SUTORO: SELEKSI BOBOT BIJI JAGUNG PADA LINGKUNGAN BERBEDA
Seleksi Bobot Biji Jagung pada Lingkungan Seleksi dan Lingkungan Target dengan Intensitas Cekaman Berbeda Sutoro
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Jl. Tentara Pelajar 3A Bogor, Jawa Barat
ABSTRACT. Response to Selection of Corn (Zea mays L.) under Different Stresses in the Selection and the Target Environments Genotypes. In Indonesia, corn is grown by farmers under different fertilizer rates and cultural practices. New variety usually was developed under optimal fertilizer application, therefore it will produce low grain yield when grown under marginal condition, lower than yield of local variety. Environment selection is important factor to determine the gain of selection on corn improvement grown in the target environment. An experiment was conducted to select full-sib and half-sib families of Bisma under low, medium and optimal fertilizer applications. Recombinations of the best families selected in those environment selections were then evaluated under low, medium and optimal fertilizer applications as target environments. Response to selection in target environment which is lower in fertility than selection environment gained a positif result when the difference between selection and target environment is not more than 44%. This indicated that variety adapted to low fertilizer rate could be obtained by selecting population under low or medium fertilizer application. Keyword: corn, selection, stress intensity ABSTRAK. Jagung di Indonesia dibudidayakan pada lahan marginal hingga subur. Varietas jagung yang dihasilkan oleh pemulia tanaman sebelumnya diseleksi pada lingkungan dengan pemupukan optimal, sehingga varietas tersebut tidak cocok pada lahan yang kurang subur. Lingkungan seleksi menentukan keberhasilan pemuliaan untuk mendapatkan varietas yang cocok dengan lingkungan yang menjadi target. Percobaan dilakukan dengan menyeleksi famili full-sib dan half-sib yang berasal dari populasi Bisma pada lingkungan pemupukan rendah, sedang, dan optimal. Selanjutnya populasi hasil rekombonasi dari famili-famili terbaik pada masing-masing lingkungan seleksi dievaluasi pada tiga tingkat pemupukan rendah, sedang, dan optimal sebagai lingkungan target. Untuk lingkungan target yang kurang subur daripada lingkungan seleksi, kemajuan seleksi masih dapat diperoleh bila perbedaan lingkungan seleksi dan lingkungan target tidak lebih dari 44%, yang mengindikasikan bahwa varietas yang beradaptasi baik pada kondisi pupuk rendah dapat diperoleh dari seleksi pada kondisi pemupukan rendah atau sedang.
P
Kata kunci: jagung, seleksi, intensitas cekaman
roduktivitas tanaman bergantung pada faktor genetik dan lingkungan tumbuh. Di Indonesia, lingkungan tumbuh jagung sangat bervariasi. Tanah adalah salah satu dari lingkungan tumbuh tanaman. Kesuburan tanah dapat ditingkatkan melalui pemupukan, namun kemampuan petani dalam penggunaan pupuk dalam budi daya jagung bervariasi. Sebagian besar areal (59%) pertanaman jagung dipupuk kurang
32
dari 50 kg/ha (Subandi dan Manwan 1990). Apabila dari hasil seleksi dalam program pemuliaan diperoleh varietas yang cocok untuk berbagai lingkungan kesuburan, maka hal itu akan sangat menguntungkan. Namun suatu varietas yang dihasilkan melalui seleksi pada lingkungan tertentu belum tentu menunjukkan penampilan yang sama bila ditanam pada lingkungan yang berbeda. Varietas jagung yang dihasilkan oleh pemulia tanaman pada umumnya merupakan varietas yang responsif terhadap pemupukan, karena diseleksi pada lingkungan dengan pemupukan optimal. Apabila varietas tersebut ditanam pada lahan yang kurang subur maka hasilnya akan rendah, bahkan kemungkinan akan lebih rendah daripada hasil varietas lokal. Dengan demikian diperlukan varietas jagung yang adaptif terhadap pemupukan takaran rendah atau varietas yang efisien dalam memanfaatkan hara yang tersedia di tanah. Seleksi pada lingkungan yang diperuntukkan pada lingkungan yang sama dengan lingkungan seleksi sebagai lingkungan target merupakan seleksi langsung, sedangkan seleksi tak langsung apabila lingkungan target berbeda dengan lingkungan seleksi (Falconer and MacKay 1996). Lingkungan seleksi menentukan keberhasilan pemuliaan untuk mendapatkan varietas yang cocok dengan lingkungan target. Seleksi pada lingkungan bukan target diduga lebih efisien daripada seleksi langsung pada lingkungan target, dan seleksi pada lingkungan yang dekat dengan lingkungan target akan menghasilkan kemajuan seleksi yang lebih besar (Banziger et al. 1997). Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan lingkungan seleksi dan lingkungan target adalah lingkungan berdasarkan pemupukan yang diberikan. Jika seleksi dilakukan pada kondisi pemupukan optimal, lalu dievaluasi pada kondisi pemupukan rendah, maka lingkungan seleksi adalah lingkungan dengan pemupukan optimal dan lingkungan targetnya adalah lingkungan dengan pemupukan rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan intensitas cekaman lingkungan seleksi dengan lingkungan target, baik pada lingkungan target yang lebih subur maupun yang kurang subur terhadap kemajuan seleksi jagung.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
BAHAN DAN METODE
Materi yang diuji adalah populasi hasil seleksi satu siklus dari varietas Bisma dengan seleksi full-sib (FS) dan galur S1 berdasarkan seleksi half-sib (HS). Famili FS diperoleh dengan menyilangkan antargalur S1 yang berasal dari varietas Bisma. Persilangan dilakukan menurut rancangan persilangan NCD II sebanyak 27 set, masingmasing set terdiri dari enam galur S1 (3 galur sebagai tetua jantan dan 3 galur sebagai tetua betina). Hasil persilangan tersebut diseleksi pada tingkat pemupukan rendah (75 kg urea+ 25 kg SP36/ha), sedang (150 kg urea+ 50 kg SP36/ha) dan optimal (300 kg urea+ 100 kg SP36+ 50 kg KCl/ha) di Bogor. Percobaan dilaksanakan pada MT 2002/03 pada lahan dengan kandungan hara N, P dan K tersedia yaitu masing-masing 0,127-0,178% N, 0,408-0,621 mg P/100 g, dan 0,379- 0,432 me K/100 g. Famili FS dan HS terbaik dipilih berdasarkan selisih hasil biji yang terbesar pada setiap tingkat pemupukan. Dari setiap lingkungan seleksi dipilih 10% full-sib (27 FS) dan galur S1 (18 S1) berdasarkan 10% half-sib terbaik menurut bobot biji. Rekombinasi FS dan S1 terpilih ini selanjutnya dievaluasi kemajuan seleksinya pada lingkungan pemupukan yang berbeda sebagai lingkungan target. Dari rekombinasi ini diperoleh 6 populasi (3 populasi rekombinasi FS dan 3 populasi rekombinasi S1 yang berasal dari hasil seleksi pada lingkungan pemupukan rendah, sedang, dan optimal). Keenam populasi tersebut selanjutnya dievaluasi pada pemupukan rendah, sedang, dan optimal sebagai lingkungan target pada percobaan dengan rancangan acak kelompok dengan 5 ulangan pada MT 2004. Data analisis tanah pada lingkungan evaluasi ini adalah 0,140,19 % N, 0,34-0,35 mg P/100 g, 0,16-0,35 me K/100 g. Indeks pengurangan hasil relatif dihitung menurut Banziger et al. (1997), yaitu jika Yo dan Yp masing-masing menyatakan bobot biji pada kondisi pemupukan optimal dan pemupukan pada tingkat p, maka intensitas pengurangan hasil relatif pada tingkat p adalah (1- Yp/ Yo)100%. Selanjutnya, indeks pengurangan hasil relatif disebut sebagai intensitas cekaman. Kemajuan (respon) seleksi dihitung sebagai selisih bobot biji populasi hasil seleksi dengan bobot biji populasi dasar (varietas Bisma), dibagi dengan bobot biji populasi dasar. Hubungan antara perbedaan intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target (baik yang lebih subur atau kurang subur daripada lingkungan seleksi) dengan kemajuan seleksi diduga dengan analisis regresi. Selanjutnya uji kesimetrisan respon dilakukan dengan menguji parameter regresi (Draper and Smith 1992). Apabila hasil uji simetris diterima, data gabungan dianalisis regresi kembali.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Intensitas Cekaman Lingkungan dan Kemajuan Seleksi
