian 1 informasi yang telah ada bisa mt;njadi dasar pijakan dalam· pengembangan tanaman dengan pola agroforestri, misalnya informasi dari kegiatan rahabilitasi hutan dan ·lahan. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis dengan pola tanam agroforestri bertujuan untuk mengembalikan fungsi ekologi dan dapat berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Plot-plot tersebut dibangun dalam rangka rehabilitasi lahan Daerah Aliran Sungai {DAS), hutan rakyat, kawasan konservasi dan hutan pendidikan. Jenis tanaman yang diuji cobaka11 tentu berpotensi pasar, disukai masyarakat dan kemungkinan mempunyai kesesuaian lahan. Pola tanam yang diujicobakan sebisa mungkin bertujuan usaha komersial sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menu rut Sinaga dan Rahmawati {2007) dalam mengembangkan agroforestri tradisional yang lama ada, maka pemilihan jenis serba guna lokal dengan kemampuan adaptasi tinggi merupakan prioritas utama. Juga yang berfungsi sebagai tanaman konservasi tanah dan air, berinteraksi baik dengan tanamari pangan, hortikultura dan ternak, disenangi oleh petani dan mampu meningkatkan
pendapatan petani. Oleh karena itu dalam rangka pemilihan jenis yang paling baik dan cocok dikembangkan di suatu daerah, diperlukan informasi hasil-hasil penelitian tentang pertumbuhan/kemampuan adaptasi beberapa jenis yang ditanam dalam waktu dan tempat yang sama, sehingga dapat diketahui jenis-jenis yang relatif memiliki potensi tumbuh lebih besar. lnforf!lasi ini dapat digunakan sebagai dasar kebijakan dalam penentuan jenis guna pengembangan pola tanam agroforestri. lnformasi kemampuan adaptasi beberapa jenis tanaman komponen agroforestri di beberapa daerah disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kemampuan adaptasi beberapa jenis tanaman agroforestri pada suatu lokasi No. 1
lokasi DAS Konto Jawa Tengah
Hasil penelitian Pola campuran tanaman dan kehutanan yang berbeda yaitu (1)untuk pulp dengan Pinus dan Agathis, (2) untuk makanan ternak, kayu bakar dan kayu ,;;:aliandra, akasia, perkakas ringan digun grevillea dan ekaliptus dengan memadukan tanaman pertanian yang sesuai. Dari 14 jenis leguminosa untuk pakan ternak yang diuji pertumbuhannya di Aeknauli terdapat 11 jenis yang cocok dikembangkan untuk kegiatan silvopasture karena kandungan protein dan kemampuan dicernanya yaitu kecuali jenis Centrosema brasilium~ Desmodium intertum dan Neonotonia wightii. rumput yang paling tinggi Jenis produktivitasnya walaupun ditanam dalam sistem agroforestri adalah jenis Panicum maximum dan Pioneer rhodes karena cukup produksi bijinya. Pertumbuhan 3 jenis tanaman utama dalam agroforestri yaitu cemara, sengon, dan tristania pertumbuhannya sangat baik yaitu lebih dari 70% sehingga sesuai untuk ·pengelolaan DAS Tanaman mangga, kelengkeng, kedondong dan jeruk mempunyai adaptasi pertumbuhan yang tinggi terhadap kondisi lahan laharan. Sedangkan adaptasi tanaman durian sangat rendah. Adaptasi pertumbuhan tanaman leguminosa seperti sengon, lamtorogung, lamtoro hantu dan lamtoro biasa, orok-orok, sentrosema dan kelapa pada kondisi lahan laharan tergolong rendah sampai sangat rendah, sehingga tidak cocok untuk dikembangkan pada kondisi lahan laharan.
r---+-----------+-------------~--------
2
Aeknauli, Sumatera Utara
3
Aeknauli, Sumatera Utara
4
Tanah Sulsel
5
Lahan laharan lereng G. Merapi Jawa Tengah
Toraja
~14~
penyusun Sumber Poedjorahardjo dan Soeryono (1986)
Murad (1990a)
Murad {1990b}
Renden (1991)
Wardojo (1998)
Lanjutan Tabel 2. No. 6
7
8
9
.
Lokasi Wonosobo, Jawa Tengah
DAS Biyonga
Hasil penelitian 1. Jenis tanaman kayu yang dapat tumbuh dengan baik sengon, mindi, suren, mahoni dan lain-lain 2. Jenis tanaman buah yang dapat tumbuh dengan baik : nangka, durian, jengkol, petai, kelapa, rambutan, jambu mete serta tanaman buah lain 3. Jenis tanaman semusim yang dapat tumbuh dengan baik kopi, cengkeh, cabe, pisang, kakao, pepaya, kemukus, kapulaga, salak, panili, nanas, emponempon, jagung dan singkong Diperoleh persen tumbuh jati 68,75%, sengon 37,5% dan nangka 30% (kelerengan
Sumber Mindawati
et.al. (2006)
Asir dan Tabba (2008)
>30%)
Hut an Pendidikan Gunung Walat, Jaw a Barat
Kaliandra, rumput gajah dan kopi dapat bertahan hidup lebih baik dibanding tanaman lain. Dan di lokasi yang sama jenis tanaman obat kumis kucing dan temulawak menunjukkan tingkat ketahanan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan sambiloto Kawasan Tanaman serbaguna kemiri, petai, sukun dan mangga dengan persentase hidup diatas Konservasi TWA Gunung 80%. Pada tanaman hutan, kedawung Selok, Jaw a (76,43%) sedangkan lainnya yaitu salam, Tengah kedoya dan ketapang diatas 80%. Hal ini membuktikan bahwa model kombinasi tanaman hutan dan tanaman serbaguna dapat dikembangkan di kawasan konservasi TWA Gunung Selok yang telah rusak.
Siregar et. a/. (2009)
Sumarhani (2009)
2. Produktivitas dan lnteraksi Tanaman Agroforestri Dalam rangka mengembangkan program .agroforestri yang bisa menyatukan progam kehutanan (reboisasi, rehabilitasi atau penghijauan) dan pertanian (tanaman pangan, hortikultura) maka .perlu diketahui interaksi dan pertumbuhan tanaman kehutanan dan tanaman pertanian yang ditanam dalam tempat berdekatan dan waktu yang sama. Pertumbuhan pohon dan tanaman pertanian akan saling berinteraksi baik positif, netral atau negatif. Berinteraksi positif apabila keberadaan kedua jenis tanaman atau lebih saling meningkatkan produktivitasnya. Berinteraksi negatif apabila keberadaan beberapa jenis tanaman tersebut saling mengganggu atau mengurangi produktivitas tanaman yang lain. Berinteraksi netral apabila keberadaan kedua jenis tanaman atau lebih dalam waktu dan tempat yang sama tidak saling memberikan pengaruh baik positif maupun negatif. Pemilihan kombinasi jenis tanaman dalam pola agroforestri yang tidak tepat akan mengakibatkan interaksi negatif, yang merugikan perkembangan masing-
baik tanaman
t"TI",...,,+""v·oct·l"·.
Pengaturan menjadi pilihan utama Pohon-pohon dengan strata tengah dan
tanaman (2006); tanamansengon adalah : ganyong, talas, umbikedelai. nangka, petai, jengkol. : lengkuas, kapulaga, kunyit, jahe, pacing,
saling bersinergi dan berinteraksi positif dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dengan pola agroforestri. Hasil-hasil penelitian tentang produktivitas beberapa tanaman akibat pola interaksi yang terjadi dalam pola tanam agroforestri di bagi dalam 3 garis besar yaitu interaksi positif, negatif dan netral.
a. lnteraksi Positif Menurut Hairiah et. a/. (1999) interaksi positif bila peningkatan produksi satu·jenis tanaman diikuti oleh peningkatan produksi tanaman lainnya. Keberadaan pohon dalam pola tanam agroforestri dapat memberikan efek positif sebagai berikut (Hairiah et. a/., 1999): 1) Daun dari pepohonan yang gugur ke tanah sebagai serasah berguna sebagai penutup permukaan tanah (mulsa), meningkatkan penyedian nitrogen (N) dan ~hara lainnya yang berguna bagi tanaman semusim. 2) Akar pepohonan membantu dalam daur ulang hara (recycled nutrients). 3) Pensuplai N tersedia bagi akar tanaman semusim, baik melalui pelapukan akar yang mati selama pertumbuhan maupun melalui fiksasi N-bebas dari udara (untuk tanaman legume}. Penyediaan N melalui fiksasi ini dapat dimanfaatkan langsung oleh akar tanaman semusim yang tumbuh berdekatan. 4) Menekan populasi gulma melalui penaungan, dan pada musim kemarau mengurangi resiko kebakaran karena kelembaban yang lebih terjaga. 5) Seringkali mengurangi populasi hama dan penyakit. 6) Menjaga kestabilan iklim mikro {mengurangi kecepatan angin, meningkatkan kelembaban tanah dan memberikan naungan parsial. 7) Mempertahankan kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki struktur tanah, sehingga dapat mengurangi bahaya erosi (dalam jangka panjang}. Pada dasarnya dalam pemilihan kombinasi tanaman agrofrestri adalah memaksimalkan sifat positif dan meminirnalkan sifat negatif yang muncul. Misalnya pengkombinasian tanaman legum pengikat N perlu dicampur dengan tanaman lain yang mempunyai kebutuhan unsur N tinggi. Hal ini diperlukan pengetahuan tentang karakteristik masing-masing jenis tanaman dalam pola agroforestri yang meliputi kebutuhan unsur hara tertentu, tingkat toleran, inang ha·ma dan penyakit dan allelopaty. Karateristik lahan yang akan dikembangkan juga perlu diketahui untuk menentukan manajemen tapak yang sesuai.. Plot kombinasi jenis tanaman agroforestri banyak diterapkan pada lahanlahan kritis sehingga perlu diketahui kemampuan adaptasi dan produktivitas akibat interaksi yang ada. Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kombinasi jenis tanaman dalam agorofrestri yang mampu memberikan produksi yang positif baik untuk tanaman kehutanan maupun komoditi pertanian seperti disajikan pada Tabel3.
~17~
Tabel 3. Beberapa kombinasi jenis tanaman agroforestri yang berinteraksi
positif No. 1
lokasi Penelitian Des a Lainuagan Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sidenreng Rap pang, Sulawesi
2
Lampung
3
Patuk, Gunung Kidul, DIY
4
Gowa-Maros, Parangloe, Gowa, Sulawesi Selatan
Kombinasi Jenis Tanaman Jambu mete + rumput gajah + Stylosanthes gulanensis Aubl/ Dioclea sp/ Archis hypogea Linn.
Hasil Penelitian
Sumber
Pertumbuhan anakan Pusparini et. jambu mete ditanam a/., (1989) dengan rumput Gadjah (Pennisetum Schum) lebih baik dicampur dengan jenis legum Stylosanthes gulanensis Aubl daripada legum jenis Dioclea sp dan Archis hypogea Linn. Gamal + Penutup tanah Jenis Syafrudin lamtorogung + leguminosa (K1 gamal, K2 et.a/. (1989) turi + rumput lamtorogung, K3 turi) bade+ kopi berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan diarnc~e~ batang, tinggi dan jumlah daun anakan kopi. · Sedang penanaman rumput (K4 rumput bade) berpengaruh tidak nyata terhadap pertambahan diameter batang tinggi dan jumlah daun anakan kopi. Jati + padi, Jati + Jati dengan padi dan kacang Sabarnurdin kacang tanah tanah men,unjukkan (1992) dan jati + jagung pertumbuhan yang lebih baik dibanding dengan tanaman semusim yang Pertumbuhan lain. · diameter jati lebih baik pada sistem tumpangsari. Padi dan kacang tanah merupakan tanaman semusim yang menguntungkan . Eucaliptus sp + Perlakuan ekalip.tus 2 tahun Rosida et a/. jahe 25%) (1~92) (tajuk memperlihatkan hasil yang terbaik dibanding 0 tahun (tajuk 0%), 4 tahun (75%) pada pertambah~n daun dan produksi jahe kering
Lanjutan Tabel 3. Lokasi· No. Penelitian 5 Kebun ·percobaan Lampung Utara
6
· Lampung Utara
7
Kabupaten Jember, Jawa Timur
8
BKPH Kesamben, KPH Blitar.
9
Wonosobo, Jawa Tengah
Kombinasi Jenis Tanaman Pe/tophorum sp + Gliricidia sp + Caliandra sp + jagung
Hasil Penelitian
(1). Ditinjau dari aspek teknis, jenis tanaman lokal Pe/tophorum adalah jenis yang paling cocok untuk dipakai sebagai tanaman pagar pada tanah masam. (2). Kombinasi Peltophorum dengan Gliricidia mungkin akan menambah keuntungan. (3) Caliandra akan memberikan keuntungan terhadap tanaman jagung bila pemangkasan tajuknya le.bih sering dilakukan, atau jarak antar baris tanaman perlu diperlebar, pagar sehingga pengaruh n~ungannya dapat dikurangi. Jenis tanaman pagar Pe/tophorum dasyrachis + Pe/tophorum dasyrachis tidak mengadakan jagung kompetisi dengan jagung, baik di bawah tanah maupun di atas tanah. produksi di Tegakan hutan + Hutan Kabupaten Jember dapat padi digunakan untuk pertanaman kedelai secara tumpang sari selama 8 bulan (Desember sampai Mei). tegakan jati Jati + cabai + Dibawah tanaman cabai dapat jagung +kedelai tumbuh dan berproduksi dengan baik daripada jagung dan kedelai. akan bagus (Kopi + gamal Kopi produksinya jika ditanam +lamtoro+ campuran dengan Jen~s dadap) gamal, lamtoro dan· dadap,
Sumber Hairiah dan van Noordwjik
(1993)
Akiefnawati
(1995)
Soedradjat dan Sadiman (2003)
Cahyarini (2004)
Sunaryo dan Laxman {2003) dalam Mindawati '(2006)
lanjutan Tabel 3. No.
10
lokasi Penelitian BKPH Jampang Kulon, Jawa Barat
Jawa
11
Garut, Barat
12
Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul, DIY.
13
14
Deli Serdang, Sumatera Utara. Seca ngga ng, Lang kat, Sumatera Utara
15
Bog or
Hasil Penelitian Kombinasi Jenis Tanaman Tegakan hutan + Kedua galur/ varietas padi "' memp~nyai prospek yang padi baik sebagai komoditi tanaman pangan dengan sistem agroforestri di bawah tegakan hutan tanaman jati umur. 3 tahun dengan intensitas cahaya 70,28% Agathis sp + Pola agroforestri haramay dapat diterapkan dalam haramay rangka kegiatan social (Boehmeria nivea (L) forestry Pob r-::-
Sumber Sumarhani (2005)
Mile (2006a)
Suryanto • et a/. (2009).
Ali dan (2010}
Edi
Latifah et a/. (2011)
Wijayam:o (2007)
tanaman yang
Palwnewen (1991)
Wahyudi dan Mindawati (2009)
et
Budiadi et al. (2006)
Lanjutan Tabel 5. No.
2
lokasi Penelitian BKPH Penganten
Kombinasi Jenis Tanaman Tipe I : Srikaya + . jati/sono/sengo ·
n Tipe II : Srikaya + gmelina
3
Lodoyo, Blitar; Jawa Timur
Jati
Jagung
Srikaya lebih · cocok ditanam jati/sono/sengon dibanding dengan gmelina karena srikaya termasuk jenis tidak tahan naungan sedangkan penutupan tajuk oleh gmelina relatif berjalan cepat sehingga menggangu produksi srikaya Potensi produksi tanaman jagung lebih rendah sekitar 42% pada sistem agroforestri dari potensi produksi tanaman jagung monokultur dan produksi aktual rata-rata lebih rendah 40% dibandingkan dengan potensi produksinya. Hal tersebut terkait dengan rendahnya daya adaptasi tanaman jagung pada sistem .r:
Azz dan Budi
Febrianto (2003)
_,
agruiUre:,u 1
4
Darungan, Sutojayan, Blitar, Jawa Timur.
Mahoni + padi
5
Darungan, Sutojayan, Blitar, Jawa Timur.
Bungur/ Lagerstroemia speciosa Pers + padi
dibandingkan sistem monokultur. Daya adaptasi tanaman padi gogo yang, ditanam diantara pohon mahoni pada sistem agroforestri adalah rendah karena efek naungan dan unsur hara Potensi produksi tanaman padi gogo pada sistem agroforestri (Bungur/ Lagerstroemia speciosa Pers) lebih rendah dibandingkan pada sistem monokultur padi.
Handayani (2003)
Santo so (2003)
Lanjutan Tabel 5. No. lokasi Penelitian Kalipare, Kabupaten Malang, Timur
6
Kombinasi Jenis Tanaman Jati + kaca'ng tanah
Jaw a
Hasil Penelitian Agroforestri Jati dan tanah kacang bahwa menunjukkan secara umum hasil yang diperoleh dari sistem lebih agroforestri dibar;dingkan rendah 1 dengan m0'0 untuk aktual baik potensi maupun Rendahnya produksi. sistem hasil pad a xestri terutama faktor d1sebabkan cahaya yang lolos dan diatas sampai permukaan tajuk tanaman sela. Terbatasnya cahaya yang sampai sebagai akibat adanya pengaruh dari pohon. Agroforestri jati + ubi kayu menyebutkan bahwa potensi hasil produksi tanaman ubi kayu pad a sistem agroforestri ditentukan oleh tingkat penetrasi cahaya yang jatuh pada lorong yang pohon merupakan fungsi dari jarak tan am pohon, tinggi pohon, Iebar tajuk pohon dan tinggi tajuk pohon. Selain itu juga dipengaruhi faktor lingkungan meliputi iklim, ketersediaan air tanaman, ketersediaan unsur hara tanah, pH tanah dan kompetisi persaingan unsur hara an tar tanaman atau dengan pohon.
Sumber Setyonining (2003}
p
II
7
Darungan, Sutojayan, Blitar, Jawa Timur.
Jati + ubi kayu
Trimanto (2003)
Lanjutan Tabel 5. No. lokasi Penelitian
Kombinasi Jenis Tanaman Jati + Jagung
8
Arjowila ngu n, Ka Ii pare, Malang, Jawa Timur.
9
Ponorogo, Jawa Barat
Kayu putih + singkong/jagung
10
Tasikmalaya, Jawa Barat
sengon +nilam
Hasil Penelitian Daya adaptasi tanaman jagung pada sistem agroforestri dengan jati lebih rendah denga~ dibandingkan sistem monokultur jagung. Besar penurunan hasil tanaman jagung sebesar 39,83% dibandingkan dengan potensi hasil~ya dan 66,85 % dibandingkan hasil dengan monokultur. Pemilihan singkong tanaman sebagai tunggal yang tidak d ikom bi nasi ka n sesuai untuk kelestarian produksi minyak kayu putih. Pada tanah pasir berlempung dengan tingkat kesuburan tanah relatif rendah menyebutkan bahwa pertumbuhan sengon pada pola agroforestri dengan nilam di tanah pasir berlempung cukup baik ditunjukkan oleh tinggi 7,28 m dan diameter 9,48 meter pada umur 2 tahun. Terdapat penurunan produksi nilam pada pola agroforestri ditunjukkan oleh pertumbuhan tinggi, jumlah cabang dan bobot segar nilam.
Sumber Yamika (2003)
Budiadi eta/. (2006)
Sudomo (2007)
Lanjutan Tabel 5. No. lokasi Penelitian 11
Sumatera
Kombinasi Jenis Tanaman H brasilensis +A. Mangium
Hasil Penelitian Kempetisi cahaya dan air merupakan bentuk kempetisi yang tidak dapat dihindari dalam penanaman sistem antara H. campuran Brasilensis dengan A.
Sumber Khasanah (2008)
Mangium.
12
Patuk, Gunung Kidul, DIY
Jati + jagung
Jagung merusaknya gulma ~ dalam agreferestri
13
Kebun percebaan Lampung Utara
Leucena sp, Erythrina sp dan
Leucena, Erythrina dan albizia kurang cecek
Albizia
sp
+ untuk dipakai sebagai
jagung
14
Lampung Utara
Gliricidia sepium dan Leucaena /eucocephala +
jagung
tanaman pagar pada jagung di tanah masam. Gliricidia sepium dan Leucaena
Wenesebe, Tengah
Jawa
/eucocepha/a
Sabarnurdin (1992)
Hairiah dan Van Neerdwjik (1993) Akiefnawati (1995)
berkempetisi dengan jagung dalam menyerap air dan hara. Sedangkan Flemingia
15
sam a dengan sistem
congesta
berkempetisi dengan jagung dalam menyerap cahaya. Kepi + kemiri + Jenis-jenis yang tidak jati + maheni. cecek dikembangkan dengan tanaman kepi adalah kemiri, jati dan maheni.
Sunarye dan Laxman (2003) dalam Mindawati (2006)
B. Teknik Silvikultur Agroforestri Pencampuran jenis tanaman dalam pola agrofrestri tidal< hanya meningkatkan faktor kesulitan terhadap pemilihan kombinasi jenis tanaman, tetapi juga teknik silvikultur agroforestri yang tepat. Jenis tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian memerlukan ruang tumbuh, nutrisi/air, unsur hara dan sinar matahari yang berbeda-beda sehingga perlu diatur jarak tanamnya. Tanaman kehutanan suka cahaya (intoleran) perlu dikombina.sikan dengan tanaman pertanian perlu naungan (toleran dan semi toleran}. Teknik berbagi sumber daya pada pola tanam agroforestri akan berpengaruh terhadap teknik silvikultur yang tepat yaitu sejak teknik penyiapan lahan (olah tanah sempurna, .olah tanah konservasi atau tanpa olah tanah), teknik penanaman (waktu tanam, jarak tanam,
pupuk dasar, design kombinasi jenis), teknik pemeliharaan (penjarangan, pruning, singling, pemupukan, pengendalihan hama dan penyakit) dan teknik pemanenan. Menurut Naiem dan Sabarnurdin (2003) untuk memperoleh kelestarian produktivitas suatu pertanaman dalam jangka panjang akan sangat bergantung pada persiapan lahan, pengendalihan vegetasi liar, cara tanam yang tepat, penggunaan pupuk dan materi genetik tanaman. Terkait dengan hal tersebut maka beberapa elemen silvikultur intensif berikut menjadi penting untuk diperhatikan agar kelestarian produksi tetap terjaga (Davidson, 1996 dalam Naiem dan Sabarnurdin, 2003), yaitu : 1} pemilihan spesies, provenans, famili dan pohon elite, 2) kualitas semai yang baik, 3) persiapan lahan dan pengendalihan gulma, 4) penggunaan pupuk, 5) jarak tanam, 6) pengelolaan yang tepat, dan 7) dana yang , tersedia.
1. Penyiapan lahan Teknik penyiapan lahan merupakan upaya pengolahan tanah dan pembersihan lahan dari gulma/alang-alang, tonggak/ bekas pohon dan bahan organik lainnya yang dapat mengganggu kegiatan penanaman. Pengolahan tanah bertujuan untuk mengemburkan tanah agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Untuk tanaman semusim yang baru ditanam sangat penting agar tanaman menyerap air dan unsur hara. Pembersihan lahan dapat dilakukan secara mekanis maupun kimia dengan bahan herbisida. Penggunaan bahan kimia dalam pembersihan lahan selain memerlukan biaya besar juga dapat mematikan organisme sehingga kurang ramah lingkungan. Hal ini mengakibatkan pembersihan lahan dengan mekanis lebih sering menjadi pilihan petani dalam pola tanam agroforestri.. Pembuangan gulma/ tonggak pohon dari lahan tentunya akan mengurangi keberadaan bahan organik pada lahan tersebut sehingga dapat berefek pada penurunan kesuburan tanah. ,Qieh karen a itu diperlukan .pengolahan tanah dan pemberslh~:!'n iahan tanpa mengeluarkan bahan organik secara berlebih dari lahan tersebut. Metode pengolahan tanah dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu olah tanah sempurna, olah tanah konservasi atau tanpa olah tanah. Menurut Mindawati et. a/. {2006) penyiapan lahan yang dilakukan tergantung pada kemiringan lahan (terjal, curam, landai dan datar), keadaan lahan {bertanah, tanah berbatu, batu bertanah, berbatu), tingkat kesuburan tanah (subur, sedang, tidak subur) serta jarak dari tempat tinggal atau pemukiman ke lokasi. Lahan dengan kemiringan tinggi memiliki resiko longsor sehingga perlu dibuat teras dan tidak memerlukan persiapan lahan yang intensif untuk tujuan konserv~si, sedangkan laha.n kemiringan landai dan datar dapat ditanami dengan agroforestri dengan pengolahan lahan intensif. lahan yang mengandung batu sebaiknya ditanami komoditas kehutanan sedangkan yang mangandung tanah dengan tanaman pertanian atau pada tanah relatif subur untuk tanaman pertanian dan tanah kurang subur untuk tanaman kehutanan (Mindawati eta/., 2006). Keberadaan alang-alang sebagai ~ulma akan sangat mengganggu pertumbuhan tanaman pokok yang diusahakan. Oleh karena itu diperlukan metode pemberantasan alang-alang dengan prinsip /ow input tetapi produktivitas lahan dapat maksimal. Metode pemberantasan dengan herbisida tentunya
;;;,.27~
memerlukan biaya yang relatif besar dan tidak ramah lingkungan. Penelitian Murniati (2005) pada agroforestri legum cover crop Pueraria javanica + tanaman pertanian menyatakan bahwa metode pressing yaitu merebahkan alang-alang dengan menggunakan benda berat yang diikuti dengan penanaman legum cover crop Pueraria javanica dapat mematikan dan mencegah recovery alang-alang serta memperbaiki tingkat kesuburan tanah. Metode ini memberikan pertumbuhan pohon yang tidak berbeda dengan penyemprotan herbisida dan atau pencangkulan tanah yang cukup mahal dan kurang menguntungkan bagi kehidupan memang tidak memberikan hasil yang mikroorganisme tanah. Metoda ini maksimal baik untuk tanaman semusim atau tanaman tumpang sari, tetapi cukup atau optimal sesuai dengan prinsip masukan rendah dan ramah lingkungan yang dianut. Uji coba teknik penyiapan lahan yang sesuai Untuk Pertumbuhan Tanaman Agathis (Agathis alba Foxw) + haramay dengan model Agroforestri menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara penyiapan Ia han sistem tanpa olah tanah, sistem jalur, olah tanah konservasi dan olah tanah sempurna. Penyebabnya adalah sifat fisik tanah yang sudah sangat gembur dan tanpa memerlukan pengelolaan tanah '(Mile, 2006b).
2. Penanaman Tujuan pola tanam agroforestri adalah optimasi lahan sehingga dengan input tertentu atau cukup dapat tercapai produktivitas maksimal. Untuk itu dalam melakukan penanaman harus memperhatikan waktu tanam, musim, jenis tanah, jarak tanam, kedalaman tanam dan jenis tanaman yang ditanam. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan teknik penanaman untuk mengoptimalkan lahan dengan pengaturan jarak tanam, pemberian pupuk dasar, pengaturan design tanam/ruang, pembuatan lubang tanam, dan pergiliran waktu tanam. Komposisi suatu tanaman yang lengkap terdiri dari tanaman dengan strata tajuk yang berlapis yaitu strata atas (kayu), strata tengah (tanaman tumpangsari) dan strata bawah (tanaman semusim), sehingga. membentuk komunitas vegetasi yang rapat dan efektif dalam mengendalikan erosi serta mengatur tata air (Mindawati et a/., 2006). Hal ini tentunya dengan pemilihan jenis tanaman intolerant untuk strata atas, semi tolerant untuk strata tengah dan tolerant strata bawah. Dengan demikian diharapkan terjadi keseimbangan ekosistem dalam lahan tersebut sehingga saling bersinergi dalam pertumbuhan seperti yang terjadi pada hutan alam. Hasil penelitian Tridadi et a/. (2007) menunjukkan bahwa perubahan pemanfaatan lahan dari hutan alam menjadi sistem .agroforestri kakao akan mempengaruhi fungsi ekosistem dan agroforestri kakao layak dipertahankan karena mempunyai kemiripan dengan hutan alam. Pergiliran waktu tanam tanaman pertanian dapat dilakukan dengan memperhatikan musim tanam, tingkat penutupan t~juk {umur pohon, pemangkasan, penjarangan) dan pemilihan tanaman pertanian tahan naungan. Pada beberapa kejadian agroforestri sulit dilaksanakan sepanjang daur karena telah terjadi penutupan tajuk. Pada kasus di hutan rakyat, tanaman tumpangsari akan dihentikan setelah tanaman kayu tumbuh menaungi tanaman pangan sekitar 2-3 tahun. P·ada tanaman sengon lebih dari 3 tahun dengan jarak tanam 3 m x 3 m,
tanaman bawah ni!am tidak dapat ditanam lagi (Mindawati et ai.J 2006; Sudomo,
2007) Penelitian Widiarti (1986} menyebutkan bahwa Khaya anthoteca cenderung hidup lebih baik pada jarak tanam 3 x 3 m dengan persentase hidup 60,60% pada umur 20 bulan (untuk jarak 2 x 2 m = 40,l4%, dan jarak 3 x 1 m= 30,17%}. Walaupun keuntungan palawija tertinggi didapat pada jarak tanam 3 x 3 m tetapi tidak memberi pengaruh nyata dalam produksi tanaman semusim, namun hasil panen tahun kedua cenderung lebih tinggi dari tahun pertama dan ketiga. Penelitian Wahyudi dan Suhartati (2010) menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanaman gaharu dari kelapa sawit belum memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan gaharu sampai umur 24 bulan. Pengaruh nyata pada 30 bulan dengan jarak optimal 4 m sedangkan pada Shorea sp dengan pola 4 m dari kelapa sawit mempunyai riap pertumbuhan tinggi 1,68 m/th sedangkan riap pertumbuhan diameter 1,82 cm/th. Pada agroforestri pohon sebagai pelindung + tanaman cokelat terdapat dua jenis pohon pelindung yaitu pelindung sementara dan pelindung tetap. Pohon pelindung sementara yang umum digunakan adalah Gliricidia macu/ata, Sesbania punctata dan Cajanus cajon. Pohon pelindung tetap yang umum digunakan adalah Leucaena glauco, Erythrina lithospermaJ Albizia falcataJ. Gliricidia maculata dan Ceiba petandra. Penanaman cokelat secara bikultur sebaiknya pada areal tanaman kelapa. Kelapa ditanam berjarak 9 m x 9 m {123 pohon per ha) atau 10,5 m x 10,5 m (91 pohon per ha), sedangkan cokelat ditanam di antara dua baris kelapa dengan jarak tanam 3 m x 3 m (650 pohon per ha). Penanaman cokelat di antara tanaman kelapa tersebut dilakukan setelah tanaman kelapa berumur 5 tahun {Siregar et. a/., 2010). Pola tanam agroforestri banyak dilakukan pada lahan-lahan dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah. Lahan dengan tingkat kesuburan yang rendah salah satunya diindikasikan dari banyak ditumbuhi alang-alang. Agroforestri sebagai bentuk pola tanam mempunyai metode tersendiri dalam mengatasi permasalahan lahan kritis penuh alang-alang. Hal ini berkaitan dengan kecepatan penutupan tajuk tanaman agroforestri dalam mencegah pertumbuhan alang-alang. Metode yang dilakukan selain relatif murah tetapi juga ramah terhadap lingkungan karena tidak menyebabkan kematian organisme lain. Dalam teknologi agrofrestri diaharapkan murah, mudah dan adapted bagi masyarakat untuk diimplementasikan. Meskipun demikian hal ini diharapkan tetap menghasilkan produktivitas yang maksimal bagi lahan yang diusahakan. Beberapa hasil penelitian tentang teknik penanaman pada lahan alang-alang dengan pola tanam agroforestri disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Teknik penanaman agroforestri pada lahan alang-alang Hasil Penelitian Komposisi Jenis lokasi No. Tanaman Lahan alang-alang Pada lahan yang tidak Lombok 1 untuk (Mocuna sp + jambu dipergunakan (ditumbuhi mete + kedelai) pertanian lahan perladangan > alang-alang ) diterapkan 30% (rumput lokal usahatani konservasi yang merehabilitasi +kacang dan kedelai+ bersifat jambu mete), 15- yaitu tanaman pupuk hijau 45% (tanaman (Mocuna sp) + tanaman tahunan (jambu mete) pangan+jambu sehingga dapat mete+Mucuna sp) hasil meningkatkan kedelai 100%. Pada daerah yang masih digunakan untuk perladangan diterapkan 2 model usaha· tani konservasi yaitu : (a) pada lereng lebih dari 30% dibuat teras gulud dan diperkuat dengan rumput lokal, tanaman pangan (Kacang dan Kedelai) + tanaman tahunan (Jambu mete). (b) Pada lereng antara 15-45% diterapkan strip vetiver Ziza noides, tanaman pangan + tanaman tahunan (jambu mete) + tanaman pupuk hijau (Mucuna sp). Coba penggunaan Riam Kiwa, Gmelina +campuran Uji 2 tegakan agroforestri petai + durian, Kalimantan petai dan nangka + cengkal + campuran Selatan Gmelina di lahan alangkaret. . alang menunjukkan bahwa tegakan agroforestri (campuran petai, durian, nangka, cengkal, karet dll) dengan Jenls gmelina nampak memberikan harapan. Gmelina digunakan karena di Riam Kiwa jenis ini ternyata sangat efektif untuk menindas alangalang.
