PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF (Studi Kasus : Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat)
Oleh :
AFRINA SARI P 054040091
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN Afrina Sari 2006, Persepsi Masyarakat Terhadap Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan di Legislatif, Studi kasus: Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat (Di bawah bimbingan Aida Vitayala Hubeis, sebagai Ketua, Budi Suharjo, sebagai Anggota). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif, (2) mengetahui faktor karakteristik personal (umur, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, pengalaman, motivasi) dan faktor karakteristik situasional (budaya patriarkhi, agama atau kepercayaan, kebijakan pemerintah, kebiasaan, kelompok rujukan) yang berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Pengumpulan data dilaksanakan di tiga kecamatan di Kota Bekasi yaitu: Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat dan Kecamatan Medan Satria sejak bulan Maret hingga Mei 2006. Penentuan sampel area dan sampel Individu dilakukan dengan metode disproportionate stratified random sampling, yakni Kecamatan Bekasi Utara sebanyak 40 responden, Kecamatan Bekasi Barat 38 responden dan Kecamatan Medan Satria 22 responden. Kriteria sampel individu adalah: berusia diatas 21 tahun, berpendidikan minimal SLTA dan pernah terdaftar sebagai peserta pemilu 2004. Analisis data dilakukan dengan menggunakan sofware SPSS versi 12 dengan menggunakan test statistik non parametrik chi-square test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden adalah: umur responden dominan berada diantara 31 – 50 tahun yaitu 72persen dari total responden. Pekerjaan responden lebih banyak pada sektor swasta yaitu 59 persen dari total responden. Pendapatan responden berada antara 1,5 juta – 2,5 juta sebanyak 33 persen dari total responden dan 3,5 juta – 5 juta sebanyak 25 persen dari total responden. Pendidikan responden terendah adalah diploma dan tertinggi adalah strata dua (S-2). Pengalaman politik responden berada pada kategori rendah yaitu 53 persen dari total responden. Motivasi politik responden berada pada kategori cukup baik yaitu 55 persen dan baik yaitu 31 persen dari total responden. Budaya patriarkhi berpengaruh terhadap responden yaitu 67 persen dari total responden dan sangat berpengaruh sebanyak 7 persen dari total responden dan 26 persen merasa tidak berpengaruh. Agama atau kepercayaan responden lebih dominan Islam yaitu 79 persen dari total responden, 19 persen beragama Kristen dan 2 persen beragama Hindu/Budha. Kebijakan Pemerintah dalam UU.No12.tahun 2003 tentang pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD, responden sebanyak 71 persen menyatakan mengerti dengan kebijakan tersebut. Kebiasaan responden berada dalam kategori baik yaitu 50 persen dari total responden menunjukkan mempunyai kebiasaan baik. 48 persen responden menunjukkan mempunyai kebiasaan sangat baik. Kelompok rujukan berpengaruh terhadap responden yaitu 74 persen responden menyatakan kelompok rujukan mempengaruhi aktivitas mereka. 18 persen responden menyatakan bahwa kelompok rujukan sangat mempengaruhi aktivitas mereka. Terpaan Media massa secara surat kabar terhadap responden berada pada kategori sedang yaitu 40 persen dari total responden dan 38 persen mengalami terpaan media surat kabar secara tinggi. Terpaan media massa majalah terhadap responden berada pada kategori rendah yaitu 65 persen dari total responden. 26 persen berada pada kategori sedang dan 9 persen pada kategori tinggi. Terpaan Media Televisi terhadap responden berada pada kategori rendah, sedang dan tinggi.
Faktor karakteristik personal dan karakteristik situasional yang berhubungan dengan persepsi responden terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif adalah: (1) Jenis kelamin mempunyai hubungan sangat nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (2) Umur mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (3) Pendidikan responden mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (4) Pekerjaan responden mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (5) Pendapatan responden mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (6) Pengalaman politik responden mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (7) Motivasi politik mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (8) Budaya patriarkhi mempunyai hubungan yang sangat nyata dengan persepsi terhadap akses politik, mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap partisipasi politik dan keterwakilan politik. (9) Agama atau kepercayaan responden mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (10) Kebijakan pemerintah mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik keterwakilan politik. (11) Kebiasaan responden mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (12) Kelompok rujukan mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (13) Terpaan Media Massa surat kabar mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (14) Terpaan Media majalah mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. (15) Terpaan Televisi mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. Persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif menunjukkan hasil yang positif. Responden menilai positif dan bahkan sangat positif terhadap akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan.
i
Judul Tesis
: PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF. (Studi Kasus: Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat)
Nama Mahasiswa
: AFRINA SARI
Nomor Pokok
: P054040091
Program Studi
: KOMUNIKASI PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PEDESAAN
Menyetujui: 1.Komisi Pembimbing
_________________________
_______________________
Dr.Ir. Aida V itayala Hubeis,MS
Dr.Ir. Budi Suharjo, MS
Ketua
2. Ketua Program Studi
Anggota
3. Deka n Sekolah Pascasarjana
Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
_______________________ Dr. Ir. Sumardjo, MS
_________________________ Dr. Ir. Khairil Notodipuro, MS
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 17 April 1968 di Kota Padang Sumatera Barat, sebagai anak pertama dari lima bersaudara, dari Bapak Syamsul Bahri Chan (Alm) dan Ibu Mawarni. Penulis mengawali pendidikan pada tahun 1974 di Sekolah Dasar Negeri No 3 Bandar Buat padang, tamat tahun 1980; Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri LB Begalung Padang, tamat tahun 1983; dan sekolah Menengah Atas Negeri No.4 Padang, tamat tahun 1986. Kemudian tahun 1987 penulis melanjutkan studi di Fakultas Komunikasi Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, tamat tahun 1993. Sejak tahun 1996, penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Komunikasi Universitas Ibnu Chaldun Jakarta hingga sekarang. Tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Institut Pertanian Bogor.
iii
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa semua pernyataan dalam tesis dengan judul: PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KUOTA 30 PERSEN KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF Merupakan hasil karya sendiri di bawah bimbingan Ibu DR. Ir. AidaVitayala Hubeis,MS dan Bapak DR.Ir. Budi Suharjo,MS. Tesis ini belum pernah di ajukan untuk memperoleh gelar pada Program studi sejenis di Perguruan Tinggi lain. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor , Agustus 2006
AFRINA SARI P054040091
KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya jualah maka penulis dapat menyelesai thesis ini. Thesis ini berjudul Persepsi Masyarakat terhadap kuota 30 persen Keterwakilan Perempuan di Legislatif (Studi kasus: Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat), dengan mengambil lokasi penelitian di Kota Bekasi. Penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis persepsi masyarakat aktivis politik dan masyarakat bukan aktivis politik terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Penelitian ini juga melihat faktor personal dan situasional yang mempengaruhi persepsi individu dari masyarakat tersebut. Thesis ini terwujud berkat bimbingan dan konsultasi yang diberikan oleh para dosen pembimbing, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis berterimakasih kepada yang terhormat: 1. Ibu Dr.Ir.Aida Vitayala Hubeis,MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing. 2. Bapak.Dr.Ir.Budi
Suharjo,MS,
selaku
Anggota
Komisi
Pembimbing. 3. Bapak Dr. Ir. Amiruddin Soleh,MS, selaku Penguji Luar Komisi. 4. Ketua Program Studi KMP Bapak Dr.Ir. Sumardjo,MS 5. Rekan-rekan sesama mahasiswa/i KMP angkatan 2004 6. Suami dan anak-anak beserta seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan dan do’a, semangat dan materiel. Akhir kata, seperti kata pepatah” Tak ada gading yang tak retak” maka dengan kerendahan hati penulis-pun menyadari bahwa kritik dan saran yang kontruktif dari para pembaca merupakan masukan yang akan menyempurnakan karya tulis ini. Bogor,Agustus 2006 AFRINA SARI P054040091
DAFTAR ISI halaman KATA PENGANTAR ………………………………………...................... .i DAFTAR ISI………………………………………………………………. iii DAFTAR TABEL…………………………………………………………. vi DAFTAR GAMBAR…………………………………………………......... vii DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. viii BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………. ….. 1 1.1 Latar Belakang………………………………………………… 1 1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………. 5 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………. 8 1.4 Kegunaan Penelitian ………………………………………....... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………. 2.1 Komunikasi…………………………………………………… 2.2 Pengertian Persepsi…………………………………………… 2.3 Proses Pembentukan Persepsi………………………………… 2.4 Faktor yang mempengaruhi Persepsi…………………………. 2.5 Terpaan Media Massa………………………………………… 2.6 Kuota 30 persen Keterwakilan Perempuan dalam Politik……. BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ………………………………....... 3.1 Kerangka Pemikiran ………………………………………… 3.2 Hipotesis….............................................................................. BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN ……………………………..... 4.1 Populasi dan Sampel 4.1.1. Populasi ……………………………………… ….. 4.1.2. Teknik pengambilan sampel………………………. 4.2 Desain Penelitian…………………………………………….. 4.3 Data dan Instrumentasi………………………………………. 4.4 Definisi Operasional dan Pengukuran ……………………. … 4.5 Validitas dan Realibilitas Instrumen…………………………. 4.6 Analisa Data………………………………………………….. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………. 5.1 Keadaan Geografis………………………………………........ 5.2 Keadaan Penduduk…………………………………………… 5.3 Karakteristik responden………………………………………. 5.4 Persepsi Terhadap Kuota 30 persen Keterwakilan …………… Perempuan di Legislatif………………………………………. 5.5 Faktor – faktor karakteristik yang berhubungan dengan Persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan Di legislatif …………………………………………………… KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………. Kesimpulan ……………………………………………………….. Saran ………………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………… 115 LAMPIRAN – LAMPIRAN ……………………………………..
10 10 12 13 19 21 25 31 31 34 35 35 36 40 41 42 44 47 48 48 48 50 66
80
111 114
120
DAFTAR TABEL Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 12 13 14 15 16 17 18. 19 20 21 22 23 24
25 26
27
28
Halaman Distribusi Perwakilan perempuan di lembaga Indonesia……………………………………………… Distribusi Wilayah dan Jumlah penduduk Kota Bekasi ………………………………………….. Distribusi sampel ……………………………………. Distribusi penduduk berdasarkan jenjang Pendidikan ………………………………………………. Umur Responden menurut Jenis kelamin …. ………. …… Jenis Pekerjaan Responden Menurut Jenis Kelamin……… Pendapatan Responden Menurut Jenis Kelamin ………….. Pendidikan Responden Menurut Umu ……………………. Pengalaman Politik Responden……………………………. Motivasi Politik Responden……………………………….. Pengaruh Budaya Patriarkhi Terhadap Responden…………. Agama ( Kepercayaan ) Responden………………………… Pengertian Responden Tentang Kebijakan Pemerintah……. Kebiasaan Responden …………………………………….. Pengaruh Kelompok Rujukan…………………………….. Terpaan Surat Kabar berdasarkan pendidikan…………. Terpaan Majalah Berdasarkan Pendidikan…………….. Terpaan Televisi Berdasarkan Pendidikan……….. Distribusi Terpaan Media Surat Kabar di 9 Media…….. Distribusi Terpaan Media Televisi di 14 Media……… Persepsi Tentang Akses Politik Perempuan ………… Persepsi Tentang Partisipasi Perempuan ……………. Persepsi Tentang Keterwakilan Politik Perempuan….. Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Gender ( Jenis Kelamin) dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai……………………... Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Umur Responden dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai……………………….. Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pendidikan dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai……………………… Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pekerjaan dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai………………………. Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pendapatan dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai……………………..
28 37 39 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 67 70 76 81
83 86
88 90
29
30 31
32
33 34
35 36
37
38
Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Pengalaman Politik dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai…………………….. 92 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Motivasi politik dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai…………………….. 93 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Budaya Patriarkhi dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai………………………. 95 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Agama dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai……………………… 97 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Kebijakan Pemerintah dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai………………………. 99 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Kebiasaan dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai……………………… 101 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Kelompok Rujukan dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai……………………….. 103 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Terpaan Media Surat Kabar dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai…………………. 105 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Terpaan Media Majalah dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai…………………. 107 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara Faktor Terpaan Media Televisi dengan persepsi Terhadap Kuota 30 Persen pada Aktivis partai dan Non Aktivis partai…………………. 109
DAFTAR GAMBAR Nomor 1 Persepsi Masyarakat terhadap kuota 30 persen Keterwakilan perempuan di Legislatif…………………..
Halaman 33
DAFTAR LAMPIRAN 1
Kuisioner Pene litian………………………….
Halaman 120
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi
penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia pada tahun 2015 (UNDP,2003). Dengan terselenggaranya Sidang Istimewa Majelis Umum Beijing ke-5 yang menempatkan isu-isu kesetaraan sebagai prioritas utama. Bentuk usaha UNDP lainnya adalah
mensponsori pertemuan yang dihadiri
berbagai kalangan yang didasari oleh pengalaman dan keahlian seperti para menteri, anggota parlemen, pejabat pemerintah, tokoh nasional, masyarakat sipil di tingkat akar rumput. Acara tersebut diselenggarakan di New Delhi, India bulan Maret 1999, tema pertemuan tersebut adalah “Partisipasi Politik Perempuan: Tantangan Abad 21”. Pertemuan itu memfokuskan pada sejumlah masalah, antara lain; kemajuan yang dicapai pada partisipasi politik perempuan sejak program Aksi Beijing; Eksperimen India dengan amandemen konstitusinya yang mewajibkan sepertiga kursi wakil pemerintah lokal untuk perempuan dan kaitan yang lebih luas antar gender, kemiskinan dan tata pemerintahan. Pertemuan itu juga menyoroti Anggaran Perempuan Afrika Selatan, Pengalaman Uganda dengan aliansi baru bagi gender dan politik, serta mengkaji berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kekerasan yang berdasar gender. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan–tujuan tersebut, di antaranya, dengan membangun mekanisme baru yang memungkinkan perempuan dapat mempengaruhi secara langsung kebijakan politik dan ekonomi, terutama pada alokasi anggaran nasional. Di samping itu, kesempatan untuk membangun jaringan nasional, regional dan global tidak
1
boleh disia -siakan, apalagi dengan perkembangan teknologi informasi seperti internet. UNDP mempunyai komitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan mitra lain. Cara-cara tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan inisiatif dalam menciptakan bentuk tata pemerintahan yang lebih inklusif dan efektif di semua tingkat masyarakat. Pendekatan gender dalam pembangunan yang dianut UNDP adalah mewadahi sepenuhnya keterlibatan perempuan dan laki- laki dalam kegiatan pembangunan. Tujuan akhir adalah terciptanya pola hubungan gender yang lebih setara dan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan manusia yang lebih luas. Program kesetaraan gender
dan Pemberdayaan perempuan di
Indonesia dilakukan oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Sosialisasi program UNDP sejalan dengan Program Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu implementasi pembangunan terhadap wanita Indonesia. Program UNDP telah membangkitkan semangat wanita Indonesia dan berbagai kalangan aktivis wanita serta LSM yang memperjuangkan peranan wanita pada tingkat tatanan pemerintahan serta pada kebijakan pengambilan keputusan. Kaukus perempuan di Parlemen mendukung adanya program pertemuan di India yang membicarakan Partisipasi politik perempuan dan tata Pemerintahan yang baik: Tantangan Abad 21. Sejalan dengan hal ini, Demokrasi di Indonesia yang setelah
Orde
baru
runtuh,
menimbulkan
reformasi
terbuka
terhadap
tata
Pemerintahan yang diharapkan demokratis. Bersamaan dengan perjuangan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan yang mengarah kepada lebih adanya mekanisme yang menempatkan perempuan secara jelas dan luas dalam politik. Perjuangan kesetaraan gender yang dilakukan berbagai pemerhati perempuan dengan keinginan sama yaitu berkeinginan mempengaruhi keputusan–keputusan yang menyangkut kehidupan keluarga mereka,
2
perekonomian dan nasib masyarakat, negara serta struktur hubungan internasional.
Perjuangan
ini
berdengung
di
mana -mana,
yang
menginginkan keterlibatan perempuan secara nyata dalam kancah politik. Keterlibatan yang dimaksud adalah terlibat secara platform pasti di dalam Parlemen. Perjuangan itu akhirnya melahirkan UU.No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pasal 65 ayat (1) berbunyi “setiap partai Politik Peserta Pemilu dapat
mengajukan calon
Anggota
DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30 persen.
Keterwakilan
perempuan
suatu langkah
sekurang-kurangnya 30 persen merupakan
affirmative action, sebagaimana dikatakan oleh Chusnul Mar’yah (Kompas, 2002). Mekanisme kuota sebagai Affirmative-action (tindakan afirmatif) secara efektif dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik sekaligus meminimalkan ketidakadilan gender yang ada dalam praktek kehidupan bermasyarakat. Kuota juga dapat meminimalkan anggapan bahwa perempuan kurang kualitas untuk terpilih dalam lembaga politik, atau tidak adanya keinginan perempuan untuk masuk ke dalam masyarakat yang sangat patriarkhis. Melihat Indonesia dengan berbagai budaya bangsa, di mana setiap budaya mempunyai adat istiadat yang kukuh dan hampir semua budaya menempatkan posisi wanita adalah di dalam rumah atau sifatnya domestik. Kuota 30 persen merupakan peluang cukup besar bagi wanita Indonesia berada di publik, dan dapat terlibat secara langsung dalam pengambila n keputusan. Peluang ini sebagai tantangan bagi wanita Indonesia. Keterwakilan perempuan yang sudah didengungkan dan sudah menjadi suatu keputusan yang di muat dalam UU.No.12 tahun 2003 dengan harapan dapat mewakili perempuan. Namun pada pemilu 2004 tidak terpenuhi, hal ini mungkin disebabkan oleh karena masih banyak partai politik yang tidak melakukan dan memberi peluang kepada perempuan
3
untuk mewakili partainya. Ada alasan yang berkembang bahwa terlalu sulit untuk mencari perempuan yang dijadikan Calon Legislatif (Caleg). Karena belum banyak perempuan Indonesia yang melibatkan dirinya ke dalam kancah
politik. Sehingga asumsi yang berkembang adalah apakah
perempuan Indonesia belum siap berkiprah dalam politik? Atau apakah kesempatan yang tidak terbuka bagi perempuan tersebut? Atau apakah adat istiadat yang tidak membolehkan mereka berkecimpung dalam politik? Senada dengan hal tersebut, juga disampaikan oleh Hubeis( 2003), bahwa : “ … sebagai perempuan dimanakah kita harus dan perlu bersikap untuk memotivas i diri dan sekaligus mengembangkan militansi diri dan lingkungan kita kaum perempuan- untuk berpacu dengan waktu…. Pertama, di kalangan perempuan diperlukan adanya keinginan untuk mengintrospeksi diri yaitu sanggupkah perempuan menjadi representasi rakyat (yang mau mendengar dan mengutarakan aspirasi rakyat secara benar). Kedua, apakah kita kaum perempuan- sudah memiliki data base tentang perempuan potensial di republik ini? Ketiga, siapkah kita merebut dan memposisikan diri kita sebagai sumber daya intele ktual strategis dan potensial dalam pembangunan negeri dan bangsa ini? Keempat, seberapa jauh kita – kaum perempuan tanpa harus terkotak-kotak dalam suatu partai atau kelompok? Kelima, siapakah yang harus merekrut dan direkrut? … Banyak pertanyaan yang timbul yang dihubungkan dengan kemampuan dan kesiapan wanita untuk memanfaatkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Masih ada kesanksian baik dari kalangan laki-laki maupun kalangan perempuan Indonesia.
4
1.2.
Perumusan Masalah Demokrasi di Indonesia dimulai sejak orde baru runtuh yaitu tahun
1998. Sebagaimana dikatakan oleh Bari Azed.(2005), bahwa Indonesia mengalami reformasi dalam bidang politik sesudah masa pemerintahan Orde Baru, banyak sistem kenegaraan yang berubah. Perubahan terhadap sistem pemerintahan Indonesia tersebut dituangkan dalam konstitusi yang menjadi landasan dalam menyelenggarakan negara. Seiringan dengan hal tersebut, di dunia Internasional yang di promotori oleh UNDP, memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di dalam politik. Kesetaraan yang dimaksudkan terutama terlibat dalam tatanan pemerintahan dan partisipasi politik. Gerakan tersebut juga mengilhami pemerhati perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan keterwakilan perempuan di Parlemen agar diberi kuota. Berbagai kalangan ada yang mempertanyakan perlukah kuota bagi perempuan? Karena selama ini perempuan
telah diberi kesempatan untuk berkiprah dalam politik.
