Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi Bahan Bakar Nabati Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia
DAMPAK PENINGKATAN HARGA PANGAN DAN HARGA SUBSTITUSI BAHAN BAKAR NABATI TINGKAT INTERNASIONAL, SERTA SUBSIDI HARGA OUTPUT BAHAN BAKAR NABATI TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA (The Impact of Increasing Food Price’s, Price Substitute, and Output Subsidy of Biofuel Price’s in Indonesian Economy) Sugiyono, Rina Oktaviani, Dedi Budiman Hakim, Bustanul Arifin Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor ABSTRACT Increasing of food price’s and price subtitute of biofuel are caused biofuel output performance decline in Indonesia. Then, biofuel of output price’s subsidy may be a solution for them. The objective of this study is an analysis of impact of increasing food price’s, price substitute, and output subsidy of biofuel price’s in Indonesian economy. This research applied the long run of Recursive Dynamic General Equilibrium (RDGE) model by Indonesian Forecasting. Two simulation are used to. First, food price’s and substitute price’s of biofuel ascend. Second, output subsidy of biofuel price’s are implementation. The result that the rise of food price’s and price subtitute of biofuel are not to integrate with output price’s of locally-produce commodity, usually. The biofuel subsidy can to go upward biofuel output, to substitute fuel, coal, and wood, but are not substitute LNG and the contrary to increase of food output potentially. Keywords: Biofuel, food, subsidy, RDGE. PENDAHULUAN 1. Latar belakang Inpres nomor 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai bahan bakar lain ditetapkan oleh pemerintah untuk mengantisipasi kelangkaan Bahan Bakar Minyak (Setkab, 2006). Pemerintah juga menetapkan Perpres nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang mencantumkan sasaran (mandat) konsumsi BBN lebih besar dari 5 persen pada tahun 2025 (Setkab, 2006a). Roadmap Kementerian ESDM merencanakan konsumsi biosolar sebesar 15 persen dan bioetanol sebesar 10 persen pada tahun 2011-2015. Akan tetapi penjualan BBN yang dilakukan Pertamina berubah dari 5 persen menjadi 2.5 persen dan terus menurun menjadi 1 persen, ketika harga Crude Palm Oil (CPO) dunia lebih tinggi (Yasin dan Fe-
byanti, 2008; Investor Daily, 2009). Harga CPO dunia ketika itu telah melampaui 772 dollar AS per ton per Juni 2007 berdasarkan data Commodity Market Review Bank Dunia, suatu rekor tertinggi dalam 23 tahun terakhir. Selama periode tahun 2006-Juni 2008, Pertamina menjual biosolar sebesar 1057 juta liter dan Pertamina kehilangan penjualan sebesar Rp 359 miliar dan Pertamina dalam menjual etanol sebesar 7.2 juta liter telah kehilangan penjualan sebesar Rp 2.25 miliar (Dillon et al, 2008). Produsen BBN yang semula sebanyak 21 perusahaan kemudian menjadi 3 perusahaan pada awal tahun 2008, yaitu: PT Indo Biofuels Energy, PT Eterindo, dan PT Ganesha (Yasin dan Febyanti, 2008). Pengembangan produksi biosolar minyak sawit di Indonesia dengan cara mencampurkan 10 persen minyak sawit ke solar (B10) dapat menurunkan subsidi solar
101
Jurnal Ekonomi Mei 2012 Vol. XXII No. 1
pada produk pangan dan hasil tambang lainnya, sehingga terdapat isu paradoks antara pengembangan produksi BBN sebagai energi terbarukan dan pangan.
sebesar Rp 2.56 triliun (Susila dan Munadi, 2008). Pada tahun 2005-2006, PTPN XII mengoperasionalkan 38 mobil dan 6 genset selama satu tahun dengan menggunakan biosolar mampu menghemat solar senilai Rp 16612 miliar (Syamsiyah, 2007). Akan tetapi pengembangan produksi BBN juga memerlukan subsidi. Ketika harga solar sebesar 67 dollar AS per barrel pada 29 Desember 2006 dan harga BBN sebesar 83 dollar AS per barrel, maka memproduksi biosolar memerlukan subsidi sebesar 16 dollar AS per barrel. Disamping itu pemerintah menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) penyerahan BBN dalam negeri untuk periode 5 Oktober-31 Desember 2009 sebesar Rp 180 miliar berdasarkan Permenkeu Nomor:156/PMK.011/2009 (Depkeu, 2009). PPN BBN yang ditanggung oleh pemerintah adalah biosolar murni (B100), bioetanol murni (E100), dan minyak nabati murni (O100). Jika harga bioetanol lebih murah dibandingkan harga premium dan solar, maka subsidi yang ditanggung oleh pemerintah juga berkurang (Media Indonesia, 2008). Jika harga bahan baku BBN meningkat, maka pemerintah mengizinkan BBN diekspor dan jika harga bahan baku BBN menurun, maka BBN digunakan untuk kepentingan domestik (Tempo Interaktif, 2007). Ekspor biosolar Indonesia sebesar 6 ribu ton pada tahun 2005, sebesar 46 ribu ton tahun 2006, sebesar 80 ribu ton tahun 2007, dan sebesar 80 ribu ton tahun 2008 (Departemen Pertanian Amerika Serikat, 2008 dalam Dillon et al, 2008). Ekspor biosolar menjadi menarik, karena penjualan biosolar di dalam negeri dikenakan PPN 10 persen dan biosolar harus bersaing dengan harga BBM bersubsidi, sedangkan ekspor biosolar hanya dikenakan pajak ekspor sebesar 1.5 persen (Business Watch Indonesia, 2007). Akan tetapi kenaikan harga tingkat internasional selama tahun 20002011 bukan hanya pada CPO, melainkan
2. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional, serta subsidi harga output BBN terhadap perekonomian Indonesia. Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak peningkatan harga pangan internasional yang berpotensi sebagai input BBN, peningkatan harga substitusi BBN tingkat internasional, dan subsidi harga output BBN terhadap keragaan ekonomi makro, harga ouput komoditi lokal, output, permintaan ekspor, jumlah penawaran impor, permintaan tenaga kerja, dan penerimaan pendapatan rumah tangga di Indonesia. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pemerintah sebagai pengambilan keputusan dalam pengembangan produksi BBN, sebagai informasi untuk penelitian lain, dan sektor swasta. METODOLOGI PENELITIAN 1. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Inpres Nomor1 tahun 2006, Perpres Nomor 5 tahun 2006, dan Roadmap pemanfaatan BBN menjadi rujukan pengembangan produksi BBN. Peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional turut mempengaruhi pengembangan produksi BBN, selain kebijakan subsidi harga output BBN. Dampak kebijakan tersebut dianalisis pada indikator ekonomi makro, harga output komoditi per sektor, output per sektor, permintaan ekspor per sektor, jumlah penawaran impor per sektor, permintaan tenaga kerja per sektor, dan penerimaan pendapatan nominal agregat per rumah tangga.
102
Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi Bahan Bakar Nabati Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia Inpres no 1 Tahun 2006 Perpres no 5 Tahun 2006 Roadmap BBN 2005-2025
Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi BBN di Tingkat Internasional
Subsidi Harga Output BBN
Permintaan Tenaga Kerja per Sektor Ekonomi makro
Harga Output Komoditi Lokal per Sektor
Output per Sektor
Permintaan Ekspor per sektor
Jumlah Penawaran Impor per Sektor
Pendapatan take home pay per kelompok rumah tangga: pro-poor
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data dan sumber data untuk membangun konstruksi data dasar adalah Tabel Input Output (I-O) 66 sektor tahun 2008 (BPS, 2009) dan Tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) tahun 2005 (BPS, 2008).
INDOF (Indonesian Forcasting Model) yang dibangun oleh Oktaviani (2008). Model tersebut dikembangkan dari model ORANIF oleh Horridge et al (1993) dan Oktaviani (2000 dan 2008). 5. Sistem Persamaan Sistem persamaan yang digunakan sebanyak 17 blok menggunakan keseimbangan umum recursive dynamic jangka panjang (Oktaviani, 2008). Sistem persamaan tersebut terdiri dari: (1) Permintaan untuk tenaga kerja, (2) Permintaan untuk input primer, (3) Permintaan untuk input antara, (4) Permintaan gabungan input primer dan input antara, (5) Gabungan komoditi dari output industri, (6) Permintaan untuk barang-barang investasi, (7) Permintaan rumah tangga, (8) Ekspor dan permintaan akhir lainnya, (9) Permintaan margin, (10) Harga di tingkat pembeli, (11) Kondisi keseimbangan pasar, (12) Pajak tidak langsung, (13) Produk Domestik Bruto dari sisi pendapatan dan pengeluaran, (14) Keseimbangan perdagangan dan agregasi lainnya, (15) Tingkat pengembalian, (16) Persamaan investasi-modal akumulasi, dan (17) Akumulasi hutang.