Sumber Sutrisno et a/. (1993)
Sa gala (1996)
3
Timur
4
Kalimantan Barat
berkontribusi pada semua tanaman yang berada di lahan tersebut. Penyiangan, pendangiran dan pemupukan yang dilakukan akan memberikan efek positif tidak hanya pada tanaman semusim melainkan juga pada tanaman berkayu/pohon. Demikian juga pruning/pemangkasan yang dilakukan pada tanaman kayu akan dapat berkontribusi bagi peningkatan kesuburan tanah sehingga memacu bagi pertumbuhan tanaman diatasnya. Pupuk yang diberikan pada tanah akan terserap secara maksimal baik oleh tanaman kehutanan maupun oleh tanaman pertanian sehingga meminimalisir unsur hara yang hilang. Hasil penelitian yang dilakukan di areal kopi dengan kemiringan di atas 15% menunjukkan bahwa penyiangan pada tanaman kopi secara parsial lebih baik dan sangat efektif mengurangi erosi. Tetapi, penutupan gulma sangat cepat merambat sampai ke batang kopi sehingga menyebabkan pertumbuhan kopi tertekan dan mengurangi produksi · kopi karen a pertumbuhan tanama'n kopi yang dibersihkan lebih cepat dibandingkan dengan yang ada tanaman bawahnya (Agus et. a/., 2002 dalam Hilmanto, 2009). a. Pemupukan Penurunan kesuburan tanah banyak terjadi di daerah tropika basah termasuk di Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh masih banyaknya pengelolaari Ia han pertanian secara tradisional yaitu sistem monokultur tanaman pangan yang terus menerus sepanjang tahun dan sistem ladang berpindah yang memiliki intensitas penggunaan lahan rendah, serta adanya kebiasaan petani untuk membakar atau tidak mengembalikan biomasa sisa panen dan lebih senang menggunakan pupuk buatan (anorganik). Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penurunan produksi tanaman pada daur berikutnya. Pemupukan dilakukan untuk menambah ketersedian unsur hara yang diperlukan tanaman. Jenis pupuk yang biasa digunakan ada dua jenis yaitu pupuk organik dan anorganik. Salah satu alternatif untuk menyelamatkan keberlanjutan penggunaan ·lahan adalah dengan mengurangi input yang berasal dari bahan kimia dan beralih kepada pemakaian pupuk organik yang berasal dari bahan organik sisa tanaman, pupuk kandang, kompos, dan atau sumber bahan organik (BO) lainnya (Afrizon, 2009 dalam Hilmanto, 2009) Pola tanam agoroforestri dengan prinsip low input untuk tetap dapat menghasilkan produksi maksimal mempunyai cara tersendiri dalam menjaga kesuburan tanah secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan diantaranya dengan memanfaatkan kelebihan tanaman legum yang mempunyai kemampuan pengikat nitrogen sehingga membantu meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu penimbunan biomasa dari daun-dauanan hasil pangkasan dapat berfungsi sebagai bahan organik bagi pertumbuhan tanaman dan peningkatan produksi. Pemilihan jenis legum memang memberikan nilai tambah positif dengan tetap memberikan nilai ekonomi bagi kayu dihasilkan. Oleh kerena itu pemi·lihan jenis legum yang bernilai ekonomi tinggi bisa menjadi alternatif pilihan dalam pola tanam agroforestri. Penggunaan sengon, lamtoro, turi, gliricedia memang telah lama dipratekkan oleh masyarakat. Hal ini .tidak lepas dari kegunaan daun untuk makanan ternak, peningkatan kesuburan tanah, bisa menjadi kompos, disamping
memang mudah tumbuh di lahan-lahan kering. Hasil-hasil penelitian tentang manfaat tanaman dalam peningkatan kesuburan tanah disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Beberapa hasil penelitian kontribusi tanaman agroforestri terhadap kesuburan tanah No.
lokasi
Komposisi Jenis Tanaman Lamtoro + tanaman pertanian
1
Pulau Timor
2
Lampung utara
Peltophorum sp
3
Jayawijaya, Irian Jaya
Casuarina oligedon tanaman pertanian
Sumatra
Kakao Gliricidia
4
+
Lombok
Gliricidia
NTT
jati
Penerapan pola agroforestri berbasis tanaman lamtoro telah mampu J"!lengatasi kendala biofisik daerah Pulau Timor, sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan masyarakat Pada lahan yang mendapatkan masukan BO berkualitas rendah asal pangkasan tajuk tanaman pagar Peltophorum terdapat cacing tanah yang lebih tinggi daripada yang mendapatkan masukan BO berkualitas tinggi asal tajuk. Jumlah, berat basah, dan berat kering "cast" cacing tanah berkurang bila habitatnya semakin jauh dari bari,san tanaman pagar. Banyak manfaat dari Casuarina oligedon terutama untuk memperbaiki kesuburan tanah dan mencegah erosi.
+ Kakao
sepium
5
Hasil Penelitian.
sp+
Sumber Surata (1993)
Wirastato (1999)
Askin eta/. (2001)
yang ditanam dibawah Gliricidia sepium menunjukkan literfall dan foliar nitrogen coklat paling tinggi . dibanding kakao ditanam dibawah penutupan hutan dan pohon
Tridadi
Pertumbuhan jati pada lahan bekas tambang yang diberi pupuk kandang dan pupuk hijau dari leguminous dalam model agroforestri lebih tinggi daripada pertumbuhan jati di lokasi yang lain. Aplikasi gamal menghasilkan kontribusi pertumbuhan tinggi dan diameter paling tinggi pad a jati. Pupuk hijau leguminous dapat meningkatkan kesuburan tanah pada lahan batu tam bang dan pertumbuhan jati.
Narendra (2009)
eot.a/. (2007)
Pengelolaan hutan dan lahan dengan pola tanam agroforestri dapat menjadi alternatif pengganti silvikultur intensif yang kurang berjalan di masyarakat. Terlebih pola tanam agroforestri telah banyak dipratikkan masyarakat dalam berbagai bentuk
dan
pola
pemanfaatan
lahan.
Akan
tetapi
keterbatasan
modal
menyebabkan pengelolaaan lahan dengan pola tanam agroforestri tidak dilakukan secara intensif. Padahal beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan secara intensif dalam penggunaan lahan dengan pola tanam agroforestri memberikan produktivitas yang lebih tinggi seperti disajikan pada Tabel8. Tabel 8. Beberapa hasil penelitian pengaruh pemupukan terhadap tanaman No.
agroforestri lokasi
Komposisi Jenis sengon dan jagung
1
Desa Barugae Keeamatan Mallawa Kabupaten Maros.
2
Tapanuli utara
Eucalyptus dan sa/igna hijauan pakan ternak brachia ria decumberns
3
Putukrejo, Kalipare dan Kedungsalam, Donomulyo. Malang
Agroforestri pisang
Hasil Penelitian pertumbuh~
· tinggi dan diameter tanaman sengon menunjukkan adanya efek input (pengapuran, pupuk NPK dan kandang) yang sangat nyata, tetapi efek pengolahan tanah dan interaksi antara pengolahan tanah dengan input belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun terhadap produksi pipilan kering jagung menunjukkan adanya efek input maupun pengolahan tanah yang berbeda nyata, tetapi interaksinya tetap belum menunjukkan perbedaan nyata. Agroforestri tanaman Eucalyptus saligna dan hijauan pakan ternak brachiaria decumberns diberikan pengapuran dan pemupukan. Hasilnya pengapuran tidak ada pengaruhnya. Pada Lahan berkapur di Desa Kedungsalam lebih intensif dibanding Desa Putukrejo dalam teknik budidaya pisang, demikian juga varietas pisangnya lebih banyak dijumpai di Desa Kedungsalam {12 varietas} dibandingkan Desa Putukrejo (4 varietas).
ibo34~
Sumber Millang et a/. (1991}
Murad et a/. (1992)
Febrianty (2003)
Lanjutan Tabel 8. No. lokasi
Hasil Penelitian
Sumber
Dengan pemeliharaan intensif (pemupukan, pembersihan gulma, pemberantasan hama d.an penyakit serta penggundukan tanah pada tanaman pertanian) dalam waktu 35 -50 hari hari sejak penanaman diperoleh hasil ketimun sebanyak 16 ton/ha dan kacang tanah dengan daur 50 hari sebanyak 1 ton/ha Dosis dekastar 25 g dan 50 g per pohon meningkatkan hasil biji kopi sebesar 297% dan 730%. Pemupukan dosis pupuk urea 250 g + TSP 100 g + KCL 180 g signifikan mempengaruhi tinggi tunas kopi setelah dipruning Dosis urea 7,5 g + SP 36 2,5 g + KCL 5 g, dosis urea 15 g + SP 36 5 g + KCL 10 g, dan dosis urea 22,5 g + SP 36 7,5 g + KCL 15 g ketiganya meningkatkan berat umbi sampai 115,3%, 186,95% dan 236,31%. Pemberian mikorisa dapat meningkatkan produksi tanaman 19% Pemupukan bokashi 1000 gram bokashi paling tinggi m€ningkatkan diameter sengon dan damar. alami damar Regenerasi dipengaruhi oleh densitas tegakan damar. Semakin tinggi densitas semakin tinggi regenerasi alami damar. pad a pupuk Pemberian penanaman sistem tumpangsari antara ekaliptus dengan jagung mem.perlihatkan hasil yang berbeda nyata terhadap diameter dan tinggi tanaman ekaliptus.
Hani dan Mile (2006).
Komposisi
Jenis 4
Kota Banjar
sengon dengan ketimun (Cucumis sp) dan kacang tanah
5
Gunung Walat, Sukabumi
kopi + pohon
6
Gunung Walat, Sukabumi
pohon + umbi
·7
Gunung Walat, Sukabumi
Sengon damar
+
8
Des a Tompobulu Kecamatan Mandai Kabupaten Maras, Sulawesi Selatan.
Ekaliptus jagung
+
ro..35~
Budi et a/. (2009a), Budi
et
a/.
(2009b}
Budi et a/. (2009c); Budi (2009)
Sukendro dan Pamungkas (2009); Siregar dan Mardiningsih {2009) Mangkona et
a/. {1986)
Lanjutan Tabel 8. No.
9
lokasi Pulau Sumba
Komposisi Jen·is Ameliorasi Jelutung + cabe+bawang daun+ sawi+ jagung+ tumbuhan paku
Hasil Penelitian
Sumber
Ameliorasi dengan pupuk kandang dan abu pada kegiatan agroforestri dapat meningkatkan kandungan C or.ganik tanah sehingga dapat memperbaiki pH, KTK dan KB tanah sehingga gam but dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N, p dan K yang diberikan. Ameliorasi juga meningkatkan kandungan populasi mikroba menguntungkan dalam tanah gam but. Peningkatan sifat fisik, biologi kimia dan tanah meningk;.:~tk~m pertumbuhan tanaman Jeiutung sampai umur 3 tahun.
Widyati, et a/. (2010)
b. Pemangkasan Pemangkasan pohon merupakan kegiatan pemeliharaan dengan melakukan pengurangan tajuk/cabang pohon bagian bawah sehingga persentase tajuk aktif menjadi berkurang untuk memperoleh batang bebas cabang yang panjang dan bebas dari mata kayu. Pada jenis Acacia mangium pemangkasan dilakukan dengan menyisakan tajuk kurang dari 60% pada awal-awal pertumbuhan sedangkan pada jenis Manglieta glauco Bl bisa menyisakan tajuk kurang dari 30%. Pemangkasan merupakan kegiatan penting dalam pemeliharaan tanaman agrofrestri. Pemangkasan yang dilakukan pada pohon akan memberikan efek positif tidak hanya bagi tanaman pohon melainkan juga tanaman pertanian. Penelitian Ray keSogh da/am Naiem dan Sabarnurdin {2003) menunjukkan bahwa pruning cabang dan bahkan batang hingga tinggal 6 meter dari permukaan tanah ternyata sangat menguntungkan, karena dapat memperbesar intensitas cahaya yang sangat bermanfaat bagi tanaman lain yang tajuknya lebih rendah dan juga akan menghasilkan 6 meter kayu akhir yang s'ilindris dan besar. · . Penelitian Suryanto et a/., 2009 meyatakan bahwa pengelolaan bera diprioritaskan pada pengurangan kepadatan tajuk melalui teknik silvikultur (pruning tajuk dan penjarangan) untuk peningkatan ketersediaan cahaya sehingga dapat mendukung budidaya semusim lebih optimal Agrofrestri didominasi oleh pohon sehingga bidang olah efektif untuk tanaman pertanian berkurang yang mengakibatkan ada masa bera. Masa bera adalah waktu dimana lahan diistirahatkan dari kegiatan penanaman tanaman semusim. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah dan memberikan pengaturan ruang bagi tanaman semusim. Model bera dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu bera ringan, sedang, dan berat. Bera ringan mempunyai Bidang Olah Efektif (BOE} 62% luas lahan. Bera sedang BOE 37% < % bidang oleh < 62%. Bera berat mempunyai level penutupan lahan paling tinggi. Hal ini mengakibatkan luas BOE paling rendah
dibanding dengan model lainnya. BOE pada bera berat kurarag dari 37% dari luas Ia han (Suryanto
eta/.,
2009).
Kompetisi yang terjadi dalam pola tanam agrofrestri tidak hanya dalam mendapatkan sinar matahari akan tetapi juga di dalam tanah dalam pemanfaatan unsur hara maka terdapat kegiatan pemeliharaan dengan pruning akar. Pruning akar dilakukan pada tanaman pohon untuk menghindari terjadinya kompetisi hara antara tanaman palawija dengan tanaman pohon (Naiem dan Sabarnurdin, 2003}. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh pemeliharaan tanaman dengan pemangkasan pohon disajikan pada Tabel 9. Tab~~ 9. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh pemangkasan pohon
No.
terhadap tanaman agroforestri lokasi '} Kombin'asi
1
Kebun Percobaan, Bunga Mayang, Lampung Utara.
2
Desa Darungan, Kecamatan Sutojayan, Blitar, Jawa Timur. Pinus Hutan Desa Klampok, Kecamatan Singosari Kabupaten Malang, Jawa Timur
3
4
Lampung
Hasil Peneliti,f!n
Jenis f. Kaliandra + Caliandra akan memberikan jagung keuntungan t~rhadap tanaman jagung bila pemangkasan tajuknya lebih sering dilakukan, · atau jarak antar baris tanaman pagar perlu diperlebar, sehingga pengaruh naungannya dapat dikurangi. Jati + ubi Pengaruh dari pohon terhadap kayu ketersediaan · cahaya pada tanaman sela dapat dikurangi dengan pemangkasan pohon jati. Pinus + Pemangkasan pohon pinus jagung meningkatkan penetrasi cahaya sehingga meningkatkan kan.dungan klorofil yang diikuti oleh peningkatkan laju fotosintesis dan pemberian bahan organik belum dapat meningkatkan hasil tanaman jagung. Sengon + Pertumbuhan sengon lebih damar baik pada site terbuka sedangkan damar lebih baik pada kondisi areal teduh.
~37~
Sumber Hairiah dan van Noordwjik (1993)
Trimanto (2003)
Maharani (2004)
Sukendro dan Pamungkas (2009}
Lanjutan Tabel 9.
Kombinasi Jenis
No.
lokasi
5
Des a Klampok, Kecamatan Singosari, Malang.
Pinus jagung
+
6
Des a Klampok, Kecamatan Singosari, Jaw a Malang, Timur
Pinus kedelai
+
7
Des a Klampok, Kecamatan Singosari, Jaw a Malang, Timur
Pinus jagung
+
Hasil Penelitian Produksi tanaman jagung yang sistem dalam ditanam agroforestri Pinus +jagung perlakuan dengan pemangkasan ·dan pemberian 150 ha nitrogen kg/ memberikan hasil yang p~:11ing lakuan tinggi dibandingkan Namun lainnya. fJroduksi terse but masih di bawah produksi normal. Pemangkasan 1/3 bagi~n tajuk bagian bawah pohon peningkatan mengak!oatkan cahaya yang lolos ke bawah pohon secara rata-rata dari 20% menjadi 23% pada saat awal (0 hst) dan saat vegetatif maksimum (40 hst) sebesar 28%. menjadi Laju 23% tanaman fotosistesis oleh dipengaruhi pemangkasan pohon dan laju fotosintesis meningkat dengan bertambahnya cahaya PAR diterima. Pemberian yang dapat organik bahan meningkatkan hasil tanaman kedelai sebesar 10%. Tanaman jagung yang ditanam dibawah tegakan pinus yang dipangkas memberikan hasil yang lebih tinggi yaitu 1,61 yang tidak dari ton/ha dipangkas yaitu 0,96 t/ha. mampu Varietas pioneer beradaptasi dengan baik pada cahaya kondisi lingkungan rendah di bawah tegakan pinus dan mampu berproduksi lebih tinggi yaitu 1,96 ton/ha dari varietas kretek yaitu 0,61 ton/ha.
ll>e38~
Sumber Efendi (2004)
Kurniawan (2004)
Kusuma (2004)
Lanjutan Tabel 9. No.
lokasi
8
Des a Nglanggeran, Kecamatan Patuk Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi DIY.
Kombinasi Jenis Pohon + . Tanaman semusim
Hasil Penelitian Pengelolaan bera diprioritaskan . pad a pengurangan kepadatan tajuk melalui teknik pruning tajuk untuk dan penjarangan . peningkatan ketersediaan cahaya sehingga dapat mendukung budidaya tanaman semusim lebih optimal
Sumber Suryanto a/. (2009}
et
C. Bentuk-Bentuk Agroforestri di Masyarakat Pola tanam agroforestri telah banyak diaplikasikan masyarakat dalam berbagai kombinasi jenis tanaman dan berbagai tipe pemanfaatan lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan agroforestri di masyarakat sudah lebih dulu diaplikasikan dibandingkan dengan pembelajaran scientific knowledge agroforestri. Hal ini menjadikan pembelajaran agroforestri berdasarkan local knowledge yang telah dipunyai masyarakat menjadi penting sebagai pengetahuan dasar yang perlu terus dikembangkan. Struktur dan komposisi tanaman dalam pola tanam agroforestri di masyarakat merupakan informasi awal untuk lebih mendalami jenis· interaksi dan kompetisi antar tanaman dalam satu unit manajemen lahan. Hasilhasil penelitian menunjukkan bahwa setiap lokasi mempunyai komposisi jenis tanaman yang berbeda. Perkembangan komposisi tanaman dalam pola agroforestri dari masa ke masa juga senantiasa mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kesesuaian tempat tumbuh, cara-cara masyarakat bercocok tanam, ketersediaan pasar dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Montpellier et a/. (2001} menyebutkan bahwa sistem agroforestri diperdebatkan sebagai fakta yang harus diperhatikan dimana dua jenis sistem pengaruhnya tidal<: sama terhadap ekologi atau kualitas ekonomi dan tidak memerlukan pendekatan ilmiah yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa sistem sederhana lebih diinvestasi oleh peneliti dan mempunyai nilai lebih dikembangkan sa at ini dalam bidang kehutanan atau progam · pertanian dibandingkan sistem kompleks dimana pokok sistem karakteristik pertanian dalam jumlah kecil di luar pulau sering tidak diketahui atau dipandang rendah oleh banyak ilmuwan dan agen pengembang. Sistem agroforestri komplek memiliki vertical/and cover paling baik dibanding agroforestri sederhana (simple) dan hutan monokultur. Horizontal/and cover agroforestri komplek dan hutan monokultur lebih dari 100% sedangkan pada agroforestri sederhana {simple) hanya 35% (Mansur dan Siddik, 2009). Menurut Nair {1993) terdapat beberapa bentuk agroforestri yaitu : agrisilvikultur, silvopastura, agrosilvopastura, sylvofishery d~.n apikultur. Setiap· daerah dengan karakteristik masyarakat dan tipologi lahan yang berbeda memunculkan komposisi jenis penyusun agrofrestri yang beranekaragam sehingga
&<>39~
memunculkan beberapa bentuk agroforestri. Hasil penelitian di beberapa lokasi menunjukkan bahwa bentuk agroforestri yang telah dipraktikkan oleh masyarakat beranekaragam sehingga perlu diidentifikasi komposisi jenis tanaman penyusun.
1. Agrisilvikultur Agrisilvikultur yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan komponen pertanian. Penelitian Montpellier (2001) di Sumatra Barat menunjukkan bahwa sistem agroforestri berperan penting tidak hanya bertujuan untuk menghasilkan kayu sebagai aset dalam sistem agrofc:restri, melainkan juga produk-produk lainnya seperti makanan, energi da.n obat-obatan. Sistem pemanfaatan lahan disana terbagi untuk pekarangan rumah di desa, kebun campuran (dikenal sebagai perak), gabungan pohon-pohon ekspor (Cinnamon sp/kayu man is dan kopi), pohon buah (terutama durian) dan jenis-jenis pohon kayu (Toona sinensis, Meliacea sp, Pterosperum javanicum dan sebagainya). Sistem agroforestri yang dialami meliputi hasil bumi perdagangan penting seperti. kopi (Coffea canephora var, robusta) dan Cinnamc1 '! 11 burmani dengan jarak alternatif hasil panen monokultur atau asosiasi sederhana ke beberapa spesies dan kebun simpan serbaguna meliputi sebanyak 100 spesies umum. Begitu pula dengan agroforestri di kebun-kebun Dayak Kalimantan yang berstruktur multilayer dan terdiri dari berbagai jenis tumbuhan serta memiliki fungsi ekologi ekonomi dan sosial bagi masyarakat Dayak. Keberadaan kebun-kebun Suku Dayak di Kabupaten Sanggau sesuai dan potensial karena dapat menjadi sumber bahan makanan, bahan bangunan, energi dan obat-obatan (Sundawati, 2001). Penelitian Wiyorio (2002) tentang perubahan praktik pola tanam petani di Wilayah Desa-Desa Kecamatan Cangkringan, Kabupaten S.leman, DIY menyebutka'n bahwa pada masa lalu pola tanamnya sudah sangat jauh berbeda dibandingkan masa sekarang. Di Desa Umbulharjo, Kepuharjo dan Glagaharjo cenderung berpola tanam kayu-kayuan dan buah-buahan dengan rumput pakan ternak di bawahnya, sedangkan di Desa Argomulyo dan Wukirsari cenderung pada tanaman semusim dengan tanaman kayu dan buah-buahan pada tempat terbatas. Dari masa ke masa jenis-jenis yang ditanam dalam pola tanam agrofrestri juga mengalami perubahan. Sebelum tahun 1970 dengan tanaman semusim palawija, ketela pohon, jagung, kimpul, entik, ketela rambat, gude, pisang dengan jenis pohon kelapa, nangka, mindi dan sengon. Dengan jenis buah jambu biji di tegal dan pekarangan. Komoditi kayu bakar, ketela, jambu biji, gude dan kelapa ditukar dengan beras. Tahun 19711980 penghijauan dengan mahoni, apokat, cengkeh, petai, kopi, durian, rumput gajah dan sengonisasi. Pada tahun 1981 tegal pekarangan tanaman keras, hijauan rumput dan sengon, sawah beralih ke tanaman perkebunan salak (Wiyono, 2002). Kasus di Kulonprogo DIY, pekarangan mempunyai struktur vegetasi yang lebih komplek dibandingkan dengan tegalan. Akan tetapi potensi lahan pada keduanya dapat dikembangkan dengan diversifikasi lahan yaitu antara lain dengan penanaman buah-buahan dan perkebuhan seperti durian, nanas, cengkeh dan petai (Poernomo, 2003). Hasil penelitian Musriyanti. eta/. (2003) di Desa Barugae, Kabupaten Maros menunjukkan bahwa terdapat beberapa pola dan yang paling dominan yaitu pola
10e40~
jalur dan acak. Jumlah jenis tanaman yang dikembangkan mencapai 16 Jenis, dan jenis tanaman yang dominan adalah kemiri (Aieurites moluccana), coklat (Theobroma cacao), gamal (Giiricidia sepium). Stratifikasi tegakan {vertikal) berdasarkan analisis diagram profil pada lokasi penelitian mempunyai.empat strata yakni: 1) Stratum A, dengan jenisnya yaitu kemiri (Aieurites mo/uccana), bitti (Vitex ·sp), mahoni (Swictenia macrophylla}, gamal (Giiricidia sepium), enau (Arenga pinnata) dan waru (Hibiscus tiliaceus). 2) Stratum B dengan jenisnya yaitu gamal (Giiricidia sepium), jambu mente (Anacardium occidentale), bitti (Vitex sp), pisang (Musa paradisiaca), enau (Arenga pinnata}, coklat (Theobroma cacao), kopi (Coffea arabica), lamtoro (Leucaeana glauco) dan belimbing wulu (Averrhoa belimbing). 3) Stratum. C dengan jenisnya yaitu coklat (Theobroma cacao), kopi (coffea arabica),· talas (Co/ocasia esculenta), dan merica (Piper nigrum). 4) Stratum D atau Stratum paling bawah dengan jenisnya yaitu jahe (Zingiber officina/e) dan jagung (lea mays). Sistem ·penanaman tiga strata dari segi konservasi yaitu dengan adanya strata tajuk yang berlapis-lapis maka dapat melindungi tanah dari pukulan air hujan secara langsung ke permukaan tanah yang menyebabkan terjadinya erosi kecil. Penelitian Okky et. a/. {2005) tentang variasi dan karakteristik model agroforestri di Patuk Gunung Kidul, DIY menyebutkan bahwa pola agroforestri yaitu pola pohon pembatas, baris, lorong dan acak. Kemudian untuk pola pohon pembatas dan lorong sebagian besar tersusun atas pohon mahoni, jati, akasia, dan sono. Pola baris sebagian besar tersusun atas tanaman perkebunan yaitu melinjo, kakao, cen&keh, rambutan dan petai sedangkan pola acak tersusun atas tanaman . mahoni, jati, sengbn, melinjo dan petai. Pola lorong pada topografi paling curam yaitu 13 % s/d 20 % (terjal) sedangkan pola baris, pohon pembatas dan pola acak pada kelerengan agak datar {5% s/d 10 %}. Terdapat tiga bentuk usaha tani pada sistem dusung di Maluku Tengah 'yaitu dusung ke"bun atau ladang dengan sistem pertanaman tumpangsari, dusung kebun campuran dengan sistem pertanaman agroforestri dan dusung tanaman utama/ pokok dengan sistem pertanaman monokultur. Hatulesila dan Febryano (2009) melakukan analisis vegetasi pada agroforestri dusung menyebutkan bahwa agroforestri dusung adalah suatu sistem agroforestri yang sudah berlangsung secara turun-temurun. Struktur dan komposisi jenis tanaman di Desa Wakal pada tingkat pohon didominasi oleh spesies Eugenia aromatica; Myristica fragrans, Durio zibethinus, Theobromd cacao, Cocos nucifera dan Lancium domesticum, tingkat tiang didominasi oleh Musa sp, Lancium domesticum, Theobroma cacao dan Myristica fragrans dan tingkat sapihan didominasi spesies Myristica fragrans, Eugena aromatica dan Lancium demosticum. Berdasarkan stratifikasi dan diagram profil menunjukkan bahwa spesies Durio zibethinus dan Cocos nucifera memiliki penguasaan tajuk tertinggi (Strata A) diikuti strata lapisan (B, C, dan D) yaitu Eugenia aromatica, Cocos nucifera, Theobroma cacao, Myristica fragrans, Lancium domesticum, dan Eugenia jambolana.
~41~
-,.
Penelitian Suharti (2007) menyebutkan bahwa model agroforestri yang potensial dikembangkan di Sumedang adalah komoditi kehutanan + vanili dan tanaman obat, sedangkan di Cianjur sebagai tanaman bawah yaitu vanili dan tanaman pangan serta sayur-sayuran untuk Sukabumi. Begitu pula di Daerah Waduk Semper jenis tanaman bawah yang mempunyai nilai penting bagi petani yaitu jenis tanaman pangan antara lain ganyong, ketela rambat dan ketela pohon (Hadisusanto, 2003 ). ~epong damar di Pesisir Tengah Lampung Barat merupakan salah satu agroforestri terbaik di Indonesia. Struktur vegetasi pada agroforestri damar berbeda pada masing-masing fase pertumbuhan, tetapi secara umum permudaan alami damar eukup baik. Kerapatan optimum jenis damar pada kelas diameter 2040 em adalah 400 pohon/ ha, dengan kerapatan optimum seluruh jenis adalah 500. pohon/ ha; kerapatan optimum jenis damar pada kelas diameter 40-60 em adalah 300 pohon/ ha, dengan kerapatan optimum seluruh jenis adalah 400 pohon/ ha; kerapatan optimum jenis damar pada kelas diameter di atas 60 em adalah 280 pohon/ ha, dengan kerapatan optimum Jems adalah 300 pohon/ ha (Duryat, 2009}. Semakin tinggi densitas semakin tinggi regenerasi alami damar (Siregar et. a/., 2009} Penelitian Hakim et. a/. (2004) menyatakan bahwa rehabilitasi lahan dengan - PHBM di KPH madiun adalah dengan sistem plong-plongan mengikuti alur peredaran sinar matahari (bukan mengikuti kontur). · Tanaman utama yang digunakan kayu putih atau jati ditanam di sabuk sepanjang 15 m, tanaman kehutanan pengisi/pagar (gmelina, mahoni, sengon, mindi) dan tanaman pertanian (padi, jagung, ketela pohon , kaeang tanah, pisang, petai, dll) di sabuk sepanjang 10 m. Sementara di KPH Kuningan dengan tanaman pokok ( mahoni, pinus) dengan tanaman MPTS (melinjo, randu, alpukat, nangka, pete, kemiri, nilam , nanas, dll). Rehabilitasi ~utan dengan PHBM di RPH Banjarsari melakukan penanaman dengan jati + sengon + tanaman pertanian (padi+jagung, pisang, eabe dan kaeang) dan di RPH tanjungkerta dengan pola pinus + vanili serta di RPH Cineam dengan Jati + kapolaga {Sumarhani, 2004). Beberapa pola tanam agroforestri yang telah berhasil dipraktikkan masyarakat di hutan rakyat dengan komposisi sebagai berikut {Mindawati et. a/., 2006): 1) Desa Sidoarjo, Keeamatan Kemalang, Kab. Klaten dengan komposisi jenis : sengon + kopi + tembakau. 2) Desa Paeekalan, Kabupaten Wonosobo dengan komposisi jenis : sengon + mahoni+suren+kopi+kelapa+pisang+eabe. 3) Desa Sumberurip, Kee. Doko, Kab. Blitar dengan komposisi jenis : sengon + ~opi + eokelat + kelapa + singkong + gamal. 4) Desa Paeekelan, Kee. Sapuran, Kab. Wonosobo dengan eampuran jenis sengon + suren + kelapa + nangka + jambu + petai+" durian + melinjo + jengkol. 5) Hutan rakyat Kabupaten Kuningan dengan 4 pol a "tan am yaitu tanaman kayu {sengon, jati, mahoni), perkebunan (melinjo), buah {pisang, jengkol,
pete), tanaman semusim (cabe, singkong, padiL Obat (jahe, bambu. (Diniyati et. a/. 1 2004).
2. Silvofishery
Silvofishery yang merupakan kombinasi antara kehutanan dengan perikanan. Penelitian Hartina et. a/. lahan mangrove dengan silvofishery di lndramayu keberhasilan tanaman mangrove dalam pola silvofishery faktor fisik dan kimia lapangan berupa : Iebar Sedangkan faktor ekonomi dan sosial keberhasilan petani dalam mengelola parit. Petani lingkungan hidup yang baik bagi aquakulturnya (mengorbankan) komponen mangrovenya. oleh faktor-faktor kedalaman parit, !uas lahan yang dikelola dan berapa pohon. Faktor ekonomi dan sosial terbukti persen parit ternaung berperan. Perbedaan kepentingan masih mewarnai pola tanam yang ada, sehingga kelestarian pola ini masih dipertanyakan walaupun dari sisi produktivitasnya dan adoptibilitasnya tidak diragukan. Pola rehabilitasi mangrove cara ini perlu dimodifikasi agar dapat memberi keuntungan kepada kepada kepentingan, produksi dan konservasi secara seimbang dan lestari. Gunawan (2007) menyebutkan bahwa pada progarn silvofishery menunjukkan bahwa 15% petambak responden yang menyatakan penting bagi produksi perikanan, oleh karena itu sebagian besar petambak menebang atau mematikan mangrove untuk memperluas parit tempat pemeliharaan ikannya. Progam silvofishery dengan pola empang parit di Ciasem-Pamanukan belum mampu mengkonservasi mangrove, hal ini ditunjukkan oleh meluasnya penebangan mangrove di dalam empang parit untuk memperluas parit dan menyebabkan perubahan bentuk dan komposisi luasnya sampai menjadi 20% mangrove 80% parit. Progam silvofishery dengan pola empang parit ini juga belum cukup tepat sasaran karena 54% pesertanya menjual ke pihak lain. Penelitian Anwar (2003) menyebutkan bahwa model silvofishery untuk rehabilitasi kawasan mangrove dengan sistem empang parit dengan lahan penanaman mangrove (80%) dan kegiatan perikanan (20%) dengan menggunakan udang, bandeng dan kepiting. Hasil penelitian menujukkan bahwa: keuntungan budidaya udang dan bandeng dengan panen 2 X setahun =Rp.512.200,- per hektar dan untuk kepiting dengS~n panen 10 X setahun = Rp. 279.000 per 60 m2. Sistem silvofishery berdampak pada pertambahan luas pembuatan empang parit (dari ha menjadi 12 ribu ha), peningkatan persen tumbuh mangrove mencapai 80%, pertambahan kesempatan kerja (2448 KK dan 122 KTH), meningkatnya kesadaran masyarakat akan fungsi dan manfaat hutan mangrove.
3. Apikultur Apikultur merupakan budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen kehutanan. Yuliansyah et. a/. (1998} menyebutkan bahwa di masyarakat pedesaan Kaltim sumberdaya lahan dan lebah madu yang tersedia
dapat menunjang agroforestri lebah madu dengan manajemen masyarakat. Penelitian Qurniati {2010) di Desa Selapan Kecamatan Pardasuka, Kabupaten Tanggamus dan Desa Buana Sakti, Kecamatan Batang Hari, Kabupaten Lampung Timur, Propinsi Lampung menunjukkan bahwa tanam tanaman berbunga yang dimanfaatkan sebagai pakan lebah madu adalah tanaman sonokeling (Da/bergia /atifolia), kaliandra {Calliandra ca/othyrsus), kapuk randu (Ceiba pentandra), cokelat (Theorema cacao), dan kopi (Coffea canephora) dan beberapa jenis tanaman kehutanan, MPTS (Multy Purpose Trees Spesies) dan tanaman perkebunan. Pemeliharaan lebah madu yang dilakukan masyarakat Desa Selapan dan Desa Buana Sakti dilakukan dengan kotak (stup) dan gelodok. Penggunaan kotak lebih efisien dibandingkan gelodok. Ismail {1987) melaporkan bahwa pengamatan dilakukan pada lokasi seluas 400 ha. Lebah yang diuji adalah jenis Apis mel/ifera yang ditempatkan diantara kaliandra dan Anacardium occidentale. Sistem pengembangan terkontrol dicobakan pada sapi yang dilepas pada areal rumput setaria dan rumput di bawah tegakan areal m.akanan ternak, kaliandra kayu berumur 2 tahun dan kambing betina dan di bawah tegakan umur 2 tahun lebih. hasil agroforestri perkembangan lebah cukup baik, sapi betina. bertambah berat badan rata-rata 86,66 kg/ekor dan kambing meningkat berat badannya 6,83 kg/ekor.
