Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 2, Juli 2009
Sustainable Development at Bintan Island Vitrisia Klastika Mahasiswa Magister Teknik Geologi UPN “Veteran” Yogyakarta
Abstract Indonesia has a great potential in the natural resources, especially Titan Mining in one of the beautiful islands, Bintan Island. Unfortunately, this potential is not encouraged with a good attitude of the Indonesia people. The hi-tech technology can not make Bintan Island become better; sustainable in its economy was stuck because the area has been damaged by mining irresponsibility. It needs participation from all people and both government organizations and non government organizations to make a better life in Bintan Island. 1. Pendahuluan Bintan termasuk dalam Provinsi Kepulaun Riau, mempunyai kondisi geologi yang unik, dimana cebakan bauksit terbentuk yang memiliki dengan potensi ekonomi dan telah lama diusahakan. Daerah tinjauan terletak di bagian selatan dari P.Bintan (Gambar 1) dengan tata guna lahan sebagian besar terdiri atas perkebunan karet dan sawit. Daerah tersebut berada pada lingkungan beriklim tropis, curah hujan 1800 mm/tahun sampai dengan 3800 mm/tahun, musim hujan biasanya berlangsung selama periode bulan Juli - Desember. Suhu udara rata-rata 24º C - 34º C dengan kelembaban nisbi 55% - 96%. Mengingat Bintan berada di dekat kawasan pusat pertumbuhan industri Batam dan Singapura, maka komoditas bahan galian yang tersedia di daerah ini sangat potensial untuk dikembangkan dan diusahakan untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku industri di kedua kawasan itu. Bauksit sebagai komoditas paling populer dari Bintan, walaupun demikian terdapat juga komoditas tambang lain diantaranya granit, andesit, pasir, serta tailing hasil pengolahan bauksit (Rohmana, 2007). Terutama bahan galian bauksit, dimana perkembangan harganya yang sangat signifikan berkaitan dengan peningkatan tidak hanya nilai jual tetapi juga karena perubahan faktor COG (Cut off Grade), sehingga cadangan bauksit yang pada masa sebelumnya termasuk kategori berkadar rendah, menjadi ekonomis untuk diusahakan. Akibatnya wilayah bekas tambang yang masih menyisakan bauksit kadar rendah, menjadi daerah menarik dan berpotensi untuk diusahakan kembali. Namun sayangnya, dengan kemajuan teknologi yang berkembang pada saat ini ternyata tidak diimbangi dengan kematangan sumber daya manusia dalam mengelola alam beserta isinya. Ilmu pengetahuan hanya dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan sebanyakbanyaknya dari alam tanpa memikirkan bagaimanakah kelanjutan kehidupan setelah sumber daya alam tersebut habis dieksplorasi. Seandainya manusia
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 2, Juli 2009
sebagai pengelola alam turut membantu menjaga kesinambungan perekonomian, bukan tidak mungkin kelangsungan kehidupan disekitar daerahdaerah yang mempunyai sumber daya alam tersebut dapat terjaga. Sebagai contoh penambangan bauksit di salah satu pulau di Indanesia yang terkenal dengan keindahan alamnya, Pulau Bintan, yang terletak di kawasan Kepulauan Riau. 2. Metodologi Pengambilan Data Data diambil berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti kemudian dituangkan dalam sebuah laporan. Dari salah satu laporan tersebut, disampaikan bahwa wilayah bekas tambang bauksit banyak dijumpai di P. Koyang, daerah Wacopek, dan daerah Tanjung Pinang. Wilayah tersebut merupakan bekas tambang bauksit PT. Aneka Tambang. Keterdapatan bauksit yang tertinggal pada wilayah bekas tambang umumnya memiliki ketebalan dari permukaan sampai batuan dasar sekitar 40 hingga 50 cm (rata-rata 45 cm). Bauksit yang tertinggal tersebut diperuntukkan sebagai media tanam dalam melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan (reklamasi) dan untuk menghindari tercampurnya/pengotoran batuan dasar (batulempung), pada saat pengambilan bijih bauksit. Bahan galian bijih bauksit sebelum ditambang mempunyai ketebalan sekitar 1 – 5 meter. Penambangan bauksit dilakukan menggunakan sistem tambang terbuka, dengan metode berjenjang yang terbagi dalam beberapa blok. Kemajuan penambangan setiap blok disesuaikan dengan rencana penambangan pada peta tambang. Dalam pembagian blok, penambangan direncanakan pada peta eksplorasi dengan sekala 1 : 1000. Hal ini untuk memperhitungkan jumlah tonase bauksit yang akan diperoleh. Sebelum penambangan bauksit, terlebih dahulu dilakukan pembersihan lokal (land clearing) dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat di atas endapan bijih bauksit. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam operasi selanjutnya yaitu kegiatan pengupasan lapisan penutup yang umumnya memiliki ketebalan 0,2 meter. Untuk melaksanakan kegiatan pengupasan lapisan penutup digunakan bulldozer, sedangkan untuk penggalian endapan bauksit digunakan alat gali muat excavator yang selanjutnya dituangkan/dimuatkan ke alat angkut dump truck. Untuk mengoptimalkan perolehan, bauksit kadar rendah dicampur (mixing) dengan bijih bauksit kadar tinggi, hal ini dapat berfungsi juga untuk memperpanjang umur tambang. Untuk menghindari pengotoran dari batuan dasar yang ikut tergali pada saat penambangan bauksit, maka penggalian dilakukan dengan menyisakan bauksit setebal 40 – 50 cm di atas batuan dasarnya. Selain menghindari tercampurnya bauksit dengan batuan dasar, sisa tanah mengandung bauksit juga berfungsi untuk penanaman pohon reklamasi
3. Pokok Pembahasan
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 2, Juli 2009
Pada awalnya, Pulau Bintan akan dijadikan catchment area, kawasan daerah resapan air, dimana air ini nantinya akan diekspor ke Singapura. Namun pelaksanaanya tertunda karena masalah perizinan sehingga beberapa wilayah di Pulau Bintan dialihkan menjadi daerah tambang bauksit, seperti yang terjadi di Pulau Telang. Kenyataanya saat ini, daerah di Pulau Bintan yang dijadikan area tambang rusak parah. Reklamasi yang mereka janjikan ternyata tidak di tepati, bahkan beberapa dari para investor ini ada yang tidak memiliki izin atau penambangan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam kontrak perjanjian. Kedalaman pengerukan ada yang sudah mencapai 8 meter dari permukaan tanah. Dari data yang diperoleh KOMPAS dan Departemen ESDM, saat ini ada 12 perusahaan pemilik kuasa pertambangan bauksit di Bintan dan lahan yang diizinkan untuk ditambang mencapai 2.700 hektar. Air bekas pencucian bauksit dan air tanah bauksit di beberapa lokasi tambang bauksit pulau-pulau dan kawasan Pulau Bintan mengakibatkan air laut tercemar yang berdampak buruk terhadap sektor usaha budidaya ikan, terutama ikan kerapu. Kualitas air laut yang semakin menurun juga mempengaruhi kehidupan makhluk yang ada di laut. Hutan lindung dan catchment area di Bintan pun sedikit demi sedikit berubah fungsi. Pepohonan yang hijau dan lapisan tanah terkikis dan menjadikan banyak kawasan gunung dan kering kerontang, hutanhutan bakau rusak. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Kabupaten Bintan belum dimanfaatkan secara optimal, karena tidak mengutamakan keselamatan lingkungan hidup. Tindakan kriminal yang menyebabkan kerusakan lingkungan itu sudah dirasakan masyarakat karena berkurangnya sumber air bersih, debu dan kerusakan habitat laut. Jika saja saat itu proyek ekspor air dari Bintan dapat terlaksana, mungkin kerusakan alam dapat terhindarkan. Hutan dan area resapan air dapat dipertahankan, eksploitasi bauksit pun dapat ditekan seminimal mungkin. Akibat lainnya yang tidak kalah pentingnya datang dari sektor industri pariwisata. Apa yang terjadi jika Bintan yang terkenal dengan keindahan alamnya ternyata sebagian alamnya telah rusak. Jika hal ini sampai terjadi, tentu yang menderita kerugian tidak hanya pemerintah, tetapi juga para penduduk Bintan yang menggantungkan hidupnya pada industri pariwisata. Hal ini akan berpengaruh terhadap perekonomian di Kabupaten Bintan. Padahal, keuntungan dari sistem bagi hasil tambang yang dilakukan pemerintah dengan pemilik perusahaan tidak sebanding dengan kerugian yang diderita oleh para penduduk di pulau tersebut. Terlebih jika daerah yang dijadikan lokasi penambangan tersebut telah di tinggalkan oleh para pemilik perusahaan
4. Kemenerusan Pertambangan Jika saja para pemilik perusahaan memiliki rasa memiliki terhadap negara ini dan pemerintah sebagai badan yang mengawasi kinerja dari penambangan tersebut melakukan tugas dengan baik, mungkin kehidupan masyarakat Pulau Bintan dapat menjadi lebih baik. Pola atau cara hidup
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 2, Juli 2009
masyarakat Indonesia sepertinya harus berubah. Mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bukan berarti dijadikan pembenaran terhadap segala perbuatan atau tujuan dari kegiatan ekonomi. Perlu diperhatikan nilai-nilai social dan budaya dalam mengelola segala sesuatunya, sehingga kesinambungan kehisupan dapat terjaga. Banyak cara-cara yang dapat dilakukan baik oleh penduduk, pemerintah ataupun pemilik perusahaan untuk merawat alam demi kepentingan bersama, diantaranya :
Reklamasi pantai untuk mencegah abrasi Sistem pengolahan limbah terpadu Reboisasi hutan Adanya peraturan yang jelas dan sanksi yang tegas dalam mengatur sistem kerja pertambangan Kesadaran dari seluruh lapisan masyarakat untuk menjaga lingkungan Diperlukannya sistem organisasi yang baik
Selain, bahan galian bauksit terdapat pula bahan galian lain yang potensial untuk dikembangkan misalnya ; granit, andesit, pasir, pasir kuarsa serta tailing hasil pengolahan bauksit, baik untuk komoditas ekspor maupun untuk menunjang pengembangan wilayah setempat. Reklamasi lahan bekas tambang telah dilakukan oleh PT. Aneka Tambang dengan penanaman beberapa jenis tanaman keras yang cocok untuk ditanam pada wilayah bekas tambang berupa tanaman hortikultura tertentu, sedangkan yang cocok untuk di kolam tailing adalah tanaman cemara laut.
5. Kesimpulan Kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia ini sudah semestinya kita jaga dan lestarikan demi kelangsungan kehidupan. Pengelolaan alam sebagai sumber daya sebaiknya dimanfaatkan secara optimal. Hal ini akan meningkatkan perekomian di Kabupaten Bintan. Jika dapat terlaksana, maka keselarasan hidup antara kegiatan manusia dan alam dapat terwujud.
Daftar Pustaka Antam, 2006. Laporan Manajemen, www.antam.com Kusnama, dan Sutisna, K., 1994, Peta Geologi Lembar Tanjungpinang, Sumatera skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung Lahar, H., Harahap, I.A., dan Bagja, M. 2003. Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Sumber Daya Mineral di Daerah Kijang, Kabupaten Kijang, Provinsi Riau, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung
Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2, No. 2, Juli 2009
Rapilus, K., dan Zulfahmi, 1980. Eksplorasi Pendahuluan Batuan Bahan Bangunan/Kontruksi di Daerah P. Bintan Provinsi Riau, Direktorat Sumber Daya Mineral, Bandung. Rohmana, Djunaedi, E.K., dan Pohan, M.P., 2007. Inventarisasi Bahan Galian Pada Bekas Tambang di Pulau Bintan Provinsi Kepulauan Riau, Pusat Sumber Daya Geologi, Bandung. Yusuf, A.F., 1995. Inventarisasi dan Penyelidikan Bahan Galian Industri Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Bandung