Rata-rata bobot biji varietas Bisma pada lingkungan seleksi dan lingkungan target serta intensitas cekaman lingkungan yang dimanifestasikan oleh indeks pengurangan hasil relatif disajikan pada Tabel 1. Pada tingkat pemupukan rendah sebagai lingkungan seleksi, varietas Bisma memberikan hasil 2.586 kg/ha. Jika pemupukan optimal pada saat seleksi famili dijadikan sebagai indikator kondisi optimal (rata-rata hasil 5.587 kg/ha), maka perlakuan pemupukan rendah pada lingkungan seleksi memiliki tingkat pengurangan hasil relatif (intensitas cekaman) sebesar 53,7%, sedangkan pada pemupukan sedang dan optimal memiliki intensitas cekaman masing-masing 34,6% dan 0%. Meskipun lahan dipupuk dengan takaran yang sama tetapi intensitas cekaman berbeda. Seperti pada saat seleksi, intensitas cekaman lingkungan seleksi pada pemupukan takaran rendah adalah 53,7%, sedangkan pada lingkungan target intensitas cekaman 58,2% (Tabel 1), sehingga perbedaan intensitas cekaman antara lingkungan seleksi dan lingkungan target adalah -4,5%. Bila hasil seleksi pada lingkungan pemupukan takaran rendah dievaluasi pada lingkungan target pemupukan optimal maka beda intensitas cekaman 28,9%. Beda intensitas cekaman yang bernilai negatif berarti lingkungan target lebih buruk dibandingkan dengan lingkungan seleksi, dan yang bernilai positif menunjukkan lingkungan target lebih baik daripada lingkungan seleksi. Data intensitas cekaman pada lingkungan seleksi, lingkungan target, dan respon seleksi disajikan pada Tabel 2. Lingkungan seleksi yang dekat dengan lingkungan target (seleksi langsung) menghasilkan respon seleksi yang lebih besar daripada seleksi tak langsung. Diagram titik yang menunjukkan hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan dengan kemajuan seleksi disajikan pada Gambar 1. Makin besar beda Tabel 1. Rata-rata bobot biji jagung pada lingkungan seleksi tahun 2003 dan lingkungan target (evaluasi) tahun 2004 di Cikeumeuh, Bogor. Lingkungan seleksi
Pemupukan
Rendah Sedang Optimal
Lingkungan target
Rata-rata bobot biji (kg/ha)
Intensitas cekaman (%)
Rata-rata bobot biji (kg/ha)
Intensitas cekaman (%)
2586 3654 5587
53,7 34,6 0,0
2334 3216 4204
58,2 42,4 24,8
33
SUTORO: SELEKSI BOBOT BIJI JAGUNG PADA LINGKUNGAN BERBEDA
Tabel 2. Respon seleksi terhadap bobot biji jagung pada lingkungan target, Bogor 2004. Intensitas cekaman lingkungan (%) Beda
Respon seleksi (%)
Pupuk rendah: 58,2 Pupuk sedang: 42,4 Pupuk optimal: 24,8
-4,5 11,3 29,0
9,97 5,82 1,27
FS diseleksi pada pupuk rendah
Pupuk rendah: 58,2 Pupuk sedang: 42,4 Pupuk optimal: 24,8
-4,5 11,3 29,0
5,17 1,86 2,91
S1-HS diseleksi pada pupuk rendah
Pupuk rendah: 58,2 Pupuk sedang: 42,4 Pupuk optimal: 24,8
-23,6 -7,8 9,8
0,54 7,00 2,70
FS diseleksi diseleksi pada sedang
Pupuk rendah: 58,2 Pupuk sedang: 42,4 Pupuk optimal: 24,8
-23,6 -7,8 9,8
2,85 7,70 6,13
S1-HS diseleksi pada pupuk sedang
Pupuk rendah: 58,2 Pupuk sedang: 42,4 Pupuk optimal: 24,8
-58,2 -42,4 -24,8
-4,29 4,67 4,18
FS diseleksi diseleksi pada optimal
Pupuk rendah: 58,2 Pupuk sedang: 42,4 Pupuk optimal: 24,8
-58,2 -42,4 -24,8
-3,56 2,69 3,55
S1-HS diseleksi pada pupuk optimal
Seleksi Pupuk rendah
Pupuk sedang
Pupuk optimal
Target
Populasi
Perbedaan intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target nyata berpengaruh terhadap kemajuan seleksi pada lingkungan target yang kurang subur, tetapi tidak nyata berpengaruh terhadap lingkungan target yang lebih subur daripada lingkungan seleksi. Diagram titik menunjukkan adanya kecenderungan menurun dengan semakin besarnya perbedaan intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target yang lebih subur, namun secara statistik tidak nyata. Hal ini terjadi karena data yang digunakan untuk menduga persamaan regresi masih sedikit, hanya berdasarkan enam pengamatan. Persamaan regresi yang diperoleh untuk lingkungan yang kurang subur mengindikasikan bahwa kemajuan seleksi masih dapat diperoleh bila perbedaan lingkungan seleksi dan lingkungan target tidak lebih dari 45% (untuk Y = 0, maka dari persamaan Y = 8.350 + 0,185 X diperoleh X = 8.350/0,185 = 45), sedangkan untuk lingkungan target yang lebih subur masih belum jelas karena terbatasnya data.
