ISSN: 2337-7313 Jurnal Universitas Pembangunan Jaya
W i dya k ala S U S TA I N A B L E ECO DEVELOPMENT 1
10
17
25
33
43
PENGOLAHAN MATERIAL BAMBU DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK LAMINASI DAN BENDING UNTUK PRODUK FURNITURE Hari Nugraha, M.Ds Universitas Pembangunan Jaya Seber apa SuStainable-K ah Kita? Menilik Perumahan Lapak Pemulung di Jurangmangu, Bintaro Eka Permanasari, S.T., PhD Aldyfra. L. Lukman, S.T., M.T Aninda Moezier, S.T., M.T. Sahid, S.T., M.T Ratna Safitri, S.T., M.Ars. Universitas Pembangunan Jaya POTENSI PEMBUATAN PRODUK KEMASAN R AMAH LINGKUNGAN STUDI K ASUS KOTA BANDUNG Pratiwi Kusumowardani, M.Ds Universitas Pembangunan Jaya PERANAN TABLET DALAM IMPLEMENTASI PAPERLESS OFFICE N. Nurul Q, S.Kom., M.T.I Universitas Pembangunan Jaya PER ANCANGAN ALGORITMA EFEK TIF UNTUK MENINGK ATK AN EFISIENSI ENERGI MENUJU GREEN COMPUTING PRIo HANDoKo, M.T.I Universitas Pembangunan Jaya HUBUNGAN NASIONALISME DAN KEADIL AN SOSIAL DI indoneSia: aK ar SoSio-hiStoriS, ortodoKSi, dan PR AKSISNyA Retor AW Kaligis Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmiah INSANI, STISIP Widuri, Jakarta
#1
Volume 1 Maret 2014
JURNAL Widyakala UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAyA ISSN: 2337-7313 PENASEHAT Presiden Universitas Pembangunan Jaya Ir. Edmund Sutisna, MBA. PENGARAH Rektor Universitas Pembangunan Jaya Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, M.Arch., Ph.D. KETUA DEWAN REDAKSI Dalizanolo Hulu, SE, ME. ANGGOTA DEWAN REDAKSI Eka Permanasari, ST, Ph.D. Hari Nugraha, M.Ds. Dalizanolo Hulu, S.E., M.E. Budi Arifitama Syarifuddin, ST., MMSI. Pratiwi Kusumowardani, M.Ds. MITRA BESTARI Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, M.Arch., Ph.D. (Universitas Pembangunan Jaya) Prof. Dr. Ir. Emirhadi Suganda M.Sc. (Universitas Pembangunan Jaya) Prof. Mayling Oey-Gardiner M.A., Ph.D. (Universitas Indonesia) (Universitas Pembangunan Jaya) Ir. Biemo W. Soemardi, MSE., Ph.D.
(Institut Teknologi Bandung) Wiryono Raharjo, M.Arch, Ph.D. (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta) Iwan Tjitradjaja, Ph.D. (Universitas Indonesia) Ahmad Syarif, M.Sc, Ph.D.
(Institut Teknologi Bandung) Dr.techn. Khabib Mustofa (Universitas Gadjah Mada) Dra. Ratna Djuita, Dipl. Psych. (Universitas Indonesia) DESAIN COVER DAN LAyOUT Hari Nugraha, M.Ds. ALAMAT REDAKSI Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224. Telp : (021) 29045404 - Faks : (021) 29045423 Email :
[email protected]
D A F TA R I S I PENGOLAHAN MATERIAL BAMBU DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK LAMINASI DAN BENDING UNTUK PRODUK FURNITURE
1
Hari Nugraha, M.Ds Universitas Pembangunan Jaya
Seber apa SuStainable-K ah Kita? Menilik Perumahan Lapak Pemulung di Jurangmangu, Bintaro
10
Eka Permanasari, S.T., PhD Aldyfra. L. Lukman, S.T., M.T Aninda Moezier, S.T., M.T. Sahid, S.T., M.T Ratna Safitri, S.T., M.Ars. Universitas Pembangunan Jaya
POTENSI PEMBUATAN PRODUK KEMASAN R AMAH LINGKUNGAN STUDI K ASUS KOTA BANDUNG
17
Pratiwi Kusumowardani, M.Ds Universitas Pembangunan Jaya
PERANAN TABLET DALAM IMPLEMENTASI PAPERLESS OFFICE N. Nurul Q, S.Kom., M.T.I Universitas Pembangunan Jaya
PER ANCANGAN ALGORITMA EFEK TIF UNTUK MENINGK ATK AN EFISIENSI ENERGI MENUJU GREEN COMPUTING
25
33
PRIo HANDoKo, M.T.I Universitas Pembangunan Jaya
HUBUNGAN NASIONALISME DAN KEADIL AN SOSIAL DI INDONESIA: aK ar SoSio-hiStoriS, ortodoKSi, dan pr aKSiSnya Retor AW Kaligis Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmiah INSANI, STISIP Widuri, Jakarta
43
PENGANTAR Sebagai suatu lembaga pendidikan tinggi, Universitas Pembangunan Jaya (UPJ) wajib mengemban Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Salah satu wujud pemenuhan kewajiban itu adalah menerbitkan hasil kegiatan yang terkait dengan Tri Dharma tersebut sebagai tanggungjawab terhadap umum yang memercayakan kehadiran UPJ. Penerbitan yang terkait dengan kegiatan ilmiah hadir untuk memberitahu ke khalayak apa saja yang dihasilkan selama menyelenggarakan kegiatan penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Widyakala adalah nama yang kami pilih untuk memenuhi panggilan. Dengan ini pula kami beritahu kepada segenap perguruan tinggi dan umum di Indonesia serta dunia akan kelahiran suatu berkala yang lazim dikenal sebagai jurnal ini. Kita tahu dalam bahasa Indonesia kala itu berarti waktu sedangkan widya adalah ilmu. Menghargai waktu dengan mewaktukan kegiatan mewarnai kehidupan kita. Kegiatan ilmiah yang menandai waktu secara teratur ini perlu UPJ jadikan tekad dalam memenuhi kewajiban dan tanggung-jawabnya kepada masyarakat luas. UPJ memilih menerbitkan berkala ini untuk sementara sampai tiba kala tiap program studi mampu menerbitkannya. Saat ini di lingkungan UPJ Program Studi Manajemen telah memulai kegiatan yang sama, bahkan mendahului Widyakala ini. Berkat ketekunan regu Penelitian dan Pengabdian pada masyarakat UPJ, Widyakala hadir dengan edisi perdananya yang mengusung tema Sustainable Eco Development (SED) atau pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan lingkungan hidup. SED adalah salah satu pilar dalam pola ilmiah pokok UPJ. Liberal Art (LA) dan Entrepreneurship (E) merupakan dua pilar lain yang menjadi inti pemberi jiwa pada pendidikan di UPJ. Nomor ini terkait dengan SED yang memuat karya selain para pendidik UPJ juga rekan sejawat mereka dari perguruan tinggi lain. SED juga mampu mewarnai segenap program studi karena kehadirannya dalam kehidupan kita semua.
Kita semua merasakan betapa lingkungan hidup memengaruhi kehidupan manusia dan tindakan tak mengorbankan kepentingan generasi lanjut telah menjadi kesepakatan dunia untuk kegiatan pembangunan. Dalam paham pembangunan keberlanjutan berdasarkan lingkungan ini ada tiga unsur utama yang saling berantartindak dengan giat; yaitu ekologi, ekonomi dan ekuiti (kesetaraan) sosial. Di nomor perdana ini kami turunkan enam tulisan yang mencakup ketiga unsur tersebut. Hari Nugraha membuka nomor ini dengan hasil penelitiannya terhadap bambu. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bambu merupakan suatu bahan membuat produk yang paling cepat tumbuh, kuat, dan ramah lingkungan. Penulisan tentang bambu sudah cukup banyak, namun penelitian Hari ini adalah daya pelengkungan bambu yang jika berahsil dikembangkan akan memberi peluang amat banyak dalam pembuatan perabot rumah tangga. Perabot sudah menjadi piranti yang tak dapat kita tinggalkan dalam kehidupan. Sementara itu kayu semakin sulit dipanen karena banyak yang dilindungi agar tak dipanen. Melalui percobaan di laboratorium Hari berahsil mengembangkan daya lengkung bambu yang dilaminasi se-
hingga membuka kemungkinan luas bagi pemakaiannya. Sampah tetap merupakan suatu permasalahan perkotaan yang belum terselesaikan. Pemulung adalah mereka yang membantu mengurai sampah di lapaknya. Lalu bagaimana perumahan para pemulung yang selama ini terpinggirkan dalam kehidupan kota? Eka Permanasari dan kawan-kawan menurunkan hasil penelitian mereka terhadap perumahan pemulung di Jurangmangu Bintaro. Tulisan mereka mengungkap suatu gaya hidup di dalam rumah yang menggunakan bahan bangunan dari barang bekas. Hunian mereka menimbulkan masalah kesehatan, meski hanya merupakan tempat singgah yang bersifat senantiasa siap diganti. Tulisan ini menantang kita untuk berpikir lebih jauh tentang golongan yang membantu pendaurulangan sampah di tengah perumahan penduduk berizin tinggal namun menghadapi tingkat kritis kesehatan di hunian tanpa izin resmi. Salah satu unsur pembangunan berkelanjutan adalah equiti sosial. Equiti adalah kesetaraan dalam hubungan yang jika ditata dengan baik akan membentuk masyarakat adil dan inklusif. Kebangsaan
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
suatu negara akan utuh jika keadilan sosial terpelihara dengan baik sehingga kehidupan bermasyarakat selaras. Retor AW Kaligus menelusuri akar sosio-historis, keortodoksan dan praksis tentang hubungan nasionalisme dan keadlilan sosial di Indonesia menyambung tulisan tentang kehidupan pemulung. Tulisan ini mengungkit kesadaran kita tentang betapa penting untuk meningkatkan nasionalisme di negara ini. Dalam kaitan itu keadilan sosial perlu menjadikan suatu kerja nyata, bukan wacana. Tanpa kerja nyata menuju keadilan sosial, keberlanjutan kehidupan bersama akan kritis. Dengan demikian pembangunan perlu menyentuh peningkatan kerja nyata demi keadilan sosial agar bangsa majemuk ini berlanjut. Perancang mengubah keadaan dari fakta semula menjadi fakta baru. Kehidupan kita kini sarat dengan hasil perancangan dan peran perancangan yang baik membingkai ruang kehidupan. Oleh sebab itu perancangan yang baik mampu meningkatkan mutu kehidupan. Tentu perancangan yang baik amat mementingkan lingkungan hidup. Hasil rancangan yang baik dapat saja suatu waktu tak dipakai lagi dan dibuang. Dalam kaitan ini Pratiwi Kusumowardani meneliti kemungkinan membuat kemasan yang ramah lingkungan dengan lokasi Bandung, suatu kota yang masih bergelut dengan permasalahan sampahnya. Kemasan adalah suatu benda yang sering dibuang begitu isi kemasannya dikeluarkan. Pendaurulangan bahan, terutama kertas koran tampaknya merupakan suatu pilihan. Pratiwi mengemukakan kelemahan pendaurulangan kertas yang dapat menurun mutu hasilnya. Kemasan lentur menjadi kemungkinan yang dapat dicoba meski bahan yang terlibat lebih majemuk dan memerlukan spesifikasi tertentu.
rangan emisi melalui bidang ini tetap menjadi kewajiban moral dalam pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan lingkungan hidup. Prio Handoko mengangkat masalah ini dalam tulisannya di nomor ini. Bagi Prio, penerapan algoritma berperan kunci dalam penyumbangan emisi gas rumah kaca. Dia mengusulkan suatu cara untuk mengurangi emisi melalui TIK, yaitu dengan penerapan algoritma efektif dan efisien. Dia berargumen bahwa dengan pemakaian TIK yang meningkat, sumbangan emisi akan meningkat, dan dalam prakiraannya dapat mencapai tiga dan empat kali keadaan sekarang. Oleh sebab itu perancangan pola letak piranti itu dapat membantu mengurangi emisi. Kami mengharapkan pembaca dapat menyimak tuisan-tuisan di nomor perdana ini. kami juga bertekad meneruskan penrebitan Widyakala yang menganut tata olah referi ini.
Prof. Ir. Gunawan Tjahjono, M.Arch., Ph.D Rektor Universitas Pembangunan Jaya
Kehadiran komputer tablet telah mengubah cara masyarakat penggemar teknologi canggih. Apakah dengan komputer tablet, suatu bentuk kantor tanpa kertas akan terwujud? Topik ini diangkat oleh N.Nurul dalam tulisannya di nomor ini. mengubah kebiasaan adalah tantangna utama perwujudan kantor tanpa kertas. Nurul menelusuri isu tersebut yang ternyata telah marak diungkapkan para ilmuwan 30 tahun yang lalu. Kenyataannya bahwa pemakaian kertas yang semakin meningkat menarik perhatian peneliti dunia karena hal itu merupakan suatu paradoks. Komputer tablet memiliki kemampuan mengubah cara membaca berurut ke membaca konsentrasi namun hal itu juga merupakan suatu tantangan karena budaya yang telah akrab itu membutuhkan waktu untuk beralih. Selain itu hanya dengan keterpaduan menyeluruh jejaring suatu wujud kantor tanpa kertas bakal hadir. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) ikut menyumbang emisi carbon sehingga bagi merka yang peduli akan keadaan itu cemas. Piranti keras dan lunak menyumbang 2-3% gas rumah kaca meski secara persentasi nisbi rendah jika dibandingkan dengan emisi bidang konstruksi, tetap saja merupakan ancaman. Tindakan penguJurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
PENGOL AHAN MATERIAL BAMBU DENGAN MENGGUNAK AN TEKNIK L AMINASI DAN BENDING UNTUK PRODUK FURNITURE Oleh: Hari Nugraha, M.Ds
ABSTRAK
Bambu adalah sebuah material alternatif dari kayu yang banyak digunakan untuk pembuatan furniture. Dengan menggunakan rotan sebagai tali pengikat untuk sambungan, bambu dapat dibentuk
menjadi furniture dengan nilai estetik. Penelitian ini meneliti cara baru dalam pemprosesan furniture yang terbuat dari bambu. Metode yang digunakan adalah teknik laminasi yang digunakan untuk membuat balok atau papan bambu dan teknik penguap bertekanan untuk proses penekukan. Keluaran dari
penelitian ini yaitu dua teknik yang inovatif untuk pemprosesan bambu secara modern. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh khalayak umum dan usaha kecil yang berkecimpung dalam industri kerajinan bambu.
ABSTRACT
Bamboo as an alternative material besides timber has been widely used for furniture. With the use of rattan as the rope to make joints, bamboo can be shaped as furniture with aesthetic value. This research investigates a new way in processing bamboo furniture. The method uses the laminating technique in processing bamboo to become bamboo block or board and the pressured steam technique in bending them. The use of these two innovative techniques is aimed to find a modern method in processing bamboo. The outcome of this research can be used by general public and small business enterprise in bamboo crafts.
1.
TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 1.1. JENIS BAMBU Untuk menentukan jenis bamboo yang akan diteliti untuk melakukan eksperimen proses laminasi dan bending bamboo, mengacu kepada data-data yang telah dikumpulkan yaitu dari sumber pustaka : KOLEKSI JENIS-JENIS BAMBU PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BOGOR DI STASIUN PENELITIAN HUTAN ARCAMANIK, BANDUNG oleh : Sutiyono Berikut ini jenis-jenis bamboo berdasarkan sumber pustaka tersebut : a. Bambusa arundinaceae (Retz.) Willd. Bambu ini berasal dari Thailand, nama lain yaitu
bambu duri, haur cucuk, bambu duri liar, ciri fisik percabangan dimulai dari buku paling bawah, pada ketiak ranting dengan cabang terdapat duri, pelepah batang bermiang lebat, warna gelap, tidak mudah gugur dan tanpa kuping pelepah daun. Rumpun rapat 8 batang/m. Tinggi batang dapat mencapai 12 m dengan diameter 11 cm. Daerah penyebaran, Sumbawa (NTB), Gowa, (Sulawesi Selatan). Penggunaan bamboo jenis ini yaitu batang untuk bahan bangunan oleh penduduk setempat, anyaman, kertas, sumpit. Rebung dapat digunakan sebagai sayuran. b. Bambusa vulgaris. Nama lokal yaitu haor koning (Sunda), pring ampel (Jawa), Penyebaran alami : Sumatera, Jawa,
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
1
Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya. Ciri fisik yaitu batang berwarna hijau, rumpun bamboo berjarang 4 batang/m, tinggi dapat mencapai 10 m dengan lingkar diameter luar 9 cm. Bambu jenis ini ada 2 yaitu yang berwarna batang hijau muda dengan bentuk fisik batang bamboo lurus dan jenis ke 2 yaitu batangnya tumbuh membengkok/melengkung. Pemanfaatan bamboo untik pembuatan anyaman, kertas, partikel board, dan furniture. c. Bambusa maculata Widjaja Nama lokal : Awi totol (Sunda), pring tutul, pring loreng (Jawa) Daerah penyebaran yaitu Sumatera, Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya. Ciri fisik batang bamboo berwarna hijau tua, dan pada batang bagian pangkal muncul sedikit garisgaris kuning, tumbuh tegak lurus, tinggi batang mencapai 9 meter dan diameter lingkar pangkal 9 cm, bagian percabangan dimulai dari bagian buku tengah, cabang ranting bamboo pendek dan tidak panjang. Pemanfaatan batang bamboo untuk pembuatan anyaman, kertas, partikel board, furniture. d. Dendrocalamus asper Nama daerah : trieng betong (Aceh), oloh otong (Gayo), bulu botung (Batak), lewuo guru (Nias), bambu batueng (Minangkabau), pering betung (Lam-pung) awi bitung (Sunda), pring petung, deling petung, jajang petung (Jawa), pereng petong (Madura), tiing petung (Bali), au petung (Solor), bulo patung (Sangihe). Ciri fisik bambu yaitu berbatang besar dengan diameter pangkal batang dapat mencapai 26 cm dan tinggi batang > 25 meter, dibagian buku ruas ke 1 - 11 terdapat lingkaran akar yang sangat menonjol, memiliki daun lebar, percabangan yang menonjol pada buku ke 8-10. Terdapat 3 jenis warna batang bamboo yaitu jenis petung coklat, petung hijau, petung kuning. e. Gigantochloa atroviolaceae Widjaja Nama daerah : bambu hitam (Sumatera), awi hideung (Sunda), pring wulung (Jawa). Ciri fisik batang bamboo berwarna hitam sampai hitam keungunan. Bambu jenis ini ada juga yang memiliki warna hitam/ungu bercampur dengan warna hijau. Ruas-ruas bamboo sedikit membengkok pada buku. Kerapatan rumpun bamboo tergolong jarang 2 batang/m. Tinggi batang bambu mencapai 12 meter dengan lingkaran diameter 11 cm. Daerah penyebaran di Indonesia yaitu Sumatera, Jawa. Batang bamboo dimanfaatkan untuk bahan bangunan, anyaman, lokal furniture, alat angklung (kesenian Sunda), papan serat semen,
2
f. Gigantochloa atter (Hask.) Kurz. Nama daerah : bambu ater, awi ater , awi temen (Sunda), pring legi, pring jawa, pring benel (Jawa), tiying jawa, bambu jawa (Bali), air santong (Lombok, Sumbawa). Ciri fisik yaitu batang berwarna hijau muda ke hijau tua, ruas-ruas sedikit membengkok pada buku. P ercabangan dimulai dari buku bagian tengah sampai ujung. Kerapatan rumpun agak rapat, 5 batang/m. Tinggi batang mencapai hingga 12 meter dengan lingkaran diameter luar 11 cm. Pemanfaatan bamboo untuk bahan bangunan, papan serat semen, anyaman, kertas, sumpit; Rebung : rasa manis sehingga dapat digunakan sebagai sayuran. g. Sifat dan Karakteristik Bambu. Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) kolom yang terdapat pada batang bamboo terdiri dari 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (pembuluh dan sieve tube). Untuk pengolahan sebuah produk dengan menggunakan material bamboo, harus diketahui terlebih dahulu sifat fisis dan sifat mekanis dari material bamboo yang akan digunakan. Ginoga (1977) menjelaskan bahwa beberapa aspek tertentu dapat mempengaruhi sifat fisis dan mekanis dari material bamboo yaitu seperti umur bamboo, posisi ketinggian tumbuh batang bamboo, diameter bamboo, ketebalan daging bamboo, posisi beban (pada buku atau ruas), posisi radial batang bamboo dan kadar air yang terdapat pada bagian batang bamboo. Daya tahan bamboo terhadap kondisi alam masih menjadi kendala untuk pemanfaatan aplikasi material bamboo untuk produk fungsional. Serangan rayap yang menyebabkan daging bamboo menjadi bubuk merupakan salah satu kelemahan yang dimiliki oleh material bamboo, untuk aplikasi produk seperti untuk produk furniture pemilihan material bamboo harus diambil dari jenis bamboo yang relatif tahan terhadap serangan rayap bubuk, dari hasil penelitian Jasni dan Sumarni (1999) bamboo atter (Gigantochloa Atter) dan bamboo Apus/Tali (Gigantochloa Apus) relatif tahan terhadap serangan rayap bubuk, sehingga sesuai untuk digunakan sebagai bahan dasar untuk produk pakai fungsional seperti untuk produk furniture. 1.2 TEKNOLOGI PRODUKSI BAMBU LAMINASI 1.2.1. TEKNOLOGI PRODUKSI BAMBU LAMINASI OLEH LITBANG UPT BPP BIOMATERIAL LIPI Litbang UPT BPP biomaterial LIPI mengembangkan pengolahan material bamboo yang diberi nama Bambu Komposit. Pengembangan material tersebut dimaksudkan untuk menjadi material alternatif pengganti kayu.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
Proses pembuatan bamboo komposit atau secara umum dikenal dengan laminasi bamboo, diproses dengan cara membentuk batang bamboo menjadi potongan pipih kemudian disatukan dan dibentuk menjadi balok atau papan kemudian diberikan bahan perekat dan dipres. Dari hasil penelitian Litbang UPT BPP biomaterial LIPI Kekuatan bambu komposit untuk uji bending strength sangat baik dan dapat melebihi kayu jati. Dengan perekat phenol formaldehida atau isocyanate, papan atau balok bambu komposit dapat digunakan sebagai bahan bangunan di luar ruangan (outdoor) seperti rumah kebun, pagar halaman, dinding penyekat jalan tol, jembatan, dan lain-lain. Sedangkan dengan perekat urea formaldehida, papan atau balok bambu komposit dapat digunakan untuk bahan bangunan di dalam ruangan (indoor), seperti dinding rumah, pintu, mebel, dan lain-lain. Papan bambu komposit ini dapat dikembangkan untuk berbagai produk dengan spesifikasi teknis (dimensi, kerapatan), bentuk, tujuan pemakaian (indoor atau outdoor) dan kegunaan sesuai dengan permintaan. Berikut ini tabel data hasil pengujian bamboo komposit yang dilakukan oleh Litbang UPT BPP biomaterial LIPI : No
Sifat yang diuji
1.
Kadar air (%)
12.33
2.
Kerapatan (g/cm3)
0.72
3.
Pengembangan tebal (%)
6.75
4.
Penyerapan air (%)
37.12
5.
Internal bond (kg/cm2) Screw withdrawal (kg/cm2)
4.96
6.
adalah bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea), bambu mayan (Gigantochloa robusta) dan bambu tali (Gigantochloa apus) yang berasal dari tanaman rakyat di Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa sifat bambu lamina dipengaruhi oleh jenis bambu yang digunakan kecuali kadar air, keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan rekat. Kerapatan bambu lamina bervariasi antara 0,62 – 0,79 g/cm3. Bambu lamina dari bambu tali memiliki nilai keteguhan lentur tertinggi sedangkan bambu lamina dari bambu mayan memiliki keteguhan lentur terendah. Keteguhan rekat bambu lamina yang diuji dengan cara geser tekan bervariasi antara 67,03 – 86,19 kg/cm2 dan 54,43 – 62,94 kg/cm2 berturutturut untuk uji kering dan uji basah. Sifat perekatan bambu lamina dari bambu andong, mayan dan tali cukup baik. Bambu lamina (3 lapis) masing-masing dari bambu andong, mayan dan tali setara dengan kayu kelas kuat II. Pembuatan bambu lamina secara teknis dapat dilakukan dan produk tersebut dapat digunakan sebagai bahan substitusi kayu.” 1.2.3.
TEKNOLOGI PRODUKSI BAMBU LAMINASI OLEH PROF. DR. IR. MoriSco (uGM) Morisco pada tahun 2004 mengembangkan teknik laminasi bambu dalam bentuk papan dan balok sebagai material untuk pembuatan dinding, lantai, daun pintu, mebel dan kusen.
Papan bambu PF
40.93
( Tabel 1 hasil pengujian bamboo komposit oleh Litbang UPT BPP biomaterial LIPI ) 1.2.2. TEKNOLOGI PRODUKSI BAMBU LAMINASI OLEH SULASTININGSIH Hasil penelitian yang dilakukan oleh I.M. Sulastiningsih dengan judul : BEBERAPA SIFAT BAMBU LAMINA YANG TERBUAT DARI TIGA JENIS BAMBU (Some Properties of Laminated Bamboo Board made from Three Bamboo Species) Berikut ini kutipan dari Abstrak hasil penelitian tersebut : “Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemungkinan penggunaan bambu lamina sebagai bahan substitusi kayu, khususnya mengetahui pengaruh jenis bambu terhadap sifat bambu lamina yang direkat dengan urea formaldehida. Bambu yang digunakan dalam penelitian ini
Gambar 1.3.3-2 Hasil Produk dari Material Balok Bambu Sumber : www.moriscobamboo.com
1.3. TEKNOLOGI PRODUKSI BAMBU TEKUK (bendinG) 1.3.1. TEKUK BAMBU DENGAN TEKNIK PEMANASAN Teknik yang dapat diaplikasikan untuk membengkokkan batang bamboo adalah dengan cara memanaskan pada area dibagian yang akan dibengkokkan, pemanasan permukaan batang bamboo dapat dilakukan dengan api gas atau api las, atau dapat dilakukan diatas kompor dan harus dilakukan secara hati-hati. Batang bamboo yang akan di bengkokkan /bending, dipanaskan di atas api selama beberapa detik kemudian memutar batang bamboo tersebut dan segera lakukan proses bending atau menekuk batang bamboo tersebut ke dalam bentuk yang diinginkan. Ketika bambu mendingin, bentuk permukaan batang bamboo yang telah ditekuk akan permanen pada posisinya.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
3
Teknik Pembakaran (Roasting) oleh : Zhu Zhaohua, Distinguished Fellow of INBAR for Life and Jin Wei, Publications and Training INTERNATIONAL NETWORK FOR BAMBOO AND RATTAN (INBAR) Roasting adalah metode yang umum digunakan di Cina untuk mengolah batang bambu, batang bambu yang diletakkan di atas api atau uap panas bertujuan sebagai berikut: - Melunakkan batang (serat) bamboo. - Mempercantik penampilan luar batang bamboo dengan efek bakar. - Mengurangi atau menghindari penyusutan produk jadi. Metode ini dapat digunakan untuk meluruskan batang melengkung atau membentuk kurva dengan batang lurus. Cara memanaskan batang bamboo yaitu dengan: pasir diisi dalam batang bamboo sebelum pemanasan, pasir di dalam batang mabu dapat mencegah dinding bambu untuk melebar dan pecah akibat panas yang tidak merata. 1.3.2. BENDING KAyU DENGAN TEKNIK UAP Penelitian yang dilakukan oleh David Smith (2004) untuk melakukan proses bending pada material kayu menggunakan steam box, teknik ini memungkinkan bentuk dan ukuran material kayu yang bervariasi. Untuk ukuran material yang kecil, dapat menggunakan pipa PVC sebagai pengganti steam box. Jenis kayu yang paling baik untuk dilakukan proses bending dengan cara steam (penguapan) yaitu White Oak. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Achmad Supriadi and Osly Rachman untuk proses bending material kayu yaitu : Hasil pelengkungan 5 jenis kayu yang telah diberi praperlakuan perendaman dengan larutan NaOH 3% menunjukkan bahwa kayu asam jawa termasuk baik, kayu marasi sedang, kayu balobo jelek, kayu kendal dan rasamala sangat jelek. Praperlakuan sebelum kayu dilengkungkan dan jenis kayu berpengaruh nyata terhadap radius pelengkungan. Kayu yang diberi perlakuan awal perendaman dengan larutan NaOH 3% lebih mudah dilengkungkan dibandingkan dengan yang tidak direndam. Tidak ada perbedaan nyata radius pelengkungan antara kelima jenis kayu, kecuali antara kayu rasamala dengan keempat jenis kayu lainnya. Analisis regresi antara sifat fisis kayu dengan radius pelengkungan menunjukkan tidak ada hubungan nyata antara kerapatan kayu dengan radius lengkung, sedangkan antara radius Radius lengkung (Bending radius), lengkung dengan pengembangan
4
Gambar 1.4.1-1 Memasukkan Pasir Ke Batang Bambu & Proses Tekuk, Sumber : INBAR
dimensi kayu menunjukkan hubungan yang sangat nyata dengan persamaan Y = 57,1963 - 2,6213 X dengan R2 = 0,26 2.