Dapat dilihat contoh; seperti Megawati Soekarno Putri, Aisyah Amini, Fatimah Ahmad dan lain sebagainya. Pertemuan di New Delhi, yang dihadiri oleh Negara-negara yang menjadi anggota, memutuskan bahwa
keterwakilan perempuan dalam
politik di setiap negara diharapkan minimal 30-33 persen. Keterwakilan tersebut menjadikan pemerhati perempuan di Indonesia memperjuangkan menjadi suatu hal nyata dengan harapan agar perempuan Indonesia dapat berpartisipasi untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam politik. Banyak pendapat yang menilai bahwa
kuota merupakan jawaban
bagi proses demokrasi, yakni keadilan dan kesetaraan yang selama ini tertutup
konsep-konsep yang dianggap gender–neutral.
Kuota juga
memberikan solusi bagi sebuah demokrasi yang berprinsip pada keterwakilan mayoritas, yakni mayoritas penduduk dan juga mayoritas pemilih dalam pemilu. Pelaksanaan kuota dilakukan dengan berbagai cara dengan tujuan menciptakan keterwakilan bagi perempuan.
5
Mekanisme kuota dapat diterapkan dengan beberapa cara antara lain: pertama; melalui undang-undang khusus tentang kuota. Cara ini telah dilakukan di Italia. Di sana representasi proporsional sebanyak 50 persen. Negara lain yaitu Argentina 30 persen, Brasil 20 persen dan India untuk Lhok Saba (pemerintah lokal). Kedua ; melalui undang – undang Pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan. Negara yang melaksanakan seperti Argentina untuk distrik True believers (daerah yang pasti menang). Undang – undang pemilu juga dilaksanakan
Di
Perancis ditetapkan dengan kuota 50 persen. Ketiga; Partai politik dapat memiliki kebijakan untuk kuota secara informal. Contohnya ANC di Afrika Selatan menetapkan kuota 30 persen, partai buruh di Australia, PJ dan UCR di Argentina (Kompas,2003). Dari ketiga cara di atas, Indonesia memakai cara kedua yaitu, melalui undang-undang pemilu yang mengharuskan partai politik untuk memiliki calon perempuan yaitu dengan kuota 30 persen. Cara kedua ini dipilih dan disetujui oleh DPR RI. Lahirlah UU RI No 12 tahun 2003. Undang-undang tentang pemilihan anggota DPR RI, anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Pada pemilu 2004 yang lalu sistem pemilu yang dilakukan adalah sistem Distrik yaitu sistem ini merupakan sistem pemilihan yang didasari atas kesatuan geografis. Artinya calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak itulah yang dianggap menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi. Bari Azed, (2005) mengatakan bahwa sistem single member constituency (sistem Distrik ) mempunyai beberapa kelemahan yaitu: a. sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai – partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
6
b. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam
suatu
distrik,
kehilangan
suara-suara
yang
telah
mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan. Dari uraian tersebut diprediksi bahwa himbauan terhadap keterwakilan perempuan pada partai politik sebanyak 30 persen merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk diwujudkan. Karena posisi perempuan dalam calon legislatif pada setiap partai menempatkan pada posisi nomor yang jauh untuk menang, lebih tepatnya posisi tidak jadi (duduk menjadi anggota Dewan). Penelitian ini mengambil kasus Keterlibatan perempuan di legislatif DPRD kota Bekasi yang
berjumlah
anggota Dewan. Artinya baru
lima orang wanita dari 45 orang
11 persen keterwakilan perempuan di
legislatif tingkat Kota Bekasi. Dari lima orang perempuan anggota Legislatif tersebut mereka berasal dari Partai Golkar (3 orang), Partai PDI Perjuangan (1.orang) dan Partai Keadilan Sejahtera (1.orang). Ada dua partai pemenang Pemilu 2004 yang tidak memperoleh Keterwakilan perempuan yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional. Timbul asumsi awal pada peneliti, bahwa kuota 30 persen yang tercantum pada pasal 65 ayat 1 dalam Undang-Undang No.12 tahun 2003, dalam pelaksanaan pasal tersebut mungkin belum dipahami secara mendalam oleh sejumlah Partai pelaksana pemilu. Kuota tersebut hanya sebagai simbol bahwa kesetaraan gender Indonesia
dalam politik sudah ada
di
hanya tinggal pelaksanaannya. Atau masing-masing individu
yang terlibat di dalam partai pelaksana pemilu belum siap untuk menerima keterwakilan perempuan secara kuota yang telah ditentukan.
7
Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah persepsi masyarakat Kota Bekasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif? Sehingga permasalahan ini di rinci sebagai berikut : 1. Apakah ada perbedaan persepsi masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif? 2. Faktor-faktor karakteristik personal dan situasional apa yang berhubungan dengan persepsi tersebut? 1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui persepsi masya rakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. 2. Menganalisis
faktor-faktor
personal
dan
situasional
yang
berhubungan dengan persepsi masyarakat tersebut.
1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaa n penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis yaitu : 1. Kegunaan Teoritis : a. Sebagai sumbangan penting dan memperluas wawasan bagi kajian Ilmu komunikasi, Terutama komunikasi politik dalam memperoleh persepsi
masyarakat
sehingga
dijadikan
rujukan
untuk
pengembangan penelitian komunikasi yang akan datang. b. Memberikan sumbangan penting dan memperluas kajian ilmu psikologi Komunikasi yang menyangkut Persepsi Masyarakat. c. Menambah konsep baru yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ilmu komunikasi.
8
2.
Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pikiran bagi Komisi Pemilihan Umum untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2009 yang akan datang. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk kebijakan terhadap perempuan di Indonesia, terutama untuk penentuan kuota bagi keterwakilan perempuan.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Komunikasi Komunikasi adalah
pengoperan lambang yang me ngandung arti
dan bertujuan memberikan partisipasi (Susanto,1984), lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap pesan yang dilancarkan oleh komunikator kepada komunikan, bertujuan mempengaruhi komunikan ke arah sikap dan tindakan
yang
diinginkan
oleh
komunikator.
Komunikasi
dapat
didefinisikan secara sederhana sebagai proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain(Devito, 1997). Lebih lanjut devito (1977) menyatakan bahwa komunikasi mengacu pada pengertian akan suatu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim, dan menerima pesan yang terdistorsi oleh noise (gangguan), terjadi dalam konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesepakatan untuk melaksanakan umpan balik. Komunikasi berawal dari gagasan yang ada pada seseorang. Gagasan itu diolahnya menjadi pesan dan dikirimkan melalui media tertentu kepada orang lain sebagai penerima. Penerima menerima pesan, dan sesudah mengerti isi pesan itu kemudian menanggapi dan menyampaikan tanggapan dari sipenerima pesan itu, pengirim pesan dapat menilai efektivitas pesan yang dikirimkannya. Berdasarkan tanggapan itu, pengirim dapat mengetahui apakah pesannya dimengerti dan sejauhmana pesannya dimengerti oleh orang yang dikirim pesan itu (Hardjana, 2003). Komunikasi dapat menimbulkan terjadinya pertuka ran kata dengan arti dan makna tertentu. Dari sudut pandang pertukaran makna, komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian makna dalam
bentuk
gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui media tertentu. Komunikasi dapat terjadi tidak saja
dengan orang lain atau
10
individu
di luar kita, tetapi dapat juga terjadi dengan diri sendiri.
Komunikasi jenis ini disebut komunikasi intrapersonal. Dalam Komunikasi intrapersonal, komunikator sekaligus komunikan terhadap suatu pesan. Komunikasi intrapersonal dimulai oleh sensasi terhadap sesuatu yang menarik perhatian seseorang, kemudian diikuti oleh persepsi, yaitu pemberian makna terhadap hal-hal yang dijadikan perhatian. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor personal individu dan faktor situasional individu. Untuk mengungkapkan suatu pendapat dari seorang individu, pengalaman dan pola pikir mempengaruhi, sehingga ungkapan pendapat satu individu dengan individu lain terhadap suatu objek akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor personal dan situasional pada diri individu tersebut. Rakhmat (1992) menyatakan bahwa komunikasi intrapersonal adalah proses bagaimana orang menerima informasi, mengolahnya, menyimpannya, dan menghasilkannya kembali. Proses informas i tersebut meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimuli. Persepsi ialah proses memberikan makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses menyimpan informasi dan memanggilnya kembali. Berpikir adalah mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberikan respons. Bentuk
komunikasi
intrapersonal
yang
dimaksudkan
dalam
penulisan ini adalah persepsi yaitu proses pemberian makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan. Persepsi yang dibahas adalah persepsi masyarakat di daerah Kota Bekasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan politik perempuan.
11
2.2.
Pengertian Persepsi Secara sederhana
persepsi diartikan sebagai suatu aktivitas
pemberian makna, arti atau tafsiran terhadap suatu objek sebagai hasil pengamatan yang dilakukan oleh seseorang (Yusuf, 1991) Pengamatan tersebut dilakukan terhadap suatu objek yang ditangkap oleh indra dan kemudian
diinterpretasikan
pada
bagian
tertentu
dalam
otak
(Sarwono,1992) Sarwono(1992) mengemukakan bahwa persepsi adalah pengamatan terhadap suatu objek melalui aktivitas sejumlah pengindraan yang disatukan dan dikordinasikan dalam pusat syaraf yang lebih tinggi (otak). Proses pengamatan tersebut menurut Chaplin dalam Winkel (1996) berlangsung
secara objektif, bahkan, lebih jelas dikatakan bahwa
mempersepsikan sesuatu berarti memberikan penilaian–penilaian terhadap suatu objek berdasarkan pengalaman dan wawasan yang dimiliki. Persepsi dengan demikian berarti pemberian makna, atau tafsiran dengan jalan menyusun atau mengorganisasikan informasi yang diterima (McMahon dan McMahon,1986), oleh karena itu dalam pembentukan persepsi tersebut menurut Desiderato (Rakhmat,1992) berlangsung proses pemberian kesimpulan dalam memberikan makna terhadap stimuli yang ada. (Sarwono,1992) secara lebih rinci mengemukakan bahwa persepsi merupakan proses kategorisasi dan dalam proses kategorisasi tersebut organisme dirangsang ole h masukan tertentu (objek dari luar, peristiwa, dan
lain-lain).
Organisme
tersebut
kemudian
merespons
dengan
menghubungkan masukan yang ada dengan salah satu kategorisasi (golongan) objek–objek atau peristiwa yang ada dalam ingatan jangka panjang. Proses menghubungkan ini merupakan proses aktif yaitu ketika individu yang bersangkutan dengan sengaja mencari kategori yang tepat hingga dapat mengenali dan memberi arti terhadap masukan tersebut, dan oleh sebab itulah persepsi juga dikatakan bersifat inferensial atau menarik kesimpulan.
12
2.3.
Proses pembentukan Persepsi Proses pembentukan persepsi juga dijelaskan oleh Feigl (Yusuf,
1991) terjadi melalui 3 mekanisme pembentukan yaitu(1) selectivity , (2) Closure (3) Interpretation. Proses selectivity terjadi
ketika ses eorang
diterpa oleh informasi maka akan berlangsung proses penseleksian pesan mana yang dianggap penting dan mana yang tidak. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan, sedangkan interpretation berlangsung ketika yang bersangkutan memberikan tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Rakhmat (1992) melengkapi pernyataan tersebut dengan mengemukakan bahwa dalam mengorganisasikan stimuli tersebut akan melihat konteksnya, wala upun stimuli yang diterima seseorang tidak lengkap cenderung akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang dipersepsinya. Interpretasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu seseorang yang mengalaminya. Berdasarkan uraian yang ada dan bila dikaitkan dengan ide pemberdayaan perempuan dalam bidang politik dengan adanya kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif maka tepatlah jika dikatakan bahwa persepsi merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan dalam proses belajar menerima nilai- nilai dalam pelaksanaan politik dan adanya keterlibatan perempuan dalam publik secara politik. Paradigma selama ini yang memandang bahwa perempuan selalu lebih cocok di dalam dunia domestiknya yaitu keluarga dibandin g dengan publik. Langkah dengan adanya kuota 30 persen ini adanya proses belajar bagi perempuan untuk menerima sesuatu yang belum begitu lumrah dilaluinya. Selama ini masyarakat belum memberikan tempat lebih banyak bagi perempuan. Proses perubahan yang menunjukkan bahwa dalam diri orang yang bersangkutan
telah berlangsung suatu proses belajar yang merupakan
kegiatan mental dan tidak dapat disaksikan dari luar kecuali bila dinyatakan secara eksplisit oleh yang bersangkutan. Sejalan dengan hal ini Winkel
13
(1996) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan
dalam
pengetahuan
pemaknaan
(kognitif), kemampuan (sensorik–motorik) dan sikap nilai (dinamik– afektif). Rangsangan atau informasi yang diterima oleh indra, sebagai suatu aktivitas mental dalam proses belajar akan diproses di dalam alam berpikir sebagai suatu rangkaian kejadian atau peristiwa dalam otak mulai dari saat informasi diterima sampai dengan saat dilepas kembali. Peristiwa pemprosesan informasi (Information processing) tersebut dapat dibagi ke dalam berbagai urutan peristiwa sebagai berikut (Winkel, 1996): 1. Lingkungan akan mengeluarkan berbagai jenis rangsangan berupa energi phisik seperti bunyi, sinar maupun tekanan yang menjadi informasi bagi satuan struktural yang menangkapnya. 2. Informasi yang ditangkap oleh alat–alat indera seperti mata, telinga, kulit dan lain–lain, diubah/ditransformasikan menjadi pulsa-pulsa elektronik yang dikirim ke pusat- pusat tertentu dalam otak dan akhirnya masuk ke dalam sistem syaraf pusat. 3. Informasi yang ditampung tersebut disimpan selama waktu yang sangat singkat sekali. Sebagian kecil diteruskan keingatan jangka pendek atau Short Term Memory (STM) untuk diolah lebih lanjut, sedangkan sisanya hilang dan tidak ikut dalam pengolahan. Baik kuantitas maupun jenis informasi yang diolah menjadi berkurang. 4. Informasi yang telah diseleksi tersebut masuk ke dalam ingatan jangka pendek, dan pada saat ini individu yang bersangkutan menyadari ada sesuatu yang dihadapi, namun lamanya kesadaran tersebut sangat singkat kemudian informasi tersebut menghilang kembali kecuali bila diolah dan diberi makna. Mengingat daya tampung penyimpanan informasi dalam ingatan jangka pendek ini terbatas maka hanya sebagian informasi saja yang berhasil masuk
14
ke sana yakni informasi yang berhasil menarik perhatian individu yang bersangkutan. Dilanjutkan kemudian dengan terjadinya proses pengolahan
dengan
menghubungkan
atau
mengintegrasikan
infor masi baru tersebut dengan informasi lama yang digali kembali dari ingatan jangka panjang. Pengolahan ini merupakan proses transformasi yang dikenal dengan istilah coding dan encoding . 5. Hasil pengolahan tersebut menjadi masukan bagi ingatan jangka panjang atau Long Term Memory (LTM) dan akan tersimpan dalam jangka panjang waktu yang lama. 6. Informasi yang berasal dari ingatan jangka pendek ataupun jangka panjang akan ditransformasikan untuk menentukan bentuk dan wujud dari jawaban/reaksi serta urutan pelaksana annya. 7. Selanjutnya, mewujudkan jawaban/reaksi tersebut melalui otot dan kelenjar, misalnya lengan dan tangan untuk menulis, peralatan suara untuk berbicara.
Berdasarkan ketujuh langkah di atas, mulai dari ketika indra menangkap rangsangan dan sebelum menjadi suatu tindakan atau jawaban/reaksi, maka informasi tersebut terlebih dahulu mengalami proses pembentukan persepsi yang berlangsung pada urutan ke 4 yang terjadi ketika organisme menangkap stimuli berupa objek, gejala maupun peristiwa dan menghubungkannya dengan salah satu kategori (golongan) objek-objek atau peristiwa yang terdapat dalam ingatan jangka panjang sebagai hasil pengalaman belajar pada masa yang lalu, dengan jalan menggali kembali atau me-recall hasil pengalaman tersebut. Aktivitas menghubungkan atau mengintegrasikan kedua informasi tersebut dilakukan dengan sengaja dengan tujuan agar dapat memberi arti atau makna terhadap masukan yang ada. Pemberdayaan perempuan di bidang politik dengan memberikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di le gislatif merupakan suatu ide
15
atau gagasan yang telah dituangkan ke dalam undang–undang RI No.12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1, dan telah dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang terdapat di seluruh tanah air yang terdiri dari berbagai lapisan terutama bagi partai politik.
Diharapkan keterwakilan
perempuan dengan kuota 30 persen membuka peluang besar bagi perempuan yang ada di Indonesia, sehingga membuat suatu persepsi terhadap pelaksanaan kuota 30 persen secara positif. Perilaku yang mendukung terhadap pelaksanaan kuota tersebut, dapat ditandai dengan seberapa jauh masyarakat memahami pelaksanaan kuota tersebut? sehingga mengarah kepada pembentukan sikap dan keputusan yang akan diambil sebagai jawaban atau reaksi terhadap masukan ide atau gaga san yang terdapat dalam UU RI.No.12 tahun 2003. Pengolahan informasi dalam pembentukan persepsi seperti telah disebutkan berlangsung dengan menghubungkan informasi yang ada dengan informasi hasil pengalaman belajar pada masa lampau. Pengalaman belajar menurut Walker (1973) merupakan akumulasi dari berbagai proses belajar. Proses belajar tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pendidikan, nilai – nilai adat istiadat atau kebiasaan, serta berbagai pengalaman hidup lainnya, yang dalam hal ini dapat digolongkan ke dalam faktor personal dan situasional. Aktivitas menggali atau mengingat kembali pengalaman masa lalu ini menurut Bloom (Winkel, 1996) merupakan bagian dari wilayah kognitif yang disebut pengetahuan. Pengetahuan menurutnya merupakan aktivitas mengingat kembali hal-hal yang pernah dipelajari dan tersimpan dalam ingatan, yang meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan tersebut digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan, mengingat (recall ) atau mengga li kembali (recognition). Mewujudkan menjadi suatu reaksi atau jawaban terhadap informasi yang diterima, sebelumnya akan terbentuk suatu persepsi dalam diri individu yang bersangkutan, yang akan dilanjutkan dengan terbentuknya
16
sikap. Penentuan sikap terhadap suatu objek, gejala, atau peristiwa menurut Winkel (1996) merupakan kecenderungan menerima atau menolak suatu objek, gejala, maupun peristiwa yang didasarkan pada penilaian terhadap objek, gejala maupun peristiwa tersebut berguna/berharga baginya atau tidak. Penilaian berdasarkan sikap ini bersifat selektif yakni bila objek tersebut “baik untuk saya“ maka yang bersangkutan akan memberikan penilaian positif. Sebaliknya bila “tidak baik untuk saya“ maka yang bersangkutan akan memberikan penilaian negatif. Second and Backman (Azwar, 1997) mengemukakan bahwa sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya. Reaksi atau Jawaban yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu informasi dapat dinyatakan dalam bentuk tindakan atau perilaku maupun pendapat (opini). Opini atau pandapat, menurut Philip L Harriman dalam (Muhibinsyah,1995) adalah ungkapan dari suatu kepercayaan atau keputusan yang terbuka untuk berubah. Antara opini dan sikap sangat erat kaitannya, bahkan Nasution (1990) mengatakan bahwa opini merupakan ekspresi dari sikap (attitude) akan tetapi opini lebih mudah berubah dibanding dengan attitude. Azwar (1997) mengatakan bahwa opini merupakan pernyataan sikap yang sangat spesifik. Opini terbentuk didasarkan sikap yang sudah mapan akan tetapi lebih bersifat situasional dan temporer. Carld I Hovland dalam (Rousydy, 1985) mengatakan bahwa sikap seseorang biasanya mencerminkan sekaligus pendapatnya akan tetapi belum tentu apa yang dinyatakan (opini) oleh seseorang akan menentukan attitude (sikap) yang sebenarnya. Berdasarkan uraian yang ada maka dapatlah disimpulkan bahwa pendapat (opini) adalah suatu pernyataan atau ungkapan baik lisan maupun tulisan yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu ide/gagasan yang sifatnya lebih situasional dibanding persepsi maupun sikap. Opini akan mengambarkan posisi seseorang berada di pihak: setuju atau tidak setuju,
17
mendukung atau tidak mendukung dan sebagainya. Sikap merupakan penilaian yang tidak hanya didasarkan pada pertimbangan pemikiran atau rasional (kognisi) semata akan tetapi yang terpenting dalam membuat penentuan sikap didasarkan pada pertimbangan perasaan atau hal-hal yang bersifat emosional. Wujud pernyataan sikap seseorang juga dapat dinyatakan seperti : sikap mendukung atau tidak mendukung, setuju atau tidak setuju terhadap suatu ide atau gagasan yang diperkenalkan. Berbeda halnya dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil proses bela jar yang berhasil tersimpan untuk jangka waktu yang lama dalam ingatan jangka panjang (LTM) individu yang sedang mengalami proses belajar. Pengetahuan memberikan kontribusi dalam terbentuknya persepsi, sikap maupun opini atau pendapat. Seseorang dapat mene ntukan persepsinya terhadap suatu ide atau gagasan didasarkan pada pengetahuan yang dimilikinya tentang hal-hal yang berhubungan dengan ide atau gagasan tersebut. Hal serupa juga terjadi saat pembentukan sikap. Sikap seseorang cenderung selaras dengan persepsi yang dimilikinya terhadap ide atau gagasan tersebut. Seseorang dapat menentukan pendapat atau opini apabila yang bersangkutan telah menentukan persepsi dan sikapnya terhadap ide atau gagasan tersebut. Mengacu pada uraian yang ada maka konsep persepsi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah suatu pandangan yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu objek, gejala maupun peristiwa, yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan secara sengaja dengan cara menghubungkan objek, gejala atau peristiwa tersebut dengan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan, pengalaman, sistem kepercayaan, adat istiadat yang dimiliki dan sebagainya.