3. Metoda Pengolahan Data Pengolahan data menggunakan software GEMPACK release 10.0 dan Excel. Produktivitas per sektor dihitung menggunakan data Total Faktor Produksi dari Jungsoo Park Tahun 2000-2007 (Park, 2010) dan data pertumbuhan PDB sektoral tahun 2000-2007 (Bank Indonesia, 2011) dikalikan faktor konversi sebesar 11.2. Closure merupakan “penutup” model yang terdiri dari peubah eksogen dan endogen (Gambar 2). Model menggunakan asumsi terdapat mobilitas modal, tenaga kerja, dan lahan. Baseline merupakan estimasi kondisi ekonomi dalam keadaan normal tahun 2010. Hasil estimasi simulasi merupakan kondisi baseline + shock pada tahun 2015. 4. Struktur Model Model yang digunakan adalah model
103
Jurnal Ekonomi Mei 2012 Vol. XXII No. 1
Gambar 2. Closure Makroekonomi yang Digunakan pada Penelitian
KONSTRUKSI DATA DASAR 1. Disagregasi Sektor Tabel I-O tahun 2008 dilakukan disagregasi dari 66 menjadi 68 sektor (Lampiran 1) menggunakan metode matrik disagregasi (Gambar 3). Sektor ubi kayu diperoleh dari disagregasi sektor tanaman umbi-umbian dengan pangsa sebesar 46.35 persen (BPS, 2008). Sektor BBN diperoleh dari disagregasi sektor pengilangan minyak bumi dengan pangsa sebesar 1.1 persen (ESDM, 2011). BBN merupakan sebagian produksi yang berasal dari industri minyak dan lemak dengan pangsa sebesar 15 persen. Sektor industri minyak dan lemak antara lain berasal dari sektor-sektor kelapa sawit, ubi kayu, dan industri gula (tetes tebu) dengan pangsa sebesar 10 persen (biosolar), serta 5 persen dan 10 persen untuk bioetanol.
mestik dari setiap pengguna per komoditi dihitung dari nilai komoditi domestik per komoditi oleh pengguna (sektor 180) dikalikan rasio pajak tidak langsung (sektor 204) per komoditi dibagi jumlah input per komoditi oleh semua pengguna (sektor 210) (Oktaviani, 2000). Penerimaan pajak penjualan impor dari pengguna per komoditi dihitung dari nilai komoditi impor oleh pengguna (sektor 409) dikalikan rasio pajak penjualan per komoditi oleh semua pengguna (sektor 402) dibagi nilai impor pajak per komoditi oleh semua pengguna (sektor 401 dan 404) (Oktaviani, 2000). Investasi setiap industri dihitung menggunakan pangsa investasi per sektor, yaitu rasio jumlah nilai penerimaan modal (sektor 303) terhadap nilai penerimaan modal setiap industri per sektor (Oktaviani, 2000). Stok modal awal setiap industri dihitung dari rasio nilai penyusutan (sektor 203) terhadap tingkat penyusutan (Oktaviani, 2000).
2. Konstruksi Data Dasar Lainnya Penerimaan pajak tidak langsung do-
104
Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi Bahan Bakar Nabati Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia
Gambar 3. Metoda Disagregasi
ruh kasar bukan pertanian di pedesaan, (6) Rumah tangga bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas bukan pertanian di pedesaan, (7) Rumah tangga pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tatausaha dan penjualan golongan atas bukan pertanian di pedesaan, (8) Rumah tangga pengusaha bebas golongan rendah, tenaga tatausaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, buruh kasar
Rumah tangga didisagregasikan ke dalam 10 kelompok menggunakan data Tabel SNSE tahun 2005, yaitu: (1) Rumah tangga buruh pertanian, (2) Rumah tangga pengusaha pertanian memiliki tanah 0 ha – 0.5 ha, (3) Rumah tangga pengusaha pertanian memiliki tanah 0.5 ha – 1.0 ha, (4) Rumah tangga pengusaha pertanian memiliki tanah 1 ha lebih, (5) Rumah tangga pengusaha bebas golongan rendah, tenaga tatausaha, pedagang keliling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, bu-
105
Jurnal Ekonomi Mei 2012 Vol. XXII No. 1
kerja sebesar 0.5, dan nilai trend tenaga kerja sebesar 1. Tingkat depresiasi sebesar 10 persen. Nilai trend investasi sebesar 0.10 dan dan nilai rasio investasi terhadap modal sebesar 5. Parameter Frisch adalah rasio jumlah permintaan rumah tangga terhadap barang mewah. Parameter Frisch bernilai sebesar -2 hingga -4. Rasio investasi terhadap modal sebesar 0.117.
bukan pertanian di perkotaan, (9) Rumah tangga bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas bukan pertanian di perkotaan, dan (10) Rumah tangga Pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tatausaha dan penjualan golongan atas bukan pertanian di perkotaan. Jenis pekerjaan didisagregasikan ke sektor pertanian, operator, administrasi, dan profesional menggunakan data Tabel SNSE tahun 2005. Penerimaan modal dan lahan per individu dibangun dari jumlah surplus usaha (sektor 202) dan penyusutan (sektor 203). Sebanyak 80 persen dari jumlah surplus usaha dan penyusutan dialokasikan untuk penerimaan lahan. Sebanyak 20 persen dari jumlah surplus usaha dan penyusutan dialokasikan untuk penerimaan modal sektor pertanian. Komposisi penerimaan lahan dan modal sektor kehutanan dan pertambangan berbanding antara 85 persen dan 15 persen serta 75 persen dan 25 persen (Oktaviani, 2000). Tabel SNSE membedakan tenaga kerja penerima upah dan gaji maupun tenaga kerja bukan penerima upah dan gaji. Data total tenaga kerja penerima upah dan gaji (sektor 201) dikelompokkan sebagai data upah tenaga kerja. Data total tenaga kerja bukan penerima upah dan gaji ditransformasikan untuk menambah penerimaan modal dan lahan dengan proporsi 40 persen untuk menambah penerimaan modal dan sebanyak 60 persen untuk menambah penerimaan lahan.
4. Simulasi Simulasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Harga ekspor CPO rata-rata per tahun meningkat sebesar 16.31 persen, harga ekspor dan impor jagung meningkat sebesar 12.8 persen, harga impor beras meningkat sebesar 8.6 persen, harga impor gula meningkat sebesar 12.8 persen, harga ekspor minyak kelapa meningkat sebesar 19.6 persen, harga impor gandum meningkat sebesar 9.8 persen, harga ekspor kayu bulat meningkat sebesar 4.7 persen, harga ekspor batubara meningkat sebesar 25 persen, harga ekspor dan impor BBM meningkat sebesar 18.1 persen, serta harga ekspor gas meningkat sebesar 9.5 persen selama tahun 2000-2011 (www.worldbank.org). CPO, gula (tetes tebu), dan ubi kayu merupakan tanaman bahan baku BBN di Indonesia. Jagung, beras, kelapa, dan gandum berpotensi dapat dikembangkan menjadi tanaman bahan baku BBN. Kayu, batubara, BBM, dan gas merupakan komoditi substitusi BBN. 2. Subsidi harga output BBN sebesar 57.68 persen tahun 2011 (www.pertamina. go.id). HASIL DAN PEMBAHASAN
3. Koefisien Elastisitas dan Parameter Lain Elastisitas Armington untuk intermediate, investasi, dan rumah tangga sebesar 1.3-11.2. Elastisitas substitusi faktor primer sebesar 0.5, elastisitas substitusi tenaga kerja bernilai sebesar 0.07-0.50, elastisitas transformasi sebesar 0.5, elastisitas permintaan ekspor tradisional bernilai sebesar -2.23 hingga -9.98, elastisitas permintaan ekspor non tradisional sebesar -4, elastisitas pengeluaran rumah tangga per kelompok rumah tangga sekitar 0.96, elastisitas upah tenaga
1. Estimasi Baseline Pada konstruksi data dasar telah dicapai keseimbangan antara data pendapatan dan data pengeluaran (Tabel 1). Karena data telah seimbang, maka hasil konstruksi data dasar dapat digunakan untuk melakukan pengolahan data.
106
1. Estimasi Baseline 1. Estimasi PadaBaseline konstruksi data dasar telah dicapai keseimbangan antara data pendapatan dan data Pada konstruksi data dasar telah dicapai keseimbangan antara data pendapatan dan data pengeluaran (Tabel 1). Karena data telah seimbang, maka hasil konstruksi data dasar dapat pengeluaran (Tabel 1). KarenaHarga dataSubstitusi telah seimbang, maka hasil konstruksi data dasar dapat Dampak Peningkatan Harga Pangan dan digunakan untuk melakukan pengolahan data.Bahan Bakar Nabati Tingkat Internasional, serta Subsidi digunakan untuk melakukan pengolahan data. Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia Tabel 1. Keseimbangan Pendapatan dan Pengeluaran PDB Tabel Pendapatan dan Tabel1. 1. Keseimbangan Keseimbangan Pendapatan dan Pengeluaran PengeluaranPDB PDB Pendapatan Pendapatan Lahan Lahan Tenaga kerja Tenaga kerja Modal Modal Biaya lainnya Biaya lainnya Pajak tidak langsung Pajak tidak langsung Jumlah Jumlah
Rp Miliar Rp Miliar 315 079 315 079 953 952 953 952 3 925 358 3 925 358 -196 549 -196 549 266 281 266 281
Pengeluaran Pengeluaran Konsumsi rumah tangga Konsumsi rumah tangga Investasi Investasi Pengeluaran pemerintah Pengeluaran pemerintah Stok Stok Ekspor barang dan jasa Ekspor barang dan jasa Impor barang dan jasa Impor barang dan jasa 5 264 121 Jumlah 5 264 121 Jumlah
Rp Miliar Rp Miliar 3 195 805 3 195 805 1 405 455 1 405 455 416 867 416 867 106 326 106 326 1 487 238 1 487 238 -1 347 570 -1 347 570 5 264 121 5 264 121
Baseline pada Tabel 2 dipilih menggunakan metoda perbedaan kuadrat 123.87 terkecil dari Baseline pada Tabel 2 dipilih menggumenurut penggunaan Baseline pada Tabel 2 dipilih menggunakan metoda perbedaan sebesar kuadrat terkecilpersdari hasilmetoda estimasiperbedaan dengan data aktual.terkecil Estimasi pertumbuhan kumulatif impor barang dan jasa nakan kuadrat en, dan berdasarkan data PDB menurut jehasil estimasi dengan data aktual. Estimasi pertumbuhan kumulatif impor barang dan jasa rendah dibandingkan data aktual, karena rasio ekspor terhadap impor pada Tabel I-O darilebih hasil estimasi dengan data aktual. Estinis pengeluaran Q4 sebesar 129.47 persen. lebih rendah dibandingkan data aktual, karena rasio ekspor terhadap impor pada Tabel I-O tahun 2008 sebesar 110.36impor persen, sedangkan berdasarkan data PDB menurut penggunaan masi pertumbuhan kumulatif barang Karena hasildata estimasi Tabel 2 penggunaan relatif telah tahun 2008 sebesar 110.36 persen, sedangkan berdasarkan PDB menurut sebesar 123.87 persen, dan berdasarkan data PDB menurut jenis pengeluaran Q4 sebesar dan jasa lebih rendah dibandingkan data mendekati data aktual, maka model dapat sebesar 123.87 persen, dan berdasarkan data PDB menurut jenis pengeluaran Q4 sebesar 129.47 persen. Karena hasil estimasi Tabel 2 relatif telah mendekati data aktual,simulasi maka model aktual, karena rasio ekspor terhadap impor digunakan untuk melakukan dan 129.47 persen. Karena hasil estimasi Tabel 2 relatif telah mendekati data aktual,analisis maka model pada Tabeldigunakan I-O tahununtuk 2008 sebesar 110.36 dilanjutkan untukuntuk melakukan kebidapat melakukan simulasi dan dilanjutkan melakukan analisis dapatsedangkan digunakanberdasarkan untuk melakukan simulasi dan untuk melakukan analisis persen, data PDB jakandilanjutkan mandat konsumsi BBN. kebijakan mandat konsumsi BBN. kebijakan mandat konsumsi BBN. Tabel2. 2. PerbandinganData Data Aktual Estimasi Indikator Ekonomi Makro di Tabel dandan Estimasi padapada Indikator Ekonomi Makro Makro Tabel 2. Perbandingan Perbandingan DataAktual Aktual dan Estimasi pada Indikator Ekonomi di Indonesia Tahun 2008-2010 di Indonesia Tahun 2008-2010 Indonesia Tahun 2008-2010
