PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF Oleh Afrina Sari (Dosen Ilmu komunikasi Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa) ABSTRACT This research to analyze people's perception of the quota of 30 percent women representation in legialatif. The method used is descriptive method that analyzed based on a statistical analysis of data kuantutatif. The results showed that there are differences in perceptions that distinguish between women activists and activists of men over 30 per cent quota of women representation in the legislature. Keyword: Perception, community, and the 30 percent quota of women representation.
PENDAHULUAN Latar Belakang Demokrasi di Indonesia dimulai sejak orde baru runtuh yaitu tahun 1998. Sebagaimana dikatakan oleh Azed.et al.(2005), bahwa Indonesia mengalami reformasi dalam bidang politik sesudah masa pemerintahan Orde Baru, banyak sistem kenegaraan yang berubah. Perubahan terhadap sistem pemerintahan Indonesia tersebut dituangkan dalam konstitusi yang menjadi landasan dalam menyelenggarakan negara. Seiringan dengan hal tersebut, di dunia Internasional yang di promotori oleh UNDP, memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di dalam politik. Kesetaraan yang dimaksudkan terutama terlibat dalam tatanan pemerintahan dan partisipasi politik. Banyak pendapat yang menilai bahwa kuota merupakan jawaban bagi proses demokrasi, yakni keadilan dan kesetaraan yang selama ini tertutup konsep- konsep yang dianggap gender–neutral. Kuota juga memberikan solusi bagi sebuah demokrasi yang berprinsip pada keterwakilan mayoritas, yakni mayoritas penduduk dan juga mayoritas pemilih dalam pemilu. Pelaksanaan kuota di lakukan dengan berbagai cara dengan tujuan menciptakan keterwakilan bagi perempuan. Mekanisme kuota dapat diterapkan dengan beberapa cara antara lain: pertama; melalui undang-undang khusus tentang kuota. Cara ini telah dilakukan di Italia. Di sana representasi proporsional sebanyak 50 persen. Negara lain yaitu Argentina 30 persen, Brasil 20 persen dan India untuk Lhok Saba (pemerintah lokal). Kedua; melalui undang – undang Pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan. Negara yang melaksanakan seperti Argentina untuk distrik True believers (daerah yang pasti menang). Undang – undang pemilu juga dilaksanakan Di Perancis ditetapkan dengan kuota 50 persen. Ketiga; Partai politik dapat memiliki kebijakan untuk kuota secara informal. Contohnya ANC di Afrika Selatan menetapkan kuota 30 persen, partai buruh di Australia, PJ dan UCR di Argentina. (Kompas,2003) Dari ketiga cara di atas, Indonesia memakai cara kedua yaitu, melalui undang-undang pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan yaitu dengan kuota 30 persen. Cara kedua ini dipilih dan di setujui oleh DPR RI. Lahirlah UU RI No 12 tahun 2003. Undang- undang tentang pemilihan anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten. Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah persepsi masyarakat Kota Bekasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif.? Sehingga permasalahan penelitian adalah sebagai berikut: Apakah ada perbedaan persepsi masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif? METODE PENELITIAN
Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat pada Kota Bekasi yang terdaftar sebagai peserta pemilu tahun 2004,. dengan ciri populasi yaitu: (1) berusia diatas 21 tahun, (2) dapat menulis dan membaca dalam bahasa Indonesia, (3) berpendidikan minimal SLTA atau sederajat, (4) pernah terdaftar sebagai pemilih pada Pemilu 2004. Masyarakat ini dibagi 2 (dua) kelompok yaitu kelompok aktivis partai politik dan kelompok bukan aktivis partai politik. Kemudian dibagi lagi menjadi 2 (dua) jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan.
Teknik Pengambilan Sampel: Sejalan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini: yaitu Persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Sehingga untuk menghindari adanya distorsi hasil penelitian, pengambilan sampel dikerjakan memakai teknik Disproportionate stratified random sampling yaitu : pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata tetap sebagian ada yang kurang proporsional pembagiannya. Teknik ini dilakukan apabila anggota populasi heterogen atau tidak sejenis (Riduwan, 2004). Dihitung berdasarkan rumus Taro Yamane, mendapatkan jumlah sampel sebanyak 100 orang. 16
Desain Penelitian Penelitian ini memakai desain penelitian survey dengan metode deskriptif analisis. Nazir (1988) menjelaskan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia suatu objek, suatu sel kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Data Primer yakni data tentang karakteristik personal dan situasional serta persepsi tentang keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen yang diperoleh secara langsung dengan menggunakan kuesioner. Selain data Primer juga akan dikumpulkan data sekunder untuk memperkuat data yang ada yang diperoleh dari pemerintahan setempat serta instansi yang terkait. Instrumen yang dipergunakan adalah kuesioner yang dikelompokkan menjadi dua bagian, pertama: terdiri dari pertanyaan–pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor karakteristik personal dan situasional yang meliputi: umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman, kebutuhan, motivasi, kebudayaan, sistem kepercayaan, sistem nilai yang dimiliki, kebiasaan hidup dan kelompok rujukan. Kedua, pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen di legislatif yang meliputi: akses politik perempuan, Partisipasi politik perempuan, Keterwakilan politik perempuan. Data yang diperoleh akan ditabulasi dalam bentuk tabel frekuensi dan dianalisa berdasarkan analisa deskriptif ekplanatoris.