18
2.4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Persepsi sebagai salah satu rangkaian dalam proses perubahan,
sebelum diputuskan menjadi suatu pandangan terhadap suatu objek, gejala maupun peristiwa, lebih dahulu mengalami suatu proses penilaian. Proses penilaian yang berlangsung dalam alam pikiran seseorang
akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi dalam diri seseorang, menurut Krech dan Cruthfield dalam Sarwono (1976) adalah faktor pengalaman masa lampau, dan juga beberapa faktor lain yang membedakan persepsi antar individu seperti kebutuhan, sistem nilai yang dimiliki, kebiasaan hidup, kebudayaan dan faktor umur seseorang. Krech dan Cruthfield dalam Rakhmat (1992)mengemukakan empat dalil persepsi. Pertama; persepsi bersifat selektif secara fungsional. Berarti bahwa objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi kita biasanya objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi, seperti dipengaruhi oleh kebutuhan, kesiapan mental, suasana emosional, dan latar belakang budaya. Dalil kedua dikatakan bahwa medan perceptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. Dimaksudkan bahwa walaupun stimuli yang kita terima itu tidak lengkap, kita akan mengisinya dengan interpretasi yang konsisten dengan rangkaian stimuli yang kita persepsikan. Dalil ketiga dikatakan bahwa sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur ditentukan pada umumnya oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. Ditegaskan bahwa jika individu dianggap sebagai anggota kelompok, semua sifat individu yang berkaitan dengan sifat kelompok akan dipengaruhi oleh keanggotaan kelompoknya, dengan efek yang berupa asimilasi atau kontras. Dalil keempat dikatakan bahwa objek atau peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu atau menyerupai satu sama lain, cenderung ditanggapi sebagai bagian dari struktur yang sama.
19
Mar’at (1984) menyebutkan bahwa persepsi merupakan hasil proses pengamatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap suatu objek maupun
peristiwa,
mengemukakan
bahwa
faktor–faktor
yang
mempengaruhi persepsi adalah pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan. Faktor pengalaman dan proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap yang dilihatnya, sedangkan cakrawala dan pengetahuan yang dimiliki seseorang akan memberikan arti bagi objek psikologinya. Vandemark dan Leth dalam Yusuf (1991) juga mengemukakan hal yang hampir sama yaitu bahwa perbedaan persepsi individu yang satu dengan individu yang lainnya ditentukan antara lain oleh perbedaan pengalaman, motivasi, keadaan dan nilai serta kepercayaan. Perbedaan tersebut akan mempengaruhi pemberian makna terhadap stimuli yang diterimanya, bahkan ia mengemukakan bahwa setiap orang cenderung mempersepsikan apa yang sesuai dengan sikap, nilai dan kebutuhannya, yang ia sebut dengan selective perception . Dalam penelitian ini yang menjadi objek persepsi adalah kuota 30 persen keterwakilan perempuan yang dilihat terhadap; akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan. Sehingga dapat diartikan bahwa objek psikologi dalam persepsi adalah manusia yaitu; perempuan Indonesia. Dalam ilmu psikologi komunikasi, persepsi terhadap manusia disebut persepsi interpersonal yaitu terjadinya persepsi antara satu individu terhadap individu lainnya. (Rakhmat, 1992). Faktor Personal yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah: Pertama, Deskripsi verbal yaitu, adanya ucapan verbal yang dikemukakan seseorang
atau
kelompok
kepada
orang
lain
secara
komunikasi
interpersonal, sehingga rangkaian deskripsi verbal membuat pendengar/ komunikan yang mendengar membuat kesimpulan berdasarkan apa yang didengarnya. Kedua, petunjuk proksemik, yaitu penggunaan jarak yang
20
dilakukan dalam menunjukkan hubungan dengan orang lain dan dapat menunjukkan
tingkat
keakraban
diantaranya.
Ketiga,
petunjuk
paralinguistik yaitu; cara bagaimana orang mengucapkan lambang-lambang verbal,
yang
menunjukkan
apa
yang
diucapkan,
bagaimana
mengucapkannya, tergantung tinggi rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal (dialek) dan interaksi (perilaku ketika melakukan komunikasi atau obrolan). Keempat, petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan pada seseorang. Sedangkan faktor personal yang mempengaruhi persepsi interpersonal adalah; pengalaman, motivasi dan kepribadian. Berdasarkan beberapa faktor yang telah dikemukakan dapatlah disimpulkan bahwa faktor yang diduga mempengaruhi persepsi masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan dari Masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif adalah: faktor individual Personal yaitu: (1) Usia/umur, (2) Pekerjaan, (3) Pendapatan, (4)
Pendidikan, (5) Pengalaman, (6)
Motivasi. Sedangkan faktor
situasional yaitu: (1) Budaya Patriarkhi, (2) Agama, (3) Kebijakan Pemerintah, (4) Kebiasaan, (5) Kelompok rujukan.
2.5.
Terpaan Media Massa Terpaan Media massa merupakan keterdedahan individu oleh media
massa yang bersifat cetak maupun elektronik. Terpaan media merupakan pengaruh yang didapat oleh individu dari penggunaan media terhadap kegiatan sehari-hari. Terpaan media secara surat kabar merupakan keterdedahan terhadap informasi yang disajikan surat kabar. Dapat juga dikatakan seberapa banyak individu mengunakan media surat kabar dalam mendapatkan informasi. Terpaan media majalah merupakan suatu keterdedahan terhadap informasi yang disajikan majalah. Dapat juga dikatakan seberapa sering atau digunakan individu dalam mendapatkan informasi untuk menambah pengetahuan atau wawasan. Terpaan media televisi merupakan terpaan
21
media secara elektronik yang disebarkan secara audio dan visual. Terpaan dapat terjadi secara pendengaran maupun secara gambar ataupun secara ditonton. Terpaan media televisi dalam penelitian ini adalah bagaimana individu mendapatkan informasi atau hiburan melalui televisi. Media televisi yang sering digunakan. Sebagaimana kita tahu di Indonesia banyak saluran televisi yang telah hadir sebagai televisi tayangan na sional. Semua channel (saluran) mudah diakses oleh penonton. Riset mengenai efek media massa terus mengalami perkembangan sejalan dengan semakin pesatnya kemajuan komunikasi massa. Efek yang ditimbulkan oleh media massa merupakan konsekuensi yang harus diterima khalayak sebagai individu yang mengkonsumsi media dan terkena terpaan media. Sejauh mana efek tersebut bersifat konstruktif ataupun destruktif, berikut ini dikemukakan berbagai perkembangan riset mengenai efek media dan teori-teori yang berhubungan dengan terpaan media massa. Salah satu revolusi dramatik yang dialami oleh umat manusia adalah revolusi informasi (McQuail, 1989). Revolusi informasi telah membawa kearah perkembangan industri media massa yang menjadi pemicu perubahan tradisi umat manusia dari tradisi lisan menjadi tulisan. Perubahan sosial masyarakat dengan adanya perkembangan media massa, memunculkan kesadaran bagi manusia untuk turut aktif dalam menentukan seperti apa masyarakat harus dibentuk. Kesadaran kultur baru manusia akibat perkem bangan industri media massa memberikan suatu era baru yaitu pembentukan masyarakat modern. Kaitannya dengan perkembangan media, lebih lanjut McQuail (1989) membahas empat unsur utama: yaitu teknologi, situasi politik, sosial dan ekonomi masyarakat. Keselur uhan berinteraksi dengan cara yang berbeda dan dengan keunggulan masing-masing dan dalam media yang berbeda. Berdasarkan sejarah media dimulai dengan media cetak, film, radio dan televisi sampai munculnya media elektronik baru seperti teleteks, vidioteks, vidio komputer, internet dan lain sebagainya. Kekhususan surat
22
kabar dibanding dengan sarana komunikasi budaya lainya terletak pada individualisme, berorientasi pada kenyataan, kegunaan dan sekularitas serta kecocokan dengan tuntutan kebutuhan kelas sosial yang baru. Sejalan dengan perkembangannya maka surat kabar menjadi komersil dan mempunyai fungsi umum yaitu: 1. Merupakan sumber informasi tentang apa yang sedang terjadi di dunia dan daerah setempat. Fungsi ini tidak hanya terbatas pada tajuk rencana tetapi juga berita mengenai politik, ekonomi dan sosial. 2. Sebagai sarana hiburan, untuk fingsi ini biasany dilakukan oleh kelompok muda dan kelompok dengan tingkat pendidikan yang terbatas yang membaca rubrik seni, olah raga dan komik (Devito, 1997). Sedangkan me dia majalah merupakan bisnis yang sangat besar dan kenyataannya, kebanyakan majalah besar dimiliki dan dikelola oleh perusahaan besar. Majalah ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Majalah umum berisikan informasi yang bersifat umum seperti pendidikan informasi wilayah dan lain-lain. Majalah khusus meliputi semua majalah yang ditujukan kepada khalayak yang khusus dan relatif terbatas, seperti khalayak wanita, remaja, atau khusus pria dan lain-lain. Lebih lanjut Devito (1997) mengatakan bahw a televisi merupakan media yang sangat fleksibel dan ideal sekaligus unik. Televisi masuk hampir kesetiap rumah dan memberi pengajaran, tontonan juga tuntunan kepada setiap individu sejak bayi hingga dewasa. Menurut Lasswell dalam Devito (1997) ada tiga fungsi media massa dalam masyarakat yaitu: (1) pengawasan lingkungan (2) Korelasi antar bagian-bagian dalam masyarakat dalam memberikan reaksi terhadap lingkungan (3) Transmisi warisan sosial budaya, yang dilakukan secara kesinambungan yang berhubungan dengan penyampaian informasi dari generasi ke generasi berikutnya.
23
McQuail (1989) menyatakan bahwa fungsi media bagi individu adalah sebagai berikut: 1. Berfungsi sebagai informasi, disini media dijadikan sarana, antara lain untuk mencari berita tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, masyarakat dan dunia. Disamping itu, media dapat dijadikan tempat untuk memperoleh bimbingan yang menyangkut berbagai masalah-masalah praktis, pendapat dan segala yang berhubungan dengan penentuan pemilihan. Media juga dapat memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum serta untuk memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan. 2. Berfungsi sebagai identitas pribadi, dengan menemukan penunjang nilai-nilai
pribadi,
menentukan
model
perilaku
sehingga
meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri. 3. Berfungsi
sebagai
integrasi
dan
interaksi
sosial,
dengan
memperoleh pengetahuan tentang keadaan orang lain, akan menimbulkan
rasa
empati
dalam
lingkungan
sosial,
juga
mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan meningkatkan rasa kemampuan. Media juga dapat dijadikan sebagai bahan percakapan dalam berinteraksi sosial, memperluas pergaulan, dan membantu menjalankan peran sosial dalam masyarakat dan memungkinkan seseorang
untuk
menghubungi
sanak
keluarga,
teman
dan
masyarakat. 4. Berfungsi sebagai hiburan, antara lain media yang menyediakan hiburan untuk melepaskan diri dari rutinitas kegiatan, bersantai untuk memperoleh kenikmatan jiwa, menghilangkan kepenatan, mengisi waktu, meluapkan emosi. Devito (1997) menambahkan bahwa salah satu fungsi media yang banyak dilupakan adalah fungsi narcotizing (membius). Hal ini dapat dilihat, jika media menyajikan suatu informasi, penerima akan percaya
24
bahwa tindakan tertentu telah diambil. Salah satu contoh fungsi yang membius adalah kehadiran telenovela ditelevisi yang ditayangkan secara bersambung setiap hari, dengan tema perselingkuhan, kekerasan dan berbagai tema stereotipe, yang membius khalayak untuk terus mengikuti tayangan tersebut. Berdasarkan
uraian
diatas
dapat
diambil
kesimpulan
yang
dimaksudkan media massa dalam penelitian ini adalah: surat kabar, majalah dan televisi. Keterdedahan atau terpaan media massa merupakan pengaruh yang didapat oleh individu dari penggunaan media terhadap kegiatan sehari-hari. Terpaan Media Massa yang akan di teliti adalah terpaan media massa surat kabar, terpaan media massa majalah dan terpaan media televisi. 2.6.
Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan dalam Politik Bagi Perempuan, Konsep ‘Demokrasi‘ dapat dikatakan sesuatu hal
yang menjadi idaman ya ng juga merupakan mimpi buruk. Sejak Demokrasi yang diwariskan dari tradisi Yunani, dimana Perempuan dan budak tidak dilibatkan dalam demokrasi. Bahkan tidak ada dilibatkan sebagai pemilih dalam pemilu. Di Indonesia, Keterwakilan perempuan dalam politik membawa dua persoalan yaitu: pertama, masalah keterwakilan Perempuan yang sangat rendah di ruang publik dan kedua, masalah belum adanya platform partai yang secara konkrit membela kepentingan perempuan. Hal ini menjadi momen bagi aktivis wanita Indonesia untuk memperjuangkan hak publik perempuan terutama di politik. Keterwakilan perempuan Indonesia secara politik dipatok dengan kuota 30 persen. Pada pemilu 2004 telah dicoba diterjemahkan oleh berbagai partai pelaksana pemilu, tetapi keterwakilan tersebut belum mencapai target 30 persen yang dimaksudkan. Dalam UU RI No 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pasal 65 ayat
25
(1) berbunyi: Setiap partai politik Peserta Politik dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen. Dalam pasal ini terdapat pengertian bahwa platform untuk keterwakilan perempuan telah ditentukan sekurangkurangnya 30 persen, artinya tidak kurang dari 30 persen. Penetapan terhadap kuota 30 persen bagi perempuan Indonesia dalam politik merupakan satu bentuk akses politik. Menurut Galnoor (Nimmo, 2003) akses politik diartikan kepada seberapa besar kesempatan yang didapat dan dimiliki oleh seseorang terhadap politik. Lebih lanjut Galnoor mengatakan bahwa
yang dimaksud akses
adalah kesempatan
seseorang untuk mengirimkan pesan politik dari bawah ke atas, dari “pinggiran “ ke pusat, dan dari individu–individu kepada para pemimpin. Secara de jure pengakuan akan pentingnya perempuan dalam pembangunan telah tersurat secara jelas dalam GBHN 1993, 2000. Namun pada kenyataannya perempuan berkecenderungan dijadikan objek dalam program pembangunan. Perempuan belum dapat berperan secara maksimal baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat pembangunan. Hal ini disebabkan pemahaman perempuan hanya sebatas peran domestik (private) sehingga kurang diperhatikan dalam pengambilan kebijakan. Di samping itu juga diperjelas dengan berkembangnya budaya patriarkhi yang menempatkan peran laki-laki sebagai makhluk yang berkuasa dengan berangkat pada pelabelan terhadap dirinya. Kondisi ini secara tidak langsung akan mempengaruhi kesenjangan perempuan sebagai warga bangsa untuk ikut akses dalam politik dan program pembangunan (Jurnal Perempuan, 2001) Sebagai contoh bentuk akses politik di beberapa negara yang mendongkrak jumlah anggota parlemen perempuan, seperti di Perancis ada Party Law (Undang-undang Partai Politik), pada tahun 1999, Party Law merupakan amandemen konstitusi yang mensyaratkan setiap parpol
26
menyertakan perempuan sebanyak 50 persen. Di Indonesia telah hadir kuota 30 persen, untuk mendongkrak jumlah perempuan parlemen yang menduduki kursi di parlemen. Untuk memenuhi pasal 65 ayat (1) UU no.12 tahun 2003 tersebut ada pasal 65 ayat ( 2 ) yang berbunyi: Setiap Partai Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Dalam pasal 65 ayat (2) ini terkandung makna bahwa partai boleh melakukan spekulatif terhadap harapan untuk mendapatkan kursi di parlemen tersebut. Untuk pemenuhan kuota 30 persen, setiap partai juga diharapkan mempunyai pe rhitungan spekulatif untuk pemenuhan kursi kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut. Dalam pasal 65 ayat (2) ini lebih membuka peluang kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Menurut sensus yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS 2002) jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51 persen dari seluruh Populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga Negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun Jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat keputusan/pengambilan keputusan politik di Indonesia. Data tentang distribusi perwakilan perempuan di beberapa lembaga di Indonesia tersaji pada Tabel 1.
27
Tabel 1 Distribusi Perwakilan Perempuan di Lembaga Indonesia. Lembaga
Jumlah
Jumlah
Presentase
Perempuan
Laki-laki
Jumlah perempuan
MPR
18
177
9,2
DPR
45
455
9
MA
7
40
14,8
BPK
0
7
0
DPA
2
43
4,4
KPU
2
9
18,1
Gubernur (Dati I )
0
30
0
Bupati (DatiII)
5
331
1,5
Sumber Data : kumpulan jurnal pada tahun 2001
Mengapa perempuan perlu partisipasi dan ikut menjadi pembuat keputusan politik adalah karena; perempuan memiliki kebutuhan– kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan – kebutuhan ini meliputi: b. Isu-isu kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman. c. Isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak. d. Isu-isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa ( cacat tidak bekerja) e. Isu-isu kekerasan seksual. Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, seperti : a. Diskriminasi di tempat kerja yang menga nggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan. Misalnya penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama. Diskriminasi di hadapan hukum yang merugikan posisi perempuan misalnya : kasus perceraian.
28
b. Hanya
dalam
jumlah
yang
signifikan,
perempuan
dapat
menghasilkan perubahan berarti, seperti: 1. Perubahan cara pandang dalam menyelesaikan masalahmasalah politik dengan mengutamakan perdamaian dan cara–cara ahli kekerasan. 2. perubahan kebijakan dan peraturan undang-undang yang ikut memasukkan kebutuhan–kebutuhan khusus perempuan sebagai bagian dari agenda nasional. Langkah yang harus dilakukan untuk meningkatkan jumlah perempuan
sebagai
pembuat
keputusan
politik
adalah
memahami
pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik dan mendukung upaya meningkatkan jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga – lembaga politik hingga
mencapai jumlah yang signifikan agar dapat
mempengaruhi proses pembuatan keputusan keputusan politik. Mendukung penerapan pemilu dengan sistem campuran sebab sistem ini membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mencalonkan diri. Keterwakilan Perempuan dalam sistem pemilu perlu dianalisa model apa yang sebaiknya dilakukan agar keterwakilan betul-betul terwujud seperti yang diinginkan. Sebagaimana disampaikan oleh Annisa (Kompas, 2003), ada 3 sistem pemilu yang dapat dilakukan yaitu : a. Sistem Distrik Dalam sistem ini pemilih memilih sendiri nama calon anggota legislatif (caleg) di unit pemilihannya. Sistem ini memungkinkan pemilih
mengenal
baik
caleg
pilihannya
sehingga
caleg
bertanggungjawab langsung kepada pemilih. Hal yang didapat dalam sistem ini: caleg perempuan akan lebih sulit terpilih karena ia harus bersaing dengan caleg lain yang umumnya lebih unggul dalam hal dana, dukungan masyarakat, media massa, keluarga
serta
norma
budaya
yang
telah
sekian
lama
mengistimewakan peran laki-laki dalam bidang politik. Dengan
29
alasan itu, partai politik jarang mencalonkan caleg perempuan secara terbuka karena dianggap tidak dapat memenangkan persaingan suara dengan partai lain. b. Proporsional Dalam sistem ini pemilih memilih partai politik. Partai politik menentukan daftar nama caleg di setiap unit pemilihan. Sistem ini juga memungkinkan terpilihnya caleg dari luar daerah pemilihan karena penentuan daftar nama dilakukan sepenuhnya oleh parpol. Hal yang didapat dalam sistem ini: sistem ini membuka kesempatan lebih luas bagi perempuan karena caleg tidak perlu menghadapi pemilih secara langsung. Dengan demikian caleg juga tidak harus bersaing secara tajam dengan caleg lain, yang seringkali membutuhkan pengalaman berpolitik yang belum banyak dimiliki perempuan karena sosialisasi yang dialaminya sejak kecil. c. Sistem campuran Dalam sistem ini pemilih memilih sebagian caleg dengan cara distrik dan sebagian lagi dengan cara proporsional. Sistem ini membuka kesempatan yang luas bagi caleg perempuan sekaligus mengharuskan caleg untuk bertanggungjawab langsung kepada pemilihnya. Dengan demikian, sistem ini adalah yang paling baik karena meningkatkan keterwakilan perempuan serta akuntabilitas caleg. Mengacu kepada uraian di atas, dalam penelitian ini konsep keterwakilan perempuan yang mendapat kuota 30 persen adalah: keterwakilan perempuan dalam partai politik dengan kuota 30 persen yang dilaksanakan ole h partai peserta pemilu yang meliputi:(1) akses politik, (2) partisipasi politik dan (3) keterwakilan politik.