DAFTAR PUSTAKA Abadi, R. S. 2003. Pendugaan Potensi Hasil Tanaman Padi Sawah (Oryza sativa) yang Ditanam dengan Pohon Jati (Tectono grandis L) pada Sistem Agroforestri di Lodoyo, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Akiefnawati, R. 1995. Pengaruh Naungan, Kompetisi Serapan Air dan Hara Tanaman Pagar Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jagung pada Ultisol Daerah Lampung Utara. Thesis. Universitas Brawijaya. Malimg. (tidak diterbitkan). Ali. C dan D. Edi. 2010. Strategi Pengembangan Tanaman Kehutanan di Sela Tanaman Sawit: Sebuah Tinjauan !spek Budidaya; Presiding l?JPeran Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dalam lmplementasi Roundtable on Sustainable Palm Oil tanggal 4-5 November 2010 di Pekanbaru. Puskonser. Bogor. Anggraeni. I dan A. Wibowo. 2007. Pengaruh Pola Tanam Wanatani Terhadap Timbulnya Penyakit Dan Produktivitas Tanaman Tumpangsari. Info Hutan Tanaman 2(2). Anwar, C. 2003. Wanamina, Alternatif Pengelolaan Kawasan Mangrove Berbasis . Masyarakat Presiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Pemanfaatan Jasa Hutan dan Non Kayu Berbasis Masyarakat Sebagai Solusi Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan. Him. 21-26. P3H&KA. Bogar
&-44~
Asir, I. dan S. Tabba. 2008. Aplikasi Teknik Rehabilitasi Lahan dengan Penanaman Jenis Kayu dan MPTS di SUB DAS Biyonga Provinsi Gorantalo. Presiding Workshop Sintesa Hasil Penelitian Hutan Tanaman tanggal 19 Desember 2008 di Bogar. P3HT. Bogor. Askin.D.C., D.J. Boland., dan K. Pinyopusarerk, 2001. Use Casuarina 0/igondon subsp. Abbreviata in Agroforestry in The. North Baliem \(alley, Irian Jaya, Indonesia. in Casuarina Research and utilization. Abstrak Hutan dan Kehutanan. Agroforestry-3 Him. 213-219. Pusdokindo & Museum Taman Hutan Manggala Wanabakti. Jakarta. Azz, L. P dan S. Budi. W. 1995. Srikaya (Annona Squamosa) Sebagai Tanaman Sisipan pada Program Perhutanan Sosial (PS) di BKPH Penganten KPH . Purwodadi. Duta Rimba 20: 20-23. Budi, R.S.W, I.Z. Siregar, Supriyanto, A. Sukendro dan N. 'Wijayanto. 2009b. Study on the Use of Fertilizer and Pruning Treatment for Improving Coffee Productivity in Agroforestry System at Gunung Walat Educational Forest. Technical Report Volume 4/2009. IPB & Akecu. Bogar. Budi, R.S.W. 2009. Study on The Use of Arbuscular Mycorrhiza Fungi for Improving Crop Productivity in Agroforestry System in Gunung Walat Educational Forest. Technical Report Volume 2/2009. Restoration of Degraded Forest Through Establisment of Sustainable AgroSystem with High Ecological and Economical values Using Peoplerns Participation In Gmung Walat, Indonesia. IPB & Akecu. Bogor. Budi, R.S.W., I.Z. Siregar, A. Sukendro, N. Wijayanto dan Supriyanto. 2009a. Study on The Use of Dekastar Fertilizer for Improving Coffee Productivity in Agroforestry System in Gunung Walat Education Forest. Technical Report Volume 4/2009. IPB dan Akecu. Bogar. Budi,R.S.W., I.Z. Siregar, Supriyanto, A. Sukendro dan N. Wijayanto. 2009c. Study on The Use of Anorganic Fertilizer for Improving Cassava (Manihot Esculenta) Productivity in Agroforestry System at Gunung Walat Education Forest. Technical Report volume 4/2009. IPB dan Akecu. Bogar. Budiadi, T. Hiroaki, Ishii, M. Sambas Sabarnurdin, Priyono Suryanto dan Y. Kanazawa. 2006. Biomass .Cycling And Soil Properties In An AgroforestryBased Plantation System Of Kayu Putih {Melaleuca Leucadendron LINN) In East Java, Indonesia. Journal Agroforestry Systems 67:135rn145. Cahyarini, E. 2004. Evaluasi Lahan untuk Tanaman Cabai, Jagung, Kedelai secara Tumpangsari di Lahan ~ela Tanamn Jati pada Lahan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Desa Ngembul, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Dendang. B, A.Sudomo, E. Rachman dan Rusdi. 2007. Pengendalihan Ham a Ulat Jengkal Pada Sengon dengan Ekstrak Daun Suren dan Cuka Kayu. Wana Benih 8(1).
&u45~
Diniyati, 0, SE. Yuliani, dan B. Achmad. 2004. Pola Tanam Hutan Rakyat di Desa Dukuh Dalam, Kec. Jppara, Kab. Kuningan. Presiding Ekspose Terpadu HasiiHasil Penelitian.Him. 133-145. P3BPTH. Yogyakarta. Duryat. 2009. Struktur Vegetasi dan Kerapatan Pohon Optimum pada Agroforest Damar (Shorea javanica K. Et V.) di Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Lampung Barat. Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009. Universitas Lampung (Unila)-The Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE}-The Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung. Efendi, H.M. 2004. Fungsi Agronomi Sistem Agroforestri Pinus (Pinus mercusii) dan Jagung (lea mays L) dengan Pemangkasan Tajuk Pohon dan Pemberian Pupuk Nitrogen. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan}. Febrianto, T. 2003. Pendugaan Potensi Produksi Tanaman Jagung (lea may L} yang Ditanam dengan Tanaman Jati (Tectc,, grandis L) pada Sistem Agroforestri di Lodoyo, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Febrianty, F. 2003. Budidaya Pisang (Musa paradisiacal Linn) dalam Sistem Agroforestri di Daerah Berkapur Malang Selatan. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Hadisusanto. S. 2003. Agroforestry Di Jalur Hijau Waduk Sempor (Suatu Tinjauan Ekologis). Presiding Seminar Nasional Agroforestry Peranan Strategis Agroforestry dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Lestari dan Terpadu bulan Sepetember 2002 di Yogyakarta. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Hairiah. K dan M. van Noo~dwjik, 1993. Peranan Tanaman Pagar dalam Mempertahankan Produksi Tanaman Jagung yang Berkelanjutan Pada Ultisol Daerah Lampung. Presiding Loka Karya Nasional Agroforestry tanggal 24-26 Agustus 1993 di Bogar. Bogar. Hairiah. K, M. van Noordwijk dan D. Suprayogo. 1999. Bahan Ajar 2 Agroforestri. International Agroforestry Researh Center. (ICRAF). Bogar. Hakim,
t S. lrawanti, dan Sylviani. 2004. Rehabilitasi Lahan dengan Pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Pulau Jawa: Studi Kasus di KPH Madiun dan KPH Kuningan. Presiding Ekspose Penerapan Hasil litbang Hutan dan Konservasi Alam. Him. 76-90. P3H&KA. Bogar.
Handayani, D. W. 2003. Pendugaan Potensi Produksi Tanaman Padi Gogo yang Ditanam dengan Pohon Mahoni (Swietenia mahagoni) pada Sistem Agroforestri di Lodoyo Barat, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Hani. A. Dan M.Y Mile. 2006. Uji Silvikultur Sengon Asal Tujuh Sumber Benih. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 3(2}.
Hardiyanto, E.B. 2005. Tanaman. Makalah Kehutanan
Pengembangan Hutan Produktivitas Hutan. Fakultas
Kajian Pola Silvofishery untuk Hartina, M.S. Rehabilitasi Desa Cemara, lndramayu. Presiding Seminar Nasional lZI Peranan Strategis !groforestry Pengelolaan Sumber Daya Lestari u bulan September 2002. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Haryanto, Y dan H. Dwiriyanto. 1988. Uji Coba Pengembangan Tanaman Pangan AF. BTR Benakat. Palembang. Hatulesila, J.W., I.G. Febryano. 2009. Struktur dan Komposisi Tanaman pada Agroforestri Dusung di Desa Wakal Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009. Universitas Lampung (Unila), The Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE), dan The Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung. Hilmanto. R. 2009. Local Ecological Knowledge dalam Teknik Pengelolaan La han Pada Sistem Agroforestri. Studi Kasus di Dusun Lubuk Baka, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Disertasi. (tidak diterbitkan). Ismail, B. 1987. Uji Coba Kegiatan Perlebahan Dan Peternakan di Areal Agroforestri. Laporan Pengamatan Dan Uji Coba Pengembangan Teknologi Reboisasi 4: 46-61. Kartasubrata, J. 1992. Social forestry dan Agroforestry di Asia. Buku I. Laboratorium Politik dan Ekonomi dan Sosial Kehutanan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Kasno, S., T. Nuhamara dan Supriyanto. 2009. Diversity of Pest and Diseases Commonly Found in Agroforestry System at Gunung Walat Educational Forest. Technical Report Volume 2/2009. Restoration Of Degraded Forest Throught Establisment Of Sustainable Agrosystem With Hight Ecologi dan Economic Values Using Peoplef1ls Participation In Gunung Walat; Indonesia; IPB dan Akecu. Bogor. Khasanah, N. 2008. Potensi Air Daun Dan Efisiensi Penggunaan Cahaya dalam Sistem Karet (Hevea brasiliensis) Monokultur dan Karet Campuran dengan Akasia (Acacia mangium) Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogar. (tidak diterbitkan). Kurniawan, I. 2004. Fungsi Agronomi Sistem Agroforestri Pinus (Pinus mercusii) dan Kedelai (Glycine max L) dengan Pemangkasan Pohon dan Pemberian Bahan Organik. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Kusuma, I.F. 2004. Fungsi Agronomi Sistem Agroforestri Pinus (Pinus mercusii) dan Jagung (Zea mays L) dengan Pemangkasan Pohon. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).
~47~
Latifah S., I. Prambudi, dan M.A. Bachruddin. 2011. Karakteristik Pertumbuhan Jati (Tectono grandis Linn.!) pada Sistem Agroforestry Tanaman Sawit dan Coklat. P 291- 299. Presiding Puslitbang 11 Seminar Hasil-hasil Penelitian BPK !ek Nauli dalam Rangka Tahun Kehutanan lnternasionallll; !eknauli;
Maharani. H.S. 2004. Fungsi Agronomi Sistem Agroforestri Pinus (Pinus mercusii) dan Jagung (Zea mays L) dengan Pemangkasan Pohon dan Pemberian Bahan Organik. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Pertumbuhan Anakan Mangkona. A. A. N., S. Paembonan dan M. Moelyono. (Zea mays. L) dalam Pohon Eucalyptus deglupta Blume dan Tanaman petak Percobaan Agroforestri di Desa Tompobulu l
&->48~
Mulyana. 0. R. dan A. Priadjati. 2004. Pertumbuhan Meranti pada Program Rehabilitasi Lahan Alang-Aiang (Imperato cylindrica Beauv) dengan Sistem Tumpangsari. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 1(3): 337-344. Mulyoutami. E., L. Joshi, llahang, G. Wibawa dan E. Penot. 2008. Pembangunan Wanatani Karet Berbasis Karet pada Lahan Terdegradasi Alang-alang di Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Karet 26 {1): 20-30. Murad, A, T. Butarbutar, dan N Supriatna. 1992. Pengaruh Pengapuran dan Pupuk Kandang Terhadap Produksi Hijauan Pakan Brachiaria decumberns Pada Sistem Agro Kehutanan. Buletin Penelitian Kehutanan Pematang Siantar 8{1):27-38. Murad, A. 1990a. lntroduksi Dan Evaluasi Tanaman Leguminosa Makanan Ternak untuk Menunjang Kegiatan Agroforestri di Aeknauli Sumatera Utara. Buletin ~enelitian Kehutanan 6(3):197-210. Murad, A. 1990b. lntroduksi dan Evaluasi Tanaman Rum put Makanan Ternak untuk Menunjang Kegiatan Agroforestri di Aeknauli Sumatera Utara. Buletin penelitian kehutanan 8(1}:39-49. Murniati. 2005. Penyiapan Lahan Alang-alang Untuk Usaha Tani Agroforestry dengan Teknologi Murah Dan Ramah Lingkungan. Info Hutan 2(4). Mu:srJyanti, Syamsuddin Millang dan Suhasman. 2003. Studi Struktur dan Komposisi ·.~:S.:~~~~... Beberapa Pola Agroforestri di Desa Barugae Kecamatan Mallawa Kabupaten · ''. !VIaros. Skripsi. Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar. (tidak ;diterbitkan}. Na[]em, M~ 2004. Pengembangan Spesies Non-Acacia Mangium Untuk Hutan Tanaman Buku Pembangunan Hutan tanaman Acacia mangium. PT. Musi Hutan Persada. Palembang. Nallliem, M; Dan M;S; Sabarnurdin, 2003; !groforestri Dalam Pengelolaan lntensif Sumber Daya Lahan; Prosiding Seminar Nasional !groforestri; lllPeranan Stsrtaegis Agrofrestri dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Lestari dan Terpadu. Fakultas Kehutanan. UGM. Yogyakarta. \
·~·air.PKR.
,, ·
1993.' 4\f!.;lntroduction Jo Agroforestry. Kluwer Academic Publisher. The · Netherland.
ti~rendra, B.H. 2009. Teak (Tectono gran dis L.F.) ·Growth Planted Using .Agroforestry Model On Pumice-Mined Land. Procedings lnternasional Seminar. Research on plantation Forest Management Challenges and &l,{li~·;~t~~ppurtunities tanggal 5-6 November 2009 di Bogor. Centre For Plantation ,,, ' :;Ferest Research and Development. Bogor. Okky, P.S., M.S. Sabarnurdin dan P. Suryanto. 2005. Variasi Dan Karakteristik Model Agroforestry. Jurnal Hutan Rakyat 7{1).
·r, ,)
.
Palwnewen, JL 1991. Pengkajian dan Pelaksanaan Pandu Melalui Pendekatan Sistem Ratulangi. Manado. Poedjorahardjo dan R. Soeryono. 1986. di DAS Konto Bagian Hulu. Prosiding
Poernomo, D, H. 2003. Praktek Prosiding Seminar Nasional !groforestry; Dalam Pengelolaan Sumber Daya !lam September 2002. Fakultas Kehutanan UGM. Pusparini, M. Junus, Bachtiar dan R. Salam. Jambu Mete (Anacardium occidentale Beberapa Jenis Legum (Stylosanthes hypogae Linn Varietas Kidang) dan Skripsi. Jurusan Kehutanan diterbitkan).
Ungkungan Wilayah Lembaga Penelitian Sam
AF Kawasan Hutan dan Reuni IV FKT UGM. Him.
Kulonprogo, DIY. !groforestry dan Terpadu!ll bulan
Pertumbuhan Anakan Ditumpangsarikan dengan Aub/, sp, Arachis (Pennisetum Schum). Hasanuddin. Makasar.. (tidak
Qurniati. R. 2010. Peranan Usaha Lebah Madu dalam Memberikan Tambahan Pendapatan. Studi Kasus pada Masyarakat Hutan di Propinsi Lampung; Seminar Nasional lllPerluasan dalam Mendukung Mitigasi Perubahan lklim di !sia Tenggaralll (Scaling-Up Agrofrestri Promotion Toward Climate in Southeast Asia ((SAPSEA). Lampung. Renden, R. 1991. Laju Pertumbuhan Casuarina junghuhniana, Pharaserianthes falcatania sp pada Sistem Agrokehutanan di Buntu Dengen, Tana Toraja, Sulsel. Jurnal Penelitian Kehutanan 5(2): Rosida, Jaya., Marthen L. Lande., Budirman Bachtiar. 1992. Keberhasilan Tanaman Jahe Badak (Zingiber officina/e Rose) di Bawah Tegakan Leda (Eucalyptus deglupta Blume). Skripsi. Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar. (tidak diterbitkan). Sabarnurdin, M.S. 1992. Pengaruh Tanaman Semusim terhadap Pertumbuhan Jati (Tectono Grandis) serta Kesuburan Tanah Sistem Tanaman Tumpangsari di Wanagama I. Buletin FKT UGM 21: Saga Ia, A. P. S. 2001. Uji Coba Penggunaan Tegakan Agroforestry Campuran Petai dan Gmelina di Lahan Alang-Aiang di Riam Kiwa, Kalimantan Selatan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Teknologi Reboisasi Palembang tanggal 28-29 Maret 1996. Him. Agroforestry-3 No 2. Pusdokinfo. Jakarta. Santoso, D. 2003. Pendugaan Potensi Produksi Tanaman yang Ditanam dengan Pohon Bungur (Lagerstroemia pada Sistem Agroforestri di Lodoyo Barat, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).
Sastradihardja. S. 2011. Sukses Bertanam Sayuran secara Organik. Penerbit Angkasa. Bandung. Setyonining, A.R. 2003. Potensi Produksi Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogaenae L) yang Ditanam dengan Pohon Jati (Tectono grandis L) pada Sistem Agroforestri di Kalipare, Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Sinaga, M. dan I. Rachmawati. 1997. Jenis Pohon Lokal yang Mempunyai Fungsi Ganda dalam Pengembangan Wanatani. Aisula 1(3}. Siregar, I.Z. dan 0. Mardiningsih. 2009. Natural Regenaration Of Damar (Agathis Loranthifolia) In Agroforestry And Pure Stands At Gunung Walat Educational Forest. Restoration of Degraded Forest Throught Establisment of Sustainable Agrosystem with Hight Ecologi dan Economic Values Using People[]s Participation in Gunung Walat; Technical Report Volume 2/2009; IPB dan Akecu. Bogor. Siregar, I.Z., S.R.W. Budi R, A. Sukendro, N. Wijayanto dan Supriyanto. 2009. Increasing Plant Crop Diversity in Agroforestry Models at Gunung Walat Educational Forest. Technical Report Volume 4/2009. Siregar, T.H.S., S. Riyadi dan L. Nuraeni, 2010. Budidaya Cokelat. Penebar Swadaya. Jakarta. Soedradjad, R dan I. Sadiman. 2003. Optimalisasi Potensi Lahan Hutan Produksi Melalui Sistem Tumpangsari Tanaman Hutan dan Kedelai di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Pelatihan Dosen PTN/S Se-lndonesia: Wirausaha Agroforestri Gaharu dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat tanggal 25 Juni - 4 Juli 2003. Universitas Mataram. Mataram. Soekotjo. 2004 Silvikultur Hutan Tanaman: Prinsip-prinsip Dasar. Buku Pembangunan Hutan tanaman Acacia mangium. PT. Musi hutan Persada. Palembang. Sudomo, A. 2007. Pengaruh Tanah Pasir Berlempung Terhadap Pertumbuhan Agrofrestri Sengon + Nilam. Jurnal Pemuliaan Tanar:nan Hutan 1{2). Suharti, S. 2007. Pola Pemanfaatan La han Dengan Aneka Usaha Kehutanan {AUK) di Jawa Barat : Studi Kasus di KPH Sumedang, Cianjur dan Sukabumi. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam 4(3). Sukendro, A. dan P. Pamungkas. 2009. Study on the Use of Organis Fertilizer to Improve Plant Productivities in the Agroforestry System. Technical Report Volume 2/2009. Restoration Of Degraded Forest Throught Establisment Of Sustainable Agrosystem With Hight Ecologi dan Economic Values Using PeopleflJs Participation In Gunung Walat. lndonesia.IPB dan Akecu. Bogar. Sumarhani. 2004. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat: Sebagai Solusi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Di KPH Ciamis, KPH Sumedang, dan KPH Tasikmalaya). Presiding Ekspose Penerapan Hasil litbang Hutan dan Konservasi Alam. Him. 91-100. P3H&KA. Bogor.
Q>Sl~
Sumarhani. 2005 Uji Coba Padi Gogo (Oriza sativa} Tahan· Naungan dengan Sistem Wanatani di Bawah Tegakan Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis) di BKHP Jambang Kulon Jawa Barat. Jurnal P~nelitian Hutan dan Konservasi Alam 2(3). Sumarhani. 2009. Rehabilitasi dengan Sistem Agroforestry pada Blok Pemanfaatan Kawasan Taman Wisata Alam Gunung Selok. Prosiding Penelitian-Penelitian Agroforestry di Indonesia Tahun 2006-2009. Universitas Lampung (UnilaL The Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE) dan The Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung. Sundawati, L. 2001. Sistem Kebun dayak di Kalimantan : An Agroforestry Model · (sistem Kebun suku dayak di Kalimantan Barat : suatu model agroforestry . Jurnal Manajemen Hutan Tropika 1 (1): 33-41. Surata. I. K, 1993. Amarasi System : Agroforestry Model. In The Savana Of Timor Island Indonesia ( Sistem Amarasi r ~~del Agroforestry Di LBhan Savana Pulau Timor, Indonesia). Majalah Savana 1993 dalam Pusat Dokumentasi dan lnformasi Manggala Wanabakti, No2 2001. Abstrak Hutan dan Kehutanan. Jakarta. Suryanto, P., M.S. Sabarnurdin, W.B. Aryono, dan F. Wiryamarta. 2009. Fallow Model in Agroforestry Systems. Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009. Him. 99-103. Universitas Lampung (Unila)The Southeast Asian Network for Agrofo"restry Education (SEANAFE)-The Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung Sutrisno, N., Sudirman dan H. Suwardjo. 1993. Penerapan Usaha Tani Konservasi dengan Sistem Agroforestry Terhadap perbaikan Produktivitas Tanah Daerah Perladangan. Prosiding Loka Karya Nasional Agroforestry tanggal 2426 Agustus 1993. P3HKA dan APAN (asia-Pacific Agroforestry Network (APAN). Bogor. Syafrudin S., M. Junus; A.R. Kalu. 1989. Pengaruh Penanaman Berbagai Jenis Tanaman Penutup Tanah terhadap Pertumbuhan Anakan Kopi Robusta (Coffea canephora L.) pada Sistem Tumpangsari di Lapang. Skripsi. Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar. (tidak diterbitkan). Triadiati, S. Tjitrosoemito, E. Guharja, Sudarsono, I. Qayim, dan C. Leuschner. 2007. Resorpsi dan Efisiensi Nitrogen dalam Sistem Agroforestri Coklat di Sulawesi Selatan. Jurnal Bioscience Hayati : 127-132. Tridadi. 2008. Fungsi Beberapa Komponen Agroforestry di Hutan Alam dan Sistem Agroforestry Kakao di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogar. (tidak diterbitkan). Trimanto, V. 2003. Pendugaan Potensi Produksi Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) yang Ditanam dengan Pohon Jati (Tectona grandis L) pada Sistem Agroforestri di Lodoyo, Blitar. Skripsi. Fakul.tas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).
Wahyudi and N. Mindawati. 2009. Monoculture Versus Agroforestry System on Plantation Forest Management. Prosidings lnternasional Seminar. Research on Plantation Forest Management Challenges and Oppurtunities tanggal 5-6 November 2009 di Bogar. Centre For Plantation Forest Research and Development. Bogar. Wahyudi, A. dan Suhartati. 2010. Agroforestry Tanaman Gaharu atau Meranti dengan Kelapa Sawit; Puslitbang Konser; Presiding lliPeran Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dalam lmplementasi Roundtable on Sustainable Palm Oil tanggal4-5 November 2010 di Pekanbaru. Bogar Wardojo, 1998. Adaptasi Tanaman Buah dan Leguminosa pada Lahan L9haran d.i Lereng Gunung Merapi (Jawa Tengah). Buletin Teknologi Pengelolaan DAS 4(3): 46-58. Widiarti, A. 1986. Percobaan Penanaman Khaya anthoteca dengan Sistem Tumpangsari. Buletin Penelitian Hutan 481: 27-52. Widyati. E., R.S.B. lrianto dan M.H.L Tata. 2010. Ameliorasi Tanah Gambut melalui Kegiatan Agrofrestry. Tekno Hutan Tanaman 3(3). Wijayanto. N. 2007. Studi Pengaruh Pola Agroforestri Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jati (Tectono grandis L.F). Jurnal Manajemen Hutan 8{2): 100-108. Winarti, S., M.R. Lambung, dan Rirawa. 1994. Kajian terhadap Pola Tanam Agroforestri sebagai Upaya Memperkenalkan Pertanian Menetap Lahan Kering di Desa Tumbang Sumba Kab. Kotawaringin Timur, Kalteng. Universitas Palangka Raya. Palangkaraya. Wirastato. 1999. Peranan Cacing Tanah dan Perakaran Tanaman Pagar terhadap Porositas Tanah pada Sistem Budidaya Pagar. Skripsi. Jurusan Tanah, Univ Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Wirawati, I. 2003. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. {tidak diterbitkan). Wiro, A. 2005. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pola Agroforestry: Kasus di Kecamatan Tondon Nanggaia, Tana Toraja. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB Bogar. (tidak diterbitkan). Wiyono. 2002. Perubahan Praktek Pola Tanam Petani di Wilayah Desa Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, DIY. Presiding Seminar Nasional Agroforestry: Peranan Strategis Agroforestry dalam pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Lestari dan Terpadu bulan Sepetember 2002 di Yogyakarta. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Yamika, W. S. D. 2003. Pendugaan Potensi Hasil Tanaman Jagung (Zea may L) pada Sistem Agroforestri dengan Pohon Jati (Tectono grandis L) di Kalipare, Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan).
~s3~
Yuliana, D. 2003. Pendugaan Potensi Produksi Tanaman-?adi Sa wah {Oryza sativa) yang.Ditanam di antara Tegakan Pohon Jati (Tectona grandis L) pada Sistem Agroforestri di Lodoyo, Blitar. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Yuliansyah, D. Syukur, dan Ngatiman. 1998. Kemungkinan Pembudayaan Lebah dalam Menunjang Agroforestri Masyarakat di Pedesaan di Kaltim. Prosiding Agroforestri untuk Pembangunan Daerah di Kaltim. Him. 267-282.
r.:.e54~
IlL Dll
Aspek lingkungan merupakan salah satu komporien yang mempengaruhi agroforestri melaiui interaksi antara kondisi fisik mencakup keadaan sumber daya alam beruiJ:a tanah, air; energi surya dan mineral dengan makhluk hid up yang mencakup flora, dan mikroorganisme. Aktivitas agroforestri sendiri juga memberikan dampak terhadap lingkungan baik positif maupun negatif. Beberapa hasil penelitian yang terkait dengar: aspek lingkungan adalah dampak agroforestri terhadap lingkungan serta dinamika pemanfaatan ruang.
Dampak Penggunaan lahan berubah di Tenggara, dari hutan menjadi sistem dengan tutupan berbagai jenis (Verbist et a/., 2004). Dimana kondisi ekonomi dan ekologi mendukung .·~~::rta dibutuhkannya produk, tegakan berbagai pepohonan dan keanekaragaman fungsi kunci untuk mengembangkan agroforest(i (Reijntjes et al., satu sistem penggunaan lahan 1 agroforestri memberikan tawaran yang cukup menjanjikan bagi pemulihan fungsi hutan yang hilang setelah dialih-gunakan. Namun tidak semua fungsi yang hilang itu dapat dipulihkan melalui penerapan agroforestri. Bahkan penerapan sistem agrof9restri mungkin mengakibatkan dampak yang negatif (Widianto et.al., 2003). Hasil-hasil penelitian terkait dengan dampak agroforestri terhadap lingkungan antara lain dampak agroforestri terhadap sifat fisik tanah, seresah, unsur hara, siklus air, karbon, keamekaragaman hayati, konservasi tanah dan air serta rehabilitasi.
1. Dampak Agroforestri terhadap Tanah merupakan suatu sistem yang sangat kompleks yang dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu fisik, kimiawi dan biologis. Tanah merupakan media yang baik bagi perakaran tanaman, sebagai gudang unsur hara dan sanggup menyediakan air serta udara bagi keperluan tanaman (Nawawi, 2001). Hasil penelitian tentang dampak agroforestri terhadap tanah. meliputi kajian dampak agroforestri terhadap sifat sifik tanah, dampak agroforestri terhadap seresah, dampak agroforestri terhadap unsur hara serta dampak agroforestri terhadap siklus air.
a. Dampak Agroforestri Hasil penelitian tentang dampak agroforestri terhadap sifat fisik tanah disajikan pad a Tabel 10.
~55o!
Tabe/10. Hasil penelitian dampak agroforestri terhadap sifat fisik tanah No.
lokasi
1
Des a Barugae, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maras, Sulawesi Selatan
2
Kecamatan Sei Bingei, Kuala, dan Salapian, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara 3 Dusun Bodong dan l Simpangsar i, Lampung Barat,
Pol a Agroforestri Agrisilvikultur
Agrosilvopast ural
Kebun campuran
Hasil Pola agroforestri di desa tersebut memiliki struktur tanah yang umumnya granuler dengan permeabilitas bervariasi dari rendah sampai agak · rendah, porositas tanah semuanya bail< dan memiliki konsistensi yang tahan terhadap pengolahan. Kedalaman solum berkriteria sedang. Pola agrosilvopastural memberikan dampak positif bagi tanah, biomasa dan karbon tegakan
Adanya pohon penaung dalam agroforestri berbasis kopi dapat berpengaruh langsung · dan tak langsung terhadap kondisi fisik tanah, biomasa/nekromasa, dan
Sumber Rantealang (2003)
Rauf {2001)
Hairiah
et
a/. (2004a)
~--~La_n_,lpu__n~g~~~--------~c_ac_in~g~----------------~--------~
Berdasarkan Tabel 10, tampak bahwa kegiatan agroforestri berpengaruh terhadap sifat fisik tanah. Tingkat produktivitas tanah salah satunya dipengaruhi oleh sifat fisik tanah sehingga pengolahan tanah yang bail< dan teratur dapat meningkatkan kesuburan fisik tanah (Nawawi, 2001}.
b. Dampak Agroforestri Terhadap Seresah Seresah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu sebagai ' lapisan bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahanbahan tumbuhan mati yang tidal< terikat lagi pada tumbuhan. Seresah merupakan bahan organik yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi dan' dapat menghasilkan zat yang penting bagi kehidupan terutama dalam peristiwa rantai makanan (Arif, 2003 dalam Wijiyono, 2009}. Kajian tentang dampak agroforestri terhadap seresah disajikan pada Tabel 11.
ro->56~
Tabelll. No.
t. 1
Kebun Buah Kecamatan Haruai, Kabupaten
2 Barat, Lampung
3
c. bagian dalam
campuran
dan melepaskan hara tersedia ke dalam tanah (Hairiah eta/.,
2003). dampak agroforestri terhadap unsur hara disajikan pada Tabel12.
Tabel12. Hasil penelitian dampak agroforestri terhadap unsur hara No. lokasi Pol a Hasil Agroforestri 1
2
3
Lampung
Mar.gkosuko, Dampit, Malang, Jawa Timur
Daerah tropis
Agrisilvikultur
Pada agroforestri sekuensial, akar dapat meningkatkan dan menangkap unsur hara kemudian mentransfer ke tanaman berikutnya meialui kolam organik. Dalarn sistem agroforestri aka r pohon bersaing sumber daya. Lama penggunaan lahan Agroforestri ~nanaman kopi untuk Berbasis dapat meningkatkan kopi kandungan bahan organik tanah akibat adanya peningkatan prosentase penutupan tajuk tanaman, biomassa pohon dan produksi berat kering akar serta total nekromas Jumlah gizi pada biomassa Agroforestri Jenis Gmelina total per hektar adalah 6778 kg N, 27-33 kg untuk K, dengan 15 hlngga 23 kg untuk Ca, 2 leguminosa: sampa.i 3 kg untuk Mg dan anagyroides Crotalaria (CA), 0,3 kg untuk Fe pad a 4 MAP. Nllai tersebut diharapkan Mucuna perbaikan chochuchinensis mempengaruhi (MC) dan tanah pada hutan tanaman rotasi pendek. caeruleum Caiopogonium (CC)
ro.-58~
Kajian tentang
Sumber Van Noordwijk dan Purnomosidhi
(1995)
Nirmalasari
(2003)
Agus
(2003)
et a/.
Nawawi
gas rumah pengurangan menyimpan karbon tidak sama baik di hutan pohon, rakyat tergantung dari hasil Kehutanan, penyimpan karbon disajikan pada Tabel13.
Tabel13. Potensi agroforestri sebagai penyimpan karbon No.
lokasi
1
Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
2
Kabupaten Lampung Barat
Agroforestri berbasis Damar (Shorea javanica)
3
Pulau Sawu dan Kabupaten Sukabumi
.L;\groforestri
Pol a Agroforestri Agroforestri Dengan tanaman pokok kedawung, trembesi, pakem dan kemiri
Hasil
Sumber
Pola agroforestri dengan tanaman pokok kedawung, trembesi, pakem dan kemiri memberikan potensi mitigasi sebesar 268 ton/C dan NPV sebesar 2458 US/ha dengan menambahkan tanaman buah, potensi mitigasi mengalami peningkatan sebesar ?11 ton/C dengan NPV sebesar 3346 US S/C Potensi karbon tumbuhan bawah dan seresah (kg/ha): lantai hutan yang tidak dibersihkan (1780,11), lantai hutan dibersihkan {1139,81), fase kebun tegakan umur 15th (887,66), umur 7 th (965,84), fase darak (965,84), tumbuhan bawah tidak berkayu {30,54), seresah (14,37) Potensi karbon pada fase repong damar (kg/ha}: tanpa pembersihan tumbuhan bawah (236.273,98L dengan pembersihan t'umbuhan bawah (244.734,24) Potensi karbon pada fase kebun (kg/ha): tegakan 15 th (72.620,67L umur 7 th (32.667,35) Potensi karbon pada darak (kg/ha): tegakan pancang: 1.986 Potensi karbon di P. Sawu dan Kab. Sukabumi berturut-turut 65-116 ton/ ha dan 23-40 ton/ ha
Santo so (2003)
Rizon (2005) dalam Balitbanghut (2010}
Sundawati eta/. (2009)
Tabel di atas menunjukkan bahwa, agroforestri mempunyai potensi yang tinggi untuk mengurangi karbon. Namun jika hutan alam dirubah menjadi agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks seperti di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur maka yang terjadi adalah penurunan cadangan karbon masing-masing sebesar 80% dan 65% (Arifin, 2001).
