Surat Terbuka untuk Koh Jaya Suprana Pada Jumat, 3 April 2015 9:09, "'Chan CT'
[email protected] "
Naah, ... dibawah ini ada tulisan anak muda baru berusia 35 tahun, tapi sudah mempunyai wawasan yg luas dan sangat jitu memandang masalah. Penulis, Rony Christanto, sebagai minoritas yang Tionghoa dan Kristen, juga dengan mata kepala sendiri melihat huru-hara KERUSUHAN Mei ‘98, dimana nyaris rumah keluarganya hancur dirampok, dibakar perusuh-perusuh jahanam, tapi Rony berhasil menyimpulkan KERUSUHAN yg terjadi itu, BUKAN konflik horizontal! Tapi, ada kekuatan yg mendalangi, yg memprovokasi! Mengapa beda pandang dan kesimpulan dengan Jaya Suprana? Karena yang dialami Rony dan keluarganya, yang bisa SELAMAT karena justru karena DILINDUNGI oleh penduduk disekitar mereka, yang ISLAM! Sebaliknya, Jaya bisa selamat karena mendapat perlindungan TNI, ... yang dicurigai ada sementara oknum justru provokator kerusuhan! Beda pengalaman, beda sikap dan kesimpulan! Wajar-wajar saja, ... hanya saja sangat, sangat dan sangat disayangkan, satu peristiwa sudah lewat 17 tahun, Pemerintah yg berkuasa selama ini tetap TIDAK juga BERHASIL membuat KESIMPULAN tepat dan berhasil meringkus dalang KERUSUHAN Mei ‘98 itu! Akibatnya, sama saja dengan membiarkan terjadi KESALAHAN kesimpulan dan membuat trauma yang TIDAK berkesudahan bagi banyak warga, termasuk Jaya Suprana. Menjadi TAKUT terjadi KERUSUHAN, amuk massa yang menghancurkan kehidupan kelompok Tionghoa yg minoritas itu, dan, ... selalu jadi MENYALAHKAN sikap, tindak-tanduk dirinya dan golongannya. Seolah-olah kesalahan ucap, kesalahan tindak sementara Tionghoa itulah PENYEBAB UTAMA kerusuhan anti-Tionghoa! Saya TIDAK MENYANGKAL, kesalahan itu, atau ketengikkan tingkah segelintir Tionghoa (dilapisan pengusaha berhasil) itulah yg dijadikan ALASAN untuk meembakar sentimen rasial, ... Tapi INGAT, tanpa ada pejabat/jenderal yg berkemampuan mengorganisasi sekelompok kekuatan untuk memprovokasi, yang meletubkan kerusuhan, saya yakin KERUSUHAN itu TIDAK akan TERJADI! Sama saja dengan serumpun padang-lalang kering, tidak akan menyala terbakar membara selama tidak ada api yg menyulutnya! Dan, ... karena sementara pejabat/jenderal keparat itu masih saja tetap berpengaruh kuat, maka Pemerintah yg salama ini berkuasa juga TIDAK berkemempuan menyeret mereka kedepan pengadilan dan menjatuhi sanksi HUKUM. Itu saja soalnya yg selama lebih 1/2 abad dihadapi Bangsa Indonesia. Tidak ada pelanggaran HAM berat yang HARUS beranggungjawab BERHASIL dijatuhi sanksi HUKUM seberat-beratnya!
1
Tapi bung Jaya, sebagaimana kata bung Salim, bung juga tidak perlu selalu merasa bersalah dengan “surat terbuka” untuk Ahok itu, karena kenyataan saya perhatikan, selama beberapa hari ini “Surat Terbuka” bung itu mengajak orang berpikir, menjadi sorotan dan banyak orang menanggapi. Ini berarti apa yang bung ajukan itu menjadi pemikiran mereka, yang mereka hadapi dalam hidup nyata. Bagaimana seharusnya kita bersikap! Dan, ... yg juga menggembirakan, ternyata dari beberapa tanggapan yang saya ikuti, tidak nampak ada yang menggunakan umpatan, makian dengan kata-kata tidak sopan. Baguuus, ... pertanda khalayak sudah makin dewasa dalam ber-DEMOKRASI! Dan sekali lagi, seandainya saja kritik bung pada Ahok itu tidak terbuka, tentu tidak banyak orang ikutan memikirkan masalah sikap dan ucap Ahok itu, apalagi dikaitkan deengan etnis dan kerusuhan anti-Tionghoa. Dan, seandainya saja kritik bung itu diajukan SETELAH Ahok BERHASIL memenangkan APBD DKI Jakarta dan aparat HUKUM meringkus siluman-siluman DPRD itu, saya yakin, Ahok juga akan MENERIMA-nya deengan lapang dada!
