BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SUSTAINABLE DEVELOPMENT PRINCIPLE
A. Sejarah dan Perkembangan Sustainable Development Principle Masalah-masalah lingkungan akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia, terutama di Indonesia, mengingatkan bahwa segala kekhawatiran yang diprediksi oleh para ahli dan pemerhati lingkungan di masa lampau sedikit demi sedikit mulai terjadi. Pencemaran lingkungan, pengurasan sumber daya alam, perusakan alam, penyakit dan kemiskinan dan lain sebagainya menjadi masalah yang cukup memprihatinkan. Terdapat beberapa tempat dengan kondisi parah yang dianggap tidak layak lagi untuk dihuni manusia sebagai akibat dari pencemaran dan perusakan lingkungan. Ada banyak korban jiwa akibat bencana pencemaran dan perusakan lingkungan. Ada banyak spesies hewan dan tumbuhan yang semakin langka dan punah. Sumber daya alam dieksploitasi habis-habisan, namun tak jarang berujung bencana bagi lingkungan sekitar. Kemiskinan dan keterbelakangan masih banyak dijumpai. Kekhawatiran ini bahkan sudah sangat lama sekali menjadi perhatian para pemerhati lingkungan sejak dahulu. Manusia adalah bagian dari ekosistem, sekaligus pengelola ekosistem tersebut. Manusia mempengaruhi alam, alam mempengaruhi manusia. Seperti yang dijabarkan oleh Leenen berikut ini: “Dalam alam yang dipengaruhi manusia (man-made nature) manusia yang dipengaruhi alam (nature-made man) menemukan dirinya sendiri. Ini berarti bahwa dalam hubungannya dengan alam, ia harus memperhitungkan nilai-nilai lain, di samping nilai-nilai teknis dan ekonomis. Ini berarti pula bahwa ancaman terhadap alam tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak lain, akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
pada sikap manusia itu sendiri, baik sebagai diri pribadi secara mandiri, maupun sebagai anggota masyarakat”39 Secara
umum,
dalam
literatur
masalah-masalah
lingkungan
dapat
dikelompokkan ke dalam 3 bentuk, yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah (land misuse) dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam (natural resource depletion).40 Pencemaran lingkungan hidup sebagaimana yang dirumuskan dalam hukum nasional Indonesia adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.41 Pemanfaatan lahan secara salah merupakan penggunaan lahan-lahan yang tidak sesuai fungsi peruntukannya, sehingga merusak keseimbangan makhluk hidup di sekita lahan tersebut. Pengurasan sumber daya alam (natural resource depletion) diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam secara tidak bijaksana sehingga sumber daya alam tersebut baik kualitas dan kuantitasnya menjadi berkurang dan menurun dan pada akhirnya akan habis sama sekali.42 Perbedaan antara pencemaran lingkungan dengan pengurasan sumber daya alam adalah bahwa pencemaran lingkungan disebabkan oleh masuknya zat atau energi atau komponen ke kawasan lingkungan hidup dalam kualitas dan kuantitas terteentu karena dimasukkan oleh kegiatan manusia; sedang pengurasan sumber daya alam berarti bahwa sumber daya alam yang terdapat di suatu kwasan lingkungan hidup
39
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ke-VII (Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 2005) hlm.5 40 Takdir Rahmadi., Hukum Lingkungan di Indonesia. Cet.ke-1 (Bandung : Pt. Rajagrafindo Persada.2011) hlm.1., footnote ke-1 : Richard Stewart and James E.Krier, Environtmental Law and Policy, (New York : The Bobbbs Merril Co.Inc., Indianapolis,1978) hlm.3-5 41 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 butir 14 42 Takdir Rahmadi, Ibid.,hlm.2
Universitas Sumatera Utara
tertentu diambil secara terus menerus oleh manusia secara tidak terkendali dengan cara dan jumlah tertentu. Namun keduanya memiliki persamaan yakni dapat menimbulkan perubahan dan penurunan kualitas lingkungan hidup: mempengaruhi daya dukung lingkungan43 serta daya tampung lingkungan 44. Akibat dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik karena terjadinya pencemaran lingkungan atau terkurasnya sumber daya alam adalah timbulnya ancaman atau dampak negatif terhadap kesehatan, menurunnya nilai estetika, kerugian ekonomi (economic cost), dan terganggunya sistem alami (natural system).45 Secara global, permasalahan lingkungan sebenarnya bukanlah merupakan hal yang sama sekali baru, meskipun ia baru mendapat perhatian serius di berbagai negara di dunia mulai sekitar tahun 1970-an, yaitu setelah diadakannya United Nations Conference on the Human Environtment di Stockholm, Swedia, pada tahun 1972. Hukum lingkungan internasional sendiri berkembang jauh sebelum kesadaran lingkungan internasional lahir, yaitu sejak munculnya berbagai kasus lingkungan yang melibatkan negara-negara sebagai pihak perkara, seperti dalam Kasus Trail Smelter pada tahun 1938 dan Kasus Lake Lonux pada tahun 1957. Bahkan menurut catatan yang ada, perkembangan hukum internasional sudah ada sejak tahun 1900-an, yakni sejak dibuat dan ditandatanganinya Perjanjian Perlindungan Burung-burung Pertanian (Convention on Conservation of Birds Useful to Agriculture, 1902) di Eropa tentang
43
UU No.32 tahun 2009 Pasal 1 butir 7 : Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. Artinya lingkungan mempunyai batas kemampuan tertinggi untuk menerima intervensi manusia. Apabila batas tersebut terlampaui, dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem yang dapat menimbulkan masalah lingkungan, misalnya pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan dengan segala dampak lanjutannya, seperti kekeringan, banjir, tanah longsor,dan lain sebagainya. 44 Pasal 1 butir 8 : Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Artinya lingkungan mempunyai batas kemampuan menampung dan menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya. Jika batas tersebut terlewati, maka dapat menyebabkan perubahan lingkungan yang bersifat negatif. 45 Takdir Rahmadi., Ibid.,hlm.3
Universitas Sumatera Utara
pengaturan perlindungan terhadap burung-burung dan binatang lain yang berfungsi membantu pertanian yang sudah menjadi kebiasaan para petani-petani Jerman.46 Sementara kesadaran lingkungan internasional baru berkembang pada tahun 1960-an, sejak Rachel Carson menuliskan bukunya yang berjudul “The Silent of Spring” pada tahun 1962 yang sangat menyita perhatian dunia.47 Rachel Carson dalam bukunya memperingatkan tentang bahaya yang luar biasa akibat penggunaan insektisida baik terhadap manusia maupun makhluk hidup lainnya. Carson menggambarkan musim semi yang semula indah telah menjadi musim semi yang sunyi dan menakutkan. 48 Buku Carson tersebut, oleh banyak ahli lingkungan, diakui sebagai karya tulis yang berandil besar bagi kebangkitan kesadaran hukum internasional dalam kaitannya dengan perlindungan lingkungan.49 Apalagi sebelum terbitnya buku tersebut, sudah banyak terjadi bebagai kasus lingkungan di dunia. Era tahun 1950-an banyak kota besar di dunia, seperti yang dikutip berikut:50 ”Kota Los Angeles mengalami masalah lingkungan berupa asap-kabut (smoke fog), yang berasal dari gas buangan kendaraan dan pabrik. Asap dan kabut mengganggu kesehatan, terutama saluran pernafasan dan merusak tanaman. Di Jepang pada akhir tahun 1953 terjadi penyakit mengerikan di Teluk Minimata akibat keracunan metilmerkuri dan kadmium, yang selanjutnya disebut dengan “penyakit minimata”. Penyakit ini disebabkan oleh konsumsi ikan yang tercemar oleh metilmerkuri yang bersumber dari limbah
46
Ida Bagus Wyasa., Ibid., hlm.18 seperti yang dikutip dari Caldwell, Concepts in Development of International Environtmental Policies, dalam Teclaff and Utton International Environtmental Law, Praeger Publishers, New York, 1974, hlm.13 47 Ida Bagus Wyasa Putra., hlm.17 48 Muhammad Akib., “Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional” Ed.Revisi.,Cet.ke1 (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.2014) hlm.1, footnote ke-1, seperti yang dikutip dari Rachel Carson, Musim Bunga Yang Bisu (Judul Asli The Silent Spring), terjemahan Budi Kasworo, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1990), hlm.2 49 Ida Bagus Wyasa., Ibid.,.,hlm.19 50 Muhammad Akib., Ibid.,hlm.5
Universitas Sumatera Utara
yang mengandung raksa dari beberapa pabrik kimia yang dibuang ke Teluk Minimata. Penyakit serupa terjadi kembali pada tahun 1964-1965, yang menimpa penduduk nelayan dan keluarganya yang hidup di sekitar Pulau Nigata yang terletak di Pantai Laut Jepang Utara, Tokyo. Kemudian, “ledakan” ketiga penyakit serupa terjadi pada tahun 1973 di Goshonoura, Pulau Amasuka yang berhadapan dengan teluk Minimata. Sedangkan itu, pada tahun 1960-an di Jepong telah terjadi pula penyakit akibat keracunan logam kadmium dari perusahaan tambang seng milik Mikioki Corporation di Prefektur Toyama, yang kemudian dikenal dengan penyakit Itai-itai.” Terlepas dari pro dan kontra terhadap pernyataan Carson tersebut, buku Carson telah membuka mata, pemikiran serta perhatian masyarakat dunia terhadap masalah lingkungan. Peringatan Carson bahkan dianggap sebagai pemikiran pertama kali yang menyadarkan manusia mengenai lingkungan hidup. 51 Hukum lingkungan internasional yang pada awalnya berkembang dalam bentuk hukum kebiasaan, yaitu keputusan-keputusan yang dibentuk oleh badan-badan arbitrasi, yang dibentuk oleh negara-negara yang bersengketa yang ingin menyelesaikan sengketanya secara damai. Pada umumnya putusan yang dimaksud biasanya mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional, yaitu prinsip tanggungjawab negara (state responsibility), yang mewajibkan setiap negara untuk bertanggungjawab terhadap segala akibat yang timbul dari tindakannya yang telah merugikan negara lain. Fokus prinsip tersebut bukanlah perlindugan lingkungan, melainkan perlindungan dan pemulihan hak-hak negara yang dirugikan.52 Dengan kebangkitan kesadaran lingkungan tersebut, masyarakat dunia mulai memikirkan
51
Ibid.,hlm.8, seperti yang dikutip dari Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Surabaya : Universitas Airlangga Press, 2000), hlm .27-28 52 Ida Bagus Wyasa.,hlm.18
Universitas Sumatera Utara
pentingnya
perlindungan
terhadap
lingkungan
dengan
membuat
kebijakan
lingkungan. Bergerak dari kebangkitan kesadaran lingkungan tersebut, secara global perhatian terhadap lingkungan dimulai di kalangan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada waktu peninjauan terhadap hasil-hasil gerakan “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-I (1960-1970)”53 untuk merumuskan strategi “Dasawarsa Pembangunan Dunia Ke2 (1970-1980)”54 dengan ringkasan sebagai berikut: “Pembicaraan tentang masalah lingkungan hidup ini diajukan oleh wakil Swedia pada tanggal 28 Mei 1968, disertai saran untuk dijajagi kemungkinan guna menyelenggarakan suatu konferensi internasional mengenai lingkungan hidup manusia. Dalam laporan Sekretaris Jenderal PBB dinyatakan betapa mutlak perlunya dikembangkan sikap dan tanggapan baru” terhadap lingkungan hidup. Maksud untuk menangani masalah-masalah lingkungan hidup itu adalah demi pertumbuhan ekonomi dan sosial, khususnya mengenai perencanaan, pengelolaan dan pengawasannya. Laporan ini kemudian diajukan kepada Sidang Umum tahun 1969 dan disahkan dengan Resolusi Sidang Umum PBB No.2581 (XXIV) pada tanggal 15 Desember 1969. Dalam resolusi tersebut diputuskan untuk membentuk Panitia Persiapan, yang bersama-sama Sekjen PBB ditugaskan untuk menyiarkan tentang dan menarik perhatian umum terhadap mendesaknya kepentingan untuk menangani masalah-masalah lingkungan hidup.
