SUATU PENGALAMAN MENGELOLA LAHAN TRANSMIGRASI DI KALIMANTAN*) Tejoyuwono Notohadiprawiro
Abstrak Makalah ini melaporkan suatu pengalaman mengelola lahan pemukiman transmigrasi di Kalimantan. Loka kerja meliputi tujuh daerah pemukiman, yaitu Sepaku-Semoi dan Babulu Darat di Kalimantan Timur, Masinge, Batu Tungku dan Belawang di Kalimantan Selatan, Tamban Luar di Kalimantan Tengah, dan Pinang Luar di Kalimantan Barat. Waktu kerja hanya berjalan selama setahun, karena itu belum banyak yang dapat disampaikan. Loka kerja terdiri atas lahan atasan (upland) di Sepaku-Semoi, Babulu Darat, Masinge dan Batu Tungku, dan baruh (lowland) di Belawang, Tamban Luar dan Pinang Luar. Perbedaan pokok antara lahan atasan dan baruh berada pada segi hidrologi, keadaan tanah yang berkaitan dengan hidrologi, timbulan dan kedudukan energi nisbi terhadap daerah sekitarnya. Persoalan utama di lahan atasan ialah erosi, pelindian, panen air dan keberbagaian hidrologi. Di baruh, persoalan pokok ialah pengendapan yang merusak, pengatusan, perembihan dan daya tumpu rendah. Di samping itu dapat pula dijumpai persoalan berat berupa tanah sulfat masam dan gambut tebal yang mentah. Secara ekologi maka pada asasnya lahan atasan merupakan daerah pengekspor, sedang baruh adalah pengimpor bahan dan energi. Berlainan dengan lahan atasan, baruh merupakan kesatuan hidrologi yang homogen dan faktor-faktor pembentuk tanah yang bergiat dalam baruh tidak beraneka banyak. Karena itu bentangtanah di baruh lebih sederhana daripada di lahan atasan. Sehubungan dengan keadaan hidrologi yang bersifat homogen itu, bentangtanah yang lebih sederhana dan wataknya sebagai pengimpor bahan dan energi, pengelolaan baruh biasanya dapat dikerjakan dengan rancangan yang tidak rumit. Maksud dan tujuan pengelolaan lahan ialah untuk memperoleh manfaat sebaik-baiknya dari lahan sesuai dengan kemampuannya bagi pemenuhan kebutuhanyang beraneka ragam dari masarakat. Ini berarti, bahwa pengelolaan lahan mengarah kepada penggarisan berbagai alternatif dan kesempatan. Unsur manusia harus ditangani dulu untuk menjamin keikut-sertaan aktif secara malar atas dasar pengertian, motivasi dan kesediaan. Abstract This paper reports an experience in land management obtained in seven transmigration settlements in Kalimantan, namely Sepaku-Semoi and Babulu Darat in East Kalimantan, Masinge, Batu Tungku and Belawan in South Kalimantan, Tamban Luar in Central Kalimantan, and Pinang Luar In West Kalimantan. As the work covered only one year, the results are far from a full exposure of the matter. Sepaku-Semoi, Babulu Darat, Masinge and Batu Tungku are upland areas, whereas Belawang, Tamban Luar and Pinang Luar are lowlands. Basically, uplands and lowlands differ in their hydrology, soil conditions as related hydrology, relief, and relative energy position. The main problems in uplands are erosion, leaching, water harvesting, and heterogeneity of hydrology. In lowlands the major problems are detrimental deposition, surface and internal drainage, and low bearing capacity. In addition, acid sulphate soils and excessively thick and raw peats are frequently encountered problems in estuarine lands. Ecologically speaking, the relationship between uplands and lowlands is that of exporter and importer of matter and energy. Different from uplands, lowlands are homogeneous hydrological units and the operating soil forming factors are such as to result in simpler soilscapes. Although the total problem in lowlands is by no means simpler than in uplands, it usually takes a less complex scheme to solve. The purpose of land management is to obtain the best benefit from land according to its capability to meet the diversified needs of the community. It defines alternatives and opportunities. The human element should be handled first to develop awareness, motivation and willingness in order to secure active participation continuosly. *)
Konperensi I Pusat Studi Lingkungan Seluruh Indonesia. Jakarta, 13-15 Oktober 1980.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
1
PENDAHULUAN Makalah ini melaporkan suatu pengalaman yang masih terbatas dalam mengelola lahan transmigrasi di Kalimantan. Pengalaman dibatasi oleh pilihan loka (site) yang dikaji dan lama waktu pengajian. Tujuan pengelolaan ialah : (1) mengalihkan keadaan kini (“status quo” menurut Usher 1973) ke arah yang dikehendaki menurut kebutuhan yang mendesak atau jangka pendek, (2) mencegah keadaan yang sudah teerbenahi itu kembali ke keadaan semula atau cenderung mengambil arah lanjutan yang tidak dikehendaki (mempertahankan status quo bqru yang lebih selaras dengan kebutuhan), dan (3) menjadikan keadaan baru itu landas tolak perkembangan lanjutan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang yang lebih meningkat, baik jumlah maupun ragamnya. Untuk dapat mencapai tujuan itu, ada 3 hal yang perlu didalami dan dimantapkan pengertiannya : (1) hakekat lahan, (2) faktor-faktor dan hubungan antar faktor yang menentukan harkat lahan, dan (3) kendala-kendala dalam pengelolaan lahan. Lahan pada hakekatnya merupakan suatu sumber daya darat. Sumber daya ialah suatu persediaan barang yang diperlukan, berupa suatu cadangan yang dapat diperoleh (Menard 1974 : “obtainable reserve supply of some desirable thing”). Ada orang yang membedakan pengertian “sumber daya” (resource) terhadap “cadangan” (reserve). Cadangan ialah bagian dari sumber daya yang dapat diperoleh atau digali dengan teknologi masakini dan terijinkan oleh keadaan ekonomi saat ini. Pengertian sumber daya dibatasi pada bagian barang yang ada atau boleh jadi ada, akan tetapi belum dapat diperoleh karena belum terijinkan oleh keadaan ekonomi saat ini (Amer. Geol. Inst. 1976). Jadi pengertian sumber daya-berarti pengertian lahan juga selalu menyangkut manusia dan kebutuhannya serta usaha dan biaya untuk mendapatkan atau memanfaatkannya. Oleh karena berunsurkan manusia, kebutuhan, usaha dan biaya maka harkat lahan ditentukan oleh faktor tempat dan waktu, di samping oleh faktor-faktor hakikinya (intrinsic). Kehadiran faktor tempat dan waktu itu membawa konsekuensi penting dalam pengelolaan lahan. Faktor tempat menghendaki suatu rancangan pengelolaan “kedaerahan”. Pola umum harus bersifat luwes untuk menampung penyelarasan menurut tempat. Pengertian “tempat” terutama merangkum faktor-faktor sosial-ekonomi-budaya dan ketercapaian (accessibility). Faktor “waktu” menghendaki suatu rancangan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
2
pengelolaan yang dinamik, yang bercakrawala jauh di depan. Pola umum harus mengandung peluang-peluang cukup untuk penyelarasan menurut perkembangan nilainilai hidup dalam masyarakat. Lahan bukanlah sumber daya yang bersusunan tunggal, melainkan terdiri atas sejumlah sumber daya yang menjadi anasir-anasirnya. Anasir-ansir itu ialah iklim, timbulan, tanah, geologi, air, makhluk (tetumbuhan dan satwa), manusia dan berbagai sumber daya budaya (sawah, kebun, empang ikan, danau buatan dsb.). Tiap-tiap sumber daya anasir mempunyai watak dan kelakuan yang berbeda-beda, sehingga memerlukan penanganan berbeda-beda pula. Di samping itu, satusumber daya dapat dimanfaatkan unttuk berbagi macam maksud. Misalnya, tanah dapat dipakai untuk bercocok tanam, untuk loka permukiman, atau untuk bahan baku pembuatan bahan bangunan (bata, genting) atau barang kerajinan (periuk, patung). Air bermanfaat untuk pertanian, memenuhi kebutuhan rumah tangga, atau industri. Anasir lahan yang satu dapt berpengaruh atas kemampuan anasir yang lain. Misalnya, air dapat meningkatkan kemampuan tanah pertanian, manusia dengan teknologinya dapat mengubah energi kinetik air menjadi energi listrik, dsb. Atau sebaliknya, air dapat mengalami pencemaran, sehingga mutunya merosot, karena olah manusia, banjir berkala menurunkan nilai tanah untuk bercocok tanam, dsb. Mengingat semua itu maka pengelolaan lahan harus berdasarkan asas hampiran metadisiplin dan pertimbangan sejumlah alternatif arah penggunaan. Dengan masuknya pertimbangan “alternatif” ini, kepentingan faktor tempat dan waktu sekali lagi menonjol kembali. Mengenali secara baik hakekat lahan dan kaidah keharkatan lahan, dapat menyingkirkan sebagian kendala pengembangan lahan. Kendala-kendala yang lain, yang barangkali jauh lebiiih sulit disingkirkan, menyangkut berbagai segi kehidupan masyarakat, seperti keprimitifan, kepicikan motivasi, inersia kejiwaan, kemiskinan, birokrasi dan otoritarianisma. Dapatlah dirumuskan secara umum, bahwa tujuan pokok pengelolaan lahan pada umumnya dan lahan transmigrasi pada khususnya adalah mendapatkan manfaat sebaikbaiknnnya sesuai dengan kemampuannya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam. Salah satu hakekat pembangunan ialah menyediakan pilihan lebih banyak dalam kehidupan masyarakat, atau meningkatkan keleluasaan memilih pada
