Penentu Kemuliaan dan Kehinaan
“Jika engkau ingin mendapatkan kemuliaan yang tidak punah atau rusak, janganlah membanggakan kemuliaan yang bisa rusak (tidak kekal).” (Ibnu Atha’illah)
N
amanya Barakah bint Tsa’labah. Kulitnya hitam, badannya kurus, statusnya sebagai budak seakan menambah hitam wajahnya. Namun, jangan tanya akhlaknya. Sebagaimana namanya, dia dikenal sebagai wanita yang baik pekertinya lagi riang pembawaannya.
Awalnya dia tinggal di rumah Abdul Muththalib, seorang tokoh Quraisy yang amat disegani. Lalu, oleh Abdul Muththalib, dia dihadiahkan kepada putra kesayangannya yang bernama Abdullah, yang kala itu menikah dengan seorang wanita mulia bernama Aminah bint Wahab. Maka, dia pun ikut kepada keluarga muda ini. Jangan tanya akhlak keduanya,
1
mereka memperlakukan Barakah layaknya keluarga sendiri.
Kelahiran Muhammad saw. telah mengubah arah nasibnya. Allah Ta’ala berkenan menjadikannya sebagai bunga indah di taman sejarah. Yang Mahakuasa memilihnya sebagai “ibunda kedua” bagi Al-Musthafa. Dengan tangannya yang cekatan dan hatinya yang lapang, dia mengasuh Muhammad saw. kecil dengan sepenuh cinta dan ketulusan. Takdir pun berkata lain. Pasangan majikan yang amat dicintainya itu harus wafat dalam usia muda. Tinggallah Muhammad sebagai anak yatim piatu. Terngiang selalu wasiat Bunda Aminah agar dia senantiasa merawat dan menemani Muhammad.
Maka, ketika Muhammad kecil pindah ke rumah rumah Abu Thalib dan Fathimah bint ‘Asad, paman dan bibi Muhammad, Barakah pun ikut serta bersamanya. Dia tinggal di sana bersama anak-anak Abu Thalib lainnya, termasuk Ali bin Abi Thalib dan Ja’far, yang kelak menjadi tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam. Setelah berpuluh tahun lamanya, Muhammad saw. pun menikah dengan Khadijah. Barakah amat bahagia melihat “sang anak” telah menemukan tambatan hati yang teramat ideal. Dan, yang lebih membahagiakan, Muhammad saw. memerdekakan Barakah. Walau demikian, Barakah tetap setia menunaikan tugasnya untuk membantu Muhammad dan Khadijah. Dia tidak mau jauh dari keluarga yang diberkahi tersebut.
Barakah lalu menikah dengan Ubaid bin Harits. Dari pernikahan itu lahirnya seorang anak bernama Aiman. Maka, Nabi saw. pun menyebutnya “Ummu Aiman”. Inilah kunyah (julukan) yang kemudian amat lekat dengan dirinya. Allah Ta’ala memberi Ummu Aiman usia yang panjang. (Dia wafat tahun 20 Hijriyah pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan). Itulah mengapa, dia bisa menyaksikan hampir keseluruhan kehidupan Nabi saw. dan menjadi bagian penting di dalamnya.
Nabi pun sangat memuliakan maulanya ini. Beliau telah menganggap Ummu Aiman sebagai ibu kedua sehingga beliau tidak segan memanggilnya sebagai “Ibunda”. “Dia adalah bagian dari keluargaku. Ummu Aiman adalah ibundaku setelah ibundaku,” ungkap Nabi suatu ketika (Ath-Thabaqât, 10:212) Kelak, dari rahimnya lahir pula seorang tokoh besar Islam yang bernama Usamah, adik seibunya Aiman. Dia adalah buah cinta Ummu Aiman dengan Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi saw.). Usamah sendiri memiliki julukan Al-Hubb ibn Al-Hubb (Cinta putra Cinta). Dialah yang Nabi saw. pernah mengungkapkan kecintaan kepadanya. Susunan Redaksi
Itulah Barakah. Itulah Ummu Aiman. Islam telah memuliakannya. Pengorbanannya untuk Rasulullah, Allah Ta’ala balas dengan menjadikannya Zaid bin Haritsah, seorang syuhada di Perang Mu’tah, sebagai suaminya. Dan, Usamah bin Zaid, salah satu “cucu” kesayangan Rasulullah, sebagai putranya. ***
“Siapa bergantung kepada selain Allah, baik pada harta, anak keturunan, pekerjaan, jabatan, atau lainnya. Niscaya, Allah Ta’ala akan menjadikan dia sangat cenderung kepada itu semua. Dan, itulah yang menjadi penyebab hadirnya kesengsaraan dan azab bagi orang tersebut,” demikian ungkap Dr. ‘Aidh bin Abdullah Al-Qarni dalam masterpiece-nya; Lâ Tahzan (Jangan Bersedih).