Salam-damai, ChanCT From: mailto:
[email protected] Sent: Friday, April 3, 2015 1:17 AM To:
[email protected] Subject: [t-net] Fwd: Surat Terbuka untuk Koh Jaya Suprana http://www.satuharapan.com/read-detail/read/surat-terbuka-untuk-koh-jaya-suprana
Penulis: Rony C. Kristanto 09:22 WIB | Rabu, 01 April 2015
Surat Terbuka untuk Koh Jaya Suprana SATUHARAPAN.COM – Koh Jaya yang terhormat. Jujur saja saya termenung membaca surat terbuka Anda untuk Koh Ahok. Saya sedikit banyak bisa merasakan ketakutan yang Anda ungkapkan dengan mengatasnamakan keturunan Tionghoa dan 2
seorang kristiani. Bagi saya, sikap yang Anda sampaikan melalui surat terbuka terhadap Ahok adalah cermin dari keberhasilan rezim otoritarian Orde Baru. Anda menggemakan lagi apa yang harus diamini selama 32 tahun di negeri kita tercinta. Bahwa berbicara terbuka mengenai apa pun yang menyangkut suku dan agama (dan antargolongan) itu tabu adanya. Apalagi kalau kita digolongkan sebagai minoritas, baik agama maupun suku. Tak usah menyinggung dan menentang yang mayoritas, itu dogma-nya. Maka atas nama keharmonisan dan toleransi biarlah etnis Tionghoa jadi binatang ekonomi saja, jadi pedagang atau pekerja profesional. Tak apa di sana-sini menyuap pejabat dan kongkalikong asal bisnis lancar. Tentu diikuti dengan cara bicara yang sopan dan penuh unggah-ungguh dalam pergaulan, apalagi bila berhadapan dengan pejabat yang berwenang. Itukah yang dianggap budaya luhur bangsa, Koh Jaya? Tapi terus terang di sini saya tak hanya merasa sedih, namun juga sakit di sana-sini. Karena bukannya hadir dengan sudut pandang penyeimbang, Anda malah menyitir pendapat pimpinan FPI tentang perlunya Ahok berkata-kata dengan santun. Sedangkan ia sendiri yang dalam berbagai demonstrasi yang dipimpinnya di depan balai kota mengeluarkan makian rasis yang jelas bertentangan dengan undang-undang anti diskriminasi yang kita miliki. Saya tahu Anda adalah produk masa lalu dan sejarah kelam bangsa ini. Tapi Anda tak sendiri Koh Jaya. Saya juga keturunan Tionghoa dan Kristen, bahkan saya juga seorang pendeta. Saya baru berusia beberapa bulan ketika pecah kerusuhan dengan berbau rasial di kota Solo pada tahun 1980. Pada waktu itu keluarga saya justru dilindungi oleh warga kampung belakang rumah yang semuanya Muslim dan berasal dari pulau Madura. Tahun 1998, saya juga berada di Solo dan melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana rumah-rumah dan toko-toko dijarah dan dibakar dalam kerusuhan di akhir kedigdayaan rezim itu. Banyak kawan- kawan saya mengungsi ke berbagai kota dan negara. Selama berhari-hari saya ikut membantu memasak ransum bagi warga yang bergantian menjaga kompleks perumahan di mana kami tinggal. Lagi-lagi warga kampung belakang kompleks yang turut berjaga bersama kami dengan memakai becak mereka sebagai perintang jalan. Kami tak seperti Koh Jaya yang punya koneksi dengan TNI maupun Polisi. Bisa jadi sudut pandang saya pun akan berbeda bila pengalaman saya seperti Koh Jaya. Tapi, yang membuat saya lebih perih adalah dengan demikian Anda menganggap bahwa berbagai kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa itu adalah konflik horizontal antar warga bangsa. Entah apakah Anda memang tak tahu atau bisa jadi lupa karena banyaknya
3
kesibukan, tentang berbagai temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan 98 bahwa jelas ada banyak orang bersepatu lars, berbadan tegap dan berambut cepak yang memprovokasi warga untuk masuk dan menjarah toko dan pusat perbelanjaan di Jakarta. Sedangkan di Solo saya pernah mewawancarai cukup banyak korban kerusuhan yang berkata bahwa awalnya ada sekelompok orang yang mendobrak pintu toko dan pabrik lalu memanggil warga untuk menjarah dan kemudian mereka pergi. Namun, etnis Tionghoa yang rumah dan tokonya dijarah dan dibakar itu hampir semua ditolong oleh tetangganya dan warga kampung di belakang rumahnya. Bahkan mereka yang mengenal tetangganya dengan baik, malah dilindungi oleh warga sekitarnya. Saya sendiri pun turut berjaga di depan kompleks dengan membawa pentungan dan potongan besi serta apa saja yang bisa ditemui pada saat itu. Dan gerombolan penjarah yang melintas itu kebanyakan remaja tanggung yang terseret kerumunan massa. Mereka tak pernah menyerang warga yang lain. Mereka hanya menjarah rumah dan toko yang sudah ditinggalkan ataupun yang sudah terlebih dahulu didobrak sekelompok orang tak dikenal. Surat terbuka Jaya Suprana yang menimbulkan kontroversi Kalau