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
3
anggota masyarakat. Pada gilirannya, keserbanekaan kesudahan pemilihan itu akan memacu pembangunan lebih lanjut. Maka apapun tujuan dan harapan pengelolaan lahan, tidak boleh menghilangkan kesempatan tiap orang untuk menentukan pilihan usaha yang pada kenyataan dapat memberikan keuntungan lebih baik bagi diri dan keluarganya. Yang penting adalah mengatur agar supaya tidak terjadi benturan atau persaingan antar pilihan dan semua pilihan dapat didudukkan dalam kerangka peningkatan dan pelesetarian dayaguna lahan. Kegiatan mengelola lahan transmigrasi ini berlangsung dalam rangka kerjasama antara Direktorat Penyiapan Tanah Pemukkiman Transmigrasi (Dit. PTPT), Direktorat Jendral Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM, dalam bentuk Proyek Pengendalian Lingkungan Tanah Pemukiman Transmigrasi. Pekerjaan ini dimulai pada bulan Mei 1978 dan diakhiri pada pertengahan tahun 1979. Lama waktu setahun untuk proyek semacam ini jelas terlalu singkat. Dalam waktu sesingkat itu tidak dapat diharapkan kesudahan yang sudah terasakan. Oleh karena itu makalah ini lebih banyak mengajukan konsep dan kerangka kerja (Framework). Fakta dan angka yang dicantumkan hendaknya dipandang sebagai bahan pengalaman saja.
KEADAAN LAHAN KERJA DAN PERSOALAN POKOKNYA Pada asasnya, ada dua macam lahan transmigrasi menurut ciri (characteristik) hidrologi, keadaan tanah yang terkait pada ciri hidrologi tersebut, timbulan dan aras (level) energi yang ditentukan oleh kedudukan nisbinya terhadap daerah sekitarnya. Macam yang satu ialah lahan atasan (upland) dan macam yang lain ialah baruh (lowland). Atas dasar perimbangan produksi dan mineralisasi bahan organik, baruh terbagi menjadi dua macam lahan. Yang satu ialah baruh mineral, yang coraknya ditentukan laju mineralisasi bahan organik lebih lancar daripada laju produksinya, dan yang lain ialah baruh organik, yang coraknya ditentukan oleh laju mineralisasi bahan organik lebih lambat daripada produksinya, sehingga sisa bahan organik melonggok berupa gambut. Longgokan bahan organik ini beraneka dalam hal tebal, luas bentangan dan taraf perombakannya.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
4
Ciri-ciri lahan atasan ialah sebagai berikut. Timbulan nyata (berombak/ undulating – bergelombang/ rolling) sampai kasar (bergelombang – berbukit/ hilly), aras energi sedang sampai tinggi yang menyebabkan potensi pengatusan (surface drainage), perembihan (internal drainage) dan erosi tanah tinggi, air tanah secara purata dalam dan bentangtanah (soilscape) dibentuk oleh proses-proses utama erosi, pelindian (leaching) eluviasi dan illuviasi, hidrolisa mineral primer menjadi mineral lempung berstruktur 1:1, pembebasan besi dan alumunium, serta plintisasi. Pada umumnya tanah-tanahnya termasuk golongan ferralsol (orthic atau plinthic), nitosol (dystric) adan acrisol (orthic, plinthic, atau ferric). Dengan agihan terbatas pada tempat-tempat yang rendah dijumpai juga humic nitosol, dan gleyic serta humic acrisol. Dari endapan pasir kuarsa dapat terbentuk dystric podzoooluvisol, antara lain di daerah transmigrasi Babulu Darat, Kalimantan Timur. Nomenklatur diambil dari susunan FAO/ Unesco yang dipakai pada Peta Tanah Dunia. Ciri-ciri baruh ialah sebagai berikut. Timbulan datar atau cekung, aras energi rendah sekali yang menyebabkan potensi pengatusan dan perembihan sangat rendah, sehingga lahan berupa rawa atau mempunyai air tanah yang sangat dangkal, dan proses pengendapan merajai. Bagian besar rawa yang diperuntukkan menampung transmigran berada di dataran estuarin, sehingga terjangkau oleh gerakan pasang surut laut atau pengaruh gerakan ini. Proses yang merajai proses pembentukan tanah di sini ialah reduksi yang berlanjut menjadi glesiasi tanpa atau dengan disertai pembentukan gambut. Disejumlah tempat tertentu terdapat endapan pirit banyak (dalam jalur pertemuan antara lingkungan darat dan marin), yang pada oksidasi kuat, baik karene perubahan suasana secara alamiah ataupun karena campur tanagan manusia, beralihragam menjadi asam sulfat dan mineral jarosit. Tanah lumpur menjadi sangat masam karena mengandung asam sulfat ini dan oleh sebab itu dinamakan lempunng sulfat masam (cat clay atau lempung tionik). Penggaraman tanah dan air terjadi di lajur pantai yang terjangkau oleh penyusupan air laut. Penggaraman ini berpengaruh baik atas lahan lempung sulfat masam, karena dapat menghilangkan kemasaman tanah yang terlalu rendah itu. Karena glesiasi dan penjenuhan oleh air secara malar, kebanyakan tanah bersifat mentah secara fisika (konsistensi lumpur atau bubur) karena pengembangan srtuktur tanah terhambat. Reduksi sangat kuat karena suasana yang kahat oksigen bebas, yang akan bertambah kuat
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
5
lagi kalau terdapat longgokan besar bahan organik yang mudah dioksidasikan. Oleh reduksi kuat semua besi berada dalam bentuk fero, yang memberikan warna kelabu kebiruan atau hijau kebiruan pada tanah. Tanah-tanah di baruh pada umumnya tergolong histosol (dystric). Penamaan tanah ini juga mengikuti FAO/ Unesco. Lahan transmigrasi yang dilaporkan dalam makalah ini, yang berupa lahan atasan, ialah Sepaku – Semoi dan Babulu Darat di Kalimantan Timur serta Masinge dan Batu Tungku di Kalimantan Selatan. Yang berupa baruh mineral (gambut tidak ada atau menonjol) terdapat di Belawang (Kalimantan Selatan) dan Tamban Luar (Kalimantan Tengah),sedang baruh organik dengan gambut tebal sekali berada di Pinang Luar (Kalimantan Barat). Pemarian (description) keadaan tiap lahan kerja secara lebih terpeinci tercantum dalam laporan Kelompok Pemairan Tanah Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM (1979). Yang perlu disampaikan di sini ialah persoalan-persoalan pokok yang timbul dari keadaan lahan semacam itu. Persoalan-pesoalan tersebut menjadi pandu penyusunan tatakerja pengelolaan lahan dan menjadi titik toleh (reference penilaian kesudahan (result) kerja. Persoalan pokok di tiap-tiap lahan kerja adalah sebagai berikut :
Sepaku – Semoi : Potensi erosi tanah tinggi karena tiga hal, yaitu erodibilitas tanah tinggi, timbulan kasar dengan kemiringan lereng cukup terjal (10 – 25%, bahkan ada yang lebih daripada 25%) dan dapat diduga erosivitas hujan tinggi karena curah hujan tahunan tinggi (2250 mm. th-1) dan merata sepanjang tahun (semua bulan bersifat basah dengan curah hujan bulanan di atas 100 mm. bl-1). Purata curah hujan tiap hari hujan berkisar antara 11 dan 25 mm. hh-1. Tanah pada umumnya kahat hara, cadangan mineral terlapukkan rendah, kahat bahan organik, daya semat (fixation) fosfat kuat dan pH rendah. Dari segi kebutuhan pertanaman, sifat hujan merupakan faktor positif dalam hubungan dengan penyediaan air. Maka persoalan pokok ialah pengelolaan tanah dan pembenahan timbulan untuk dapat memanfaatkan sebaik-baiknya faktor hujan yang positif itu.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
