SUTORO: SELEKSI TANAMAN JAGUNG PADA LINGKUNGAN PEMUPUKAN BERBEDA
Respon Terkorelasi Karakter Sekunder Tanaman Jagung pada Seleksi di Lingkungan Pemupukan Berbeda Sutoro
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jalan Tentara Pelajar 3A. Bogor, Jawa Barat
ABSTRACT. Correlated Responses of the Secondary Traits from Selection in Environments of Different Fertilization Rates. Selection on grain weight as the main characteristic of corn may be followed by response of secondary traits which are able to support the corn productivity. Information on correlated response of secondary traits of corn under certain environment for population selected under different fertilizer rates is still limited. Experiment was conducted involving of corn population selected from Bisma variety based on grain weight under low, medium and optimal fertilizer application and was evaluated under the same or different fertilizer rates at the environment selection in Bogor during 2004. Correlated response of secondary traits were studied using regression equation explaining the relationship between correlated response of secondary traits and stress intensity of environment. The population selected under low fertilizer application indicated a good response of secondary traits on crop grown under the same level or higher level of fertilizer rate at in environment selection. Correlated response of secondary traits under the same level of stress intensity showed a shorter of anthesis silking interval (5.57%), increase number of green leaf at flowering (3.24%) and at maturity (6.87%), gain of more seeds number per ear (4.09%) and seed size (1.65%). Keywords: Correlated response, corn, secondary traits ABSTRAK. Seleksi bobot biji sebagai karakter utama tanaman jagung, mungkin akan diikuti oleh karakter sekunder lainnya yang diharapkan mampu menunjang peningkatan bobot biji. Informasi respon terkorelasi karakter sekunder tanaman jagung pada lingkungan tertentu yang diseleksi pada lingkungan yang sama atau berbeda dengan lingkungan seleksi masih terbatas. Penelitian dilakukan dengan menanam populasi jagung hasil seleksi berdasarkan bobot biji varietas Bisma pada lingkungan pemupukan rendah, sedang, optimal dan dievaluasi karakter sekundernya pada lingkungan pemupukan yang sama atau berbeda dengan lingkungan seleksi. Penelitian dilakukan di Bogor pada MT 2004. Respon terkorelasi karakter sekunder diduga berdasarkan hubungan antara respon terkorelasi dengan beda intensitas cekaman lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanaman jagung pada lingkungan yang sama atau lebih baik daripada lingkungan seleksi menghasilkan sebagian karakter sekunder yang dapat mendukung proses peningkatan produktivitas tanaman. Respon terkorelasi karakter sekunder pada lingkungan yang sama dengan lingkungan seleksi bobot biji menghasilkan ASI lebih cepat (5,6%), meningkatkan jumlah daun hijau saat pembungaan (3,2%) dan saat panen (6,9%), meningkatkan jumlah biji tiap tongkol (4,1%), dan ukuran butir lebih besar (1,7%).