ARAH PENELITIAN PROSES LAMINASI DAN BENDING BAMBU Dari hasil data yang didapat dan berdasarkan penelitian sebelumnya yang pernah oleh Prof. Morisco dalam pengolahan material bamboo, kemudian dirumuskan untuk mencari sebuah alternatif teknik untuk pengolahan material bamboo, teknik pengolahan bamboo tersebut kemudian akan diuji dengan menggunakan metode eksperimental. Eksperimen yang akan dilakukan yaitu penerapan teknik laminasi bamboo dan proses bending (tekuk) material bamboo dengan menggunakan sistem steam/uap bertekanan, dari hasil eksperiment tersebut kemudian akan dilanjutkan ke proses desain untuk diaplikasikan menjadi sebuah produk pakai fungsional untuk produk furniture. Berikut ini rincian tahapan penelitian yang akan dilakukan yaitu sebagai berikut : a. Eksperimen dan Pra Desain : • Pemilihan jenis bamboo yang akan digunakan untuk eksperimen. • Proses laminasi bamboo untuk dibentuk menjadi balok atau papan. • Proses pembuatan moulding untuk bending bamboo. • Pembuatan tabung uap bertekanan. • Proses eksperimen bending dengan teknik uap bertekanan. • Analisis hasil eksperimen bending material (kekuatan material & kerapatan hasil lami nasi bamboo setelah dilakukan proses bending) b. Proses Desain • Pembuatan gambar desain furniture bamboo (tempat duduk).
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
• • •
Membuatan gambar kerja. Pembuatan komponen furniture. Perakitan komponen.
berdasar kan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya :
Arah penelitian dalam proses pembuatan laminasi dan bending bamboo ini yaitu menggunakan pendekatan kerja manual dengan memanfaatkan dan merekayasa peralatan kerja sederhana untuk melakukan peroses laminasi dan bending bamboo. Diharapkan, dengan peralatan kerja manual dan sederhana yang mudah untuk didapat tersebut tidak akan membebani dari aspek biaya investasi awal pengadaan alat bantu kerja untuk industri kecil furniture bamboo. Peralatan manual yang digunakan untuk proses laminasi bamboo yaitu terdiri dari : • Alat potong (gergaji). • Pisau raut atau golok. • Klem untuk pres bilah bamboo. • Balok kayu sebagai dudukan klem untuk pres bilah bamboo. • Hampelas meter untuk menghaluskan permukaan bilah bamboo Dengan merujuk hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, untuk sistem laminasi bamboo memakai teknik seperti yang dilakukan oleh Prof. Morisco dari UGM yaitu dengan cara membentuk balok bamboo dari susunan lembaran bilah bamboo yang sudah diratakan kemudian dilakukan proses laminasi dengan cara di pres. Untuk proses bending, teknik yang dilakukan yaitu mengadaptasi dari prinsip dasar bending balok kayu dengan memanfaatkan uap air (steam) seperti yang dilakukan oleh David Smith (2004). Tempat penguapan atau steam box yang digunakan yaitu berbentuk tabung silinder dengan diameter 15 cm yang dibuat dari material stainlesstell. Penelitian yang dilakukan Sumber uap untuk melakukan proses seteam dihasilkan dari katel masak bertekanan presto. Berikut ini uraian arah penelitian yang dilakukan
Proses Pengerjaan Laminasi bambu
Proses Bending
3. PROSES EKSPERIMEN LAMINASI DAN BENDING BAMBU 3.1. PROSES EKSPERIMEN LAMINASI BAMBU Untuk merealisasikan arah penelitian proses laminasi dan bending bamboo, dilakukan beberapa eksperimen awal, eksperimen tersebut yaitu terdiri dari : a. Eksperimen untuk menguji jenis lem yang akan digunakan untuk melakukan proses laminasi bamboo, lem yang diuji yaitu : - Resin Lycal - Polyurethane - PVAC (Poly Vinly Acetate) b. Eksperimen proses tekuk atau bending bamboo dengan memanfaatkan uap air dengan tujuan untuk meningkatkan sifat lentur dari bamboo. Uap air yang digunakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kadar air yang ada di dalam batang bamboo sehingga meningkatkan sifat lentur dari bamboo. Eksperimen ini diharapkan dapat mengetahui tingkat kelenturan dan ukuran minimal dari jari-jari tekukan (bending) yang dapat dilakukan oleh bilah bamboo yang telah di beru uap air. Sebelum masuk ketahapan eksperimen, batang bamboo di bentuk menjadi pilah-bilah bamboo dan dikelompokkan menjadi beberapa jenis ketebalan, ketebalan yang akan digunakan yaitu 2mm – 5mm. Jenis bamboo yang digunakan yaitu bamboo hitam dan bambu andong, dua jenis bamboo tersebut akan di uji untuk mengetahui tingkat kelenturannya. Standar dimensi bamboo yang digunakan untuk eksperimen proses laminasi dan bending yaitu berdasarkan Diameter rata-rata bamboo yang didapat dari penjual bamboo di sekitar wilayah tangerang selatan yaitu 15 cm dengan ketebalan daging bamboo 1,5 cm.
Penelitian sebelumnya Penelitian yang dilakukan Sistem laminasi balok bamboo Sistem laminasi balok bamboo dengan mengadaptasi oleh Prof Morisco sistem yang dilakukan oleh Prof Morisco yaitu dengan Sistem laminasi Coil oleh Dr. cara di lem dan di press. Proses pengerjaan laminasi mengunakan pendekatan kerja manual dan dengan alat Dwinita Larasati., MA yang sederhana Sistem steam box untuk bending Steam box untuk bending kayu di modifikasi menjadi kayu oleh David Smith bentuk tabung silinder dan diaplikasikan untuk material bamboo, sumber steam diambil dari katel masak bertekanan presto. (Tabel 2)
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
5
Dari hasil pengolahan pilah-pilah bamboo tersebut, kemudian akan diuji untuk mengetahui kekuatan lem dan untuk menentukan jenis lem yang akan digunakan. Proses laminasi bamboo yaitu membuat balok dari lapisan pilah-pilah bamboo yang disatukan dengan menggunakan lem kemudian di pres dengan menggunakan klem, ketebalan balok bamboo yang akan dibuat yaitu 2,5cm X 4 cm dengan panjang bamboo 40 cm. Hasil eksperimen laminasi bamboo dengan menggunakan lem Polyurethane dan Resin Lycal terdapat beberapa permasalahan utama yaitu : Lem sebagai perekat lapisan bamboo menggunakan jenis resin lycal, untuk aplikasi menggunakan material kayu dapat merekat dengan cukup kuat dan dapat masuk kedalam pori-pori kayu (jenis kayu mahoni), sedangkan untuk diaplikasikan pada permukaan lembaran bilah bamboo tidak dapat merekat dengan cukup kuat, setelah melakukan uji tarik pada tiap lembaran bilah bamboo yang di laminasi, lapisan lem dapat terlepas dan menarik serat bamboo. Penggunaan lem jenis lain seperti lem polyurethane dapat menghasilkan daya rekat yang kuat, tetapi hasil laminasi bamboo menjadi kaku, keras dan tidak dapat di tekuk (bending). Kesimpulan dari hasil eksperimen yang telah dilakukan untuk jenis lem PVAC (Poly Vinly Acetate) yaitu, lem PVAC dapat meresap kedalam pori-pori
permukaan bamboo dan hasil laminasi bamboo yang dihasilkan masih memiliki sifat lentur. Jenis bamboo yang digunakan tidak berpengaruh terhadap kekuatan rekat lem yang digunakan untuk proses laminasi bamboo. Daya Tahan terhadap panas dan air untuk Jenis lem yang digunakan seperti Resin lycal, lem polyurethane dan lem PVAC (Poly Vinly Acetate) tidak tahan terhadap suhu panas dan uap air. 3.2. EKSPERIMEN PROSES TEKUK (bendinG) baMboo Proses eksperimen selanjutnya yaitu melakukan proses bending (tekuk) Proses bending dilakukan dengan memanfaatkan uap air yang dihasilkan dari katel presto. Bilah bamboo yang akan di bending terlebih dahulu dimasukkan kedalam tabung silinder sebagai tempat untuk melakukan Proses penguapan, bilah bamboo yang akan dibending terlebih harus dilakukan penguapan untuk memaksimalkan sifat lentur dari bamboo kemudian dilanjutkan dengan proses tekuk yang dilakukan bersamaan dengan proses laminasi. Waktu penguapan yang dilakukan untuk bilah bamboo yang akan di tekuk yaitu 60 menit. Untuk membentuk dan menekuk bilah bamboo yang telah melalui proses penguapan bersamaan dengan proses laminasi, terlebih dahulu harus dibuat mal sebagai dudukan untuk proses pres.
Gambar 3.1-1 : Batang bamboo hitam dan andong sebelum diolah dan proses pembentukan batang bamboo menjadi pilah-pilah bamboo
Gambar 3.2-1 : Tabung silinder untuk melakukan proses steam bilah bamboo sebelum di bending.
6
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
Gambar 3.2-2 : Peroses memasukkan bilah bamboo ke dalam tabung silinder sebelum proses penguapan dilakukan.
Gambar 3.2-3 : Klem dan mal untuk base tekukan dan pres bilah bambu.
Gambar 3.2-4 : Proses laminasi dan pres bamboo dengan menggunakan jenis lem Polyurethane
Gambar 3.2-5 : Proses laminasi dan pres bamboo dengan menggunakan jenis lem Resin Lycal
Gambar 3.2-6 : Aplikasi hasil bending bamboo untuk produk furniture ( Meja ).
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
7
Gambar 3.2-7 : Aplikasi hasil bending bamboo untuk komponen kaki meja bambu.
3.3. APLIKASI HASIL BENDING DAN LAMINASI BAMBU UNTUK DESAIN FURNITURE Aplikasi hasil bending dan laminasi bamboo untuk desain produk furniture yaitu dapat digunakan untuk desain sebuah rangka kursi, hasil laminasi bamboo berbentuk balok dapat digunakan untuk membentuk struktur rangka dan hasil bending laminasi bamboo untuk bagian sudut rangka yang berbentuk lengkungan. 4. KESIMPULAN Penelitian yang telah dilakukan ini masih dalam tahap awal dan perlu untuk di lakukan penelitian lanjutan, terutama untuk menemukan jenis lem/ perekat yang sesuai untuk proses laminasi dan yang tahan terhadap panas dan uap air. Agar dapat diaplikasikan secara langsung oleh UKM furniture bamboo, proses kerja dan teknik pengerjaan laminasi dan bending yang dilakukan diarahkan untuk dilakukan secara manual dan dengan alat bantu yang mudah untuk didapat atau dibuat. Proses bending dan laminasi dilakukan pada saat bersamaan dengan cara dipres pada mal yang telah di buat sebelumnya. Proses dengan menggunakan uap air dilakukan untuk memaksimumkan sifat kelenturan bilah bamboo sehingga lapisan bilah bamboo dapat di tekuk ( bending ) dengan jari-jari lingkaran yang pendek (3-4 cm) dengan ketebalan bilah bamboo yang di laminasi dan ditekuk 2-3 mm dan dengan tebal hasil laminasi 2 cm dengan jenis lem yang digunakan yaitu PVAC. Dari hasil penelitian ini, aplikasi yang dapat dilakukan dari hasil bending dan laminasi bamboo untuk desain produk furniture yaitu seperti untuk
8
pembuatan struktur rangka dan untuk bagian sudut atau bentuk struktur rangka lainnya yang berbentuk lengkungan dan memiliki radius lengkungan tertentu. Waktu penelitian diharapkan dapat diperpanjang untuk memaksimalkan hasil aplikasi bending dan laminasi bamboo untuk membuat sebuah prototype produk furniture kursi yang menggunakan struktur dari material bamboo hasil bending dan laminasi. Harus dilakukan proses pengujian yang akurat untuk mengetahui kekuatan tekan beban, kekuatan lentur, kekuatan daya rekat lem dan kekuatan fisik permukaan bamboo hasil laminasi dan bending terhadap dampak perubahan kelembapan lingkungan ( diluar ruang dan didalam ruang) serta daya tahan bilah bamboo terhadap serangan jamur. DAFTAR PUSTAKA 1. Sulastiningsih I.M. 2005. Beberapa sifat bambu lamina yang terbuat dari tiga jenis bamboo. 2. Sumiati. 206. Pengaruh Jenis Sambungan Balok Laminasi Bambu Wulung Terhadap Keruntuhan Lentur. Jurnal P&PT Vol IV No 1 (2006) 153-163. 3. M. Mahdavi1; P. L. Clouston, A.M. and S. R. Arwade, A.M. 2011. Development of Laminated Bamboo Lumber: Review of Processing, Performance, and Economical Considerations. American Society of Civil Engineers. 4. Zhu Zhaohua and Jin Wei. 2001. Traditional chinese bamboo furniture processing techniques. 5. International network for bamboo and rattan (INBAR). 6. Sutiyono. 2007. Koleksi jenis-jenis bambu
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
pusat penelitian dan pengembangan hutan dan konservasi alam bogor di stasiun penelitian hutan arcamanik, bandung. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007 7. Achmad Supriadi and Osly Rachman. 2002. Sifat pelengkungan lima jenis kayu dengan dua macam perlakuan awal (Bending Characteristics of Five Wood Species With Two Types of Pretreatment). 8. Iwan Suprijanto, Rusli, dan Dedi Kusmawan. 2009. Standardisasi bambu laminasi sebagai alternative Pengganti kayu konstruksi. Prosiding PPI Standardisasi 2009. 9. Litbang UPT BPP biomaterial LIPI. 2000. Teknologi Bambu Komposit. BIOGRAFI PENULIS : Hari Nugraha, M.Ds. Program Studi Desain Produk Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
9
Seberapa SuStainable-K ah Kita? Menilik Perumahan Lapak Pemulung di Jurangmangu, Bintaro Oleh : Eka Permanasari, S.T., PhD. - Aldyfra. L. Lukman, S.T., M.T. - Aninda Moezier, S.T., M.T. Sahid, S.t., M.t. - ratna Safitri, S.t., M.ars. ABSTRAK Pembangunan berbasis lingkungan yang berkelanjutan dapat menyelamatkan bumi ini. Isu perubahan
iklim telah menjadi permasalah dunia yang tidak dapat dihindari. Penelitian ini mengangkat isu mengenai para pemulung dan cara hidup mereka dalam peranannya melestarikan lingkungan berdasarkan analisis dari kegiatan dan tempat tinggal mereka. Permasalahannya adalah, di satu sisi para pemulung ini seringkali dikonotasikan secara negatif. Mereka seringkali diasosiasikan sebagai pencuri dan pemukiman mereka disalahkan sebagai tempat berkembang biaknya sumber penyakit yang menular seperti demam berdarah dan diare. Terlebih lagi, pemukiman mereka dipandang dapat merusak ketertiban dari sebuah kota yang baik. Di sisi lain, tanpa adanya sistem daur-ulang yang komprehensif dari pihak pemerintahan kota, pekerjaan para pemulung ini bisa dilihat sebagai suatu kebutuhan.Dengan kegiatan mereka mengumpulkan dan menjual material yang dapat didaur-ulang,
hal ini menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran dan juga melestarikan alam. Pertanyaanya adalah, seberapa besar pengaruh dari para pemulung ini dalam melestarikan alam
dengan keberadaan mereka yang dipandang sebagai sebuah masalah? Penelitian ini menganalisis peran para pemulung dalam melestarikan alam diluar eksistensi mereka yang dipandang secara dilematis. Objek dari studi ini yaitu di area sekitar Bintaro, Tangerang Selatan. Metode yang digunakan adalah observasi, review literature, dan wawancara. Tujuan dari makalah ini adalah meningkatkan kesadaran akan pelestarian lingkungan.
ABSTRACT
Sustainable eco development has been widely proclaimed to save our earth. The issue of climate change has become the world problem that cannot be avoided. This research raises the issues on the role and life style of scavengers in conserving through analysis of their activities and settlements. The problem is, on one hand waste pickers are connoted with bad image. They are often associated as thief and their settlements are blamed as breeding places for infectious diseases such as dengue and diarrhea. At worst, their settlements are seen as disrupting the image of city order. On the other hand, without comprehensive recycle waste system imposed by the authority, the role of waste pickers in reducing waste is seen as necessary. By collecting and selling the recyclable materials, this creates opportunities for those unemployed and conserves nature. The question is that how big is the role of these waste pickers in conserving the nature in relation to their existence which are seen as raising new problems? This research analyses the role of waste pickers in conserving the nature apart from their existence which can be seen as dilemmatic. The object of the study is around Bintaro, South Tangerang. The methods used are observation, literature review, and interview. The aim of this paper is to raise awareness to contribute to conserving the nature.
1. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN PRINSIP BERKELANJUTAN Bruntland Commission, sebagai salah satu komisi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tahun 1987 memperkenalkan istilah sustainable development, dan mendefinisikannya sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi seka-
10
rang dan tetap memberi kesempatan bagi generasi mendatang untuk dapat mewujudkan kebutuhannya (D’Alancon, 2010: 1). Konsep sustainable development tersebut kemudian dikembangkan dalam berbagai pertemuan tingkat dunia, di antaranya adalah Rio Earth Summit 1992, Maastricht Treaty 1992, Kyoto Conference on Global Warming 1997, Jo-
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
hannesburg Earth Summit 2002 and Washington Earth Observation Summit 2003 (Abidin, 2010 : 1). Pertemuan Dunia di New York tahun 2005 yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa menyebutkan tentang tiga pilar pembangunan berkelanjutan yang saling terkait dan saling mendukung, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan proteksi lingkungan. Pernyataan tersebut sekaligus menjadi pijakan penguatan pemahaman bahwa proses pembangunan bukan hanya menjadi problem ekonomi, tapi juga sosial 2. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN PRINSIP BERKELANJUTAN Bruntland Commission, sebagai salah satu komisi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tahun 1987 memperkenalkan istilah sustainable development, dan mendefinisikannya sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan tetap memberi kesempatan bagi generasi mendatang untuk dapat mewujudkan kebutuhannya (D’Alancon, 2010: 1). Konsep sustainable development tersebut kemudian dikembangkan dalam berbagai pertemuan tingkat dunia, di antaranya adalah Rio Earth Summit 1992, Maastricht Treaty 1992, Kyoto Conference on Global Warming 1997, Johannesburg Earth Summit 2002 and Washington Earth Observation Summit 2003 (Abidin, 2010 : 1). Pertemuan Dunia di New York tahun 2005 yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa menyebutkan tentang tiga pilar pembangunan berkelanjutan yang saling terkait dan saling mendukung, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan proteksi lingkungan. Pernyataan tersebut sekaligus menjadi pijakan penguatan pemahaman bahwa proses pembangunan bukan hanya menjadi problem ekonomi, tapi juga sosial dan lingkungan. Ketiga pilar tersebut saling mendukung dan terkait karena ketimpangan pada salah satu pilar membawa dampak langsung pada pilar lainnya. Sejalan dengan pengertian di atas, Sage (1998) menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan upaya pemenuhan kebutuhan manusia melalui proses yang simultan antara sosioekonomi, kemajuan teknologi dan konservasi sumber daya alam. Demikian juga DETR (2000) menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah segala hal yang berkaitan dengan upaya untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang di masa sekarang maupun masa depan, melalui proses sosial yang mengakomodasi kepentingan semua pihak, perlindungan alam yang efektif, penggunaan sumber daya alam yang bijak dan penjagaan terhadap stabilitas pertumbuhan ekonomi. Prinsip pembangunan berkelanjutan inilah yang di
kemudian hari dijadikan dasar bagi lahirnya prinsip berkelanjutan lainnya, termasuk di dalamnya desain yang berkelanjutan dan arsitektur yang berkelanjutan. Sustainable dalam kamus berarti “of, relating to, or being a method of harvesting or using a resource so that the resource is not depleted or permanently damaged” (http:// www.merriam-webster.com/dictionary/sustainable). Prinsip berkelanjutan cukup sederhana, yaitu menciptakan dan menjaga kondisi di mana manusia dan alam dapat hadir berdampingan secara harmonis, sehingga memungkinkan terpenuhinya kebutuhan sosial, ekonomi, dan kebutuhan lainnya di masa kini maupun masa depan. Prinsip ini penting untuk memastikan terjaganya semua sumber daya yang diperlukan untuk kelangsungan manusia dan kelangsungan alam (http://www.epa.gov/sustainability/basicinfo.htm). 3. ISU SAMPAH DAN PEMULUNG Salah satu isu penting dalam pembangunan berkelanjutan adalah sampah. Sampah tidak dapat dilepaskan dari aktivitas manusia sehari-hari. Peningkatan pertumbuhan populasi manusia, berakibat pada peningkatan volume sampah dunia. World Bank memperkirakan bahwa dari 1.3 billion tonnes, volume sampah akan meningkat menjadi 2.2 billion tonnes di tahun 2025 (UN News Centre, 2012). Di Indonesia, menurut Kementerian Lingkungan Hidup, tiap orang rata-rata menghasilkan 2,5 liter sampah per hari (Hendrawan, 2012). Dikalkulasikan dengan jumlah seluruh penduduk, Indonesia menghasilkan rata-rata 625 juta liter sampah per hari. Hal ini berdampak pada tingginya volume sampah yang harus dikelola. Sebagai contoh, menurut Koran Jakarta (2 Januari 2012), tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Sumur Batu di kota Bekasi sudah melebihi kapasitas. Ketinggian gunungan sampah di TPA tersebut sudah mencapai 15 meter, dan menimbulkan bahaya bagi orang-orang yang bekerja di sana. Di tempat lain, TPA Bantar Gebang telah beberapa kali memperluas lahannya untuk menampung sampah kota Jakarta. Mulai dari luas 108 ha, TPA itu kini telah mencapai luas 120 ha. Sedangkan di Kabupaten Tangerang, TPA Jati Waringin yang memiliki luas 12 ha, diperkirakan akan penuh atau bahkan terlampaui kapasitasnya dalam 3-4 tahun mendatang (Antara News, 28 Maret 2011). Tingginya volume sampah menjadikan pengelolaan sampah masalah penting dalam pembangunan berkelanjutan. Tiap negara memiliki cara untuk mengelola sampah. Meskipun demikian, tidak semua cara pengelolaan sampah menjadi solusi yang baik bagi masalah ini. Di Indonesia, sampah umumnya ditimbun di tempat-tempat pembuangan
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
11
12
sampah (Meidiana & Gamse, 2012). Namun penimbunan sampah sebenarnya menimbulkan beberapa masalah seperti menghasilkan gas karbon dioksida dan gas metan yang dapat meningkatkan efek rumah kaca; melepaskan zat kimia berbahaya lain baik ke udara, tanah, maupun air; serta menghabiskan lahan yang berharga (European Commission, 2012). Emisi gas metan dari tempat pembuangan sampah di Indonesia, misalnya, tercatat terus meningkat dari 371.34 t/year di tahun 1990, hingga mencapai 663 t/year di tahun 2000. Emisi gas metan ini diperkirakan akan mencapai 1, 581.74 t/year di tahun 2025 (Meidiana & Gamse, 2012). Untuk menangani masalah sampah, European Commission mengajukan tiga pendekatan, yaitu waste prevention, recycling & reuse, serta improving final disposal & monitoring. Pendekatan kedua, recycling and reuse, sesungguhnya sudah dilaksanakan di Indonesia meski sering tidak disadari. Pemulung, yang kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kota-kota besar di Indonesia, adalah salah satu pemeran dalam usaha recycling and reuse ini. Pemulung adalah orang yang mencari nafkah dengan jalan mencari dan memungut serta memanfaatkan barang bekas dengan menjualnya kepada pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditas (Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008). Menurut Kementrian Koperasi dan UKM tahun 2008, jumlah pemulung di Indonesia diperkirakan mencapai 1.256.804 orang (Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian Koperasi dan UKM, 2008). Memulung telah menjadi salah satu mata pencaharian di sektor informal yang menjadi alternatif pemecahan masalah pengangguran (Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian Koperasi dan UKM, 2008). Selain itu, dengan memungut dan memanfaatkan barang-
barang bekas, pemulung memberikan kontribusi dalam hal penanganan sampah. Tanpa keberadaan pemulung, volume sampah yang harus ditangani akan menjadi jauh lebih besar daripada volume yang ada sekarang. Sebagian pemulung berkegiatan secara terorganisir, dan hidup dalam permukiman yang disebut lapak. Lapak tidak hanya menjadi tempat tinggal, melainkan juga tempat pemulung melakukan sebagian kegiatan mereka dalam mengelola barang bekas hasil memulung. Makalah ini membahas bagaimana pola kegiatan dan pola permukiman pemulung berperan dalam kerangka sustainability, dikaitkan dengan aktivitas kita sehari-hari sebagai masyarakat umum. Makalah ditulis berdasarkan hasil observasi terhadap lapak pemulung, serta wawancara kepada tokoh-tokoh kunci di lapak tersebut. Kasus studi dibatasi pada pemulung yang terorganisir, tinggal di lapak yang berada di antara permukiman lain, dan berlokasi di daerah Jurangmangu Bintaro. Dengan batasan tersebut, dua lapak pemulung menjadi kasus studi, masingmasing terletak di Jalan Pesantren dan Jalan Sarmili.
