SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN DI INDONESIA (ANALISIS TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY)
OLEH MUHAMMAD IQBAL TRIAJIE H14102118
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
MUHAMMAD IQBAL TRIAJIE. Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan di Indonesia (Analisis Total Factor Productivity) (Dibimbing oleh BUNGARAN SARAGIH). Isu ketahanan pangan telah memasuki paradigma baru, dengan adanya konsep sustainable food security (konsep ketahanan pangan berkelanjutan). Dalam hal ini selain peranan yang sangat mendasar dari industri pertanian, yang perlu diperhatikan juga adalah peranan penting dari industri pengolahan makanan sebagai industri yang dapat mengoptimalkan hasil-hasil pertanian. Selain itu industri pengolahan merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan industri pengolahan makanan memiliki kontribusi yang paling dominan dalam industri pengolahan. Industri pengolahan makanan juga merupakan bagian integral dari subsistem agribisnis hilir dalam sistem agribisnis. Dalam menganalisis peranan industri pengolahan makanan digunakan metode Total Factor Productivity, untuk menghitung akumulasi faktor dan tingkat efisiensi teknis dari industri tersebut. Dengan demikian dapat dilihat bagaimana ketergantungan industri pengolahan makanan terhadap akumulasi faktor dan bagaimana pengaruh teknologi (efisiensi teknis) terhadap industri pengolahan makanan. Hasil perhitungan pertumbuhan bersama dengan faktor produksi yang lain diregresi dengan menggunakan metode Pool Least Square (PLS). Pada saat krisis memang industri pengolahan merupakan industri yang paling mengalami kehancuran dan mendapatkan dampak yang sangat signifikan dari krisis. Akan tetapi pada masa pemulihan industri pengolahan, khususnya produk makanan pokok, merupakan sektor industri yang paling cepat pulih dan kembali tumbuh secara pesat. Dalam periode 1994-1996, industri pengolahan mengalami pertumbuhan nilai output sebesar 20.97 persen, dan mengalami penurunan nilai rata-rata pertumbuhan menjadi 11.29 persen ketika krisis melanda perekonomian. Namun dengan cepat pertumbuhan rata-rata kembali meningkat pada periode 2000-2002 sebesar 35.84 persen. Pertumbuhan masih didominasi oleh pengaruh faktor input, terutama bahan baku (input driven). Peranan teknologi dalam industri pengolahan masih belum optimal karena hanya dapat diterapkan pada beberapa sektor industri. Hal ini dikarenakan mahalnya biaya imbangan untuk kemajuan teknologi dan masih lemahnya industri nasional dalam melakukan proses difusi teknologi, ditambah dengan kualitas sumber daya manusia yang mayoritas masih dibawah standar. Sesuai dengan arah kebijakan pemerintah, hanya sektor-sektor industri prioritas yang mampu memanfaatkan teknologi dengan baik dengan dukungan penuh dari pemerintah, sementara sektor lainnya kurang mendapatkan perhatian dalam hal adopsi teknologi. Akibatnya kemajuan teknologi pada industri pengolahan makanan tidak merata dan secara keseluruhan belum optimal.
SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN DI INDONESIA (ANALISIS TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY)
Oleh MUHAMMAD IQBAL TRIAJIE H14102118
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Muhammad Iqbal Triajie
Nomor Registrasi Pokok
: H14102118
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan di Indonesia (Analisis Total Factor Productivity)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. NIP. 130 350 045
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2006
Muhammad Iqbal Triajie H14102118
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Muhammad Iqbal Triajie dilahirkan pada tanggal 1 Januari 1985 di Kota Bogor. Penulis anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Iskandar Dharsono dan Yunarsih. Jenjang pendidikan pertama penulis dimulai di TK Pertiwi 1 Bogor pada tahun 1989, Kemudian melanjutkan ke SDN Panaragan 2 Bogor pada tahun 1990 hingga lulus pada tahun 1996. Penulis kemudian melanjutkan jenjang pendidikan ke SLTPN 6 Bogor hingga lulus pada tahun 1999, dan kemudian diterima di SMUN 5 Bogor dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima masuk di Departemen Ilmu Ekonomi (IE) Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Selama menjalankan studi penulis aktif di beberapa organisasi di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) antara lain sebagai anggota Biro Kesekretariatan HIPOTESA (Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Ekonomi) IPB pada tahun 2004, dan menjadi Presiden klub Sepak Bola dan Futsal Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FFFF) periode 2004-2005. Selain itu penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan dalam acara-acara yang diselenggarakan di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Beberapa prestasi yang pernah penulis raih ketika menjalankan studi di IPB antara lain, pemain terbaik (MVP) babak final Turnamen Futsal PORFEM (Pekan Olah Raga FEM) pada tahun 2003, bersama Departemen Ilmu Ekonomi menjuarai HIMAFARIN CUP (Turnamen Futsal Antar Departemen se-IPB) pada tahun 2003, dan bersama Fakultas Ekonomi dan Manajemen meraih medali perunggu untuk cabang sepak bola pada Olimpiade IPB tahun 2005.
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan di Indonesia (Analisis Total Factor Productivity)”. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Prof. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. Ph.D yang telah memberikan bimbingan
baik secara moril maupun materil dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik, dan dalam waktu yang relatif singkat mampu membuka pemikiran penulis sehingga memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas bagi penulis. 2.
Nunung Nuryantono, Ph.D sebagai dosen penguji utama, yang telah
memberikan banyak masukan dan dukungan kepada penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. 3.
Fifi Diana Thamrin, SE. M.Si sebagai komisi pendidikan, yang telah
memberikan banyak perbaikan dalam penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini menjadi lebih sempurna. 4.
Noer Azam Achsani, Ph.D yang telah memberikan masukan mengenai
metode analisis dan pengolahan data dalam penelitian ini. 5.
Syamsul Hidayat Pasaribu, SE. M.Si yang memberikan masukan mengenai
metode analisis dalam penelitian ini, dan memperlancar kegiatan administrasi dalam penyusunan skripsi ini. 6.
Muhammad Findi A, SE. M.Si atas diskusi dan masukan dalam
penyusunan skripsi ini. 7.
Kedua orang tua penulis, yaitu Yunarsih dan Iskandar Dharsono, serta
terima kasih kepada Iriansyah, Yuanita, Robby Kurniawan, Novianthy Fitria, Syarbi Hasanudin dan Mega Marlina yang selalu memberi semangat kepada
penulis. Terima kasih untuk keceriaan yang selalu diberikan oleh Lulu, Elsya, Abi dan Rido. 8.
Penulis juga sangat terbantu dengan kritik dan saran teman-teman di
Departemen Ilmu Ekonomi, karena itu tiada kata-kata yang mampu melukiskan rasa terima kasih penulis kepada mereka semua, terutama Imam, Tasya, Adife, Wirda, Fickry, Mala, Thamic, Ionk, Aira, Febri, andros, Lia, Ade Holis, Nonon, Isma, Ryan, Rudi, Soichiro, Sotoy dan teman-teman Ilmu Ekonomi yang lain khususnya angkatan 39 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 9.
Keluarga besar Departemen Ilmu Ekonomi dan Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, kepada seluruh Dosen dan Staf yang selalu memberikan dukungan kepada penulis semasa penulis menjalankan studi di Departemen Ilmu Ekonomi. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak lainnya yang membutuhkan.
Bogor, September 2006
Muhammad Iqbal Triajie H14102118
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .............................................................................. xi DAFTAR GAMBAR.......................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xiii I.
PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8 1.4. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 8 1.5. Ruang Lingkup Penelitian............................................................. 9
II.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN.......... 10 2.1. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 10 2.1.1 Sistem Agribisnis. ............................................................. 10 2.1.2. Konsep Ketahanan Pangan................................................ 11 2.1.3. Produktivitas, Pertumbuhan, dan Sumber Pertumbuhan... 13 2.1.4. Sumber-Sumber Pertumbuhan Produktivitas.................... 14 2.1.5. Definisi Industri Pengolahan Makanan............................. 16 2.1.6. Teori Residual Solow........................................................ 17 2.1.7. The Law of Diminishing Return ........................................ 19 2.1.8. Fungsi Produksi Cobb Douglas ......................................... 21 2.1.9. Hasil Penelitian Sebelumnya............................................. 22 2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................ 25 2.2.1. Total Factor Productivity Growth: Konsep dan Pengukuran......................................................................... 25 2.2.2. Jenis-Jenis Perubahan Teknologi ....................................... 27 2.3. Kerangka Pemikiran Operasional ................................................. 28 2.4. Hipotesis........................................................................................ 32
III.
METODE PENELITIAN .................................................................. 33 3.1. Lokasi Penelitian........................................................................... 33 3.2. Waktu Penelitian ........................................................................... 33
3.3. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 33 3.4. Metode Analisis ............................................................................ 34 3.4.1. Pengolahan Data Panel (Pool).............................................. 35 3.4.1. Pendekatan Analisis Produktivitas Faktor Total ................. 37 3.4.2. Estimasi ................................................................................ 38 3.5. Pengujian Model ........................................................................... 43 3.5.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)........................................... 44 3.5.2. Uji-F .................................................................................... 44 3.5.3. Uji-t ..................................................................................... 45 3.6. Evaluasi model .............................................................................. 45 3.6.1. Heteroskedastisitas.............................................................. 45 3.6.2. Multikolinieritas ................................................................. 46 3.6.3. Autokorelasi ........................................................................ 46 IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 48 4.1. Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Dalam PDB..................... 48 4.2. Arah Kebijakan Perindustrian di Indonesia .................................. 52 4.3. Karakteristik Industri Pengolahan Makanan di Indonesia ............ 53 4.4. Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan ................................ 56 4.5. Pengaruh Akumulasi Faktor Terhadap Pertumbuhan ................... 59 4.5.1. Pengujian Model ................................................................ 61 4.5.2. Tenaga Kerja (Labor).......................................................... 63 4.5.3. Faktor Modal (Capital)........................................................ 67 4.6. Peranan Teknologi ........................................................................ 72
V.
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 77 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 77 5.2. Saran.............................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 81 LAMPIRAN.................................................................................................... 84
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
4.1.
Kontribusi PDB Menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen)........................................................................................................48
4.2.
Pertumbuhan PDB Sektor Industri Pengolahan Tahun 1993-2005** (persen)........................................................................................................49
4.3.
Komposisi PDB Sektor Industri Pengolahan Menurut Subsektor 1993-2002 (persen) .....................................................................................50
4.4.
Distribusi Persentase Nilai Tambah Bruto Industri Besar Sedang Menurut Jenis Industri 2003 (Ribu Rp) ......................................................51
4.5.
Klasifikasi Golongan Industri Berdasarkan Tenaga Kerja..........................54
4.6.
Pertumbuhan Nilai Output Industri Pengolahan Makanan (persen) ...........58
4.7.
Hasil Regresi dengan metode PLS..............................................................60
4.8.
Pertumbuhan Nilai Tenaga kerja Industri Pengolahan Makanan (persen)..66
4.9.
Pertumbuhan Nilai Modal Industri Pengolahan Makanan (persen)............67
4.10. Kontribusi Barang Modal Terhadap Total Kapital (persen) .......................69 4.11. Tingkat Pengembangan Teknologi Industri Pengolahan Makanan (persen)........................................................................................................74
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Kurva Kemungkinan Produksi......................................................................18 2.2. Kurva Produk Total dan Marjinal .................................................................20 2.3. Bagan Sistem Agribisnis dan Dimensi Kunci dalam Sistem Agribisnis.......29 2.4. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional..............................................31 4.1 Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Dalam Industri Pengolahan Makanan .....55 4.2 Sumber Modal Industri Pengolahan Makanan..............................................55
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Kode Klasifikasi Industri Berdasarkan KBLI 2003 ........................................85 2. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Output dan Tenaga Kerja ........................86 3. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Kapital dan Teknologi .............................86 4. Distribusi Labor, Bahan Baku, Energi, Sewa dan Jasa ...................................87 5. Proporsi Masing-masing Input Terhadap Input Total.....................................87 6. Rata-Rata Pertumbuhan Kontribusi Input Tahun Ke t, t-1 .............................88 7. Distribusi Input, Output dan Hasil Perhitungan Pertumbuhan .......................88 8. Tabel kontribusi Output Kelompok Industri Terhadap Output.......................89 9. Hasil Regresi Dengan Metode PLS.................................................................90 10. Hasil Regresi Dengan Metode FELS ..............................................................91 11. Hasil Perhitungan Statistik Chow ...................................................................92 12. Grafik Residual Masing-masing Cross Section ..............................................92
I. PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan
yang cukup pesat seiring pertumbuhan penduduk yang berakselerasi secara cepat. Jika diibaratkan, pertumbuhan penduduk yang meningkat berdasarkan deret geometri semakin sulit diimbangi dengan produksi makanan dan bahan pangan yang berkembang berdasarkan deret aritmatika. Dibutuhkan produktivitas yang sangat tinggi dalam memproduksi bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk setiap tahunnya. Untuk mencapai pertumbuhan produktivitas yang tinggi tersebut diperlukan adanya peningkatan produktivitas dalam industri pertanian sebagai pemasok bahan baku produk pangan dan peranan industri pengolahan makanan sebagai stimulus bagi pertumbuhan produksi bahan pangan secara keseluruhan untuk mencukupi standar ketahanan pangan nasional. Isu ketahanan pangan merupakan salah satu permasalahan penting yang dapat dipecahkan dengan pendekatan sistem agribisnis. Selama beberapa tahun ini studi internasional telah banyak yang mengangkat tema agribisnis. Tekanan yang berganda akibat adanya pertumbuhan penduduk dan perubahan lingkungan menyebabkan studi mengenai agribisnis lebih berkembang. Pada sisi pasar, sektor agribisnis dihadapkan pada kehadiran pemain-pemain baru dalam saluran distribusi dan komersialisasi yang berhubungan dengan permintaan konsumen yang semakin eksklusif, seperti kesehatan, ramah lingkungan, dan produk-produk yang terdiversifikasi. Pada sisi
perusahaan, ada transformasi dari industri kecil dan rumah tangga ke industriindustri besar yang berkembang berdasarkan rantai produksi dan distribusi. Pada sektor industri yang lain, penetapan tujuan perusahaan dapat ditentukan berdasarkan struktur kordinasi masing-masing perusahaan. Dalam sektor agribisnis, tujuan perusahaan menuntut adanya penyeragaman strategi dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah stakeholders (pemegang peranan) yang sangat besar yang memiliki hubungan yang mengacu kepada kegagalan pasar dan memiliki perbedaan kepentingan. Untuk itu analisis agribisnis menuntut adanya pendekatan yang dinamis dan sistematis daripada yang statis dan lokal, dan perhatian akan investasi untuk mencapai optimisasi jangka panjang yang dinamis dari sistem secara keseluruhan. Pada saat ini, mengacu pada peningkatan permintaan untuk bahan pangan, pengetahuan tentang pertanian telah berkembang lebih luas dan menjadi instrumen dalam perubahan industri dari pertanian milik keluarga menjadi industri pertanian yang lebih besar. Pertanian modern telah memanfaatkan teknik kultivasi dan budidaya ternak, kemudian mentransfer fungsi penyimpanan, pemrosesan dan distribusi dari tanaman pangan dan ternak seperti yang terjadi pada industriindustri lainnya selain industri pertanian. Fenomena ini menyebabkan, klasifikasi tradisional mengenai kegiatan sektor primer, sekunder dan tersier membuka jalan bagi analisis yang terfokus kepada sistem hubungan dari produksi, pemrosesan dan komersialisasi dari produk pertanian yang orisinil. Isu sentral dalam studi agribisnis ini adalah integrasi dari rantai produksi, yang mengacu kepada pendekatan sistem komoditi (Davis dan Goldberg dalam Wilk dan Fensterseifer,
2002). Artinya sektor agribisnis merupakan bentuk modern dari pertanian primer, dan paling sedikit mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), subsistem usahatani (on-farm agribusiness) atau yang biasa dianggap sebagai pertanian primer, subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), dan jasa layanan pendukung seperti lembaga keuangan dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, dan lain sebagainya (Saragih, 1998). Menurut Saragih (1998), struktur sektor agribisnis untuk hampir semua komoditi dewasa ini masih tersekat-sekat. Subsistem agribisnis hulu (produksi dan perdagangan saprotan) dan subsistem agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan perdagangan) dikuasai oleh pengusaha menengah-besar yang bukan petani. Sedangkan pada subsistem agribisnis usahatani merupakan porsi ekonomi petani. Hal ini menyebabkan pendapatan petani sulit mengalami peningkatan karena added value (nilai tambah) pada subsistem usahatani sangat kecil, jauh lebih kecil dari nilai tambah yang didapatkan oleh pengusaha menengah-besar yang berada pada subsistem agribisnis hulu dan hilir. Dalam isu ketahanan pangan yang diangkat dalam penelitian ini, subsistem agribisnis hilir merupakan subsistem yang paling berpengaruh terhadap terpenuhinya standar kecukupan pangan masyarakat. Standar kecukupan pangan di tingkat rumah tangga dipengaruhi oleh dua aspek, pertama availability (ketersediaan) dan accesibility (keterjangkauan). Aspek availability menuntut adanya sinergisitas dari seluruh subsistem dalam sistem agribisnis, sehingga produksi bahan pangan semakin meningkat sebanding
dengan pertumbuhan permintaan konsumen. Sedangkan untuk aspek accesibility diperlukan peranan yang sangat dominan dari subsistem agribisnis hilir, karena subsistem ini berhubungan langsung atau merupakan subsistem yang paling dekat dengan konsumen. Sehingga dalam isu ketahanan pangan ini subsistem agribisnis hilir merupakan subsistem yang paling berpengaruh. Karena itu, penelitian ini meneliti lebih dalam mengenai industri pengolahan
makanan,
yang
merupakan
subsistem agribisnis
hilir,
dan
produktivitasnya guna mengetahui lebih jauh prospek pencapaian food security (keamanan pangan) pada masa yang akan datang. Namun, seperti yang telah dijelaskan di awal, pembahasan mengenai subsistem agribisnis hilir ini tidak terlepas dari subsistem-subsistem agribisnis yang lainnya, karena pemahaman tentang agribisnis sebagai satu kesatuan sistem yang berinteraksi secara menyeluruh dan saling berkaitan satu sama lain.
1.2.