Indikator Ekonomi Makro Indikator Ekonomi Makro
Harga Konstan Tahun 2000 *) Harga Konstan Tahun 2000 *) (Rp Miliar) (Rp Miliar)
2008 2009 2008 2009 2 082 456.1 2 177 741.7 Produk Domestik Bruto 2 082 456.1 2 177 741.7 Produk Domestik Bruto 1 191 190.8 1 249 011.2 Konsumsi rumah tangga 1 191 190.8 1 249 011.2 Konsumsi rumah tangga 493 822.3 510 100.2 Investasi 493 822.3 510 100.2 Investasi 169 297.2 195 834.4 Pengeluaran pemerintah 169 297.2 195 834.4 Pengeluaran pemerintah 1 032 277.8 932 248.6 Ekspor barang dan jasa 1 032 277.8 932 248.6 Ekspor barang dan jasa 833 342.2 708 528.8 Impor barang dan jasa 833 342.2 708 528.8 Impor barang dan jasa Sumber: *) www.bps.go.id, **) www.bi.go.id Sumber: *) www.bps.go.id, **) www.bi.go.id
2010 2010 2 310 689.8 2 310 689.8 1 306 800.9 1 306 800.9 553 444.3 553 444.3 196 397.6 196 397.6 1 071 385.3 1 071 385.3 830 981.8 830 981.8
Kumulatif Kumulatif Tahun 2008-2010 Tahun 2008-2010 Q4 ke Q4 (%) Q4 ke Q4 (%) Aktual**) Estimasi Aktual**) Estimasi 12.28 12.20 12.28 12.20 8.40 5.76 8.40 5.76 12.80 10.16 12.80 10.16 25.33 25.33 25.33 25.33 19.84 17.75 19.84 17.75 18.51 6.11 18.51 6.11
2. DampakPeningkatan PeningkatanHarga Harga Pangan flasi.Substitusi Akan tetapi peningkatan harga pangan 2. Dampak Pangan dan Harga BBN Tingkat Internasional, 2. Dampak Peningkatan Harga PanganIndan Harga BBN Tingkat Internasional, dan Harga Substitusi BBN Tingkat danSubstitusi harga substitusi BBN di tingkat internasiserta Subsidi Harga Output BBN terhadap Keragaan Ekonomi Makro Indonesia serta Subsidi Harga Output BBN terhadap Keragaan Ekonomi positif Makroterhadap di Indonesia ternasional, serta Subsidi Harga Outonal berdampak peningPeningkatan panganEkonomi dan harga substitusi tingkat internasional (Simulasi 1) put BBN terhadapharga Keragaan katanBBN indeks hargainternasional ekspor, nilai(Simulasi tukar mata Peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat 1) tidakdiberhasil meningkatkan indeks harga konsumen (Tabel 3), karena pemerintah Makro Indonesia uang rupiah per dolar AS terdepresiasi, tidak berhasil meningkatkan indeks harga konsumen (Tabel 3), karena pemerintah kebijakan sasaran tetapi peningkatan harga pangan dan harga nilai tukar pen memberlakukan Peningkatan harga pangan dan inflasi. harga Akan memberlakukan kebijakan sasaran inflasi. Akanpeningkatan tetapi peningkatan hargaperdagangan, pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional berdampakingkatan positif terhadap peningkatan indeks harga sewa modal non pertanian nasisubstitusi BBN tingkat internasional (Simusubstitusi BBN tingkat internasional berdampak positif terhadap peningkatan indeks harga tukar meningkatkan mata uang rupiah per dolaronal, AS dan terdepresiasi, peningkatan nilai tukar peningkatan neraca perdagangan lasiekspor, 1) tidaknilai berhasil indeks ekspor, nilai tukar mata uang rupiah per dolar AS terdepresiasi, peningkatan nilai tukar per PDB. harga konsumen (Tabel 3), karena pemerintah memberlakukan kebijakan sasaran in-
122
122 107
perdagangan, peningkatan sewa modal non pertanian nasional, dan peningkatan neraca
Jurnal Ekonomi Meiper 2012 Vol. XXII No. 1 perdagangan PDB.
Tabel Peningkatan Harga Pangan dan Harga BBN Tingkat Tabel3. 3. Dampak Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Substitusi Harga Substitusi BBN Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output BBN terhadap Keragaan Ekonomi Internasional, serta Subsidi Harga Output BBN terhadap Keragaan Ekonomi Makro di di Indonesia Tahun 2015 Makro Indonesia Tahun 2015
Persentase Perubahan (%)
Indikator Ekonomi Makro Baseline Sim 1 Sim 2 Neraca perdagangan per PDB 2.35 3.10 2.36 Nilai tukar perdagangan -3.28 -0.65 -3.30 Sewa modal pertanian nasional 24.79 23.22 25.21 Sewa modal non pertanian nasional 34.21 36.45 34.29 Indeks harga konsumen 19.94 19.05 19.96 Indeks harga ekspor 24.85 27.48 24.83 Nilai tukar mata uang Rupiah per dollar AS 28.13 25.36 28.13 Upah riil rata-rata 16.14 15.75 16.27 Pembayaran modal agregat 31.14 31.75 31.27 Pembayaran tenaga kerja agregat 36.08 34.81 36.23 Pembayaran lahan agregat 23.03 21.36 23.45 PDB riil dari sisi pengeluaran 12.20 12.12 12.23 Indeks volume impor 6.11 8.29 6.13 Pengeluaran investasi riil agregat 10.16 10.17 10.11 Konsumsi rumah tangga riil 5.76 5.77 5.71 Indeks volume ekspor 17.75 19.54 17.84 Permintaan pemerintah riil agregat 25.33 25.33 25.33 Inventori riil agregat 29.89 24.93 32.73 Keterangan: Sim 1: Baseline + harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional meningkat. Sim 2: Baseline + subsidi harga output BBN meningkat. Peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional di atas berdampak negatifharga berupa penurunan PDB riil sisi pengeluaran. Penurunan dan tersebut, karena volume ekspor meningkat inventori riil Peningkatan pangan dan harga penurunanBBN indeks volume impor dan penurunanagregat inventori riil agregat, meskipun terjadi meningkat. Subsidi harga output substitusi tingkat internasional di atas peningkatannegatif pengeluaran riil PDB agregat, peningkatan rumah tangga riil,neradan BBN juga konsumsi berdampak meningkatkan berdampak berupainvestasi penurunan ca perdagangan per PDB dan indeks harga riil sisi pengeluaran. Penurunan tersebut, peningkatan indeks volume. menurun. Inventori riil meningkat, karenaSubsidi penurunan impor hargaindeks outputvolume BBN (Simulasi 2) ekspor berdampak meningkatkan PDB riil sisi indeks harga inventori meningkat. dan penurunan inventori riil agregat, pengeluaran (Tabel 3), karena indeks meskivolume imporkarena meningkat, meskipun pengeluaran investasi Pengeluaran investasi riil agregat pun terjadi menurun, peningkatan pengeluaran riil agregat konsumsi rumah intangga riil menurun, namun indeks volume menuekspor run, karena rata-rata menurun, vestasi riil agregat, peningkatan konsumsi meningkat dan inventori riil agregat meningkat. Subsidi harga output sewa BBN modal juga berdampak peubahharga sewaekspor modal pertanian nasional rumah tangga neraca riil, danperdagangan peningkatanper indeks meningkatkan PDB dan indeks menurun. Inventori riil menurun, dan peubah sewa modal non volume. meningkat, karena indeks harga inventori meningkat. Pengeluaran investasi riil agregat pertanian meningkat. menurun, Subsidikarena harga rata-rata output BBN (Simulasi sewa modal 2) menurun, peubah nasional sewa modal pertanianKonsumsi nasional rumah tangga riil menurun, karena indeks berdampak meningkatkan PDB riil sisi penmenurun, dan peubah sewa modal non pertanian nasional meningkat. Konsumsi rumah tangga harga konsumen meningkat. Indeks volume geluaran (Tabelkarena 3), karena riil menurun, indeksindeks harga volume konsumen meningkat. Indeks volume impor meningkat, impor meningkat, karena indeks harga imimpor meningkat, meskipun pengeluaran karena indeks harga impor meningkat dan nilai tukar terdepresiasi. riil sisi por perdagangan meningkat dan nilai tukarPDB perdaganinvestasi riil agregat menurun, konsumsi pendapatan meningkat, karena pembayaran modal agregat meningkat, pembayaran tenaga kerja gan terdepresiasi. PDB riil sisi pendapatan rumah tangga riil menurun, namun indeks meningkat, dan pembayaran lahan agregat meningkat, meskipun penerimaan untuk semua pajak tidak langsung agregat menurun dan pembayaran lain-lain agregat menurun. Pembayaran modal agregat meningkat, karena rata-rata sewa modal 108 meningkat, peubah sewa modal pertanian
123
Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi Bahan Bakar Nabati Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia
meningkat, karena pembayaran modal 3. Dampak Peningkatan Harga Panagregat meningkat, pembayaran tenaga gan dan Harga Substitusi BBN Tingkat kerja meningkat, dan pembayaran lahan Internasional, serta Subsidi Harga nasional meningkat, meningkat, dan peubahpenerimaan sewa modal non pertanian nasional meningkat. Pembayaran agregat meskipun Output BBN terhadap Keragaan Ekotenaga kerja agregat meningkat, karena rata-rata upah riil meningkat. untuk semua pajak tidak langsung agregat nomi Sektoral menurun dan pembayaran lain-lain agre Peningkatan harga pangan dan harga gat menurun. Pembayaran modal agregat substitusi BBNBBN tingkat internasional (Simu3. Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi Tingkat Internasional, meningkat, karena rata-rata sewa modal lasi 1) berdampak terhadap peningkatan serta Subsidi Harga Output BBN terhadap Keragaan Ekonomi Sektoral meningkat, peubah sewa modal pertanian harga ouput komoditi BBN lokal (Tabel 4). dan harga BBN tingkat internasional (SimulasiBBN 1) nasionalPeningkatan meningkat,harga danpangan peubah sewa substitusi Peningkatan harga output komoditi berdampak terhadap nasional peningkatan harga ouput komoditi BBN lokal (Tabel 4). Peningkatan modal non pertanian meningkat. lokal berdampak terhadap peningkatan Pembayaran tenaga kerja BBN agregat meningharga output komoditi lokal berdampak terhadap peningkatan outputoutput BBN, komoditi namun output BBN, namun harga kat,harga karena rata-rata upah riil output komoditi ubimeningkat. kayu lokal yang merupakan feedstock untuk memproduksi ubi kayu lokal yang merupakan feedstock untuk memproduksi bioetanol mengalami bioetanol mengalami penurunan. penurunan.
