PEMBAHASAN UMUM PENGARUH
UKURAN
GRANULA
BOBOT
TEPUNG
JAGUNG
TERHADAP PROFIL GELATINISASI DAN MI JAGUNG
Pada penelitian tahap pertama diperoleh hasil bahwa ukuran partikel tepung sangat berpengaruh terhadap profil gelatinisasi tepung jagung.
Semakin besar
ukuran tepung, semakin tinggi suhu yang diperlukan untuk gelatinisasi awal serta gelatinisasi maksimum namun semakin rendah viskositas puncak suspensi. Semakin besar ukuran tepung, diperlukan penetrasi panas dan penetrasi air yang lebih lama sehingga lebih sulit untuk terjadinya gelatinisasi. Semakin kecil dan semakin seragam ukuran tepung, proses gelatinisasi terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan sehingga viskositas maksimum tepung dengan ukuran lebih kecil akan lebih tinggi dibandingkan tepung kasar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Waniska et al., (1999) bahwa partikel tepung yang lebih besar akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pengembangan dan gelatinisasi. Ukuran tepung jagung yang besar (tidak lolos ayakan 100 mesh) menghasilkan viskositas puncak yang rendah pada suhu tertinggi amilograf Brabender yaitu 97oC. Kurangnya mekanisme kompresi dan shear stress pada amilograf Brabender menyebabkan proses pemecahan (rupture) granula terhambat. Pengembangan granula pati dan pelepasan amilosa dari granula pati terjadi secara bertahap dimulai dari pati yang berada di sisi luar granula tepung, dan berlanjut ketika penetrasi air dan panas sudah mencapai bagian dalam granula. Menurut Srichuwong (2006), viskositas puncak ketika pengembangan pati mencapai titik maksimum dan viskositas akan menurun ketika pati mengalami rupture.
Pada
ganula berkuran besar ketika sebagian granula pati sudah mengalami rupture, sebagian yang lain baru mengembang. Hal ini yang menyebabkan viskositas tepung dengan ukuran besar lebih rendah dibandingkan dengan tepung berukuran kecil. Pada analisis profil gelatinisasi menggunakan amilograf Brabender, proses pengukuran dilakukan pada kondisi air yang berlebih (1000% berat tepung) dengan waktu proses dan peningkatan suhu yang terprogram secara gradual untuk tujuan
mendapatkan gelatinisasi yang sempurna bagi seluruh sampel yang dianalisa (termasuk tepung yang berukuran 60 mesh). Pada aplikasi pembuatan produk mi jagung digunakan ekstruder pemasakpencetak, kadar air adonan terbatas (70-80%) dengan waktu yang relatif singkat (50±1 detik). Kondisi seperti itu tidak memungkinkan terjadinya proses penetrasi air dan panas yang mencukupi untuk terjadinya gelatinisasi, sehingga tepung yang digunakan adalah tepung jagung yang berukuran lebih kecil (100 mesh). Profil gelatinisasi hasil penelitian tahap pertama disertasi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi bobot tepung, viskositas puncak adonan semakin tinggi. Gambaran profil gelatinisasi semacam itu ternyata sejalan dengan kekerasan mi yang dihasilkan, dimana semakin tinggi bobot tepung (semakin rendah kadar air) kekerasan mi semakin meningkat.
Jumlah air yang lebih sedikit menyebabkan
penetrasi air ketika pemasakan mi basah jagung, menjadi terbatas yang mengakibatkan mi lebih keras dibandingkan dengan mi yang dihasilkan dari adonan yang jumlah airnya lebih banyak.