6
Babulu darat : Daerah ini dapat dipisahkan menjadi tiga bagian menurut timbulan dan tanahnya. Bagian pertama mempunyai timbulan dan tanah yang mirip dengan Sepaku – Semoi, sehingga persoalannya juga sejenis dengan sepaku-Semoi. Bagian kedua berupa lahan atasan dengan timbulan lebih halus (berombak lemah sampai berombak) dan tersusun atas bahan endapan pasir kuarsa yang ccenderung memnentuk tanah dystrric podsoluvisol. Bagian ke tiga berupa baruh berair atau berawa dengan timbulan datar samapai cekung, yang terbangaun atas endapan mineral bertekstur halus dan bercampur dengan seresah organikpada berbagai taraf perombakan dalam jumlah sedikit. Sifat hujan di daerah ini mirip dengan Sepaku-Semoi. Meskipun ada dua bulan (Juni dan Agustus) yang mempunyai curah hujan bulanan di bawah 100 mm, tetapi masih di atas 60 mm, curah huja tahunan lebihleebih tinggi (2900 mm) dari pada SepakuSemoi. Juga kebasahan hari hujan purata lebih tinggi, yaitu berkisar antara 10 dan 30 mm.hh-1. Puratnya dalam setahun adalah 23 mm hh-1 di Babuludarat lawan 19 mm.hh-1 di Sepaku – Semoi. Maka meskipun timbulan di bagian pertama Babulu Darat tidak sekasar timbulan di Sepaku-Semoi, akan tetapi karena erosivitas hujannya diduga leebih tinggi, sedang erodibilitas tanahnya boleh dikatakan sama, potensi erosi tanah-tanahnya setaraf dengan Sepaku – Semoi. Dengan demikian persoalan pokok dan asas penanganannya tidak berbeda denga Sepaku- Semoi. Persoalan pokok dalam bagian kedua adalah kemampuan tanah yang luar biasa rendah. Disamping kekahatan hara, cadangan mineral terlapukkan dan bahan organik yang gawat sekali, juga keadaan fisika tanah buruk karena tekstur kasar dan dirajai oleh zarah-zarah kuarsa yang tidak aktif, sehingga daya sangga terhadap perubahan keadaan lingkungan kimiaawi tanah dan daya simpan lengas sangat terbatas. Tambahan pula, adanya horison spodic yang dangkal (pada jeluk sekitar 60 cm dari muka tanah) menyebabkan isipadu mempan (effective volume) tubuh tanah untuk penjalaran akar (khususnya untuk pokok) dan penyimpanan lengas tanah terbatas. Di sini kebasahan iklim dan intensitas hujan yang tinggi lebih membahayakan dilihat dari segi pelindian tanah yang pada dasarnya sudah sangat miskin itu daripada dari segi erosi tanah, karena kemiringan lereng tidak besar.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
7
Persoalan pokok di bagian daerah ketiga ialah pengatusan yang buruk dan gleisasi tanah yang cukup kuat. Faktor positif yang ada ialah taraf kesuburan tanah yang secara nisbi lebih baik dibandingkan dengan kedua bagian yang lain. Hal ini dapat dimengerti karena bagian ini menjadi penampung bahan dan zat yang terlindi atau terkikis dari kedua bagian yang lain.
Masinge dan Batu Tungku : Bentuk timbulan kedua daerah ini dapat dikatakan sama, yaitu landai sampai berombak. Jadi dari segi timbulan dalam hubungan dengan erosi tanah dan pengisian lengas tanah, keadaan kedua daerah ini jauh lebih menguntungkan daripada SepakuSemoi dan bagian pertama Babulu Darat. Curah hujan rata-rata tahunan Masinge ialah 2510 mm.th-1, dan Batu Tungku 2440 mm.th-1, berarti tidak berbeda nyata. Yang berbeda nyata ialah jumlah hari hujan rata-rata setahun, yang lebih banyak di Batu Tungku (137 hh) daripada di Masinge (115 hh) sehingga kebasahan tiap hari hujan purata dalam setahun juga berbeda nyata. Di Masinge kebasahannya 22 mm. hh-1 dengan kisaran 17 – 25 mm.hh-1 dan di Batu Tungku 18 mm.hh-1 dengan kisaran 12 – 23 mm.hh-1. Meskipun hari hujannya lebih banyak, akan tetapi jumlah bulan kering (kurang daripada 100 mm) di Batu Tungku lebih banyak, yaiotu rata-rata 3 bulan dengan kisaran 0 – 6 bulan diantara bulan Mei dan Oktober. Ini berarti, bahwa Batu Tungku mempunyai perbedaan musim hujan dan kemarau tegas. Jumlah bulan kering rata-rata setahun di Masinge ialah 1,6 dengan kisaran 0 – 3,2 bulan diantara Mei dan September. Dilihat dari segi pengawetan air, Batu Tungku mengandung persoalan yang lebih rumit karena hujan cenderung mengumpul dalam satu musim. Kisaran jumlah bulan kering yang lebar di Batu Tungku menyebabkan resiko kegagalan panen meningkat karena agihan hujan yang tidak mantap sehingga menyulitkan pegamalan kedatangan musim kemarau. Kesuburan aktual tanah tidak lebih baik daripada tanah Sepaku-Semoi atau bagian pertama Babulu Darat. Hanya saja boleh jadi cadangan mineral terlapukkan lebih tinggi karena Masinge dan Batu Tungku berada dalam kawasan Peg. Meratus, di samping jeluk mempan dan struktur tanah yang juga lebih baik.Memang ada beberapa bagian Batu Tungku yang tanahnya mengandung plintit, yang menandakan taraf pelapukan lebih lanjut, berarti tingkat kesuburannya sudah merosot. Bersamaan dengan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
8
pembentukan plintit itu, bahkan sebelumnya, terjadi peningkatan daya semat terhadap fosfat. Belawang dan Tamban Luar : Keduanya merupakan baruh di Delta Pulau Petak. Delta ini dibentuk oleh sungaisungai Barito, Pulau Petak dan Kapuas Murung, yang seluruhnya merupakan kawasan pasang – surut. Belawang berada di tepi Barito dan Tamban Luar di tepi Kapuas Murung. Oleh karena kedua daerah ini berada dalam daerah rawa pasang-surut, faktor iklim tidak berperanan banyak dalam soal penyediaan lengas tanah. Pengaruhnya lebih banyak pada keadaan pengatusan lahan. Pada musim hujan air turah (excess) meladung (stagnate) di cekungan-cekungan, sedang di musim kemarau muka air tanah menurun di tempattempat yang lebih tinggi. Yang berperanan jauh lebih penting ialah faktor tanah dan air pasang dan surut. Persoalan pokok tanah yang perlu ditangani berpangkal pada watak tanah berikut ini : (1) endapan bahan mineral dasar kahat hara, (2) pelonggokan nisbi hara terdapat dalam sisa fitomassa berupa gambut, (3) pengadaan hara tersediakan dalam tanah diatur oleh hidrologi lahan dan kemempanan pengisian kembali hara tersediakan tergantung pada neraca kegiatan pasang dan surut serta sumber air yang terlibat dalam gerakan pasang-surut tersebut, (4) kahat unsur hara runut (trace element), khususnya Cu dan bolehjadi juga Zn, (5) seringkali terdapat pelonggokan senyawa-senyawa sulfida di lapisan tanah bawahan (subsoil), yang akan teralihrupa (transformed) menjadi asam sulfat apabila karena suatu sebab tertentu aras (level) oksidasi dalam tanah meningkat, sehingga mengakibatkan tanah menjadi luar biasa masam (tanah sulfat masam, cat clay, tanah tionik) dan ini pada gilirannya akan membebaskan Al dari senyawa alluminosilikat dalam jumlah yang meracun, dan (6) karena suasana reduksi dan keadaan jenuh air yang malar (continues), pembentukan struktur terhambat sehingga tanah mempunyai konsistensi mentah (lumpur atau bubur) , yang merupakan lingkungan akar yang buruk sekali, daya tumpu rendah sekali dan tanah mudah ambles (sub side) karena pengatusan. di tempat-tempat yang mempunyai timbulan sangat datar atau cekung, pengaturan hidrologi lahan menjadi sulit karena tidak ada landaian yang dapat
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
9
menggiatkan
kakas (force)
gravitasi, sehingga
pengaturannya
semata-mata
menggunakan kakas pasang surut laut. Azas pertama pengelolaan lahan rawa pasang surut yang tidak bergambut atau
bergambut
tidak
menonjol
ialah
pengaturan
hidrologi
secara
terbatas.