3. Dampak Agroforestri terhadap Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman antar makhluk hidup dari berb_agai sumber termasuk di antaranya daratan (terrestrial), perairan (marine) dan ekosistem perairan ·lainnya; ini termasuk pula keanekaragaman dalam spesies, antar spesies dan dalam ekosistem (Widianto et a/., 2003). Kegiatan agroforestri berdampak terhadap keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna. Pola agroforestri yang berbeda menunjukkan keanekaraga,man hayati yang berbeda pula seperti hasil penelitian Guison et a/. (2004) di Su.mberjaya, Lampung yang menyebutkan bahwa keanekaragaman hayati pada agroforestri kompleks lebih tinggi dibandingkan pada agroforestri sederhana. Hasil .penelitian Sibuea {1997) di Resort Pahmohan Krui, Lampung Barat Sumatera menemukan sebanyak 7 spesies primata dan 3 famili (lorisidae, cercophitidae, hylobatidae), jumlah yang terekam dari 5 spesies ·sebanyak 203 dalam 1000 ha area penelitian. Hendiyani et. a/. (2004) di kebun buah Desa Gedam.baan, Kabupaten Pulau Laut, Kalimantan Selatan menemukan 29 jenis .atan pertumbuhan yaitu her'ba, tumbuhan berkhasiat obat dalam berbagai tumbuhan menjalar, epifit semai, perdu, tiang dan pohon. Pada petak pengamatan I sebanyak 16 jenis; petak pengamatan II sebanyak 13 jenis; dan petak pengamatan Ill sebanyak13. Nilai indeks kesamaan ditemukan petak I dengan II adalah 65%; petak II dengan petak Ill adalah 55%; dan petak I dengan petak Ill adalah 60%. Manfaat yang diambil dari tumbuhan obat antara lain dari daun, kulit, biji, buah dan batang. Hasil penelitian Waltert et a/. (2004) di Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa kekayaan spesies menurun dari hutan alam dan hutan sekunder muda ke sistem agroforestri dan budidaya tahunan. Komposisi jenis perlahan:-lahan berubah dari hutan sekunder, sistem agroforestri, dan budaya tahunan. Pada sistem agroforestri ditemukan hanya sedikit spesies pemakan buah-nectarivorous. 4. Dampak Agroforestri terhadap Konservasi Tanah dan Air (KTA) Kegiatan agroforestri dengan berbagai bentuk dan pada berbagai kondisi lahan menimbulkan dampak terhadap kondisi tanah dan air. Dampak tersebut dapat berupa peningkatan atau penurunan erosi, limpasan permukaan, laju i'Afiltrasi serta kualitas dan kuantitas air. Upaya konservasi tanah dan air diarahkan untuk mencegah terjadinya erosi dan menjaga debit air. Seta {1991) menyatakan bahwa usaha konservasi tanah dilakukan untuk mencegah kerusakan tanah akibat erosi dan memperbaiki tanah-tanah yang rusak, juga menentukan kelas kemampuan tanah dan tindakan yang diperlukan agar tanah dapat dipergunakan seoptimal mungkin. Lebih lanjut Seta {1991) juga menyatakan bahwa usaha kons~rvasi air dilakukan agar penggunaan air seefisien mungkin dan pengaturan wa~tu aliran sehingga tidak terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Beberapa hasil penelitian dampak agroforestri terhadap KTA disajikan pada Tabel 14.
Tabel14. Dampak agroforestri terhadap KTA No.
lokasi
Pol a Agroforestri Kebun campuran
1
DAS Citarum, Jawa Barat
2
Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat
Agrisilvikultur
3
Sub DAS Lau Biang(Hulu DAS Wampu), Sumatera Utara
Agrisilvikultur
4
Dusun Bodong, Sum berjaya, Lampung
Agroforestri Berbasis kopi
5
Irian Jaya
6
Cianjur, Jawa Barat
Agroforestri Berbasis Casuarina oligodon Agrisilvikultur
HasH
Sumber
Besarnya aliran permukaan dan erosi dari sistem tanam campuran tanpa konservasi tanah dan air memiliki nilai tertinggi, diikuti oleh hutan tanaman Pinus merkusii, dan sistem tanam campuran dengan tihdakan konservasi tanah dan air. Struktur kanopi menjadi faktor penting yang menentukan besarnya erosi. Tingkat erosi termasuk ke dalam kategori tinggi karena tidak adanya teknik konservasi tanah. Rata-rata erosi pada slope 15-25% lebih tinggi dibandingkan pada slope 08% dan 8-15%. Pengalihfungsian lahan menjadi lahan agroforestri berpengaruh terhadap besarnya erosi yang terjadi. Rata-rata yang terjadi menurut metode prediksi USLE sebesar 184,474 ton/ha/thn dan pengukuran erosi dengan metode Petak kecil diperoleh laju erosi 20,418 ton/ha/thn lebih kecil dibandingkan dengan metode USLE. Limpasan permukaan dan hasil sedimen paling sedikit ditemukan di lahan hutan, namun jika hutan ditebang, erosi akan meningkat luar biasa. Pertanaman kopi monokultur ternyata tidak dapat sepenuhnya menggantikan fungsi hidrologi hutan walaupun kopinya sudah berumur 10th. Pol a agroforestri ·berbasis tanaman Casuarina oligodon di terbukti dapat · memperbaiki kesuburan tanah dan mencegah erosi pencemaran air dan eutrofikasi terdeteksi di daerah hilir sebagai akibat kegiatan pertanian pada agroforestri di daerah hulu
Asdak et a/. {2003)
Supriyanto (2009)
Barus {2010)
Widianto et a/. (2001)
Askin (2001)
Sakamoto (2003)
Lanjutan Tabel14. No.
lokasi
7
Des a 'Sumberjaya, Lampung
8
DAS Besai
10
Way
Pol a Agroforestri Agroforestri Berbasis kopi
Agroforestri Berbasis kopi
DAS Sekampung Hulu di Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung
Agrisilvikultur
Dusun Tepus dan Laksana, Lampung
Agroforestri Berbasis kopi
Hasil
Sumber
Limpasan permukaan dan erosi tertinggi terdapat pa.da kopi monokultur yaitu 141,9 mm (limpasan permukaan) dan 272,8 g m-2 (erosi). Sedangkan limpasan dan erosi terendah terdapat pada sistem hutan yaitu 36,9 mm (limpasan permukaan) dan 20,8 g m-2 (erosi). Hal ini menunjukkan bahwa fungsi hutan sebagai lahan konservasi belum dapat digantikan oleh sistem yang lain. Limpasan permukaan dan hasil sedimen paling sedikit terjadi di lahan hutan alam dibandingkan kebun kopi yaitu 27 mm, namun semakin bertambah umur kopi, hasil limpasan permu~aan dan sedimen semakin berkurang. Limpasan permukaan terbesar diperoleh pada petak dengan tanaman kopi berumur 3 tahun (124 mm). Pada tanaman kopi berumur lebih dari 3 tahun terjadi penurunan limpasan permukaan. Sistem agroforestri berpengaruh nyata terhadap · penutupan tajuk dan kedalaman tajuk serta penutupan tanah. Limpasan permukaan dan erosi terendah pada sistem agroforestri satu tahun dijumpai pada sistem akasia monokultur yaitu 41.30 mm (limpasan permu!~aan) d.an 249 g m-2 (erosi}. Pada umur empat tahun . limpasan permukaan dan· erosi terendah dijumpai pada sistem mahoni+ubikayu yaitu 24 mm (limpasan permukaan) dan 85 g m-2 (erosi). Tanaman kopi mampu menekan erosi sampai di bawah tingkat erosi yang diperbolehkan.
lrsyamudana (2003)
~64~
Widianto et a/. (2004)
Maryani (2004)
Dariah et a/. (2004)
Lanjutan Tabel 14. No.
lokasi
Pol a " · Agr UIUit::::lol.ll
Hasil
11
Desa Sumberjaya DAS Way Besai, Lampung
Agroforestri Berbasis kopi
Desa Karang Sakti, Lampung Utara
Agrisilvikultur
Agroforestri Kopi yang kemudian dikembangkan masyarakat ternyata membuktikan tidak membahayakan kelestarian fungsi DAS di Sumberjaya. Erosi terjadi karena teknis pemanfaatan lahan yang tidak mengindahkan aspek konservasi tanah dan air, serta kelerengan. Erosi pada pemanfaatan lahan kering sebesar 15% lebih tinggi dari TSL. Demikian pula dengan erosi di lahan belukar dengan lebih besar 15%. kelerengan Sedangkan erosi pada hutan sekunder yang dikelola · dengan terbukti sistem agroforestri erosinya lebih rendah dari TSL.
12
Sumber Faridan
&
van Noordwijk (2004) Banuwa
et
a/. (2009)
~--~--------~------------~----
Berdasarkan Tabel 14, terjadinya erosi, limpasan permukaan, dan degradasi pada agroforestri disebabkan oleh tidak adanya teknik konservasi tanah dan air serta terjadinya alih fungsi lahan di hulu DAS untuk kegiatan pertanian. Sedangkan penerapan pola agroforestri yang sesuai, akan memberikan dampak positif bagi perbaikan lingkungan.
Peran
Rehabilitasi
Kegiatan rehabilitasi hutan merupakan berbagai kegiatan yang dilakukan di sempadan sungai, kawasan pantai berhutan bakau dan hutan lindung yang bertujuan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan yang telah ru sak agar dapat berfungsi dalam sistem produksi dan terpeliharanya kelestarian jasajasa lingkungan hidup. Upaya tersebut me'ncakup · kegiatan penghijauan, reboisasi, dan konservasi tanah dan air (Bappenas, 1997). Kegiatan rehabilitasi melalui agroforestri terbukti efektif meningkatkan daya dukung lingkungan seperti kegiatan rehabilitasi di DAS Sumberjaya, Lampung, Sumatera dimana setelah fase degradasi hutan, rehabilitasi dapat berjalan sejauh kondisinya mendukung. Dalam 15 tahun terakhir, semakin banyak budidaya kopi yang semula berbentuk sistem monokultur, secara bertahap berubah menjadi budidaya kopi campllran dengan pohon-pohon penaung (Verbist
eta/., 2004). Kegiatan rehabilitasi di Kecamatan Walakaka, Kecamatan Katikutana, Kecamatan Wewewa Timur, dan Kecamatan Wewewa Barat, dengan sistem kaliwu yaitu bentuk pengelolaan lahan masyarakat yang bersifat turun temurun dan terintegrasi di sekitar lokasi perkampungan penduduk dengan mengembangkan berbagai jenis tanaman (kehutanan, pertanian, perkebunan, pakan ternak, dan
tanaman obat) terbukti mampu menunjang tata air dan memiliki keragaman jenis tanaman yang tinggi (Njurumana dan Susila, 2006). Di Kupang, NTI, kegiatan rehabilitasi hutan mangrove membuat beberapa hewan laut seperti ikan, udang, dan kepiting berkembang karena menggunakan mangrove untuk pemijahan dan pembibitan (Njurumana et. a/., 2009). Kegiatan agroforestri berbasis MPTs di Kecamatan lndrapuri, Aceh Besar dapat mengantisipasi Ia han terbuka menjadi kritis lagi (Bukhari, 2009). B. Agroforestri dan Dinamika Pemanfaatan Ruang . 1. Agroforesatri dan Pemanfaatan lahan Lahan merupakan kesatuan berbagai sumberdaya daratan yang saling berinteraksi membentuk sustu sistem struktural dan fungsional. Sifat dan perilaku lahan ditentukan oleh macam sumberdaya dan interaksi yang berlangsung antar sumberdaya (Notohadiprawiro, 1991). Hasil penelitian mengenai lahan disajikan pada Tabel 15. Tabel15. Hasil penelitian mengenai lahan pada agroforestri No.
lokasi
1
Kecamatan Sumberjaya dan Way Tenong, DAS Way Besai, Lampung
2
Bodong Des a dan Simpangsari, Sumberjaya, Lampung Barat, Lampung Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat
3
Hasil
Sumber
Selama 30 tahun telah terjadi perubahan tutupan lahan hutan menjadi perkebunan kopi monokultur, perkampungan, dan sarpras. Secara bertahap kebun kopi monokultur berubah menjadi agroforestri (kopi dan pohon penaung Gamal dan Sengon) dan agroforestri komplek kopi multistrata (kopi, kayu, lada, sayur, obat). Penutupan lahan meningkat dengan bertambahnya umur kopi tujuh tahun dan setelah peningkatan penutupan lahan telah mampu menurunkan berat kering gulma agroforestri kompleks memiliki penutupan lahan vertikal yang paling baik dibandingkan agroforestri sederhana dan hutan monokultur. Sedangkan penutupan lahan horisontal pada agroforestri kompleks dan hutan monokultur memiliki nilai lebih dari 100% dan agroforestri sederhana hanya 35% ..
Verbist et a/. (2004)
Pol a Agroforestri Agroforestri Berbasis kopi
Agroforestri Berbasis kopi
Agrisilvikultur
~66~
Hariyanto (2004)
Maosur dan Mansur dan Siddik (2009)
Lanjutan Tabel 15. No.
4
lokasi NTI
Pol a Agroforestri Agroforestri La han kering
Hasil Agroforestri lahan kering di NTI, dapat menggunakan Jems prioritas yang mampu menambat nitrogen untuk meningkatkan kesuburan tanah
Sumber Harisetijono,
--
1992
Berdasarkan Tabel 3.6, terlihat bahwa dari waktu ke waktu telah terjadi alih fungsi lahan hutan menjadi lahan usaha lain yang menyebabkan degradasi fungsi hutan. Agroforestri merupakan sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih fungsi lahan · tersebut. 2. Penerapan Agroforestri Pekarangan merupakan salah satu ruang terbuka di daerah perdesaan berupa lahan terbatas di sekeliling rumah. Pekarangan merupakan salah satu penerapan sistem agroforestri yang mengintegrasikan antara manusia, ternak dan tumbuhan dalam satu sistem daur ulang. Pekarangan selain mempertahankan stabilitas lingkungan secara berkelanjutan juga memberikan kontribusi ekonomi dengan sedikit input (Octaviansyah, 2000). Hasii penelitian tentang lanskap pekarangan disajikan pada Tabel 16. Tabel16. Hasil penelitian tentang lanskap pekarangan Hasil lokasi No.
1
DAS Citarum, SubDAS Cisokan
2
DAS Cisokan, Kabupaten Cianjur, Jaw a Barat
3
Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Pro go, Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta
Rata-rata luas pekarangan semakin kecil dengan semakin tingginya altitude. Hal ini disebabkan semakin ke atas, topografinya semakin tidak rata. Korelasi positif terjadi antara luas total tapak dengan luas pekarangan. Semakin besar luas total tapak, semakin besar pula luas pekarangan. Kondisi fisik dan topografi mempengaruhi ruang terbuka suatu pekarangan. Pekarangan bentuk blok ditemukan di daerah pegunungan dan perbukitan bagian atas dan tidak beraturan di wilayah datar bagian bawah Terdapat variasi struktur vegetasi antara struktur pekarangan dan tegalan, yaitu pekarangan mempunyai struktur vegetasi yang lebih kompleks dibandingkan dengan tegalan. Potensi lahan di pekarangan dan tegalan dapat dikembangkan dengan diversifikasi lahan, yaitu antara lain dengan penanaman tanaman buahbuahan dan perkebunan seperti durian, nanas, cengkeh dan petaL
i'tF67eiQ!
Sumber Nurjanah
et
a/.
(1999)
Octavia et a/. {2000)
Poernomo {2003)
lanjutanTabef 16. No.
4
lokasi ~'Bogor, Jawa Barat
Hasil Elem~n penyusun pekarangan terdiri at as berbagai jenis tanaman,. kolam, ikan hi as, kandang, jalan setapak, lampu taman, tempat jemuran, pagar, dan perkerasan. Elemen tanaman lebih berfungsi estetika daripada produksi (52-53% tanaman hias).
Sumber Mugnisjah a/. et (2009)
Berdasarkan Tabel 16, luas dan bentuk su~tu pekarangan dipengaruhi oleh topografinya dan memiliki struktur vegetasi yang kompleks. Hal ini mengisyaratkan bahwa karakteristik pekarangan menunjukkan keharmonisan lanskap dan manusia dalam memenuhi kebutuhan pemilik, seperti makanan, energi, dan perlindungan (Mugnisjah et a/., 2009}. Selanjutnya Mugnisjah et al. (2009) juga menyatakan bahwa pekarangan merupakan sistem agroforestri. Sebagai sistem agroforestri, dapat dilihat dari tingginya keragaman struktur tanaman secara horisontal dan vertikal. Untuk mendukung sistem tersebut, elemen yang ada di pekarangan harus diperhatikan. denganbaik sep.~ni .PeruiiLban tanaman, penempat'!n setia_g ele!Tlen, _ dan aspek keberlanjutan.
DAFTARPUSTAKA
Agus, C., 0. Karyanto, S. Hardiwinoto, K. Haibara, S. Kita, dan H. Toda. 2003. Legume Cover .Crop as a Soil Amendment in Sho~t Rotation Plantation of Tropical Forest. Journal of Forest and Environment 45(1): 13-19. Ali, M,. dan H. S. Arifin. 2002. Struktur Lanskap Perdesaan di DAS Cianjur-Cisokan, Citarum Tengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian lnstitut Pertanian Boger. Boger. (tidak diterbitkan). Anwar. 1989. Efektifitas Semak dan Agroforestry di Desa Kadipaten (Sub DAS Citanduy Hulu) dalam Memperkecil Aliran Permukaan dan Erosi. Buletin Penelitian Hutan 51(1): 1-8. Ari~in,
H.S.,,K. Sakamoto and K. Takeuchi. 2001. Study of Rural Landscape Structure Based on Its Different Bioclimatic Conditions in Middle Part of Citarum Watershed, Cianjur District, West Java Indonesia. Proceedings of the 1st Seminar JSPS-DGHE Core University Program in Applied Biosciences lllfoward Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Productionlll tanggal 21-23 Februari 2001 di Tokyo. Him 99-~08. Japan Society for The Promotion of Science. Tokyo.
Arifin, J. 2001. Estimasi Cadangan Karbonpada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Kecamatan Nganta.ng. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang~ (tidak diterbitkan).
&.-68""'ii
Asdak, C., K. Takeuchi and T. Tainura. 2003 Land Use Change and Its Impact on Run-off and Erosion in the Upper Citarum Watershed, West Java, Indonesia. Proceeding of the 2nd Seminar of Toward Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production tanggal 15-16 Februari 2003 di Tokyo. JSPS-DGHE Core University Program. Tokyo. Askin, D. C. 2001. Use Casuarina Oligondon subsp. Abbreviata in Agroforestry in The North Baliem Valley, Irian Jaya, Indonesia. Casuarina Research and utilization. Abstrak Hutan dan Kehutanan. No 2 Agroforestry-3. Him. 213219. Pusdokinfo & Museum Taman Hutan Manggala Wanabakti. Jakarta. Badan Litbang Kehutanan. 2010. Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman . di Indonesia .. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan lklim dan Kebijakan. Bogor. . Banuwa, I.S. 2009. Efektivitas Hutan dalam Menekan Erosi di DAS Sekampung Hul~ Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009. Universitas Lampung (Unila)-The Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE)-The Indonesia Network for Agroforestry Education · (INAFE). Bandar Lampung. Bappenas. 1997. Lingkungan Hidup, Penataan Ruang dan Pertanahan. http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6459/. Diakses tanggal 15 Juli 2011. Barus, H. P. 2001. Kajian Tingkat Bahaya Erosi pada Penggunaan Lahan Tanaman Agroforestry di Sub DAS Lau Biang (Kawasan Hulu DAS Wampu}. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. (tidak diterbitkan). Bukhari. 2009. Desain Agroforestry pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan lndrapuri, Aceh Besar). Tesis. Sekolah Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogar (IPB). Bogar. (tidak diterbitkan). Dariah, A., F. Agus, S. Arsyad, Sudarsono, dan Maswar. 2004. Erosi dan Aliran Permukaan pada Lahan Pertanian Berbasis Tanaman Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. Agrivita 26(1): 52-60. Faisal, M. E., M. Aryadi dan A. Yamani. 2002. Produksi dan Kandungan Hara Seresah pada Tegakan Kebun Buah di Kecamatan Haruai Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. (tidak diterbitkan). Faridan dan M. van Noordwijk. 2004. Analisis Debit Sungai Akibat Alih Guna Lahan dan Aplikasi Model GENRIVER pada DAS Way Besai, Sumberjaya. Agrivita 26(1): 39-47. Guison, A. N., N. Liswanti, S. Budidarsono, M. van Noordwijk dan T. P. Thmich. 2004 Impact of Cropping Methods on Biodiversity in Coffee Agroecosystems in Sumatra, Indonesia. Ecology & Society 9(2): 7.
69
Hairiah, K., S. R. Utami, B. Lusiana dan M. van Noordwijk. 2002. Neraca Hara dan Karbon dalam Sistem Agroforestri. Dalam: Hairiah K, Widianto dan Lusiana B (eds). :2002. WaNuLCAS Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. World Agrofo_restry Centre (ICRAF). Bogor. Hairiah, K. D. Sup'rayogo, Widianto, Berlian, E. Suhara, A. Mardiastuning, R.H. Widodoc, C. Pray~go, dan S. Rahayu. 2004~ Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Laha_n Agrofore'Stri Berbasis K~~'Jpi: Ketebalan Seresqh, Populasi Cacing Tanah, .)
f
\
dan Makroskopis Taoah. Agrivita 26(1): 68-80. Hairiah, K., C. Sugiarto, S.R. Utami, P. Purnomosidhi; J.M. Roshetk9. 2004. Diagf'1osis Faktor Penghambat Pertumbuhan Akar Sengon raserianthes falcataria L. Nielsen) pada Ultisol·di Lampung Utara. Agrivita
(1): 89-98.
Hairiah, K. dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre, ICRAF. Bogor. Hanum, S.F. dan H.S. Arifin. 2002. Struktur Lanskap Perdesaan di DAS ~isadane Belgian Atas Kab~paten Bogor (Studi Kasus Desa Sukajadi, Kecamatan Taman Sari). Jurnalllmiah Pertanian Gakuryoku 8(2): 107-112. Harisetijono ..1992. Strategi dan Perke.mbangan Penelitian AF La han Kering di .NTI. Prosiding Seminar Nasion~l Status Silvikultur di Indonesia Saat lni. Him. 799-
814. Hendiyani,
1.y.,
M; Aryadi, dan S.B. Peran. 2004. lnventarisasi Jenis dan Man.faat
Tumbuhan Obat di Kebun Buah D.esa Gedamba·an, Kabupaten Pulau Laut Kalimantan Selatan._ Skripsi. Fakultas Kehutanan
Universitas
Lambung
Mangkurat. Banjarbaru. (tidak diterbitkan). lndriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. lrsyamudana, E. 2003. Dampak Kepadatan Penutupan Tanah dan Ketebalan Seresah terhadap Limpasan Permukaan dan Erosi di Sumberjaya, Lampung. Skripsi.
Fakultas
Pertanian
Universitas
Brawijaya.
Malang.
(tidak
diterbitkan). Kaswanto, H S Arifin, A Munandar and K Liyama. 2004. Water Quality Performance from the Upperstream to the Downstream in Cianjur Watershed. Makalah International Seminar llJTowards Rural and Urban Sustainable Communities: Restructuring Human l1l Nature lnteractionlZJ di Bandung. Kaswanto. 2006. Pemulihan Ekonomi melalui Pengelolaan Lanskap Pedesaan. Radar Bogor edisi 6 Maret 2006. Khasanah, N. 2008. Potensial Air Daun dan Efisiensi Penggunaan Cahaya dalam Sistem Karet (Hevea Brasiliensis) Monokultur dan Karet Campuran dengan Akasia (Acacia mangium). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. (tidak diterbitkan).
Klein, A.M., I. Steffan-Dewenter and T. Tscharntke. 2003a. Bee pollination and fruit set of Coffea arabica and C. canephora {Rubiaceae). American Journal of Botany 90: 153-157. Klein, A. M., I. Steffan-Dewenter, and T.Tscharntke. 2003b. Pollination of Coffea Canephora In Relation to Local and Regional Agroforestry Management. Journal of Applied Ecology 40: 837. Klein, A.M., I. Steffan-Dewenter and T. Tscharntke. 2004. Foraging Trip Duration and Density of Megachilid Bees, Eumenid Wasps and Pompilid Wasps in Tropical Agroforestry Systems. Journal of Animal Ecology 73: 517-525. Lisdiyanta, T. 2004. Peran Serta Masyarakat Hulu dalam Membangun Mekanisme Hubungan Hulu Hilir Pengelolaan DAS (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Propinsi Banten). Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. {tidak diterbitkan). Liverdi, L. 2008. Lebah Polinator Utama pada Tanaman Hortikultura. lptek Hortikultura 4. Mansur, I dan B. Siddik. 2009. Horisonta~ and Vertical Land Cover Profile of Agroforestry System in Gunung Walat Ecucational Forest, Indonesia. Technical Report Volume 2. IPB. Bogar. Maryani, S. 2004. Studi Peranan Penutupan Lahan dalam Mengurangi Limpasan Permukaan dan Erosi pada Berbagai Sistem Agroforestri. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Mugnisjah, W.Q. Nurfaida, dan P. Pujowati. 2009. Evaluasi Pekarangan sebagai Sistem Agroforestri dan Permakultura. Presiding Penelitian-Penelitian Agroforestry di Indonesia Tahun 2006-2009. Universitas Lampung (Unila)The Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE)-The Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung. Nawawi G. 2001. Fungsi dan Manfaat Tanah dan Pupuk. Departemen Pendidikan Nasional. Proyek Pengembangan Sistem dan Standar Pengelolaan SMK Direktorat· Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta. Nirmalasari, D. 2003. Pengaruh Lama Penanaman Kopi terhadap Sifat Fisik Tanah di Perkebunan Komi Mangkosuko Dampit, Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. (tidak diterbitkan). Njurumana, G.N.D. dan I.W.W. Susila. 2006. Rehabilitasi Lahan Kritis melalui Pengembangan Hutan Rakyat Berbasis Sistem Kaliwu di Pulau Sumba. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 3(1): 19-30. Njurumana, G.N.D., E. Pudjiono dan Soenarno. 2009. Mangrove Forest Rehabilitations Through Silvofishery. Procedings lnternasional Seminar Research on Plantation Forest Management Challenges and Oppurtunities tanggal 5-6 November 2009 di Bogar. Him. 417:421. Centre for Plantation Forest Research and Development. Bogar. ·
~t~e71~
Notohadiprawiro T. 1991. Kemampuan dan Kesesuaian Lahan: Pengertian dan Penetapannya. Makalah dalam Lokakarya Neraca Sumberdaya Alam NAsional. DRN Kelompok 11-BAKOSURTANAL tanggal 7-9 Januari 1991 di Bogor. Nurjanah, S., H.S. Arifin, dan N.H.S. Arifin. 1999. Struktur dan Pola Pekarangan Khas Perdesaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Sub-DAS Cisokan, CianjurJawa Barat. Skripsi. 'Program Studi Arsitektur Lanskap IPB. Bogar. (tidak diterbitkan). Octavia, M.H., H. S. Arifin, A. Munandar, dan K. Takeuchi. 2000. Landscape Ecology of Typical Rural Home Gardens in Cisokan Watershed, Cianjur District, West Java. Proceeding of Annual Worksop Ill RUBRD UT/IPB tanggal 12 December 2000. Octaviansyah, M. H. 2000. Ekologi Lanskap Pekarangan Khas Perdesaan di Das Cianjur, Jawa Barat. Tesis. Lanskap Arsitektur IPB. Bogar. (tidak diterbitkan) Poernomo, D. H. 2003. Praktek Agroforestn di Samigaluh, Kulon Progo Daerah lstimewa Yogyakarta. Presiding Seminar Nasional Peranan Strategis Agroforestri dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Lestari dan Terpadu tanggal 1-2 November 2002 di Yogyakarta. Him. 167-172. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). Yogyakarta. Rantealang, M., A. Umar, dan S. Millang. 2003. Analisis Sifat Fisik Tanah pada Beberapa Pola Agroforestri di Desa Barugae Kecamatan Mallawa Kabupaten Maras. Skripsi. Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar. (tidak diterbitkan). Rauf, A. 2001. Kajian Sistem dan Optimalisasi Penggunaan Lahan Agroforestry di Kawasan Penyangga TNGL, Langkat, Sumatera Utara. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogar. (tidak diterbitkan). Sakamoto, K. 2003. Landscape-Ecological Studies on Sustainable Bioresources Management Systems in Rural Areas of West Java, Indonesia. Proceeding of the 2nd Seminar of Toward Harmonization Between Developrpent and Environmental Conservation in Biological Production tanggal 15-16 Februari 2003 di Tokyo. JSPS-DGHE Core University Program.. Tokyo. Santoso, E. H. 2003. Analisis Potensi Agroforestri untuk Peningkatan Rosot Karbon. Skripsi. Fakultas MIPA IPB. Bogar. (tidak diterbitkan). Seta, A. K. 1991. Konservasi Sumberdaya Tanah dan Air. Kalam Mulia. Jakarta. Sibuea, T.T.H. 1997. Populasi dan Distribusi Primata dalam Kebun Damar di Resort Pahmohan, Krui, Lampung Barat Sumatera. Biota 2{2): 88-95. Sitompul, S.M. 2003. Radiasi dalam Sistem Agroforestri. World Agroforestry Centre {ICRAF). Bogar. Sulistyani H. 2004. Kecepatan Dekomposisi pada Sistem Hutan dan Sistem Agroforestri Berbasis Kopi di Daerah Berlereng di Sumberjaya, Lampung
Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Sundawati, L. dalam Bintoro, A., Budiadi, B. Sulistiyawan, C. Wulandari, L. Sundawati, N. Wijayanto, R. Qurniati. 2009. Potensi Agroforestri dalam Penyerapan Karbon untuk Mengatasi Perubahan lklim Global. Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009. Universitas Lampung (Unila)-The Southeast Asian Network For Agroforestry Education (SEANAFE)-The Indonesia Network For Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung. Suprayogo, D., Widianto, B. Lusiana dan M. van Noordwijk. 2002. Neraca Air dalam Sistem Agroforestri. Dalam: Hairiah K, Widianto dan Lusiana B (eds). 2002. WaNuLCAS Model Simulasi untuk Sistem Agroforestri. World Agroforestry Centre, ICRAF. Bogar. Supriyanto. 2009. Monitoring of Erosion Plots in Several Agroforestry Sites with Respects to Different Slopes and Vegetation Composition at Gunung Walat Educational Forest. Technical Report Volume 2. IPB. Boger. Supriyatna, U. 2011. Bentang Lahan (Landscape). Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Sutaryo D. 2009. Penghitungan Biomassa. Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Wetlands International Indonesia Programme. Tsuzuki, T., K. Sakamoto, H.S. Arifin, K. Sakaida and K. Takeuchi. 2001. Study of Rural Landscape Structure Based on Its Different Bioclimatic Conditions in Middle Part of Citarum Watershed, Cianjur District, West Java Indonesia. Proceedings of the 1st Seminar JSPS-DGHE Core University Program in Applied Biosciences rm-oward Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Productionlll tanggal 21-23 Februari 2001 di Tokyo. Him 99-108. Japan Society for The Promotion of Science. Tokyo. Van Noordwijk, M. dan P. Purnomosidhi. 1995. Root Architecture in Relation to Tree-Soil-Crop Interactions and Shoot Pruning in Aghroforestry. Agroforestry Systems 30: 161-173. Verbist, B., A.E. Putra, S. Budidarsono. 2004. Penyebab Alih Guna Lahan dan Aklbatnya terhadap Fungsi Daerah Aliran Sungai {DAS) pada Lanskap AF Berbasis Kepi di Sumatera. Agrivita 26(1}:29-38. Wahyu P. 2003. lntersepsi Air Hujan Pada Tanaman Kopi di Perkebunan Margosuko Dampit, Malang. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak diterbitkan). Waltert, M., A.Mardiastuti dan M. Muhlenberg. 2004. Effects of Land Use on Bird Species Richness in Sulawesi, Indonesia. Conservation Biology 18: 13391346.
Widianto, D., Suprayogo, H. Noveras, R. H. Widodo, P. Purnomosidhi. 2004. Konversi Hutan menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi Hidrologis Hutan dapat Digantikan Sistem Kopi Monokultur?. Agrivita 26 (1}: 98-107. Widianto, K. Hairiah, D. Suharjito dan M.A. Sardjono. 2003. Fungsi dan Peran Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Wijiyono. 2009. Keanekaragaman Bakteri Seresah Daun Avicentia marina yang Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas di Teluk Tepian Nauli. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. (tidak diterbitkan).
~74~
II
perkembangan riset agroforestri di cukup dinamis mengikuti dinamika sosial. Dinamika turut mempengaruhi
Kearifan menyatu
penduduk lindung masyarakat untuk
keanekaragaman tentang karen a
yang sudah demikian serta diekspresikan di lama (Noor dan mencerminkan
pengelolaan zona antara pengelola · sumber daya. 300.000 jiwa kawasan dilakukan terhadap Nasional melalui (Cinnamomum bprmani). masyarakat setempat tentang ilmuwan naturalis. Konsepsi petani antara hutan, mata air, dan sawah, pemenuhan kebutuhan lahan pertanian di taman dikembangkan untuk Semerap pada tanah produktif pada lahan memastikan pembaruan ekologi
pada semak belukar menyesuaikan dengan dengan keseluruhan sistem agroforestri dianggap berharga oleh konservasionis lahan oleh Suku lban memiliki latar belakang penting bagi tujuan ekonomi mempromosikan meningkatkan keanekaragaman hayati.
Sistem Amarasi di Penerapan pola agroforestri berbasis tanaman mengatasi kendala biofisik di pendapatan masyarakat. produktivitas lahan merupakan sistem perladangan tahun) dan dilakukan pada lahan padat lamtoro. lahan yang diperlukan bagi pengembangan terbagi menjadi 3 blok pengusahaan Sistem pengusahaan setiap blok selama berkembangnya 3 ekor sapi pedaging mencukupi /KK. keluarga dengan anggota 4-5
masyarakat yang memberikan keuntungan ekonomi, Provinsi Maluku. Salampessy (2010) menyatakan memperlihatkan kecenderungan individu yang sayuran. komersial untuk buah-buahan dan subsisten sebagai sistem pemanfaatan iahan dinilai tidak .-.n ..... ,,....,,..,.. hal ini berkaitan produk~ivitas, keberlanjutan, ekuiti dan kelembagaan berupa kejelasan hak terkait kepemilikan, pengelolaan, tersedianya aturan, serta dihormatinya aturan main yang disepakati bersama.
Agroforestri dengan Kilu Masyarakat Papua di Lembah Baliem utara di Casuarina Jayawijaya menerapkan praktik agroforestri dengan menggunakan 0/igodon subsp. Abrreviata yang dikenal dengan sebutan .Kilu. Kilu banyak tumbuh di hutan di Kabupaten Jayawijaya dengan ketinggian ± m dpl. Kilu memiliki banyak manfaat terutama untuk memperbaiki tanah dan bangunan, pembuatan erosi. Selain itu kayu kilu dapat dimanfaatkan untuk kilu rumah tradisional, dan pagar. Limbah dari pengolahan gergaji, ranting-ranting/ dan daun belum banyak Latupapua, 1993). Masyarakat Dani, sebagai penduduk utama daerah tersebut biasa menanam Kilu di kebun-kebun baru. Limbah dari kayu merupakan limbah kayu yang utama di Irian Jaya (Askin eta/., 2001).