PEMBAHASAN Secara sederhana persepsi diartikan sebagai suatu aktivitas pemberian makna, arti atau tafsiran terhadap suatu objek sebagai hasil pengamatan yang dilakukan oleh seseorang (Yusuf, 1991) Pengamatan tersebut dilakukan terhadap suatu objek yang ditangkap oleh indra dan kemudian diinterpretasikan pada bagian tertentu dalam otak (Sarwono,1992) Proses pembentukan persepsi juga dijelaskan oleh Feigl (Yusuf, 1991) terjadi melalui 3 mekanisme pembentukan yaitu(1) selectivity, (2).Closure (3). Interpretation. Proses selectivity terjadi ketika seseorang diterpa oleh informasi maka akan berlangsung proses penseleksian pesan mana yang dianggap penting dan mana yang tidak. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan, sedangkan interpretation berlangsung ketika yang bersangkutan memberikan tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Rakhmat (1992) melengkapi pernyataan tersebut dengan mengemukakan bahwa dalam mengorganisasikan stimuli tersebut akan melihat konteksnya, walaupun stimuli yang diterima seseorang tidak lengkap cenderung akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang dipersepsinya. Interpretasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu seseorang yang mengalaminya. . Berdasarkan uraian yang ada dan bila dikaitkan dengan ide pemberdayaan perempuan dalam bidang politik dengan adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif maka tepatlah jika dikatakan bahwa persepsi merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan dalam proses belajar menerima nilai-nilai dalam pelaksanaan politik dan adanya keterlibatan perempuan dalam publik secara politik. Paradigma selama ini yang memandang bahwa perempuan selalu lebih cocok di dalam dunia domestiknya yaitu keluarga dibanding dengan publik. Langkah dengan adanya kuota 30 persen ini adanya proses belajar bagi perempuan untuk menerima sesuatu yang belum begitu lumrah dilaluinya. Selama ini masyarakat belum memberikan tempat lebih banyak bagi perempuan. Proses perubahan yang menunjukkan bahwa dalam diri orang yang bersangkutan telah berlangsung suatu proses belajar yang merupakan kegiatan mental dan tidak dapat disaksikan dari luar kecuali bila dinyatakan secara eksplisit oleh yang bersangkutan. Sejalan dengan hal ini Winkel (1996) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemaknaan (kognitif), kemampuan (sensorik–motorik) dan sikap nilai (dinamik–afektif). Pemberdayaan perempuan di bidang politik dengan memberikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif merupakan suatu ide atau gagasan yang telah dituangkan ke dalam undang–undang RI No.12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1, dan telah dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang terdapat di seluruh tanah air yang terdiri dari berbagai lapisan terutama bagi partai politik. Diharapkan keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen membuka peluang besar bagi perempuan yang ada di Indonesia, sehingga membuat suatu persepsi terhadap pelaksanaan kuota 30 persen secara positif. Perilaku yang mendukung terhadap pelaksanaan kuota tersebut, dapat ditandai dengan seberapa jauh masyarakat memahami pelaksanaan kuota tersebut? sehingga mengarah kepada pembentukan sikap dan keputusan yang akan diambil sebagai jawaban atau reaksi terhadap masukan ide atau gagasan yang terdapat dalam UU RI.No.12 tahun 2003. Pengolahan informasi dalam pembentukan persepsi seperti telah disebutkan berlangsung dengan menghubungkan informasi yang ada dengan informasi hasil pengalaman belajar pada masa lampau. Pengalaman belajar menurut Walker (1973) merupakan akumulasi dari berbagai proses belajar. Proses belajar tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pendidikan, nilai – nilai adat istiadat atau kebiasaan, serta berbagai pengalaman hidup lainnya, yang dalam hal ini dapat digolongkan ke dalam faktor personal dan situasional. Aktivitas mengali atau mengingat kembali pengalaman masa lalu ini menurut Bloom (Winkel, 1996) merupakan bagian dari wilayah kognitif yang disebut pengetahuan. Pengetahuan menurutnya merupakan aktivitas mengingat kembali hal-hal yang pernah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan, yang meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan tersebut digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan, mengingat (recall) atau mengali kembali (recognition). 17
Mewujudkan menjadi suatu reaksi atau jawaban terhadap informasi yang diterima, sebelumnya akan terbentuk suatu persepsi dalam diri individu yang bersangkutan, yang akan dilanjutkan dengan terbentuknya sikap. Penentuan sikap terhadap suatu objek, gejala, atau peristiwa menurut Winkel (1996) merupakan kecenderungan menerima atau menolak suatu objek, gejala, maupun peristiwa yang didasarkan pada penilaian terhadap objek, gejala maupun peristiwa tersebut berguna/berharga baginya atau tidak. Penilaian berdasarkan sikap ini bersifat selektif yakni bila objek tersebut “baik untuk saya“ maka yang bersangkutan akan memberikan penilaian positif. Sebaliknya bila “tidak baik untuk saya“ maka yang bersangkutan akan memberikan penilaian negatif. Second and Backman (Azwar, 1997) mengemukakan bahwa sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya.