Pengatusan ditingkatkan untuk memperbaiki suasana tanah bagi kepentingan pertumbuhan
dan
perkembangan
akar
tanaman, akan
tetapi
jangan
sampai
melampaui batas sehingga mendorong perkembangan tanah sulfat masam dan/atau memacu mineralisasi bahan organik terlalu cepat yang menguras sumber hara tanaman. Pengatusan yang teerlalu cepat juga dapat berakibat terjadinya amblesan yang tidak seragam, sehingga muka tanah yang semula datar berubah menjadi berombak. Hal ini kan mengganggu pengaturan air selanjutnya. Selama pengaturan air dengan memanfaatkan kakas pasang-surut berjalan baik, ketersediaan lengas tanah tidak dipengaruhi oleh iklim secara berarti. Yang dapat dipengaruhi oleh iklim ialah mutu air, dalam hal ini kegaramannya. Pada musim kemarau panjang, air laut dapat menyusup jauh ke pedalaman dan menimbulkan kegaraman air sungai. Pada musim kemarau yang panjang dan tegas, air tanah dapat pula menjadi asin. Secara purata musim kemarau berlangsung mulai bulan Juni s/d Agustus (3 bulan) dengan curah hujan total 276 mm atau 11% dari curah hujan tahunan dan jumlah dari hujan total 22 atau 14% dari hari hujan tahunan. Kebolehjadian untuk menemui musim kemarau lebih panjang, yaitu dari Mei s/d Oktober, adalah 15%. Meskipun presentasi ini kecil, namun dapat meningkatkan risiko kerusakan pertanaman karena penyusupan air asin yang menyimpang dari yang teramalkan. Pinang Luar : Apa yang telah dikemukakan mengenai Belawang dan Tamban Luat juga berlaku bagi daerah ini, kecuali dalam hal gambut yang di Pinang Luar sangat tebal (antara 3 dan 4 m ). Dengan demikian persoalan – persoalan yang menyangkut endapan bahan mineral dasar (pelonggokan senyawa sulfida dan pembentukan tanah sulfat masam, keracunan A1 dan konsistensi mentah) tidak gayut, karena letak endapan dasai ini jauh sekali di bawah jangkauan perakaran sehingga tidak ikut membentuk lapisan perakaran. Kekahatan hara, termasuk hara runut Cu dan Zn tetap berlaku.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
10
Dalam penelitian terdahulu ( Notohadiprawiro, 1975a, 1975b ) telah dapat diungkapkan, bahwa makin tebal gambut, makin rendah taraf perombakannya dan makin miskin akan hara tersediakan. Gambut mentah ( taraf perombakan rendah : fibrik ) seperti yang ditemukan di Pinang Luar ini, berkadar serat tinggi. Akibat dari ini gambut mempunyai struktur sangat longgar ( b.v. kecil sekali ), yang tidak menguntungkan sebgai habitat akar karena : (1) kapasitas serapan akar mempan rendah, (2) pembahasan secara kaplaaritas lambat, dan (3) meskipun kemampuan simpan air besar, akan tetapi cepat pula kehilangan air karena perembihan atau penguapan. Gambut yang berada dalam keadaan kering selama waktu panjang, atau mengalami pembasahan dan pengeringan secara bergantian selama waktu panjang, lambat laun akan memperoleh sifat hidrofob yang tak terbalikkan. Dengan demikian watak kelengasannya rusak sama sekali. Di samping itu bagian-bagian halus dari gambut kering mudah diterbangkan angin (erosi angin), berarti bagian gambut yang berharga rentau terhadap hembusan angin sehingga secara berangsur kadar serat yang tersisa makin tinggi dengan segala akibat yang buruk. Pada umumnya gambut tebal bersifat ombrogen dan karena itu mempunyai timbulan seperti kubah. Maka luapan air pasang tidak dapat mencapai permukaan kubah dan laju perembihan dalam bagian kubah yang meninggi lebih lancar secara nisbi karena aras energi yang lebih tinggi. Karena itu gambut tebal mengandung persoalan hidrologi yang gawat. Berbeda dengan lahan gambut yang tipis atau rawa pasang-surut tanpa gambut, di lahan gambut tebal iklim menjadi faktor penting dalam penyediaan lengas tanah. Pinang Luar mempunyai curah hujan rata-rata setahun tinggi, yaitu 3090 mm, dan jumlah hari hujan setahun juga tinggi (188 hari hujan). Semua bulan bersifat basah (di atas 100 mm.bl-1). Kecuali Maret, yang mempunyai curah hujan di bawah 200 mm (173 mm) dan jumlah hari hujan paling sedikit (10 hh), semua bulan yang lain mempunyai curah hujan di atas 200 mm, bahkan September s/d Nopember masing-masing di atas 300 mm. Iklim yang basah ini memang sejalan dengan adanya gambut tebal, karena ikllim yang basah merupakan salah satu faktor utama pembentukan gambut ombrogen. Gambut ombrogen bermula dalam genangan air hujan. Karena tidak terluapi air sungai waktu pasang dan pembasahan secara kapiler oleh air tanah juga terbatas sekali maka masukan hara dapat dikatakan tidak ada dan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
11
persediaan hara semata-mata tergantung pada hara aseli gambut (native nutrients). Kadar hara aseli yang sangat rendah, ditambah dengan laju perembihanyang lebih lancar, menyebabkan gambut tebal, di samping sangat kahat hara, juga sangat masam. Pengelolaan lahan gambut tebal berpokok pada pengubahan gambut menjadi lingkungan akar yang lebih baik dan mencegah pengeringan yang berlebihan.