B. Faktor
1. Persepsi, Motivasi, dan
Sosial
Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-.masukan informasi untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Persepsi masyarakat tentang sistem agroforestri akan mempengaruhi masyarakat dalam pengelolaan lahan yang dikelolanya. Persepsi ini terbentuk dari pengetahuan yang dimiliki petani yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Mulyoutami et a/. (2004) menyatakan bahwa petani Sumberjaya, Lampung memiliki pemahaman (pengetahuan lokal) mengenai proses ekologi yang berkaitan dengan erosi dan pengelolaan lahan pertanian berbasis kopi pada level plot (lahan sendiri). Pengetahuan tersebut diwujudkan dengan m€1akukan teknik konservasi berupa sistem lubang angin, sistem teras, gulud siring, strip dengan tanaman penutup dan dengan pohon pelindung. Dalam masih menghadapi keterbatasan modal dan tenaga pelaksanaan konservasi, kerja. Penerapan agroforestri di lahan berbasis kopi ditandai dengan penanaman tanaman buah, kayu dan legum multi guna sebagai tanaman pelindung. Sebagian petani menganggap tanaman pelindu.ng memiliki manfaat bagi konservasi tanah, nienaungi kopi, menjaga tanah dari hujan, menjaga suhu, menambah kandungan hara, dan memberi penghasilan tambahan. Petani di daerah hulu lebih banyak menerapkan pengetahuan/inovasi ekologi karena tinggal di daerah yang berupa dataran tinggi daripada petani di daerah hilir. Lebih lanjut menurut Mulyoutami et a/. {2004), petani Suku Jawa dan Sunda yang tinggal di dataran tinggi lebih unggul dalam sistem intensifikasi lahan karena keterbatasan lahan yang dimiliki daripada petani Suku Semendo (asli Sumatera Selatan) yang merupakan penduduk pelopor. Persepsi yang positif tampak pada petani yang mengelola hutan rakyat dengan pola wanafarma (wanatani tanaman kayu dan tanaman obat-obatan) di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah (Widyaningsih et a/., 2006). Persepsi positif tersebut mempengaruhi sikap petani terhadap hutan rakyat, upaya rehabilitasi lahan, dan sikapnya terhadap tanaman obat, yang secara umum tidak dipengaruhi oleh karakteristik respondem baik berupa usia, pendidikan, tanggungan keluarga, pengalaman usaha tani, dan jenis pekerjaan. Persepsi seseorang tentang sesuatu akan mempengaruhi motivasinya, termasuk dalam melakukan pengelolaan lahan. Petani mengelola lahan dengan pola agroforestri karena %didorong motivasi ekonomi, ekologi, dan sosial budaya sebagaimana tertera pada Tabel17.
me79~
Tabel17. Motivasi petani mengelola lahan dengan pola agroforestri .Komoditi Hasil penelitian . No. lokasi 1
Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu
kayu bawang (Disoxylum molliscimum Bl)
a. Penanaman kayu bawang didorong motivasi ekonomi seperti orientasi komersial dan cadangan konsumsi kayu untuk masa yang akan datang, merasa puas dengan bisnis kayu saat ini, dan melanjutkan pemeliharaan pohon. b. Motivasi yang untuk menanam pohon, ditunjukkan dengan usaha mengelola lahan dengan ukuran yang lebih luas. c. Pendid;! formal yang lebih rendah menyebabkan adanya kecenderungan masyarakat untuk melakukan aktivitas tradisionalnya.
2
Des a Pecoro, Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur
Pekarangan
a. Pengelolaan
b.
pekarangan dipengaruhi motivasi ekonomi, motivasi ekologi, dan motivasi sosial budaya. Tinggi rendahnya motivasi dalam mengelola pekarangan dipengaruhi oleh luas lahan pekarangan, faktor usia, dan tingkat pendidikan.
Sumber Martin dan Febryano (2009)
Pujaningrum dan Wijayanto, 2003
Motivasi masyarakat dalam mengelola ·Ia han termasuk di pekarangan akan terliha_t pada perilaku sosial masyarakat dalam melestarikan sistem agroforestri di pekarangan. Perilaku sosial masyarakat dapat diukur dengan lndeks Pt=nerimaan Sosial (IPS), yang terdiri atas faktor partisipasi, nilai, da·n sikap. Wulandari dan Budiono (2000} menunjukkan bahwa IPS berpengaruh nyata terhadap kelestarian hasil dari pekarangan yang dikelola dengan menggunakan sistem agroforestri. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan di Provinsi Lampung menurut kajian Wulandari dan Budiono (2000) secara keseluruhan mempunyai IPS = 60,52 (sedang), yang meningkat skornya menjadi 65,24 (sedang) (Wulandari, 2005). Lebih lanjut menurut Wulandari (2005), program pembangunan kehutanan harus memperhatikan IPS karena partisipasi, nilai, dan sikap masyarakat yang merupakan penyusun IPS berpengaruh nyata terhadap adopsi agroforestri oleh masyarakat di Provinsi Lampung. Berdasar kajian Budiono (2009}, skor IPS pada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan di Provinsi Lampung secara keseluruhan Hal ini menunjukkan perlunya pelatihan menurun menjadi 63,35 {sedang). terhadap masyarakat untuk memberdayakan diri agar skor IPS-nya meningkat, meskipun dari segi kompetensi masyarakat menunjukkan bahwa perilaku sosial
ro-80~
masyarakat masih berpotensi untuk mengembangkan kelestarian pekarangan melalui sistem agroforestri. Penerimaan sosial menurut Martin et a/. (2010) juga berperan dalam pemanfaatan lahan gambut di Kabupaten Ogan Komerin llir (Sumatera Selatan) dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Jambi) melalui pembangunan HTR berbasis agroforestri. Petani yang memiliki persepsi positif dan motivasi tinggi dalam mengelola lahan dengan sistem agroforestri cenderung memiliki indeks penerimaan sosial (IPS} yang tinggi pula terhadap sistem agroforestri. Menurut Suharjito (2002a), pengembangan sistem agroforestri kebun-talun merupakan wujud strategi adaptasi sosial kultural dan ekologi terhadap perubahan lingkungan, yaknl peningkatan tekanan penduduk dan intervensi ekonomi pasar yang terjadi pada aspek teknis dan organisasi sosialnya. Pada aspek organisasi sosialnya, sistem pengelolaan kebun-talun mengalami perubahan, yaitu pengembangan pola-pola hubungan sosial (social relations) dalam pengelolaan kebun-talun. Pengembangan pola hubungan sosial dalam.pengelolaan kebun-talun berkaitan dengan strategi adaptasi sosial kultural lainnya yang terjadi pada pengaturan alokasi tenaga kerja dan pengembangan mata pencaharian keluarga/rumah tangga. Pengaturan alokasi tenaga kerja keluarga/ rumah tangga dimaksudkan untuk memperoleh akses pada beragam mata pencaharian. Akses pada beragam mata pencaharian dicapai dengan cara membangun hubungan sosial (social relations) dan jaringan sosial (social networks). Pengembangan pola hubungan sosial dan pranata sosial dalam pengelolaan kebun-talun berimplikasi pada penguatan solidaritas sosial antar lapisan· sosial pada tingkat komunitas (Suharjito, 2002a).
2. Pola Adopsi dan Partisipasi Adopsi dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan {psychomotoric) seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan. lnovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi dan praktik baru yang belum banyak diketahui, diterima, digunakan, dan· dilaksanakan oleh sebagian besar warga dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat mendorong terjadinya perubahan di masyarakat (Supriyanto, 2011). Lebih lanjut Supriyanto (2011) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan adopsi di bidang pertanian adalah partisipasi petani dan masyarak,~t. Sumarlin (1991) menyatakan bahwa tingkat partisipasi dan pola adopsi pola agroforestri dalam Program Perhutanan Sosial di RPH Jeblogan, BKPH Clebung, KPH Bojonegoro, Jawa Timur termasuk tinggi. Hal tersebut dipengaruhi adanya tingkat keterikatan para pesanggem terhadap ikatan kontrak pesanggem dengan Perhutani dan juga dipengaruhi oleh tingkat keunggulan relatif program. Tingkat adopsi pola wanatani di RPH Dander, KPH Bojonegoro, menurut Hariyono (2003) termasuk kategori sedang. Tingkat adopsi pola wanatani tersebut dipengaruhi oleh beberapa sub variabel yaitu pemahaman kerjasama, cara bercocok tanam, pemupukan, pemeliharaan, dan panen. Terdapat hubungan positif antara sistem komunikasi dengan tingkat adopsi in·ovasi pola wanatani. Hal
tersebut terkait dengan faktor sumber, pesan, dan saluran yang mempunyai korelasi dengan variabel tingkat adopsi inovasi. Selain itu juga dipengaruhi oleh variabel perilaku petani yang dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan petani itu sendiri. Proses adopsi inovasi agroforestri juga dilakukan oleh petani di Hutan Pendidikan Gunung Walat (Sundawati dan Trison, 2009). Proses adopsi inovasi dipengaruhi oleh faktor keuntungan, kecocokan budaya, dan komunikasi, sedangkan faktor sosial ekonomi da~i petani tidak berpengaruh terhadap proses adopsi. Penelitian di tempat yang sama dilakukan pada tahun 2006-2008 untuk mengetahui tingkat adopsi petani pada pelatihan yang diikuti. Hasil kajian menunjukkan bahwa level adopsi oleh petani masih terbatas pada pengetahuan petani dan belum bisa diaplikasikan di lapangan (Trison eta/., 2009b}. Tingkat adopsi sistem agroforestri juga dipengaruhi oleh adanya insentif pasar. Hal ini terjadi pada tingkat adopsi penanaman pohon melalui sistem agroforestri yang menyebabkan penyebaran agroforestri berbasis buah pada pegunungan di Jawa (Suryanata, 1994). Perk'"::!Y1bangan agroforestri berbasis buah tersebut tergantung pada ketersediaan lahan di masyarakat yang dipengaruhi oleh kome~sialisasi dan perubahan hubungan sosial. Suryanata {1994) menyatakan bahwa strategi penanaman yang diterapkan oleh pengelola sistem agroforestri akan mempengaruhi kepemilikan lahannya. Adanya pengadopsian pol a agroforestri · dalam pengelolaan Ia han oleh masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat telah berpartisipasi dalam mengembangkan sistem agroforestri. Partisipasi adalah keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan yang berbeda, seperti: (a) di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut; (b) pelaksanaan program dan proyek secara sukarela dan pembagian yang merata; dan (c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau suatu proyek (Awang, 1999). Partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam menjaga tanaman kadangkala menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kelestarian sumber daya alam (Soetanto, 1981). Begitu pentingnya peran partisipasi masyarakat dan seluruh stakeholder dalam kesuksesan sebuah program, .sehingga ·identifikasi jenis partisipasi masyarakat harus dimasukkan dalam rencana penge.lolaan suatu DAS (Gunawan eta/., 2003). Partisipasi masyarakat dalam kegiatan agroforestri menurut Winarto {2003) dipengaruhi oleh berbagai faktor internal petani~ aspek kinerja penyuluhan, dan dukungan sistem sosial kelompok. Kemudian menurut kajian Trison eta/. (2009a), partisipasi masyarakat dalam kegiatan agroforestri dipengaruhi oleh faktor internal yaitu pendidikan, tenaga kerja, dan motivasi serta faktor eksternal berupa ketersediaan sarana prasarana, lingkungan fisik yang mendukung, dukungan lembaga sosial, dan koperasi.
3. Pengambilan Keputusan Proses pengelolaan hutan salah satunya dipengaruhi oleh pengambilan keputusan masyarakat pengelolanya. Masyarakat di pesisir Krui, Lampung Barat mengelola hutan yang secara umum terdiri dari ·tiga tahapan, yaitu dimulai dari ladang, kebun, dan repong damar. Proses pengambilan keputusan para petani Krui dalam konteks pengelolaan lahan hutan menurut Lubis {1997) dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, ekologi, sosial, dan budaya. Kesinambungan pengelolaan hutan secara lestari dengan sistem repong damar (damar agroforest} tergantung kepada respon petani Krui terhadap dinamika hubungan antara empat faktor tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pada kasus masyarakat di daerah tangkapan hujan Danau Toba, Sumatra Utara, pengambilan keputusan masyarakat lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi berupa ketersediaan sumber-sumber input (Sipayung, 1998). Pencapaian tujuan masyarakat dalam mengelola lahan menurut Sipayung (1998) terbatas oleh beberapa hambatan seperti pengetahuan, tanah, modal, tenaga kerja, keamanan modal, transportasi, pasar-pasar, serta resiko atau ketidakpastian. Dalam sistem agroforestri tradisional, pemilihan jenis tanaman ditentukan oleh tujuan dari setiap kegiatan pertanian, kepemilikan lahan, dan pemasaran. Petani lahan sempit menggunakan lahan lebih intensif dengan penekanan pada tanaman semusim. Seringkali pelaksanaan program penghijauan kurang memperhatikan keadaan setempat, sehingga diperlukan desentralisasi serta peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluhan untuk dapat meningkatkan hasil. Seperti halnya di Sumatera Utara, faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pemilihan jenis tanaman di kebun talun, yaitu faktor ekonomi (Suharjito, 2002b). Secara lebih spesifik, faktor ekonomi tersebut berupa maksimalnya dan beragamnya hasil tana·man, kemudahan dalam pemeliharaan dan pemasaran, kestabilan harga (orientasi produktivitas), kegunaan untuk konsumsi keluarga dan dipasarkan, serta kontinuitas hasil (harian, bulanan, tahunan). Febryano eta/. (2009) mengemukakan secara lebih detil tentang faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam memilih jenis tanaman dan pola tanam. Pemilihan jenis tanaman dan pola tanam dipengaruhi oleh tujuh alasan yaitu pendapatan tunai, kontinuitas produksi, masa tunggu, kemudahan pemeliharaan dan penebangan, kemudahan setelah proses pemanenan, toleransi terhadap jenis tanaman lain, dan kepastian penguasaan lahan. Wulandari (2010) menyebutkan bahwa untuk kasus di Kabupaten Lampung Barat, lndeks Penerimaan Sosial merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan, selain juga dipengaruhi oleh Agroforestri-Farming lndeks. 4. Analisis Gender Konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maup.un kultural. Ciri dari sifat tersebut dapat dipertukarkan, bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari temp at ke temp at lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang ·lain (Fakih, 1996). Analisis gender dianggap sebagai suatu analisis baru dalam sejarah pemikiran manusia tentang ketidakadilan sosial. Praktik agroforestri di beberapa
~83~
daerah tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki selaku kepala keluarga yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Praktik agroforestri juga dilakukan oleh kaum .perempuan sebagaimana tergambar dalam beberapa penelitian tentang analisis gender. Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan lahan turut memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan rumah tangga (Sajogyo, 1990}. Peningkatan pendapatan dapat dilakukan melalui pengelolaan lahan pekarangan yang dikelola dengan sistem agroforestri (Wulandari, 2001}. Tanah pekarangan terutama yang dikelola dengan sistem agroforestri berpotensi tinggi untuk meningkatkan kesejahteraa.n kehidupan petani gurem dan terpinggirkan. Pemeliharaan pekarangan dilakukan oleh tenaga kerja keluarga, yang sebagian besar melibatkan perempuan (75,09%}. Pengambilan keputusan untuk meningkatkan hasil pekarangan didominasi oleh iaki-laki (suami}, istri hanya memiliki kesempatan untuk menentukan peningkatan jumlah ayam (86,_78%}. lndeks penerimaan sosial perempuan untuk meningkatkan pengetahuan, . pekarangan di Provinsi Lampung keterampilan dan sikap untuk meningkatkan berada pada tingkat sedang (53,25}. Terkait pengelolaan hutan melalui pola agroforestri, secara umum terdapat pembagian peran antara perempuan dan laki-laki, meskipun peran utama masih didominasi oleh laki-laki. Dominasi laki-laki terdapat pada kegiatan penyiapan lahan, penanaman, dan penebangan. Dalam hal peran terkait akses dan kontrol terhadap sumberdaya antara laki-laki dan perempuan, peran laki-laki lebih dominan terkait kredit, teknologi produksi, dan tenaga kerja, sedangkan kaum perempuan memiliki akses terhadap pasar dan harga-harga (Koesoemaningtyas et a/., 2009}. Pembagian peran laki-laki dan perempuan juga terdapat dalam pengelolaan hutan rakyat kemiri (Aieurites moluccana wild) yang merupakan produk agroforestri tradisional NTB (Wahyuningsih dan Latifah, 2010}. Peran petani kupas kemiri laki-laki dan perempuan setara. .Peran perempuan lebih besar pada teknologr pengolahan kemiri, sedangkan peran laki-laki lebih besar pada sumberdaya lahan dan pemasaran termasuk informasi harga. Pada kegiatan wanatani berbasis karet dengan program Rubber Agroforestri System (RAS}, peran perempuan terbagi atas aktivitas produktif, aktivitas reproduktif, dan aktivitas sosial-keagamaan (Roslinda, 2009). Curahan waktu kerja perempuan pada aktivitas produktif terutama berupa penyadapan karet berkisar 459-997 jam/tahun (sedang). Kegiatan lain berupa okulasi karet dan penjualan sayuran. Aktivitas reproduktif meliputi kegiatan rumah tangga dan kegiatan pertanian yang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan l!ang yaitu kegiatan tebas tebang, bakar, perajiran, penanaman karet, pembuatan lubang tanam, pemupukan, dan pembersihan barisan. Perempuan memiliki 100% akses pada sumberdaya fisik yang terdiri dari tanah, ladang, kebun, rumah, pekarangan, modal, dan alat-alat · produksi. Untuk kontrol, perempuan memiliki 93% kontrol pada sumberdaya fisik berupa tanah, ladang, kebun, serta 100% untuk modal dan alat produksi.
ro-.84~
C. Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri di Indonesia
1. Kelembagaan dan Penerapan Kebijakan Terkait Sistem Agroforestri Pengembangan agroforestri harus didukung oleh kelembagaan yang kuat. Salah satu lembaga yang cukup berperan dalam pengelolaan hutan adalah lembaga adat sebagaimana dijumpai pada pengelolaan hutan di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Hadijah, 2000}. Masyarakat di Kabu.paten Tana Toraja yang melakukan pengelolaan hutan di antaranya terdapat di Lembang (Desa} Turunan, Kecamatan Sangalla dan Kecamatan london Nanggala. Hutan rakyat di Lembang Turunan terbentuk secara turun temurun dalam satu kekerabatan untuk mencukupi kebutuhan akan kayu bahan rumah adat tongkonan, lumbung, dan lain-lain. Hutan rakyat yang ada dikelola dengan sistem campuran berupa pola agroforestri tradisional dengan tanaman seperti cemara gunung, aren, uru, buangin, sengon, bambu, durian, cengkeh, kopi, coklat, dan lainlain. Kondisi hutan rakyat di Lembang Turunan masih baik, tetapi dapat berkurang karena kurangnya penana·man kembali, disebabkan masyarakat lebih memilih menanam tanaman perkebunan yang lebih cepat menghasilkan. Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan perubahan lahan dari hutan ke tanaman perkebunan cukup tinggi. Berbeda dengan di Lembang Turunan, hutan di Kecamatan Tondon Nanggala merupakan hutan adat dengan jenis tanaman a,ren, bambu, uru, nibung, nyatoh, agathis, kopi, coklat, durian, mangga, jambu, dan lain-lain. Kondisi hutan adat ini cenderung mengalami kerusakan akibat pembabatan dan kebakaran. Pengelolaan hutan baik di Lembang Turunan maupun Kecamatan london Nanggala dipengaruhi adanya kelembagaan yang berperan yakni kelembagaan adat yang menghuni tongkonan di Lembang Turunan dan pemerintah daerah, LSM, kelom·pok adat, dan kelompok tani di Kecamatan london Nanggala. Untuk mendukung pengelolaan hutan, Kabupaten Tana Toraja sudah mengeluarkan kebijakan terkait kehutahan untuk pemanfaatan kayu dan pengelolaan hutan rakyat, tetapi 'di era otonomi daerah, masyarakat menginginkan agar hutan dikelola secara adat sesuai dengan kearifan lokal yang ada baik mengelola hutan maupun sumber daya alam lainnya seperti air (Hadijah, 2000). Peranaq kelembagaan adat dalam pengelolaan hutan juga dijumpai di Dusun (Negeri) Liang, Salahutu, Maluku Tengah dan Negeri Werilama, Werinama, Seram Bagian Timur (Ibrahim, 2008). Di Negeri Liang dan Negeri Werilama terdapat dua sistem kekerabatan yaitu berdasarkan ma.ta rumah dan kelompok soa, dengan aturan sasi hanya dilaksanakan di Negeri Liang. Hasil dari dusun yang memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan petani adalah cengkeh, sedangkan jenis pohon yang mempunyai lndeks Nilai Penting (INP) paling tinggi adalah durian (Ibrahim, 2008). Sumarhani (2004) mengkaji kelembagaan yang berperan dalam program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). PHBM merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama masyarakat dengan jiwa · berbagi antara PT. PERHUTANI (Persero), masyarakat desa hutan, pihak yang berkepentingan, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan
h>85~
fungsi dan manfaat sumber daya hutn dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Program ini di antaranya .dilaksanakan di Kabupaten Ciamis-RPH Banjarsari, Kabupaten Sumedang-RPHTanjungkerta, dan Kabupaten TasikmalayaRPH Cineam. Pelaksanaan PHBM di RPH Banjarsari KPH Ciamis bertujuan untuk merehabilitasi hutan akibat penjarahan. kayu sejak reformasi, sedangkan di RPH Tanjungkerta KPH Sumedang bertujuan untuk merehabilitasi hutan akibat . pencurian dan kebakaran. PHBM diJakukan pada lahan garapan seluas 0,25 ha dengan jenis tanaman Jati+sengon+tanaman pertanian (padi, jagung, pisang, cabe, kacang) di RPH Banjarsari; pinus+vanili di RPH Tanjungkerta; dan jati+kapulaga di RPH Cineam. Pelaksanaan PHBM selain memberikan pendapatan bagi petani yang berasal dari bagi hasit juga menyebabkan masyarakat terlibat sebagai tenaga, dan modal, serta mitra kerja yang aktif dalam menyumbangkan mampu meredam penjarahan hutan besar-besaran. Secara umum, pola PHBM dengan menerapkan sistem agroforestri merupakan solusi untuk rehabilitasi lahan akibat penebangan liar atau penjarahan melalui strategi kooperatif dengan melibatkan masyarakat secara aktif dan menerapkan prinsip kesetaraan serta keterbukaan dalam pengelolaan sumber daya hutan (Sumarhani, 2004). Pengembangan agroforestri selain· didukung oleh kelembagaan yang kuat, juga harus didukung adanya kebijakan yang jelas dan sesuai kondisi masyarakat. Kebijakan dapat dijadikan sebagai payung hukum dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk pengelolaan hutan dengan sistem agroforestri. Sayangnya penelitian terkait kebijakan masih terbatas dilakukan. Hasil penelitian Noorvitaastri dan Wijayanto (2003} menyatakan bahwa format sistem bagi hasil dalam PHBM dengan sistem agroforestri di Desa Cileuya, Kabupaten Kuningan dengan format 25% (masyarakat) dan 75% (PT Perhutani) lebih layak, adil dan ideal layak daripada format 25% (masyarakat) : 75% (PT Perhutani), sebab BCR masyarakat tidak jauh berbeda dengan PT Perhutani. Penelitian kebijakan lainnya yang pernah dilakukan adalah analisis faktorfaktor yang mendorong perubahan penggunaan Ia han yang berdampak pada fungsi DAS pada sistem agroforestri kopi di Sumber Jaya, Lampung pada tahun 1990 (Bertomeu, 2006) dimana kecenderungan perubahan penggunaan lahan dianalisis menggunakan peta penggunaan lahan (land use) secara ·time se~ies (tahun 1978, 1984, dan 1990), dan interpretasi citra satelit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor kuat penyebab terjadinya deforestasi berasal dari luar sektor kehutanan, yang mana lansekap agroforestri banyak berubah karena adanya pembangunan PLTA. Oleh karena itu diperlukan dukungan kebijakan terhadap rencana tata ruang dan wilayah agar lahan kehutanan tidak banyak dialihfungsikan ke penggunaan yang lain. Terkait alih fungsi penggunaan lahan, Otsuka et a/. (2001) menyatakan bahwa terjadi ketidakamanan hak tanah adat df Sumatera yang mengarah pada ketidakefisienan alokasi sumberdaya. Hak tanah adat di Sumatera berkembang menjadi kepemilikan hak tanah yang lebih besar dikarenakan kelangkaan lahan. Apalagi telah terjadi pergeseran tanah masyarakat menjadi kepemilikan individual ~
rue86~
pada distribusi tanah di Sumatera Barat. Sistem warisan mengalami perkembangan dari sistem matrilineal yang ketat ke sistem yang lebih ega.liter di mana laki-laki dan perempuan memperoleh warisan tanah untuk mengembangkan usahanya (Quisumbing dan Otsuka, 2000).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Agroforestri di Indonesia Penyusunan kebijakan bidang agroforestri di suatu wilayah dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan praktik agroforestri di wilayah tersebut. Beberapa kondisi praktik agroforestri di Indonesia tertera pada Tabel 18. Tabel18. Faktor yang mempengaruhi praktik agroforestri di Indonesia Pol a/ No. lokasi penelitian Sumber komoditi 1 Kalimantan Kondisi: Siahaya Timur agroforestri (1988) - pengembangan menemui banyak kes.ulitan Faktor pendorong: - daya tarik dan tekad tinggi dari petani terhadap agroforestri - tersedianya lahan untuk dimiliki minimal2 ha intensif tentang - penyuluhan agroforestri hutan secara - pengawasan intensif - tersedianya pasar hasil hutan - tersedianya kredit Faktor penghambat: - perubahan penggunaan Ia han menjadi dari pertanian penggunaan lain Apikultur
Faktor pendorong: - tersedia_nya sumberdaya dan lebah madu
Yusliansyah pol a
eta/. (1988)
Lanjutan Tabel 18 No.
lokasi
Pol a/ komoditi Lahan kering
2
NTT
3
Hut an Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat
Ekoturisme agroforestri
4
Pesisir Krui, Liwa, Bandar Lampung
Repong Damar
Hasil penelitian
Sumber
Kondisi: - masyarakat mengalihkan sistem usaha tani tradisional menjadi usaha tani intensifikasi menetap Faktor pendorong: - ketepatan pemilihan jenis (mampu menambat nitrogen untuk meningkatkan kesuburan tanah) - sesuai dengan keinginan masyarakat - keterlibatan tokoh masyarakat
Harisetijono (1992)
danaga~a------~--------4---------~ Kondisi: - petani sekitar mengembangkan kegiatan agroforestri (rumah kebun, kebun campuran, dan tumpangsari) di lahan milik dan kawasan hutan pendidikan Faktor pendorong: terlibat - pengunjung dapat langsung · dalam kegiatan agroforestri (persiapan lahan sampai pengolahan hasil panen), adanya potensi untuk pengaturan ruang, hijau, sirkulasi, dan fasilitas rekreasi Kondisi: - Repong damar me~punyai arti dan peran sosial ekonomi yang penting bagi petani Faktor pendorong: masih - institusi pewarisan berfungsi - jaminan keamanan ekonomi rumah tangga - infrastruktur jalan (lintas barat) - industri ramah lingkungan Faktor penghambat: - organisasi masyarakat petani belum berkembang - ketidakpastian jaminan hukum bagi penduduk atas kawasan repong damar
~ss~
Rohilah dan Arifin (2002)
Wijayanto (2002)
Lanjutan Tabel 18. No.
5
lokasi Sulawesi Tengah
Pol a/ komoditi Kebun hutan tradisional pol a agroforestri
6
Sukabumi
Serikultur
7
lndramayu, Jawa Barat
Silvofishery
8
9
Des a Selajambe Desa dan Galudra, Cianjur, Jawa Barat Sukabumi
Apikultur
Hasil penelitian Faktor pendorong: bagi - adanya kontribusi pendapatan keluarga - keanekaragaman tinggi (lebih dari 120 jenis) - menghasilkan beragam produk untuk digunakan atau dijual Kondisi: - serikultur sudah mulai berkembang di Sukabumi Faktor pendorong: - Adanya kondisi alam (iklim, tanah, dan topografi) yang mendukung Faktor penghambat: - keterbatasan modal dan akses Kondisi: - masyarakat mempraktikkan silvofishery untuk merehabilitasi lahan mangrove Faktor pendorong: - Keberhasilan petani dalam mengelola parit - Petani memahami cara memberikan lingkungan yang baik bagi akua-kultur dengan mengorbankan mangrove Faktor penghambat: - adanya perbedaan kepentingan tentang pola tanam yang ada, sehingga kelestariannya masih diragukan Kondisi: - Adanya sumber daya lahan pertanian Faktor pendorong: untuk - Adanya kapasitas pengembangan ruminansia Faktor pendorong: - Adanya potensi iklim mikro (suhu 29°-36° C) yang sesuai untuk kehidupan dan perkembangan lebah madu
.Fr>e89~
Sumber Brodbeck dan Mitlohner. {2003}
Fauziyah dan Wijayanto (2003)
Hartina et a/, (2003)
Oktora a/.(2003}
et
Tanto dan Wijayanto (2003)
Lanjutan Tabel.18.
No. 10
11
lokasi
Pol a/
BKPH Ciasem, Pamanukan KPH Purwakarta
Silvofishery
Sumedang
dan Vanili tanaman obat
Cianjur
dan Vanili tanaman di pangan bawah tegakan dan Vanili sayuran HHBK (asam, kemiri, madu, seedlak, minyak kayu putih, dan minyak cendana) Silvopastura
Sukabumi
12
Timor Barat
13
Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang
Hasil penelitian
komoditi
Kondisi: - Program silvofishery dengan pola empang parit menghasilkan 46% lapangan kerja baru bagi peserta namun belum mampu mengkonservasi mangrove Faktor pendorong: Faktor penghambat: - Rendahnya pemahaman petani tentang pentingnya · mangrove bagi produksi perikanan - Perubahan bentuk dan kctmposisi luas menjadi 20% mangrove, 80% parit - Program belum tepat sasaran Kondisi: - Pola agroforestri dikelola dengan mempertimbangkan aspek biofisik lahan, sosial ekonomi masyarakat, teknik budidaya, dan pasar Faktor pendorong: - Sebagai sumber pendapatan petani dan upaya peningkatan produktivitas lahan
Sumber Gunawan et
a/. (2007)
Suharti (2007)
Kondisi: - ba·nyak terdapat komoditi HHBK Faktor pendorong: - sebagai upaya peningkatan dan diversifikasi pendapatan masyarakat
Njurumana dan ButarButar (2006)
Kondisi: - dilakukan melalui sosialisasi dan pembuatan .demplot yang sudah dipraktikkan oleh kelompok tani Faktor pendorong: - adanya minat dan respon masyarakat yang cukup tinggi
Njuramana dan Anwar (2008)
ro-90~
Lanjutan Tabel 18. No.
Lokasi
14
Des a Oebola Kecamatan Fatuleu Kabupaten Kupang
15
16
Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat
Nus a Tenggara Barat
Pol a/ komoditi Agroforestri silvopastura
-
Aren
Hasil penelitian Kondisi: - agroforestri silvopastura telah dipraktikkan oleh kelompok tani dalam demplot. Faktor pendorong: - respon masyarakat terhadap agroforestri silvopastura cukup tinggi. Faktor pendorong: - Faktor internal: luas Ia han, persepsi, umur, motivasi, tenaga kerja 1 dan status sosial - Faktor eksternal: saran a produksi, dukungan institusi formal, aturan formal/non perpanjangan, dan aturan tokoh masyarakat Faktor pendorong: - kesesuaian Ia han dan iklim; SDM, praktik ketersediaan pertanian, agroindustri, pasar; dan banyaknya masyarakat NTB yang menggunakan gula aren
Sumber Matatula
(2009)
Wijayanto
(2009)
Sjah
et a/.
(2010)
Keberhasilan praktik agroforestri di masyarakat harus memperhatikan swadaya dan penggunaan waktu luang masyarakat, salah satunya praktik agrosilvopastura. Agrosilvopastura merupakan kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan (Nair, 1987 dalam Hairiah et a/., 2003}. Pola ini telah dikembangkan oleh masyarakat di Kabupaten Ngada dan Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT (Nurak, 2002). Untuk mengemb~ngkan pola ini, lembaga/instansi bersama petani lebih menekankan pada pemilihan dan pengembangan teknologi · lokal yang sederhana, melalui pengambilan keputusan yang demokratis dan memperhatikan swadaya masyarakat. Praktik agrosilvopastura juga telah dilakukan oleh keluarga pesanggem peserta proyek Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) di Dukuh Terso, Desa Kandang Sapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah yang berada pada wilayah kerja RPH Banyuurip, BKPH Tangen, KPH Surakarta. Proyek PHJO adalah proyek yang dikembangkan Perhutani, selaku perusahaan hutan negara bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1991 untuk menemukan solusi terhadap keberhasilan pendirian hutan jati di Jawa yang berkaitan erat dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat desa yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Melalui proyek PHJO, petani hutan diberikan kesempatan untuk mengolah andillahan selama daur pengelolaan jati.
Pola agrosilvopastura dapat digunakan sebagai alternatif pemanfaatan waktu luang pesanggem karena membutuhkan waktu kerja yang relatif kecil tetapi terdistribusi secara merata sepanjang tahun, daripada pola agrosilvikultural atau kombinasi keduanya. Hadi {2003) menyatakan bahwa keluarga pesanggem masih memiliki waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola lahan andil. Luas lahan andil memberikan respon positif terhadap alokasi waktu kerja keluarga pesanggem di lahan andil pada semua tipe pengelolaan yang dipelajari. Kesediaan keluarga pesanggem untuk mengelola lahan andil tidak hanya karena keterbatasan lahan garapan, tetapi juga dipengaruhi oleh motivasi tertentu dan keharmonisan hubungan kerja antara pengelola hutan dan pesanggem.