S
Kata kunci: Respon korelasi, jagung, seleksi sekunder
eleksi pada karakter utama seperti bobot biji pada tanaman, mungkin akan diikuti oleh karakter sekunder. Dalam seleksi karakter utama ini, diharapkan akan diikuti oleh karakter sekunder yang 120
mampu mendukung karakter utama. Respon terkorelasi karakter sekunder merupakan respon ikutan dari karakter tanaman sebagai akibat seleksi karakter utama tanaman. Dalam seleksi tanaman berdasarkan bobot biji pada kondisi tertentu akan diikuti oleh karakter sekunder lain yang mungkin dapat menunjang bobot biji tanaman pada kondisi yang sama atau berbeda dengan lingkungan seleksi. Seleksi tanaman untuk mendapatkan varietas unggul dapat dilakukan pada berbagai intensitas cekaman lingkungan. Varietas jagung yang telah dihasilkan umumnya diseleksi melalui bobot biji pada kondisi optimal (tanpa cekaman). Apabila tanaman hasil seleksi tersebut ditanam pada lingkungan yang sama atau berbeda akan menghasilkan respon terkorelasi karakter sekunder mungkin dapat mendukung proses peningkatan produktivitas tanaman pada lingkungan di mana tanaman tumbuh. Untuk mendapatkan tanaman yang efisien menggunakan hara dalam rangka memperoleh varietas toleran masukan pupuk rendah dapat terealisasi bila mempertimbangkan kriteria yang diperkirakan berhubungan dengan perbaikan respon tanaman terhadap cekaman. Berdasarkan korelasi genetik hasil biji dengan ASI (anthesis silking interval), jumlah tongkol tiap tanaman, konsentrasi khlorofil, jumlah daun hijau dan daun menua (senescence), maka karakter sekunder tersebut umumnya berkaitan dengan toleran cekaman N dan kekeringan (Banziger et al. 1997, Chapman and Edmeades 1999). Jumlah daun hijau saat panen berbeda antargenotipe jagung pada kondisi kekeringan dan dapat diturunkan secara moderat (Chapman and Edmeades 1999). Di samping itu, akumulasi N sebelum fase pembungaan merupakan karakter penting pada lingkungan N rendah, karena merupakan refleksi dari potensi varietas untuk mengambil dan mengirimkan N untuk pengisian biji pada kondisi cekaman hara (Cox et al. 1991). Tanaman jagung kekurangan P mengurangi laju penuaan daun yang berada di bawah tongkol (Colomb et al. 2000). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon karakter sekunder tanaman jagung akibat seleksi bobot biji yang dilaksanakan pada lingkungan pemupukan rendah, sedang, dan optimal.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 2 2007
BAHAN DAN METODE
Populasi yang diuji dalam penelitian ini adalah populasi hasil seleksi berdasarkan bobot biji pada famili fullsib (FS) dan S 1 berdasarkan penampilan halfsib (HS) dilakukan pada tiga tingkat pemupukan: rendah (75 kg urea+ 25 kg SP36/ha), sedang (150 kg urea+ 50 kg SP36/ ha) dan optimal ( 300 kg urea+ 100 kg SP36+ 50 kg KCl/ ha). Famili FS dan S1 terbaik dipilih berdasarkan selisih hasil biji yang terbesar dengan varietas Bisma pada setiap tingkat pemupukan. Famili terpilih yang terdiri dari 27 FS dan 18 S1 selanjutnya direkombinasi dan diperoleh 6 populasi (3 populasi rekombinasi FS dan 3 populasi rekombinasi S1 yang berasal dari hasil seleksi pada lingkungan pemupukan rendah, sedang, dan optimal). Selanjutnya, masing-masing populasi hasil seleksi dievaluasi pada pemupukan rendah, sedang dan optimal untuk mengetahui respon terkorelasi dari karaker sekunder tanaman. Percobaan menggunakan dalam rancangan acak kelompok dengan lima ulangan, ditanam di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, pada MT 2004 di lahan bekas pertanaman jagung. Data hasil analisis tanah pada lingkungan evaluasi ini yaitu dengan 0,14-0,19% N, 0,34-0,35 mg P/100 g, 0,16-0,35 me K/100 g. Pengamatan karakter sekunder dilakukan terhadap lima tanaman contoh