ASAS PENANGANAN DAN CARA PELAKSANAAN
Asas Penanganan Bertolak dari asas, bahwa pengelolaan lahan selaku sumberdaya berpangkal pada orang dan kepentingannya, maka rancangan kerja melibatkan secara langsung para petani transmigran beserta lahan usahanya. Bagaimanapun juga, keberhasilan usaha terletak pada keberhasilan menanamkan dan menumbuhkan pengertian tentang penting dan perlunya usaha itu, kemauan untuk hidup layak dan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan yang harus dijalankan pada diri penggarap lahan. Penertian dan kemauan hanya dapat ditumbuuuhkan kalau diberi landasan motivasi kuat. Motivasi dihidupkan liwat pengikut-sertaan dalam usaha nyata, teladan, penerangan dan penasihatan/pembimbingan. Usaha permulaan yang berhasil merupakan teladan atau pameran yang mempan. Karena itu penanganan persoalan dimulai dari sekelompok petani peserta terpilih. Pengembangan dan perluasan usaha dilancarkan berdasarkan konsep penularan. Penularan ini dapat berlangsung liwat jalur tetangga, kenalan, kelompok kedaerahan atau suku dan/atau organisasi sosial. Untuk dapat memelihara setiap kemajuan yang tercapai, perlu diciptakan suatu iklim usaha yang dapat memberikan imbalan segera kepada setiap prestasi kerja dan menjamin keleluasaan kerja untuk berprestasi. Iklim usaha seperti ini dapat dijabarkan menjadi sejumlah prasarana, sarana, kemudahan (facilities) dan pengadaan (supplies), a.l. yang terpenting ialah jalan perhubungan yang memadai, pemasaran hasil panen dan/atau hasil sampingan yang lancar dengan pembagian keuntungan yang adil, pengadaan dan penggudangan pupuk, benih dan obat-obatan pertanian serta pengadaan alat-alat (kalau sudah waktunya juga mesin-mesin) pertanian yang tertib, penyediaan kredit usaha yang lunak dan penyuluhan serta pembimbingan yang mempan dan nalar.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
12
Asas yang diikuti dalam memantaokan, menumbuhkan, dan/atau mengembangkan harkat lingkungan ialah : (1) menjamin masukan atau subsidi bahan dan energi ke dalam sistim tanah sebagai anasir terpenting yang terkelolakan dari lingkungan usaha (asas entropi rendah untuk melestarikan keaturan dakhil dan (2) menjamin kelancaran pendauran bahan dan energi di dalam sistim tanah (asas pemugaran-diri atau regenerasi). Dalam hal lahan atasan, asas pertama terjelmakan dalam bentuk usaha memempankan panen air (water harvesting) dari penyaluran air permukaan (runoff) dengan membuat undak, sengket dan/atau jalur pertanaman searah garis tinggi pada lereng-lereng. Panen hujan ditingkatkan dengan membuat kebun dan pekarangan. Dikerjakan pusat pemupukan dan penanaman bibit unggul di sawah dan tegal. Penggunaan bibit unggul dapat dipandang dari segi meningkatkan panen energi pencar matahari. Dalam hal baruh, asas pertama dilaksanakan dengan usaha memperbanyak penyaluran air sungai pasang ke petak-petak pertanaman, baik dengan jalan peluapan atau penaikan muka air tanah (pembasahan lapisan atasan tanah secara aliran air kapiler). Panen hujan dengan kebun dan pekarangan, pemupukan dan penggunaan bibit unggul juga dikerjakan di baruh. Asas kedua dijelmakan dalam bentuk usaha mendaur-ulngkan sisa atau limbah pertanaman ke dalam tanah (mendaur-ulangkan unsur hara). Khusus untuk lahan atasan, pengundakan, penyeketan dan penanaman berjalursearah garis tinggi pada lereng-lereng bergawai pula mendaur-ulangkan bahan tanah, karena dapat menangkap kembali tanah yang terbawa erosi. Pada lahan gambut tebal dikerjakan pengaktifan unsur-unsur hara yang berada dalam keadaan inaktif di dlam gambut untuk memenuhi kebutuhan pertanaman. Unsur-unsur yang semula berada dalam keadaan “ menganggur” dalam gambut dapat diikutkan kembali dalam proses pendauran unsur (Notohadiprawiro, 1979). Ketergantian faktor (factor replaceaility) menurut pengertian Wilsie (1962) dipertimbangkan pula dalammeilih cara pengelolaan atau megharkatkan kemampuan lahan. Ketergantian faktor antara lain : (1) kebasahan atau kekeringan setempat dapat ditimbulkan oleh timbulan atau kiblat lereng, (2) Iklim yang terlalu basah dapat dihadapi dengan tanah yang bertekstur kasar, (3) iklim yang terlalu kering dapat diimbangi dengan tanah yang bertekstur halus dan berjeluk mempan dalam atau yang kaya organik, (4)
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
13
penyusupan atau peluapan air ragaman dapat dihadapi dengan tanah yang berdaya sangga tinggi , dan (5) suhu udara yang terlalu tinggi pada siang hari dapat dilunakkan oleh tanah yang berwarna muda, berstruktur longgar, atau berkadar lengas tinggi. Cara pelaksanaan Di tiap-tiap kawasan
pemukiman transmigrasi yang ditunjuk sebagai daerah
kerja, dipilih satu atau lebih loka kerja. Pemilikan loka kerja didasarkan atas perwakilan persoalan yang kena, kesediaan petani untuk ikut serta dan kemudahan pengawasan dan pembibingan. Satu loka kerja terdiri atas sejumlah petani beserta lahannya (pekarangan dan tegal), kebun bibit, petak pameran, jalan desa dan lahan kosong yang perllu digarap (jurang, tebing curam, lembah beraliran air). Kebun bibit digunakan untuk mengadakan bahan tanaman pelindung tanah dan peteduh halaman rumah dan jalan desa. Diharapkan kebun bibit itu dapat berkembang, sehingga akhirnya dapat memenuhi kebutuhan kawasan seluruh pemukiman transmigrasi yang bersangkutan. Petak pameran dimaksudkan sebagai pemamer tatacara pengawetan tanah dan air secara tetap dan sekaligus sebagai pusat latihan kerja lapangan bagi petani dan pemuda desa. Yang dipertunjukkan padapetak pameran adalah usah-usssaha pemantapan lereng, pemanenan air dan pengendalian erosi (pengundakan, penyengketan, penanaman jalur tumbuhan pelindung sabuk gunung), bercocok tanam menyabuk gunung dan bertanam tumpang sari atau tumpang gilir. Seluruh kebutuhan bibit tanamn palawija, sayuran, padi gogo, dan pohon-pohon pekarangan serta kebun (diusahakan jenis unggul atau jenis baik), pupuk dan obat-obatan pertanian (kadang-kadang juga alat semprot) disediakan oleh proyek. Di Masinge dan Batu Tungku dijalankan pula pembibingan pemeliharaan ternak dan penyediaan bahan hijaunya. Selam mengikuti kegiatan proyek, kalau petani menderita rugi, maka pruyek menanggung seluruh risiko dengan memberikan ganti rugi yang dipandang layak oleh kedua belah pihak. Sebaliknya, seluruh hasil yang diperoleh menjadi milik petani yang bersangkutan. Cara ini ditempuh untuk memberikan perangsang kepada petani.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
14