Maka, walau generasi terus berganti, masa terus berlalu, hukum ini senantiasa abadi. Lihatlah Fir’aun, sang tiran legendaris, dia celaka karena kedudukannya. Kerajaannya yang besar, hartanya yang melimpah, kekuasaannya yang kuat, tubuhnya yang selalu sehat, telah membuatnya lupa diri. Dia menganggap semua itu akan abadi sehingga dia melupakan Zat Yang Mahakekal abadi.
Demikian halnya dengan Qarun, dia binasa karena harta kekayaannya yang tiada nyaris tak terhitung jumlahnya. Hamman hancur karena kepintaran dan kedekatannya dengan penguasa. Umayyah bin Khalaf hancur karena bisnisnya. Demikian pula, Abu Jahal binasa karena kedudukannya. Atau, Al-Hajjaj AtsTsaqafi tercampak karena kesombongannya di muka bumi. Jabatan gubernur telah melalaikannya dari kebenaran.
Namun, siapa bergantung kepada Allah, bekerja dan beramal semata-mata karena mengharap ridhaNya, niscaya Allah Ta’ala akan memuliakan dan mengangkat derajatnya. Walau, boleh jadi, awalnya dia tak punya apa-apa: miskin, tanpa kedudukan, tanpa kerabat terhormat, bahkan dia awalnya adalah seorang budak. Lihatlah Bilal, seorang budak laki-laki yang amat dihinakan majikannya, Allah angkat derajatnya dengan azan dan jihad. Salman dimuliakan dengan akhirat (sikap zuhud). Atau, Barakah binti Tsa’labah; budak wanita milik Abdul Muththalib, yang kisahnya telah kita baca diawal tulisan. Dia dimuliakan Allah karena kecintaan dan kesetiaannya kepada Rasulullah saw. Kehadiran Rasulullah saw. dan kebersamaan dia dengan manusia mulia, telah pula menjadikannya sosok yang dimuliakan.
Maka, benarlah apa yang dinasihatkan Ibnu Atha’ilah dalam Al-Hikam, “Jika engkau ingin mendapatkan kemuliaan yang tidak punah atau rusak, janganlah membanggakan kemuliaan yang bisa rusak (tidak kekal).” ***
Penanggung Jawab: H. Dudung Abdulghani. Dewan Redaksi: Teh Ninih Muthmainnah, H. Dudung Abdulghani, Dr. Tauhid Nur Azhar, Yudi Firdaus. Pemimpin Redaksi: Emsoe Abdurrahman. Redaktur/ Reporter: Inayati Ashriyah, Abie Tsuraya. Layouter/Desainer: Mang Ule. Publikasi/Dokumentasi: Fajar Fakih, Yana Saputra. Sekretaris: Nita Yuliawati. Keuangan: Astri Febriyanti. Marketing/Sirkulasi: Dadi Suryadi. email:
[email protected].