PENGARUH GARAM (SODIUM KARBONAT DAN SODIUM KLORIDA) PADA OPTIMASI PROSES MI JAGUNG
Pada pengukuran profil gelatinisasi, retrogradasi ditunjukkan oleh viskositas dingin dari suspensi. Penambahan sodium klorida pada suspensi tepung jagung dapat meningkatkan reetrogradasi tepung jagung yang ditunjukkan dengan peningkatan viskositas dingin. Penambahan sodium karbonat mencegah terjadinya proses retrogradasi tepung, sehingga viskositas tidak mengalami kenaikan ketika suhu amilograf Brabender diturunkan sampai 50oC. Pengaruh penambahan sodium klorida terhadap viskositas dingin pada analisis profil gelatinisasi tepung jagung sejalan dengan kemampuan mi jagung untuk membentuk struktur yang kokoh yang ditandai dengan menurunnya cooking loss.
Pada proses ekstrusi mi jagung penambahan sodium klorida menurunkan
tingkat kekerasan.
Hal ini terjadi karena sodium klorida bersifat mengikat air,
sehingga ketika mi basah jagung dimasak, penetrasi air lebih mudah masuk ke dalam jaringan mi dan mi menjadi lebih lunak.
101
Penambahan sodium karbonat pada analisis profil gelatinisasi menurunkan viskositas dingin (kemampuan tepung untuk retrogradasi). Hal ini sejalan dengan karakteristik cooking loss mi ketika ditambahkan sodium karbonat pada adonan. Ion karbonat menghalangi terbentuknya ikatan hidrogen antar amilosa pada saat retrogradasi sehingga mudah lepas ketika pemasakan mi. Penambahan sodium karbonat pada analisis profil gelatinisasi dapat meningkatkan viskositas puncak suspensi, namun pada pembuatan mi justru menurunkan kekerasan mi. Hal ini terjadi karena penambahan sodium karbonat dapat menyebabkan terjadinya karbonasi sehingga terbentuk rongga pada jaringan mi. Penetrasi air lebih mudah sehingga mi menjadi lebih lunak.
OPTIMASI PROSES PEMBUATAN MI JAGUNG Optimasi proses pembuatan mi jagung dapat dilakukan melalui proses teksturisasi yang dihasilkan dari gelatinisasi pati, dikombinasikan dengan mengatur tekanan, serta intensitas proses pencampuran dan pengadonan di dalam laras ekstruder pemasak-pencetak.
Pengaturan kombinasi faktor-faktor tersebut dapat
menghasilkan struktur mikro matriks ekstuudat yang optimal. Kombinasi optimal yang ingin dicapai pada dasarnya adalah proses gelatinisasi dan teksturisasi yang memungkinkan terbentuknya struktur matriks yang kompak, dan memnetuk dinding-dinding sel struktur mikro yang kontinyu. Proses pembentukan struktur matriks yang kompak dan kontinyu dapat ditunjukkan dari hasil-hasil fotomikrografi mi jagung. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada kondisi yang optimum, struktur mikro mi jagung terlihat mirip dengan struktur mikro mi terigu (Gambar 7.1). Jika kondisi proses yang diterapkan tidak optimal, maka proses gelatinisasi yang terjadi tidak memungkinkan terbentuknya struktur mikro yang baik. Struktur mikro yang terbentuk pada umumnya menjadi tidak kompak dan memperlihatkan banyaknya partikel atau granula tepung yang tidak membentuk struktur matriks yang kontinyu (Gambar 7.2.a).
Pada Gambar 7.2 ditunjukkan perlunya proses
teksturisasi yang optimal, yang dihasilkan dari kecepatan ulir minimal, untuk memungkinkan gelatinisasi dan pembentukan matriks ekstrudat yang baik. Pada kecepatan ulir yang terlalu rendah, yang mengakibatkan tekanan dan proses
102
teksturisasi kurang memadai, maka struktur mikro matriks mi jagung yang dihasilkan tidak kompak (Gambar 7.2.b).
a
b
Gambar 7.1. Struktur mikro mi jagung yang dihasilkan dari proses yang optimal (a) mirip dengan struktur mikro mi terigu (b).
