Surat Gaib Penentu Sejarah http://www.republika.co.id/berita/selarung/suluh/17/03/11/omn36a393-surat-gaib-penentu-sejarah
Sabtu , 11 March 2017, 15:00 WIB Misteri Surat Sebelas Maret Red: Fitriyan Zamzami Arsip Nasional
Soeharto ketika menerima mandat presiden dari Soekarno Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika REPUBLIKA.CO.ID, Hari itu 8 Oktober 1998. Bara belum padam di Jakarta. Sisa-sisa kericuhan yang berujung pada jatuhnya rezim orde Baru belum benar-benar padam. Pada hari itu, di Jakarta, hadir Naoko Nemoto, seorang perempuan Jepang yang lebih dikenal dengan nama Dewi selepas menikahi proklamator Sukarno. Ia masih nampak muda dan segar kala itu. Dengan batik tulis bercorak, berwarna cokelat, dihadapan wartawan di Jakarta, ia mulai berkisah. Bahasa Indonesia-nya kurang fasih. Sesekali terucap dari mulutnya mungil kata-kata dalam bahasa Inggris atau Jepang. Salah satu yang ia tuturkan saat itu perihal sebuah surat yang ditandatangani suaminya pada 11 Maret 1966. Dewi ingat, pada pagi hari 11 Maret 1966, Sukarno berangkat dari Wisma Yaso di Jalan Gatot Subroto, ke Istana Merdeka untuk mengikuti sidang. Menurut Dewi, saat itu tanda-tanda akan terjadi kup sangat jelas. Istana Merdeka sudah dijaga ketat oleh para tentara. Di istana, sudah ada Waperdam Soebandrio. Ia hanya mengenakan sandal jepit. Di tengah kompleks istana, menurut Dewi, sebuah helikopter telah siap diberangkatkan untuk mengangkut Soekarno ke Istana Bogor. Semua dilakukan serba cepat, kata Dewi.
1
Sampai-sampai, lanjutnya, Soebandrio disuruh lari ke heli, akibatnya salah satu sandalnya jatuh dan tidak sempat diambil. Demikian juga di di Istana Bogor penjagaan sangat ketat. ''Di sana (Istana Bogor) Bapak diperintahkan menandatangani sebuah surat, tanpa boleh mengetahui isinya. Demikian juga yang lainnya tidak mengetahui apa isi surat tersebut,'' kenang Dewi. Kala itu, menyusul pembunuhan para jenderal TNI Angkatan Darat pada 30 September 1965, kondisi perpolitikan dan pemerintahan tak menentu. Sebagian pihak menuntut Sukarno yang menjabat presiden seumur hidup bertanggung jawab. Bantahan Sukarno perihal keterlibatan dalam insiden tak sedemikian diindahkan. Kecurigaan yang terus dikipas-kipasi sejumlah pihak tak kunjung surut berbulan-bulan selepas kejadian. Tudingannya bahwa peristiwa 30 September dipicu infiltrasi badan intelijen AS, CIA, dalam tubuh CIA juga menambah hawa saling curiga. Di jalan-jalan aksi menuntut pembubaran kabinet serta PKI yang dituding jadi dalang gerakan 30 september terus dilakukan. Pembunuhan-pembunuhan terhadap anasir PKI juga membuat suasana kian mencekam. Surat yang diceritakan Dewi tersebut, nantinya bakal jadi polemik tak berkesudahan. Ia adalah salah satu lini masa perjalanan sejarah bangsa Indonesia, meski wujud aslinya hingga saat ini entah kemana. Garis besar dalam berbagai versi salinan yang dipegang berbagai pihak, garis besar surat itu memerintahkan Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Soeharto memulihkan keadaan guna keberlangsungan pemerintahan. Dalam sejarah versi Orde Baru, ia jadi surat yang memindahkan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Dalam sidang kabinet tanggal 11 Maret 1966, Soeharto sedianya berhalangan hadir karena alasan sakit flu. Pagi itu pasukan dari Kostrad telah mengepung istana di