53 54
Muhammad Akib., Ibid. hlm.11 Koesnadi Hardjasoemantri.,hlm.6-9
Universitas Sumatera Utara
Sidang Umum PBB menerima baik tawaran Pemerintah Swedia untuk menyelenggarakan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm pada bulan Juni 1972. Bertepatan dengan diumumkannya “Strategi pembangunan Internasional” bagi Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-2” (the Second UN-development Decade) yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970, Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta internasional guna menanggulangi “proses kemerosotan kualitas lingkungan hidup” agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup manusia. Resolusi Sidang Umum PBB No.2657 tahun 1970 menugaskan Panitia Persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha “melindungi dan mengembangkan berkembang”
kepentingan-kepentingan
dengan
menyesuaikan
dan
negara-negara memadukan
yang
sedang
secara
serasi
kebijaksanaan pembangunan nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana pembangunan nasional beserta skala prioritasnya. Dalam laporannya pada tahun 1971, Panitia Persiapan menyarankan adanya 6 (enam) mata acara bagi konferensi sebagai mata acara pokok, yaitu : (1). Perencanaan dan Pengelolaan pemukiman manusia demi kualitas lingkungan hidup; (2). Segi-segi lingkungan hidup dalam pengelolaan sumber-sumber daya alam; (3). Identifikasi dan pengendalian jenis-jenis pencemaran dan gangguan yang berpengaruh internasional secara luas; (4). Segi-segi pendidikan, penerangan, sosial, dan kebudayaan dalam masalah-masalah lingkungan hidup;
Universitas Sumatera Utara
(5). Pembangunan dan Lingkungan hidup; (6). Implikasi organisasi secara internasional mengenai tindakan-tindakan yang diusulkan konferensi. Selain itu, Panitia Persiapan telah membentuk “Panitia Kerja Antar Pemerintah” guna menyiapkan bahan-bahan serta rancangan perumusan mengenai : (a). Deklarasi tentang lingkungan hidup manusia; (b). Pencemaran laut; (c). Pencemaran tanah; (d). Monitoring dan Pengawasan; (e). Konservasi alam. Hasil karya persiapan tersebut disempurnakan dan disahkan dengan resolusi Sidang Umum PBB No.2849 (XXVI) pada tanggal 20 Desember 1971, yang kemudian dilanjutkan dengan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on the Human Environtment) di Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972, diikuti oleh 113 negara dan beberapa puluh peninjau. Pada akhir sidang, yaitu pada tanggal 16 Juni 1972, Konferensi ini mengesahkan hasil-hasilnya berupa : (a). Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, terdiri atas Preamble dan 26 asas yang lazim disebut Stockholm Declaration; (b). Rencana Aksi Lingkungan Hidup manusia (Action Plan), terdiri dari 109 rekomendasi termasuk didalamnya 18 rekomendasi tentang Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia; (c). Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang menunjang pelaksanaan rencana Aksi tersebut, yang teridiri atas :
Universitas Sumatera Utara
(i). Dewan Pengurus (Governing Council) Program Lingkungan Hidup (UN Environtment Programme = UNEP) (ii). Sekretariat, yang dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif; (iii).Dana Lingkungan Hidup; (iv). Badan Koordinasi Lingkungan Hidup Pada Sidang Umum PBB tahun 1972, semua keputusan Konferensi disahkan melalui resolusi Sidang Umum PBB No. 2997 (XXVII) pada tanggal 15 Desember 1972. Demikianlah uraian peristiwa sampai diselenggarakannya Konferensi Stockholm 1972”.
Konferensi tersebut akhirnya membentuk sebuah lembaga baru yang menangani program lingkungan dan pembangunan di PBB, yaitu United Nation Environtmental Programme (UNEP), yang bersekretariat di Nairobi, Kenya. Setelah disahkan, hasil konferensi itu menjadi pedoman implementasi kebijakan lingkungan nasional masing-masing negara, terutama negara peserta, termasuk Indonesia 55. Terkait usulan diadakannya konferensi PBB mengenai lingkungan hidup manusia, Sekretaris Jenderal PBB U Thant menerbitkan laporannya sebagai tanggapan mengenai resolusi tersebut yang berjudul “Man and His Environtment : Problems of the Human Environtment” yang disajikan pada Rapat ke-47 Dewan Ekonomi dan Sosial PBB. Dalam pengantar laporannya, U Thant menyatakan bahwa:56 “untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia telah terjadi krisis dengan jangkauan seluruh dunia, baik negara maju maupun negara berkembang, mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Tanda-tanda ancaman telah dapat dilihat sejak waktu yang lama : ledakan 55 56
Muhammad Akib, hlm.15 Koesnadi Hardjosoemantri.,Ibid., hlm.9-10
Universitas Sumatera Utara
kependudukan, integrasi yang tidak memadai antara teknologi yang amat kuat dengan keperluan lingkungan, kerusakan lahan budi daya, pembangunan tidak berencana dari kawasan perkotaan, menghilangnya ruang terbuka dan bahaya kepunahan yang terus bertambah mengenai banyak bentuk kehidupan satwa dan tumbuhan. Tidak ada kesangsian bahwa apabila proses ini berlangsung terus maka kehidupan yang akan datang di bumi ini akan terancam.”
Pernyataan U Thant ini dipandang sebagai arahan baru dalam evolusi konsep pembangunan berkelanjutan sebagaimana dinyatakan U Thant pada Panitia Persiapan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yaitu:57 “…belum pernah dalam sejarah 25 tahun PBB terdapat masalah yang lebih relevan bagi semua bangsa daripada krisis lingkungan yang kini dihadapi. Penguasaan energi dan transformasi sumber daya alam menjadi alat dan jasa yang tidak terkirakan jumlahnya bagi keperluan manusia, yang dihasilkan oleh revolusi industri, telah membawa salah satu
hal yang
menakjubkan dalam sejarah umat manusia. Perwujudan dari aspek baru dan meresahkan dari penyebaran dan pertumbuhan peradaban industri kini telah timbul : manusia tiba-tiba sadar tentang dimensi, kecepatan, dan pengaruh massal dari proses produksi terhadap keadaan fisik dan konfigurasi bumi ini dan terhadap keseimbangan dasar biologinya. Pengawasan aras dampak proses produksi akan memerlukan pemikiran ekonomis baru, instrumen hukum baru, tindakan administrative baru, dan prioritas pemerintah baru.”
Komitmen pembangunan berkelanjutan tersebut kemudian dilanjutkan pada tahun 1980, di mana International Union for the Conservation of Nature and Natural 57
Ibid., hlm.10
Universitas Sumatera Utara
Resources (IUCN) bersama-sama dengan United Nations Environtment Programme (UNEP) dan World Wildlife Fund (WWF), menerbitkan World Conservation Strategy (WCS) dalam upayanya memenuhi kebutuhan konservasi, yang meliputi pengelolaan sistem produksi ekologis yang tepat dan pemeliharaan kelangsungan hidup dan keberagamannya. Ada 3 tujuan utama dari konservasi sumber daya hayati WCS 58, yaitu: a. memelihara proses ekologi yang esensial serta sistem penyangga kehidupan; b. mengawetkan keanekaragaman jenis; c. menjamin pemanfaatan secara lestari spesies dan ekosistemnya. Pernyataan WCS saat itu merupakan pernyataan transisi, tidak dimaksudkan sebagai kerangka definitif untuk pembangunan berkelanjutan. Berbagai masalah yang mendesak tentang berbagai isu pembangunan belum dicantumkan, diantaranya sebab mengapa pembangunan tidak maju serta eksploitasi dan degradasi lingkungan yang meningkat tajam.
59
Kemudian isu-isu ini ditangani oleh sebuah badan yang dibentuk
oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1983, yaitu the World Commision on Environtment and Development (WCED) atau Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan60, yang memenuhi keputusan Sidang Umum PBB Desember 1983 No.38/161. Ini merupakan tindak lanjut dari upaya pengimplementasian hasil konferensi Nairobi yang melahirkan Deklarasi Nairobi pada sepuluh tahun setelah Konferensi Stockholm, bersamaan dengan peringatan Dasawarsa Lingkungan Hidup Kedua (1972-1982), pada tanggal 20 Mei sampai dengan 2 Juni 1982 di Nairobi, Kenya; yang bertujuan untuk mengevaluasi implementasi konferensi Stockholm dan kendala yang dihadapi selama 10 tahun terakhir.61
58
Loc.cit Ibid., hlm.11 60 Loc.cit 61 Takdir Rahmadi.,hlm.15 59
Universitas Sumatera Utara
Deklarasi Nairobi lahir dari sidang khusus Gouverning Council UNEP yang memuat 10 asas bagi pengelolaan lingkungan hidup di dunia. Secara umum konferensi Nairobi ini memandang bahwa asas atau prinsip yang telah diputuskan Konferensi Stockholm masih relevan dalam menyelamatkan dan membangun lingkungan hidup yang lebih baik lagi bagi kelangsungan hidup manusia. WCED dipimpin oleh Nyonya Gro Harlem Brundtland (Norwegia) dan Dr.Mansour Khalid (Sudan). Keanggotaan WCED mencakup pemuka-pemuka dari Zimbabwe, Jerman Barat, Hongaria, Jepang, Guyana, Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina, India, Kanada, Kolumbia, Saudi Arabia, Italia, Mexico, Brazilia, Aljazair, Nigeria, Yugoslavia, dan Indonesia (saat itu diwakili oleh Prof.Dr.Emil Salim)62 yang bersekretariat di Geneva. WCED yang juga dikenal dengan Komisi Brundtland diserahi tugas sebagai berikut:63 a. reexamine the critical issue of the environtment and development and formulate innovative, concrete, and realistic action proposals to deal with them; b. strengthen international; cooperation on environtment and development, and assess and propose new forms of cooperation that can be break out of existing patterns and influence policies and events in the direction of needed changes, and c. raise the level of understanding and commitment to action on the part of individuals, coluntary organizarions, business, institutes and governments.