Perumusan Masalah Industri pengolahan memberikan sumbangan PDB yang cukup besar dan
sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri nasional secara keseluruhan, karena itu pertumbuhan pada sektor industri pengolahan dapat mencerminkan pertumbuhan pada industri nasional. Begitu juga masalah yang terjadi pada industri pengolahan makanan pada saat ini. Permasalahan nasional yang sedang terjadi pada saat ini adalah tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, rendahnya pertumbuhan ekonomi, melambatnya perkembangan ekspor Indonesia,
lemahnya sektor infrastruktur, dan tertinggalnya kemampuan nasional di bidang penguasaan teknologi (Deprin, 2005). Laju pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi oleh penciptaan lapangan pekerjaan baru menyebabkan angka pengangguran semakin tinggi dan semakin ketatnya persaingan dalam mencari pekerjaan. Persaingan dalam mencari kerja ini menyebabkan menurunnya upah yang diterima oleh pekerja sehingga menurunnya pendapatan per kapita, yang pada akhirnya menyebabkan angka kemiskinan semakin meningkat. Rendahnya pendapatan dan produktivitas pekerja menyebabkan rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional. Fenomena krisis ekonomi pada periode 1997 menambah kelesuan perekonomian pada semua sektor yang menyebabkan terjadinya resesi ekonomi dan penurunan tajam dalam pendapatan nasional Indonesia. Sehingga kegiatan pembangunan seperti pengembangan infrastruktur dan teknologi terhambat. Sementara perkembangan ekspor Indonesia pun melambat dengan menurunnya produktivitas pada saat krisis ekonomi. Berdasarkan
kebijakan
pembangunan
industri
nasional
yang
dipublikasikan oleh Deprin (2005) berbagai masalah pokok yang sedang dihadapi oleh sektor industri yaitu: Pertama, ketergantungan yang tinggi terhadap impor baik berupa bahan baku, bahan penolong, barang setengah jadi dan komponen. Kedua, keterkaitan antara sektor industri dan sektor industri dengan sektor ekonomi lainnya relatif masih lemah. Ketiga, struktur industri hanya didominasi oleh beberapa cabang industri yang tahapan proses produksinya pendek. Keempat, ekspor produk industri didominasi oleh hanya beberapa cabang industri. Kelima,
lebih dari 60 persen kegiatan sektor industri terletak di Pulau Jawa. Keenam, masih lemahnya peranan kelompok Industri Kecil dan Menengah (IKM) dalam sektor perekonomian. Ketergantungan yang tinggi terhadap barang impor disebabkan strategi pemerintah yang memfokuskan pada sektor-sektor industri yang mengutamakan teknologi tinggi, padahal merupakan foot loose industry. Sedangkan keterkaitan antara sektor industri yang masih lemah disebabkan oleh, tidak adanya hubungan organisasi fungsional antara sektor industri dan hanya diikat oleh hubungan pasar produk antara. Tahapan produksi dari cabang-cabang industri nasional pun terkesan pendek, karena struktur sektor industri terutama sektor agribisnis yang masih tersekat-sekat untuk sebagian besar komoditi. Dan permasalahanpermasalahan lainnya pun terjadi karena tidak tuntasnya pembangunan dalam sektor agribisnis nasional. IKM pada industri pengolahan makanan sulit berkembang karena kurangnya akses terhadap modal dan kurangnya nilai tambah produk mereka, karena IKM yang mengolah bahan pangan sebagian besar berkembang dari kegiatan usahatani primer, yang merupakan subsektor agribisnis yang mendapatkan porsi nilai tambah yang paling kecil. Pasar bagi industri pengolahan makanan pun masih dikuasai oleh beberapa perusahaan besar dengan modal yang banyak sehingga semakin menyulitkan bagi perusahaan-perusahaan kecil untuk bersaing dalam industri ini. Peranan teknologi pada industri pengolahan makanan masih kurang dioptimalkan, seperti pada industri-industri lainnya di Indonesia. Teknologi secara
teknik maupun di bidang informasi akan memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Banyak produsen makanan hanya terpaku pada industri yang dikembangkan dari luar negeri. Keberanian untuk merekayasa dan mengaplikasikan teknologi yang dikembangkan di dalam negeri masih kurang. Lemahnya proses adopsi dan pengembangan teknologi ini terutama disebabkan oleh kualitas tenaga kerja yang masih rendah karena tingkat pendidikan dan kesadaran untuk belajar dari masyarakat secara umum masih kurang. Teknologi yang sulit berkembang di nusantara ini menjadi permasalahan utama yang menghambat pertumbuhan yang berkelanjutan pada sektor industri terutama industri pengolahan makanan. Berbagai permasalahan dan fenomena yang dijelaskan diatas, menyebabkan ambiguitas dalam mengidentifikasi sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia. Sehingga pertanyaan yang tersirat adalah, sumber pertumbuhan apakah yang paling dominan dalam pertumbuhan industri pengolahan makanan? Dan apakah pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia akan berlangsung secara sustainable (berkelanjutan)? Dari uraian sebelumnya permasalahan-permasalahan yang akan dianalisis dalam penelititan ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Bagaimana tren pertumbuhan dalam industri pengolahan makanan pokok?
2.
Apa yang menjadi sumber pertumbuhan utama pada industri pengolahan makanan dan bagaimana pertumbuhan input (factor accumulation) dan pengembangan
teknologi
pengolahan makanan?
(technological
progress)
pada
industri
3.
Berapa besar signifikansi masing-masing sumber pertumbuhan terhadap produktivitas industri pengolahan makanan?
1.3.
Tujuan Penelitian Analisis tentang sumber-sumber pertumbuhan industri pengolahan
makanan ini bertujuan untuk: 1.
Menganalisis pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia.
2.
Menganalisis sumber-sumber pertumbuhan pada industri pengolahan makanan di Indonesia.
3.
Menganalisis signifikansi dari sumber-sumber pertumbuhan produktivitas industri
pengolahan
makanan
di
Indonesia,
diantaranya
Factor
Accumulation (Akumulasi Faktor) dan Technological Progress (Kemajuan Teknologi).
1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian
tentang
analisis
sumber-sumber
pertumbuhan
industri
pengolahan makanan ini berguna untuk mengetahui potensi-potensi yang ada pada industri pengolahan makanan yang dapat dipergunakan sebagai modal bagi pertumbuhan industri ini. Bagi masyarakat luas penelitian ini dapat memberikan wawasan lebih khususnya, mengenai karakteristik pertumbuhan industri pengolahan makanan sebagai salah satu sektor penunjang sistem agribisnis di Indonesia. Dengan penelitian ini masyarakat akan mengetahui apa saja sumbersumber pertumbuhan industri pengolahan makanan dan bagaimana sumber-
sumber pertumbuhan tersebut mempengaruhi produktivitas dalam industri tersebut, sebagaimana yang terjadi pada industri-industri yang lainnya. Penelitian ini juga dapat menjadi saran bagi pembuat kebijakan, khususnya dalam lingkup industri pengolahan makanan, dan juga dapat menjadi masukan bagi para praktisi pada sektor industri ini. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi literatur bagi penelitian-penelitian yang lain pada masa yang akan datang yang berkaitan dengan sumber-sumber pertumbuhan suatu industri. Selain itu, penelitian ini memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan kemampuan akademis, dan memberikan banyak pengetahuan dan pengalaman yang nantinya sangat berguna untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan dalam ruang lingkup negara Indonesia dan
dikhususkan pada industri pengolahan makanan menurut kode ISIC (International Standard Industrial Classification of All Economics Activities, KBLI) 151-154 berdasarkan buku statistik industri besar dan sedang yang dipublikasikan oleh BPS. Spesifikasi lebih lanjut dilakukan dengan hanya mengambil data-data mengenai industri yang produknya bersifat kebutuhan pokok (pangan strategis) dan merupakan barang konsumsi yang umum bagi masyarakat luas.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Tinjauan Pustaka
2.1.1. Sistem Agribisnis Istilah agribusiness (agribisnis) pertama kali diperkenalkan oleh Davis dan Goldberg, yaitu suatu sistem yang terdiri dari: (1) sektor industri input pertanian, (2) sektor industri pemroduksi (usahatani), dan (3) sektor industri pengolahanmanufaktur, dan ketiga sektor tersebut berkaitan erat dalam satu sistem dan setiap sektor sangat dipengaruhi oleh sektor-sektor yang lain (Beierlein dan Woolverton, 1991). Menurut Drilon Jr dalam Saragih (1998) agribisnis adalah jumlah total dari seluruh kegiatan yang melibatkan industri Saprotan (Sarana produksi pertanian) dan
pendistribusiannya,
aktifitas
produksi
usahatani
(pertanian
primer),
penyimpanan, pengolahan dan distribusi dari komoditas pertanian. Menurut Saragih (1998), sistem agribisnis mengandung pengertian sebagai rangkaian kegiatan beberapa subsistem agribisnis yang saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan perkataan lain, sektor agribisnis sebagai bentuk modern dari pertanian primer, paling sedikit mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang menghasilkan (agroindustri hulu) dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer (seperti industri pupuk, obat-obatan, bibit atau benih, alat dan mesin pertanian dan barang lainnya); subsistem usahatani (on-farm agribusiness) yang di masa lalu kita sebut sebagai sektor pertanian primer; subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah hasil
pertanian primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk yang siap untuk dimasak atau siap untuk disaji (ready to cook or ready for used) atau siap untuk dikonsumsi (ready to eat) beserta kegiatan perdagangannya di pasar domestic dan internasional; dan subsistem jasa layanan pendukung seperti lembaga keuangan dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, asuransi agribisnis, dan lain sebagainya (Saragih, 1998). 2.1.2. Konsep Ketahanan Pangan Secara hakiki ketahanan pangan (food security) dapat diartikan sebagai terjaminnya akses pangan untuk segenap rumah tangga dan individu setiap waktu, sehingga mereka dapat bekerja dan hidup sehat (Rachman dan Ariani, 2002). Konsepsi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilihat dari dua aspek, pertama ketersediaan (availability) bahan pangan bagi terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan bahan pangan baik akan jumlahnya, kualitas serta nutrisi atau keseimbangan gizi yang terdapat di dalamnya. Aspek kedua yang harus diperhatikan dalam konsepsi ketahanan pangan adalah, akses masyarakat terhadap bahan
pangan tersebut (accessibility). Ketersediaan pangan belum menjamin
kemudahan akses masyarakat terhadap bahan pangan, tapi akses sangat bergantung pada ketersediaan pangan. Pendapatan masyarakat dan tingkat harga produk-produk pertanian merupakan faktor utama yang mempengaruhi akses masyarakat terhadap bahan pangan. Bilamana salah satu unsur tersebut tidak terpenuhi, maka ketahanan pangan rumah tangga akan terganggu (Rachman dan Ariani, 2002).
Pemahaman tentang ketahanan pangan telah mengalami evolusi seiring dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. Dalam tahun 1970-an ketahanan pangan hanya ditekankan untuk memenuhi kebutuhan pangan pada tingkat nasional dan global. Dalam kurun waktu 1980-an ketahanan pangan mulai memperhatikan akses masyarakat terhadap sumberdaya pada tingkat rumah tangga dan individu, pada masa ini sudah dimulai usaha-usaha untuk pemenuhan kebutuhan pangan secara lebih merata, sehingga setiap individu bisa mendapatkan bahan pangan dengan mudah dan dijamin ketersediaannya. Dalam era yang lebih modern lagi dimana telah banyak dilakukan inovasi dan pengembangan teknologi pada tahun 1990-an sampai saat ini, ketahanan pangan lebih mengarah kepada paradigma baru, yaitu ketahanan berkelanjutan (sustainable food security paradigm). Pertanyaannya sekarang adalah “dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup dengan harga yang terjangkau oleh kelompok miskin dan tidak merusak lingkungan?”, sehingga proses pemenuhan kebutuhan pangan dapat dilaksanakan secara kontinu dari waktu ke waktu tanpa harus
mengkhawatirkan
terjadinya
kelangkaan
bahan
pangan
karena
ketersediaannya selalu terjaga seiring terpeliharanya lingkungan dan sumberdaya alam yang diperlukan untuk memproduksi bahan makanan tersebut. Dalam paradigma ketahanan pangan berkelanjutan ini perlu dipertimbangkan empat indikator utama (Maxwell, 1996 dalam Rachman dan Ariani, 2002) yaitu : (1) ketersediaan pangan (food availability), (2) aksesibilitas secara fisik dan ekonomi (pemberdayaan
ekonomi
masyarakat),
(3)
kerentanan
(vulnerability), dan (4) Keberlanjutan (sustainability).
terhadap
resiko
2.1.3. Produktivitas, Pertumbuhan, dan Sumber Pertumbuhan Produktivitas merupakan sebuah ukuran efisiensi, yakni konsep teknis yang mengacu pada perbandingan output terhadap input (Supriyanto, 2005). Semakin besar nilai perbandingan tersebut menunjukkan semakin tingginya tingkat produktivitas, misalnya produktivitas tenaga kerja (Q/L). Dengan demikian, konsep produktivitas mengacu pada kemampuan satu unit input untuk menghasilkan tingkat output tertentu pada periode waktu tertentu (statis). Sedangkan konsep pertumbuhan mengacu pada perubahan rasio output-input atau produktivitas menurut dimensi waktu (dinamis). Dalam membicarakan pertumbuhan produksi jangka panjang, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu masalah penemuan sumber pertumbuhan baru dan kelestarian (sustainability) dari pertumbuhan tersebut. Dalam mengidentifikasi sumber pertumbuhan baru ini tentunya bisa dilakukan secara horizontal yaitu dengan mengembangkan komoditas industri pengolahan makanan melalui diversifikasi. Di samping itu, pertumbuhan di sektor industri pengolahan makanan dapat dicapai secara vertikal yaitu melalui peningkatan produktivitas pengolahan makanan yang dikaitkan dengan agroindustri, karena agroindustri berkaitan erat dengan sektor industri pengolahan makanan sebagai penyedia bahan mentah. Produktivitas industri pengolahan makanan merupakan sumber bagi pertumbuhan di sektor industri pengolahan makanan. Peningkatan produksi industri pengolahan makanan dapat dicapai dengan peningkatan teknologi pengolahan. Dengan peningkatan teknologi pengolahan memungkinkan tercapainya peningkatan produksi dari faktor produksi yang tetap. Dengan
demikian pengembangan teknologi pengolahan merupakan suatu langkah yang strategis bagi peningkatan produktivitas industri pengolahan makanan. 2.1.4. Sumber-Sumber Pertumbuhan Produktivitas Proses produksi tidak dapat terlaksana jika faktor-faktor yang diperlukan tidak terpenuhi, dengan demikian faktor produksi dapat didefinisikan sebagai seluruh sumberdaya yang dipergunakan untuk memproduksi berbagai barang dan jasa dalam perekonomian. Ekonom neoklasik membagi faktor produksi tersebut ke dalam tiga bagian (Nicholson, 2002): (1) lahan atau sumber daya alam seperti tanah dan mineral yang dipergunakan dalam menciptakan produk, biaya untuk pemanfaatan sumber daya alam disebut sewa (rent), (2) tenaga kerja, yaitu upaya manusia dalam proses produksi termasuk kemampuan teknis dan marketing yang dibayar dengan upah (wage), (3) barang modal adalah barang buatan manusia (atau input fisik) yang dipergunakan dalam memproduksi barang lain, termasuk mesin, peralatan dan bangunan. Menurut Samuelson dalam Sugiyono (2000) secara umum ada empat faktor yang dipergunakan sebagai modal untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik di Negara Industri Maju (NIM) maupun Negara Berkembang (NSB), diantaranya : 1.
Sumber daya manusia (tenaga kerja, pendidikan, disiplin, dan motivasi).
2.
Sumber daya alam (tanah, mineral, bahan bakar, dan cuaca).
3.
Pembentukan modal (mesin, pabrik, dan jalan).
4.
Teknologi (ilmu pengetahuan, teknik, manajemen, dan ketrampilan)
Menurut Supriyanto (2002), sumber-sumber pertumbuhan supply side berasal dari produktivitas dan accumulation factor. Peningkatan produktivitas terjadi karena peningkatan efisiensi, skala usaha, dan perubahan teknologi, sedangkan factor accumulation bersumber dari endowment factor dan harga-harga input. Analisis pertumbuhan dari sisi penawaran (supply-side analysis) bertitik tolak pada kaidah produktivitas, baik secara langsung melalui pengaruh input (direct impact, embodied) maupun perubahan eksternal faktor (indirect impact, disembodied). Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui efisiensi dan atau pengembangan teknologi dalam pengertian luas. Efisiensi bersumber dari tiga sumber, yakni efisiensi teknis, efisiensi alokatif atau harga, dan efisiensi ekonomi skala usaha. Sedangkan teknologi bersumber dari dua hal, yakni neutral-technological change dan biastechnological change. Namun demikian, pengertian antara efisiensi dan teknologi secara mendasar adalah sama. Pada konsep TFP konvensional-neutral technological change, pengukuran produktivitas didasarkan pada efisiensi teknis (efisiensi teknologi), dimana terdapat pada asumsi (kondisi) bahwa perubahan output tanpa dipengaruhi perubahan input, yakni pada kondisi neutraltechnological change dan asumsi constant return to scale. Sedangkan konsep TFP konvensional-bias technological change menyatakan bahwa porduktivitas terjadi karena perubahan marginal rate of technical substitution (efisiensi harga) dan kondisi perusahaan diasumsikan constant return to scale (Supriyanto, 2002).