12 Kemajuan seleksi (%)
intensitas cekaman makin rendah kemajuan seleksi, baik pada lingkungan yang kurang subur (garis regresi menurun kekiri) maupun lebih subur (garis regresi menurun kekanan) daripada lingkungan target. Hal ini menunjukkan seleksi langsung menghasilkan kemajuan yang lebih tinggi daripada seleksi tak langsung. Analisis regresi menunjukkan bahwa hubungan antara persentase kemajuan seleksi (Y) dengan beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target (X) diperoleh Y= 8.350 + 0,185 X untuk lingkungan target yang kurang subur dan Y = 5.315 - 0,112 X untuk lingkungan target yang lebih subur daripada lingkungan seleksi (Tabel 3).
8 4 0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
-4 -8 Beda intensitas cekaman lingkungan (%)
Gambar 1. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target dengan kemajuan seleksi.
Tabel 3. Penduga parameter regresi pada persamaan y = bo + b1 x yang menyatakan hubungan antara kemajuan seleksi (y) dengan beda intensitas cekaman (x). Lingkungan
Parameter regresi
Koefisien
Selang kepercayaan 95% bagi regresi parameter
Lingkungan target lebih buruk daripada lingkungan seleksi
bo b1 R2=0,733; n=12
8.350* 0.185*
5.772;10.928 0.107;0.263
Lingkungan target lebih baik daripada lingkungan seleksi
bo b1 R2=0,272; n=6
5.315* -0.112
0.535;10.095 -0.364;0.141
Gabungan
bo b1 R2=0,628; n=18
7.251* -0.164*
5.317;9.184 -0.232;-0.096
34
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007
Uji regresi melalui uji kesimetrisan respon dilakukan melalui besarnya selang kepercayaan parameter antarregresi. Penduga parameter regresi b0 untuk lingkungan yang kurang subur dan lebih subur terjadi overlapping (tumpang tindih), yang dapat ditafsirkan bahwa regresi melalui intersep yang sama. Uji tren respon kemajuan seleksi pada lingkungan target lebih subur dan kurang subur menunjukkan adanya kesimetrisan (penduga parameter b1 pada lingkungan kurang subur sama dengan –b1 pada lingkungan lebih subur). Dengan demikian respon kemajuan seleksi akibat perbedaan intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target yang lebih subur atau kurang subur dapat dianggap sama. Dari analisis regresi data gabungan diperoleh Y=7.251 – 0,164 X (R2=0,628**, n=18), X= beda absolut intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemajuan seleksi masih dapat diperoleh bila perbedaan lingkungan target dengan lingkungan seleksi tidak lebih dari 44,2% (untuk Y= 0 maka X= 7.251/0.164=44,2). Sebagai perbandingan ketelitian pendugaan berdasarkan R2, Banziger et al. (1997) mendapatkan R2=0,27 (nyata pada taraf 10%, n=14) untuk hubungan antara intensitas cekaman dengan korelasi genetik antara kondisi pemupukan N rendah dan N tinggi, sedangkan R2=0.65 (nyata pada taraf 1%, n=13) untuk hubungan intensitas cekaman dengan relatif efisiensi seleksi tak langsung pada kondisi pemupukan N tinggi untuk kondisi pemupukan N rendah. Hasil penelitian ini memberikan indikasi yang hampir sama dengan penelitian Presterl et al. (2003) dan Banziger et al. (1997). Presterl et al. (2003) mendapatkan efisiensi seleksi tak langsung yang lebih rendah bila beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dengan lingkungan target >21%, sedangkan Banziger et al. (1997) menemukan bahwa seleksi tak langsung pada pemupukan N tinggi untuk kondisi pupuk N rendah kurang efisien dibandingkan dengan seleksi langsung pada kondisi pupuk N rendah, bila intensitas cekaman lingkungan seleksi lebih dari 43%. Seleksi jagung yang dilakukan pada kondisi lahan petani dengan tingkat kesuburan yang rendah dapat diperoleh varietas yang cocok untuk lingkungan marjinal maupun subur. Varietas jagung lokal Sol da Manha dari Brazil diperbaiki melalui seleksi enam siklus dan selanjutnya diseleksi bersama secara informal oleh kelompok tani yang disebut sebagai participatory plant breeding (PPB) dengan menggunakan seleksi massa, diperoleh varietas yang efisien dalam penggunaan N, baik pada kondisi subur maupun marjinal (Machado and Fernandes 2001). Banziger dan Cooper (2001) menyatakan strategi pemuliaan untuk memperoleh peningkatan produksi pada kondisi masukan rendah