62
Koesnadi Hardjosoemantri. ,hlm.12 The World Commision on Environtment and Development, Our Common Future, (Oxford : Oxford University, 1987). 63
Universitas Sumatera Utara
Adapun hal yang menjadi tugas WCED sebagaimana dimaksud di atas adalah:64 (1).Mengusulkan strategi-strategi lingkungan jangka panjang agar tercapai pembangunan berkesinambungan pada tahun 2000 dan seterusnya; (2). Merekomendasikan jalan keluar yang berkenaan dengan masalah lingkungan agar dapat diterjemahkan menjadi kerjasama erat di antara negaranegara berkembang dan negara-negara maju dengan tahap pembangunan ekonomi dan sosial yang berbeda, dan agar dapat diarahkan bagi tercapainya tujuan-tujuan bersama dan saling mendukung yang memperhitungkan antarhubungan antara manusia, sumber daya. lingkungan dan pembangunan; (3).Mempertimbangkan jalan keluar dan cara-cara yang memungkinkan masyarakat internasional menangani masalah-masalah lingkungan secara lebih efektif; (4).Membantu menciptakan persepsi bersama tentang masalahmasalah lingkungan jangka panjang dan upaya-upaya yang diperlukan agar dapat menangani secara lebih berhasil masalah perlindungan dan peningkatan lingkungan, agenda jangka panjang bagi tindakan bersama dasawarsadasawarsa mendatang dan sasaran-sasaran aspiratif bagi masyarakat dunia.
Komisi Brutland atau WCED ini menghasilkan sebuah laporan yang kemudian dipublikasikan dengan judul “Our Common Future”. Isi dari laporan ini membahas pendekatan terpadu antara masalah lingkungan hidup dan pembangunan. 65 Bagian pertama laporan mengemukakan keprihatinan bersama akibat rusaknya lingkungan baik karena kemiskinan maupun karena proses pembangunan itu sendiri yang pada
64
Emil Salim, “Pola Pembangunan Terlanjutkan”dalam WCED, Hari Depan Kita Bersama, (Judul asli : Our Common Future), Terjemahan Bambang Sumantri, (Jakarta : PT. Gramedia, 1998), hlm.xviii-xix 65 Takdir Rahmadi, hlm.12
Universitas Sumatera Utara
akhirnya berpotensi mengancam hari depan bersama. Dalam bagian ini dikemukakan gagasan dan startegi menuju pembangunan berkesinambungan serta peranan ekonomi internasional. Kemudian pada bagian yang kedua, dibahas enam tantangan bersama sebagai fokus kajian WCED dalam laporan ini, yaitu jumlah penduduk dan sumber daya manusia dalam hubungannya dengan lingkungan dan pembangunan; keamanan pangan, spesies dan ekosistem sebagai sumber daya bagi pembangunan; peranan energi sebagai pilihan bagi lingkungan dan pembangunan; peranan industri dan dampaknya bagi pembangunan; serta tantangan perkotaan. Dalam bagian ketiga diutarakan pentingnya ikhtiar bersama dalam hal mengelola milik bersama, perdamaian, keamanan, pembangunan, dan lingkungan, serta aksi bersama untuk perubahan secara hukum dan kelembagaan.66 Istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dimuat dalam laporan Komisi Bruntland tersebut, dimana Komisi itu telah menggunakan dan mempopulerkan istilah tersebut, serta merumuskan definisi dari pembangunan berkelanjutan, yaitu: “development that meets the needs of the present without compromising the abiality of future generations to meet their own needs”.67 Konsep pembangunan berkelanjutan ini kemudian dirumuskan dalam Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang juga disebut sebagai the Earth Charter. Deklarasi ini merupakan hasil dari Konferensi “United Nations Conference on Environtment and Development” (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil tanggal 3-14 Juni pada tahun 1992; yang dihadiri 178 utusan negara, 115 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, 1400 orang perwakilan Lembaga Swadaya Masyarakat.. Konferensi
yang
disebut
sebagai
Earth
Summit
ini
dimaksudkan
untuk
menindaklanjuti rekomendasi-rekomendasi Laporan Komisi Bruntland. 66 67
Muhammad Akib.,hlm.17, footnote ke-14 WCED, hlm.43
Universitas Sumatera Utara
Konferensi Rio atau Earth Summit ini menghasilkan beberapa kesepakatan internasional yaitu:68 a. Deklarasi Rio de Janeiro tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan; b. Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity); c. Agenda 21, sebuah dokumen sebanyak 800 halaman yang berisikan rencana pembangunan berkelanjutan di abad ke-21; d. Konvensi tentang Perubahan Iklim (the Climatic Change Convention); e. Prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang tidak mengikat; f. Pengembangan lebih lanjut instrumen-instrumen hukum dari Konvensi tentang Desertifikasi, Konvensi Pencemaran Laut yang bersumber dari Daratan; g. Perjanjian untuk membentuk Komisi tentang Pembangunan Berkelanjutan yang tugasnya memantau pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan Rio dan Agenda 21. Evaluasi terhadap pelaksanaan hasil KTT Bumi di Rio de Janeiro Brasil yang sudah lebih dari 10 tahun dilaksanakan oleh PBB di Johannesburg, Afrika Selartan pada tahun 2002. Rangkaian kegiatan KTT Dunia (World Summit on Sustainable Development) yang dilaksanakan PBB ini berlangsung sejak tanggal 26 Agustus hingga 4 September 2002 berhasil melahirkan 3 dokumen penting yaitu: 1. Deklarasi Johannesburg untuk Pembangunan Berkelanjutan (Johannesburg Declaration for Sustainable Development), merupakan deklarasi bersama antara pemimpin negara dan pemerintah-pemerintah yang berisikan tantangan
dan
komitmen
dunia
internasional
dalam
menjalankan
pembangunan berkelanjutan.
68
Takdir Rahmadi., hlm.13., sebagaimana dikutip dari David Hunter, James Salzman, Durwood Zaelke, International Environtmental Law and Policy, (Washington DC : University Book Series, 1998)., hlm.303
Universitas Sumatera Utara
2. Rencana Implementasi (Plan of Implementation), berisikan kesepakatan internasional tentang upaya yang harus dilakukan berdasarkan prinsip common but differentiated responsibility. 3. Dokumen Kerjasama (Partnership Document), berisikan kerjasama yang bermaksud mempercepat proses pembangunan berkelanjutan yang merata secara internasional dengan dukungan dana dari negara-negara maju serta lembaga internasional. Fokus utama KTT Dunia ini berada pada 5 sektor yang dikenal dengan istilah “WEHAB” (Water, Energy, Health, Agriculture and Biodiversity) yaitu penyediaan air bersih, energi, kesehatan dan sanitasi, pertanian dan keanekaragamanhayati sebagai satu kesatuan sasaran pembangunan berkelanjutan. Namun konsep pembangunan berkelanjutan yang diserukan sebelumnya telah dimuat di dalam Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan ini. The Earth Charter atau Deklarasi Rio merupakan “soft-law agreements69” yang memuat 27 prinsip. Beberapa prinsip yang menjadi unsur penting konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah:70 a. Prinsip kedaulatan dan tanggungjawab negara (prinsip 2); b. Prinsip keadilan antar generasi (prinsip 3); c. Prinsip keadilan intragenerasi (prinsip 5 dan 6); d. Prinsip keterpaduan antara perlindungan lingkungan hidup dan pembangunan (prinsip 4);
69
United Nations Environemental Programme (UNEP) sebagaimana pernyataan Danusaputro(1982) yang dikutip oleh Andreas Pramudianto S.H.,M.Si., Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional.,Cet.ke-1 (Jakarta : Setara Press, 2014) hlm.51 : dalam menentukan perjanjian internasional menggunakan 2 model yakni 1).Hard Law : meliputi hukum yang memiliki daya mengikat secara pasti (legally binding); 2). Soft law : unsur-unsur hukum yang tidak memiliki daya mengikat secara pasti (non-legally binding), tergantung kesukarelaan dari subjeknya 70 Takdir Rahmadi, Ibid., hlm.13-14
Universitas Sumatera Utara
e. Prinsip tanggungjawab bersama tetapi berbeda (prinsip 7); f. Prinsip tindakan pencegahan (prinsip 11); g. Prinsip bekerjasama dan bertetangga baik dan kerjasama internasional (prinsip 18,19, dan 27); h. Prinsip keberhati-hatian (prinsip 15); i. Prinsip pencemar membayar (prinsip 16); j. Prinsip demokrasi dan peranserta masyarakat (prinsip 10) Prinsip-prinsip
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development
principles) yang termuat dalam Deklarasi Rio ini kemudian dipandang sebagai sumber pengembangan hukum lingkungan nasional dan internasional sebagaimana halnya Deklarasi Stockholm71. Kemudian konsep dan prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut digunakan dari waktu ke waktu oleh berbagai negara hingga sekarang.