Gambar 1. Proses Pemilahan dan Pembersihan Barang
Gambar 2. Area Penyimpanan Barang
4. POLA KEGIATAN PEMULUNG Kegiatan harian Pemulung terdiri dari : Mencari , Memulung , Memilah , Membersihkan, Menyimpan, Menimbang, dan Menjual. Mencari barang bekas atau barang sisa dilakukan dengan frekuensi, durasi dan jadwal bervariasi. Ada yang memilih untuk mencari barang pada pagi hari, ada pula yang memilih sore hari. Ada yang memilih untuk mencari barang dua kali dalam satu hari (pagi dan sore/malam), ada pula yang memilih sekali sehari saja (dari pagi hingga sore). Memulung dilakukan dengan mengambil barang bekas atau sisa dari tempat pembuangan sampah
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
unit-unit bangunan umum, hunian, komersial, perkantoran, dan lain-lain. Pemulung atau anggota kedua Lapak yang menjadi kasus studi ,memperoleh barang dengan cara mengambil dari tempat sampah atau pembuangan, bukan membeli. Disebabkan sampah yang berada di tempat pembuangan umumnya belum terpilah, seringkali pemulung tersebut harus membongkar sampah tersebut dan kemudian meninggalkannya begitu saja selepas memperoleh barang-barang yang sesuai dengan kriteria pencariannya. Sampah yang telah dibongkar dan ditinggalkan tersebut, menyebabkan area di sekitar tempat pembuangan menjadi kotor dan berbau tidak sedap, serta berpotensi menjadi sumber penyakit. Memilah barang bekas dilakukan untuk memilih barang-barang bekas yang dapat dijual. Proses ini umumnya dilakukan di rumah atau permukiman Pemulung. Pemilahan barang seringkali disesuaikan dengan permintaan Pembeli atau Pengepul, karena itu Pemulung dituntut untuk mengetahui karakter dan jenis barang-barang bekas yang diperoleh dan dipilahnya, agar sesuai dengan kriteria dan kebutuhan Pembeli. Setelah memilah, barang-barang yang dianggap dapat atau layak dijual, dibersihkan oleh para Pemulung tersebut, untuk memudahkan proses penyimpanan, penimbangan, pengangkutan, dan daur ulang; serta membuang bagian-bagian yang tidak diperlukan dari barang-barang tersebut (misalnya : label pada botol plastik). Barang-barang yang telah dipilah dan dibersihkan, kemudian ditempatkan di sekitar rumah atau di tempat yang telah disepakati sebagai bagian dari hak masing-masing anggota Lapak. Pada hari penjualan, barang-barang yang telah dikumpulkan oleh masing-masing Pemulung, akan ditimbang untuk menentukan nilai yang akan dibayarkan kepada masing-masing pemulung tersebut. Proses penimbangan dilakukan sekali dalam seminggu atau dua minggu, tergantung pada kebiasaan
Gambar 3. Penyimpanan Barang sebelum Penjualan
yang berlaku di masing-masing Lapak. Hari penjualan umumnya ditentukan oleh Pemimpin. Para anggota Lapak menyesuaikan jadwal kegiatan mereka dengan hari penjualan tersebut. Harga jual telah disepakati sebelumnya tergantung jenis, kondisi, dan berat barang. Proses pembayaran umumnya dilakukan antara 1-2 hari setelah waktu penimbangan. Setelah melihat kegiatan harian Pemulung baik di luar ataupun di dalam permukimannya, terdapat beberapa hal yang dapat dipelajari atau disesuaikan dalam menjalani aktivitas masyarakat umum sehari-hari yang mampu mendukung keberlanjutan; di antaranya jadwal bekerja, pemilahan sampah, penggunaan label pada barang-barang habis pakai, serta kiat menyimpan barang. Dengan menyesuaikan irama dan jadwal kerja sehari-hari, penggunaan energy dapat dilakukan dengan lebih efisien. Bagi masyarakat yang berada di wilayah beriklim tropis atau mempunyai 2 (dua) musim ; pekerjaan yang dilakukan pada tengah hari, dimana suhu cenderung lebih tinggi; menuntut tersedianya Air Conditioner (AC) sebagai pendukung kenyamanan ruangan, yang dapat menimbulkan konsekuensi borosnya energi listrik yang digunakan. Salah satu solusinya adalah dengan membuat penghawaan alami yang dapat mendukung kenyamanan ruangan. Solusi lainnya adalah dengan menyesuaikan durasi dan jam kerja dalam sehari (seperti halnya Pemulung yang memilih untuh mencari barang dua kali dalam sehari), seperti pagi hingga siang (jam 08.00-12.00) kemudian baru dilanjutkan sore hingga malam (15.00-19.00), sementara siang hari (12.00-15.00) dimanfaatkan untuk kegiatan makan siang atau istirahat, sehingga mampu meminimalisir penggunaan AC. Masyarakat umum di Indonesia perlu lebih membiasakan diri untuk membedakan tempat pembuangan antara sampah organik dan anorganik. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses pengangkutan serta daur ulang; serta menjaga kualitas lingkungan. Para pemulung pun dapat mengambil barang-barang yang mereka perlukan tanpa harus banyak membongkar sampah di tempat pembuangan. Bagi produsen barang-barang habis pakai, perlu mengkaji ulang tingkat penggunaan label pada hasil produksi mereka. Label umumnya merupakan bagian yang dibuang pada proses pemilahan barang-barang yang akan didaur ulang, sehingga cenderung menjadi polutan bagi lingkungan. Untuk meminimalisir dampak negatif penggunaan label, produsen dan perancang produk bisa mengusahakan agar merek dari barang-barang produksinya bisa tetap terlihat pada kemasan, tanpa menggunakan banyak elemen berupa label.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
13
Dengan mengetahui karakter barang-barang yang ada dalam kegiatan sehari-hari, masyarakat umum bisa menentukan proses dan tempat yang tepat untuk menyimpan masing-masing barang tersebut, agar lebih awet, selalu dalam kondisi baik, dan hemat, tidak harus cepat diganti dengan barangbarang baru. 5. POLA PERMUKIMAN PEMULUNG Pola permukiman pemulung yang menjadi kasus studi, sangat ditentukan oleh Pemimpin. Mulai dari pemilihan lokasi, pembuatan batas lahan, pembagian kavling, penentuan modul unit bangunan, hingga konstruksi unit bangunan; semuanya mengacu pada pertimbangan Pemimpin. Penataan ruang dalam dan penambahan ruang (seperti teras atau balai) pada kedua Lapak, diserahkan kepada masing-masing penghuni . Modul dasar unit bangunan yang ditemukan pada kasus studi, berbentuk dasar bujursangkar dengan ukuran berkisar 3 – 3.5 m. Unit bangunan pada Lapak Jl. Pesantren memiliki modul dasar bujursangkar 3 x 3 m, sementara unit bangunan pada Lapak Jl. Sarmili memiliki modul dasar bujursangkar 3.5 x 3.5 m. Organisasi penataan bangunan di kedua Lapak ini berbeda. Lapak Jl. Pesantren memiliki tipe penataan linear, dimana unit-unit bangunan ditem-
patkan secara berderet membentuk garis panjang yang saling berhadapan. Lapak Jl. Sarmili memiliki tipe penataan terpusat concentric, di mana unit-unit bangunan ditempatkan dengan berorientasi pada satu ruang / bangunan yang terletak di tengah / pusat permukiman. Kedua tipe organisasi ini menunjukkan kemiripan dengan penataan unit-unit perumahan di kawasan menengah ke atas, meski tentu dengan penampilan fisik yang berbeda. Rumah atau bangunan Pemimpin pada Kedua Lapak juga memiliki perbedaan dan persamaan bila ditinjau dari posisinya. Pada Lapak Jl Pesantren, rumah pemimpin menjadi bagian dari kawasan permukiman , terletak di tengah-tengah salah satu deretan unit-unit bangunan yang membentuk garis panjang; sementara rumah Pemimpin Lapak Jl. Sarmili justru berada di luar permukiman, tepatnya di ujung jalan keluar dari area Lapak tersebut. Persamaannya, rumah Pemimpin di kedua Lapak tersebut memungkinkan Pemimpin untuk mengawasi kegiatan dan alur sirkulasi penghuni atau anak buahnya. Ditinjau dari aspek material dan konstuksi ; semua bangunan di kedua Lapak ini bersifat semi permanen dan pelaksanaan proses konstruksinya dikoordinasikan oleh Pemimpin. Perbedaannya terletak pada tenaga kerja yang terlibat dan cara memperoleh material bangunan.
Gambar 4. Tata Letak Hunian Permukiman Pemulung Jl Pesantren
14
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
Bagian dinding luar dan bidang atap pada unit-unit bangunan di Lapak Jl. Pesantren, dibangun secara bergotong-royong oleh para anggota/penghuni Lapak; sementara bagian dalamnya ditata sendiri oleh masing-masing penghuni. Elemen utama bangunan pada Lapak Jl. Sarmili, dibangun dengan menyewa tukang dan juga memperkerjakan sebagian anggota Lapak yang diberi upah oleh Pemimpin; sementara elemen-elemen lainnya ditata oleh masing-masing penghuni. Material bangunan pada Lapak Jl. Pesantren diperoleh melalui kegiatan memulung dan juga terkadang dengan cara meminta kepada pihak ketiga. Barang-barang bekas seperti kain terpal, lembaran triplex, seng, ataupun ban bekas; semuanya dimanfaatkan sebagai material pembentuk elemen bangunan seperti atap, dinding, dan pintu. Bangunan –bangunan di Lapak Jl. Sarmili umumnya menggunakan material sisa dari proyek konstruksi bangunan (untuk elemen non struktural) dan juga material baru yang diperoleh dengan cara membeli (untuk elemen-elemen struktural). Penggunaan material bekas atau material sisa sebagai pembentuk elemen bangunan ini, dapat dikaitkan dengan usaha recycle dan reuse. Disadari ataupun tidak, penggunaan material bekas atau sisa seperti ini, berkontribusi terhadap pengurangan kuantitas sampah. Permasalahannya pada Kedua Lapak ini terletak pada cara pengolahan dan pemanfaatan
material tersebut; yang seringkali membawa dampak negatif, tidak hanya dari aspek ketertiban dan estetika, namun juga kesehatan lingkungan dan masyarakat. Pemanfaatan serta pemilahan material bekas atau material sisa konstruksi dapat berkontribusi pada reduksi sampah. Pemulung mampu memanfaatkan dan/atau memilah sampah yang terdiri dari kaca, plastik, logam, dan kertas yang secara umum mencakup sekitar 22% dari total sampah di Indonesia (The International Bank for Reconstruction and Development, 1999). Bila pemulung dan lapak dapat diarahkan sedemikian rupa agar sampah yang menjadi bagian dari aktivitas mereka dapat dimanfaatkan dan/atau diolah untuk aktivitas dan tempat tinggal mereka, tanpa mengabaikan faktor kesehatan, ketertiban, dan estetika; maka mereka dapat berperan secara signifikan dalam solusi peningkatan kualitas lingkungan. Masyarakat umum juga dapat mempelajari dan menerapkan proses pemanfaatan dan daur ulang sampah secara tepat guna, sehingga mampu meningkatkan kualitas lingkungan tempat tinggal mereka. Pembentukan dan pemanfaatan ruang hunian dengan modul tertentu pada kedua Lapak ini , dapat menjadi referensi dan bahan kajian terkait perancangan lingkungan binaan mengenai besaran ruang yang dapat mengakomodir beragam kegiatan manusia sehari-hari. Cukup menarik bila melihat
Gambar 5. Tata Letak Hunian Permukiman Pemulung Jl Sarmili
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
15
bagaimana ruang bermodul dasar bujur sangkar dengan luas 9 -12.25 m2 di kedua Lapak ini secara efektif dan efisien mampu mengakomodir kegiatan bekerja, makan-minum-masak, bermain, belajar, dan istirahat bagi para anggota keluarga penghuni Lapak; meski faktor kenyamanan dan kebersihannya dapat dipertanyakan. Ruang yang efektif dan efisien dapat mendorong pemanfaatan material yang efektif dan efisien pula; dan hal ini tentu tidak dapat dipisahkan dari konsep keberlanjutan. Tantangannya adalah bagaimana membuat ruang yang efektif dan efisien namun tetap sehat dan nyaman. Batasan sehat dan nyaman inilah yang bisa jadi berbeda-beda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya, namun hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa ada hal yang dapat dipelajari dari unit hunian Lapak pemulung, sebagai bagian dari re-interpretasi dan re-kontekstualisasi kondisi hunian yang sesuai bagi masyarakat umum masa kini. 6. KESIMPULAN Melalui pengamatan dan kajian terhadap kegiatan dan permukiman Pemulung, kita bisa belajar dan mengambil hal-hal positif untuk kemudian kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari,sesuai dengan pola dan kebutuhan masing-masing individu; sehingga mampu mendukung konsep kelestarian kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan yang baik dan terjaga, pada akhirnya akan membawa manfaat yang tidak hanya dirasakan oleh diri kita sendiri, namun juga keturunan kita di masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA 1. Abidin, Nazirah Zainul. (2010): Sustainable Construction in Malaysia – Developer’s Awareness, International Journal of Human and Social Science 2. D’Alancon, Renato. (2010): The Notion of competing logic of environmental architecture : description and critique 3. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementerian Koperasi dan UKM. (2008, Desember). Kajian Model Pengembangan Usaha di Kalangan Pemulung. Diunduh Januari 19, 2012, dari Bab 1 Pendahuluan: http://www. smecda.com/kajian/files/PEMULUNG-Smecda/2_BAB_1-3.pdf 4. DETR Report. (2000): Sustainable development: What it is and what you can do, DETR Green Ministers Report 5. European Commission. (2012, 10 25). Waste. Diunduh Desember 10, 2012, dari European Commission: http://ec.europa.eu/environ-
16
ment/waste/index.htm 6. Hendrawan, P. (2012, April 15). Indonesia Hasilkan 625 Juta Liter Sampah Sehari. Diunduh Desember 10, 2012, dari Tempo.co: http://www.tempo.co/read/ news/2012/04/15/063397147/IndonesiaHasilkan-625-Juta-Liter-Sampah-Sehari 7. Meidiana, C., & Gamse, T. (2012). Development of Waste Management Practices in Indonesia. European Journal of Scientific Research, 199-210. 8. Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2008, Februari 4). Diunduh September 6, 2012, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan: http:// bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php 9. Sage, A. P. (1998): Risk Management for Sustainable Development, IEEE International Conference on Systems, Man and Cybernetics, Vol. 5. 10.The International Bank for Reconstruction and Development (1999). What a Waste : Solid Waste Management in Asia.Washington : USA. Diunduh Februari 25, 2013 dari http://web. mit.edu/urbanupgrading/urbanenvironment/ resources/references/pdfs/WhatAWasteAsia. pdf BIOGRAFI PENULIS : Eka Permanasari, S.T., PhD. Program Studi Arsitektur Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224. Aldyfra. L. Lukman, S.T., M.T. Program Studi Arsitektur Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224. Aninda Moezier, S.T., M.T Program Studi Arsitektur Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224. Sahid, S.T., M.T Program Studi Arsitektur Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224. Ratna Safitri, S.T., M.Ars Program Studi Arsitektur Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
POTENSI PEMBUATAN PRODUK KEMASAN RAMAH LINGKUNGAN STUDI K ASUS KOTA BANDUNG oleh: pratiwi Kusumo Wardhani ABSTRAK
Limbah adalah isu didalam kehidupan kita. Limbah sintetik, terlebih lagi kemasan plastik dari industri makanan dan minuman adalah penyebab paling umum dari permasalahan lmbah. Jika sebelumnya kemasan makanan menggunakan material alami, sekarang ini, karena penggunaan besar-besaran di
industri makanan, kemasan makanan beralih menggunakan material sintetis. Meskipun penggunaan kertas telah diperkenalkan untuk menggantikan penggunaan plastik, para pelaku industri masih tetap memilih menggunakan plastik dibandingkan material alami, karena plastik lebih baik dalam menjaga higienitas makanan dan juga lebih murah. Penelitian ini mencari cara untuk mengurangi limbah plastik dan menciptakan metode alternatif dalam membuat dan mengimplementasikan kemasan makanan. Termasuk melakukan penelitian untuk material baru, metode kemasan alternatif dan implementasi desain baru dalam industri kemasan makanan. Studi kasus untuk penelitian ini adalah kota Bandung, karena kota ini terkenal dengan banyaknya limbah yang dihasilkan. Luaran penelitian ini dapat diaplikasikan untuk kota lain di Indonesia.
ABSTRACT
Waste has been delicate issues in our life. Synthetic waste, especially plastics packages from the food and beverage industries are the most common cause of pollution. If previously, food are packed using natural materials, these days because of rapid changes in food industry, food are packed using synthetic materials. Although the use of paper was introduced to replace plastics, yet because plastics is cheaper and more reliable in keeping the food fresh and hygienic than paper, industries are more keen in using plastics instead of natural materials. This research investigates ways of reducing the waste through inventing new designs for packaging products. This includes researching new materials, alternative method of packaging and ways of implementing of new design in food industries. The case study for this research is in Bandung, as this city is notorious for producing excessive waste. The outcome of this research can be applied in other cities in Indonesia.
1. LATAR BELAKANG 1.1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Bandung sejak lama dikenal sebagai tempat yang memiliki suasana yang nyaman dari segi keramah tamahan penghuninya pun suasana lingkungannya yang sejuk. Hal ini menjadikan Bandung sebagai salah satu kota tujuan wisata. Keberadaan perguruan tinggi negeri dan banyak perguruan tinggi swasta di Bandung membuat kota ini juga dikenal sebagai salah satu kota pelajar di Indonesia. Ramainya kunjungan para pendatang, baik sebagai pendatang yang akan menetap sebagai pelajar, maupun pen-
datang yang hanya ingin sekadar melancong, marak ditunjang oleh dibangunnya jalan tol antar wilayah Bandung, terutama jalur yang menghubungkan dengan ibu kota Jakarta, sehingga semakin memudahkan pengunjung memasuki Bandung. Dengan demikian kehidupan perekonomian pun semakin ramai. Kondisi ini membuat tumbuhnya objek-objek kewisata-an penunjang lainnya. Para pelancong memerlukan makanan, pakaian, dan oleh-oleh yang akan dibawa sebagai buah tangan pulang. Maka secara bersamaan tumbuhlah jenis-jenis wisata lain
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
17
seperti ’wisata kuliner’, ’wisata belanja’, dan mungkin akan tumbuh jenis-jenis wisata lainnya. 1.2. IDENTIFIKASI MASALAH Kawasan wisata adalah sebagai salah satu mata rantai pendukung pemasaran hasil produksi suatu wilayah, termasuk obyek wisata itu sendiri. Adanya obyek-obyek wisata bersama dengan adanya produksi berbagai produk khas yang bersumber daya dari wilayah setempat, bersamaan seluruhnya akan saling menguntungkan secara umum, berinteraksi saling mendukung memberikan citra ‘image’ untuk suatu kawasan. Untuk menampilkan kesatuan objek wisata bersamaan dengan produk-produk sampirannya, maka semua objek seharusnya dikemas dengan konsep kemasan yang menyatukannya dalam suatu citra. Perdagangan oleh-oleh Bandung yang berupa berbagai produk termasuk penganan yang layak dijadikan cinderamata atau buah tangan dari pelancongan. Untuk itu perlu dibuat suatu bentuk tampilan yang mengemas berbagai produk membawakan citra Bandung atau Parahiangan. Penelitian ini bertujuan menggali sumber daya alam dan perindustrian; besar maupun kecil, manufaktur atau kerajinan, yang dapat dimanfaatkan sebagai produsen kemasan berbagai jenis penganan cinderamata Bandung. Tema kemasan ini akan diarahkan untuk pula membantu menapis julukan ”Bandung Lautan Sampah”. Konsep material kemasan akan mencoba mengadaptasi konsep lingkungan hidup, menghindari sampah sintetik bahkan sampah toksik untuk mengantisipasi masalah pencemaran lingkungan. 1.3. BATASAN MASALAH Ada beberapa macam unsur dalam menentukan produk dapat terjual dengan cepat diantaranya brand image, produk yang dijual, kemasan yang baik. Kemasan adalah salah satu unsur terpenting dalam perkembangan perdagangan berbagai produk, sekaligus sebagai kunci pada keberhasilan strategi
Gambar 1 Wilayah Bandung dikelilingi oleh Kabupaten-kabupaten
18
Gambar 2 Sampah di jalan Ganesha, Bandung
penjualan produk. Konsumen seketika akan tertarik pada tampilan kemasan, dan terpengaruh untuk menempatkan posisi produk pada suatu tingkatan citra produk. Berbagai kategori produk seringkali dengan sangat mudah dapat tertangkap melalui karakter bentuk kemasannya. Terlebih dahulu tentunya yang akan dilakukan adalah pendataan mengenai berbagai jenis produk yang ada. Beberapa produk sudah memiliki citranya. Seperti misalnya kotak susu murni memiliki ukuran standar yang pasti, beserta tampilan grafis pada kemasannya, secara langsung dapat menginformasikan apa isi kemasan tersebut. Di sisi lain, bendabenda eksklusif, seperti perhiasan atau parfume, dapat mengambil bentuk yang tidak lazim demi menjadi penarik minat ,eye catching. Bahan kertas karton adalah bahan yang sudah lazim digunakan sebagai pengemas. Bahan ini digunakan karena alasan harga bahan yang relatif tidak mahal, mudah didapat, juga mudah untuk diproses dan diproduksi. Setelah penggunaannya, bahan tersebut mudah untuk didaur ulang. Teknik pencetakan sederhana pun dapat dengan mudah dilakukan pada bahan ini. Namun berbagai wilayah di permukaan bumi ini pun memiliki material hasil bumi yang dapat dimanfaatkan sebagai material kemasan. Berbagai produk di Bandung terlihat menggunakan material bambu atau daun pisang sebagai kemasan penganan. Banyak material alam yang digunakan sengaja diambil dari tumbuhannya untuk digunakan sebagai material pengemas penganan, seperti daun pohon pisang. Sebagian di antaranya ada penganan yang dikemas menggunakan material limbah hasil bumi, yang setelah diolah sedemikian rupa, maka bahan tersebut layak digunakan, seperti penganan dari Cililin yang dikemas dengan lembaran klobot jagung, tape ketan dari Cianjur yang dibungkus dengan daun dari pohon ketumbar, kue moci yang diwadahi di dalam keranjang bambu muda, dan sebagainya. Wilayah Jawa Barat mempunyai hasil bumi yang
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
berlimpah, termasuk sisa material dari produk lain (daging batang bambu, daun bambu, klobot jagung, daun pisang, dsb.) hendaknya dimanfaatkan sebagai beberapa sumber yang dapat memberikan nilai guna sebagai penambah peningkatan taraf hidup masyarakat di sekitar pinggiran kota sebagai penyedia jajaan produk di pusat-pusat wisata. Dengan pengolahan bahan baku yang bernilai relatif rendah, berarti pengurangan biaya dasar produk. Dan berarti pula peluang untuk pengolahan yang sangat optimal, sehingga produk jadi itu nantinya akan mempunyai nilai jual yang betul-betul efektif. Di samping ketersediaan material, banyak masyarakat di wilayah seputar Jawa Barat adalah masyarakat yang memiliki keterampilan sebagai pengrajin. Masyarakat di Tasik memiliki kemahiran menganyam dan menenun. Masyarakat di Purwakarta dan Garut memiliki kemahiran menggerabah dengan kekhasan produk yang berbeda. Di beberapa tempat yang tersebar terdapat bengkel-bengkel mebel kayu yang membuat furnitur bergaya kuno. Dan beberapa tempat berkelompok terdapat unit-unit penyablon pakaian dan produkproduk kain. Dengan demikian, berbagai kekayaan baik berupa material maupun kekayaan keterampilan yang telah disebutkan di atas, merupakan modal yang sangat berharga untuk digali dan dimanfaatkan dengan sungguh-sunguh sebagai media pendukung untuk menambah pendapatan wilayah untuk menunjang Jawa Barat sebagai daerah tujuan wisata. Penggabungan antara keterampilan pengrajin dan ketersediaan material di atas akan dapat terjalin dalam
bentuk produk-produk yang didesain sesuai peruntukannya.
Gambar 3 Beberapa jenis kemasan yang sudah dapat menampakkan citra produk yang terdapat di dalamnya dan kita tidak mengetahui asal daerah yang memproduksi kemasan tersebut.
Gambar 4 Beberapa produk penganan matang maupun mentah yang dikemas mengguna kan daun pisang
1.4. TUJUAN PENELITIAN 1. Turut serta berperan aktif dalam mensikapi situasi nasional maupun internasional atas pencemaran lingkungan oleh berbagai limbah sintetis. Dan usaha ini pun harus mulai dilakukan sejak dari kalangan perindustrian kecil, 2. Mengupayakan menemukan suatu material kemasan baru yang ramah lingkungan yang dapat ditawarkan kepada seluruh lapisan terkait pada usaha yang menggunakan material kemasan, 3. Mengeluarkan suatu kebijakan baru mengenai penggunaan material kemasan yang ramah lingkungan, yang diberlakukan bagi semua lapisan terkait pada usaha yang menggunakan material kemasan, 4. Menggali desain kemasan yang bercitra khas untuk produk-produk cinderamata Jawa Barat, 5. Meningkatkan potensi produsen berbagai produk cinderamata atau oleh-oleh Bandung, 6. Mengintegrasikan kebutuhan akan kemasan yang dapat memberikan citra khusus, sekaligus memberdayakan sumber-sumber daya yang tersedia di wilayah Jawa Barat. 1.5. SIGNIFIKANSI PENELITIAN 1. Melakukan usaha pemanfaatan sisa hasil bumi
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
19
2.
3.
4.
yang selama ini terbuang, atau bernilai jual sangat rendah, dapat membantu memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat di sekitar kawasan itu, Membukakan peluang kerja lain bagi sumber daya pengrajin yang belum termanfaatkan waktu dan daya upayanya secara optimal; membantu membukakan wilayah garapan usaha baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, serta turut memberikan pengayaan atas citra Bandung melalui peningkatan kualitas tampilan (visual) kemasan produk menjadi bernilai jual tinggi, dengan pertimbangan untuk menaikkan tingkat pendapatan dan taraf hidup masyarakat setempat, Meningkatkan jumlah pengunjung; ‘wisman’ ataupun ‘wisnu’ ke obyek-obyek wisata di kawasan ini dengan cara meningkatkan kualitas berbagai aspek yang saling berkaitan di sekitarnya.