Jumlah petani dan luas lahan yang terlibat dalam proyek dalam tiap-tiap kawasan pemukiman transmigrasi adalah sebagai berikut: Sepaku-Semoi Tiga loka kerja dengan jumlah petani 58 orang, luas lahan total 25,5 ha dan panjang jalan desa 6 km. Lahan terdiri atas 9,5 ha pekarangan dengan 38 orang petani, 10 ha tegal dengan 20 orang petani dan 6 ha lahan desa untuk kebun bibit dan petak pameran. Babulu Darat Waktu itu belum ditempati transmigran, sehingga pekerjaan hanya bersifat penjajagan dengan menggunakan petak seluas 800 m2 pada lahan pasir kuarsa. Yang dijajagi ialah kemungkinan penggunaan tanah lempung sebagai bahan reklamasi. Masinge Satu loka kerja dengan 16 orang petani dan 6,5 ha lahan. Lahan terdiri ataspekarangan atau tegal seluas 6 ha dan lahan desa 0,5 ha untuk kebun bibit. Di antara yang 6 ha pekarangan atau tegal 0,5 ha dipakai khusus untuk pengujian lereng . Pembatasan jumlah petani dan luas lahan yang diikut sertakan atas pertimbangan, bahwa keadaan lahan Masinge boleh dikatakan serbasama, sehingga perwakilan kecil sudah dianggap memadai sebagai inti penularan Batu Tungku Satu loka kerja dengan 40 orang petani dan 15,5 ha lahan. Lahan terdiri atas 15 ha pekarangan atau tegal dan 0,5 ha lahan desa untuk kebun bibit. Di antar yang 15 ha itu, 0,5 ha dipakai khusus untuk pengujian pengundakan lereng tanpa jalur tumbuhan pengokoh dan 0,5 ha juga untuk menguji pengundakan lereng dengan jalur tumbuhan legum pengokoh. Belawang Satu loka kerja dengan 40 orang petani yang menempati Rei II, IV dan V di daerah Sekunder Ujung Kanan Dalam. Pembibingan dilakukan dengan petak-petak kecil dipekarangan, masing-masing seluas kira-kira 100 m2, yang diarahkan khusus ke pengembangan budidaya sauyuran. Tamban Luar Satu loka kerja dengan 30 orang petani di Rei IV dan V di daerah Sekunder Ujung Kiri Luar. Daerah ini dipilih untuk mewakili baruh mineral yang terdiri atas tanah sulfat masam. Pembibingan dikerjakan seperti di belawang. Pinang Luar Satu loka kerja dengan 40 orang petani di Rei III dan IV pada petak-petak pekarangan. Kegiatan ini diteruskan dan diperluas oleh Test Farm PPPPS- UGM dengan :”Action Program” paddda lahan tegal, yang melibatkan 54 orang petani dan sekitar 100 ha lahan.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
15
Kiranya perlu keterangan sedikit tenteng pemmbuatan sengketan di SepakuSemoi. Di kaawasan ini kontraktor hanya membuka hutan saja dan tidak dilanjutkan dengan menyaiapkan lahan untuk dihuni atau ditanami. Batang-batang kayu yang dirobohkan tetap berserakan dan tunggul-tunggul pohon tidak dibongkar. Sambil membersihkan lahan, batang-batang kayu itu dimanfaatkan dengan timbunan tanah di sisi atas dan dengan deretan tumbuhan berakar dalam di sisi bawah (turi, lamtoro, gliricidia). Dengan cara ini tidak banyak tanah yang digusur, sebagaimana jika membuat sengketan dari tanah. Cara ini tertutama berguna bagi tanah-tanah yang berjeluk mempan dangkal, seperti kebanyakn tanah yang berada di Sepaku-semoi itu. Pada waktu batang kayu sudah lapuk nanti, deretan tumbuhan penahan sudah cukupbesar dan cukup mampu menahan hanyutan tanah dan sengketan tanah dapat terbentuk dengan sendirinya. Batang kayu yang melapuk dapat mendorong pertumbuhan tumbuhan penahan, karena dapat menyimpan air dan mengurangi penguapan lengas tanah, sehingga jalur tanah sepanjang deret tumbuhan penahan dapat bertahan lebih lembab selama waktu lebih panjang. Memang tidak mudah mengatur batang-batang kayu, akan tetapi dengan latihan sedikit, petani akan mampu mengerjakan lebih baik. Waktu yang diperlukan untuk membuat lahan siap tanam lebih pendek daripada harus menyingkirkan batang-batang kayu itu dulu dan kemudian baru membuat sengketan dari tanah. Mengenai pengaktifan unsur hara yang ‘menganggur’ dalam gambut yang telah disebutkan diatas, boleh jadi juga perlu diutarakan lebih lanjut karena cara yang diterapkan telah sempat menimbulkan suasana kontroversial. Cara itu ialah pemanasan atau pembakaran terkendali (Andyantoro, 1978). Oleh beberapa pihak, pembakaran gambut dianggap mempercepat kemunduran habitat gambut, berarti melawan asas pengawetan. Oleh Notohadiprawiro (1979) telah dihitung berdasarkan hampiran konservatif, bahwa dengan pelakuan pemanasan optimum pada suhu 2000 C maka menurut kesetaraan kadar N tersediakan yang berasal dari N organik, dan atas dasar BV gambut 0,15 g.cm-3 dan serap mempan (effective recovery) 40 % , 5 cm lapisan gambut dapat menghidupi 24 kali pertanaman padi atau 40 kali pertanaman jagung. Dengan pergiliran tanaman padi-padi-jagung dalam setahun, misalnya (pergiliran yang sudah termasuk intensif), 50 cm lapisan gambut baru akan terkuras habis setelah
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
16
pemakaian 100 tahun. Kalau diterapkan pendaurulangan sisa atau limbah pertanaman ke dalam tanah, berarti unsur yang terserap ke dalam jerami kembali ke dalam tanah, 50 cm lapisan gambut tadi baru akan terkuras setelah 135 tahun. Jadi semata-mata menguntungkan diri kepada N asli gambut saja, tanpa memperhitungkan tambahan N dari sematan biologi, air masuk waktu pasang dan air hujan , suatu timbunan gambut setelah 2 m (ini masih tergolong tipis), merupakan cadangan untuk kira-kira 550 tahun (atau kurang lebih 10 generasi manusia). Belum lagi kalau dengan cara bercocok tanam lebih baik, kita dapat menaikkan serap mempan di atas 40 %. Serap mempan ini dapat dinaikkan misalnya, dengan jalan memampatkan gambut atau menghaluskan serat serat gambut. Dapat juga menanamn jenis tanaman yang mempunyai isi padu akar mempan lebih besar, atau yang mempunyai akar dengan KPK lebih tinggi. Dapat ditambahkan bahwa abu bakaran vegetasi mempunyai beberapa pengaruh baik atas keadaan tanah. Saling tindak panas-abu dapat meningkatkan kebaikan abu sebagai bahan meliorasi tanah. Sifat-sifat tanah yang dapat diperbaiki adalah pH naik dan kenaikkannya dapat bertahan lama, menaikkan keterlarutan C-organik sehingga kegiatan mikrobvia meningkat bersamaan dengan peningkatan mineralisasi bahan organik, dan mengurangi keterlarutan kompleks kilasi organo-mineral yang dapat mengurangi pelindian unsur-unsur logam yang penting sebagai unsur hara runut (Cu, Zn). Jadi pembakaran, yang menghasilkan abu dan panas, mengubah berbagai proses dalam sistem tanah-tumbuhan , yang seringkali meningkatkan pertumbuhan tumbuhan (Raison & McGarity 1980a, 1980b). Sekalipun menurut satuan berat CaCO3 bekerja lebih mempan daripada abu dalam menaikkan pH, akan tetapi gambut tidak mempunyai pengaruh yang baik lain, yang barangkali lebih penting daripada sekedar menaikkan pH, khususnya untuk lahan gambut. Kenaikkan pH oleh panans pembakaran juga ditemukan oleh Andyantoro (1978) pada gambut, disamping penurunan KPK dan peningkatan taraf kejenuhan basa.