2.1.5. Definisi Industri Pengolahan Makanan Industri didefinisikan sebagai kumpulan perusahaan-perusahaan yang sejenis, dengan demikian industri pengolahan makanan dapat didefinisikan sebagai kumpulan perusahaan-perusahaan yang kegiatan utamanya adalah mengolah atau memproduksi bahan pangan. Industri pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau barang setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat dengan pemakai akhir (BPS, 2003). Jasa industri dan pekerjaan perakitan masuk ke dalam kegiatan ini. Jasa industri menurut BPS (2003), didefinisikan sebagai kegiatan industri yang melayani keperluan pihak lain. Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh pihak lain sedangkan pihak pengolah hanya melakukan pengolahannya dengan mendapatkan imbalan sejumlah uang atau barang sebagai balas jasa (upah makloon). Misalnya, perusahaan penggilingan padi yang melakukan kegiatan menggiling padi/gabah petani dengan balas jasa tertentu. Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit (kesatuan) usaha yang melakukan kegiatan ekonomi, bertujuan menghasilkan barang atau jasa, terletak pada suatu bangunan atau lokasi tertentu, dan mempunyai catatan administrasi tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seorang atau lebih yang bertanggung jawab atas usaha tersebut (BPS, 2003). Penggolongan industri pengolahan makanan merujuk pada Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI, ISIC: International Standard Industrial Classification of all Economic
Activities). Kode golongan makanan menurut KBLI adalah 311-312 (hingga 1997), dan direvisi menjadi 151-154 (sejak tahun 1998 hingga sekarang). 2.1.6. Teori Residual Solow Solow mengasumsikan model yang sangat mendasar dari produksi output tahunan selama selang waktu t. Ia menyatakan bahwa jumlah output akan ditentukan oleh jumlah modal (infrastruktur), jumlah tenaga kerja (jumlah sumber daya manusia dalam angkatan kerja), dan produktivitas tenaga kerja. Ia menduga produktivitas tenaga kerja adalah faktor yang mempengaruhi peningkatan GDP dalam jangka panjang. Dalam bentuk model ekonomi maka: Y = F(K, A(t)·L)
(2.1)
dimana A(t) adalah faktor peubah yang dipengaruhi waktu, dimana A > 0 dan dA/dt > 0. Solow residual adalah angka yang menjelaskan pertumbuhan produktivitas empiris dalam ekonomi dari tahun ke tahun dan dekade ke dekade. Solow mendefinisikan peningkatan produktivitas sebagai peningkatan output dengan input modal dan tenaga kerja yang tetap. Teori produktivitas ini disebut sebagai ”residual” karena menjelaskan produktivitas yang bukan disebabkan oleh akumulasi faktor (input). Tujuan dari metode ini adalah untuk menentukan berapa besar ketergantungan pertumbuhan ekonomi
terhadap
akumulasi
faktor
dan
berapa
besar
pengaruh
dari
pengembangan teknologi. Berdasarkan grafik 2.1. yang mengilustrasikan kombinasi input dalam fungsi produksi (kurva kemungkinan produksi dengan dua variabel input), besarnya pertumbuhan dapat dijelaskan dengan pergerakan sepanjang kurva produksi, yang dapat ditentukan oleh kemajuan teknologi dan
kompetensi organisasi, yang digambarkan oleh pergeseran kurva produksi ke kanan atas dari A ke B dan B ke C. K (unit)
C B A
0
L (jam)
Sumber: Nicholson, 2002.
Gambar 2.1. Kurva Kemungkinan Produksi Perhitungan pertumbuhan standar menurut Solow, mengasumsikan keberadaan fungsi produksi agregat neoklasik, homogenus tingkat satu, dengan constant return to scale (skala pengembalian konstan), diminishing returns to scale (pengembalian yang semakin menurun) untuk setiap input, dan elastisitas substitusi yang positif. Solow menggunakan kerangka teori ini untuk mengestimasi tingkat pertumbuhan produktivitas pada sektor manufaktur perekonomian Amerika serikat dalam periode 1909-1949. Peran penting dari makalah Solow yaitu, mempercepat analisis mengenai kemajuan teknologi sebagai kategori residual pada saat Ia menemukan bahwa pertumbuhan produktivitas terhitung sebesar 80 persen dari pertumbuhan
keseluruhan pada sektor manufaktur pada periode tersebut. Hasil penelitian Solow memberikan jalan bagi penelitian tentang produktivitas, dan mengubah pandangan kebijakan pertumbuhan yang menekankan pada tabungan (saving) menjadi penekanan pada seluruh faktor yang dipercaya berada dalam residual, misalnya, teknologi, pendidikan, R&D, manajemen dan faktor-faktor lainnya. 2.1.7. The Law of Diminishing Returns Teori ini dilihat melalui pembentukan kurva produksi total suatu perusahaan, yang menghubungkan input yang digunakan dalam proses produksi dengan kuantitas output yang dihasilkan. Produk Total (Total Product, TP) adalah jumlah total yang diproduksi selama periode waktu tertentu. Jika semua input kecuali satu faktor saja dijaga konstan (fixed), TP akan berubah menurut banyak sedikitnya faktor variabel yang digunakan. Produk Rata-Rata (Average Product, AP) adalah TP dibagi jumlah unit faktor variabel yang digunakan untuk memproduksinya (Lipsey et al, 1995).
AP =
TP X
(X = L, K,.....,N)
(2.2)
dimana X diasumsikan sebagai jumlah unit variabel yang digunakan dalam proses produksi. Tingkat output dimana AP mencapai maksimum disebut titik berkurangnya produktivitas rata-rata (point of diminishing average productivity). Sampai dengan titik ini AP akan terus naik, diluar titik ini produktivitas rata-rata akan turun. Produk Marjinal (Marginal Product, MP), atau produksi inkremental (Incremental Produk), atau produk fisik marjinal (MPP), adalah perubahan dalam TP sebagai akibat satu unit tambahan penggunaan variabel.
MP =
ΔTP ΔX
(X = L, K,.....,N)
(2.3)
Produk Total
TP Produktivitas ratarata maksimum
Kuantitas Input
Produk per unit input
Titik produktivitas marginal yang berkurang
Titik Produktivitas rata-rata yang berkurang
AP MP
Kuantitas Input
Sumber: Lipsey et al, 1995.
Gambar 2.2. Kurva Produk Total dan Marginal Tingkat output dimana produk marjinal mencapai maksimum dinamakan titik berkurangnya produktivitas marjinal (point of diminishing marginal productivity). Ilustrasi kurva TP dan MP dapat dilihat pada gambar 2.1. Naik turunnya output yang diakibatkan oleh penggunaan lebih banyak atau lebih sedikit
suatu faktor variabel terhadap jumlah tertentu faktor produksi yang tetap tunduk pada hipotesis ekonomi hasil lebih yang semakin menurun (Diminishing Returns). Jika output naik dalam jangka pendek, makin banyak faktor variabel harus digabungkan dengan sejumlah tertentu faktor tetap. Akibatnya adalah setiap unit faktor variabel memiliki faktor tetap yang makin lama makin berkurang. Akhirnya, makin banyak faktor variabel digunakan, MP bisa mencapai ke titik nol dan berubah menjadi negatif. 2.1.8. Fungsi Produksi Cobb Douglas Dalam model persamaan yang memiliki tiga variabel, fungsi Cobb Douglas sering digunakan, karena kesederhanaan dan efisiensi dari fungsi tersebut. Fungsi produksi Cobb Douglas dapat ditulis dalam notasi yule dengan cara berikut (Gujarati, 1978): Yi = β1,23 X 2i β 12,3 X 3i β 13,2
(2.4)
persamaan (2.4) bisa dinyatakan dalam bentuk logaritma yaitu:
ln Yi = β 0 + β12,3 ln X 2i + β13,2 ln X 3i
(2.5)
dimana Y = hasil produksi (output), X2 adalah input tenaga kerja, X3 adalah input modal, dan β 0 adalah ln β 12,3. Ciri-ciri fungsi produksi Cobb Douglas sudah dikenal dengan baik, contohnya β 12,3 dan β 13,2 menyatakan elastisitas dari upah dan modal. Penjumlahan dari kedua elastisitas tersebut menjelaskan tentang pengaruh skala hasil terhadap perubahan proporsional dalam input. Jika penjumlahannya adalah sama dengan satu, maka terdapat pengaruh skala hasil yang konstan (constant return to scale), kalau lebih kecil dari satu maka maka terdapat pengaruh skala hasil yang menurun terhadap tingkat output (decreasing
return to scale). Sedangkan jika penjumlahannya lebih dari satu maka ada pengaruh skala pengembalian hasil yang meningkat (increasing return to scale). 2.1.9. Hasil Penelitian Sebelumnya
Mohamad Maulana (2004) dalam penelitiannya tentang peranan luas lahan, intensitas pertanaman dan produktivitas sebagai sumber pertumbuhan sektor pertanian selama periode 1980-2001 mengungkapkan bahwa penurunan produksi padi sawah pada periode tersebut mengalami penurunan yang cukup tajam. Dari tiga sumber pertumbuhan yang diteliti, hanya intensitas pertanaman yang
menjadi
sumber
pertumbuhan
sedangkan
dua
sumber
lainnya
memperlihatkan pertumbuhan yang cenderung negatif. Pertumbuhan luas lahan yang semakin menurun terutama disebabkan oleh beralihnya fungsi lahan dari pertanian ke nonpertanian. Sementara produktivitas dari 77 New High Yielding Variety (NHYV) yang dirilis pemerintah masih belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Indeks TFP padi sawah menunjukkan bahwa berfluktuasinya pertumbuhan penggunaan input tidak berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan produksi yang cenderung terus menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa produktivitas mengalami leveling off yang disebabkan oleh stagnasinya kemampuan berproduksi varietas padi sawah dan tingkat adopsi inovasi teknologi petani yang masih rendah. Penyebabnya adalah modal yang terbatas, harga input yang semakin tinggi dan harga output yang rendah. Di samping itu, menurunnya kualitas lahan sawah dan mutu usahatani juga berpengaruh terhadap penurunan produktivitas padi sawah.
Supriyanto (2002) dengan tesis berjudul dekomposisi dan dinamika sumber-sumber pertumbuhan industri kecil dan rumah tangga di Indonesia dengan analisis Total Factor Productivity, menganalisis sumber-sumber pertumbuhan bagi industri kecil dan rumah tangga. Dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi rata-rata, deterministic frontier dan stochastic frontier dengan metode translog dan diregresi dengan menggunakan OLS dan COLS. Kesimpulan umum yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah pertama, peranan teknologi (TFPG) dalam pertumbuhan IKRT sangat besar secara berurutan: teknologi eksogenus, skala usaha, efisiensi teknis, dan teknologi endogenus. Kedua, berdasarkan neoklasik protagonis, besarnya peranan TFPG dibanding akumulasi faktor menunjukkan pertumbuhan IKRT akan berkelanjutan. Berdasarkan neoclassic assimilationist, walaupun input driven berperan lebih besar dibanding TFPG, seperti pada saat krisis, namun terdapat peranan embodied technology yang melekat pada faktor produksi maka pertumbuhan IKRT akan berkelanjutan. Ketiga, respon kontribusi teknologi terhadap output pada saat krisis secara umum adalah penurunan kontribusi teknologi eksogenus, teknologi endogenus, skala usaha dan peningkatan efisiensi teknis. Untuk sektor makanan memiliki daya saing usaha, karena pada saat krisis ekonomi peningkatan efisiensi teknis diikuti oleh peningkatan pertumbuhan output dan skala usaha. Saran dari penelitian yang dilakukan supriyanto (2002), secara umum adalah diperlukan adanya perbaikan lingkungan usaha yang lebih kondusif (conducive business environment) melalui perbaikan layanan usaha (Business Development Service, BDS). Khusus pada industri makanan,
diperlukan adanya peningkatan kualitas tenaga kerja karena peranan teknologi embodied (endogenus) pada masing-masing faktor sangat tinggi melalui pogram penelitian. Penelitian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) pada tahun 2003, melakukan pengukuran dan analisis produktivitas faktor total (PTF) sektor industri pengolahan. Persamaan yang digunakan adalah fungsi produksi translog dengan variabel tenaga kerja dan kapital. Penelitian menganalisis perkembangan sektor industri pengolahan dan pertumbuhan produktivitas sektor industri pengolahan. Ruang lingkup penelitian meliputi seluruh industri pengolahan secara luas di Indonesia baik yang berukuran besar, sedang, menengah, dan kecil (rumah tangga). Periode penelitian dilakukan berdasarkan data yang tersedia mulai tahun 1993 sampai 2002. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah, pertama, pertumbuhan PTF sektor industri pengolahan selama tahun 1993-2002 semakin menurun. Hal Ini juga menyebabkan menurunnya kontribusi pertumbuhan PTF dalam pertumbuhan PDB sektor industri pengolahan. Kedua, pertumbuhan PTF sektor industri pengolahan sebelum masa krisis ekonomi (sebelum tahun 1998) lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan setelah masa krisis (setelah tahun 1998). Ketiga, sebelum krisis ekonomi dengan pertumbuhan stok kapital cukup tinggi dan pertumbuhan tenaga kerja relatif stabil, pertumbuhan PTF sektor industri pengolahan cukup tinggi. Disini dorongan pertumbuhan stok kapital pada pertumbuhan output sektor industri pengolahan masih lebih tinggi dari pada tenaga kerja. Pada waktu krisis kontribusi pertumbuhan PTF di sektor industri
pengolahan masih dapat menyangga pertumbuhan PDB di sektor industri pengolahan terbukti dengan kontribusi pertumbuhan PTF yang cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan Depnakertrans ini pun menyarankan beberapa rekomendasi. Antara lain, perlu dilakukan penelitian pertumbuhan PTF sektor industri pengolahan untuk setiap jenis industri (ISIC/KLUI minimal 2 digit). Di samping itu penelitian menurut sub sektor industri pengolahan juga perlu dilakukan seperti pada industri besar dan sedang serta industri kecil dan kerajinan rumah tangga, karena pertumbuhan PTF yang dihasilkan pasti akan berbeda. Dengan memperhatikan seluruh potensi yang ada di sektor industri pengolahan seperti, besaran ICOR, produktivitas, efisiensi dan sebagainya penelitian dapat dilanjutkan pada jenis industri yang menjanjikan masa depan yang bagus. Disamping itu perlu pula dilakukan penelitian sektor-sektor ekonomi lainnya untuk analisa perbandingan dan penyusunan kebijakan sektoral yang optimal. Perlu dilakukan studi dan penelitian yang intensif untuk mendapatkan data kapital dan tenaga kerja yang lebih baik di sektor industri pengolahan, sehingga hasil perhitungan PTF juga akan semakin baik. Perlu dibentuk jaringan data yang lebih komprehensif dan terkini untuk menghasilkan PTF yang lebih baik di sektor industri pengolahan.
2.2.
Kerangka Pemikiran Teoritis
2.2.1. Total Factor Productivity Growth: Konsep dan Pengukuran
Secara konseptual, pengukuran produktivitas suatu usaha ekonomi dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu produktivitas faktor produksi parsial dan
produktivitas total faktor produksi. Produktivitas faktor produksi parsial adalah produksi rata-rata dari suatu faktor produksi yang diukur sebagai hasil bagi total produksi dan total penggunaan suatu faktor produksi. Apabila faktor produksi lebih dari satu, maka produktivitas parsial suatu faktor produksi akan dipengaruhi oleh tingkat penggunaan faktor produksi lainnya. Oleh karena itu, konsep ini tidak banyak manfaatnya jika faktor produksi lebih dari satu jenis (Simatupang, 1997). Jika faktor produksi yang digunakan lebih dari satu jenis, maka konsep produktivitas yang lebih banyak digunakan adalah produktivitas total faktor produksi. Produktivitas total faktor produksi didefinisikan sebagai rasio indeks hasil produksi dengan indeks total faktor produksi (input) (Sayaka dalam Supriyanto, 1995). Chamber dalam Simatupang (1997) menyatakan bahwa produktivitas total faktor produksi adalah ukuran kemampuan seluruh jenis faktor produksi sebagai satu kesatuan faktor produksi agregat dalam menghasilkan output secara keseluruhan (output agregat). Dalam prakteknya total faktor produksi biasanya diukur dalam angka indeks sehingga langsung dapat mencerminkan tingkat relatif antarwaktu (inter temporal). Berdasarkan paparan mengenai sumber-sumber pertumbuhan produktivitas diatas, penggunaan konsep Total Factor Productivity akan menjawab sumber-sumber pertumbuhan dari teknologi atau efisiensi secara menyeluruh. Efisiensi teknis (teknologi netral), efisiensi harga (teknologi bias), dan economic of scale (technical economic of scale) dapat dihitung secara bersama-sama.
Metode untuk menghitung TFP dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu growth accounting dan pendugaan parametrik atau ekonometrik. Penghitungan pertumbuhan TFP dengan growth accounting sangat terbatas, karena: (1) hanya dapat menghitung efisiensi teknis (exogeneous, disembodied, dan neutral), (2) asumsi constant return to scale, (3) tidak dapat menghitung efisiensi harga (endogeneous, embodied, dan
bias technology), serta (4) tidak dapat
menghasilkan besaran elastisitas permintaan input dan penawaran output. Sedangkan pendekatan ekonometrik (ekonomi produksi) dapat menangkap seluruh komponen efisiensi atau teknologi, sehingga komponen TFP dapat didekomposisikan. Di sisi lain, pendekatan ekonometrik dapat digunakan untuk menghitung besaran elastisitas, baik permintaan input maupun penawaran output. 2.2.2. Jenis-Jenis Perubahan Teknologi
Ada tiga jenis perubahan yang cenderung mendominasi produksi dan biaya dalam jangka panjang (Lipsey et al, 1995). Pertama, teknik-teknik baru, selama abad dua puluh ini teknik-teknik yang tersedia untuk memproduksi produk yang ada telah berubah secara dramatis. Lima puluh tahun silam jalan-jalan dan rel kereta api dibangun dengan menggunakan tenaga kerja yang banyak dengan menggunakan ember, sekop dan ditarik dengan kuda. Sekarang dengan bulldozer, forklift besar, crane raksasa, dan peralatan khusus lainnya telah menggantikan buruh kasar. Teknik produksi yang disebut produksi ramping (lean production) atau manufactur fleksibel dengan cepat menggantikan teknik produksi massal dan lini rakit yang sudah lama digunakan di banyak industri.
Kedua, produk baru, barang dan jasa yang tersedia secara konstan mengalami perubahan. Televisi, vaksin, nilon, komputer pribadi, laptop, dan banyak lagi produk-produk lainnya yang berubah sedemikian rupa sehingga hubungan satu-satunya antara produk itu dengan komoditi yang ”sama” yang diproduksi di masa lalu hanyalah nama. Ketiga, perbaikan input, perbaikan barang yang tak berwujud seperti kesehatan dan pendidikan meningkatkan mutu jasa tenaga kerja. Para pekerja dan manajer pada saat ini lebih sehat dan pendidikannya lebih baik dibandingkan pada jaman dahulu. Pekerja yang tidak ahli pada saat ini umumnya sudah mampu membaca dan berhitung. Para manajer mungkin sudah terlatih dalam berbagai metode ilmiah modern dalam manajemen bisnis maupun ilmu pengetahuan komputer. Perbaikan bahan baku pun mengalami banyak perubahan, misalnya jenis dan mutu logam yang telah banyak berubah.
2.3.