2. STUDI PENDUKUNG 2.1. KAJIAN UMUM MENGENAI LIMBAH SAMPAH Pengertian Limbah atau sampah yaitu limbah atau kotoran yang dihasilkan karena pembuangan sampah atau zat kimia dari pabrik-pabrik. Limbah atau sampah juga merupakan suatu bahan yang tidak berarti dan tidak berharga, tapi kita tidak mengetahui bahwa limbah juga bisa menjadi sesuatu yang berguna dan bermanfaat jika diproses secara baik dan benar. Limbah atau sampah juga bisa berarti sesuatu yang tidak berguna dan dibuang oleh kebanyakan orang, mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna dan jika dibiarkan terlalu lama akan menyebabkan penyakit padahal dengan pengolahan sampah secara benar bisa menjadikan sampah ini menjadi benda ekonomis. 2.1.1. MASALAH SAMPAH DI KOTA BANDUNG Salah satu kota di Indonesia yang memiliki masalah paling serius dengan sampah adalah kota Bandung. Berbeda dengan satu abad silam yang menempatkan kota Bandung sebagai Paris van Java yang sejuk dan nyaman, kini selain diliputi oleh persoalan kemacetan lalu lintas di seluruh kota yang parah kota ini dililit masalah sampah. Produksi sampah dari warga kota terus menumpuh hingga 550.000 meter kubik yang tidak terangkut karena warga rata-rata menghasilkan sampah sekitar 7.500 meter kubik per hari. Praktis, tidak ada satu pun ruang publik yang terlepas dari sampah. Masalah pengangkutannya menjadi persoalan
20
tersendiri. Masalah sampah di Bandung bahkan sempat mengakibatkan presiden SBY gusar. Ketika mengikuti lomba maraton di lapangan Tegalega, awal tahun 2006, SBY bersama rombongan menteri benar-benar ikut merasakan betapa rumitnya masalah sampah di kota ini. SBY bahkan sempat menyampaikan ultimatum kepada Walikota Dada Rosada. Selain mengutus Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk menangani sampah secara terpadu, dia mengultimatum walikota agar dalam kunjungan selanjutnya pada bulan Juni 2006, sampah di Bandung sudah dapat ditangani. Tetapi persoalan sampah di Bandung memang tidak sederhana. Warga sudah telanjur memiliki perilaku yang skeptis terkait sampah. Tidak ada insentif apapun untuk mengurangi produksi sampah. Kecuali itu, penanganan sampah sejauh ini selalu menggunakan pendekatan berupa open dumping, sampah dikumpulkan ke TPS (Tempat Pembuangan Sementara) untuk kemudian ditumpuk hingga hancur sendiri di TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Masalahnya adalah bahwa pendekatan penanganan dengan cara seperti ini sudah tidak memadai lagi dengan adanya volume sampah yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Prediksi kasar menunjukkan bahwa dengan cara penanganan seperti ini, jika seluruh kawasan Bandung Raya (kota Bandung, Kabupaten Bandung, kota Administratif Cimahi, Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang) memproduksi sampah, total volumenya mencapai 4,5 juta ton kubik per hari. Dengan menggunakan cara open dumping, diperkirakan bahwa dalam waktu 25 tahun diperlukan 100 hektar tanah sebagai lokasi TPA. (http://kumoro.staff.ugm.ac.id/file_artikel/ K asus%207,%20Penang anan%20Sampah%20 di%20kota%20Bandung.pdf). 2.1.2. JeniS-JeniS SaMpah Berdasarkan cara pengelolaan dan pemanfaatannya, jenis sampah secara umum menurut dinas Pekerjaan Umum (1986) dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu: 1) sampah basah Yaitu sampah organik yang mempunya sifat membusuk jika dibiarkan dalam keadaan basah, yang termasuk dalam sampah ini adalah sisa makanan, sayuran, buah-buahan, dedaunan, dsb. 2) sampah kering Yaitu sampah yang terdiri atas bahan anorganik yang sebagian besar sulit untuk membusuk, sampah ini terbagi menjadi 2 jenis yaitu : a) logam, contoh : kaleng, pipa besi tua, mur, baut, seng, dan segala jenis logam yang sudah usang.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
b) non logam. 3) sampah lembut Yaitu sampah susunannya terdiri dari partikelpartikel kecil dan memiliki sifat mudah berterbangan serta membahayakan atau menggangu pernafasan dan mata. sampah tersebut terdiri atas: a) Debu, yaitu parkel-partikel kecil yang berasal dari proses mekanis, misalnya serbuk dari pengergajian kayu, debu asbes. b) Abu, yaitu partikel-partikel yang berasal dari proses pembakaran, misalnya abu sekam, abu dari hasil pembakaran sampah. 2.1.3. KONSEP “ 3R” 1) Mengurangi Bahan Timbunan Sampah (Reduce) Mengurangi bahan timbunan sampah, dapat berarti membiasakan hidup dengan penuh ketelitian, dan cermat sehingga sampah yang dihasilkan di tekan seminimal mugkin. 2) Memakai kembali (reuse) Menggunakan kembali mengandung arti memakai item yang sama lebih dari skali, lebih disarankan. konsep memakai kembali (reuse) ini dapat menghemat energi dan sumber daya yang boleh jadi digunakan untuk membuat produk baru. 3) Daur ulang (recycle) Mendaur ulang dapat berarti mengembalikan sampah ke pabrik sehingga dapat dignakan kembali sebagai bahan baku untuk membuat produk yang sama atau lainnya. 2.2. KAJIAN UMUM MENGENAI KERTAS BEKAS 2.2.1. KARAKTER KERTAS BEKAS Beberapa jenis kertas bekas yang bisa didaur ulang. Namun pendauran ulang kertas hanya bisa dilakukan maksimal 4 - 6 kali, mengingat seratserat kertas akan semakin pendek setelah diproses sehingga memengaruhi kekuatan dan ikatan serat dalam kertas. Kertas yang bisa didaur ulang sangat beragam, namun dikelompokkan dalam tiga kategori diantaranya: 1. kertas buangan pabrik kertas, 2. kertas limbah sebelum digunakan konsumen, 3. kertas yang telah digunakan konsumen. 2.2.2. JENIS KERTAS BEKAS Jenis kertas sangat beragam, mulai dari kertas bergelombang ( dus), kertas bekas koran, kertas bekas majalah, kertas bekas buku telepon, dan kertas be-
kas kantor/rumah tangga.Pengolahan kertas daur ulang bisa dengan cara sangat sederhana, yaitu kertas hanya diubah bentuknya tanpa perlakuan fisika dan kimia. Misalnya kertas digunakan untuk dekorasi. Kertas diremas lalu bentuk lipatan-lipatannya dibentuk sesuai selera.Pengolahan kertas secara fisika dan kimia adalah mengolah kertas menjadi bubur kembali, lalu dicetak sesuai dengan keperluannya, baik tipis ataupun tebal. Kertas yang dibuat ubur ini yang hanya bisa didaur ulang hingga 4 - 6 kali, karena serat-serat kertas akan terpotong oleh perlakuan fisika (dihancurkan). 2.2.3. PENGOLAHAN KERTAS BEKAS Di Indonesia, penggunaan kertas daur ulang untuk bahan baku industri kertas telah banyak dilakukan. bahan baku yang paling banyak di gunakan adalah diperoleh dari kertas bekas kosong, majalah, dan kertas tulis. Produk kertas daur ulang berupa jenis kertas seperti kertas kemasan atau kertas untuk industri, kertas cetak dan kertas tulis, tissue dan cetakan untuk media massa. dalam jumlah terbatas, kertas daur ulang dapat juga digunakan untuk media tanaman isolasi, box, produk kertas cetak (wadah telur, karton, baki makanan, dan pot tanaman). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan, kertas daur ulang ini memiliki beberapa keterbatasan produk yang dibuat dari proses ini tidak dapat digunakan untuk kemasan bahan panan, karena kualitas kertasnya menurun dan dapat mudah terkontaminasi. Khusus untuk daur ulang kertas koran, diperlukan beberapa tambahan proses kimiawi untuk menghilangkan tinta yang ada pada kertas (deingking process). Proses ini menggunakan sabun untuk menghilangkan tinta. Tinta tersebut masih dapat dimanfaatkan untuk kondisi tanah (soil conditioner), kemudian untuk membuat kertas daur ulang yang baik dan dapat digunakan kembali sebagai bahan pembuat koran, diperlukan modifikasi campuran kertas yang terdiri dari atas campuran kertas koran bekas, majalah dan bubur kertas yang asli (virgin pulp) dari bahan baku awal. 2.3. KEMASAN 2.3.1. KEMASAN FLExIBLE Kemas fleksibel adalah suatu bentuk kemasan yang bersifat fleksibel yang dibentuk dari aluminium foil, film plastik, selopan, film plastik berlapis logam aluminium (metalized film) dan kertas dibuat satu lapis atau lebih dengan atau tanpa bahan thermoplastic maupun bahan perekat lainnya sebagai pengikat ataupun pelapis konstruksi kemasan dapat berbentuk lembaran, kantong, sachet
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
21
maupun bentuk lainnya. Pemasaran kemasan ini akhir-akhir ini menjadi popular untuk mengemas berbagai produk baik padat maupun cair. Dipakai sebagai pengganti kemasan rigid maupun kemas kaleng atas pertimbangan ekonomis kemudahan dalam handling. Biasanya bahan yang digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan kemas flexible adalah antara lain film plastik, selopan, aluminium foil dan kertas. Untuk memenuhi fungsinya dengan baik film plastik dan aluminium foil dan kertas dalam berbagai kombinasi dibentuk sebagai multi layer dan diextrusion dengan resin plastik, polyethilen, polypropylene, eva, dan lain sebagainya, sehingga menjadi satu kesatuan ataupun dilaminasi dengan adhesive tertentu. Kombinasi dari berbagai material tersebut, akan memberikan kemasan yang lebih sempurna dari prosuk tersebut. Dapat disimpulkan bahwa bahan yang digunakan adalah sebagai berikut : - Bahan Utama : film plastik, selopan, aluminium foil, metalized film,kertas dan sebagainya. - Bahan Pengikat : perekat/adhesive dan extrusion dari bahan Thermoplastic - Bahan Penolong : antara lain tinta dan solven 2.3.2. JENIS DAN BAHAN KEMASAN A. KERTAS Ada berbagai macam jenis kertas yang dikenali, dengan sifat tertentu dan dengan aplikasi tertentu. Kertas dibagi dua dalam klasifikasi yang luas, ialah cultural papers atau fine paper dan industrial paper atau coarse papers. Cultural paper : antara lain printing paper, litho paper, artpaper dan lain-lain. Industrial paper : antara lain kraft paper, manila paper, glassine paper, grease-proof paper dan lain-lain. Untuk keperluan kemasan fleksibel, selain menggunakan kertas industri seperti kraft paper dan glassine paper juga digunakan cultural paper, seperti litho paper dan art paper. Kraft paper, karena sifatnya yang kuat, banyak digunakan dibidang kemasan fleksibel, terutama sebagai shopping bag. Kertas kraft digunakan juga pada pembuat multi wall shipping bag, kertas yang banyak juga digunakan untuk kemasan fleksibel adalah glassine dan grease proof paper. Penampilan dan sifat yang khusus dari kertas ini, bukan karena penambahan aditif, tetapi karena sifat dari pulp yang dipakai. B. ALUMINIUM FOIL Aluminium foil menempati posisi yang penting dalam produk kemas fleksibel karena memiliki barriers yang memuaskan dan penampilan yang baik. Foil yang biasa digunakan dengan ketebalan
22
antara 6 mikron sampai dengan 150 mikron baik soft temper maupun hard temper. Soft maupun hard temper, tergantung dari komposisi dari alloy dan treatment terhadap foil tersebut. Umumnya untuk kepentingan kemas fleksibel foil yang digunakan tebalnya kurang dari 25 mikron. Namun demikian untuk keperluan tertentu dengan contoh yang lebih tebal aluminium foil yang soft temper akan mudah membentuk dead-fold, dan tidak mudah kembali, dan bisa dibentuk menurut keinginan. Foil adalah tak berbau, tak ada rasa, tak berbahaya dan hygienis, tak mudah membuat pertumbuhan bakteri dan jamur. Karena harganya yang cukup mahal, maka aplikasi dari aluminium foil sekarang ini banyak disaingi oleh metalized aluminium film. Coating yang sangat tipis dari aluminium, yang dilaksanakan di ruang vacuum, hasilnya adalah suatu produk yang ekonomis dan kadang-kadang fungsinya dapat menyaingi aluminium foil. 3. METODELOGI PENELITIAN Dalam penelitian kali ini penulis menggunakan cara pendekatan kuantitatif dengan mengumpulkan data-data yang mendukung. Dalam rangka mendapatkan data-data yang mendukung penelitian kali ini adalah dengan mengiventarisasi potensi berbagai sumber daya diantaranya ; 1. Mencari sumber daya perindustrian kecil maupun menengah yang berhubungan dengan material kemasan. 2. Mencari sumber tenaga kerja – manusia; sebagai pengrajin, skill. 3. Menganalisa sumber daya alam – berbagai ma-
Gambar 5 Contoh produk pakaian sablon yang sudah dikemas secara khusus, memberikan bentuk Dan citra khas yang tidak mudah terlupakan
terial alam atau sisa bahan tak yang sebelum ini tak termanfaatkan. 4. Menganalisa potensi wilayah – potensi wisata dan khasanah budaya daerah sebagai potensi pasar.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
4. POTENSI BERBAGAI SUMBER DAyA 4.1. SuMber daya penGraJin & perinDUSTRIAN Dengan adanya kelompok-kelompok pengrajin yang tersebar di wilayah Jawa Barat, dan kemampuan dasar masyarakat yang pada umumnya berketerampilan ke arah jenis kegiatan kerajinan Tasik, Cirebon, Cililin, dsb., maka berarti salah satu daya dukung untuk mewujudkan wilayah ini menjadi kota industri kecil kerajinan sudah ada. Selain terdapat sebuah perindustrian yang terpaut pada Departemen Perindustrian & Perdagangan (PT Kria Kertas Kemasan), yang selama ini menghasilkan produk-produk kemasan, telah menyatakan keinginannya membuat pengembangan atas berbagai jenis dan desain kemasan. 4.2. SUMBER DAyA ALAM Banyaknya hasil bumi di kawasan ini memberikan peluang dan tantangan yang sangat luas untuk melakukan apapun, untuk mengambil manfaat yang diberikan alam, sebelum memutuskan untuk memilih bahan-bahan sintetis. Selain harga bahan yang semangkin melonjak, krisis pencemaran lingkungan yang semangkin meluas juga ke pelosokpelosok, hendaknya perlahan dicarikan alternatif pemecahannya. Meskipun dalam prosentase sangat kecil dibandingkan dengan pencemaran dunia yang sudah terlanjur melimpah. Dan Bandung sudah terlanjur dijuluki “Lautan Sampah”. SuMber daya Wilayah–potenSi WISATA DAN KHASANAH BUDAyA DAERAH SEBAGAI POTENSI PASAR Menggali dan menemukan berbagai kekhususan citra yang terkandung pada berbagai aspek kehidupan di Bandung atau Jawa Barat, untuk kemudian dapat diangkat sebagai materi pencitraan Bandung untuk menyampaikan berbagai pesan visual, termasuk pesan-pesan komersial.
kasi produk-produk cinderamata diantaranya yaitu: 1. Melihat Jenis produk (penganan, pakaian, ben da kerajinan bambu, kulit, kayu, alas kaki, dsb). 2. Melihat Karakter produk (material, dimensi). 3. Menghitung Ukuran persatuan potong, persatuan unit. 4. Mencoba bernagaimacam cara mengoperasikan, (cara kemas, cara distribusi). 4.4.2.
MEMBUAT SPESIFIKASI BAHAN PENGEMAS Berikut adalah proses dalam rangka membuat spesifikasi bahan pengeras, bahan pengeras bertujuan untuk memberikan daya tahan keawetan sebuah produk, agar lebih tahan lama. Proses tersebut dilakukan dengan mencoba satu persatu bahan yang akan digunakan Bahan yang pernah digunakan adalah lembaran daun, atau rautan, daging batang, atau material temuan baru. Jenis dan sifat struktur : berserat searah; relatif kuat, pembentukan lebih baik dilakukan sebelum atau sesudah bahan menjadi kering. Warna dan tekstur : warna-warna natural Berikut adalah hasil eksperimen dari lembar daun: a) Bila kondisi kegunaan akan selalu kering, maka apakah mungkin untuk tidak digunakan bahan pengawet. b) Bahan sebelum diolah, jenis pengolahan, sesudah diolah, serta target yang diharapkan dari bahan tersebut. c) Menghindarkan penggunaan material toksik.
4.3.
4.4. TEKNOLOGI SEBAGAI SUMBER DAyA Penelitian ini dapat dilakukan kerja sama dengan institusi pendidikan yang berkaitan dengan teknologi lingkungan, seperti halnya ITB sebagai pusat pengambangan pengetahuan & teknologi, sehingga tidak sulit untuk menggali dan menemukan berbagai material yang tepat yang diperlukan untuk menanggulangi sampah yang menjadi permasalahan lingkungan ini. 4.4.1. MEMBUAT KLASIFIKASI SPESIFIK BERBAGAI PRODUK CINDERAMATA Berikut adalah proses dalam rangka mengklarifi-
5. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa salah satu solusi dari permasalahan sampah di kota Bandung yakni dengan mempergunakannya kembali sebagai kemasan sebuah produk. Dengan proses mencari tahu dan menganalisa sampah yang ada di kota penghasil sampah terbanyak yakni Bandung dengan mempertimbangkan jenis material dan bahan yang tersedia, serta melihat potensi daerah penghasil sampah dan juga harus mempertimbangangkan potensi masyarakat daerah penghasil sampah. Dengan pertimbangan hal tersebut, potensi pemberdayaan sampah dapat menimbulkan inovasi baru yakni kemasan yang reusable. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan output berupa stimulus bagi desainerdesainer produk kemasan untuk menemukan cara agar masyarakat bersama-sama dengan pengusaha menyadari permasalahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh berbagai jenis penganan dan minuman, dan kemudian berupaya untuk menemukan suatu cara untuk mengurangi dampak bu-
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
23
ruk sampah, yang kemudian dapat disepakati bersama penggunaan atau penerapannya. Diharapkan dari penelitian selanjutnya dengan mencari, bereksperiman dan terus mengulik material sampah yang masih memungkinkan untuk di pergunakan lagi sebagai kemasan, atau menghasilkan suatu cara mengemas dengan desain kemasan baru, atau mungkin juga dengan menemukan suatu material baru sebagai bahan yang tidak akan menambah pencemaran lingkungan semakin memburuk, atau memberikan suatu kebijakan yang tidak menyulitkan penerapannya bagi semua pihak, dari segi proses produksi dan proses pengunaannya kelak dilapangan. DAFTAR PUSTAKA 1. Ekajati, Edi S, Setiawan (2001) “Kemasan Tradisional Makanan Sunda” Bandung : Penerbit ITB 2. Kunto, H, (1986)“Semerbak Bunga di Bandung Raya”, Bandung: PT Granesia 3. Lawson, Bryan. (2007) “Bagaimana cara berpikir desainer (How Designers Think)”, Yogyakarta : Jalasutra 4. Norman, Donald. (2004) ”Emotional Design”, New York : Basic Books 5. Prahaland, C, K (2004) “The Fortune at The Bottom of The Piramid”mengentaskan kemiskinan sekaligus memperoleh laba”, Jakarta: PT Intan Sejati Klaten BIOGRAFI PENULIS : Pratiwi Kusumo Wardani., M.Ds Program Studi Desain Produk Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224.
24
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
PERANAN TABLET DAL AM IMPLEMENTASI PAPERLESS OFFICE Oleh : N. Nurul Q, S.Kom., M.T.I. ABSTRAK
Produksi kertas mencapai 331 juta ton pada tahun 2002 (Holik,2006). Angka ini naik tujuh kali lipat sejak tahun 1950. Usaha untuk mengurangi kenaikan ini dengan mengurangi penggunaan kertas telah
dilakukan. Salah satu alternatif adalah mengaplikasikan kantor tanpa kertas, merubah yang tadinya menggunakan kertas menjadi bentuk digital. Tetapi, semenjak kantor digital dikumandangkan sejak 30 tahun yang lalu, penggunaan kertas malah naik seiring dengan propaganda adanya kantor tanpa kertas (York,2006).
Pada awal pengenalan kantor tanpa kertas ada permasalahan yang muncul yaitu pada akses data. Dengan menggunakan kertas, data dapat dipindahkan dan dibawa dengan mudah kapan saja dibandingkan dengan harus mengakses data melalu computer. Tetapi dengan berkembangnya teknologi secara signifikan, dengan adanya tablet mempermudah pengguna untuk dapat mengakses data dan memodifikasi data kapan saja pengguna tersebut inginkan. Tablet ini mudah untuk dibawa dan memudahkan pengguna untuk bekerja secara mobile. Dapatkah tablet menjadi solusi untuk implementasi kantor tanpa kertas? Penelitian ini akan membahas mengenai peranan tablet dalam implementasi kantor tanpa kertas.
ABSTRACT
The production of paper reached 331 million ton in 2002 (Holik, 2006). This figure increased seven times higher since 1950. There were attempts to reduce the increased number of using paper. One of the alternatives is by applying paperless office, transforming what once paper-based into the form of digital. However, regardless this digital office has been propagated since 30 years ago, the use of paper has skyrocketed in line with the propaganda of having paperless office (York, 2006). At the early stage of introducing paperless office, there were problems of accessing data. Having paper in hands is always handy as data can be carried out anywhere and accessible at any time compare to digital file which can be accessed through PC. However, as technology changes significantly, the introduction of tablet enables users to access and modify data at any time they wish. This tablet is also easy to be carried out which allow users to work in mobile mode. Can then tablet be the solution for implementing paperless office? This research investigates the role of tablet in implementing paperless office policy.
1. PENDAHULUAN Implementasi paperless office yang telah diluncurkan 38 tahun yang lalu ternyata hingga saat ini, masih menghadapi banyak kendala, padahal konsep ini menawarkan berbagai keuntungan untuk sisi bisnis dan individu. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa para pengguna sistem di perkantoran enggan untuk beralih ke media non kertas. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa berbagai karakteristik natural dari kertas
memang tidak dapat digantikan oleh laptop dan mesin. Saat ini, seiring dengan perkembangan teknologi komputer, munculah teknologi komputer tablet yang dianggap lebih mendekati fungsi dan karakteristik natural dari kertas. Bagaimana keterkaitan antara dua hal ini?. Dalam tulisan ini akan kita lihat bagaimana kedua hal tersebut dapat saling melengkapi. 2. apa dan MenGapa paperleSS office ?
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
25
2.1. DEFINISI DAN SEJARAH PAPERLESS OFFICE Paperless office adalah sebuah ide yang muncul untuk menyelamatkan lingkungan dengan cara mengurangi penggunaan kertas sebagai alat kerja. Mengapa pemakaian kertas dianggap memberi dampak negatif yang cukup signifikan untuk lingkungan? Media kertas dibuat dari serat pohon, sehingga secara langsung maupun tidak langsung pemakaian kertas dapat dihubungkan dengan penebangan pohon. Secara luas, hal ini berdampak pada ekosistem hutan dunia seperti yang dikutip oleh Richard York dalam paperless office paradox (York, 2006). Inisiatif mengenai paperless office sudah lama muncul, bahkan jauh sebelum era komputasi seperti saat ini. Hal ini dilakukan dengan mengkonversi dokumen dan kertas lainnya ke dalam bentuk dijital. Para pendukung paperless office mengklaimbahwa ide ini dapat menghemat uang, meningkatkan produktivitas, menghemat ruang, membua dokumentasi dan informasi lebih mudah dibagi, menyimpan informasi pribadi lebih aman, dan membantu melestarikan lingkungan. Konsep ini juga dapat dikembangkan untuk komunikasi di luar perkantoran. Istilah paperless sendiri sebenarnya telah diperkenalkan sejak tahun 1975, pada artikel yang berjudul “The Office Of The Future” yang dimuat dalam Business Week, terbitan tanggal 30 Juni 1975 (Business Week, 1975). Dalam artikel tersebut dicetuskan konsep penggunaan administrasi perkantoran tanpa kertas (paperless office) dengan cara mengo-tomasi semua pekerjaan. Pada saat itu, mesin danperangkat pengolah kata (word-processing) seba-gian besar masih berdiri sendiri, masing-masingdikembangkan untuk melakukan fungsi tertentudan tidak terkait satu dengan yang lain. Dengan semakin berkembangnya teknologi printer dan mesin fotokopi pencetakan dan penggandaan dokumen menjadi lebih mudah. Hal ini se-cara kontradiktif mendorong penggunaan kertasyang berlebihan (The Economist, 2008). Kemudian pada era 2000-an terjadi perubahan tren. Para pekerja generasi baru yang dibesarkan dalam zaman berkembangnya surat elektronik (e-mail), pengolahan dokumen elektronik, dan internet merasakan bahwa mencetak dokumen kertas tidak lagi menjadi suatu yang disukai. Alasan terbesar mereka adalah tampilan dokumen yang disajikandalam perangkat dijital penuh warna dan cukup interaktif, sehingga dianggap lebih menarik daripada pencetakan dokumen. 2.2. KONSUMSI KERTAS DI DUNIA
26
Selama berabad-abad, kertas merupakan komoditas langka dan berharga. Hari ini, kertas adalah ba-gian mendasar dari kehidupan dan keberadaannyaditerima begitu saja. Setiap tahunnya dunia menghasilkan lebih dari 300 juta ton kertas. Negara Amerika Serikat setiap tahunnya mengkonsumsi 4 juta ton kertas fotokopi, 2 miliar koran. Rumahtangga di Amerika Serikat menerima hampir 90 miliar potongan komersial dari surat elektronik limbah (junk mail) dalam setahun. Bukti kecanduan kertas kita adalah di dalam sampah kita kaleng kertas terdiri 40 persen dari limbah padat perkotaan di Amerika Serikat. Di Indonesia konsumsi kertas tercatat jauh lebih sedikit dibandingkan negara Amerika Serikat dan Eropa yaitu 0,67 batang pohon per penduduk per tahun (The Economist online, 2012). Masyarakat Indonesia memang belum banyak yang menggunakan kertas untuk ke toilet. Konsumsi kertas di Indonesia mengalami kenaikan. Indonesia kini menempati posisi ke-9 dalamderetan negara pengkonsumsi kertas terbanyak. Ketua Umum Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia, Jimmy Juneanto menyebut konsumsi kertas perkapita nasional di tahun 2009 sebesar 25 kg per kapita. Pada tahun 2012 diperkirakan konsumsi kertas per kapita nasional akan meningkat hingga 32 kg. Di tahun 2015 konsumsi kertas diperkirakan bisa mencapai 36 sampai 40 kg per kapita. Kapasitas pabrik kertas di seluruh Indonesia sebesar 12,5 juta ton, dan 60 persennya diserap percetakan lokal (Rekohadi, 2012). Berikut ini adalah gambaran konsumsi kertas di dunia menurut Bureau of International Recycling (RISI) seperti yang dikutip oleh The Economist:
Gambar 1 Konsumsi Kertas Dunia (The Economist online, 2012)
Menurut sumber data dari Resource Conservation Alliance (RCA) yang berpusat di Washington DC, lebih dari 30 juta acre ( 12 juta hektar) hutan alam
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
hilang setiap tahunnya. Permintaan yang berlebihan terhadap kertas mendorong kehancuran hutan. Lebih dari 40 persen pohon ditebang untukmemproduksi kertas. Untuk setiap ton kertas yang diproduksi, dua hingga empat ton pohon dibawa ke pabrik, dengan pemasok utama serat kertas adalah 9% dari pohon-pohon tua (Resource Conservation Alliance (RCA)). 3. PERMASALAHAN PAPERLESS OFFICE 3.1. KENDALA PAPERLESS OFFICE Meskipun sudah banyak didengungkan sebagai bagian kampanye ramah lingkungan, inisiatif paperless office seringkali gagal. Antara lain disebabkan sulitnya meninggalkan kebiasaaan membaca lewat kertas. Menurut Sellen dalam bukunya “The Myth of the Paperless Office” menjelaskan bahwa masalah yang sering dijumpai dalam paperless office adalah mengenai simbolik, biaya dan interaksional (Sellen & Harper, 2003), masing-masing dijelaskan sebagai berikut: a. Simbolik Kertas masih dianggap sebagai simbol. Contoh yang dimaksud dengan kertas sebagai simbol seperti ijazah, surat tanah, atau surat berharga lainnya. Simbol kertas dianggap belum bisa digantikan oleh mesin dijital. b. Biaya Permasalahan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan juga merupakan hal pokok yang sering kali menjadi kendala bagi implementasi paperless office. Biaya yang harus dikeluarkan di awal untuk mencetak kertas masih jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya untuk membangun teknologi baru. Meskipun banyak perusahaan menyadari bahwa biaya yang dirasakan setelah implementasi sistem pada akhirnya akan lebih hemat daripada saat masih menggunakan kertas. c. Interaksional Permasalahan interaksi dengan kertas atau keterbatasan penggunaan kertas meliputi: Kertas hanya dapat digunakan secara lokal, tidak dapat diakses dari tempat yang jauh, kertas membutuhkan ruang yang cukup besar untuk penyimpanan, kertas memerlukan pengiriman secara fisik, satu kertas untuk satu orang, atau cara penggunaan dokumen berubah secara drastis, kertas sangat sulit untuk direvisi, atau diintegrasikan dengan dokumen lain, dan kertas sulit untuk direplikasi (tanpa teknologi seperti mesin fotokopi) dan kertas adalah statis, hanya dapat ditampilkan secara visual. Permasalahan tersebut merupakan alasan-alasan yang seringkali melandasi mengurangi penggunaan kertas. Selain tiga hal yang telah disebutkan oleh Sellendan
Harper tersebut diatas, Richard Walker (Walk-er, 2009) juga menemukan kenyataan bahwa konsep tersebut menjadi tidak realistis dewasa ini, karena beberapa alasan, diantaranya : • Efisiensi menciptakan kapasitas yang berlebih untuk mencetak kertas. Hadirnya teknologi email, internet dan komputer membuat segala pekerjaan menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Akibatnya adalah menyisakan waktu lebih banyak. Ketika efisiensi berguna untuk mengurangi biaya dan meningkatkan keuntungan, di sisi lain efisiensi ternyata dapat meningkatkan kapasitas untuk melakukan pekerjaan lebih banyak atau mengulang pekerjaan yang sama lebih sering. • Untuk memulai proses otomasi seringkali masih memerlukan kertas sebagai data mentahnya. Beberapa sistem otomasi yang digunakan di institusi seringkali masih menggunakan kertas sebagai formulir isian yang harus ditulis dan diisi secara manual terlebih dahulu sebelum diproses ke dalam komputer. Hal ini sebenarnya bisa dihindari, namun pengguna merasa enggan untuk langsung melakukan inputan ke dalam komputer. • Banyak orang yang lebih menyukai membaca melalui kertas daripada melalui media dijital. Faktor kenyamanan dan kebiasaan merupakan hal utama yang membuat orang lebih suka dengan kertas daripada menggunakan media dijital. Bahkan menurut Sellen dan Harper, teknologi tidak akan dapat menggantikan kertas, karena kertas masih merupakan media utama yang dirasa paling sesuai untuk beberapa pekerjaan tertentu (Sellen & Harper, 2003). Sebagai contoh di beberapa negara maju seperti Amerika, para petugas polisi masih menggunakan kertas bahkan setelah mengeluarkan laptop untuk melaporkan wawancara korban langsung dari lapangan. Ada dua alasan mendasar untuk hal ini. Pertama, karakteristik fisik dari penginputan data melalui laptop dan perangkat lunak yang dinilai cukup kaku membuatnya sulit untuk menangkap hal-hal kecil yang dapat ditangkap secara implisit di dalam wawancara dan cerita-cerita yang di tidak berurutan. Kedua, catatan dari laporan di lapangan yang diinputkan ke dalam sistem seringkali masih harus diperbaiki dan dipoles sehingga menyebabkan kurangnya akurasi informasi. Dalam hal ini, sifat kertas membuatnya jauh lebih efektif daripada laptop. Wawancara dengan menggunakan pencatatan manual di atas kertas dirasakan lebih nyaman daripada menggunakan laptopdengan suara ketukan keyboard dan layar yang dapat menghalangi kontak mata. Namun pada contoh yang lain, pada beberapa restoran cepat saji penggunaan komputer tablet lebih disukai dari pada kertas, untuk mempercepat
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
27
pelayanan terhadap pelanggan. Hal ini juga seringkita lihat di Indonesia. Beberapa restoran cepat saji memanfaatkan teknologi komputer tablet untuk menerima pesanan pelanggan. Dalam beberapa penelitian lain disebutkan bahwapekerjaan di rumah sakit tidak bisa mengurangi konsumsi kertas. Pada rumah sakit kelas menengah (300 kamar) menggunakan 1,6 juta lembar kertas per bulan. Sulitnya mengurangi penggunaan kertas, dikarenakan kertas dirasakan lebih familiar dan nyaman daripada media dijital. Selain itu parapengguna lebih suka dengan dokumen kertas karena dapat dipegang dan dilihat. Keengganan pengguna untuk beralih pada teknologi dijital karena ditemukan beberapa ketidaknyamanan diantaranya lebih sulit untuk difahami, sehingga mereka lebihsuka untuk mencetak di kertas dan dibaca kemudian difahami. Kesulitan kedua adalah, para pengguna merasa tidak nyaman ketika harus membaca dan mengetik dokumen pada saat sedang bersama dengan pasien mereka. Mereka menganggap akan kehilangan kontak mata dan mengganggu fokus komunikasi antara tenaga medis dengan pasiennya, dan hal tersebut dianggap sikap yang tidak sopan (Dykstra, et al., 2009). 3.2. PAPERLESS OFFICE PARADOx Konsep paperless office dalam perjalanannya ternyata tidak menunjukkan pengurangan penggunaan kertas yang signifikan. Dicatat oleh Sellen dan Harper, sebuah penelitian menunjukkan hasil yang cukup mengejutkan, ternyata pengenalan surat elektronik pada suatu organisasi dapat menyebabkan peningkatan penggunaan kertas sebesar 40% (secara rata-rata) (Sellen & Harper, 2003). Richard York menyebut hal ini dengan istilah Paperless Office Paradox (York, 2006). Kemunculan teknologi dijitalisasi dengan komputer diiringi dengan munculnya mesin pencetak dokumen (printer) yang merupakan salah satu penyebab peningkatan konsumsi kertas, dengan adanya berbagai kemudahan dalam proses editing dokumen, hingga mencetak dan menggandakannya. Hal inilah yang dapat menjelaskan terjadinya Paperless Office Paradox (York, 2006). 3.3.