acak yang kompetitif dari pertanaman dalam petak percobaan. Karakter sekunder tanaman jagung yang diamati adalah karakter yang diduga dapat mempengaruhi besaran bobot biji jagung. Karakter sekunder yang diamati pada fase pembungaan meliputi ASI (anthesis silking interval) selisih umur munculnya polen dengan rambut bunga betina, kadar khlorofil daun, jumlah daun hijau, dan LAI (leaf area index). LAI merupakan nisbah luas daun dengan luas lahan tempat tanaman itu berada. Kadar khlorofil daun diukur dengan Chlorophylmeter Minolta SPAD-502. Karakter sekunder saat panen meliputi jumlah daun hijau, LAI, jumlah biji tiap tongkol, bobot biji 200 butir, dan porsi daun menua merupakan nisbah luas daun menua dengan luas daun pada fase pembungaan. Luas daun menua sebagai selisih antara luas daun fase pembungaan dengan luas daun saat panen. ASI yang cepat dapat menghasilkan jumlah biji yang relatif lebih banyak, karena peluang bunga betina diserbuki oleh polen lebih besar. Tanaman jagung yang memiliki jumlah daun dan LAI serta khlorofil yang tinggi diharapkan dapat memberikan hasil fotosintat yang tinggi dan dapat ditranslokasikan ke dalam biji. Respon terkorelasi karakter sekunder akibat seleksi bobot biji pada lingkungan yang sama atau berbeda diduga dengan analisis regresi antara beda intensitas
cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan evaluasi dengan respon terkorelasi karakter sekunder. Intensitas cekaman lingkungan ditetapkan menurut indeks pengurangan hasil relatif, dihitung menurut Banziger et al. (1997), yaitu jika Yo dan Yp masing-masing menyatakan bobot biji pada kondisi pemupukan optimal dan pemupukan pada tingkat p, maka intensitas pengurangan hasil relatif pada tingkat p adalah (1-Yp/Yo)100%. Pada percobaan ini, bobot biji pada lingkungan seleksi pemupukan rendah, sedang dan optimal berturut-turut 2.586 kg, 3.654 kg, dan 5.587 kg/ha, sedangkan pada lingkungan evaluasi 2.334 kg, 3.216 kg, dan 4.204 kg/ha. Respon terkorelasi karakter sekunder dihitung sebagai ((XP-XB)/XB)100%, XP dan XB berturut-turut adalah nilai pengamatan karakter sekunder X pada populasi P dan varietas Bisma.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon karakter sekunder akibat seleksi bobot biji pada lingkungan pemupukan rendah, sedang, dan optimal disajikan pada Tabel 1-2. Hasil uji beda rata-rata karakter sekunder yang menunjukkan perbedaaan yang nyata dengan varietas Bisma sebagai populasi dasar yaitu jumlah daun saat berbunga dan jumlah biji tiap tongkol. Respon terkorelasi jumlah daun saat berbunga pada lingkungan pemupukan rendah akibat seleksi bobot biji pada pemupukan rendah meningkat, bila dibandingkan dengan populasi dasar. Seleksi bobot biji pada pemupukan optimal menghasilkan jumlah daun yang lebih sedikit pada lingkungan pemupukan rendah dan sedang. Tanaman hasil seleksi bobot biji pada pemupukan optimal juga menghasilkan jumlah biji lebih sedikit pada lingkungan pemupukan rendah. Nampak bahwa keunggulan varietas pada kondisi optimal tidak diekspresikan pada lingkungan suboptimal (Ceccareli 1994). Perbedaan besaran dari karakter sebagai respon terkorelasi karakter sekunder nampaknya kecil, sehingga perbedaan itu belum mampu dideteksi dengan uji beda rata-rata antarperlakuan. Analisis regresi menunjukkan hubungan antara respon terkorelasi karakter sekunder dengan perbedaan intensitas cekaman lingkungan. Intensitas cekaman lingkungan sebagai indikator kondisi lingkungan di mana tanaman tumbuh. Intensitas cekaman digunakan mengingat kondisi lahan berbeda antara lingkungan seleksi dengan lingkungan evaluasi. Hasil analisis regresi respon terkorelasi karakter sekunder pada fase pembungaan dan panen diuraikan berikut ini.