Kerangka Pemikiran Operasional
Latar belakang penelitian ini adalah konsep ketahanan pangan yang perlu mendapatkan perhatian lebih dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap bahan pangan seiring pertumbuhan penduduk yang sangat cepat. Peningkatan produktivitas dan permintaan terhadap jenis bahan pangan yang lebih eksklusif menuntut sinergisitas sistem agribisnis yang dapat menstimulasi pertumbuhan sektor agribisnis untuk tumbuh secara berkelanjutan. Penelitian ini kemudian mengkhususkan pada industri pengolahan makanan dan membahas produktivitas
pada industri tersebut, mengingat peranan industri pengolahan makanan dalam rantai produksi bahan pangan bagi masyarakat. Banyak pendekatan yang digunakan dalam studi agribisnis yang membahas
permasalahan-permasalahan
secara
sepotong-sepotong
dan
terspesifikasi, jarang yang menjelaskan secara lengkap mengenai sistem agribisnis yang sebenarnya lebih kompleks dan beragam. PEMERINTAH
Institusi yang Mendukung Perdagangan
Institusi/Lembaga Penelitian
Organisai NonPemerintah
Subsistem Pendukung Agribisnis
Sumber daya Subsitem Agribisnis Hulu
Subsistem Usahatani
Subsistem Agribisnis Hilir
Tujuan
Dimensi Strategi Kunci
Kualitas dan Produktivitas
Kemampuan Berinovasi
Respons Efisien Konsumen
Keamanan Persediaan dan Kehandalan
Sumber: Wilk dan Fensterseifer (2002).
Gambar 2.3. Bagan Sistem Agribisnis dan Dimensi Strategi Kunci dalam Sistem Agribisnis
Untuk itu perlu ditelusuri subsistem-subsistem dan dimensi-kunci dalam sistem agribisnis. Seperti digambarkan pada gambar 2.3, sistem agribisnis tidak hanya melibatkan petani (produsen primer) tapi juga organisasi-organisasi dan individu-individu yang lebih luas sebagai satu kesatuan sistem secara menyeluruh. Pemerintah
memegang
peranan
yang
sangat
sentral
dalam
mengembangkan penelitian, difusi pengetahuan dan teknologi dan menyediakan pembiayaan dan pasar dengan iklim usaha yang baik menggunakan mekanisme regulasi. Konsumen, yang mengekspresikan permintaan, akan menentukan strategi yang diambil dalam rantai produksi. Dalam industri makanan, pada subsistem agribisnis hulu adalah agro-kimia (pemasok pupuk dan pembasmi hama) dan agro-mesin (pemasok mesin dan peralatan pertanian) yang menyediakan input bagi subsistem usahatani untuk memproduksi bahan pangan yang nantinya akan menjadi bahan baku bagi industri pengolahan pada agribisnis hilir dan hasil produksinya selanjutnya akan didistribusikan kepada masyarakat. Mengamati peranan yang sangat penting dari industri pengolahan makanan dalam menghubungkan mata rantai akhir dalam sistem agribisnis dan pemenuhan ketahanan pangan, maka alur penelitian dilanjutkan pada proses produksi dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam industri pengolahan makanan. Setelah menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi, selanjutnya dilakukan identifikasi sumber-sumber pertumbuhan pada industri pengolahan makanan dan signifikansi sumber-sumber pertumbuhan tersebut. Signifikansi sumber-sumber pertumbuhan tersebut dianalisis melalui fungsi produksi perusahaan dalam industri pengolahan makanan. Selanjutnya fungsi
produksi tersebut diregresi dengan metode OLS menggunakan software E Views 4 dan MS Excel 2003. Bagan alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 2.4. INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN PEREKONOMIAN INDONESIA
OUTPUT
INPUT PRODUKSI Food Industry
LIMBAH/POLUSI
INFORMASI
INFORMASI
FACTOR ACCUMULATION
TECHNOLOGICAL PROGRESS
TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY
ANALISIS KUANTITATIF
FUNGSI PRODUKSI ANALISIS REGRESI MENGGUNAKAN PLS SOFTWARE: E VIEWS 4 & MS EXCEL
PERTUMBUHAN INDUSTRI PENGOLAHAN MAKANAN
Keterangan:
ANALISIS DESKRIPTIF
Dianalisis Hal Yang Dianalisis
Tidak Dianalisis
Gambar 2.4. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional
Pertumbuhan industri pengolahan makanan akan dijelaskan secara deskriptif melalui data pendukung yang ada dan secara kuantitatif melalui regresi
persamaan fungsi produksi industri pengolahan makanan. Analisis pertumbuhan dilakukan melalui sisi penawaran dengan pendekatan fungsi produksi perusahaan.
2.4.
Hipotesis
Hipotesis adalah dugaan sementara berdasarkan landasan teori dan konsep. Berdasarkan teori dan konsep yang telah dipaparkan sebelumnya maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1.
Diduga pertumbuhan industri pengolahan makanan di Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif setiap tahunnya.
2.
Diduga faktor tenaga kerja, bahan baku, energi, sewa, jasa industri sebagai sumber pertumbuhan melalui akumulasi faktor (input driven) akan berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan industri pengolahan makanan.
3.
Diduga teknologi merupakan sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan dan memiliki peranan yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan industri pengolahan makanan (technological driven).
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai sumber-sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan ini mengambil lokasi di wilayah negara Indonesia. Dalam menentukan lokasi penulis mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya: (1) ketersediaan data mengenai statistik industri pengolahan makanan dan data pendukung lainnya yang relatif lengkap, (2) isu mengenai ketersediaan dan kecukupan pangan Indonesia serta potensi industri pengolahan makanan di Indonesia, dan (3) dengan menganalisis industri pengolahan makanan secara keseluruhan, penelitian ini dapat membandingkan pertumbuhan pada masing-masing kelompok dalam industri pengolahan makanan.
3.2.
Waktu Penelitian
Penelitian ini mulai dilaksanakan pada akhir Mei hingga bulan September 2006. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi pengumpulan referensi dan data, pengolahan data, analisis data hingga penulisan laporan dalam bentuk skripsi. Penelitian ini meneliti dinamika pertumbuhan industri pengolahan makanan pada periode tahun 1994 sampai tahun 2005.
3.3.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berbentuk data panel mengenai pertumbuhan produksi dan pertumbuhan faktor-faktor
produksi industri pengolahan makanan dan variabel lainnya yang berkaitan untuk membentuk model persamaan fungsi produksi industri pengolahan makanan di Indonesia. Sebagian besar data berbentuk data tabel time series (data runtun) tahunan dalam selama 10 tahun dalam selang waktu antara tahun 1994-2005 mengenai struktur input industri-industri secara agregat menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI), atau International Standard Industrial Classification of All Economics Activities (ISIC) 5 digit, yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun. Angka-angka pada tahun 2004 merupakan angka sementara dan pada tahun 2005 merupakan angka sangat sementara. Data yang diambil merupakan data industri pengolahan makanan dengan kode KLUI 3 digit 311 dan 312 pada tahun 1990-1997, dan 151-154 pada tahun 1998 sampai sekarang. Penelitian ini juga dilengkapi oleh literatur-literatur dan data-data pendukung lainnya yang diambil dari Lembaga Sumber Informasi (LSI) Institut Pertanian Bogor, LSI Universitas Indonesia, Departemen pertanian (Deptan), Departemen Perindustrian (Deprin), Departemen Perdagangan Republik Indonesia (Depdagri), Departemen Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (Dep. KUKM) dan Badan Urusan Logistik (Bulog).
3.4.
Metode Analisis
Pertumbuhan menurut teori neoklasik dapat berasal dari dua sumber: akumulasi faktor dan pertumbuhan produktivitas (Total Factor Productivity:TFP). Poin penting dari perdebatan teori ini (setidaknya antara fundamentalis dan asimilasionis) adalah seberapa penting pengaruh kedua komponen ini yang akan
dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini. Pada awal pembahasan mengenai pertumbuhan sektor industri pengolahan makanan di Indonesia akan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, sedangkan untuk membahas signifikansi dari sumber-sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan digunakan metode kuantitatif. Statistik deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1982). Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran. Statistik kuantitatif digunakan dalam menentukan berapa besar pengaruh dan elastisitas dari sumber-sumber pertumbuhan pada industri pengolahan makanan. Metode yang digunakan adalah metode Pooled Least Square (PLS) dengan melakukan regresi terhadap data-data industri pengolahan makanan sehingga didapat fungsi produksi perusahaan dalam industri pengolahan makanan di Indonesia. 3.4.1. Pengolahan Data Panel (Pool)
Dalam sebuah penelitian, terkadang ditemukan suatu persoalan mengenai ketersediaan data untuk mewakili variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Terkadang ditemukan bentuk data dalam series yang pendek dan juga bentuk data dengan jumlah unit cross section yang terbatas pula. Dalam teori ekonometrika, kedua kondisi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan panel data (pooled data) agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik (efisien) dengan
terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom). Penggunaan data panel telah memberikan banyak keuntungan secara statistik maupun menurut teori ekonomi. Manfaat dari penggunaan panel data antara lain adalah : 1.
Mampu mengontrol heterogenitas individu.
2.
Mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan degrees of freedom, lebih bervariasi, dan lebih efisien.
3.
Mampu mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dari data cross section murni atau data time series murni.
4.
Dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. Dalam analisa model data panel dikenal tiga macam pendekatan yang
terdiri dari pendekatan kuadrat terkecil (Pooled Least Square), pendekatan efek tetap (fixed effect), dan pendekatan efek acak (random effect). Pendekatan PLS merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel. Misalkan terdapat persamaan: Yit = α + x j it β j + ε it
(i = 1, 2,….N)
(t = 1, 2,....T)
(3. 1)
dimana N adalah jumlah cross section dan T adalah jumlah periode waktunya. Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai berikut: Yi1 = α + x j i1β j + ε i1
(i = 1, 2,….N)
(3. 2)
yang akan berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga akan memperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk mendapatkan parameter α dan β yang konstan dan efisien, akan diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi. Dalam pengolahan data panel terdapat tiga kriteria pembobotan yang berbeda-beda yaitu No Weighting (semua observasi diberi bobot yang sama), Cross Section Weights (GLS dengan menggunakan estimasi varians residual cross section. Digunakan apabila ada asumsi bahwa terdapat cross section heteroscedasticity), dan SUR (GLS dengan menggunakan covariance matrix cross section. Metode ini mengoreksi baik heteroskedastisitas maupun autokorelasi antar input cross section). Sebagai upaya untuk menghasilkan model yang efisien dan konsisten, maka perlu dievaluasi apakah hasil estimasi yang diperoleh tidak melanggar asumsi-asumsi yang terdapat dalam OLS. Dengan kata lain hasil estimasi terhadap model regresi tidak terjadi masalah heteroskedastisitas, multikolinieritas, dan autokorelasi. 3.4.2. Pendekatan Analisis Produktivitas Faktor Total
Pola pertumbuhan produktivitas industri pengolahan makanan yang semakin menurun memang merupakan indikator utama mengapa pembangunan sektor industri khususnya pengolahan makanan sulit berkembang secara berkelanjutan
(sustainable).
Bagaimanapun,
banyak
permasalahan
yang
menyulitkan dalam memilih pengukuran TFP yang dapat diterima secara umum karena kenyataannya bahwa pertumbuhan TFP yang positif itu sendiri tidak
berpengaruh secara signifikan sebagai indikator manajemen sumberdaya yang berkelanjutan.
Secara
memaksimumkan
konsep,
keuntungan,
estimasi yang
TFP
didasarkan
dihambat
oleh
pada
usaha-usaha
asumsi untuk
menghitung kegagalan pasar dengan mengukur Total Social Factor Productivity (TSFP). Sehingga estimasi TFP secara langsung hanya menggunakan seluruh input dan output konvensional yang merupakan jumlah dari (1) kemajuan teknologi, (2) perubahan dalam kualitas sumberdaya, dan (3) pengembangan dalam efisiensi teknis dan alokatif berdasarkan investasi dalam human capital dan infrastruktur (Ali dan Byerlee, 2002). 3.4.3. Estimasi
Produktivitas faktor total adalah konsep neoklasik. Selain ide umum mengenai konsep neoklasik mengenai pertumbuhan, penggunaan istilah ”neoklasik” disini mempunyai dua tujuan spesifik. Pertama, dengan TFP kita berusaha mengukur produktivitas melalui seluruh faktor produksi, sedemikian hingga, didasari oleh asumsi tenaga kerja bukanlah satu-satunya input (teori nilai tenaga kerja Ricardo dalam Felipe, 1997). Kedua, TFP adalah dugaan yang berhubungan
dengan
fungsi
produksi
agregat,
alat
analisis
neoklasik.
Produktivitas adalah konsep teknis yang menjelaskan rasio antara output per satuan input, yaitu pengukuran efisiensi. Ketika menjelaskan mengenai satu input (contohnya,
produktivitas
parsial),
tenaga
kerja
khusus
(Q/L),
dugaan
produktivitas tidak memberikan masalah. Walaupun, pada saat lebih dari satu input yang dimasukkan ke dalam perhitungan (misalnya, tenaga kerja dan modal),
masalah yang muncul adalah bagaimana membebani tiap faktor ke dalam hasil bagi. Persamaan standar dari rasio produktivitas ”total” adalah (Felipe, 1997): A=
Q α L+ β K
A=
Q L Kβ α
(3.3)
Dimana persamaan yang pertama adalah indeks aritmatika dan persamaan yang kedua adalah indeks geometri. A adalah indeks produktivitas; Q, L, dan K masing-masing adalah output, tenaga kerja dan kapital; dan α dan β adalah bobotnya. Indeks A mengukur efisiensi dengan seluruh faktor produksi, dalam hal ini yang digunakan adalah tenaga kerja dan modal. Ekonomi neoklasik memberikan solusi untuk masalah bobot ini dengan cara menghubungkan rasio produktivitas kepada fungsi produksi agregat sehingga bobot yang menjadi masalah tersebut dapat dihasilkan dan diinterpretasi. Dalam persamaan sederhana, fungsi produksi agregat dapat dituliskan sebagai berikut: Q = F [ Lt , K t , t ]
(3.4)
Persamaan (3.4) menyatakan output sebagai fungsi dari stok modal, tenaga kerja, dan faktor peubah (t), waktu, dimana selanjutnya mewakili efek produktivitas dan perkembangan teknologi. T yang lainnya juga mewakili waktu. Jika diasumsikan variabel ”t” terpisah dari K dan L Q = At F [ Lt , K t ]
(3.5)
kemudian At =
Qt F [ Lt , K t ]
(3.6)
Dengan demikian, At dinyatakan sebagai perkembangan teknis eksogenus,
disembodied, dan Neutral-Hicks, dan diukur berdasarkan perjalanan waktu dengan kombinasi input yang konstan. Konsep ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya. Dugaan produktivitas secara keseluruhan dapat diinterpretasikan kembali sebagai indeks dari seluruh faktor selain tenaga kerja dan modal yang tidak secara eksplisit dihitung, namun berpengaruhi dalam menggeneralisasikan output. Faktor-faktor tersebut dapat berupa kemampuan manajerial dan kompetensi organisasi, penelitian dan pengembangan, transfer sumberdaya antar sektor, difusi teknologi dan lain sebagainya. Namun akan sangat sulit mengestimasi faktor-faktor tersebut karena beberapa faktor merupakan data kualitatif yang belum memiliki standar pengukuran yang valid, dan sebagian faktor lainnya sulit untuk dicari datanya di lembaga manapun, akan tetapi bukan tidak mungkin nantinya faktor-faktor tersebut dapat diestimasi. 1.
Perhitungan Pertumbuhan
Dalam metode analisis dengan tujuan empiris, persamaan (3.6) menimbulkan masalah secara konsep. Walaupun persamaan tersebut mewakili output per unit input gabungan, interpretasinya lebih bertahap daripada indeks produktivitas parsial, dan pengertiannya, contohnya tingkatan teknologi, jelas bukan merupakan perbandingan langsung diantara unit-unit ekonomi yang lain. Untuk alasan ini, biasanya hal ini dinyatakan dalam tingkat pertumbuhan, yaitu:
T [ K , L, t ] =
dAt L дQt K дQt lt - t kt = Tt = qt - t dt Qt дLt Qt дK t
(3.7)
Dimana qt, lt, kt masing-masing menyatakan tingkat pertumbuhan output, tenaga kerja, dan modal, dan φt adalah tingkat pertumbuhan produktivitas faktor total. Notasi di depan masing-masing variabel faktor mewakili elastisitas masingmasing faktor. Secara empiris ekonomi neoklasik mengasumsikan pasar dalam keadaaan persaingan sempurna dan tiap-tiap perusahaan akan memaksimumkan keuntungannya. Dalam keadaan seperti ini elastisitas harga dari permintaan terbatas, elastisitas faktor sama dengan bagian faktor dalam output, sehingga persamaan (3.7) menjadi:
Tt = qt - at lt - (1 - at )kt
(3.8)
dimana at dan (1- at) masing-masing adalah nilai bobot tenaga kerja dan modal (yang dikenal juga sebagai Divisia Index Weighing System). Sejak penghitungan nasional dan statistik lainnya menyediakan estimasi dari variabel di sisi kanan, yang dapat menjelaskan pertumbuhan produktivitas sebagai kategori residual persamaan (3.8) dikenal juga sebagai ”Solow Residual”, prosedur yang digunakan dalam memperhitungkan pertumbuhan. Dengan data acak, peneliti biasanya menggunakan indeks Tornqvist. Indeks ini mengamati persamaan (3.7)-(3.8) yang diderivasi menggunakan diferensial kalkulus. Dalam kasus acak dapat dilihat bahwa (Chambers 1988
dalam Felipe, 1997): Tt ,t-1 = ln
Qt L K - ΘL ln t - ΘK ln t Qt -1 Lt-1 K t-1
(3.9)
dimana
ΘK =
θK +θK -1 2
ΘL =
θL +θL-1 2
(3.10)
dimana θ menotasikan persentase dari tiap faktor agregat dalam neraca pembayaran faktor total. 2.