dengan strategi PPB lebih efektif daripada pemuliaan formal, karena seleksi dilakukan secara langsung pada lingkungan target. Kemajuan seleksi tak langsung yaitu seleksi yang dilakukan pada lingkungan pupuk takaran optimal dan ditanam pada lingkungan pupuk takaran rendah atau sebaliknya seleksi pada lingkungan rendah dan ditanam pada lingkungan pupuk optimal diperoleh nilai kemajuan seleksi rendah. Hal ini terjadi diduga karena ada perbedaan respon terkorelasi karakter laju pengisian biji pada fase linier dan sistem perakaran yang dimiliki oleh tanaman yang dihasilkan melalui seleksi pada pemupukan takaran rendah dan tinggi. Tanaman jagung yang toleran input pupuk rendah memiliki perakaran lebih panjang daripada jagung tipe input pupuk tinggi (Feil et al. 1990) dan penetrasi perakaran jagung toleran input rendah pada lapisan tanah yang lebih dalam terjadi pada awal pertumbuhan (Heuberger et al. 2004). Pengisian biji dari tanaman jagung toleran N rendah memiliki laju menurun bila ditanam pada lingkungan N tinggi (Laffite and Edmeades 1995). Selain itu, seleksi bobot biji pada kondisi cekaman mengurangi bobot akar bagian atas (Bolanos et al. 1993). Heritabilitas Terealisasi Bobot Biji
Nilai heritabilitas terealisasi (realized heritability) diduga dengan h2 = R/S, di mana R=respon nyata akibat seleksi dan S=diferensial seleksi yaitu selisih antara nilai ratarata famili terseleksi dengan rata-rata populasi yang diseleksi (Falconer and Mackay 1996). Heritabilitas bobot biji jagung umumnya rendah, kurang dari 0,30 (Hallauer and Miranda 1985). Berdasarkan heritabilitas terealisasi yang diperoleh dari penelitian ini, diperoleh petunjuk bahwa terjadi perbedaan heritabiltas pada lingkungan cekaman seleksi dan lingkungan target. Diagram titik yang menyatakan hubungan antara heritabilitas terealisasi dan beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target disajikan pada Gambar 2. Semakin besar perbedaan intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target semakin menurun heritabilitasnya, baik untuk lingkungan target yang kurang subur maupun yang lebih subur. Hal ini terjadi diduga karena alel-alel yang semula dapat terekspresi pada lingkungan seleksi menjadi tidak terekspresi pada lingkungan target yang berbeda kondisinya dengan lingkungan seleksi. Hasil tinggi pada kondisi optimum dan kondisi cekaman di bawah kontrol alel-alel yang berbeda (Ceccareli 1994). Analisis regresi yang menyatakan hubungan antara heritabilitas terealisasi dengan perbedaan intensitas lingkungan seleksi dan lingkungan target memberikan hasil yang tidak berbeda dengan kemajuan seleksi (Tabel 4). 35
SUTORO: SELEKSI BOBOT BIJI JAGUNG PADA LINGKUNGAN BERBEDA
Tabel 4. Penduga parameter regresi pada persamaan y=bo + b1x yang menyatakan hubungan antara heritabilitas terealisasi (y) dengan beda intensitas cekaman (x). Lingkungan
Parameter regresi
Koefisien
Selang kepercayaan 95% bagi regresi parameter
Lingkungan target lebih buruk daripada lingkungan seleksi
bo b1 R2=0.705,n=12
0.2588* 0.0057**
0.174-0.344 0.0031-0.0083
Lingkungan target lebih baik daripada lingkungan seleksi
bo b1 R2=0.176,n=6
0.1767+ -0.0039
-0.0442-0.3976 -0.0156-0.0078
Gabungan
bo b1 R2=0.569,n=18
0.2277** -0.0051**
0.1598;0.2957 -0.0074;-0.0027
Semakin besar perbedaan intensitas cekaman lingkungan seleksi dengan lingkungan target semakin menurun heritabilitas. Populasi hasil seleksi pada lingkungan yang kurang subur bila ditanam pada lingkungan yang lebih subur belum jelas pengaruhnya. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
0.5
Heritabilitas
0.4 0.3 0.2 0.1
DAFTAR PUSTAKA
0.0 -80
-60
-40
-20
0
20
40
Beda intensitas cekaman lingkungan (%) Gambar 2. Hubungan antara beda intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target dengan heritabilitas terealisasi.
