Studi Tentang Persepsi Masyarakat Aceh Terhadap Ulama Perempuan Oleh M. Saleh Sjafei 1
A. Latar Belakang Akhir-akhir ini masalah pembagian kekuasaan (power sharing) dalam penentuan kebijakan publik antara laki-laki dan perempuan semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat, utamanya mereka yang berada pada posisi atau lapisan menengah (economic) dan atas (power). 2 Wacana pembagian kerja dan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang berlaku selama ini dipandang sebagai bias lakilaki (male-biased) dan itu merupakan hasil konstruksi sosial-budaya (social construction) yang tidak seimbang. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya sosialpolitik lain dari masyarakat sipil (civil society), swasta (market), dan negara (state) yang memungkinkan terbangun alternatif sistem nilai-budaya (cultural-value system) yang lebih berimbang antara laki-laki dan perempuan, utamanya dalam ranah kekuasaan publik. 3 Sistem pemerintahan demokratis yang telah diterima sebagian besar masyarakat Aceh diharapkan dapat memberikan peluang bagi tumbuhnya konstruksi sosial-budaya yang lebih seimbang (gender equality) antara laki-laki dan perempuan dalam bermasyarakat dan bernegara. 4 1
Penulis adalah pengajar sosiologi hukum pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Aceh. Latar belakang ini didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat terdiri dari tiga lapis, yakni lapisan bawah (social), menengah (economic), dan atas (power) merujuk pada stratifikasi sosial Weber. Umumnya (utamanya dalam masyarakat yang cenderung rasional-modern) orang-orang yang berasal dari lapisan menengah dan atas (mereka yang secara relatif telah menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sarana dan media memperoleh kekuasaan dan kekayaan) yang berkeinginan untuk memperoleh bagian kekuasaan. Mereka tidak dapat menerima begitu saja lakilaki mendapat bagian untuk menduduki posisi kekuasaan publik lebih besar atau dominan karena pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin (sebagaimana dalam masyarakat tribal) dipandang tidak lagi kondusif dengan perkembangan rasionalitas perempuan. Oleh karena itu, pembagian kerja dan kekuasaan publik perlu dikaitkan dengan impact konstruksi sosial-budaya yang tidak setara untuk memungkinkan ditransformasikan pada gender equality. (Bandingkan: James Siegel, The Rope of God, University of California Press, Berkeley, 1969. 3 Dengan demikian pernyataan normatif bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan dapat diwujudkan secara sosiologis dalam kenyataan hidup bersama. Untuk mewujudkan pernyataan tersebut diperlukan perubahan (revisi dan/atau redefinisi) sistem nilai-budaya baik melalui pendidikan formal maupun non-formal, melalui aktor-aktor yang mampu bersikap-tindak sedapat mungkin konsekuen dan konsisten dengan perkembangan ilmu yang emansipatif. 4 Kendatipun secara formal masyarakat dan pemerintah telah menerima dan melakukan berbagai aktivitas politik secara demokratis, namun secara substansial masyarakat Aceh masih belum berubah dari kondisi sosial-budaya yang tradisional (menekankan pada sistem nilai homogenitas, kurang menghargai keberagaman) menuju modern-rasional (menjunjung heterogenitas). Ini antara lain dapat dilihat pada tindakan-tindakan anggota masyarakat yang kurang memberikan 2
1
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Aceh diketahui ada sebutan teungkuteungku inong (guru-guru pengajian yang perempuan) dan teungku-teungku agam (guru-guru pengajian yang laki-laki). Kedua ragam guru pengajian tersebut adalah produk sosio-kultural, mereka adalah hasil pendidikan forma atau non-formal lembaga-lembaga keagamaan Dayah/Pesantren yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan. Kenyataanya, dalam praktik, teungku-teungku agam cenderung lebih mudah terobjektivasi, menjadi populer dan menonjol kinerja dan prestasi mereka dalam pergaulan keseharian dibandingkan dengan teungku-teungku inong. Di antara teungku-teungku agam itu ada yang menjadi ulama yang mempunyai kompetensi dan dominasi dalam bidang agama Islam, di mana sebagian mereka dipandang sebagai pemimpin-pemimpin publik baik di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Sedangkan teungku-teungku inong sedikit sekali “diketahui” popularitas mereka pada level atau public sphere sehingga kinerja dan prestasi mereka dipandang tidak menonjol seperti halnya laki-laki. Bagaimanapun juga, sebutan ulama cenderung dilekatkan komunitas pada kapasitas laki-laki, dan oleh karena itu mereka mendapat peluang lebih banyak untuk ambil bagian dan pro-aktif dalam persoalan yang menyangkut kebijakan (pemerintahan) negara dan masyarakat. Fungsi mereka menjadi pemelihara (keeper) budaya Aceh dari pengaruh internal dan eksternal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ulama merupakan salah satu kelompok orang yang mempunyai kedudukan dan posisi sentral dalam kehidupan kaum muslim di Aceh, sebagai penerus risalah Nabi dan Rasul Tuhan. Mereka memiliki peran menentukan tidak saja di bidang keagamaan, tetapi juga di bidang sosial-politik dan budaya. Peran ini terus berlanjut dari satu periode ke periode berikutnya. Sebagai orang yang kompeten dalam bidang agama masyarakat bersangkutan, ulama dengan segala kapasitas dan kapabilitas bertugas mereka untuk melakukan interpretasi terhadap risalah Tuhan setelah pemegang otoritas keagamaan (Nabi Muhammad) wafat. Peran seperti ini merupakan keharusan tradisional yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. 5 Kerangka pikiran mengenai persepsi sosial dalam penelitian ini didasarkan pada pengetahuan masyarakat produk konstruksi sosial, sebagaimana dijelaskan dalam karya Peter Berger dan Thomas Luckmann, yaitu The Social Construction
perlindungan pada kenyamanan individu, kurang mampu menghargai perbedaan yang ditampilkan individu-indvidu dalam masyarakat. 5
Istilah ulama berasal dari bahasa Arab, yaitu jamak dari ‘aliim, yang merupakan sighah mubalaghah dari ‘alima ya’lamu, artinya orang yang amat mengetahui tentang agama Islam atau berilmu agama Islam yang amat dalam. Dengan demikian tidak semua orang yang berilmu, menurut bahasa dapat disebut ulama karena ‘aalim, jamaknya adalah ‘aalimun bukan ‘ulama. Sedangkan menurut istilah kata ulama berarti orang Islam yang berilmu agama secara mendalam, bukan bodoh atau berilmu dangkal; beriman dan bertakwa, bukan musyrik atau penyandang kerja maksiat; beramal shaleh, bukan beramal jahat. Muslim Ibrahim “Rekonstruksi Peran Ulama Aceh Masa Depan” dalam Fairus M. Nur Ibr (ed), Syari’at di Wilayah Syari’at: Pernik-Pernik Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2002), hlm.. 247. Tidak ditemukan bagaimana penggunaan istilah ulama (dalam bahas Arab) sebelum agama Islam datang. Apakah ada istilah lain, atau apakah digunakan juga dalam pergaulan hidup agama sebelum Islam.
2
of Reality. Ulama-Ulama perempuan dipahami sebagai fenomena yang subjektif 6
dan objektif. Keberadaannya memperoleh pengakuan yang semestinya apabila warga masyarakat memahami ulama perempuan itu dari segi pandangan suatu proses dialektis yang berlangsung secara terus-menerus berdasarkan tiga momen, yaitu: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Pengetahuan masyarakat yang disebut persepsi sosial tentang Ulama perempuan dalam konteks ini dipahami sebagai suatu kenyataan yang ditentukan oleh ketiga momen tersebut. Berger menerima asumsi bahwa harus diakui adanya eksistensi kenyataan sosial objektif (dari tradisi Durkheimian dan strukturalisme-struktural Parsonian) sebagai momen objektivasi. Kenyataan sosial itu ditemukan dalam hubungan individu dengan lembaga sosial (Ulama). Ulama sebagai lembaga sosial adalah produk buatan manusia, hasil kegiatan manusia dengan sesamanya. Ulama Perempuan, dengan demikian, dapat dipersepsikan sebagai suatu realitas subjektif dan objektif. Pertanyaan-pertanyaan tentang status ulama yang paling mendasar (ultimate status), dan kaitannya dengan ulama perempuan sebagai suatu realitas. Ada sejumlah pertanyaan yang patut diajukan dalam kaitan ini. Apakah ulama itu? Apakah ulama merupakan suatu kenyataan? Apa saja ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik seorang ulama? Apakah ulama perempuan itu suatu kenyataan juga? Apa juga kriteria untuk ulama perempuan sebagai suatu kenyataan? Apakah yang nyata bagi keberadaan ulama laki-laki mungkin berbeda dari keberadaan ulama perempuan? Bagaimana cara kita mengetahui ulama sebagai suatu kenyataan? Bagaimana juga kita dapat mengakui seorang ulama perempuan? Idealnya, semua pertanyaan itu dapat ditemukan jawaban empirik dalam rangkaian memahami persepsi sosial tentang ulama perempuan. Namun, studi ini tidak seluruhnya mampu memperoleh jawaban dalam satu tahapan, melainkan diperlukan lagi waktu yang lebih sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Berbagai hambatan dialami baik secara teknis maupun keterbatasan waktu yang tersedia secara sustansial. 7
8
9
6
Lihat Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas. The Social Construction of Reality: A Treatise the Sociology of Knowledge. 1966. diterjemahkan menjadi Tafsir Sosial atas Kenyataan (Sebuah Risalah tentanag Sosiologi Pengetahuan). LP3ES. 1990. 7 Lembaga kemasyarakatan adalah himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. (ada norma-norma yang menentukan seseorang disebut ulama yang dibutuhkan dalam masyarakat) Wujud kongkrit lembaga itu adalah asosiasi (PUSA adalah salah satu bentuk asosiasi ulama). Lihat Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. cet. Ke-7. 2003:198. 8 Ulama sebagai suatu realitas sosial sehari-hari memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif. Manusia adalah pencipta realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana realitas objektif mempengaruhi kembali individu melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Dengan demikian menurut kerangka Berger ulama merupakan produk individu-individu penganut agama Islam dan sebaliknya, sebagai implikasi dimensi realitas objektif dan subjektif maupun proses dialektis dari objektivasi, internalisasi, dan eksternalisasi. Lihat Berger dan Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan. LP3ES. Jakarta. 1990:xx. 9 Realitas (kenyataan) adalah kualitas yang terdapat dalam gejala-gejala yang diakui sebagai hal yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung pada kehendak individu-individu (tidak dapat ditiadakan dengan angan-angan). Pengetahuan adalah kepastian bahwa gejala-gejala itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Lihat Berger dan Luckmann, 1990:1.
3
Jadi, persepsi masyarakat terhadap ulama perempuan dalam konteks penelitian ini diasumsikan sebagai produk dialektika eksternalisasi (penyesuaian), objektivasi (partisipasi), dan internalisasi (pengamalan) seseorang atau kelompok terhadap suatu pokok permasalahan (keberadaan Ulama Perempuan) yang diperhatikan mereka. Semakin positif penyesuaian diri, partisipasi, dan pengamalan seseorang atau kelompok terhadap suatu dunia sosio-kultural (ulama perempuan hasil konstruksi sosial) maka semakin positif pula persepsinya.
Frame of Reference: •
Eksternalisasi (penyesuaian diri dgn dunia sosio-kultural produk manusia)
•
Objektivasi
Ulama Perempuan
(interaksi sosial dalam proses institusionalisasi)
•
(Keberadaan)
Internalisasi (self-identification dgn lembaga sosial)
Dengan kerangka analisis di atas dimaksudkan bahwa untuk memperoleh pengetahuan masyarakat (persepsinya) mengenai keberadaan ulama perempuan dilakukan observasi-partisipasi dan wawancara mendalam dengan para informan. Pengalaman mereka melalui momen-momen eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi terhadap ulama perempuan dibutuhkan untuk mendapatkan kadar pengetahuan atau persepsinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada para informan dan objek yang diobservasi di lapangan, dengan demikian, adalah proses sosial dan pengalaman konseptual masyarakat melalui berbagai momen tersebut. B. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah persepsi tentang Ulama Perempuan itu dikonstruksikan masyarakat. Apa saja konsepsi masyarakat tentang Ulama-Ulama Perempuan dan Laki-Laki. 2. Seberapa jauh keberadaan Ulama Perempuan berkaitan dengan pengetahuan masyarakat. Apakah kontribusi Ulama Perempuan pada pembangunan (hukum dan pemerintahan) dipandang masyarakat sama atau beda dari Ulama Laki-laki.
4
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mendapatkan pemahaman yang menjelaskan hubungan persepsi masyarakat terhadap keberadaan Ulama Perempuan; 2. Untuk mengetahui seberapa jauh keberadaan Ulama Perempuan dalam masyarakat bersangkutan mendapatkan pengakuan sehingga mereka menjadi suatu realitas sosial. D. Signifikansi Penelitian Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memahami dan menemukan pengetahuan baru tentang keberadaan perempuan dalam kaitan dengan ulama sebagai realitas sosial yang objektif. Dengan demikian hasil studi ini juga dapat memberikan pengetahuan mengenai dialektika perubahan otoritas kepemimpinan Ulama yang kharismatik, tradisional, dan rasional. Secara praktis hasil studi ini dapat memberikan kontribusi realitas ulama perempuan sebagai pengetahuan dan masukan sosial-politik yang konstitusional bagi penyusunan peraturan perundang-undangan (qanun) dalam pengelolaan pemerintahan dan masyarakat Aceh. Secara metodologis penelitian ini dapat memberikan afirmasi bagi studistudi feminis dengan andalan metode wawancara-mendalam yang tidak terstruktur untuk menangkap nuansa sensitivitas gender. E. Delimitasi dan Limitasi Penelitian ini dibatasi (narrowed in scope) pada upaya pemahaman yang menjelaskan persepsi masyarakat terhadap ulama perempuan. Pemahaman ini, bagaimanapun, berkaitan dengan konsep-konsep yang digunakan dalam kerangka berpikir teoritik, yakni bagaimana suatu persepsi sosial itu terbentuk berdasarkan proses dialektika momen-momen eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Adapun kelemahan-kelemahan (potential weaknesses of the study) yang dialami dalam penyelenggaraan penelitian ini, termasuk (1) pengelolaan waktu yang tidak efisien; (2) keterbatasan sarana dan prasarana yang kondusif dengan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan penelitian, utamanya kerja-lapangan; (3) pekerja lapangan (field workers) yang dominan laki-laki untuk studi lapangan yang bernuansa atau sensitif gender, dan (4) keterbatasan dalam proses penentuan jumlah lokasi dan subjek penelitian.
F. Studi Literatur Ulama adalah status (jabatan sosial-politik) yang memungkinkan diperoleh orang-orang muslim dengan capaian-capaian tradisional dan atau rasional, di samping dengan kharisma. Masalah kedudukan ulama akhir-akhir ini semakin
5
mendapatkan perhatian dari kalangan masyarakat, utamanya mereka yang termasuk dalam kelompok-kelompok perempuan. Berdasarkan telaah hasil penelitian terdahulu dapat dipahami bahwa persepsi tentang ulama telah diungkapkan para peneliti awal melalui berbagai variasi pendekatan. Ada banyak temuan yang menarik dari berbagai studi tersebut, antara lain ialah pengembangan kategori ulama tradisional yang hidup di lingkungan pedesaan, ulama kharismatik, dan ulama modern yang sehari-hari melakukan aktivitasnya di lingkungan masyarakat perkotaan. Namun dalam hubungan itu tidak secara tegas atau langsung dibahas mengenai kategori dan kekhasan ulama kharismatik. 10 Hasil telaah kepustakaan juga memperlihatkan pembagian kerja Ulama dalam bidang keagamaan dan kesejahteraan masyarakat, dan Geusyik (Kades) sebagai pemimpin yang mengurus masalah pemerintahan. Geusyik dan Ulama cenderung dipandang sebagai mitra kerja yang lebih cocok dalam masyarakat Aceh. Pekerjaan Geusyik dalam pemerintahan cenderung digolongkan sebagai kegiatan sekular (profan: duniawi) dan pekerjaan Ulama dalam mengembangkan keagamaan dan kesejahteraan masyarakat dianggap sebagai aktivitas non-sekular (kudus: ukhrawi). Anggapan tentang penggolongan seperti itu merupakan persepsi yang berkembang dalam masyarakat Aceh yang masih perlu dijelaskan para pakar dan peneliti ilmu-ilmu sosial-budaya secara detail. 11 Kecenderungan sekularisasi terjadi dalam hampir dalam semua bidang kehidupan masyarakat yang ditandai oleh hasil pemikiran-pemikiran rasional manusia dan hal itu dijabarkan secara organisasional dan administratif dalam proses penataan kehidupan bersama. Hasil studi kepustakaan juga memberikan informasi bahwa persepsi masyarakat Aceh terhadap ulama banyak ditentukan oleh kondisi sosial-budaya mereka yang telah dihayati dan diamalkan secara turun-temurun. Kondisi sosial budaya yang sudah terstruktur menjadi sistem nilai, sebagai mekanisme kontrol ke dalam (internal) warga masyarakat bersangkutan agar tidak mudah mendapat ancaman luar (eksternal). Namun sitem nilai tersebut sudah mentradisi dan tidak mudah lagi terbuka untuk diredefinisi warga-warga sesuai dengan perkembangan pemikiran mereka lewat pendidikan, informasi, dan modernisasi kebudayaan global. Sistem nilai-budaya yang cenderung sulit mendapat perubahan itu secara umum dialami lapisan masyarakat bawah karena mode of production yang berlaku di kalangan mereka adalah kehormatan yang telah dihasilkan dengan muatan sistem nilai bersangkutan.
10
Secara tidak langsung ciri-ciri kharsimatik pada ulama dikemukakan beberapa pakar, termasuk Tgk Daud Zamzami pada lokakarya Ulama Perempuan tingkat Provinsi NAD di Banda Aceh pada tanggal 3-4 Nopember 2006. 11 Diperlukan penjelasan kepada masyarakat mengenai definisi konsep sekular dan non-sekular sehingga memberikan mereka pemahaman yang netral dan realistis dalam bernegara dan bermasyarakat. Penjelasan seperti itu dapat dikembangkan kepada para pemimpin formal dan nonformal bahwa konsep sekular adalah bagian dari konsekuensi natural pemikiran manusia dalam berbagai dimensi organisasional kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
6
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa lapisan masyarakat bawah cenderung lebih ketat memegang sistem nilai tersebut dalam pergaulan hidup mereka dibandingkan dengan mereka dari lapisan menengah dan atas. Oleh karena itu, persepsi sosial tentang ulama yang didasarkan pada informasi dan pandangan lebih dominan masyarakat lapisan bawah memungkinkan mereka merujuk pada konsep ulama masa lampau. Konsep ulama yang ditemukan secara teoretik berdasarkan analisa data sekunder lebih menonjolkan kharisma atau kemampuan (spiritual) luar biasa yang membuat warga masyarakat menjadi pengikut yang manut karena khawatir bila tidak patuh mereka mendapat predikat durhaka, apalagi jika mereka ingkar terhadap anjuran dan perintah ulama bersangkutan. 12 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa persepsi sosial yang ditemukan secara teoretik berdasarkan data sekunder hasil telaah kepustakaan adalah bahwa ulama dalam pandangan masyarakat Aceh lebih banyak merujuk pada kategori ulama yang memiliki kemampuan kharismatik. Ulama yang dianggap dapat menjadi panutan masyarakat, memiliki sikap-tindak tanpa pamrih, dan berorientasi pada pembalasan hari akhirat. Mereka dipandang mempunyai ciri dan kepribadian yang santun, berakhlak mulia, dan rendah hati. Di samping menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam, mempunyai kemampuan leadership, dapat memimpin dayah atau pengajian kolektif dan juga kemampuan itu memperoleh pengakuan dari masyarakat bersangkutan. Rasionalisasi terhadap aktivitas ulama telah terjadi di Aceh sejak Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) didirikan. Pengalaman organisasional ulama seperti itu berkaitan dengan proses administrasi yang cenderung sekular, di mana pembagian kerja dilakukan berdasarkan bidang-bidang keahlian yang memungkinkan dipertanggung jawabkan secara rasional. 13 Persepsi sosial tentang ulama berkembang mulai dari yang lebih kental pedesaan (tradisional) sampai dengan yang lebih moderat, perkotaan (modern-rasional), dan ulama kharismatik boleh jadi ditemukan dalam komunitas pedesaan dan perotaan. Tokoh-tokoh agama yang bekerja pada birokrasi pemerintah, misalnya MPU, berbeda dari mereka yang bekerja pada institusi pedesaan, dayah/pasantren tradisional. Ulama dalam masyarakat Aceh telah berfungsi dan berperan aktif dalam melaksanakan masalah kemasyarakatan dan keagamaan. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat Aceh cenderung sebagai masyarakat (Islami) agamis, atau komunitas religius. 14 Namun tidak dapat diketahui secara objektif apakah ciri-ciri religius 12
Dalam kisah-kisah para Nabi dan orang-orang terdekatnya yang dikembangkan di kalangan komunitas pedesaan dan Dayah/Pasantren tradisional seringkali menunjukkan kemampuan luar bisa yang dimiliki mereka yang membuat pengikutnya takluk, menjadi manut pada anjuran atau perintahnya. Kisah yang kurang lebih serupa seringkali juga ditemukan dalam masyarakat Aceh bahwa ada sebagian ulama yang memiliki kekuatan atau kemampuan luar biasa (gaib) yang membuat orang-orang menjadi ketakutan berbuat mungkar karena mengetahui kisah-kisah yang tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat. 13 Konsep rasional di sini dipahami sebagai tindakan individual yang didasarkan pada suatu standar, patokan, ukuran yang merujuk pada pemikiran dan cara-kerja efisien dan efektif. 14 Komunitas religius merupakan salah satu tahapan perkembangan sejarah pemikiran masyarakat dalam teori jenjang (hukum tiga tahap) Comte, yakni tahap pemikiran teologis, metafisik, dan positif. Persoalannya adalah apakah masyarakat Aceh dilihat secara stratified dapat terbagi dalam
7
seperti itu dianut oleh masyarakat Aceh secara menyeluruh dan substansial sehingga konfigurasi masyarakat bersangkutan tidak stratified sebagaimana struktur sosial Weber. Boleh jadi stratifikasi masyarakat Aceh bukan tiga lapis, tetapi di lapisan Berdasarkan hasil mana kedudukan ulama menjadi penting diketahui. 15 telaah kepustakaan dapat dikemukakan bahwa setidaknay ada tiga ragam ulama dalam masyarakat Aceh, yakni ulama-ulama yang cenderung kharismatik, tradisional, dan rasional, seperti gambar berikut ini. Tipologi Ulama Dalam Masyarakat Aceh
Kharismatik -
Figur > memukau Kemampuan Spiritual Berbuat tanpa pamrih Otoritas dari dirinya > Orientasi ukhrawi
Rasional
Tradisional -
> Figur keturunan Kemampuan Respektasi Berbuat untuk simbolik Otoritas dari komunitas > Orientasi kebersamaan
-
Figur > professional Kemampuan individual Berbuat untuk kenyataan Otoritas dari sciences Orientasi dunia-akhirat
G. Metodologi Metodologi penelitian dipahami sebagai keseluruhan proses berpikir dari mulai menemukan permasalahan, penjabaran dalam suatu kerangka-kerja tertentu, serta pengumpulan data bagi pengujian empiris sampai dengan penjelasan dan penarikan simpulan. Ruang lingkup (delimitation) penelitian ini adalah persepsi sosial tentang keberadaan Ulama Perempuan dalam masyarakat Aceh. Artinya, studi ini dibatasi pada upaya menggali untuk menemukan bagaimana persepsi sosial dalam wujud pengetahuan masyarakat tentang ulama perempuan. Adapun keterbatasan (limitation) penelitian ini (memahami dialektika ekternalisasi, objektivasi, dan internalisasi terhadap ulama perempuan) adalah bahwa tidak memungkinkan hasilnya digeneralisasikan pada konteks atau kasus-kasus ulama pada umumnya.
dimensi-dimensi strata atas, menengah, dan bawah, atau cenderung didominasi oleh sistem nilai lapisan bawah yang lebih menyeragamkan. 15 Konsep "ulama" dalam pasal 1 (9) Perda NAD Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah Istimewa Aceh adalah ulama dayah/pesantren dan cendekiawan muslim Aceh yang mempunyai kemampuan kharismatik, intelektual dan memahami secara mendalam dalam soal-soal keagamaan.
8
Persepsi adalah cara-pandang yang didasarkan pada pengalaman individuindividu dalam melihat (eksternalisasi), melakukan interaksi (objektivasi), dan menanggapi (internalisasi) pokok permasalahan (keberadaan ulama perempuan) yang sedang dipelajari. Ekternalisasi adalah penyesuaian diri seseorang dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Objektivasi merupakan interaksi sosial dalam dunia inter-subjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Internalisasi adalah upaya individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat yang bersangkutan menjadi anggotanya. Masyarakat Aceh dalam konteks ini adalah sejumlah orang (informan) yang dipandang mewakili kelompoknya yang dipilih secara terencana. Ulama Perempuan adalah cendikiawan, intelektual pemuka agama Islam, tokoh perempuan yang dilandasi kompetensi relijius. Berikut ini gambaran persiapan peneliti untuk pengumpulan data di lapangan. Strategi, Lokasi, Subjek, Objek dan Metode Pengumpulan Data Strategi Studi Kasus
Lokasi 12 Kabupaten/ Kota di NAD
Subjek 3 (tiga) orang Pemimpin Dayah tradisional dan modern/ tokoh masyarakat formal dan informal.
Objek Persepsi dan Keberadaan Ulama Perempuan
Metode Studi dokumen, observasipartisipatif, wawancara mendalam.
Strategi seperti ini disebut juga field work yang concern pada pertanyaan tentang apa yang secara khusus dapat dipelajari dari suatu kasus yang dipilih. 16 Dalam upaya menggali pengetahuan dan makna persepsi sosial tentang ulama perempuan dilakukan studi dokumentasi, pengamatan peran-serta, dan wawancara tak-terstruktur dengan sejumlah informan terpilih. Konstruksi sosial dalam bentuk persepsi itu diasumsikan dialami para individu (anggota masyarakat) yang hidup dalam suatu latar sosial melalui suatu doktrin bahwa kenyataan sosial merupakan sesuatu yang didasarkan pada motivasi individual dan tindakan sosial mereka yang penuh makna. Dalam konteks ini masyarakat dipahami sebagai suatu konsep yang menunjuk pada sekumpulan individu; jadi, hanya individulah yang dipandang real secara objektif. Oleh karena itu, fakta-fakta tentang masyarakat hanya mungkin dipahami melalui fakta-fakta individual dengan cara memasuki dunia pemikiran dan makna subjektif mereka. 17 Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Popper bahwa semua 16
Stake, Robert E. “Case Studies”, dalam Denzin dan Lincoln (ed) (1994). Hand-Book of Qualitative Research. Sage Publication. Thousand Oaks. London. 1994. Neuman, W. Lawrence. Social Research Methods. 3th-Edition. Allyn and Bacon. Boston. 1997. 17 Bhascar, Roy (1989). The Possibility of Naturalism. 2-ed. Harvester Wheatsheaf. New York. 1989:27. Lihat juga Perdue, 1986:162; Johnson, 1988:215).
9
fenomena sosial, terutama berfungsinya institusi sosial (ulama) dapat dipahami sebagai hasil dari berbagai keputusan individual. Masyarakat tidak memuaskan dijelaskan dengan sebutan “collective”, 18 karena ia merupakan ‘model abstrak’ yang didesain untuk menafsirkan fakta-fakta mengenai pengalaman individual. Dengan demikian penelitian sosiologis berupaya untuk memahami motivasi individu yang menentukan tindakan mereka dalam praktik-praktik sosial di mana bangunan masyarakat tersebut tampil dan bertahan. 19 F. Simpulan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan pada laporan lengkap, dalam sajian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Persepsi sosial tentang ulama perempuan lebih banyak ditentukan oleh latar-belakang sosial, budaya, ekonomi, dan politik seseorang atau kelompok dalam masyarakat bersangkutan. Konfigurasi masyarakat yang berlapis-lapis (dua, tiga, atau lebih lapisan) itu memiliki konsekuensi logis terhadap variasi persepsi sosial. Para informan yang representatif bagi masyarakat baik secara formal ataupun informal itu memberikan persepsinya sesuai dengan latar-belakang lapisan dari mana yang bersangkutan berasal. Informan yang berasal dari lapisan menengah dan atas, misalnya, dapat memberikan persepsi mereka yang lebih rasional dan cenderung diikuti oleh bagian masyarakat dari lapisan di bawahnya. Kenyataan ini lebih didukung oleh kemampuan sumber-daya (pengetahuan sosial dan kemanusiaan) yang dikuasai mereka yang menjadi kebutuhan mayoritas warga masyarakat pada umumnya. Jadi, mereka yang berasal dari golongan menengah (economic) dan atas (power) mempunyai kapital (mode of production) dan sub-sistem nilai budaya yang memungkinkan membantu masyarakat memenuhi kebutuhan kemanusiaan umumnya. 2. Berdasarkan uraian dan temuan tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa persepsi sosial dikonstruksikan masyarakat dengan cara mereka memandang dan mengekspresikan pikiran dan, oleh karena itu, juga tindakan (eksternalisasi) mereka terhadap ‘ulama perempuan’ melalui tatanan sosial yang dikendalikan oleh mekanisme kontrol lokal. Dalam masyarakat Aceh yang cenderung berpikir pada tataran atau tahapan teologis (Comte) sistem nilai-budaya yang terbangun lebih cenderung menolak pluralitas. Solidaritas mekanis (Durkheim) menjadi andalan untuk menjaga keutuhan integritas dalam komunitas bersangkutan. Keadaan ini tentu saja mengarah pada status-quo, mempertahankan homogenitas, menolak cara berpikir dan cara bertindak yang berbeda dari sifat-sifat 18
Popper, K. The Open Society and its Enemies. Vol-II. London. Routledge and Kegan Paul. 1962:98. 19 Veeger, K.J. (1985). Realitas Sosial. Gramedia. Jakarta. 1985:215.
10
struktural yang telah ada. Ulama perempuan sebagai gejala sosial baru yang muncul seiring dengan perkembangan politik global tidak mendapat kesempatan menajdi wacana yang layak dalam komunitas bersangkutan. Hal itu antara lain dipandang mereka dapat saja mengancam tatanan sosial yang telah dianggap harmoni dan kondusif dengan kondisi tempatan. 3. Konsepsi masyarakat tentang ulama-ulama perempuan dan laki-laki ternyata banyak ditentukan oleh pengetahuan dan latar-belakang pemikiran yang telah dihayati dan digunakan para informan bersangkutan dalam kehidupan mereka. Dengan kata lain, konsepsi tentang ulama-ulama perempuan dan laki-laki yang dimiliki mereka sangat berkaitan dengan latar-belakang pendidikannya. Mereka yang mempunyai latar-pendidikan modern-rasional lebih mendukung independensi ulama perempuan, dan mereka dapat menduduki posisi kekuasaan publik yang dikuasai oleh ulama laki-laki juga. Mereka yang mempunyai latar-pendidikan klasik-tradisional cenderung konservatif dan mengikuti hubungan-hubungan patriarkal, paternalistik, dan tekstual. Kedua ragam pandangan konsepsional tersebut melahirkan dukungan atas studi-studi terdahulu tentang ulama yang berorientasi modern-perkotaan dan mereka yang berorientasi tradisional-perdesaan. Di samping itu, kebanyakan data yang diperoleh melalui penelitian ini memberikan simpulan ulama perempuan tidak mendapat penilaian berbeda dari ulama laki-laki secara normatif, namun penilaian itu tidak terwujud dalam kenyataan hidup mereka sehari-hari. Kriteria ulama yang dipersepsi masyarakat dengan demikian termasuk kemampuan dan pengetahuan dalam Kitab Suci, Hadits Nabi, dan Kitab Kuning, dan itu lebih cenderung pada karakteristik ulama kharismatik. Suatu tipe ulama yang memiliki otoritas dan semangat kepemimpinan berdasarkan kemampuan luar biasa, mempunyai orientasi melampaui kehidupan yang bersifat duniawi. Namun demikian dapat dikatakan bahwa konsep kharismatik tersebut dipahami secara berbeda dari suatu masa ke waktu yang lain, dari suatu kondisi tempatan ke situasi sosial-lokal lainnya. 4. Keberadaan ulama perempuan sebagai pengetahuan masyarakat lebih bersifat normatif dan abstrak-spiritual. Masyarakat belum mempunyai pengetahuan spesifik dan nyata mengenai ulama perempuan. Keberadaan ulama perempuan adalah suatu kenyataan sosial yang dapat dipahami sebagai fakta sosial yang terlepas dari fakta sosial lainnya. Keberadaan sosial ulama perempuan dapat diterangkan dengan ciri-ciri dan spesifikasi tertentu. Ciri-ciri dan spesifikasi itu adalah pengetahuan masyarakat tentang kepastian bahwa ulama perempuan merupakan kenyataan yang berdiri sendiri terlepas dari pengaruh keberadaan laki-laki. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa masyarakat mulai menjadikan discourse ulama perempuan sebagai salah satu macam pengetahuan baru dalam khazanah ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan keagamaan. Hal itu dapat terjadi berkat partisipasi berbagai kelompok civil society memberikan informasi sosialpolitik, melakukan pendidikan kritis dan memberikan mereka training yang
11
memungkinkan mereka dalam beberapa hal bangkit dari dominasi laki-laki, utamanya pada posisi atau bidang-bidang aktivitas publik. 5. Kontribusi ulama perempuan pada pembangunan dapat diterangkan dengan gambaran pendidikan gender yang konstruktif dan edukatif. Dengan adanya ulama perempuan sebagai suatu pengetahuan dan atau lembaga sosial baru dapat memungkinkan pendidikan yang mencerdaskan kaum perempuan semakin nyata. Kontribusi keberadaan ulama perempuan dapat pula dijadikan momentum power-sharing dalam proses pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) laki-laki dan perempuan dalam pelbagai bidang kehidupan masyarakat Aceh. 6. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan ulama berubah dari pemenuhan kriteria kharismatik, tradisional, menuju konsepsi yang rasional. Kendatipun temuan empirik memperlihatkan lebih banyak informan menghendaki ulama kharismatik, namun kondisi nyata dalam komunitas tempatan menunjukan kriteria ulama yang rasional. Ulama tidak hanya mereka yang menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama dan umum yang mendalam, tetapi juga mereka yang memimpin lembaga-lembaga keagamaan (pengajian, dakwah, dan lainnya) secara formal dan non-formal. Ulama mulai dipandang sebagai profesi, tidak lagi hanya status atau jabatan yang datang dari pengakuan masyarakat secara sosial-politik. Ulama mulai dipahami masyarakat sebagai capaian intelektual dan rasionalitas yang bisa diperoleh orang-orang yang menekuni bidang-bidang keagamaan dan ilmu pengetahuan. Bagaimanapun, ulama rasional itu umumnya diakui dan berkembang dalam komunitas kampus atau di daerah perkotaan, di mana penghargaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi mulai dilakiukan. Ulama perempuan dapat memungkinkan lahir dan berkembang dalam masyarakat perkotaan dan komunitas akademik. 7. Adapun persyaratan yang mendasar dimiliki seorang ulama mencakup unsur-unsur: (1) ada hubungan yang sesuai antara perkataan dan perbuatan; (2) memiliki sikap-tindak humanis; (3) mengutamakan pendekatan kasih sayang pada sesama manusia, (4) memiliki sikap-tindak konsekuen dan keberanian dalam melawan kekuasaan yang bersifat kebathilan, (5) mempunyai semangat dan pengaruh sosial-politik dalam berhadapan dengan pemerintah yang berkuasa, dan (6) terpelihara sejak awal dari perbuatan yang bertentangan dengan moralitas kolektif sampai menjadi figur publik, serta (7) pengalaman secara konsisten pada teks (doktrin) agama yang memberikan kekuatan (kharisma, mistik) personal kuat dengan landasan keyakinan. Implikasi Teoretis 1. Keberadaan ulama perempuan baik sebagai pengetahuan baru bagi masyarakat Aceh maupun sebagai institusi sosial yang memungkinkan 12
dijadikan saluran aspirasi dan sumber inspirasi pengembangan pemikiran akademis. Sebagai bagian dari studi gender ulama perempuan dapat dipahami sebagai sub-pengetahuan baru dalam bidang gender atau studi tentang kelompok perempuan Aceh. 2. Persepsi sosial mengenai ulama perempuan didasarkan pada asumsi dialektis momen-momen eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi oleh masyarakat. Persepsi sosial yang ditemukan secara empirik berkaitan dengan perubahan sosial yang terjadi pada figur ulama. Ada perubahan bahwa ulama kharismatik sudah hampir tidak memungkinkan lagi diperlihatkan dalam masyarakat Aceh. Mereka lebih cenderung dijadikan panutan simbolik dan perilaku ulama kharismatik itu dijadikan kebiasaan yang menjadi landasan ulama tradisional. Sedangkan ulama modern belum memberikan kepuasan spiritual bagi masyarakat Aceh sebagaimana rujukan mereka pada ulama kharismatik dan tradisional. C. Implikasi Praktis Hasil studi ini dapat dikaitkan dengan kebutuhan dan rencana pemerintah Aceh dalam upaya mempersiapkan masyarakat yang kondusif pada pengalaman global. Suatu orientasi untuk mempersiapkan masyarakat agar mempunyai karakter mandiri dan terbuka sehingga memungkinkan mereka diorganisasikan secara rasional. Pengorganisasian itu dilakukan untuk kepentingan bersama yang lebih besar dan untuk kebutuhan pembangunan masyarakat jangka panjang. Setelah persepsi masyarakat tentang ulama perempuan diketahui pengambil kebijakan dapat memahami dan merancang berbagai teknologi sosial (doktrin, pepatah lokal, ungkapan-ungkapan dogmatis lainnya) untuk kepentingan membawa masyarakat pada suatu perubahan persepsi yang lebih kondusif dengan Garis-Garis Besar Haluan Sosial Budaya (GBHSB) hasil keputusan politik. Keputusan tersebut dapat dituangkan dalam bentuk aturan-aturan (qanun) Aceh dan atau kabupaten/kota. Studi ini tidak mempersiapkan jawaban atas pertanyaan yang bersifat inventarisir ulama perempuan secara kuantitatif. Oleh karena itu, keinginan dan harapan pendana untuk memenuhi jumlah ulama perempuan itu belum dapat dilakukan. Pertanyaan dan tujuan penelitian ini tidak termasuk inventarisasi ulama perempuan, di samping secara metodologis tidak memungkinkan karena lokasi penelitian yang tidak dicakup seluruh masyarakat (kabupaten/kota) Aceh dan kriteria yang tidak homogen dengan penelitian terkait.
13