HASIL PENELITIAN Sampel yang terpilih menjadi responden dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu sampel kelompok aktivis partai laki-laki dan perempuan serta sampel kelompok non aktivis partai laki-laki dan perempuan. Diketahui bahwa umur terendah dan tertinggi untuk responden penelitian ini adalah 21 tahun dan 60 tahun dengan rata-rata umur 40 tahun s/d 50 tahun. Berdasarkan pengkategorian yang ada, sebagian besar responden tersebut tergolong pada kategori umur Muda atau antara 21 tahun–30 tahun, umur tua 31 tahun – 40 tahun, umur lebih tua 41 tahun – 50 tahun, umur sangat tua 51 tahun – 60 tahun.
Persepsi Terhadap Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan di legislatif Persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif merupakan pandangan yang diberikan responden tentang UU.No12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1 yang berbunyi” Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap Daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen” meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan, dan keterwakilan politik perempuan. Persepsi Terhadap kuota 30 peresen keterwakilan perempuan tersebut dapat dilihat lebih rinci pada masing – masing aspek sebagai berikut.
Persepsi tentang akses politik perempuan Berdasarkan konsep yang tercantum dalam UU.No.12 tahun 2003 yang memberikan peluang kepada perempuan untuk ikut dalam calon legislatif yang dituangkan dalam pasal 65 ayat 1, menekankan keterwakilan perempuan dilegislatif sebesar 30 persen. Keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen merupakan suatu bentuk akses yang dibuka oleh pemerintah bagi perempuan Indonesia. Akses politik yang membuka jalan bagi perempuan berperan aktif dalam pengambilan keputusan, serta ikut berperan dalam mencari solusi untuk kepentingan kaum perempuan, anakanak dan bangsa. Berikut pernyataan responden tentang akses politik yang dihubungkan dengan kuota 30 peren keterwakilan perempuan di legislatif. Tabel 1 Persepsi tentang akses politik perempuan No
Pernyataan
N
SS
S
CS
KS
Kuota 30% menjadi saluran politik bagi perempuan
100
19=19%
Saluran politik perempuan dipelajari melalui sosialisasi
100
Perempuan Indonesia butuh kuota 30% u/keterwakilan pol. Kuota 30% sudah sesuai kebutuhan politik perempuan
TS
66=66%
5=5%
6=6%
4=4%
15=15%
72=72%
4=4%
8=8%
1=1%
100
13=13%
67=67%
10=10%
8=8%
2=2%
100
2=2%
47=47%
25=25%
17=17%
9=9%
100
10=10%
37=37%
23=23%
24=24%
6=6%
Peran partai dalam menyalurkan politik perempuan sesuai prosedur
100
2=2%
40=40%
28=28%
26=26%
4=4%
Pelatihan yang diadakan partai politik mewakili kepentingan politik perempuan
100
3=3%
28=28%
27=27%
33=33%
9=9%
Akses politik perempuan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Partai politik memberi peluang antara laki2 & perempuan
dengan sama
Ket: N=total responden, SS=Sangat setuju,S=setuju, Cukup setuju, KS=kurang setuju, TD=tidak setuju
Pada Tabel 1 menunjukkan pernyataan responden tentang persepsi mereka terhadap akses politik perempuan. Tampak pada tabel bahwa 19% responden sangat setuju dengan kuota sebagai saluran politik perempuan. 66% responden setuju bahwa kuota sebagai saluran politik perempuan. 15% menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan 18
tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan responden 85% responden setuju dan bahkan sangat setuju bahwa kuota merupakan saluran politik perempuan. Pernyataan bahwa saluran politik perempuan dipelajari melalui sosialisasi, 15% responden menjawab sangat setuju, 72% responden menjawab setuju, 13% menjawab cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Dapat dikatakan bahwa 87% responden menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa saluran politik untuk perempuan dipelajari melalui sosialisasi. Pernyataan tentang perempuan Indonesia membutuhkan kuota 30% untuk keterwakilan politik, 79% responden menjawab setuju dan bahkan sangat setuju, 21% lainnya menjawab cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Dapat dikatakan bahwa responden