30
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1.
Kerangka Pemikiran Kehadiran UU RI No. 12 tahun 2003, yang mencantumkan pasal 65
ayat (1) yang berbunyi; setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan
calon
Anggota
DPR,
DPRD
provinsi
dan
DPRD
Kabupaten/Kota untuk setiap daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen, telah membuka kesempatan kepada Perempuan Indonesia untuk terlibat secara langsung dalam praktek pengambilan kebijakan dan keputusan pada legislatif. Dalam praktek pemilu 2004, ternyata pelaksanaan kuota 30 persen keterwakilan perempuan tidak tercapai, banyak partai yang belum melaksanakan secara penuh pelaksanaan kuota untuk perempuan tersebut. Banyak persepsi yang berkembang di masyarakat tentang pelaksanaan kuota 30 persen keterwakilan perempuan tersebut. Hal ini menyangkut kepada keputusan menerima dan menolak terhadap pelaksanaan kuota 30 persen tersebut. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa partai politik yang tidak melaksanakan sampai mencapai kuota 30 persen. Penentuan keputusan untuk menerima atau menolak suatu ide atau gagasan merupakan suatu proses yang pada dasarnya tidak pernah berhenti melainkan senantiasa mengalami perubahan. Proses ini oleh Rogers dan Shoemaker (1971) disebut sebagai proses konfirmasi yang memungkinkan terjadinya perubahan keputusan, misalnya yang telah memutuskan menerima menjadi menolak dan kemudian mencari alternatif lain atau sebaliknya, yang telah memutuskan menolak mungkin pula beralih menjadi menerima. Begitu juga dengan pandangan adanya kuota 30 persen untuk keterwakilan perempuan di legislatif. menjadi proses konformasi. Dengan
berkembangannya
paradigma
di
masyarakat
yang
menganggap perempuan hanya berfungsi secara domestik bukan di publik
31
apalagi secara politik. Sehingga menghambat partisipasi perempuan dalam politik. Penelitian ini mengamati hubungan antara tiga peubah, yaitu peubah bebas atau sering juga disebut sebagai peubah pengaruh, peubah antara, serta peubah tidak bebas atau sering juga disebut sebagai peubah terpengaruh (Singarimbun dan Effendi, 1995). Dalam penelitian ini peubah pengaruh (anteseden) yang diteliti yaitu Karakteristik Individu yang mempengaruhi persepsi Individu dalam masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan terhadap kuota 30 persen adalah: faktor personal meliputi: (1) Umur, (2) pekerjaan, (3). Pendapatan, (4). Pendidikan, (5).pengalaman, (6), Motivasi. Sedangkan faktor situasional berupa: (7) Budaya Patriarki (8) Agama, (9) Kebijakan Pemerintah, (10) Kebiasaan hidup dan (11) Kelompok rujukan. Peubah antara yang diamati adalah Terpaan Media Massa kepada responden
dalam
perempuan di
mempersepsikan
kuota
30
persen
keterwakilan
legislatif, dalam hal ini meliputi: Media Cetak dan
Elektronik. Peubah terpengaruh atau peubah konsekuen yaitu: persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif meliputi: (1) Akses politik, (2) Partisipasi politik dan (3) Keterwakilan Politik. Untuk
mendapatkan
gambaran
mengenai
faktor
yang
mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif berikut ini di kemukakan bagan antar peubah (Gambar 1).
32
Peubah Bebas Faktor Personal: 1.Umur 2.Pekerjaan 3.Pendapatan 4.Pendidikan 5.Pengalaman 6-Motivasi
Faktor Situasional: 1.Budaya Patriarkhi 2.Kepercayaan 3.Kebijakan pemerintah 4.Kebiasaan 5.Kelompok rujukan
Peubah antara
Terpaan Media Massa: -Cetak -Elektronik
Peubah tak Bebas
Persepsi terhadap Kuota : 1.Akses politik 2.Partisipasi politik 3.keterwakilan politik
Gambar 1. Persepsi Masyarakat Terhadap Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan di Legislatif.
33
3.2.
Hipotesis Adapun Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan yang nyata antara persepsi masyarakat yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan. 2. Terdapat
Hubungan
yang
nyata
antara
masing –
masing
karakteristik personal yang terdiri dari (1) Umur, (2) Pekerjaan, (3) Pendapatan, (4) Pendidikan, (5) pengalaman dan
(6) Motivasi
dengan persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif 3. Terdapat hubungan yang nyata antara masing – masing karakteristik situasional
yang
terdiri
dari:
(1)
Budaya Patriarkhi,
(2)
Kepercayaan, (3) Kebijakan Pemerintah, (4) Kebiasaan dan (5) Kelompok rujukan dengan persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. 4. Terdapat hubungan yang nyata antara Peubah antara yaitu Terpaan media massa dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif.
34
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1.Populasi dan Sampel 4.1.1. Populasi Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek, atau subjek yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2002). Nazir (1988) mengatakan populasi adalah berkenaan dengan data, bukan orang atau bendanya. Kemudian populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif dari pada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang lengkap. Jadi populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang mempunyai kaitan dengan masalah yang diteliti. Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah masyarakat pada Kota Bekasi yang terdaftar sebagai peserta pemilu tahun 2004. dengan ciri populasi yaitu: (1) berusia di atas 21 tahun, (2) dapat menulis dan membaca dalam bahasa Indonesia, (3) berpendidikan minimal SLTA atau sederajat, (4) terdaftar sebagai pemilih pada Pemilu 2004. Masyarakat ini dibagi dua kelompok yaitu kelompok aktivis partai politik dan kelompok bukan aktivis partai politik. Kemudian dibagi lagi menjadi dua jenis kelamin yaitu lakilaki dan perempuan.
35
4.1.2. Teknik Pengambilan Sampel Sejalan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini: yaitu Persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Sehingga untuk menghindari adanya distorsi hasil penelitian,
pengambilan
sampel
dikerjakan
memakai
teknik
Disproportionate stratified random sampling yaitu : pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata tetap sebagian ada yang kurang proporsional pembagiannya. Teknik ini dilakukan apabila anggota populasi heterogen atau tidak sejenis (Riduwan, 2004). Berdasarkan data penduduk yang terdaftar sebagai pemilih pada pemilu 2004 di seluruh wilayah Kota Bekasi dari 12 kecamatan dengan identifikasi: yang berumur 21 tahun ke atas dan tamat sekolah formal SLTA ke atas adalah 275.747 orang. Arikunto (1996) mengemukakan bahwa untuk sekedar mengambil perkiraan, apabila populasi
kurang dari 100, maka lebih baik diambil
semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian Populasi. Surakhmad (1994) menyarankan, apabila ukuran populasi sebanyak kurang atau sama dengan 100 (seratus), pengambilan sampel sekurangkurangnya 50 persen dari ukuran populasi. Apabila ukuran populasi sama atau lebih dari 1000, ukuran sampel diharapkan sekurang-kurangnya 15 persen dari ukuran populasi. Dalam penelitian ini jumlah populasi sebanyak 275.747 orang. Merujuk pada pendapat di atas maka penentuan jumlah sampel dapat dilakukan sebagai berikut sebagimana dikutip oleh Riduwan (2004) :
36
N n = ----------N.d² + 1
Dimana: n = jumlah sampel N = Jumlah Populasi d² = Presisi 10 persen yang ditetapkan peneliti. Adapun deskripsi wilayah Bekasi yang terdiri dari 12 Kecamatan dengan karakteristik yang dibedakan oleh jumlah kelurahan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel: 2. Distribusi Wilayah dan Jumlah Penduduk Kota Bekasi No. Kecamatan Kelurahan. Jlh Penduduk,usia 21th, SLTA ke atas 1 Bekasi Utara 6 39.429 orang 2.
Bekasi Selatan
5
26.934 orang
3.
Bekasi Timur
4
36.766 orang
4.
Bekasi Barat
5
38.219 orang
5
Bantar Gebang
4
7.441 orang
6.
Jati Asih
6
19.088 orang
7.
Pondok Gede
5
26.240 orang
8.
Jati Sampurna
5
7.451 orang
9.
Rawa Lumbu
4
25.155 orang
10.
Medan Satria
4
21.951 orang
11.
Mustika Jaya
4
13.756 orang
12.
Pondok Melati
4
13.317 orang
Total
56
275.474 orang
Sumber: Dinas Kependudukan Kota Bekasi,2005.
Berdasarkan data di atas, maka peneliti menentukan secara acak daerah yang dijadikan sampel penelitian berdasarkan tipe wilayah yang melihat kepada jumlah kelurahan, yaitu: kecamatan enam (6) kelurahan
37
diwakili oleh Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan dengan lima (5) kelurahan diwakili oleh Kecamatan Bekasi Barat, dan kecamatan dengan empat (4) kelurahan diwakili oleh Kecamatan
Medan Satria. Populasi
responden dengan ciri penduduk yang berusia 21 tahun ke atas dengan pendidikan minimal SLTA dari masing- masing kecamatan terpilih tersebut adalah :
1. Kecamatan Bekasi Utara
jumlah penduduk = 39.429 orang.
2. Kecamatan Medan Satria
Jumlah penduduk = 21.951 orang
3. Kecamatan Bekasi Barat
jumlah Penduduk = 38.219 orang 99.599 orang
Sehingga jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 99.599 orang. Berdas arkan rumus tersebut di atas maka dapat dihitung besar sampel yang dapat ditarik yakni sebagai berikut : N 99.599 99.599 n= ---------- = --------------------= ------------ = 99,90 -à 100 responden N.d² + 1 99.599(0.01)+1 996,99 Berdasarkan
data tersebut maka pengambilan sampel berstrata
dengan rumus Ni ni = ------ n N
Dimana : ni = jumlah sampel menurut stratum n = jumlah sampel seluruhnya Ni = jumlah Populasi menurut Stratum N = jumlah Populasi seluruhnya
Jadi dapat dihitung : Untuk sampel di kecamatan Bekasi Utara adalah ; Ni 39.429 ni = -------- x n = ---------- x 100= 39,58 -----à 40 responden N 99.599
38
Untuk sampel di kecamatan Medan Satria adalah ; Ni 21.951 ni = -------- x n = ----------x 100 = 22,03 -----à 22 responden N 99.599 Untuk sampel di kecamatan Bekasi Barat adalah ; Ni 38.219 ni = -------- x n = ----------x 100= 38,37 -----à 38 responden N 99.599
Karena dalam penelitian ini di klasifikasi menjadi dua kelompok yaitu kelompok aktivis partai dengan kelompok bukan aktivis partai, maka akan dilakukan pembagian secara tetap yaitu Tabel 3 Distribusi sampel. Kecamatan
Jumlah
Aktvs partai
Aktvs partai
Bukan aktvs
Bukan
Sampel
Laki-laki
perempuan
partai
aktvs
laki-
laki
partai perempuan
Bekasi Utara
40
10
10
10
10
Medan Satria
22
6
6
5
5
Bekasi Barat
38
9
9
10
10
100
25
25
25
25
Total
39
4.2.
Desain Penelitian Penelitian ini memakai desain penelitian survey dengan metode
deskriptif analisis. Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Data dan informasi dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuesioner. Setelah data diperoleh kemudian hasilnya dipaparkan secara deskriptif dan penelitian ini akan dianalisis untuk menguji hipotesis yang diajukan pada awal penelitian ini (Effendy, 2003). Metode penelitian survey adalah usaha pengamatan untuk mendapatkan keterangan-keterangan yang jelas terhadap suatu masalah tertentu dalam suatu penelitian. Penelitian dilakukan secara meluas dan berusaha mencari hasil yang segera dapat dipergunakan untuk suatu tindakan yang sifatnya deskriptif yaitu melukiskan hal-hal yang mengandung fakta -fakta, klasifikasi dan pengukuran yang akan diukur adalah fakta yang fungsinya merumuskan dan melukiskan apa yang terjadi (Ali,1997). Berkaitan dengan pengertian metode deskriptif, dijelaskan bahwa penelitian apabila ditinjau dari hadirnya variabel dan saat terjadinya, maka penelitian yang dilakukan dengan menjelaskan atau mengambarkan variabel masa lalu dan sekarang (sedang terjadi), adalah penelitian deskriptif
yang
artinya
mengambarkan
atau
membeberkan.
(Arikunto,1998). Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Nazir (1988) bahwa metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia suatu objek, suatu sel kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Berdasarkan pengertian pakar di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa metode survey deskriptif cocok untuk digunakan dalam
40
penelitian ini, karena sesuai dengan maksud dari penelitian, yaitu untuk memperoleh gambaran persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif ( Studi kasus: Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat). 4.3.
Data dan Instrumentasi
4.3.1. Data Data Primer yakni data tentang karakteristik personal dan situasional serta persepsi tentang keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen yang diperoleh secara langsung dengan menggunakan kuesioner. Selain data Primer juga akan dikumpulkan data sekunder untuk memperkuat data yang ada yang diperoleh dari pemerintahan setempat serta instansi yang terkait. 4.3.2. Instrumentasi Instrumen
yang
dipergunakan
adalah
dikelompokkan menjadi tiga bagian, pertama:
kuesioner
yang
terdiri dari pertanyaan–
pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor karakteristik personal dan situasional yang meliputi: umur, tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman, kebutuhan, motivasi, kebudayaan, sistem kepercayaan, sistem nilai yang dimiliki, kebiasaan hidup dan kelompok rujukan. Kedua, pertanyaan yang berkaitan dengan Peubah antara yaitu Terpaan Media Massa yang meliputi terpaan media massa surat kabar, terpaan media massa majalah dan terpaan media massa televisi. Ketiga, Pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen di legislatif yang meliputi: akses politik perempuan, Partisipasi politik perempuan, Keterwakilan politik perempuan.
41
4.4.
Definisi Operasional dan Pengukuran
4.4.1. Definisi Operasional a. Umur adalah : Usia responden pada saat penelitian dilakukan yaitu dengan menghitung jumlah tahun hidup responden sejak lahir sampai pada saat penelitian ini dilakukan. b. Pekerjaan adalah jenis pekerjaan yang dilakukan dalam keseha rian pada responden yang dapat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. c. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima responden setiap bulannya untuk memenuhi kebutuhan utama keluarganya. d. Tingkat Pendidikan adalah tingkat proses belajar mengajar yang tertinggi yang pernah ditempuh oleh responden hingga tamat atau tidak tamat di sekolah – sekolah formal. e. Pengalaman politik , adalah pengalaman yang dimiliki atau dilalui oleh responden terhadap politik. Atau keikutan individu dalam politik minimal satu tahun. f. Motivasi, adalah hal-hal yang mendorong responden dalam memperhatikan atau terlibat dalam politik. g. Budaya Patriarkhi adalah norma-norma yang ada dalam masyarakat yang telah menjadi suatu tradisi yang lebih memihak kepada kaum laki-laki dalam segala hal. h. Agama (kepercayaan) adalah keyakinan yang dianut oleh responden dalam menghubungkan dirinya dengan tuhan sang pencipta. i.
Kebijakan
Pemerintah
adalah
suatu
undang-undang
yang
dikeluarkan oleh pemerintah untuk pelaksanaan kehidupan yang baik secara berbangsa dan bernegara. j.
Kebiasaan hidup adalah hal-hal yang dilakukan responden setiap harinya.
42
k. Kelompok rujukan adalah suatu kelompok yang dijadikan acuan bertingkah laku bagi responden. l.
Persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legisla tif adalah pandangan yang diberikan seseorang terhadap ide/gagasan keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai yang dimilikinya. Persepsi terhadap kuota 30 persen ini meliputi pandangan responden terhadap (1) akses Politik perempuan, (2) Partisipasi politik perempuan, (3) Keterwakilan politik perempuan.
4.4.2. Pengukuran Alat ukur penelitian ini yang menggunakan daftar berbentuk angket dengan tingkat pengukuran ordinal,
kategori jawaban terdiri atas 5
tingkatan. Untuk analisis secara kuantitatif, maka alternative jawaban tersebut dapat diberi skor dari nilai 1 sampai 5 sebagai berikut: 1. Ada lima alternatif jawaban untuk variabel faktor personal dan situasional individu yaitu : 5 = sangat sering 4.= sering 3.= Jarang 2.= Jarang sekali 1.= tidak pernah 2. Ada lima alternatif jawaban untuk variabel Persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan yaitu : 5 = sangat setuju 4. = setuju 3. = cukup setuju 2. = kurang setuju 1. = tidak setuju.
43
4.5.
Validitas dan Reliabilitas Instrumentasi
4.5.1. Validitas Agar Instrumen yang digunakan benar-benar valid dan dapat mengungkapkan data yang diperlukan maka instrumen berupa pertanyaan yang ada harus mempunyai nilai validitas yang tinggi (Black dan Champion,1992)
mengingat
pentingnya
validitas
instrumen
yang
dipergunakan, maka pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner disusun berdasarkan referensi kepustakaan yang relevan dengan penelitian ini (validitas Konstruk) Berkaitan dengan pengujian validitas instrumen Arikunto (1995) menjelaskan bahwa validitas
adalah suatu ukuran yang menunjukkan
tingkat keandalan atau kesahihan suatu alat ukur. Untuk menguji validitas alat ukur dicari nilai korelasi antara bagian-bagian dari alat ukur secara keseluruhan dengan mengkorelasikan setiap butir alat ukur dengan skor total yang merupakan jumlah tiap skor butir, dengan rumus Pearson Product Moment adalah: n(? XiYi) - (? Xi) . (? Yi) r.hitung = -----------------------------------------------v { n.? Xi² - (? Xi}²}.{n. ? Y i² -(?Yi)² } Dimana: r hitung = Koefisien korelasi ? Xi = Jumlah skor item ? Yi = jumlah skor total ( seluruh item) n = jumlah responden Distribusi (tabel t) untuk a =0.05 dan derajat kebebasan ( dk = n-2) Kaidah keputusan: jika t hitung > t tabel berarti valid Jika t hitung < t tabel berarti tidak valid. Jika intrumen valid, maka dilihat kriteria penafsiran mengenai indeks korelasinya (r ) sebagai berikut: Antara 0.800 sampai dengan 1.000 : sangat tinggi Antara 0.600 sampai dengan 0.799 : tinggi Antara 0.400 sampai dengan 0.599 : cukup tinggi Antara 0.200 sampai dengan 0.399 : rendah Antara 0.000 sampai dengan 0.199 : sangat rendah ( tidak Valid)
44
t.tabel apabila diketahui signifikansi untuk a =0.05 dan dk=10-2 =8 , dengan uji satu pihak, maka diperoleh t tabel = 1,86 Dalam penelitian ini hasil r hitung intrumen yang diambil antara 0.5990.799. Karena apabila diuji dengan uji t akan mendapatkan t hitung > t tabel. Hal ini berarti intrumen valid. 4.5.2 Reliabilitas Sebuah Instrumen penelitian yang dipergunakan untuk mengukur dua gejala yang sama dan memperoleh hasil yang relatif sama atau konsisten
maka
instrumen
tersebut
disebut
handal
atau
reliabel.(Singarimbun,1995). Sebelum mengadakan penelitian maka untuk menguji keandalan instrumen dalam penelitian ini dilakukan uji reliabilitas instrumen dengan mempergunakan uji reliabilitas menggunakan metode Alpha
yaitu
menganalisis
alat
ukur
dari
satu kali
pengukuran
(Riduwan,2004) Rumus yang digunakan adalah Alpha sebagai berikut : k
dimana: r¹¹=Nilai reliabilitas
SSi
r¹¹ = [----][ 1- ----] k -1
SSi =Jumlah Varians skor tiap tiap item St = Varian Tota l K = Jumlah item.
St
Dengan langkah sebagai berikut: Langkah 1: menghitung varians skor tiap-tiap item dengan rumus: ( ? Xi)² ? Xi² - -----N Si = ------------------N -1
dimana: Si = Varians skor tiap-tiap item ? Xi²= jumlah kuadrat item Xi ( ? Xi)² = jumlah item Xi di kuatratkan N = jumlah responden.