3. Penyuluhan dan Pengembangan Masyarakat Pengembangan masyarakat termasuk dalam pengelolaan agroforestri tidak lepas dari peran penyuluh kehutanan dalam proses pendidikan masyarakat selaku pengelola lahan hutan. Upaya penyuluhan merupakan salah satu jalan untuk Radand;; .(2002) menyatakan perlunya memberdayakan masyarakat. pendekatan masyarakat berupa strategi penyuluhan/ transfer teknologi dalam mengembangkan sistem agroforestri. Strategi penyuluhan lebih efektif jika dilakukan dalam bentuk nyata, seperti yang dilakukan di Pulau Sumba dengan mengembangkan sistem wanatani melalui konservasi tanah dan air dengan terasering menggunakan leguminose, pengembangan tanaman penutup tanah, Hal ini pagar hidup, membuat perangkap tanah, dan tanggul penghambat. dilakukan karena selama ini terjadi kemerosotan daya dukung lahan akibat sistem Dalam melakukan perladangan berpindah dan sistem pertanian tradisional. pengembangan masyarakat perlu adanya kepastian status pemilikan tanah dan fasilitas yang memadai untuk mendukung keterampilan teknis petani. Begitu pentingnya peran penyuluh dalam pengembangan masyarakat, maka Muktasam eta/. {2003) mengembangkan model penyuluhan untuk Sasaran Khusus Agroforestri di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Adapun model penyuluhan yang efektif untuk sasaran khusus agroforestri di Kabupaten Bima ke depan adalah model penyuluhan LAKU Partisipatif, yaitu kombinasi antara" model penyuluhan sistem LAKU {Latihan dan Kunjungan) dan model penyuluhan Partisipatif yang dikembangkan dalam program DAFEP (Desentralisasi Penyuluhan Pertanian dan Pelaksanaan penyuluhan agroforestri di Kabupaten Bima harus Kehutanan). dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut: 1) meningkatkan pengetahuan dan pemahaman petani dan keluarganya terhadap manfaat ekonomi dan ekologi dari sistem agroforestri; 2) teradopsinya teknologi agroforestri dalam sistem usahatani yang diselenggarakan oleh petan! dan keluarganya; 3) meningkatkan produktivitas lahan (terutama lahan kering/miring) dan pendapatan petani serta terpenuhinya kebutuhan pangan petani dan keluarganya dalam waktu yang relatif singkat secara berkelanjutan, dan 4) terjadinya perbaikan mutu sumberdaya lahan dan hutan. Pola kelembagaan model penyuluhan sistem LAKU Partisipatif, meliputi: lembaga penyuluhan di tingkat kabupaten, lembaga penyuluhan di tingkat kecamatan (BPP/ Balai Penyuluh Pertanian}, dan lembaga penyuluhan di tingkat
desa (LPD/ Lembaga Penyuluh Desa). Dalam model ini, kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat kecamatan, merupakan instalasi/sub ordinat dari kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten dan menjadi basis bagi kegiatan penyuluhan pertanian/agroforestri di Kabupaten Bima. Model penyuluhan LAKU Partisipatif di Kabupaten Bima, akan berjalan secara efektif dengan menggunakan beberapa strategi, antara lain: 1) strategi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. lahan/hutan; 2) strategi peningkatan kapasitas dan keterampilan penyuluh lapangan dan penyuluh swakarsa; 3) strategi penelitian dan pengembangan inovasi dan teknologi tepat guna sistem agroforestri; 4} strategi revitalisasi dan penguatan kelembagaan penyuluhan serta penataan dan penguatan kerjasama/kemitraan dengan lembagalembaga terkait, dan 5} strategi kepastian dan jaminan hukum yang memberi ruang bagi pengembangan sistem agroforestri. Kajian tentang peran penyuluh terhadap pengembangan masyarakat juga dilakukan oleh Noviana eta/. (2009). Kajian menunjukkan bahwa tingkat peranan penyulun anggota KPPH Bina wana di Pekon Tribudisyukur, Kecamatan Sun:berjaya, Kabupaten Lampung Barat tinggi dah tingkat kemampuan masyarakat dalam mengelola kawasan juga tinggi. Terdapat hubungan antara peranan penyuluhan dengan kemampuan masyarakat yaitu sebesar 0,421 yang berarti hubungan Peranan dan tersebut saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. kemampuan tersebut dipengaruhi oleh faktor lain di luar metode, sarana prasarana, dan materi yaitu tempat tinggal penyuluh dan kesamaan etnis antara penyuluh dengan masyarakat sasaran, tingkat pendidikan masyarakat, kelembagaan yang ada, kekomospolitan dan pendampingan dari beberapa LSM. Penyuluhan dan pendampingan dalam pengembangan masyarakat untuk melestarikan sumber daya alam perlu senantiasa dilakukan, apalagi menurut kajian Siddik dan Juniarsih {2010) kesadaran masyarakat dalam melestarikan sumber daya hutan masih kurang, seperti yang terjadi di kawasan hutan Gunung Rinjani Pulau Lombok. Selama ini dalam pengelolaan hutan, masyarakat masih lebih mementingkan kepentingan individu dan kepentingan jangka pendek sehingga diperlukan penyadaran tentang kesadaran kolektif dan jangka panjang .
.
DAFTAR PUSTAKA Askin, D.C., D.J. Boland, K. Pinyopusarerk. 2001. Use Casuarina 0/igondon subsp. Abbreviata in Agroforestry in The North Baliem Valley, Irian Jaya, Indonesia. Him. 213-219 (Abstrak). Aumeeruddy, Y. 1994. Local Representations and Management of Agroforests on the Periphery Kerinci Seblat National Park Sumatra, Indonesia. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. People and Plants. Working Paper 3, October 1994. Awang. S. A. 1999. Pengembangan Hutan Rakyat di Jawa Tengah: Harapan dan Tantangan. Jurnal Hutan Rakyat Volume 1(1): 1-13.
Bertomeu, M. 2006. Factors Driving Land Use Change: Effects on Watershed Function in a Coffee Agroforestry System in Lampung, Sumatra. Small-Scale Forest Economics, Management and Policy, 5(1): 57-82. Brodbeck, F. and R. Mitlohner. 2003. The Potential of Agroforestry for the Rehabilitation of Degraded Land in Central Sulawesi, Indonesia. Proceeding lllTechnological and Institutional Innovations for Sustainable Rural Development Deutscher Tropentag, October 8-10, 2003, Gottingen. (Abstrak). Budiono, P. 2009. Kompetensi perilaku sqsial masyarakat sekitar hutan dalam melestarikan hutan lindung sistem agroforestry ·di Provinsi Lampung. Prosiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009. Him. 104-114. Universitas Lampung (Unila)-The Southeast Asian Network for Agroforestry Education (SEANAFE)-The Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung. Cornelissen, A.M.G., S. lfar, and H.M.J. Udo, 1997. The Relevance of Animal Powerfor Land Cultivation in Uplm Hi Areas: A Case Study in East Java, Indonesia. Journal of Agricultural Systems 54 (3): 271-289. Fakih, M. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial cetakan ketiga 1999. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Fauziyah, E. and N. Wijayanto. 2003. Strategy of Nature Silk (Sericulture) Development in Sukabumi, West Java. Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. (tidak diterbitkan). Febryano, I.G., D. Suharjito, dan S. Sudomo. 2009. Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam di Lahan Hutan Negara dan Lahan Milik: Studi Kasus di Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesaweran, Lampung. Foru·m Pascasarjana IPB 32(2): 129-141. Gunawan, B., K. Takeuchi, and O.S. Abdoellah. 2003. Challenge to Enhance People Participation in Watershed Management: Response of the Fish Farmer Community in Saguling Reservoir, West Java, Indonesia. Proceeding of the 2nd Seminar of Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production. 15-16 February 2003. JSPS-DGHE Core University Program. (Abstrak). Gunawan, H., C. Anwar, R. Sawitri, dan E. Karlina. 2007. Peranan Silvofishery dalam Peningkatan Pendapatan Masyarakat dan Konservasi Mangrove di Bagian Pemangkuan Hutan Ciasem-Pamanukan KPH Purwakarta. Info Hutan Volume 4{2): 153-163. Hadi, P., M.S. Sabarnurdin dan S. Hartono. 2003. Alokasi Waktu Pesanggem Agroforestri dalam Proyek Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) di Taogen, Surakarta. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri: Peranan Strategis Agroforestri dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Lestari dan Terpadu di ·vogyakarta, tanggal 1-2 November 2002. Him. 213-226. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
h>94~
Hadijah. 2000. Kelembagaan dan Kebijakan Pengelolaan Hutan dalam Otonomi Daerah di Kabupaten Tana Toraja. Website: http://kelembagaandas. wordpress.com/kelembagaan-pengelolaan-hutan/hadijah/. Diakses tanggal 15 Juni 2011. Hairiah, K., M.A. Sardjono, dan M.S. Sabarnurdin. 2003. Bahan Ajar Agroforestri 1: Pengantar Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF}. Bogor. Harisetijono. 1992. Strategi dan Perkembangan Penelitian Agroforestri Lahan Kering di ,NTT. Presiding Seminar Nasional Status Silvikultur di Indonesia Saat lni tanggal 27-29 April1992 di Wanagama. Him. 799-814. (Abstrak). . Hariyono, B. 2003. Tingkat Adopsi lnovasi Pola Wanatani (Agroforestry) pada Pembuatan Tanaman Hutan (Kasus di Resort Polisi Hutan Dander Bagian Skripsi. Fakultas Kesatuan Pemangkuan Hutan Unit II Jawa Timur). Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. (tidak dit~rbitkan). Hartina, M.S. Sabarnurdin, dan H. Supriyo. 2003. Kajian Pola Silvofishery untuk Rehabilitasi Mangrove. Kasus Desa Cemara, lndramayu. Makalah dalam Presiding Seminar Nasional Agroforestry lllPeranan Strategis Agroforestry dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Lestari dan Terpadulll di Yogyakarta, September 2002. Him. 173-182. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Ibrahim, El. 2008. Keragaan Kelembagaan Adat Agroforestry Dusun (Studi Kasus Negeri Liang, Salahutu, Maluku Tengah dan Negeri Werilama, Werinama, Seram Bagian Timur). Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. (tidak diterbitkan). Iskandar, J. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus di Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Djambatan. Jakarta. Iskandar, J. 2002. Agroforestri sebagai Budaya Asli Indonesia: Studi Kasus dari Baduy, Banten Selatan. Seminar Nasional Peran Agroforestri dalam Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Prospek Pengembangan Program Studi lnternasional Agroforestri. Balairung Abdul Muis Nasoetion-Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Koesoemaningtyas, T., H. Puspitawati, dan T. Herawati. 2009. Gender Roles of Farmer Families in Vegetable Agro Forestry System (A Case Study At Nanggung Sub District, Bogor District, West Java Province). Indonesian · TMPEGS SANREM-CRSP. Bogor. Him. 250-265. Kotler, P. 2000. Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control 9th edition. Prentice Hall International. New Jersey. Lubis, Z. 1997. Repong Damar: Kajian tentang Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Lahan Hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat. Working Paper No. 20. CIFOR. Bogor. Martin, E. dan I. G. Febryano. 2009. Motivasi dan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Penanam Pohon Penghasil Kayu Pertukangan: Kasus Tradisi
95
Menanam Kayu Bawang (Disoxylum molliscimum 81} oleh Masyarakat Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu. Prosiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009. Him. 84-97. Unila-SEANAFEINAFE. Bandar Lampung. Martin, E., B. Winarno, I.
.
Murniati, D.P. Garrity & A.N.G. Ginting. 2001. The Contribution of Agroforestry Systems to Reducing Farmers Dependence on Th.e Resources of Adjacent National Parks: A Case Study From Sumatra, Indonesia. Agroforestry Systems 52: 171-184. Njuramana, G.ND. dan C. Anwar. 2006. Persepsi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Mangrove berbasis Silvofishery di Desa Bipolo, Kabupaten Kupang. Prosiding Cendana untuk Rakyat ll!Pengembangan Tanaman di Lahan Masyarakatlll tanggal 19 Desember 2006 di Denpasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Njurumana, G.N.D. dan T. ButarButar. 2006. Prospek Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu Berbasis Agroforestry untuk Peningkatan dan Diversifikasi Pendapatan Masyarakat di Timor Barat. Info Hutan 5(1): 53-62. Noor,
M & A. Jumberi. 2011. Kearifan Budaya Lokal dalam Perspektif Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. 10 hlmn. http://balittra.litbang.deptan.go.id/lokai/Kearipan-1%20M-Noor.pdf. Diakses tanggal 22 September 2011.
Noorvitaastri, H. dan Nurheni, W. 2003. Format Sistem Bagi Hasil dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dengan Sistem Agroforestry. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 9(1): 37-46.
96
Peranan Peny~:-~luh Kehutanan dalam Pengelola Lahan Hutan Kemasyarakatan Agroforestry sebagai Suatu Upaya Pemberdayaan pada Anggota KPPH Bina wana di Pekon Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat). Presiding .,..,.1"\,.,..,r,~c..rli'"\1 di Indonesia tahun 2006-2009. Him. 160SEANAFE- INAFE. Bandar Lampung. dan Masyarakat dalam Pengembangan Wanatani Yayasan Mitra Tani Mandiri. Prosi9ing Tenggara tanggal 11-14 November 2001 di dan Winrock lnternasional. Bogar. S. S. Mansjoer. Plants Feed Potential in Three oaan ..... ,, (Case Study at Selajambe, Mangunkerta and. Proceeding of the 2nd Seminar of Toward Harmonization Environmental Conservation in Biological 2003. JSPS-DGHE Core University Program. Sonobe dan T.P. Tomich. 2001. Evolution of Land Tenure Institutions and Development of Agroforestry: Evidence from Customary Agricultural Economics 85-101. Motivasi Petani dalam Mengelola Lahan Sistem Wanatani di Desa Pecora, Kecamatan Propinsi Jawa Timur. Skripsi. Fakultas (tidak diterbitkan). 2000. Changing Patterns in the lntrahousehold Quisumbing, A.R. dan K. Distribution of Land Inheritance and Schooling The Case of Matrilineal Strengtening Development Policy through Gender Communities in Multicountry Research Program. (Abstrak). Analysis: Usaha Lebah Madu dalam Memberikan Tambahan pada Masyarakat Sekitar Hutan di Propinsi Seminar Nasional !groforestri II rnPerluasan Promosi ..,. ... .,...,,T ...... v·aC" ..·r• dalam Mendukung Mitigasi Perubahan lklim di !sia Tenggararn qi Universitas Mataram. Him. 21-28. Universitas Mataram- Universitas Lampung-The Southeast Asian Network for Agroforestry (SEANAFE)-The Indonesia Network for Agroforestry Education (INAFE). Bandar Lampung. Radandima, U. Pengembangan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam melalui . Pengalaman Yayasan Tananua Sumba. Presiding Tenggara, di Denpasar Bali, tanggal 11-14 November 73-86. ICRAF dan Winrock lnternasional. Bogar.
Rohilah, E. and H.S. Arifin. 2002. The Potency of Agroforestry Tourism in Educational Forest of Gunung Walat, Sukabumi, West Java. Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. (tidak diterbitkan). Roslinda, E. 2009. Peranan Perempuan dalam Usaha Konservasi Hutan pada Sistem Wanatani berbasis Karet. Presiding Penelitian-penelitian Agroforestry di Indonesia tahun 2006-2009. Him. 39-50. Unila- SEANAFE- INAFE. Bandar Lampung. Sajogyo, P. 1990. Peranan Wanita dalam Perhutanan Wanita dalam Pembangunan Kehutanan . Kehutanan Indonesia 39: 30-35.
,
· Suatu Studi lntegrasi Tinggal Landas.
Salampessy, M L. 2010. Performansi Dusung sebagai Satu Sistem Agroforestri dan Desa Amahusu Kota Tradisional {Studi Kasus pada Desa Ambon Propinsi Maluku). Presiding Agroforestri Tradisional di Indonesia. Desember 2010 di Bandar Lamp~ng. Unlla-INAFE-SEANAFE-Ford Foundation-FKKM. Bandar Lampung. Seponada, F. 2010. Repong Damar Nasibmu Kini. Website: http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/13/repong-damar-nasibmu-kini/. Diakses tanggal11 Juli 2011. Siahaya, J. 1988. Pengembangan Sistem Agroforestri di Kalimantan Timur. Presiding Agroforestri untuk Pengembangan Daerah di Kalimantan Timur tanggal 21 September 1988. Him. 17-27. (Abstrak). Siddik, M. dan N. Juniarsih. 2010. Perilaku Ekonoml dan Kesadaran Masyarakat dalam Melestarikan Sumber Daya Hutan di Kawasan Hutan Gunung Rinjani Pulau Lombok. Makalah dalam Presiding Seminar Nasional Agroforestri II ll!Perluasan Promosi !groforestri dalam Mendukung Mitigasi Perubahan lklim di !sia Tenggaralii di Universitas Mataram 27 Januari 2010; Him; 175191. Universitas Mataram- Universitas Lampung-SEANAFE-INAFE. Bandar Lampung. Sipayung, W. 1998. Suatu Study Kasus Mengenai P.engembangan Wanatani pada Daerah Tangkapan Hujan Danau Toba, Sumatra Utara. Buletin Penelitian Kehutanan Pematang Siantar 13 (4}: 359-373. Sjah, T., B. Setiawan, dan A.C. lchsan. 2010. Potensi, Pendukung dan Penghambat Pengembangan Aren di Nusa Tenggara Barat. Presiding Semi,nar Nasional !groforestri II ll!Perluasan Promosi !groforestri dalam Mendukung Mitigasi Perubahan lklim di !sia Tenggara!ll di Universitas Mataram 27 Januari 2010 Him. 29-39. Universitas Mataram- Universitas Lampung-SEANAFE-INAFE. Bandar Lampung. Soetanto, S. 1981. Agroforestry sebagai Suatu Usaha Melestarikan Sumberdaya Alam. Majalah Lingkungan dan Pembangunan 1 (3-4): 111-117. Subowo, VB & HJD. Latupapua. 1993. Budidaya Jamur Edible di Wamena Irian Jaya. Presiding Seminar Hasil Litbang SOH 14 Juni 1993. Him. 220-226.
98
elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../9189/9189.pdf. Diakses tanggal 22 September 2011. Suharjito, D. 2002a. Kebun-Talun: Strategi Adaptasi Sosial Kultural dan Ekologi Masyarakat Pertanian Lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa Barat. Disertasi. Universitas Indonesia. Depok. (tidak diterbitkan). Suharjito, D. 2002b. Pemilihan Jenis Tanaman Kebun Talun: Suatu Kajian Pengambilan Keputusan oleh Petani. Jurnal Manajemen Hutan Tropik 3(2): 47-56. Suharti, S. 2007. Pola Pemanfaatan Lahan dengan Aneka Usaha Kehutanan (AUK} di Jawa Barat: Studi Kasus di KPH Sumedang, Cianjur, dan Sukabumi. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 4(3): 301-313. Sumarhani. 2004. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat: Sebagai Solusi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Di KPH Ciamis1 KPH Sumedang, dan KPH Tasikmalaya). Presiding Ekspose Penerapan Hasil Litbang Hutan dan Konservasi Alam di Palembang, tanggal 15 Desember 2004 Him. 91:-100 . .P3HKA. Bogor. Sumarlin, W. 1991. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi dan Tingkat Adopsi Pola Agroforestry oleh Anggota Kelompok Tani Hutan dalam Program Perhutanan Sosial di RPH Jeblogan, BKPH Clebung, KPH Bojonegoro, Jawa Timur. Perum Perhutani. Jakarta. Sundawati, L. 1995. Sistem Kebun Dayak di Kalimantan: An Agroforestry Model (Sistem Kebun Suku Dayak di Kalimantan B~rat: Suatu Model Agroforestry). Jurnal Manajemen Hutan Tropika 1 (1): 33-41. Sundawati, L. dan S. Trison.2009. Study on The Adoption Process of Agroforestry Innovation of Farmers in Gunung Walat Educational Forest. Technical Report volume 1/2009 halaman 17-20. Supriyanto. 2011. Adopsi Teknologi Pakan Ternak. http://kp4kkulonprogo.blogspot.com/2011/01/adopsi-teknologi-pakanternak.html. Diakses tanggal 22 September 2011. Surata, I.K. 1993. Amarasi System: Agroforestry Model in The Savana of Timor Island Indonesia (Sistem Amarasi: Model Agroforestry di Lahan Savana Pulau Timor/ Indonesia). Majalah Savana 1993. (Ab~trak). Suryanata, K. 1994. Fruit Trees Under Contract: Tenure and Land Use Change in Upland Java, Indonesia. Journal of World Development 22 {10): 1567-1578. Tanto, M.L. and N. Wijayanto. 2003. Strategy of Honeybee (Apiculture) Enterprise Development. Skripsi. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. (tidak diterbitkan). Trison, S., D. Darusman, L. Sundawati, dan Sumardjo. 2009a. Development of Community Participation in Forest Rehabilitation (Case Study at Gunung Walat Educational Forest). Technical Report volume 1/2009: 1-11.
99
Trison, S., D. R. Nurrochmat, dan L. Sundawati. 2009b. Training Effectiveness of Agroforestry Farmer in Gunung Walat Educational Forest, Sukabumi. Technical Report volume 3/2009: 23-28. Utami, D., 0. Satjapradja, & T. Susdiyanti. 2003. Dampak Pengembangan Repong Damar terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan Studi Kasus di Hutan Adat Desa Pahmungan, Krui, Lampung Barat. Skripsi. Fakultas Ketiutanan Universitas Nusa Bangsa. Bogor. (tidak diterbitkan). Wadley, R. L. & C. J. Pierce Colfer. 2004. Sacred Forest, Hunting, and Conservation in West Kalimantan, Indonesia. Human Ecology: An Interdisciplinary Journal 32:313-338. Wahyuningsih, E dan S. Latifah. 2010. Prospek Pengembangan Pengusahaan HHBK Kemiri (Aieurites moluccana wild) Produk Agroforestri Tradisional NTB. Presiding Agroforestri Tradisional di Indonesia, Desember 2010 di Bandar Lampung. Him. 181-193. Unila-INAFE-SEANAFE-Ford Foundation-FKKM. Bandar Lampung. Widyaningsih, T.S., D. Diniyati & E. Fauziyah. 2006. Kajian Persepsi dan Sikap Petani terhadap Hutan Rakyat Pola Wanafarma. Presiding Konsultasi Publik lllPelibatan Masyarakat dalam Rehabilitasi Lahan Kritis mendukung Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, tanggal 8 Agustus 2006 di Bandung. Him 164-181. Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis dan Proyek ITTO PO 271/04 Rev. 3 (F) ITIO. Ciamis. Wijayanto, N. 2002. Analisis Strategis Sistem Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui, Lampung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8(1): 39-49. Wijayanto, N. 2001. Faktor Dominan dalam Sistem Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (Studi Kasus di Repong Damar, Pesisir Krui, Lampung). Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. (tidak diterbitkan). · Wijayanto, N. 2009. Identifying Factors Influencing The Successes Of Agroforestry Farming In Gunung Walat Educational Forest. Technical Report Volume 1/2009: 21-26. Winarto, H. 2003. Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestry: Kasus di Desa Hargorejo, Kakap, Kulonprogo, Yogyakarta. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogar. (tidak diterbitkan). Wulandari, C dan P. Budiono. 2000. Perilaku Sosial Masyarakat Sekitar Hutan dala,m Melestarikan Sistem Agroforestri di Pekarangan. Makalah dalam Presiding Seminar Nasional Ill Pengembangan Wilayah Lahan Kering di Lampung, 3-4 Oktober 2000. Universitas Lampung. Bandar Lampung. (Abstrak). Wulandari, C. 2010. Prediksi Kelestarian Hutan yang Dikelola Berbasis Masyarakat dan Aplikasikan Agroforestri di Kabupaten Lampung Barat. Presiding Seminar Nasional !groforestri II Ill Perluasan Promosi Agroforestri dalam Mendukung M_itigasi Perubahan lklim di !sia Tenggaralll tanggal 27 Januari
ii>elOO~
2010 di Mataram. Him. 118-126. Universitas Mataram- Universitas Lampung-SEANAFE-INAFE. Bandar Lampung. Wulandari, C. 2001. Agroforestry Pekarangan by Rural Women Surround Protected Forest in Lampung Province. Journal of Sociologi. Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik. Lampung University. Lampung. (Abstrak). Wulandari, C. 2005. Tingkatan Penerimaan Sosial Masyarakat Sekitar Hutan dala.m Mengadopsi Agroforestry di Lahan Pekarangan. Jurnal Hutan Rakyat 7{1): 17-26. Yusliansyah, D Syukur, dan Ngatiman. 1988. Kemungkinan Pembudayaan Lebah dalam Menunjang Agroforestri Masyarakat di Pedesaan di Kalimantan Timur. Presiding Agroforestri untuk Pembangunan Daerah di Kalimantan Timur tanggal19-21 September 1988 hal. 267-282. (Abstrak).
~101~
V.
NJAUAN
K EKON Ml
DALAM PERKEMBANGAN RISET AGROFORESTRI DIINDO
Sistem agroforestri seperti halnya bentuk pemanfaatan lahan lainnya, dikembangkan untuk memberikan manfaat ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri tidak semata-mata sebagai bentuk pemanfaatan lahan dengan bertanam berbagai jenis tan~man, namun lebih pada peran dan kebutuhan manusia. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa aspek sosial, budaya dan ekonomi . menjadi pertimbangan penting dalam pengelolaan agroforestri oleh masyarakat. Pengelolaan lahan yang dilaksanakan oleh , masyarakat.. adat/tradisional maupun petani pada umumnya dapat memberikan contoh nyata bahwa bentuk usaha agrqforestri mampu memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan penelitian untuk mengkaji aspek ekonomi dalam agroforestri dilakukan dengan mengkaji suatu sistem agroforestri yang sudah ada. Usaha agroforestri yang diteliti ini dapat dipandang sebagai suatu ekositem namun juga dalam arti sempit sebagai suatu bentuk pola tanam yang dipilih petani dalam mengusahakan lahannya. Riset agroforestri di bidang ekonomi yang dilakukan di seluruh Indonesia dan berhasil dikumpulkan diambil dari publikasi baik berbentuk buku, jurnal penelitian, prosiding pertemuan ilmiah, majalah, laporan, maupun karya penelitian seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Hasil-hasil penelitian ini dikelompokkan dalam enam kegiatan penelitian yaitu: 1) pendapatan dan kontribusi ekonomi agroforestri, 2) kelayakan finansial usaha agroforestri, 3) kesempatan kerja dalam pengelolaan agroforestri, 4) pemasaran hasil agroforestri, 5) agroforestri dan perekonomian wilayah, dan 6} pemodelan dan optim~si hasil dalam agroforestri. A. Pendapatan dan Kontribusi Ekonomi Agroforestri 1. Agroforestri dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Masyarakat Masyarakat telah lama mempraktikkan bentuk-~entuk agroforestri secara tradisional. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sistem agroforestri sangat menunjang kebutuhan hidup mereka. Beberapa hasil-hasil kajian seperti pada sistem amarasi di Nusa Tenggara (Surata, 1993L sistem kebun yang dikelola masyarakat Suku Dayak (Sundawati, 1995), kebun campuran yang dikelola masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya (Riva, 1997), dan praktik Reba Juma pad a masyarakat Karo di Sumatera Utara {Affandi, 2010) telah membuktikan peran agroforestri dalam memberikan manfaat ekonomi. Sistem amarasi dalam pengelolaan "ekosistem savana dengan tanaman pokok lamtoro terbukti mampu mengatasi kendala biofisik dan menjadi bentuk
~103~
perladangan tradisional yang menetap. Sistem ini mampu mencukupi kebutuhan konsumsi keluarga dengan anggota 4-5 orang/KK. Demikian juga dengan sistem kebun yang dikelola oleh Suku Dayak yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan memiliki arti penting untuk kebutuhan hidup karena merupakan sumber pangan, energi, obat-obatan, dan bahan bangunan. Dengan demikian, Suku Dayal< dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dari penggarapan kebunnya. Kearifan tradisional masyarakat Kampung Naga dalam mengelola lahan diperlihatkan dalam bentuk kebun campuran antara tanaman kayu (Sengon, Manglid, dan Mahoni), tanaman perkebunan (teh, cengkeh, dan kopi), bambu, tanaman buah, palawija, dan sayur. Sistem agroforestri menyumbang ±47% Juma yang tetap terhadap total pendapatan masyarakat. Adapun sistem dipertahankan oleh masyarakat Karo dilandasi oleh kebutuhan ekonomi disamping adanya kearifan lokal untuk memelihara lingkungan melestarikan budaya setempat. Sistem Reba Juma secara ekonomi mampu menghasilkan produk yang beragam dan merata sepanjang tahun dengan kontribusi 86,79% terhadap pendapatan rumah tangga. Kebutuhan hidup petani dapat dari hasil-hasil agroforestri. Adjidarma {1996) yang mengkaji program Pemoerdayaan Masyarakat Desa Hutan {PMDH) di BKPH Pare, Kediri membuktikan manfaat agroforestri ini. Hasil-hasil agroforestri dari tanaman sengon, nanas, cabai, jagung, dan lamtoro selain untuk membiayai kebutuhan pokok, dapat juga untuk membiayai kebutuhan anak sekolah. Keberhasilan pengembangan Repong Damar di Lampung seperti yang diutarakan oleh Wijayanto (2002a) juga mampu memberi jaminan keamanan bagi ekonomi rumah tangga, kemapanan, dan berkembangnya sistem tata niaga dari produk yang dihasilkan dengan penggunaan input modal yang rendah. Keberhasilan ini berdampak pada kemampuan hasil-hasil dari repong Damar untuk memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh masyarakat (Utami eta/., 2003). 2. Pengelolaan Agroforestri Berdasarkan Orientasi Ekonomi · Agroforestri baik sebagai suatu s'istem maupun sebagai bentuk .. pola tanam diusahakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Sardjono et a/. {2003) membagi klasifikasi skala pengusahaan agroforestri dalam tiga bentuk yaitu pengusahaan skala subsisten, semi komersial, dan skala komersial. Ciri pengelolaan skala subsisten adalah diusahakan di lahan sempit dengan jenis tanaman yang beragam, pengaturan tanam yang acak, dan pemeliharaan yang tidak intensif. Agroforestri skala subsisten dikelola oleh petani untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang utamanya berkaitan dengan pemenuhan pangan keluarga, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk pemenuhan bahan mentah. Hasil tanaman berumur panjang seperti kayu dianggap sebagai tabungan dan sumber pendapatan hanya disaat dibutuhkan saja. Oleh karena itu, nyata peran ekonomi dan kontribusinya bagi kehidupan rumah tangga petani. Salah satu bentuk usaha agroforestri skala subsisten adalah hutan rakyat yang dikembangkan petani di lahan sempit di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat yang diteliti oleh Diniyati et a/. (2004). Pola tanam yang dikembangkan adalah
~104~
campuran kayu-kayuan, buah-buahan, dan tanaman obat. Pola ini dapat memberikan sumbangan pendapatan ±37%. · Terbatasnya lahan (0,1 ha) menyebabkan tanaman kayu hanya sedikit {sekitar 15 pohon) dengan perkiraan hasil dari tanaman kayu sebesar 'Rp. 1.606.519,-. Pohon tumbuh tidak optimal karena harus berbagi lahan dengan tanaman lain. Agroforestri skala semi komersial diusahakan oleh masyarakat yang mulai menyadari arti ekonomi dan mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan produktivitas Ia han dan kualitas hasil yang dapat dipasarkan dan mulai meninggalkan jenis-jenis non komersial. Biasanya agroforestri skala semi komersial dikembangkan dengan membudidayakan jenis tanaman yang mempunyai nilai semi komersial yaitu yang produknya dapat dimanfaatkan sendiri dan sekaligus dapat dijualdi daerah tersebut (Sardjono et a/., 2003). Jenis tanaman dapat berupa tanaman perkebunan maupun tanaman kehutanan (yang diambil kayunya maupun bukan kayu/HHBK) antara lain kopi, coklat, kemiri, kelapa, dan karet. Beberapa hasil penelitian pada pola agroforestri yang dikembangkan secara semi komersial dapat dilihat pada Tabel19 .
•
Tabel 19. Penelitian agroforestri skala semi komersial No.
lokasi
1
Des a Sepunggur, Bungo Tebo, Jambi
2
Des a Barugae, Maros, Sulawesi Selatan
.
Basis Tanaman Karet
Kemiri
Hasil Agroforestri karet meskipun masih dikelola secara tradisional dan dengan tenaga kerja dari internal keluarga saja {99,10%), mampu pendapatan menjadi sumber (70,27%) sebesar utama Rp.5.707.242,17I tahun. dalam Kemiri dikembangkan berbagai pola tanam agroforestri seperti pol a jalur {kemiri-jahecoklat), pola baris (kemiri-kapukpol a pagar coklat-talas-ja he), (kemiri-mahoni-coklatjambu dan monyet-gamal-kopi-pisang), pola acak. Selain dapat menekan erosi lahan, agroforestri berbasis kemiri memberikan pendapatan Rp. petani sebesar rata-rata dengan 2. 768.131,-/tahun pendapatan paling besar pada pola jalur yaitu Rp. 3.008.309,~ /tahun
.
~105~
Sumber Sudibjo (1999)
Wiliamsyah et
a/. (2003}
Lanjutan Tabel19. Lokasi No. 3
Kecamatan Sumberjaya, Lampung Barat, Lampung
4
Desa Sungai Langka, Pesawaran, Lampung
Basis Tanaman Kopi Robusta
Durian
Hasil
Sumber
Praktik budidaya kopi multistrata secara finansial dan ekonomis ternyata mampu memberikan keuntungan bagi petani dan sekaligus menyediakan · lapangan pekerjaan di perdesaan secara berkelzmjutan. Nilai ;:,~,, dle 15 1::. dari budidaya kopi multistrata adalah sebagai pilihan penggunaan lahan dalam penyelesaian konflik lahan yang berakar perbedaan persepsi afas pemanfatan kawasan hutan. Penanaman kopi baik dengan tanaman buahbuahan maupun kayu-kayuan layak diusahakan sesuai dengan kriteria investasi , yang · sangat berbeda hasil budidaya kopi dengan monoku!tur di dalam kawasan hutan yang memberikan nilai tidak layak (negatif}. Durian merupakan salah satu komoditas, andaian masyarakat. Budidaya durian dilakukan secara agroforestri dengan kombinasi tanaman buah dan obat lain seperti coklat, kopi, petai, vanili, cengkeh, dan sebagainya. Meskipun demikian, tambahan kesejahteraan petani masih belum signifikan karena terkendala pasar durian yang belum efisien.