Tabel 4.4. Dampak DampakPeningkatan Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi BBN Tingkat Tabel Harga Pangan dan Harga Substitusi BBN Tingkat Internasional,serta serta Subsidi Harga Output BBN terhadap Harga Komoditi Output Internasional, Subsidi Harga Output BBN terhadap Harga Output Komoditi Lokal dan Output Indonesia Lokal dan Output Sektoral di Sektoral IndonesiadiTahun 2015Tahun 2015
Sektor
Harga Output Komoditi Lokal Baseline Sim 1 Sim 2 14.27 12.59 14.55 15.02 13.93 15.36 15.16 13.52 15.44 7.88 8.04 8.19 6.01 7.79 7.08 10.09 10.69 11.41 25.71 24.20 26.00
Persentase Perubahan (%) Output
Baseline Sim 1 Sim 2 Padi 7.21 7.13 7.12 Jagung 8.21 8.65 8.17 Ubi kayu 8.09 8.02 8.00 Tebu 11.47 13.69 11.46 Kelapa 11.62 14.61 12.32 Kelapa sawit 12.31 15.88 14.09 Kayu 6.92 6.49 6.88 Penambangan batubara dan bijih logam 22.11 38.14 22.11 22.03 31.16 21.99 Penambangan minyak, gas dan panas bumi 30.56 30.94 30.57 -6.19 -6.16 -6.19 Industri pengolahan dan pengawetan makanan 21.03 20.27 20.96 9.09 7.81 9.11 Industri minyak dan lemak 26.22 37.81 26.15 10.44 16.60 11.09 Industri penggilingan padi 17.97 16.99 18.15 7.15 7.07 7.06 Industri tepung, segala jenis 24.51 23.91 24.51 6.62 6.54 6.60 Industri gula 19.12 20.29 19.24 11.57 13.47 11.49 Pengilangan minyak bumi 34.78 46.06 34.80 -6.74 0.30 -6.78 Bahan bakar nabati 21.23 22.70 21.79 12.63 13.39 23.32 Keterangan: Sim 1: Baseline + harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional meningkat. Sim 2: Baseline + subsidi harga output BBN meningkat.
109
Jurnal Ekonomi Mei 2012 Vol. XXII No. 1
Tabel Tabel 4. 4. Lanjutan Lanjutan
Sektor
Permintaan Ekspor Baseline Sim 1 138.37 127.44 130.79 241.77 129.46 118.16 109.13 93.36 110.37 185.45 87.85 71.45 11.18 27.04
Sim 2 135.55 127.45 126.64 107.49 105.05 81.44 9.84
Persentase Perubahan (%) Jumlah Penawaran Impor Baseline -60.69 -26.88 -26.66 -40.14 -44.71 -32.19 -4.08
Sim 1 -55.41 -55.45 -23.62 -30.37 -33.33 -19.13 -1.49
Sim 2 -59.39 -26.14 -26.03 -39.37 -42.04 -26.95 -3.33
Padi Jagung Ubi kayu Tebu Kelapa Kelapa sawit Kayu Penambangan batubara dan bijih logam 31.26 63.38 31.22 -3.30 23.39 -3.28 Penambangan minyak, gas dan panas bumi -6.24 10.07 -6.26 12.33 33.86 12.43 Industri pengolahan dan pengawetan makanan 15.84 11.34 15.98 -6.87 -3.60 -6.99 Industri minyak dan lemak 10.98 22.22 11.38 -0.72 25.96 -0.86 Industri penggilingan padi 90.31 74.36 88.69 -12.94 -25.62 -12.69 Industri tepung, segala jenis 32.17 12.89 32.20 -2.19 -15.71 -2.23 Industri gula 80.14 45.03 79.05 -5.40 -17.40 -5.31 Pengilangan minyak bumi -27.21 -10.66 -27.28 14.55 8.04 14.56 Bahan bakar nabati 28.23 10.87 261.85 1.16 4.99 7.93 Keterangan: Sim 1: Baseline + harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional meningkat. Sim 2: Baseline + subsidi harga output BBN meningkat. Penurunan harga output komoditi ubi kayu lokal, penurunan stok modal aktual, dan BR&Di (2007) mengatakan bahwa pening Penurunan harga output komoditi ubi penurunan permintaan tenaga kerja berdampak terhadap output ubi kayu, penurunan katanpenurunan harga-harga energi berdampak pada kayu lokal, penurunan stok modal aktual, permintaan ekspor ubi kayu, namun penurunan harga output komoditi ubi kayu lokal diikuti peningkatan harga BBN dan peningkatan dan penurunan permintaan tenaga kerja oleh peningkatan jumlah penawaran impor dan penurunan harga faktor sektor BBN domestik, sertaprimer peningkatan berdampak terhadap penurunan output ubiubi kayujumlah ubi kayu, yaitu penurunan upah petani, penurunan peubah biaya modal, penurunan sewa lahan jumlah penggunaan feedstock BBN dan kayu, penurunan permintaan ekspor ubi ubi kayu, dan penurunan biaya pupuk. Roy dan Klein (2008) mengatakan bahwa pasar untuk penurunan jumlah penggunaan feedstock kayu, namun penurunan harga output kokomoditi gandum, BBM, etanol adalah pasar global, dimana penawaran ekspor bijinon BBN. moditi ubijagung, kayu lokal diikuti olehdan peningkabijian Amerika Serikat impor sangat ubi mempengaruhi komoditi tersebut di tingkat dunia. tan jumlah penawaran kayu dan harga-harga Pada penelitian ini harga ekspor CPO BR&Di (2007) harga-harga energi berdampak pada penurunan harga mengatakan faktor primerbahwa sektor peningkatan ubi (industri minyak dan lemak) meningkat peningkatan harga BBNupah dan petani, peningkatan BBN domestik, serta peningkatan kayu, yaitu penurunan penu-jumlah berdampak meningkatkan harga jumlah output penggunaan feedstock dan penurunan jumlah penggunaan feedstock non BBN. runan peubah biayaBBN modal, penurunan komoditi industri minyak dan lemak lokal Padaubipenelitian harga ekspor (industri minyak dan lemak)biosolar meningkat sewa lahan kayu, danini penurunan biaya CPO yang merupakan feedstock dan berdampak harga output komoditiharga industri minyak dan lemak lokal pupuk. Roy meningkatkan dan Klein (2008) mengatakan output komoditi kelapa sawityang yang merupakan biosolar jagung, dan harga komoditi kelapa sawit CPO yang merupakan bahwa pasarfeedstock untuk komoditi gan- output merupakan feedstock meningkat. dum, BBM, dan etanol adalah pasar globfeedstock CPO meningkat. Peningkatan harga outputPeningkatan komoditi industri lemak industri lokal, hargaminyak output dan komoditi al, dimana stok penawaran ekspor peningkatan modal aktual, danbiji-bijian peningkatan permintaan tenaga kerjalokal, berdampak terhadap minyak dan lemak peningkatan stok Amerika Serikat sangat mempengaruhi peningkatan output industri minyak danharlemak. Meskipun terjadidan peningkatan harga output modal aktual, peningkatan permintaan ga-harga tersebut tingkatlokal, dunia. tenaga kerjapeningkatan berdampakpermintaan terhadap ekspor peningkomoditi komoditi industri minyak dandilemak namun menimbulkan industri minyak dan lemak, dan pada sisi lain peningkatan harga output komoditi industri minyak dan lemak lokal menimbulkan peningkatan jumlah penawaran impor industri minyak 110 dan lemak.