121
SUTORO: SELEKSI TANAMAN JAGUNG PADA LINGKUNGAN PEMUPUKAN BERBEDA
Tabel 1. Respon terkorelasi karakter sekunder tanaman fase berbunga pada lingkungan evaluasi pemupukan rendah, sedang, dan optimal. Bogor, MT 2004. Lingkungan evaluasi
Populasi
Lingkungan seleksi
ASI (hari)
Khlorofil daun
Jumlah daun saat pembungaan
LAI saat pembungaan
Pupuk rendah
FS
Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal -
4,0 4,0 4,4 4,4 5,0 4,8 4.6
44,25 42,06 42,79 42,30 44,88 42,42 44,96
11,0* 10,2 9,7+ 10,4 10,3 10,0 10,2
2,670 2,444 2,338 2,503 2,450 2,447 2,484
Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal -
4,0 4,0 4,6 4,6 4,4 4,2 4,2
43,37 48,92 48,22 48,34 50,21 49,62 46,22
11,2 11,0 11,0 11,2 10,9 10,4+ 11,0
3,040 3,236 3,323 3,306 3,195 2,923 3,119
Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal -
3,4 3,4 3,6 3,6 4,0 3,4 3,6
47,85 47,89 47,82 46,92 46,96 48,50 47,16
11,2 11,2 11,4 11,5 11,4 11,1 11,4
3,108 3,456 3,498 3,345 3,122 3,431 3,284
LSI 5% LSI 10%
1,1 0,9
4,77 3,71
0,7 0,6
0,348 0,271
S1(HS)
Bisma Pupuk sedang
FS
S1(HS)
Bisma Pupuk optimal
FS
S1(HS)
Bisma
* dan + berbeda nyata pada taraf 5% dan 10% dibandingkan dengan Bisma. LSI= least significant increase Tabel 2. Respon terkorelasi karakter sekunder tanaman fase panen pada pemupukan rendah, sedang, dan optimal di lingkungan evaluasi. Lingkungan evaluasi
Populasi
Lingkungan seleksi
Pupuk rendah
FS
S1(HS)
Bisma Pupuk sedang
FS
S1(HS)
Bisma Pupuk optimal
FS
S1(HS)
Bisma
Jumlah daun saat panen
LAI saat panen
Porsi daun menua
Bobot 200 butir (g)
Jumlah biji tiap tongkol
Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal -
4,48 4,36 4,32 4,32 4,76 3,64 4.20
1,094 0,909 0,896 0,906 1,031 0,772 0,919
0,588 0,622 0,621 0,630 0,577 0,688 0,638
49,96 48,09 49,19 48,59 48,83 47,68 48,16
331,1 327,6 270,5+ 317,9 329,8 314,0 318,4
Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal -
4,84 5,00+ 4,88 3,96 4,56 3,76 4.32
1,268 1,400 1,370 1,166 1,258 1,001 1,204
0,587 0,576 0,589 0,648 0,615 0,657 0,621
49,26 49,34 49,01 50,00 48,85 49,38 48,73
343,0 338,8 352,0 344,3 346,9 349,4 337,8
Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal Pupuk rendah Pupuk sedang Pupuk optimal -
5,00 5,00 5,56 5,08 4,84 4,76 5,16
1,324 1,449 1,639 1,497 1,315 1,394 1,489
0,576 0,577 0,536 0,557 0,575 0,591 0,547
49,15 48,65 48,90 49,51 49,93 48,54 48,27
345,8 345,3 352,8 365,7 361,5 345,2 346,9
LSI 5% LSI 10%
0,91 0,70
0,358 0,279
0,095 0,074
2,89 2,25
48,8 37,9
* dan + berbeda nyata pada taraf 5% dan 10% dibandingkan dengan Bisma. LSI= least significant increase
122
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 2 2007
Karakter sekunder ASI diharapkan berlangsung tidak lama, karena makin lama ASI mengakibatkan proses penyerbukan tidak sempurna sehingga bobot biji menjadi berkurang. ASI sebagai karakter sekunder perlu dipertimbangkan dalam seleksi untuk lingkungan N rendah (Banziger et al. 2000). Persamaan regresi respon terkorelasi ASI dengan beda intensitas cekaman adalah y= -5,57 – 0,556 x (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa bila x=0 berarti tidak ada perbedaan intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi sehingga respon terkorelasi ASI pada lingkungan yang sama menghasilkan respon ASI sebesar 5,6%. Dengan kata lain, seleksi bobot biji akan diikuti oleh ASI yang lebih cepat 5,6% hari dari ASI populasi dasar pada lingkungan yang sama. Dari Gambar 1 menunjukkan titik hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan dan evaluasi dengan respon terkorelasi ASI. Apabila lingkungan seleksi lebih subur daripada lingkungan evaluasi (x<10%) maka respon terkorelasi ASI menjadi lebih lama. Hal ini menunjukkan apabila populasi hasil seleksi bobot biji pada lingkungan pemupukan tinggi, maka respon terkorelasi ASI pada pemupukan rendah menjadi lebih lama. Respon terkorelasi ASI pada lingkungan evaluasi
Tabel 3. Parameter regresi y = a + bx, hubungan antara respon terkorelasi (%) karakter sekunder pada fase berbunga dengan beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dengan evaluasi (%). Parameter R2
Karakter sekunder
Respon terkorelasi ASI (%)
ASI Khlorofil Jumlah daun saat pembungaan LAI saat pembungaan
a
b
-5,57* 1,70tn 3,24** 9,47**
-0,558** 0,114* 0,275** 0,590**
0,70 0,28 0,83 0,70
40,00 20,00 0,00 -100
-50
0
50
-20,00
-40,00 Beda intensitas cekaman (%)
Gambar 1. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi dengan respon terkorelasi ASI.