Anda
masih
bisa
menemukan
rekaman amatir peristiwa kerusuhan Solo maka Anda akan bisa melihat betapa sebenarnya aparat keamanan ada di mana-mana namun tak berbuat apa-apa sampai hari ketiga. Begitu tembakan peringatan diletupkan di hari ketiga maka sontak para penjarah itu kocar-kacir. Maka pertanyaannya mengapa itu semua dibiarkan selama tiga hari? Anda harus sadar akan adanya pembiaran oleh negara. Tapi bisa jadi kisah Anda lain, karena penyelamat Anda berseragam, Koh Jaya. Ini tak beda dengan sederet toko emas di kota Solo yang dijaga dengan rapat oleh panser. Tak ada satu pun yang dijarah. Aneh bukan? Mengapa para penjarah hanya menyasar toko sepatu dan pakaian. Bukankah nilainya tak sebanding
dengan
isi
sederetan
4
toko-toko emas itu? Singkatnya dengan berbagai alasan dan ketakutan yang Anda kemukakan itu, Anda terus melanggengkan berbagai prasangka dan dakwaan bahwa pelaku utama berbagai kerusuhan itu ialah sesama anak bangsa, alias warga biasa. Bisa jadi itu terkait dengan siapa yang pernah menyelamatkan Anda Koh. Tapi masakan seorang budayawan dan usahawan kawakan tak cermat melihatnya? Yang berikutnya, Koh Jaya mengatasnamakan agama Kristiani sebagai legitimasi untuk mengingatkan Ahok agar menjaga kesantunan perkataan sekaligus memikirkan nasib jutaan warga Kristiani lainnya. Jujur saja saya tak paham relevansinya, Koh. Orang Kristen adalah anak kandung bangsa ini, kita bukan penumpang gelap apalagi anak haram? Gereja-gereja, baik Katolik maupun Protestan, bergulat begitu rupa dengan identitas keindonesiaannya selama fase awal kemerdekaan. Apakah Anda merasa bahwa sebagai orang Kristiani lantas menjadi warga kelas dua di negeri tercinta kita ini? Dengan demikian harus bungkam, atau santun menurut bahasa Anda, demi keamanannya? Bukannya ini yang ditolak oleh Yesus dari Nazareth yang Koh Jaya ikuti itu? Saya justru khawatir kalau Koh Jaya sudah membaca Kitab Suci dengan cermat maka Yesus pun akan Koh Jaya kirimi surat terbuka. Mengapa? Karena jelas Yesus tidak santun. Ia memorak-porandakan para pedagang yang memegang monopoli perdagangan di halaman bait Allah. Ia juga mengatai Herodes sebagai serigala (Matius 3: 7; asu ajag/wawar dalam terjemahan Jawa) dan para pemuka agama yang ingin melanggengkan kekuasaannya sebagai ular beludak (Matius 12: 34; 23: 33). Begitu pula banyak tingkah dan polah para Nabi, termasuk Yohanes Pembaptis yang lantang menentang perilaku korup para pemimpin bangsanya dengan bahasa yang sangat tidak santun. Tentu sebagai seorang kristiani Koh Jaya paham betul apa yang berkali-kali dikatakan Ahok bahwa baginya ‘mati adalah keuntungan’. Saya mengasumsikan bahwa Koh Jaya sebagai seorang Kristiani paham betul bahwa kalimat itu disitir dari Surat Filipi 1: 21 yang lengkapnya berbunyi: ‘Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.’ Jadi bukan sekadar nekat dan ngawur cari mati, tapi karena hidupnya ia abdikan pada Kristus, sang Kebenaran yang ia imani itu. Ya, Kristus yang sebentar lagi akan Koh Jaya dan saya peringati kematiannya yang tragis di kayu salib itu. Koh Jaya, saya juga tak seberani Ahok. Mungkin saya juga tak beda dengan para murid yang kocar-kacir ketika sang Guru ditangkap dan akhirnya meregang nyawa di bukit Golgota. Tapi para pengecut yang mengunci rapat-rapat rumahnya itu jadi berani berbicara di depan ribuan orang dan tak lagi sudi diintimidasi para petinggi agama yang
5
kongkalikong dengan penguasa politik yang korup. Sekali lagi saya mengasumsikan Koh Jaya paham betul dengan kisah gereja perdana ini kan? Bukan karena mereka nekat Koh, tapi karena mereka mengalami Yesus yang bangkit itu. Kini mereka tahu bahwa Tuhan berpihak pada yang benar. Maka kematian tak lagi menakutkan, karena ternyata sengat maut sudah ditiadakan. Jangan takut Koh Jaya, mungkin rumah kita bisa dijarah dan toko kita dibakar. Tapi sebagai seorang kristiani, bukannya kita juga berkali-kali diperingati oleh yang kita ikuti, Yesus sendiri, bahwa ‘di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada’(Matius 6: 21) Oh iya, selamat menjelang Paskah juga, Koh Jaya. Penulis adalah seorang rohaniwan, sedang studi lanjut di University of Birmingham, UK.
6