A.1. Pengertian Sustainable Development Principle Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah konsep yang lahir atas kesadaran masyarakat dunia terhadap kondisi lingkungan yang mendorong pemikiran perlindungan lingkungan di samping pemanfaatan lingkungan di masa sekarang yang berpengaruh pada kondisi lingkungan di generasi yang akan datang. Istilah pembangunan berkelanjutan (seperti yang telah diuraikan sebelumnya) telah digunakan dan dipopulerkan oleh Komisi Brundtland atau the World Commision on Environtment and Development (WCED). Rumusan definisi dari sustainable development seabagaimana yang ditetapkan WCED dalam laporannya yang berjudul “Our Common Future” adalah “development 71
Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.72 Dengan demikian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dijalankan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.73 Artinya segala kegiatan dan kebijakan pembangunan di masa sekarang harus memperhatikan kelangsungan lingkungan untuk pembangunan dan kebutuhan generasi di masa yang akan datang. Definisi pembangunan berkelanjutan yang tertera di hukum nasional Indonesia, memiliki pengertian yang lebih rinci dibanding rumusan definisi yang diberikan WCED. Pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai istilah untuk menggambarkan upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 74 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan berarti suatu upaya yang berisikan cara dan konsep mengenai pemanfaatan lingkungan untuk pembangunan yang berjalan searah dengan upaya perlindungan terhadap lingkungan agar senantiasa mempunyai kualitas dan mutu yang baik yang mampu mendukung kebutuhan dan kesejahteraan manusia di masa sekarang dan berkesinambungan hingga ke masa yang akan datang. Berbicara
tentang
sustainable
development
principle
atau
prinsip
pembangunan berkelanjutan, tak lepas dari apa arti dan bagaimana kedudukan sebuah prinsip dalam hukum lingkungan internasional. Dalam hukum internasional, dikenal istilah “general principles of law recognized by civilzed nation atau prinsip-prinsip
72
Ibid., hlm.2 Koesnadi Hardjasoemantri, hlm.15 74 UUPPLH No.32/2009 Pasal 1 butir 3 73
Universitas Sumatera Utara
hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab” sebagai salah satu sumber hukum internasional.75 Prinsip atau asas hukum umum yang dimasukkan ke dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tersebut sebagai sumber hukum dimaksudkan sebagai upaya memberikan wewenang kepada Mahkamah Internasional untuk membentuk kaidahkaidah hukum baru apabila ternyata sumber-sumber hukum lainnya tidak dapat membantu Mahkamah dalam menyelesaikan suatu sengketa internasional. Prinsipprinsip umum tersebut harus analogis dan dipilih melalui konsep yang berlaku umum bagi semua sistem hukum nasional.76 Prinsip-prinsip umum yang diambil dari sistemsistem nasional ini dapat mengisi kekosongan hukum (recht vacuum) dalam hukum internasional.77 Principle (Inggris) atau prinsip merupakan asas, landasan, acuan, dasar (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir)78 Jika pembangunan berkelanjutan berarti segala upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan, maka prinsip pembangunan berkelanjutan berarti segala asas, landasan, acuan atau pola dasar dalam melaksanakan upaya pembangunan berkelanjutan yang dimaksud.
75
Dr. Boer Mauna, “Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global”, edisi ke-2 (Bandung : PT Alumni,2005), hlm.8 : Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional tentang sumber-sumber hukum internasional ada 4, yaitu : 1). Perjanjian internasional (international convention) baik yang bersifat umum atau khusus; 2). kebiasaan internasional (international custom); 3). Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara beradab; 4). Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang diakui kepakarannya (doktrin) 76 Ibid., hlm.10 77 Loc.cit 78 Soesilo Prajogo., Kamus Hukum Internasional dan Indonesia. Cet.ke-1, 2007. Wicana Intelektual Press (WIPRESS)
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip hukum untuk perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang ditetapkan WCED meliputi prinsip hukum umum, hak dan kewajiban mengenai hal-hal berikut, yakni sebagai berikut:79 “hak fundamental manusia atas lingkungan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia; konservasi lingkungan dan sumber daya alam untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang; pelestarian keanekaragaman hayati serta pemeliharaan ekosistem dan proses ekologis yang esensial bagi berfungsinya biosfer; penetapan baku mutu lingkungan tertentu dan pelaksanaan sistem pemantauan untuk membuat evaluasi tentang kualitas lingkungan dan pemanfaatan sumber daya; pembuatan terlebih dahulu analisis dampak lingkungan atau sumber daya alam; pemberitahuan tepat waktu, akses dan hak membela diri atau melindungi diri (due process) yang diberikan kepada masyarakat dalam kaitannya dengan kegiatan yang direncanakan yang mempengaruhi sumber daya alam; tindakan untuk menjamin agar konservasi sumber daya alam dan lingkungan menjadi bagian integraldari perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan; dan penggunaan wajar dan adil dari sumber daya alam lintas batas”
Strategi pembangunan berkelanjutan yang dimaksud perlu meliputi sekurangkurangnya: 80 a. perencanaan penggunaan tanah dan pengawasan pembangunan;
79 80
Koesnadi Hardjasoemantri, hlm.16 Ibid., hlm.18
Universitas Sumatera Utara
b. pemanfaatan lestari dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan pemanfaatan
tanpa limbah dari sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui; c. pencegahan pencemaran, melalui pembebanan emisi, kualitas lingkungan, standar proses dan produk yang dirancang untuk melindungi kesehatan manusia dan ekosistem; d. penggunaan energi secara efisien melalui penerapan standar efisiensi energi untuk proses, bangunan, kendaraan, dan produk-produk lainnya yang mengkonsumsikan energi; e. pengawasan atau substansi berbahaya, termasuk di dalamnya tindakan untuk mencegah kecelakaan selama transportasi; f. pembuangan limbah, termasuk di dalamnya standart untuk meminimumkan limbah dan tindakan untuk memajukan pendaurulangan; g. konservasi spesies dan ekosistem, melalui penggunaan tanah, tindakan khusus untuk melindungi spesies yang rawan dan penetapan sebuah jaringan komprehensif dari kawasan-kawasan lindung.
Tiga dimensi utama dalam pembangunan berkelanjutan menjadi fokus tujuan pelaksanaan sustainable development principle yaitu dimensi lingkungan hidup, sosial dan ekonomi81. Prinsip pembangunan berkelanjutan mengharapkan keseimbangan dan keselarasan atas konsep perlindungan lingkungan hidup yang yang dimanfaatkan sebaik-baiknya dan sewajar-wajarnya yang dapat berfungsi sosial
secara
berkesinambungan dan terus menerus terhadap masyarakat di dunia yang bertujuan
81
Muhammad Akib, hlm.9
Universitas Sumatera Utara
untuk memenuhi dan menjamin kesejahteraan ekonomi dan keselamatan manusia sekarang dan masa yang akan datang. Prinsip yang pada intinya menggabungkan konsep perlindungan serta pemanfaatan lingkungan demi pembangunan yang berkesinambungan ini akhirnya menjadi salah satu prinsip hukum lingkungan internasional yang dianut dan diterapkan oleh berbagai negara-negara di dunia.
A.2. Hubungan dan Pertentangan antara Aspek Lingkungan dan Pembangunan serta Kaitannya dengan Sustainable Development Principle
Permasalahan lingkungan secara global bukan saja hanya menjadi masalah negara-negara maju tetapi juga menjadi masalah bagi negara-negara berkembang. Namun keduanya memiliki perbedaan penyebab. Jika permasalahan lingkungan di negara-negara maju disebabkan oleh pesatnya kemajuan dan perkembangan teknologi, maka permasalahan lingkungan di negara-negara berkembang umumnya disebabkan oleh karena kemiskinan, keterbelakangan teknologi dan pembangunan, kualitas hidup yang rendah terkait kurang memadainya tingkat kesehatan, sandang dan pangan, sanitasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Pembangunan pada dasarnya merupakan perubahan lingkungan, yaitu mengurangi resiko lingkungan dan atau memperbesar manfaat lingkungan.
82
Pembangunan dan kemajuan teknologi di negara-negara maju tidak jarang menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Sedangkan di sisi lain masalah keterbelakangan dan kemiskinan di negara berkembang dituding sebagai penyebab merosotnya lingkungan. Untuk mengatasi masalah lingkungan di negara berkembang 82
Siswanto Sunarto., Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa. (Jakarta : PT. Rineka Cipta.2005) hlm.33
Universitas Sumatera Utara
tidak ada pilihan lain selain melaksanakan pembangunan. Jika tidak dilaksanakan pembangunan, kualitas hidup rakyat dan mutu lingkungan tentunya akan semakin menurun dan rusak. Lingkungan hidup83 mempunyai dua hal yang perlu dijaga agar tercipta keseimbangan dalam ekosistemnya yakni konsep daya dukung lingkungan 84 serta konsep daya tampung lingkungan85. Jika kedua konsep ini dilampaui, maka akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem yang berpotensi menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Pembangunan berkelanjutan menekankan aspek kelestarian lingkungan dan kemajuan pembangunan. Sebenarnya kedua aspek memiliki pertentangan yang bertolak belakang. Lingkungan hidup menginginkan nihilnya campur tangan manusia untuk tetap lestari; dengan kata lain lingkungan harusnya tidak mengalami perubahan jika tidak karena perubahan alami lingkungan itu sendiri. Bertolakbelakang dengan pembangunan; di mana jika lingkungan harusnya bersifat statis, maka pembangunan bersifat dinamis. Pembangunan menginginkan perubahan terus menerus. Jika saling dihadapkan, pembangunan yang terus menerus tentunya lambat laun akan semakin merusak dan mengancam kelestarian lingkungan. Jika dibiarkan, hal ini akan berdampak buruk tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga seluruh makhluk hidup, termasuk manusia. Pembangunan dan kemajuan teknologi yang diraih tidak akan ada gunanya lagi. Hubungan dan pertentangan antara kelestarian lingkungan dan pembangunan inilah yang mendorong perlunya diterapkan prinsip pembangunan berkelanjutan 83
Muhammad Akib, hlm.1 “Lingkungan atau lingkungan hidup menurut Munadjat Danusaputro adalah semua benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkahperbuatannya, yang terdapat di dalam ruang di mana manusia berada dan memepngaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya seperti yang dikutip dari Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I Umum, (Jakarta : Binacipta, 1985), hlm.67 84 UUPPLH No.32 Tahun 2009 Pasal 1 butir 7 85 Pasal 1 butir 8
Universitas Sumatera Utara
(sustainable development principle). Pembangunan harus tetap dilaksanakan untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan sebagai akibat keterbelakangan pembangunan dan kemiskinan penduduk, tetapi tidak meruusak atau mencemarkan lingkungan, yang selanjutnya dikenal dengan kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan (ecodevelopment) atau kebijakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang dimaksud dalam pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang menekankan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dengan sadar dan terencana dalam mengelola sumber daya alam lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup masyarakat dengan tetap menjaga keutuhan lingkungan.