yang lebih baik daripada lingkungan seleksi menghasilkan ASI lebih cepat daripada ASI populasi dasar. Hal ini meng-indikasikan, seleksi bobot biji pada pemupukan rendah menghasilkan ASI yang lebih cepat pada pemupukan yang lebih tinggi. Seleksi bobot biji pada lingkungan pemupukan optimal menghasilkan respon ASI yang lebih lama pada lingkungan pemupukan rendah dibandingkan dengan seleksi bobot biji pada pemupukan rendah dan sedang. Respon terkorelasi ASI yang lebih cepat juga terjadi pada kondisi kekeringan. Pada kondisi kekeringan, respon terkorelasi ASI akibat seleksi bobot biji rata-rata tiga siklus sebesar -1,18 hari (17,2%) untuk populasi La Posta Sequia dan -0,44 hari (6,9%) untuk populasi Tuxpeno Sequia dari delapan siklus pada kondisi kekeringan (Chapman and Edmeades 1999). Respon terkorelasi khlorofil daun akibat seleksi bobot biji tidak seperti pada ASI. Dari persamaan regresi ditunjukkan bahwa koefisien regresi intersep (Tabel 3) tidak berbeda nyata dengan 0 (nol). Dengan demikian, tidak ada respon terkorelasi khlorofil pada lingkungan yang sama dengan lingkungan seleksi. Gambar 2 menunjukkan bahwa khlorifl cenderung meningkat pada lingkungan yang lebih subur daripada lingkungan seleksi. Besaran koefisien determinasi persamaan regresi (R2=0,28) rendah mengindikasikan ketepatan pendugaan hubungan yang rendah. Banziger dan Laffite (1997) melaporkan, seleksi bobot biji dan khlorofil meningkat efisiensinya 4% dibanding seleksi bobot biji saja. Bila seleksi bobot biji dan karakter ASI, jumlah biji tiap tongkol, dan daun menua, tanpa khlorofil melalui seleksi indeks, efisiensinya meningkat 11% pada lingkungan pemupukan N rendah. Dari hasil penelitian ini nampaknya khlorofil belum dapat dipertimbangkan sebagai kriteria seleksi, karena di samping memiliki heritabilitas yang rendah juga memiliki korelasi genetik dengan bobot biji yang rendah. Laffite dan Edmeades (1994) mengindikasikan khlorofil sebagai indikator lingkungan daripada nilai pemuliaan suatu genotipe. Respon terkorelasi khlorofil (%)
ASI, Khlorofil, Jumlah Daun, dan LAI Fase Pembungaan
10,00 5,00 0,00 -100
-50
-5,00 0
50
-10,00 -15,00 Beda intensitas cekaman (%)
Gambar 2. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi dengan respon terkorelasi khlorofil.