sela gencarnya demo mahasiswa yang menuntut bubarnya kabinet. Gerakan mop up itu membikin sidang kabinet dengan agenda pelantikan para menteri itu gagal berlanjut. Bung Karno diikuti menteri-menteri seniornya antara lain waperdam Soebandrio dan Chaerul Saleh harus mengungsi ke Bogor karena alasan keamanan. Bung Karno meminta jaminan Pangdam Jaya Brigjen TNI Amirmachmud bahwa keadaan Jakarta sudah cukup aman sebelum mereka memutuskan kembali ke Ibu Kota. Sebelum Bung Karno dan rombongan kembali ke Jakarta, datanglah utusan tiga orang perwira tinggi TNI AD membawa pesan Soeharto bahwa 'kalau diberi kepercayaan keadaan sekarang ini akan saya (Soeharto) atasi'. Ketiga perwira tinggi itu masing-masing Pangkostrad Mayjen TNI Basuki Rahmat, Brigjen TNI Amirmachmud, dan Panglima
2
Komando Antara Daerah Indonesia Timur Brigjen TNI M Yusuf. Sebagian besar saksi-saksi peristiwa tersebut saat ini telah meninggal dunia. Kendati demikian, pada masa-masa awal Reformasi, September 1998, keluar kesaksian Letda (Purn) Soekardjo Wilardjito, mantan pengawal Presiden Soekarno ketika beliau menghadapi saat-saat genting pada Jumat tanggal 11 Maret 1966 di Istana Bogor. Menurut Wilardjito, sekitar pukul 01.00 pada 12 Maret 1966, empat jenderal menemui Bung Karno. Selain tiga nama yang masuk catatan sejarah resmi Orde Baru, Wiliardjito menyebut satu lagi, Mayjen TNI Maraden Panggabean. Dalam versi Wilardjito, Brigjen TNI M Yusuf menyodorkan map merah jambu pada Bung Karno seraya berujar: ''Ini mohon ditandatangani, karena situasi sudah genting''. Saat itulah Mayjen TNI Basuki Rahmat dan Mayjen TNI Maraden Panggabean mencabut pistol FN kaliber 16 yang sudah terkokang dari pinggangnya dan menodongkan ke arah Bung Karno. Wilardjito yang ada di belakang Bung Karno bereaksi cepat mencabut pistol dari pinggangnya, "Jangan, jangan," ujar Bung Karno mencegah pengawalnya itu menembak. Ada kejanggalan-kejanggalan perilaku karakter yang terlibat dengan gambaran aksi penodongan Presiden Soekarno itu. Siapa pun yang mengenal pribadi Jenderal Basuki Rahmat sulit mencerna cerita ia bisa menodong panglima tertinggi, sekaligus orangtua yang ia hormati. Saat itu Panggabean juga dinilai moderat dibanding misalnya Sarwo Edie, Kemal Idris, atau M Yasin, dalam peta politik barisan anti-Soekarno. M Yusuf dan Amirmachmud dikenal masih amat setia pada Bung Karno. “Tugas saya sudah selesai, karena setelah kembali ke Jakarta, surat itu kami serahkan kepada Jenderal Soeharto,'' kata M Yusuf terkait kejadian itu, tak lama selepas pengakuan Wilardjito. Selain menyatakan tidak tahu di mana naskah asli berada, M Yusuf juga membantah bahwa dirinya bersama dua orang jenderal lainnya membawa pistol saat menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor pada 11 Maret 1966. “Bawa pistol saja tidak, apalagi menodong,'' kata mantan menhankam/pangab itu. M Yusuf pun menegaskan bahwa Panggabean tidak ikut ke Bogor. Selain dirinya, yang menemui Soekarno pada 11 Maret 1966 itu adalah Basuki Rachmat dan Amirmachmud . ''Saudara Maraden Panggabean tidak pernah ikut atau pergi bersama kami ke Istana Bogor. Bahkan, melihat di sana pun tidak,'' ujarnya. Mantan menteri Perindustrian itu membantah pula bahwa dirinya membawa map berwarna merah atau map apa pun yang berisi surat yang harus ditandatangani oleh Soekarno.