Estimasi Ekonometrik
Dasar pemikiran untuk pendekatan kalkulasi pertumbuhan bergantung tidak hanya pada keberadaan fungsi produksi agregat total seperti persamaan (3.4), tetapi juga pada validitas teori produktivitas marjinal (agregat) dari penetapan harga faktor. Untuk itu, estimasi langsung fungsi produksi agregat adalah alternatif untuk pendekatan kalkulasi pertumbuhan. Dalam kasus ini, persamaan (3.5) mengambil bentuk yang pasti dengan asumsi tentang At. Mengacu pada kesederhanaannya, bentuk persamaan yang paling sering digunakan adalah Cobb-Douglas, walaupun bentuk persamaan yang lain sama validnya (Chen 1991, Kim dan Lau 1994 dalam Felipe, 1997), dan At biasanya mengambil bentuk sebagai tren waktu eksponensial (walaupun ada kemungkinan lainnya). Dengan cara ini, perubahan teknis dilihat sebagai pergeseran fungsi produksi selama waktu t dalam tingkat waktu yang normal. Koefisien dari tren mengukur tingkat rata-rata pertumbuhan TFP. Kemudian persamaan fungsi produksi dalam bentuk log linear dengan berbagai input yang digunakan adalah: ln Qit = β 0 + β1 ln Lit + β 2 ln M it + β 3 ln Eit + β 4 ln Rit + β 5 ln Sit + β 6T + ut
(3.11)
dimana:
Qit
= Nilai Output industri ke-i pada tahun t (Rp);
Lit
= Nilai input tenaga kerja industri ke-i pada tahun t (Rp);
Mit
= Nilai bahan baku yang digunakan dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);
Eit
= Nilai penggunaan energi dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);
Rit
= Nilai sewa barang modal dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);
Sit
= Nilai jasa yang digunakan dalam industri ke-i pada tahun t (Rp);
T
= Tingkat kemajuan teknologi (efisiensi teknis) (persen);
ut
= Error term (gangguan acak);
β 0 adalah konstanta dari fungsi produksi industri makanan sedangkan β 1, β 2, β 3, β 4, β 5 dan β 6 adalah elastisitas dari masing-masing variabel di atas; T diasumsikan sebagai tingkat kemajuan teknologi yang dihitung melalui perubahan efisiensi teknis berdasarkan tren waktu setiap tahun, sehingga nilai koefisiennya ( β 6) merupakan pertumbuhan dengan proporsi input yang konstan; dan ut adalah gangguan acak. Persamaan ini telah banyak diestimasi dalam banyak kasus dengan menggunakan metode regresi OLS (Ordinary Least Square, kuadrat terkecil sederhana). Pada persamaan di atas fungsi produksi menyatakan input agregat yang digunakan dalam industri pengolahan makanan.
3.5.
Pengujian Model
Setelah mendapatkan parameter estimasi, langkah selanjutnya adalah melakukan berbagai macam pengujian terhadap parameter estimasi tersebut, seperti pengujian ekonometrik, statistik, dan ekonomi. Pengujian ekonometrik yang dimaksud adalah untuk mengestimasi parameter regresi berdasarkan asumsiasumsi yang harus dipenuhi dalam pengolahan data dengan metode OLS. Sedangkan pengujian statistik meliputi uji R2, uji F, uji t, dan evaluasi model dengan penentuan pendekatan yang akan digunakan (antara common atau fixed) dengan uji statistik Chow, serta mendeteksi adanya gejala gangguan seperti
heteroskedastistas, multikolinearitas dan autokorelasi yang dapat menyebabkan estimasi model bias dan tidak efisien. 3.5.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji ini untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. R2 memiliki dua sifat (Gujarati, 2003), pertama, R2 merupakan besaran non negatif; dan kedua, besarnya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 sebesar 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan R2 yang bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara variabel tak bebas dengan variabel yang menjelaskan. 3.5.2. Uji-F
Uji-F digunakan untuk menguji bagaimanakah pengaruh peubah bebas terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan di atas adalah variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas. Hipotesis ini disebut hipotesis nol. Mekanisme yang digunakan untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan secara serentak (uji Fstatistik): Hipotesa: H0 : β1 = β2 = ... = βk = 0 H1 : minimal ada satu parameter dugaan (βi) yang tidak sama dengan nol (paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas). pengujian uji-F ini dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistiknya. Dengan melihat nilai probabilitas F-statistik akan diketahui apakah suatu persamaan akan lulus uji-F atau tidak. Jika P-Value menunjukkan besaran yang kurang dari taraf
nyata yang digunakan (α), dapat disimpulkan tolak H0, yang artinya minimal ada satu parameter dugaan (βi) yang tidak sama dengan nol (paling sedikit ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas). 3.5.3. Uji-t
Dipergunakan untuk menguji secara statistik apakah koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel tak bebas. Hipotesa: H0 : βj = 0 H1 : βj ≠ 0 ; j = 1,2, ..., k Pengujian uji parsial ini (uji-t) dapat dilihat dari nilai probabilitas tstatistiknya. Dimana, jika probabilitas t-statistik menunjukkan nilai yang kurang dari derajat kepercayaan yang digunakan (α), maka dapat dikatakan tolak H0 yang berarti peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas dalam model pada tingkat signifikansi tertentu.
3.6.
Evaluasi model
3.6.1. Heteroskedastisitas
Dalam suatu model jika dijumpai adanya masalah heteroskedastisitas maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Untuk mendeteksi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas digunakan uji White
Heteroscedasticity yang diperoleh dalam program EViews. Data panel dalam EViews 4 yang menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights) maka untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan
membandingkan Sum Square Residual pada Weighted Statistics dengan Sum
Square Residual pada Unweighted Statistics. Jika Sum Square Residual Weighted Statistics lebih kecil daripada Sum Square Residual Unweighted Statistics maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk men-treatment pelanggaran tersebut, bisa mengestimasi GLS dengan White Heteroscedasticity (Pindyck, 1991). 3.6.2. Multikolinieritas
Dalam model regresi linear yang terdiri dari banyak variabel independen terkadang dijumpai masalah multikolinearitas. Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-variabel independen dalam persamaan regresi berganda. Jika nilai R2 yang diperoleh tinggi (antara 0,7 dan 1) tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali koefisien dugaan yang nyata pada taraf uji tertentu dan tanda koefisien regresi dugaan tidak sesuai teori maka model yang digunakan berhubungan dengan masalah multikolinearitas. Multikolinearitas dapat diatasi dengan memberi perlakuan cross section weights, sehingga parameter dugaan pada taraf uji tertentu (t statistik maupun F hitung) menjadi signifikan. 3.6.3. Autokorelasi
Pindyck (1991) menyatakan bahwa autokorelasi dapat mempengaruhi efisiensi dari estimatornya. Untuk mendeteksi adanya korelasi serial dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson (DW) dalam Eviews 4. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi maka dilakukan dengan membandingkan statistik DW dengan tabel. Autokorelasi terdeteksi jika statistik DW (d) Lebih kecil dari dU atau lebih besar dari 4-dL. Model bebas masalah autokorelasi jika d terletak diantara dU dan 4-dU (dU
dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Pada analisis seperti yang dilakukan pada model, jika ditemukan korelasi serial maka model menjadi tidak efisien meskipun tidak bias dan konsisten. Kelemahan dari metode Durbin Watson adalah jika nilai statistik DW jatuh di daerah ragu-ragu, sehingga tidak bisa ditentukan ada atau tidaknya autokorelasi. Jika terjadi kasus demikian, maka gejala autokorelasi dideteksi dengan melihat grafik sebaran nilai residual antar waktu untuk setiap observasi, untuk melihat pengaruh error antar waktu.
IV.
4.1.
HASIL PEMBAHASAN
Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Dalam PDB
Pertumbuhan sektor industri pengolahan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997, tetapi kontribusinya terhadap pembentukan PDB masih tetap dominan dan paling besar dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya (Depnakertrans). Jika pada tahun 1993 kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB baru mencapai 22.30 persen, maka pada tahun 2006, kontribusinya telah mencapai 28.72 persen (Tabel 4.1). Rendahnya pertumbuhan sektor industri pengolahan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa upaya pemulihan yang dilakukan selama ini belum berhasil mengangkat sektor industri pengolahan seperti kondisi sebelum krisis. Padahal sebagai sektor yang mempunyai kontribusi terbesar dalam pembentukan PDB, sektor industri pengolahan diharapkan bisa menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi. Tabel 4.1. Kontribusi PDB Menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen) Sektor/Lapangan Usaha 1993 2006 1. Pertanian 17.88 13.36 2. Pertambangan 9.55 10.51 3. Industri Pengolahan 22.30 28.72 4. Listrik, Gas, Air Bersih 1.00 0.87 5. Konstruksi 6.83 6.43 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 16.77 14.97 7. Pengangkutan dan Komunikasi 7.05 7.04 8. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 8.51 8.32 9. Jasa-Jasa 10.30 9.78 100.00 100.00 PDB Sumber: BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, 1993 dan 2006 (Triwulan I).
Dibandingkan dengan sektor lainnya, sektor industri pengolahan memang termasuk yang paling menderita akibat krisis ekonomi yang dimulai sejak pertengahan tahun 1997 tersebut. Dari Tabel 4.2. dapat diketahui bahwa pada tahun 1998, yang merupakan puncak terjadinya krisis ekonomi, sektor industri pengolahan mengalami pertumbuhan negatif (-11,44 persen) dibandingkan dengan tahun 1997. Tetapi pada tahun 1999 pertumbuhan sektor industri berhasil mencapai 3.92 persen, dan tahun 2000 bahkan mencapai 5.98 persen. Karena kontribusinya cukup dominan dalam pembentukan PDB, maka pertumbuhan sektor industri pengolahan tahun 1999 dan 2000 tersebut mempunyai peran yang cukup besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Tabel 4.2. Pertumbuhan PDB Sektor Industri Pengolahan Tahun 19942005** Nilai (Miliar Rp) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004* 2005**
82649.0 91637.1 102259.7 107629.7 95320.6 99058.5 104986.9 109290.2 113671.7 115900.7 120250.4 124600.0
Pertumbuhan (persen) 10.88 11.59 5.25 -11.44 3.92 5.98 4.10 4.01 1.96 3.75 3.62
Sumber: BPS, Diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara. 2005**: Angka Sangat Sementara.
Bila dilihat dari subsektornya, sebagian besar (81.43 persen) dari nilai tambah sektor industri pengolahan berasal dari sub sektor industri besar sedang, sedangkan sisanya berasal dari sub sektor industri kecil dan kerajinan rumahtangga (IKRT) sekitar 18.57 persen seperti dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Dilihat dari kecenderungannya selama periode 1993-2002, tampaknya kontribusi nilai tambah sub sektor IKRT cenderung terus meningkat. Kalau pada tahun 1993, kontribusi IKRT terhadap nilai tambah sektor industri pengolahan secara keseluruhan baru sekitar 16.60 persen, maka pada tahun 2002 sudah mencapai 18.57 persen. Sebaliknya, kontribusi nilai tambah industri besar sedang turun dari 83.40 persen tahun 1993 menjadi 81.43 persen tahun 2002. Tabel 4.3. Komposisi PDB Sektor Industri Pengolahan Menurut Subsektor 1993-2002 (persen) Industri Kecil dan Sektor Industri Industri Besar Kerajinan Tahun Pengolahan Sedang Rumahtangga 1993 83.40 16.60 100.00 1994 83.83 16.17 100.00 1995 83.77 16.23 100.00 1996 84.06 15.94 100.00 1997 85.65 14.35 100.00 1998 83.63 16.37 100.00 1999 84.15 15.85 100.00 2000 81.98 18.02 100.00 2001 81.90 18.10 100.00 2002 81.43 18.57 100.00 Sumber: BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, Berbagai Edisi.
Bertambahnya kontribusi nilai tambah sub sektor IKRT tersebut tentu saja sangat menggembirakan, karena hal tersebut mengindikasikan bahwa program pembinaan terhadap industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta selama ini sudah mulai menunjukkan hasilnya, baik melalui program kemitraan, sistem bapak angkat, dan lain-lain. Diantara berbagai macam jenis industri yang termasuk dalam kategori industri besar sedang, kontribusi paling besar (13.61 persen) nilai tambah pada industri besar sedang disumbangkan oleh jenis industri makanan dengan kode International Standard
Industial Classification of All Economic Activities (ISIC) atau kode Klasifikasi
Baku Lapangan Usaha Indonesia 15 (ISIC/KBLI 15). Jenis industri lain yang juga memberikan kontribusi nilai tambah yang cukup besar adalah industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia (ISIC/KBLI 24) serta industri tekstil (ISIC/KBLI 17), yang masing-masing memberikan kontribusi terhadap nilai tambah industri besar sedang sebesar 12.42 persen dan 7.59 persen (Tabel 4.4.). Tabel 4.4. Distribusi Persentase Nilai Tambah Bruto Industri Besar Sedang Menurut Jenis Industri 2003 (Ribu Rp). kode ISIC 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Jenis Industri Makanan dan minuman Tembakau Tekstil Pakaian Jadi Kulit dan barang dari kulit Kayu dan barang dari kayu(tidak termasuk furniture) Kertas dan barang dari kertas Penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman Batubara, pengilangan minyak bumi, dan bahan bakar nuklir Kimia dan barang-barang dari bahan kimia Karet dan bahan dari karet Barang galian bukan logam Logam dasar Barang-barang dari logam kecuali mesin dan peralatannya Mesin dan perlengkapannya Mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya Radio, televisi, dan peralatan komunikasi, serta perlengkapannya Peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam, dan lonceng Kendaraan bermotor Alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih Furnitur dan industri pengolahan lainnya Daur ulang Jumlah
Nilai Output Nilai Persentase 162387933875 19.36 54244947007 6.47 73547373480 8.77 31616005536 3.77 20869600188 2.49
Nilai Tambah Nilai Persentase 41338414005 13.61 22116832477 7.28 23061505450 7.59 12556776085 4.13 8165330856 2.69
46735706019
5.57
18247281071
6.01
56191077950
6.70
22976003738
7.56
7483604874
0.89
3325761870
1.09
1715245325
0.20
663398679
0.22
90285619623
10.76
37744401931
12.42
45157675622 25577572438 49664169378
5.38 3.05 5.92
13047600877 13354824983 10955936571
4.29 4.40 3.61
20104694525
2.40
7549109075
2.48
12478834657
1.49
3991693931
1.31
87181035
0.01
58291368
0.02
17157086327
2.05
5289937571
1.74
39958553615
4.76
15686864102
5.16
1703835952
0.20
458262523
0.15
27884704883
3.32
18484412580
6.08
37667065053
4.49
17956080889
5.91
16053172952
1.91
6713211804
2.21
232298207 838803958521
0.03 100.00
55278787 303797211223
0.02 100.00
Sumber: BPS, Industri Besar dan Sedang, 2003.
4.2.
Arah Kebijakan Perindustrian di Indonesia
Sejak tahun 1995, pada Repelita VI pembangunan industri difokuskan pada produk-produk yang memiliki keunggulan komparatif agar mampu memiliki keunggulan yang kompetitif. Sehingga ada industri-industri yang lebih diprioritaskan oleh pemerintah selain lebih concern kepada BUMNIS (BUMN Industri Strategis). Hingga masa sekarang kebijakan industri prioritas masih dipertahankan terutama untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan internasional. Karena adanya sektor industri prioritas ini, pengembangan teknologi pun hanya difokuskan pada industri-industri yang diprioritaskan. Sehingga pengembangan teknologi pada industri pengolahan makanan secara keseluruhan masih belum seperti yang diharapkan. Kebijakan perindustrian yang dimulai pada tahun 2002, dipengaruhi oleh isu mengenai desentralisasi dan otonomi daerah. Selain itu lebih banyak perubahan-perubahan yang dilakukan dalam kebijakan pembangunan industri dengan melakukan restrukturisasi terutama pada sektor energi dan sumberdaya mineral, tataran mikro dan birokrasi pemerintah (Program Kerja Kabinet Indonesia Bersatu Sektor ESDM, 2002). Karena dalam periode tersebut terjadi perubahan
struktural
dengan
adanya
otonomi
daerah,
maka
berbagai
restrukturisasi tersebut dianggap perlu untuk dilaksanakan. Selain itu kebijakan yang lainnya masih serupa dengan kebijakan pada tahun-tahun sebelumnya hingga saat ini, yaitu mengenai keunggulan kompetitif, daya saing industri, kemampuan meningkatkan kapasitas produksi dan pengembangan teknologi (Deprin, 2002).
Pada tahun 2005, kebijakan pembangunan industri lebih fokus pada keterkaitan antar industri dan keterkaitan antara industri dengan sektor lainnya. Untuk meningkatkan keterkaitan dan kinerja industri secara keseluruhan pemerintah mengembangkan konsep cluster, salah satu pendekatan yang mampu meningkatkan produktivitas industri dengan meningkatkan keterkaitan antar sektor dalam suatu industri. Konsep cluster terutama diterapkan pada sektorsektor industri yang menjadi prioritas.
4.3.
Karakteristik Industri Pengolahan Makanan di Indonesia
Industri pengolahan makanan merupakan salah satu komponen penting dalam perekonomian yang berhubungan dengan konteks ketahanan pangan nasional. Untuk mencapai standar ketahanan pangan yang tangguh maka diperlukan adanya pertumbuhan yang tinggi pada sektor industri ini. Berdasarkan buku statistik industri besar dan sedang yang dirilis BPS, industri makanan meliputi seluruh pengolahan bahan pangan besar dan sedang yang berasal dari sumber daya alam, terutama sumber daya pertanian, sehingga bahan pangan tersebut siap dikonsumsi oleh masyarakat atau industri lainnya. Seluruh bahan baku industri pengolahan makanan merupakan hasil-hasil dari pertanian primer secara luas meliputi hasil-hasil pertanian ladang, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Besarnya industri ditentukan berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan pada perusahaan-perusahaan dalam suatu industri. Klasifikasi golongan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada tabel 4.5.
Jumlah perusahaan pengolah makanan di Indonesia Sangat banyak, terutama yang termasuk ke dalam golongan industri kecil dan rumah tangga. Data mengenai industri pengolahan makanan yang digunakan pada penelitian ini terbatas hanya pada industri pengolahan besar dan sedang dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 20 orang. Pertumbuhan jumlah perusahaan dalam industri pengolahan makanan sendiri menunjukkan angka yang negatif setiap tahunnya. Pada tahun 1996 industri pengolahan makanan memiliki jumlah total perusahaan sebanyak 4501 perusahaan, yang semakin menurun pada tahun 2000 dengan angka 4402 perusahaan. Data terakhir pada tahun 2003 jumlah industri pengolahan makanan semakin berkurang menjadi 4170 perusahaan (BPS,2003). Tabel 4.5. Klasifikasi Golongan Industri Berdasarkan Tenaga Kerja
Golongan Industri Besar Sedang Kecil Rumah Tangga
Banyaknya Tenaga Kerja 100 orang atau lebih Antara 20-99 orang Antara 5-19 orang Antara 1-4 orang
Sumber: BPS, Statistik Industri Besar dan Sedang, 2003.
Penyebab dari semakin berkurangnya perusahaan dalam industri pengolahan makanan sebagian besar disebabkan oleh ekspansi dari perusahaan besar terhadap perusahaan-perusahaan yang lebih kecil, misalnya pengambil alihan lahan perkebunan, karena perusahaan besar tersebut memiliki keunggulan dalam efisiensi teknis. Namun ekspansi ini dapat memberikan keuntungan terhadap industri secara keseluruhan, yaitu dengan meningkatnya kapasitas produksi perusahaan sehingga dapat meningkatkan skala ekonomi perusahaan di bawah satu manajemen. Pertumbuhan jumlah perusahaan pada industri pengolahan makanan diilustrasikan pada Gambar 4.1.