Penggunaan
dan
pemanfaatan
sumber
daya
alama
haruslah
memperhatikan keselarasan, keserasian dan keseimbangannya dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup.86 Jika pembangunan dilaksanakan tanpa memperhatikan lingkungan, maka kelestarian fungsi lingkungan akan terganggu. Jika kelestarian fungsi lingkungan terganggu, maka pembangunan akan sulit dilanjutkan, dan kualitas hidup manusia akan menurun. Inilah yang tergambar dalam istilah “man made nature, nature made man”, yang berarti alam dipengaruhi manusia, manusia dipengaruhi oleh alam. Sinergi yang baik antara 3 tujuan pembangunan berkelanjutan yakni tujuan ekonomi, sosial dan ekologi sangat diperlukan demi tercapainya tujuan pembangunan dan kelestarian lingkungan. Seluruh kegiatan pembangunan harus dilandasi tiga pilar pembangunan yang seimbang, yaitu menguntungkan secara ekonomi (economically viable), diterima secara sosial (socially acceptable) dan ramah lingkungan (environmentally sound).87 Kondisi lingkungan dan sumber daya alam (ekologi) yang
86 87
Muhammad Akib., hlm.9 Koesnadi Hardjasoemantri, hlm.59
Universitas Sumatera Utara
baik akan menjadi modal besar pendukung keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi, dan otomatis akan berdampak baik bagi kesejahteraan sosial masyarakat.
A.3. Beberapa Praktek Sustainable Development Principle
Kebijakan lingkungan
global
internasional
yang diawali
Konferensi
Stockholm 1872 membawa dampak positif bagi perkembangan kebijakan lingkungan baik dalam skala regional maupun nasional. Konsep pembangunan yang berkelanjutan yang dimuat dalam Deklarasi Rio tersebut menjadi nafas baru dalam setiap kebijakan dan program lingkungan di berbagai negara. Beberapa praktek kebijakan yang mengimplementasikan konsep prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut adalah sebagai berikut: 1. The Amazon Declaration 1989 Deklarasi Amazon ini dibentuk oleh negara-negara Amerika Latin yakni Bolivia, Columbia, Ecuador, Guyana, Peru, Suriname dan Venezuela pada tahun 1989 yang menegaskan bahwa negara bersangkutan menyadari kepentingan bersama mereka di kawasan Amazon, dan mereka menyatan akan meningkatkan kerjasama di masa depan untuk melindungi warisan Amazon. Deklarasi ini juga membentuk Komisi Khusus Lingkungan Amazon dan Komisi Khusus Urusan Penduduk Asli (Amazonia Special Environment Commision and the Amazonia Special Commision on Indigenious Affairs) yang bertujuan mengurus masalah lingkungan hidup, baik perencanaan pembangunan, perlindungan sumber daya alam maupun penduduknya, menegaskan kembali hak-hak berdaulat negara-negara Amazon untuk pengelolaan secara merdeka sumber daya alam mereka masing-masing
Universitas Sumatera Utara
dengan kewajiban untuk melakukan perlindungan lingkungan secara memadai.88 2. ASEAN Environment Programme (ASEP) Program lingkungan ASEAN ini disahkan melalui Manila Declaration on the ASEAN Environment (Deklarasi Manila tentang Lingkungan ASEAN). Tujuan ditetapkannya program lingkungan ini adalah dalam rangka perlindungan lingkungan ASEAN dan keberlanjutan sumber daya alamnya untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.89 Program ini mempunyai 6 prioritas dalam upaya pencapaian tujuannya, yaitu (i) pengelolaan lingkungan, termasuk AMDAL, (ii) pelestarian alam dan ekosistem terrestrial, (iii) industri dan lingkungan hidup, (vi) lingkungan laut, (v) pendidikan dan latihan lingkungan, dan (vi) penerangan lingkungan hidup.90 Salah satu contoh tindaklanjut dari program ini adalah dibentuknya suatu rencana darurat (the ASEAN Contingency Plan for Control and Mitigation of Marine Pollution) mengenai lingkungan hidup terkait tragedi tumpahan minyak (oil spills) di awal tahun 1970-an di Selat Malaka dan Singapura.91 Tujuan utama rencana darurat ini adalah mengadakan tindakan-tindakan segera dalam mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan oleh minyak atau benda berbahaya lainnya ke dalam laut di kawasan ASEAN, mengurangi dampak pembuangan minyak, mengkoordinasikan dan mengintegrasikan rencana dan kegiatan negara anggota dalam mencegah pembuangan minyak dan menanggulangi akibatnya. 88
Ida Bagus Wyasa Putra, hlm. 33 Muhammada Akib, hlm.48, footnote ke-55 : Tujuan ASEP I : to ensure the protection of the ASEAN environtment and the sustainability of its natural resources so that it can sustain continued development with the aim of eradicating poverty and attaining the highest possible quality of life for the people of the ASEAN countries 90 Ibid.,49 91 Loc.cit 89
Universitas Sumatera Utara
3. Latin American and Carribean Summit Declaration of Brazilia on The Environment 1989 Deklarasi yang dibentuk oleh Pertemuan Tingkat Menteri negaranegara Amerika Latin dan Karibia di Brazilia ini menggakui kebutuhan imperative (imperative need) untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan perlindungan lingkungan melalui manajemen yang tepat terhadap pemanfaatan sumber daya alam pengendalian dampak lingkungan, serta eksploitasi sumber daya alam secara nasional untuk tidak mengurangi hak-hak generasi masa kini dan masa depan. Mereka menyadari betapa pentingnya Tata Ekonomi Internasional secara adil (fair /and equitable) untuk memudahkan penyelesaian masalah eksternal lingkungan dan kemungkinan rasionalisasi pemanfaatan sumber daya alam. 92 4. Deklarasi Rio Branco 2014 Deklarasi ini merupakan bentuk komitmen anggota Kolaborasi Subnasional dari 34 negara bagian dan provinsi yang tergabung dalam Governor’s Climate and Forest Task Force (Satuan Tugas Hutan dan Iklim Gubernur (GCF) dari 11 negara hutan tropis Brasil, Indonesia, Meksiko, Nigeria, Peru, Spanyol dan Amerika Serikat di Rio Branco, Brasil. Negaranegara bagian dan provinsi-provinsi anggota GCF ini menyadari pentingnya upaya perlindungan hutan tropis untuk melindungi iklim global dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi bagi setiap pihak dengan melaksanakan strategi dan program pembangunan rendah emisi, pembangunan ekonomi
92
Ida Bagus Wyasa Putra, hlm.35, footnote ke-39
Universitas Sumatera Utara
berbasis hutan, dan pengintegrasian perlindungan hutan dan iklim, serta kualitas seluruh komponen lingkungan hidup.93
B. Pengaturan
Hukum
Lingkungan
Internasional
mengenai
Sustainable
Development Principle
Hukum lingkungan internasional94 mengalami perkembangan pesat sejak diadakannya Deklarasi Stockholm 1972 yang merupakan pilar perkembangan hukum lingkungan internasional modern, karena sejak saat itu hukum lingkungan yang sebelumnya bersifat use-oriented95 menjadi environment oriented96. Deklarasi Stockholm
tersebut memuat 27 prinsip pembangunan yang
menyerukan agar negara-negara di dunia melaksanakan konsep Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development yang kemudian dijadikan prinsip hukum dalam Deklarasi Rio 1992. Prinsip yang menjadi konsep pembangunan berkelanjutan yang termuat dalam Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan atau yang disebut the Earth Charter
97
ini bertujuan mewujudkan kemitraan global yang baru dan adil,
melalui tahapan kerjasama yang baru dan erat di antara negara-negara, berdasarkan
93
Deklarasi Rio Branco, 11 Agustus 2014 Ida Bagus Wyasa, hlm.1 : “…. merupakan keseluruhan kaedah, azas-azas, lembagalembaga dan proses-proses yang terkandung di dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan hidup, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat negara-negara, termasuk subjek-subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan daalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan internasional” 95 Sukanda Husin., Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia.(Jakarta : SInar Grafika. 2009), hlm.31 : Hukum Lingkungan yang bersifat use-oriented maksudnya produk hukum yang melulu memberikan hak kepada masyarakat internasional untuk mengeksploitasi lingkungan dan sumber daya alam tanpa membebani kewajiban untuk menjaga, melindungi, dan melestarikannya. Contoh: Konvensi Hukum Laut 1958 96 Loc.cit., bersifat environment-oriented maksudnya produk hukum tidak saja memberi hak memakai lingkungan, tapi juga membebani manusia kewajiban menjaga, melindungi dan melestarikannya. Contoh : Konvensi Hukum Laut 1982 97 Ida Bagus Wyasa Putra., hlm.40, Terlampir 94
Universitas Sumatera Utara
keterpaduan konsep pembangunan dan perlindungan lingkungan serta kesadaran terhadap keterpaduan dan saling ketergantungan alam bumi tempat semua umat manusia berpijak. Prinsip 1 dalam deklarasi ini menyatakan bahwa Manusia merupakan sasaran utama pembangunan berkelanjutan, oleh karena itu manusia berhak memperoleh kehidupan yang layak dan produktif yang serasi dengan alam. Kedaulatan negara-negara dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam mereka termuat dlam Prinsip 2 yang berbunyi: “Setiap negara, berdasarkan Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional, diakui memiliki kedaulatan penuh untuk memanfaatkan sumber daya alam mereka, sesuai dengan kebijakan bidang lingkungan dan pembangunan masing-masing dan juga berkewajiban menjaga agar kegiatan yang berlangsung di dalam wilayahnya atau berada di bawah pengawasannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara lain atau wilayah di luar batas wilayah nasional negara-negara. Hak membangun yang dimaksud dalam Prinsip 3 harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup, baik generasi masa kini dan masa depan. Prinsip 4 menyatakan perlindungan lingkungan harus diperhitungkan sebagai bagian terpadu proses pembangunan, tidak dapat dipandang sebagai suatu yang terpisah. Deklarasi
ini
menginginkan
kerjasama
internasional
dalam
rangka
pemberantasan kemiskinan, prasyarat perwujudan pembangunan berkelanjutan, untuk mengurangi kesenjangan batas hidup layak (standart of living) seperti yang dicantumkan pada prinsip 5. Fokus utama pembangunan berkelanjutan ditujukan kepada negara-negara berkembang dan negara terbelakang dan yang mempunyai lingkungan hidup yang rawan kerusakan sebagaimana diatur dalam Prinsip 6.