Langkah 2: menjumlahkan varians semua item dengan rumus : ? Si² = S1² + S 2² + S3²…….Sn²
dimana: ? S i² = Jumlah varians semua item S1, S2. S 3 ….S n = Varians item ke-1,2,3…n
45
Langkah 3: menghitung varians total( item yang dijumlahkan) dengan rumus: ( ? Xt)² dimana: ? Xt² - -----St = Varians total N ? Xt²= jumlah kuadrat X total St = ------------------( ? Xt)² = jumlah X total di kuadratkan N N = jumlah responden. Langkah 4 menghitung nilai Alpha dengan rumus: k
SSt
r11 = [----][ 1- ----] k -1
St
Hasil hitung reabilitas adalah: 0.786. Tabel r product moment dengan dk = N – 1 = 10 – 1=9, signifikansi 5%, maka diperoleh r tabel=0.666 Jika r11 > r tabel berarti reliabel 0.786 > 0.666 Artinya : reliabel.
46
4.6.
Analisis Data Data yang diperoleh akan ditabulasi dalam bentuk tabel frekuensi
dan dianalisa berdasarkan analisa deskriptif ekplanatoris. Disebabkan tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif. Serta mengetahui faktor -faktor yang mempengaruhi persepsi tersebut. Maka peneliti menggunakan software SPSS Versi 12 dan memakai analisis statistik Non Parametrik test Chi- Square. Test chi-Square (?²) dapat digunakan untuk menguji adakah terdapat perbedaan yang signifikan antara banyak yang diamati ( observed) dari obyek atau jawaban yang masuk dalam masing-masing kategori dengan banyak
yang
diharapkan
(expected)
berdasarkan
hipotesis
nol.(Siegel,1994). Test chi– Square (?²) ini dipergunakan karena dianggap tepat untuk menganalisa data – data yang terkait dalam jawaban responden.
47
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian 5.1. Keadaan Geografis Lokasi penelitian terdiri dari tiga kecamatan dari 12 kecamatan yang ada di Kota Bekasi. Tiga kecamatan tersebut yaitu : kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat, dan Kecamatan Medan Satria. Berdasarkan data yang diperoleh, Kecamatan Bekasi utara terdiri dari enam kelurahan total penduduk usia 21 tahun keatas berpendidikan SLTA ke atas sebanyak 39.429 orang. Kecamatan Bekasi barat terdiri dari lima kelurahan dengan total penduduk usia 21 tahun ke atas berpendidikan SLTA ke atas sebanyak 38.219 orang.
Sedangkan Medan Satria terdiri dari empat Kelurahan
dengan total penduduk 21.599 orang. Kecamatan Bekasi Utara merupakan daerah pengembangan tempat tinggal bagi penduduk DKI Jakarta, Hampir seluruh wilayah Bekasi Utara merupakan tempat pengembangan perumahan. Begitu juga dengan Bekasi Barat dan Medan Satria. Tiga kecamatan ini menempati wilayah penduduk terpadat di kota Bekasi. Wilayah Tiga kecamatan ini berupa tanah datar, ada beberapa kali dan sungai yang membatasi antara wilayah kecamatan dan kecamatan lainnya. Wilayah Bekasi Utara, merupakan tempat pengembangan Islam terbesar di Daerah Jawa Barat. 5.2. Keadaan Penduduk Penduduk di kecamatan Bekasi Utara terdiri dari berbagai suku dari seluruh pelosok Nusantara. Ada yang berasal dari pulau Sumatera seperti Batak, Padang, Lampung, dan Bengkulu. Ada penduduk yang berasal dari belahan timur Nusantara seperti NTT, Kupang, Irian, dan Minahasa. Penduduk asli pada kecamatan ini disebut dengan Betawi pinggiran. Mereka inilah yang menyebarkan dan mengembangkan Agama Islam di
48
Daerah Bekasi Utara. Begitu juga penduduk di kecamatan Bekasi Barat dan Medan Satria penduduknya
terdiri dari berbagai suku seluruh
Indonesia. Penduduk yang dijadikan responden berdasarkan umur minimal 21 tahun dan tingkat pendidikan terendah yaitu SLTA. Alasan penunjukkan ini adalah mengikuti persyaratan menjadi Caleg (Calon Legislatif) yang tercantum dalam UU.No12 tahun 2003. Hal ini dikaitkan dengan penelitian yang ingin menganalisis “bagaimana persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan” diharapkan responden dengan kategori tersebut merupakan yang layak untuk dijadikan sampel dalam penelitian ini. Tabel 4 menunjukkan penduduk dengan tingkatan pendidikan yang dijadikan sampel penelitian. Tabel 4 Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenjang Pendidikan. No. I
II
III
Tidak tamat SD
Tamat SD SLTP
Kec.Bekasi Utara 1.Kel.Harapan Jaya 2.Kel.Kabang Tengah 3.Kel.Perwira 4.Kel.Harapan Baru 5.Kel.Teluk Pucung 6.Kel.Marga Mulya
840 685 452 286 495 409
Kec. Bekasi Barat 1.Bintara Jaya 2.Bintara 3.Kranji 4.Kota Baru 5.Jaka Sampurna Kec. Medan Satria 1.Pejuang 2.Medan Satria 3.KaliBaru 4.Harapan Mulya
Wilayah
Total Populasi
SLTA ke-atas
Total
3.792 7.078 2.111 860 2.225 1.385
12.750 8.947 2.962 1.833 9.458 3.479 39.429(Populasi)
17.382 16.710 5.525 2.979 12.178 5.273 60.047
363 637 473 308 550
1.370 2.259 5.392 1.980 2.955
4.714 8.498 5.699 7.388 11.920 38.219(Populasi)
6.447 11.394 11.564 9.676 15.425 54.506
447 561 371 79
4.689 2.620 2.418 183
11.590 3.444 3.559 3.358 21.951(populasi) 99.599
16.726 6.625 6.348 3.620 33.319 147.872
Sumber data: Dinas Kependudukan Kota Bekasi Tahun 2005
49
5.3. Karakteristik Responden Karakteristik personal dan situasional responden meliputi: (1) Umur, (2) Pekerjaan, (3) Pendapatan, (4) Pendidikan, (5) Pengalaman, (6) Motivasi, (7) Budaya Patriarkhi, (8) Agama (kepercayaan), (9) Kebijakan Pemerintah, (10) Kebiasaan dan
( 11) Kelompok Rujukan. Sedangkan
faktor intervening dalam penelitian ini adalah Terpaan Media yaitu: (1) Media Massa Cetak dan (2.Media Massa Elektronik. Sampel yang terpilih menjadi responden dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu sampel kelompok aktivis partai laki-laki dan perempuan
serta sampel kelompok non aktivis partai laki-laki dan
perempuan. (Distribusi dapat dilihat pada Tabel 3). 5.3.1 Faktor- faktor Personal responden 5.3.1.a. Umur responden Berdasarkan kriteria populasi yang ditentukan yaitu minimal berusia 21 tahun dan berpendidikan minimal SLTA maka umur terendah dan tertinggi untuk responden penelitian ini adalah 21 tahun dan 60 tahun dengan rata-rata umur 40 tahun sampai dengan 50 tahun. Berdasarkan pengkategorian yang ada, sebagian besar responden tersebut berumur antara 31–40 tahun. Tabel 5 Umur Responden Menurut Jenis Kelamin (dalam %) Umur responden 21 th – 30 th 31 th – 40 th 41 th – 50 th 50 th – 60 th
Pria 13 19 11 7
Wanita 6 26 16 2
Total 19 45 27 9
Tabel 5 menunjukkan bahwa 19 persen responden berumur antara 21 th-30 th, 45 persen responden berumur antara 31–40 tahun. 27 persen responden berumur antara 41 – 50 tahun. 9 persen responden berumur antara 51 – 60 tahun. Dapat dikatakan bahwa responden berumur antara 31 th- 50 th mencapai 72 persen, selebihnya berada pada umur 21-30 tahun dan 50 – 60 tahun.
50
5.3.1. b. Pekerjaan Jenis pekerjaan yang ditanyakan kepada responden dalam penelitian ini adalah pekerjaan utama bagi responden. Pekerjaan utama dalam dalam kuisioner meliputi: PNS, TNI/Polri, Pensiunan, Pegawai BUMN, Pegawai swasta, Pelajar, Buruh, Ibu Rumah-tangga, Belum Bekerja, Profesional (guru/Dosen,
Pengacara,
Dokter,
Wartawan,
Peneliti,
Arsitek,
Rohaniawan), Mahasiswa dan Petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pekerjaan responden sebagai berikut: Tabel 6 Jenis Pekerjaan Responden Menurut Jenis Kelamin (dalam %) Jenis Pekerjaan PNS PegawaiSwasta Mahasiswa Ibu Rumah tangga Profesional
Laki-laki 3 35 1 0 11
Perempuan 5 24 2 13 6
Total 8 59 3 13 17
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa jenis pekerjaan responden lebih banyak sebagai pegawai swasta yaitu
59 persen dari seluruh
responden. Terlihat pada Tabel 6 responden Laki-laki lebih banyak bekerja sebagai pegawai swasta dibanding responden Perempuan. Pekerjaan jenis propesional banyak digeluti Laki-laki dibanding Perempuan. Delepan persen responden mempunyai jenis pekerjaan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), tiga persen responden berstatus mahasiswa, 13 persen responden wanita berstatus ibu rumah tangga, dan 17 persen responden mempunyai pekerjaan yang bersifat profesional seperti guru, dosen, wartawan, dan pengacara. Dapat dikatakan bahwa responden dalam penelitian ini mempunyai pekerjaan yang beragam.
51
5.3.1.c. Pendapatan: Pendapatan responden yang dimaksudkan dalam penelitian ini berada antara 500 ribu sampai dengan di atas 5 juta. Seperti terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Pendapatan Responden Menurut Jenis Kelamin (dalam %) Pendapatan Responden Laki-laki Perempuan total 500 ribu – 1,5 jt 1,6 jt - 2,5 jt 2,6 jt - 3,5 jt 3,6 jt - 5 jt Lebih dari 5 jt
7 11 15 14 3
8 22 6 11 3
15 33 21 25 6
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa tingkat perekonomian responden termasuk dalam tingkat ekonomi cukup dan berkemampuan yaitu antara 1,6 juta-5 juta/bulan. Hal ini berhubungan erat dengan jenis pekerjaan yang dimiliki oleh responden. Responden dengan penghasilan 500 ribu – 1,5 juta sebanyak 15 persen. Responden dengan penghasilan 1,6 juta- 2,5 juta 33 persen. responden mempunyai penghasilan 2,6 juta – diatas 5 juta 52 persen. Artinya 78 persen responden mempunyai penghasilan yang memadai antara 1,6 juta – diatas 5 juta rupiah setiap bulan. Dapat dikatakan bahwa responden dalam penelitian ini memiliki tingkat ekonomi yang mampu.
5.3.1.d. Pendidikan Pendidikan responden dalam penelitian ini digolongkan kedalam 4 tingkatan pendidikan yang ditentukan terendah SLTA dan tertinggi Strata dua (S-2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pendidikan responden yang terendah adalah Diploma dan tertinggi adalah Strata dua ( S-2).
52
Tabel 8 Pendidikan Responden Menurut Umur (dalam %) Umur responden Diploma S-1 S-2 21 th 31 th 41 th 51 th
– – – –
30 th 40 th 50 th 60 th
Total
9 27 23 9
9 13 4 0
1 5 0 0
68
26
6
Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian responden (68%) mempunyai pendidikan Diploma, berpendidikan strata satu (S-1) sebanyak 26 persen dan enam persen responden berpendidikan strata dua (S-2). Dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan responden dominan berpendidikan diploma. Pendidikan S-1 lebih dominan pada responden berumur 31-40 tahun. Pendidikan S-2 dominan pada responden berumur 31-40 tahun. Responden berumur 51-60 tahun berpendidikan diploma, tidak satupun yang berpendidikan S-1 dan S-2.
5.3.1.e. Pengalaman Politik Pengalaman politik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah aktivitas responden dengan
keterlibatannya dalam kegiatan politik. Ini
diukur dengan seberapa sering aktivitas responden yang menyangkut politik. Seperti keterlibatan dalam kampanye politik, terlibat secara struktur politik, ataupun sekedar meramaikan politik. Pengukuran pengalaman ini dilakukan sebagai berikut: apabila keterlibatan responden hanya sebatas ikut-ikutan tanpa terlibat dalam struktur ataupun tidak ikut dalam kampanye maka dapat dikatakan bahwa pengalaman politiknya masih berada pada kategori rendah. Dan apabila terlibat struktur tetapi belum terlibat dalam aktivitas kampanye atau sebagai penyampai kampanye maka dapat dikatakan mempunyai pengalaman politik kategori sedang. Apabila semua aktivitas dalam politik ikut seperti sebagai penyampai kampanye,
53
ikut dalam struktur dan pengatur dalam kampanye maka dapat dikatakan bahwa pengalaman politiknya berada dalam kategori tinggi. Dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Pengalaman Politik Responden (dalam %) Kel.Responden
Rendah
Sedang
Tinggi
Aktivis Partai: Laki-laki Perempuan Non Aktivis Partai: Laki-laki Perempuan
1 6
8 11
16 8
22 24
3 1
0 0
T o t al
53
23
24
Tabel 9 menunjukkan bahwa pengalaman politik responden (53%) berada pada kategori rendah. Aktivis partai laki-laki mempunyai pengalaman politik kategori tinggi, Aktivis partai perempuan mempunyai pengalaman politik kategorin sedang. Non aktivis partai mempunyai pengalaman politik dalam kategori rendah. Hal ini dapat dikaitkan dengan keterlibatan mereka dalam kegiatan politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Laki-laki lebih banyak mempunyai kesempatan untuk melakukan kegiatan
politik, sedangkan perempuan mempunyai kesempatan yang
terbatas sehingga aktivitas mereka tidak terlalu terpokus kepada politik. 5.3.1.f. Motivasi Politik Motivasi politik yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adanya dorongan yang membuat seseorang melakukan suatu tindakan atau kegiatan politik, baik politik yang dilakukan secara langsung maupun politik yang dilakukan tidak langsung. Seperti terlibat secara langsung dalam kancah politik karena ingin menjadi anggota Dewan, atau mendorong keluarga lainnya untuk terlibat dalam kancah politik.
54
Tabel 10 Motivasi Politik Responden (dalam %) Motivasi politik Kurang baik Cukup Baik Baik
Laki-laki 8 31 11
Perempuan 6 24 20
Total 14 55 31
Pada tabel 10 menunjukkan bahwa motivasi politik responden terlihat cukup baik yaitu 55 persen. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa motivasi politik responden baik yaitu hampir 86 persen. Apabila dibanding responden laki-laki dan perempuan terlihat bahwa perempuan lebih mempunyai motivasi politik kategori baik dari pada laki-laki. Perbandingannya antara 67 persen (20 orang) perempuan dengan 33 persen laki-laki (11 orang) dari responden kategori baik. Artinya dapat dikatakan bahwa perempuan terlibat dalam kancah politik secara pribadi lebih mengutamakan kepentingan umum dibanding kepentingan sendiri begitu juga kalau memberikan motivasi politik kepada orang lain lebih membuka diri bagi kemajuan orang lain. Sedangkan laki-laki lebih berorientasi pada dirinya sendiri, dalam memotivasi orang lain juga tidak terbuka, banyak hal yang diperhitungkan untuk memberikan motivasi.
3.2. Faktor – Faktor Situasional Responden 5.3.2.a Budaya Patriarkhi Budaya Patriarkhi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adanya sikap yang lebih memuja kaum Bapak (laki-laki) dalam segi kehidupan dunia. Budaya patriarkhi muncul karena adanya bentuk struktur yang mengutamakan laki-laki lebih daripada perempuan. Dalam penelitian ini pengukuran dianggap budaya patriarkhi tidak berpengaruh apabila kesempatan perempuan dalam politik tidak melanggar budaya dan dianggap suatu hal wajar bagi responden, dikatakan berpengaruh apabila dianggap bahwa perempuan harus melihat kepada kebiasaan yang lebih
55
mendahulukan laki-laki dari pada perempuan. Dinilai sangat berpengaruh adalah apabila kesempatan bagi perempuan tidak ada dalam politik, karena lebih mengutamakan laki-laki dalam politik. Dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Pengaruh Budaya Patriarkhi Terhadap Responden (dalam %) Budaya Patriarkhi Tidak Berpengaruh Berpengaruh Sangat berpengaruh
Laki-laki 6 41 3
Perempuan 20 26 4
Total 26 67 7
Tabel 11 menunjukkan bahwa budaya patriarkhi berpengaruh terhadap laki-laki dibanding perempuan. Tabel 11 menunjukkan bahwa 6774 persen responden berpengaruh dan bahkan sangat berpengaruh. Hal ini terkait dengan adanya beberapa pelaksanaan budaya yang dilakukan oleh masyarakat. Secara teori Fungsionalisme Struktur budaya (Susanto, 1976) ada tiga jenis masyarakat budaya yaitu: (1). masyarakat yang berpegang pada mitos, (2.) masyarakat yang berpegang kepada apa yang dapat dibuktikan,(3) masyarakat yang berpegang kepada apa yang relevan dan bermanfaat. Yang terkait dengan budaya patriarkhi adalah masyarakat yang percaya kepada mitos dan masyarakat yang berpegang kepada apa yang relevan dan bermanfaat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak anggapan yang berlaku di masyarakat bahwa mitos terkadang membangun suatu tradisi bagi suatu kelompok, sedangkan hal yang relevan yang dilakukan dikaitkan dengan fungsi dan peranan. Sehingga perempuan secara fungsi dan peranannya selama ini dinilai bersifat domestik yaitu berkegiatan didalam rumah. Akibatnya kesempatan bagi perempuan masih belum maksimal dilakukan, masih batas separuh.
56
5.3.2. b. Agama (Kepercayaan) Agama merupakan suatu keyakinan ataupun kepercayaan terhadap sang pencipta makhluk diseluruh dunia. Agama timbul dengan berbagai cara memahami dan meyakinkan atas keesaan Tuhan Sang Maha P encipta. Tabel 12 Agama (Kepercayaan) Responden (dalam %) Ket responden Aktivis Partai : -Laki- laki -Perempuan Non.Aktivis Partai: -laki-laki -Perempuan Total
Islam
Kristen
Hindu/Budha
17 19
7 5
1 1
21 22
4 3
0 0
79
19
2
Pada tabel 12 menunjukkan bahwa 79 persen responden beragama Islam meliputi semua kelompok responden dari aktivis partai dan non aktivis partai , 19% responden beragama Kristen meliputi semua jenis kelompok responden aktivis partai dan non aktivis partai, sedangkan dua persen responden beragama Hindu/Budha hanya meliputi responden dari kelompok aktivis partai saja. Artinya lebih dari separuh responden beragama Islam. Hal ini dimungkinkan karena Daerah penelitian merupakan pengembangan Islam terbesar di Asia Tenggara. Kota Bekasi terkenal dalam sejarah pengembangan Islam diabad 20.
5.3.2.c. Kebijakan Pemerintah Pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan berangkat dari berbagai fenomena sosial yang nyata. Dan fenomena tersebut menyangkut harkat hidup orang banyak. P ada kebijakan tentang kuota 30 persen adanya kebijakan pemerintah yang tercantum dalam UU No 12 tahun 2003 tentang pemilihan wakil rakyat untuk anggota legislatif tingkat DPR RI, DPRD, DPD dengan memuat pasal 65 ayat 1 tentang adanya keterwakilan perempuan dilegislatif sebanyak 30 persen. Hal ini muncul adanya gerakan
57
kesetaraan gender dalam bidang politik terutama dalam tata pemerintahan abad ke-21. Tabel 13 Pengertian Responden Tentang Kebijakan Pemerintah(dalam %) Kelompok responden
Tidak Mengerti
Mengerti
Sangat Mengerti
2 0
18 16
5 9
2 2
18 19
5 4
6
71
23
Aktivis partai: - laki-laki - perempuan Non aktivis partai: - laki-laki - perempuan Total
Pada tabel 13 menunjukkan bahwa aktivis partai mengerti dengan kebijakan pemerintah tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Artinya aktivis partai mengerti dan bahkan sangat mengerti dengan kuota 30 persen tersebut. Begitu juga dengan Non aktivis partai, mereka mengerti dan bahkan sangat mengerti dengan kebijakan pemerintah tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Lagislatif. Artinya dapat dikatakan bahwa aktivis partai dan non aktivis partai baik laki-laki maupun perempuan sama -sama memahami tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif.
5.3.2.d. Kebiasaan responden Kebiasaan
adalah
aspe k
perilaku
manusia
yang
menetap
berlangsung secara otomatis tidak direncanakan. Kebiasaan merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulangi seseorang berkali-kali. Setiap orang mempunyai kebiasaan yang berlainan dalam menanggapi stimulus tertentu. (Rakhmat, 2003).