DIJITALISASI MENGAKIBATKAN KONSUMSI ENERGI MENINGKAT Dijitalisasi ternyata menyebabkan dampak lainyang ternyata cukup berbahaya, yakni peningkatankonsumsi energi, yang dapat diakibatkan oleh pen-gelolaan konsumsi energi yang kurang baik (Bartels, 2010). Media dijital dan konsumsi energi yang berlebihan berkontribusi dalam pemanasan global dengan meningkatnya penggunaan listrik.
28
Media dijital seperti komputer, e-book, i-pod, telepon se-luler, konsol permainan, jaringan telekomunikasi, dan data center memerlukan energi besar yangmengakibatkan penggundulan hutan besar-besaran, perusakan lingkungan dan ketidak seimbangan ekologi, melebihi dampak yang diakibatkan oleh produksi kertas terhadap lingkungan. Peningkatan energi bukan sekedar diakibatkan oleh penggunaan perangkat dijital tersebut, namun juga untuk pembuatan perangkat tersebut. Hasil riset yang dilakukan oleh Departemen Energi Amerika Serikat mengestimasikan bahwa konsumsi listrik yang digunakan oleh pusat data meningkat dua kali lipat pada tahun 2000 hingga tahun 2006, mencapai angka lebih dari 60 miliar kilowatt jam per tahun, kurang lebih sama dengan jumlah listrik yang digunakan oleh 559.608 rumah dalam satu tahun. Badan Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika Serikat juga memperkirakan bahwa angka ini akan berlipat ganda lagi pada tahun 2011 (Carli, 2010). Pembangkit tenaga listrik yang memasok kebutuhan energi tersebut beroperasi pada batubara. Penambangan batu bara biasanya dilakukan dengan cara tambang terbuka (surface mining). Cara ini berpotensi menyebabkan kerusakan lahan. Penyebab kerusakan lahan dan manusia merupakan faktor utama terjadinya kerusakan lingkungan (ekosistem). Di Indonesia lahan-lahan pertambangan kebanyakan terdapat di wilayah luar Pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kita mengetahui pula bahwa Kalimantan merupakan wilayah dengan kawasan hutan lindung yang terbesar, namun dengan datangnya penambangan ini ekosistem akan rusak (Wisnu, 2010). Selain kerusakan lahan, akibat lain yang terjadi adalah hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi, selain kanker paru-paru, penyakit jantung dan penyakit lainnya pada penduduk lokal. Pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar batu bara memancarkan sulfur dioksida dan nitrogen oksida ke atmosfer, menyebabkan hujan asam yang menghancurkan saluran luas hutan gugur, satwa liar, dan keanekaragaman hayati yang kaya. 4. KOMPUTER TABLET SEBAGAI KATALISATOR PAPERLESS OFFICE 4.1. KARAKTERISTIK KOMPUTER TABLET Komputer Tablet atau Tablet PC, singkatan dariTablet Personal Computer, adalah sebuah komputer personal yang mudah dibawa (portable), yangdilengkapi dengan layar sentuh sebagai perangkat input utama. Konsep ini bermula pada saat AlanKay dari Xerox Palo Alto Research Center (PARC) pada tahun 1968 membuat penelitian mengenai perangkat dijital yang sesuai untuk anak-anak (Kay,
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
1972). Perangkat yang diusulkan diberi nama Dynabook, sebuah laptop dengan ukuran kecil yang hemat dalam hal konsumsi daya dan dilengkapidengan software untuk mempermudah anak-anakdalam mengakses media dijital dan input pena, namun perangkat ini tidak pernah dibangun atau diimplementasikan dengan input pena. Berkaitan dengan pentingnya energi, tren pengembangan perangkat komputer kemudian bergeser ke arah teknologi komputer tablet yang diklaim lebih hemat daya (Hallaren, 2010). Proyek penelitian Dynabook sebagian berasal dari kebutuhan militer Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk mempermudah dokumentasi pemeliharaan, perbaikan dan operasional untukperlengkapan militer. Dalam perkembangan selanjutnya, berbagai vendor seperti Microsoft, Apple dan Toshiba berlomba-lomba untuk membuat perangkat komputer tablet dengan mengadopsi konsep Dynabook. Dari sinilah istilah komputer tablet pertama kali dipopulerkan oleh Microsoft pada tahun 2001. Kini komputer tablet mengacu pada setiap komputer pribadi yang berukuran tablet, pun jika tidak menggunakan Windows melainkan sistem operasi PC yang lain. Kelebihan komputer tablet dibandingkan dengan komputer desktop antara lain : • Sangat berguna untuk pemakaian yang tidak memungkinkan untuk memegang keyboard dan mouse seperti pada posisi tiduran di tempat tidur, saat berdiri atau membawa dengan satu tangan. • Lebih ringan, model konsumsi daya yang rendah dapat berfungsi sama dengan pembaca buku elektronik seperti Amazon Kindle (sebuah perangkat keras untuk membaca buku elektronik). • Layar sentuh membuat navigasi menu lebih mudah daripada penggunaan konvensional dengan keyboard dan mouse pada beberapa konteks seperti manipulasi gambar, musik atau permainan yang banyak menggunakan gerak mouse. • Lukisan dijital dan manipulasi gambar lebih presisi dan intuitif daripada menggunakan mouse. • Kemudahan dan kecepatan memasukkan data untuk diagram, notasi matematik dan simbol. • Memungkinkan untuk input universal melalui berbagai keyboard lokal sesuai bahasa. • Beberapa pengguna merasa lebih nyaman dengan input pena atau menggunakan jari untuk menunjuk dan menyentuh obyek tertentu. • Komputer tablet biasanya memiliki masa hidup batere yang lebih lama daripada laptop atau netbook (Hallaren, 2010). Jika ditelaah secara mendalam, karakteristik komputer tablet ini sebenarnya dapat dikaitkan dengan
kendala paperless office yang diungkapkan oleh Sellen & Harper, yakni masalah simbolik, biaya dan interaksional (Sellen & Harper, 2003). Dari sisi bi-aya terutama, meskipun tidak dapat dibandingkansetara dengan kertas, namun setidaknya tren saat ini terus menunjukkan penurunan harga komputer tablet, seiring dengan semakin canggihnya perkembangan teknologi dan semakin banyak produsen komputer tablet yang semakin bersaing. Demikian juga dalam hal interaksional, seiring dengan perkembangan kecanggihan teknologi, komputer tablet saat ini terus berevolusi mengikuti kebutuhan penggunanya dalam hal interaksi. Dibandingkan dengan beberapa kelebihan yang dimiliki, komputer tablet memiliki beberapa kekurangan sebagai berikut : • Kecepatan inputnya relatif lebih rendah. • Secara aspek ergonomi tidak senyaman komputer desktop. • Kemampuan video relatif lebih rendah, hal ini dikarenakan kemampuan pemrosesan video yang lebih kecil. • Layar komputer tablet lebih sensitif dan memiliki resiko rusak yang lebih tinggi. • Tidak ada keyboard (secara umum, meskipun dapat ditambahkan) dan layarnya lebih kecil. 4.2. PENELITIAN TENTANG KOMPUTER TABLET Beberapa penelitian tentang komputer tablet telahdilakukan oleh beberapa peneliti di negara-negara maju. Beberapa diantaranya dikaitkan dengan kebiasaan membaca, ditinjau sebagai alat pembelajaran dan penerimaan informasi. Beberapa penelitian penggunaan komputer tablet untuk pendidikan tingkat lanjut dilakukan oleh (Benson & Pargas, 2008), (Bilén, et al., 2008) dan (Romney, 2009) dimana tablet digunakan untuk membantu pendidikan di universitas khususnya pada fakultas teknik. Meskipun dilakukan dengan metode dan cara yang berbeda, ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa komputer tablet terbukti memiliki hasil yang positif untuk pembelajaran siswa. Demikian pula dalam bidang kesehatan, penelitian komputer tablet telah dilakukan oleh Jutta G. Richter MD dkk dari University Duesseldorf, Jerman, yang terbukti menunjukkan hasil yang positif bagi para penderita radang sendi (remathoid arthritis) dibanding dengan penggunaan kuesioner yang masih berbasis teknologi kertas (Richter, Nixdorf, Becker, Koch, Monser, & Schneider, 2006). Dalam menjawab salah satu kendala paperless office tentang kertas sebagai media pengambil data
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
29
primer sebelum diinput ke dalam sistem dijital, sebuah perusahaan yang bernama Mi-Corporation di Amerika telah mengembangkan formulir elektronik untuk tablet yang dapat dicoret dan diisi langsung dengan menggunakan pena stylus, mirip seperti kertas. Perusahaan ini juga telah melakukan survei kepada 121 perusahaan yang ditanyakan mengenai mobilitas enterprise. Dari hasil survei dapat disimpulkan bahwa para responden sepakat mengenai pentingnya mobilitas enterprise dengan komputer tablet sebagai salah satu alat pendukungnya (Shabani L. , 2013). Penemuan lain dikembangkan oleh peneliti dari Human Media Lab di Queen’s University bekerjasama dengan Plastic Logic didukung oleh prosesor Intel Core, menunjukkan inovasi terhadap perangkat komputer tablet yang hampir menyerupai kertas, dinamakan PaperTabs. PaperTabs ini diklaim sebagai tablet yang sangat ringan namun handal, sehingga perangkat tersebut dapat dengan mudah diletakkan di meja seakan-akan pengguna merasa sedang meletakkan sebuah majalah. Cukup dengan menekuk satu sisi dari layarnya, pengguna dapat langsung menavigasi halaman seperti membaca sebuah majalah, tanpa harus menekan tombol apapun (Human Media Lab, 2013). 4.3. PERUBAHAN BUDAyA MEMBACA Terkait dengan salah satu kendala paperless office seperti yang disebutkan oleh Richard Walker yakni banyak orang yang lebih menyukai membaca melpermasalahan paperless office Simbolik Biaya
Interaksional Efisiensi menimbulkan sisa waktu untuk mengulang pekerjaan Otomasi memerlukan kertas sebagai data primer Kenyamanan membaca
Paperless office paradox Masalah konsumsi energi
alui kertas daripada melalui media dijital (Walker, 2009), suatu penelitian yang dilakukan oleh Ziming Liu dari School of Library and Information Science, San Jose State University, Amerika, menyatakan bahwa kebiasaan membaca generasi muda saat ini telah berubah, seiring dengan meningkatnya jumlah dokumen eletronik yang ada. Perubahan kebiasaan tersebut antara lain lebih sering menghabiskan waktu untuk menjelajah (browsing) dan membaca cepat (scanning), membaca dengan men- cari kata kunci (keyword spotting), membaca sekali (one time reading), membaca tidak berututan (non linear reading) dan membaca secara selektif, dengan berkurangnya waktu untuk deep reading dan concentrated reading. Annotating dan highlighting merupakan kebiasaan yang seringkali dilakukan melalui media kertas. Bagaimanapun, kebiasaan tradisional tersebut tidak terbawa ketika membaca dokumen dijital (Liu, 2005), padahal saat ini, komputer tablet dapat melakukan hal tersebut. Secara kontradiktif, Shabani dan Kharaji mengatakan bahwa meskipun telah diprediksikan bahwa kertas akan menghilang di era dijital dewasa ini, namun ternyata masih banyak orang yang lebih suka menjadikan media kertas sebagai media untuk kegiatan membaca utama, terutama dalam hal deep reading. Di sisi lain, seiring dengan perkembangan 5. TEKNOLOGI LAIN yANG PENTING UNTUK MENDUKUNG PAPERLESS OFFICE Dalam konteks paperless office, sebenarnya masih penelitian / fitur komputer tablet Digital signature Alternatif perkembangan teknologi cloudcomputing dapat dipadukan dengan komputer tablet sebagai web client (Vouk, 2008). Penemuan PaperTabs yang sangat mirip dengan kertas (Human Media Lab, 2013) System Integration Pengembangan formulir elektronik (Shabani L. , 2013) Penemuan PaperTabs yang sangat mirip dengan kertas (Human Media Lab, 2013). Perubahan budaya membaca (Shabani & Kharaji, 2010) (Liu, 2005). System Integration Komputer tablet memiliki model konsumsi daya yang rendah (Hallaren, 2010)
Tabel 1 Pemetaan permasalahan paperless office dan penelitian komputer tablet
30
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
banyak sekali penelitian dan pekerjaan yang perludilakukan untuk mewujudkannya. Tren teknologipendukung yang saat ini sedang berkembang antara lain, teknologi cloud computing, digital signature dan system integration. Teknologi cloud computing merupakan alternatif pemrosesan komputasi (hardware dan software) melalui layanan yang bisa diakses melalui jaringan (biasanya internet). Hadirnya teknologi ini menawarkan alternatif biaya lebih murah daripada membangun pusat data dari awal (Vouk, 2008) dan hanya memerlukan koneksi internet dan browser sebagai alat pengakses data. Sedangkan yang disebut dengan teknologi digitalsignature adalah tanda tangan dijital yang berfungsi sebagai jaminan otentikasi data dalam bentuk dijital yang memastikan bahwa data yang dikirimkan/ dimiliki adalah benar dan asli. Perlu sosialisasi lebih lanjut mengenai kepercayaan pengguna dalam hal ini. Kemudian teknologi lain yang penting dalammendukung paperless office ini adalah integrasi sistem. Yang dimaksud adalah bagaimana membuat dijitalisasi ini menjadi terintegrasi secara menyeluruh dalam semua unit kerja yang terkait, sehingga tidak lagi diperlukan adanya proses manual diantara pekerjaan kantor.
Gambar 3 PaperTabs : Tablet yang mirip kertas (Human Media Lab, 2013)
6. KESIMPULAN Pada beberapa hasil penelitian tentang komputer tablet tersebut, secara umum kita dapat melihat bahwa sebenarnya komputer tablet memiliki peran positif dalam beberapa fungsi pekerjaan. Meski tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini terkait dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam implementasi paperless office. Pemetaan antara kendala paperless office yang diungkapkan dalam studi literatur di atas dengan hasil penelitian teknologi komputer tablet dapat dilihat dalam tabel 1. Beberapa kendala yang diungkapkan oleh beberapa peneliti dalam implementasi paperless office ternyata dapat dijawab dengan munculnya generasi komputer tablet yang dewasa ini semakin canggih. Meskipun beberapa karakteristik kertas memang belum dapat tergantikan. Diharapkan dengan munculnya kecanggihan komputer tablet ini dapat semakin mendorong terwujudnya konsep paperless office seperti yang digagas para pencetusnya pertama kali. Untuk kendala kertas sebagai simbolik, penemuan dan perkembangan teknologi digital signature perlu lebih digencarkan lagi dan hal ini merupakan satu topik besar yang juga dapat menjadi katalisator untuk implementasi paperless office. Sedangkan untuk permasalahan efisiensi yang menimbulkan sisa waktu untuk mengulang pekerjaan dan paperless office paradox, dapat dijawab oleh terintegrasinya sistem secara menyeluruh, sehingga proses otomasi benar-benar dapat dianggap sempurna dari seluruh unit kerja yang terkait. 7. PENELITIAN LANJUTAN Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai damp ak penggunaan komputer tablet secara langsung pada gagasan paperless office. Tantangan terbesar dari sebuah teknologi adalah memindahkan pola kerja penggunanya kedalam platform dijital. Hal ini bisa diawali antara lain dengan: Pengembangan aplikasi dengan desain antar muka yang lebih baik. Fungsionalitas aplikasi pendukung yang harus semakin bersahabat. Perbaikan sistem keamanan dijital untuk memastikan pengguna bahwa proses dijitalisasi yang dilakukan aman dan valid datanya. Integrasi dalam proses dijitalisasi pekerjaan dengan menghubungkan fungsi antar unit secara menyeluruh.
Gambar 2 Formulir Elektronik pada Komputer Tablet (www.mi-corporation.com) Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
31
DAFTAR PUSTAKA 1. Bartels, P. (2010, Desember 31). Is Going Paperless Really Good for the Environment? Dipetik Februari 27, 2013, dari Knoji: http:// going-green-recycling.knoji.com/is-going-paperless-really-good-for-the-environment/ 2. Benson, L. C., & Pargas, R. P. (2008). Work in Progress - Tablet PCs as Interactive Web-Based Instruction Tools in a First Year Engineering Course. 38th ASEE/IEEE Frontiers in Education Conference (pp. T4A-15-T4A-17). Saratoga Springs, NY, October 22 – 25, 2008: IEEE Computer Society. 3. Bilén, S. G., Lee1, D., Messner, J. I., Nguyen, H. T., Simpson, T. W., Techatassanasoontorn, A. A., et al. (2008). TABLET PC USE AND IMPACT ON LEARNING IN TECHNOLOGY AND ENGINEERING CLASSROOMS: A PRELIMINARY STUDY. In R. H. Reed, D. A. Berque, & J. C. Prey (Eds.), The Impact of Tablet Pcs and Pen-based Technology on Education: Evidence and Outcomes. West Lafeyette, Indiana: Purdue University Press. 4. Business Week. (1975, Juni 30). The Office of the Future. Dipetik Desember 20, 2012, dari Bloomberg Business Week - Technology: http://www.businessweek.com/ stories/1975-06-30/the-office-of-the-futurebusinessweek-business-news-stock-market-and-financial-advice 5. Carli, D. (2010, April 14). Going Paperless: Not as Green as You May Think. Dipetik Januari 27, 2013, dari GreenBiz: http://www. g r een b iz .co m/b lo g/2010/04/14/g o in gpaperless-not-green-and-tree-friendly-youthink?page=0%2C1 6. Divisi Penulisan & Multimedia Move Indonesia. (2007). Kertas Dalam Kehidupan Manusia. (B. DM, U. Hidayati, & A. Widjajanto, Eds.) Mojokerto: Move Indonesia. 7. Dykstra, R. H., Ash, J. S., Campbell, E., Sittig, D. F., Guappone, K., Carpenter, J., et al. (2009). Persistent Paper: The Myth of “Going Paperless”. American Medical Informatics Association (AMIA) Annual Symposium, (pp. 158–162). 8. Hallaren, G. (2010, Juli 28). Dipetik Maret 07, 2012, dari TownHall Investment Research: http://www.townhallresearch.com/Slides/ Tablet%20primer.pdf
32
BIOGRAFI PENULIS : N. Nurul Q, S.Kom, M.T.I Program Studi Teknik Informatika Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
PERANCANGAN ALGORITMA EFEK TIF UNTUK MENINGK ATK AN EFISIENSI ENERGI MENUJU GREEN COMPUTING Oleh: Prio Handoko, M.T.I ABSTRAK
Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi telah menjadi bagian dari keseharian kita. Aplikasi komputer baru, inovasi dalam perangkat lunak dan perangkat keras telah membuat pengguna dapat menggunakan teknologi dalam kesehariannya. Inovasi ini tidak dapat terjadi tanpa peran dari programmer IT. Perubahan yang cepat ini mempunyai dampak pada lingkungan. Perangkat keras IT sebagai perang-
kat elektronika mengeluarkan CO2 dan emisi gas rumah kaca dalam pemakaiannya. Ketika algoritma program tidak efektif, perangkat elektronik perlu bekerja lebih keras yang hasilnya adalah penggunaan energi yang berlebihan. Algoritma yang lebih efektif akan menggunakan energi yang lebih rendah. Makalah ini meneliti peranan programmer IT dalam mendesain perangkat lunak melalui algoritma yang efektif.
ABSTRACT
The use of Information and communication technology has been part of our daily life. New computer applications, innovation in software and hardware have enable users to use technology in everyday life. These innovations cannot be successful without the role of IT programmers. These rapid changes have significant impact on the environment. IT hardware as electronic devices releases CO2 and green house gas emission when in use. When the algorithm is not effective in running the program, the electronic devices needs to work harder which in turn resulted more power consumption. The more effective the algorithm is the less energy consumed. This paper investigates the role of IT programmers in designing software through effective algorithm.
1. PENDAHULUAN Isu pemanasan global memang telah lama diku mandangkan dan banyak ilmuwan yang telah me neliti mengenai fenomena-fenomena yang dilansir sebagai dampak dari perubahan ikim tersebut, mulai dari perubahan iklim ekstrim hingga bencana- bencana alam yang terjadi di berbagai belahan du nia dan kenaikan rata-rata suhu lapisan atmosphere yang dekat dengan permukaan bumi yang dapat mengakibatkan perubahan pola iklim global[18]. Hal ini tentunya bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi justru karena ulah manusia itu sendiri yang secara langsung ataupun tidak telah melakukan aktivitas yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim tersebut. Aktivitas seperti, penebangan hutan secara liar dan penggunaan
bahan-bahan kimia yang dapat merusak lapisanozon bumi merupakan beberapa contoh bagaimana manusia memperlakukan bumi. Selain itu sektor transportasi, sektor industri serta sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) baik dari sisi perangkat lunak maupun perangkat keras turut memperparah kondisi tersebut. Oleh karena itu, dalam menanggapi hal tersebut, manusia kini dituntut un tuk dapat memberikan kontribusi agar dapat mengurangi dampak dari pemanasan global tersebut dengan melakukan 3 hal atau yang lebih dikenal sebagai 3R; reduce, refurbish dan recycle. Reduce, mengurangi penggunaan barang-barang yang sekiranya kurang ramah lingkungan, termasuk mengurangi penggunaan plastik, mempersingkat waktu mandi, mematikan listrik yang tidak terpakai.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
33
Refurbish, menggunakan ulang barang-barang yang masih layak pakai dan/atau memperbaruinya sehingga memiliki waktu yang lebih lama untuk digunakan. Recycle, memilih barang-barang yang mempunyai dapat didaur ulang atau memisahkan sampah yang dapat didaur ulang dan yang tidak bisa didaur ulang. Terlepas dari 3R yang harus dilakukan untuk meminimalkan dampak pemanasan global, saya lebih memfokuskan pada dampak pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi terhadap kondisi ini, karena pemanfaatan TIK, baik sisi perangkat lunak (software) - seperti aplikasi yang ramah lingkungan dan perancangan algoritma efektif untuk meningkatkan komputasi dan menurunkan konsumsi energi - maupun perangkat keras (hardware) - penggunaan PC, notebook, server, power supply, sistem pendingin (cooling system), infrastuktur TI berhubungan dengan emisi gas, yang lebih dikenal dengan greenhouse gas (GHG), yang dilepas ke atmosphere bumi sehigga memberikan kontribusi terhadap terbentukya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang pada akhirnya berdampak kepada perubahan iklim bumi. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana hubungan antara pemanfaatan TIK dari sisi perangkat lunak (software) dan pemanasan global serta cara yang dapat dilakukan sebagai bagian dari kampanye hijau (green campaign) untuk meminimalkan dampak dari pemanasan global melalui pemanfaatan TIK, khususnya dalam hal perancangan algoritma yang efektif, baik sebagai bagian awal pembangunan sebuah aplikasi maupun untuk meningkatkan kinerja perangkat TIK. 1.1. TIK DAN PEMANASAN GLOBAL Secara langsung dampak pemanfaatan TIK memang tidak dapat dirasakan pengaruhnya ter dap kondisi iklim bumi pada saat ini karena TIK menyumbang 2–3% emisi gas GHG seluruh dunia[1][4][7] dan telah termasuk emisi oleh perusahaan TIK secara langsung serta konsumsi
Gambar 1. Perkiraan penyebaran emisi GHG Co2 pemanfaatan TIK dunia Sumber: http://www.greentouch.org/index. php?page=how-the-ict-industries-can-help-theworld-combat-climate-change
34
energi peralatan TIK. Fixed-line telekomunikasi mencapai sekitar 15% dari total, sementara telekomunikasi seluler memberikan kontribusi tambahan 9% dan LAN dan telekomunikasi kantor sekitar 7% [4]. Pemanfaatan TIK diharapkan berkembang pesat selama dekade mendatang, terutama di negaranegara berkembang. Jika tidak ada yang dilakukan, kontribusi TIK terhadap emisi gas rumah kaca global diproyeksikan akan berlipat ganda menjadi sekitar 4% pada tahun 2020[4]. Emisi gas yang dihasilkan dari pemanfaatan TIK ini merupakan akibat adanya pelepasan gas Co2 ke udara ketika perangkat TIK digunakan. Jumlah rata-rata energi yang dikonsumsi oleh PC - sebagai salah satu pemanfaaan TIK - dalam 1 tahun sesuai dengan emisi 1 ton Co 2 (MtCo2e – Million metric tons of carbon dioxide equivalent) [9]. Selain itu, 70% dari tempat pembuangan sampah timbal, kadmium dan merkuri berasal dari industri TI[1]. Ketika perangkat TIK digunakan, perangkat membutuhkan daya dan daya ini mengakibatkan komponen-komponen yang berada di dalam perangkat menjadi panas dan panas inilah yang kemudian akan melepaskan gas Co2 ke udara. Semakin banyak perangkat TIK yang digunakan, maka akan semakin banyak pula emisi gas GHG yang terlepas ke udara dan semakin banyak emisi gas GHG yang terlepas ke udara, maka akan semakin meningkatkan dampak efek rumah kaca terhadap bumi. Gas Co2 memang bukan satu-satunya yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca, gas metana (CH4) dan nitro oksida (N2o) merupakan unsur kimia yang juga turut terlepas ke udara yang juga turut andil dalam pembentukan efek rumah kaca. 1.2. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Menurut sebuah komisi dunia yang menangani permasalahan pembangunan dan lingkungan dunia yaitu United Nationals Global Commission on the Environment and Development (1987), yang dimaksud dengan sustainable development atau pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan tanpa mengganggu kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan definisi mengenai pembangunan yang berkelanjutan tersebut, maka sebuah pembangunan yang dilakukan, dalam bentuk apapun dan menyangkut sektor atau bidang apapun sudah seharusnya juga memikirkan kelangsungan hidup generasi yang akan datang, bukan hanya generasi dari anak cucu kita, tetapi juga kelangsungan hidup ekosistem bumi. Hal ini merupakan tanggung-
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
penanganan limbah industri. Para pelaku industri, melakukan manajemen pembuangan limbah yang baik agar tidak merusak lingkungan, menggunakan material-material yang ramah lingkungan, penggunaan bahanbahan kimia yang berbahaya dan mensubstitusinya dengan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan. Mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan menciptakan kondisi lingkungan yang lebih baik, para pelaku TI diharapkan dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan ini dari dua sisi, perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware).