Universitas Sumatera Utara
Salah satu prinsip baru yang berhasil diciptakan dalam deklarasi ini adalah prinsip “common but differentiated responsibilities principle”, sebagaimana dicantumkan dalam Prinsip 7 deklarasi ini yang menyatakan bahwa tingkat tanggung jawab negara-negara dalam usaha pelestarian, perlindungan dan pemulihan kondisi dan keterpaduan ekosistem bumi, berbeda-beda sesuai dengan perusakan yang ditimbulkannya. Prinsip 8 mengisyaratkan penghapusan pola produksi maupun konsumsi yang tidak layak dan peningkatan kependudukan yang tepat. Prinsip 9 mengharapkan adany kerjasama antar pemerintah dalam rangka peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,
peningkatan pembangunan, penyesuaian, pemberesan dan alih
teknologi yang lebih baik. Masyarakat diberi kesempatan yang lebih memungkinkan untuk memperoleh informasi lingkungan, termasuk informasi
konsumsi bahan berbahaya di sekitar
mereka, serta partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan terhadap hal terkait dijelaskan dalam Prinsip 10. Pemberlakuan aturan atau ketentuan lingkungan seperti yang dinyatakan Prinsip 11 harus dilakukan secara efektif Penetapan persyaratan baku mutu lingkungan dan standar lain yang seimbang antara pembangunan dan perlindungan lingkungan, dilaksanakan sesuai dengan kondisi setempat Pembebanan persyaratan lingkungan dalam bidang perdagangan, yang bertujuan memperbaiki lingkungan dianggap sebagai hal yang normal dan baik, tidak boleh dianggap sebagai perdagangan yang tidak jujur seperti yang diamanahkan Prinsip 12. Setiap penyusunan hukum tentang denda dan ganti rugi, baik secara nasional maupun internasional, oleh setiap pemerintah negara diterapkan untuk keperluan
Universitas Sumatera Utara
perlindungan hak-hak korban pencemaran atau kerusakan lingkungan lainnya seperti yang dimaksud dalam Prinsip 13. Pencegahan peralihan bahan perusak lingkungan dari satu negara ke negara lainnya oleh setiap pemerintah serta penerapan pendekatan preventif dalam masalah lingkungan hidup sesuai kemampuan masing-masing negara dicantumkan dalam Prinsip 14 dan Prinsip 15 yang disebut seabagai prinsip pendekatan kehati-hatian. Penerapan prinsip “pencemar harus menanggung kerugian yang timbul akibat pencemaran yang dibuatnya” atau yang biasa disebut dengan polluter pays principle ditujukan Prinsip 16 untuk meningkatkan swadaya biaya-biaya lingkungan. Pencemar harus membayar biaya yang ditetapkan oleh otoritas yag berwenang atas segala kerugian yang terjadi akibat kerusakan lingkungan oleh tindakan yang dilakukan pencemar. Penerapan wajib AMDAL atau analisa mengenai dampak lingkungan terhadap setiap kegiatan yang potensial dampak merusak lingkungan ditegaskan dalam Prinsip 17. Sedang dalam Prinsip 18 dan Prinsip 19 menyatakan bahwa setiap pemerintah hendaknya memberitahukan secara dini informasi dan peringatan kemungkinan bahaya lingkungan yang bersifat tiba-tiba kepada semua pihak terkait, dan setiap negara sebaiknya bersama-sama berusaha membantu negara lainnya dalam mengatasi masalah tersebut. Deklarasi ini juga memberikan pengakuan dan kesempatan peran serta wanita dalam pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang diatur oleh Prinsip 20. Selain kaum wanita, deklarasi ini juga memperhatikan peran generasi muda dalam menjalankan upaya kerja sama terkait pembangunan berkelanjutan seperti yang diatur Prinsip 21 yang mengisyaratkan penggalangan semangat dan kreativitas generasi muda dalam rangka menumbuhkan kemitraan global.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah diwajibkan untuk menghormati tradisi, pengetahuan dan peran penduduk asli dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan, dan juga memelihara jati diri, melestarikan kebudayaan dan kepentingan mereka seperti yang disebutkan oleh Prinsip 22. Perlindungan lingkungan hidup milik bangsa tertindas atau terjajah wajib dilakukan dan diupayakan oleh setiap negara seperti yang diwajibkan oleh Prinsip 23. Amanah untuk melakukan perlindungan lingkungan hidup pada masa perang, dengan cara tidak melakukan kegiatan atau tindakan perang yang berpotensi merusak lingkungan hidup diwajibkan oleh Prinsip 24. Deklarasi ini memberikan penegasan dalam Prinsip 25 bahwa perdamaian, pembangunan dan perlindungan lingkungan merupakan masalah saling berkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu harus diupayakan secara bersamaan dan berkelanjutan. Setiap sengeketa lingkungan yang terjadi antar pihak manapun oleh Prinsip 26 diwajibkan
untuk dilakukan secara damai dan dengan itikad baik (Peacefull
Settlement of Disputes Principle). Semua prinsip-prinsip yang diatur dalam deklarasi ini dilaksanakan berdasarkan kerjasama pemerintah dan anggota masyarakat, berdasarkan itikad baik, semangat kemitraan bersama sebagaimana dimuat dalam Prinsip 27. Konsep pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dalam ke-27 prinsip Deklarasi Rio 1992 tersebut, terutama pada Prinsip yang ke-3 yang menyatakan bahwa “hak membangun (seperti yang dimaksud dalam Prinsip ke-2) haruslah dilaksanakan sedemikian rupa (sesuai kebijakan lingkungan dan pembangunan masing-masing negara serta menjaga dan mengawasi agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara lain atau di luar batas wilayah nasional negara-negara)
Universitas Sumatera Utara
sehingga mampu memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup bagi generasi masa kini dan masa depan;” yang berarti pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh negara-negara haruslah memperhatikan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan demi kebaikan hidup generasi sekarang dan yang akan datang (sustainable development).. Deklarasi
ini
juga
memuat
prinsip
yang
mendukung
pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan yang mengarah kepada kerjasama internasional pemberantasan kemiskinan terutama negara-negara berkembang dan negara-negara terbelakang, upaya pelestarian dan pemulihan ekosistem lingkungan, sistem produksi dan konsumsi tepat guna, hingga pertanggungjawaban secara hukum tentang denda dan ganti rugi pengrusakan lingkungan, penghormatan hak, peran dan status wanita, generasi muda dan penduduk asli dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan bangsa tertindas/terjajah dan juga pada masa perang, serta kewajiban penyelesaian sengketa secara damai. Lahirnya Deklarasi Stockholm 1972 juga memicu lahirnya beberapa konvensi internasional yang melindungi lingkungan hidup. Beberapa di antaranya adalah Konvensi Paris 1974, Konvensi London 1976, Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi Wina 1985, Konvensi Perubahan Iklim 1992, Konvensi Keanekaragamanhayati 1992, dan lain sebagainya.98 Namun sebenarnya jauh sebelum dikeluarkannya Deklarasi Stockholm 1972, Hukum Kebiasaan Internasional99 juga telah mengatur pencegahan pencemaran lingkungan. Misalnya, prinsip sic utere tuo ut alienum non laedas atau prinsip good neighborliness yang melarang penggunaan territorial suatu negara bila
98
Sukanda Husin., hlm,21 Mochtar Kusumaatmadja, “…..sebagaima perumusan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat 1 sub b yang mengatakan : international custom, as evidence of a general practice accepted as law. Artinya, hukum kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum”., hlm.143 99
Universitas Sumatera Utara
menimbulkan gangguan atau kerugian pada territorial negara lain. 100 Contoh kasus dari penerapan prinsip good neighborliness ini adalah Kasus Trail Smelter101, Kasus Nuclear Test102 dan lain sebagainya. Pengaturan hukum internasional tentang pembangunan berkelanjutan tidak berhenti hanya di Deklarasi Stockholm saja, melainkan berkembang semakin luas dan banyak. Contohnya adalah Konferensi UNCED (United Nations Conference on Environtment and Development) atau yang disebut Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan oleh PBB di Rio de Janeiro pada Juni 1992 yang merupakan peringatan 20 tahun Konferensi Stockholm 1972. UNCED ini dihadiri oleh 177 kepala-kepala negara dan wakil-wakil pemerintah serta wakil badan-badan lingkungan PBB dan lembaga-lembaga lainnya untuk bersama-sama bekerja menjadikan pembangunan berkelanjutan sebuah realitas.103 UNCED pun telah berhasil mencapai beberapa konsensus terkait pembangunan berkelanjutan yang kemudian dimuat dalam berbagai dokumen dan perjanjian yakni: a. Deklarasi Rio de Janeiro tentang Lingkungan dan Pembangunan yang memuat 27 prinsip fundamental lingkungan dan pembangunan. b. Non-legally Binding Authorative Statement of Principles for a Global Consensus on the Management, Conservation and Sustainable Development off all Types of Forest (Forestry Principles), merupakan consensus internasional yang memuat prinsip-prinsip kehutanan yang teridiri dari 16
100
Sukanda Husin, Ibid,. sebagaimana dikutip dari L.Oppenheim, International Law, Vol.1, Edisi VIII, Longmans, London, 1955, hlm.346. 101 Kasus gugatan oleh Amerika Serikat kepada Kanada di Badan Arbitrase Internasional untuk membayar ganti rugi akibat asap beracun pabrik smelter di British Columbia yang merugikan petani di Washington, Amerika Serikat. 102 Dalam kasus ini, Australia dan Selandia baru meminta agar Mahkamah Internasional memberikan injuctive release atas percobaan nuklir Prancis di Pulau Maurora Atoll di Lautan Pasifik. 103 Koesnadi Hardjasoemantri., hlm.20
Universitas Sumatera Utara
pasal mengenai aspek pengelolaan, aspek konservasi serta pemanfaatan dan pengembangan hutan, yang bersifat tidak mengikjat secara hukum dan berlaku untuk semua jenis tipe hutan. c. Agenda 21, yang menggambarkan kerangka kerja dari rencana kerja masyarakat internasional dalam upaya pembangunan berkelanjutan pada abad ke-21. Agenda ini merupakan rencana kerja global yang pertama kali disusun secara universal mengenai pembangunan berkelanjutan yang meliputi isu ekonomi, sosial dan lingkungan yang berbeda-beda dari semua negara di dunia. Tujuan dari setiap kegiatan yang tercantum dalam Agenda 21 adalah pengentasan kemiskinan, kelaparan, pemberantasan penyakit derta buta huruf di seluruh dunia, di samping mengehntikan kerusakan ekosistem penting bagi kehidupan manusia. Agenda 21 yang membahas dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan dan kesinambungan sistem produksi ini dapat digunakan oleh pemerintah, organisasi internasional, kalangan industri maupun masyarakat lainnya untuk mendukung upaya pengintegrasian lingkungan ke dalam seluruh kegiatan sosial-ekonomi.104 d. The Framework Convention on Climate Change, yang memuat kesediaan negara-negara maju untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan melaporkan secara terbuka mengenai kemajuan yang diperolehnya dalam hubungan tersebut. Negara-negara maju juga sepakat untuk membantu negara-negara berkembang dengan sumber daya dan teknologi dalam upaya negara-negara berkembang untuk memenuhi kewajiban sesuai konvensi. Pasal 3 konvensi perubahan iklim ini mmuat prinsip-prinsip sebagai berikut:105
104
Ibid.,hlm.23 Ibid., hlm.29; Konvensi ini dibuat di New York, 9 Mei 1992. Indonesia telah meratifikasi konvensi ini dengan Undang-undang No.6 Tahun 1994 tentang Perubahan Iklim tanggal 1 Agustus 1994 105
Universitas Sumatera Utara
1) Para pihak harus melindungi sistem iklim untuk kepentingan generasi kini dan yang akan datang, atas dasar keadilan dan sesuai dengan tanggungjawab bersama yang berbeda-beda dan sesuai kemampuan masing-masing, juga pihak negara maju harus mengambil peranan penting dalam menanggulangi perubahan iklim dan kerugian yang diakibatkannya. 2) Kebutuhan tertentu dan keadaan khusus dari pihak negara berkembang, terutama yang rawan tehadap akibat perubahan iklim yang merugikan, dan bagi para pihak, terutama pihak negara berkembang yang harus memikul ketidakseimbangan atau beban yang tidak wajar berdasarkan konvensi ini, harus diberikan pertimbangan penuh. 3) Para pihak harus mengambil tindakan pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah atau mengurangi penyebab dari perubahan iklim dan meringankan akibat yang merugikan. 4) Semua pihak mempunyai hak yang sama untuk dan harus memajukan pembangunan
berkelanjutan.