menyetujui bahwa perempuan membutuhkan kuota 30% keterwakilan politik. Karena selama ini belum ada kepastian jumlah bagi perempuan dilegislatif. Pernyataan tentang kuota 30 persen sudah sesuai dengan kebutuhan politik perempuan Indonesia, 49% responden menjawab setuju dan sangat setuju, 51% menjawab cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa masih ada keinginan dari responden untuk meningkatkan kuota 30% tersebut ketingkat kesetaraan yaitu 50% di legislatif. Adanya ragu-ragu pernyataan dari responden yang dinyatakan dengan pernyataan kadang-kadang karena mereka melihat bahwa hal itu belum bisa di harapkan karena kepedulian perempuan Indonesia terhadap politik belum banyak. Pernyataan tentang partai politik memberi peluang sama antara laki-laki dan perempuan, 47% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 53% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju, hal ini dapat dikatakan karena sebagian responden melihat bahwa partai politik memilih antara perempuan dan laki-laki sebagai caleg, akan mendahulukan laki-laki. Hal ini sangat sering terjadi di Indonesia. Sehingga perempuan belum banyak yang terlibat secara langsung dalam politik. Pertimbangan selalu pada kesempatan yang dimiliki perempuan belum banyak. Dan partai juga belum memberikan peluang yang sama dalam pencalonan. Partai lebih sering berpihak kepada laki-laki. Pernyataan tentang Peran partai dalam menyalurkan politik perempuan sudah sesuai prosedur, 42% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 58% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju, hal ini dapat dikatakan bahwa partai saat ini belum melakukan penyaluran politik yang sesuai prosedur Saat ini untuk dapat menjadi seorang calon legislatif, harus dapat membuat pernyataan kepada partai berapa kontribusi yang dapat diberikan oleh calon tersebut, agar dapat dijadikan calon legislatif. Sehingga penyaluran politik perempuan belum dapat disalurkan sesuai prosedur yang diinginkan undang-undang no.12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1. Pernyataan tentang pelatihan yang diadakan partai politik mewakili kepentingan politik perempuan. 31% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 69% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa responden menilai bahwa partai belum melakukan pengkaderan terhadap perempuan, partai masih berjalan sebagai garis komando dari dewan pemimpin pusat partai. Sehingga keputusan masih berdasarkan kepentingan misi partai. Sehingga perhatian terhadap peran politik perempuan belum terpikirkan oleh pemimpin partai. Yang terjadi adalah keterlibatan perempuan atas dasar perempuan tersebut mau dan mampu. Untuk saat ini perempuan Indonesia belum banyak yang mampu sehingga partai kesulitan mencari calon perempuan, dan peran partai politik dalam pengkaderan belum tampak..
Persepsi tentang Partisipasi Politik perempuan Sebagaimana yang di Canangkan oleh UNDP dalam Partisipastori tata pemerintahan abad 21 yang menganjurkan setiap negara memberikan kuota keterwakilan kepada perempuan sebesar 30%-33% pada setiap negara. Hal ini yang membuat partisipasi perempuan meningkat terhadap politik. Wujud di Indonesia dengan melahirkan UU.No.12 tahun 2003 tentang pemilihan Umum dalam calon legislatif. Ada keterwakilan 30% yang dicantumkan dalam UU tersebut. Dalam UU.No12 tersebut pasal 65 ayat 2 menyatakan bahwa: setiap partai peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Dalam pasal 65 ayat 2 ini terkandung makna bahwa partai boleh melakukan spekulasi angka untuk meloloskan calon legislatif yang diusulkan partai untuk menempati kursi di DPR.RI atau DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten /Kota. Dan pasal 65 ayat 2 ini bentuk peluang yang diberikan kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Hal ini tergantung kepada mekanisme yang dibuat oleh partai politik. Dalam hal ini partai politik mempunyai wewenang khusus dalam menyalurkan aspirasi politik Tabel 2 Persepsi tentang Partisipasi politik perempuan No. 1. 2.
3. 4.