125
Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi Bahan Bakar Nabati Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia
katan output industri minyak dan lemak. Meskipun terjadi peningkatan harga output komoditi industri minyak dan lemak lokal, namun menimbulkan peningkatan permintaan ekspor industri minyak dan lemak, dan pada sisi lain peningkatan harga output komoditi industri minyak dan lemak lokal menimbulkan peningkatan jumlah penawaran impor industri minyak dan lemak. Peningkatan harga output komoditi kelapa sawit lokal, stok modal aktual, dan permintaan tenaga kerja berdampak terhadap peningkatan output kelapa sawit. Peningkatan harga output komoditi kelapa sawit lokal diikuti oleh peningkatan jumlah penawaran impor kelapa sawit, namun terjadi penurunan permintaan ekspor kelapa sawit. Harga impor gula meningkat berdampak menurunkan jumlah penawaran impor industri gula, namun harga impor gula meningkat berdampak meningkatkan harga output industri gula lokal sehingga output industri gula meningkat, meningkatkan harga output komoditi tebu lokal dan output tebu pun meningkat, serta menurunkan permintaan ekspor industri gula, menurunkan permintaan ekspor tebu, dan meningkatkan jumlah penawaran impor tebu. Harga impor beras (industri penggilingan padi) meningkat tidak berhasil meningkatkan harga output komoditi industri penggilingan padi lokal dan harga output komoditi padi lokal, karena jumlah penawaran impor padi meningkat. Penurunan harga output komoditi industri penggilingan padi dan harga output komoditi padi berdampak terhadap penurunan output industri penggilingan padi dan output padi. Harga ekspor dan impor jagung meningkat tidak berhasil meningkatkan harga output komoditi jagung lokal, namun output jagung meningkat, permintaan ekspor jagung meningkat, dan jumlah penawaran impor jagung meningkat. Output jagung meningkat, karena stok modal aktual dan permintaan tenaga kerja meningkat. Peningkatan harga impor gandum
berdampak terhadap penurunan jumlah penawaran impor industri tepung dan penurunan permintaan ekspor industri tepung. Peningkatan harga impor gandum tidak berdampak terhadap peningkatan harga output komoditi industri tepung lokal, melainkan menimbulkan penurunan harga output komoditi industri tepung lokal. Penurunan harga output komoditi industri tepung lokal dan penurunan stok modal aktual menimbulkan penurunan output industri tepung, meskipun permintaan tenaga kerja meningkat. Gandum tidak diproduksi secara luas di Indonesia dan usahatani gandum masih dalam tahap percobaan untuk dibudidayakan di Indonesia. Peningkatan harga pangan internasional (Simulasi 1) tidak diikuti oleh peningkatan harga output komoditi industri pengolahan dan pengawetan makanan lokal, melainkan penurunan harga output komoditi industri pengolahan dan pengawetan makanan lokal dan terjadi peningkatan jumlah penawaran impor industri pengolahan dan pengawetan makanan. Penurunan harga output komoditi industri pengolahan dan pengawetan makanan lokal, penurunan stok modal aktual, dan penurunan permintaan tenaga kerja berdampak terhadap penurunan output industri pengolahan dan pengawetan makanan serta penurunan permintaan ekspor industri pengolahan dan pengawetan makanan. Peningkatan harga ekspor dan impor BBM berdampak terhadap peningkatan harga output komoditi BBM lokal (pengilangan minyak bumi non subsidi) dan penurunan jumlah penawaran impor BBM. Peningkatan harga output komoditi BBM lokal, peningkatan stok modal aktual, dan peningkatan permintaan tenaga kerja berdampak terhadap peningkatan output BBM. Peningkatan output BBM diikuti oleh peningkatan permintaan ekspor BBM. Banse et al (2009) mengatakan bahwa kenaikan harga BBM membuat BBN lebih bersaing dibandingkan produksi BBM, sehingga pangsa konsumsi BBN meningkat di Brazil, NAFTA, dan Uni Eropa. Disamping itu, peningkatan harga BBM membuat defisit perdagangan BBN
111
Jurnal Ekonomi Mei 2012 Vol. XXII No. 1
meningkat pula di NAFTA (Banse et al, 2009). Birur et al (2008) mengatakan juga bahwa harga BBM semakin tinggi, maka BBN semakin mensubstitusi produk BBM. Hertel et al (2008) mengatakan bahwa peningkatan harga BBM yang cepat telah meningkatkan subsidi di Uni Eropa dan di Amerika Serikat terjadi penahanan pada pesaing utama penggunaan tambahan BBN pada BBM. Lubbeke (2007) mengatakan bahwa kelapa sawit biasa digunakan sebagai bahan pangan dan bahan baku non pangan seperti kosmetika, sabun, shampoo, dan deterjen pencuci; ketika harga BBM meningkat dan terjadi perubahan iklim, maka kelapa sawit digunakan sebagai sumber energi yang dapat diperbarui. Rajagopal dan Zilberman (2008) mengatakan bahwa BBN diperkirakan menurunkan ketergantungan impor BBM. Pendapat tersebut dapat dibenarkan jika ketergantungan pada impor energi selama feedstock BBN diproduksi di dalam negeri (Rajagopal dan Zilberman, 2008). Keberadaan tersebut menjawab pertanyaan tentang efektivitas BBN dalam memperbaiki keamanan energi di negara lain (Rajagopal dan Zilberman, 2008). Akan tetapi pada kasus Indonesia, produksi BBN masih 1.1 persen dari produksi BBM pada tahun 2008 yang menjadi data dasar penelitian ini, sehingga peningkatan produksi BBN tidak terlihat nyata dalam memperngaruhi ketergantungan pada impor BBM di Indonesia. Koplow dan Johnson (2005) maupun Kojima et al (2007) dalam Rajagopal dan Zilberman (2008) mengatakan bahwa kebijakan pengembangan BBN di Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan cara memberikan subsidi pajak, memberlakukan standar mandat pencampuran BBN, dan subsidi secara tidak langsung melalui pengurangan pembayaran, pengendalian areal tanam, dan kebijakan ekspor dan impor. Stillman et al (2009) mengatakan bahwa Uni Eropa melaksanakan kebijakan subsidi per luas tanam untuk memproduksi tanaman energi dan memberlakukan pajak secara kredit untuk perorangan yang menggunakan BBN.
China selain mempertahan ketahanan pangan, juga memproduksi etanol dari jagung, maupun kentang dan ubi kayu (Stillman et al, 2009). Pemerintah Brazil juga melaksanakan program etanol dari tebu (Stillman et al, 2009). Brazil memberikan subsidi keuangan yang besar untuk produsen, melakukan penjaminan pasar, memberikan bantuan harga untuk produsen, dan subsidi untuk konsumen (Geller, 1985 dan Geller, 2004 dalam Rajagopal dan Zilberman, 2008). Pemerintah India dan Thailand mempromosikan produksi etanol dari tebu dan ubi kayu melalui mandat pencampuran etanol (GoI, 2003 dan Nguyen, 2007 dalam Rajagopal dan Zilberman, 2008). Pemerintah Argentina memberlakukan pajak ekspor yang lebih rendah untuk BBN dan memberlakukan pajak ekspor yang lebih besar untuk feedstock BBN, seperti minyak jagung atau minyak kedelai (Stillman et al, 2009). FAO (2008) mengatakan bahwa produksi BBN cair di banyak negara dewasa ini sesungguhnya secara ekonomi tidak layak tanpa subsidi, pada keberadaan produksi pertanian dan teknologi pengolahan BBN, serta harga relatif antara komoditi feedstock BBN dan BBM, kecuali untuk produksi etanol dari tebu di Brazil. Daya saing BBN ditentukan oleh keberadaan khusus BBN, lokasi produksi dan feedstock, serta kemampuan ekonomi yang dapat mengubah harga-harga input dan BBM di pasar sebagaimana kecanggihan teknologi yang digunakan di negara tersebut (FAO, 2008). Subsidi harga output BBN (Simulasi 2) di Indonesia berdampak terhadap peningkatan harga output komoditi BBN lokal. Meskipun harga output komoditi industri minyak dan lemak lokal yang menjadi feedstock biosolar menurun, namun harga output komoditi BBN lokal meningkat, karena harga output komoditi industri gula lokal yang menjadi feedstock bioetanol meningkat, harga output komoditi tebu lokal meningkat, dan harga output komoditi kelapa sawit lokal meningkat. Peningkatan harga output komoditi BBN lokal, peningkatan stok modal aktual, dan peningkatan per-
112
Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi Bahan Bakar Nabati Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia
mintaan tenaga kerja berdampak terhadap peningkatan output BBN. Peningkatan harga output komoditi BBN lokal menimbulkan peningkatan jumlah penawaran impor BBN. Peningkatan output BBN berdampak terhadap peningkatan permintaan ekspor BBN yang sangat besar. Casson (2000) dan Pletcher (1991) dalam Rajagopal dan Zilberman (2008) mengatakan bahwa pemerintah di Malaysia dan Indonesia mengembangkan sektor minyak kelapa sawit melalui berbagai konsesi secara bertahap yang ditanam untuk diekspor. Lubbeke (2007) mengatakan bahwa Uni Eropa mengimpor minyak kelapa sawit dari Malaysia dan Indonesia untuk dijadikan feedstock BBN. Peningkatan output BBN berdampak terhadap penurunan output BBM, peningkatan output industri minyak dan lemak, dan peningkatan output kelapa sawit. Akan tetapi peningkatan output BBN (biosolar), peningkatan output industri minyak dan lemak, dan peningkatan output kelapa sawit diikuti oleh penurunan output padi, penurunan output jagung, penurunan output ubi kayu, penurunan output tebu, penurunan output industri penggilingan padi, penurunan output industri tepung, dan penurunan output industri gula. Penurunan sektor pangan tersebut terkait dengan penurunan stok modal aktual, penurunan permintaan tenaga kerja, peningkatan harga faktor primer pertanian, peningkatan jumlah penawaran impor ketika terjadi peningkatan harga output komoditi, sehingga pengembangan produksi BBN berpotensi berlawanan dengan peningkatan produksi pangan, ketika pemerintah berkepentingan menjadikan komoditi pangan sebagai sasaran laju inflasi, pangan bersifat sebagai komoditi politik, dan penawaran pangan bergantung kepada regim yang melegalkan impor pangan yang menghendaki ketahanan pangan tercapai tanpa mempersoalkan sumber pangan impor. Temuan tersebut di atas sejalan dengan Filho dan Horridge (2009) yang menyatakan bahwa peningkatan permintaan etanol dunia menimbulkan dilema antara
pangan dan energi. Chakravorty et al (2009) juga mengatakan bahwa alokasi lahan dari produksi pangan ke produksi BBN tergantung penggunaan teknologi BBN pada intensitas lahan, yang pada generasi baru menunjukkan penggunaan lahan untuk BBN lebih efisien, dan karenanya dampak penawaran BBN pada produksi pangan dapat dibatasi. Peningkatan harga ekspor kayu bulat tidak diikuti oleh peningkatan harga output komoditi kayu lokal, melainkan terjadi, karena terjadi peningkatan jumlah penawaran impor kayu dan peningkatan permintaan ekspor kayu. Penurunan harga output komoditi kayu lokal berdampak terhadap penurunan output kayu. Peningkatan harga ekspor dan impor BBM berdampak terhadap peningkatan harga output komoditi BBM lokal (pengilangan minyak bumi non subsidi) dan penurunan jumlah penawaran impor BBM. Peningkatan harga output komoditi BBM lokal berdampak terhadap peningkatan output BBM dan peningkatan permintaan ekspor BBM. Peningkatan harga ekspor batubara (penambangan batu bara dan bijih logam) berdampak terhadap peningkatan harga output komoditi batubara lokal. Peningkatan harga output komoditi batubara lokal berdampak terhadap peningkatan output batubara, peningkatan permintaan ekspor batubara, dan peningkatan jumlah penawaran impor. Peningkatan harga ekspor gas berdampak terhadap peningkatan harga output komoditi gas lokal (penambangan minyak, gas dan panas bumi), karena harga output komoditi gas lokal ditetapkan oleh pemerintah. Peningkatan harga output komoditi gas lokal berdampak terhadap peningkatan output gas, peningkatan permintaan ekspor gas, dan peningkatan jumlah penawaran impor. Subsidi harga output BBN (Simulasi 2) berdampak terhadap peningkatan harga output komoditi BBN lokal. Meskipun harga output komoditi industri minyak dan lemak lokal yang menjadi feedstock bioso-
113
Jurnal Ekonomi Mei 2012 Vol. XXII No. 1
lar menurun, namun harga output komoditi BBN lokal meningkat karena harga output komoditi industri gula lokal yag menjadi feedstock bioetanol meningkat, harga output komoditi tebu lokal meningkat, dan harga output komoditi kelapa sawit lokal meningkat. Peningkatan harga output komoditi BBN lokal berdampak terhadap peningkatan output BBN dan peningkatan jumlah penawaran impor BBN. Peningkatan output BBN berdampak terhadap peningkatan permintaan ekspor BBN.