Budidarsono dan Wijaya (2004)
Qurniati (2010)
Ciri agroforestri skala komersial terdiri dari 2-3 kombinasi jenis tanaman yang salah satunya merupakan tanaman pokok/komoditi utama yang dikembangkan dengan skala luas dan input teknologi yang memadai (Sardjono et a/., 2003). Agroforestri skala komersial menuntut manajemen yang profesional dan mempunyai rantai usaha yang tertata baik. Bentuk agroforestri komersial dapat ditemui di perkebunan besar. Sardjono et a/. (2003) memberikan contoh 'seperti perkebunan karet modern, perkebunan kakao serta kopi yang dikombinasikan dengantanaman peneduh. Agroforestri komersial dapat dikembangkan di hutan negara maupun Hutan Tanaman lndustri sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, kebijakan agroforestri tidak terlepas dari kebijakan perusahaan tersebut. Contoh kebijakan agroforestri tersebut adalah program Pengelolaan Hutan
~106~
oleh
dalam rangka untuk menerapkan sistem (2005) merupakan solusi untuk rehabilitasi lahan liar/penjarahan dengan strategi kooperatif dengan secara aktif dan menerapkan prinsip kesetaraan dan Hakim et a/. (2005) masyarakat terhadap pengelolaan lahan hutan
tanam dilakukan mendapatkan manfaat dalam agroforestri Kemanfaatan untuk menambah pendapatan rumah tangga dan bisnis. Hal ini disebabkan dalam pemanfaatcrn lahan mendapatkan hasil harian, mingguan, bulanan, yang berkontribusi pendapatan keluarga dan kesejahteraannya. Tabel memperlihatkan kontribusi dengan terhadap perekonomian berbagai penelitian. agroforestri
ekonomi Sumber
1
2
Kediri, Jawa Timur Tasikmalayal Jawa Barat
Agrisilvikultur
3
Agrisilvikultur (sengon/manglid/ mahoni - cengkeh/ kopi/teh durian/duku/pisang jagung/kacang tanah/singkong bambu Agrisilvikultur kemiri
4
Agrisilvikultur
5
6
47,20
Kamaludin (1991) Riva (1997)
Suryadi eta/. (1997) Sudibjo {1999) Wiliamsyah et·
Maros, Sulawesi Selatan Ciamis, Jawa Barat
{2003) Marhendra
(2003)
ror.107~
laniutan Tabel 20. No.
lokasi
Sumber
Pola tanam
Kontribusi
Agrisilvikultul (sengon/jati/mahoni - melinjo/pisang/jengkol/petaicabai/singkong/padijahe/kapulaga- bambu Agrisilvikultur (kebun campuran: sengon/afrika/bambu- durian/ du ku/ma nggis/jeru k/kelapa/aren /kedondong/nangka/jengkol/ ce;ngkeh - pisang/ubi kayu/lada/ nanas/kaoulaga/oala) Agrisilvikultur (Po Ia 1: padipalawija-tembakau-tanaman Pola 2: padi-palawija-tanaman kayu; Pola 3: palawija-te tanaman kayu; Pola 4: tembakau-tanaman kayu; Pola 5: padi-tanaman kayu; Pola 6: palawija-tanaman kayu; Pola 7: tembakau-tanaman kavu) Agrisilvikultur (sengon/galampisang/rambutan/nenas/nangka/ cempedak/ ketapi- padi/talas purun/daun katuk) Silvofishery (mangrove-ikan)
37,00
Diniyati eta/. (2004)
38/50
Wijayanto (2004)
Agrisilvikultu r (sengon/gmelina/mahoni/ jatitanaman semusim) Agroforestri kompleks Reba Juma
(%)
7
Kuningan, Jawa Barat
8
Sukabumi, Jawa Barat
9
Bantul, Yogyakarta
10
Barito Kuala, Kalimantan Selatan
11
Subang, Jawa Barat Pringsewu, Lampung
12
13
14
Karo, Sumatera Utara Cilacap, Jawa Tengah
20,34
Bud dh isatyarini
eta!. (2005)
.
33,18
Harun (2006)
72,16 23,39
Gunawan eta/ . . (2007) Kaskoyo (2009)
86,79
Affandi (2010) 41
Wanafarma (sengon/mahoni/jatikapu laga/ku nyit/jahe/kencur/lada/ lengkuas
16,75
Widyaningsih dan Diniyati (2010)
Tabel 20 memperlihatkan bahwa pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri menjadi usaha utama dalam ru mah tangga petani. Terbukti di beberapa daerah, kontribusi usaha agroforestri sangat dominan (lebih dari 50%). Sedangkan hasil penelitian dengan kontribusi hasil agroforestri kurang dari 500/o menunjukkan bahwa masih ada usaha lain yang mampu memberikan penghasilan bagi rumah tangga petani. Masyarakat yang secara tradisional sangat bergantung pada hasil pertanian dari lahannya seperti yang terdapat di kebun-kebun campuran maupun hutan rakyat, sangat wajar apabila menggunakan pola tanam agroforestri untuk menda patkan penghasilan sepan iang wa ktu da ri us aha ta ninva.
~108~
Kegiatan agroforestri sebagai solusi untuk pemberdayaan masyarakat dalam membantu meningkatkan kesejahteraannya dilakukan nielalui program PHBM di. lahan Perhutani. Dalam program PHBM, terdapat pembagian hasil (sharing penghasilan) antara petani penggarap (pesanggem) dengan perusahaan. Kebijakan bagi hasil ini diharapkan mampu memberikan kontribusi pendapatan sekaligus sebagai insentif bagi masyarakat untuk turut menjaga dan memelihara tanaman hutan perusahaan. Tabel 21 memperlihatkan hasil-hasil kajian kegiatan PHBM Perhutani mengenai kegiatan agroforestri dan pembagian hasilnya. Tabel 21. Hasil-hasil kajian pelaksanaan PHBM dan pembagian hasilnya Pola PHBM No. Lokasi I Sumber Hasil 1 Desa Cileuya, Jati super+ Bagi hasil antara Perhutani dan masyarakat untuk jati adalah 80%-20%, Kecamatan pisang/petai/ Cimahi, KPH mangga sedangkan untuk pisang/petai/mangga menggunakan format 20%-80%. Setelah Kuningan, Jawa Barat dikaji kelayakan finansial sistem bagi hasil (Noo rvita astri tersebut, maka yang paling layak adalah dan Wijayanto, dengan menggunakan perhitungan 7S%2003) 2S% untuk Jati dan 2S%-7S% untuk tanaman lain. Luas lahan andil pesanggem bervariasi 2 Desa Semedo, Jati + antara 0,2S ha sampai lebih dari O,S ha. Kecamatan padigogo/ Daur Jati ditetapkan selama 60 tahun dan Kedungbanteng, jagung/ dapat menanam tanaman semusim kacang tanah/ Kabupaten selama 3 tahun. Bagi hasil yang ubi kayu Tegal, ditetapkan adalah 100% hasil tanaman KPH Pemalang, semusim untuk .masyarakat dan untuk Jawa Tengah tanaman kayu sebesar 2S% untuk petani (Andayani, dan 7S% untuk Perhutani. 200Sb) Luasan lahan garapan bervariasi antara Desa Sidoharjo, Kayu putih + 3 0,2S ha {1S%); O,S ha (SO%); 0,7S ha (10%) Kabupaten jagung/ kacang dan 1 ha (25%). Sistem bagi hasil yang Ponorogo, "KPH tanah/ ket€la/ disepakati untuk .masyarakat Rp. S,-/kg Madiun, Jawa kedelai/ kacang daun kayu putih yang dipanen, dan Timur (Hakim et hijau/kunyit ·Seluruh hasil bumi menjadi milik a/., 200S) masyarakat. Luasan lahan garapan pesanggem Desa Tegal Rejo, Jati+ 4 0,2S ha (40%); O,S ha bervariasi antara jagung/ petai/ Kabupaten Ponorogo, KPH kacang tanah/ (SO%) dan 0,7S-1 ha {10%). Jangka waktu Madiun, Jawa ketela/ kedelai/ kesepakatan kerjasama adalah 10 tahun Timur (Hakim et pisang/ cabai/ dengan evaluasi setiap 2 tahun. Bagi hasil kayu jati sesuai dengan Pedoman Berbagi pepaya a/., 200S) Hasil Hutan Kayu yaitu paling tinggi 2S% dari hasil tebangan. Adapun hasil bumi menjadi hak petani 100%.
r.>-109~
Lanjutan Tabel 21.
No.
lokasi I Sumber
5
Desa Trijaya, Jabranti, dan Linggasana, Kabupaten Kuningan, KPH Kuningan, Jawa Barat (Hakim et a/., 2005)
Pinus/mahoni/ afrika+ MPTS
6
RPH Banjarsari, Ciamis, KPH Barat Jaw a (Sumarhani, 2005)
Jati + sengon/ padi/ jagung/ pi sang/ ketela/ kacang
Pola PHBM
Hasil Jenis MPTS yang ditanam masyarakat antara lain sukun, kemiri, durian, petai, kopi, sengon, karet, melinjo, alpukat, nangka, picung, randu, nanas, dan nilam. Sistem bagi hasil dilakukan atas kesepakatan antara Perhutani dan desa setempat. Misalnya di Desa Trijaya, persentase bagi hasil tanaman pemeliharaan adalah Perhutani 70% masyarakat 30%, sedangkan untuk tanaman tahunan 2% 98%. Adapun persentase bagi hasil untuk kegiatan reboisasi bekas kebakaran adalah 30% : 70% dan tanaman tahunannya 5% : 95%. Untuk tanaman pengayaan sekitar air persentasenya 40% : 60% dan ta1,:~man semusimnya 2% : 98%. Adapun di Desa Jabranti dilakukan bagi hasil tanaman pokok sebesar 75% untuk Perhutani dan 25% untuk masyarakat. Kawasan hutan seluas 1.223,66 ha dikelilingi oleh 13 desa. Kepemilikan lahan setiap keluarga relatif sempit (0,05 ha/KK). Hasil bumi seluruhnya untuk masyarakat. Perhutani membolehkan masyarakat menanam sengon diantara tanaman pokok dengan jarak tanam 6X2 meter dengan bibit swadaya masyarakat. B~gi hasil tanaman sengon adalah KTH 75%, MDH 15%,. Perhutani 10%. Adapun hasil jati seluruhnya untuk Perhutani. Dengan luasa lahan garapan masingmasing 0,25 ha/KK, maka tambahan pendapatan dari hasil tanaman semusim Rp. 565.625,-/th. adalah sekitar Tambahan penghasilan dari sengon setelah 7 tahun adalah Rp. 12.375.000,-.
ii.>o110~
Lanjutan Tabel 21. No. Lokasi I Sumber 7 Desa Padasari, Kecamatan Sumedang, KPH Sumedang, Jawa Barat (Sumarhani, 2005)
Pola PHBM Pinus+
van iii
Hasil Penanaman vanili dilakukan di bawah tegakan pinus berumur 15 tahun. Jarak tanam pinus adalah 10X5 meter dan untuk vanili 3X2 meter. Hutan sebelumnya rusak oleh perambahan dan kebakaran. PHBM dikelola oleh KTH Bagja Mulya seluas 6 ha dengan rata-rata 0,25 ha/KK. Bagi hasil vanili yang disepakati adalah KTH 42,5%; MDH 15% dan Perhutani 42,5%. Petani mendapatkan hasil sebesar ± Rp., 1.818.893,- dari luasan lahan 0,25 ha setelah 4 tahun bertanam vanili dan belum termasuk hasil penjualan bibit Vanili.
Manfaat yang dirasakan ol~h masyarakat sekitar hutan dengan ·adanya program PHBM adalah mempunyai tambahan pendapatan untuk · membiayai pendidikan anak, mempunyai tabungan baik uang maupun ternak, dan meningkatkan kesejahteraannya (Hakim et a/., 2005}. Meskipun demikian, · hasil perhitungan Andayani (2005b} memperlihatkan bahwa luasan lahan andil (lahan garapan) yang relatif sempit (sampai 0,25 ha) memberikan kelayakan negatif yang dapat dianggap tidak efisien dilihat dari aspek rasio biaya dan pendapatan usaha. Meskipun hasil ini masih terbatas di lokasi penelitian saja, namun perlu menjadi perhatian mengenai luasan lahan andil dan kesepakatan bagi hasil yang lebih baik sehingga program PHBM ini benar-benar dapat membantu meningkatkan perekonomian petani. B. Kelayakan Finansial Usaha Agroforestri
Usaha tani bagaimanapun bentuk dan model pengusahaannya, p~rlu menerapkan prinsip-prinsip analisis usaha, salah satunya konsep untung rugi. Petani kecil kadang merasa tidak perlu mengerti perhitungan untung rugi usaha, terutama dalam usaha kehutanan yang berjangka waktu lama. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan mengenai pentingnya analisis usaha, sempitnya penguasaan lahan dan terbatasnya modal, serta dwifungsi usaha tani yaitu produksi dan konsumsi yang kadang tidak tefpisahkan. Akibatnya perhitungan untung rugi hanya sebatas teori saja yang jarang dipraktikkan oleh petani. Padahal, dengan mengetahui analisis usaha tani, Soekartawi (2002} menyebutkan bahwa petani dapat mengalokasikan sumberdaya yang ada, secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan pada waktu tertentu. Disebut efektif jika petani (produsen) dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya, serta dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan output yang melebihi inputnya. Penelitian-penelitian kelayakan usaha agroforestri membantu petani untuk memberikan gambaran usaha agroforestri yang dilakukan. Pada akhirnya
~111~
diharapkan petani dapat mengalokasikan sumber daya yang dimiliki dengan polapola agroforestri yang sesuai dengan kemampuannya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Kelayakan finansial dihitung dengan kriteria kelayakan investasi yang umumnya berupa nilai-nilai Net Present Value (NPV}, Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR) yang diperhitungkan berdasarkan suku bunga (discount rate) yang ditetapkan. Beberapa hasil penelitian kelayakan finansial usaha agroforestri dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Kelayakan finansial usaha agroforestri No.
lokasi/Sumber
1
DAS Konto, Jawa Timur (Sediono, 1986)
2
Kecamatan Camba, Maras, Sulawesi Selatan (lkhsan eta/., 1989) Wonosobo, Jawa Tengah (Andayani, 2002)
3
4
5
Desa Balokang, Banjar dan Desa Pamarican, Ciamis, Jawa Barat (Nuraini, 2002) Kecamatan Kotabangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Syahrani, 2003)
Pola Tanam
Suku bung a 11%
Agrisilvikultur agathis (agathis, buahbuahan, kayu bakar, kayu keras, tanaman semusim) Agrisilvikultur kemiri '20% (kemiri, kakao)
Agrisilvikultur sengon dalam 4 pola. Pola 1 (kayu-tanaman semusim-tanaman perkebunan), Pola 2 (kayu-tanaman semusim-tanaman buah-buahantanaman perkebunan), Pola 3 (kayu-tanaman perkebunan), dan Pola 4 (kayutanaman buahbuahan-tanaman perkebunan) Agrisilvikultur jati super
Agrisilvikultur durian (durian/rambutan/ langsat)
ro.-112~
Kriteria La yak
La yak NPV =Rp.16.300.450,BCR = 4,34 IRR =49,3%
1822%
La yak Desa Pacekelan: NPV =Rp.l.072.556,78 s.d Rp.4.201.852,41 Desa Jonggolsari: NPV =Rp.685.948,34 s.d Rp.3.458. 763,12 Desa Ngaliyan: NPV = Rp.2.363.826,83 s.d Rp.3.080.302,04
14%
La yak
14%
La yak NPV =Rp.7.982.175,BCR =2,12 IRR = 20,95%
Lanjutan Tabel 22. No.
lokasi/Sumber
Pol a Tanam
6
Desa Cilampuyang, Garut, Jawa Barat (Melati dan Dwiprabowo, 2004)
Agrisilvikultur sengon (sengonce ngkeh/ pet ai-pa d i gogo/jagung/kacang tanah)
-
Desa Cilampuyang, Garut, Jawa Barat(Melati dan Dwiprabowo, 2004)
Agrosilvopastura sengon (sengoncengkeh/petai-padi gogo/jagung/kacang tanah-pakan ternak)
-
Kecamatan Pathuk dan Kecamatan Semin, Gunung Kidul, Yogyakarta (Andayani, 200Sc)
Agrisilvikultur (tanaman semusim, buah, hortikultura, tanaman perkebunan, dan kayu)
-
7
8
Suku bung·a
Kriteria La yak NPV Rp.9.801.887,BCR 2,74
= =
La yak NPV Rp.12.508.917,BCR 1,48
= =
La yak Pola 1 NPV Rp.5.245.606,87 s.d Rp. 21.892.033,96 BCR 1,16 s.d 1,49 Pola 2 NPV Rp.1.490.870,93 s.d Rp.4.654.106,07 BCR 1,04 s.d 1,09
=
=
=
=
t-----
9
10
11
12
Maros, Sulawesi Selatan (Hasnawir dan Yusran, 2000 dalam Cahyono et a/., 2005)
Agrisilvikultur kemiri
Minahasa, Sulawesi Utara (Sumijarto dan Novitasari, 2002 dalam Cahyono et a/., 2005)
Agrisilvikultur
-
La yak NPV Rp.6.392.526,BCR 3,59 IRR 53,51%
= = =
-
La yak NPV Rp.77.697.000,-
= = =
cempaka
BCR 13,98 IRR 29,47%
Agrisilvikultur sengon DAS Malino (sengon-jahe) (Sumijarto, 2000 dalam Cahyono et a/., 2005) Agrisilvikultur sereh Desa Salebu, Majenang, Cilacap, · wangi Jawa Tengah (Mile dan Bastari, 2005)
~113~
-
La yak NPV Rp.5.027.643,BCR 1,15 IRR 30,12% La yak NPV Rp.2.969.513,BCR 2,029
= = =
-
= = IRR = 64,69%
Lanjutan Tabel 22. Suku bunga 7,54%
Pola Tanam
No.
Lokasi/Sumber
13
Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah (Andayani, 2008)
Agrisilvtkultur jati (jati-kacang tanah I ubi kayu I jagung I kencur)
14
Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat (Sundawati dan lsnaini, 2009)
Agrisilvikultur agathis
15
Bipolo, Kupang, NTT (Njurumana eta/., 2009)
Silvofishery
-
16
Desa Tirip, Wadaslintang, Wonosobo, Jawa Tengah {Kusumedi dan Jariyah, 2010)
Agrisilvikultur sengon {sengon-kapulaga)
9,3%
17
Kalimantan Barat (Soeharto, 2010)
Tembawang (karet/ tengkawa ng/nyatoh/ rotan/ buahbuahan/obat)
6%, 15%, 25%
I
Kriteria Strata 1: NPV = -Rp.11.193.297,BCR = 0,82 IRR = 1,96% Strata 2: NPV = Rp.10.902.735,70 BCR = 1,02 IRR = 9,00% Strata 3: NPV = Rp.24.195.880,70 BCR = 1,07 IRR = 14,00% La yak Modell: NPV = Rp.8.465.179,BCR = 2,05 Model II: NPV = Rp.7.483.780,BCR = 1,99 Model Ill: NPV = Rp.2.138.953,BCR =1,73 Layak BCR =1,1
.
La yak Strata 1: NPV = Rp.112.039.098,BCR =2,32 IRR = 3S% Strata 2: NPV = Rp.33.599.884,BCR =1,58 IRR =13% La yak NPV = {6%) - Rp. 485.576.758,(15%)- Rp. 125.372.065,(25%)- Rp. 33.989.636,-
Kelayakan finansial pengusahaan agroforestri pada berbagai pola yang dikaji di tiap daerah berbeda-beda tergantung biaya pengusahaan dan produktivitas yang berlaku di lokasi penelitian serta suku bunga yang dipakai dalam analisis. Petani subsisten
biasanya
tidak
melakukan
pengusahaan
secara
intensif
seperti
dilakukannya kegiatan pemeliharaan serta penanganan hama dan penyakit. Usaha yang dilakukan bukan untuk kepentingan bisnis akan tetapi lebih untuk memenuhi
ro.o114~
kebutuhan hidup. Oleh karena itu, sangat mungkin jika dilakukan perhitungan kelayakan finanslal, usaha ini menunjukkan hasil yang negatif. Andayani {2008} membuktikan bahwa usaha agroforestri jati di lahan yang sempit (kurang dari 0,1 ha) memberikan nilai NPV negatif yang artinya secara ekonomi petani masih merugi. Beberapa kajian sebagaimana tertera pada Tabel 5.4 memperlihatkan bahwa kegiatan agroforestri layak diusahakan secara ekonomi. Adanya hasil-hasil yang tersedia dalam berbagai periode waktu dan biaya pengusahaan yang dapat digabung bersama-sama beberapa jenis tanaman, selain memberikan efek penghematan juga membuat manfaat yang diterima dapat lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Hal ini merupakan kelebihan agroforestri dibandingkan budidaya monokultur terutama yang dilakukan di lahan yang tidak cukup luas. Dengan berpedoman dari hasil analisis finansial tersebut, prinsip optimasi penggunaan lahan dapat digunakan oleh petani untuk mengambil keputusan menerapkan pola agroforestri yang cocok diusahakan. Hasil yang menarik diperlihatkan dari bentuk agroforestri tradisional yaitu agroforest tembawang yang merupakan kebun campuran su'ku Dayak di pedalaman Kalimantan Barat. Tembawang tidak saja ~emiliki nilai konservasi, ekologi, sosial budaya, namun ternyata apabila dikelola dengan penerapan teknologi mampu memberikan nilai ekonomi yang signifikan. Peremajaan tanaman karet dan pengkayaan dengan jenis-jenis unggul dalam agroforest tembawang mampu memberikan kelayakan usaha dalam agroforestri yang dikelola masyarakat tradisional (Soeharto, 2010). Hasil ini dapat menjadi salah satu pelajaran bagaimana masyarakat tradisional mengelola dan memanfaatkan lahan dengan bentuk agroforestri khas Indonesia, mempertahankan nilai keekonomiannya, dan suntikan teknologi baru yang dapat membantu kesinambungan usaha agroforestri terse but. I
C. Kesempatan Kerja dalam Pengelolaan Agroforestri Permasalahan perekonomian secara makro salah satunya adalah kesempatan kerja. Sistem agroforestri baik di lahan milik masyarakat maupun d_alam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan negara. dengan program PHBM terbukti memberikan dampak terhadap pemenuhan kesempatan kerja dan semcikin banyaknya curahan tenaga kerja yang diperlukan. Pengelolaan agroforestri oleh suatu keluarga atau rumah tangga menurut Suharjito et a/. (2003} merupakan bagian dari keseluruhan pengelolaan sumber daya keluarga atau rumah tangga. Oleh karena itu, ketersediaan tenaga kerja dan pola pembagian kerja dalam keluarga atau rumah tangga mempengaruhi pilihannya untuk mengembangkan agroforestri. Prahasto (1987) memberikan gambaran bahwa dengan adanya kegiatan agroforestri dalam bentuk tumpang sari Jati yang sudah diberikan sentuhan teknologi dan intensifikasi di I
~115~
lebih banyak daripada yang memiliki lahan lebih luas. Penelitian Susanti (2000) tentang kegiatan tumpang sari kayu putih di KPH Mojokerto, Jawa Timur juga menunjukkan adanya hubungan antara pemanfaatan lahan tumpangsari dengan penggarapan lahan, dimana semakin tinggi tingkat pemanfaatan lahan tumpangsari, semakin tinggi pula tingkat penggarapan dan produktifitas lahannya sehingga tingkat kesejahteraan rumah tangga pesanggem dapat semakin meningkat. Penelitian Hadi et a/. (2003) di proyek Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) di KPH Tangen, Jawa Tengah memperlihatkan bahwa waktu luang pesanggem dapat lebih dioptimalkan dengan bekerja di lahan andil. Strategi yang dapat digunakan adalah proyek PHJO dengan sistem agrosilvopastura yang meskipun membutuhkan waktu kerja yang relatif kecil terdistribusi merata sepanjang tahun sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pemanfaatan waktu luang pesanggem untuk menambah kesempatan kerja. Konflik lahan dan pengangguran juga dapat diselesaikan dengan penerapan sistem agroforestri. Budidarsono dan Wijaya (2004) mengkaji bahwa sistem ,,pung mampu memberikan insentif agroforestri kopi multistrata di Sumberjaya, bagi petani sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan secara berkelanjutan. Nilai strategis dari budidaya kopi multistrata adalah bahwa penggunaan lahan ini bisa digunakan sebagai pilihan penggunan lahan dalam penyelesaian konflik lahan yang berakar pada perbedaan persepsi atas pemanfatan kawasan hutan. D. Pemasaran Hasil Agroforestri Apabila pemasaran hasil hutan selama ini lebih terfokus pada hasil hutan berupa kayu saja, maka dalam pemasaran hasil agroforestri, cakupan barang yang dipasarkan sangat beragam. Hasil agroforestri dapat berupa kayu, buah, sayur, pa·lawija, maupun tanaman obat yarig semuanya mempunyai ciri spesifik dalam pemasarannya. Tukan eta/. (2004} mengemukakan bahwa pemasara·n produk hasil agroforestri di beberapa wilayah Indonesia selalu menjadi masalah yang mendasar bagi petani. Oleh karena itu pemasaran menjadi sangat penting ketika produsen/petani telah mampu mengelola kebun dengan baik hingga menghasilkan produk dalam kuantitas yang cukup dan kualitas yang baik. Petani membutuhkan pasar yang berfungsi dengan baik sehingga mampu menghubungkan produsen dengan konsumen. Secara umum, penelitian-penelitian pemasaran mempunyai beberapa tujuan diantaranya (a) mengidentifikasi pelaku pemasaran, (b) mengidentifikasi rantai pemasaran, (c) menganalisis sistem dan struktur pasar, (d) melakukan analisis marjin pemasaran dan keuntungan, (e) mengidentifikasi dan menganalisis kendala pemasaran, dan (f) merumuskan strategi pemasaran produk. Adapun beberapa produk agroforestri yang sudah diteliti mengenai pemasarannya di beberapa daerah dapat dilihat pada Tabel 23.
r,;,.,116~
Tabel 23. Beberapa produk agroforestri yang sudah diteliti pemasarannya No. 1
5
lokasi Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Lampung NTB Jawa Barat
6
Jawa Barat
7 8 9
10
2 3 4
Produk Agroforestri kakao, tanaman buah (MPTS), kelapa
Sumber lswandi eta/. (1996)
Madu
Mugarni
jati rakyat dan sengon
Tukan eta/. (2004) Rahayu eta/. (2005)
manggis
eta/. {2003)
Trison (2008)
Jawa Tengah Yogyakarta Lampung
pisang, kelapa, kapulaga, ubi kayu, daun dan batang aren, rambutan, bambu, kayu rakyat, getah damar jati obat (temulawak1 tanaman kumis, kucing, sambiloto, belanda, pegagan) kacang mete jati rakyat durian
Jawa Tengah
sengon, kapulaga
Widyaningsih Diniyati {2010)
Nurrochmat (2009b)
eta/.
Andayani (2010) Perdana (2010) Qurniati {2010} dan
Mengingat beragamnya produk yang dihasilkan dari sistem agroforestri, persoalan pemasaran dan inovasinya dalam memecahkan permasalahan tersebut tergantung dari jenis produk yang dipasarkan. Untuk dapat memperoleh keuntungan yang layak pada setiap pasar yang dimasuki, produsen (petani} dan semua lembaga pemasaran harus memahami kemampuannya dalam menganalisis prospek pasar untuk setiap komoditi yang diperdagangkan seperti harga pasar, dan kebutuhan pasar untuk mengukur seberapa besar keuntungan/pendapatan yang diperoleh (Sanudin, 2009). Oleh karena itu, peran aktif berbagai pihak, tidak saja stakeholder kehutanan melainkan seluruh stakeholder yang terkait dengan produkproduk agrokompleks menjadi sangat diperlukan d~lam memecahkan dan memfasilitasi usaha agroforestri terutama di bidang pemasaran yang merupakan hilir dari rangkaian usaha pengelolaan agroforestri. Hasil-hasil penelitian pemasaran produk agroforestri kebanyakan lebih difokuskan pada salah satu produk yang paling menonjol dan potensial dalam usaha agroforestri yang dikembangkan. Penelitian pemasaran tersebut mengkaji rantai pemasaran protluk, harga, efisiensi pasar, dan permasalahan yang terjadi. Kebanyakan fokus penelitian diarahkan pada produk kayu, namun ada juga yang mengkaji pemasaran produk hasil hutan bukan kayu (HHBK). Mugarni et a/. (2003} mengkaji produksi dan pemasaran madu yang dihasilkan lebah lokal lruan Hirang (Apis cerana) yang merupakan Iebei lokal yang sangat sesuai dengan kondisi alam dan pakan di wilayah Desa Jambu, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Jumlah produksi setiap stup berkisar 600900 ml madu sekali panen atau 3-4 liter/stup/tahun. Waktu pemanenan sekitar 1,52 bulan pemeliharaan. Sistem pemasaran terbagi dua yaitu secara langsung konsumen datang ke rumah penduduk dengan harga Rp. 8000,-/150 ml dan secara tidak langsung yaitu disalurkan ke pedagang di ibukota kabupaten (Kandangan)
ro.-117~
dengan harga Rp. 10.000,-/150 mi. Lain halnya dengan pemasaran buah durian yang menjadi andalan Desa Sungai Langka di Kecamatan Pesawaran, Lampung yang masih dikelola secara tradisional. Trison (2008) menyebutkan bahwa sebagaian besar penjualan komoditas agroforestri dari desa-desa di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dilakukan oleh petani di kebun-kebun pada saat panen dan langsung dilakukan transaksi. Cara pemasaran seperti ini dianggap efisien oleh petani, terutama oleh petani kecil karena tidak mengeluarkan biaya dan tenaga dalam memasarkan produknya. Namun, di sisi lain, kondisi pemasaran semacam ini menyebabkan posisi petani dalam penentuan harga menjadi lemah karena hanya sebagai penerima harga (price taker). Qurniati {2010) mengkaji bahwa pola pemasaran tradisional yang tanpa adanya perencanaan dan .. kajian pasar oleh petani menyebabkan pola pemasaran belum efisien belum dapat memberikan banyak keuntungan bagi petani. Kajian-kajian diatas memperlihatkan bahwa apabila pemasaran ditangani secara baik, hasil produksi yang terencana dapat menghasilkan keuntungan yang sesuai dan :Jerbaiki posisi tawar petani untuk menerima harga yang lebih sesuai. Efisiensi pemasaran biasa diteliti dengan menggunakan beberapa pendekatan perhitungan seperti marjin pemasaran, marjin keuntungan, bagian petani {farmerfZJs shar~, dan sebagainya. Suatu sistem distribusi pemasaran dikatakan efisien jika besarnya tingkat marjin pemasaran bernilai kurang dari 50% dari tingkat harga yang dibayarkan konsumen {Trison/ 2008}. Efisiensi pemasaran diteliti oleh Andayani (2010} terhadap pemasaran kacang mete di Kecamatan Ngadirejo dan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Pemasaran kacang mete dikaji dengan metode analisis ekonomi dengan parameter marjin keuntungan dan pemasaran serta analisis mark up on selling untuk mengetahui efisiensi pasarnya. Andayani (2010) menemukan bahwa ada 6 (enam) pola pemasaran kacang mete yaitu: 1) Pola 1: produsen ~ pengepul1 ~ konsumen dengan marjin pemasaran Rp. 25.207,55/kg; 2) Pola 2: produsen ~ pengepul 1 ~ pengepul 2 ~ konsumen, dengan marjin pemasaran Rp. 25.207,55/kg; 3) Pola 3: produsen ~ pengepul 1 ~ pengecer ~ konsumen, dengan marjin pemasaran Rp. 27 .207,55/kg; 4) Pola 4: prGdusen ~ pengepul 1 ~ pengepul 2 ~ pengecer ~ konsumen, dengan marjin pemasaran Rp. 27.207,55/kg; · 5) Pola 5: produsen ~ pengepul 2 ~ konsumen, dengan marjin pemasaran Rp. 10.000,-/kg; 6} Pola 6: produsen ·~ pengepul 2 ~ pengecer konsumen, dengan marjin pemasaran Rp. 12.000,-/kg. Marjin keuntungan pemasaran kacang mete sebesC!r 44,27%. Hal ini menunjukkan bahwa pemasaran kacang mete yang saat ini berjalan dinyatakan s"udah efisien. lnformasi hasil penelitian seperti yang dilakukan oleh Andayani (2010} ini sangat berguna tidak saja bagi petani, akan tetapi juga pengambil kebijakan daerah. Hasil kajian dapat untuk mengangkat produk agroforestri menjadi ungulan daerah karena aspek hilir produk sudah diketahui keefisienannya sehingga dapat
~118~
dikembangkan lebih baik lagi untuk semakin memberikan kesejahteraan bagi para pet ani. Pohon sebagai salah satu komponen dalam agroforestri yang memberikan hasil dalam waktu yang lama mempunyai nilai yang tinggi saat dijual. Oleh karena itu dikaji juga aspek pemasarannya mengingat sampai sa~t ini kebijakan tata usaha hasil hutan kayu terus berubah seiring dinamisnya perkembangan usaha kayu dan permasalahan di dalamnya. Kayu yang berasal dari kebl;Jn-kebun rakyat menjadi tabungan petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditengarai bahwa sampai saat ini masih ada permasalahan dalam pemasaran kayu rakyat ini. Oleh karena itu, penelitian pemasaran kayu menjadi salah satu aspek penelitian yang dibu.tuhkan dalam mendukung pengembangan usaha agroforestri. Pemasaran kayu jati dan sengon dikaji oleh Tukan et a/. (2004) di wilayah luar Jawa yaitu di Provinsi Lampung. lsu mendasar yang perlu diprioritaskan adalah bagaimana memperbaiki penghidupan petani kecil agar dapat meningkatkan pendapatan mereka, yang salah satunya adalah· dengan pemasaran hasil hutan yang berfungsi dengan baik. Analisis dilakukan terhadap saluran pemasaran dan struktur pasar serta melakukan perhitungan marjin pemasaran, keterpaduan pasar, dan analisis korelasi harga. Tukan et a/. (2004) menemukan saluran pemasaran kayu rakyat di Lampung terbagi dalam enam pola yaitu: 1) Pola 1: petani rumah tangga lokal/konsumen akhir, 2) Pola 2: petani penebang konsumen akhir atau rumah tangga, 3) Pola 3: petani penebang pedagang pembuat perabotan, 4) Pola 4: petani ~ penggergajian ~ pedagang kayu ~ konsumen akhir dan pedagang pembuat perabotan, 5) Pola 5: petani ~ penebang ~ penebang kayu ~ pedagang pembuat perabotan dan konsumen akhir, 6) Pola 6: petani ~ pedagang kayu di Jakarta. Pemasaran kayu sengon mengikuti Pola 1 sampai dengan Pola 5. Petani 3 menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri dengan harga Rp. 100.000,-/m . penjualan pohon berdiri ini disebabkan kekurangan modal untuk membiayai proses pengolahan kayu menjadi kayu olahan (gergajian). Dengan demikian, petani tidak beresiko terhadap penurunan kualitas kayu akibat penebangan dan tidak mengeluarkan biaya pemasaran untuk menjual pohon. Penebang kayu yang membeli pohon tersebut yang akan melakukan kegiatan pengolahan kayu dalam bentuk kayu bulat dan atau gergajian dan kemudian memasarkannya ke pedagang kayu (panglong). Pad a Pol a 3 dan Pola 4, share harga jual kayu terhadap konsumen akhir adalah 27%. Marjin pemasaran pad a Pola 4 sebesar 73%, yang tersebar pada industri penggergajian dan p-edagang kayu dengan marjin keuntungan pemasaran masing-masing adalah 24% dan 5% serta biaya pemasaran masing-masing adalah 36% dan 8%. Pemasaran kayu Sengon dengan mengikuti Pola 5 memberikan share harga jual terhadap konsumen akhir sebesar 25%. Pola pemasaran kayu jati mengikuti Pola 3, Pola 5, dan Pola 6. Petani menjual kayu jati dalam bentuk pohon berdiri dengan harga rata-rata Rp. 300.000,/m3. Harga ini tergantung pada ukuran dan berituk batang. Petani sudah dapat
ro.-119~
menjual kayu jati dalam bentuk pohon berdiri maupun kayu bulat pada diameter pohon 6 em, meskipun harga jualnya sangat rendah dibandingkan kayu jati yang sudah berdiameter 20 em atau lebih. ·Marjin pemasaran kayu jati pada Pola 3 meneapai 67% yang diterima oleh penebang. Marjin pemasaran tersebut terdiri dari biaya pemasaran sebesar 19% dan keuntungan pemasaran sebesar 47%. Artinya, keuntungan pemasaran total yang diperoleh lebih besar daripada biaya pemasaran total yang dikeluarkan. Pada Pola 5, marjin pemasaran meneapai 80% yang tersebar pada penebang dan pedagang kayu. Marjin pemasaran kayu jati pada Pola 6 meneapai 35% !llerupakan paling rendah di antara marjin pemasaran kayu jati di jalur lainnya. Harga kayu sengon di petani dan konsumen di Bandar Lampung menunjukkan korelasi yang tinggi. Hal ini meneerminkan keeratan hubungan yang tinggi antara harga di tingkat pedagang besar dengan harga di tingkat petani serta pembentukan harga antara pasar di tingkat pedagang besar kayu dan petani lebih berintegrasi. Kondisi pasar sengon pun dapat dikatakan mendekati bentuk pasar persaingan sempurna, meskipun harga masih kurang elastis. Sementara itu, hasil kajian pasar untuk kayu jati rakyat juga menunjukkan adanya korelasi harga yang tinggi antara harga di tingkat konsumen dengan di tingkat produsen. Akan tetapi, struktur pasar jati belum mendekati bentuk pasar persaingan sempurna dan harga tidak elastis. Hasil kajian Tukan eta/. (2004) mengenai penyebaran marjin, korelasi harga, dan elastisitas harga untuk jati dan sengon mampu memberikan gambaran bahwa sistem pemasaran kayu jati dan sengon relatif belum efisien. Di wilayah Jawa, Perdana (2010) meneliti rantai perdagangan kayu jati rakyat di wilayah Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Permasalahan yang dihadapi petani jati diantaranya teknik silvikultur yang kurang memadai sehingga kualitas kayu kurang baik, kurangnya modal untuk budidaya jati, terbatasnya informasi pasar dan adanya biaya tak terduga akibat kebijakan. Pada umumnya pola pemasaran kayu jati rakyat di Gunung Kidul dilakukan seperti yang tersaji pada Gam bar 2.