58
Dalam penelitian ini, kebiasaan responden yang diteliti dikaitkan dengan cara mendapatkan informasi dan kebiasaan sehari-hari dalam setiap kegiatannya. Seperti melakukan pekerjaan rumahtangga, menghabiskan sarapan pagi. Mencari informasi dan lain-lain yang mungkin dilakukan. Kebiasaan laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam Tabel 14. Tabel 14 Kebiasaan Responden (dalam %) Kelompok Responden
Kurang baik
Baik
Sangat baik
2 0
9 10
14 15
0 0
17 14
11 8
2
50
48
Aktivis partai: -laki-laki -Perempuan Non aktivis partai: -laki-laki -perempuan Total
Pada tabel 14 menunjukkan bahwa kebiasaan responden tampak antara baik dan sangat baik. Kelompok aktivis partai berada dalam kategori sangat baik. Dapat dikatakan bahwa aktivis partai mempunyai kebiasaan baik dan bahkan sangat baik. Kelompok non aktivis partai mempunyai kebiasaan baik dan cenderung sangat baik. Dari seluruh responden dapat dikatakan bahwa mempunyai kebiasaan baik dan cenderung sangat baik. Artinya reponden penelitian ini mempunyai kebiasaan yang baik dalam kehidupannya.
5.3.2.e. Kelompok Rujukan Kelompok rujukan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah yang didefinisikan sebagai kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standar) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Dianggap kelompok tersebut tidak berpengaruh apabila kelompok rujukan tidak
59
dijadikan
sebagai
alat
ukur
untuk
membentuk
sikap.
Dikatakan
berpengaruh adalah apabila kelompok rujukan tersebut mempunyai pengaruh dalam membentuk sikap. Begitu juga apabila setiap kegiatan selalu mengaju kepada kelompok rujukan maka dianggap sangat mempengaruhi. Tabel 15 menunjukan pengaruh kelompok rujukan terhadap responden. Tabel 15 Pengaruh Kelompok Rujukan (dalam %) Kelompok responden Aktivis partai: -laki-laki -perempuan Nonaktivis partai: -laki-laki -perempuan Total
Kurang berpengaruh
berpengaruh
Sangat berpengaruh
3 0
21 13
1 12
2 3
19 21
4 1
8
74
18
Tabel 15 menunjukkan bahwa 74- 92 persen responden secara keseluruhan merasa terpengaruh dengan kelompok rujukan. Kelompok aktivis partai menyatakan bahwa kelompok rujukan berpengaruh terhadap aktivitas mereka, begit u juga dengan kelompok non aktivis partai merasa kelompok rujukan mempengaruhi kegiatan mereka. Penelitian ini menemukan bahwa adanya keinginan responden untuk hidup berkelompok diwujudkan dengan hidup bergabung dalam berbagai kelompok, misalnya kelompok kesukuan. Dalam kelompok tersebut responden melakukan interaksi. Interaksi merupakan hubungan sosial yang dinamis yang berlangsung melalui komunikasi secara berulangulang antara orang perorangan maupun antara orang perorangan dengan kelompok. Kelompok kesukuan mempunyai peranan yang sangat banyak terhadap angota kesukuannya. Kelompok ini membentuk suatu ikatan
60
dalam
menghadapi
berbagai
persoalan
dalam
kehidupan
mereka.
Paguyuban merupakan bentuk yang sering dibuat oleh kelompok-kelompok kesukuan. Payuguban yang dibentuk banyak memberikan suatu motivasi bagi anggota kelompoknya. Daerah Bekasi yang merupakan Kota pengembangan tempat tinggal dari berbagai suku bangsa, dimana sebelumnya mereka merupakan urban dan pindahan dari kota -kota besar. Kota besar terdekat dari Bekasi seperti DKI Jaya. Banyak penduduk yang tinggal di Kota Bekasi bekerja di Kota Jakarta. Sehingga Kota Bekasi menjadi pengembangan perumahan dari penduduk Kota Jakarta.
5.3.3. Terpaan Media Massa Terpaan Media massa merupakan keterdedahan responden oleh media massa yang bersifat cetak maupun elektronik. Media massa cetak seperti surat kabar, majalah, bulettin dan lain-lain. Dalam penelitian ini media cetak yang dimaksud adalah surat kabar dan majalah. Sedangkan media elektronik adalah televisi. Terpaan media merupakan pengaruh yang didapat oleh responden dari penggunaan media terhadap kegiatan seharihari.
Terpaan media secara surat kabar Terpaan media secara surat kabar merupakan keterdedahan terhadap informasi yang disajikan surat kabar. Dapat juga dikatakan seberapa banyak responden mengunakan media surat kabar dalam mendapatkan informasi. Tabel 16 Terpaan Surat Kabar Berdasarkan Pendidikan (dalam %) Terpaan SK Rendah Sedang Tinggi
Diploma 20 28 20
S-1 2 11 13
S-2 0 1 5
Total 22 40 38
61
Tabel 16 menunjukkan bahwa Terpaan Surat Kabar terhadap responden berdasarkan pendidikan, terlihat bahwa 22 persen responden mengalami terpaan surat kabar secara rendah meliputi semua jenjang pendidikan. 40 persen responden dari berbagai jenjang pendidikan mengalami terpaan media surat kabar secara sedang, pendidikan diploma lebih dominan mendapat terpaan surat kabar dibanding pendidikan S-1 dan S-2. 38 persen responden dari semua jenjang pendidikan
mengalami
terpaan surat kabar kategori tinggi, terutama lebih dominan responden pada jenjang pendidikan S-1. dapat juga dikatakan bahwa tabel 16 menunjukkan 40 persen – 78 persen responden dari jenjang pendidikan diploma, S-1 dan S-2 mengalami terpaan media surat kabar secara sedang dan tinggi.
Terpaan Media Majalah: Terpaan media majalah merupakan suatu keterdedahan terhadap informasi yang disajikan majalah. Dapat juga dikatakan se berapa sering majalah digunakan responden dalam mendapatkan informasi untuk menambah pe ngetahuan atau wawasan. Tabel 17 Terpaan Majalah Berdasarkan Pendidikan (dalam %) Terpaan Majalah Rendah Sedang Tinggi
Diploma 48 15 5
S-1
S-2
Total
15 8 3
2 3 1
65 26 9
Tabel 17 menunjukkan bahwa res ponden dengan pendidikan diploma mengalami terpaan majalah cenderung rendah. Responden dengan pendidikan strata satu (S-1) cenderung mengalami terpaan sedang terhadap majalah. Responden dengan pendidikan strata dua (S-2) mengalami terpaan majalah dalam kategori sedang. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa 65 persen responden dari berbagai jenjang pendidikan mengalami terpaan majalah secara rendah.
62
Terpaan Media Televisi: Terpaan media televisi merupakan terpaan media secara elektronik yang disebarkan secara audio dan visual. Terpaan dapat terjadi secara pendengaran maupun secara gambar ataupun secara ditonton. Terpaan media televisi dalam penelitian ini adalah bagaimana responden mendapatkan informasi atau hiburan melalui televisi. Media televisi yang sering digunakan. Sebagaimana kita tahu di Indonesia banyak saluran televisi yang telah hadir sebagai televisi tayangan nasional. Semua channel (saluran) mudah diakses oleh penonton. Tabel 18 Terpaan Televisi Berdasarkan Pendidikan (dalam %) Terpaan Televisi Rendah Sedang Tinggi
Diploma
S-1
S-2
Total
27 24 17
9 6 11
0 3 3
36 33 31
Tabel 18 menunjukkan bahwa terpaan televisi menurut jenjang pendidikan responden. Responden dengan pendidikan diploma cenderung mengalami terpaan televisi dalam kategori rendah. Responden dengan pendidikan strata satu (S-1) cenderung mengalami terpaan televisi secara tinggi. Responden dengan pendidikan strata dua (S-2) cenderung mengalami terpaan sedang dan tinggi. Tapi dilihat dari jenjang pendidikan tampak bahwa responden dengan pendidikan diploma lebih dominan mendapat terpaan televisi secara rendah, sedang dan tinggi dibanding dengan responden pendidikan S-1 dan S-2.
63
Tabel 19 adalah distribusi terpaan media surat kabar di sembilan media surat kabar nasional yang di ujikan kepada para responden Tabel 19 Distribusi Terpaan Media Surat Kabar di 9 Media dalam (%) Nama Koran
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
16 30 14 22 10 6 8 8 0 2 6 12
Kadangkadang 48 22 28 22 40 26 30 20 12 14 38 36
Har ian Terbit
Laki-laki Perempuan
2 2
22 22
76 76
Koran Tempo
Laki-laki Perempuan
2 6
12 14
86 80
Pembaharuan Laki-laki Perempuan
2 0
26 22
72 78
Kompas Republika Media Indonesia Seputar Indonesia Merdeka Pos Kota
Gender
Sering
Tidak pernah 36 48 58 56 50 68 62 72 88 84 56 52
Tabel 19 menunjukkan bahwa 9 (sembilan) media surat kabar yang dibaca reponden. Terlihat bahwa
Responden laki-laki lebih cenderung
membaca surat kabar dalam kategori kadang-kadang. Artinya responden pria tidak membuat kerutinan/kekhususan pada suatu media, lebih cenderung membaca media yang disukai. Perempuan jika dibanding lakilaki termasuk kategori sering membaca. Media surat kabar menjadi kategori sering dibaca adalah media kompas, sedangkan media yang menjadi kategori tidak pernah dibaca responden adalah media surat kabar Merdeka. Tabel 19 memperlihatkan bahwa kompas termasuk kategori
64
media yang kadang-kadang dibaca oleh laki-laki, dan poskota termasuk media yang kadang-kadang dibaca oleh perempuan. Tabel 20 menunjukkan distribusi terpaan media televisi pada 14 saluran televisi yang ada di televisi nasional. Tabel 20 Distribusi Terpaan Media T elevisi di 14 Media (dalam %) Nama Televisi TVRI
Laki-laki Perempuan
10 8
Kadangkadang 28 22
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
66 66 66 64
22 18 20 12
12 16 14 24
AnTv
Laki-laki Perempuan
52 36
28 34
20 30
Indosiar
Laki-laki Perempuan
62 50
20 20
18 30
TransTV
Laki-laki Perempuan
52 40
24 26
24 34
Lativi
Laki-laki Perempuan
42 34
32 28
22 38
Metro TV
Laki-laki Perempuan
44 38
26 28
30 34
Jak-TV
Laki-laki Perempuan
2 0
6 8
92 92
O-Chan-T V
Laki-laki Perempuan
18 4
20 12
62 84
T V-7
Laki-laki Perempuan
40 24
30 22
30 54
Global-TV
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
14 16 44 42
32 20 26 18
54 64 30 40
RCTI SCTV
TPI
Gender
Sering
Tidak pernah 62 70
65
Tabel 20 menunjukkan bahwa media televisi yang termasuk dalam kategori sering ditonton adalah RCTI dan SCTV. Media televisi dalam kategori kadang-kadang ditonton adalah AnTv dan Lativi. Media televisi dalam kategori tidak
pernah ditonton adalah Jak-TV dan St-Tv Lokal.
Artinya RCTI dan SCTV termasuk saluran televisi yang sering digunakan responden untuk mendapatkan informasi dan menonton hiburan. 5.4. Persepsi Terhadap Kuota 30 persen Keterwakilan Perempuan di Lagislatif Persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif merupakan pandangan yang diberikan responden tentang UU.No12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1 yang berbunyi” Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota
untuk
setiap
Daerah
pemilihan
dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen meliputi
akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan, dan
keterwakilan politik perempuan. Persepsi Terhadap kuota 30 peresen keterwakilan perempuan tersebut dapat dilihat lebih rinci pada masing – masing aspek sebagai berikut: 5.4.1
Persepsi tentang akses politik perempuan Berdasarkan konsep yang tercantum dalam UU.No.12 tahun 2003
yang memberikan peluang kepada perempuan untuk ikut dalam calon legislatif yang dituangkan dalam pasal 65 ayat 1, menekankan keterwakilan perempuan dilegislatif sebesar 30 persen. Keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen merupakan suatu bentuk akses yang dibuka oleh pemerintah bagi perempuan Indonesia. Akses politik yang membuka jalan bagi perempuan berperan aktif dalam pengambilan keputusan, serta ikut berperan dalam mencari solusi untuk kepentingan kaum perempuan, anak-
66
anak dan bangsa. Berikut pernyataan responden tentang akses politik yang dihubungkan dengan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Tabel 21 Persepsi Tentang Akses Politik Perempuan (dalam %) No Pernyataan N SS S CS KS TS 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
Kuota 30% menjadi saluran politik bagi perempuan Saluran politik perempuan dipelajari melalui sosialisasi Perempuan Indonesia butuh kuota 30% u/keterwakilan politik Kuota 30% sudah sesuai dengan kebutuhan politik perempuan Partai politik memberi peluang sama antara laki2 & perempuan Peran partai dalam menyalurkan politik perempuan sesuai prosedur Pelatihan yang diadakan partai politik mewakili kepentingan politik perempuan
100
19
66
5
6
4
100
15
72
4
8
1
100
13
67
10
8
2
100
2
47
25
17
9
100
10
37
23
24
6
100
2
40
28
26
4
100
3
28
27
33
9
Keterangan: N=total responden, SS=Sangat setuju,S=setuju, Cukup setuju, KS=kurang setuju, TD=tidak setuju
Tabel 21 menunjukkan pernyataan responden tentang persepsi mereka terhadap akses politik perempuan. Tampak pada tabel bahwa 19 persen responden
sangat setuju dengan kuota sebagai saluran politik
perempuan. 66 persen responden setuju bahwa kuota sebagai saluran politik perempuan. 15 persen menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan responden 85 persen responden setuju dan bahkan sangat setuju bahwa kuota merupakan saluran politik perempuan. Pernyataan bahwa saluran politik perempuan dipelajari melalui sosialisasi, 15 persen responden menjawab sangat setuju, 72 persen responden menjawab setuju, 13 persen menjawab cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Dapat dikatakan bahwa 87 persen responden
67
menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa saluran politik untuk perempuan dipelajari melalui sosialisasi. Pernyataan tentang perempuan Indonesia membutuhkan kuota 30 persen untuk keterwakilan politik, 80 persen responden menjawab setuju dan bahkan sangat setuju, 20 persen lainnya menjawab cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Dapat dikatakan bahwa responden menyetujui bahwa perempuan membutuhkan kuota 30 persen keterwakilan politik. Karena selama ini belum ada kepastian jumlah bagi perempuan di legislatif. Pernyataan tentang kuota 30 persen sudah sesuai dengan kebutuhan politik perempuan Indonesia, 49 persen responden menjawab setuju dan sangat setuju, 51 persen menjawab cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa masih ada keinginan dari responden untuk meningkatkan kuota 30 persen tersebut ke tingkat kesetaraan yaitu 50 persen di legislatif. Adanya ragu-ragu pernyataan dari responden yang dinyatakan dengan pernyataan kurang setuju karena mereka melihat bahwa hal itu belum bisa di harapkan karena kepedulian perempuan Indonesia terhadap politik belum banyak. Pernyataan tentang partai politik memberi peluang sama antara lakilaki dan perempuan, 47 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 53 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju, hal ini dapat dikatakan karena sebagian responden melihat bahwa partai politik memilih antara perempuan dan laki-laki sebagai caleg, akan mendahulukan laki- laki. Hal ini sangat sering terjadi di Indonesia. Sehingga perempuan belum banyak yang terlibat secara langsung dalam politik. Pertimbangan selalu pada kesempatan yang dimiliki perempuan belum banyak, dan partai juga belum memberikan peluang yang sama dalam pencalonan. Partai lebih sering berpihak kepada laki-laki. Pernyataan tentang peran partai dalam menyalurkan politik perempuan sudah sesuai prosedur, 42 persen responden menyatakan setuju
68
dan sangat setuju, 58 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju, hal ini dapat dikatakan bahwa partai saat ini belum melakukan penyaluran politik yang sesuai prosedur Saat ini untuk dapat menjadi seorang calon legislatif, harus dapat membuat pernyataan kepada partai berapa kontribusi yang dapat diberikan oleh calon tersebut, agar dapat dijadikan calon legislatif. Sehingga penyaluran politik perempuan belum dapat disalurkan sesuai prosedur yang diinginkan undang-undang no.12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1. Pernyataan tentang pelatihan yang diadakan partai politik mewakili kepentingan politik perempuan. 31 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 69 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa responden menilai bahwa partai belum melakukan pengkaderan terhadap perempuan, partai masih berjalan sebagai garis komando dari dewan pemimpin pusat partai. Sehingga keputusan masih berdasarkan kepentingan misi partai. Sehingga perhatian terhadap peran politik perempuan belum terpikirkan oleh pemimpin partai. Yang terjadi adalah keterlibatan perempuan atas dasar perempuan tersebut mau dan mampu. Untuk saat ini perempuan Indonesia belum banyak yang mampu sehingga partai kesulitan mencari calon perempuan, dan peran partai politik dalam pengkaderan belum tampak. 5.4.2
Persepsi tentang Partisipasi Politik perempuan Sebagaimana yang dicanangkan oleh UNDP dalam Partisipatori tata
pemerintahan abad 21 yang menganjurkan setiap negara memberikan kuota keterwakilan kepada perempuan sebesar 30-33 persen pada setiap negara. Hal ini yang membuat partisipasi perempuan meningkat terhadap politik. Wujud di Indonesia dengan melahirkan UU.No.12 tahun 2003 tentang pemilihan Umum dalam calon legislatif. Ada keterwakilan 30 persen yang dicantumkan dalam UU tersebut. Dalam UU.No12 tersebut pasal 65 ayat 2 menyatakan bahwa: setiap partai peserta pemilu dapat
69
mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120 persen (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Dalam pasal 65 ayat 2 ini terkandung makna bahwa partai boleh melakukan spekulasi angka untuk meloloskan calon legislatif yang diusulkan partai untuk menempati kursi di DPR.RI atau DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten /Kota. Pasal 65 ayat 2 ini bentuk peluang yang diberikan kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Hal ini tergantung kepada mekanisme yang dibuat oleh partai politik. Dalam hal ini partai politik mempunyai wewenang khusus dalam menyalurkan aspirasi politik Tabel 22 Persepsi Tentang Partisipasi Politik Perempuan (dalam %) No. Pernyataan N SS S CS KS TS 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Perempuan dalam politik hanya sebagai pelengkap struktur
100
7
23
13
35
22
100
35
49
8
6
2
100
16
60
12
9
3
Pemimpin perempuan di lembaga Indonesia msh sedikit
100
16
58
11
8
7
Kuota 30% dapat wujudkan partisipasi perempuan dalam politik
100
5
62
15
9
9
100
15
52
12
13
8
100
13
52
14
18
3
100
33
54
8
0
5
Perempuan berpolitik bukan kaderisasi
100
16
52
18
9
5
Perempuan berpolitik karena desakan diri sendiri
100
12
31
23
25
9
Pengambilan tentang sebaiknya perempaun
keputusan perempuan melibatkan
Partisipasi perempuan dalam politik masih sedikit
Peran perempuan muncul setelah ada kuota 30% Perempuan parlemen belum berperan aktif dalam pengambilan keputusan Perempuan parlemen harus membela kepentingan dan hak perempuan
70
11.
12.
13.
Perempuan masih sering dicekal dalam kampanye politik Perempuan punya potensi besar dalam politik
Kuota 30% membantu partisipasi perempuan
dapat jumlah politik
100
6
30
27
23
14
100
14
56
19
5
6
9
69
14
2
6
100
Keterangan: N=total responden, SS=Sangat setuju,S=setuju, cukup setuju, KS=kurang setuju, TD=tidak setuju
Tabel 22 menunjukkan pernyataan responden tentang partisipasi politik perempuan. Pada pernyataan tentang perempuan dalam partai hanya sebagai pelengkap, 30 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 70 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa lebih dari sebagian responden menginginkan bahwa perempuan tidak sebagai pelengkap struktur. Karena kemampuan perempuan sudah setara dengan laki-laki. Sehingga ada harapan bahwa perempuan menjadi orang utama dalam suatu organisasi atau lembaga, bukan sebagai pelengkap. Selama ini kita melihat lebih banyak kedudukan perempuan dalam struktur sebagai Bendahara, atau sebagai sekretaris, terkadang sebagai utusan suatu partai, dan selalu diembel-embelkan dengan konotasi yang negatif, lebih cenderung sebagai pelengkap dalam suatu pertemuan. Keinginan yang muncul adalah perempuan jangan dijadikan sebagai pelengkap saja, tetapi difungsikan sebagai struktur yang sesuai dengan proporsinya. Pernyataan tentang pengambilan keputusan tentang perempuan sebaiknya melibatkan perempuan, 84 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 16 persen menyatakan cukup setuju, kurang satuju, tidak setuju. Hal ini dapat diartikan bahwa keinginan untuk terlibat secara nyata dalam politik dan pengambilan keputusan diharapkan oleh sebagian masyarakat. Karena masalah yang menyangkut perempuan,anak dan keluarga, lebih baik melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan.