BEBERAPA HASIL PENGAMATAN Pengelolaan lahan atau pengaturan lingkungan hidup pada umumnya memerlukan waktu sebelum kesudahannya dapat dilihat dan dinikmati. Waktu penantian ini
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
17
bertambah
panjang,
yang
biasanya
sejalan
dengan
penuruanan
kemungkinan
keberhasilannya, apabila yang kita hadapi lahan-lahan seperti Sepaku-Semoi dan Babulu Darat. Kemungkinan keberhasilan turun bukan saja kerana memang persoalan fisiknya berat, akan tetapi juga karena orang yang hidupnya bergantung pada keadaan semacam itu mudah terjangkiti rasa bosan, pasrah atau masa bodoh, atau tidak sabar dan lari mencari kehidupan lain. Maka dari itu langkah pertama dan yang terpenting dalam mengembangkan lingkungan hidup di daerah-daerah baru adalah pemilihan daerah. Untuk dapat memilih daerah yang cocok, tidak hanya diperlukan pengetahuan yang memadai tentang persyaratan-persyaratan lingkungan hidup menurut pertimbangan fisik, hayati, sosial, ekonomi dan budaya, akan tetapi harus pula memiliki pengetahuan mendalam tentang keingina dan kebutuhan orang yang akan mendiami daerah itu. Bukan saja keinginan dan kebutuhan hari ini, akan tetapi yang barangkali lebih penting juga keinginan dan kebutuhan hari esok. Prospek dan perspektif mutlak diperlukan. Dalam kaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, pengelolaan lahan harus dimulai dari penggarapan menusianya. Dalam diri orang yang akan bergulat dengan lahan itu secara malar sepanjang hidupnya, bahkan samapai keturunannya harus dapat ditumbuhkan suatu motivasi yang kokoh, mirip idealisme, yang gayut persoalan yang kan ditangani. Motivasi atau idealisme tidak mencukupi kalau dia lapar dan kedinginan. Subsidi pangan, sandang dan pangan menjadi mutlak perlu pada tahap-tahap permulaan pengelolaan lahan. Resiko harus dipikul bersama oleh seluruh rakyat, dalam hal ini ialah pemerintah. Dalam skala kecil hal ini telah disadari dan dijalankan oleh Proyek Pengendalian Lingkungan Tanah PTPT-UGM. Motivasi, idealisme dan subsidi tidak akan dapat menumbuhkan swakarsa dan ketekunan kerja yang malar, kalau tidak ada rangsangan, imbalan yang langsung terasa dan terbikmati untuk jerih payahnya. Dalam sakal kecil pula hal ini sudah disadari dan dilaksanakan oleh PPLT PTPT-UGM. Rangsangan juga dapat diberikan dengan pameran nyata, yang tidak saja dapat dilihat akan tetapi dapat dihayati lewat kerja nyata. Hal ini diwujudkan dengan petak-petak pameran dan melibatkan langsung petani beserta lahannya. Pengendalian erosi di lahan seperti Sepaku-Semoi dan bagian pertama Babulu Darat tidak dapat mempan hanya dengan cara-cara hayati dan atau cara-cara bertanam
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
18
saja (tumbuhan penutup tanah, bertanam sabuk gunung, deret tumbuhan penahan sabuk gunung), apabila tidak digabungkan dengan cara mekanik (pengundakan, penyengketan, pembuatan saluran penyalur air aliran permukaan turah). Hanya saja perlu sekali dijaga agar supaya cara-cara mekanik tidak justru mendatangkan persoalan baru yang tidak kalah gawat, yaitu pembalikan tanah. Faktor-faktor kesuburan tanah di tanah-tanah Sepaku-Semoi dan sebagian Babulu Darat terbatasi tegas di bagian atas tubuh tanah. Maka kalau sampai terjadi pembalikan tanah pada waktu membuat undak atau sengket, atau karena membuang tanah galian saluran ke atas petak-petak pertanaman, kesuburan tanah akan langsung merosot tajam. Ini persoalan teknis yang mudah berkembang menjadi persoalan manusia. Orang menjadi curiga dan tidak percaya pada kebenaran teknik. Suatu persoalan teknik yang sebetulnya tidak sulit diatasi, menjadi suatu persoalan yang pelik karena sudah menyangkut persoalan dan keyakinan. Pemilihan macam pupuk dan tanaman serta menentukan takaran pupuk juga perlu kecermatan dengan mempertimbangkan benar-benar faktor tanah dan lingkungan hidup tanaman. Kegagalan pada tahap ini juga akan menimbulkan persoalan kepercayaan dan keyakinan petani seperti yang telah disebutkan di atas. Maka pada tahap permulaan jangan memperkenalkan pupuk baru dan/atau jenis tanaman yang masih asing bagi petani, atau jenis tanaman yang kita sendiri belum mendalami persyaratan lingkungan tumbuhnya. Suatu teladan dapat dikemukakan mengenai hal ini. Kepada para petani peserta di Sepaku-Semoi dibagi bibit kelapa (15 bibit tiap petani) dan biobit lada (30 bibit tiap petani). Dari 857 batang kelapa yang ditanam, 79,2% mati. Di sini jelas bukan persoalan ekologi, melainkan persoalan “belum kenal”. Para transmigran dari pulau Jawa belum mengenal tanaman lada. Ungkapan yang barangkali kena terhadap kejadian ini adalah ialah “janganlah menambah persoalan pada persoalan yang sudah sulit”. Ini merupakan pengalaman yang berharga bagi proyek. Jarak lahan garapan dari rumah petani dan banyaknya usaha yang harus dicurahkan untuk menyelesaikan perusahaan rupa-rupanya juga menjadi faktor-faktor yang menentukan kesegeraan pelaksanaan kesudahan bimbingan. Misalnya, usaha-usaha pengawetan tanah lebih cepat terselenggara atau menjalar di pekarangan daripada di tegal. Keadaan tanah yang lebih tanggap (responsive) terhadap usaha perbaikan dan keadaan medan yang lebih ringan di Masinge dan Batu Tungku daripada di Sepaku-
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
19
Semoi menyebabkan gairah kerja petani di kedua daerah yang tersebut terdahulu lebih kuat daripada di daerah yang tersebut belakangan. Tiga kesimpulan yang dapat ditarik dari kenyataan ini, yaitu : (1) mobilitas penduduk di dalam daerah sendiri perlu ditingkatkan, atau letak lahan usaha didekatkan pada tempat tinggal, (2) diperlukan ketersediaan tenaga kerja bantu (ternak kerja) dan/atau alat kerja yang meringankan kerja badan dan (3) seperti telah disinggung di depan, rangsangan atau imbalan segera memegang peranan penting. Ketiadaan peta tanah atau kemampuan lahan untuk Sepaku-Sermoi, Babulu Darat. Masinge dan Batu Tungku sangat membatasi pelaksanaan tugas oleh para penyuluh dan bimbingan lapangan. Tanpa peta-peta itu pengarahan perluasan atau penularan kesudahan penyuluhan atau pembimbingan yang berhasil di suatu bagian ke bagian -bagian lain dari daerah pemukiman transmigrasi sulit sekali dijalankan. Di samping itu pertukaran pengalaman antar petani tidak akan banyak manfaatnya, karena tidak dapat diketahui dengan pasti keadaan fisik lahan yang melatar belakangi tiap-tiap pengalaman. Di Masinge dapat dilihat suatu perencanaan yang bermaksud baik untuk pembinaan lingkungan hidup, akan tetapi yang rupa-rupanya tidak didasarkan atas data dasar yang terandalkan. Perencanaan ini mengenai penyediaan air rumah tangga. Untuk tiap kelompok rumah (4-5 buah) dibuatkan sebuah sumur dangkal, yang pada musim kemarau menjadi kering, kecuali yang terletak di tempat-tempat yang rendah di dekat suatu aliran air. Kalau rencana itu dulu didasarkan atas data geohidrologi yang baik, barangkali dengan 2-3 sumur bor dalam dapat mencukupi kebutuhan seluruh daerah pemukiman Masinge sepanjang tahun. Ada yang pernah menghitung, bahwa jumlah biaya yang dipakai untuk membuat sumur-sumur dangkal sekarang ini cukup untuk membuat dua sumur bor dalam. Tentu masih diperlukan biaya tambahan untuk membuat jaringan pembagian air ke rumah-rumah. Pengalaman selama ini menunjukkan, bahwa pengelolan baruh tidak serumit pengelolaan lahan atasan. Meskipun macam persoalan di baruh tidak kalah berat daripada yang ada di lahan atasan, akan tetapi jumlahnya lebih terbatas. Yang terang persoalan lengas tanah untuk pertanaman di baruh pada umumnya ringan dalam arti jumlah, yang di lahan atasan justru menjadi persoalan yang paling utama. Meskipun mutu air baruh pasang –surut tidak terlalu memuaskan, namun sampai sekarang ternyata selalu dapat