Penurunan permintaan tenaga kerja sektor padi, ubi kayu, kayu, dan industri pengolahan dan pengawetan makanan, karena penurunan output pada sektor tersebut (Tabel 4). Subsidi harga output BBN sebesar 57.68 persen (Simulasi 2) berdampak positif berupa peningkatan permintaan tenaga kerja pada sektor BBN, peningkatan permintaan tenaga kerja pada sektor industri minyak dan lemak, peningkatan permintaan tenaga kerja pada sektor kelapa sawit, peningkatan permintaan tenaga kerja pada sektor kelapa, dan peningkatan permintaan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan. Temuan tersebut sejalan dengan temuan Sorda, Banse, dan Kemfert (2009) yang menyatakan bahwa mandat BBN meningkatkan permintaan tenaga kerja sebagai input antara, yang kemudian meningkatkan output. Subsidi harga output BBN (Simulasi 2) berdampak negatif berupa penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor padi, penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor jagung, penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor ubi kayu, penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor tebu, penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor kayu, penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor batubara, penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor gas, penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor industri penggilingan padi, penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor industri tepung, penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor industri gula, dan penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor BBM. Penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor padi, jagung, ubi kayu, tebu, kayu, industri penggilingan padi, industri tepung, industri gula, BBM, karena penurunan pada output sektor tersebut (Tabel 4). Penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor batubara dan gas, karena penurunan permintaan ekspor dan peningkatan penawaran impor pada sektor tersebut (Tabel 4).
4. Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi BBN Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output BBN terhadap Permintaan Tenaga Kerja Sektoral Peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional (Simulasi 1) berdampak positif berupa peningkatan permintaan tenaga kerja sektor BBN, peningkatan permintaan tenaga kerja sektor jagung, peningkatan permintaan tenaga kerja sektor tebu, peningkatan permintaan tenaga kerja sektor kelapa, peningkatan permintaan tenaga kerja sektor kelapa sawit, peningkatan permintaan tenaga kerja sektor batubara (pertambangan batubara dan bijih logam), peningkatan permintaan tenaga kerja sektor gas (penambangan minyak, gas, dan panas bumi), peningkatan permintaan tenaga kerja sektor industri minyak dan lemak, peningkatan permintaan tenaga kerja sektor beras (industri penggilingan padi), peningkatan permintaan tenaga kerja sektor industri tepung, peningkatan permintaan tenaga kerja sektor industri gula, dan peningkatan permintaan tenaga kerja sektor BBM (pengilangan minyak bumi) (Gambar 4). Peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional (Simulasi 1) berdampak negatif berupa penurunan permintaan tenaga kerja sektor padi, penurunan permintaan tenaga kerja sektor ubi kayu, penurunan permintaan tenaga kerja sektor kayu, dan penurunan permintaan tenaga kerja sektor industri pengolahan dan pengawetan makanan.
114
permintaan tenaga kerja pada sektor padi, jagung, ubi kayu, tebu, kayu, industri penggilingan padi, industri tepung, industri gula, BBM, karena penurunan pada output sektor tersebut (Tabel 4). Penurunan permintaan kerja padaBahan sektor batubara dan Internasional, gas, karenaserta penurunan Dampak Peningkatan Harga Pangantenaga dan Harga Substitusi Bakar Nabati Tingkat Subsidi Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia permintaan ekspor dan peningkatan penawaran impor pada sektor tersebut (Tabel 4).
40.00
Persentase Perubahan (%)
35.00 30.00 25.00 20.00
Baseline
15.00
Sim 1
10.00
Sim 2
5.00 0.00 -5.00 -10.00
Gambar 4. 4. Gambar
Dampak Peningkatan PeningkatanHarga Harga Pangan Harga Substitusi Tingkat Dampak Pangan dandan Harga Substitusi BBN BBN Tingkat Internasional, Output BBN terhadap Permintaan Tenaga Internasional, serta sertaSubsidi SubsidiHarga Harga Output BBN terhadap Permintaan Kerja Sektoral di Indonesia Tahun 2015 Tenaga Kerja Sektoral di Indonesia Tahun 2015
Keterangan: Keterangan: Sim 1: Baseline + harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional meningkat. Sim2:1:Baseline Baseline + harga pangan substitusi BBN tingkat internasional Sim + subsidi harga output dan BBNharga meningkat.
Sim 2: Baseline + subsidi harga output BBN meningkat.
meningkat.
5. Dampak Peningkatan Harga Oxfam (2008) mengatakan bahwa Pangan dan Harga Substitusi BBN BBN merupakan peluang untuk konsumsi Tingkat Internasional, serta Subsidi nasional atau ekspor pada negara-negara Harga Output BBN terhadap Peneri- 129 miskin, tetapi produksi BBN tidak serta maan Pendapatan Nominal Agregat merta pro-poor atau inklusif. Industri etanol per Rumah Tangga Brazil yang memunyai konsentrasi lahan dan sumberdaya tinggi, dan dengan cepat Peningkatan harga pangan dan harga menurunkan tingkat tenaga kerja. Itu merusubstitusi BBN tingkat internasional (Simupakan gangguan untuk keberadaan tenaga lasi 1) berdampak negatif berupa penukerja penduduk miskin (Oxfam, 2008). runan penerimaan pendapatan nominal Pada tahap awal, hal itu merupakan kekeagregat pada semua kelompok rumah tangliruan untuk masyarakat pedesaan (Oxfam, ga (Gambar 5). Subsidi harga output BBN 2008). sebesar 57.68 persen (Simulasi 2) berdampak positif berupa peningkatan penerimaan pendapatan nominal agregat pada semua kelompok rumah tangga (Gambar 5).
115
dengan cepat menurunkan tingkat tenaga kerja. Itu merupakan gangguan untuk keberadaan tenaga kerja penduduk miskin (Oxfam, 2008). Pada tahap awal, hal itu merupakan kekeliruan untuk masyarakat pedesaan (Oxfam, 2008). Jurnal Ekonomi Mei 2012 Vol. XXII No. 1
Persentase Perubahan (%)
34.50 34.00 33.50 33.00 32.50
Baseline
32.00
Sim 1
31.50
Sim 2
31.00 30.50
Gambar 5. 5. Dampak HargaPangan Pangandan dan Harga Substitusi Tingkat Gambar DampakPeningkatan Peningkatan Harga Harga Substitusi BBNBBN Tingkat Subsidi Harga Harga Output terhadap Penerimaan Internasional, Internasional, serta serta Subsidi Output BBNBBN terhadap Penerimaan 2015 Pendapatan PendapatanNominal NominalAgregat Agregatper perRumah RumahTangga Tangga di di Indonesia Indonesia Tahun Tahun 2015 Keterangan: Keterangan: Sim + harga pangan dan harga BBN tingkat internasional meningkat. Sim1:1:Baseline Baseline + harga pangan dan substitusi harga substitusi BBN tingkat internasional Sim + subsidi harga harga output BBN meningkat. Sim2:2:Baseline Baseline + subsidi output BBN meningkat.
meningkat.