Pernyataan Partisipasi politik perempuan Perempuan dalam politik hanya sebagai pelengkap struktur Pengambilan keputusan tentang perempuan sebaiknya melibatkan perempaun Partisipasi perempuan dalam politik masih sedikit Pemimpin perempuan di lembaga Indonesia msh sedikit
N
SS
S
CS
KS
TS
100
7=7%
23=23%
13=13%
35=35%
22=22%
100
35=35%
49=49%
8=8%
6=6%
2=2%
100
16=16%
60=60%
12=12%
9=9%
3=3%
100
16=16%
58=58%
11=11%
8=8%
7=7%
19
5.
6. 7.
8.
9. 10. 11. 12.
13.
Kuota 30% dapat wujudkan partisipasi perempuan dalam politik Peran perempuan muncul setelah ada kuota 30% Perempuan parlemen belum berperan aktif dalam pengambilan keputusan Perempuan parlemen harus membela kepentingan dan hak perempuan Perempuan berpolitik bukan kaderisasi Perempuan berpolitik karena desakan diri sendiri Perempuan masih sering dicekal dalam kampanye politik Perempuan punya potensi besar dalam politik
Kuota 30% dapat membantu jumlah partisipasi politik perempuan
100
5=5%
62=62%
15=15%
9=9%
9=9%
100
15=15%
52=52%
12=12%
13=13%
8=8%
100
13=13%
52=52%
14=14%
18=18%
3=3%
100
33=33%
54=54%
8=8%
0=0%
5=5%
100
16=16%
52=52%
18=18%
9=9%
5=5%
100
12=12%
31=31%
23=23%
25=25%
9=9%
100
6=6%
30=30%
27=27%
23=23%
14=14%
100
14=14%
56=56%
19=19%
5=5%
6=6%
9=9%
69= 69%
14=14%
2=2%
6=6%
100
Ket: N=total responden, SS=Sangat setuju,S=setuju, cukup setuju, KS=kurang setuju, TD=tidak setuju
Pada Tabel 2 menunjukkan pernyataan responden tentang partisipasi politik perempuan. Pada pernyataan tentang perempuan dalam partai hanya sebagai pelengkap, 30% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 70% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa lebih dari sebagian responden menginginkan bahwa perempuan tidak sebagai pelengkap struktur. Karena kemampuan perempuan sudah setara dengan laki-laki. Sehingga ada harapan bahwa perempuan menjadi orang utama dalam suatu organisasi atau lembaga, bukan sebagai pelengkap. Selama ini kita melihat lebih banyak kedudukan perempuan dalam struktur sebagai Bendahara, atau sebagai sekretaris, terkadang sebagai utusan suatu partai. Dan selalu diembel-embelkan dengan konotasi yang negatif, lebih cenderung sebagai pelengkap dalam suatu pertemuan. Keinginan yang muncul adalah perempuan jangan dijadikan sebagai pelengkap saja, tetapi difungsikan sebagai struktur yang sesuai dengan proporsinya. Pernyataan tentang pengambilan keputusan tentang perempuan sebaiknya melibatkan perempuan, 84% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 16% menyatakan cukup setuju, kurang satuju, tidak setuju. Hal ini dapat diartikan bahwa keinginan untuk terlibat secara nyata dalam politik dan pengambilan keputusan diharapkan oleh sebagian masyarakat. Karena masalah yang menyangkut perempuan,anak dan keluarga, lebih baik melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Untuk menghindarkan adanya keputusan yang tidak tepat. Perempuan dinilai mampu untuk menyelami masalah tentang kaumnya. Pernyataan tentang partisipasi perempuan dalam politik masih sedikit, 76% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 24% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat diartikan bahwa kenyataannya bahwa perempuan terlibat secara politik masih sangat sedikit. Dapat kita contohkan DPRD kota Bekasi, keterlibatan perempuan dalam parlemen berjumlah 5 orang dari 45 orang anggota Dewan. Dapat diartikan bahwa baru 11% keterlibatan perempuan dalam politik. Jika dikaitkan dengan kuota 30% masih belum terpenuhi. Masih banyak peluang perempuan untuk aktif dalam politik. Pernyataan tentang pemimpin perempuan dilembaga Indonesia masih sedikit. 74% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 26% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemimpin perempuan di Indonesia saat ini masih dapat di hitung dengan jari tangan. Belum banyak kiprah perempuan Indonesia menuju jenjang kepemimpinan di Lembaga Nasional Indonesia. Saat ini hanya perempuanperempuan tertentu yang dapat menuju kursi kepemimpinan tersebut. Perempuan Indonesia yang telah mendapat akses dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Masih banyak kesempatan yang dapat diraih perempuan untuk menuju tampuk pimpinan di negeri ini. Pernyataan tentang kuota 30% dapat mewujudkan partisipasi perempuan dalam politik. 