Gambar 2. Ilustrasi efek rumah kaca Sumber: http://infactcollaborative.com/environment/interesting-facts-about-global-warming.html
jawab semua pihak untuk turut serta dalam men ciptakan masa depan yang lebih baik bagi geneasi berikutnya. Pemerintah, individu dan para pelaku industri, baik yang bergerak di sektor transportasi, manufaktur maupun teknologi informasi dan komunikasi harus bersama-sama untuk membuat kondisi bumi yang lebih baik. Pemerintah menetapkan regulasi-regulasi dan sanksi-sanksi yang berkenaan dengan penggunaan material-material berbahaya bagi sektor industri manufaktur, menetapkan regulasi mengenai batas ambang emisi yang diperbolehkan bagi kendaraan-kendaraan bermotor ataupun mesin-mesin industri dan regulasi mengenai
1.3. TIK DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pemanfaatan TIK – bagaimanapun – mempengaruhi lingkungan kita dalam berbagai cara. Setiap tahapan siklus hidup perangkat TIK, dimulai dari produksi, penggunaan hingga tahap pembuangan limbah perangkat TIK, menyebabkan permasalahan lingkungan. Manufaktur komputer dan berbagai komponen elektronik mereka dan non-elektronik mengkonsumsi listrik, bahan baku, bahan kimia dan air, dan menghasilkan limbah berbahaya. Semua ini secara langsung atau tidak langsung meningkatkan emisi karbon dioksida dan dampak lingkungan. Jumlah konsumsi energi listrik oleh server, komputer, monitor, data peralatan komunikasi dan pusat data sistem pendingin terus meningkat. Hasil peningkatan ini dalam emisi gas rumah kaca yang lebih besar, seperti listrik sebagian besar dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil seperti batubara, minyak dan gas. Misalnya, setiap PC yang digunakan menghasil-
Gambar 3. Siklus hidup TIK Sumber: http://www.jisc.ac.uk/whatwedo/topics/greenict/jischelp.aspx Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
35
kan sekitar satu ton karbon dioksida (CO2) setiap tahun dan tidak dipungkiri bahwa material komponen komputer mengandung bahan beracun. Semakin tinggi jumlah pengguna yang membuang perangkat lama, seperti monitor, keyboard, mouse, printer dan peralatan elektronik lainnya 2 hingga 3 tahun setelah pembelian di tempat pembuangan sampah, hal ini bukan hanya akan mencemari air tetapi secara luas akan mencemari bumi. Peningkatan jumlah komputer dan penggunaannya, bersama dengan penggantian sering mereka, membuat dampak lingkungan TI menjadi perhatian utama. Akibatnya, ada tekanan yang meningkat pada industri TI, bisnis dan individu untuk membuat TI ramah lingkungan sepanjang siklus hidupnya, dari lahir sampai mati untuk kelahiran kembali. Disinggung pada bagian awal dari tulisan ini, bahwa para pelaku TI dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan ini dari dua sisi; perangkat lunak dan perangkat keras. 1.3.1. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DARI SISI PERANGKAT KERAS Sebagai rangkaian dari upaya melakukan kampanye hijau, banyak hal yang dapat dilakukan oleh para pelaku TI dari sisi perangkat keras, anatar lain: 1. Khususnya para produsen perangkat-perangkat TIK, dituntut untuk dapat menciptakan sebuah perangkat yang menggunakan material ramah lingkungan dan mengelola dengan baik limbah TIK sebagai sisa hasil produksi (Murugesan, 2008). 2. Menggunakan teknik hardware virtualization, yaitu Ini menyembunyikan karakteristik fisik dari platform komputasi dari pengguna[3][11], sehingga perangkat pengguna dapat saling berkomunikasi walaupun memiliki perbedaan sistem operasi. Hal ini akan mengurangi kegiatan penyediaan perangkat keras untuk menga-
komodir kebutuhan komunikasi antar perangkat dengan sistem operasi yang berbeda-beda. 1.3.2. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DARI SISI PERANGKAT LUNAK Pelaku TI, khususnya programmer dan perancang aplikasi/utilitas dapat melakukan beberapa hal untuk mendukung kampanye hijau ini dengan cara : 1. Melakukan implementasi TIK pada proses bisnis dari bentuk konvensional ke bentuk terkomputerisasi untuk mengurangi emisi gas GHG di udara. 2. Membangun aplikasi yang ramah lingkungan dalam artian proses komputasinya membutuh kan daya yang rendah sehingga dapat melakukan penghematan energi[7][8]. 3. Melakukan perancangan algoritma efektif : a. Sisi aplikasi, sebagai dasar atau panduan pembuatan sebuah program, efektif mengacu kepada pencapaian target hasil pengolahan program yang ingin dicapai menggunakan sejumlah komputasi yang rendah dengan tetap mempertahankan performa kinerja yang baik, sehingga dapat mengurangi beban sistem yang secara langsung akan berimbas pada efisiensi daya komputasi. b. Sisi perangkat, dilakukan untuk meningkatkan performa perangkat untk menurunkan pemakaian energi. 2. TINJAUAN TEORITIS 2.1. GREEN IT Green IT atau green computing atau ICT sustainability, mengacu pada teknologi sistem informasi yang ramah lingkungan[7][8]. Ramah lingkungan dalam hal ini memiliki pengertian bahwa sebuah komputasi yang dilakukan harus dapat melakukan efisiensi terhadap penggunaan sumber energi, baik waktu komputasi maupun konsumsi daya yang di-
Gambar 4. Dimensi Green IT
36
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
gunakan untuk menyelesaikan suatu kegiatan komputasi. Green IT mengacu kepada 3 hal yang mendasari peningkatan kelestarian lingkungan melalui pendekatan TIK[7][8]. Greening IT system and usage, melakukan perancangan, pembuatan, penggunaan dan pembuangan limbah perangkat keras TIK, perangkat lunak dan sistem komunikasi yang efektf dan efisien yang memiliki dampak minimal terhadap lingkungan. “Using IT to support environmental sustainability”, penggunaan TI dan sistem informasi untuk memberdayakan inisiatif lingkungan. “Using IT to create green awareness”, memanfaatkan TIK untuk membantu menciptakan kesadaran para pemangku kepentingan dan mempromosikan green campaign. Salah satu contoh bagaimana TIK dimanfaatkan untuk dapat mengurangi dampak emisi gas GHG (gambar 4) melalui implementasi sistem pembacaan meter otomatis dengan pemantauan terpusat yang terkoneksi menggunakan jaringan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang[17]. Sebelum dilakukannya otomatisasi manfaatkan TIK, pembacaan meter penggunaan air/gas/listrik dilakukan dari rumah ke rumah secara manual, kemudian data hasil pembacaan dari rumah ke rumah terebut diberikan ke pusat untuk disimpan ke dalam basis data dan terakhir, untuk memastikan bahwa tidak terjadi kesalahan pembacaan dan mungkin kerusakan yang terjadi pada alat pengukur pemakaian dilakukan pemeliharaan alat dengan cara mendatangi kembali dari rumah ke rumah. Pembacaan meter yang dilakukan secara manual mengharuskan petugas mendatangi satu rumah ke rumah yang lainnya menggunakan kendaraan bermotor dalam jumlah banyak karena lokasi pembacaan meter pun jumlahnya cukup banyak. Banyakanya kendaraan bermotor yang digunakan
untuk mendatangi lokasi-lokasi pembacaan tentunya akan meningkatkan kadar CO2 di udara sehingga meningkatkan kadar polusi udara. Berbeda dengan ketika TIK sudah diimplementasikan dalam proses pembacaan meter ini, petugas tidak lagi mendatangi satu rumah ke rumah lainnya, karena tugas pembacaan meter sudah digantikan oleh sebuah alat meter yang terkoneksi langsung ke pusat data melalui jaringan komputer. Menggantikan cara manual dengan pemanfaatan TIK tentunya secara signifikan akan mengurangi emisi gas GHG CO2. 2.2. ALGORITMA Algoritma merupakan urutan langkah-langkah logis yang tersusun secara sistematis dan logis yangdigunakan sebagai rujukan memecahkan suatumasalah[6]. Kata “algoritma” itu sendiri diambildari nama belakang seorang matematikawan, astronom dan geografer berkebangsaan arab selama “Al-Khawarizmi” dengan nama lengkap Abu Ja’far Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi. Perlu digarisbawahi, bahwa penekanan algoritma adalah pada urutan langkah-langkah logis yang ter-susun secara sistematis, artinya algoritma harusmengikuti suatu urutan tertentu dan tidak boleh melompat-lompat. Semakin tidak beraturannya urutan langkah-langkah penyelesaian masalah dalam suatu algoritma akan berdampak pada meningkatnya beban dan konsumsi daya komputasi sistem komputer dan hal ini merupakan tuntutan bagi semua pemrogram aplikasi. Aplikasi merupakan sebuah paket lengkap kumpulan program yang tersusun secara sistematis dan logis yang kemudian akan dieksekusi oleh pemroses, agar pemroses memahami yang diinginkan oleh pemrogram, maka sebuah algoritma kemudian ditulis dalama notasi bahasa pemrograman.
Gambar 5. Solusi hijau berbasis TIK untuk mengurangi emisi GHG gas Co2 Sumber: http://www.ntt.co.jp/kankyo/e/protect/greenbyict/group.html Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
37
2.2.1. PENyAJIAN ALGORITMA Secara umum, penyajian algoritma yang umum digunakan terdiri dari 2 teknik, flowchart dan pseudocode. 2.2.1.1. FLOWCHART Flowchart adalah urutan logika sebuah kegiatan yang merupakan hasil analisa dan digambarkan dengan simbol-simbol yang berisi keterangan[6]. Simbolsimbol flowchart secara garis besar terbagi menjadi 3 jenis: 1. Simbol flow direction, simbol ini menandakan arah alur flowchart yang terdiri dari simbol arus/flow, connector dan offline-connector. 2. Simbol processing, simbol yang menyatakan kegiatan pengolahan yang dilakukan oleh pemroses, baik pengolahan aritmatika maupun logika, terdiri dari simbol process dan decision. 3. Simbol I/O, simbol yang menandakan kondisi masukan data dan keluaran hasil pengolahan yang digambarkan dengan simbol input-output. 2.2.1.2. pSeudo-code Pseudo-code merupakan penjelasan rinci alur logika yang lebih mendekati penulisan program komputer atau algoritma yang harus dilakukan tetapi belum dapat dieksekusi oleh komputer. Pseudo-code terkadang digunakan sebagai sebuah tuntunan langkah-langkah rinci dalam proses pengembangan
Tabel 1. Simbol-simbol flowchart
38
program. Pseudo-code memungkinkan; (1) seorang pemrogram untuk mengarahkan program sesuai dengan rancangan yang telah dibuat sebelumnya dan (2) memberikan programmer sebuah landasan rinci untuk langkah berikutnya dalam menuliskan kode dalam bahasa pemrograman tertentu. 3. ALGORITMA EFEKTIF DAN EFISIENSI ENERGI 3.1. PENTINGNyA ALGORITMA EFEKTIF Merancang sebuah algoritma yang efektif bagi seorang pemrogram adalah penting artinya karena salah satu ciri dari algoritma yang harus dipahami oleh setiap pemrogram adalah bahwa, algoritma haruslah dirancang seefektif dan seefisien mungkin, setiap alur pemikiran logis dibuat sedemikian rupa sehingga dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang masuk akal yang pada akhirnya akan mengarah kepada pengurangan waktu komputasi yang berdampak pada berkurangnya konsumsi daya. Implikasi dari perancangan algoritma yang efektif adalah berkurangnya baris perintah yang dituliskan dalam sebuah program, berkurangnya penulisan baris perintah akan mengurangi beban pengolahan pemroses untuk mengeksekusi setiap baris perintah tersebut, dengan berkurangnya beban penglohan tentunya secara langsung akan mengurangi konsumsi daya. Majalah sains, New Scientist[12] dan Scientific American[13] dalam sebuah artikelnya menuliskan bahwa pada masa sekarang
Gambar 6. Contoh penggambaran flowchart Sumber: http://www.tokutek.com/2011/03/mysql-parti- tioninga-flow-chart/
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
Gambar 7. Contoh penulisan pseudo-code Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Pseudocode
ini jaringan telekomunikasi dimungkinkan hanya mengkonsumsi 1/10000 daya jika menggunakan teknik penulisan progam (coding) yang tepat. Berbicara mengenai teknik penulisan program, maka hal ini akan berkenaan dengan perancangan algoritma sebagai panduan penulisan program, artinya jika sebuah algoritma dapat dituliskan dengan efektif, maka energi yang dikonsumsi untuk pengolahan akan dapat ditekan lebih rendah lagi. 3.2. PERANCANGAN DAN IMPLEMENTASI ALGORITMA EFEKTIF Performa infrastruktur TIK yang diimplementasikan untuk suatu kebutuhan tentunya tidak terlepas dari perancangan algoritma aplikasi/utilitas sebagai dasar instruksi yang harus dilakukan oleh perangkat TIK. Semakin efektif sebuah algoritma dirancang dan kemudian diimplementasikan, maka komputasi yang dilakukan di dalam perangkat TIK akan semakin efisien, baik dari sisi waktu maupun jumlah data yang diproses. Perancangan dan implementasi algoritma efektif dalam pembangunan aplikasi/utilitas untuk perangkat TI sudah banyak dilakukan, beberapa artikel dan tulisan ilmiah telah banyaka dihasilkan untuk memperlihatkan bagaiamana sebuah perancangan dan pemilihan algoritma yang efektif dapat menurunkan penggunaan energi perangkat TIK. 3.2.1. PHySICAL LAyER DRIVEN PROTOCOL AND ALGORITHM DESIGN FOR enerGy-efficient WireleSS SenSor netWorKS[10] Makalah ilmiah ini menjelaskan dua buah tehnik penempatan posisi sensor-sensor terhadap sensor induk. Perangkat sensor yang digunakan adalah microsensor jaringan nirkabel yang digunakan un-
tuk kebutuhan, penginderaan-lokasi, penginderaan lingkungan, pemantauan medis dan penggunaan lainnya yang memiliki kesamaan kebutuhan. Permasalah yang muncul dari penggunaan perangkat microsensor jaringan nirkabel ini adalah pengunaan perangkat ini harus dapat dipergunakan dalam jangka waktu yang panjang, penginderaan yang kuat (seperti pengintaian militer), dimana tantangannya adalah untuk merancang sistem jaringan sensor yang memiliki daya tahan lama dan hal ini akan sangat sulit dilakukan mengingat perangkat memilki keterbatasan dalam hal kebutuhan energi perangkat. Dalam rangka untuk mengatasi permasalah kebutuhan energi perangkat yang terabatas tersebut, penulis menawarkan sebuah rancangan protokol dan algoritma agar jaringan microsensor nirkabel ini dapat memiliki energi tahan yang sangat lama. Perangkat sensor nantinya akan diletakkan menyebar dalam kelompok-kelompok sensor dan masing-masing kelompok ini akan mememiliki sebuah sensor induk (cluster-head) dan setiap sensor, baik sensor anak (child sensor) maupun cluster-head akan dimuatkan sebuah program yang mengontrol perangkat, yaitu FFT (Fast-Fourier Transform), mer-
Gambar 8. (a) Direct technique; (b) Distributed technique
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
39
upakan bagian dari pengontrol perangkat yang mengubah sinyal transmisi hasil penginderaan (beamforming)[14] dan mengubah data yang hasil penginderaan tersebut ke dalam bentuk frekuensi dan LOB (Line of Bearing), merupakan garis pancaran/penginderaa sensor. Algoritma penempatan lokasi cluster-head terhadap sensor child dapat diimplementasikan dalam dua teknik: 1. Direct Technique, teknik yang mengirimkan data ke cluster-head dimana FFT dan beamforming dimuatkan di dalam cluster-head. 2. Distributed Technique, setiap sensor dapat mengubah data lokal sebelum mengirim data ke clusterhead, hal ini dikarenakan FFT ditempatkan di sensor child sedangkan beamforming ditempatkan di cluster-head. Setelah kedua teknik ini dibandingkan berdasarkan penggunaan energi dari setiap perangkat yang digunakan dan implementasi Dynamic Voltage Scaling (DVS), maka dihasilkan bahwa teknik distributed menggunakan energi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan teknik direct. 3.2.2. CHOOSING THE ”BEST” SORTING ALGORITHM FOR OPTIMAL ENERGy
Gambar 9. Perbandingan penggunaan energi teknik direct dan distributed
conSuMption[2] Perhatian utama pada penelitian berikut ini adalah mengurangi konsumsi daya baterai dari sistem perangkat bergerak (mobile) untuk memperpanjang waktu operasi karena perangkat sangat bergantung pada konsumsi daya dari komponen yang digunakan. Makalah ini membahas mengenai kemungkinan strategi yang digunakan oleh sistem perangkat bergerak yang secara efektif untuk mengurangi konsumsi daya. Fokus dari makalah ini didasarkan pada studi kasus yang menggunakan komponen manajemen energi yang secara dinamis dapat memilih algoritma pengurutan (sorting) terbaik
40
dalam komunikasi antar banyak perangkat bergerak dan 2 buah algoritma pengurutan yang dipilih dari 8 algortima pengurutan yang ada, yaitu algoritma pengurutan insertion sort dan quick sort. 3.2.3. INSERTION SORT Sebuah teknik sederhana pengurutan nilai referensi yang memindai nilai satu per satu, mulai dari awal secara berulang-ulang dan memasukkan setiap data ke dalam tempatnya yang benar[15]. 3.2.4. QUICK SORT Sebuah teknik pengurutan nilai sequential dengan cara terus membagi referensi menjadi dua bagian dan memindahkan nilai yang lebih rendah ke satu sisi dan nilai yang lebih tinggi ke yang lain[16]. Makalah ini merupakan sebuah pembuktian mengenai perlu atau tidaknya optimalisasi algoritma pemilahan dilakukan terhadap algoritma insertionsort. Setelah dilakukan pegujian, ternyata hasilnya cukup mengagetkan, karena ternyata masa pakai baterai algoritma insertionsort masih lebih baik jika dibandingkan dengan ketika algoritma ini dioptimalisasikan.
Gambar 10. Perbandingan masa pakai baterai perangkat bergerak antara algoritma pemilahan quicksort dan insertionsort yang tidak diptimalisasikan dan algoritma insertionsort yang dioptimalisasikan.
3.2.5. ENERGy EFICIENT CLUSTERING ALGORITHM FOR MAxIMIzING LIFETIME OF WireleSS SenSor netWorKS[5] Makalah berikut menggunakan algoritma pengelompokkan (clustering algorithm) untuk melakukan efisensi energi perangkat sensor jaringan nirkabel yang bertindak sebagai simpul (node) dalam jaringan nirkabel. Seperti kita ketahui bersama bahwa perangkat sensor dalam jaringan ini merupakan perangkat keras yang sangat bergantung kepada ketersediaan energi, sehingga memaksimalkan
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
masa hidup seluruh jaringan merupakan pertimbangan utama dalam perancangan jaringan nirkabel ini. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah algoritma efisien untuk mengelompokkan sensor-sensor ini menggunakan parameter optimum dan dirancang untuk mengurangi konsumsi daya serta dapat memperpanjang masa hidup sistem. Optimalisasi jarak satu-lompatan (hop) dan mengatur posisi
Gambar 11. Perbandingan total konsumsi daya pengelompokkan sensor dengan jumlah simpul yang berbeda-beda
kelompok sensor-sensor ini dirumuskan dengan meminimalkan konsumsi daya antarkelompok di luar dan antarkelompok di dalam sistem jaringan nirkabel. Selain itu, mekanisme kerja pada setiap cluster-head - yang bertindak sebagai pusat kontrol lokal - tidak akan digantikan oleh cluster-head yang baru hingga mencapai nilai suatu nilai optimum dan waktu optimal mekanisme kerja pada setiap cluster-head dapat dipertahankan melalui optimalisasi jarak satu-lompatan dan mengatur posisi kelompok sensor-sensor. Mekanisme ini akan mengurangi frekuensi memperbarui cluster-head sehingga konsumsi daya untuk membangun cluster-head baru dapat dikurangi. Gambar di atas memperlihatkan hubungan antara total konsumsi daya dan pengelompokkan sensorsensor berdasarkan jumlah sensor yang berbedabeda. Kesimpulan yang dapat diambil dari pengujian algoritma pengelompokkan ini adalah: 1. semakin banyak jumlah simpul dalam sebuah kelompok sensor akan meningkatkan total konsumsi daya, hal ini diakibatkan dari seringnya perbaruan cluster-head, 2. semakin sedikitnya jumlah simpul ditambah dengan implementasi algoritma pengelompokkan dan mengatur posisi kelompok sensor dengan tepat mengurangi perbaruan cluster-head sehingga menurunkan total konsumsi daya, 3. dengan mengoptimalkan jarak satu-lompatan
dan mengatur posisi kelompok sensor-sensor yang tepat, maka semua simpul akan terbagi menjadi kelompok-kelompok statis dengan ukuran yang berbeda yang dapat mempertahankan konektivitas dan mengurangi konsumsi energi untuk melakukan komunikasi antar kelompok, dan 4. pemilihan algoritma pengelompokkan (clustering) mengakibatkan total konsumsi daya untuk komunikasi antar kelompok di luar dan di dalam jaringan nirkabel akan berkurang. Beberapa contoh penelitian diatas telah memperlihatkan bagaimana perancangan, pemilihan dan implementasi sebuah algoritma yang tepat dan efektif dapat mengurangi konsumsi daya. Jika hal ini terus-menerus dikembangkan dan semua orang melakukan hal yang sama, maka lambat-laun konsentrasi emisi gas GHG di udara akan dapat ditekan serendah mungkin dan diharapkan kondisi bumi semakin hari semakin membaik. 4. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari bahasan mengenai perancangan algoritma efektif untuk meningkatkan efisiensi energi ini adalah: 1. porsi emisi GHG perangkat TIK di udara sebenarnya masih lebih kecil jika dibandingkan porsi emisi GHG perangkat non-TIK, hanya sekitar 2-3% tiap tahunnya, hanya saja jika tidak diatasi mulai saat ini, maka tahun 2020 nanti kondisi ini akan meningkat 4 kali lipat, 2. perancangan algoritma efektif tidak hanya dilakukan dengan cara menuangkannya dalam bentuk flowchart ataupun pseudo-code, tetapi dapat dituangkan dalam bentuk rancangan optimalisasi pola letak perangkat TIK dalam sebuah jaringan komputer untulk menurunkan konsumsi daya sistem secara keseluruhan, 3. para pelaku TI, khususnya yang juga berprofesi sebagai peneliti, telah banyak melakukan penelitian mencari solusi melakukan efisiensi energi dari penggunaan perangkat TIK sebgai bentuk kampanye hijau, dan 4. menciptakan sustainable development merupakan tanggungjawab semua pihak, bukan hanya para pelaku TI saja (walaupun prosi emisi GHG cukup rendah), tetapi pemerintah dan setiap individu dari kita pun memiliki andil untuk bersama-sama mengatasi hal ini. Harapan saya sebagai pembahasan lanjutan mengenai perancangan algoritma efektif ini, bahwa adanya pembahasan mengenai perancangan algoritma efektif dan non-efektif berdasarkan sebuah studi kasus yang kemudian hasilnya dibandingkan dengan cara melakukan pengukuran terhadap
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
41
efektifitas algoritna yang dibuat dan mengkaitkannya dengan efisiensi energi. DAFTAR PUSTAKA 1. Brown, E.G., Lee C., 2007, “Topic Overview: Green IT”, Forrester Research Report. 2. Bunse, C., Höpfner, H., Roychoudhury, S., Mansour, E., 2009, ”Choosing the “Best” Sorting Algorithm for Optimal Energy Consumption”, Hal. 199-206, ICSOFT. 3. IBM, “Virtualization in Education”, Oktober 2007, IBM Global Education White Paper. 4. Kumar, R., Lars, M., 2007, “Conceptualizing “Green IT” and Data Centre Power and Cooling Issues”, Gardner Research Paper No. G00150322. 5. Min, X., Wei-ren, S., Chang-jiang, J., Ying, Z., 2008, “Energy Efficient Clustering Algorithm for Maximizing Lifetime of Wireless Sensor Networks”, Hal. 931-934, Intelligent Computation Technology and Automation (ICICTA). 6. Munir, R., 2002, “Algoritma dan Pemrograman I”, Penerbit Informatika Bandung. 7. Murugesan, S., 2008, “Harnessing Green IT: Principles and Practices”, Vol. 10, No. 1, Hal 24- 33, IT Professional. 8. Murugesan, S., Gangadharan, G. R., 2012, “Harnessing IT: Priciples and Practices”, John Wiley and Sons Ltd. 9. Restorick, T., 2007, “An Inefficient Truth”, Global Action Plan Report. 10. Shih, E., Cho, S., Ickes, N., Min, R., Sinha, A., Wang, A., Chandrakasan A., 2001, ”Physical layer driven protocol and algorithm design for energy-efficient wireless sensor networks”, Hal. 272-287, MOBICOM 2001. 11. Turban, E., King D., Lee, J., Viehland, D., 2008, “Electronic Commerce A Managerial Perspective”, Prentice-Hall. 12. New Scientist (2010), World’s Communications Network due an Energy Diet, January, (2010), http://www.newscientist.com/article/ mg20527435.400-worlds-communicationsnetwork-due-an-energy-diet.html, diakses Maret 2013. 13. Scientific American (2010), “Can the World’s Telecoms Slash Their Energy Consumption 1,000-Fold?”, January, http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=green-touchlaunch, diakses Maret 2013. 14. Quantenna Communications, 2013, “Dramatic Improvement in Wi-Fi 802.11n Performance”, http://www.quantenna.com/beamfor ming. html, diakses Maret 2013
42
15. ht t p://w w w.pc mag.c om/e nc y c lope dia/ term/59493/insertion-sort, diakses Maret 2013. 16. ht t p://w w w.pc mag.c om/e nc y c lope dia_ term/0,,t=&i=55708,00.asp, diakses Maret 2013. 17. NTT EAST, “Reducing GHG Emmisions through Automated Meter Reading and Centralized Monitoring System, http://www.ntt. co.jp/kankyo/e/protect/greenbyict/group. html, diakses Maret 2013. BIOGRAFI PENULIS : Prio Handoko, M.T.I Program Studi Teknik Informatika Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
HUBUNGAN NASIONALISME DAN KEADIL AN SOSIAL DI INDONESIA: aK ar SoSio-hiStoriS, ortodoKSi, dan PRAKSISNyA Oleh: Retor AW Kaligis ABSTRAK Makalah ini membahas mengenai peran nasionalisme dan keadilan sosial di Indonesia dalam mengha-
dapi eksploitasi di sektor ekonomi. Makalah ini berkonsentrasi membahas cara meningkatkan peranan masyarakat untuk bekerjasama dalam menciptakan keadilan social.
ABSTRACT
This paper investigates the role of nationalism and social justice in Indonesia in facing foreign exploitation on economy sector. This paper concentrates on empowering people to work together in achieving social justice.
1. LATAR BELAKANG Nasionalisme di Indonesia pernah berhasil mendapatkan loyalitas dan pengorbanan besar dari rakyat. Pada saat Perang Kemerdekaan 1945-1949, rakyat rela berkorban harta benda dan bahkan nyawa demi keyakinan untuk memiliki negara dan pemerintahan sendiri. Namun, nasionalisme di negeri bekas jajahan tidak hanya berbeda dengan nasionalisme di negara-negara Barat. Di antara sesama bekas jajahan sendiri terdapat perbedaan karakteristiknya. Meski ekspansi kolonial Eropa pasca renaissance memiliki pola tertentu, yakni berkaitan dengan sistem pertukaran ekonomi dari kapitalisme modern, di mana daerah-daerah jajahan merupakan ekonomiekonomi satelit yang menghasilkan pertukaran yang tidak adil dan tidak seimbang, terdapat perbedaan cara kolonialisme yang tergantung pada basis material penjajah serta kondisi kemasyarakatan dan kultural negeri jajahan. Belanda memiliki industri yang kurang maju dan menjajah untuk mencari bahan mentah. Karena itu, kekayaan alam dieksploitasi dan rakyat Indo-
nesia diperas. Pada umumnya, sekolah-sekolah modern barat baru didirikan seiring dengan dimulai liberalisasi ekonomi sejak paruh kedua abad ke 19 dalam rangka mengisi tenaga di pemerintahan dan lapangan swasta. Kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi hanya diperuntukkan bagi anggota masyarakat dari strata tertentu: keluarga priyayi dan pedagang luar Jawa1. Dari kalangan terdidik tersebut, nasionalisme sebagai ideologi yang bersumber dari dunia Barat masuk dan berkembang. Kondisi masyarakat kolonial di Hindia Belanda tidak memunculkan kelas menengah kuat yang memerlukan kesatuan kekuatan dengan seluruh rakyat, sehingga melahirkan gerakan nasionalisme yang diarahkan untuk mengangkat derajat rakyat kecil. Hal ini berbeda dengan keadaan masyarakat di India yang dijajah Inggris sebagai pasar karena overproduksi di negeri induk. Imperialisme dagang Inggris menjual berbagai barang ke India, seperti 1. Di tahun 1900, pendapatan bumiputera per kepala setahun sekitar 63 gulden, sedang golongan Eropa 2.100 gulden, dan Timur Asing sekitar 250 gulden. Pada tahun itu hanya 3 orang dari setiap 1.000 penduduk bumiputera yang bersekolah. Dari sekitar 100.000 bumiputera yang bersekolah, hanya 13 orang yang duduk di sekolah menengah (HB). Lihat Simbolon, Parakitri T. Menjadi Indonesia: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas-Grasindo, 1995, h. 222.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
43
gunting, pisau, pakaian, sepeda, hingga mesin jahit. Karena itu sejak awal imperialisme Inggris sudah membuka sekolah dan universitas agar rakyat India punya kemauan dan kemampuan membeli. Implikasinya, corak perjuangan bangsa India untuk melawan kolonial Inggris tak terlepas dari kepentingan kelas borjuasi. Kalangan pengusaha India merasa tersaingi dengan kehadiran kolonial Inggris, sehingga tampil para tokoh pergerakan dari kalangan pengusaha seperti Nehru, Tata, dan Birla. Salah satu semboyan untuk melawan imperialisme Inggris adalah swadesi (gerakan yang menganjurkan agar menggunakan barang-barang buatan bangsa sendiri), yang merupakan kepentingan kaum pengusaha India dalam usaha memenangkan persaingan dagangnya2. Gerakan swadesi membuat imperialisme dagang Inggris menjadi lumpuh sehingga berperan besar bagi India untuk meraih kemerdekaannya tahun 1947. Adapun di wilayah Indo Cina, tak lama setelah Perang Dunia Kedua, pada 29 Agustus 1945, bekas jajahan Perancis tersebut memproklamasikan kemerdekaannya melalui revolusi nasional mengusir penjajah asing sekaligus perjuangan kelas. Hal itu menyebabkan sebagian besar kaum borjuasi dan ningrat berpihak Perancis. Sisa dari perjuangan kelas itu masih terasa di Vietnam, Laos, dan Kamboja hingga penghujung abad ke-20, dengan adanya faksi-faksi Sihanouk, Son San, dan Kiu Sampan. Berlainan dengan di Indocina, para pemimpin bangsa di Indonesia lebih mementingkan perjuangan nasional tanpa perjuangan kelas. Keanekaragaman masyarakat, baik horizontal maupun vertikal, menjadi realita yang berusaha diakomodir gerakan nasionalisme di Indonesia. Untuk mengorganisir gerakan nasionalisme, sejak zaman kolonial para pemimpin gerakan nasionalis yang berasal dari kelas strata atas berpendidikan modern (barat) menyalurkannya melalui pembentukan organisasi-organisasi nasionalis. Sulit dibayangkan apakah Yogyakarta dapat menjadi kota perjuangan tanpa keterlibatan pihak kraton? Demikian halnya dengan kalangan pengusaha -yang memiliki jaringan sampai ke luar negeri seperti Singapura dan India- tentu tak mau membantu membiayai keuangan negara Indonesia melalui perdagangan gelap atau penyelundupan di tengah blokade tentara Belanda, jika diberlakukan perjuangan kelas. Bambu runcing menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap penjajahan. 2. Soekarno membandingkan imperialisme liberal dari Amerika Serikat, imperialisme semi liberal dari Inggris, imperialisme semi ortodoks dari Belanda, dan imperialisme ortodoks dari Spanyol dan Portugal. Imperialisme liberal terhadap rakyat yang dikolonisir itu liberal, ini boleh, itu boleh. Yang semi liberal itu setengah menindas setengah lapang dada. Yang semi ortidoks memberi jalan sedikitsedikit untuk berpikir. Yang ortodoks itu sangat menindas kepada rakyat yang dikolonisir. Perbedaan cara kolonialisme itu, menurut Soekarno, karena adanya adanya perbedaan basis material dari penjajah itu. Misalnya, berbeda dengan Belanda yang memiliki industri kurang maju dan menjajah untuk mencari bahan baku (rempah-rempah), Inggris menjajah India memiliki tujuan untuk memperluas pasar sehingga Inggris berkepentingan untuk mempertahankan daya beli masyarakat India. Kelas menengah India dipertahankan pada saat itu. Lihat Sukarno. Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Indayu Press, 1984, h. 5-19.