123
20,00 10,00 0,00 -100
-50
0
50
-10,00 -20,00
Respon terkorelasi LAI saat pembungaan (%)
Respon terkorelasi jumlah daun saat pembungaan (%)
SUTORO: SELEKSI TANAMAN JAGUNG PADA LINGKUNGAN PEMUPUKAN BERBEDA
40,00 20,00 0,00 -100
Respon terkorelasi jumlah daun dan LAI saat berbunga pada lingkungan yang sama antara lingkungan seleksi bobot biji dan lingkungan evaluasi umumnya meningkat. Respon terkorelasi jumlah daun meningkat 3,2% dan LAI saat berbunga meningkat 9,5%. Selanjutnya seleksi bobot biji pada lingkungan yang kurang subur menghasilkan peningkatan jumlah daun dan LAI saat berbunga pada lingkungan yang lebih subur daripada lingkungan seleksi bobot biji (Gambar 3-4). Respon terkorelasi jumlah daun dan LAI saat berbunga makin rendah pada lingkungan evaluasi yang kurang subur daripada lingkungan seleksi. Dengan demikian, untuk lingkungan pemupukan rendah agar menghasilkan jumlah daun dan LAI saat berbunga yang menunjang produktivitas tanaman sebaiknya dilakukan seleksi bobot biji dengan pemupukan yang sama pada lingkungan pemupukan rendah. Jumlah Daun, LAI, dan Porsi Daun Menua Saat Panen
Jumlah daun hijau saat panen berbeda antargenotipe jagung pada kondisi cekaman dan dapat diturunkan secara moderat (Chapman and Edmeades 1999). Ratarata realisasi respon terkorelasi jumlah daun saat panen pada lingkungan pemupukan yang berbeda dengan lingkungan seleksi bobot biji menghasilkan respon lebih rendah daripada lingkungan pemupukan yang sama. Persamaan regresi untuk jumlah daun saat pembungaan adalah y= 6,87 + 0,452 x. Hal ini menunjukkan bahwa pada lingkungan evaluasi dan seleksi yang sama, respon terkorelasi jumlah daun meningkat 6,9%. Di samping itu, makin subur lingkungan evaluasi daripada lingkungan seleksi bobot biji makin meningkat respon terkorelasi, tetapi makin menurun jumlah daun saat panen bila lingkungan evaluasi kurang subur daripada lingkungan seleksi (Gambar 5).
124
0
50
-20,00 -40,00 Beda intensitas cekaman (%)
Beda intensitas cekaman (%)
Gambar 3. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi dengan respon terkorelasi jumlah daun saat pembungaan.
-50
Gambar 4. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi dengan respon terkorelasi LAI saat pembungaan.
Tabel 4. Parameter regresi y=a + bx, hubungan antara respon terkorelasi (%) karakter sekunder pada fase panen dengan beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi (%). Parameter R2
Karakter sekunder
Jumlah daun saat panen LAI saat panen Porsi daun menua Jumlah biji tiap tongkol Bobot 200 butir
a
b
6,87* 15,6** -3,08tn 4,09** 1,65**
0,452** 1,010** -0,332** 0,245** 0,023tn
0,63 0,82 0,65 0,69 0,17
LAI saat panen memberikan respon yang sama dengan jumlah daun saat panen. Respon LAI meningkat pada lingkungan pemupukan yang sama dengan lingkungan seleksi bobot biji sebesar 15,6% seperti ditunjukkan oleh koefisien intersep persamaan regresi (Tabel 4). Dari persamaan regresi dapat pula ditafsirkan respon terkorelasi LAI meningkat 10,1% pada lingkungan yang lebih subur 10% daripada lingkungan seleksi bobot biji. Pertanaman jagung yang memiliki LAI relatif tinggi saat panen diharapkan akan menghasilkan bobot biji yang tinggi pula. Respon terkorelasi LAI meningkat pada lingkungan evaluasi yang lebih subur daripada lingkungan seleksi bobot biji (Gambar 6). Porsi daun menua diharapkan makin sedikit sehingga luas daun yang masih hijau masih banyak, hasil fotosintesis lebih banyak, dan diharapkan bobot biji makin tinggi. Respon terkorelasi porsi daun menua pada lingkungan cekaman yang sama dengan lingkungan seleksi bobot biji tidak nyata (Tabel 4). Nampaknya respon terkorelasi porsi daun menua bergantung pada populasi tanaman yang diseleksi. Sebagai perbandingan, respon terkorelasi porsi daun menua pada kondisi kekeringan rata-rata bertambah 2,1% pada populasi La Posta Sequia,