e-NEWSLETTER TASDIQUL QURAN | EDISI 131 | JULI 2017 | MINGGu ke-4
2
e-NEWSLETTER TASDIQUL QURAN | EDISI 131 | JULI 2017 | MINGGu ke-4
3
ENSIKLOPEDIA ISLAM
Allah Al-Barr
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah, 2:29)
A
llah Ta’ala amat menginginkan keselamatan bagi semua hamba-Nya dari kesesatan. Allah pun tidak membiarkan hamba-Nya mengalami kesulitan. Dia menyediakan segala sesuatu demi kemudahan hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di laut, daratan, dalam perut bumi, dan lainnya, dianugerahkan kepada manusia untuk dipergunakan (QS Al-Baqarah, 2:29). Anugerah ini juga diberikan kepada orang-orang yang durhaka. Mengapa Allah tidak segera menghukum mereka? Sesungguhnya, Allah Azza wa Jalla hanya menghendaki kebaikan, kebahagiaan, dan kemudahan
bagi semua hamba-Nya. Dia tidak menyukai sikap keras terhadap mereka. Dengan kasih sayang-Nya, Allah memaafkan orang-orang berdosa. Jika menghukum, hukuman-Nya itu tidak pernah melebihi dosa yang dilakukan. Allah pun menangguhkan hukuman agar hamba-Nya itu bisa menyadari kesalahan dan segera memperbaikinya. Saat dia mau bertobat dan memperbaiki diri, Allah pun mengubah dosa yang diampuni menjadi amal kebaikan. Kemudian, ketika dia mau menjalankan amal saleh, pahalanya Allah lipatgandakan sampai berpuluh bahkan beratus kali lipat. Hal ini terjadi karena Allah adalah Al-Barr; Zat Yang Maha Melimpahkan Kebaikan. ***
Al-Barr berarti yang baik hati, yang menyayangi, yang lembut dan yang mulia. Bisa juga berarti yang dermawan. Adapun Al-Barr sebagai sifat Allah bermakna Mahadermawan atau Mahabaik yang menganugerahkan kebaikan kepada makhluk-Nya baik di dunia maupun di akhirat. Allah tidak pernah
e-NEWSLETTER TASDIQUL QURAN | EDISI 131 | JULI 2017 | MINGGu ke-4
4
ENSIKLOPEDIA ISLAM pandang bulu dalam memberikan kebaikan, walaupun makhluk-Nya yang dianugerahi kebaikan itu terus menerus melakukan kedurhakaan.
Al-Barr bermakna pula Dia yang tidak pelit memberikan rezeki. Dia baik hati kepada orang yang berbuat baik dengan melipatgandakan pahalanya. Dia pun mampu berbuat baik kepada orang yang berbuat keji dengan memaafkan dan mengampuni.
Dalam Al-Quran, kata Al-Barr disebutkan tiga kali. Satu di antaranya digunakan untuk menyifati Allah Ta’ala. ”Mereka berkata, ’Sesungguhnya, kami dahulu sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami, kami bersikap lemah lembut (takut neraka), maka Allah memberi karunia kepada kami dan memelihara kami dari
siksa neraka. Sesungguhnya, kami dahulu menyembahNya. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang’.” (QS At-Thûr, 52:27-28)
Dalam ayat ini Al-Barr disandingkan dengan ArRahîm (Yang Maha Penyayang). Hal ini mengisyaratkan bahwa semua anugerah yang diterima makhluk, Allah Ta’ala berikan atas dasar kasih sayang semata. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh manusia. Manusia memberi karena ingin memperoleh manfaat, nama baik, atau sekadar ingin menghindar dari kecaman atau datangnya bahaya. *** Sumber: Asmaul Husna untuk Hidup Penuh Makna, Jilid 3, KH. Abdullah Gymnastiar.
e-NEWSLETTER TASDIQUL QURAN | EDISI 131 | JULI 2017 | MINGGu ke-4
5
MUTIARA AL-QURAN
Pelajaran dari Kaum Shabi’in “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS Al-Baqarah, 02:62)
K
ata shabi’in disebutkan tiga kali dalam tiga surah Al-Quran. Dalam tiga ayat pada tiga surah, yaitu surah Al-Baqarah ayat 62, Al-Ma`idah ayat 69, dan Al-Hajj ayat 17, kata shabi’in muncul bersamaan dengan Yahudi dan Nasrani. Siapakah orang-orang Shabi’in yang dimaksud, apakah mereka termasuk golongan Ahlul Kitab? Sejumlah pendapat menjelaskan tentang apa itu Shabi’in. Ada yang berpendapat mereka termasuk Ahlul Kitab. Namun, sebagian lagi menerangkan bahwa mereka adalah kelompok tersendiri.
Menurut Imam Mujahid, Shabi’un adalah sekelompok orang yang tidak beragama. Namun, pendapat lainnya menyatakan bahwa Shabi’in adalah setiap orang yang keluar dari satu agama dan berpindah ke agama lain. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka pada akhirnya memeluk agama Islam.
Shabi’in dijelaskan adalah orang-orang yang baik, bertauhid, beriman kepada Allah dan Hari Akhir, mengerjakan shalat lima waktu menghadap negeri Yaman, puasa selama sebulan dalam setahun, dan beriman kepada semua nabi. Pendapat tersebut disampaikan oleh Ibnu Hatim dan dia menambahkan
bahwa mereka tinggal di sebelah negeri Irak.