3
''Selain itu, tidak benar bahwa kami bertiga meninggalkan Istana Bogor pada pukul 01.00 dinihari, yang berarti sudah tanggal 12 Maret 1966. Kami meninggalkan Istana Bogor pada pukul 20.30 (11 Maret) untuk kemudian menyerahkan surat tersebut kepada saudara Letjen TNI Soeharto di Jakarta,'' katanya. Sementara Amirmachmud pada 1995 menerangkan, begitu naskah ditandatangani Bung Karno di paviliun rumah kediaman Ibu Hartini di Istana Bogor, rencananya langsung diserahkan ke Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto di Jakarta. Dalam perjalanan ke Jakarta, tepatnya ketika sampai di Jembatan Satu Duit, naskah dibaca lagi olehnya. Secara spontan dia bergumam, ''Kok ini penyerahan kekuasaan.'' Tapi komentar itu tak berlanjut. Naskah diserahkan oleh Basuki Rachmat ke Pak Harto selaku pemegang mandat Supersemar. Begitu menerima naskah Supersemar, Pak Harto -- ketika itu berpangkat Mayor Jenderal dan menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat -- langsung mengucapkan terima kasih. ''Tak ada diskusi waktu itu,'' katanya. Sejak itu, tutur Amirmachmud, dirinya tak tahu lagi tentang nasib surat tersebut. Yang jelas, dia yakin betul bahwa naskah tersebut terdiri atas dua lembar folio, ditandatangani di Bogor. ''Yang asli itu dua lembar,'' tuturnya. Mantan Menhankam/Kasab Jenderal (purn) AH Nasution pada 1995 mengeluarkan pernyataan bahwa lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang akan diperingati hari ini telah mempersatukan kembali angkatan-angkatan di ABRI yang nyaris terpecah-belah. Dengan Supersemar, kata Pak Nas, kepemimpinan yang bersifat dualistis bisa dihilangkan. Supersemar juga menunjukkan ABRI tak bisa diadu-domba dan dipecahbelah kekuatan mana pun. ''Kalau hal-hal yang bersifat interpretatif saya tidak tahu,'' katanya diplomatis. Diakuinya Supersemar sering menimbulkan berbagai prasangka. Misalnya soal lokasi. Surat ini disiapkan di Jakarta, namun ditandatangani di Bogor. ''Ini saja mengundang sejumlah pertanyaan.'' Pak Nas lebih banyak menceritakan pengalamannya sendiri mengenai sejarah Supersemar. Misalnya, bagaimana sikap Pak Harto setelah menerima surat perintah ini. ''Saya menyatakan dengan Supersemar bisa dibentuk kabinet darurat dan mengangkat para sekjen,'' ceritanya. Namun Pak Harto menolak membentuk kabinet darurat, dengan alasan soal ini masih tugasnya Soekarno.
4
Pak Nas mengaku baru mengetahui adanya Supersemar dari laporan stafnya Soetjipto (Brigjen Soetjipto, ketua gabungan V Koti, yang kemudian menjadi menteri pertanian) ''Saya diberitahu Sabtu malam, sehari setelah Supersemar diumumkan,'' ceritanya. Setelah pengumuman, Jakarta diliputi ketegangan. Soebandrio menghembuskan isu bahwa Angkatan Darat akan mengkudeta, sehingga mengundang reaksi angkatan lain. ''Mereka telah menyiapkan pasukan di berbagai tempat strategis. Mereka ingin mendahului, karena tak ingin kecolongan.'' Pak Nas lalu dikontak pihak Kostrad. ''Saya diminta menjadi penengah, guna menghindari terjadinya konflik dalam tubuh militer,'' katanya. Ia pun memenuhinya meskipun saat itu tak memiliki jabatan. Sekitar pukul dua dinihari para panglima berkumpul di rumahnya. Pak Nas mengaku terkejut. ''Mereka membawa senjata lengkap, kayak mau perang saja,'' ujarnya tersenyum. Dari pertemuan ini ditemukan akar persoalan, kalangan militer termakan isu. Maka ia pun mengadakan serangkaian rapat membahas substansi Supersemar. ''Mereka memandang Supersemar dari dimensi politis,'' ungkapnya. Sudut pandang politis itulah yang kemudian berjaya. Selepas pidato “Nawaksara” sebagai pertanggungjawaban Presiden Sukarno ditolak MPRS. Soeharto kemudian naik tampuk. Surat yang naskah aslinya kini gaib tersebut memicu rangkaian peristiwa yang membentuk republik seperti yang kita ketahui sekarang dengan seluruh konsekuensi baik dan buruknya.