a
b
Gambar 7.2. Struktur mikro mi jagung jika kondisi proses ekstrusi optimal (a) dan jika kondisi proses kurang mencukupi kebutuhan teksturisasi selama ekstrusi (b). Hasil penelitian struktur mikro di atas, dapat menerangkan alasan dan mekanisme tingginya cooking loss jika mi jagung dihasilkan pada kondisi proses yang tidak optimal. Data hasil penelitian tentang cooking loss menunjukkan jika kecepatan ulir terlalu rendah, maka cooking loss tinggi. Pada penelitian ini, mi jagung yang dihasilkan dari proses ekstrusi dengan kecepatan adonan melewati laras ekstruder (throughput) 105 gram/menit memiliki cooking loss sebesar 7,15± 0,11% dan dengan menaikkan kecepatan throughput adonan 120 gram/menit, cooking loss dapat diturunkan menjadi 5,56 ± 0,04%.
Hasil penelitian ini juga menjawab 103
buruknya kinerja mi jagung hasil penelitian Waniska et al. (1999) dan Charutigon et al. (2007). Kondisi pembatas proses ekstrusi dalam penelitian ini adalah konfigurasi struktur ulir, dari ulir pengangkut sampai ulir penghambat memiliki jarak (pitch) yang tetap namun dengan diameter poros ulir yang meningkat, konfigurasi ulir penghambat dan bagian metering, yang tidak dapat diubah-ubah. Rancangan ulir pada bagian metering, sudah didisain sedemikian rupa selain berfungsi sebagai pengaduk untuk menghomogenkan adonan, meningkatkan tekanan sekaligus juga mengarahkan aliran adonan menjadi laminer sebelum mencapai pencetak (die) (Gambar 7.3). Proses peningkatan tekanan dan kondisi teksturisasi di dalam ekstruder pemasak dan pencetak yang digunakan pada penelitian ini dihasilkan dari rancangan poros ulir yang meningkat diameternya dari sisi ulir pengangkut menuju ulir penghambat (Gambar 7.3) dan kecepatan putaran ulir, serta adanya ulir penghambat, dan ulir pengaduk/pengarah pada sisi metering. Ulir penghambat berfungsi membuat laju adonan relatif lebih lambat, sehingga jika kecepatan ulir meningkat, maka tekanan yang dialami adonan pada sisi ulir penghambat akan lebih tinggi. Hal ini terjadi karena peningkatan kecepatan ulir akan meningkatkan laju transfer masa adonan persatuan waktu dalam ruang laras ekstruder (yang tetap), sehingga mengakibatkan proses kompresi adonan lebih tinggi dibandingkan dengan laju putaran ulir yang rendah. Manipulasi peubah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tekanan dan optimisasi proses teksturisasi didalam ekstruder yang digunakan hanya dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan ulir. Proses peningkatan kecepatan ulir, secara simultan juga meningkatkan laju friksi, besarnya tekanan shear, dan meningkatnya intensitas proses pengadonan di dalam laras ekstruder. Hal ini berakibat pada meningkatnya pembentukan massa mi jagung yang lebih kompak dan mampu membentuk matriks dengan struktur kontinyu. Pada pembuatan mi jagung dengan ekstruder pemasak-pencetak, adonan tidak mengalami hambatan untuk masuk ke dalam ekstruder, dan mengalami kompresi yang cukup besar. Efek tekanan dan tekanan shear pada adonan terjadi karena konfigurasi pada ekstruder yang digunakan (Gambar 7.3), dimana diameter ulir yang meningkat dari sisi ulir pengangkut sampai ke ulir penghambat 104
menyebabkan adonan mengalami tekanan (kompresi) yang cukup besar pada sisi kompresi.