PETANI
MAKELAR
- Membutuhkan uang - menjual pohon
- informasi - kontak pedagang
PEDAGANG
- mengukur - menawar dan membeli
PEMBELI
- mengolah - menjual kembali
Gam bar 2. Alur pemasaran kayu jati rakyat (Perdana, 2010) Pada umumnya petani menjual kayu daJam bentuk pohon berdiri. lnformasi pasar diperoleh dari makelar kayu. Setelah ada kesepakatan harga dan pedagang membayar kayu kepada makelar, maka penebangan dapat dilakukan oleh pedagang kayu. Perdana (2010) mensinyalir bahwa sistem. seperti ini memuneulkan resiko yang eukup besar bagi petani dan pedagang. Petani kehilangan kesempatan untuk mendapat harga yang lebih tinggi karena pembeli tidak langsung datang. Pedagang berspekulasi terhadap keuntungan yang akan diperoleh karena
&->120~
pembayaran dilakukan di muka sementara masih harus menanggung biaya-biaya lain. Apabila pedagang dapat langsung turun ke lapangan untuk mencari pohon bersama makelar, memilih kayu sesuai dengan kualitas yang diinginkan konsumen, dan sebagai pendata personal dalam saluran pemasaran, maka ketiga kegiatan pedagang tadi dapat menjadi kegiatan yang meningkatkan nilai produk (valueadded activities) yang menyertai transformasi bentuk pohon ke kayu gelondongan. Pada akhirnya aktivitas ini akan memberikan nilai keuntungan yang lebih tinggi dari petani, makelar, sampai pedagang. Kegiatan yang ditawarkan dalam penelitian Perdana (2010) ini bukan dalam rangka memutus mata rantai yang berarti juga memutus lapangan kerja salah satu rantai pemasaran, namun memperbaiki kualitas untuk bersama-sama mendapat keuntungan yang lebih baik. Beberapa permasalahan pemasaran kayu yang sering dihadapi baik oleh petani maupun pelaku pasar yang lain diantaranya adalah (Tukan et a!., 2004 dan Perdana, 2010): 1) Masih rendahnya pengetahuan petani petani tentang cara bertani sehingga kualitas hasil masih rendah yang dapat berujung pada harga yang diterima juga rendah. 2) Masih terbatasnya akses informasi pasar oleh petani. Hal ini akan membuat spekulasi harga meningkat. 3) Sedikitnya hasil produksi kayu setiap kebunnya sehingga tidak dapat dijual ke industri pengolahan kayu skala menengah maupun besar. 4) Sistem pemanenan pohon dilakukan sebelum usia panen (ijon) yang dalam hal ini dikarenakan adanya kebutuhan hidup yang mendesak. 5) Petani tidak mempunyai kelompok kerja bersama untuk kegiatan pemasaran. 6) Akses sarana dan prasarana transportasi yang kurang baik sehingga biaya transportasi menjadi mahal. 7) Adanya biaya-biaya tak terduga akibat kebijakan yang tumpang tindih dan biaya lain yang bersifat tidak dapat dipulihkan {hangus) akibat pohon sudah ditawar dan dibayar sebelum aitebang sementara ada biaya-biaya yang harus ditutupi dalam proses pemasaran kayu tersebut. Pembelajaran dari hasil kajian pemasaran dapat berguna bagi petani untuk memilih saluran pemasaran yang sesuai dan terbaik dalam memberikan kemudahan dan keuntungan yang layak. Bagi stakeholder, kajian pemasaran dapat memberikan gambaran bahwa pemerintah dan lembaga pengembangan masyarakat perlu memberikan perhatian dalam penguatan kapasitas petani, memberikan informasi pasar yang cukup, memfasilitasi hubungan ke jalur pemasaran, dan membuat kebijakan yang dapat menjadi insentif bagi pemasaran dan mengurangi biaya tak terduga. Dengan beragamnya pola pemasaran setiap produk agroforestri dan permasalahan yang mungkin saja. spesifik di setiap produk atau bahkan wilayah, maka penelitian pemasaran menjadi penelitian yang dinamis untuk terus diteliti agar dapat memberikan solusi bagi perbaikannya.
~121.q
E. Agroforestri dan Perekonomian Wilayah Wijayanto (2002b) meneliti sistem agroforestri kompleks di Lampung Barat yaitu repong damar dalam suatu analisis ekonomi regional serta distribusi pendapatan menggunakan metode Location Quotien (LQ) dan indeks Gini. Hasil penelitian menyebutkan bahwa sektor damar telah menjadi kegiatan dasar dan memberi pertumbuhan ekonomi positif di Lampung Barat. Distribusi pendapatan di tiap kecamatan di wilayah Pesisir Krui yang ditunjukkan dengan indeks Gini yaitu sebesar 0,356 un't!uk Kecamatan Pesisir Selatan; 0,300 ~ntuk Kecamatan Pesisir Tengah; 0,526 untuk Kecamatan Pesisir Utara, dan 0,394 untuk wilayah Pesisir Krui. Hal ini menunjukkan kalau repong damar mempunyai kontribusi utama terhadap distribusi pendapatan di wilayah Pesisir Krui. Agroforestri sebagai suatu ekosistem yang diusahakan secara berkelanjutan telah menunjukkan tidak saja memberikan manfaat bagi petani secara langsung, tetapi juga dapat memberikan efek bagi distribusi pendapatan dan perekonomian wilayah. Repong damar sebagai suatu bentuk sistem agroforestri yang telah secara turun temurun dengan mengandalkan kearifan lokal masyarakat ternyata mampu menjadi ujung tombak perekonomian wilayah. Penelitian agroforestri dan perekonomian regional menunjukkan bukti bahwa sektor kehutanan secara nyata memberikan kontribusi bagi perekonomian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan kearifan lokal budaya masyarakat setempat. 6. Pemodelan dan Optimasi Hasil dalam Agroforestri Secara umum, keputusan pemilihan penggunaan lahan dalam bentuk agroforestri bertujuan menyediakan hasil-hasil panen dalam jangka pendek sampai jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Artinya, sistem agroforestri . dapat memberikan pendapatan · jangka pendek (harian, mingguan, bulanan), menengah (tiga bulanan), bahkan pendapatan tahunan dari hasil panen kayunya. Kombinasi jenis tanaman yang dipilih petani dalam pemanfaatan lahannya akan memberikan penerimaan yang bervariasi pula. Para petani yang mengelola lahan secara tradisional sangat jarang memikirkan pemanfaatan lahan secara optimal. Mereka lebih memilih pola pemanfaatan lahan secara maksimal yang arti harafiahnya adalah menanami setiap jengkal lahan dengan tanaman yang diharapkan dapat memberikan hasil produksi dan pendapatan sebesar-besarnya. Padahal, sumber daya yang ada terbatas. Akibatnya adalah tidak semua tanaman dapat tumbuh dengan baik dan bahkan dapat menimbulkan kerugian akibat perkembangan tanaman yang terhambat. Riset optimasi menawarkan pengelolaan lahan untuk mencapai hasil yang optimal dengan meminimalkan kendala/keterbatasan yang ada. Oleh karena itu, riset optimasi dapat menjadi sarana untuk memperlihatkan pola pemanfaatan lahan dengan pola tanam yang optimal yang memberikan hasil dan pendapatan yang optimal pula. Dengan penerapan kombinasi tanaman dalam pola agroforestri, diharapkan petani mempunyai kesinambungan hasil untuk mencukupi kebutuhan jangka pendek sampai tabungan jangka panjangnya dibandingkan dengan
&o-122~
menerapkan pola tanamnya selama ini. Skenario-skenario yang ditawarkan hasil riset optimasi dapat menjadi pedoman untuk diterapkan di lapangan. Beberapa riset optimasi yang berhasil dikumpulkan tersaji pada Tabel 24. Tabel 24. Riset optimasi pemanfaatan Ia han secara agroforestri No. lokasi/Sumber Pola tanam Hasil optimasi 1
2
3
Magelang, . La han tegal region atas Jawa Tengah ditanami jagung, ubi kayu, (Andayani, hortikultura, tembakau, dan 2005a) kayu. Lahan tegal region tengah ditanami jagung, ubi kayu, padi tadah hujan, kopi, dan kayu. Lahan tegal region bawah ditanami jagung, ubi kayu, padi gogo, kopi, cengkeh, dan kayu. Boyolali, Jawa Strata 1 Pola 1: tanaman Tengah kayu-kayuan (sengon, mindi, (Jariyah, 2009) suren, dan mahoni}, tanaman semusim (jagung, ketela pohon, ketela ram bat, cabai, jahe), rumput. Strata 1 Pola 2: tanaman kayu-kayuan (sengon, mindi, suren, mahoni, dan jati), tanaman perkebunan (petai, durian, alpukat, pisang, dan kopi), tanaman semusim (jagung, ketela pohon, ketela ram bat, cabai, dan jahe), rum put. Strata 2: tanaman kayukayuan (sengon, mindi, suren, dan mahoni), tanaman perkebunan (petai, durian, alpukat, pisang, dan kopi), tanaman semusim (jagung, ketela pohon, ketela rambat, cabai, dan jaheL rum put. Pekalongan, pinus dan sayur-mayur Jawa Tengah (Basuki, 2000)
~123~
Seluruh lahan kering dikelola dengan pola agroforestri kayu dengan tanaman (sonokeling, sengon, mahoniL tanaman semusim (pangan, palawija), hortikultura (sayuran), dan tanaman perkebunan (cengkeh, kopi).
Strata 1 Pola 1: lahan ditanami sengon dengan luas 0,12 ha (52%) dan ditanami cabai seluas 0,11 ha {48%). Strata 1 Pola 2: lahan ditanami sengon dengan luas 0,115 ha (SO%). dan ditanami rumput seluas 0,115 ha (50%}. Strata 2: lahan ditanami sengon seluas 0,24 ha (50%} dan rumput seluas 0,24 ha (SO%}.
I
Luas lahan tumpangsari = 0,25 ha dengan pola tanam tanaman sayuran yang sesuai yaitu: luas areal tanaman jagung 0,0587 ha, kol 0,0493 ha, kentang 0,1071 ha, bawang daun 0,0349 ha, dan seledri tidak ditanam/ sangat kecil ditanam sebagai pembatas bagian plot.
Lanjutan Tabel 24. No. lokasi/Sumber 4 Gunung Kidul, Yogyakarta (Darudono, 1995)
Pola tanam Pola 1 (jati, jagung, kedelai,ubi Rayu), Pola 2 (jati, kacang tanah, jagung, ubi kayu), Pola 3 (jati, jagung, kedelai, kacang tanah, ubikayu}, kelapa, ternak sapi, dan kambing.
Hasil optimasi Kombinasi 1: luas lahan 0,5953 ha, ditanami jati sebanyak 1.372. batang pada lahan 0,4188 ha dan kelapa sebanyak 28 batang pada lahan seluas 0,1835 ha. Kombinasi 2: luas lahan 0,5580 ha, ditanami tanaman pangan Pola 2 seluas 0,4774 ha dan rumput makanan ternak seluas 0,0806 ha. Dengan kebijakan agroforestri, maka pola tanam berubah menjadi: jati sebanyak 558 batang seluas Q,1674 ha, pakan ternak 0,914 ha dan tanaman pangan Pola 2 seluas 0,2292 ha. Kombinasi 3: luas lahan 0,5776 ha, ditanami tanaman Pola 3 seluas 0,5776 ha. Dengan kebijakan agroforestri, maka berubah menjadi tanaman jati 577 batang seluas 0,1733 ha dan tanaman Pola 3 seluas 0,4043 ha·.
Pilihan bentuk optimal dalam penerapan agroforestri ini dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dibandingkan pola tanam awalnya, meskipun tidak selalu demikian karena nilai optimal belum tentu merupakan nilai yang maksimal. Darudono (1995) menilai bahwa penerapan agroforestri pada Kombinasi 3 dapat meningkatkan pendapatan sampai 65,60% dari pe"nerapan pola sebelumnya (pola 3). Akan tetapi, kebijakan penerapan agroforestri pada Kombinasi 2 menyebabkan pendapatan turun 6,22%. Riset optimasi sebagai skenario pola tanam optimal dapat digunakan untuk meminimalkan konflik dalam pengusahaan hutan ·negara. Basuki (2000) menyebutkan bahwa ternyata pertumbuhan tanaman pinus di lahan agroforestri sayuran mencapai 75,75% dan petani selain mendapatkan keuntungan juga mendapatkan tambahan persediaan makanan pokok. Dengan demikian, hasil riset optimasi dapat menjadi win-win solution dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat. Riset optimasi dapat pula menjadi alat untuk menentukan kebijakan yang tepat sebagai insentif bagi petani untuk mengelola lahan secara agroforestri. Sampai saat ini, secara umum kondisi petani hutan rakyat masih terkendala pada ketersediaan modal, bibit, pupuk, dan tenaga kerja (Jariyah, 2009). Andayani (2005a) telah mengemukakan bahwa kendala dalam pengelolaan lahan adalah
ro.e124~
pemenuhan saprodi. Dengan memberikan insentif berupa kredit untuk pemenuhan saprodi, maka keuntungan petani diprediksi akan meningkat sig~ifikan. Pendapatan petani pada Region atas naik 25,4%-58,2% dengan komposisi tanaman kayu (9,93%-33,7%L tanaman semusim dan hortikultura (10%), dan sisanya tanaman perkebunan. Region tengah naik 30,7% dengan komposisi kayu dan tanaman perkebunan 17,63% dan sisanya tanaman semusim. Jika seluruh areal ditanami tanaman perkebunan, pendapatan naik 150%. Region bawah naik 21%-14Sro dengan komposisi kayu (27,9%} dan kebun (72,10%). Riset pemodelan dalam pengelolaan lahan tidak hanya untuk memberikan alternatif pemilihan jenis tanaman untuk memberikan hasil yang lebih baik. Terkait dengan isu perubah_an iklim dan perdagangan karbon, agroforestri dapat berperan juga dalam jasa lingkungan yaitu dalam aktivitas penyerapan karbon yang dapat memberikan imbal jasa lingkungan. lmbal jasa lingkungan menjadi bahan diskusi ekonomi yang dapat r:'enjadi salah satu insentif untuk mempertahankan bentuk hutan dan mengelola agroforestri dengan baik. Riset-riset agroforestri dan jasa lingkungan, khususnya untuk penyerapan karbon dan hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi topik yang menarik disamping topik penelitian ekonomi pad a ·umumnya. Wise dan Cacho {2008} melakukan pemodelan dengan menggunakan data dari bentuk agroforestri di Jambi yaitu Gliricidia sepium yang merupakan pohon multi manfaat dan jagung sebagai tanaman semusim. Model digunakan untuk menghitung efek interaksi antara pohon dan tanaman semusim dalam bentuk produk seperti bakar jagung. Untuk pembayaran karbon digunakan Reductions) dan NPV sehingga dihasilkan perhitungan CER optimasi produksi dan hasil Skenario pemodelan ekonomi seperti penelitian Wise dan Cacho {2008} ini dapat digunakan sebagai bahan kebijakan untuk menentukan strategi dalam pemberian insentif pengelolaan agroforestri oleh petani. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai pemilik lahan, petani yang memiliki lahan relatif subur akan lebih mudah untuk mengkonversi tanaman kehutanan menjadi pertanian. Berbeda dengan petani yang memiliki ·Ia han kurang subur yang akan mendapat manfaat dari adanya pohon sebagai penyubur tanah, dan bahkan pe~dapatan tambahan dari pembayaran karbon. Karena itu, penelitian-penelitian pemodelan dan imbal jasa lingkungan dapat menjadi salah satu topik penelitian ekonomi agroforestri kedepan khususnya di lndo~esia mengingat komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon dari bidang kehutanan. Apabila pemerintah dan stakeholder lain lalai dalam memperhitungkan emisi karbon dari areal penggunaan lain di luar kawasan hutan, yang salah satunya adalah bentuk-bentuk agroforest, maka emisi akan tetap tinggi. Kebijakan-kebijakan terkait agroforestri dalam menghadapi perubahan iklim menjadi salah satu solusi untuk membantu penurunan emisi karbon khususnya dari Indonesia.
&->125~
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A.J. 1987. Pendapatan dan Biaya Pada Beberapa Sistem Agro Kehutanan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Kediri. Sylva Tropika 2(1): 1-4. Adjidarma. 1996. Sisi Lain Agroforestry di Pare. Duta Rimba 20: 44-49. Affandi, 0. 2010. Reba Juma:,, Kelestarian Praktek Agroforestri Lokal Pada Masyarakat Karo, Propinsi Sumatera Utara. Presiding Agroforestri Tradisional di Indonesia bulan Desember 2010 di Bandar Lampung. Him. 123-136. UNILA, INAFE, SEANAFE, Ford Foundation dan FKKM. Bandar Lampung. Andayani, W. 2002. Analisis Finansial Potensi Sengon Rakyat Pola Agroforestry di Kabupaten Wonosobo. Jurnal Hutan Rakyat 4(2): 1-23. Andayani, W. 2005a. Analisis Optimalisasi P0m,~nfaatan Lahan Pola Agroforestri di Kabupaten Magelang. Dalam: Andayani, W. 2005. Ekonomi Agroforestri. Debut Press. Yogyakarta.
.
Andayani, W. 2005b. Analisis Sistem Bagi Hasil Pengusahaan Hutan Jati Pola Agroforestri di KPH Pemalang, Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Dalam: Andayani, W. 2005. Ekonomi Agroforestri. Debut Press. Yogyakarta. Andayani, W. 2005c. Ekonomi Pengelolaan Hutan Rakyat: Aspek Kajian Pola Usahatani dan Pemasaran Kayu Rakyat. Dalam: Awang, S.A. 2005. Kelangkaan Air: Mitos Sosial, Kiat, dan Ekonomi Rakyat. Seri Bunga Rampai Hutan Rakyat. Debut Press. Yogyakarta. Andayani, W. 2008. Analisis Ekonomi Pola Usahatani Agroforestry di Kabupaten Boyolali. Modul Mata Kuliah Pengelolaan Agroforestry (Aspek Ekonomi) Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). Yogyakarta. (tidak diterbitkan). Andayani, W. 2010. Analisis Efisiensi Pemasaran Kacan~ Mete {Cashew Nuts) di Kabupaten Wonogiri. Presiding Agroforestri Tradisional di Indonesia Bulan Desember 2010 di Bandar Lampung. Him. 195-208. UNILA, INAFE, SEANAFE, Ford Foundation dan FKKM. Bandar Lampung. Basuki, S. 2000. Optimasi Pola Usaha Tumpangsari dengan Program Tujuan Ganda pad a Areal Tanaman Pinus. Website: http://puslitsosekhut. web.id/ publikasi.php?id=10. Diakses tanggal15 Juni 2011. Buddhisatyarini, T., Sutrisno, dan Triyono. 2005. Ragam Pola Hutan Rakyat di Dlingon, Bantu!. Dalam: Awang, S.A. 2005. Petani, Ekonomi, dan Konservasi: Aspek Penelitian dan Gagasan. Seri Bunga Rampai Hutan Rakyat. Debut Press. Yogyakarta. Budidarsono, S. dan K. Wijaya. Praktek Konservasi dalam Budidaya Kopi Robusta dan Keuntungan Petani. Agrivita 26(1): 107-117.
II'P126~
Cahyono,
Faktor Kelayakan, Ra kyat. Info
Darudono. Agroforestri: Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. (tidak
Usaha Tesis.
Diniyati, D., S.E. Des a Dukuh Dalam, Kabupaten Kuningan. Presiding Ekspose Terpadu Hasil Penelitian Oktober 2004 di Yogyakarta. Him. 133-145. Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogya ka rta. Ernaningsih, Y.i Tumbuhan dalam Peningkatan Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus di Sumberejo, Kecamatan Japah, Kabupaten Rakyat 6(2): 47-64. Hadi,
Alokasi Waktu Pesanggem Proyek Pengelolaan Hutan Jati Optimal (PHJO) di Tangen, Nasional !groforestry lllPeranan Strategis Sumber Alam Secara Lestari dan Him; Fakultas di
Hakim, 1., S.
Rehabilitasi dengan Pola lau Jawa: Studi Kasus di KPH Hasil Litbang 'Ll'-'''-'YY~IC>Ll~~ 2004 di Palembang. Him.
Hutan dan 76-90. Puslitbang
(P3H&KA). Bogar. Cultivation Crops People Technical Report 1.
Harun, M.K. Khas Lahan Kalimantan Litbang Kehutanan Bagian Timur, dan Bog or.
Indonesia P3H&KA.
Studi Pengembangan lkhsan, S. Paembonan, M.L. Lande, dan U. Arsyad. Hutan Tanaman lndustri Kemiri-Coklat dengan Agroforestri di Kecamatan Camba Maras. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makasar. (tidak diterbitkan). lswandi M.R., A. Anwar A, B. Nasendi, H. Siregar. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Hutan Rakyat Agroforestri · Kombinasi Jenis Pohon Serbaguna dan Kakao: Studi Kasus di Propinsi Sulawesi Tenggara. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14(4):
&<>127~
Jariyah,
Kamaludin,
RPH
Kecamatan Presiding di Bandar
Soeharto, B. 2010. Tembawang: Bukan Agroforestri 3(3):
Agroforestri. Kiprah
Soekartawi, 2002, Analisis Usaha Tani. Ul []Press. Sudibjo, N. 1999. Kajian Pendapatan Rumah Jambi). Workin,g
dan Kontribusinya terhadap Muara Bungo, Bungo Tebo,
Suharjito, D., L. Sundawati, dan Budaya (ICRAF) SEA. Bogor.
Sosial Ekonomi
Sumarhani. 2005. Pengelolaan Rehabilitasi Tasikmalaya). Presiding Konservasi Alam tanggal P3H&KA.
Sebagai Solusi Sumedang, dan KPH Hasil Litbang Hutan dan Palembang. Him. 91-100.
Sundawati, L. Sistem Kebun Agroforestry. Sundawati 1 L dan in Gunung
System
in The Savanna of Timor
Surata, I.K. Island, Suryadi, M.A.S. Mahbub, dan M.L Madjo~ Rakyat di Desa Kecamatan Skripsi. Jurusan Kehutanan· diterbitkan). Susanti,
Hutan Kemiri Kabupaten Sinjai. Makasar. (tidak
2000. Dampak Tumpangsari
Kayu
Putih terhadap
Kesempatan Kerja Pendapatan Pesanggem di RPH Kemuning, BKPH Kemlagi KPH Mojokerto. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
diterbitkan).
Syahrani H. 2003. Analisis Kelayakan Finansial Tanaman Buah Durian (Durio Zibethis Murr) di' Ka Kutai Kertanegara Propinsi Kalimantan Timur. Jurnal Ekonomi Pembangunan 8(2): 137-146. Trison, S. 2008. Konsep dan Proses Sundawati, L D.R. Nurrochmat (eds). Agroforestry. Fakultas Kehutanan (ICRAF). Bogor. ~Tukan,
Agroforestry. Dalam: Pemasaran Produk-produk World Agroforestry Centre
C.J.M., Yulianti, J.M. Roshetko, D. dari Lahan Petani di Propinsi Lampung. Agrivita
Utami, D., 0. Satjapradja, dan
Susdiyanti. 2003. Dampak Pengembangan Repong
Damar Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat
~130~
Hutan Studi Kasus di
Hutan Kehutanan
Pahmungan, Krui Lampung Barat. Skripsi. Fakultas Nusa Bangsa. Bogor. (tidak diterbitkan).
Wijayanto, N. 2002a. Analisis Strategis Sistem Pengelolaan Repong Damar di Pesisir Krui, Lampung. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8(1): 39-49. Wijayanto, N. 2002b. Kontribusi Repong Damar Terhadap Perekonomian Regional dan Distribusi Pendapatan. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 8(1): 1-9. Wijayanto, N. 2004. Mixed Garden Management and Its Contribution to Household Income Farmers in Hegarmanah Village, Subdistrict of Cicantayan, Sukabumi , District. Website: http://repository.ipb.ac.id/ bitstream/handle/123456789/ 24173/Mixed%20garden%20management%20and%20its%202%201br.pdf?s equence=l. Diakses tanggal 15 Juni 2011. Wiliamsyah, A. Umar, dan S. Millang. 2003. Studi Pola Agroforestri dan Pendapatan Usa"hatani di Desa Barugae, Kecam.atan Mallawa Kabupaten Maros SuJawesi Selatan. Skripsi. Kehutanan Universitas Hasanuddin. Makasar. (tidak diterbitkan). Widyaningsih, D. Diniyati. 2010. Kontribusi Ekonomi dan Sistem Pemasaran Hasil Hutan Rakyat Pola Wanafarma di Majenang, Cilacap. Jurnal Penelitian Sosial dan Kehutanan 7(1): 55-71. Wise, R. dan 2008. Bioeconomic Meta-Modelling of Indonesian Agroforests as Sinks. Makalah pada 52nd Annual Conference La Australian Agricultural and Resource Economics Society tanggal S-8 Februari 2008 di Canberra. Website: http://ageconsearch.umn.edu/ bitstream/ 6772/2/cp08wi01.pdf. Diakses tanggal1 Agustus 2011.
~131~
VI.
-
KEBUTUHAN RISET AGROFORESTRI
A. Riset Silvikultur Agroforestri dapat dipandang sebagai seni penggunaan lahan untuk membuat penghidupan di perdesaan lebih produktif dan menarik. Peningkatan produktivitas fisik per satuan luas lahan hanya dapat dilakukan dengan aplikasi teknologi agroforestri baik yang berasal dari /oka/ knowledge maupun scientific knowledge. Pengetahuan lokal masyarakat perlu didukung dengan inovasi-inovasi hasil penelitian yang mampu menawarkan teknologi baru yang tepat guna yaitu mudah, murah dan adapted bagi petani narnun secara signifikan mampu meningkatkan produktivitas agroforestri. . Beberapa penelitian yang perlu dilakukan dalam rangka aplikasi pola tanam agrof6restri untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah: 1. Penelitian pemilihan jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan karakteristik tipe Ia han serta memberikan efek positif dalam interaksi antar tanaman. 2. Pemuliaan tanaman untuk meningkatkan prod4ktivitas agroforestri. 3. Desain kombinasi jenis dan inovasi teknologi baru dalam pola tanam agroforestri. 4. Teknologi dalam pemeliharaan tanaman untuk meningkatkan produktivitas. 5. ldentifikasi dan pengendalian hama dan penyakit tanaman pada pola agrofo rest ri. 6. Teknologi budidaya untuk pengembangan bentuk-bentuk agroforestri seperti silvofishery, apikultur, silvopastura, dan lain-lain. 7. Teknologi budidaya untuk pengembangan agroforestri dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
B. Riset lingkungan 1. Pelayanan lingkungan Agroforestri Kerusakan hutan, perubahan iklim, dan pemanasan global, menyebabkan manfaat tidak langsung dari hutan berkurang. Selain itu terjadinya alih fungsi lahan hutan menjadi Ia han ·usaha lain terutama pertanian di bagian hulu DAS telah menyebabkan erosi, degradasi debit dan kualitas air serta pencemaran di bagian hilir. Oleh karena itu diperlukan penelitian dan pengembangan agroforestri yang dapat memberikan pelayanan lingkungan antara lain: a. Pengembangan agroforestri dalam mempertahankan fungsi DAS dan membangun mekanisme hulu-hilir DAS. b. Pengembangan agroforestri dalam penyerapan C0 2 dan upaya menghadapi perubahan iklim. c. Pengembangan agroforestri dalam mempertahankan keanekaragaman hayati.
&->133~
2. Pelayanan lingkungan pada Suatu Bentang lahan Bentang lahan merupakan panorama atas suatu hamparan daratan yang terdiri atas berbagai keadaan alam baik alami maupun buatan manusia. Dalam suatu bentang lahan terdapat berbagai pola penggunaan lahan, baik agroforestri, pertanian, hutan lindung, dan sebagainya, sehingga diperlukan penelitian tentang fungsi layanan lingkungan dalam suatu bentang lahan, antara lain: 1) Fungsi hidrologi DAS dalam suatu bentang lahan. 2) Penyerapan C0 2 pada suatu bentang lahan. 3) Keanekaragaman hayati pada suatu bentang lahan. C. Riset Sosial
1. Kajian Kebijakan Kajian kebijakan agroforestri menjadi sangat penting dan strategis, karena kegiatan agroforestri diyakini merupakan solusi dari setiap permasalahan petani selama ini terkait dengan keterbatasan lahan. Beberapa bentuk penelitian kebijakan tersebut adalah: 1) ldentifikasi kebijakan dan peraturan yang mempengaruhi praktik agroforestri. 2) Anal isis stakeholder terkait agroforestri. 3) Evaluasi kebijakan yang mempengaruhi praktik agroforestri. 4) Sistem kebijakan insentif dalam agroforestri. 5) Analisis kebijakan untuk pengembangan agroforestri pada berbagai tipe lahan yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan dan berperan dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 2. Kajian Gender Perbedaan gender dalam suatu masyarakat menggambarkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan, bukan disebabkan oleh perbedaan biologis, melainkan oleh nilai-nilai, norma-norma, hukum, dan ideologi dari masyarakat yang bersangkutan. Pada beberapa daerah, aspek gender terkait dengan aspek tenurial dimana di dalamnya berhubungan dengan relasi gender, etnik, marga/suku, hubungan keluarga, atau kelas yang mempengaruhi seseorang untuk mendapatkan akses atas tanah dan sumber daya alam, pembagian kerja, serta pola pemanfaatan waktu antara laki-laki dan perempuan. 3. Kajian Sistem Penguasaan Tanah/Tenurial Sistem penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah. Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah p~hak yang memiliki hak penguasaan atas tanah secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-beda. Beberapa kajian terkait permasalahan tenurial yang dapat dilakukan adalah subjek, objek hak, dan jenis hak, jaminan kepastian terhadap hak penguasaan (tenure security}, konflik tenurial, dan res·olusi konflik. Penerapan agroforestri dapat menjadi salah satu solusi untuk penyelesaian konflik.
ibel34~
D. Riset Ekonomi Agroforestri merupakan usaha untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan untuk mendapatkan hasil yang berkelanjutan dan keuntungan yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan. Dinamisnya penggunaan lahan oleh petani/perusahaan dalam menerapkan pola agroforestri, baik pada jenis tanaman/ternak penyusunnya, sistem budidaya dan teknologi baru yang diterapkan, p_emasaran produk, serta kebijakan yang ada memerlukan jawaban dan solusi dari hasil penelitian. Oleh karena itu, keenam topik hasil-hasil penelitian ekonomi agroforestri seperti yang sudah diuraikan di bagian sebelumnya dapat terus dilakukan dengan mengarah pada pemberian solusi daripada penggambaran belaka. Berdasarkan hasil-hasil penelitian internasional dan yang bany~k menjadi permasalahan di Indonesia, topik-topik penelitian yang penting dan perlu terus diperdalam dalam kaitannya dengan ekonomi di antaranya: 1) Analisis ekonomi (meliputi analisis biaya-manfaat, optimasi, dan programa matematika/pemodelan). 2) Peran dan kontribusi agroforestri terhadap perekonomian baik secara mikro maupun makro. 3) Peran dan kontribusi agroforestri untuk menjawab isu kesejahteraan dan keadilan. 4) Analisis pasar produk-produk agroforestri. 5) Kajian pembiayaan dalam pengusahaan agroforestri. 6) Keterkaitan biofisik terhadap ekonomi dan non market valuation. 7) Peran dan kontribusi ekonomi agroforestri dalam perdagangan karbon serta upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
roel35~
II