67% responden menjawab setuju dan sangat setuju, 33% responden menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partisipasi politik perempuan dapat diwujudkan dengan melaksanakan kuota yang telah ditetapkan sebanyak 30 persen terhadap perempuan. Kuota yang diharapkan tersebut dilaksanakan dengan mekanisme yang betulbetul dirancang oleh lembaga yang terkait, dalam hal ini seperti partai politik, KPU Pusat,KPU Daerah, agar kuota betul-betul sebagai bentuk perwujudan partisipasi politik perempuan. Pernyataan tentang peran perempuan muncul setelah adanya kuota 30 persen, 67% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 33% menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan Indonesia sejak dahulu telah menginginkan keterlibatan dalam politik. Dan telah banyak pula perempuan Indonesia yang berkecimpung dalam politik. Hanya saja keterlibatan perempuan dalam politik tidak berdasarkan keterwakilan yang pasti, tetapi berdasarkan adanya kesempatan dari partai untuk mencalonkan. Sering terjadi 20
perwakilan yang tetap. Sehingga banyak dari partai yang ada di Indonesia tidak mempunyai calon perempuan untuk di legislatif. Pernyataan tentang Perempuan parlemen belum berperan aktif dalam pengambilan keputusan. 65% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 35% menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan yang ada diparlemen secara menyeluruh belum terasa perannya terhadap pengambilan keputusan. Belum banyak gebrakan perempuan dalam parlemen untuk memperjuangkan suatu keputusan untuk perempuan di Indonesia. Masih sedikit yang dapat diangkat oleh perempuan parlemen masalah perempuan. dapat dicontohkan tentang masalah TKW ( tenaga Kerja wanita) yang dikirim keluar negri seperti Arab Saudi. Merupakan masalah yang belum dapat dituntaskan sampai sekarang. Pernyataan tentang perempuan parlemen harus membela kepentingan dan hak perempuan. 87% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 13% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan Indonesia selayaknya memang membela kepentingan dan hak perempuan Indonesia. Pernyataan tentang perempuan berpolitik bukan karena kaderisasi. 68% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 32% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa selama ini perempuan berpolitik bukan karena kaderisasi, tetapi merupakan pilihan dari partai politik. Sehingga ada sebagian responden menyatakan bahwa sebenarnya perempuan dapat menjadi kader yang baik bagi sebuah partai politik. Pernyataan tentang perempuan berpolitik karena desakan diri sendiri. 43% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 57% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan secara keseluruhan selama ini berada dalam partai bukan karena dirinya yang menginginkan tetapi lebih cenderung partai yang memilih. Selama ini keinginan perempuan dalam politik terbelengu dengan ketidak adanya kesempatan yang pasti. Pernyataan tentang perempuan masih sering dicekal dalam kampanye politik. 36% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 64% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa selama ini perempuan sangat jarang melakukan kampanye sendiri. Lebih seringnya dilakukan berkelompok. Sehingga pencekalan terjadi bukan terhadap perempuan itu sendiri tetapi terhadap kelompok dalam partai politik. Kalaupun ada perempuan yang dicekal dalam kampanye sifatnya adalah menyangkut izin suatu partai terhadap calon legislatif yang ditunjuk partai. Pernyataan tentang perempuan punya potensi besar dalam politik. 70% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 30% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara personal perempuan mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki. Sehingga penilaian terhadap perempuan yang punya potensi besar dalam politik merupakan suatu ukuran yang sebagaimana mestinya. Pada saat sekarang ini perempuan Indonesia sudah mengalami kemajuan dalam pendidikan dan pengetahuan, sehingga setara dengan pendidikan dan pengetahuan yang didapat oleh laki-laki di Indonesia. Sudah banyak perempuan Indonesia yang mendapat pendidikan tinggi, bahkan sudah banyak perempuan Indonesia yang menjadi pakar pada suatu bidang keilmuan. Hal ini merupakan suatu potensi dalam melakukan suatu sikap politik. Pernyataan tentang Kuota 30% dapat membantu jumlah partisipasi politik perempuan. 78% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 22% responden menyatakan cukup setuju, kurang stuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa kuota sebagai bentuk atau wujud keterwakilan bagi perempuan merupakan sesuatu yang ditunggutunggu oleh perempuan yang mencari kesempatan berpartisipasi dalam politik. Dengan adanya kuota sebanyak 30% keterwakilan dilegislatif, maka suatu kesempatan yang sangat pasti bagi perempuan Indonesia untuk melangkah kekancah politik.