4450 4400 4350 4300 4250 4200 4150 4100 4050 2000
2001
2002
2003
Sumber: BPS, 2003.
Gambar 4.1. Pertumbuhan Jumlah Perusahaan Pada Industri Pengolahan Makanan
Pembiayaan bagi perusahaan-perusahaan dalam industri pengolahan makanan sebagian besar masih berasal dari dalam negeri (PMDN). 10 persen perusahaan dalam industri pengolahan makanan mendapatkan modal yang berasal dari PMDN, sedangkan perusahaan yang dibiayai oleh pihak asing (PMA) hanya menyumbang sebesar 4 persen, sisanya sebesar 86 persen dari investasi lainnya (BPS, 2003). Industri yang dibiayai oleh pihak asing biasanya merupakan industri yang potensial, karena ketersediaan sumber daya yang banyak di Indonesia dan dengan tingkat teknologi yang tinggi.
10% 4%
pmdn pma lainnya
86%
Sumber: BPS, 2003.
Gambar 4.2. Sumber Modal Industri Pengolahan Makanan
Sumbangan nilai output terbesar diberikan oleh industri minyak kasar (minyak makan) dari nabati dan hewan (kode: 15141) sebesar 24.17 persen dari total output industri pengolahan makanan. Urutan selanjutnya adalah industri minyak goreng dari kelapa sawit (15144) dengan kontribusi sebesar 21.71 persen. Sedangkan kontribusi kelompok industri lainnya dalam industri pengolahan makanan hanya di bawah 10 persen, yaitu pada industri pembekuan ikan dan biota perairan lainnya (15124, sebesar 8.43 persen), industri ransum dan pakan ternak/ikan (15331, 6.67 persen), dan industri gula pasir (15421, 6.06 persen). Kontribusi output seluruh kelompok industri terhadap total output industri pengolahan makanan dapat dilihat pada Lampiran 8. Secara keseluruhan industri pengolahan makanan memiliki kontribusi yang positif terhadap perekonomian Indonesia secara umum. Industri pengolahan makanan yang termasuk ke dalam jenis industri pengolahan merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Industri pengolahan makanan pun memiliki peranan penting sebagai industri yang mampu menyerap tenaga kerja yang besar.
4.4.
Pertumbuhan Industri Pengolahan Makanan
Industri pengolahan makanan merupakan salah satu sektor strategis yang memiliki banyak potensi untuk berkembang di Indonesia. Selain itu industri ini memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai salah satu unsur penjamin ketersediaan bahan pangan dan sumber nutrisi bagi masyarakat. Diharapkan industri pengolahan makanan dapat mengatasi masalah ketersediaan
makanan dan akses untuk mendapatkan makanan bagi setiap warga negara dengan kualitas yang baik serta memenuhi standar kecukupan gizi internasional. Isu ketahanan pangan nasional sedang dihadapkan dengan permasalahan yang sangat mendasar, yaitu belum mampunya produksi nasional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan pangan, terutama bahan pokok. Permasalahan ini tidak lepas dari pertumbuhan sektor pertanian dan industri pengolahan makanan sebagai pemasok bahan pangan bagi masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan sektor pertanian dan industri pengolahan makanan belum sesuai dengan yang diharapkan. Pertumbuhan industri pengolahan makanan hingga tahun 1996 terus mengalami peningkatan namun pada tahun 1997, seperti yang terjadi pula pada industri yang lainnya pertumbuhan industri pengolahan makanan mengalami penurunan yang sangat tajam, hal ini dikarenakan pada saat itu perekonomian Indonesia mengalami resesi yang cukup parah yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang memuncak pada saat itu. Krisis yang menyebabkan stagflasi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang melambat bahkan cenderung menurun yang disertai dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi tersebut menyebabkan ongkos produksi semakin mahal karena peningkatan harga-harga input. Investasi pun menurun tajam seiring kepercayaan masyarakat dan pihak asing yang menurun akibat ketidakpastian iklim usaha dan stabilitas perekonomian Indonesia. Pada tahun berikutnya pertumbuhan industri pengolahan makanan mulai meningkat, bahkan meningkat sangat pesat pasca krisis, dan hingga akhir 2003 pertumbuhan industri pengolahan makanan selalu positif namun dengan nilai yang semakin menurun.
Tabel 4.6. Pertumbuhan Nilai Output Industri Pengolahan Makanan kode industri Total 15133 15144 15211 15421 15440
1994-1996 0.2097 0.1523 0.3599 0.1924 0.0217 0.2894
Periode 1997-1999 2000-2002 0.1129 0.3584 0.6344 -0.5586 0.1011 0.2177 0.3014 0.2107 -0.5880 1.0462 -0.4804 0.5366
2003-2005** 0.1328 0.5999 0.3577 -0.0803 0.0512 0.3383
Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Tabel 4.6. menunjukkan laju pertumbuhan nilai output industri pengolahan makanan secara keseluruhan dan lima industri yang menyumbang proporsi nilai output terbesar dan karakteristik masing-masing kelompok, sehingga lima industri yang diambil sebagai sampel diharapkan mampu mewakili karakteristik dari kelompok-kelompok industri secara keseluruhan. Pada periode 1994-1996 industri pengolahan makanan mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 21 persen secara keseluruhan maupun pada tiap-tiap industri yang mewakili. Seperti dijelaskan di atas pertumbuhan yang menurun ini disebabkan oleh resesi ekonomi yang disebabkan oleh krisis perekonomian. Sedangkan pada periode selanjutnya antara tahun 1997-1999 dan periode 2000-2002 pertumbuhan industri pengolahan makanan menunjukkan peningkatan masing-masing sebesar 11 persen dan 36 persen. Pertumbuhan paling tinggi diperlihatkan pada periode 2000-2002, karena pada saat itu kebijakan-kebijakan yang diambil, baik secara makro maupun mikro, lebih memihak kepada kemajuan sektor agribisnis. Untuk periode selanjutnya pertumbuhan hanya sebesar 13 persen, mungkin disebabkan karena angka-angka
pada tahun 2004 dan 2005 adalah hasil proyeksi sementara dan bukan merupakan data-data yang sesungguhnya. Dilihat dari nilai pertumbuhan yang belum mampu mengalami peningkatan seperti pada masa sebelum krisis memberikan kesimpulan bahwa, kondisi industri pengolahan khususnya industri pengolahan belum mampu recover dan kembali mencetak pertumbuhan seperti pada saat sebelum krisis. Hal ini disebabkan karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang menaruh kepercayaan kepada industri-industri yang bersifat
foot-loose, karena terlalu
berorientasi kepada pasar dan ingin melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi (lompatan pertumbuhan) dengan mengikuti jejak negara-negara industri yang sudah maju. Akibatnya industri-industri yang berbasis pertanian seperti industri makanan, tidak mendapatkan perhatian. Selain itu sistem agribisnis belum diterapkan secara optimal dalam perekonomian Indonesia sehingga kemajuan sektor-sektor industri yang berbasis agribisnis tersendat-sendat, padahal pada sektor inilah Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibandingkan negara lainnya, sehingga penguatan sektor agribisnis merupakan strategi yang sangat ampuh untuk mengatasi masalah pangan dan adanya isu perdagangan bebas.
4.5.
Pengaruh Akumulasi Faktor Terhadap Pertumbuhan
Proses produksi tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya faktor produksi, maka dari itu faktor produksi merupakan unsur vital yang dibutuhkan dalam proses produksi. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan faktor produksi (akumulasi faktor) merupakan salah satu sumber
pertumbuhan suatu industri. Dalam industri pengolahan makanan akumulasi faktor sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan industri, terutama bahan baku. Untuk menjelaskan pengaruh akumulasi faktor terhadap pertumbuhan industri pengolahan makanan, digunakan metode Pool Least Square (PLS) dengan meregresi fungsi produksi industri pengolahan makanan yang didapat dari data industri pengolahan besar dan sedang dalam bentuk data panel (pool). Dengan menggunakan software E Views 4.1. maka didapatkan hasil regresi dengan pendekatan PLS (common) yang dapat dilihat pada Tabel 4.7. yang secara lengkap disajikan di Lampiran 9. dan dengan pendekatan Fixed Effect Least
square (FELS) pada Lampiran 10. Dimana setiap koefisien regresi menunjukkan elastisitas dari masing-masing variabel. Efisiensi teknis (T) rata-rata industri pengolahan makanan diasumsikan sebagai kemajuan teknologi berdasarkan tren waktu yang dihitung setiap tahun berdasarkan teori residual Solow dengan menggunakan indeks Tornqvist. Indeks Tornqvist merupakan indeks yang dihitung
berdasarkan
perbandingan
pertumbuhan
output
dengan
share
pertumbuhan input. Tabel 4.7. Hasil Regresi dengan metode PLS Variable C L M E R S T
Coefficient 0.965195 0.029732 0.820280 0.069112 0.010349 0.074726 0.036651
Std. Error 0.023386 0.001565 0.004277 0.005081 0.001190 0.003022 0.002854
t-Statistic 41.27199 18.99841 191.7720 13.60200 8.697967 24.72924 12.84214
Prob. 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Evaluasi Model R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
Sumber: Lampiran 9.
0.999939 0.999938 0.638105 584087.7 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
69.07875 80.72306 86.72878 1.756550
Model persamaan ini dibentuk dengan menggunakan metode regresi linear sederhana (least square) data pertumbuhan nilai output (Q), tenaga kerja (Labor,
L), bahan baku (Materials, M), energi (Energi, E), sewa (Rent, R), jasa industri dan pengeluaran lainnya (Services and Other Expenses, S) dan Efisiensi Teknis (Technological Progress, T) dalam bentuk data panel. Data yang diambil meliputi 20 cross section kelompok industri yang tergabung dalam golongan industri pengolahan makanan pokok. Analisis dilakukan dalam selang waktu sebelas tahun, mulai periode 1995 hingga tahun 2005. Sedangkan estimasi pertumbuhan teknologi dihitung setiap tahun dengan menggunakan indeks Tornqvist, dan dimasukkan ke dalam persamaan regresi. Hasil regresi di atas yang akan digunakan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan pada industri pengolahan makanan. Regresi dilakukan dengan pendekatan PLS (common). Dalam menentukan metode regresi dalam pool, apakah menggunakan
common pool least square (PLS) atau fixed effect least square (FELS) hasil regresi diuji dengan uji statistik Chow. Uji Chow dilakukan secara manual dengan hasil perhitungan sebesar 1.09363. Uji Statistik Chow menunjukkan F statistik Chow lebih kecil dari F tabel (1.97), sehingga terima hipotesis nol (Ho), yang artinya metode common pool least square yang digunakan dan diinterpretasikan untuk menjelaskan hasil regresi dari fungsi produksi industri pengolahan makanan. 4.5.1. Pengujian Model
Sebelum menginterpretasikan hasil penelitian dari model persamaan diatas, perlu dilakukan pengujian terhadap validitas model apakah persamaan
tersebut telah memenuhi asumsi OLS klasik. Pengujian model asumsi OLS klasik diantaranya dengan uji R2, uji-F, uji-t, identifikasi autokorelasi, multikolonearitas dan heteroskedastisitas. Untuk mengukur sampai sejauh mana besar keragaman yang dapat diterangkan oleh variabel bebas terhadap variabel tak bebas digunakan uji R2. Ada dua sifat dari R2 (Gujarati, 1995), pertama, R2 merupakan besaran non negatif; dan kedua, besarnya adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Jika R2 sebesar 1 berarti suatu kecocokan sempurna, sedangkan R2 yang bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara variabel tak bebas dengan variabel yang menjelaskan. Pada hasil olahan dengan menggunakan metode fixed effect least square mengenai industri pengolahan makanan, R2 sebesar 99 persen artinya hubungan variabel bebas dengan variabel tak bebasnya adalah sebesar 99 persen sementara 1 persen sisanya dijelaskan di luar variabel bebas yang diestimasi. Uji-F digunakan untuk menguji bagaimanakah pengaruh peubah bebas terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Hasil olahan menunjukkan probabilitas F-statistiknya lebih kecil dari taraf nyata 1 persen. Sehingga dapat dinyatakan bahwa secara serempak variabel bebasnya dapat menjelaskan variabel tak bebas pada taraf nyata tersebut. Pada persamaan fungsi produksi probabilitas t-statistik untuk variabel semua variabel nilainya lebih kecil dari taraf nyata 1 persen, sehingga semua variabel berpengaruh secara signifikan. Untuk menguji ada tidaknya gejala heteroskedastisitas digunakan metode
General Least Square (GLS). Model persamaan dikatakan bebas masalah heteroskedastisitas jika Sum Square Residual Weighted Statistics lebih kecil
dibandingkan dengan Sum Square Residual Unweighted Statistics, seperti yang tampak pada model regresi hasil olahan data mengenai industri pengolahan makanan. Dengan demikian model persamaan fungsi produksi industri pengolahan makanan di atas bebas masalah heteroskedastisitas. Metode GLS juga digunakan untuk menghindari adanya masalah multikolinearitas, dilihat dari probabilitas variabel bebasnya persamaan dapat dinyatakan bebas masalah multikolinearitas. Untuk mengidentifikasi gejala autokorelasi dalam model persamaan fungsi produksi industri pengolahan makanan, digunakan uji statistik Durbin Watson (DW). Statistik DW pada model persamaan sebesar 1.7565 dengan weighted cross
section dan sebesar 1.9270 pada unweighted cross section. Kedua nilai tersebut terletak diantara dU dan 4-dU atau dU
Faktor tenaga kerja merupakan salah satu input yang sangat penting dalam proses produksi pada setiap industri. Dalam industri pengolahan makanan tenaga kerja menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan terhadap nilai output, dari
hasil regresi fungsi produksi pengolahan nilai probabilitas t faktor tenaga kerja lebih kecil dari taraf nyata 1 persen, sehingga memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap nilai output. Koefisien faktor tenaga kerja sebesar 0.0297, artinya setiap peningkatan faktor tenaga kerja sebesar 1 persen maka nilai output akan meningkat sebesar 0.0297 persen. Peranan yang cukup penting dari faktor tenaga kerja dalam industri pengolahan makanan ini karena sifat industri pengolahan makanan yang mampu menyerap banyak sumber daya manusia (tenaga kerja). Pada saat krisis dimana upah rata-rata menurun karena banyak terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga banyak perusahaan yang lebih memilih untuk menggunakan sumber daya manusia daripada mesindan peralatan berat yang mahal agar lebih efisien. Industri pengolahan makanan secara umum memberikan peranan yang cukup penting dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 1997 di saat krisis melanda Indonesia dan terjadi pemberhentian tenaga kerja besar-besaran, banyak tenaga kerja yang beralih ke sektor industri pengolahan makanan. Dampak resesi ekonomi terhadap tingkat pengangguran pada saat itu dapat dikurangi dengan daya serap industri pengolahan makanan terhadap tenaga kerja, walaupun tidak secara signifikan berpengaruh terhadap pengangguran secara nasional dan kontribusi pertumbuhan tenaga kerja tersebut tidak signifikan terhadap nilai output. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan dalam industri pengolahan mampu lebih menekan biaya dengan memanfaatkan sumber daya manusia dibandingkan jika menggunakan teknologi yang biayanya lebih mahal.
Dapat disimpulkan bahwa faktor tenaga kerja belum menjadi salah satu sumber pertumbuhan yang memberikan dampak signifikan, sebagaimana yang diharapkan, terhadap pertumbuhan nilai output pada industri pengolahan makanan. Fenomena ini terutama disebabkan oleh skill (kualitas) tenaga kerja yang masih rendah sehingga sumbangan produktivitasnya terhadap pertumbuhan industri masih kurang. Pernyataan yang sama juga diungkapkan dalam penelitian Supriyanto (2005), mengenai sumber pertumbuhan pada Industri Kecil dan Rumah Tangga (IKRT). Pada IKRT jelas kualitas sumber daya manusianya masih kurang berpendidikan sehingga kontribusinya terhadap pertumbuhan masih sangat rendah. Sedangkan walaupun pada industri pengolahan makanan dengan ukuran industri besar dan sedang pun kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan masih belum signifikan. Dari Tabel 4.8. dapat dilihat laju pertumbuhan nilai penggunaan input tenaga kerja, pada periode 1994-1996 pertumbuhan tenaga kerja keseluruhan industri pengolahan makanan meningkat sebesar 0.04 persen. Namun pada beberapa kelompok industri, pertumbuhan tenaga kerja mengalami penurunan. Pada saat krisis dimana harga input naik karena inflasi justru input tenaga kerja pada industri pengolahan makanan meningkat nilainya. Salah satu penyebabnya adalah pada saat krisis banyak tenaga kerja dari sektor lain yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga mereka beralih menjadi buruh di sektor industri pengolahan makanan. Sedangkan
pada
saat
industri
pengolahan
makanan
mengalami
peningkatan pertumbuhan yang pesat, pertumbuhan nilai penggunaan tenaga kerja
malah menurun. Khususnya pada periode 2000-2002 yaitu pada masa pemulihan setelah krisis, dimana pertumbuhan tenaga kerja industri pengolahan makanan sebesar 2.74 persen dan mengalami peningkatan, walaupun tidak besar, dengan nilai 10.34 persen pada periode 2003-2005. Hal ini terutama disebabkan faktor tenaga kerja sudah mulai tergantikan peranannya oleh barang-barang modal seperti peralatan dan mesin-mesin yang lebih canggih dan modern serta memberikan produktifitas yang lebih tinggi. Tabel 4.8. Pertumbuhan Nilai Tenaga kerja Industri Pengolahan Makanan kode industri Total 15133 15144 15211 15421 15440
1994-1996 0.0004 0.1418 0.1330 -0.1385 -0.2183 0.3189
Periode 1997-1999 2000-2002 0.4418 0.0274 0.6605 -0.4748 0.3794 0.2708 1.1307 -0.4981 0.3574 0.0994 0.0924 0.1811
2003-2005** 0.1034 0.5304 -0.0798 0.1566 0.0550 -0.0054
Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Dilihat dari signifikansi faktor tenaga kerja terhadap pertumbuhan industri pengolahan memang masih kurang dibandingkan dengan pertumbuhan yang disebabkan input lain, misalnya bahan baku atau alat-alat produksi yang lebih efektif. Dengan potensi jumlah penduduk di Indonesia yang sangat banyak, maka perlu adanya peningkatan signifikansi faktor tenaga kerja bagi pertumbuhan industri pengolahan, yaitu dengan lebih fokus dengan metode labor intensif dan memanfaatkan teknologi yang menghemat modal, sehingga jumlah penduduk yang sangat besar tersebut dapat dimanfaatkan dengan optimal.