71
Untuk menghindarkan adanya keputusan yang tidak tepat. Perempuan dinilai mampu untuk menyelami masalah tentang kaumnya. Pernyataan tentang partisipasi perempuan dalam politik masih sedikit, 76 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 24 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat diartikan bahwa kenyataannya bahwa perempuan terlibat secara politik masih sangat sedikit. Dapat kita contohkan DPRD Kota Bekasi, keterlibatan perempuan dalam parlemen berjumlah 5 orang dari 45 orang anggota Dewan. Dapat diartikan bahwa baru 11 persen keterlibatan perempuan dalam politik. Jika dikaitkan dengan kuota 30 persen masih belum terpenuhi. Masih banyak peluang perempuan untuk aktif dalam politik. Pernyataan tentang pemimpin perempuan dilembaga Indonesia masih sedikit. 74 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 26 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa pemimpin perempuan di Indonesia saat ini masih dapat di hitung dengan jari tangan. Belum banyak kiprah perempuan Indonesia menuju jenjang kepemimpinan di Lembaga Nasional Indonesia. Saat ini hanya perempuan-perempuan tertentu yang dapat menuju kursi kepemimpinan tersebut. Perempuan Indonesia yang telah mendapat akses dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Masih banyak kesempatan yang dapat diraih perempuan untuk menuju tampuk pimpinan di negeri ini. Pernyataan tentang kuota 30 persen dapat mewujudkan partisipasi perempuan dalam politik. 67 persen responden menjawab setuju dan sangat setuju, 33 persen responden menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partisipasi politik perempuan dapat diwujudkan dengan melaksanakan kuota yang telah ditetapkan sebanyak 30 persen terhadap perempuan. Kuota yang diharapkan tersebut dilaksanakan dengan mekanisme yang betul-betul dirancang oleh lembaga yang terkait,
72
dalam hal ini seperti partai politik, KPU Pusat, KPU Daerah, agar kuota betul-betul sebagai bentuk perwujudan partisipasi politik perempuan. Pernyataan tentang peran perempuan muncul setelah adanya kuota 30 persen, 67 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 33 persen menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan Indonesia sejak dahulu telah menginginkan keterlibatan dalam politik. Telah banyak pula perempuan Indonesia yang berkecimpung dalam politik. Hanya saja keterlibatan perempuan dalam politik tidak berdasarkan keterwakilan yang pasti, tetapi berdasarkan adanya kesempatan dari partai untuk mencalonkan. Sering terjadi perwakilan yang tetap. Sehingga banyak dari partai yang ada di Indonesia tidak mempunyai calon perempuan untuk di legislatif. Pernyataan tentang Perempuan parlemen belum berperan aktif dalam pengambilan keputusan. 65 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 35 persen menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan yang ada diparlemen secara
menyeluruh
belum
terasa
perannya
terhadap
pengambilan
keputusan. Belum banyak gebrakan perempuan dalam parlemen untuk memperjuangkan suatu keputusan untuk perempuan di Indonesia. Masih sedikit yang dapat diangkat oleh perempuan parlemen masalah perempuan. dapat dicontohkan tentang masalah TKW ( tenaga Kerja wanita) yang dikirim keluar negri seperti Arab Saudi. Merupakan masalah yang belum dapat dituntaskan sampai sekarang. Pernyataan
tentang
perempuan
parlemen
harus
membela
kepentingan dan hak perempuan. 87 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 13 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan Indonesia selayaknya memang membela kepentingan dan hak perempuan Indonesia. Pernyataan tentang perempuan berpolitik bukan karena kaderisasi. 68 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 32 persen
73
responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa selama ini perempuan berpolitik bukan karena kaderisasi, tetapi merupakan pilihan dari partai politik. Sehingga ada sebagian responden menyatakan bahwa sebenarnya perempuan dapat menjadi kader yang baik bagi sebuah partai politik. Pernyataan tentang perempuan berpolitik karena desakan diri sendiri. 43 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 57 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa perempuan secara keseluruhan selama ini berada dalam partai bukan karena dirinya yang menginginkan tetapi lebih cenderung partai yang memilih. Selama ini keinginan perempuan dalam politik terbelengu dengan ketidak adanya kesempatan yang pasti. Pernyataan tentang perempuan masih sering dicekal dalam kampanye politik. 36 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 64 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa selama ini perempuan sangat jarang
melakukan
kampanye
sendiri.
Lebih
seringnya
dilakukan
berkelompok. Sehingga pencekalan terjadi bukan terhadap perempuan itu sendiri tetapi terhadap kelompok dalam partai politik. Kalaupun ada perempuan yang dicekal dalam kampanye sifatnya adalah menyangkut izin suatu partai terhadap calon legislatif yang ditunjuk partai. Pernyataan tentang perempuan punya potensi besar dalam politik. 70 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 30 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara personal perempuan mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki. Sehingga penilaian terhadap perempuan yang punya potensi besar dalam politik merupakan suatu ukuran yang sebagaimana mestinya. Pada saat sekarang ini perempuan Indonesia sudah mengalami kemajuan dalam pendidikan dan pengetahuan, sehingga setara dengan pendidikan dan pengetahuan yang didapat oleh laki-laki di
74
Indonesia. Sudah banyak perempuan Indonesia yang mendapat pendidikan tinggi, bahkan sudah banyak perempuan Indonesia yang menjadi pakar pada suatu bidang keilmuan. Hal ini merupakan suatu potensi dalam melakukan suatu sikap politik. Pernyataan tentang Kuota 30 persen dapat membantu jumlah partisipasi politik perempuan. 78 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 22 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang stuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa kuota sebagai bentuk atau wujud keterwakilan bagi perempuan merupakan sesuatu yang ditunggutunggu oleh perempuan yang mencari kesempatan berpartisipasi dalam politik. Dengan adanya kuota sebanyak 30 persen keterwakilan dilegislatif, maka suatu kesempatan yang sangat pasti bagi perempuan Indonesia untuk melangkah kekancah politik.
5.4.3. Persepsi tentang keterwakilan politik perempuan Keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga pemerintahan dibutuhkan adalah diharapkan perempuan dapat mengambil posisi dalam keikutsertaan sebagai pembuat keputusan politik. Hal ini diperlukan agar perempuan dapat mencegah adanya diskriminasi yang tercipta pada kaum perempuan secara umumnya. Selama ini telah banyak bentuk diskriminasi terjadi dalam masyarakat yang lebih kepada ketidaksetaraan gender. Penyelesaian dalam masalah diskriminasi dari jalur pemerintah adalah dengan me lakukan
pemberdayaan yang bertujuan mengajak partisipasi
semua warga untuk memberdayakan semua masyarakatnya.
75
Tabel 23 Persepsi Tentang Keterwakilan Politik Perempuan (dalam %) No. Pernyataan N SS S CS KS TS 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9.
10.
Jumlah perempuan dilegislatif belum 30% Perempuan belum pernah menjadi ketua Komisi di DPR 30% cukup sebagai kuota keterwakilan bagi perempuan Partai politik memberi peluang bagi perempuan u/ memenuhi kuota 30% Syarat jadi calon legislatif tidak terlalu sulit Pelayanan partai sangat membantu calon legislatif Pelayanan partai tidak membedakan gender Pendapatan anggota parlemen sama Pemilu dengan sistem Distrik kurang menguntungkan perempuan Pemilu secara porposional membantu peningkatan jumlah kuota perempuan
100
6
66
11
13
4
100
3
41
17
29
10
100
3
56
18
19
4
100
7
47
17
23
6
100
4
51
19
15
11
100
5
58
27
8
2
100
12
52
18
13
2
100
25
56
6
7
6
100
4
34
18
25
19
100
9
60
16
11
4
Keterangan: N=total responden, SS=Sangat setuju,S=setuju, cukup setuju, KS=kurang setuju, TD=tidak setuju
Tabel 23 menunjukkan tentang persepsi responden terhadap keterwakilan
perempuan
di
legislatif.
Pernyataan
tentang
jumlah
perempuan di legislatif belum 30 persen. Responden menjawab setuju dan sangat setuju sebanyak 72 persen dan 28 persen menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa kedudukan perempuan di legislatif belum mencapai 30 persen. Kedudukan pe rempuan
76
di dewan baik pusat maupun daerah rata -rata antara 9-11 persen dari total anggota Dewan. Pernyataan tentang perempuan belum pernah menjadi ketua Komisi di DPR. 44 persen responden menjawab setuju dan sangat setuju, 56 persen menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam politik bukan harus menjadi ketua komisi. Keterwakilan dapat berada pada posisi mana saja, yang penting menunjukkan peran dalam pengambilan keputusan. Pernyataan tentang 30 persen cukup sebagai kuota keterwakilan bagi perempuan. 59 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 41 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa keinginan perempuan untuk ta mpil dalam kancah politik sudah mendapat keterwakilan secara pasti. Kuota dengan 30 persen tersebut dianggap suatu yang perlu dipenuhi terlebih dahulu. Apabila dalam pelaksanaan pemilu berikutnya mencapai target 30 persen dan keinginan perempuan melebihi dari 30 persen tersebut, maka kuota untuk keterwakilan dapat diperjuangkan menjadi kesetaraan 50 persen. Pernyataan tentang partai politik memberi peluang kepada perempuan untuk memenuhi kuota 30 persen. 54 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju. 46 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partai politik masih belum sepenuhnya berlaku seperti yang diinginkan UU.No.12 tahun 2003, yang meminta partai politik mengusahakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dan dapat melakukan spekulasi untuk memenuhi target tersebut. Hal ini belum dilakukan oleh partai politik sehingga peluang untuk memenuhi kuota tersebut masih sulit bagi perempuan. Pernyataan tentang syarat menjadi caleg tidak terlalu sulit. 55 persen responden menjawab setuju dan sangat setuju, 45 persen responden
77
menjawab cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian Caleg (Calon Legislatif) menganggap persyaratan partai tidak terlalu sulit,
sedangkan
sebagian
lainnya
menjawab
partai
memberikan syarat yang cukup sulit seperti adanya kesanggupan dalam memberikan kontribusi kepada partai. Hal ini termasuk suatu persyaratan yang dinilai sulit bagi Caleg (Calon Legislatif) yang tidak mempunyai kemampuan secara material. Pernyataan tentang pelayanan partai sangat membantu calon legislatif. 63 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 37 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partai politik selama ini ada yang membantu calon legislatif sampai tuntas menjadi anggota legislatif, dan ada partai politik yang mencoba mencari kesepakatan politik yang arahnya menguntungkan partai secara organisasi. Sehingga lebih banyak Caleg patah ditengah jalan. Tidak berjuang secara maksimal untuk mendapatkan posisinya. Pernyataan tentang pelayanan partai tidak membedakan gender. 64 persen responden menjawab setuju dan sangat setuju, 36 persen responden menjawab cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa partai politik masih ada yang membedakan gender lakilaki dan gender perempuan. Budaya patriarkhi yang dianut masyarakat Indonesia masih sangat mempengaruhi pola pikir pengurus partai maupun masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat masih menganggap bahwa perempuan masih belum layak untuk aktif secara tuntas dalam politik. Kalau ada kesempatan bagi perempuan itu adalah sebagai kesempatan untuk mengisi waktu. Maka banyak perempuan tidak mendapat posisi secara struktural yang tepat dengan kemampuannya. Lebih cenderung di tempatkan pada posisi yang dianggap pantas dilakukan. Kecenderungan pekerjaan yang ringan-ringan.
78
Pernyataan tentang pendapatan anggota parlemen sama. 81 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 11 persen menyatakan cukup setuju, kurang setuju, dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa secara peraturan kenegaraan di Indonesia pendapatan anggota DPR, DPRD, diatur secara undang-undang. Sehingga pendapatan akan menjadi sama terhadap personal anggota legislatif. Kalau ada perbedaan adalah karena adanya peraturan partai politik yang diatur secara masing-masing partai untuk kontribusi anggota legislatif terhadap partai politik yang merekomendasikannya. Hal ini membuat tidak sama pendapa tan antara satu personal anggota legislatif dengan anggota legislatif lainnya. Pernyataan
tentang
pemilu
dengan
sistem
distrik
tidak
menguntungkan perempuan. 38 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju, 62 persen menyatakan cukup setuju, kurang stuju, tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa sistem distrik secara keseluruhan adalah menyelenggarakan pemilu secara langsung yang dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga perempuan yang ingin terlibat dalam politik harus betul-betul mempersiapkan diri secara maksimal. Karena rakyat akan memilih figur dari perempuan yang tangguh dan terutama yang membela kepentingan masyarakat banyak. Responden melihat bahwa bukan keuntungan yang harus dilihat perempuan tetapi kesempatan yang harus ditunjukkannya. Sistem distrik merupakan kompetensi langsung antara perempuan dan laki-laki. Pernyataan tentang pemilu secara proporsional sangat membantu jumlah kuota perempuan. 69 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuaju, 31 persen responden menyatakan cukup setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Hal ini dapat dikatakan bahwa Pemilu secara proporsional merupakan sistem pemilu yang mencari wakil berdasarkan jumlah suara yang dimiliki pada suatu daerah pemilihan. Keikutsertaan perempuan dalam politik secara konseptual akan terbantu dengan sistem proporsional. Karena suara politik dapat diarahkan kepada calon pada
79
daerah yang direkomendasikan, sehingga perempuan yang dijadikan calon kemungkinan akan berhasil menduduki posisi yang direncanakan. Sedangkan sistem distrik belum tentu mendapatkan suara sebagaimana yang direncanakan partai, karena suara bisa dibulatkan kepada calon yang ditentukan partai. Responden mengerti bahwa sistem proporsional dapat membantu perempuan dalam pencalonan pasti. 5.5.
Faktor-faktor Kharakteristik yang berhubungan dengan persepsi terhadap kuota 30% keterwakilan Perempuan di Legislatif. Terbentuknya persepsi dalam alam pikiran seseorang dipengaruhi
oleh berbagai faktor yang ada dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan sebagai faktor karakteristik personal dan faktor karakteristik situasional. Hubungan antara faktor kharakteristik personal yang meliputi: Jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, pengalaman, dan motivasi faktor kharakteristik situasional yang meliputi: Budaya patriarkhi, agama (kepercayaan), kebijakan pemerintah, kebiasaan dan kelompok rujukan Terhadap persepsi kuota 30 persen keterwakilan perempuan di legislatif. Faktor ini merupakan faktor dari luar diri individu. Teta pi secara perilaku sangat mempengaruhi seseorang. Faktor antara yaitu: Terpaan Media Massa yang diklasifikasi dalam dua kelompok media yaitu media massa cetak dan media massa elektronik.Media massa cetak adalah surat kabar dan majalah, sedangkan media massa elektronik adalah televisi.
80
5.5.1. Faktor Jenis Kelamin ( Gender) Hubungan antara faktor Jenis Kelamin( gender) dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif meliputi akses politik perempuan, partisipas i politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan, dapat dilihat pada tabel per hitungan uji Chi-Square (?²) sebagai berikut:
Tabel 24 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor gender (jenis kelamin) dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Gender × Persepsi Gender × Persepsi tentang Akses Politik Gender × Persepsi tentang Partisipasi politik Gender × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
13.349
df=2, (9.21)
0.001
13.636
df=1, (6.64)
0.000
df=2, (5.99)
0.040
6.419
Tabel 24 menunjukkan Hubungan Jenis kelamin dengan Persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung chi- square 13.349. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.01 adalah 9,21. Tampak bahwa chi-square hitung lebih besar dari chi-square tabel ini dapat diartikan bahwa perbedaan jenis kelamin membuat perbedaan persepsi antara laki-laki dan perempuan terhadap akses politik perempuan. atau bisa juga dikatakan bahwa jenis kelamin responden yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan serta aktivis partai laki-laki dan perempuan juga non aktivis partai laki-laki dan perempuan
mempengaruhi
responden
dalam
memberikan
persepsi
responden terhadap akses politik perempuan. Persepsi responden terhadap akses politik perempuan berbeda antara laki- laki dan perempuan. Dimana laki-laki masih banyak melihat bahwa politik adalah untuk laki-laki, sehingga laki-laki membuat persepsi bahwa perempuan sebaiknya tidak melibatkan dir i lebih jauh dalam politik. Sedangkan perempuan melihat
81
bahwa mereka punya potensi terhadap politik tetapi kesempatan tidak sebanyak
laki-laki
sehingga
mereka
juga
belum
banyak
yang
berkeecimpung dalam politik. Tabel 24 juga menunjukkan Hubungan jenis kelamin dengan persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung chi-square adalah 13,636 dan nilai chi-square tabel dalam a = 0.01 adalah 6,64. karena chisquare hitung lebih besar dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa perbedaan
jenis kelamin laki-laki dan perempuan mempunyai hubungan
sangat nyata dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Atau dapat dikatakan perbedaan jenis kelamin responden yang dibedakan antara pria dan wanita serta aktivis partai laki-laki dan perempuan juga non aktivis partai laki-laki dan perempuan, membuat perbedaan persepsi responden terhadap partisipasi politik perempuan. Laki-laki menilai bahwa perempuan berpartisipasi dalam politik tidak lebih karena diberikan kesempatan dan bukan karena di kader oleh suatu partai. Sementara perempuan menilai bahwa mereka dapat dijadikan kader partai hanya saja partai belum memberi kesempatan untuk menjadi kader sehingga hanya orang tertentu yang terpilih menjadi partai. Laki-laki menilai bahwa partisipasi politik perempuan masih belum tampak dalam pengambilan keputusan, sedangkan perempuan merasa sudah melibatkan diri dalam pengambilan keputusan tetapi jumlah partisipasi yang terbatas maka keterlibatan belum tampak. Tabel 24 juga menunjukkan hubungan jenis kelamin dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana
nilai hitung chi-square
adalah 6.419 dan nilai chi-square tabel dalam a = 0.05, adalah =5.99 chisquare hitung lebih besar dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan mempunyai hubungan nyata dengan persepsi terhadap keterwakilan
politik perempuan. Atau
dapat dikataka n bahwa perbedaan jenis kelamin responden yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan, aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, membuat perbedaan persepsi
82
responden terhadap keterwakilan politik perempuan. Laki-laki menganggap bahwa perempuan dalam politik belum dapat disejajarkan dengan laki-laki, karena
adanya
keterbatasan
yang
dimiliki
perempuan.
Sementara
perempuan menganggap bahwa keterwakilan yang dimaksudkan adalah suatu langkah menuju keikutsertaan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dapat diartikan antara laki-laki dan perempuan memberikan interpretasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif berbeda, artinya adanya perbedaan pengakuan terhadap kesetaraan gender atau kesamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam memahami akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan.
4.5.2 Faktor Umur Responden Hubungan antara faktor Umur dengan
persepsi masyarakat
terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan uji Chi-Square( ?²) sebagai berikut:
Tabel 25 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Umur responden dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Umur × Persepsi Umur ×Persepsi tentang Akses Politik Umur × Persepsi tentang Partisipasi politik Umur × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
1.976
df=4, (13.28)
0.740
4.012
df=2, (5.99)
0.135
0.883
df=4, (13.28)
0.927
83
Tabel 25 menunjukkan Hubungan Umur responden dengan persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung chi-square adalah 1,976, dan nilai chi-square tabel dalam a = 0.05, adalah 13.28. karena chi-square hitung lebih kecil Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor umur dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikata bahwa perbedaan umur responden yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan, aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi terhadap akses politik perempuan. Laki-laki yang berumur antara 21 tahun – 60 tahun dibandingkan dengan perempuan berumur 21 tahun – 60 tahun tidak membuat perbedaan persepsi mereka. Antara laki-laki dan perempuan memandang bahwa akses politik telah ada bagi perempuan, akses itu akan berarti apabila perempuan memanfaatkan akses tersebut. Res ponden pada penelitian lebih dominan berumur antara 21-50 tahun merupakan umur yang menentukan kapasitas seseorang dalam menerima pengetahuan. Sehingga hubungan umur responden dengan persepsi terhadap akses politik perempuan terlihat tidak membuat perbedaa n yang nyata, karena berada pada umur yang lebih mudah menerima nilai-nilai baru. Tabel 25 juga menunjukkan Hubungan umur responden dengan persepsi terhadap partisipasi politik dimana nilai hitung Chi-square 4.012. nilai tabel Chi- square dalam a = 0.05, adalah =5,99, karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor umur dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan atau dapat dikatakan bahwa perbedaan umur responden yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan, aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Faktor umur antara laki- laki dan perempuan yang diklasifikasi dalam kategori antara 21
84
tahun sampai 60 tahun, tidak membedakan pemahaman mere ka terhadap partisipasi politik. Tabel 25 menunjukkan Hubungan umur responden dengan persepsi terhadap keterwakilan politik dimana nilai hitung Chi-square 0,883. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 dan a =0.01 adalah 13,28. karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor umur dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan umur responden yang dibedakan antara laki-laki dan perempuan, aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan,
tidak membuat perbedaan persepsi terhadap keterwakilan
politik perempuan. Umur yang dimiliki antara laki-laki dan perempuan tidak mempengaruhi mereka dapat memahami dan memberikan interpretasi terhadap keterwakilan politik perempuan. Hal ini diartikan faktor umur pada responden tidak membuat perbedaan persepsi antara laki-laki dan perempuan. Artinya responden dalam penelitian ini minimal berumur 21 tahun dan tertinggi 60 tahun, dapat dikatakan itu adalah umur yang mudah dalam memahami suatu inovasi atau informasi. Sehingga pemahaman mereka seimbang terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif.