Persepsi tentang keterwakilan politik perempuan Keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan dibutuhkan adalah diharapkan perempuan dapat mengambil posisi dalam keikutsertaan sebagai pembuat keputusan politik. Hal ini diperlukan agar perempuan dapat mencegah adanya diskriminasi yang tercipta pada kaum perempuan secara umumnya. Selama ini telah banyak bentuk diskriminasi terjadi dalam masyarakat yang lebih kepada ketidaksetaraan gender. Penyelesaian dalam masalah diskriminasi dari jalur pemerintah adalah dengan melakukan pemberdayaan yang bertujuan mengajak partisipasi semua warga untuk memberdayakan semua masyarakatnya.
No. 1. 2. 3.
Tabel 3 Persepsi tentang Keterwakilan politik perempuan Pernyataan N SS S CS KS Keterwakilan pol. Perempuan
TS
Jumlah perempuan dilegislatif belum 30%
100
6= 6%
66=66%
11=11%
13=13%
4=4%
Perempuan belum pernah menjadi ketua Komisi di DPR
100
3=3%
41=41%
17=17%
29=29%
10=10%
30% cukup sebagai kuota keterwakilan bagi perempuan
100
3=3%
56=56%
18=18%
19=19%
4=4%
21
4.
5. 6. 7. 8. 9.
10.
Partai politik memberi peluang bagi perempuan u/ memenuhi kuota 30% Syarat jadi calon legislatif tidak terlalu sulit
100
7=7%
47=47%
17=17%
23=23%
6=6%
100
4=4%
51=51%
19=19%
15=15%
11=11%
Pelayanan partai sangat membantu calon legislatif
100
5=5%
58=58%
27=27%
8=8%
2=2%
Pelayanan partai membedakan gender
100
12=12%
52=52%
18=18%
13=13%
2=2%
100
25=25%
56=56%
6=6%
7=7%
6=6%
100
4=4%
34=34%
18=18%
25=25%
19=19%
100
9=9%
60=60%
16=16%
11=11%
4=4%
tidak
Pendapatan anggota parlemen sama Pemilu dengan sistem Distrik kurang menguntungkan perempuan Pemilu secara porposional membantu peningkatan jumlah kuota perempuan
Ket: N=total responden, SS=Sangat setuju,S=setuju, cukup setuju, KS=kurang setuju, TD=tidak setuju
Pada Tabel 3 menunjukkan tentang persepsi responden terhadap keterwakilan perempuan di legislatif. Pernyataan tentang jumlah perempuan dilegislatif belum 30%. Responden menjawab setuju dan sangat setuju sebanyak 72% dan 28% menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa kedudukan perempuan dilegislatif belum mencapai 30 persen. Kedudukan perempuan di dewan baik pusat maupun daerah rata-rata antara 9%-11% dari total anggota Dewan. Pernyataan tentang perempuan belum pernah menjadi ketua Komisi di DPR. 44% responden menjawab setuju dan sangat setuju, 56% menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik bukan harus menjadi ketua komisi. Keterwakilan dapat berada pada posisi mana saja, yang penting menunjukkan peran dalam pengambilan keputusan. Pernyataan tentang 30% cukup sebagai kuota keterwakilan bagi perempuan. 59% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 41% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa keinginan perempuan untuk tampil dalam kancah politik sudah mendapat keterwakilan secara pasti. Kuota dengan 30% tersebut dianggap suatu yang perlu dipenuhi terlebih dahulu. Apabila dalam pelaksanaan pemilu berikutnya mencapai target 30% dan keinginan perempuan melebihi dari 30% tersebut, maka kuota untuk keterwakilan dapat diperjuangkan menjadi kesetaraan 50%. Pernyataan tentang partai politik memberi peluang kepada perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen. 54% responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 46% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partai politik masih belum sepenuhnya berlaku seperti yang diinginkan UU.No.12 tahun 2003, yang meminta partai politik mengusahakan keterwakilan perempuan minimal 30% dan dapat melakukan spekulasi untuk memenuhi target tersebut. Hal ini belum dilakukan oleh partai politik sehingga peluang untuk memenuhi kuota tersebut masih sulit bagi perempuan. Pernyataan tentang syarat menjadi caleg tidak terlalu sulit. 55% responden menjawab setuju dan sangat setuju, 45% responden menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian caleg (calon legislatif) menganggap persyaratan partai tidak terlalu sulit, sedangkan sebagian lainnya menjawab partai memberikan syarat yang cukup sulit seperti adanya kesanggupan dalam memberikan kontribusi kepada partai. Hal ini termasuk suatu persyaratan yang dinilai sulit bagi caleg (calon Legislatif) yang tidak mempunyai kemampuan secara material. Pernyataan tentang pelayanan partai sangat membantu calon legislatif. 63% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 37% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partai politik selama ini ada yang membantu calon legislatif sampai tuntas menjadi anggota legislatif, dan ada partai politik yang mencoba mencari kesepakatan politik yang arahnya menguntungkan partai secara organisasi. Sehingga lebih banyak caleg patah ditengah jalan. Tidak berjuang secara maksimal untuk mendapatkan posisinya. Pernyataan tentang pelayanan partai tidak membedakan gender. 