Nampaknya alel-alel dari populasi hasil seleksi tidak dapat diekspresikan bila perbedaan intensitas cekaman lingkungan seleksi dan lingkungan target lebih dari 44,6% (regresi y=0,2277- 0,0051x, untuk y=0 maka x=44,6). Mekanisme fisiologis yang berkaitan dengan toleran pemupukan takaran rendah mulai berpengaruh terhadap intensitas cekaman pemupukan takaran sedang (Banziger and Laffite 1997).
KESIMPULAN dan SARAN
Kemajuan seleksi masih dapat diperoleh bila perbedaan lingkungan target dengan lingkungan seleksi tidak lebih dari 44%. Angka ini mengindikasikan varietas yang beradaptasi baik pada kondisi pupuk rendah dapat diperoleh dari seleksi pada kondisi pemupukan rendah atau sedang. 36
Banziger,M., F.J.Betran, and H.R. Lafitte. 1997. Efficiency of highnitrogen selection environments for improving maize for low nitrogen target environments. Crop Sci. 37:1103-1109.
Banziger, M. and H.R.Lafitte. 1997. Efficiency of secondary traits for improving maize for low-nitrogen target environments. Crop Sci. 37:1110-1117. Banziger, M. and M. Cooper. 2001. Breeding for low input conditions and consequences for participatory plant breeding examples from tropical maize and wheat. Euphytica 122(3):503-509.
Bolanos, J., G.O. Edmeades, and L. Martinez. 1993. Eight cycles of selection for drought tolerance in lowland tropical maize. 3. Responses in drought adaptive physiological and morphological traits. Field Crop Res. 31:269-286. Ceccareli, S. 1994. Spesific adaptation and breeding for marginal condition. Euphytica 77:205-219.
Draper, N.R. dan H. Smith. 1992. Analisis regresi terapan. Gramedia. Jakarta.
Falconer, D.S. and T.F. Mackay. 1996. Introduction to quantitative genetics. Longman Group Ltd. Essex. Feil,B., R. Thirapon, G. Geisler, and P. Stamp. 1990. Root traits of maize seedling- indicators of nitrogen efficiency? Plant Soil 123:155-159.
Hallauer A.R. and J.B.F. Miranda. 1985. Quantitative genetic maize breeding. Iowa State Univ. Press. Ames. Heuberger,H.T., J.G. Kling, and W.J. Horst. 2004. Contribution of N uptake and morphological root characteristics to N efficiency in tropical maize cultivars. http://www.ipe.uni-hannover.dc/ publication/heubeger.pdf [Akses: 9 Agustus 2004].
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 26 NO. 1 2007 Laffite, H.R. and Edmeades, G.O. 1995. Stress tolerance in tropical maize in linked to constitutive changes in ear growth characteristics. Crop. Sci. 35:820-826. Machado, A.T. and M.S. Fernandes. 2001. Participartory maize breeding for low nitrogen tolerance. Euphytica 122(3):567573.
Presterl, T., G. Seitz, M. Landbeck, E.M. Thiemt, W. Schmidt, and H.H. Geiger. 2003. Improving nitrogen use efficiency in European maize: estimation on quantitative genetic parameters. Crop Sci. 43:1259-1265. Subandi dan I. Manwan. 1990. Penelitian dan teknologi peningkatan produksi jagung di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
37