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
20
diatasi dengan beaya yang cukup ringan (kelancaran gerakan pasang surut, pencampuran dengan air hutan pedalaman, pencampuran dengan air sungai). Bahkan setelah melampaui beberapa tahun, banyak tanaman yang ternyata memeperlihatkan daya penyesuaian yang baik, yang sebelumnya tidak terbayangkan kalau kita hanya menuruti pendapat umum yang tercantum dalam bahan pustaka saja. Erosi dan perlindian yang merupakan persoalan-persoalan utama pula di lahan atasan juga tidak ada di baruh. Justru menurut geomorfologi, baruh menjadi tempat penampungan, atau menurut ekologi menjadi daerah impor. Juga keragaman tanah di baruh lebih terbatas dibandingkan dengan lahan atasan, karena bahan induk tanah di baruh biasanya merupakan campuran berbagaai bahan secara merata, timbulan seragam dan pembentukan tanah dirajai oleh satu faktor tunggal, yaitu hidrologi. Hidrologi menjadi faktor pemersatu wilayah baru. Apa yang dikerjakan di suatu tempat dalam kesatuan hidrologi itu, akan segara terasa atau tampak akibat atau pengaruhnya di tempat lain. Dengan demikian suatu kesalahan tindakan di suatau tempat akan lebih cepat tersidik karena akan berpengaruh luas secara segera sehingga segera pula dapat diusahakan perbaikannya. Hal yang demikian tidak ada di lahan atasan. Pada suatu asosiasi lereng memang apa yang dikerjakan bagian atas akan cepat tersidik perngaruhnya atas keadaan bagian bawah. Akan tetapi apa yang dikerjakan di asosiasi lereng yang satu tidak akan mempengaruhi keadaan di asosiasi yang lain, sekalipun keduanya bertetangga dekat. Dengan demikian perencanaan tata guna lahan di lahan atasan lebih rumit karena harus dikerjakan bagian demi bagian. Tata guna lahan di baruh lebih sederhana karena yang dihadapi adalah satu kesatuan fisik yang utuh yang terpadukan oleh satu faktor pokok saja, yaitu hidrologi. Dengan bahasa ekologi dapatlah dikatakan bahwa, baruh merupakan suatu sistem yang memiliki
suatu prasarana untuk memepertahankan hidupnya, bahakn untuk
meningkatakan mutunya. Tidaklah mengherankan mengapa dalam sejarah pemukiman dan perpindahan suku-suku bangsa pemanfaatan wilayah baru oleh manusia selalu dimulai dari lahan-lahan aluvial sepanjang sungai atau pada delta. Disamping pertimbangan ketercapaiannya yang mudah dan keterlintasan medan yang mudah pula, kesuburan tanah, kemudahan pengelolaan lahan dan ketersediaan
air menjadi
pertimbangan-pertimbangan utama. Hal itu berkaitan dengan kelangkaan sarana masukan bahan dan energi pada manusia saat itu , sehingga ia memilih suatu loka yang dapat
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
21
melakukan regenerasi sendiri, mengawetkan dan melestarikan dirinya sendiri. Baru kemudian, setelah kerapatan penduduk meningkat sehingga baruh yang ada menjadi terlau sempit, orang berpindah ke lahan atasan. Proses ini jelas dapat diikuti dalam sejarah pembentukan dan perkembangan kerjaan-kerajaan di nusantara. Pada awal kejadian pengusahaan lahan atasan belum menimbulakn persoalan, karena orang belum menetap (berburu, mengumpulkan hasil, berladang). Persoalan baru muncul setelah orang mengusahakan lahan secara menetap. Erosi yang meningkat, penggundulan vegetasi penutup, kekeringan dan pertumbuhan alang-alang yang kian meluas merupakan konsekuensi mantik (logika). Dari kombinasi dua faktor : (1) ekosistem metastabil dengan mekanisme subsidi bahan dan energi yang lemah, dan (2) ketidakmampuan manusia untuk menciptakan mekanisme subsidi secara teknologi untuk memperrkuat atau mengganti mekanisme aseli. Oleh karena subsidi bahan dan energi pada lahan atasan harus banyak maka hal ini harus diimbangi dengan keluaran (output) yang bernilai ekonomi cukup tinggi. Pertanaman pada umumnya tidak mempunyai keluaran yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga dari segi kaidah anggaran berimbang lahan atasan tidak serasi untuk tanaman pangan. Karena itu dalam rangka pemikiran pemanfaatan lahan, perlu dipertimbangkan untuk memapankan (to establish) pertanaman industri di lahan atasan (kelapa, kelapa sawit, karet, kopi, teh, cengkeh, hutan jati dsb). Kalau timbulan mengijinkan, lahan atasan juga baik untuk mengusahakan peternakan, yang merupakan pula usaah dengan keluaran ekonomi tinggi dan dapat mendorong pertumbuhan berbagai industri pengolahan (usaha komplementer), sehingga rantai kegiatan ekonomi dapat lebih panjang. Ini merupakan suatu peningkatan kesempatan kerja dan diversifikasi kegiatan. Pohon-pohon pertanaman industri dan tata pengusahaan kebun merupakan faktor-faktor yang cocok dalam pengawetan dan pelestarian lahan atasan sebagai sumberdaya. Perkebunan (termasuk hutan-hutan budidaya) merupakan sistem produksi biologi dengan irama produksi lambat. Maka cocok untuk dikombinasikan dengan fisiosistem yang membutuhkan masukan tinggi. Pertanaman pangan merupakan sistem produksi biologi dengan irama produksi cepat, berarti dia sendiri memerlukan masukan berlaju tinggi, sehingga harus dikombinasikan dengan fisiosistem yang dapat mengekspor banyak tanpa merugikan dirinya sendiri. Hal ini terdapat pada baruh.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
22
DAFTAR ACUAN Andyantoro, S. 1978. Pengaruh panas pembakaran terhadap status unsur hara N, P, K, pH, KPK dan taraf kejenuhan basa pada tanah gambut (histosol). Tesis Sarjana Pertanian. Fakultas Pertanian UGM. Tidak diterbitkan. Kelompok Pemairan Tanah Fakultas Pertanian UGM, 1979. Laporan Akhir Proyek Pengendalian Lingkungan Tanah Pemukiman Transmigrasi Kalimantan TimurSelatan-Tengah-Barat. Departemen Pekerjaan Umum Universitas Gadjah Mada. Tidak Diterbitkan. Notohadiprawiro, T. 1975a. Soil profile characteristics developing in tidal swamps with some references to their agricultural significance. Pac. Sci. Cong. XIII. Vancouver B.C. Dalam: Record Proc. Abs. Papers 1 : 207. Notohadiprawiro, T. 1975b. Kekhasan faktor tanah yang menonjol dalam pembudidayaan kawasan pasang-surut untuk pertanian. Sajian Reuni II Alumni Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Notohadiprawiro, T. 1979. Peat deposition, an idle stage in the natural cycling of nitrogen, and its possible activation for agriculture. Workshop Nitrogen Cycling South East Asian Wet Monsoonal Ecosystem. Chiang Mai. Sedang dicetak. Raison, R.J., & McGarity, J.W. 1980a. Some effects of plant ash on the chemical properties of soils and aqueous suspensions. Plant and Soils 55 : 339 – 352. Raison, R.J., & McGarity, J.W. 1980b. Effects of ash, heat, and the ash-heat interaction on biological activities in two contrasting soils. I. Respiration rate. Plant and Soils 55 : 363 – 376. Usher, M.B. 1973. Biological management and conservation. London. Chapman and Hall. xiv + 394 h. Wilsie, C.P. 1962. Crop adaptation and distribution. San Francisci. W.H. Freeman and Company. viii + 448 h. «»
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
23