Shabi’in telah ada sebelum Yahudi dan Nasrani. Bahkan, sampai saat ini kelompok tersebut masih ada walaupun jumlah mereka sedikit dan tinggal di sebelah utara Irak. Mereka dianggap penganut sebuah agama yang mirip dengan Nasrani, hanya saja kiblat mereka mengarah ke selatan. Mereka termasuk pengikut Nabi Nuh as.
Dari sekian banyak pendapat, dapat dipahami melalui simpulan berikut. Shabi’in adalah pengikut Nabi Adam, Nabi Nuh, dan Nabi Yahya. Mereka merupakan pemeluk agama samawi yang mengikuti syariah Nabi Nuh selama berabad-abad dan diteruskan oleh Zakaria dan terakhir oleh Yahya. Dengan penjelasan tersebut, terdapat koreksian terhadap keterangan yang terdapat pada footnote AlQuran Terjemah yang dikeluarkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Shabi’in adalah sekelompok orang yang menyembah bintang dan dewa-dewa. Dari banyak keterangan, tidak dijelaskan bahwa mereka adalah penyembah bintang, dewa, ataupun berhala. Dan, Allah-lah yang lebih mengetahui kebenarannya atas persoalan ini. (Inayati Ashriyah/TasQ) ***
e-NEWSLETTER TASDIQUL QURAN | EDISI 131 | JULI 2017 | MINGGu ke-4
6
INFO
WAKAF AL-QURAN
Alhamdulillah, pada Selasa, 25 Juli 2017, telah dilaksanakan tebar wakaf Al-Quran dalam rangka Tebar Wakaf Pelosok Negeri oleh Tasdiqul Qur`an, yang serah terimanya dikonsentrasikan di Masjid Al-Muslimun, Jalan Kopo KM 12.5 Katapang Wetan No. 16 Bandung. Sebanyak 400 mushaf Al-Quran dan 200 buku Iqro` diserahkan kepada enam lembaga, yaitu Baiturrahman, Yayasan Bahtera Nuh as., MI Al-Istiqomah, MDT. Al-Madinatul Munawarah, Yayasan Najahuth-Tholabah, dan DKM. Al-Muslimun.
e-NEWSLETTER TASDIQUL QURAN | EDISI 131 | JULI 2017 | MINGGu ke-4
7
MUTIARA KISAH
Buah Kejujuran
“... Jika engkau seorang Muslim, mintalah kurma itu kepada pemiliknya sampai dia ikhlas memberikannya kepadamu. Lakukanlah itu sekuat tenaga sebagaimana engkau dalam kondisi teramat haus dan sangat ingin meminum air!”
A
da rasa kagum apabila kita menelusuri jejak kehidupan orang-orang saleh sepanjang zaman. Ada teladan dalam kebaikan, kejujuran, dan kesungguhan dalam mendekat kepada Rabbnya. Ambillah contoh Al-Harits Al-Muhasibi, seorang zahid yang hidup pada abad ke-2 Hijriyah (165-243 H atau 781-857 M) Kala masih kecil, dia ditawari sejumlah kurma oleh seorang pedagang. “Makanlah semua kurma itu,” ujar sang pedagang sambil tangannya menunjuk setumpuk kurma. Namun, karena kehati-hatiannya, AlHarits balik bertanya, “Beri tahukan terlebih dahulu bagaimana engkau mendapatkan kurma-kurma ini?” “Baru saja ada orang membeli kurmaku, lalu sebagian kurma yang dibelinya itu jatuh tercecer!” kilah orang ini. Al-Harits Al-Muhasibi kemudian bertanya kepada sejumlah anak yang tengah bermain di sekitar tempat itu, “Teman-teman, apakah bapak ini seorang Muslim?” Mereka pun mengiyakan.
Saat mendengar jawaban itu, Al-Harits langsung pergi meninggalkan si penjual kurma. Laki-laki ini
penasaran dengan sikap Al-Harits kecil. Dia pun mengejarnya dan lalu menangkap tangannya sambil bertanya, “Demi Allah, aku tidak akan melepaskanmu kecuali engkau mengatakan kepadaku tentang apa yang ada dalam hatimu tentang diriku?” Apa jawaban Al-Harits yang kala itu masih berusia 10 tahun? “Pak, jika engkau seorang Muslim, mintalah kurma itu kepada pemiliknya sampai dia ikhlas memberikannya kepadamu. Lakukanlah itu sekuat tenaga sebagaimana engkau dalam kondisi teramat haus dan sangat ingin meminum air!