44
Negeri ini mewarisi wilayah kolonial yang dihuni beraneka ragam suku, agama, ras, dan golongan dengan batas-batas sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang tidak sama. Di tengah sistem ekonomi kapitalisme berkembang pada era kemerdekaan, masih ada komunitas yang hidup terpencil di pedalaman. Selain demokrasi modern yang tumbuh di negeri ini, terdapat pula berbagai kerajaan dan suku dengan berbagai hak tradisionalnya. Semboyan bhinneka tunggal ika sesungguhnya masih merupakan suatu cita-cita yang harus diperjuangkan. Di masa Orde Baru, persatuan dan kesatuan dijaga melalui kebijakan anti SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam tatanan politik yang sentralistik, sehingga tidak memupuk kemampuan masyarakat untuk hidup dalam perbedaan secara jernih, toleransi, dan damai. Hingga sekarang, hubungan antar golongan seringkali tidak berlangsung sinergis. Konflik sosial terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti Kalimantan, Maluku, dan Poso. Perbedaan pendapat kerap disikapi dengan reaktif serta membuat distingsi tajam “kami” dan “mereka”. Kaum nasionalis seringkali mengedepankan persatuan bangsa dan menggaungkan isu kesejahteraan rakyat. Namun, seberapa solid kekuatannya mengatasi persoalan ketidakadilan sosial jika berhadapan dengan kepentingan akumulasi modal? Padahal isu keadilan sosial merupakan masalah sosietal, menyangkut keberlanjutan bangunan keindonesiaan, yang harus diatasi kaum nasionalis agar warga negara umumnya merasa cocok untuk hidup didalamnya. 2. IDENTIFIKASI MASALAH Peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial ke penguasa bangsa sendiri belum mendorong bertumbuhnya keadilan sosial. Meski negeri Indonesia memiliki tanah-air yang luas dan kekayaan alam berlimpah, warisan sosial kolonialisme masih berlanjut dengan masih berlangsungnya ketimpangan penguasaan sumber-sumber ekonomi. Sejak masa kolonial, kemajuan teknologi juga sudah berkembang di Nusantara. HW Dick menjelaskan, pada tahun 1900 Jawa merupakan ekonomi yang paling terintegrasi dan modern secara teknologis antara Benggala dan Jepang. Teknologi revolusi industri telah diterapkan pada jaringan komunikasi dan transportasi, pabrik-pabrik raksasa berorientasi ekspor yang membutuhkan sebagian besar tanah terbaik di Pulau Jawa, sistem irigasi, pengerjaan logam, industri bermesin berat, produksi barang-barang konsumsi kelas menengah perkotaan, konstruksi bahan-bahan seperti batu bata dan kayu, serta fasilitas umum seperti gas dan listrik. Di luar Singapura dan Penang, di tempat-
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
tempat lain manapun di Asia Tenggara tidak ada hal semacam itu3. Di tengah modernisasi tersebut, rakyat bumiputera umumnya tetap berada dalam posisi subordinat yang mengalami pemiskinan dan pembodohan. Kepentingan kolonialisme membuat teknologi lebih digunakan untuk menunjang sarana eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Pada era kemerdekaan, kemajuan teknologi sebagaimana tercermin dari perkembangan industri manufaktur, pertambangan, dan sebagainya, juga tidak membuat Indonesia menjadi sejahtera. Negeri ini masih saja menjadi penjaja sumber daya alam dan sumber tenaga murah. Jika ekonomi kolonial memanfaatkan kekuasaan feodal sehingga operasinya menjangkau hingga ke desa, kini pemodal besar, yang banyak dikuasai asing, dengan didukung sejumlah elite bangsa sendiri terus mendominasi sumber-sumber ekonomi. Pada era 1950-an elite nasionalis mulai terjun menjadi pengusaha nasional melalui fasilitas lisensi impor dan proteksi, adapun pembangunan ekonomi rakyat seperti koperasi bagi kaum tani kalah prioritas. Di satu sisi, cita-cita Soekarno sejak 1927 agar bangsa Indonesia mengurus diri sendiri (self-help) terwujud pada 1957 melalui nasionalisasi berbagai perusahaan asing. Di sisi lain, banyak hasil nasionalisasi dikuasai militer yang menjadi cikal bakalnya memasuki dunia bisnis. Orde Baru menyuburkan kaum pemodal yang melakukan kegiatan besar-besaran di sektor perkebunan, pertambangan, industri, dan kehutanan. Banyak petani dan golongan adat kehilangan tanah. Peluang sektor informal perkotaan dibatasi melalui penggusuran tanpa prioritas pemberdayaannya. Rakyat kecil mengalami proletarisasi yang terjebak lingkaran kemiskinan. Hak-hak adat atas sumber daya ekonomi kian termarginalkan, sebagaimana tercermin dari segi penguasaan tanah oleh pemodal besar yang mengabaikan keberadaan tanah adat. Sejak zaman kolonial, tanah-tanah komunal kian hilang di Pulau Jawa dan Sumatera. Di Papua, Aceh, dan Riau yang terus diambil kekayaan alam pertambangannya, banyak anggota masyarakatnya berkubang dalam kemiskinan. Di Kalimantan, hak penguasaan hutan (HPH), izin perkebunan, dan kuasa pertambangan diberikan ke sejumlah pengusaha lokal dan asing tanpa mempertimbangkan hak-hak adat yang ada di masyarakat lokal. Di era reformasi bangsa ini semakin menjajakan kekayaan alamnya ke pihak asing, aset negara dijual, dan tetap menjadikan penduduknya sebagai sumber tenaga murah. Indonesia belum dapat mengonsolidasi diri untuk menciptakan kehidupan kebangsaan yang berpihak rakyat kecil. Per3. Lihat tulisan HW Dick, dosen sejarah ekonomi di Melbourne University, berjudul “Munculnya Ekonomi Nasional, 1808-1990-an” dalam Lindblad, J. Thomas (ed). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002, h. 37.
soalan penguasaan sumber-sumber ekonomi yang berkeadilan sosial dan penyaluran aspirasi berbagai komponen masyarakat kurang mampu diperjuangkan organisasi kaum nasionalis yang menyatakan pengakuan akan kebhinnekaan. Secara sosiologis, hal ini menyebabkan terputusnya hubungan kaum nasionalis dan organisasi nasionalis dengan rakyat kecil. Dari perbandingan ideologi dan praktik nasionalisme terlihat adanya problem relasi kekuasaan antara kaum nasionalis dengan rakyat, sehingga pertarungan meraih kekuasaan politik hanya merupakan rotasi aktor hegemoni politik dan ekonomi. Rakyat kecil, seperti petani, nelayan, pedagang kecil, dan buruh di berbagai daerah terus mengalami marginalisasi ekonomi. 3. PERUMUSAN MASALAH Dari persoalan ini, pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana proses pembentukan ideologi nasionalisme, akar sosiohistoris, ortodoksi, dan aktualisasinya di Indonesia dari awal kemerdekaan hingga era reformasi (1945-2010) di tengah kondisi pascakolonial? 4. TUJUAN PENELITIAN Terdapat dua tujuan penelitian ini: a. Menganalisis proses pembentukan ideologi nasionalisme, akar sosio-historis, ortodoksi, dan aktualisasinya di Indonesia di tengah kondisi pascakolonial. b. Menemukan kesimpulan teoritik dari gambaran partikular ideologi dan praktik nasionalisme dalam masyarakat majemuk di tengah kondisi pascakolonial. 5. METODOLOGI PENELITIAN 5.1. PENDEKATAN Penelitian sosial merupakan usaha menjelaskan dan memahami realitas sosial secara sistematis dengan fakta-fakta empiris dan kerangka teori yang ada. Hal tersebut memiliki konsekuensi pada metode yang digunakan. Dalam konteks tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pertimbangan lebih memiliki peluang untuk mendapatkan bukti yang sedang dicari dalam rangka menjelaskan makna yang berlaku pada situasi dan kondisi yang sedang dipelajari. 5.2. TEKNIK PENELITIAN Penelitian ini bermaksud melakukan perbandingan secara konseptual ideologi dan praktik nasionalisme di Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga era reformasi. Untuk memperbandingkan fenom-
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
45
ena pada masa yang berbeda tersebut digunakan historical-comparative research sebagai teknik untuk melihat perbandingan fenomena pada kurun waktu tertentu. Dalam penelitian ini sejarah dilihat dari tiga aspek. Pertama, sejarah sebagai sumber data (teks dan fakta historis). Kedua, sejarah sebagai perspektif, di mana teks dikaitkan dengan konteks sosial tertentu, semangat zaman yang ada saat itu. Ketiga, sejarah sebagai analisis, yakni cara bagaimana mengungkap konteks dan dibandingkan dengan fakta lainnya. 5.3. PENGUMPULAN, ANALISA DAN PENyAJIAN DATA Pengumpulan data dilakukan melalui telaah pustaka, berupa dokumen, artikel, buku, dan sumber tertulis lainnya. Analisa data dilakukan dengan cara melakukan interpretasi sosial, kultural, dan politik yaitu pengolahan dan pemahaman peneliti terhadap persoalan yang diteliti. Pada tahap penyajian data, disajikan hasil analisis tentang ideologi dan praktik nasionalisme di Indonesia. 6. KERANGKA TEORITIS 6.1. NASIONALISME DAN DEMOKRASI Revolusi Perancis abad ke 18 menempatkan “bangsa” pada posisi penting. Pada 1789 Majelis Nasional Perancis dalam klausul III Declaration of the Rights of Man menyatakan: “Bangsa pada dasarnya merupakan sumber utama semua kekuasaan; seorang individu, atau sekelompok orang, tidak memiliki hak untuk memegang kekuasaan yang secara jelas tidak berasal dari bangsa.” 4 Klausul itu meletakkan fondasi teori nasionalisme, sehingga revolusi Perancis dianggap sebagai tonggak nasionalisme modern. Ian Adams mengatakan: “Dari semua ideologi modern, nasionalisme jelas merupakan produk Revolusi Perancis. Memang benar demikian, meskipun ada fakta bahwa arti identitas nasional dan loyalitas pada bangsa dapat ditemukan hingga zaman kuno, sementara negara bangsa baru muncul beberapa ratus tahun lalu. Apa yang dilakukan Revolusi Perancis adalah menggabungkan semua yang lebih tua ini dengan sebuah gagasan tentang ‘bangsa’ sebagai sumber legitimasi dan otoritas puncak. Ini bertentangan dengan gagasan tradisional yang disucikan oleh agama tentang klaim-klaim dinasti pangeran untuk memerintah atas suatu wilayah yang telah mereka warisi, tanpa memandang keinginan rakyat yang hidup di dalamnya... Adalah bangsa yang berkuasa dan bukan Raja; adalah bangsa yang secara politik meru4. Lihat Adams, Ian. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, Yogyakarta: Qalam, 2004, h. 122.
46
pakan unit penting, bukan kaum bangsawan.”5 Namun perjalanan Revolusi Perancis melenceng dari tujuan karena rakyat hanya memperoleh kebebasan (liberté), sedangkan persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) cuma menjadi slogan. Feodalisme diganti borjuisme, yakni kekuasaan politik yang didominasi kepentingan lapisan sosial-ekonomi atas. Borjuasi modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal berkepentingan dalam pembentukan negara-bangsa sebagai “benteng pertahanannya”. Meski rakyat diberi hak dalam pemilihan, kaum buruh, petani, dan si miskin lainnya senantiasa tidak dapat mempertahankan calon-calonnya dalam pemilihan parlemen. Aspirasi mereka terkepung pengaruh pikiran borjuis yang berkembang di masyarakat, dan terlebih lagi mereka kekurangan alat-alat propaganda. Kondisi ini memicu kekacauan di Perancis sehingga melahirkan kediktatoran Napoleon Bonaparte. Bennedict Anderson mengemukakan pengalaman sejarah nasionalisme di Eropa Barat, Amerika, dan Rusia telah menyediakan seperangkat bentuk aturan standar bagi nasionalisme yang mana sesudahnya kaum elit nasionalis di Asia dan Afrika memilih salah satu diantaranya. Karenanya, nasionalisme memerlukan teknologi baru dan bentuk baru dari organisasi untuk memberikan pengaruhnya. 6 Memang, sebagaimana pendirian Anderson, terdapat keuniversalan gagasan dari Barat, termasuk ide tentang nasionalisme modern dan penyebarannya, yang lalu diadopsi kaum elite nasionalis di Asia dan Afrika. Akan tetapi, para pendiri bangsa, terutama Soekarno dan Mohammad Hatta, melihat gagasan nasionalisme dari Barat tidak dapat begitu saja dijadikan sebagai modul untuk membangun Indonesia yang bersatu dan merdeka. Kemerdekaan yang dicita-citakan merupakan kemerdekaan bangsa sekaligus kemerdekaan rakyat, sebagai usaha bersama merombak struktur sosial yang menyebabkan rakyat terdesak dari sumber kehidupannya berupa alam subur dan kaya, sehingga dapat tercapai persamaan dan menumbuhkan persaudaraan sesama anak bangsa. Pada koran Fikiran Ra’jat tahun 1932 Soekarno menyatakan, “Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme Marhaen, dan menolak tiap tindak burd5. Ibid, h. 120-1. 6. Ia mengambil contoh penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada abad 16 membentangkan landasan bagi kesadaran nasional di Eropa dengan menciptakan bahasa kekuasaan yang jenisnya berlainan dengan bahasa-bahasa ibu yang dipakai dalam urusan-urusan administratif sebelumnya. Teknologi mesin cetak mendorong berkembangnya bahasa nasional sebagai sarana komunikasi antar anggota bangsa, sehingga komunitas yang besar itu saling mengenal satu sama lain sebagai satu bangsa. Struktur dasar dua bentuk pembayangan yang pertama berkembang di Eropa di abad delapan belas: novel dan suratkabar, merupakan bentuk wahana yang menyediakan cara-cara teknis “mewujudkan” jenis komunitas terbayang yang adalah suatu bangsa. Anderson, Bennedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London:Verso, 1991, Bab 3: The Origins of National Consciousness, Chapter 6: Official Nationalism and Imperialism, and Bab 7: The Last Wave. Dalam The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World. London: Verso, 1998, h. 29, Anderson juga menjelaskan “…‘derivative discource’, and ‘imitation’ in understanding the remarkable plenatary spread, not merely of nationalism, but of a profoundly standardized conception of politics, in part by reflecting on the everyday practices, rooted in industrial material civilization, that have displaced the cosmos to make way for the world.”
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
juisme jang mendjadi sebabnja kepintjangan masjarakat itu.”7 Adapun Hatta menyebutkan, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan tidak ada.”8 Bennedict Anderson menyebut bangsa sebagai komunitas politis yang terbayang (imagined political community). Bangsa merupakan sesuatu yang “dibayangkan” karena para anggotanya tidak tahu, kenal, bertemu, atau mendengar sebagian anggota lain, tapi pada benak mereka hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Baginya, bangsa “dibayangkan” sebagai komunitas tanpa memperdulikan adanya ketidakadilan dan eksploitasi yang mungkin tidak terhapuskan pada setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu mengandung kesetiakawanan horisontal yang mendalam dan meluas. 9 Pengertian Anderson tentang bangsa sebagai imagine community lebih menekankan bangsa dari segi kognisi dengan mengabaikan persoalan distribusi penguasaan sumber-sumber ekonomi yang membuat “bayangan tentang kebersamaan” dapat berbeda pemaknaannya di antara komponen bangsa. Padahal hubungan bangsa dan usaha mengatasi persoalan distribusi penguasaan sumber-sumber ekonomi mempengaruhi sejauhmana kekokohan persatuan bangsa dan berkembangnya gagasan nasionalisme, apalagi dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Dengan demikian, bangsa seharusnya dipahami sebagai fenomena sosio-makro politik tentang keinginan dan gambaran tentang kebersamaan berdasarkan alasan sosio-historis tertentu yang dapat bertahan dan berkembang karena dipengaruhi harapan akan keadilan sosial. 6.2. KONDISI PASCAKOLONIAL DAN IDEOLOGI EKSPLOITATIF Secara konseptual, nasionalisme Indonesia bersifat eklektis yang khas setempat dan adanya keuniversalan gagasan dari barat tentang kedaulatan bangsa. Sebagai bekas jajahan, Indonesia menghadapi kondisi pascakolonial yang berpengaruh pada usaha menegakkan keadilan sosial. Ania Loomba menjelaskan, ”’Colonialism’ is not just something that happens with the collusion of forces inside, but a version of it can be duplicated from within”.10 Di Indonesia, kondisi pascakolonial berkaitan 7. Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi (Jilid Pertama), Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964. 8. Lihat pidato Hatta berjudul “Lampau dan Datang” dalam Hatta, Mohammad. Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 2): Kemerdekaan dan Demokrasi, Jakarta: LP3ES, 2000. 9. Anderson menolak pendapat Seton-Watson yang menganggap bangsa mengada ketika sejumlah orang dalam jumlah cukup besar di suatu masyarakat menganggap diri membentuk suatu bangsa atau berperilaku seolah-olah mereka sudah membentuk sebuah bangsa. Frase “menganggap diri mereka” seharusnya diubah menjadi “membayangkan diri mereka”. Lihat Anderson, Bennedict. Imagined Communities: op.cit., h. 6-7. 10. Loomba, Ania. Colonialism/Postcolonialism, London: Routledge, 1998, h. 12.
adanya pelestarian eksploitasi sumber daya ekonomi dan penempatan penduduk sebagai sumber tenaga kerja murah di negeri yang luas dan kaya raya ini. Kekayaan alam diambil dengan pembagian hasil yang lebih menguntungkan kepentingan pemodal besar dan menempatkan rakyat pada posisi lemah. Upah tenaga kerja yang murah menjadi faktor penarik agar para perusahaan transnasional berminat berinvestasi, tanpa adanya upaya sistematis untuk meningkatkan keahlian dan produktivitas buruh, serta lompatan strategi industrialisasi. Fenomena kekuasaan berada di dalam struktur politik di mana terdapat aspek-aspek konflik dan integrasi di dalamnya. Maurice Duverger mengatakan, struktur politik dapat dibagi menjadi dua klasifikasi besar: struktur fisik dan struktur sosial. Istilah “fisik” dipakai di sini bagi unsur yang paling dekat dengan alam (geografi dan demografi). Fenomena kekuasaan dekat tautannya dengan dan sangatlah besar dipengaruhi oleh struktur fisikal di mana mereka ada, apakah kita berbicara tentang antagonisme yang tujuannya adalah memperoleh kekuasaan, atau integrasi yaitu sesuatu yang sedang diusahakan untuk dicapai oleh mereka yang berada dalam kekuasaan. Dengan perkembangan internasional dan industrialisasi, masalah sumber-sumber alam (bahan mentah) menjadi genting. Sedangkan struktur sosial mengacu pada faktor-faktor yang lebih artifisial, dan yang secara hakiki manusiawi, dibagi menjadi: keterampilan teknologis; lembagalembaga; serta doktrin dan kebudayaan. Meski membedakan struktur politik menjadi struktur fisik dan struktur sosial, Duverger berpendapat tidak ada garis tajam yang memisahkan kedua struktur itu. Manusia tidak menanggapi struktur fisik di dalam bentuk-bentuknya yang asli, material, akan tetapi melalui ide-ide, keyakinan, dan tradisitradisi sosial yang diperoleh, misalnya manipulasi manusia atas tanah, benda-benda yang diolah, dan pembatasan kelahiran. Sebaliknya, hampir semua lembaga sosial sesuai dengan faktor fisikal tertentu. Misalnya tujuan lembaga-lembaga ekonomi adalah untuk memuaskan kebutuhan material; cara dengan mana kebutuhan material ini dipenuhi menentukan banyak unsur kebudayaan.11 Dalam kajiannya, Duverger memandang perubahan kehidupan politik ditentukan terutama oleh faktor teknologi dan lembaga sosial-ekonomi. Kemajuan teknologi mendorong pembangunan ekonomi dan merombak kebudayaan suatu bangsa. 11. Dari segi struktur fisik, dalam kaitan territorium dan populasi, terdapat persoalan tekanan penduduk dimana besarnya jumlah penduduk dalam satu wilayah dapat menciptakan keteganganketegangan sosial. Adapula komposisi penduduk dapat dilihat dari segi umur, seks, tingkat sosio-kultural (dari segi pendidikan dan keahlian), etnis, dan distribusi geografis yang mempengaruhi kehidupan politik. Dari segi struktur sosial, keterampilan teknologis adalah cara-cara yang dipergunakan manusia untuk mengolah benda-benda, alat-alat, mesin, dan seterusnya. Lembaga-lembaga adalah alat mempertahankan ketertiban hubungan sosial yang mapan (stabil) –status hukum keluarga, undang-undang yang mengatur barang-barang dan milik, serta konstitusi politik. Adapun doktrin dan kebudayaan adalah ideologi, keyakinan, dan ide-ide kolektif yang pada umumnya dianut di dalam suatu komunitas tertentu. Penjelasan tersebut dapat dilihat dalam Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Pers, 2000, tentang struktur fisik h. 31-77 dan struktur sosial h. 78-155.
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
47
Perbedaan antara negara maju dan negara miskin terutama pada perbedaan kemajuan teknologi. Jadi faktor-faktor kebudayaan sendiri hanya membantu mempercepat atau memperlambat perubahan kehidupan politik. Pengutamaan Duverger pada faktor teknologi sebagai pendorong pembangunan ekonomi tidak menjawab persoalan hubungan ketimpangan penguasaan teknologi dan kemiskinan suatu masyarakat. Apakah tingkat kemajuan dalam bidang teknologi menunjukkan masyarakatnya sejahtera? Pada abad ke 19, Inggris merupakan negara yang memiliki teknologi dan industri sangat maju di dunia. Tapi kondisi buruhnya memprihatinkan. Banyak anak-anak dipekerjakan tanpa diberi upah, hanya ditampung di barak-barak kumuh dan diberi makan ala kadarnya. Kondisi perburuhan di Inggris menjadi fakta penting bagi argumentasi pemikiran Karl Marx. Di era kemerdekaan, kemajuan teknologi sebagaimana tercermin dari perkembangan industri manufaktur, pertambangan, dan sebagainya, tidak membuat Indonesia beranjak dari sumber tenaga murah dan penjaja sumber daya alam. Kepentingan akumulasi modal yang terjadi tidak membuat rakyat tidak dipupuk oleh cita-cita untuk mengelola sumber daya alamnya secara maju. Pada akhirnya, para petani, nelayan, dan industri kecil masih bergantung pada keterampilan-keterampilan sederhana, serta pedagang kecil semakin terdesak sektor perdagangan modern. Sebagian besar penanaman modal asing (PMA) di Indonesia bersifat footloose industry, dengan lebih mempertimbangkan biaya produksi murah dan lokasi pabriknya mudah dipindahkan ke negara lain, seperti tekstil dan sepatu. Industrialisasi semacam itu tidak melakukan alih teknologi, sehingga buruh hanya dijadikan sebagai tukang atau operator mesin. Jadi Duverger tidak melihat bahwa doktrin dan kebudayaan justru dapat dipandang memiliki peran menentukan kemajuan ekonomi dan akses teknologi. Doktrin dan kebudayaan, dalam hal
hubungan Ideologi Eksploitatif dan Penguasaan Struktur Fisik
ini ideologi, jika berkaitan kepentingan akumulasi modal yang eksploitatif membuat suatu bangsa terus dilanda kemiskinan serta terjadi ketimpangan distribusi penguasaan dan peruntukan teknologi modern. Pengaruh ideologi eksploitatif di lembaga-lembaga politik membuat berbagai kebijakan yang dihasilkan memarginalisasi ekonomi sebagian besar masyarakat dan tidak adanya perubahan strategi industrialisasi. Antonio Gramsci menyoroti bahwa ideologi bukan hanya sekadar refleksi dari realitas material, karena ideologi merupakan konsepsi kehidupan yang tampak pada segala aspek eksistensi individual dan kolektif. Ideologi “menggerakkan“ massa manusia, dan menciptakan ruang bagi manusia untuk bergerak, memperoleh kesadaran atas posisi dan perjuangan mereka, dan sebagainya.12 Gramsci melanjutkan, ideologi tiap kelas memiliki tujuan yang berbeda karena bagi kelas penguasa ideologi bertujuan mempertahankan kohesi sosial dan kepentingan dominan, adapun sikap perlawanan akibat eksploitasi ditunjukkan oleh kelas tertindas. Ia mengacu pada politik Machiavelli bahwa kelas berkuasa memperoleh dominasi bukan hanya dengan kekuatan dan paksaan, tetapi juga dengan menciptakan pihak-pihak yang “sukarela” mau dikuasai di mana ideologi adalah sesuatu yang penting untuk menciptakan “kerelaan” tersebut.13 Untuk itu, fenomena kekuasaan dalam negarabangsa perlu dilihat dari hubungan antara ideologi eksploitatif dan penguasaan struktur fisik, khususnya menyangkut sumber daya alam dan sumber tenaga kerja yang melatari kehidupan politik, sehingga menentukan akses dan penguasaan teknologi modern serta tingkat kesejahteraan masyarakat. J 12. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. London: Lawrence & Wishart, 1971, h. 327. 13. Ibid, h. 125-136.