4.5.3. Faktor Modal (Capital)
Pembentukan modal atau akumulasi kapital merupakan faktor penting lainnya yang dibutuhkan dalam proses produksi. Faktor modal merupakan input yang paling mempengaruhi pertumbuhan pada industri pengolahan makanan. Karena modal dalam penelitian ini diasumsikan sebagai input lain selain tenaga kerja. Laju pertumbuhan nilai modal industri pengolahan makanan secara keseluruhan dan lima industri yang menyumbangkan kontribusi output terbesar dapat dilihat pada Tabel 4.9. Melalui Tabel 4.9. dapat dilihat bahwa pada periode 1994-1996 sebelum krisis pertumbuhan rata-rata nilai modal adalah sebesar 24.45 persen, proporsional dengan pertumbuhan nilai output. Pada tahun-tahun berikutnya nilai modal mengalami pertumbuhan yang positif namun dengan tingkatan yang semakin menurun, yaitu pada periode 1997-1999 dengan pertumbuhan sebesar 30.14 persen dan menurun sebesar 14.74 persen pada periode 2000-2002. Tabel 4.9. Pertumbuhan Nilai Modal Industri Pengolahan Makanan Kode industri Total 15133 15144 15211 15421 15440
1994-1996 0.2445 0.1576 0.5537 0.1713 0.0115 0.2559
Periode 1997-1999 2000-2002 0.3014 0.1474 0.6798 -0.6347 0.0882 0.1852 0.1933 0.1926 0.1245 0.2730 0.3104 -0.2280
2003-2005** 0.1853 0.5527 0.4660 0.0795 0.0688 0.3848
Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Peningkatan yang cukup tinggi pada periode 1997-1999 disebabkan oleh mulai pulihnya perekonomian setelah diterjang krisis, sehingga para investor
mulai menanamkan modalnya kembali pada periode tersebut. Sedangkan penurunan yang terjadi pada tahun-tahun selanjutnya Pembentukan modal pada industri pengolahan makanan merupakan input yang paling penting, sehingga ketergantungan pertumbuhan industri pengolahan makanan sangat besar terhadap pertumbuhan nilai modal. Modal juga berperan penting dalam penyediaan barang modal dan juga diperlukan dalam meningkatkan kemajuan teknologi. Dalam penelitian ini barang modal dideskripsikan sebagai bahan baku (raw material, M), energi (E), sewa (rent, R) dan jasa untuk proses produksi (production service, S) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya. 1.
Bahan Baku
Karena variabel capital (modal) diasumsikan sebagai barang modal lainnya selain tenaga kerja, maka bahan baku termasuk ke dalam kriteria input modal. Bahan baku adalah seluruh bahan mentah yang digunakan dalam proses produksi. Sebagian besar bahan baku industri pengolahan makanan berasal dari sektor pertanian, maka dari itu industri pengolahan merupakan industri perantara bagi produk pertanian sehingga mampu meningkatkan nilai tambah bagi produk pertanian. Hasil regresi menunjukkan elastisitas bahan baku sebesar 0.8202, yang artinya jika faktor bahan baku ditambah sebesar 1 persen maka akan meningkatkan output sebesar 0.8202 persen. Nilai probabilitas faktor bahan baku menunjukkan lebih kecil dari taraf nyata 1 persen, dapat disimpulkan bahan baku berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan output. Nilai elastisitas faktor bahan baku yang paling dominan dan berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan output berbanding lurus dengan kontribusi nilai penggunaan bahan baku dalam proses produksi yang dapat dilihat pada Tabel 4.10. Tabel 4.10. Kontribusi Barang Modal Terhadap Total Kapital (%) INPUT M E R S TOTAL K 1994 91.40 4.15 0.13 4.32 100 1995 92.64 3.06 0.09 4.21 100 1996 92.00 3.22 0.11 4.66 100 1997 92.07 3.50 0.16 4.28 100 1998 93.16 2.69 0.15 4.01 100 1999 94.21 2.22 0.09 3.49 100 2000 91.70 2.69 1.50 4.11 100 2001 93.84 3.52 1.32 1.32 100 2002 87.62 5.34 0.41 6.64 100 2003 90.13 4.77 0.54 4.57 100 Sumber: BPS, diolah. M= materials (bahan baku), E= Energi, R= Rent (sewa gedung dan mesin), S= service and other expense (Jasa dan pengeluaran lainnya). Periode
Dapat dilihat bahwa kontribusi bahan baku (materials) terhadap total kapital sangat dominan dengan rata-rata sebesar lebih dari 90 persen per tahun jauh lebih besar dari kontribusi input-input yang lainnya. Karena itu bahan baku merupakan input yang paling penting dalam pembentukan modal, dan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dari industri pengolahan makanan. 2.
Energi
Energi didefinisikan sebagai barang modal yang menjadi bahan bakar untuk memberdayakan peralatan dan mesin-mesin dalam proses produksi, pengeluaran untuk energi merupakan pembelian untuk barang-barang seperti listrik, bahan bakar minyak (BBM), minyak pelumas (oli) dan gas. Koefisien regresi dari input energi menunjukkan berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1 persen, sebesar 0.0691 yang selanjutnya dianggap sebagai elastisitas dari input energi. Koefisien tersebut mengindikasikan bahwa jika input energi ditambah sebesar 1 persen maka output akan mengalami kenaikan sebesar 0.0691 persen.
Jika dilihat pada tabel 4.10. memang kontribusi pengeluaran untuk energi jauh di bawah pengeluaran untuk bahan baku, namun kontribusinya lebih besar dari barang modal yang lain. Rata-rata kontribusi nilai penggunaan untuk energi sebesar 4 persen per tahun terhadap total kapital. Selain itu bahan baku energi merupakan barang modal yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan industri pengolahan makanan selain bahan baku. Pengaruh yang cukup signifikan dari energi adalah perubahan harganya (BBM dan Gas bumi) yang dapat mengubah struktur biaya suatu perusahaan secara signifikan, karena penggunaannya yang tinggi dan secara kontinu. 3.
Rent (sewa)
Gedung dan peralatan seperti mesin-mesin besar yang digunakan dalam proses produksi dalam industri pengolahan makanan biasanya bukan merupakan aset perusahaan, terkadang perusahaan-perusahaan industri makanan menyewa gedung dan mesin-mesin tersebut untuk menghindari sunk cost. Pengeluaran untuk gedung dan mesin ini adalah yang dikategorikan sebagai rent (sewa). Nilai pengeluaran untuk sewa dalam persamaan regresi juga dinyatakan signifikan pada taraf nyata 1 persen karena nilai probabilitasnya yang kurang dari dari 0.01, sedangkan nilai elastisitasnya sebesar 0.0103, yang artinya setiap peningkatan nilai sewa sebesar 1 persen maka akan menyebabkan peningkatan nilai output sebesar 0.0103 persen. Nilai sewa memiliki nilai koefisien regresi yang paling kecil sehingga walaupun pengaruhnya signifikan terhadap pertumbuhan output, namun kontribusi tambahan nilai sewa terhadap kenaikan nilai output lebih kecil daripada input yang lain. Pada industri pengolahan
makanan pangsa pengeluaran untuk sewa terhadap total kapital tidak terlalu signifikan, rata-rata hanya di bawah 1 persen setiap tahunnya. Pada kenyataannya memang nilai sewa ini tidak terlalu mempengaruhi peningkatan pertumbuhan industri pengolahan makanan. Karena gedung dan peralatan produksi merupakan barang yang termasuk ke dalam fixed cost, dan biasanya hanya berpengaruh pada awal pendirian perusahaan dalam suatu industri. Perubahan nilai sewa gedung dan peralatan akan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan industri ketika industri mengalami peningkatan kapasitas produksi secara besar-besaran, misalnya pendirian pabrik atau kantor baru dan peralatan-peralatan yang lebih banyak. Perubahan dalam nilai sewa seperti ini hanya mungkin terjadi dalam jangka waktu yang sangat panjang, sedangkan dalam penelitian ini hanya menggunakan deret waktu selama sepuluh tahun sehingga pengaruh perubahan nilai sewa belum terlihat secara signifikan. Namun secara sepintas dalam periode 10 tahun ini peningkatan nilai sewa menunjukkan pertumbuhan yang terus meningkat karena mulai maraknya penggunaan mesin sehingga meningkatkan pengeluaran untuk sewa. 4.
Pengeluaran Untuk Jasa
Komponen terakhir dari input modal adalah pengeluaran untuk jasa baik jasa yang berhubungan secara langsung terhadap industri maupun jasa lain di luar industri. Faktor jasa memiliki koefisien regresi sebesar 0.0747, artinya setiap penambahan 1 persen faktor jasa maka nilai output akan meningkat sebesar 0.0747 persen. faktor jasa seperti barang modal lainnya, juga berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan output dengan nilai probabilitas yang lebih kecil
dari taraf nyata 1 persen. Kontribusi pengeluaran untuk jasa relatif cukup besar dan berpengaruh dalam total kapital secara keseluruhan dengan rata-rata sebesar 4 persen per tahun. Sama halnya dengan input energi, pengeluaran untuk jasa industri dan non industri merupakan salah satu komponen yang diperlukan untuk berlangsungnya proses produksi. Jasa dalam proses produksi dapat dianggap sebagai industri berdasarkan pengertian industri menurut BPS (2003), contohnya adalah jasa penggilingan padi yang mengubah padi menjadi beras sehingga siap untuk dikonsumsi. Dengan demikian jasa memegang peranan penting baik dalam membentuk industri pengolahan maupun sebagai pendukung sistem agribisnis secara lebih luas.
4.6.
Peranan Teknologi
Pertumbuhan industri pengolahan makanan sangat dipengaruhi oleh akumulasi faktor terutama sumber daya modal yang memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pertumbuhan industri pengolahan makanan. Namun jika pertumbuhan hanya bertumpu pada akumulasi input (input driven) maka pertumbuhan industri tersebut tidak akan berlangsung secara sustainable (berkelanjutan). Hal ini dijelaskan dalam teori the law of diminishing returns, yang menyatakan bahwa skala pengembalian dari produksi akan semakin menurun jika perusahaan meningkatkan kapasitas produksinya melebihi tingkat produksi marjinalnya dengan menambah input. Ada tahapan produksi pada suatu industri, dimana pada saat awal pengembangan industri dimana skala pengembaliannya increasing returns
(semakin meningkat), pada tahap ini perusahaan akan semakin meningkatkan produksinya dengan menambah input. Pada tahap selanjutnya industri akan mengalami produktivitas yang semakin menurun dengan berubahnya skala pengembalian menjadi constant returns (pengembalian konstan), sehingga pada tingkatan inilah keuntungan perusahaan optimum dicapai, karena jika perusahaan menambah satu unit input lagi maka pengembaliannya akan negatif. Dengan teori tersebut maka pertumbuhan industri hanya akan berlangsung sampai kondisi optimum dimana perusahaan sudah mencapai skala pengembalian konstan. Untuk pertumbuhan industri yang berkelanjutan diperlukan adanya teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari sumber daya yang digunakan. Sehingga untuk pertumbuhan industri yang berkelanjutan peranan teknologi sangatlah penting. Pada penelitian ini teknologi dihitung sebagai pertumbuhan yang bukan disebabkan oleh produktivitas input tenaga kerja dan modal (efisiensi teknis), yaitu teknologi yang bersifat eksogen. Hasil pengolahan data mengenai industri pengolahan makanan menunjukkan bahwa industri pengolahan makanan sangat dipengaruhi oleh teknologi namun belum mampu memanfaatkan peranan teknologi secara optimum, dilihat dari nilai probabilitasnya yang lebih kecil dari taraf nyata 1 persen. Koefisien variabel teknologi tidak terlalu tinggi sebesar 0.036651 namun sangat berpengaruh jika dilihat berdasarkan nilai probabilitasnya. Peranan teknologi dalam industri pengolahan sangatlah besar, baik dalam bentuk peralatan atau teknik produksi yang dapat meningkatkan nilai tambah dari output industri. Seharusnya teknologi memiliki kontribusi yang dominan terhadap nilai
output dan pertumbuhannya mengingat banyaknya jenis-jenis teknologi yang dapat diaplikasikan dalam industri ini, misalnya teknik pengawetan, pengemasan dan sebagainya. Namun dalam penelitian ini teknologi hanya diasumsikan sebagai efisiensi teknis sehingga kontribusinya tidak terlalu besar. Dilihat dari koefisien hasil regresi persamaan fungsi produksi industri pengolahan makanan, kontribusi teknologi masih kurang. Artinya industri pengolahan makanan secara keseluruhan belum mampu memanfaatkan teknologi eksogen secara optimal, namun beberapa kelompok industri dalam industri pengolahan makanan sudah ada yang mampu menerapkan teknologi eksogen secara optimal. Tabel 4.11. Pertumbuhan Tingkat Pengembangan Teknologi Industri Pengolahan Makanan kode industri Total 15133 15144 15211 15421 15440
Periode 1994-1996 -0.0208 -0.0054 -0.1887 0.0297 0.0428 0.0275
1997-1999 -0.2343 -0.0443 -0.0947 -0.0896 -0.7478 -0.6589
2000-2002 0.2150 0.0771 0.0182 0.0826 0.8019 0.7111
2003-2005** -0.0489 0.0459 -0.1012 -0.1724 -0.0158 -0.0022
Sumber: BPS, diolah. 15133: Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran, 15144: Minyak Goreng Dari Minyak Kelapa Sawit, 15211: Susu, 15421: Gula Pasir, 15440: Makaroni, Mie, Spagheti, Bihun, So’un dan Sejenisnya. Ket: 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Dapat dilihat pada Tabel 4.11. yang menunjukkan laju pengembangan teknologi pada industri pengolahan makanan, pada masa sebelum krisis pengembangan teknologi rata-rata menurun sebesar 2.08 persen hingga tahun 1996. Pada saat krisis melanda perekonomian Indonesia tingkat kemajuan teknologi turun drastis dengan penurunan rata-rata sebesar 23.43 persen, karena teknologi merupakan faktor yang banyak membutuhkan modal, sehingga pada
saat modal mengalami penurunan pada saat krisis pengembangan teknologi pun ikut tersendat. Selain itu terjadi pergantian peranan dari tenaga kerja, karena pada saat krisis upah tenaga kerja menurun, sehingga perusahaan-perusahaan banyak yang lebih memanfaatkan tenaga kerja menggantikan mesin karena biayanya lebih murah pada saat itu. Pada periode selanjutnya, yaitu pada periode 2000-2002, tingkat kemajuan teknologi mengalami peningkatan sebesar 21.50 persen, yaitu pada masa pemulihan ketika aliran modal ke dalam industri pengolahan kembali meningkat dengan signifikan. Pada masa ini merupakan awal mula dilakukannya restrukturisasi yang dirancang oleh kabinet Indonesia bersatu. Retrukturisasi terutama dilaksanakan pada sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tatanan mikro, dan perbaikan birokrasi pemerintah. Kebijakan tersebut membawa dampak positif yang signifikan, sehingga sektor industri mampu memulihkan diri secara cepat. Dengan restrukturisasi tatanan mikro dan perbaikan birokrasi pemerintah, aliran modal dan kegiatan administrasi perusahaan lebih lancar sehingga sektor riil berkembang lebih cepat dan begitu pula dengan sektor industri pengolahan, terutama industri pengolahan makanan. Namun indeks teknologi kembali mengalami penurunan pada periode 2003-2005 sebesar 4.89 persen. Penurunan tingkat teknologi yang mencerminkan efisiensi yang berkurang ini, disebabkan pemanfaatan teknologi pada industri pengolahan makanan masih kurang, karena keterkaitan antar subsistem dalam sistem agribisnis belum optimal, karena tidak adanya hubungan organisasi yang fungsional di dalamnya. Akibatnya masing-masing subsistem tidak saling
mendukung satu sama lain yang menyebabkan pertumbuhan subsistem-subsistem tersebut terhambat, begitu pula yang terjadi dengan pengembangan teknologinya. Dari
tahun
ke
tahun
kebijakan
pembangunan
industri
selalu
mengutamakan sektor industri prioritas demi mendapatkan keuntungan dari perdagangan internasional. Namun sebagian besar industri yang dipilih bukan merupakan industri yang berbasis pertanian yang faktor produksinya banyak terdapat di dalam negeri, melainkan industri-industri yang bersifat high
technology dan foot-loose. Hal ini menyebabkan kemajuan teknologi hanya berkembang pesat pada sektor-sektor industri yang menjadi prioritas, sehingga kemajuan teknologi industri pengolahan secara keseluruhan, dan terutama pada industri pengolahan makanan, belum mampu berkembang secara merata dan belum bisa memberikan pengaruh yang dominan terhadap pertumbuhan industri tersebut secara keseluruhan.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
1)
Industri pengolahan makanan selalu mengalami pertumbuhan yang positif setiap tahunnya, kecuali pada saat krisis pada periode 1997 dimana pertumbuhannya negatif. Pertumbuhan industri pengolahan makanan pun mulai meningkat terutama pada periode 2000-2003, namun belum mampu mencetak angka pertumbuhan seperti pada masa sebelum krisis. Dapat dinyatakan bahwa kondisi sektor industri pengolahan makanan di Indonesia belum recover setelah dihantam krisis ekonomi pada tahun 1997. Potensi industri pengolahan makanan masih sangat besar untuk berkembang secara berkelanjutan terutama dengan dukungan teknologi, efisiensi teknis dan pemanfaatan input yang banyak tersedia di Indonesia seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia (local resources), serta aplikasi sistem agribisnis untuk industri pertanian.
2)
Sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan masih didominasi oleh input bahan baku sebagai penyumbang terbesar pada pertumbuhan produktivitas
industri
pengolahan
makanan.
Dengan
demikian
pertumbuhan pada industri pengolahan makanan masih memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap akumulasi faktor terutama faktor bahan baku. Koefisien regresi menunjukkan besarnya pengaruh input bahan baku terhadap output, sedangkan input lainnya memang berpengaruh secara signifikan terhadap nilai output, namun pengaruhnya jauh di bawah signifikansi dari bahan baku.
3)
Seperti pada kesimpulan kedua, sektor industri pengolahan makanan masih bertumpu pada akumulasi faktor yaitu input bahan baku yang berpengaruh sangat signifikan terhadap pertumbuhan nilai output. Pemanfaatan teknologi pada industri pengolahan makanan belum optimal, hanya pada beberapa golongan industri dengan modal yang kuat dan yang diprioritaskan oleh pemerintah. Sehingga secara keseluruhan peranan teknologi pada industri pengolahan makanan belum memberikan hasil yang signifikan.
5.2.