Amuk Sukarno pada Soeharto http://www.republika.co.id/berita/selarung/suluh/17/03/11/omn3bn393-amuk-sukarno -pada-soeharto Sabtu , 11 Maret 2017, 15:10 WIB Misteri Surat Sebelas Maret Red: Fitriyan Zamzami Arsip Nasional RI
5
Soekarno dan Soeharto Oleh Selamat Ginting, Wartawan Republika REPUBLIKA.CO.ID, Pagi hari, 12 Maret 1966, dari Istana Bogor, Presiden Soekarno naik helikopter menuju Istana Negara di Jakarta. Ia akan membuka rapat pimpinan ABRI di Istana Negara. Rapat itu dihadiri lengkap oleh semua unsur petinggi TNI dan Polri, kecuali Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Suasana hari itu sangat berbeda dengan sehari sebelumnya ketika Bung Karno terpaksa harus lari dari sidang kabinet menyelamatkan diri ke Istana Bogor. Saat itu, istana dikepung pasukan bersenjata, namun tanpa identitas kesatuannya. Pada rapat pimpinan ABRI itu, Bung Karno akan membacakan surat perintah yang malamnya sudah dia berikan kepada Letjen Soeharto. Surat perintah itu tertanggal 11 Maret 1966. Belakangan disebut sebagai Supersemar. Presiden Soekarno merasa heran karena orang yang dia berikan perintah, yakni Letjen Soeharto, malah tidak hadir. Padahal, panglima angkatan laut, angkatan udara, dan kepolisian hadir semua. Soekarno pun mencari tahu mengapa dalam keadaan sangat penting, Letjen Soeharto selalu tidak hadir. Pertama, sidang kabinet, 11 Maret 1966, saat istana dikepung pasukan liar yang diduga dari angkatan darat. Di situ, Letjen Soeharto tidak hadir. Kedua, saat Rapim ABRI 12 Maret itu, lagi-lagi Soeharto pun tidak hadir. Ada sesuatu yang janggal, panglima angkatan darat tidak hadir dalam Rapim ABRI. Bung Karno semakin terkejut ketika diberitahu bahwa Men/Pangad Letjen Soeharto telah membuat Surat Keputusan (SK) Presiden/PANGTI ABRI/Mandataris MPRS/ PBR No 1/3/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
6
Bung Karno marah. Ia menilai, tindakan Soeharto ngawur dan bertentangan dengan isi serta jiwa Supersemar. Maka, Bung Karno memerintahkan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II J Leimena untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto sebagai pemegang Supersemar. Trio jenderal, yakni Brigjen M Jusuf, Mayjen Basoeki Rahmat, Brigjen Amir Machmud, dipanggil ke Istana Bogor. Di sana, Presiden menumpahkan amarahnya. “Kamu nyeleweng! Kamu bikin laporan salah kepada Soeharto!” Kesaksian itu dikemukakan M Hanafi, mantan dubes di Kuba, dalam buku biografinya. Ia mengaku, berada di Istana Bogor saat peristiwa itu terjadi. Menurut Soekarno, sebagaimana dikatakan oleh Amirmachmud, pembubaran partai adalah wewenang presiden. Tapi, menurut Amirmachmud, apa yang dilakukan Letjen Soeharto sudah sesuai dengan Surat Perintah 11 Maret, yaitu demi keselamatan bangsa dan negara, serta demi keselamatan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mengapa Presiden Soekarno memanggil trio jenderal ke Istana Bogor? Karena, melalui ketiga jenderal ini pula, Letjen Soeharto memberikan pesan kepada Presiden Soekarno. Ketiganya meminta Bung Karno memberikan kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengatasi masalah keamanan setelah istana dikepung pasukan liar. Soekarno pun mengeluarkan Surat Perintah (SP) 13 Maret 1966 yang intinya mencabut kembali Supersemar. Presiden Soekarno mengutus Leimena dan Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut merangkap Komandan Korps Komando AL Mayjen KKO Hartono untuk menyerahkan SP 13 Maret 1966 kepada Soeharto di rumahnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Soeharto tak menggubris perintah kedua ini. “Sampaikan kepada Presiden, segala tindakan yang saya ambil adalah tanggung jawab saya sendiri!” ujar Soeharto. Bagaimana isi Surat Perintah 13 Maret 1966? SP 13 Maret terdiri atas tiga hal. Pertama, mengingatkan bahwa SP 11 Maret itu sifatnya teknis/ administratif, tidak politik. Semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS. Kedua, Letjen Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan tindakan yang melampaui bidang politik sebab bidang politik adalah wewenang langsung Presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak Presiden semata-mata. Ketiga, Letjen Soeharto diminta datang menghadap Presiden di istana untuk memberikan laporannya.
7
Menurut Slamet Sutrisno, dosen sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Soeharto tidak melaksanakan dengan baik perintah untuk menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden. Ia juga tidak melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi yang secara eksplisit diperintahkan dalam SP 11 Maret. Sementara itu, mantan Waperdam I Soebandrio menyatakan, dalam naskah asli SP 11 Maret sebenarnya tertera poin, setelah keadaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno. Hal ini dikuatkan oleh Letjen Kemal Idris, “Itu biasanya kalau ada surat perintah untuk melaksanakan tugas dan kalau sudah selesai, ya harus lapor.” Namun hal itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto, seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk mendapatkan kekuasaannya sendiri.” Maka, tak mengherankan jika sampai ini, Arsip Nasional Republik In donesia (ANRI) tidak memiliki naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966 dan Surat Perintah 13 Maret 1966. Hanya Soeharto, sebagai penerima dua surat itu, yang mengetahui di mana kedua surat saksi sejarah bangsa. Semua pelaku dan saksi kedua surat penting itu kini telah tiada. Itulah sisi kelam sejarah bangsa pada masa peralihan dari Soekarno kepada Soeharto.
8