Keterbatasan Akses dan Penguasaan Teknologi Kehidupan Politik Masalah Kesejahteraan Masyarakat
Bagan 1 Pengaruh Kehidupan Politik yang Dilatarbelakangi Hubungan Antara Ideologi Eksploitatif dan Penguasaan Struktur Fisik
48
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
7. PEMBAHASAN 7.1. PERSOALAN MEMBANGUN KEHIDUPAN KEBANGSAAN yANG BEBAS Setelah Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia, tujuan kemerdekaan Indonesia dijabarkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai kehidupan kebangsaan yang bebas: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Keinginan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang bebas merupakan antitesa dari kolonialisme yang melakukan pemiskinan, pembodohan, penindasan, dan ketidakadilan, sehingga apa yang ingin dicapai dari kehidupan kebangsaan yang bebas itu adalah: “...untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Artinya, kehidupan kebangsaan yang bebas adalah bebas dari (freedom from) pemiskinan, pembodohan, dan penindasan, sekaligus bebas untuk (freedom for) menggapai keadilan dan kemakmuran yang merata. Hal itu menggambarkan usaha nasional menghadapi operasionalisasi ideologi eksploitatif. Nilai yang menjadi dasar dari kehidupan kebangsaan yang bebas adalah Pancasila. Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 Soekarno menempatkan Pancasila sebagai pandangan hidup (philosofische grondslag) bagi Indonesia merdeka. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan ikatan persatuan keanekaragaman bangsa diambil dari kitab zaman Majapahit. Indonesia menghadapi kenyataan bahwa kolonial Belanda mewarisi kondisi kemasyarakatan bersifat majemuk yang tidak memiliki batas ekonomi, politik, dan sosial budaya sama, tapi hanya disatukan oleh persamaan nasib dengan wilayah dan penduduknya berdasarkan warisan kolonial. “Persamaan nasib” itu sendiri memiliki pengalaman dan pemahaman berbeda-beda di antara kelas sosial (antara priyayi dan lapisan sosial atas lain dengan rakyat jelata) serta antar daerah. Gagasan kesadaran nasional sendiri belum menyebar secara merata ke seluruh tanah air karena masih mengandalkan tokoh-tokoh lokal pro kemerdekaan yang belum tentu tersedia di tengah keterbatasan teknologi. Di Indonesia berkembang berbagai aliran politik, yang merupakan cermin akumulasi, akulturasi, dan
asimilasi kultural di Nusantara sejak sejak masa pra-kolonial dan mengkristal sejak zaman kolonial melalui pendirian sejumlah organisasi modern sejak awal abad ke 20. Pasca kehadiran Belanda sebagai musuh bersama dari bumi Indonesia, belum terdapat sistem ideologi yang secara praksis dapat mempertalikan berbagai golongan. Indonesia pascakolonial belum menjadikan Pancasila sebagai sistem nilai bersama dihormati warga negara pada umumnya. Pada era 1950-an, partai politik merupakan pusat aktivitas politik terpenting dan eksekutif merupakan kepanjangan tangan partai politik. Isu keadilan sosial seharusnya bisa dieloborasi oleh partai-partai sambil menyelesaikan persoalan ideologi formal. Tapi konflik ideologi dan politik yang berlarutlarut justru menyebabkan kerjasama politik yang berlangsung lebih berorientasi jangka pendek. Energi menjadi terkuras sehingga kerangka kerja bersama antar partai dari berbagai aliran politik untuk membela kepentingan rakyat kecil belum dibangun, seperti usaha memprioritaskan pembangunan koperasi desa untuk memulihkan perekonomian desa yang pada masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang dieksploitasi atau pemberdayaan sektor kelautan yang mengalami marginalisasi sejak VOC menguasai jalur perdagangan laut. Pada era Demokrasi Liberal, organisasi politik yang sudah dikenal oleh masyarakat desa di Jawa sejak kolonial, yang ditandai dengan masuknya Sarikat Islam ke daerah perkebunan di Jawa Tengah, melakukan usaha meletakkan dasar-dasar pendidikan dan kelembagaan politik di desa-desa. Penduduk desa dapat menyalurkan aspirasinya melalui partaipartai politik yang diyakininya. Tapi konflik sosial dan politik terjadi di tingkat akar rumput, di mana sebuah desa sering bentrok dengan desa lain karena perbedaan aliran politik yang mencapai puncaknya pada paruh pertama 1960-an. Para elite partai-partai politik menjanjikan cita-cita berdasarkan aliran politik masing-masing agar tercipta “kerelaan” rakyat kecil untuk mendukungnya, tapi mereka belum terbukti memberikan kontribusi bagi pembangunan perekonomian di masyarakat pedesaan. Faktor ini lalu dijadikan dasar legitimasi bagi pemerintah Orde Baru untuk menerapkan konsep massa mengambang (floating mass) yang melarang aktivitas politik di bawah tingkat Kabupaten. Kesejahteraan penduduk Indonesia pasca penyerahan kedaulatan tahun 1949 sesungguhnya merosot jauh. Pada tahun 1951 pendapatan per kapita orang Indonesia hanya 28,3 gulden, lebih rendah ketimbang zaman Melaise (1930) yang mencapai 30 gulden. Retorika “ekonomi nasional” yang didengungkan
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
49
para pemimpin politik ternyata dalam praktik mulai mendorong penguasaan sumber-sumber ekonomi di antara para pemimpin partai politik dan kalangan dekatnya. Adapun koperasi tidak berkembang menjadi organisasi selfhelp dan otoaktivitas, sehingga koperasi pertanian atau pedagang kecil, misalnya, dimasuki orang-orang yang bukan petani dan pedagang kecil. Pengurus koperasi ditentukan dari atas sehingga menjadi kepanjangan tangan kepentingan kelas atas. Koperasi tidak menjadi sokoguru ekonomi nasional yang tumbuh dari bawah, sebagaimana gagasan Mohamaad Hatta, sehingga masih jauh dari harapan menghadapi kekuatan pemodal besar dari dalam dan luar negeri. Adapun usaha pengoreksian ketimpangan penguasaan tanah melalui reforma agraria (land reform) dilakukan secara bertahap, yakni dari awal kemerdekaan hingga akhir 1950-an masih bersifat sektoral dan mencakup daerah tertentu saja. Pada tahun 1946 tanah-tanah desa perdikan dihapus. Kemudian Kabinet Hatta membentuk panitia penyelidikan hak konversi tanah yang menelurkan UU No. 13 tahun 1948 untuk menghapus hak tersebut di kesultanan Yogyakarta dan Surakarta sehingga usaha land reform berhasil mengambilalih tanah milik perusahaan Belanda di daerah tersebut. Selanjut, dalam pelaksanaan UU No. 1 tahun 1958 yang menghapus secara resmi semua tanah-tanah partikelir atau dikenal sebagai tindakan nasionalisasi perusahaan asing, banyak hasil nasionalisasi dikuasai badan usaha negara dan militer. Ketika pemerintahan Soekarno melakukan konsolidasi kekuasaan melalui pemberlakuan Dekrit Presiden 1959, reforma agraria menjadi usaha merombak struktur penguasaan tanah lintas sektoral secara nasional melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kondisi historis-material masyarakat di Nusantara memiliki kekhasannya. Ketika zaman feodal tanahtanah di Eropa dikavling para baron, tanah komunal menghidupi rakyat kecil di sini. Kolonialisme merusak kepunyaan masyarakat. Setelah VOC memonopoli perdagangan hasilhasil bumi, masa pemerintahan Herman Willem Daendles (1800-1811) melakukan sedikit perubahan struktur penguasaan tanah yang menimbulkan tanah partikelir, era Thomas Stamford Rafles (1811-1816) memberlakukan pajak tanah, dan cultuurstelsel (1830-1870) mengeksploitasi sumber daya tanah dengan cara-cara terpimpin, maka tahun 1870 menjadi awal perombakan besar-besaran struktur penguasaan tanah melalui pelaksanaan Agrarische Wet. Kebijakan itu didorong pembukaan Terusan Suez
50
setahun sebelumnya dan berkembangnya penggunaan kapal uap hasil Revolusi Industri yang membuat lalu lintas perdagangan Eropa-Asia lebih cepat sehingga pemerintah Hindia Belanda merasa perlu memfasilitasi kedatangan para pemodal besar. Setelah pemberlakuan Agrarische Wet tahun 1870, penguasaan tanah swasta asing melonjak di Hindia Belanda dari 25 ribu hektar (1870) menjadi 435 ribu hektar (1901). Pada tahun 1929 tanah yang disewakan kepada swasta asing mencapai 3,946 juta dimana 1,166 juta ha diantaranya ditanami tanaman ekspor atau sekitar sepertiga luas sawah di Jawa (3,372 juta ha) pada masa yang sama bagi puluhan juta kaum petani. Investasi perkebunan banyak memperoleh buruh murah dari para petani yang kehilangan tanah. Pada 1932 tanah komunal di Jawa dan Madura tinggal 13%. Hasil perombakan penguasaan tanah dinikmati kolonial Belanda dan kaum pemodal besar. MC Ricklefs memaparkan, antara tahun 1900 hingga 1930 produksi gula naik hampir empat kali, teh naik hampir sebelas kali, demikian pula terjadi kenaikan cukup berarti pada lada, kopi, kopra, dan produksi lainnya. Sekitar 70 persen modal Belanda diinvestasikan di Pulau Jawa, setengahnya di bidang pergulaan. Adapun di luar Jawa perusahaan non Belanda banyak beroperasi di sektor agrikultur dan pertambangan. Investasi itu memperoleh banyak buruh murah justru dari para petani yang kehilangan tanah. UUPA tahun 1960 bermaksud merestrukturisasi penguasaan tanah melalui pembagian dan perlindungan hak tanah kaum tani, serta pembatasan kepemilikan tanah maksimal 5 hektar. Namun usaha ini dihambat para pemilik tanah besar serta birokrat korup dan pro tuan tanah. Pelaksanaan reforma agraria kemudian ditandai Aksi Sepihak BTI/PKI, sehingga reforma agraria disalahpahami sebagai gerakan komunis dan kekuatan politik yang kuatir dengan perkembangan PKI mulai memperlambat agenda populis tersebut. Padahal, komunisme tidak mengakui hak milik- prinsip yang masih diakomodir UU tersebut. Pada era Orde Baru, usaha reforma agraria dihentikan. Meski tidak dicabut, keberadaan UUPA tahun 1960 diperlemah. Pengesahan UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 membuat modal asing mengalir tapi rakyat tidak dipupuk oleh cita-cita untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri. Meski terdapat program transmigrasi, hal tersebut hanya berupa pemindahan penduduk (restlement) dengan pemberian tanah bagi para transmigran tapi tidak merupakan bagian dari usaha mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah karena pada saat bersamaan Orde Baru mendorong
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
pembangunan besar-besaran sektor perkebunan, pertambangan, kehutanan, serta pembangunan kawasan industri oleh pengusaha nasional dan asing, sehingga penguasaan tanah justru semakin timpang. Hak-hak adat/komunal diabaikan serta semakin banyak petani dan golongan adat kehilangan tanahnya. Secara nasional, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat paling sedikit 10,89 juta hektar sengketa lahan dengan mengorbankan setidaknya 1,19 juta KK di 286 Kabupaten/Kota sepanjang 1970-2001. Koperasi juga tidak didorong menjadi sokoguru ekonomi Indonesia sehingga struktur penguasaan modal juga kian timpang dan terpusat di kota-kota besar. Dengan angkatan kerja berpendidikan rendah, urbanisasi selalu menambah kaum miskin perkotaan. Peluang sektor informal perkotaan dibatasi melalui tindak penggusuran. Kehilangan penguasaan tanah di pedesaan lalu mendorong proletarisasi yang terjebak lingkaran kemiskinan: menjadi buruh karena miskin dan terus miskin karena menjadi buruh. Semakin banyak buruh tani di sektor pertanian dan kaum pendatang yang bekerja sebagai buruh outsourcing di industri manufaktur. Menurut Nasikun, yang bekerja di belakang konflik pertanahan dekade 1980-an dan awal 1990-an adalah terjadinya pergeseran struktur ekonomi kita yang telah menempatkan sektor pertanian di daerah pedesaan semakin menjadi suatu usaha ekonomi yang semakin dikuasai oleh mereka yang berada di luar sektor pertanian, dan yang sebaliknya telah menjadikannya sebagai usaha ekonomi yang semakin jauh berada di luar jangkauan kontrol masyarakat pertanian di daerah pedesaan dan di dalam skala yang semakin tidak mendukung nilai-nilai sosial yang luas. Sebagian besar rakyat bekerja di sektor pertanian sehingga pemiskinan kaum tani berdampak luas pada perekonomian rakyat. Terdesaknya kaum tani dari sumber kehidupannya menjadikan negeri luas dan kaya ini sebagai pemasok buruh rendah dan pembantu rumah tangga. Dengan angkatan kerja berpendidikan rendah, arus urbanisasi selalu menambah kaum miskin perkotaan. Kemerosotan tajam penerimaan pemerintah dari minyak bumi yang dimulai tahun 1982 membuat pemerintah sejak tahun 1983 mulai mencari caracara lain untuk menggerakkan pembangunan melalui serangkaian langkah deregulasi yang berorientasi pasar. Tapi industri asing yang membuka pabriknya di Indonesia tidak membuat negeri ini melakukan lompatan industrialisasi ke industri high-tech atau tidak mendorong alih teknologi, melainkan memanfaatkan buruh murah untuk melakukan pekerjaan massal secara terpola dalam
rangka memenuhi permintaan pasar dunia. Dengan karakter tersebut, posisi buruh menjadi rentan karena ketika gerakan buruh semakin kuat serta terjadi tuntutan kenaikan kesejahteraan dan perbaikan kondisi kerja, maka investasi itu dipandang kurang kondusif sehingga ordernya dipindahkan ke tempat lain, yang mengakibatkan para buruh di pabrik bersangkutan mengalami pemutusan hubungan kerja. Upah buruh yang murah dijadikan faktor penarik bagi investor untuk menanam modal di sini. Di masa Orde Baru, kaum buruh dibatasi hak-haknya berorganisasi dan mengeluarkan pendapat. Aparat militer dan polisi dilibatkan untuk mengintimidasi kaum buruh. Sejak dekade 1980-an hingga kini pengiriman tenaga kerja indonesia (TKI) mulai berlangsung secara massal. Negeri luas dan kaya ini menjadi pemasok buruh rendah dan pembantu rumah tangga. Di Malaysia posisi sosial-ekonomi pekerja Indonesia melahirkan julukan ”indon” yang konotasinya sederajat istilah ”inlander” pada zaman kolonial. Mayoritas dari sekitar 7 juta warga Indonesia yang bekerja di luar negeri menjadi buruh kasar dan pekerja rumah tangga tanpa kemampuan memadai (unskilled) . Tumbangnya kekuasaan Soeharto 1998 memang mengakhiri kekuasaan sentralistik Orde Baru. Namun, demokratisasi politik belum merombak struktur penguasaan sumber-sumber ekonomi yang timpang, termasuk tanah sebagai sumber ekonomi yang vital. Belakangan media massa nasional menyoroti masalah pemiskinan petani, terutama akibat mayoritas penguasaan lahan petani hanya di bawah 0,5 hektar dan jumlah petani yang berubah menjadi buruh tani kian banyak karena tidak lagi memiliki lahan sendiri. Banyak lahan pertanian pindah ke tangan kaum pemodal. Para baron modern tumbuh subur, satu perusahaan konglomerasi bisa menguasai tanah ratusan ribu hektar. Program pemerintah sekarang menggenjot pertumbuhan sektor pertanian juga tidak banyak dinikmati petani kecil. Pemerintah justru gencar menarik investasi skala besar pertanian dalam program “food estate” di Merauke yang mengancam hak adat setempat. Kasus pertanahan di Mesuji dan Bima merupakan puncak gunung kegagalan reforma agraria. 7.2. MENGUATNyA JALINAN RELASI POLITIK dan penGuaSaan SuMber-SuMber EKONOMI Ketika konsolidasi perjuangan nasional di bawah pemerintahan Soekarno belum mencapai hasil
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
51
optimal meningkatkan derajat rakyat kecil , terjadi perubahan kepemimpinan politik dari Orde Lama ke Orde Baru. Perubahan itu tidak hanya perubahan kepemimpinan politik melainkan terjadi perbedaan signifikan secara filosofis dengan menguatnya jalinan relasi politik dan penguasaan sumber-sumber ekonomi. Restrukturisasi politik diawali konsolidasi militer dan penguatan Golongan Karya (Golkar) –yang tidak mau disebut sebagai partai politik- sebagai kekuatan utama Orde Baru yang terpusat pada Soeharto. Pegawai Negeri Sipil wajib memiliki monoloyalitas bagi kepentingan kemenangan Golkar dalam pemilu. Negara birokratik otoriter Orde Baru menginginkan pembatasan peran partai politik (organisasi sosial-politik di luar Golkar) dalam memperoleh dukungan dari rakyat dan keterlibatannya pada proses pengambilan kebijakan pemerintahan. Secara struktural, pemerintah menerapkan konsep massa mengambang (floating mass), sehingga semua organisasi politik hanya memiliki struktur kepengurusan hingga tingkat Kota/Kabupaten. Tapi Golkar diuntungkan melalui jaringan birokrasi dan militer hingga ke desa-desa. Adapun dukungan partai politik dari rakyat tidak dapat diperoleh dengan mudah karena selain adanya usaha sistematis dari penguasa untuk memenangkan Golkar, rakyat juga tidak dapat mengorganisir diri dan melihat partai ini tidak memiliki peranan yang kuat untuk memberdayakan mereka. Represi Orde Baru menolak keberadaan oposisi sehingga kontrol terhadap jalannya pemerintahan diperlemah. Kategori ekstrem kiri dan ekstrem kanan diciptakan untuk menjamin stabilitas. Usaha mengatasi konflik ideologi diterjemahkan dengan pemberlakuan asas tunggal Pancasila. Ruang untuk menafsirkan Pancasila ditiadakan, kecuali tafsiran resmi dari pihak penguasa. Pancasila pun semakin kering karena hanya dijadikan wacana politik, sehingga berdampak pada era reformasi di mana praktik politik menjadi lebih bersifat pragmatis ketimbang perwujudan landasan ideologis. Bangunan politik Orde Baru itu menopang penciptaan penguasaan ekonomi di sekitar lingkaran pusat politik. Partai-partai politik dan pihak lain di luar pusat kekuasaan kehilangan sumber-sumber ekonomi dan para pengusaha besar menjaga jarak dengan mereka. Booming minyak bumi pada era 1970-an dijadikan sumber ekonomi pula bagi para aktor politik Orde Baru. Konglomerasi juga mulai terbangun menguasai sektor hulu hingga hilir. Kesenjangan sosial-ekonomi ini menimbulkan sentimen rasial karena sejumlah konglomerat yang memperoleh fasilitas istimewa berasal dari kalangan Tionghoa. Pembangunan yang terpusat dan timpang juga
52
mengundang permasalahan hubungan antara pemerintah pusat dan masyarakat di sejumlah daerah. Struktur negara dalam pengaturan ekonomi tidak memperhatikan kondisi politik, ekonomi, dan budaya lokal. Hal itu mendorong berkembangnya separatisme yang lalu ditangani melalui cara-cara militeristik tanpa menyelesaikan akar masalahnya. Kekerasan struktural secara sistematis menyumbat akses dan kontrol masyarakat terhadap sumbersumber daya ekonomi dan politik, sehingga justru menyuburkan separatisme. Pendekatan militeristik juga lebih dikedepankan terhadap aksi-aksi kaum tani dan buruh. Persatuan nasional dan modernisasi dijalankan dengan mengabaikan ketimpangan relasi sosial di dalamnya. Penguasa Orde Baru membawa Indonesia masuk ke dalam jaringan kapitalisme global tanpa memiliki politik-ekonomi untuk membangun kemandirian ekonomi nasional dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Sejak 1998, demokratisasi tidak dapat dibendung. Tapi bersamaan dengan itu isu nasionalisme menjadi tenggelam. Dengan ketimpangan penguasaan sumber-sumber daya di bidang ekonomi, kekuasaan politik lebih didominasi oleh kalangan atas. Di bidang sosial-budaya, perbedaan akses untuk mengikuti pendidikan semakin melebar dengan semakin mahalnya biaya pendidikan. Tanpa bingkai nasionalitas, ketika rakyat semakin bebas menyuarakan aspirasi politiknya maka isu agama, penduduk asli-pendatang, pribumi-non pribumi, kelas atasbawah, dan pusat-daerah dapat mengganggu integrasi bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya. Prioritas tuntutan daerah untuk otonomi hingga merdeka di era reformasi merupakan reaksi balik praktik sentralisme kekuasaan Orde Baru. Sebagai dampak deideologisasi zaman Orde Baru, Indonesia pasca Orde Baru justru semakin mengukuhkan pragmatisme politik. Pergantian kekuasaan politik dari Soeharto ke BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Soesilo Bambang Yudhoyono cenderung hanya merupakan rotasi kekuasaan dalam rangka demokratisasi politik. Meski terjadi pergeseran aktor dari militer ke sipil dan pemusatan kekuasaan menyebar ke daerah-daerah, tapi rakyat kecil belum mampu mentransformasi sumber dayanya menjadi kekuatan politik, sehingga para aktor politik yang dilahirkan cenderung mempertahankan kekuasaan kelas dominan. Praktik politik tanpa ideologi dijalankan di mana pertarungan kekuasaan hanya melahirkan para pemimpin-pemimpin baru yang lebih berorientasi pada kekuasaan serta sumber-sumber ekonomi bagi diri dan kelompoknya. Pencarian sumbersumber ekonomi itu melestarikan operasionalisasi
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
ideologi yang mengeksploitasi sumber daya alam dan penempatan penduduk sebagai sumber tenaga kerja murah. Rakyat terus dipisahkan dari sumber daya alamnya dan hak-hak adat masih diabaikan, sehingga penguasaan tanah semakin timpang. Indonesia semakin terbuka terhadap liberalisasi ekonomi tanpa dibangun politik ekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya. Modernisasi dan globalisasi berjalan di tengah ketimpangan relasi sosial di dalamnya. Indonesia terus terjerat menjadi penjaja sumber daya alam, sumber tenaga kerja murah, dan target pasar. Struktur yang eksploitatif membuat sebagian besar rakyat sulit melakukan mobilitas vertikal. Jalinan relasi politik dan modal yang terbentuk juga menyuburkan korupsi dan manipulasi. Akhirnya, ruang penghubung, perajut dan pemakna kesadaran bersama sebagai satu bangsa menjadi sempit sehingga tanpa bingkai nasionalitas, bentrok antarwarga, gesekan antarsuku dan umat beragama, hingga persoalan separatisme dan terorisme kerap menjadi berita. 8. KESIMPULAN DAN SARAN Sebagai negeri pascakolonial, secara konseptual, nasionalisme Indonesia yang digagas para pendiri bangsa, terutama Soekarno dan Mohammad Hatta, mampu berbicara atasnama kepentingan bangsa dan rakyatnya dengan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya di dalamnya. Nasionalisme ini mampu mengadopsi dan mengoreksi paham-paham dari luar, terutama nasionalisme dari Barat, sosialisme, dan teori kedaulatan rakyat, sesuai dengan kondisi masyarakat setempat, sehingga tidak “ditawan” oleh kategori dari luar, seperti modernitas dan kemajuan, yang menindas rakyat kecil. Sebaliknya kategori-kategori dari luar itu justru berada dalam kerangka pembebasan rakyat kecil. Negara dituntut memiliki politik-ekonomi yang berpegang pada dua nilai dasar nasionalisme bagi rakyat kecil: kedaulatan bangsa dan penghidupan rakyat di dalamnya, agar tidak terbawa irama reorganisasi struktur kapitalisme global. Di sini nasionalisme Timur dan nasionalisme Barat tidak harus dipertentangkan karena ada aspekaspek partikular di dunia Timur dan aspek-aspek universal dari pemikiran Barat yang bersifat eklektis. Secara universal, nasionalisme lahir pada masa Pencerahan dan Revolusi Perancis sehingga menegaskan kedaulatan bangsa dan melampaui identitas primordial, serta keberadaan hak-hak dasar dengan landasan kemanusiaan bersama. Tapi secara partikular, nasionalisme Timur, khususnya di negeri pascakolonial Indonesia, disesuaikan dengan kondisi setempat dan dijalankan untuk mengatasi
ideologi eksploitatif. Kehidupan kebangsaan yang bebas, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, memerlukan kekuatan korelasi antara nasionalisme dan keadilan sosial, sebagai usaha bangsa merombak ketimpangan penguasaan sumber-sumber ekonomi di tengah masyarakat yang bineka Pemerintahan yang bersih dan efisien merupakan keharusan. Pengoreksian penguasaan sumbersumber ekonomi yang adil dilakukan, mulai reforma agraria, pemerataan infrastruktur, penataan jaringan perdagangan, prioritas kredit bagi berbagai profesi rakyat (petani, nelayan, usaha kecil, dan koperasi), hingga pemerataan akses pendidikan berkualitas. Industrialisasi yang dikembangkan berorientasi pada penguasaan teknologi tinggi dengan mensyaratkan penanam modal melakukan alih teknologi. Penghormatan terhadap hak-hak adat, termasuk hak atas sumber daya ekonomi, harus ditegakkan. Peninjauan ulang kontrak juga dijalankan di sektor pertambangan yang banyak merugikan negara dan memarjinalkan masyarakat setempat. Kegagalan nasionalisme mengelaborasi persoalan keadilan sosial ke arah kerja-kerja konkrit membuat keberlanjutan kehidupan bersama dalam bangsa yang bineka ini menjadi mengkhawatirkan. DAFTAR PUSTAKA 1. Adams, Ian (2004). Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, Yogyakarta: Qalam. 2. Anderson, Benedict (1998). The Spectre of Comparisons: Nationalism, Southeast Asia and the World. London: Verso. 3. Anderson, Bennedict (1991). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso. 4. Burger, DH (1957). Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia (Djilid Pertama), Djakarta: JB Wolters. 5. Duverger, Maurice (2000). Sosiologi Politik. Jakarta: Rajawali Pers. 6. Giddens, Anthony dan David Held (eds) (1987). Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik, Jakarta: CV Rajawali. 7. Gramsci, Antonio (1995). Selections from the Prison Notebooks. London: Lawrence & Wishart. 8. Hatta, Mohammad (2000). Karya Lengkap Bung Hatta (Buku 2): Kemerdekaan dan Demokrasi, Jakarta: LP3ES. 9. Kaligis, Retor AW (2003). Hubungan Antara
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
53
Kemiskinan, Persyaratan Kondisional, dan Tingkat Konflik Serta Strategi Peningkatan Produktivitas Buruh Pada Industri Sepatu “Nike” di PT Doson Indonesia dan PT Pratama Abadi Industri, Kabupaten Tangerang, tesis Program Magister Pembangunan Sosial, Sosiologi, FISIP-Universitas Indonesia. 10. Lindblad, J. Thomas (ed) (2002). Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM. 11. Loomba, Ania (1998). Colonialism/Postcolonialism, London: Routledge. 12. Ricklefs, MC (1993). A History of Modern Indonesia Since c. 1300 (Second Edition), Hongkong: The MacMilland Press Ltd. 13. Roth, G. and C. Wittich (eds) (1968). Max Weber: Economy and Society, New York: Bedminster Press. 14. Sakirman, Ir, “Tentang Ekonomi dan Keuangan”, Buletin Ekonomi dan Masjarakat No. 1 tahun 1959. 15. Simbolon, Parakitri T (1995). Menjadi Indonesia: Akar-Akar Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas-Grasindo. 16. Suhendar, Endang dan Ifdhal Kasim (1996). Tanah Sebagai Komoditas: Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru, Jakarta: ELSAM. 17. Sukarno (1984). Pancasila Sebagai Dasar Negara, Jakarta: Inti Indayu Press. 18. Soekarno (1964). Dibawah Bendera Revolusi (Jilid Pertama), Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi. 19. Soekarno (1947). Lahirnya Pantja-Sila, Jogjakarta: Oesaha Penerbitan Goentoer. 20. Tjondronegoro, SMP dan Gunawan Wiradi (ed) (2008). Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pembaruan, Harian Media Indonesia, dan Harian Sinar Harapan. Catatan: Pokok-pokok artikel ini merupakan merupakan bagian dari disertasi penulis di Program S3 Sosiologi FISIP,Universitas Indonesia berjudul “Nasionalisme Bagi Rakyat Kecil: Studi Komparatif Ideologi dan Praktik Nasionalisme Pada Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan PDI Perjuangan di Masa Kemerdekaan”
BIOGRAFI PENULIS : Retor AW Kaligis; Lahir di Jakarta, 13 Oktober 1970. Sekarang menjadi Pemimpin Redaksi Jurnal Ilmiah INSANI, STISIP Widuri, Jakarta. Menyelesaikan S1 Jurnalistik, FIKOM, Universitas Padjadjaran (1994), S2 Sosiologi, Manajemen Pembangunan Sosial-FISIP, Universitas Indonesia (2003), dan S3 Sosiologi-FISIP, Universitas Indonesia (2010). Ia juga aktif sebagai Koordinator Link (Lingkaran Komunikasi) Nusantara, organisasi kajian yang menggali akar sosio-historis Nusantara untuk membahas fenomena kemasyarakatan aktual di Indonesia. Tulisannya tersebar di sejumlah media nasional seperti Harian Kompas, Suara
54
Jurnal Universitas Pembangunan Jaya #1 Volume 1 Maret 2014
pusat penelitian dan pengabdian Masyarakat Universitas Pembangunan Jaya Jl. Boulevard Bintaro Sektor VII Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15224. Telp : (021) 29045405 - Faks : (021) 29045423 Email :
[email protected]