Pak, apakah engkau rela memberi makan anakanak Muslim dengan yang haram, padahal engkau seorang Muslim?” Lelaki penjual kurma ini terkejut dan sangat malu. Dia pun berkata, “Demi Allah, (sejak saat ini) aku tidak akan lagi berjualan untuk urusan dunia ...” ***
Sumber: Anja Nujaba Al-Abna, Ibnu Jufr Al-Makky, dalam Mencari Mutiara di Dasar Hati, Muhammad Nursani.
e-NEWSLETTER TASDIQUL QURAN | EDISI 131 | JULI 2017 | MINGGu ke-4
8
Kutipan Buku
Takbir “Kata-kata yang paling Allah cintai ada empat: subhaanallaah, alhamdulillâh, lâ ilâha illallâh, dan Allâhu akbar. Dengan kata manapun engkau memulianya, tidak masalah!” (HR Muslim dari Samurah)
T
akbir berarti mengagungkan Allah Ta’ala dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih agung dari Dia. Siapapun atau apapun yang diklaim memiliki keagungan, sesungguhnya dia tetap kecil di hadapan Allah Ta’ala. Dengan demikian, ketika kita mengucapkan takbir; Allaahu Akbar, pada saat yang bersamaan kita merendahkan dan mengecilkan diri kita serendah-rendahnya dan sekecil-kecilnya di hadapan Allah Ta’ala. Tiada lagi kesombongan, merasa diri lebih, dan sikap angkuh kala kita mengucapkannya. Hati kita meyakini bahwa hanya Allah Zat Yang Mahabesar, Mahakuasa, kepada-Nya tunduk semua makhluk, dan kepadaNya kembali semua urusan. Ucapan ini kemudian ditindaklanjuti dengan perbuatan, yaitu dengan mengaplikasikan maknamakna tersebut ke dalam sikap atau perilaku: tidak sombong, ujub, tidak menunada-nunda kala seruan Allah datang menghampiri, tidak menentang hukum-hukum-Nya, dan sami’na wa atha’na atas segala perintah dan larangan-Nya sesuai kapasitas diri untuk melaksanakannya, dan lainnya.
At-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban) “Kata-kata yang paling Allah cintai ada empat: subhaanallaah, alhamdulillaah, laa ilaaha illallaah, dan allaahu akbar. Dengan kata manapun engkau memulianya, tidak masalah!” (HR Muslim dari Samurah) Beliau pun bersabda, “Kata-kata ini adalah (kata-kata) yang terbaik setelah Al-Quran dan keempatnya adalah bagian dari Al-Quran. Dengan yang mana pun kamu memulainya, tidak masalah: subhânallâh, alhamdulillâh, lâ ilâha illallâh, dan Allâhu akbar.” (HR Ahmad dari Samurah ra.) Sumber: Panduan Lengkap Zikir Penenteram Qalbu, karya Teh Ninih Muthmainnah dan Tim Tasdiqiya.
Terkait kalimat takbir, Ibnu Taimiyah mengungkapkan, “Yang dimaksud dengan takbir ialah menjadikan Allah di mata seorang hamba lebih besar daripada segala sesuatu. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. kepada Adi bin Hatim, ‘Hai Adi, apa yang membuatmu keberatan? Mengapa engkau keberatan mengucap: Lâ ilâha illallâh? Padahal, engkau tahu bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah? Hai Adi, apa yang membuatmu keberatan? Mengapa kamu keberatan mengucap allaahu akbar? Bukankah tiada sesuatu pun yang lebih besar (lebih agung) dari-Nya?” (HR Ahmad,
e-NEWSLETTER TASDIQUL QURAN | EDISI 131 | JULI 2017 | MINGGu ke-4
9
e-NEWSLETTER TASDIQUL QURAN | EDISI 131 | JULI 2017 | MINGGu ke-4
10
e-NEWSLETTER TASDIQUL QURAN | EDISI 131 | JULI 2017 | MINGGu ke-4
11