64% responden menjawab setuju dan sangat setuju, 36% responden menjawab cukup setuju, kurang stuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partai politik masih ada yang membedakan gender laki-laki dan gender perempuan. Budaya patriarkhi yang dianut masyarakat Indonesia masih sangat mempengaruhi pola pikir pengurus partai maupun masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat masih menganggap bahwa perempuan masih belum layak untuk aktif secara tuntas dalam politik. Kalau ada kesempatan bagi perempuan itu adalah sebagai kesempatan untuk mengisi waktu. Maka banyak perempuan tidak mendapat posisi secara struktural yang tepat dengan kemampuannya. Lebih cenderung di tempatkan pada posisi yang dianggap pantas dilakukan. Kecenderungan pekerjaan yang ringan-ringan. Pernyataan tentang pendapatan anggota parlemen sama. 81% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 11% menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara peraturan 22
kenegaraan di Indonesia pendapatan anggota DPR, DPRD, diatur secara undang-undang. Sehingga pendapatan akan menjadi sama terhadap personal anggota legislatif. Kalau ada perbedaan adalah karena adanya peraturan partai politik yang diatur secara masing-masing partai untuk kontribusi anggota legislatif terhadap partai politik yang merekomendasikannya. Hal ini membuat tidak sama pendapatan antara satu personal anggota legislatif dengan anggota legislatif lainnya. Pernyataan tentang pemilu dengan sistem distrik tidak menguntungkan perempuan. 38% responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 62% menyatakan cukup setuju, kurang stuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa sistem distrik secara keseluruhan adalah menyelenggarakan pemilu secara langsung yang dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga perempuan yang ingin terlibat dalam politik harus betul-betul mempersiapkan diri secara maksimal. Karena rakyat akan memilih figur dari perempuan yang tangguh dan terutama yang membela kepentingan masyarakat banyak. Responden melihat bahwa bukan keuntungan yang harus dilihat perempuan tetapi kesempatan yang harus ditunjukkannya. Sistem distrik merupakan kompetensi langsung antara perempuan dan laki-laki. Pernyataan tentang pemilu secara proporsional sangat membantu jumlah kuota perempuan. 69% responden menyatakan setuju dan sangat setuaju, 31% responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa Pemilu secara proporsional merupakan sistem pemilu yang mencari wakil berdasarkan jumlah suara yang dimiliki pada suatu daerah pemilihan. Keikutsertaan perempuan dalam politik secara konseptual akan terbantu dengan sistem proporsional. Karena suara politik dapat diarahkan kepada calon pada daerah yang direkomendasikan, sehingga perempuan yang dijadikan calon kemungkinan akan berhasil menduduki posisi yang direncanakan. Sedangkan sistem distrik belum tentu mendapatkan suara sebagaimana yang direncanakan partai, karena suara bisa dibulatkan kepada calon yang ditentukan partai. Responden mengerti bahwa sistem proporsional dapat membantu perempuan dalam pencalonan pasti. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap data penelitian yang ada dapatlah dikemukakan kesimpulan sebagai berikut: Terdapat perbedaan persepsi antara laki-laki dan perempuan yang di kelompokkan dalam aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen yang meliputi: akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan, keterwakilan politik perempuan..
SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan: Sistem Distrik yang digabung dengan sistem proporsional lebih membantu proses mengwujudkan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di legislatif.
DAFTAR PUSTAKA Azwar. 1997 , Sikap Manusia : Teori dan Pengukuran. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Bari Azed,2005, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Pusat studi hukum Tata negara,Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta Kompas 2003, “Harapan Perempuan pada kuota,” kompas, senin 24 Februari 2003.Jakarta. Nazir, Moh,1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia. Jakarta. Rakhmat J. 1992. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Riduwan. 2004. Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Alfabeta Bandung. Sarwono, S.W, 1976. Psikologi: Pengantar Umum. Bulan Bintang. Jakarta. UNDP,2003, “Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang baik:Tantangan Abad 21, “diterjemahkan oleh, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO),Jakarta. Winkel,W.s,1996. Psikologi Pengajaran. Gramedia Widiasarana Indonesia Jakarta. Yusuf. Y.1991.Psikologi Antar Budaya. Remaja Rosdakarya.Bandung
23