Kebijaksanaan
dan
tindakan
untuk
melindungi sistem iklim terhadap perubahan iklim akibat campur tangan manusia harus memadai bagi keadaan khusus setiap pihak dan harus diintegrasikan
dengan
program
pembangunan
nasional,
dengan
memperhitungkan bahwa pembangunan ekonomi adalah esensial bagi dilakukannya tindakan-tindakan untuk menghadapi perubahan iklim. 5) Semua pihak harus bekerjasama mengembangkan sistem ekonomi internasional yang menunjang dan bersifat terbuka manuju pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan bagi semua pihak negara berkembang, sehingga memungkinkan mereka menghadapi perubahan iklim dengan cara yang lebih baik; termasuk melakukan tindakan
Universitas Sumatera Utara
unilateral,
tanpa
pendiskriminasian
yang
sewenang-wenang
atau
pembatasan perdagangan internasional yang terselubung. e. The Convention on Biological Diversity106 atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Keanekaraman Hayati, yang merupakan landasan kerjasama internasional dalam upaya konservasi spesies dan habitat keanekaragaman hayati dunia. Dalam Pasal 1 konvensi ini disebutkan bahwa tujuannya adalah melestarikan dan mendayagunakan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan berbagi keuntungan hasil pemanfaatan sumber genetika tersebut secara adil dan merata baik melalui akses terhadap sumber genetika tersebut, alih teknologi yang relevan, serta pembiayaan yang cukup dan memadai,. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3, konvensi ini menganut asas bahwa negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan dan lingkungannya, serta mempunyai tanggungjawab untuk menjamin bahwa kegiatannya ini tidak akan merusak lingkungan di dalam maupun di luar wilayah negaranya. Beranjak dari uraian hasil konsensus yang berhasil dicapai oleh konferensi UNCED (United Nations Conference on Environtment and Development), Deklarasi Rio merupakan suatu langkah awal kemajuan yang sangat berarti dengan mengaitkan erat dua pengertian kunci yakni pembangunan seluruh bumi dan perlindungan lingkungan. Selain itu, Deklarasi Rio menghidupkan semangat pembangunan berkelanjutan dengan 3 dimensi yakni dimensi intelektual tentang kesadaran bahwa planet bumi merupakan satu kesatuan luas yang bergantung dan berkaitan erat satu 106
Ibid., hlm.31; Konvensi ini dibuat di Rio de Janeiro tanggal 5 Juni 1992, ditandatangani 153 negara. Diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 1 Agustus 1994 dengan Undang-undang No.5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Keanekaraman Hayati), sekarang ditambah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang pengesahan Cartagena Protokol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati)
Universitas Sumatera Utara
sama lain; dimensi ekonomi mengenai pentingnya pembangunan yang tepat dan tidak kurang dan tidak berlebihan bagi seluruh bumi dengan kemitraan global; serta dimensi politik yakni tentang kesadaran yang jelas mengenai kewajiban politik yang bersifat jangka panjang, tentang bagaimana cara menggunakan kekuasaan dan melaksanakannya untuk mempersiapkan dunia yang layak bagi generasi-generasi mendatang.107 Semangat ini kemudian menjadi nafas bagi banyak negara dalam mengupayakan terciptanya pembangunan yang memperhatikan aspek lingkungan. Senada dengan pernyataan Maurice F Strong108 dalam Preamble Agenda 21 bahwa “tidak ada negara yang dengan usaha sendiri akan dapat mengelola dan melindungi ekosistem dan membawa masa depan yang lebih sejahtera. Bersama-sama hal tersebut dapat dicapai dalam kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan”, kemudian semakin banyak negara-negara yang menjalin kerjasama baik yang bersifat multilateral maupun bilateral untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pembangunan berkelanjutan. Hal itu jugalah yang mendasari lahirnya Deklarasi Rio Branco di Brasil oleh Satuan Tugas Hutan dan Iklim Gubernur (Governor’s Climate and Forest Task Force) untuk membangun kemitraan dan mendapatkan dukungan untuk hutan dan mata pencaharian di kawasan para anggotanya.
107
Ibid,. disadur dari kutipan pernyataan Boutros Boutros-Gali, Sekretaris Jenderal PBB tanggal 14 Juni 1992, hlm.33 108 Maurice F. Strong merupakan negarawan Kanada, salah satu penggerak Stockholm 1972, juga Sekretaris UNCED
Universitas Sumatera Utara
C. Konsep Sustainable Development Principle dalam Deklarasi Rio Branco menurut Perspektif Hukum Internasional
Deklarasi Rio Branco merupakan sebuah momentum dari suatu kolaborasi sub-nasional dari 34 negara bagian dan provinsi “Governor’s Climate and Forest Task Force” (GCF) atau Satuan Tugas Hutan dan Iklim Gubernur dari 7 negara yakni Brasil, Indonesia, Meksiko, Nigeria, Peru, Spanyol dan Amerika Serikat. Negara bagian dan provinsi angota GCF tersebut terdiri dari Acre, Amapa, Amazonas, Mato Grossi, Para dan Tocantins (Brasil); Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Kalimantan Barat, dan Papua Barat (Indonesia); Amazonas, Loreto, Madre de Dios, San Martin, dan Uyacali (Peru); Campeche, Chiapas, Jalisco, Quintana Roo, dan Tabasco (Meksiko); Cross River State (Nigeria); California dan Illnois (Amerika Serikat); dan Catalonia (Spanyol). Deklarasi ini dinilai sebagai langkah kesepakatan terbaik oleh pemerintah dari negara bagian dan provinsi penandatangannya, terutama untuk masalah mitigasi perubahan iklim dan perlindungan hutan tropis. Komitmen anggota-anggota CGF ini berorientasi pada pengurangan deforestasi hutan109 dan degradasi hutan110, perlindungan sistem iklim global, meningkatkan mata pencaharian pedesaan, dan mengurangi kemiskinan di yurisdiksi anggotanya. Komitmen tersebut kemudian secara formil dituangkan dalam Deklarasi Rio Branco pada 11 Agustus 2014 setelah sekian lama yakni tahun 2008 negara109
Deforestasi hutan adalah pengalihan hutan menjadi lahan dengan tujuan lain atau pengurangan tajuk pohon di bawah ambang batas minimum 10 % untuk jangka panjang dengan tinggi pohon mininmum 5 m (in situ ) dan areal minimum 0,5 ha (Sumber : FAO (Food and Agriculture Organisation, seperti yang dikutip dari Rancangan strategi Nasional REDD+ tanggal 18 November 2010 BAPPENAS) 110 Degradasi hutan adalah perubahan di dalam hutan yang berdampak negatif terhadap struktur atau fungsi tegakan hutan atau lahan hutan sehingga menurunkan kemampuan hutan dalam menyediakan jasa/produk hutan. Dalam konteks REDD+, diartikan sebagai penurunan stok karbon (carbon stock degradation) hutan.
Universitas Sumatera Utara
negara bagian dan provinsi-provinsi GCF berupaya mempelopori promosi pengintegrasian perlindungan hutan dan iklim menuju pembangunan berkelanjutan. Konsep sustainable development principle dalam deklarasi ini menjadi nafas dari berbagai tujuan yang menjadi komitmen bersama para anggota CGF. Dalam deklarasi disebutkan bahwa yang menjadi kesadaran dasar pentingnya perlindungan hutan bagi dunia yakni:111 “Hutan tropis memainkan peran penting dalam pembangunan berkelanjutan dengan melindungi kualitas udara dan air, tanah, habitat tanaman dan satwa; dan berkontribusi melalui mitigasi banjir dan proteksi iklim, dan dengan menyediakan sumber-sumber obat-obatan, pangan, energi dan hasil hutan lainnya, dan hal-hal ini sangatlah penting bagi mata pencaharian dan budaya masyarakat hutan dan masyarakat pedesaan”. Kesadaran akan betapa pentingnya hutan dalam kesinambungan fungsi lingkungan dan pembangunan terhadap manusia baik secara global dan regional di berbagai bidang terutama yang terkait dengan kualitas udara dan air serta tanah, habitat tanaman dan satwa, ketersediaan sumber-sumber pangan, energi dan obatobatan serta hasil hutan lainnya bagi masyarakat dunia bahkan juga perlindungan dan pencegahan terhadap berbagai bencana alam seperti banjir dan perubahan iklim. Beranjak dari hal itulah, negara-negara bagian dan provinsi-provinsi anggota GCF sejak tahun 2008 mempelopori upaya-upaya perlindungan hutan tropis yang pada faktanya seperempat hutan tropis dunia berada di negara-negara bagian dan provinsi-provinsi anggota CGF, termasuk di dalamnya lebih dari tiga perempat hutan Brasil dan Peru dan lebih dari setengah hutan Indonesia.