Metering Section
Zona Penghambatan
Compression Section
Feed Section
Gambar 7.3. Konfigurasi ulir pada ekstruder pemasak-pencetak yang digunakan dalam penelitian
MEKANISME PEMBENTUKAN ADONAN PEMBUATAN MI JAGUNG
Proses pembuatan mi dari tepung jagung dengan teknik ekstrusi pemasakpencetak memiliki kelebihan mampu menghasilkan mi jagung dengan tekstur yang kokoh yang dicirikan dengan cooking loss yang rendah dan elongasi yang tinggi. Mekanisme teksturisasi melalui kombinasi gelatinisasi, kompresi dan shear stress pada ekstruder pemasak-pencetak, tidak terpenuhi dengan teknik kalendering (rolling) dan esktruder pencetak seperti yang digunakan pada penelitian pembuatan mi jagung sebelumnya, termasuk dengan teknik pembuatan mi dari pati (ekstruder piston) seperti yang dilakukan Chen (2003). Kelebihan lain dari penggunaan ekstruder pemasak-pencetak adalah efisiensi energi dimana proses pemanasan untuk gelatinisasi tepung jagung terjadi di dalam ekstruder. Mekanisme ini berdampak pada proses gelatinisasi yang lebih sempurna karena penetrasi panas dan air terjadi secara simultan dengan pengadukan, pengadonan, kompresi dan shear stress. Ketika proses pencetakan mi jagung dengan tekanan dan shear stress yang tidak optimal, model perubahan adonan yang diusulkan seperti yang disajikan pada Gambar 7.4. Hanya sebagian saja pati yang terlepas dari granula tepung jagung dan mengalami gelatinisasi (Gambar 7.4.a), sedangkan sebagian pati yang lain masih terjebak dalam granula tepung jagung. Ikatan hidrogen yang terbentuk pada saat retrogradasi, sebagian terjadi antar amilosa yang keluar dari granula tepung, sebagian lagi terjadi secara “lokal“ dalam granula (Gambar 7.4.b). Karena itu struktur mi jagung yang diproses dengan tekanan dan shear stress yang tidak cukup, bersifat lemah dan mi akan mudah patah atau luruh ketika dimasak. Model ini 105
sejalan dengan mikro struktur mi jagung (Gambar 7.2.b) dimana granula tepung teridentifikasi sebagai individu yang belum menyatu dan tidak membentuk struktur mi yang homogen.
a
b Gambar 7.4. Perubahan granula pada pembuatan mi jagung dengan tekanan dan shear stress yang tidak optimal ketika proses gelatinisasi (a) dan ketika retrogradasi (b) Pada kondisi dengan tekanan dan shear stress yang cukup (Gambar 7.5), sebagian besar pati telah terlepas dari granula tepung dan mengalami gelatinisasi. Amilosa keluar dari granula pati menyebar ke semua bagian adonan sehingga pembentukan ikatan hidrogen ketika retrogradasi terjadi secara sempurna pada seluruh bagian adonan. Jaringan mi jagung menjadi kokoh dan tidak mudah luruh ketika dimasak.
Kondisi ini sejalan dengan mikrostruktur mi (Gambar 7.2.a)
dimana terlihat bahwa tekstur jaringan mi jagung kompak dan tidak terlihat individu granula tepung yang terpisah satu dengan lainnya.
106
a
a
b
Gambar 7.5. Perubahan granula pada pembuatan mi jagung dengan tekanan dan shear stress yang cukup ketika proses gelatinisasi (a) dan ketika retrogradasi (b) Model perubahan adonan yang diusulkan berbeda dengan model yang diusulkan Chen (2003) pada pembuatan mi dari pati dengan teknik ekstruder piston, seperti yang disajikan pada Gambar 7.6. Pada model ini nampak bahwa amilosa keluar dari sebagian granula pati yang telah digelatinisasi.
Bagian yang telah
tergelatinisasi berfungsi seperti gluten pada mi terigu.
Amylopectin
Amylose Ghost Native starch
Gambar 7.4. Model adonan pati yang diusulkan pada pembuatan mi (Chen, 2003)
Pada saat adonan dicetak dan mi masuk ke dalam air panas, sebagian besar pati akan mengalami gelatinisasi (Gambar 7.5.a). Ikatan hidrogen yang terjadi dapat menyeluruh pada seluruh bagian adonan (Gambar 7.5.b). Struktur mi pati menjadi kokoh ketika dingin.
107
a
b
Gambar 7.5. Perubahan granula pada pembuatan mi pati ketika mi dicetak masuk ke dalam air panas (a) dan ketika retrogradasi (b)
108