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 2 2007
tetapi menurun 0,7% pada populasi Tuxpeno Sequia (Chapman and Edmeades 1999). Pada penelitian ini, respon terkorelasi daun menua menurun pada lingkungan yang lebih subur daripada lingkungan seleksi bobot biji dan meningkat pada lingkungan yang kurang subur (Gambar 7). Jumlah Biji Tiap Tongkol dan Ukuran Butir
Jumlah biji tiap tongkol dan ukuran butir yang dimanifestasikan oleh bobot 200 butir merupakan komponen hasil jagung. Respon terkorelasi jumlah biji tiap tongkol meningkat 4,1% pada lingkungan yang sama dengan lingkungan seleksi bobot biji, yang ditunjukkan oleh koefisien intersep dari persamaan regresi (Tabel 4). Pada lingkungan yang lebih baik, respon terkorelasi meningkat, tetapi pada lingkungan yang kurang baik daripada lingkungan seleksi, respon terkorelasi menurun (Gambar 8). Seleksi hasil tinggi pada lingkungan subur memacu hilangnya adaptasi spesifik untuk kondisi cekaman, sedangkan seleksi hasil tinggi pada lingkungan cekaman tidak menghilangkan potensi hasil (Ceccareli
et al. 1998, Edmeades et al. 1999) Respon terkorelasi jumlah biji pada kondisi pemupukan rendah hampir sama dengan kondisi kekeringan. Seleksi toleran kekeringan pada jagung dapat pula mengarah pada perubahan adaptif yang menguntungkan pada kondisi cekaman N (Lafitte and Edmeades 1995, Banziger et al. 1999). Respon terkorelasi jumlah biji pada kondisi kekeringan menghasilkan jumlah biji rata-rata 16,2 butir (5,8%) bagi populasi La Posta Sequia dan 2,1 butir (0,7%) bagi populasi Tuxpeno Sequia (Chapman and Edmeades 1999). Respon terkorelasi bobot 200 butir akibat seleksi bobot biji pada lingkungan cekaman yang sama meningkat 1,7% (Tabel 4). Respon terkorelasi bobot 200 butir ini hampir sama dengan hasil penelitian Chapman and Edmeades (1999) yang memperoleh respon terkorelasi pada kondisi kekeringan rata-rata dari delapan siklus meningkat 0,40 g (1,4%) bagi populasi Tuxpeno Sequia dan rata-rata tiga siklus sebesar 0,18 g (0,6%) bagi populasi La Posta Sequia. Respon terkorelasi ukuran butir tidak nyata pada intensitas cekaman yang berbeda, seperti ditunjukkan oleh koefisien persamaan regresi
20,00 10,00 0,00 -100
-50
-10,00
0
50
-20,00 -30,00 -40,00
Respon terkorelasi LAI saat panen (%)
Respon terkorelasi jumlah daun saat panen (%)
30,00
100,00 50,00 0,00 -100
Beda intensitas cekaman (%)
20,00 10,00 0,00 0
50
-20,00 Beda intensitas cekaman (%)
Gambar 7. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi dengan respon terkorelasi porsi daun menua.
Gambar 6. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi dengan respon terkorelasi LAI saat panen.
Respon terkorelasi jumlah biji tiap tongkol (%)
Respon terkorelasi porsi daun menua (%)
30,00
-10,00
50
-100,00
Gambar 5. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi dengan respon terkorelasi jumlah daun saat panen
-50
0 -50,00
Beda intensitas cekaman (%)
-100
-50
20,00 10,00 0,00 -100
-50
-10,00
0
50
-20,00 -30,00 Beda intensitas cekaman (%)
Gambar 8. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi dengan respon terkorelasi jumlah biji tiap tongkol.
125
Respon terkorelasi bobot 200 butir (%)
SUTORO: SELEKSI TANAMAN JAGUNG PADA LINGKUNGAN PEMUPUKAN BERBEDA
respon terkorelasi dari sebagian karakter sekunder yang menguntungkan untuk peningkatan produktivitas tanaman jagung bila populasi hasil seleksi ditanam pada lingkungan pemupukan yang lebih tinggi.
5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -100
-50
-1,00
0
50
-2,00 Beda intensitas cekaman (%)
Gambar 9. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan evaluasi dengan respon terkorelasi bobot 200 butir.
pada Tabel 4 dan Gambar 9. Respon bobot 200 butir tidak nyata pada intensitas cekaman yang berbeda dapat terjadi karena tanaman jagung pada intensitas cekaman tinggi masih dapat menghasilkan ukuran biji yang besar bila jumlah biji tiap tongkol sedikit.
KESIMPULAN
Respon terkorelasi karakter sekunder pada lingkungan yang sama dengan lingkungan seleksi bobot biji menghasilkan ASI lebih cepat, jumlah daun hijau, dan LAI saat berbunga dan panen lebih banyak, jumlah biji tiap tongkol dan ukuran butir lebih besar. Seleksi bobot biji pada lingkungan optimal akan diikuti oleh ASI yang lebih lama, jumlah daun hijau dan LAI saat pembungaan dan panen lebih sedikit, porsi daun menua lebih banyak, jumlah biji tiap tongkol lebih sedikit pada pertanaman jagung yang tumbuh pada lingkungan yang kurang subur. ASI lebih cepat, jumlah daun hijau, dan LAI saat pembungaan dan panen lebih banyak, jumlah biji tiap tongkol lebih banyak bagi pertanaman jagung pada lingkungan yang lebih baik daripada lingkungan seleksi bobot biji. Dengan kata lain, seleksi bobot biji pada lingkungan pemupukan rendah akan menghasilkan
126
DAFTAR PUSTAKA Banziger, M, F.J. Betran, and H.R. Lafitte. 1997. Efficiency of highnitrogen selection environments for improving maize for low nitrogen target environments. Crop Sci. 37:1103-1109.
Banziger, M and H.R. Lafitte. 1997. Efficiency of secondary traits for improving maize for low-nitrogen target environments. Crop Sci. 37:1110-1117. Banziger, M, G.O. Edmeades, and H.R. Lafitte. 1999. Selection for drought tolerance increases maize yields across a range of nitrogen levels. Crop Sci. 39:1035-1040.
Banziger, M, G.O. Edmeades, D. Beck, and M. Bellon. 2000. Breeding for drought and nitrogen stress tolerance in maize. From theory to practice. CIMMYT. Mexico. Ceccareli, S. 1994. Spesific adaptation and breeding for marginal condition. Euphytica 77:205-219.
Ceccareli, S , S. Grando, and A. Impiglia. 1998. Choice of selection strategy in breeding barley for stress environment. Euphytica 103:307-318.
Chapman, S.C. and G.O. Edmeades. 1999. Selection improved drought tolerance in tropical maize population. II. Direct and correlated responses among secondary traits. Crop Sci. 39:1315-1324. Colomb, B., J.R. Kinir y, and P. Debaeke. 2000. Efect of soil phosphorous on leaf development and senescene dynamics of field-grown maize. Agron. J. 92:428-435.
Cox, P.J.B., T. Barker, F.Z. Garcia, and J.D. Eastin. 1991. Selection and testing environments for improved performance under reduced-input conditions. In D.A. Sleper, T.C. Barker and P.J.B. Cox (eds.). Plant Breeding and Sustainable Agriculture: Considerations for objectives and methods. CSSA Special Publication No.18.
Edmeades, G.O., J. Bolanos, S.C. Chapman, H.R. Lafitte, and M. Banziger. 1999. Selection improves drought tolerance in tropical maize population: I. Gain in biomass, grain yield and harvest index. Crop Sci. 39:106-1315. Laffite, H.R. and G.O. Edmeades. 1994. Improvement for tolerance to low soil nitrogen in tropical maize. II. Grain yield, biomass production, and N accumulation. Field Crops Res. 39:1-14. Laffite, H.R. and G.O. Edmeades. 1995. Stress tolerance in tropical maize in linked to constitutive changes in ear growth characteristics. Crop Sci. 35:820-826.