111
Deklarasi Rio Branco, Paragraf ke-4
Universitas Sumatera Utara
GCF berupaya membangun strategi-strategi dan program-program yurisdiksi untuk pembangunan rendah emisi dan segala hal yang terkait REDD+ secara tepadu dalam skala besar menuju pembangunan yang berkelanjutan.112 Upaya mengurangi deforestasi dilakukan dengan membangun kemitraan-kemitraan baru dengan inisiatifinisiatif sektor swasta melalui program-program yurisdiksi dan menyalurkan secara cepat dan efektif pendanaan berbasis kinerja untuk mendukung pembangunan ekonomi berbasis hutan dan ramah bagi produsen, rimbawan, petani, peternak, masyarakat adat, komunitas-komunitas lokal, dan para pemangku kepentingan hutan lainnya. Kelompok GCF ini mempunyai tujuan memajukan program-program di tingkat nasional di negara-negara tropis guna merancang pembangunan desa rendah emisi serta pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+ 113) di tengah prospek transformasi pasar menuju karbon netral dan berkelanjutan yang harus mendorong pemerintah untuk terus berinvestasi dalam program-program yurisdiksi untuk REDD+ dan pembangunan rendah emisi. Jika jaminan atas pembiayaan ini bisa tersedia, GCF berkomitmen untuk mengurangi deforestasi sebesar 80 % pada tahun 2020 nanti. Deklarasi Rio Branco dianggap merupakan salah satu representasi salah satu solusi perubahan iklim jangka panjang terbaik karena pemerintah negara-negara hutan tropis tidak meminta negara-negara industri untuk membayar tagihannya,114 karena hanya menyerukan kepada seluruh pemerintah negara-negara donor dan sektor swasta
112
Lihat Paragraf 2 seperti yang dikutip dari www.reddplus.go.id/tanya-jawab Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation (REDD+) yakni langkah-langkah yang didesain untuk menggunakan insentif keuangan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, memaksimalkan peran konservasi, manajemen hutan yang berkepanjangan dan peningkatan stok hutan karbon. 114 Dikutip dari blog.cifor.org tanggal 5 November 2014 113
Universitas Sumatera Utara
untuk bekerja sama menggalang dana-dana pembayaran untuk kinerja dan peningkatan kapasitas upaya pembangunan berkelanjutan yang dilakukan di negaranegara bagian dan provinsi-provinsi anggota GCF. Pemerintah nasional GCF, pemerintah negara-negara donor, sektor swasta dan masyarakat sipil diharapkan oleh GCF untuk bergabung bersama dan menyepakati bahwa sedikitnya ada sejumlah besar dana dari pembayaran untuk kinerja yang ditujukan untuk mempromosikan REDD+ dan pembangunan rendah emisi yurisdiksi anggota GCF yang akan diperuntukkan dan diberikan kepada komunitas yang hidupnya bergantung pada hutan, para petani kecil dan masyarakat adat.115 Upaya pengurangan deforestasi dan degradasi hutan serta promosi REDD+ dan pembangunan rendah emisi yang diusung oleh deklarasi ini tentunya merupakan salah satu perwujudan penerapan sustainable development principle yang sudah digaungkan sejak dahulu. Diantaranya adalah Konvensi Tentang Perubahan Iklim (The Framework Convention on Climate Change) 1992. Konvensi ini dirancang untuk mengatur pemakaian gas rumah kaca (greenhouse gases) seperti CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs dan SF6 yang merupakan penyebab terjadinya global warming dan global climate change,116. Tujuan akhir yang ingin dicapai konvensi ini adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada suatu level, yang mencegah akibat merusak dari gas rumah kaca pada sistem iklim. Hal yang sama juga menjadi sentra fokus perlindungan yang dimuat dalam konvensi sebelum Konvensi tentang Perubahan Iklim 1992 ini, yakni Konvensi Wina 1985 atau The Vienna Convention for The Protection of the Ozone Layer. Pada 115 116
Deklarasi Rio Branco, Paragraf 19 Sukanda Husin., hlm.27
Universitas Sumatera Utara
preambulnya konvensi ini menunjukkan kesadaran masyarakat internasional atas ancaman yang sedang timbul terhadap atmosfer dunia. Meski konvensi ini tidak memuat standar-standar yang harus dipenuhi dalam rangka membatasi zat perusak ozon (ozon depleting substances), namun dapat dijadikan sebagai dasar acuan untuk melakukan kerjasama dalam melindungi lapisan ozon yang terbukti telah menipis. Tindak lanjut dari Konvensi Wina ini adalah Protokol Montreal 1987, Amandemen London 1990, Amandemen Copenhagen 1992, Amandemen Montreal 1997, dan Amandemen Beijing 1999. 117 Dalam Protokol tersebut disebutkan angkaangka dan standar serta jadwal (hard rules) yang harus dicapai oleh negara-negara anggota untuk mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap lapisan ozon. Konvensi Wina dan Konvensi Tentang Perubahan Iklim sama-sama hanya memuat soft obligations (aturan lunak) yaitu aturan yang tidak langsung menimbulkan dampak terhadap pengurangan zat yang dikontrol. Berbeda dengan Kyoto Protocol (Protokol Kyoto) tahun 1997 yang sudah memuat hard obligations tentang mengurangi gas rumah kaca, karena sudah memuat prinsip baru yakni Common but Differentiated Responsibilities, dan dengan demikian QELROs-nya (Quantified Emissions Limitation and Reduction Objectives) ditetapkan secara berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lain sesuai dengan kemampuan dan tanggungjawabnya. 118 Terlepas dari upaya pengurangan deforestasi hutan dan perlindungan sistem iklim global, Deklarasi Rio Branco ini juga membuat komitmen bersama tentang upaya pemberantasan kemiskinan dalam yurisdiksi anggotanya yakni meningkatkan mata pencaharian pedesaan, serta mensejahterakan komunitas yang hidupnya 117 118
Ibid., Ibid.,hlm.28
Universitas Sumatera Utara
bergantung pada hutan, para petani kecil dan masyarakat adat. Ini menunjukkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan yang diamanahkan oleh berbagai kesepakatan internasional turut menjadi tujuan bersama dalam deklarasi ini. Sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang dimuat dalam Deklarasi Rio 1992 sebagai penegasan dari Deklarasi Stockholm 1972. Substansi prinsip pembangunan berkelanjutan dalam Deklarasi Rio Branco berkaitan erat dengan prinsip umum yang termuat dalam Deklarasi Rio 1992, terutama Prinsip 1. Prinsip 2, Prinsip 3, Prinsip 5, Prinsip 22 serta Prinsip 27. Kehidupan manusia yang layak dan produktif yang serasi dengan alam yang merupakan sasaran upaya pengurangan deforestasi dn pemanfaatan hutan serta perlindungan iklim global dalam Deklarasi Rio Branco sesuai dengan Prinsip 1 Deklarasi Rio 1992 yang menyatakan bahwa manusia merupakan sasaran utama pembangunan berkelanjutan. Setiap negara yang tergabung dalam GCF ini berdaulat penuh memanfaatkan sumber daya alam mereka sesuai dengan kebijakan bidang lingkungannya masingmasing dan wajib menjaga agar kegiatan yang dilaksanakan di dalam wilayahnya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan negara lain atau wilayah di luar batas wilayah nasional negara lain bersesuaian dengan prinsip yang termaktub dalam Prinsip 2 Deklarasi Rio 1992. Pengurangan deforestasi dan degradasi hutan, pembangunan rendah emisi, promosi REDD+, yang merupakan upaya perlindungan sistem iklim global dunia untuk masa sekarang dan yang akan datang yang dilakukan GCF sebagaimana telah mereka deklarasikan dalam Deklarasi Rio Branco; senada dengan prinsip hak membangun yang ada dalam Prinsip 3 Deklarasi Rio 1992 yang harus dilaksanakan
Universitas Sumatera Utara
sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan lingkungan hidup baik bagi generasi masa kini dan masa depan. Kerjasama yang dibangun oleh para anggota GCF yang terdiri dari 34 negara bagian dan provinsi dari 6 negara yang memiliki hutan tropis ini juga menyerukan kepada mitra-mitra mereka dari kalangan manapun baik pemerintah-pemerintah negara donor, sektor swasta, komunitas atau masyarakat sipil untuk turut bekerjasma bersama GCF mendukung program-program mereka untuk peningkatan pencaharian masyarakat pedesaan dan memberikan manfaat kepada segala pihak yang hidupnya bergantung pada hutan dan hasil hutan; merupakan upaya pengejawantahan prinsip 5 Deklarasi Rio 1992 yang menginginkan kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan kemiskinan sebagai prasyarat perwujudan pembangunan berkelanjutan untuk mengurangi batas hidup layak. Perhatian dari GCF kepada masyarakat adat dan masyarakat hutan di wilayah yurisdiksinya sebagaimana yang mereka deklarasikan dalam deklrasai Rio Branco berkaitan dengan Prinsip 22 Deklarasi Rio yang mewajibkan pemerintah untuk menghormati tradisi, pengetahuan dan peran penduduk asli dalam pembangunan, serta memelihara jatidiri, kebudayaan dan kepentingan mereka. Semangat kerjasama yang diusung oleh Deklarasi Rio Branco dimana para anggota GCF mengharapkan itikad baik dan kerjasama dari seluruh komponen masyarakat internasional, baik pemerintah-pemerintah negara donor, sektor swasta maupun masyarakat sipil untuk mendukung tujuan baik GCF yakni melindungi hutan dan mencegah perubahan sistem iklim global dunia sekaligus mensejahterakan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan amanah Prinsip 27 Deklarasi Rio 1992 bahwa
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan prinsip-prinsip deklarasi berdasarkan kerjasama pemerintah dan anggota masyarakat, berdasarkan itikad baik, serta semangat kemitraan bersama. Komitmen-komitmen yang disepakati oleh anggota GCF dalam Deklarasi Rio Branco ini jika ditinjau dari hukum internasional turut mewujudkan semangat pembangunan berkelanjutan yang sejak dahulu sudah dibuat oleh negara-negara di dunia melalui berbagai kesepakatan dan aturan internasional atas dasar kesadaran bahwa kelangsungan masa depan lingkungan sekaligus masa depan kelangsungan kehidupan manusia dipengaruhi oleh kebijakan serta tindakan manusia terhadap lingkungan di masa kini, dan salah satu yang terpenting di antaranya adalah kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara