PERAN LEMBAGA RAHIMA TERHADAP KADERISASI ULAMA PEREMPUAN
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh DWI AGUNG SUBEKTI NIM : 109011000217
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
ABSTRAK Dwi Agung Subekti (NIM: 109011000217).Peran Lembaga Rahima Terhadap Kaderisasi Ulama Perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran yang dilakukan lembaga Rahima terhadap Kaderisasi Ulama Perempuan, serta aktivitas apa saja yang dilakukan lembaga Rahima agar hal tersebut tercapai. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif sehingga hasil penelitiannya tidak berupa angka-angka melainkan berupa interpretasi dan kata-kata. Pengumpulan datanya dilakukan dengan menggunakan teknik observasi, wawancara, kepustakaan (Library research), dan dokumentasi. Kemudian data-data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan content analysis yakni, dengan cara memilah-milah data yang terkumpul untuk dianalisa isinya sesuai dengan yang dibutuhkan sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. Penelitian ini membuktikan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga Rahima dalam upaya Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan ini melalui beberapa tahapan dan langkah yaitu ; Pertama, penetapan materi. Kedua, perekrutan calon peserta pengkaderan.Ketiga, tadarus. Pertama, penetapan materi dilakukan melalui workshop para peserta Pengkaderan Ulama Perempuan sebelumnya, dimaksudkan agar pengkaderan selanjutnya lebih berisi atau materi yang ada lebih menyeluruh dan padat, sehingga untuk pengkaderan yang dilakukan saat ini materi lebih variatif. Kedua, calon peserta Pengkaderan Ulama Perempuan harus memenuhi kriteria yang telah di tetapkan semisal penguasaan ilmu agama, umur, mempunyai basic komunitas, keterbukaan akan informasi yang baru. Ketiga, tadarus merupakan hal terinti dari pengkaderan ini, tadarus merupakan sebuah pelatihan metode-metode yang dilakukan untuk mengetahui betapa pentingnya peran perempuan di masyarakat, penetapan hukum keislaman yang baru yang sesuai kondisi saat ini, dan peng-advokasian atau pengorganisasian masyarakat. Pengkaderan yang dilakukan oleh lembaga Rahima menghasilkan ulamaulama perempuan yang mengangkat isu-isu kesetaraan gender serta pengorganisasian masyarakat yang berada disekitarnya, baik itu yang berupa majlis taklim, akademisi maupun yang berupa pesantren.
i
ABSTRACT Dwi Agung Subekti ( NIM : 10901100a2fi ). The RoIe of Rahima institution to cadrezation of theologian woman.
This research purpose to know the role and activities that Rahima institution of women theologian.
has been doing to regeneration
In this writing, the writer use qualitative method. The data collected by observation interview, library research, content analysis and documentation. Ail data analized be an objective data so the writer get a conclution.
Based on the research show that the method of regeneration woman theologian have done by institute Rahima with some steps. There are 3 steps that Rahima Institute has been doing. My First step is Material regulation, this step has done by work shop of participants woman theologian cadre before. The goal of this activity is to build the next cadre more qualified and to solid to the material. The second step is the recruihnent of cadre potential participant. It is mean that applicants woman theologian cadre most have come criteria, such as age, the capacity of Islamic knowledge, basic community, and open minded about new information. The third step is leaming the holly book. It is a point of this cadrezation, the cadre studies the holly book to know how important the role of woman in socie[z to establish Islamic law accurancy and to develop public argantration. Cadrezation has been doing by Rahima institution present theologian woman who took issues equalization of gendre, organization for local people in formal or non formal background.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil ‘alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Sang Pemilik langit dan bumi beserta isinya serta pemberi nikmat dan karunia yang tiada tara kepada hamba-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peran Lembaga Rahima Terhadap Kaderisasi Ulama Perempuan”, sebaga salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I). Shalawat serta salam tak luput pula tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sang revolusioner sejati yang telah menuntun umatnya menuju jalan yang penuh keridhoan Allah SWT. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang dihadapi, namun berkat bantuan semua pihak baik secara moril maupun materil, Alhamdulillah hambatan-hambatan tersebut mampu terlewati. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan untaian kata terimakasih yang sangat luar biasa kepada: 1. Yang terhormat Bapak Prof. DR. Ahmad Thib Raya,MA, selaku dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta beserta seluruh stafnya. 2. Yang terhormat Bapak Drs. Abdul Majid Khon, MA selaku Kepala Jurusan Pendidkan Agama Islam yang telah memberi kemudahan dalam setap kebijakan yang belau berikan. 3. Yang terhormat Ibu Marhamah Saleh, Lc., MA selaku sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam yang memberi banyak pengarahan yang bermanfaat bagi penulis. 4. Yang terhormat Ibu Elo al-Bugis, MA. Selaku dosen pembimbing yang sangat luar biasa, yang telah banyak sekali memberikan bimbingan, pengarahan, wawasan ilmu baru, juga nasehat serta waktu yang sangat menyenangkan dalam membimbing penulis. 5. Yang terhormat Bapak Drs. Masan.A.F, MA. Selaku pembimbing akademik yang selalu sabar menghadapi semua keluh kesah dan nasehat-nasehat yang berguna bagi penulis. iii
6. Yang terhormat Bapak dan Ibu dosen beserta staff adminstrasi yang telah memberikan pengetahuan baik teori maupun praktek yang bermanfaat bagi penulis. 7. Yang terhormat Ibu AD Eridani, SH., ketuan badan pelaksana Lembaga Rahima yang telah berseda memberikan izin, tempat, informasi dan nasehat tentang semua permasalahan yang ada dalam laporan skripsi ini. 8. Kepada seluruh Staff lembaga Rahima Ibu AD. Kusumaningtyas M.Si, Bapak Maman Abdurrahman, Mas Mawardi, S,Fil.I, Mba Nurhayati Aida, Ibu Binta Ratih Pelu, dan mas Andi Nasori Riyanto juga kepada Ibu Ulfah Mutiah selaku staff Dokumentasi dan Informasi yang telah meluangkan waktu dan energinya
untuk
membantu
menyelesaikan
semua
administrasi
dan
dokumentasi guna peneltian penulis. 9. Kepada para peserta Ulama Perempuan Rahima yang telah memberikan waktunya untuk dapat menyempatkan diri diwawancarai oleh penulis walau dalam kesibukan sehari-harinya, penulis sangat berterima kasih. 10. Yang terhormat dan tercinta Ayahanda Suroto dan Ibunda Suginem, yang telah memberikan semua kasih sayangnya, memberikan pelajaran hidup yang berharga, menuangkan segala norma hidup baik secara hukum maupun Islam, menaburkan pengorbanan nan jerih payah demi keberhasilan dan kebahagiaan penulis, sehingga dengan untaian doa di setiap sujudnya juga hentakan motivasinya memberikan kobaran semangat dalam menyelesaikan tugas skripsi ini. 11. Kepada seluruh keluarga penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas semua doa dan dukungannya selama penyusunan skripsi ini. 12. Kepada seluruh teman seperjuangan di PAI angkatan 2009 khususnya kelas F, yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. Terimakasih telah memberikan kenangan yang indah saat berada di bangku perkuliahan juga semangat dan motivasi dalam merubah diri penulis menjadi lebih baik lagi. 13. Terimakasih kepada seluruh keluarga besar PMII Rayon PAI Jakarta, terkhusus sahabat Supardi, Lala, Abdul Aziz, Aziz Januardi, Yeni Atikasari,
iv
Wasiatul Riski, atas semua waktu yang telah dicurahkan, semoga kebersamaan kita akan selalu terjaga. 14. Rekan-rekan guru dan karyawan SDIT Al-Hikmah, yang Alhamdulillah dengan segala dukungan dan motivasi yang diberikan penulis dapat menyelesaikan tugas ini. 15. Sri Mailina yang senantiasa mendoakan, membantu, dan memberikan dukungan kepada penulis hingga selesainya tulisan ini. 16. Serta semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu dalam lembaran ini, penulis ucapkan terima kasih. Serta hadiah terimakasih penulis kepada semua teman dan semua orang yang dikenal oleh penulis, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Mudahmudahan bantuan, bimbingan, semangat dan doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridha dan kasih saying Allah SWT. di dunia dan di akhirat kelak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya.Amin.
Jakarta, 10 April 2015 Penulis
DWI AGUNG SUBEKTI
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL PERNYATAAN KARYA SENDIRI PENGESAHAN PEMBIMBING PENGESAHAN PENGUJI ABSTRAK ............................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
v
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................
1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................
7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................
8
D. Tujuan dan manfaat penelitian .................................................
8
KERANGKA TEORI A. Kerangka Teori ........................................................................ 10 1. Peran a. Pengertian Peran ............................................................ 10 b. Tinjauan Sosiologi Tentang Peran ................................. 12 2. Pengkaderan a. Pengertian Pengkaderan ................................................ 14 b. Sistem Kaderisasi ........................................................... 15 3. Ulama Perempuan a. Pengertian Ulama ........................................................... 16 b. Tugas dan Fungsi Ulama ............................................... 18 c. Macam dan Kriteria Ulama ............................................ 22 4. Ulama Perempuan Indonesia a. Rahmah el Yunisiah…… ................................................ 26 b. Prof. Dr. Zakiah Daradjat................................................ 29 c. Tutty Alawiyah ……… ................................................. 33 vi
d. Hj. Nonoh Hasanah……………. .................................... 36 B. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 38
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 39 B. Tujuan dan manfaat penelitian ................................................. 39 C. Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 40 D. Pengolahan Data ....................................................................... 41 E. Tekhnik Analisis Data .............................................................. 41 F. Fokus Penelitian ....................................................................... 42
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Objek Penelitian 1. Sejarah lembaga Rahima .................................................... 43 2. Visi dan Misi Rahima ......................................................... 45 3. Struktur Organisasi ............................................................. 46 4. Jenis Kegiatan a. Pendidikan ...................................................................... 48 b. Publikasi dan Penyebaran Informasi .............................. 48 B. Deskripsi Penelitian 1. Sejarah Pengkaderan Ulama Perempuan ............................ 49 2. Tujuan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ............... 51 3. Pendekatan Pembelajaran Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ................................................................................ 53 4. Kurikulum Pengkaderan Ulama Perempuan a. Tadarus ........................................................................... 55 b. Materi Belajar ................................................................ 69 c. Metode Belajar ............................................................... 70 5. Persyaratan Pengkaderan Ulama Perempuan ..................... 71
vii
a. Penguasaan Dasar Ilmu Agama ..................................... 71 b. Mempunyai Basic Komunitas ........................................ 72 c. Mau Terbuka dengan Informasi Terbaru ....................... 72 d. Kriteria Umur ................................................................. 72 e. Tidak Beraliasnsi dengan Partai Politik ......................... 73 6. Lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan a. Pesantren ........................................................................ 73 b. Akademis ....................................................................... 74 c. Aktivis ............................................................................ 74 7. Faktor Pendukung dan Penghambat a. Faktor Pendukung .......................................................... 75 b. Faktor Penghambat ........................................................ 76 8. Pendanaan ........................................................................... 76
C. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Aktivitas Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ............ 77 a. Langkah-langkah
Pendidikan
Pengkaderan
Ulama
Perempuan ...................................................................... 77 b. Pendekatan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ........................................................................... 79 c. Kurikulum Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan
81
2. Lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima .............. 85
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 91 B. Saran .......................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 93 LAMPIRAN - LAMPIRAN
viii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Uji Referensi
Lampiran 2
Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 3
Surat Izin Permohonan Penelitian di Lembaga Rahima
Lampiran 4
Surat Pernyataan Telah Melakukan Penelitian di Lembaga Rahima
Lampiran 5
Laporan Hasil Wawancara
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Islam merupakan agama dakwah yang ditujukan kepada seluruh umat manusia diberbagai penjuru dunia. Dakwah Islamiyah yang memiliki misi amar ma`ruf nahi munkar dengan berpegang teguh pada perintah Allah serta seruan nabinya yang mampu membangun kesholehan dan pembentukan karakter seluruh manusia. Untuk menegakkan agama Allah maka dakwah yang dilakukan berupa mengajak manusia kedalam jalan kebaikan. Menyeru untuk mengerjakan yang ma`ruf dan melarang untuk mengerjakan kemungkaran. Sehingga kewajiban berdakwah berlaku bagi kaum muslim tanpa terkecuali baik dia laki-laki maupun perempuan. Hal ini terlihat pada bidang dakwah yang tersedia mengharapkan sentuhan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan keimanan dan tetakwaan kepada Allah SWT. Ulama adalah orang yang tahu atau orang yang memiliki ilmu agama, atau orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Di Indonesia, istilah ulama atau alim ulama yang semua dimaksudkan sebagai bentuk jama` berubah pengertian menjadi bentuk tunggal, untuk itu kata ulama sering digunakan meskipun untuk menunjukkan orang yang dikategorikan alim. Selain itu ulama merupakan gambaran mereka hamba Allah yang beriman, bertaqwa, menguasai ilmu kauniyah, dan tanziliyah, berpandangan hidup luas, dan beribadah dengan landasan rasa takut kepada Allah SWT.1 Selain itu ulama memiliki posisi yang istimewa di dalam Islam. Ulama diberi predikat sebagai pewaris para nabi, pewaris dalam artian, sebagai penggati nabi dalam mendakwahkan agama beliau serta mengajak umat manusia untuk mengerjakan kebaikan dan menjauhi kemungkaran. ulama adalah lampu yang 1
Badruddin Hsubky, Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman, ( Jakarta : Gema Insani Press , 1995), cet ke-I, hal 44.
1
2
menyinari umatnya dimaksudkan peran ulama yang mampu dijadikan petunjuk bagi siapa saja yang ada disekitarnya, mampu menjadi pencerah serta mampu dijadikan cermin bagi kita dalam melakukan kebaikan.Bahkan menurut al-Qur`an, ulama adalah orang yang paling dekat dan paling takut kepada Allah. Firman Allah dalam surat Fathir ayat 28 dinyatakan :
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S Fathir :28) Itu semua disebabkan karena betapa tinggi dan mulianya derajat seorang ulama, baik dipandangan sesama manusia maupun dipandangan Allah. Ayat dia atas menegaskan bahwa bukan hanya raga mereka ingat Allah namun juga hati dan pikirannya senantiasa mengingat Allah. Umat yang tidak dibimbing oleh ulama akan menjadi umat yang tersesat, mereka dapat terjerumus oleh godaan setan menuju kenistaan serta kehinaan di pandangan Allah. Oleh karena itu betapa central serta pentingnya peran seorang ulama ditengah-tengah masyarakat khususnya di era global seperti saat ini. Para ulama di ibaratkan seperti lampu, yang terangnya mampu menerangi jalan kita sehingga mampu menunjukkan kita kejalan yang benar jalan yang Allah ridhoi bukan jalan yang Allah murkai apalagi jalan kesesatan. Maka jelas betapa besar pahala atau keutamaan seorang ulama yang mana semua keutamaan tersebut berbanding dengan tanggung jawabnya selaku panutan bagi masyarakat. Diatas amat terlihat jelas bagaimana peran vital serta pentingnya eksistensi ulama dalam membangun serta menuntun umat. Hubungan sosial-keagamaan antara hubungan mereka dengan tuhan dan hubungan mereka dengan masyarakat menjadi sebuah hal yang wajib dalam keseharian mereka, sebagai pengemban risalah kenabian.
3
Tujuan
lembaga
pendidikan
Islam
khususnya
pesantren,
adalah
mempersiapkan ulama yang beriman kokoh dan memahami hukum Islam sehingga sanggup mengatasi segala tantangan zaman. Mereka harus bersabar, bersyukur, ikhlas, dan bertobat. Mereka bersabar jika dihadapkan masalah, bersyukur bila diberi karunia oleh Allah SWT, ikhlas bila beribadah, dan segera bertaubat bila berbuat kesalahan. Kebutuhan akan ulama yang demikian sudah semakin mendesak. Sebab, perubahan sosial yang dipengaruhi pola kebudayaan barat banyak menimbulkan persoalan yang kompleks.2 Dari kesemua itu terlihat betapa pentingnya peran serta eksistensi ulama yang dibutuhkan masyarakat pada saat ini. Secara umum, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang hampir seimbang , baik itu dalam pendidikan maupun dalam pekerjaan, namun dalam peruntukan dan pendahyagunaan perempuan sebagai ulama terbilang masih cukup rendah, baik yang terlihat pada level sumbangan perorangan dan keluarga maupun organisasi. Hal ini diakibatkan adanya pemikiran yang sangat konservatif dari kalangan ulama salafi terutama, yang memandang sebelah mata peran wanita dalam kaca mata islam, sehingga peran wanita dalam menjalankan kehidupan seakan-akan dibatasi oleh rambu-rambu ajaran islam itu sendiri. Saya kira harus ada paradigma yang progresif mengenai peran wanita dalam islam dengan paradigma kesetaraan gender yang tetap berpegang teguh kepada sumber ajaran utama islam yaitu, Al-Qur’an dan Hadis. Kesadaran akan pentingnya sensitivitas gender dan kepedulian terhadap kelompok perempuan baru-baru ini saja muncul. Namun kesadaran ini belum mencapai mainstream dan terbatas di beberapa organisasi perkotaan nasional. Padahal keberpihakan terhadap kelompok perempuan dan isu gender dalam kegiatan pendidikan Ulama sangat penting. Bukan saja karena perempuan merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan, dan ketidakadilan, tetapi karena perempuan memiliki peran penting dalam menciptakan masyarakat 2
Ibid. 66-67
4
yang lebih baik terkhusus bagi kalangan mereka, yaitu kalangan perempuan. Dan dalam kemunculan isu gender terutama mengenai pendidikan ulama perempuan banyak sekali kritik dari para ulama laki-laki itu sendiri terutama para ulama konservatif seperti yang mengatasnamakan Forum Kajian Islam Tradisional (FKIT) yang beranggotakan kyai-kyai muda dari berbagai pesanren yang mencoba membongkar kesesetan dan kekeliuran yang telah dilakukan untuk pengkaderan ulama perempuan. Tentunya kritikan tersebut bukan tanpa adanya referensi yang digunakan para ulama muda tersebut, akan tetapi para ulama tersebut mengkritik atas paradigma dari kitab-kitab tentang wanita yang bersifat klasik seperti, kitab Uqud Al-Ujayn karangan Syeikh Nawawi Al-Bantani. Dan kabarnya kitab itu pun sempat dikritik oleh para cendikiawan muslim seperti yang mengatasnamakan FK3 (Forum Kajian Kitab Kuning) yang melakukan interperetasi terhadap sumber hukum islam berdasarkan kesetaraan gender, yang akhirnya mereka berinisiatif mendirikan lembaga untuk melakukan pengkaderan ulama wanita. Dalam sumber utama umat islam yaitu Al-Qur`an, perempuan diposisikan sejajar dengan laki-laki termasuk dalam menyeru dalam kebaikan, seperti firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 71 :
Artinya : “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan RasulNya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( Q.S At-Taubah 71 ) Dari ayat diatas terlihat bagaimana persamaan antara hak dan kewajiban seorang mukmin dengan mukmin lainnya dalam mengajarkan amar ma`ruf nahi munkar. Tidak membedakan apakah dia seorang laki-laki ataupun perempuan, keduanya mempunyai eksistensi kewajiban yang sama dalam menyeru, mengajak
5
serta menjalankan kebaikan. Selain itu kandungan ayat diatas menjelaskan anjuran kerja sama yang baik bagi umat Islam untuk sama-sama berperan dalam menjalankan ketauhidan. Begitu juga sebagaimana yang disebutkan dalam AlQur`an Surat An-Nisa ayat 124 :
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” ( Q.S An-Nisa : 124 )
Tidak ada batasan dalam ketaatan, serta anjuran dalam menegakkan amar ma`ruf nahi munkar, semua itu ada balasan serta ganjaran disisi Allah SWT. Kesemuanya baik laki-laki maupun perempuan dituntut untuk beramal sholeh, berprilaku baik serta mampu mengajak yang lainnya dalam kebajikan. Sebagaimana yang yang dikemukakan Jajat Burhanudin dalam bukunya “ Ulama Perempuan Indonesia” mengatakan ; ”Hingga saat ini, istilah “ ulama “ yang dipahami muslim Indonesia mengacu pada mereka yang berjenis kelamin laki-laki, secara sosialkeagamaan menguasai kitab kuning, dan memimpin pesantren. Kajian para sarjana tentang ulama juga membuktikan demikian, nama tokoh laki-laki senantiasa menghiasi lembaran karya para sarjana tentang ulama. Oleh karena itu ketika istilah “ ulama perempuan “ dimunculkan, perdebatan untuk tidak menyebut kontrofersi sempat berkembang meski dikalangan terbatas. Pengetahuan kami dan juga orang lain tentang ulama, dan kedekatan kami dengan perempuan, nampaknya tidak membuat kami akrab dengan istilah “ ulama perempuan “. Istilah tersebut tetap asing, bahkan bagi mereka yang terlibat dalam wacana sosial-intelektual Islam Indonesia.”3
3
Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002 ), Hal.vii.
6
Kaum perempuan di Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk berkiprah dalam berbagai bidang, termasuk di ranah keulamaan dan keilmuan. Perempuan muslim tidak hanya bebas untuk memperoleh pendidikan baik formal maupun non formal tetapi juga untuk tampil di ruang publik. Tentunya hal ini tidak mudah untuk diaplikasikan karena kita harus merubah pola pikir masyarakat dalam memandang peran perempuan selama ini yang selalu dibatasi dalam pergerakannya terutama dalam hal pendidikan, dan peran selama ini. Tidak mengherankan memang hal ini bisa terjadi terutama dikalangan umat beragama Islam, yang menyatakan bahwa peran wanita terutama yang sudah berkeluarga sangatlah sempit dan banyaknya rambu-rambu yang harus ditaati. Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi tentang Islam dan Hak-hak Perempuan adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dalam perpektif Islam.4 Awalnya Rahima merupakan sebuah divisi bernama Fiqh an-Nisa (FN) yang bernaung dibawah Perhimpunan Pengembangan Pesantren (P3M). Rekan kerja FN yang utama selama masa kerja enam tahun ( sejak 1994-2000) adalah pesantren, lembaga keagamaan tradisional yang berpengaruh dalam masyarakat Indonesia. Rahima didirikan untuk merespon kebutuhan informasi mengenai gender dan Islam. Rahima berdiri pada tanggal 5 Agustus 2000 dan keberadaannya disahkan oleh Notaris pada tanggal 11 September 2000 di Jakarta. Lembaga ini memulai aktivitasnya pada bulan Pebruari 2001. 5 Rahima itu sendiri telah menyatakan sebagai organisasi yang kegiatnnya berpusat pada pendidikan dan informasi tentang hak-hak perempuan dalam islam. Yang mengaharuskan rahima memiliki kerangka pandang yang jelas dan mempunyai tempat berpijak yang kokoh untuk mengembangkan programprogramnya. Oleh karena itu ia perlu melakukan dekonstruksi terhadap wacana keagamaan yang bias gender, atau fiqh klasik yang patriarkhal dan 4 5
www.rahima.or.id April 2014 Swara Rahima , No I, Thn I, Mei 2001, Hal.3
7
mengembangkannya menjadi fiqh yang bersifat egaliter.6 Tentunya ini merupakan langkah positif bagi perempuan khususnya karena rahima yang merupakan salah satu organisasi non-pemerintah yang selalu memperjuangkan hak-hak keadilan setiap perempuan. Pada awalnya Rahima berfokus pada pendidikan kritis dan penyebaran informasi tentang hak-hak perempuan di lingkungan pesantren. Kemudian karena tuntutan kebutuhan masyarakat , Rahima memperluas jangkauannya pada berbagai kelompok di luar pesantren seperti pada madrasah, para guru di lingkup sekolah agama maupun guru agama Islam di sekolah negeri, majelis ta’lim, organisasi perempuan muslim, organisasi kemahasiwaan, dan berbagai LSM. Sementara itu, selain memperluas jangkauan kegiatan, rahima pun telah mengembangkan
kegiatan-kegiatan
yang
bersifat
kesetaran
dalam
memperjuangkan gender, dan salah satu program kegitan yang sangat bagus dan sedikit mengundang kontroversial dikalangan para ulama konservatif adalah pengkaderan ulama perempuan. Oleh sebab itu, disini penulis akan menggali lebih jauh bagaimana peran yang di canangkan lembaga Rahima terhadap Pengkaderan Ulama Perempuan, serta aktivitas apa saja yang dilakukan lembaga Rahima agar hal tersebut tercapai. Dengan maksud tersebut penulis mengajukan skripsi yang berjudul “ PERAN LEMBAGA RAHIMA TERHADAP KADERISASI ULAMA PEREMPUAN ” B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut : 1. Kewajiban seorang muslim untuk berdakwah dalam menyerukan amar ma`ruf nahi munkar
6
Hilmi ali Yafie , The Rahima Story ,( Jakarta : Rahima , 2010 ), Cet.I, hal.6-7.
8
2. Masih adanya kecenderungan memaknai kata ulama hanya bagi mereka kaum laki-laki yang mampu berdakwah, taat dan pandai dalam urusan Agama. 3. Masih minimnya perhatian pendidikan terhadap kaum perempuan 4. Kurangnya kajian wawasan keagamaan khususnya bagi kaum perempuan 5. Masih minimnya jumlah ulama perempuan di Indonesia C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar penelitian dan penulisan ini lebih terfokus, maka penulis hanya membatasi pada aktivitas lembaga Rahima terhadap Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan . 2. Perumusan Masalah Sedangkan perumusan masalah berdasarkan pembatasan masalah tersebut yaitu: bagaimana peran yang dilakukan lembaga Rahima dalam upaya Pengkaderan Ulama Perempuan ? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui aktivitas yang dilakukan lembaga Rahima terhadap Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan. b. Untuk mengetahui out put yang diharapkan oleh Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima . 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat akademik Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi dalam perkembangan di bidang pendidikan Islam dan aplikasinya, serta sebagai
9
jawaban
terhadap
deskriminasi
pendidikan
wanita
dalam
upaya
berdakwah. b. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan acuan atau perbandingan praktisi, intistusi-intistusi atau lembaga-lembaga yang mengadakan pelatihan pendidikan dalam upaya mendidik kader ulama khususnya kader ulama perempuan serta meningkatkan keimanan serta akhlak sesuai realita perkembangan zaman.
BAB II KERANGKA TEORI A. Kajian Teori 1. Peran a.
Pengertian Peran Dalam proses hubungan antar sesama manusia, sudah barang pasti dalam hubungan tersebut terdapat sebuah peranan, peranan dalam artian antar sesama manusia tersebut memiliki rasa membutuhkan akan suatu hal yang dia tidak miliki dan orang lain memilikinya. Tentu saja setiap manusia mempunyai peranan dan sudah pasti peranan tersebut akan berbeda tergantung dengan kedudukan dalam sosial masyarakatnya masing-masing. Oleh karena itu berbicara mengenai peranan, tentu tidak terlepas dari pembicaraan mengenai kedudukan atau status. Seseorang dikatakan berperan atau memiliki peranan karena orang tersebut mempunyai sebuah kontribusi, begitu pula halnya sebuah lembaga, lembaga bisa dikatakan berperan ketika lembaga tersebut memiliki sebuah andil besar dalam menaungi masyarakat dalam suatu perihal tertentu. kata peranan berasal dari kata “ peran “ yang berarti “ mengambil bagian atau turut aktif dalam suatu kegiatan”. 1 sedangkan peranan berarti tindakan yang dilakukan seseorang atau sesuatu yang terutama dalam terjadinya sesuatu hal atau peristiwa. dalam kamus besar bahasa Indonesia peranan di artikan bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.2 Menurut N.Grass.W.S.Masson dan A.W.Mc.Eachern sebagaimana yang dikutip oleh David Barry mendefinisikan peranan sebagai seperangkat harapanharapan yang dikenakan pada induvidu yang menempati kedudukan sosial 1 2
A.Arifin, Kamus Ilmiah Populer , (Bandung : Rajawali Press, 2004), cet ke 4, hal. 60. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : balai pustaka 1998), hal. 667.
10
11
tertentu. Harapan tersebut masih menurut David Barry, merupakan hubungan dari norma-norma sosial, oleh karena itu dapat dikatakan peranan-peranan itu ditentukan oleh norma-norma dalam masyarakat. Artinya, seseorang diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan oleh masyarakat di dalam pekerjaannya dan pekerjaan yang lainnya.3 Selanjutnya menurut Abu Ahmadi dalam buku “ Psikologi Sosialnya menerangkan bahwa “, peranan adalah suatu penghargaan manusia terhadap caranya induvidu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya.4 Hal ini mengartikan bahwa setiap orang menginginkan orang lain menyesuaikan sikap dan tingkah laku sesuai dengan statusnya serta menjalankan hak dan kewajibannya. Dalam teorinya Biddle dan Thomas membagi peristilahan dalam teori peran ada 4 golongan yaitu : 1) Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial 2) Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut 3) Kedudukan antara orang-orang dan perilaku 4) Kaitan antara orang dan perilaku.5 Lebih lanjut, menurut Getzels dan E.G. Guba dalam M.Arifin mengatakan bahwa gaya hubungan leadership-followership, peranan seseorang dapat mengubah tingkah laku masyarakat berikut penjelasannya : 1) Role Expectation, pengharapan dari masyarakat kepengikutan kepada peranan kepemimpinan. 2) Need Disposition, kecendereungan pribadi manusia kepada pemenuhan kebutuhan. 3
David Barry, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, ( Jakarta : PT Raja grafindo persada, 1995 ), cet ke 3, hal. 99. 4 Abu Ahmadi , Psikologi Sosial ( Jakarta : Rineka Cipta,1991 ), hal. 114. 5 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, ( Jakarta : CV.Rajawali, 1984 ), hal.234.
12
3) Social Behavior, tingkah laku pribadi dan social dalam masyarakat akibat proses kepemimpinan-kepengikutan.6 Dari teori peranan diatas banyak terdapat kecenderungan akan pengertian peran yang lebih mengacu kepada bagaimana upaya seseorang, induvidu atau kelompok mampu mengambil sebuah tindakan atau perbuatan berdasarkan status dan fungsi sosialnya, sesuai norma atau kebutuhan masyarakat dalam artian individu atau kelompok yang bersangkutan sudah mampu berkontribusi terhadap masyarakat sesuai kebutuhan masyarakat dan dilandasi atas norma yang berlaku dimasyarakat sebagai upaya pemenuhan kebutuhan antar induvidu dan induvidu, induvidu dan kelompok, kelompok dan kelompok.
b. Tinjauan Sosiologi Tentang Peran Ditinjau dari segi sosiologi, tidak dapat dipungkiri bahwasannya manusia adalah mahluk sosial, yang tidak dapat melepaskan ketergantungan pada mahluk lain atau manusia lainnya, maka pada posisi semacam inilah peran sangat menentukan kelompok social masyarakat tersebut, dalam artian diharapkan masing-masing dari social masyarakat yang berkaitan agar menjalankan perannya
yaitu : menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya dalam masyarakat ia tinggal. Hubungan-hubungan social yang ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peran-peran induvidu dalam masyarakat. Peran yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat ( social position) merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat induvidu pada organisasi
6
hal.99.
M. Arifin, Psikologi Dakwah; Suatu Pengantar Studi, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2000 ),
13
masyarakat. Jadi seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peran.7 Didalam peran menurut David Berry terdapat dua macam harapan, yaitu : 1) Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran. 2) Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dan menjalankan perannya atau kewajiban-kewajibannya.8 Dari kutipan tersebut nyatalah bahwa ada suatu harapan dari masyarakat terhadap seorang induvidu untuk menjalankan sebuah peran, yang mana peran tersebut adalah sebuah tanggung jawab yang harus dijalankan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan proposisi dirinya yang sesuai dengan kedudukan dalam lingkungan tersebut. Induvidu dituntut untuk mampu menjalankan peran yang telah diberikan masyarakat kepada individu tersebut. Dalam hal ini peran dapat dilihat sebagai bagian dari struktur masyarakat, misalnya peran-peran dalam keluarga, pekerjaan, kekuasaan dan peran-peran lainnya yang mampu dibuat sesuai dengan kegunaan peran tersebut. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu peran tidak dapat berjalan tanpa adanya suatu kedudukan atau proposisinya. Dengan adanya kedudukan atau posisi tersebut maka peran dapat berjalan sesuai dengan tugas yang dimiliknya atau menjadi tanggung jawabnya. Dengan pemenuhan akan kewajibannya maka akan terlihat status peran seseorang dalam menjalankan sebuah tugasnya yang telah diberikan dalam pembagian kedudukan. Dan peran itu sangatlah penting karena peran merupakan simbol seseorang memiliki peran sebagai tugasnya yang telah diberikan.
7
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet.Ke-34 hal.243. 8 N.Gross, W.S. Mason and A.W.Mc Eachern. Exploritations In Role Analiysis, dalam David Berry, Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada 1995 ), Cet. Ke-3 hal.101.
14
B. Pengkaderan a.
Pengertian Pengkaderan Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia ada beberapa artian kader. Pertama, kader sebagai tentara atau perwira di ketentaraan. Kedua, orang yang diharapkan memegang peran yang penting di pemerintahan, partai, dsb. Sedangkan pengaderan merupakan proses, cara, perbuatan, mendidik atau membentuk seseorang menjadi kader.9 “ pada awalnya kader merupakan suatu istilah militer atau perjuangan yang berasal dari kata carde yang didefinisikan sebagai pembinaan yang tetap sebuah pasukan inti yang sewaktu-waktu diperlukan.”10 Kader dalam kamus ilmiah populer adalah orang yang didik untuk menjadi pelanjut tongkat estapet suatu partai atau organisasi. 11 Dari pengertian diatas maka kaderisasi dapat diartikan sebagai upaya regenerasi terhadap sebuah tonggak kepemimpinan baik didalam pemerintahan, partai maupun sebuah lembaga, ini semua dimaksudkan agar sebuah sistem kelembagaan terus berkelanjutan tidak hanya terhenti sampai disitu saja. Sedangkan pengkaderan merupakan usaha atau proses perbuatan mendidik sebagai upaya mencari generasai selanjutnya yaitu kader. Mengapa kaderisasi diperlukan ? karena setiap manusia yang sekarang menjadi pemimpin suatu saat akan mengakhiri kepemimpinannya . pengakhiran dari proses kepemimpinan terjadi karena beberapa hal diantaranya : 1) Dalam suatu organisasi ada ketentuan periode seseorang 2) Adanya penolakan dari anggota kelompok, yang menghendaki pemimpinnya diganti baik secara wajar maupun tidak wajar. 3) Proses alamiah, menjadi tua atau kehilangan kemampuan dalam memimpin, 9
Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1988 ),h.488 10 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, ( Bandung : PT. Remaja Rosada Karya, 2000 ), cet Ke-3, h. 54-56 11 Pius A. Partanto, M. Dahlan A-Barry , Kamus Ilmiah Populer, ( Surabaya: 1994 ), hal 293294
15
4) Kematian, kematian merupakan hal yang tidak bisa ditolak oleh setiap manusia. 12 b.
Sistem Kaderisasi Dikarenakan ada batas waktu atau masa berakhirnya suatu jabatan dalam sebuah kepemimpinan, maka perlu kiranya diadakan suatu kaderisasi. Adapun langkah-langkah atau tahapan dalam aktivitas pengkaderan adalah sebagai berikut ; 1) Seleksi kader potensial sejak dini. Seleksi ini menyangkut kemampuan akademis, kualitas kepribadian, maupun kemampuan komunikasi sosialnya. 2) Pendidikan umum dan pendidikan khusus yang menunjang kebutuhan kader untuk melaksanakan tugas di masa yang akan datang di pesantren. 3) Evaluasi bertahap, baik yang menyangkut kemampuan personal akademik, maupun sosialnya. 4) Pendidikan remedial bagi santri kader yang mengalami ketertinggalan dalam proses pendidikan yang ditargetkan. 5) Praktek magang, untuk mempraktekkan hasil-hasil pendidikan kader yang telah diterima. 6) Sertifikasi kader untuk menentukan apakah seorang kader telah memenuhi target yang di tetapkan atau masih belum.13
Dengan cara yang demikian diharapkan aktivitas dalam mencari kader lanjutan dapat berjalan dengan maksimal, dengan tujuan antara kader atau pemimpin yang ada pada saat ini tidak mengalami kemerosotan dalam kepemimpinan yang selanjutnya atau antara generasi yang sekarang dengan generasi yang selanjutnya tidak terjadi kesenjangan.
12
Rivai Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi , ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006 ), cet ke-3, hal.85 13 Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo dkk, Manajemen Pondok Pesantren,( Jakarta : Diva Pustaka, 2005 ), cet ke-2, hal.55
16
C. Ulama Perempuan a.
Pengertian Ulama Ulama Perempuan terdiri atas dua suku kata “ ulama” dan “perempuan”. Adapun pegertian dari ulama yaitu, Ulama umumnya didefinisikan secara intelektual sebagai orang yang memiliki kelebihan pengetahuan tentang Islam ( paling tidak, ia dikenal sebagai penceramah, penulis Islam, atau pemimpin pesantren). Menurut Jalaluddin Rakhmat ada beberapa definisi makna pemimpin Islam. Pertama, pemimpin Islam sebagai pemimpin masyarakat yang beragama Islam. Kedua, Pemimpin Islam ialah para ulama yang memiliki pengikut ditengah-tengah masyarakat. Ulama tak lagi diisyaratkan sebagai ahli faqih, tetapi boleh juga cendikiawan islam yang memiliki pengetahuan mendalam tentang disiplin ilmu tertentu.14 Menurut prof. Dr. Quraish Shihab kata `Ulama adalah bentuk jama` dari kata alim yang terambil dari kata alima yang berarti mengetahui secara jelas. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa definisi ulama yaitu orang yang mengetahui tentang fenomena sosial dan alam yang terkandung didalam kitab suci. Hanya saja dari pengetahuan fenomena sosial dan alam serta kandungan kitab suci harus memiliki rasa khassyah ( rasa takut dan kagum kepada Allah SWT ).15 Adapun kata al-`ulama` dinyatakan dalam firman Allah:
“dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
14
Jajat Burhanudin, Ulama Perempuan Indonesia, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002 ), Hal 290-291 15 M.Quraish Shihab, Secerah Cahaya illahi; Hidup bersama Al-Qur`an, ( Bandung : Mizan , 2000 ), hal 39
17
Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ( Q.S Fathir :28) Dari penjelasan ayat diatas mengisyaratkan bahwa definisi ulama merupakan hamba Allah SWT yang beriman , bertaqwa, menguasai ilmu kawniyyah ( fenomena alam ) maupun bersifat qur`aniyah, berpandangan hidup yang luas, dan beribadah dengan landasan rasa takut dan kagum kepada ALLAH SWT, takut khasyyah merupakan sifat khusus ulama.16Ibnu Asyur dan Thabathaba`i sebagaimana yang dikutip oleh Quraisy Shihab mengatakan bahwa ulama adalah orang yang mendalami ilmu agama.17 Selanjutnya Thabathaba`i menulis bahwa ulama adalah “ orang yang mengenal Allah SWT dengan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatanNya, pengenalan yang bersifat sempurna sehingga hati mereka menjadi tenang dan keraguan serta kegelisahan menjadi sirna, dan nampak pula dampaknya dalam kegiatan mereka sehingga amal mereka membenarkan ucapkan”.18 Ahmad Mustafa Bisri, yang dikutip oleh Subhan bahwa ulama memang berasal dari bahasa arab dan semua merupakan bentuk jamak dari kata `alim yang berarti mengetahui, orang pandai, orang yang pandai dalam ilmu apapun dikategorikan sebagai ulama istilah itu kemudian berkembang dan tepatnya menciut sehingga lebih banyak digunakan untuk menyebut mereka yang ahli ilmu agama Islam, bagi mereka yang mengerti literature “ Kitab Kuning “ istilah ulama umumnya difahami dalam konotasi yang tidak terbatas untuk menunjukan orang-orang yang berilmu agama.19 Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan bahwa ulama selalu di identikkan dengan orang yang mengusai ilmu agama, terutama sebutan bagi 16
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur`an volume 11, ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ), hal.465 17 Ibid hal.466 18 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur`an volume 11, ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ), hal.466 19 Subhan, Ulama-ulama Oposan, ( Bandung : PT.Hidaya IKAPI, 2000 ) , hal 7
18
agama islam. Di mana ulama memiliki peran yang cukup andil dalam usaha mengeksiskan penyiaran dan pengajaran agama islam. Namun bukan sampai disitu saja mereka ulama adalah yang mempunyai rasa taqwa kepada Allah serta mempunyai hubungan sosial yang baik kepada masyarakat. Sedangkan ulama perempuan adalah mereka yang berjenis kelamin perempuan yang menguasai ilmu agama serta menyebarkan agama tersebut, serta mempunyai rasa taqwa kepada Allah. Sebenarnya kata ulama sendiri pun sudah mewakili laki-laki ataupun perempuan. Menurut Azyumardi Azra seperti yang dikutip oleh Jajat Burhanuddin mengatakan, beliau mengkritik bahwa “ penggunaan istilah “ ulama perempuan” justru mengandung bias gender. Menurutnya, istilah “ ulama perempuan “ jika dilihat dari perspektif gender merupakan sebuah ironi, sebab istilah “ ulama” sejak awal penggunaan kata ini pada dasarnya merupakan istilah “ gender neutral “. Dalam bahasa Arab tidak ada padanan muannats-nya. Artinya , istilah” ulama “ bisa mengacu pada lakilaki atau perempuan tanpa harus menambahkan kata laki-laki atau perempuan dibelakangnya.”20 Dari kutipan tersebut diatas terlihat jelas bahwa sebenarnya penamaan “ Ulama Perempuan “ justru akan mengandung unsur bias gender yaitu pemisahan antara laki-laki dan perempuan padahal seperti yang kita ketahui diatas bahwa kata Ulama adalah kata majmu` atau jama`, di maksudkan didalam unsur lakilaki sebenarnnya sudah mengandung unsur perempuan didalamnya. Dengan demikian Istilah Ulama di mempunyai makna yang sangat luas di banding dengan ketika kita menyebutkan istilah Ulama Perempuan. b. Tugas dan Fungsi Ulama Menurut M. Dawan Raharjo sebagaimana yang dikutip oleh Armai Arief dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, disebutkan bahwa: “ para ulama, menurut suatu Hadits Nabi SAW 20
Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002 ), Hal. xxviii
19
Adalah pewaris para nabi. Dengan demikian maka tugas dari ulama adalah meneruskan misi dan perjuangan para nabi dalam menyampaikan agama Allah kepada manusia”.21 Secara garis besar ada empat tugas yang harus dilaksanakan ulama, baik ulama laki-laki maupun ulama perempuan dalam kedudukannnya sebagai ahli waris atau pewaris para Nabi, yaitu : 1)
Menyampaikan ajaran kitab suci dalam artian Tabligh. Karena Rasulullah diperintahkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya 22:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Q.S Al-Maidah : 67 ) Ayat ini mengingatkan kepada nabi Muhammad SAW agar menyampaikan ajaran agama Islam kepada para pemuka agama Yahudi dan Nasrani dan sebagainya tanpa menghiraukan kritik ancaman mereka, karena Allah berjanji kepada Nabi Muhammad SAW bahwa beliau akan dipelihara oleh Allah dari segala macam gangguan.23
21
Armai Arief, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, ( Bandung : Angkasa, 2005 ), hal.101. 22 M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur`an, ( Bandung : PT Mizan,1997 ),hal.385 23 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur`an volume 3, ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ),hal 157
20
2) Menjelaskan ajaran-ajaran Al-Qur`an baik yang tersurat maupun yang tersirat 24.
“ Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (Q.S An-Nahl : 44 ) Ayat ini menugaskan kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjelaskan Al-Qur`an baik yang tersurat maupun yang tersirat. Memang As-Sunah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur`an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara` yaitu menguatkan serta memperjelas yang terdapat dalam As-Sunah dan harapan kiranya mereka berpikir menyangkut dirimu ( Nabi Muhammad ) bahwa apa yang disampaikan itu adalah kebenaran yang bersumber dari Allah SWT.25 3) Memberi putusan dan solusi problem dari perselisihan masyarakat sejalan dengan firman-Nya 26:
24
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur`an, ( Bandung : PT Mizan,1997 ),hal.385 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur`an volume 7, ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ),hal 238 26 M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur`an, ( Bandung : PT Mizan,1997 ),hal.385 25
21
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendakNya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Q.S Al-Baqoroh : 213 ) Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia sebagai mahluk sosial yang salin berkaitan dan saling membutuhkan. Tetapi manusia tidak mengetahui sepenuhnya bagaimana cara memperoleh kemaslahatan atau bagaimana cara menyelesaikan perselisihan mereka. Karena itu Allah mengutus nabi-nabi untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan Allah dalam member keputusan tentang perkara yang diperselisihkan.27 4) Memberi contoh pengalaman, sosialisasi, dan keteladanan. Hal ini sesuai dengan Hadis Aisyah yang menyatakan bahwa perilaku Nabi adalah praktek Al-Qur`an :
27
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur`an volume 1, ( Jakarta : Lentera Hati, 2000 ),hal 425
22
Berkata Aisyah : Akhlak Nabi itu adalah Al-Qur`an, ridhonya dan marahnya sesuai dengan Al-Qur`an.28 c. Macam dan Kriteria Ulama Kata-kata ulama disebutkan dalam Alquran sebanyak dua kali, dalam Surah Asy-Syu'ara' 197 dan Surah Fathir 28. Intisarinya, ulama adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni sehingga membawa dirinya memiliki sifat khasyyah. Ulama dalam kontek Alquran sering digunakan istilah ulil albab yang disebutkan 16 kali. Mereka disanjung sebagai orang yang memiliki sifat khasyyah, martabat mulia, banyak zikir, takwa, mencapai derajat iman dan keyakinan yang tinggi, komitmen dengan syariat Islam dan ajaran-ajarannya.29 sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur`an surat Ali Imran ayat 7:
“ Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaatAdapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami 28 29
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur`an, ( Bandung : PT Mizan,1997 ),hal.385 Ismail, Achmad Satori. “Amalan Terbaik.”, www.republika.co.id 23 April 2014
23
beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”( Q.S. Ali Imran: 7) Imam al Ghazali mengemukakan sebagaimana yang dikutip Badruddin Hsubky “Ada 2 macam jenis ulama di dunia yaitu, pertama ulama akhirat, Ulama akhirat adalah mereka yang tidak menjual ilmunya untuk kemegahan dunia semata, apa yang ia ucapan relevan dengan apa yang ia kerjakan, senantiasa khasyyah atau takut kepada Allah SWT, takzim atas segala kebesarannya, tawaddhu`, hidup sederhana, berakhlak mulia terhadap Allah maupun sesamanya , serta ilmu yang dimilikinya merupakan ilmu yang bersumber dari hati, dia hanya mengikuti perkara perkara yang di ajarkan nabi. Kedua, ulama dunia ( ulama suu` ) yaitu adalah mereka yang memperoleh ilmu semata-mata untuk mencapai kepentingan dan kenikmatan dunia, memiliki kedudukan mulia menurut ahli-ahlinya. 30 Achmad Satori Ismail mengatakan ada beberapa criteria yang harus dimiliki ketika seseorang menjadi ulama:31 1) Orang
yang selalu berzikir kepada Allah, baik dalam keadaan berdiri,
duduk, ataupun berbaring. Ulama akan menjauhi perbuatan laghwun atau lahwun. Yaitu perbuatan yang tidak ada gunanya, perbuatan yang sia-sia. 2) Selalu bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi.
30
Badruddin Hsubky, Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman, ( Jakarta : Gema Insani Press , 1995), Cet ke-I, hal 57. 31 Achmad Satori Ismail http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/12/10/17/ mc0sq1-amalan-terbaik, 23 April 2014
24
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (Q.S. Ali Imran:191) Menjauhi penyembahan kepada thagut yaitu sesembahan selain Allah. Kalau ada orang yang masih percaya atau memberikan pengabdian kepada jin, jimat, atau totem lainnya bukanlah termasuk Muslim apalagi ulama.
“dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembahnyadan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.”(Q.S. Az-Zumar: 17) 4) Mengembalikan semua urusan kepada Allah dan hanya Allah sajalah yang disembah-Nya. 5) Selalu mengikuti hal-hal yang terbaik dari semua pendapat yang didengarnya kemudian direalisasikan dalam bentuk perbuatan dan sikap atau ucapannya. Ulama tidak congkak dengan pendapatnya. Memiliki sifat toleran terhadap pendapat orang lain.
“yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S. AzZumar:18)
25
6) Senantiasa memenuhi janji Allah untuk mengakui rububiyah dan memenuhi apa yang diajarkan Allah dalam kitab suci-Nya. 7) Tidak merusak perjanjian umum yang telah dikukuhkan antara mereka dan Allah atau dengan manusia.
“(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (Q.S.Ar-Ra`d:20) 8) Mereka selalu menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah untuk dihubungkan seperti silaturahim, loyal terhadap sesama mukmin, iman terhadap semua nabi, dan menjaga semua hak manusia. 9) Memiliki sifat khasyyatul ammah kepada Allah dan keagungan-Nya. 10) Takut kepada keburukan hari hisab.
“dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Q.S.Ar-Ra`d:21)
11) Memiliki kesabaran dalam menghadapi semua beban, kesulitan, dan musibah di dunia serta senantiasa menentang kehendak hawa nafsu. Maka ulama yang sejati adalah ulama yang senantiasa selalu takut kepada Allah, selalu ingat kepada Allah dalam keadaan apapun sehingga hubungan taqorub
terjalin diantara hamba dan pencipta-Nya tersebut. Beribadah dan
menuntut ilmu selalu dengan tujuan atau berimplementasi kepada Allah semata, kebaikan yang ia berikan semua ikhlas hanya mengharap keridhoan Allah semata, segala yang ia perbuat sesuai dengan syariat Allah berdasarkan AlQur`an dan Sunnah nabinya.
26
D. Ulama Perempuan Indonesia
Islam memposisikan perempuan pada kedudukan yang mulia. Perempuan diagungkan sebagai tiang kehidupan sebuah bangsa, Negara, dan agama. Jika baik para perempuannya baiklah bangsa dan negara itu, demikian pula sebaliknya. Sebab perempuan memiliki peran yang beragam dalam kehidupan. Perempuan tak hanya berfungsi sebagai istri dan ibu rumah tangga yang baik. Perempuan juga memiliki peran dan kiprah yang dibutuhkan oleh lingkungan masyarakatnya.32 Di dalam sejarah Islam kita banyak mengenal tokoh-tokoh ulama perempuan yang memberikan kontribusi sangat besar seperti Siti Aisyah, Khodijah, Robiatul Adawiyah. Demikian juga di Indonesia, yang berkiprah dalam mengembangkan keilmuan terutama dalam lembaga-lembaga pendidikan.
a. Rahmah el Yunisiah Rahmah el Yunisiah adalah anak bungsu dari lima bersaudara, yang lahir dari pasangan Rafi`ah dan Muhammad Yunus bin Imanuddin. Dia lahir pada jum`at pagi 20 Desember 1900/ 1 Rajab1318, di Negeri Bukit Surungan Padang Panjang. Ayah Rahma adalah seorang ulama besar yang menjabat sebagai kadi di negeri pandai sikat, Padang Panjang. Dia juga seorang haji yang pernah mengenyam pendidikan agama selama 4 tahun di Mekkah. Sebagaimana kakeknya Imanuddin, ayah Rahmah adalah seorang ahli falak dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah yang banyak pengikutnya. Imanuddin sendiri masih ada hubungan keluarga dengan haji miskin dari Pandai Sikat, salh seorang Harimau Nan Salapan pada perang Paderi. Selain
32
Zainal Arifin Hoesain (ed.), 70 Tahun Tutty Alawiyah : Di Mata Tokoh Indonesia dan Dunia, (Jakarta : UIA Press, 2012 ),h.140.
27
itu juga ia juga mempunyai pertalian darah dengan Tuanku Nan Pulang di Rao, seorang ulama minangkabau yang hidup di masa Paderi.33 Zaenuddin Labai, kakak sulung Rahmah, adalah gurunya yang banyak memberikan
bimbingan
dan
dorongan
yang
sangat
berarti
bagi
perkembangan intelektual Rahmah. Menurut Rahmah, Zaenuddin Labai adalh seorang ulama otodidak, yang dikenal sebagai pendidik dan tokoh pembaharu system pendidikan model surau dengan “Diniyah School-nya.” Pengusasaan Labai atas beberapa bahasa asing sangat membantunya dalam mengakses berbagai literature asing, khususnya yang berkaitan dengan ideide pembaharuan, sehingga menjadikan dirinya seorang tokoh yang berpandangan maju.34 Oleh karena itu, meski ia hanya sempat menempuh sekolah dasar selama 3 tahun di kota kelahirannya, kemampuan Rahmah dalam baca-tulis Arab dan latin diperoleh melalui bimbingan kedua kakaknya, Zaenuddin Labay dan Mohammad Rasyid. Ia juga aktif belajar sendiri dengan cara membaca buku-buku yang dikarang Labay. Karena itu ketika menjadi siswa Diniya School, ia dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Di sore hari ia berguru pada Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amarullah), ayah Buya Hamka di Surau Jembatan Besi, Padang Panjang.35 Setelah runtuhnya jembatan besi akibat gempa bumi yang menyapu padang panjang dan sekitarnya, Haji Rasul memutuskan untuk kembali ke kampong halamannya du Sungai Batang,Maninjau. Karena itu Rahmah melanjutkan pelajaran agamanya kepada Tuanku Modo Abdul Hamid Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyid, Syekh Mohammad Jamil Jambek, dan Syekh Daud Rasyidi.36 33
Junaidatul Munawaroh, Rahmah el Yunisiah : Pelopor Pendidikan Perempuan ,dalam Jajat Burhanuddin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia ( Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama,2002),h.3. 34 Ibid.,h.4. 35 Ibid., h.5 36 Ibid.
28
Lembaga pendidikan formal yang didirikan Rahmah el Yunisiah adalah Perguruan Diniyah Putri. Perguruan Diniyah Putri Padang Panjang yang didirikan pada tanggal 1 November 1923, dengan nama perguruan agama putri
kemudian nama perguruan ini diganti dengan “Diniyyah School
Poetri”.37 Ada tiga kategori yang ingin dihasilkan Rahmah dari pendidikan Diniyah Puteri, yakni : a) Wanita/ Ibu Pemimpin yang cakap dan bijaksana dalam masyarakat yang leadershipnya dapat diandalkan untuk menggembleng masyarakat ke taraf ketahanan fisik dan ketahanan mental. b) Wanita/ Ibu pendidik yang bijaksana bagi anak-anak didiknya di lembaga pendidikan dan mampu membina kecerdasan dan mental mereka ke tingkat yang diidam-idamkan. c) Wanita/ Ibu dan Istri yang cerdas dalam rumah tangganya dan mampu menjadi ratu yang sanggup memancarkan kedamaian dan ketenangan untuk semua anggota keluarganya.38 Di samping usaha tersebut, Rahmah juga mulai mengadakan usaha pemberantasan buta huruf bagi kalangan ibu-ibu yang lebih tua. Berikutnya pada tahun 1930 sebuah kelas tambahan pada tingkat menengah diselenggarakan di samping madrasah berkelas tujuh tadi dengan maksud untk memberikan pelajaran dan didikan yang lebih tinggi lagi pada muridmurid, dengan tujuan agar mereka memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengajar. Selanjutnya pada tahun 1932 Diniyah putra yang agak bertambah mundur setelah Labai meninggal digabungkan dengan madrasah yang didirikan Rahmah. Dengan demikian di sekolah tersebut terdapat pelajaran putra-putri. Upaya koedukasi atau pendidikan campuran laki-laki
37
Guntur Cahaya Kesuma,” Usaha-usaha Rahmah el-Yunisiyyah dalam Bidang Pendidikan Kaum Wanita”, Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2007,h.114,tidak dipublikasikan. 38 Ibid.,h.119.
29
dan prempuan ini merupakan upaya yang pertama kali dilakukan di Indonesia.39 Pada tahun 1936 beliau mengumumkan pembukaan suatu sekolah baru yang semata-mata untuk putra yang pada waktu itu muridnya mencapai 100 orang. Perkembangan kedua bagian dari sekolah Diniyah ini kemudian berjalan lancer dan dalam tahun 1937 sebuah sekolah guru untuk putri didirikan, yang disusul tidak berapa lama kemudian dengan pembukaan sebuah sekolah yang sama untuk putra.40 Ketika ia wafat, Diniyah Putri telah memiliki Perguruan Tinggi dengan satu fakultas yaitu Dirasah Islamiyah.41 Di bawah kepemimpinan Rahmah, Diniyah Putri berkembang pesat. Keberhasilan lembaga ini mendapat perhatian dan pujian dari berbagai tokoh pendidikan, pemimpin nasional, politikus, dan tokoh agama, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Untuk itu pada tahun 1957 Rahmah memperoleh gelar Syaikhah dari Senat Guru Besar Universitas Al-Azhar, Mesir. Gelar ini, belum pernah dianugrahkan kepada siapapun sebelumnya.42 Dari kajian di atas penulis menyimpulkan bahwa, Rahma el Yunisiah merupakan seorang ulama yang berpandangan maju. Selain itu beliau memiliki sumbangsih yang besar terhadap pendidikan bagi perempuan dengan mendirikan pendidikan formal berupa Diniyyah School Poetri yang akhirnya mendapat gelar Syaikhah dari Senat Guru Besar Universitas AlAzhar karena berkembangnya Diniyah kepemimpinannya. b. Prof.Dr. Zakiah Daradjat Zakiah Daradjat dilahirkan di ranah Minang, tepatnya di kampung kota Merapak, kecamatan Ampek Angkek, Bukit Tinggi pada tanggal 6 November 1929 dan beliau wafat pada tanggal 15 Januari 2013. 39
Abuddin Nata, Zakiah Daradjat, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.31. 40 Ibid.,h.32 41 Ibid.,h.35 42 Ibid
30
Beliau adalah anak sulung dari sepasang suami istri yang taat beragama. Ayahnya bernama H.Daradjat Husein, yang memiliki dua istri. Dari istrinya yang pertama yaitu bernama Hajjah Rafiah binti Abdul Karim ia memiliki enam anak, dan Zakiah Daradjat adalah anak pertama dari enam bersaudara. Sedangkan dari istrinya yang kedua, Hj. Rasunah ia memiliki lima anak. Dengan demikian, dari dua istri tersebut, H.Daradjat memiliki 11 orang anak.43 Sebagaimana umumnya masyarakat Padang, kehidupan keagamaan mendapat perhatian serius dilingkungan keluarganya. Keluarga Zakiah sendiri seperti diakuinya, bukan dari kalangan ulama atau pemimpin agama. “ kakek saya bahkan seorang abtener,”katanya. Kakek Zakiah dari pihak ayah menjabat sebagai tokoh adat di lembah Tigo Patah Ampek Angkek Candung. Kampung kota Merapak pada dekade tahun 30-an dikenal sebagai kampung yang religius. Zakiah menuturkan,” jika tiba waktu sholat, masyarakat kampung saya akan meninggalkan semua aktivitasnya dan bergegas pergi ke masjid untuk menunaikan kewajibannya sebagai muslim.” Pendeknya, suasana keagamaan dikampung itu sangat kental.44 Dengan suasana kampung yang religius, ditambah lingkungan keluarga yang senantiasa dinafasi semangat ke-Islaman, tak heran jika sejak kecil Zakiah sudah mendapatkan pendidikan agama dan dasar keimanan yang kuat. Sejak kecil ia sudah dibiasakan oleh ibunya untuk menghadiri pengajian-pengajian agama. Pada perkembangannya, Zakiah tidak sekedar hadir, kadang-kadang dalam usia masih belia itu Zakiah disuruh memberikan ceramah agama.45 Pada usia 6 tahun, Zakiah mulai memasuki sekolah bukit tinggi, pagi belajar di Standard School Muhammadiyah, sementara sorenya mengikuti 43
Ibid., h.233. Rabiatul Adawiyah, “ Agama Islam Pada Masa Remaja ( Studi Pemikiran Zakiah Daradjat )”, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014,h.37, tidak dipublikasikan. 45 Ibid 44
31
sekolah Diniyah. Hal ini dilakukan karena ia tidak mau hanya sematamatamenguasai pengetahuan umum, ia juga ingin mengerti masalah-masalah dan memahami ilmu-ilmu keislaman. Setelah menamatkan sekolah dasar, Zakiah melanjutkan pendidikan ke SMP, seperti halnya ketika duduk disekolah dasar, sore harinya Zakiah mengikuti pendidikan agama. Namun pada saat SMA Zakiah tidak merangkap, ini dikarenakan lokasi yang relatif jauh dari kampungnya yaitu di Bukit Tinggi. Meskipun demikian Zakiah Daradjat masih menyempatkan diri untuk mengikuti Kuliyatul Mubaligh. Dalam mengikuti Kulliyatul Muballigh di Padang Panjang selama hampir enam tahun dilembaga pendidikan ini, Zakiah memperoleh pendidikan agama secara lebih mendalam. Namun demikian, perhatiannya terhadap bidang studi juga tetap besar. Hal ini terlihat pada aktivitas Zakiah dalam memasuki SMP di kota yang sama, di dua lembaga pendidikan, Zakiah berhasil menyelesaikan tepat waktu. Pada tahun 1951, setelah menamatkan SMA Zakiah meninggalkan kampung halamannya untuk melanjutkan studinya ke Yogyakarta, di kota pelajar ini Zakiah masuk Fakultas Tarbiyah dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Selain kuliah di PTAIN, Zakiah juga merangkap kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pertimbangannya seperti diungkapkan adalah keinginan untuk menguasai ilmu-ilmu agama dan umum. Akan tetapi kuliahnya di UII harus berhenti ditengah jalan. “pada tahun ketiga di PTAIN, saya mendapat teguran beberapa dosen, mereka menyarankan agar saya konsentrasi saja di PTAIN,” cerita Zakiah perihal keluarnya dari kampus UII. 46 Setelah mencapai tingkat Doktoral Satu (D1), Zakiah bersama Sembilan orang temannya yang kebetulan semua laki-laki mendapatkan tawaran dari Depatermen Agama untuk melanjutkan studi ke Kairo, Mesir. Pada tahun
46
Ibid.,h.38
32
1956 Zakiah berangkat ke Mesir dan langsung diterima tanpa test di Fakultas Pendidikan Universitas Ein Syams, Kairo Mesir untuk program S2. Pada waktu itu berdasarkan kesepakatan antara pemerin tah Indonesia dan Pemerintah Mesir, doctoral satu di Indonesia disamakan dengan S1 di Mesir. Inilah kiranya yang menyebabkan Zakiah bisa diterima tanpa tes di Universitas Ain Syams. Dengan pengetahuan dasar yang kuat serta didorong oleh ketekunan, semangat dan bakatnya yang besar, menyebabkan ia berhasil menyelesaikan studinya sesuai dengan waktu yang ditentukan.47 Zakiah berhasil meraih gelar MA dengan tesis tentang Problema Remaja di Indonesia (Musyiklat al-Muharaqah fi Indonesia ) pada tahun 1959 dengan spesialisasi mental-hygiene dari Universitas Ein Syams, setelah setahun sebelumnya mendapat diploma pada pasca sarjana sengan spesialisasi pendidikan dari Universitas yang sama. Selama menempuh S2 inilah Zakiah mulai mengenal klinik kejiwaan, ia bahkan sudah sering berlatih praktik konsultasi psikologi di klinik Universitas. Untuk menuntaskan studi tingkat tingginya Zakiah mengikuti program Doktor (Ph.D) pada universitas yang sama dengan mendalami lagi bidang psikologi, khususnya psikoterapi. Disertasi yang berhasil disusun dan dipertahankannya pada program doktornya ini adalah “ Perawatan Jiwa untuk Anak-anak ( Dirasah Tajribiyah li Taghayyur al-Ilaj al-nafs Ghair alMuwajjah an Thariqal-La`b) “, bimbingan Mustafa Fahmi dan Attia Mahmoud Hanna. Dengan demikian Zakiah telah menjadi seorang Doktor Muslimah pertama dalam bidang psikologi dengan spesialisasi psikoterapi dari Universitas Eins Syams. Pada tahun 1967, Zakiah ditunjuk untuk menduduki jabatan Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum Perguruan Tinggi di Biro Perguruan Tinggi dan Pesantren Luhur. Kemudian tahun 1977 sampai 1984. Zakiah menjabat
47
Nata dan Daradjat.,op.cit., h.236.
33
Direktur Pembinaan Agama Islam. Di samping itu, membuka klinik konsultasi di Depag, juga membuka klinik yang sama di rumahnya di Cipete hingga akhir hayatnya. Penceramah kuliah subuh TVRI juga RRI semenjak tahun 1969 hingga pensiunny, pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1983-1988, ia satu-satunya anggota perempuan dan Dewan Riset Nasional, serta terpilih menjadi anggota MPR 1992-1997. Pendiri yayasan Ruhama yang bergerak dalam bidang pendidikan sejak tahun 1983, diangkat menjadi ketua MUI perempuan yang pertama. Di IAIN Jakarta dan Yogyakarta Zakiah Daradjat masing-masing menjadi guru besar dan memimpin fakultas Pasca Sarjana. Dari kajian diatas penulis menyimpulkan, bahwa Zakiah Daradjat merupakan sosok yang cinta akan ke-ilmuwan dimulai dari masa kecilnya yang gemar mengaji, sekolah yang di dilaluinya terkesan cukup padat, pagi harus sekolah umum sore harinya harus sekolah diniyah atau agama kesemuanya dilalui dengan penuh semangat. Kecintaan ilmunya pula dibuktikan dengan mendirikan Lembaga Pendidikan Ruhama, kemudian menjadi ketua MUI perempuan pertama, serta menjadi guru besar di Universitas yang berbeda. c. Tutty Alawiyah Prof.Dr.Tutty Alawiyah AS. MA lahir di Jakarta, 30 Maret 1942 M, merupakan putri ketiga dari pasangan KH. Abdullah Syafi`ie dan ibu H Ruqayah binti H.Ahmad Mukhtar. Ayah Tutty Alawiyah, KH. Abdullah Syafi`ie adalah ulama besar adalah tokoh kharismatik yang biasa menyebut dirinya, “Khadim al-Thalabah,” (pelayan para santri) yang sangat dikagumi, dihormati, dan dicintai oleh masyarakat bangsa Indonesia. Ibunya, Hj Siti Ruqayah, adalah juga seorang ustadzah yang memiliki pengetahuan agama
34
yang sangat baik. Ibu Hj. Ruqayyah meninghgal saat Tutty Alawiyah berusia 9 tahun.48 Dalam hal membaca al-Qur`an, Tutty Alawiyah dibimbing dan dilatih langsung oleh ibundany, Ibu Hj. Ruqayah. Sejak usia kecil, Tutty Alawiyah sudah pandai membaca al-Qur`an dengan fasih dan lengkap dengan lagunya. Sehingga pada usia 9 tahun, sudah diminta membaca al-Qur`an di Istana Merdeka di depan Presiden Soekarno pada acara Maulid Nabi SAW tahun 1950-an.49 Pada waktu usianya belum mencapai 15 tahun, Tutty Alawiyah telah aktif membuka bermacam-macam kursus, mengisi ruang-ruang kelas yang masih tersedia di As-Syafi`iyah. Diantara kursus yang dibuka adalah kursus untuk remaja puteri, li al-Banat atau disingkat Banat. Kursus li al-Banat ini terus berkembang karena muridnya terus bertambah hingga mencapai enam kelas. Tutty Alawiyah kemudian membuka kursus tilawah al-Qur`an dan satu kursus lagi untuk ibu-ibu As-Syafi`iyah. Kursus ini karena disediakan untuk ibu-ibu, maka diberi nama kursus li al-Ummahat disingkat Ummahat al-Syafi`iyah.50 Sepeninggal Ibu Hj.Ruqayah, urusan pengajian kaum ibu As-Syafi`iyah diserahkan kepada Hj.Muhibbah, kakak Tutty Alawiyah. Tapi, tidak lama berselah , Hj.Muhibbah juga meninggal dunia. Lantas K.H Abdullah Syafi`ie meminta Tutty Alawiyah menggantikan kakandanya itu, memimpin Majlis Taklim Kaum Ibu biasa disingkat MTKI As-Syafi`iyah yang saat itu berumur 15 tahun yang berjalan hingga sekarang ini. Di MTKI ini Tutty Alawiyah membuat inovasi-inovasi baru, antara lain, membuat kurikulum dan menyediakan bahan ajar atau modul dalam pengajian. Model taklim ini kemudian banyak diikuti oleh majelis-majelis taklim di tempat lain. Bahan 48
A.Ilyas Ismail (ed.), 70 Tahun Tutty Alawiyah: The Inspiring Woman, Penggerak Kemajuan dan Peradaban, (Jakarta : UIA Press, 2012),h.13-15. 49 Ibid.,h. 19. 50 Ibid., h. 21
35
ajar Tuty Alawiyah di MTKI As-Syafi`iyah masih terkodifikasi dengan baik hingga sekarang dalam beberapa jilid.51 Pada Januari 1981, Tutty Alawiyah, mendirikan Badan Kontak Majlis Taklim (BKMT). Tak kurang dari 732 Majelis Taklim ikut secara bersamasama mendeklarasikan dan membentuk BKMT di Pesantren puteri AsSyafi`iyah Jatiwaringin Pondok Gede. Pembentukan BKMT disaksikan oleh pendiri As-Syafi`iyah K.H Abdullah Syafi`ie yang ketika itu menjadi ketua MUI Jakarta. Jamaah yang hampir tidak kurang dari dua ribu orang wakil dari Majelis taklim yang ada di JABODETABEK dan Jabar. Di bawah kepemimpinan Tutty Alawiyah BKMT berkembang pesat sampai sekarang ini. BKMT kini telah memiliki cabang di 33 Provinsi di Indonesia. Sebagai ormas keagamaan dengan jumlah anggota hampir 15 sampai 20 juta jemaah.52 Kiprah Tutty Alawiyah dalam bidang pendidikan formal dimulai pada tahun 1965. Bersama ayahandanya K.H Abdullah Syafi`ie pada tanggal 14 November 1965, ia mendirikan Akademi Pendidikan Islam (AKPI) AsSyafi`iyah. Selanjutnya AKPI ini berkembang menjadi Universitas Islam AsSyafi`iyah (UIA) pada tanggal 12 Maret 1969.53 Tutty alawiyah juga turut berpatisipasi dalam pendidikan tinggi UIA, baik sebagai pengurus yayasan pergurua As-Syafi`iyah, ketua Presidium, Sekretaris Rektor, Ketua Harian Yapta ( Yayasan Perguruan As-Syafi`iyah), dan memangku jabatan Rektor untuk masa bakti 1997-2001, terpilih kembali untuk masa bakti 2001-2005, kemudian terpilih kembali untuk masa bakti 2005-2009, serta terpilih kembali untuk masa bakti 2009-2013. Pada masa kepemimpinannya UIA berhasil membuka beberapa prodi baru, program S2 dan S3, serta lembaga-
51
Ibid., h. 22-23 Ismail, op.cit, h.24 53 Hoesein,op.cit.,h.141 52
36
lembaga baru, seperti lembaga Lemkia, Lembaga Kajian Publik, Lembaga Bahasa Arab dan Inggris.54 Tutty Alawiyah merupakan sosok yang inspiratif, dimulai dari kecil ketika ia diminta membaca al-Qur`an di istana merdeka ketika umur 9 tahun. Selain itu beliau mendirikan lembaga kursus bagi remaja putri dan ibu-ibu serta banyaknya orang yang mengikuti kursus itu. Tutty Alawiyah berinovasi membentuk BKMT serta membuat rancangan bahan ajar serta kurikulum yang dipergunakan dalam setiap pengajian yang tentunya diikuti oleh majlis-majlis taklim di tempat lain. Perannya dalam pendidikan formal terlihat dalam perannya membangun pendidikan tinggi UIA bersama ayahnya K.H Abdullah Syafi`ie, serta membuka lembaga-lembaga baru, jurusan dan prodi baru di bawah naungan Tutty Alawiyah.
d. Hj. Nonoh Hasanah Hj. Nonoh Hasanah lahir pada 1938 di Cintapanda, Cibeureum, Tasikmalaya. Ia adalah putrid kedua dari enam bersaudara pasangan KH.M.Syamsudin dan Hj.Qamariyah. Ia hanya belajar sampai kelas IV Sekolah Rakyat, sementara pendidikan agamanya ia peroleh dengan ngaji ngalong ke pesantren kakak kandungnya, Muflihah. Selama beberapa waktu, Nonoh kecil juga belajar pada para kiai yang tinggal tidak jauh dari tempat tinggalnya, seperti pada K.H.Khaeruddin di Cisaro. Tidak puas dengan pelajaran yang telah diterimanya dari pada”kiai kampung” itu, atas dukungan kedua orang tuanya, Nonoh kecil bersama adiknya, Imoh,
54
Azra`ie Zakaria, Pemikiran Prof.DR.Hj.Tutty Alawiyah AS,MA, Tentang Pendidikan, dalam Dailami Firdaus (ed.), 70 Tahun Tutty Alawiyah:Mereka Bicara Tentang Kak Tutty, (Jakarta:UIA Press, 2012 ),Cet.I, h.39.
37
berangkat menuju Cipasung, berguru pada K.H Ruhiat yang sudah termasyhur.
55
Pada 25 Desember 1959, Ahmad Dimyati, pewaris pesantren Cintapanda ini beserta istrinya Nonoh Hasanah, dating ke pesantren peninggalan orang tuanya itu. berbeda dengan kebijakan yang telah dijalankan pengasuh pesantren saat itu, KH.Ahmad dan Nonoh bermaksud hanya menerima santri putri. Berdasarkan musyawarah keluarga, dicapailah kesepakatan, K.H. Yusuf dengan para santri yang sudah ada pindah ke sebelah
selatan,
menempati
lokasi
baru.
Lokasi
lama
kemudian
diperuntukkan khusus bagi santri putri, dengan nama pesantren putrid alHasanah Cintapanda. Pada 1968, Sembilan tahun setelah didirikannya, jumlah santri al-Hasanah mencapai 133 orang. Ketika Hj.Nonoh wafat, santri yang ada sekitar 450 orang. Jumlah santri yang tercatat sejak 1978 sekitar 8000 orang.56 Dalam rangka pembangunan fisik pesantren ini, Hj.Nonoh Hasanah berusaha mencari dana sendiri. Meski beberapa kali mendapat tawaran bantuan dari pemerintah,ia senatiasa menolaknya. Nonoh memegang teguh prinsipnya untuk tidak menerima bantuan dari pemerintah. Ia khawatir bantuan itu akan mengurangi independensi pesantren yang dipimpinnya. Untuk menutup kebutuhan ini, Hj. Nonoh menyusun sebuah buku riwayat “Ashabul Kahfi”, disusul kemudian “Sejarah `Am al-fil”. Dua kitab itu dicetak dan disebarluaskan ke sebagian pelosok wilayah Jawa Barat, terutama kepada para murid-muridnya, dan mendapat sambutan cukup baik.57 Menjelang wafatnya, ia pernah mengungkapkan keinginannya untuk menggenapkan jumlah gurunya menjadi 40 orang. Dia memang mempunyai semangat yang tinggi untuk tepat mencari ilmu di sela aktivitas 55
Wiwi Siti Sajaroh, H.Nonoh Hasanah: Perintis Pesantren Putri di Jawa Barat, dalam Jajat Burhanuddin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2002),h.353. 56 Ibid. 57 Ibid h.359
38
kesehariannya yang padat. Pada 20 November 1986 beliau berpulang ke pangkuan Rabb-nya.58 Hj.Nonoh memiliki andil besar dalam mengembangkan pesantren Cintapanda khususnya terhadap pendidikan pesantren bagi santri putri. Prinsipnya yang kuat dalam membangun pesantren tanpa campur tangan dari luar merupakan sebuah cita-cita yang luhur, pembiayaan yang dilakukan dipesantrennya dilakukan melalui penjualan buku atau kitab yang ia buat.
B. Tinjauan Pustaka Untuk penelitian terkait tentang pengkaderan atau pengembangan ulama, sebelumnya pernah dilakukan penelitian namun dengan pembahasan yang berbeda, sebagaimana yang pernah ditulis dalam Skripsi yang berjudul“ Peran Forum Komunikasi Ustadzah (FKU) dalam Pengembangan Kader Ustadzah di Kota Tangerang “ yang di tulis oleh Farhatullaili Zahrah Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Kemudian skripsi dengan judul “ Peran Ulama Perempuan dalam Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam” yang ditulis oleh Sophia Al-Muyassara Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Kemudian skripsi yang berjudul “ Aktivitas Pendidikan Dasar Ulama ( PDU-MUI ) Jakarta Barat dalam Mendidik Ulama “ yang ditulis oleh Slamet Khumaedi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian di atas adalah baik itu terkait obyek penelitian serta pembahasan yang akan dikemukakan oleh penulis terkait Ulama Perempuan dan Pendidikan Pengkaderan yang di lakukan oleh Lembaga Rahima yang diberi judul“ Peran Lembaga Rahima Terhadap Kaderisasi Ulama Perempuan“.
58
Ibid h.361
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat serta nama lembaga yang dipilih sebagai bahan penelitian ini adalah, Lembaga Rahima yang beralamat atau bertempat di Jl.H. Shibi No.70 RT 007/01 Srengseng Sawah, Jakarta Selatan 12640. Adapun waktu penelitian sebagai upaya pengumpulan data terkait judul tersebut, maka penelitian ini di lakukan mulai bulan Mei tahun 2014 sampai dengan bulan Oktober tahun 2014 B. Metode Penelitian Dalam sebuah penelitian, metode merupakan suatu hal yang sangat penting, karena dengan metode yang baik dan benar akan memungkinkan tercapainya suatu tujuan penelitian. Adapun dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu dengan melakukan penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Untuk memahami istilah penelitian kualitatif ini, perlu kiranya di kemukakan teori menurut Bogdan dan Taylor mendefinisikan, metodologi kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata baik tertulis maupun lisan dari orang dan perilaku yang diamati.1 Dengan memilih data kualitatif ini, penulis mengharapkan dapat memperoleh data yang lengkap dan akurat. Ditinjau dari sifat penyajian datanya, penulis menggunakan metode deskriptif yang mana metode deskriptif merupakan penelitian yang tidak mencari atau menjelaskan
1
Lexy J Moleong, Metode Kualitatif, ( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2002 ) H. 4
39
40
hubungan, tidak menguji hipotesis atau prediksi.2 Dan Menurut Whitney, sebagaimana dikutip oleh Nazir, yang dimaksud dengan metode deskriptif adalah: “pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.”3 Maka yang dilakukan penulis untuk mencapai hasil yang ingin dicapai yaitu dengan mengolah kata-kata dari hasil wawancara, observasi, dokumntasi dan bukubuku yang relevan dengan bahasan yang penulis buat. C. Tekhnik Pengumpulan Data Agar dapat diperoleh data yang aktual dari lapangan, maka penulis menggunakan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut : 1. Observasi : Yaitu cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomenafenomena yang dijadikan objek pengamatan. Adapun objek pengamatan yang di teliti tersebut adalah pengkaderan ulama perempuan yang dilakukan oleh lembaga Rahima, dengan cara mengamati pengkaderan yang dilakukan. 2. Wawancara : Secara umum yang dimaksud wawancara adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan yang dilaksanakan dengan tanya jawab secara lisan, sepihak, berhadapan muka dan dengan arah tujuan yang telah dilakukan. Adapun tujuan dan harapan diadakannya wawancara ini adalah mengetahui bagaimana 2
Jalaludin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik, ( Bandung : PT. Rosdakarya, 2002), Cet.11, hal.24 3 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), Cet. IV, hal. 63-64.
41
cara atau sistem yang dilakukan lembaga Rahima dalam melaksanakan program pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan . 3. Kepustakaan ( Library Research ). Dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mendeskripsikan dan menganalisa buku-buku yang sesuai serta berhubungan dengan penelitian ini. 4.
Dokumentasi Berarti mengumpulkan data dengan mencatat data yang sudah ada dalam dokumen atau arsip. Arsip yang dimaksud disini adalah seputar kegiatan yang terkait dengan Pengkaderan Ulama Perempuan yang dilakukan adapun arsip tersebut bias berupa foto, buku maupun profil dari pengkaderan yang dilakukan lembaga Rahima.
D. Pengolahan Data Setelah data-data terkumpul dan penulis merasa sudah lengkapnya data-data yang dibutuhkan, maka data tersebut di klasifikasikan menurut jenisnya sehingga memudahkan dalam menganalisis data tersebut. E. Tekhnik Analisis Data Karena metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, maka analisis data yang digunakan adalah model analisis data mengalir (flow model). Adapun langkahlangkah model analisis ini adalah sebagai berikut: 1.
Pengumpulan data Peneliti membuat catatan data yang dikumpulkan melalui studi dokumentasi yang merupakan catatan yang terkait dengan pertanyaan dan atau tujuan penelitian.
42
2. Reduksi data Setelah data dikumpulkan melalui studi dokumentasi, lalu dibaca, dan dipelajari, maka langkah selanjutnya adalah mengadakan reduksi data. Langkah
ini
berkaitan
dengan
proses
menyeleksi,
memfokuskan,
menyederhanakan, mengabstraksikan, dan mengtransformasikan data mentah yang diperoleh dari hasil penelitian. 3. Penyajian data Setelah melalui reduksi data, langkah selanjutnya dalam analisis data adalah penyajian data atau sekumpulan informasi yang memungkinkan peneliti melakukan penarikan kesimpulan. Bentuk penyajian dalam penelitian kualitatif ini menggunakan bentuk penyajian data teks naratif yang menceritakan secara panjang lebar temuan penelitian. F. Fokus Penelitian Dalam penelitian ini yang akan menjadi fokus utama adalah peran atau upaya yang dilakukan oleh lembaga Rahima dalam melakukan pengkaderan ulama perempuan serta hasil atau out put Pengkaderan Ulama Perempuan tersebut.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Objek Penelitian 1. Sejarah lembaga Rahima Rahima, Pusat Pendidikan dan Informasi tentang Islam dan Hak-hak Perempuan adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pemberdayaan perempuan dalam perpektif Islam.1 Rahima, merupakan Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat, mencitacitakan keadilan bagi perempuan, hak-haknya terpenuhi, dan memperoleh penghargaan serta perlakuan setara dengan Laki-laki.2 Cita-cita itu dirumuskan dalam sebuah tema besar “tegaknya hak-hak perempuan dalam satu tatanan masyarakat yang demokratis”. Awalnya Rahima merupakan sebuah divisi bernama Fiqh an-Nisa yang bernaung dibawah Perhimpunan Pengembangan Pesantren yang biasa disingkat P3M. Rekan kerja Fiqh an-Nisa yang utama selama masa kerja enam tahun sejak 1994-2000 adalah pesantren, lembaga keagamaan tradisional yang berpengaruh dalam masyarakat Indonesia.3 Rahima didirikan untuk merespon kebutuhan informasi mengenai gender dan Islam. Rahima berdiri pada tanggal 5 Agustus 2000 dan keberadaannya disahkan oleh Notaris pada tanggal 11 September 2000 di Jakarta. Lembaga ini memulai aktivitasnya pada bulan Pebruari 2001. Bertepatan dengan rangkaian perayaan Ulang Tahunnya yang ke-10, dalam momentum Seminar "Masa Depan Kepimipinan Ulama Perempuan" pada tanggal 23 November 2010, secara resmi diumumkan perubahan bentuk kelembagaan Rahima dari Yayasan ke Perhimpunan. Dengan demikian lembaga ini kemudian dikenal dengan nama "Perhimpunan Rahima". Tema
1 2
Www.rahima.or.id April 2014 Modul Pengkaderan Ulama Perempuan Perspektif kesetaraan ( Jakarta : Rahima, 2011
), hal ix 3
Swara Rahima , No I, Thn I, Mei 2001, Hal.3
43
44
utama yang diangkat oleh Perhimpunan Rahima adalah "Ulama Perempuan untuk Kemaslahatan Manusia". Nama “Rahima” sendiri diambil karena
terinspirasi oleh 2 hal,
Yaitu; “Dalam bahasa Arab, rahim nerupakan bagian dari asmaul husna,Maha Pengasih. Rahim juga bisa dimaknai sebagai tempat Tuhan menyemai kasih sayang-Nya. Allah SWT pun menciptakan manusia melalui rahim perempuan itu. Selain itu, dengan nama ini Rahima bercita-cita agar martabat manusia bisa dijunjung tinggi serta dihormati, oleh karena manusia diciptakan melalui rahim, tempat kita mengawali kasih sayang. Bagian dari itu, bagaimana pula menghormati eksistensi perempuan. Karena dengan rahim perempuan, kita bisa beranak pinak dan berperadaban. Di situlah urgensinya.”4. Dengan demikian “rahima” dimaknai sebagai upaya untuk merayakan kehidupan dengan semangat welas asih. Pada awalnya Rahima berfokus pada pendidikan kritis dan penyebaran informasi tentang hak-hak perempuan di lingkungan pesantren. Kemudian karena tuntutan kebutuhan masyarakat , Rahima memperluas jangkauannya pada berbagai kelompok di luar pesantren seperti pada madrasah, para guru di lingkungan sekolah agama maupun guru agama Islam di sekolah negeri, majelis ta’lim, organisasi perempuan muslim, organisasi kemahasiwaan, dan berbagai LSM. Maksud pendidikan kritis sebagaimana yang disinggung diata adalah pendidikan yang menganut paham Paulo Fereira, yaitu pendidikan yang membebaskan pendidikan kritis tetapi yang membebaskan jadi pendidikan bisa melalui pelatihan, workshop, seminar, halaqah, tapi yang menjadi titik tekannya adalah pendidikan yang membebaskan itu, artinya disini merupakan suatu pendidikan kritis yang mana pesertanya itu juga menjadi narasumber, masing-masing peserta adalah sumber pengetahuan. Misalnya tentang gender teorinya seperti itu, namun ketika masuk kedalam kelas tidak serta merta langsung dilahap, tapi kami membangun dari pesertanya, apa yang ia ketahui 4
Hilmi ali Yafie , The Rahima Story ,( Jakarta : Rahima , 2010 ), Cet.I, h. 36-37.
45
tentang gender contohnya seperti apa. Jadi semuanya itu kembali kepada pesertanya.5 Selain memperluas jangkaun dalam kegiatannya, rahima pun melakukan kegiatan yang sedikit kontroversial dikalangan pesantren yang selama ini menjadi pangkuannya, dimana rahima melakukan dekontruksi terhadap wacana keagamaan yang mengandung bias gender atau fiqh klasik yang bersifat patriarkhal, yang selanjutnya diperbaharui menjadi wacana fiqh egaliteria yang berspeksif keadilan tanpa menghilangkan unsur utama sumber hukum islam. Hal ini sebenarnya bertolak belakang dengan ideologi yang selama ini di adopsi oleh rahima dari tradisi dan kultur salah satu ormas terbesar indonesia yaitu NU, karena di kalangan pesantren yang berlabel NU terutama para ulamnya sangat menjunjung tinggi akan nilai-nilai keagamaan yang bersifat patriarkhal dan sangat menentang terhadap hal-hal yang merubah nilai-nilai tersebut, serta melakukan kesetaraan gender yang berasumsi kegiatan tersebut akan menghancurkan islam sesuai perkembangan zaman. Namun, rahima sesuai dengan visi dan misinya tetap istiqomah dalam menjalankan programnya dengan bekal selagi tidak menyimpang ajaran islam dan tetap berpegang teguh terhadap perspektif islam, serta demi memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. 2. Visi dan Misi Rahima Visi dari lembaga Rahima yaitu “Terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan dengan ditandai adanya relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan, terpenuhinya hak-hak perempuan sebagai Hak Asasi Manusia”. Sedangkan misinya adalah “Melakukan penyadaran mengenai hak-hak perempuan dalam perspektif Islam, Menciptakan diskursus baru yang
5
AD Eridani, Direktur Rahima, Wawancara Pribadi, Jakarta 2 Mei 2014
46
berdasarkan pada relasi yang setara, Mendorong upaya penegakan hak-hak perempuan “.6 3. Struktur Organisasi Sebagai suatu lembaga swadaya masyarakat, Rahima mempunyai struktur kepengurusan yang tidak berbeda dengan swadaya masyarakat yang lain, dimana ada tiga unsur yang masuk dalam struktur kepengurusan Rahima yaitu; badan Pengawas, badan pengurus dan badan pelaksana. Untuk menentukan badan pengawas dilakukan rapat 5 tahun sekali oleh anggota
tetap. Kemudian badan pengawas memilih badan pengurus dan
terakhir menentukan badan pelaksana dengan cara membuka lowongan. a. Anggota Badan Pengawas Rahima 1) K.H Husein Muhammad 2) K. Helmi Ali 3) Kamala Candrakirana, MA b. Badan Pengurus Rahima Ketua
: Dra. Masruchah
Sekretaris
: Hindun Annisa, MA
Bendahara
: Drs. Kusnaedi
Anggota
: Hj. Ruqayyah Ma`shum Nur Achmad, M.Ag Hj. Dra. Afwah Mumtazah Nur Rofi`ah
c. Badan pelaksana Ketua
: Aditiana Dewi Eridani, S.H
Koordinator Program
: Maman AR
Koordinator Humas dan Jaringan
: AD. Kusumaningtiyas, M.Si
Koordinator Kesekertariatan
: Imam Saswoko
Staff Keuangan
: M.Syahran, Mustika
6
www.rahima.or.id April 2014
47
Asisten Program
: Mawardi,S.Fil.I,Nurhayati Aida, SS
Staff Dokumentasi dan Informasi
: Ulfah Mutiah Hizma, S.Sos
Staff Rumah Kesekertariatan
: Binta Ratih Pelu, Andi Nasori Riyanto
Struktur Organisasi Rahima
48
4. Jenis Kegiatan Sebagai sebuah lembaga tentunya Rahima memiliki berbagai macam jenis kegiatan-kegiatan yang menjadi fokus lembaga tersebut, ketika berdiri lembaga Rahima mengusung isu pusat informasi Islam dan hak-hak perempuan.7 Terdapat dua program besar di Rahima; a.
Pendidikan Pendidikan yang berdasarkan perspektif hak-hak perempuan merupakan pandangan pengetahuan yang dikira cukup untuk menjawab tantangan realitas sosial. Dalam aspek pendidikan ini lembaga Rahima berfokus pada upaya memasyarakatkan hak-hak perempuan dalam perspektif Islam melalui pelatihan dan lokakarya.8 Pendidikan yang saat ini sedang dilakukan Rahima adalah pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan, pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan merupakan pendidikan dengan dasar keprihatinan atas masih sedikitnya Ulama di kalangan kaum Perempuan serta masih memandang sebelah mata keilmuan yang dimiliki oleh ulama-ulama perempuan yang sudah ada.
b. Publikasi dan Penyebaran Informasi Pada publikasi ini memiliki dua bentuk, yaitu dalam bentuk materi cetak maupun dialog verbal. Penyebaran Informasi kegiatannya berupa penyebarluasan isu-isu Islam dan hak-hak perempuan melalui berbagai forum publik seperti diskusi regular, dialog terbatas, seminar, dan juga melalui penerbitan baik berupa majalah Swara Rahima, buku-buku dan terbitan lainnya, perpustakaan, juga website, namun belakangan ini penyebaran
isu-isu
kesetaraan
juga
dilakukan
Rahima
melalui
pendekatan budaya yakni dengan mengembangkan shalawat kesetaraan.9
7 8 9
AD Eridani, Direktur Rahima, Wawancara Pribadi, Jakarta 2 Mei 2014 Hilmi ali Yafie , The Rahima Story ,( Jakarta : Rahima , 2010 ), Cet.I, h. vi Ibid.
49
B. Deskripsi Penelitian Peran Lembaga Rahima Terhadap Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan 1.
Sejarah Pengkaderan Ulama Perempuan( PUP ) Istilah ulama` di Indonesia berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk plural dari kata `aliim, artinya orang yang pintar. Terdapat dua kata yang serumpun dengan ilm yang digunakan untuk menunjukkan orang yang pintar, yaitu `aalimun yang merupakan isim fa`il dari kata `alima, dan `alȋ ma yang mempunyai arti sama dengan `ȃ limun atau merupakan șiǵ oh mubalaghah. Bentuk jamk kata `ȃ limun adalah `ȃ limȗ na, yakni jama` mudzakar salim. Sementara bentuk jamak `aalimun adalah `ulama , yakni jama` taksir. Namun apabila di Arab pemaknaan ulama bisa memasukkan dua kelamin, sedangkan di Indonesia makna ulama hanya memasukkan jenis kelamin tertentu yaitu laki-laki.10 Insiatif pembentukan pengkaderan ulama perempuan dimulai tahun 2003/2004, terdapat yang pada saat itu masih disebut “Pesantren Rahima” yang berisikan perempuan-perempuan untuk dididik menjadi ulama perempuan, berangkatnya dari keprihatinan bahwa; Pertama , Jumlah ulama perempan tidak terlalu banyak. Kedua, kapasitas ulama perempuan dianggap tidak setara dengan ulama laki-laki. Ketiga, diharapkan ulama perempuan tidak hanya mampu berdakwah bil lisan namun juga mampu melakukan dakwah dengan perbuatan.11 Selain itu kebanyakan pesantren yang berdiri di jawa adalah pesantren yang kebanyakan di huni oleh mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Kita masih sulit sekali menemukan pesantren perempuan, mungkin memang sekarang ada namun masih sangat jarang semisal pesantren putri Cintapanda yang didirikan oleh Hj. Nonoh Hasanah di Tasikmalaya. Kemudian Hj. Suwa sebagai perempuan yang tegas berdakwah serta masih banya ulama-ulama perempuan lainnya semisal Rahmah el Yunusiyah yang mendirikan sekolah 10
AD Kusumaningtyas , koord. Dokumentasi dan informasi , Wawancara Pribadi, Jakarta 6 Mei 2014. 11 AD Eridani, Direktur Rahima, Wawancara Pribadi, Jakarta 2 Mei 2014
50
di Padang. Kemudian menurut ibu AD Kusumaningtyas “dalam pendidikan pesantren terdapat diskriminasi dalam pembelajaran, mungkin kalau untuk perempuan yang di ajarkan hanya kitab yang membahas tentang rumah tangga seperti `uqudul jain sedang laki-laki cenderung lebih luas, mulai dari ilmu bahasa ( nahwu, shorof , mantiq ) serta ilmu yang lain”.12 Dari sanalah pengkaderan ulama perempuan dibentuk. Selain itu program ini dikembangkan dengan asumsi bahwa yang paling fasih berbicara tentang perempuan dan memperjuangkan hak-hak perempuan, atau berada di paling depan dalam upaya penegakkan hak-hak perempuan, adalah perempuan itu sendiri.13 Saat ini juga tengah terjadi ikhtiar di beberapa organisasi keagamaan Islam besar seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah untuk melibatkan perempuan diranah keulamaan. Majelis tarjih Muhammadiyah misalnya, saat ini telah mengakomodir kehadiran beberapa ulama perempuan. Namun perjuangan untuk memperkuat kembali kehadiran para ulama perempuan ini bukanlah perkara yang mudah. Upaya untuk memasukkan nama-nama perempuan di jajaran Syuriah NU, misalnya juga memerlukan perjuangan yang panjang.14 Dari keprihatinan itulah menjadikan Rahima memiliki pemikiran untuk menyelenggarakan program Pengkaderan Ulama Perempuan( PUP ). Walaupun memang sebelumnya sudah ada program Pesantren Rahima namun sifatnya belum menyeluruh ataupun jangkauannya belum meluas, titik fokusnya baru tertuju hanya pada
pesantren-pesantren tidak seperti
Pengkaderan Ulama Perempuan ini yang lebih bersifat universal tidak hanya dari pesantren-pesantren namun juga mereka para Akademisi, Aktivis-aktivis di sebuah lembaga, serta para guru-guru agama di sekolah.
12
AD Kusumaningtyas , koord. Dokumentasi dan informasi , Wawancara Pribadi, Jakarta 6 Mei 2014. 13 Modul Pengkaderan Ulama Perempuan Perspektif kesetaraan ( Jakarta : Rahima, 2011), hal x 14
Swara Rahima No. 23 Th. VII, Desember 2007 hal 10
51
2.
Tujuan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima Rahima adalah salah satu organisasi independen yang bergerak tidak dibawah pemerintah. Rahima itu sendiri memiliki cita-cita yang sangat kontributif dalam menegakkan keadilan bagi perempuan, hak-haknya terpenuhi, dan memperoleh penghargaan serta perlakuan setara dengan lakilaki, dan cita-cita tersebut tercantum kedalam suatu visi rahima yaitu, wujudnya suatu tatanan masyarakat demokratis yang ditandai dengan terpenuhinya hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. Salah satu program rahima dalam merealisasikan visi dan misi diatas adalah Pengkaderan Ulama Perempuan (disingkat PUP). Program tersebut bertujuan untuk melahirkan ulama perempuan atau ulama yang memiliki perspektif keadilan dan kesetaraan.15 Dalam kontribusinya ulama perempuan efektif untuk mengembangkan tafsir ajaran agama tentang perempuan dan persoalan-persoalan perempuan, dengan cara pandang perempuan. Banyak ajaran agama yang berkaitan dengan perempuan dan urusan perempuan yang bias gender, karena ajaran agama diturunkan dari generasi ke generasi oleh ulama laki-laki. Ajaran-ajaran menjadi tidak lengkap justru karena mereka tidak mengalami sebagai perempuan. Berbagai persoalan fiqih misalnya, tentang haid, nifas, dan lain-lain sebenarnya sangat relevan dikaji dan dirumuskan oleh para ulama perempuan yang secara empiris mempunyai pengalaman sendiri.16 Selanjutnya tujuan PUP yang lainnya adalah melibatkan perempuan dalam proses istinbath hukum islam dalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan yang memiliki otoritas yang selama ini selalu melibatkan laki-laki saja. Padahal dalam kenyataannya banyak perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang mempuni. Selain itu tujuan dari PUP ini juga untuk bisa tampil sebagai pelaku utama dalam upaya dalam penyebaran gagasan tentang penghargaan, keadilan, dan kesetaraan bagi perempuan, tentu dengan 15
Modul Pengkaderan Ulama Perempuan Perspektif kesetaraan ( Jakarta : Rahima,
2011), hal x 16
Hilmi ali Yafie , The Rahima Story ,( Jakarta : Rahima , 2010 ), Cet.I, h.59
52
persepektif islam. Mereka diharapkan bisa merombak budaya yang selama ini membelenggu
sehingga
perempuan
tidak
bisa
mengaktualisasikan
kepentingannya, mendorong terjadi perubahan-perubahan kebijakan negara kearah yang lebih memihak kepada kepentingan perempuan, agar kebijakakebijakan itu lebih memihak kepada upaya-upaya dan tegaknya hak-hak perempuan dalam masyarakat. Dalam al-Quran hak proposisi kesetaraan dalam melakukan dan menyerukan kebaikan telah disebutkan dalam surat at-Taubah ayat 71;
“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( Q.S At-Taubah 71 ) Dalam pengkaderan ulama perempuan ini pun, bertujuan untuk menghasilkan kader ulama perempuan yang dapat membangun kesadaran Islam adil gender melalui berbagai forum pendidikan, baik formal maupun non formal. Misalnya melalu Majlis Taklim seperti yang dilakukan kader ulama perempuan Nur Faizah, sri Lasmi, Iroh Suhiroh, Titi Siti Rohanah, dan yang melalui pesantren seperti yang pernah dilakukan oleh kader ulama perempuan yang bernama Nur I’anah, Umi Hanik, Badi’ah, Fatimah, Ratu Vina Rohmatika, Ida Mahmudah, Najmatul Millah, Neng Hilma Sufina Mimar, Nur Rohimah, Nyai Khotim, Afwah mumtazah, Luluk Farida, Raihanah Faqih, Nia Ramdianati, Ernawati, maupun melalui pendidikan
53
formal baik sekolah maupun perguruan tinggi seperti yang dilakukan oleh kader perempuan bernama Marfu`ah Azizah Alawiyah, Eka Julaiha, Istianah, aan Ansoriyah, Lia Aliyah, Titik Rahmawati, agustriani, Neng Hannah, ery Khaeriyah. Banyak diantara kader ulama rahma ini yang terjun langsung di masyarakat melakukan advokasi, baik secara kultural, maupun struktural seperti yang dilakukan oleh kader ulama perempuan Ella Jauharoh, Nurul Sugiarti, Najmatul Muna, Raudlatul Miftah, Anis Suadah, Imas Maspuah, yulianti Mutmainnah, Yayah Fitriyah, Kokom, juga melalui lembaga negara seperti Aniroh yang menjadi anggota KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah), dan Maesaroh yang pernah menjadi Anggota DPRD.17
3.
Pendekatan Pembelajaran Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima Pengkaderan ulama perempuan dikembangkan oleh Rahima dengan menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa ( andragogy ) atau pendidikan kritis yang lazim dikenal di lingkungan Non Government Organistion atau lembaga diluar pemerintahan. Pendidikan semacam inilah yang dalam keseluruhan bangunan pendidikan yang dikembangkan Rahima.18 Dalam pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan ini Rahima menganut faham Paulo Freira, yaitu pendidikan yang membebaskan, pendidikan kritis yang membebaskan. Jadi pendidkan bisa melalui berbagai cara, bisa melalui pelatihan, workshop, seminar, halaqoh. Tapi, yang menjadi titik tekannya adalah pendidikan yang membebaskan itu, artinya disini merupakan suatu pendidikan kritis yang mana pesertanya itu juga menjadi nara sumber, masing-masing peserta menjadi sumber pengetahuan.19 Pendekatan belajar yang dilakukan oleh Rahima adalah pendekatan pendidikan orang dewasa, jadi pendekatan orang dewasa itu sebenarnya memiliki daur belajar yaitu ; Mengalami – Mengungkap – Menganalisa –
17
AD. Eridani, dkk., Merintis Keulamaan untuk Kemanusian: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima, (Jakarta: Rahima, 2014), h. Xxxvi-xxxvii 18 Hilmy Ali Yafie, The Rahima Story, ( Jakarta : Rahima )hal 56. 19 AD Eridani, Direktur Rahima, Wawancara Pribadi, Jakarta 2 Mei 2014
54
Menyimpulkan.20 Keempat daur tersebut merupakan sebuah pendekatan yang dilakukan dalam penerapannya di Pendidikan orang dewasa khususnya dilakukan dalam pendidikan dalam Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima. Penerapan dari daur belajar yang penulis paparkan di atas maka, seorang fasilitator hanya menggali pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta atau disebuk aksi refleksi. Suatu proses pendidikan yang secara metedologis mengacu kepada apa yang disebut praxis, bertumpu pada daur aksi dan refleksi. Pendidikan ini pada dasarnya yang dibangun bersama peserta, dengan tujuan menggapai realitas. Aksi dan refleksi adalah prinsip bertindak untuk mengubah kenyataan dan pada saat yang sama terus menerus menumbuhkan kesadaran atas realitas itu dan hasrat untuk merubahnya. Artinya setiap saat dalam proses pendidikan itu peserta dirangsang untuk mengambil suatu keputusan atau tindakan dan kemudian tindakan itu direfleksikan. Dipikirkan kembali untuk memperbaiki atau memperbaharui tindakannya. Sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan berpikir yang berlangsung terus menerus. Proses pendidikan ini juga dikenal dengan istilah “belajar dari pengalaman”. Bukan teori, yang tidak ada kaitan dengan realitas dan kebutuhan, yang dipelajari, melainkan relaitas yang dialami. Maka secara metodologis, dalam prosesnya, peserta dibawa ke dalam suatu suasana belajar yang memungkinkan dapat mengungkapkan dan mengkaji kembali realitas yang dialaminya itu, kemudian menyimpulkannya; dari situ diharapkan mereka memperoleh makna baru terhadap realitas itu. Proses itu (megungkapkan, mengkaji, dan menyimpulkan) diharapkan membawa peserta melihat realitas itu dengan cara pandang baru, sehingga bisa memberikan responnya secara lebih realistis. Konsep teori tentu tetap digunakan, tetapi itu dipakai untuk membantu dalam proses analisis. Dengan demikian pengetahuan seseorang bersumber dari realitas yang digaulinya, demikian pula tindakan yang dilakukannya untuk merespon realitas itu, bukan retorika teoritik. Untuk itu proses komunikasi dikembangkan dalam berbagai 20
Maman AR, Koordinator Program, Wawancara Pribadi, Jakarta 6 Mei 2014
55
bentuk kegiatannya seperti diskusi kelompok. diskusi pleno, bermain peran, dan sebagainya. serta media seperti media peraga, grafika, audio visual, dan sebagainya yang digunakan lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antara semua orang yang terlibat dalam proses belajar itu.21 Pendekatan pendidikan yang bersifat partisipatif diatas tidaklah mudah dijalankan karena membutuhkan waktu yang relatif lama, dan ini menjadi kendala bagi para peserta pengkaderan ulama karena mereka memiliki kegiatan lain dengan komunitasnya serta jarak yang jauh dari tempat domisili ke tempat pendidikan berlangsung. oleh karena itu pendidikan ini dibagi dalam beberapa kali pertemuan dalam kelas, yang diselingi dengan masa peserta kembali ke kampung atau komunitas masing-masing, dengan tugastugas tertentu sesuai dengan tema dalam kelas. Adapun setiap pertemuan dalam pendidikan PUP ini berlangsung selama 4-6 hari, dan ini semua tergantung materi yang akan dibahas, dan selanjutnya para peserta akan pulang ke komunitasnya masing-masing selama 2-3 bulan. dengan pendekatan seperti ini sebenarnya dimaksudkan agar peserta terbiasa dengan proses aksi dan refleksi, atau belajar dari pengalaman, yang memungkinkannya berada dalam kondisi pencarian terus-menerus. Dengan demikian tidak terjebak dalam fanatisme buta terhadap gagasan-gagasan tertentu, atau asik dengan dirinya sendiri, dan melupakan realitas yang dihadapi masyarakat. Proses belajar itu juga diharapkan menumbuhkan kebiasaan melakukan refleksi bersama, karena terbiasa dalam proses pendidikan, yang memungkinkan mereka saling menguatkan.
4.
Kurikulum Pengkaderan Ulama Perempuan a.
Tadarus Kata tadarus berasal dari asal kata darasa yadrusu, yang artinya mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji, dan mengambil pelajaran dari wahtu-wahyu Allah SWT. Lalu kata darasa ketambahan huruf ta` di 21
Modul Pengkaderan Ulama Perempuan Perspektif kesetaraan ( Jakarta : Rahima, 2011 ), hal xiv-xv
56
depannya sehingga menjadi tadarasa yatadarasu, maka maknanya bertambah menjadi saling belajar, atau mempelajari secara lebih mendalam.22 Tadarus yang dimaksudkan lembaga Rahima adalah pertemuan untuk membahas materi-materi yang diajarkan dari nara sumber kepada peserta Pengkaderan atau disebut proses belajar mengajar. Proses pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan dibagi dalam beberapa kali pertemuan, baik itu dilakukan dalam kelas maupun dilakukan di luar kelas. Kurikulum proses belajar serta materi yang ditetapkan atau dikembangkan dalam proses pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan pada awalnya terdiri dari 5 bagian yang biasa disebut tadarus. Namun seiring dengan perkembangannya, dikarenakan cukup padatnya Tadarus ataupun materi yang ada serta atas usulan para peserta Pengkaderan yang sebelumnya maka tadarus dipecah menjadi 7 tadarus : 1) Tadarus pertama Tema pokok pada Tadarus pertama Pengkaderan Ulama Perempuan, adalah “ Islam dan keadilan gender “ yang membicarakan beberapa materi, yakni ; Kesehatan Gender, Hak-hak Reproduksi , Pandangan Islam terhadap Kesetaraan Gender dan Hakhak Reproduksi.23 Tujuan utama pembahasan tema ini adalah “ membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang kesetaraan, mengasuh kepekaan dan mengembangkan peserta; dengan memberikan inputinput materi dan suasana belajar yang kondusif yang diharapkan bisa memberikan peserta cara pandang baru terhadap realitas yang selama ini digelutinya”.24
22 23
Imam Nawawi, Menjaga Kemuliaan Al-Qur`an, ( Bandung : Al-Bayan,1996), h.101. Modul Pengkaderan Ulama Perempuan Perspektif kesetaraan ( Jakarta : Rahima, 2011
), hal 3 24
Ibid
57
2) Tadarus kedua Pada tadarus ini tema yang di angkat adalah Metedologi Kajian Islam Berbasis Kesetaraan dan Kemajemukan. Tema kajian Metodologi ini dibagi kedalam dua tadarus. Bagian Pertama, yang dikaji dalam tadarus yang kedua lebih berfokus pada pembahasan Tafsir dan Hadits. Sedangkan pada tadarus ketiga menekankan pada upaya
memahami
dan
membangun
Fikih
yang
berspektif
kesetaraan.25 Tujuan dari kajian tema ini adalah26 : a) Memahami lebih jauh tentang tentang sejarah perkembangan Tafsir dan Hadits, serta perkembangan kajian dan pemikiran yang terkait keduanya. b) Memahami prinsip-prinsip kesetaraan, yang diharapkan dapat membantu
peserta
untuk
mengembangkan
pandangan
keagamaan yang lebih berperspektif keadilan dan kesetaraan.
3) Tadarus ketiga Pada tadarus ketiga ini merupakan kelanjutan dari tema tadarus yang sebelumnya. Setelah kita mengkaji terkait Tafsir dan Hadits yang menjelaskan sejarah dan pemikiran serta kesetaraan realisasi yang diharapkan maka untuk tadarus ketiga ini yang dikaji adalah “ Membangun Fikih Perspektif Keadilan”. Sebagaimana diketahui, Fikih adalah seperangkat aturan yang mengikat
kehidupan
masyarakat
muslim.
Selama
seseorang
berpredikat sebagai mukallaf , sepanjang hayatnya ia senantiasa terkontrol dengan ketentuan-ketentuan fikih dengan berbagai varian hukumnya.27 Tujuan dari kajian tema ini adalah; 25
Ibid.,h 65. Ibid 27 Ibid,. h.105 26
58
a) Mengkritisi pandangan keagamaan Fikih yang hidup dominan dalam masyarakat. b) Mendorong
hidupnya
kembali
pandangan-pandangan
keagamaan, terutama Fikih, yang berperspektif keadilan dan kesetaraan
yang
memungkinkan
perempuan
memperoleh
penghargaan dan posisi yang lebih layak sehingga bisa mengembangkan diri dan mengembangkan perannya secara maksimal.
4) Tadarus keempat Istimbatul Ahkam, membahas tema agama dan perubahan sosial bagaimana melakukan jalan keluar atau cara menetapkan hukum dari kajian sebelumnya, yaitu Metedologi Kajian Islam. Diperkenalkan model-model penetapan hukum yang berada di Indonesia.
5) Tadarus kelima Pada pembahasan ini tema yang berkembang adalah Advokasi dan Pengorganisasian Kelompok atau Masyarakat. Kedua tema ini diharapkan
memberikan
melakukan
aksi-aksi
bekal
secara
kepada lebih
peserta
realistis
untuk
dan
dapat
sistematis.
Pembahasan kedua tema ini dibahas secara terpisah, tetapi dengan alur pembahasan yang kurang lebih sama. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu unsur penting dalam proses pengorganisasian masyarakat dan juga advokasi adalah pendidikan. Maka setelah mengenali apa sebenarnya pengorganisasian masyarakat itu, dan apa itu advokasi, kenapa perlu dilakukan, peserta diajak membahas filsafat
pendidikan
yang menjadi
landasan
keduanya.
Dari
pembahasan itu peserta di ajak untuk mengkaji prinsip-prinsip
59
keduanya. Setelah itu, barulah diajak membahas langkah-langkah dan tekhnik-tekhnik pengorganisasian dan advokasi.28
Tadarus dan Materi ajar Setelah dilakukan Revisi berjumlah 7, yaitu sebagai berikut; 1. Tadarus Pertama a.
Tema Islam, kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi.
b.
Deskripsi Pada tadarus pertama peserta akan mempelajari materi kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi meliputi gender dan seks, pembedaan gender dan dampaknya, ketimpangan dalam masyarakat karena pembedaan gender, factor-faktor
yang
melenggangkan ketidakadilan gender, studi kasus ketidakadilan gender ( kasus kekerasan), kesehatan reproduksi dan seksual, pandangan islam tentang gender dan kesehatan reproduksi dan seksual. Tujuan utama pembahasan ini adalah untuk membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang kesetaraan , mengasah kepekaan dan mengembangkan peserta; dengan mengembangkan input-input ( materi dan suasana belajar yang kondusif ) yang diharapkan bisa memberikan peserta cara pandang baru terhadap realitas yang selama ini digelutinya. Secara lebih khusus pertemuan pertama ini mengajak peserta untuk lebih mengenali persoalan-persoalan dan isu kesetaraan dan keadilan gender serta kesehatan reproduksi. c.
Tujuan. 1) Memahami konsep islam tentang gender dan kesehatan reproduksi
28
Ibid,. h.161.
60
2) Memahami konsep gender, ketidak adilan yang muncul akibat pembedaan gender dan strategi untuk mewujudkan keadilan gender 3) Memahami konsep kesehatan reproduksi dan pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan organ reproduksi untuk mencegah terjadinya resiko reproduksi. d.
Materi 1) Pandangan Islam tentang gender dan kesehatan reproduksi 2) Pengalaman menjadi laki-laki dan perempuan 3) Mengenal kontruksi laki-laki dan perempuan 4) Bentuk2 ketidak adilan gender 5) Strategi mewujudkan keadilan gender 6) Kesehatan reproduksi dan seksual 7) Organ reproduksi dan cara menjaga kebersihan dan kesehatan organ reproduksi 8) Resiko reproduksi, hak-hak kesehatan reproduksi dan informasi dasar seksualitas
e.
Metode 1) Bahan persentasi narasumber 2) Buku yang terkait islam, Gender dan kesehatan reproduksi 3) Diskusi kelompok 4) Curahan pendapat
f.
Waktu
20 jam
g.
RTL Tadarus I Mengamati berbagai bentuk, penyebab dan dampak dari ketidak adilan gender dan berbagai kasis kesehatan reproduksi yang ada dikomunitasnya. Tugasnya adalah : 1) Menuliskan
bentuk-bentuk
ketidakadilan
gender
yang
berkembang dimasyarakat atau kasus kesehatan reproduksi yang ada dimasyarakat
61
2) Menuliskan
penyebab
terjadinya
ketidakadilan
gender
tersebut atau terjadinya kasus kesehatan reproduksi tersebut 3) Menuliskan dampak yang ditimbulkan akibat adanya ketidakadilan
gender
dan
terjadinya
kasus
kesehatan
reproduksi yang ada di masyarakat.
2.
Tadarus Kedua a.
Tema Relasi Gender dalam Al-Qur`an dan Tafsir
b.
Deskripsi Tadarus kedua dengan tema “Relasi Gender dalam alQur`an dan Tafsir” adalah materi yang mendiskusikan tentang wacana tafsir meliputi paradigm, metode dan tafsir al-Qur`an. Paradigma tafsir mempengaruhi metode tafsir dan selanjutnya metode tafsir mempengaruhi hasil tafsir. Meskipun al-Quran diyakini berasal dari Allah baik lafadz maupun maknanya, namun paradigma, metode, dan tafsir al-Quran adalak konstuk social yang dinamis sehingga relasi gender yang menjadi spirit al-Quran
dapat
dipertahankan
dan
dapat
menggerakan
perubahan social menuju tatanan yang adil gender. c.
Tujuan Para peserta mampu merespon bias gender dalam wacana tafsir berdasarkan metode yang kuat dan mampu melakukan reinterprestasi terhadap ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan relasi gender.
d.
Materi 1) Perempuan dalam lintasan sejarah tafsir 2) Relasi gender dalam bahasa arab
62
3) Ragam paradigma tafsir
dan pengaruhnya pada relasi
gender 4) Ragam metode tafsir dan pengaruhnya pada relasi gender 5) Ragam tafsir dan pengaruhnya pada relasi gender e.
Metode 1) Ceramah 2) Diskusi 3) Diskusi kelompok 4) Bedah teks 5) Nonton film 6) Penugasan 7) Berbagi pengalaman
f.
Waktu 20 jam
g.
RTL Tadarus ke II Peserta mengamati wacana tafsir yang bias gender dimasyarakat, baik di artikel, acara keagamaan di TV, mimbar khutbah, majlis ta`lim, dikusi diperkuliahan dan lain-lain tugasnya adalah: 1) Menuliskan ayat dan tafsir yang bias gender yang ditemukan di masyarakat 2) Menemukan dimana letak bias gendernya 3) Menuliskan tafsir alternative yang adil gender
3.
Tadarus Ketiga a. Tema Relasi gender dalam Hadist dan ulumul hadits b.
Deskripsi Hadis memiliki kedudukan yang penting sebagai salah satu sumber ajaran Islam . sebagai informasi atau sumber ajaran, kualitas hadis perlu di validasi. Namun demikian, banyak hadis yang popular di masyarakat tetapi tidak diketahui kualitas atau nilainya. Tujuan utama pembahasan hadis ini adalah; pertama,
63
untuk dapat memahami dan melakukan validasi terhadap hadis dengan baik maka diperlukan perangkat metodologi. Kedua, untuk memahami hadis yang terdiri dari sanad dan matan dan konteks yang melatar belakangi kemunculannya. Tadarus ketiga ini mencakup beberapa materi tentang hadis yaitu, definisi dan macam-macam hadis, metodologi pemahaman hadis,analisis kualitas
hadis
terutama
yang terkait
dengan
persoalan
perempuan, dan pembacaan kritis terhadap hadis-hadis yang memiliki matan tampak tidak sesuai dengan nilai keadilan kesetaraan gender c.
Tujuan 1) memahami definisi dan macam-macam hadits 2) Mengetahui metodologi pemahaman hadits 3) Menganalisis kualitas hadits terutama yang terkait dengan persoalan perempuan 4) Melakukan pembacaan kritis terhadap hadits2 yang memiliki matan tampak tidak sesuai dengan nilai KKG
d.
Materi 1) Pengertian hadis, sunah dan macam-macamnya 2) Sejarah pengumpulan dan penulisan hadits 3) Identifikasi hadits2 populer di masyarakat yang bias gender 4) Identifikasi bias gender dalam hadits 5) Metode pemahaman hadits, mulai dari kritik sanad hadis tokoh, tokoh periwayat hadis, kritik matan hadis, kajian hadis tematik, pengenalan dan penilaian kitab-kitab hadis 6) Ilmu ma`anil hadis, dan rekonstruksi pemahaman dengan hadis
e.
Metode. 1) Curah pendapat 2) Belanja ide 3) Diskusi kelompok
64
4) Mencari informasi 5) Pro and cont f.
RTL Tadarus III Peserta mengamati Hadits yang bias gender dimasyarakat, baik di artikel, acara keagamaan di TV, mimbar khutbah, majlis ta`lim, dikusi diperkuliahan dan lain-lain tugasnya adalah: 1) Menuliskan hadits yang bias gender yang ditemukan di masyarakat 2) Menemukan dimana letak bias gendernya 3) Menuliskan hadits alternative yang adil gender
4.
Tadarus Keempat a.
Tema Relasi gender dalam Fiqh dan Ushul Fiqh
b.
Deskripsi Materi fikih dan ushul fikih menjadi salah satu materi penting untuk pelatihan pengkaderan ulama perempuan rahima. Fiqih selama ini difahami sebagai produk hokum yang baku dan tidak bisa ganggu gugat. Padahal, fikih sebagai produk hokum tidak hanya dipahami sebagai produk yang sudah jadi akan tetapi perlu mendapatkan pemahaman
tentang konsep
substansial yang terdapat dalam ushul fiqh. Wajah fikih yang selama ini digambarkan sebagai produk yang otoriter, hal ini perlu direkonstruksi menjadi fiqih yang otoritatif. Fikih harus difahami sebagai sebuah produk dan fikih sebagai sebuah manhaj. c.
Tujuan 1) Memahami sejarah, teori dan metodologi fiqih 2) Memiliki bekal untuk mengimplementasikan teori-teori fiqh 3) Mampu mengaplikasikan teori fiqh tersebut dalam kajian fiqh dengan kontemporer berspektif kesetaraan
65
d.
Materi 1) Sejarah pembentukan dan pembukuan fiqh 2) Pola kebermadzhaban ( pemikiran madzhab ) 3) Dinamika pemikiran dari masa nabi, sahabat, tabi`in, imam madzhab, colonial, dan pos colonial 4) Karakteristik teori model ijtihad imam madzhab 4 5) Model pemikiran fiqh ( itijazy/ tekstual, khurasani/ rasional dan andalusi/kontekstual ) 6) Model-model ushul fiqh kontemporer 7) Maqashid syari`ah
e.
Metode 1) Diskusi 2) Brainstorming 3) Power of two 4) Membaca kitab fiqh dan ushul fiqh 5) Games
f.
RTL tadarus IV Peserta mengamati wacana fiqh yang bias gender dimasyarakat, baik di artikel, acara keagamaan di TV, mimbar khutbah, majlis ta`lim, dikusi diperkuliahan dan lain-lain tugasnya adalah: 1) Menuliskan fiqh yang bias gender yang ditemukan di masyarakat 2) Menemukan dimana letak bias gendernya 3) Menuliskan fiqh alternative yang adil gender
5.
Tadarus Kelima a.
Tema Ham perubahan sosial dan globalisasi
b.
Deskripsi
66
Tema pertemuan keempat adalah Islam, HAM-HAP dan perubahan social. Ada beberapa materi yang dikaji dalam pertemuan ini. Pertama, tentang HAM dan HAP, kedua prinsip HAM dalam Islam, ketiga Globalisasi keempat Analisis sosial. Dan seperti biasanya pertemuan diakhiri dengan menyusun rencana tindak lanjut .Pada materi pertama, peserta akan ditemani oleh satu orang atau dua orang nara sumber, pada materi kedua dan seterusnya peserta lebih banyak ditemani oleh fasilitator. Metode metode yang digunakan dalam pertemuan ini antara lain; menghadirkan narasumber, kesaksian pelaku, kaji kasus, nonton film, diskusi kelompok, dan praktek lapangan. c.
Tujuan 1) Memahami konsep dasar HAM dan berbagai instrumennya, serta menerapkannya dalam menganalisis kasus maupun berbagai aturan perundangan dan kebijakan Negara 2) Peserta memahami globalisasi, teori social, dan perubahan sosial dan bisa menggunakannya dalam menganalisis problem social. 3) Peserta dapat merefleksikan analisis social.
d.
Metode 1) Ceramah 2) Diskusi 3) Diskusi kelompok 4) Bedah teks tafsir 5) Nonton film 6) Penugasan 7) Berbagi pengalaman
6.
Tadarus Keenam a.
Tema Istinbatul Ahkam dan Bahtsul masail
67
b.
Deskripsi Materi istinbath hukum berisi tentang metode istinbath hukum sejak masa nabi, sahabat, imam madzhab, yang kemudian dikembangkan oleh ormas NU, Muhammadiyah, dan lembaga MUI serta pesantren dalam bentuk bahsul masail, MTPPI dan sidang MUI. Model2 Istinbath hokum yang dikembangkan oleh NU, Muhammadiyah, MUI yang proses dan hasilnya selama ini masih cenderung bias gender. Peserta kemudian mempraktekan istinbath hokum dengan model mazhab
manhaji
untuk
menghasilkan
hokum
yang
berpserspektif adil gender. c.
Tujuan 1) Peserta memahami dan mengidentifikasi hasil-hasil BM, MTPPI, dan fatwa MUI yang bias gender 2) Peserta memahami modet istinbath hokum yang adil gender dan mampu menggerakan forum-forum istinbath hokum untuk responsive gender
d.
Materi 1) Tradisi Istinbath hokum masa nabi, sahabat dan imam madzhab 2) Model istinbath hokum ulama kontemporer 3) Istinbath hokum model NU, Muhammadiyah, MUI dan Pesantren 4) Hasil BM, MT, TJA, fatwa MUI yang bias gender 5) Kasus-kasus yang relevan dan strategis
e.
Metode 1) PBL 2) Disko 3) Role Play 4) Presentasi 5) Interactive learning
68
6) Brainstorming 7) Case study f.
RTL Tadarus VI 1) Peserta membentuk forum-forum BM, MTPPI, yang berperspektif adil gender 2) Peserta terlibat dalam berbagai forum BM, MTPPI di wilayahnya dan mempengaruhi forum-forum tersebut dengan perspektif
7.
Tadarus ketujuh a.
Tema Advokasi Sosial dan Pengorganisasian Masyarakat
b.
Deskripsi Kedua tema ini diharapkan memberikan bekal kepada peserta untuk dapat melakukan aksi-aksi secara lebih realistis dan sistematis. Pembahasan kedua tema ini dibahas secara terpisah, tetapi dengan alur pembahasan yang kurang lebuh sama. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu unsur penting dalam proses pengorganisasian masyarakat dan juga advokasi adalah pendidikan. Maka setelah mengenali apa sebebarnya pengorganisasian masyarakat itu, dan apa itu advokasi, kenapa perlu dilakukan, peserta diajak membahas filsafat pendidikan yang menjadi landasan keduanya. Dari pembahasan itu peserta di ajak untuk mengkaji prinsip-prinsip keduanya. Setelah itu, barulah diajak membahas langkah-langkah dan tekhnik-tekhnik pengorganisasian dan advokasi.
c.
Tujuan 1) Dapat menjelaskan paradigma advokasi sosial 2) Dapat menjelaskan pengertian dan prinsip-prinsip advokasi sosial 3) Dapat menjelaskan tujuan, sasaran, dan tahapan advokasi sosial
69
4) Dapat melakukan tekhnik, strategi, dan langkah-langkah advokasi sosial d.
Materi 1) Paradigma advokasi 2) Pengertian, prinsip-prinsip advokasi 3) Tujuan dan sasaran 4) Tekhnik dan strategi 5) Langkah-langkah dan tahapan
e.
Metode. 1) Berbagi pengalaman 2) Presentasi dan dialog 3) Studi kasus 4) Debat 5) Diskusi kelompok 6) Pemutaran film 7) Berbagi pengalaman 8) Praktek lapangan
f.
RTL Tadarus VII Peserta mengamati wacana tafsir yang bias gender di masyarakat, baik artikel, acara keagamaan di TV, mimbar khutbah, majlis ta`lim, diskusi di perkuliahan dan lain-lain. Tugasnya adalah : 1) Menuliskan ayat dan tafsir gender yang ditemukan di masyarakat. 2) Menuliskan dimana letak bias gendernya. 3) Menuliskan tafsir alternative yang adil gender
b. Materi Belajar Untuk materi yang diadakan dan terdapat di setiap tadarus itu terlahir dari Pengkaderan Ulama Perempuan yang sebelumnya. Namun sebelum Pengkaderan Ulama Perempuan angkatan selanjutnya diadakan, lembaga
70
Rahima mengadakan workshop terlebih dahulu. Workshop ini diadakan dengan tujuan; 1. Terkait materi yang akan dibahas di setiap tadarusnya. 2. Refrensi atau buku yang digunakan sebagai rujukan setiap materi pembahasan. 3. Nara sumber dan Fasilitator atau pengajarnya.
Materi ditentukan melalui workshop yang merupakan penyampain hasil Pengkaderan Ulama Perempuan yang sebelumnya, dari sanalah kemudian terdapat capaian, tantangan dan hambatan yang terdapat pada Pengkaderan yang sebelumnya.29 Maka dirumuskanlah materi yang ideal untuk pengkaderan yang selanjutnya.
c. Metode Belajar Terkait dengan kesesuaian pendekatan yang dicanangkan oleh Pengkaderan Ulama Rahima yaitu pendekatan orang dewasa maka metode yang diterapkan dalam melakukan pengkaderannya di setiap Tadarus atau Pembelajaran bersifat variatif. Metode yang digunakan disesuaikan dengan Tadarus atau Pembelajaran yang sedang berlangsung, Terlebih lagi penggunaan metode yang digunakan lebih terfokus kepada keaktifan para pesertanya. Metode yang digunakan oleh narasumber bermacam-macam, ada yang ceramah, diskusi, dan lain sebagainya namun dikarenakan prinsip yang digunakan partisipatori peran fasilitator. Jadi kami memiliki fasilitator kalaupun nanti metode narasumbernya ceramah nanti kemudian fasilitator yang kemudian mencoba menjabarkan, dan menjebatani agar forumnya lebih partisipatif.30 Selain menggunakan metode ceramah dengan disertai fasilitator, digunakan pula metode lainnya yang disesuaikan dengan pendekatan 29 30
AD Eridani, Direktur Rahima, Wawancara Pribadi, Jakarta 2 Mei 2014 ibid
71
yang dilakukan seperti, meminta peserta untuk sharing, curah pendapat, diskusi, bernyanyi, kemudian role play, bermain peran, misalkan membantu dalam materi kesalahan gender, jadi memerankan bagaimana laki-laki dan perempuan berperan.31 Metode pempelajaran yang dilakukan oleh Rahima sangat bagus terutama pendekatan andragogi yang diterapkannya. Sebagaimana yang diutarakan ibu Agustriani Muzayyanah yang ditulis dalam buku Merintis Keulamaan untuk Kemanusian: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima mengungkapkan ;
“Meskipun sebenarnya mendoktrin cuma kemasannya sangat menarik, tidak menggurui sehingga para peserta yang orang-orang tua tidak merasa digurui, ngantuk, atau malah merasa diremehkan. Dengan keterlibatan langsung peserta, suasana jadi lebih hidup, lebih berkesan, dan materi lebih mudah masuk. Sangat variatif, kadang lesehan kadang resmi.32 5.
Persyaratan Pengkaderan Ulama Perempuan Terdapat beberapa persyaratan yang harus dimiliki sebagai calon peserta Pengkaderan Ulama Perempuan yang dilakukan lembaga Rahima, hal ini dimaksudkan sebagai upaya maksimalisasi bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh para peserta,yaitu; a.
Pengusaan Dasar Ilmu Agama Penguasaan ilmu agama merupakan dasar yang harus dimiliki oleh semua calon peserta Pengkaderan ulama perempuan. Pendidikan yang diajarkan oleh Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima bukan pendidikan Islam dasar seperti pengajaran baca Al-Qur`an namun yang dilakukan adalah kelanjutan sebagai upaya menggali kecerdasan intelektual yang telah dimiliki oleh setiap peserta yang basicnya rata-rata lulusan pesantren ataupun para mahasiswa dan aktivis. .
31
Maman Abdurrahman koordinator program, Wawancara Pribadi, Jakarta 6 Mei 2014 AD. Eridani, dkk., Merintis Keulamaan untuk Kemanusian: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima, (Jakarta: Rahima, 2014), h.131-132 32
72
b. Mempunyai Basic Komunitas Syarat ini di upayakan agar Ulama Perempuan tersebut mampu menjadi pemecah masalah dari apa yang dimiliki dari golongan tersebut yang disebut inter media group.33 semisal ia merupakan seseorang yang mempunyai andil besar dalam lembaga pendidikan, menjadi salah satu ketua pesantren, mempunyai basic akademis yang kuat semisal menjadi seorang dosen, ataupun dia merupakan seorang guru agama disekolah. Jadi dimaksudkan mereka mampu menjebatani sebagai penyebar informasi di komunitasnya tersebut. Hal ini dimaksudkan agar penyebaran informasi yang didapat bisa segera tersalurkan dan dapat terfokus kepada komunitas yang dibawahinya.
c.
Mau Terbuka dengan Informasi Terbaru Maksud ketebukaan terhadap informasi terbaru adalah, kepekaan terhadap tema yang sedang berkembang di masyarakat, ia tidak canggung untuk membahas tema yang sedang mencuat khususnya di era globalisasi seperti saat ini, emansipasi wanita yang dilakukan oleh pemerintah mampu mengangkat derajat kaum wanita di mata khalayak ramai, mereka mampu bersanding setara dengan laki-laki dalam segala aspek, baik itu dalam aspek pendidikan, maupun pekerjaan. Hal tersebut menjadi inti dasar keterbukaan atas apa yang mampu berkembang saat ini, terutama di era Globalisasi yang mengangkat hak-hak wanita maka informasi yang berkembang semakin beragam dari sanalah keterbukaan atas informasi yang baru diperlukan.
d. Kriteria Umur Umur yang diharapkan sekitar umur 20-40 tahun, dengan maksud seumuran ini adalah masa seseorang pada masa kritis, sebagai upaya mampu mengadakan perubahan atau andil yang besar dimasyarakat. Di usia ini, manusia memasuki masa-masa produktif, masa dimana
33
opcit.
73
pemikiran seseorang mulai berkembang dan mulai menjadi dasar-dasar atas apa yang akan dilakukan kedepannya.
e.
Tidak Beraliansi dengan Partai Politik Maksud dari aliansi disini adalah mereka yang memiliki hubungan yang kuat terhadap sebuah partai politik, semisal menjadi ketua cabang sebuah partai politik, ataupun mempunyai fanatisme yang tinggi terhadap sebuah partai politik. Hal ini dimaksudkan agar para peserta memiliki keterbukaan yang luas terhadap segala hal yang masuk, tidak terkekang atau terbatasi dengan tujuan yang dianut oleh partainya.
6.
Lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima Sebagaimana yang telah di disebutkan di atas, bahwasannya mereka yang mengikuti Pengkaderan Ulama Perempuan adalah orang-orang yang memiliki basic komunitas atau orang yang memiliki peran penting di komunitasnya semisal menjadi Ketua Pesantren, Ketua LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ), Dosen, maupun Guru Mata Pelajaran Agama Islam di sekolah. Berikut merupakan peran para lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan di komunitas dan masyarakat sekitanya ; a.
Pesantren Mereka para lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima adalah para kepala pondok pesantren ataupun mereka istri-istri kyai yang mempunyai pesantren. Tentunya setelah diadakan pelatihan Pengkaderan Ulama Perempuan tersebut terdapat beberapa perubahan terhadap pola berfikir dan cara dakwah yang akan diberikan, semisal yang dilakukan oleh ibu nyai Afwah Mumtazah dari pondok pesantren Kempek, Ciwaringin sebagai upaya yang beliau lakukan dalam pengaplikasian Pendidikan Pengkaderan yang telah dilakukan oleh lembaga Rahima sebagai contoh upaya awal yang dilakukan oleh ibu afwah adalah ; “Di dalam kelas mengaji kitab, banyak materi yang semula hanya diberikan kepada santri putera disampaikan Afwah kepada santri putri. Perubahan ini pada awalnya menimbulkan reaksi keras dan
74
sinis dari para ustadz pondok putera, karena materi tersebut dianggap tidak bermanfaat bagi santri puteri.”34 Selain itu hal yang dilakukan dimasyarakat adalah beliau sebagai tempat bertanya atas permasalahan masyarakat yang ada disekitarnya khususnya mereka kaum perempuan. Pesan yang sering ia sampaikan dari perolehan yang didapat dari pelatihan yang telah ia lalui adalah tentang kemandirian perempuan, terutama dalam hal ekonomi.35
b. Akademis Diantara para lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima adalah mereka yang memiliki basic sebagai dosen ataupun yang sering melakukan kajian di seputar dunia kampus. Sebagai lulusan peserta Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima banyak diantara mereka yang mampu mengaplikasikannya di dalam pembelajaran perkuliahan. Adapun hasil
yang terlihat
ketika
melakukan
pengajaran
seperti
yang
diungkapkan oleh ibu Izzatul Mardhiah dalam mengisi perkuliahan Hadist; Terutama terkait kajian Hadits-hadits biasanya hadits yang membicarakan tentang perempuan periwayatannya itu terputusputus namun kalau di Pengkaderan Rahima itu semuanya disebutkan jadi lebih luas jangkauannya dan lebih utuh matanmatannya.yang dapat membuat kesalahpahaman prakteknya dimasyarakat itu banyak hadits tentang perempuan di riwayatkan hanya sepenggal-sepenggal.36 c. Aktivis Sebagai seorang aktivis, kepemilikan analisis sosial yang baik sangatlah diperlukan bahkan ini merupakan hal terpenting dalam upaya membaca wacana kemaslahatan yang terjadi dimasyarat. Rahima sebagai sebuah lembaga yang menjebatani itu mampu memberikan peran yang 34
AD. Eridani, dkk. Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima, ( Jakarta : Penerbit Rahima, 2014 ), Cet.I, h.6. 35 Ibid., h.13 36 Izzatul Mardhiah, Peserta Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima “ Wawancara Pribadi, Depok, 20 Oktober 2014
75
baik terhadap kecakapan para kadernya dalam melakukan hal tersebut, pelatihan yang diberikan Rahima mampu memperkaya pembacaan analisis sosial yang dimiliki para kadernya namun lebih dari pada itu lembaga Rahima mampu memberikan pemahaman para kadernya baik itu dari sudut pandang perspektif Islam serta sudut pandang gender. Sebagaimana yang diungkapkan ibu Yulianti Muthmainnah terkait alasannya mengikuti Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima; “Alasan saya mengikuti program Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima lebih untuk memberikan penguatan kapasitas dalam isu Gender terutama dalam perspektif Islam, HAM dalam perspektif Islamnya, Perempuan dalam perspektif Islamnya.”37
7.
Faktor Pendukung dan Penghambat Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima Faktor pendukung adalah segala sesuatu yang menjadi pendorong atau penyebab lancarnya program pengkaderan yang dilakukan oleh lembaga Rahima adapun faktor penghambat adalah segala sesuatu yang menjadi penyebab tidak lancarnya sebuah kegiatan dalam pengembangan Pengkaderan Ulama Perempuan yang dilakukan oleh lembaga Rahima. a. Faktor Pendukung 1) Fasilitas sarana dan prasarana yang diberikan dalam Pengkaderan Ulama Perempuan sangat mendukung seperti ruang pelatihan, pengeras suara, nara sumber yang berbakat serta kurikulum yang ada. 2) Tanggung jawab serta loyalitas yang tinggi oleh koordinator dan anggotanya serta kerja sama yang baik khususnya program Pengkaderan Ulama Perempuan menjadi faktor penentu kelancaran dan keperhasilan Pengkaderan Ulama Permpuan.
37
Yulianti Mutmainnah, Peserta Pengkaderan Ulama Perempuan, Wawancara Pribadi Ciputat 31 Oktober 2014
76
b. Faktor Penghambat 1) Sebagai kendala terberat adalah dikarenakan program ini adalah program jangka panjang terdapat 7 tadarus dan setiap tadarus memerlukan 3-4 hari dan dilakukan kira-kira 2 bulan sekali maka ini menjadi kendala terbesar para peserta.38 selain itu waktu 3-4 hari yang digunakan juga harus merelakan meninggalkan aktifitas yang ada semisal pengajar, aktivis, akademisi ataupun Ibu Rumah Tangga. 2) Dikarenakan waktunya berlangsung selama 3-4 hari maka banyak peserta yang hanya mampu mengikuti hanya 3 hari maupun 2 hari dikarenakan aktivitas lain di institusinya seperti sekolah maupun pondok pesantren. 3) Kemudian faktor penghambat selanjutnya adalah adanya kelompok tertentu terutama kalangan para kyai pimpinan pondok pesantren konservatif yang mengklaim rahima merupakan lembaga yang sesat, bahkan di cap sebagi agen yahudi, atau perpanjangan tangan dari barat yang ingin merusak islam dari dalam. Hal ini demikian karena selama ini rahima banyak melakukan wacana keagamaan yang kritis terutama mengenai memperjuangkan kesetaraan gender yang bersifat bias.
8.
Pendanaan Pendanaan untuk kegiatan Pengkaderan Ulama Perempuan ini didapat dari berbagai sumber bantuan dana lembaga-lembaga lain seperti misalnya the Ford Foundation sebuah lembaga yang menyalurkan dana hubahnya untuk keperluan penegakan nilai demokrasi, pengembangan ekonomi, pendidikan, media, seni dan budaya, serta hak asasi manusia. Kemudian lembaga Mensen Met Een Missie, seperti halnya Ford Foundation lembaga ini juga mengeluarkan dana hibahnya untuk kemaslahatan melalui lembaga-lembaga yang ada seperti halnya Rahima ini. Selain itu pula sumbangan pendanaan di dapat dari lembaga Hivos.
38
AD Eridani, Direktur Rahima, Wawancara Pribadi, Jakarta 2 Mei 2014
77
C. Pembahasan Hasil Penelitian 1.
Aktivitas Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima a. Langkah-langkah Pendidikan Pegkaderan Ulama Perempuan Rahima Rahima sebagai sebuah lembaga Non Government Organitation atau lembaga diluar pemerintahan memiliki peran yang sangat signifikan terhadap upaya penyetaraan derajat serta peran perempuan dalam ranah publik terkhusus lagi dalam upaya melakukan Pengkaderan Ulama Perempuan. Aktivitas yang dilakukan lembaga Rahima sebagai upaya Pengkaderan Ulama Perempuan adalah dengan melakukan Pelatihan Pendidikan para calon ulama perempuan sebagai upaya regenerasi ulama perempuan. Dalam pendidikan pengkaderan, langkah yang tepat dan sistematis sangat diperlukan agar aktifitas dalam upaya mencapaian tujuan yang dimaksud dapat terlaksana, serta dalam aktivitasnya tidak mendapatkan kendala yang begitu berarti. Demikianlah diperlukannya langkah-langkah yang tepat sebagai upaya menuju hasil yang yang dimaksud dengan berbagai rencana dan rancangan yang akan dilalui sebaik mungkin. Tujuan pengkaderan merupakan hal inti dalam menetapkan materi, metode, serta pembelajaran yang akan dilakukan oleh para peserta yang mengikuti pengkaderan. Sebagaimana penjelasan Ibnu Sina yang dikutip Abuddin Nata bahwa tujuan pendidikan yaitu; “tujuan pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang kearah perkembangannya yang sempurna, yaitu perkembangan fisik, intelektual, dan budi pekerti. Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bermasyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan, dan potensi yang dimilikinya.39” Maka hal terpenting yang dilakukan oleh Rahima dalam menetapkan pembelajaran disini yaitu, menganalisi terlebih dahulu kebutuhan apa yang 39
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001 ), cet.Ke-II, hal. 67
78
dibutuhkan oleh para peserta pengkaderan, lalu merumuskan masalahmasalah apa yang banyak terjadi di masyarakat kemudian menentukan siapa saja orang yang pantas mengikuti pengkaderan tersebut. Lembaga Rahima dalam menjalankan kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan memeliki
beberapa tahapan atau langkah agar tujuan dari pengkaderan ini dapat tercapai, yaitu ; Pertama, penetapan materi. Kedua, perekrutan calon peserta pengkaderan. Ketiga, tadarus.40 Pertama, penetapan materi dilakukan melalui workshop para peserta Pengkaderan
Ulama
Perempuan
sebelumnya,
dimaksudkan
agar
pengkaderan selanjutnya lebih berisi atau materi yang ada lebih menyeluruh dan padat, sehingga untuk pengkaderan yang dilakukan saat ini materi lebih variatif. Lebih variartif yang dimaksudkan disini materi yang ada lebih komperhensif atau menyeluruh, ketika dibahas Hadits tentang keutamaan atau peranan perempuan, maka harus dibandingkan juga dengan perempuan dalam perspektif laki-laki, karena ketika dibahas tentang perempuan dan yang mengkaji perempuan maka terkadang perempuan juga mendeskriminasikan laki-laki justru akan terjadi bias gender. Agar hal ini tidak terjadi maka diperlukan pengertian dari kedua belah pihak. Kedua, perekrutan calon peserta Pengkaderan Ulama Perempuan harus memenuhi kriteria yang telah di tetapkan semisal penguasaan Ilmu agama, penguasaan ilmu agama disini bukan hanya ilmu agama yang umum namun juga dasar-dasarnya peserta diharuskan mampu membaca literatur berbahasa Asing baik Arab maupun Inggris. Umur, umur yang dimaksudkan adalah umur usia produktif dimana dari analisa penulis para peserta Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima merupakan para perempuan usia produktif berkisar antara 20 sampai 40 tahun pada masa ini biasanya rasa keingintahuan seseorang sedang bergelora atau berada pada puncaknya. Basic Komunitas, yang dimaksudnya disini para 40
AD Eridani, Direktur Rahima, Wawancara Pribadi, Jakarta 2 Mei 2014
79
perempuan peserta Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima memiliki Jama`ah sebagai upaya pertama gress road pengkaderan dapat terlaksana, baru kemudian berkembang kesekitarnya. Keterbukaan akan informasi yang baru, hal ini sangat penting sebagai modal utama keterbukaan pemikiran yang ada pada para peserta pengkaderan. Selain itu diharapkan para peserta juga tanggap dan terbuka terhadap isu-isu yang beredar pada saat ini. Ketiga, tadarus merupakan hal terinti dari pengkaderan ini, tadarus merupakan sebuah pelatihan dengan maksud memberikan pemahaman betapa pentingnya peran perempuan di masyarakat, penetapan hukum keislaman yang baru yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, serta peng-advokasian dan pengorganisasian di masyarakat. Hasil pengamatan penulis, dari ketiga langkah tersebut dalam praktek yang dilakukan Rahima memiliki hasil yang baik sebagai langkah mencapai tujuan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan. Dari dasar ini pulalah keseluruhan kurikulum dan sistem pendekatan pembelajaran pengkaderan ulama perempuan Rahima terbentuk. Serta ketiga rangkaian langkah yang diharapkan tercapai dalam tujuan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan tersebut, sesuai dengan tujuan yang dipaparkan oleh Ibnu Sina yang kutip Abudin Nata diatas yaitu mampu menumbuhkan potensi yang dimiliki oleh peserta didik atau peserta pengkaderan dan juga dapat menyalurkan bakat yang sudah ada pada dirinya.
b. Pendekatan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Pendidikan pengkaderan ulama perempuan ini memiliki sebuah pendekatan atau cara pembelajaran, pendekatan yang dilakukan lembaga Rahima dalam Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan yaitu pendekatan pendidikan orang dewasa atau disebut pendidikan kritis. Pendidikan kritis pada dasarnya adalah sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun bersama peserta, dengan tujuan menggarap realitas, dan karena itu secara metodologis pendidikan ini bertumpu diatas prinsip-
80
prinsip aksi dan refleksi. Aksi dan refleksi adalah prinsip bertindak untuk mengubah kenyataan dan pada saat yang sama secara terus menerus menumbuhkan kesadaran atas realitas itu dan hasrat untuk mengubahnya.41 Pendidikan orang dewasa dirumuskan sebagai suatu proses yang menumbuhkan keinginan untuk bertanya dan belajar berkelanjutan sepanjang hidup. Belajar bagi orag dewasa berhubungan dengan bagaimana mengarahkan diri sendiri untuk bertanya dan mencari jawabannya.42 Pendekatan belajar yang dilakukan oleh Rahima adalah pendekatan pendidikan orang dewasa, jadi pendekatan orang dewasa itu sebenarnya memiliki daur belajar yaitu ; Mengalami – Mengungkap – Menganalisa – Menyimpulkan.43 Berdasarkan pengamatan penulis, lembaga Rahima dalam pendekatan pendidikan orang dewasa, lembaga Rahima terlebih dahulu menjelaskan kepada para peserta didahului dari praktek ataupun studi kasus. Lembaga Rahima dengan fasilitatornya mengungkapkan atau memuat sebuah kasus yang ada dimasyarkat semisal Trafficking kemudian dikemukakan di forum dan para peserta diperkenankan untuk membahas, menjawab dan mengomentari apa yang terjadi dalam kasus tersebut. Itulah pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh Rahima. Pendekatan pembelajaran yang seperti inilah yang disebut kegiatan aksi refleksi, para peserta bukan serta merta mereka yang belum tahu sama sekali namun mereka adalah orang-orang yang sudah tahu kemudian merefleksikannya, memadukan apa yang sudah mereka ketahui dengan peserta yang lain, kemudian menjadikannya menjadi suatu konsep atau pola pikir bersama. Hal ini merupakan dasar dalam upaya pemunculan sikap percaya diri yang dimiliki oleh para peserta, kecenderungan sifat malu atau kurang aktif dalam bermasyarakat semua diubah menjadi sifat 41
Hilmy Ali Yafie, The Rahima Story, ( Jakarta : Rahima )hal 56. Suprijanto, Pendidika Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi, ( Jakarta : PT.Bumi Aksara, 2007 ) Cet.I,h.11 43 Maman AR, Koordinator Program, Wawancara Pribadi, Jakarta 6 Mei 2014 42
81
percaya diri dan berani berpendapat di khalayak ramai serta mampu berkontribusi dalam perubahan yang ada di masyarakat yang kesemuanya terdapat dalam pembelajaran yang dilakukan oleh lembaga Rahima.
c. Kurikulum Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima Kurikulum
merupakan
hal
pokok dalam pendidikan. Secara
terminologis kurikulum berarti suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistematik atas dasar norma-norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dan proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.44 Dalam studi Kependidikan Islam, istilah “Kurikulum” menggunakan kata “Manhaj” yang diartikan jalan yang terang atau jalan yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan. Jalan terang tersebut adalah jalan terang yang dilalui pendidik dan guru latih dengan orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap mereka.45 Selain tahapan-tahapan di atas, maka kurikulum harus memiliki komponen-komponen yang menunjang untuk tercapainya suatu tujuan pendidikan tersebut, dimaksudkan agar keberhasilan dari program atau pengkaderan yang sedang berlangsung dapat teridentifikasi. Menurut hasan Langgulung seperti dikutip oleh Prof. Abudin Nata mengemukakan bahwa komponen kurikulum terbagi menjadi empat bagian yaitu: 1). Bagian yang berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar mengajar. 2). Bagian yang berisi dengan pengetahuan, informasi-informasi, data, aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran, yang kemudian dimasukan dalam silabus. 44
Abudin Nata, Pendidikan dalam perspektif Hadits, ( Ciputat : UIN Jakarta Press, 2005)
45
Abudin Nata ….. h.181
h.181
82
3). Bagian yang berisi metode atau cara menyampaikan mata pelajaran tersebut. 4). Bagian yang berisi metode atau cara melakukan penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran mata pelajaran tertentu.46 Keempat komponen tersebut sudah dapat terpenuhi dengan baik oleh lembaga Rahima. Keempat komponen tersebut pada lembaga Rahima keseluruhannya masuk dalam tahapan-tahapan yang disebut tadarus. Bagian pertama pada komponen kurikulum Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima dapat terlihat dari sejarah pembentukan pengkaderan sehingga terbentuklah suatu tujuan pengkaderan tersebut, selain itu juga hal-hal apa saja yang ingin dicapai setelah melakukan pengkaderan ulama perempuan semuanya telah termuat dengan baik dalam visi dan misi Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima. Komponen kedua, ketiga dan keempat masuk didalam rangkaian tadarus Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima dimulai dari aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh informasi, pengalaman belajar yang di peroleh melalui pembelajaran yang dilakukan, metode-metode pengajaran, dan evaluasi pembelajaran semua termuat pada kurikulum Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan yang dilakukan lembaga Rahima. Tadarus pengkaderan ulama perempuan merupakan hal pokok didalam pendidikan pengkaderan ulama perempuan yang ada di lembaga Rahima. Tadarus pada pendidikan pengkaderan ulama perempuan ini terbagi menjadi 7 pertemuan atau tadarus, yang masing-masing tadarus sudah ditentukan tema yang akan dibahas dan telah dianalisis dari hasil pendidikan pengkaderan ulama yang sebelumnya, setelah itu dalam setiap tadarus kemudian ditetapkan materi-materi apa saja yang masuk. Adapun 7 tadarus yang dimaksud adalah; 1) Tadarus pertama, membahas tantang tema Islam, kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi. Pada tadarus pertama ini merupakan sebuah
46
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, ( Jakarta : Pustaka Al-Husna , 1987 ) cet.I, h.483-484
83
perkenalan atau pokok dasar untuk kita mengenal dan mempelajari apa itu Islam, bias gender serta reproduksi yang ada pada diri laki-laki dan perempuan. Hal ini memicu para peserta untuk mau menggali lebih jauh tentang arti kesetaraan dalam Islam, Islam yang tidak pernah membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki baik dalam ibadah, pendidikan maupun muamalah antara sesama mahluk. 2) Tadarus kedua, membahas tentang tema Relasi Gender dalam AlQur`an dan Tafsir. Pada tadarus kedua ini lembaga Rahima mengkaji tafsir-tafsir yang bias gender kemudian menampilkan ayat-ayat alQuran yang menjelaskan peran dan posisi perempuan dalam Islam dan bermasyarakat. 3) Tadarus ketiga, membahas tentang tema Relasi gender dalam Hadist dan ulumul hadits. Sama seperti halnya tadarus sebelumnya, hanya saja pada tadarus ini yang dikaji dari segi Haditsnya, dimunculkan hadits-hadits yang bias gender dan juga hadits-hadits yang menunjukkan peran perempuan dalam segala aspek. Selain itu pada tadarus ini diajarkan metode-metode dalam upaya mencari keshahihan hadits dari kualitasnya, pemaknaan maupun pengamalan Hadits kesemua itu dipelajari. 4) Tadarus keempat, membahas tentang tema Relasi gender dalam Fiqh dan Ushul Fiqh. Pada pembahasan ini dipelajari dasar hukum fikih yang berkembang baik fikih tradisional maupun fikih kontemporer, menalaah bagaimana asal sejarah hukum itu bisa ditetapkan dan berlaku sampai saat ini. Pada pembahasan ini nara sumber menentukan suatu wacana atau bahasan yang akan dijadikan tema kemudian para peserta di ajak untuk berdiskusi, menyimpulkan dan mengomentari masalah yang ada kemudian dicarikan solusinya. 5) Tadarus kelima, membahas tentang tema Ham perubahan sosial dan globalisasi. Tema tersebut, diambil sebagai upaya mengetahui hak dan kewajiban apa saja yang dimiliki oleh tiap induvidu. Lebih dari itu hak-hak perempuan baik dalam pendidikan, pekerjaan, dan ranah
84
publik dibahas. Mengusung tema globalisasi sebagai upaya para ulama perempuan nantinya mengetahui seputar tema yang sedang beredar dan berkembang dimasyarakat selain itu diharapkan ulama perempuan ini mengetahui hukum yang ada di Indonesia. 6) Tadarus keenam, membahas tentang tema Istinbatul Ahkam dan Bahtsul masail. diperuntukkan
Tema ini merupakan tema baru, tema ini untuk
menemukan
dan
membahas
isu
yang
berkembang kemudian mencarikan solusinya. Solusi atau jawaban yang diperoleh berasal dari al-Quran, Hadits, kitab-kitab klasik, perundang-undangan kemudian konteks yang beredar dan berlaku 7) Tadarus ketujuh, membahas tentang tema Advokasi Sosial dan Pengorganisasian Masyarakat. Setelah semua tema dibahas, tema terakhir ini sebagai upaya mengakomordir jamaah yang ada dilingkungannya. Komponen kurikulum yang keempat yaitu evaluasi. Evaluasi yang dilakukan pada pendidikan pengkaderan ulama perempuan Rahima dilakukan melalui Rencana Tindak Lanjut atau RTL. Dimana disetiap tadarus yang dilakukan, sebelum diteruskan ke Tadarus selanjutnya maka di lakukan RTL. RTL atau Rencana Tindak Lanjut dilakukan sebagai refleksi ataupun penerapan dari tadarus yang telah dilakukan. Hal yang seperti ini sangat diperlukan agar antara tadarus sebelum dan sesudahnya masih terkaitan dalam artian tadarus yang sudah dilakukan sebelumnya tidak terlupakan begitu saja hal yang seperti itulah yang sering terjadi dalam pembelajaran, ketika belajar ketema yang baru terkadang tema yang sebelumnya sudah tidak ingat dari sanalah lembaga Rahima membangun RTL. Selain itu rencana tindak lanjut dipergunakan sebagai tugas praktik langsung
ke lapangan, biasanya para peserta diberikan tugas untuk
meneliti lingkungan daerah peserta masing-masing, jadi dalam RTL ini terdapat aksi dan refleksi langsung, inilah yang menjadi nilai lebih dari pengkaderan ulama perempuan yang dilakukan Rahima.
85
Analisa penulis, dari rangkaian tadarus serta Rencana Tindak Lanjut tersebut maka Lembaga Rahima dapat mencapai tujuan dari Pengkaderan Ulama Perempuan ,serta dari tadarus yang sedang dijalankan inilah sebagai bahan refleksi untuk tadarus selanjutnya, agar tadarus yang selanjutnya lebih terprogram dan berjalan lebih efektif dan efisien. Hanya saja
dari
isi
materi
masih
banyak
materi-materi
yang
justru
mengunggulkan perempuan, bukan yang menyetarakan antara laki-laki dan perempuan. Maka untuk pengisian materi diperlukan pemikiran dari kedua belah pihak agar relasi gender dari buah pemikiran bersama dapat berjalan dengan baik.
2.
Lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima Tujuan utama didirikannya Rahima adalah untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat demokratis yang ditandai dengan terpenuhinya hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia. Demi mewujudkan tujuan tersebut, Rahima menjalankan program pengkaderan ulama perempuan yang diharapkan mengasilkan out put ulama perempuan yang dapat berkontribusi dalam memperjuangkan hak-hak perempuan yang setara dengan laki-laki, yang selama ini selalu menjadi bias gender. Kemudian, untuk melibatkan perempuan dalam proses istinbath hukum Islam dalam lembaga-lembaga pengambilan keputusan yang memiliki otoritas, dimana selama ini hanya melibatkan laki-laki saja. Padahal dalam kenyataannya banyak perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dalam keulamaan dan penyebarluasan tema-tema keIslaman. Dari pernyataan dan tujuan tersebut lembaga Rahima membentuk Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan. Ulama yang dikehendaki Rahima adalah “ orang yang memiliki pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun lainnya, dan dengan pengetahuan tersebut mereka melakukan perubahan sosial demi kemaslahatan umat.” 47 47
AD. Eridani, dkk., Merintis Keulamaan untuk Kemanusian: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima, (Jakarta: Rahima, 2014), h.xxxii
86
Ulama senantiasa menduduki posisi penting khususnya di tengah masyarakat muslim. Peran dan otoritas mereka bahkan menjangkau wilayah di luar batas keagamaan, karena keterlibatan mereka dalam ranah sosial dan politik. Karena itu banyak istilah menjelaskan kondisi sosial-politik ulama, yang semua mengacu pada pengakuan masyarakat muslim atas pentingnya peran dan otoritas ulama, misalnya istilah “ palang budaya “ cultural broker yang dialamatkan Clifford Gertz untuk kedudukan ulama.48 Sebagaimana yang diungkapkan Ahmad Mustafa Bisri, yang dikutip oleh Subhan bahwa : “ulama memang berasal dari bahasa arab dan semua merupakan bentuk jamak dari kata `alim yang berarti mengetahui, orang pandai, orang yang pandai dalam ilmu apapun dikategorikan sebagai ulama istilah itu kemudian berkembang dan tepatnya menciut sehingga lebih banyak digunakan untuk menyebut mereka yang ahli ilmu agama Islam, bagi mereka yang mengerti literatur “ Kitab Kuning “ istilah ulama umumnya difahami dalam konotasi yang tidak terbatas untuk menunjukan orangorang yang berilmu agama”.49 Ulama yang dilahirkan lembaga Rahima adalah ulama yang cakap dalam membahas isu-isu yang terkait dengan kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai aktifitas baik dalam berdakwah, pendidikan, pekerjaan maupun tanggung jawab dalam berumah tangga. Ulama perempuan hasil pendidikan pengkaderan Rahima dalam peranan yang dijalankan di masyarakatnya, masing masing telah memiliki kepandaian dalam hal tersebut dengan baik. Lebih dari hal tersebut ulama perempuan yang dikehendaki Rahima adalah mereka yang mampu menyebarluaskan isu-isu kesetaraan gender, kesetaraan yang sama antara hak yang dimiliki laki-laki dan hak yang dimiliki perempuan dalam hal berdakwah dan menyebarluaskan tema-tema kesetaraan gender. Sejalan dengan pendapat tersebut, penulis menuturkan bahwa lembaga Rahima mendidik para lulusannya tidak hanya dalam satu bidang keilmuan saja. Lembaga Rahima membentuk lulusannya untuk dapat mampu bersaing 48
Jajat Burhanuddindan Ahmad Baedowi, Transformasi Otoritas Keagamaan, ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003),h.13. 49 Subhan, Ulama-ulama Oposan, ( Bandung : PT.Hidaya IKAPI, 2000 ) , hal 7
87
di berbagai tatanan komunitas, baik dalam majlis-majlis taklim maupun masyarakat umum. Sehingga nanti para lulusan ulama perempuan Rahima dapat
tercetak
menjadi
kader-kader
yang
berjuang
keras
untuk
penyebarluasan informasi terhadap isu-isu kesetaraan perempuan dalam Islam. Walau masih belum terlalu menuju dengan apa yang dimaknai oleh arti ulama namun lembaga Rahima sudah mampu mencetak ulama secara bahasa. Lulusan dari Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempan Rahima ini telah banyak berperan dan berkonstribusi di ranah keulamaannya masing-masing. Sudah banyak lulusan-lulusan Rahima yang memiliki kontribusi yang sangat berarti dimasyarakatnya, semisal ketika ibu Yulianti Muthmainnah mengisi kuliah umum bertemakan gender di fakultas FISIP UIN Jakarta, beliau tidak hanya menjelaskan gender dalam segi umum saja namun beliau juga menjelaskan bagaimana gender dari segi pandangan Islam. Selain itu pula beliau melakukan pemberdayaan perempuan melalui majlis taklim. Melalui majlis taklim tersebut ibu Yulianti mebiasakan jaamaahnya untuk lebih percaya diri dalam berbicara dan belajar untuk bisa menyampaikan pendapat. Salah satu lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan lagi yaitu Neng Hannah, beliau merupakan salah satu dosen Fakultas Ushuluddin di UIN Bandung dan juga sebagai aktifis Fatayat Jawa Barat serta mantan Direktur LSM Research of Environment and Self Independent Capacity yang biasa disingkat RESIC pada periode 2008-2011. Peran yang dilakukan Neng Hannah sebagai upaya kontribusi dalam keulamaan adalah dengan berusaha mendampingi masyarakat dan terlibat dalam advokasi untuk perempuan korban kekerasan. Beliau juga terjun ke masyarakat membantu anak-anak belajar membaca menulis dan berceramah di majelis taklim.50 Selain hal tersebut yang dilakukan Neng Hannah dengan melalui diskusi-diskusi untuk mengajarkan mahasiswa kearah pendidikan untuk lebih kritis. Ibu Afwah Mumtazah merupakan pengasuh dan pendiri madrasah “takhassus lil banaat” di sekitar komplek pondok pesantren Kempek, 50
AD. Eridani, dkk., Merintis Keulamaan untuk Kemanusian: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima, (Jakarta: Rahima, 2014), h.170
88
Cirebon. Peran yang dilakukan beliau dengan cara menyama ratakan serta mengajarkan materi yang semula hanya untuk santri putera namun kini diajarkan pula kepada santri putri. Selain itu hal yang dilakukan dimasyarakat adalah dengan beliau dijadikan sebagai tempat bertanya atas permasalahan masyarakat yang ada disekitarnya khususnya mereka kaum perempuan. Pesan yang sering ia sampaikan dari perolehan yang didapat dari pelatihan yang telah ia lalui adalah tentang kemandirian perempuan, terutama dalam hal ekonomi.51 Dari hasil pengamatan penulis ditinjau dari bagaimana pengertian ulama yang diharapkan oleh lembaga Rahima maka peranan yang di hasilkan lembaga Rahima dalam mencetak kader-kadernya sudah sangat sesuai. Para lulusan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima bukan hanya pandai dalam pengetahuan umum dan Islam. Namun juga kemanfaatan kepada sesama menjadi nilai lebih dari yang dihasilkan oleh lulusannya tersebut. Penulis sering kali mendapati ulama-ulama yang berdakwah dengan cara berceramah. Namun berceramah dan langsung terjun dan merubah seseorang dengan perlakuannya masih sedikit sekali. Disinilah peran Rahima dan lulusan pengkaderannya dapat terlihat sesuai dengan tujuannya yaitu dapat berdakwah bukan hanya bil lisan namun juga dengan bil hal atau perbuatannya. Selain dari itu, para lulusan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima telah masuk sebagaimana kriteria ulama yang diungkapkan Achmad Satori
Ismail. Ulama perempuan
yang menyeru kepada kebaikan,
menjalankan hal-hal yang menurutnya baik kemudian menyampaikannya kepada khalayak ramai, dan yang pasti kesabaran yang tinggi dalam menyerukan isu-isu yang terkait didalam pengkaderan, inilah yang menjadi nilai yang harus dimiliki bagi ulama-ulama perempuan lainnya. Pengamatan penulis,Ulama yang dihasilkan dari Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima sudah sesuai dengan yang diharapkan yaitu 51
AD. Eridani, dkk. Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima, ( Jakarta : Penerbit Rahima, 2014 ), Cet.I, h.13.
89
memiliki pengetahuan dan dengan pengetahuan itu dapat melakukan perubahan demi kemaslahatan sosial. Tetapi lingkup atau ruang yang dinaungi dan dikembangkan ulama yang dihasilkan oleh Rahima masih sebatas lokal, taraf keulamaannya belum sampai kepada ranah nasional. Walau demikian Rahima dan para ulama perempuan yang dihasilkannya sudah mampu merubah masyarakat yang berada disekitarnya. Masih dibutuhkan pengakuan dari komunitas atau lembaga lain untuk ulama lembaga Rahima dapat terjun diruang dakwah yang lebih luas jangkauannya. Agama Islam sangat menjunjung tinggi kesetaraan. Hanya terkadang seseorang sering mengenyampingkan hal tersebut masih memandang sebelah mata terhadap peran keulamaan seorang perempuan. Allah SWT berfirman dalam Q.S at-Taubah ;
“dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( Q.S AtTaubah 71 ) Dari ayat diatas terlihat bagaimana persamaan antara hak dan kewajiban seorang mukmin dengan mukmin lainnya dalam mengajarkan amar ma`ruf nahi munkar. Tidak membedakan apakah dia seorang laki-laki ataupun perempuan, keduanya mempunyai eksistensi kewajiban yang sama dalam menyeru, mengajak serta menjalankan kebaikan. Selain itu kandungan ayat
90
diatas menjelaskan anjuran kerja sama yang baik bagi umat Islam untuk sama-sama berperan dalam menjalankan perkara-perkara yang baik. Bukan hanya peran ataupun hasil lulusan yang baik, setelah dilakukan pengkaderan ulama perempuan ini diharapkan keulamaan yang terdapat pada perempuan tidak dipandang sebelah mata. Perempuan juga mampu dan memiliki hak yang sama untuk berbicara di ranah umum. Keilmuan yang dimiliki perempuan tidak berbeda dengan keilmuan yang dimiliki ulama lakilaki hanya saja proporsi mereka untuk berbicara di ranah publik masih sedikit. Semoga kedepannya ulama perempuan hasil pendidikan pengkaderan Rahima mendapat pengakuan di publik baik itu lokal, maupun ke lingkup yang lebih luas lagi.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil uraian, pengolahan dan analisis yang penulis lakukan yang telah di uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis mengambil kesimpulan dari batasan sebagai berikut : Peran lembaga Rahima dalam Pengkaderan Ulama Perempuan memiliki hasil yang signifikan dan positif dalam meningkatkan kualitas pengembangan Ulama Perempuan terlihat dari hasil lulusan Pengkaderan yang memiliki andil besar dimasyarakat baik dikalangan pesantren, pendidikan formal maupun masyarakat sipil, serta materi pengkaderan yang dibuat Rahima dapat terstruktur dengan baik dimulai dari rekrutmen, metode, pengajar, evaluasi sampai penugasan-penugasan yang diberikan sehingga terwujudlah pengkaderan yang sistematis.
B. Saran-saran 1.
Kegiatan yang dilakukan Rahima dalam upaya regenerasi ulama perempuan serta pencetakan kader-kader ulama perempuan dalam “ Pengkaderan Ulama Perempuan “ yang sudah terealisasi sampai saat ini agar dapat dipertahankan serta dapat melebarkan kegiatan tersebut ke seluruh penjuru propinsi Indonesia agar perempuan-perempuan tidak termarginalkan, khususnya daerah-daerah yang masih memandang rendah pendidikan yang layak bagi perempuan serta memandang sebelah mata adanya ulama perempuan.
2.
Selain melakukan pengkaderan kepada Ulama Perempuan, diharapkan lembaga Rahima mampu memperluas pengkaderannya bukan hanya kepada Ulama Perempuan namun juga mampu mencetak Ulama Laki-laki yang dapat menjunjung kesetaraan Gender dalam arti kata sebagai exquality jadi ada pendamping antara ulama laki-laki dan ulama perempuan tersebut.
91
92
3.
Sebagai lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan yang tentunya dapat dibilang calon Ulama Perempuan maka diharapkan mampu mengeluarkan fatwa, khususnya fatwa-fatwa hukum yang dapat mengimbangi aturan atau hukum yang memarginalkan atau merendahkan kaum perempuan.
4.
Kepada koordinator Pengkaderan Ulama Perempuan agar terus meningkatkan kreativitasnya dengan menyesuaikan kondisi masyarakat yang telah berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
5.
Menambahkan waktu dan memperluas kajian Tadarus sehingga dapat menjadikan lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan menjadi ulama yang cakap dalam setiap keilmuan dan hanya dengan waktu 7 pertemuan terbilang waktu yang singkat dan sulit untuk mencetak ulama yang baik sehingga perlu ditambah waktunya.
Daftar Pustaka Abdullah, Abdurrahman Shaleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkmn
al
Qttr-un.
Jakarta: PT.Rineka Cipta,l99 4.
Abdurrahman, Maman. koordinator progam. Wawancara Pribadi. Jakarta, 6 Mei
2AM. Ahmadi, Abu . Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta,1991.
Ariel Annai.
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendifikan Islam
Klas*. Bandung : Angkasa, 2005. Arifin, A. karnus ilmiah populer. Bandung:
Arifin, H.M. Ilnru Pendidikan Islam B
erda sarkan
P
Raj awali Press.Cet.4, 2004.
:
Suatu Tinjauan Teoritis dan Prahis
endekatan Inte rdis
ipliner. Jakarta: Bu:ni Aksara. edisi
revisi,2009.
Arifix, M. Psikologi Dah,vah; Suatub Pengantar Studi.lakwta:Burni Aksara,
2A0A.
Barry, David. Pokok-pokok Pikiran Dalam Sosiologi. Jakarta : PT Raja grafindo persada. Cet.3, 1995.
Burlranudin, Jajat (ed.). Ulama Perentpuan Indonesia. Jakarta
: PT- Gramedia
Pustaka Utama, 2A02.
Daradjat, Zal
Dauly, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Pendidikan Nasional Di Tndonesia. Jakarta: Kencana, 2A04. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa lndonesi. ,Jakarta
:
Balai Pustaka. Edisi ke-2.Cet.ke .4,199 5. Departeman Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indoruesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1988.
Eridani ,AD. Direkhrr Rahima. Wawancara Pribadi. Jakarta, 2MLei2014
Eridani, AD, dkk. Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kudcr Ulama P erentpuan
Rahima. Jakarta : Penerbit Rahima. Cet.I, 2014.
93
94
Fatalr, Yasin
A. Dimensi-Dimensi
Pendidikan Islam. Malang : UIN Malang Press.
Cet.I,2008 Fattah, Nanang. Landasan Manajemen Pendidikan Bandung : pT. Remaja Rosada Karya. Cet.3,2000. Hasan Langgulung , Asas-asas Pendidikan Islant . Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1 987.
Hsubky , Badruddin. Dilema (Jlarna dalam Perubahan Zaman. Iakarta: Gema Insani Press.
Cet.I,
1995.
Isrnail, Aclrmad Satori. "Amalan Terbaik.
",
www.republika.co.id 23 Apit2014
Kusumaningtyas, AD. koordinatir Dokumentasi dan inforrnasi. Wawancara Pribadi Jakarta, 6 Mei 2014.
M, Sardiman A. Interaksi
dan Moi'tivasi Belojar Mengajar. Jakarta
: PT. Raja
Grafindo Persada. Cet.XIX, 2011.
Mardhiah lzzatul. Peserta Pengkaderan lIlama Perempuan Rahima .Wawancara Pribadi, Depok, 20 Oktober 2AI4
Masyhud, Sulthon dan Moh. Khusnurdilo dkk. Manajernen Ponclok Pesantren. J
akarta : Diva Pustaka. Cet.2, 2005
.
Modul Pengkaderan Ulama Perempuan Perspektif kesetaraan. Jakarta : Rahima, 2011,.
Moleong, Lexy
J.
Metode Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,2002.
Mulraimin. Nuansa Banr Pendidikan Islam; Mengrai Benang Kusut Dunia Pendidiksn. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persad4 2006.
Mutmainnah, Yulianti. Peserta Pengkaderan Ulama Perempuan., Wawancara Pribadi Ciputat,
31
Oktober 2014
Nata, Abtrddrn. Filsafat Pendidikcm Islam. Jakarta: Logos wacana
Ilmu,200l.
Nazir, Moh. Metode Penelitian Jakarta: Ghalia lndonesia. Cet.IV, i999. Partanto, Pius A. M. Dahlau A-Barry. Kamus llmiah Populer, surabaya: 1994.
Ptrrwadanninto. Kantus Umunt Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Cet.KI, T991.
Rahmat, Jalaludin. Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik. Bandung : PT. Rosdakarya. Cet.lL,2AAZ.
95
Rarnayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia Cet,II,2011. Sarwono, Sarlito Wirawan. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: CV.Rajawali, 1984. Shalelr, Abdul Rahman. Pendidikan Agama & Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta:
Rajawali Press,2005. Slrilrab, M. Quraish. Membumikcm Al-Qur'an- Bandung : PT Mizan,1997.
.., Secerah Cahaya illahi; Hidup bersama Al-Qur'on. Bandung :lvltzan ,2000.
.., Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qwr'an volume
I
.Jakarta : Lentera Hati, 2000.
.., Tafsir al-Misbah; Pesan, Keson, dan keserasian al-Qur'an volume 3 . Jakarta :Lentera Hati, 2000.
.., Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan keserasian al-Qur'an volame
7.
Jakarta : Lentera Hati, 2000.
.., Tafsir al-Misbah; I
l.
Pesan, Keson, dan keserasian al-Qur'an volume
Jakarta: Lentera Hati, 2000.
.., Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Grafindo Persada.Cet tr.200 l.
Raja
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2042. Subhan. Ulama-ulama Oposan. Bandung : PT.Hidaya IKAPI,2000
Suprijanto. Pendidikan Orang Dewasa
Bumi Askara. Cet.I,2007
.
Dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta : PT .
Swara Rahirna , No I, Thn I, Mei 2001, Hal.3 Swara Rahima No. 23 Th.
V[i, Desember 2007 hal
10
Tafsir, Ahmad. Metodologi Pengajaran Agama Islam.Bandtrng: Remaja Rosda Karya,1996. Ulrbiyati, Nvr . I lmu
P endidikan
I s lam . Bandung: Pustaka Setia, 1 999.
UU Tentang Pendidikan Nasional. Iakarta: Sinar Grafika.Cet.4, 1993. Veithzal, Rivai. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Jakarta Grafindo Persada. Cet.3, 2006.
:
PT. Raja
96
Www.rahirna. or.id Aprll 201 4
Yafie, Hilmi ah . The Rahima Story. Jakarta : Rahima.Cet.I,20l0.
Laporan Hasil Wawancara
Narasumber
: Aditiana Dewi Eridani, S.H
Jabatan
: Ketua Badan Pelaksana
Tanggal
: Jumat, 2 Mei 2015
Kapan dan Bagaimana lembaga Rahima Lahir ? Rahima berdiri tahun 2000, tepatnya 5 Agustus tahun 2000 yang mana ketika itu masih hangathangatnya era Reformasi yaitu tahun 1998. Namun berdirinya Rahima bukan hanya sebab Faktor tersebut namun masih ada factor lain, beberapa orang pendiri pada saat itu berada pada satu Devisi yaitu divisi Fiqhunnisa dan berada pada satu lembaga yaitu lembaga P3M ( Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat ) , isu yang di usung oleh P3M adalah tentang Islam dan kesehatan reproduksi Perempuan komunitasnya komunitas pesantren. P3M ini didirikan oleh ulama-ulama besar NU seperti Kyai Sahal Mahfudz, Kyai Abdurrahman Wahid dll serta para aktivis pada zaman orde baru, maka yang dipilih adalah komunitas pesantren yang menganut faham Nahdhatul Ulama yang waktu itu kita sedang memperjuangan Islam dan kesehatan reproduksi perempuan untuk ibu-ibu nyai pesantren di pulau ini. Dalam perjalanannya direkturnya itu poligami jadi bertentangan dengan hal yang sedang diperjuangkan, maka dari itu kami berinisiasi atas berdirinya Rahima. Walaupun pada saat itu isu Poligami masih menjadi suatu wacana yang khilafiyah masih kontrofersi, maka pada saat itu kami masih minta dukungan dari berbagai pihak sesuai dengan akta pendiriannya, pendirinya berjumlah 18 orang, baik dari kalangan pesantren, akademisi, salah satu pendirinya adalah Azyumardi Azra, ibu Saparinah Sadli, kemudian ibu Sinta Nuriyah suami Presiden Abdurrahman Wahid pada saat itu, kemudian dari kalangan aktivis semisal bapak Mansur Faqih, ibu Kamala Candra Kirana, dari kalangan pesantren ada Kyai Husen Muhammad, nyai Juju Zubaidah, kyai Muhiddin dari Jember. Nah dari situ kita memisahkan diri dari P3M menjadi Rahima. Ketika berdiri lembaga Rahima mengusung Isu pusat Informasi Islam dan Hak-hak perempuan. Ketika itu Rahima masih berkantor di daerah Pancoran. Ada 2 program besar di rahima. Pertama terkait tentang pendidikan, kedua Penyebaran Informasi bisa melalui Swara Rahima ataupun buku-buku terbitan swara Rahima. Tahun 2010 lembaga Rahima yang semula badan hukumnya Yayasan berubah menjadi perhimpunan karena melihat di UUD yayasan yang baru tahun 2004, menyatakan bahwa badan Pembina itu adalah badan pemilik dari yayasan itu maka kami tidak ingin rahima dimiliki hanya oleh beberapa orang tersebut namun kami beralih menjadi perhimpunan, yang pada saat itu anggotanya berjumlah 33, mereka ada yang di Tasik, Cirebon, jember dan dari yang ke 33 itu diharapkan bercabang dan mampu menjadi gerakan bersama. Dalam aspek pendidikan kami menganut faham dari Paulo fereira, yaitu pendidikan yang membebaskan pendidikan kritis tetapi yang membebaskan jadi pendidikan bisa melalui berbagai
cara bisa melalui pelatihan, workshop, seminar, halaqoh tapi yang menjadi titik tekannya adalah pendidikan yang membebaskan itu, artinya disini merupakan suatu pendidikan kritis yang mana pesertanya itu juga menjadi nara sumber, masing-masing peserta adalah sumber pengetahuan. Misalnya tentang gender teorinya spertin itu, namun ketika masuk kedalam kelas tidak serta merta langsung di lahap, tapi kita membangun dari pesertanya, apa yang ia ketahui tentang gender contohnya seperti apa. Jadi semuanya itu kembali kepada pesertanya. Bentuk kepengurusan Rahima Dari AD ART Di rapatkan 5 tahun sekaliuntuk menentukan badan pengawas. Kekuasaan tertinggi kepada anggota, yang rapat besarnya dilakukan 5 tahun sekali, dan dari rapat anggota ini dapat ditentukan 3 badan pengawas. Ada 3 orang badan pengawas 1. Kyai Husen Muhammad 2. Kyai Helmi Ali 3. Kamala candra kirana Kemudian badan anggota memilih Anggota badan pengurus yang berjumlah 7 Ketua : Masruhah Sekretaris : Hindun Bendahara : pak Kus Anggota Nyai Ruqoyyah Nyai Afwah Ade nur ahmad Nur Rofi`ah Tahapan selanjutnya adalah menentukan Badan pelaksana,dengan cara di buka lowongan umum kemudian diseleksi Adapun struktur untuk periode 2014-2015 adalah Ketua badan pelaksana : AD Eridani Koor Program : Maman Kader Humas : AD Kusumaningtyas Koor kesekertariatan : Imam Dan dari masing-masing koor mempunyai staff Dan staff ada 11 orang
Kapan dan bagaimana sejarah awal terbentuknya Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ? Inisiatif pembentukan dimulai tahun 2003/2004 kami memang yang waktu itu kyai Husen dan waktu itu direkturnya masih mba Farha Ciciek ketika bertemu berkeinginan sekali -----ada kami menyebutnya pesantren Rahima yang isinya perempuan-perempuan untuk dididik menjadi ulama perempuan berangkatnya dari keprihatinan bahwa jumlah ulama perempuan tidak terlalu banyak, kapasitas ulama perempuan dianggap tidak setara dengan ulama laki-laki,yanh ketiga sebenarnya kami ingin ulama perempuan tidak hanya berdakwah bil lisan namun juga melakukan dakwah bil hal. Inisiatif pertama yang ketika masih dipancoran kami mengundang mahasiswa-mahasiswa UIN perempuan diantaranya Dea Dahlia,Yati Endriani, dan beberapa teman lain yang ketika itu berdiskusi dengan kyai Husen Muhammad di Mushola dekat Rahima dilakukan seminggu sekali, yah yang waktu itu masih belum terorganisir. Kurikulumnya juga masih belum terprogram. Baru tahun 2005 mengadakan workshop untuk menggagas pendidikan ulama perempuan ini. Pendidikan Ulama Perempuan atau pengkaderan ulama perempuan,Dari situlah dapatlah criteria tentang ulama perempuan rahima itu seperti apa, lalu akan dilakukan dimana, kemudian juga kurikulumnya seperti apa , itu pada tahun 2005.hasilnya adalah pengkaderan ulama perempuan angkatan I wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing berjumlah 15 Peserta. Apa saja metode atau kurikulum yang dilakukan dalam upaya Pengkaderan Ulama Perempuan ? Kurikulumnya itu menggunakan kurikulum panjang, satu pertemuan kami menyebutnya Tadarus, satu tadarus itu 4 hari dengan berbagai macam isu, isu yang pertama karena memang Rahima ini dalam melihat sebuah persoalan gender digunakan sebagai alat analisa maka gender yang diberikan terlebuh dahulu.. perspektif gender itu di tadarus pertama, kedua perubahan social, ketiga analisis social, yang keempat metodologi wacana ke Islaman, yang kelima pengorganisasian.jadi kelas jawa barat dan jawa timur mengikuti 5 tadarus dan masing-masing tadarus itu 5 hari. Prosesnya itu satu tahun. Pengkaderan Ulama Perempuan Angkatan kedua dilakukan di Jawa Barat sekitah daerah Parahiyangan ( Bandung dan Sekitarnya ) sama juga menggunakan 5 Tadarus, kemudian PUP angkatan ke 3 melakukan di Jawa Tengah bagian utara, pesertanya ada yang dari Tegal, Pekalongan, Kendal, Semarang, Jepara, Pati sampai Blora itu juga menggunakan 5 tadarus. Kemuduan yang angkatan ke-4 itu sekarang, setelah ini kami evaluasi ternyata peserta bilang bahwa materi yang,…. Tapi waktu PUP yang ke-2 dan ke-3 ada perubahan, jadi kalo pertama kali hanya membahas sensitifitas gender saja yang selanjutnya bicaranya sensitifitas gender ditambah dengan kesehatan reproduksi. Kenapa kesehatan reproduksi ? karena untuk melihat ketidakadilan pada perempuan isu yang paling bisa dipahami dan itu dialami oleh perempuan itu sehari-hari adalah isu kesehatan reproduksi. lalu yang kedua, tadinya kan bicara soal perubahan social, kami rubah itu jadimetodologi ke islaman terlebih
dahulu, karena hasil evaluasinya bilang ternyata perspektif agama itu dibutuhkan peserta diawalawal, yang ketiga baru kemudian analisis social dan yang lain-lainnya. Dan angkatan ke-4 berdasarkan evaluasi dari angkatan ke-3 itu malah bilang tadarus ke-2 yang berbicara metodologi wacana ke Islaman itu terlalu padat, karena didalamnya kan berbicara tentang, Tafsir, Hadis, dan berbicara juga soal Fiqh. Buat mereka itu terlalu padat sekali, maka di PUP ke-4 ini dipisah, jadi Al-Qur`an dan Tafsir Al-Qur`an itru menjadi satu tadarus, kemudian hadis dan ulumul hadis satu Tadarus, kemudian fiqih dan ushul fiqih menjadi satu tadarus, totalnya kemudian menjadi VII Tadarus. Yang membadakan juga di angkatan 1 dan 2, 3 dan 4 adalah forum Bahtsul Masail, kami memasukan satu tadarus yang membicarakan tentang bahtsul masail, pentuan hokum itu dilihat dari bagaimana majlis tarjih Muhammadiyah menentukan itu, bagaimana forum NU memutuskan itu dan bagaimana MUI menentukan hokum itu seperti apa,. Setelah itu peserta di ajak ada persoalan apa, lalu bagaimana mereka mencoba memutuskn hukum itu atas persoalan tersebut . pada PUP ke 3 dimasukan pada tadarus ke 4 sedangkan PUP ke-4 dimasukan pada tadarus ke 6, jadi setelah gender, analogi social, lalu yang ketiga membicarakan metodologi keislaman itu baru ke 6 membicarakan Bahtsul Masail pada PUP ke-4.
Syarat atau kriteria apa saja agar seseorang bias menjadi peserta Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ?
Peserta PUP Rahima memiliki criteria, misalnya umurnya 20 sampai kurang lebih 55 tahun dan yang pasti perempuan, mereka pimpinan majlis ta`lim, atau pondok pesantren, yang ketiga bersedia mengikuti tadarus yang panjang ini, yang keempat tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu. Memang program panjang ini tantangannya banyak untuk mengikuti 7 tadarus ini bukan main, apalagi untuk meninggalkan aktifitas kurang lebih 4 hari. Maka untuk menjebatani itu biasanya diakhir tadarus ditanya kapan tadarus selanjutnya?. Jadi waktunya itu diserahkan kepada mereka untuk memutuskan bukan dari kami. Umur 20-55 diambil dari pengalaman ketika dipantai utara, jadi ketika itu ada peserta berumur 60 tahun, dari sisi fisik kan sudah menurun, kemudian mereka lebih banyak melakukan aktifitas ibadah di malam hari semisal tahajud, jadi ketika di kelas hanya tersisa ngantuknya saja jadi kurang efektif. Metode pendidikan rahima ini ka ada di dalam dan luar kelas, pendidikan di dalam itu mengikuti tadarus tersebut, di akhir tadarus itu kan biasanya kami menyebutnya Rencana Tindak Lanjut ( RTL ). Mereka misalnya materinya membicarakan tentang gender kesehatan Reproduksi dan RTLnya mereka diminta melakukan pengamatan atas ketidakadilan gender yang dialami kemudian kaitannya dengan isu kespro apa ? tidak hanya melakukan pengamatan mereka juga menuliskan laporan hasil pengamatan itu, atau misalnya disuruh mengamati ceramah-ceramah agama baik radio, televise maupun secara langsung kira-kira ceramah yang disampaikan penceramah itu yang bias gender apa yang tidak bias gender apa, mereka menulis dan dilaporkan juga ke Rahima, nanti diawal tadarus berikutnya itu dibahas bersama-sama, nah biasanya mereka yang berumur 60an kemudian agak ketinggalan untuk yang
seperti ini. Kemudian penerimaannya karena acaranya padat, 4 hari, materinya banyak kadangkadang los/ ngebleng. Memilih kader yang memiliki background ketua pesantren atau pimpinan majlis taklim karena kami berharap, mereka kami sebut dengan inter media group, perantara. Jadi mengapa kepada mereka ? karena harapannya nanti mereka yang menyebarkan kepada komunitas gressgroup kami menghitung jamaahnya berapa, jadi rahima memang memilih untuk tidak melakukan menyebarkan wacananya langsung kepada gress tersebut, tapi melalui orang-orang inter media di groupnya atau perantara yang memang punya jamaah, misalnya kerja sama dengan guru PAI, kan kerjasama dengan gurunya, nanti gurunya yang diharapkan menyampaikan ke siswa-siswa. Ada satu program Rahima lagi soal debat siswa itu di Jawa Barat, itu kami pelatihannya kepada guru-guru, tetapi lomba debatnya itu kepada siswanya, jadi kami ingin melihat bagaimana guruguru ini menyebarkan, mensosialisasikan yang diperoleh dari rahima melalui kepada siswanya, siswanya yang berdebat. Untuk Tadarus pertama materinya Kespro ( Kesehatan Reproduksi) tapi tetap dilihat dari sudut islamnya, lalu yang ke dua berbicara tentang Analisis social, analisis social ini materinya macam-macam mulai dari hak asasi manusia, hak asasi perempuan, lalu ada juga fundamentalisme lalu yang ketiga ada Observasi lapangan. Nah yang kemarin itu kebetulan dijogja, observasi lapangannya itu ke Lokalisasi Pasar Kembang ( SarKem) kenapa kesana ? karena kalau kesana kita bisa lihat link-linknya bahwa seorang PS ( Pekerja Seks ) itu kontribusinya banyak sekali, kepada pemerintah, kepada Negara, dan yang memanfaatkan dia banyak sekali tidak hanya para konsumen/ pelanggan tapi petugas kebersihan, RT, Polisi, Pajakpajak tidak resmi, Warung-warung makan. Jadi seorang PS itu Linknya bisa kemana-mana, jadi itu buat Rahima lebih memudahkan peserta memahami sebuah persoalan yang tidak berdiri sendiri. Tadarus ke3 masuk apada isu agama Qura`an dan tafsir Qur`an biasanya didahului dengan Stadium General, jadi Kyai Husen bicara soal Al-Qur`an yang memuliakan Perempuan ,tapi diakan berbicara secara garis besar ,nanti setelah kyai husen berbicara lalu diturunkan dalam sesi-sesi pelatihan jadi 3 hari. Misalnya awal mengenal soal bahasa yang digunakan dalam Al-Qur`an lalu bias Gender dalam Al-Qur`an. Tadarus 4 berbicara tentang Hadits dan dirosah Hadits itu sama juga diawali dengan Stadium General, berbicara tentang Hadits dan ulumul hadits. Tadarus yang kelima berbicara terkait Fiqh dan Ushul Fiqh, tetap di awali Stadium General Tadarus 6 Bahtsul Masail, itu juga didahului Stadium General tentang bagaimana metode penetuan hokum di beberapa organisasi Islam, setelah itu diturunkan dalam diskusidiskusi sekalian praktek melakukan Bahtsul Masail, yang terakhir ( Tadarus VII ) bicara soal Pengorganisasian Metode yang digunakan oleh nara sumber bermacam-macam , ada yang ceramah tapi karena prinsip yang digunakan partisipatori peran fasilitator, jadi kami ada fasilitator kalaupun nanti metode narasumbernya ceramah nanti kemudian fasilitator yang kemudian mencoba menjabarkan, dan menjebatani agar forumnya lebih partisipatif,
Pengajar Untuk pengajar/nara sumber bermacam-macam, jadi sebelum ada pelatihan soal PUP, angkatan ke-4 misalnya, kami mengadakan workshop terlebih dahulu, work shop inin terkain soal kurikulumnya, jadi kami awali misalnya pencapaian dan tantangan pada PUP yang ke-3, setelah itu masukan dari peserta itu apa ? peserta yang diundang ada yang dari kalangan aktivis, pesantren, akademisi dan juga dari peserta sendiri kami undang. Masukannya kemudian apa ? dan dari masukannya ini yang kemudian kami rumuskan untuk PUP yang ke-4 itu. Nah diantara yang kami rumuskan itu pertama terkait dengan materi, yang kedua refrensi misalnya terkait materi gender tapi refrensinya buku siapa saja ini, dan yang ketiga terkait juga nara sumber dan fasilitator kami minta masukan kira-kira siapa saja nih yang bisa jadi nara sumber siapa saja yang bisa jadi fasilitator untuk materi yang sudah ditentukan itu. Materi ditentukan ketika workshop tersebut, penyampaian hasil PUP yang sebelumnya dari situ kemudian ada capaian, tantangan dan hambatan. Didiskusikan bagaimana menjebatani tantangan dan hambatan itu setelah itu dirumuskan kedepan kira-kira kedepan idealnya seperti apa karenakan ada masukan dari peserta yang sebelumnya, yaitu peserta PUP ke-1, PUP ke-2, dan PUP ke-3 untuk sharing diharapkan masukannya lebih baik. Lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan Lembaga Rahima setelah melakukan pelatihan PUP biasanya tidak selesai begitu saja, silaturrahmi tetap di jaga antara lain, pengiriman majalah swara rahima, kami juga berharap mereka ini mengembangkan forum diskusi namanya lingkar baca swara Rahima, tidak semua mereka membuat tetapi beberapa diantara mereka membuat, swara rahima sebenarnya tujuannya pertama, penyebaran wacana tentang apa yang diusung oleh Rahima, sebagai forum silaturrahmi, beberapa diantara mereka kemudian menghubungi rahima, kami baru melakukan diskusi tentang Swara Rahima itu dilaporkan ke Rahima, diluar itu kadang-kadang rahima punya forum yang lain, misalnya Halaqoh, biasanya kami mendiskusikan sebuah isu yang tertentu, yang kurang bisa ditemui dalam PUP misalnya materi tentang Traficking, trafficking memang disinggung dalam salah satu pelatihan PUP, tapi secara detail tentang trafficking itu tidak, jadi kami mengadakan Halaqoh. Halaqoh itu waktunya lebih singkat biasanya hanya 2 hari. Dalam halaqoh itu materi tentang trafficking ini dibahas secara mendetail, karena kebanyakan peserta kan PUP mereka kan terlibat dengan jamaah di greesroad , lalu mereka pasti mengalami soal buruh migran atau trafficking itu, ini dibekali walau dalam halaqoh itu memang tidak semua bisa di undang, tapi kami berusaha untuk keterwakilannya ada kalau missal pada halaqoh 1 yang diundang perwakilannya sebagian, nanti pada forum yang lain kami mengundang yang belum pernah di undang. Jadi silaturrahmi antara peserta dengan Rahima tetap terjaga. Bisa melalui majalah swara Rahima, kemudian ada forum-forum juga di undang, terkadang kalau Rahima ada program yang lain, mereka menjadi Informan dari Rahima jadi missal kami mau butuh peserta untuk kegiatan ini kami meminta rekomendasi nama dari mereka.
Hasil Wawancara Narasumber
: Maman Abdurrahman
Jabatan
: Koordinator Program
Hari/ Tanggal
: Selasa, 6 Mei 2014
Kurikulum Pengkaderan Ulama Perempuan Kurikulum PUP itu ada beberapa yang pertama terkait dengan kesetaraan gender , biasanya dilakukan di awal kemudian ada kesehatan reproduksi, dijadikan satu pelatihan atau tadarus karena pelatihannya ada beberapa atau beberapa pertemuan jadi dibeberapa angkatan, angkatan I, II, III itu ada 5 Tadarus jadi masing-masing tadarus itu 4 hari, nah kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi itu ditempatnkan di awal, kemudian masuk ke materi selanjutnya yaitu terkait tentang metodologi kajian Islam, yaitu bagaimana memahami Islam dengan perspektif kesetaraan. Nah didalam itu belajar tentang Tafsir, Hadis, Fiqih dan Ushul Fiqh. Materi selanjutnya terkait dengan Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Perempuan, ataupun materi-materi tentang HAM kemudian materi selanjutnya tentang Analisa Sosial, mendiskusikan tentang perubahan social, globalisasi dan sebagainya, kemudian yang selanjutnya ada pengorganisasian dan advokasi yang ditaruh diakhir biasanya, jadi peserta PUP belajar bagaimana mengorganisasi masyarakat sipil, dan bagaimana mengadvokasi isu-isu terkait tentang perempuan. Misalkan terkait dengan kekerasan terhadap perempuan. Kami mempunyai lima materi pokok. Kemudian dalam perkembangannya, di angkatan ke 4, metode kajian Islam di pecah, menjadi tafsir sendiri kemudian, kajian hadis sendiri, dan ushul fiqh digabung .Berkembang menjadi 7 materi atau 7 tadarus. Ini merupakan masukan dari peserta pengkaderan, sebab menurutnya kalau digabung itu terlalu padat atau terlalu berat sehingga membuat pusing sehingga dipecah. Kemudian ada di dalam kajian Islam juga di beberapa angkatan itu membahas tentang Bahtsu Masail, jadi ketika belajar Fiqih, dan Ushul fiqih juga belajar bagaimana Bahtsul Masail membahas masalahmasalah terkait dengan perempuan. Disitu tidak hanya belajar bagaimana metode pengambilan hukumnya, tetapi juga belajar teknisnya juga, bagaimana sih cara Bahtsul Masail, metodenya apa saja, terutama bagaimana yang dilakukan di Jama`ah NU, tapi juga dikenalkan juga bagaimana cara pengambilan hokum di Muhammadiyah ataupun di MUI, selain dari materi-materi tersebut din ulas secara teoritis, peserta juga diajak untuk terjun langsung kelapangan, jadi dimateri Analisa Sosial (Ansos) tidak hanya belajar teori, tapi juga praktek lapangan. Peserta, di ajak untuk terjun kelapangan ,melihat kenyataan realita yang ada dilapangan seperti apa, kemudian baru dikaitkan dengan teks keagamaan. Ini realitasnya begini, trus dalam pandangan keagamaannya seperti apa, disitulah muncul rasa empati terhadap persoalan-persoalan yang menimpa perempuan khususnya. Nah itu adalah materimateri kurikulum secara umum.
Materi Pengkaderan Ulama Perempuan Materi dibuat dari workshop sebelum adanya pertemuan atau tadarus, jadi materi kita ungkap terlebih dahulu, masalah-masalahnya di identifikasi kebutuhannya apa terkait dengan materi akan kita kaji, jadi materi pendidikan orang dewasa itu “ Memanusiakan-Manusia “ menempatkan manusia tidak sebagai ruang kosong atau botol yang tidak punya apa-apa maka dia dingkap pengalaman-pengalamannya. Metode yang digunakan di dalam kelas Jadi ketika kita melihat pengkaderan ulama perempuan, Pendidikan Rahima maka sesungguhnya kita harus melihat juga pendekatan yang dilakukan Rahima. Pendekatan yang dilakukan Rahima adalah pendekatan pendidikan orang dewasa, jadi pendekatan orang dewasa itu sebenarnya itu ada daur belajarnya yaitu mengalami-mengungkap-menganalisa kemudian menyimpulkan jadi 4 daur belajar itu pendekatan yang diterapkan pendidikan orang dewasa (Pedagogi). Jadi ketika masuk kelas atau belajar dikelas itu maka metode yang digunakan juga harus menyesuaikan dengan pendekatan yang dilakukan, pendekatan orang dewasa itu, jadi meminta peserta untuk Sharing, curah pendapat, diskusi, bernyanyi . kemudian role play, bermain peran, misalkan membantu dalam materi kesalahan gender, jadi memerankan bagaimana laki-laki dan perempuan berperan. Peran Lulusan Pengkaderan Ulama Perempuan Jadi beragam, karena memang peserta PUP dari satu angkatan ke angkatan lainnya itu bervariasi, ada yang backgroundnya akademisi, mereka datang dari lingkungan kampus misalkan dosen, kemudian dari pesantren, dari sekolah jadi aktif disekolah, ada juga yang merupakan aktifis, jadi sebelum ataupun sesudah mengikuti pengkaderan dia terjun di NGO, ataupun LSM. Missal dia dari NGO maka dia aktif menyuarakan isu-isu atau permasalahan atau persoalan perempuan, baik nanti dikaitkan dengan hukumhukum formal atau pendekatan HAMmaupun nanti pendekatan keagamaan ( Tafsir dan Hadits). Nah diluar itu juga mereka yg aktif di Majlis Taklim, ada juga yang menjadi Kepala Sekolah jadi melalui lembaga itu dia menyebarkan nilai-nilai kesetaraan Genderdisekolahnya. Kemudian yang dipesantren mereka mencoba mensosialisasikan di pesantren. Jadi memang sangat beragam alumninya asal dari lembaganya.
Hasil Wawancara Narasumber
: AD Kusumaningtyas
Jabatan
: Koordinator Informasi dan Dokumentasi
Hari/ Tanggal
: Selasa, 6 Mei 2014
Seperti Apakah Pendidikan Orang Dewasa yang Diterapkan Rahima ? Sebenarnya yang dimaksud pendidikan orang dewasa itu sendiri adalah pendidikan yang menganggap seseorang itu bukanlah botol kosong yang harus diisi, bedanya kan pedagogi dan andragogi, kalo pedagogikan seolah-olah dianggap botol kosong dan perlu diisi, kalo pendidikan orang dewasa itu asumsinya bahwa setia orang sudah memiliki pengalaman masing-masing sehingga pengalaman tersebut dapat di sharing, yang mengisi pengalaman itu adalah orang-orang yang lain sehingga pengetahuan adalah pengetahuan milik bersama, tidak ada guru dan murid relasinya yang ada Fasilitator, fasilitator tugasnya bukan menjadi satu-satunya sumber pengetahuan tapi dia menggali dari pengetahuan yang dimiliki dari semua peserta sehingga itu menjadi pengetahuan bersama. Nah itu seperti apa yang diterapkan ya makanya kalo toh misalnya seperti itu fungsinya sebagai Exploring, pendapat anda , refleksi anda seperti apa. Relasinya bukan guru-murid karena kalau guru murid tidak setara tapi semua adalah guru dan semuanya adalah murid. Jadi misalkan, katakanlah kita berbicara tentang reproduksi, jadi kita tidak berbicara “kesehatan reproduksi itu apa ?” tidak, jadi istilahnya kan katakanlah menggali pengalaman terlebih dahulu,” kira kira apa anda pernah mengalami sesuatu terkait tentang ini” mungkin juga istilahnya ada sedikit pengantar tapi akhirnyakan orang bercerita tentang dirinya, “owh dulu saya mimpi basah umur sekian saya tidak berani ngomong sama bapak, saya ngomong sama teman saya” misalkan seperti itu, jadi ada sharing pengalaman, trus ada lagi yang bercerita seperti missal seperti apa. Artinya memetakan persoalan itu dengan berdasarkan dari refleksi pengalaman pribadi. Jadi semua sumber dari kita. Dan misalnya ketika kita berbicara tentang apa misalnya, dikaitkan dengan pendidikan pengkaderan Ulama perempuan. Itukan bukan orang tiba-tiba diberikan segepok materi kemudiandia menjadi Ulama, itu tidak. Awalnya dia kan memang sudah mempunyai basic, misalnya basic dia sudah mampu membaca kitab kuning tetapikan dia perlu seedikit diajak agar matanya terbuka soal pertimbangan relasi perempuan, dari situasi seperti itu dia kemudian bisa kembali kedaerahnya masing-masing, ketempatnya masung-masing dan dia merasa kurang apa yang ditemukan didaerah sekitarnya, bagaimana dia mengkaji kembali, memaknai kembali teks yang selama ini dia fahami.
Bagaimana Kurikulum Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima? Kurikulum PUP Rahima dari PUP pertama, kedua, ketiga sampai keempat tidak mengalami perubahan namun bisa dibilang mengalami perkembangan.mungkin perubahannya hanya pertemuannya lebih banyak namun materi sama saja. Awalnya materinya ada 5 Tadarus kemudia menjadi 7 Tadarus dan di PUP ke 4 ini menjadi 8 dan perkembannya yang dulu ada yang namanya Metodologi Kajian Islam di Dirosahnya itu sekarang di pecah, jadi materinya itu lebih banyak, lebih detail menggalinya lebih lama, dan lebih spesifik. Yang terdapat tambahannya itu di kajian(Tadarus) yang ke 2 dan ke 4 di metodologi Islam sama Istimbatul Ahkam. Jadi materinya itu diramu lagi menjadi ada dirosah Hadis, Dirosah Fiqih, Dirosah Tafsir.sesudah mereka, katakanlah mempunyai pemahaman dasar tentang kajian gender, perspektif gendernya sendiri kan juga sudah kena. Dan artinya kan ketika mereka masuk, mengkaji beberapa materi ajar itu, mereka sudah mulai mengenali perspektif tadi. Jadi ada pendalaman juga misalnya berbicara tentang Metode Istinbatul Ahkam, ada diprkenalkan di NU apa di Muhammadiyah apa sama ada perkenalannya, tapi kan katakanlah ruangnya untuk praktek itu lebih banyak misalkannya katakanlah Cuma praktek satu tema mungkin disana bisa dipecah diajak untuk mendiskusikan banyak tema.
Hasil Wawancara
Narasumber
: Izzatul Mardhiah
Jabatan
: Peserta Pengkaderan Ulama Perempuan
Hari/Tanggal
: Senin, 20 Oktober 2014
Dari mana ibu mengetahui lembaga Rahima dan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ? Ketika kuliah, ketika itu saya masih aktif mengikuti lembaga-lembaga yang ada. Selain itu juga dari teman –teman yang mengikuti ketika itu semisal ibu farhat cicih. Alasan mengikuti PUP lembaga Rahima ? Diajak oleh orang rahima, kemudian daftar, selain itu juga karena ingin tau. Manfaat yang didapat dari PUP di lembaga Rahima serta pengaplikasiannya. ? Mempunyai teman yang banyak dari daerah-daerah, dari jawa, Bandung dengan basic pesantren yang berbeda-beda lain . Selain itu juga kesadaran organisasi perempuan terhadap perempuan itu sendiri perkembangan dengan apa yang terbaru. Untuk pengaplikasiannya di masyarakat mungkin tidak terlalu banyak yang paling dapat dipraktekkan biasanya ketika saya mengajar kuliah. Terutama terkait kajian Hadits-hadits biasanya hadits yang membicarakan tentang perempuan periwayatannya itu terputus-putus namun kalau di Pengkaderan Rahima itu semuanya disebutkan jadi lebih luas jangkauannya dan lebih utuh matan-matannya.yang dapat membuat kesalahpahaman prakteknya dimasyarakat itu banyak hadits tentang perempuan di riwayatkan hanya sepenggal-sepenggal. Selain itu metodologi yang dipergunakan juga dari kasus kemudian di lihat teksnya. Tanggapan ibu bagaimana Pengkaderan Ulama Perempuan yang dilakukan Rahima ? Bagus, pembelajarannya gembira banyak pengenalan kemudian peserta dibuat aktif.
Hasil Wawancara Narasumber
: Yulianti Muthmainnah
Jabatan
: Peserta Pengkaderan Ulama Perempuan
Hari/Tanggal
: Jumat, 31 Oktober 2014
Sejak kapan ibu mengenal lembaga Rahima ? Saya mengenal Rahima sekitar tahun 2001, jadi waktu itu saya sering ikut diskusi ketika itu saya di PaJar Peran Informasi dan Jaringan Perempuan, nah Pajar ini sering mengadakan diskusi tentang perempuan, salah satu tema yang dibahas adalah tentang Perempuan dan Islam beberapa nara sumber dari Rahima suka kita undang biasanya itu mba AD Kusumaningtyas, jadi dari situ sudah mulai mengenal Rahima, dan setiap mengadakan seminar saya selalu ikut, kemudian sekitar tahun 2003-2004 ketika saya tinggal di asrama putri UIN saya mengadakan seminar nasional isunya tentang perempuan salah satu pembicaranya juga dari Rahima. Alasan mengikuti PUP Rahima ? Jadi mekanisme yang dilakukan oleh Rahima adalah perekrutannya itu seperti system gugur, saya beruntung pada saat itu ketika pertama kali rahima mengadakan Pengkaderan Ulama Perempuan itu ada tempat kosong, itu diperuntukkan untuk mahasiswa beasiswa berprestasi dan saya ditawari program itu oleh mba ning, kemudian saya melampirkan skrispsi saya tentang eksistensi hak-hak reproduktif perempuan, lalu karena waktu itu juga saya terpilih sebagai mahasiswa terbaik, jadi saya dapet tawaran program pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ya saya ikut, program itu selama 1 tahun pertemuannya itu setiap 2 bulan sekali terus setiap pertemuan itu ada training ada penambahan materi tapi setelah kita mendapat materi itu kita memberikannya lagi ke masyarakat, jadi ada Feedback Rahima kasih kekita sebagai kader kemudian kita kasih kemasyarakat. Dulu saya tugasnya di Cianjur jadi apa yang saya dapat dari Rahima saya kembalikan lagi ke masyarakat di Cianjur.jadi alasan saya mengikuti program Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima lebih untuk memperikan penguatan kapasitas dalam isu Gender terutama dalam perspektif Islam, Ham dalam perspektif Islamnya , perempuan dalam perspektif Islamnya. Manfaat yang didapat ketika mengikuti PUP Rahima serta pengaplikasiannya ? Setelah melakukan PUP Rahima tentunya banyak yang didapat terutama ketika saya mengaplikasikannya dimasyarakat, karena di Rahima itukan tidak hanya belajar soal Agama tapi tafsir, hadits itu sudah belajar di UIN sebagai alumni UIN tetapi kita diajarkan bagaimana kita melihat fenomena social dengan analisa gender, jadi analisa socialnya itu ditambah dengan analisa berbasis gender/ berperspektif gender. Jadi kalau melihat masalah pada masalah yang
sama kalau orang tidak memiliki perspektif gender yang baik dan juga tidak memiliki analisis social yang baik maka hasilnya akan berbeda dengan orang yang memiliki analisis social yang baik. Misalnya saja contoh ada korban pemerkosaan kalau dia tidak mempunyai perspektif gender dan analisa yang baik tentu dia akan menyalahkan korban, karena keluar malamkah, karena pakaiannya kah tapi kalau dia mempunyai analisa gender yang baik maka yang dikaji adalah kultur hukumnya budaya hukumnya dan struktur hukumnya, kenapa korban perkosaan tidak mendapatkan hak keadilan yang baik. Selain itu juga ketika saya aplikasikan di komunitas, saya memiliki komunitas di tempat saya tinggal jadi saya mengajar baca tulis untuk ibu-ibu buta huruf dan mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak disekitar rumah saya tentu muatannya tidak hanya belajar Bahasa Arab bahasa Inggris saja tetapi ada muatan agamanya ada muatan Islamnya serta muatan gendernya juga. Bagaimana tanggapan ibu tentang kegiatan PUP yang dilakukan Rahima ? Mekanisme kegiatan Rahima dalam proses mengajar, materi serta metodenya sudah cukup baik. Justru yang perlu diberi masukan adalah sasaran pesertanya, sasaran pesertanya itu masih hanya seputar pesantren atau ulama-ulama yang berbasis di pesantren ini sepertinya agak harus diperluas lagi jangkauannya. Memang sih Rahima itu mempunyai program untuk Tadarus Mahasiswa, tadarus mahasiswa itu untuk mahasiswa-mahasiswa . namun jangkauannya saya kurang mengerti apakah seperti PUP yang memiliki countinuitas pertemuan-pertemuan, evaluasi apakah seperti itu atau tidak. Jadi harapan saya itu tidak hanya orang pesantren, tidak hanya guru agama itu saja dari Rahima kalau bisa dari masyarakat luas jadi pengembangannya juga lebih luas tidak hanya NU asaja ataupun pesantren-pesantren NU. Pesantren-pesantren PERSIS misalnya ataupun Sekolah-sekolah Muhammadiyah harusnya juga diberi materi gender dan Islam seperti halnya memberi kepada pesantren atau sekolah NU, jadi jangkauannya itu akan lebih luas. Itu usulan saya kalau dari segi pengajaran, materi, metode sudah cukup baik. Bagaimana peran yang dilakukan Rahima terhadap Pengkaderan Ulama Perempuan ? Peran yang dilakukan Rahima dalam pelaksanaan Pengkaderan Ulama Perempuan sangat baik, Rahima mengisi kekosongan. Orang selama ini menganggap Ulama itu harus laki-laki pertama. Yang kedua orang menganggap perempuan tidak cocok menjadi pakar agama, banyak orang beranggapan bahwa perempuan tidak pantas atau tidak cakap berbicara soal agama dan Rahima mampu mengisi kekosongan itu. Bahwa ditangan perempuan agama juga bisa berbunyi bahwa perempuan ditangan perempuan makna keadilan itu jauh lebih terlihat dibanding ulama laki-laki yang tidak berperspektif gender begitu, jadi Rahima benar-benar mengisi kekosongan itu dan menyiapkan generasi kedepan itu sebagai tokoh masyarakat, dimana masyarakat bertanya maka ulama bisa menjawab ulama perempuan.
Setelah melakukan pengkaderan apa yang ibu lakukan setelahnya bersama peserta pengkaderan yang lain ? Kita itu kan dari latar belakang yang berbeda, posisinya juga menyebar dimana-mana untuk pertemuan pun pasti sulit, jangankan yang berbeda angkatan yang satu angkatanpun susah sekali bertemu, biasanya itu bisa kumpul bareng kalau dikumpulkan oleh Rahima, misalkan ada perkumpulan apa lalu kita disuruh kumpul bareng itupun tidak semua bisa berkumpul. Harapan kedepan bahwa Rahima bisa lebih menjangkau tidak hanya pesantren dan sekolah NU saja tetapi bisa merambat ke sekolah Muhammadiyah dan Persis, sedangkan Muhammadiyah dalam beberapa titik telah mempunyai dewan majlis Tarjih dan putusan fatwa yang baik misalnya saja “ Aborsi itu diperbolehkan dalam keadaan darurat “ artinyakan itu dapat difahami ketika perempuan korban perkosaan dan dia tidak menginginkan anak dari korban perkosaan itu karena factor psikologis yang luar biasa trauma maka Aborsi itu diperbolehkan, berarti muhammadiyah progresif misalnya dia punya urusan ditingkat internal pusat sampai tingkat ranting itu tidak boleh poligami tidak boleh melakukan KDRT, ketika ketahuan melakukan itu maka dipecat dari pimpinan tersebut, keputusan seperti inikan sebenarnya sudah ada di tingkat institusinya bagaimana menyiapkan kader-kader ulamanya dari sekolah-sekolah muhammadiyah pesantren muhammadiyah maupun Persis, karena Rahima itu harus lebih menjangkau banyak kader tidak hanya NU saja.
Hasil Wawancara Narasumber
: Nor Ismah
Jabatan
: Peserta Pengkaderan Ulama Perempuan
Hari/Tanggal
: Senin, 27 Oktober 2014
Kapan pertama kali ibu mengetahui lembaga Rahima ? Sebelumnya saya bekerja di YKF ( Yayasan Kesejahteraan Fatayat ) mulai mendengan nama P3M, yang saat ini menjadi Rahima, Apa alasan ibu menikuti pelatihan Pengkaderan Ulama Perempuan Rahima ? Direkomendasikan oleh teman dia termasuk pengolah modul PUP yang bukunya berwarna ungu ibu Nihayatul Wafiroh. Ketika itu saya menjadi pengurus Fatayat kemudian di tawari siapa yang mau ikut program ini, kemudian saya ikut. Bagaimana pengaplikasian yang ibu lakukan setelah melakukan pelatihan pengkaderan ? Program PUP itu sendiri punya criteria kan diantaranya basic komunity atau jamaah. Saya sebenarnya ga punya jamaah gtu. Waktu itu saya keterima mungkin ini, pak Hasan waktu itu bilang yang milin teks arab untuk di interpertasi itu langsung keterima. Kalau saya itu senang melihat teman-teman perempuan yang bisa melakukan community development dilingkungan masing-masing, karena saya ga bisa melakukan itu, bisanya saya ya bagaimana program bagus ini bisa didengar banyak orang melalui misalnya menulis kemudian di presentasikan, area saya sebenarnya kan tulis menulis sama training-training kemudian pelatihan saya ga punya jamaah. Jamaah saya itu audience. Yaa mungkin lebih luas ya…. Wilayah nya mungkin lain,Kalau saya semisal ini bisa dibilang advokasi, ini bukan advokasi gresroad, jadi pemberdayaan komunitas itu bukan. Tapi bagaimana program ini bisa diakui oleh banyak orang dan mereka yang sebenarnya mempunyai lembaga, mempunyai power menjadi tau bahwa melakukan pendidikan untuk ulama perempuan itu penting lalu bisa menginspirasi mereka utuk bisa melakukan hal yang sama. Kalau misal ini kan banyak sekali ya, orang-orang yang memiliki kompetensi yang belum berhasil dijaring oleh Rahima banyak sekali. Kemudian juga laki-lakinya. Tadi mba Dani ( AD, Eridani ) bilang untuk ulama laki-laki kan angkatan pertama baru 25 orang sedangkan efek atau out put dari program itu benar-benar kelihatan ada perubahan mensed dari laki-laki itu. Jadi 25 dibanding sekian juta ulama laki-laki kan belum apa-apa jadi masih harus terus dilakukan. Saya pikirdengan melakukan sharing keberhasilan program, perubahan-perubahan yang terjadi ke orang-orang yang berhubungan langsung dengan program ini tapi orang akademisi, peneliti atau mungkin aktivis yang mempunyai kebijakan itu merekan menjadi bergerak.
Peran pengkaderan Ulama Perempuan Rahima Program ini bagus, hanya dari beberapa tadarus belum ada system yang bias memfasilitasi ulama-ulama ini untuk membangun jaringan untuk bekerja sama entah itu dilingkup kabupaten atau kecamatan dan bagusnya kalau output dari program ini sebenarnya kalau ulama-ulama perempuan mendapat pengakuan yang sama dengan laki-laki itu mungkin butuh lembaga yang menjebatani kearah pengakuan itu misalnya salah satu yang selama ini sangat susah dilakukan oleh ulama perempuan adalah memberikan keputusan hokum yang itu bias di praktekkan di aplikasikan dipakai oleh umat Islam di Indonesia itu kan sangat kurang sekali. Memang dari yang kemarin saya interview itu mereka telah mengambil keputusan hokum tapi itu lingkupnya local dan local itu hanya ibu-ibu ada juga bapak-bapak tapi itu tergantung. Kalau ibu Umi Hani itu menjadi tempat bertanya tidak hanya ibu-ibu tapi juga bapak-bapak tentang hokum. Kalau bu afwah itu karena berada di komunitas pesantren salafiyahnya lebih kuat jadi keputusan hokum itu yang diberikan bu Afwah hanya untuk induvidu perseorangan yang memang mempertanyakan itu. Nah kalau misalnya otoritas itu yang ingin dibangun atau ingin didpatkan mungkin perlu suatu lembaga yang membuat bahtsul masail terus yang datang itu kader-kader ulama ini kemudian membuat ada beberapa persoalan kemudian diambil keputusan hukumnya melalui metode yang memang diperkenalkan oleh rahima. Kalau Bahtsul Masail yang Konvesional kan hanya diperkenalkan Kitab kuning saja itupun laterlage kalau Rahima AlQur`an, Hadits, Kitab kuning, perundang-undangan kemudian konteks. Itu dipakai . kemudian kalau misalnya kemarin kegelisahan dari kyai Husen ternyata tidak semua kemampuan membaca kitab ulama perempuan ini 100% dapat di andalkan. Itu kenapa ? mungkin ada semacam kesulitan bagi ulama ini untuk ulama tersebut masuk bahtsul masail yang di ikuti kebanyakan bapak-bapak seperti bahtsul masail di NU. Itukan kalau kemampuan kitab kuningnya aja kurang bagus ya akan akan ketinggalan ya mungkin begini bias mengkader dipilih dari beberapa ulama perempuan, mungkin bisa kalau dari tingkat nasional itu kesulitan bisa proses aja dari lembaga bahtsul masail. Nah kemarin ada yang menarik itu dari mba Hindun, mba Hindun itu dia tidak ikut PUP tapi dia termasuk anggota perhimpunan Rahima, dia kader di YKF , kemudian ikut program siyasahnya P3M. itu dia waktu ada bahtsul Masail di local daerahnya, itu memang dia tidak dapat ikut hanya menjadi Mustamiin, namun dia bisa melakukan lobi, itu dia berhasil mempengaruhi hasil keputusan. Jadi melalui lobi yang dilakukan. Jadi kalau memang salah satu yang mau di hasilkan itu mendapatkan otoritas hokum, mungkin prosesnya juga penting untuk di cermati. Menurutku perempuan ulama tanpa support dari lembaga, institusi itu agak sulit. Dari lembaga mungkin bisa misal dengan lembaga yang konven dengan wanita seperti Rahima, bisa juga misal seperti fatayat, karena tanpa itu agak susah dalam pengambilan keputusan. Jadi supaya tidak terhenti sampai lulus kemudian selesai tetapi juga memikirkan dia bisa berjejaring kemudian merebut otoritas-otoritas. Dibutuhkan ulama laki-laki, jadi tidak sendiri ulama perempuan. Karena kan gerakan gender exquality baiknya dilakukan oleh kedua belah pihak laki-laki dan perempuan. Yang menarik begini kita di bu Afwah itu saya interview keponakannya aqu tanya. Kan disana ada Takhosus
lilbanat sama lajnah apa begitu madrasah untuk laki-laki. Aku Tanya apakah materinya berbeda? Ya berbeda yang untuk santri putra yang digunakan kitab-kitab muktabaroh. Jadi cara penyamaiannya masih konvensional masih metode bandongan sementara untuk putrikan ada kitab-kitab baru misalnya mambaul sa`adah kemudian sittin al-adilah, kemudian saya bertanya kenapa kedua kitab itu tidak dikaji di santri putra. Kata dia “itukan hadits-hadits yang membahas tentang perempuan, biar aja di kaji oleh santri putrid itu penting buat mereka, sedang santri putra membahas hadits-hadits tentang perempuan untuk apa ? kan kitab itu isinya bagaimana menjadi perempuan sholeh” kemudian saya bertanya, bapak pernah buka kitab itu ? “kalau mambaul saya belum, kalau sittin pernah buka “ bagaimana menutut bapak ? ” saya ga tau ya tapi seakan judulnya itu dipaksakan “ sebenarnya hadits ini, katakanlah Hadits ini konteks tentang jual beli tapi disitu yang melakukan jual beli sahabat perempuan akhirnya hadits ini dipakai dengan judul bahwa perempuan juga jual beli. Jadi untuk bahwa perempuan itu juga muncul di public dia jual beli, itu yang di tangkap. Tapi kalau perspektifnbya itu masih perspektif laki-laki itukan tokoh perempuan disitu tidak muncul yang dibahas jual belinya itu. Misal jual beli boleh dilakukan di pasar atau misalnya jual beli harus ada Akad yang muncul itu konsep itunya tapi sittin atau mambaus saadah ditulis dalam perspektif perempuan akhirnya Hadits itu judulnya bukan adab jual beli tapi peran perempuan di wilayah public. Jadi itu yang menurut bapak itu dipaksakan. Terus saya tanya, ada ga contoh yang spesifik hadits yang mana ? dia jawab “wah saya ga inget bu, pokoknya ada” bapak komplen ga dengan penulisnya misalnya saya menemukan ini kemudian tidak pas kemudian mujadalah atau debat ? kata dia “ gal ah, masalah seperti itu tidak perlu dipermasalahkan itukan perbedaan perspektif atau perbedaan pandangan, itukan rahmat “ kalau misalnya dari tokoh laki-lakinya mereka tidak juga dilibatkan dalam gerakan ini akhirnya yang terjadi seperti itu, bahwa itu hanya urusan perempuan saja. Kita ga ada kepentingan, istilahnya untuk apasih kita ikut-ikutan digerakan seperti itu. Padahal yang namanya relasikan melibatkan laki-laki, nanti misalnya Cuma perempuan aja ini kan jadi tidak akan terwujud relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Sama juga kasusnya secara perspektif misalnya ibu nyai ibu nyai sudah sadar gender tapi karena dia tinggal dilingkungan pesantren trus suaminya masih bias, apalagi kalau ibu nyainya tidak mempunyai keberanian untuk atau seni untuk melobi mempengaruhi suaminya akhirnya dia tidak bisa bergerak, pengetahuan itu hanya menjadi pengetahuan dia saja tidak tersampaikan
Hasil Wawancara Narasumber
: Siti Muyassarotul Hafidzoh
Jabatan
: Peserta Pengkaderan Ulama Perempuan
Hari/ Tanggal
: Senin, 27 Oktober 2014
Kapan pertama kali ibu mengetahui lembaga Rahima ? Sejak ada PUP 4 itu tahun 2013, awalnya tuh mba Nihayatul Wafiroh, mba nini itu kan Fatayat Jogja punya otoritas untuk milih anggota fatayat untuk mengi,kuti PUP ada beberapa teman mba Isma saya, bu khotim bu eni itu dia yang merekomendasikan. Alasan mengikuti PUP Rahima ? Awalnya minder mas ko ulama perempuan? Saya kan bukan bu nyai bukan ulama, kalau perempuannya iya tapi bukan ulama. Kata mba nini ga apa nanti kan ada seleksinya kalo masuk ya ikut kalo ga ya ga apa. Karena tertarik terus pernah sebulmnya Rahima main ke Fatayat tapi aku belum tau, taunya lembaga Rahima aja, oh Rahima ngadain Ulama Perempuan ya udah trus udah akhirnya aku bilang berarti ga apa mba ga harus punya santri, ya udah qu coba aja ngikut. Mencari pengalaman juga. Manfaat yang didapat setelah mengikuti PUP Rahima ? Banyak manfaatnya diantaranya Lebih Percaya Diri, tau kalau Rahimakan pas melakukan pelatihan pakai metodenya metode dari fakta dulu kan, ini ada kasus kaya begini trus kemudian analisis jadi oh ya ternyata di dunia nyata itu ada kasus-kasus seperti ini dan harus ditangani secara serius. Kalau sebelumnya kan kita ga tau, apalagi tentang perbedaan ulama laki-laki dan ulama perempuan, ternyata oh iya ada seperti diskriminasi dalam artian ketika apa Bahtsul Masail perempuan tidak dilibatkan nah setelah ikut nah saya jadi tau, perempuan juga seharusnya dilibatkan ya minimal dilingkungan saya karena kebetulan rumah saya di dekat masjid dan aktifitas masyarakat kan banyak dekat masjid nah Alhamdulillah setelah tau isu-isu seperti ini setelah ikut PUP jadi saya PD masuk ke ranah Ta`mir jadi Alhamdulillah setelah saya ditunjuk jadi salah satu pengurus TPA saya mau jadi saya merasa ada ke PDan itu, sebelumnya mungkin belum PD siapa saya biar suamiku aja setelah pelatihan ini ada rasa lebih PD, tau banyak bahasan juga kan ternyata ada hukumnya.
Bagaimana isi materi PUP Rahima ? Metode yang digunakan metode Pendidikan Orang dewasa jadi kita aktif ga monoton mendengarkan fasilitator ngomong ga, sering praktek. Asik ko sering di ajak berfikir apalagi kau ada RTL atau amanah jadi setelah latihan ka nada tugas tuh nah itu yang menurut saya bagus itu loh. Kenapa ? karena nanti kita ka ga lupaapa yang kita dapet, dan RTLnya itu langsung praktek. Kaya kemarin pengorganisasian saya jadi langsung sama tetangga, kebetulan saya rumah baru komunitas baru jadi Alhamdulillah setelah dapet tema yang ke tujuh itu pengorganisasian saya pulang itu ada oleh-oleh , pas saya ngobrol sama warga saaya itu, ini ada tugas saya mau Tanyatanya tentang ini jadi Alhamdulillah malah jadi alat untuk saya berbaur dengan warga. Dirumahku tuh ada 6 anak muda dan yang satu boyong karena bapaknya itu butuh dia kan adenya mondok dan anaknya itukan ketika ke yogya niat kuliah karena dia ga lolos pas ujian masuk kampus akhirnya jadi mereka menganggur dulu setahun, ga nganggur sih jadi kan saya buka kios mereka yg jualan uangnya buat mereka sedikit-sedikit di tabung. Suami saya kan mengelola majalah bangkit, majalah NU Jogja nah mereka jadi distributornya. Mereka ber 6 tinggal ditempat saya bukan mondok tapi hanya tinggal ditempat saya mereka datang sendiri, disitukan ada oleh suami saya pengajian habis subuh ngaji, kemudian habis maghrib sorenya mereka saya ajak berperan di TPA dan kadang suami saya member kesempatan untuk mengisi tentang gender ketika ngaji al-Quran ya walaupun 6 orang kalau 6 laki-laki ini sudah faham gender saya yakin ketika nanti mereka telah mandiri mereka akan bisa memahami itu ke orang lain walaupun hanya 6 orang saya memulai dari mereka. Setelah selesai Pelatihan Pengkaderan kami para teman-teman pelatihan PUP angkatan 4 ingin terus menjalin silaturahim terus. Saya pernah mengobrol dengan teman-teman seangkatan pengennya kita itu antara angkatan 1,2,3 dan 4 kumpul kemudian Bahtul Masail jadi kita itu mengeluarkan Fatwa, fatwa untuk masyarakat fatwa yang selama ini bisa kita bahtsul masailkan . karena selama ini fatwa-fatwa yang ada masih bias contoh fatwa tentang perempuan boleh ga jadi TKW itu nanti fatwa MUI itu sendiri kan Haram apabila suami tidak mengizinkan, perempuannya takut menyebabkan fitnah yang dibahas perempuannya terus yang dipojokkan tidak ada kata halal hanya boleh apabila tidak menimbulkan fitnah, atas persetujuan suami. Jadi perempuannya yang menjadi obyek terus, kenapa ga harus jika pemerintah menjamin keamanan bagi perempuan itu , jika disana perempuan mendapat gaji yang sesuai begitu jadi pemerintah yang jadi obyek. Jadi begitu keinginan teman-teman ketika saya kumpul.