Saran
1)
Dengan perubahan paradigma secara global mengenai pertumbuhan yang bersifat sustainable (berkelanjutan), maka sumber pertumbuhan industri pengolahan makanan seharusnya tidak hanya bertumpu kepada akumulasi faktor (input driven), namun diperlukan juga adanya pengembangan teknologi (technological driven) dan kreatifitas serta inovasi (innovation driven) baik dalam industri pengolahan makanan maupun dalam sistem agribisnis secara keseluruhan sehingga pertumbuhan industri ini dapat berlangsung secara berkelanjutan.
2)
Untuk pertumbuhan secara keseluruhan pada industri pengolahan makanan, penerapan teknologi tidak hanya difokuskan pada industriindustri yang dijadikan prioritas oleh pemerintah, tapi juga memperhatikan pengembangan kelompok industri yang lain pada industri pengolahan makanan agar adanya pemerataan pertumbuhan. Teknologi yang dipilih
pun hendaknya yang bersifat menghemat modal dan padat karya dan melakukan
pemberdayaan
terhadap
masyarakat
khususnya
yang
berkecimpung dalam subsistem usahatani, karena ketersediaan faktor tenaga kerja yang banyak di Indonesia. Namun, strategi ini perlu didukung dengan perbaikan pada kualitas faktor tenaga kerja, seperti peningkatan standar pendidikan atau pemberian pelatihan keahlian dan manajemen dalam teknologi yang berbasis agribisnis (Human Capital). 3)
Agar sumber pertumbuhan semakin meluas maka diharapkan pemerintah memperhatikan dan menstimulasi pengembangan sektor industri kecil dan rumah tangga pada industri pengolahan makanan yang sebagian besar berkembang dari usahatani primer, sehingga dengan semakin banyaknya produk hasil diversifikasi pada industri pengolahan makanan maka akan semakin tinggi nilai tambah yang diberikan oleh industri ini, karena produk yang dihasilkan telah melalui proses modifikasi/pengolahan yang lebih panjang.
4)
Perlu adanya penguatan dalam sistem agribisnis nasional, dengan menguatkan masing-masing subsistem dalam rantai produksi industri makanan. Perbaikan dilakukan secara menyeluruh baik dari subsistem agribisnis hulu hingga ke hilir, dan meningkatkan keterkaitan antar subsistem dengan menciptakan hubungan organisasi yang fungsional antar subsistem dalam sistem agribisnis dan meningkatkan keterkaitan antar subsistem tersebut.
Analisis mengenai pertumbuhan pada industri makanan ini masih memiliki banyak kelemahan, diantaranya industri yang dianalisis disini hanya industri makanan yang besar dan sedang. Fungsi produksi yang digunakan belum mampu menjelaskan adanya sumber pertumbuhan yang berasal dari skala usaha, dan tidak mampu menjelaskan hubungan elastisitas antara masing-masing input seperti jika menggunakan fungsi translog. Data yang diambil merupakan data dalam satuan nilai Rupiah, yang perkembangannya dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak dibahas dalam penelitian ini. Maka dari itu semoga pada penelitian selanjutnya dapat menghilangkan asumsi dan keterbatasan yang ada pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. dan D. Byerlee. 2002. Productivity Growth and Resource Degradation in Pakistan’s Punjab: A Decomposition Analysis. The University of Chicago, Chicago. Ariani, M dan Rahman. 2003. Penawaran dan Permintaan Komoditas Kacangkacangan dan Umbi-umbian di Indonesia. Icaserd Working Paper, No.17: 1-17. Badan Pusat Statistik. 1994-2003. Statistik Industri Besar dan Sedang Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Beierlein, J.G. dan M.W. Woolverton. 1991. Agribusiness Marketing, The Management Perspective. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey. Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Departemen Perindustrian, Jakarta. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2003. Pengukuran dan Analisis Produktivitas Faktor Total (PTF) Sektor Industri Pengolahan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta. Felipe, J. 1997. Total Factor Productivity Growth in East Asia: A Critical Survey, Economics and Development Resource Center, Asian Development Bank, Manila. Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. McGraw-Hill, Inc, New York. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Irawan, B, B. Winarso, I. Sadikin, dan G. S. Hardono. 2003. Analisis Faktor Penyebab Pelambatan Produksi Komoditas Tanaman Utama. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Jhingan, M.L. 1999. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Laboratorium Komputasi Departemen Ilmu Ekonomi FEUI. 2005, Pengolahan Data Panel. Departemen Ilmu Ekonomi FEUI, Depok. Lipsey, R.G, P.N. Courant, D.D. Purvis, P.O. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi, Jilid Satu, Binarupa Aksara, Jakarta. Maulana, M. 2004. Peranan Luas Lahan, Intensitas Pertanaman dan Produktivitas Sebagai Sumber Pertumbuhan Padi Sawah di Indonesia 1980-2001, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Erlangga, Jakarta. Parikh, A dan D. Bailey. 1990. Technique of Economic Analysis With Application. The University Press, Cambridge. Pindyck, R.S. dan D.L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts, McGraw-Hill, Inc, New York. Saragih, B. 1998. Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. [Kumpulan Pemikiran]. Yayasan Mulia Persada Indonesia, PT. SURVEYOR INDONESIA, Pusat Studi Pembangunan LP-IPB, Jakarta. __________. 2004. Perkembangan Mutakhir Pertanian Indonesia dan Agenda Pembangunan ke Depan. [Bahan Kuliah Tamu]. Universitas Brawijaya, Malang. Simatupang, P. 1997. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Total Faktor Produksi Usahatani Padi Sawah di Indonesia, Working Paper, Pusat Studi Agro Ekonomi, Bogor Sugiyono, A. 2000. Kemajuan Teknologi dan Pembangunan Ekonomi [Tesis], Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Supriyanto, H. 2002. Dekomposisi dan Dinamika Sumber-Sumber Pertumbuhan Industri Kecil dan Rumah Tangga di Indonesia: Analisis “Total Factor Productivity” [Tesis], IPB, Bogor. Todaro, M.P. 2000. Economic Development, Addison-Wesley, Massachusetts.
Wilk, E.O. dan J.e. Fensterseifer. 2002. Towards a National Agribusiness System: A Conceptual Framework. [Research Paper]. CEPAN/UFRGS, Porto Alegre.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kode Klasifikasi Industri Berdasarkan KBLI 2003. Kode Industri
Uraian/ Deskripsi
15112
31112
Pengolahan dan pengawetan daging - Processing and preserving of meat
15121
31141
15122
31142
15124
31144
Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya - Canned fish and other products Penggaraman/pengeringan ikan dan biota perairan lainnya – Salted/dried fish and other similar products Pembekuan ikan dan biota perairan lainnya - Frozen fish and other products
15131
31131
15132
31133
15133
31134
15134
31135
15139
31139
Pengalengan buah-buahan & sayuran - Canned fruits and vegetables Pengasinan/pemanisan buah-buahan & sayuran – Salted/ sweetened fruits and vegetables Pelumatan buah-buahan dan sayuran - Pulverized fruits and vegetables
15141
31151
Pengeringan buah-buah dan sayuran - Dried fruits and vegetables Pengolahan dan pengawetan lainnya untuk buah-buahan dan sayuran Other processing and preserving offruits and vegetables Minyak kasar (minyak makan) dari nabati dan hewani – Crude cooking oil
15144
31154
Minyak goreng dari minyak kelapa sawit - Cooking oil made of palm oil
15211
31121
Susu - Powdered, condensed and preserved milk
15311
31161
Penggilingan padi dan penyosohan beras - Rice milling and husking
15312
31162
Penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya - Other grain mill products
15316
31165
Pengupasan & pembersihan kacangkacangan - Peeling and cleaning of nuts
15321
31168
Tepung terigu - Wheat flour
15322
31169
Tepung dari bahan nabati lainnya - All flour made of other grains and roots
15323
31211
Pati ubi kayu – Tapioca
15410
31179
Roti dan sejenisnya - Bakery products
15421
31181
15440
31171
15495
31249
15499
31279
Gula pasir - Granulated sugar Makaroni, mie, spagheti, bihun, so'un dan sejenisnya - Macaroni, spaghetti, noodle and the like Makanan dari kedele dan kacangkacangan lainnya selain kecap dan tempe Other food made of soya bean/ other nuts Makanan yang belum termasuk kelompok manapun - Other food products
Sumber: BPS, 2003
Lampiran 2. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Output dan Tenaga Kerja. Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004* 2005**
Nilai Output 14818872686 18489665048 22542210440 26456663 45248691246 31631966338 62850354063 77532723572 92712879104 1.23093E+11 1.34492E+11 1.38126E+11
Output Growth 0.22131 0.19817 -6.74763 7.44442 -0.35800 0.68658 0.20994 0.17880 0.28343 0.08856 0.02666
Rataan
0.20974
0.11292
0.35844
0.13288
Nilai 779471125 1057894925 780212369 1300875495 2153499476 2936407719 5435126773 5723954739 3188262233 3970161101 4263497251 4348788532
Labor Growth 0.3054206 -0.3044701 0.5112266 0.5040566 0.3100927 0.6156958 0.0517771 -0.5851839 0.2193306 0.0712831 0.0198075
Rataan
0.00047
0.44179
0.02743
0.10347
Sumber: BPS, diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Lampiran 3. Tabel Penghitungan Pertumbuhan Kapital dan Teknologi. Tahun
Nilai Output 1994 10314500617 1995 13925773348 1996 16822986196 1997 17824532 1998 30909501009 1999 41556121649 2000 45305333422 2001 51151400009 2002 64683128492 2003 92912003873 2004* 1.06569E+11 2005** 1.12782E+11 Sumber: BPS, diolah.
kapital Pertumbuhan 0.30019058 0.18900485 -6.84992574 7.45824318 0.29598123 0.08637991 0.12136510 0.23471054 0.36215244 0.13713539 0.05667071
Rata-rata
0.244597723
0.301432888
0.147485187
0.185319518
Indeks Teknologi Pertumbuhan Rata-rata -0.19807753 -1.32935519 2.058644105 0.364644454 -76.3777058 76.37369805 -21.5473656 -7.18379117 18.82973989 3.398094316 -1.10451811 7.041105364 -1.18744775 -0.63161035 -0.66102621 -0.82669477
Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara Cara yang sama dipergunakan untuk menghitung pertumbuhan pada masing-masing kelompok industri.
Lampiran 4. Distribusi Labor, Bahan Baku, Energi, Sewa dan Jasa. Kode
15112
Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004* 2005**
L 5875803 4963794 9381243 9979479 17694140 28510220 37104907 47899234 80550640 93221344 97659002
M 41671832 59125921 73976 114532298 124353618 141457827 209564434 382189579 482013658 511012628 518983133
E 1439826 2743534 2777 2818703 3144333 2601010 7582946 18113549 22139349 23439509 23842295
R 102480 179103 399 81203 93241 66088 232516 1621595 33998196 125371993 422980162
S 2226447 3754808 5532 4843614 9200785 8129059 16306241 18585269 30649129 35130958 36632682
Sumber: BPS Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Lampiran 5. Proporsi Masing-masing Input Terhadap Input Total. kode
112
Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004* 2005**
sL 0.1145014 0.0701426 0.9912632 0.0754561 0.1145355 0.1577205 0.1370241 0.1022593 0.1240479 0.1182747 0.0887731
sM 0.8120569 0.8354994 0.0078166 0.8659940 0.8049501 0.7825544 0.7738972 0.8159309 0.7423006 0.6483480 0.4717611
sE 0.0280578 0.0387684 0.0002934 0.0213125 0.0203534 0.0143889 0.0280029 0.0386703 0.0340945 0.0297389 0.0216728
sR 0.00199702 0.00253087 4.21601E-05 0.00061398 0.00060355 0.00036560 0.00085865 0.00346191 0.05235719 0.1590659 0.38449341
Sumber: BPS, diolah Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
θx =
X Tx
(X = L, M, E, R, S); Tx = Total Input
sS 0.04338666 0.05305862 0.00058453 0.03662321 0.05955735 0.04497051 0.06021706 0.03967741 0.04719963 0.04457245 0.03329949
Lampiran 6. Rata-Rata Pertumbuhan Kontribusi Input Tahun Ke t, t-1. kode
Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004* 2005**
112
OL 0.10459217 0.09232205 0.53070293 0.53335971 0.09499582 0.13612798 0.14737231 0.11964175 0.11315364 0.12116132 0.10352388
OM 0.82457724 0.82377820 0.42165802 0.43690533 0.83547207 0.79375226 0.77822581 0.79491407 0.77911580 0.69532434 0.56005457
OE 0.02826785 0.03341314 0.01953094 0.01080301 0.02083304 0.01737123 0.02119595 0.03333664 0.03638246 0.03191674 0.02570590
OR 0.00110596 0.00226395 0.00128651 0.00032807 0.00060877 0.00048458 0.00061212 0.00216028 0.02790955 0.10571154 0.27177965
OS 0.041456766 0.048222644 0.026821579 0.018603875 0.048090286 0.052263936 0.052593787 0.04994724 0.043438527 0.045886045 0.038935974
Sumber: BPS, Diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Θx =
θ x + θ x −1
(X = L, M, E, R, S)
2
Lampiran 7. Distribusi Input, Output dan Hasil Perhitungan Pertumbuhan. Kode
112
Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004* 2005**
Input 51316388 70767160 9463927 132255297 154486117 180764204 270791044 468409226 649350972 788176432.9 1100097275
Output 68601817 100742914 117043 156133821 199672278 206629216 442059710 639833887 826826608 886126098 903903714
At 0.11202564 0.06362232 -3.95995357 3.751374013 0.08960551 -0.12304649 0.355762141 -0.178197335 -0.097184788 -0.135093477 -0.326181526
Sumber: BPS, Diolah Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Qt L M E R S − Θ L ln t − Θ M ln t − Θ E ln t − Θ R ln t − Θ S ln t Qt-1 Lt-1 M t -1 Et −1 Rt −1 St −1 (Chambers dalam Felipe, 1997) Cara yang sama dilakukan untuk mencari indeks teknologi (efisiensi teknis) pada kelompok industri yang lain. At = ln
Lampiran 8. Tabel kontribusi Output Kelompok Industri Terhadap Output. Kode 15112 15121 15122 15124 15131 15132 15133 15141 15144 15211 15311 15316 15321 15322 15323 15410 15421 15440 15495 15499 Total
Nilai Output (Ribu Rp) 2003 2004* 2005** 826826608 886126098 903903714 2330844924 2397968300 2416592684 308230872 303424921 302812064 13356110733 14194801154 14388253504 777660789 753038123 749695586 10285458 10454216 10487197 131063216 173085050 185327047 38302787578 40498316590 41167644671 34399184852 42108651744 44717016043 6950594439 6689889783 6641773444 1170128400 1184553759 1186588706 27265706 27331116 27336366 4108722422 4265088073 4296349319 349820794 350007332 350051220 970788328 942625942 937904933 3747385874 3503141248 3462878487 9596192024 9807508863 9844616918 4771844456 5489797437 5636262608 389365517 385973310 385248347 568017553 520376896 515462205 123093120543 134492159955 138126205065
Sumber : BPS, diolah. Ket : 2004* : Angka Sementara 2005** : Angka Sangat Sementara
Kontribusi Output (%) 2003 2004 2005 0.67 0.66 0.65 1.89 1.78 1.75 0.25 0.23 0.22 10.85 10.55 10.42 0.63 0.56 0.54 0.01 0.01 0.01 0.11 0.13 0.13 31.12 30.11 29.80 27.95 31.31 32.37 5.65 4.97 4.81 0.95 0.88 0.86 0.02 0.02 0.02 3.34 3.17 3.11 0.28 0.26 0.25 0.79 0.70 0.68 3.04 2.60 2.51 7.80 7.29 7.13 3.88 4.08 4.08 0.32 0.29 0.28 0.46 0.39 0.37 100.00 100.00 100.00
Lampiran 9. Hasil Regresi Dengan Metode PLS. Dependent Variable: Q? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/29/06 Time: 13:36 Sample: 1995 2005 Included observations: 11 Number of cross-sections used: 20 Total panel (balanced) observations: 220 Convergence achieved after 12 iterations White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C L? M? E? R? S? T?
0.965195 0.029732 0.820280 0.069112 0.010349 0.074726 0.036651
0.023386 0.001565 0.004277 0.005081 0.001190 0.003022 0.002854
41.27199 18.99841 191.7720 13.60200 8.697967 24.72924 12.84214
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999939 0.999938 0.638105 584087.7 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
69.07875 80.72306 86.72878 1.756550
0.956226 0.954993 0.638105 1.927015
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
19.76515 3.007818 86.72879
Unweighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
Lampiran 10. Hasil Regresi Dengan Metode FELS. Dependent Variable: Q? Method: GLS (Cross Section Weights) Date: 08/29/06 Time: 13:41 Sample: 1995 2005 Included observations: 11 Number of cross-sections used: 20 Total panel (balanced) observations: 220 Convergence achieved after 29 iterations White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
L? M? E? R? S? T? Fixed Effects 112_--C 121_--C 122_--C 124_--C 131_--C 132_--C 133_--C 141_--C 144_--C 211_--C 311_--C 316_--C 321_--C 322_--C 323_--C 410_--C 421_--C 440_--C 495_--C 499_--C
0.030542 0.855832 0.063447 0.002593 0.061220 0.028097
0.001207 0.006605 0.003866 0.001205 0.003474 0.002663
25.30020 129.5828 16.41237 2.151633 17.62132 10.55094
0.0000 0.0000 0.0000 0.0327 0.0000 0.0000
0.691954 0.800077 0.571591 0.186895 0.654709 1.290181 0.813399 0.642527 0.584981 0.751963 0.608693 0.705224 0.400858 0.657827 0.364875 0.251363 0.714726 0.491981 0.442082 0.550154
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.999962 0.999957 0.635456 202032.4 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
78.40112 96.50561 78.33813 2.029123
0.960461 0.955365 0.635459 2.239610
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid
19.76515 3.007818 78.33873
Unweighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Durbin-Watson stat
Lampiran 11. Hasil Perhitungan Uji Statistik Chow.
( RRSS − URSS ) /( N − 1) URSS /( NT − N − K ) (86.72878-78.33813)/(20-1) = 78.33813/(200-20-6) = 1.0936303 FN −1, NT − N − K = F19,194 ≡ F20,200 FChow =
= 1.97 FChow < FTabel → 1.0936303 < 1.97
Lampiran 12. Grafik Residual Masing-masing Cross Section. 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 95
96
97
98
RESID112_ RESID121_ RESID122_ RESID124_ RESID131_ RESID132_ RESID133_
99
00
01
RESID141_ RESID144_ RESID211_ RESID311_ RESID316_ RESID321_ RESID322_
02
03
04
05
RESID323_ RESID410_ RESID421_ RESID440_ RESID495_ RESID499_