Filho et al (2009) mengatakan bahwa al, 2009). Perluasan peningkatan permintaFilho et al (2009) permintaan di Brazil perluasan permintaan etanol dimengatakan Brazil menu- bahwa anperluasan etanol secara agregatetanol menguntungkan menurunkan penduduk miskin secara tajam, namun diikuti oleh peningkatan kesenjangan runkan penduduk miskin secara tajam, napenduduk miskin, namun dalam nilai yang penduduk miskin. Distribusi pendapatan hanya sedikit terjadi (Filhoyang et al,lebih 2009). Haldari itu karena mun diikuti oleh peningkatan kesenjangan kecil. Manfaat besar perluaperluasan proyek tebu sedemikian rumit berbasis menggunakan teknologi baru, yang penduduk miskin. Distribusi pendapatan san etanol Brazil terkait dengan matriks dimemerlukan mekanisasi pertanian (Filho energi et al, 2009). Ketika harga-harga hanya sedikitkegiatan terjadi (Filho et al, 2009). Hal alat berat versifikasi dan penurunan emisi gas pangan meningkat, diikuti penggunaan lahan itu karena perluasanyang proyek tebuoleh sedemikirumahuntuk kacamemproduksi (Filho et al,tanaman 2009). pangan, Masalah yang lebih serius dariproduktivitas perluasan permintaan an rumitpeningkatannya berbasis menggunakan namun kecil, danteknologi bertentangan dengan peningkatan produksi baru, yang memerlukan kegiatan mekanisaetanol adalah terhadap terkait dengan redistribusi pangan (Filho et al, 2009). Peningkatan harga pangan berdampak peningkatan biaya si pertanian alat konsumsi berat (Filho et al, 2009). kegiatan ekonomi secara regional di lebih Brazil dalam keranjang penduduk miskin, namun peningkatan harga tersebut masih Ketika harga-harga pangan meningkat, (Filho et al, 2009). kecil dibandingkan kompensasi pada peningkatan pendapatan yang lebih besar, sehingga yang diikuti oleh penggunaan lahan untuk Rajagopal dan Zilberman (2008) menmemproduksi tanaman pangan, namun gatakan bahwa produsen neto memperoleh peningkatannya kecil, dan bertentangan 130 manfaat dari kenaikan harga-harga pangan. dengan peningkatan produktivitas produksi Akan tetapi energi juga merupakan input pangan (Filho et al, 2009). Peningkatan untuk pertanian dan peningkatan hargaharga pangan berdampak terhadap penharga energi berdampak nyata pada peningkatan biaya dalam keranjang konsumsi ingkatan biaya produksi, yang mengurangi penduduk miskin, namun peningkatan harpeningkatan keuntungan. Sama halnya ga tersebut masih lebih kecil dibandingkan peningkatan harga air berdampak kepada kompensasi pada peningkatan pendapatan produktivitas dan pendapatan petani. Di yang lebih besar, sehingga menimbulkan Uni Eropa, petani-petani mendapat hadiah dampak positif pada kemiskinan (Filho et lebih besar dibandingkan harga-harga pasar
116
Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi Bahan Bakar Nabati Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia
tanaman jarak lebih banyak menurunkan jumlah penduduk miskin yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja tidak terampil dan menumbuhkan perolehan sewa lahan yang lebih banyak diperoleh rumah tangga kecil dibandingkan pemilik perkebunan. Cororaton et al (2010) mengatakan bahwa dampak perluasan BBN skala besar memperbaiki PDB riil per kapita di Thailand, Brazil, Argentina, Indonesia, dan beberapa negara maju, tetapi perluasan BBN skala besar berdampak menurunkan pendapatan riil per kapita di india, Sub-Sahara Afrika, Timur Tengah, wilayah Afrika Utara, Rusia, dan China. Perluasan BBN meningkatkan upah tenaga kerja tidak terampil di pedesaan dibandingkan upah tenaga kerja lainnya di perkotaan. Itu benar terjadi di negara-negara berkembang (Cororaton et al, 2010). Akan tetapi perubahan upah tersebut lebih kecil pada tenaga kerja tidak terampil di pedesaan pada negara-negara maju (Cororaton et al, 2010). Dampak positif upah pada tenaga kerja tidak terampil di pedesaan menggerakkan tenaga kerja tidak terampil di perkotaan ke pertanian dan pedesaan. Hal itu karena produksi feedstock di negara-negara berkembang relatif intensif menggunakan tenaga kerja tidak terampil (Cororaton et al, 2010). Perluasan BBN skala besar meremehkan peningkatan kemiskinan (Cororaton et al, 2010). Peningkatan kemiskinan yang besar terjadi di India dan Sub-Sahara Afrika (Cororaton et al, 2010).
melalui bantuan kebijakan harga, itu tidak sama halnya dengan petani-petani akan mendapatkan hadiah atas harga-harga lebih tinggi yang dihasilkan dari persaingan dengan BBN. Petani-petani tidak berpengalaman mendapatkan peningkatan atas rente ekonomi. Tanpa kehadiran bantuan kebijakan, ketidakstabilan kondisi energi berisiko lebih besar dari guncangan yang lebih rendah diakibatkan oleh harga-harga energi. Dumping BBM oleh OPEC adalah salah satu penyebab guncangan BBM tersebut. Karena itu subsidi dan standarisasi BBN dapat mengurangi ketidakpastian, kekuatan pasar perusahaan-perusahaan agribisnis dalam perbenihan dan pengolahan dapat menurunkan manfaat subsidi kepada petani. Ketika lahan bersifat langka, pemilik tanah mendapatkan lebih banyak manfaat dari petani (Rajagopal dan Zilberman, 2008). FAO (2008) mengatakan bahwa peningkatan perintaan BBN menekan kenaikan harga-harga komoditi ke atas. Harga-harga komoditi yang semakin tinggi berdampak negatif pada negara berkembang yang menjadi pengimpor pangan neto, khususnya pada negara yang berpendapatan rendah dan mengalami defisit pangan, dimana harga impor yang semakin tinggi diikuti tagihan pembayaran impor pangan yang lebih besar (FAO, 2008). Dalam jangka pendek, harga-harga komoditi pertanian yang semakin tinggi berdampak negatif pada ketahanan pangan rumah tangga. Risiko tersebut meningkat pada rumah tangga miskin di perkotaan dan penduduk pedesaan yang menjadi pembeli neto pangan, yang merupakan kondisi pada sebagian besar penduduk miskin di pedesaan (FAO, 2008). Dalam periode jangka panjang, pertumbuhan permintaan BBN dan peningkatan harga-harga komoditi pertanian merupakan peluang untuk pertumbuhan pertanian dan pembangunan pedesaan di negara-negara berkembang (FAO, 2008). Kekuatan pembangunan pertanian di pedesaan tersebut merupakan motor penggerak yang akan menurunkan kemiskinan (FAO, 2008). Arndt (2009) mengatakan bahwa
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka disusun kesimpulan sebagai berikut: 1. Peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional pada level ekonomi makro berdampak positif terhadap peningkatan indeks harga ekspor, depresiasi nilai tukar mata uang rupiah per dolar AS, peningkatan nilai tukar perdagangan, peningkatan
117
Jurnal Ekonomi Mei 2012 Vol. XXII No. 1
2.
3.
4.
5.
tan output BBN, kelapa, industri minyak dan lemak, dan kelapa sawit. Subsidi harga output BBN juga berdampak positif berupa penurunan output BBM, batubara, kayu, namun tidak berdampak pada gas. Akan tetapi peningkatan output BBN diikuti oleh penurunan output padi, jagung, ubi kayu, tebu, industri penggilingan padi, industri tepung, dan industri gula, sehingga pengembangan produksi BBN untuk mensubstitusi BBM, batubara, dan kayu berpotensi berlawanan dengan peningkatan produksi pangan. 6. Subsidi harga output BBN berdampak positif berupa peningkatan permintaan tenaga kerja pada sektor BBN, industri minyak dan lemak, kelapa sawit, kelapa, dan industri pengolahan dan pengawetan makanan, namun subsidi harga output BBN berdampak negatif berupa penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor padi, jagung, ubi kayu, tebu, kayu, batubara, gas, industri penggilingan padi, industri tepung, industri gula, dan BBM, karena penurunan pada output sektor tersebut. Penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor batubara dan gas, karena penurunan permintaan ekspor dan peningkatan penawaran impor pada sektor tersebut. 7. Subsidi harga output BBN berdampak positif berupa peningkatan penerimaan pendapatan nominal agregat pada semua kelompok rumah tangga.
sewa modal non pertanian nasional, dan peningkatan neraca perdagangan per PDB, namun peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional tidak berhasil menyebabkan peningkatan indeks harga konsumen dan berdampak negatif terhadap penurunan PDB riil sisi pengeluaran. Peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional pada level ekonomi sektoral berdampak positif terhadap peningkatan output BBN, industri minyak dan lemak, industri gula, jagung, kelapa, BBM, batubara, dan gas, namun peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional berdampak negatif berupa penurunan output padi, ubi kayu, kayu, industri pengolahan dan pengawetan makanan, industri penggilingan padi, dan industri tepung. Penurunan output tersebut, karena kenaikan harga pangan internasional tidak terintegrasi dengan harga output komoditi lokal tersebut. Peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional berdampak positif berupa peningkatan permintaan tenaga kerja sektor BBN, jagung, tebu, kelapa, kelapa sawit, batubara, gas, industri minyak dan lemak, industri penggilingan padi, industri tepung, industri gula, dan BBM, namun peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional berdampak negatif berupa penurunan permintaan tenaga kerja sektor padi, ubi kayu, kayu, serta industri pengolahan dan pengawetan makanan. Penurunan permintaan tenaga kerja tersebut, karena penurunan output. Peningkatan harga pangan dan harga substitusi BBN tingkat internasional berdampak negatif berupa penurunan penerimaan pendapatan nominal agregat pada semua kelompok rumah tangga. Subsidi harga output BBN berdampak meningkatkan PDB riil sisi pengeluaran dan meningkatkan neraca perdagangan per PDB. Subsidi harga output BBN berdampak positif terhadap peningka-
Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran disusun sebagai berikut: 1. Pemerintah perlu memperbaiki transmisi harga output komoditi di pasar internasional ke harga output komoditi di pasar lokal untuk memberdayakan produsen dan pada sisi lain pemerintah meningkatkan efektivitas kebijakan sasaran inflasi untuk melindungi rumah tangga konsumen. 2. Peningkatan output BBN perlu dikembangkan tanpa mengganggu pening-
118
Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi Bahan Bakar Nabati Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia
katan output pangan, peningkatan permintaan tenaga kerja sektor pangan, dan penerimaan pendapatan nominal agregat pada semua kelompok rumah
tangga, misalnya dengan pemberian subsidi harga output BBN, peningkatan efektivitas tenaga kerja sektor pangan, dan peningkatan produktivitas sektor pangan.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2008. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2005. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2009. Tabel Input Output Indonesia UpDating 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Banse, M., H. van Meijl, A. Tabeau, and G. Woltjer. 2009. Will EU Biofuel Policies Affect Global Agricultural Markets? Working Paper, Agricultural Economics Research Institute, Wageningen. Biomass Research and Development in Native [BR&Di]. 2007. Increasing Feedstock Production for Biofuels: Economic Drivers, Environmental Implications, and the Role of Research. Biomass Research and Development in Native, New York. Birur, O.K., T.W. Hertel, and W.E. Tyner. 2008. Impact of Biofuel Production on World Agricultural Markets: A Computable General Equilibrium Analysis. GTAP Working Paper No. 53. Business Watch Indonesia. 2007. Program BBN Tak Jelas. Business Watch Indonesia, 11 Mei 2007. Chakravorty, U., M-H. Hubert and L. Nostbakken. 2009. Fuel versus Food. Annual Review of Resource Economics, April 2009. Cororaton, C. and E. Corong. 2006. Agriculture-Sector Policies and Poverty in the Philippines: a Computable General-Equilibrium (CGE) Analysis. MPIA Working Paper 2006-19, Poverty and Economic Policy Research Network. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia [Departemen ESDM]. 2008. Timnas BBN Gelar Workshop Sosialisasi Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN). Departemen Energi dan Sumberdaya Manusia, Jakarta. Departemen Keuangan Republik Indonesia [Depkeu]. 2009. PPN Penyerahan Bahan Bakar Nabati Dalam Negeri Ditanggung Pemerintah. Siaran Pers Biro Hubungan Masyarakat, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta. Dillon, H.S., T. Laan, and H.S. Dillon. 2008. Biofuels-At What Cost? Government Support for Ethanol and Biodiesel in Indonesia: One of a Series of Reports Addressing Subsidies for Biofuels in Developing Countries. The Global Subsidies Initiative of the International Institute for Sustainable Development, Jakarta. Food and Agriculture Organization [FAO]. 2008. Biofuels: Prospect, Risks, and Opportunities. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Filho, J.B.d.S.F. and M. Horridge. 2009. The World Increase in Ethanol Demand and Poverty in Brazil. Universidade de Sao Paulo, Piracicaba. Horridge, J.M, B.R. Parmenter and KR. Pearson. 1993. ORANI-F: A General Equilibrium Model of the Australian Economy. Economic and Financial Computing, 3:71-140. Investor Daily. 2009. Malaysia Tunda Peluncuran Biosolar. Investor Daily, 30 Juni 2009. Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia [KESDM]. 2011. Statistik Energi Baru terbarukan. Kementerian Energi dan Sumberdaya Manusia, Jakarta. Lubbeke, I. Ed. 2007. Rain Forest for Biodiesel? Ecological Effects of Using Palm Oil as a Source of Energy. WWF Germany, Frankurt.
119
Jurnal Ekonomi Mei 2012 Vol. XXII No. 1
Media Indonesia. 2008. Subsidi Bahan Bakar Nabati Diatur Lewat Revisi Perpres No. 55 Tahun 2005. Media Indonesia, 22 Agustus 2008. Oktaviani, R. 2000. The Impact of APEC Trade Liberalisation on Indonesian Economy and Its Agricultural Sector. Thesis of Doctor of Philosophy. Department of Agricultural Economics, University of Sydney, Sydney. ___________. 2008. Model Ekonomi Keseimbangan Umum: Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Departemen llmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Oxfam. 2008. Another Inconvenient Truth: How Biofuel Policies are Deepening Poverty and Accelerating Climate Change. Oxfam Briefing Paper No. 114, June 2008. Park, J. 2010. Projection of Long-Term Total Factor Productivity Growth for 12 Asian Economies. Working Paper Series no. 227. Asian Development Bank, Manila. Rajagopal, D. and D. Zilberman. 2008. Review of Environmentel, Economic and Policy Aspects of Biofuels. World Bank, New York. Roy, D.G.L. and K.K. Klein. 2008. Development and Sustainability of the Biofuel Industry in Canada. Agricultural Biofuels: Technology, Sustainability and Profitability:177-185. Sekretariat Kabinet [Setkab]. 2006. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. _______________[Setkab]. 2006a. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. Sorda, G., M. Banse, and C. Kemferi 2009. The Impact of Domestic and Global Biofuel Mandates on the German Agricultural Sector. Discussion Papers. Deutsches Institut fur Wirtschaftsforchung, Berlin. Stillman, R., A. Somwaru, M. Peters, E. Young, and S. Dirkse. 2009. Biofuels and Trade: World Agricultural Market Impacts. Selected Paper Presented at Domestic and Future Trade Impacts of U.S. Farm Policy: Future Directions and Challenges, Washington DC. Susila, W.R. dan E. Munadi. 2008. Dampak Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO terhadap Kemiskinan di Indonesia. Informatika Pertanian (17:2):1 173-1194. Syamsiyah, S. 2007. Menunggu Bahan Bakar Nabati di Pasar. Suara Merdeka, 29 Januari 2007. Tempo lnteraktif. 2007. Bahan Bakar Nabati Terhambat Subsidi. Tempo lnteraktif, 5 November 2007. Yasin, A.N. dan F. Febyanti, 2008. Industri Bahan Bakar Nabati Kolaps. Tempo lnteraktif, 25 April 2008.
120
Dampak Peningkatan Harga Pangan dan Harga Substitusi Bahan Bakar Nabati Tingkat Internasional, serta Subsidi Harga Output Bahan Bakar Nabati terhadap Perekonomian Indonesia
Lampiran 1. Disagregasi Sektor dalam Penelitian Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2008 Lampiran 1. Disagregasi Sektor dalam Penelitian Berdasarkan Tabel I-O Tahun 2008 Klasifikasi Klasifikasi 66 Sektor ke 68 Sektor 66 Sektor ke 68 Sektor No. 66 Sektor I-O No. 68 Sektor Penelitian 1 Padi 1 Padi 2 Tanaman kacang-kacangan 2 Tanaman kacang-kacangan 3 Jagung 3 Jagung 4 Tanaman umbi-umbian 4 Ubikayu 5 Tanaman umbi-umbian 5 Sayur-sayuran dan buah-buahan 6 Sayur-sayuran dan buah-buahan 6 Tanaman bahan makanan lainnya 7 Tanaman bahan makanan lainnya 7 Karet 8 Karet 8 Tebu 9 Tebu 9 Kelapa 10 Kelapa 10 Kelapa sawit 11 Kelapa sawit 11 Tembakau 12 Tembakau 12 Kopi 13 Kopi 13 Teh 14 Teh 14 Cengkeh 15 Cengkeh 15 Hasil tanaman serat 16 Hasil tanaman serat 16 Tanaman perkebunan lainnya 17 Tanaman perkebunan lainnya 17 Tanaman lainnya 18 Tanaman lainnya 18 Peternakan 19 Peternakan 19 Pemotongan hewan 20 Pemotongan hewan 20 Unggas dan hasil-hasilnya 21 Unggas dan hasil-hasilnya 21 Kayu 22 Kayu 22 Hasil hutan lainnya 23 Hasil hutan lainnya 23 Perikanan 24 Perikanan 24 Penambangan batubara dan bijih logam 25 Penambangan batubara dan bijih logam 25 Penambangan minyak, gas dan panas 26 Penambangan minyak, gas dan panas bumi bumi 26 Penambangan dan penggalian lainnya 27 Penambangan dan penggalian lainnya 27 Industri pengolahan dan pengawetan 28 Industri pengolahan dan pengawetan makanan makanan 28 Industri minyak dan lemak 29 Industri minyak dan lemak 29 Industri penggilingan padi 30 Industri penggilingan padi 30 Industri tepung, segala jenis 31 Industri tepung, segala jenis 31 Industri gula 32 Industri gula 32 Industri makanan lainnya 33 Industri makanan lainnya 33 Industri minuman 34 Industri minuman 34 Industri rokok 35 Industri rokok 35 Industri pemintalan 36 Industri pemintalan 36 Industri tekstil, pakaian dan kulit 37 Industri tekstil, pakaian dan kulit
121
Jurnal Ekonomi Mei 2012 Vol. XXII No. 1
Lampiran 1.Lanjutan Lanjutan Lampiran 1.
No. 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
66 Sektor I-O Industri bambu, kayu dan rotan Industri kertas, barang dari kertas dan karton Industri pupuk dan pestisida Industri kimia Pengilangan minyak bumi Industri barang karet dan plastik Industri barang-barang dari mineral bukan logam Industri semen Industri dasar besi dan baja Industri logam dasar bukan besi Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Industri alat pengangkutan dan perbaikannya Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan Restoran dan hotel Angkutan kereta api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa penunjang angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Real estat dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa lainnya Kegiatan yang tidak jelas batasannya
No. 38 39
68 Sektor Penelitian Industri bambu, kayu dan rotan Industri kertas, barang dari kertas dan karton
40 41 42 43 44 45
Industri pupuk dan pestisida Industri kimia Pengilangan minyak bumi Bahan bakar nabati Industri barang karet dan plastik Industri barang-barang dari mineral bukan logam Industri semen Industri dasar besi dan baja Industri logam dasar bukan besi Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik Industri alat pengangkutan dan perbaikannya
46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
122
Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan Restoran dan hotel Angkutan kereta api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa penunjang angkutan Komunikasi Lembaga keuangan Real estat dan jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa lainnya Kegiatan yang tidak jelas batasannya