5.5.3. Faktor Pendidikan Responden Hubungan antara faktor Pendidikan responden dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan uji Chi-Square (?²) sebagai berikut:
85
Tabel 26 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Pendidikan responden dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Pendidikan × Persepsi Pendidikan × Persepsi tentang Akses Politik Pendidikan × Persepsi tentang Partisipasi politik Pendidikan × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
7.173
df=4, (13.28)
0.127
0.679
df=2, (5.99)
0.712
0.684
df=4, (13.28)
0.963
Tabel 26 menunjukkan Hubungan pendidikan responden dengan persepsi terhadap akses politik dimana nilai hitung Chi-square 7,173. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05 adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa terdapat hubungan tidak nyata antara faktor pendidikan dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. dapat dikatakan bahwa perbedaan pendidikan responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempun, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap akses politik perempuan.
Hal ini dapat diartikan bahwa
pendidikan responden yang dibedakan antara jenjang diploma, S-1 dan S-2 tidak membuat perbedaan persepsi diantara mereka. Secara keseluruhan mereka mempunyai persepsi yang tidak berhubungan dengan jenjang pendidikan mereka miliki. Tabel 26 juga menunjukkan Hubungan pendidikan responden dengan persepsi terhadap partisipasi politik dimana nilai hitung Chi-square 0,679. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 5,99 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor pendidikan dengan perseps i terhadap partisipasi politik perempuan. Dapat juga dikatakan bahwa perbedaan jenjang pendidikan responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap partisipasi politik perempuan.
86
Responden berpendidikan diploma, S-1 dan S-2 memandang sama terhadap partisipasi politik perempuan. Mereka melihat bahwa perempuan sangat dibutuhkan untuk berpartisipasi dalam politik, agar dapat terlibat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan hak dan kewajiban perempuan dan keluarganya. Tabel 26 juga menunjukkan hubungan pendidikan responden dengan persepsi terhadap keterwakilan politik dimana nilai hitung Chisquare 0,684. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor pendidikan dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan jenjang pendidikan responden yang dibedakan antara
aktivis laki-laki dan
perempuan, non aktivia laki-laki dan perempuan, tidak membedakan persepsi responden terhadap keterwakilan politik perempuan.Responden melihat bahwa keterwakilan politik perempuan sangat diperlukan untuk mewujudkan adanya keikutsertaan dalam politik. Hal ini dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan formal
yang
didapat responden. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin luas pengetahuan orang tersebut. Dalam penelitian ini pendidikan terendah responden adalah diploma dan tertinggi adalah Strata dua (S -2), sehingga
memudahkan
mereka
dalam
menerima
informasi,
dan
memudahkan mereka memahami kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif.
5.5.4. Faktor Pekerjaan Responden Hubungan antara faktor pekerjaan responden dengan
persepsi
masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan, dapat dilihat pada tabel perhitungan uji Chi-Square (?²) sebagai berikut:
87
Tabel 27 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Pekerjaan responden dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Pekerjaan × Persepsi Pekerjaan × Persepsi tentang Akses Politik Pekerjaan × Persepsi tentang Partisipasi politik Pekerjaan × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
7.853
df=8, (15.51)
0.448
4.749
df=4, (13.28)
0.314
11.663
df=8, (15.51)
0.167
Tabel 27 menunjukkan hubungan pekerjaan responden dengan persepsi terhadap akses politik dimana nilai hitung Chi-square 7,853. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 15,51 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor pekerjaan dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan pekerjaan responden yang dibedakan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap akses politik perempuan. persepsi responden terhadap akses politik di hubungkan dengan jenis pekerjaan, tampak tidak ada mempengaruhi karena semua responden mempunyai pekerjaan yang dapat mengembangkan pola pikir mereka terhadap informasi yang mereka dapatkan. Tabel 27 juga menunjukkan Hubungan pekerjaan responden dengan persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung Chi-square 4,749. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 13,28, karena chi-square hitung lebih ke cil
Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada
hubungan nyata antara faktor pekerjaan dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan pekerjaan responden yang dibedakan antara aktivis patai laki-laki dan perempuan,
88
non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Hal ini disebabkan karena semua responden menilai bahwa pekerjaan mereka tidak menghalangi mereka untuk mendapatkan informasi sehingga mereka memberikakan interpretasi terhadap partisipasi politik perempuan tidak membedakan persepsi mereka secara keseluruhan terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan. Tabel 27 juga menunjukkan hubungan pekerjaan responden dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 11,663. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah15.51 karena chisquare hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor pekerjaan dengan persepsi terhadap keterwakilan
politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan
pekerjaan responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap keterwakilan politik perempuan. Hal ini dikaitkan dengan jenis pekerjaan yang di lakukan responden. Pendidikan responden juga mempengaruhi, dengan tingkat pendidikan yang tinggi, akan mendapatkan pekerjaan yang baik serta menduduki posisi jabatan yang bagus, sehingga membuat pengetahuan dan wawasan berpikirnya semakin luas, dan memudahkan unruk memahami terhadap informasi yang didapat.
5.5.5. Faktor Pendapatan Responden Hubungan antara faktor pendapatan responden dengan
persepsi
masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan uji Chi-Square (?²) sebagai berikut:
89
Tabel 28 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Pendapatan responden dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Pendapatan × Persepsi Pendapatan × Persepsi tentang Akses Politik Pendapatan × Persepsi tentang Partisipasi politik Pendapatan × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
9.388
df=8, (15.51)
0.311
8.084
df=4, (13.28)
0.089
8.362
df=8, (15.51)
0.339
Tabel 28 menunjukkan hubungan pendapata n responden dengan persepsi terhdap akses politik, dimana nilai hitung Chi-square 9,388. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 15.51 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor pendapatan dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan perbedaan pendapatan responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap akses politik perempuan. Aktivis partai maupun non aktivis partai yang penghasilan berbeda satu sama lain berkisar antara 500 ribu – 5 juta lebih tidak membedakan persepsi mereka terhadap akses politik perempuan. Tabel 28 juga menunjukkan
hubungan pendapatan responden
dengan persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung Chi-square 8,084. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor pendapatan dengan persepsi terhadap partisipasi
politik
perempuan.
Dapat
dikatakan
bahwa
perbedaan
pendapatan responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap partisipasi politik.
90
Tabel 28 juga menunjukkan hubungan pendapat responden dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 8,362. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 15,51 karena chisquare hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor pendapatan dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan.
Dapat dikatakan bahwa perbedaan
pendapatan responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempua n, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap keterwakilan politik perempuan. Pendapatan responden antara 1,5 juta – 5 juta sangat berkaitan dengan jenis pekerjaan yang dikerjakan serta kesempatan dalam menggunakan waktu yang ada, sehingga persepsi atau pemahaman terhadap kuota
30
persen
keterwakilan
perempuan
dilegislatif
berda sarkan
pengetahuan yang diperoleh dari kepemilikan media massa seperti berlanganan surat kabar, majalah atau menonton televisi.
5.5.6. Faktor Pengalaman Politik Responden Hubungan antara faktor pengalaman politik responden dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan uji Chi-Square (?²) sebagai berikut:
91
Tabel 29 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Pengalaman Politik dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Pengalaman Politik × Persepsi Penga laman Politik × Persepsi tentang Akses Politik Pengalaman Politik × Persepsi tentang Partisipasi politik Pengalaman Politik × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
1.984
Df=4, (13.28)
0.739
3.067
Df=2, (5.99)
0.216
Df=4, (9.49)
0.361
2.561
Tabel 29 menunjukkan hubungan pengalaman politik
dengan
persepsi terhadap akses politik dimana nilai hitung Chi-square 1,984. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor pengalaman politik dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa pengalaman politik responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak mempengaruhi persepsi responden terhadap akses politik perempuan. Tabel 29 juga menunjukkan hubungan pengalaman politik dengan persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung Chi-square 3,067. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 5,99 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor pengalaman politik dengan persepsi terhadap partisipa si politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan pengalam politik responden yang dibedakan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap partisipasi politik perempuan. Tabel 29 juga menunjukkan hubungan pengalaman politik dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan, dimana nilai hitung Chisquare 2,561. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena
92
chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor pengalaman politik
dengan
persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan pengalaman politik responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membedakan persepsi responden terhadap keterwakilan politik perempuan. Hal ini dapat dikaitkan dengan pengalaman yang dimiliki responden merupakan
akumulasi
dari
proses
belajar
yang
akan
dijadikan
pertimbangan dalam menentukan menerima atau menolak suatu informasi. Pengalaman kelompok aktivis partai dikaitkan dengan tahun yang dilalui dalam menjalankan aktivitas. Semakin banyak pengalaman politik yang menyenangkan
semakin
banyak
menjadi
rujukan
untuk
kegiatan
selanjutnya.
5.5.7. Faktor Motivasi Politik Hubungan antara faktor Motivasi politik responden dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan test Chi-Square( ?²) sebagai berikut: Tabel 30 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Motivasi Politik dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Motivasi Politik × Persepsi Motivasi Politik × Persepsi tentang Akses Politik Motivasi Politik × Persepsi tentang Partisipasi politik Motivasi Politik × Persepsi tentang keterwakilan politik
X² hitung
X² tabel
. Signifikansi
6.484
df=4, (13.28)
0.166
2.342
df=2, (5.99)
0.310
0.703
df=4, (9.49)
0.951
93
Tabel 30 menunjukkan Hubungan motivasi politik responden dengan persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung Chi-square 6,484. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor motivasi politik dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa motivasi politik responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap akses politik perempuan. Tabel 30 juga menunjukka n hubungan motivasi politik dengan persepsi terhadap partisipai politik, dimana nilai hitung Chi-square 2,342. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 5,99 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor motivasi politik dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa motivasi politik responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap partisipasi politik perempuan. Tabel 30 juga menunjukkan hubungan motivasi politik dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 0,703. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan nyata antara faktor motivasi politik dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa motivasi politik responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi responden terhadap keterwakilan politik perempuan. Hal ini dihubungkan dengan alasan dan tujuan seseorang melakukan aktivitas politik. Dorongan yang timbul membuat motivasi tertentu bagi responden dalam menjalankan aktivitasnya. Sehingga motivasi yang
94
dimiliki oleh masing-masing responden tidak mempe ngaruhi perbedaan interprestasi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Lagislatif.
5.5.8. Faktor Budaya Patriarkhi Hubungan antara faktor Budaya Patrriarkhi dengan
persepsi
masyarakat terhadap kuota 30 persepsi keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan uji Chi-Square (?²) sebagai berikut: Tabel 31 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Budaya Patriarkhi dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Budaya Patriarkhi × Persepsi Budaya patriarkhi × Persepsi tentang Akses Politik Budaya patriarkhi × Persepsi tentang Partisipasi politik Budaya patriarkhi × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
17.421
df=4, (13.28)
0.002
4.564
df=4, (13.28)
0.102
1.702
df=4, (9.49)
0.790
Tabel 31 menunjukkan hubungan budaya patriarkhi dengan persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung Chi-square 17.421. nilai tabel Chi-square dalam a =0.01 adalah 13,28, karena chi-square hitung lebih besar dari Chi-square tabel, menunjukkan hubungan sangat nyata tingkat kepercayaan 99 persen antara faktor Budaya Patriarkhi dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa budaya patriarkhi sangat mempengaruhi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, sehingga membuat perbedaan persepsi diantara responden terhadap akses politik perempuan.
95
Tabel 31 menunjukkan hubungan budaya patriarkhi dengan persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung Chi- square 4.564. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05 adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor Budaya Patriarkhi dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa budaya patriarkhi tidak mempengaruhi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, dalam memberikan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Tabel 31 menunjukkan Hubungan budaya patriarkhi dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 1,702. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil Chi-square tabel, menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor Budaya Patriarkhi dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perem puan. Dapat dikatakan bahwa budaya patriarkhi tidak mempengaruhi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, dalam memberikan persepsi terhadap keterwakilan perempuan. Hal ini dapat dikatakan budaya patriarkhi mempengaruhi persepsi responden terhadap akses politik. Responden laki-laki melihat bahwa akses politik lebih diutamakan untuk laki-laki dari pada perempuan, dan perempuan melihat hal yang sama, budaya patriarkhi lebih memihak kepada laki-laki. Dan dari kelompok aktivis partai perempuan dan laki-laki menilai budaya patriarkhi sangat berpengaruh. Sehingga kesempatan bagi perempuan sangat terbatas. Sedangkan persepsi responden terhadap partisipasi politik dan keterwakilan politik tidak terdapat perbedaan antara aktivis partai dan non aktivis partai.
96
5.5.9 Faktor Agama (kepercayaan) Responden Hubungan antara faktor Agama (kepercayaan) responden dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan uji Chi-Square (?²) sebagai berikut:
Tabel 32 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Agama (Kepercayaan) dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Agama × Persepsi Agama × Persepsi tentang Akses Politik Agama × Persepsi tentang Partisipasi politik Agama × Persepsi tentang keterwakilan politik
? ² hitung
?² tabel
. Signifikansi
1.380
df=4, (13.28)
0.848
0.983
df=2, (5.99)
0.612
1.702
df=4, (9.49)
0.790
Tabel 32 menunjukkan hubungan Agama (kepercayaan) dengan persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung Chi-square 1,380. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, menunjukkan
hubungan tidak nyata
antara faktor Pengaruh agama (kepercayaan) dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa agama (kepercayaan) yang dimiliki responden tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibedakan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis partai lakilaki dan perempuan, terhadap akses politik perempuan. Tabel 32 menunjukkan hubungan kepercayaan dengan persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung Chi- square 0,983. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 5,99 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, menunjukkan
hubungan tidak nyata
antara faktor Pengaruh agama (kepercayaan) dengan persepsi terhadap
97
Partisipas i politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa perbedaan agama (kepercayaan) yang dianut responden tidak mempengaruhi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, sehingga tidak membuat per bedaan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Tabel 32 menunjukkan hubungan kepercayaan dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 1,702. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, menunjukkan
hubungan tidak nyata
antara faktor Pengaruh agama (kepercayaan) dengan persepsi terhadap keterwakilan
politik
perempuan.
Dapat
dikatakan
bahwa
agama
(kepercayaan) yang dimiliki responden tidak mempengaruhi persepsi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, terhadap keterwakilan politik perempuan. Hal ini dikaitkan dengan cara melihat suatu ajaran dan kepercayaan yang dihubungkan dengan kegiatan kehidupan yang dilalui. Sehingga ada yang menilai bahwa agama mempengaruhi dan ada yang menilai agama tidak mempengaruhi. Semua ini tergantung kepada pemahaman tentang ajaran dan pandangan agama.
98
5.5.10. Faktor Kebijakan Pemerintah Hubungan antara kebijakan pemerintah responden dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan uji Chi-Square (?²) sebagai berikut:
Tabel 33 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Kebijakan Pemerintah dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Kebijakan Pemerintah × Persepsi Kebijakan Pemerintah × Persepsi tentang Akses Politik Kebijakan Pemerintah ×Persepsi tentang Partisipasi politik Kebijakan Pemerintah ×Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
7.311
df=4, (13.28)
0.120
2.914
df=2, (5.99)
0.233
df=4, (9.49)
0.747
1.938
Tabel 33 menunjukkan hubungan kebijakan pemerintah dengan persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung Chi-square 7,311. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor Kebijakan pemerintah dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah tidak membuat perbedaan persepsi antara laki-laki dan perempuan yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, terhadap akses politik perempuan. Tabel 33 menunjukkan hubungan kebijakan pemerintah dengan persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung Chi-square 2,914. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 5,99 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, menunjukkan
hubungan tidak nyata
antara faktor Kebijakan pemerintah dengan persepsi terhadap partisipasi
99
politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan terhadap partisipasi politik perempuan Tabel 33 menunjukkan hubungan kebijakan pemerintah dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 1,938. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor Kebijakan pemerintah dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibedakan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, terhadap keterwakilan politik perempuan. Hal ini dikaitkan dengan pengertian dari responden tentang kebijakan pemerintah tentang kuota 30 persen keterwakilan perempuan. aktivis dan non aktivis partai telah sama-sama mengerti dengan kebijakan pemerintah, sehingga dalam memberikan persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif tidak mempengaruhi inter pretasi yang diungkapkan, karena mereka sudah mengerti arah kebijakan tersebut.
5.5. 11. Faktor Kebiasaan Responden Hubungan antara kebiasaan responden dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan uji Chi-Square (?²) sebagai berikut:
100
Tabel 34 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Kebiasaan responden dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Kebiasaan × Persepsi Kebiasaan × Persepsi tentang Akses Politik Kebiasaan × Persepsi tentang Partisipasi politik Kebiasaan × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
3.698
df=4, (13.28)
0.448
0.576
df=2, (5.99)
0.750
3.174
df=4, (9.49)
0.528
Tabel 34 menunjukkan hubungan kebiasaan responden dengan persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung Chi-square 3,698. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor kebiasaan responden dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki responden tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibedakan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis laki-laki dan perempuan, terhadap akses politik perempuan. Tabel 34 menunjukkan hubungan kebiasaan responden dengan persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung Chi-square 0,576. nilai tabel C hi-square dalam a = 0.05, adalah 5,99 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, menunjukkan
hubungan tidak nyata
antara faktor kebiasaan responden dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki responden tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibedakan antara pria dan wanita, begitu juga antara antivis partai dan non aktivis partai terhadap partisipasi politik perempuan.
101
Tabel 34 menunjukkan hubungan kebiasaan responden dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 3,178. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, menunjukkan
hubungan tidak
nyata antara faktor kebiasaan responden dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan. Dapat juga dikatakan bahwa kebiasaan responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan. Hal ini dapat dikaitkan dengan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Dimana tingkat pendidikan formal yang tinggi akan membuat seseorang semakin selektif dalam memilih kegiatan rutin yang dilakukan terutama dihubungkan dengan kemanfaatan bagi dirinya dan keluarganya. Sehingga tidak membuat perbedaan antara aktivis partai dan non aktivis partai dalam memberikan persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif.
5.5.12. Faktor Kelompok Rujukan Hubungan antara kelompok rujukan dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan uji Chi-Square (?²) sebagai berikut:
102
Tabel 35 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Kelompok Rujukan dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Kelompok rujukan × Persepsi Kelompok rujukan × Persepsi tentang Akses Politik Kelompok rujukan × Persepsi tentang Partisipasi politik Kelompok rujukan × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
8.145
df=4, (13.28)
0.086
2.971
df=2, (5.99)
0.226
2.582
df=4, (9.49)
0.630
Tabel 35 menunjukkan hubungan kelompok rujukan dengan persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung Chi-square 8,145. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, dapat diartikan bahwa menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor kebiasaan responden dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa kebiasaan responden yang dibedakan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan terhadap akses politik perempuan. Tabel 35 menunjukkan hubungan kelompok rujukan dengan persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung Chi-square 2,971. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 5,99 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor kelompok rujukan dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa kelompok rujukan tidak mempengaruhi persepsi responden yang dibedakan antara aktivis paratai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, terhadap partisipasi politik. Tabel 35 menunjukkan hubungan kelompok rujukan dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 2,582. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square
103
hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, dapat diartikan bahwa menunjukkan
hubungan tidak nyata antara faktor kelompok rujukan
responden dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan. Dapat juga dikatakan bahwa kelompok rujukan tidak mempengaruhi persepsi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, terhadap keterwakilan politik perempuan. Hal ini dikaitkan dengan interaksi yang dilakukan responden dalam masyarakat tempat tinggalnya. Ada sebagian responden dari kalangan aktivis partai menganggap bahwa kelompok rujukan mempengaruhi aktivitas mereka dan mempengaruhi secara ide-ide, gagasan-gagasan, bahkan dalam pengambilan keputusan bagi kepentingan dirinya dan partai. Tetapi dalam pemahaman terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif kelompok rujukan memberikan makna yang sama dalam pengertian kebijakan pemerintah yang tercantum dalam UU No.12 tahun 2003. Sedangkan kelompok Non aktivis partai tidak seluruh kegiatannya merujuk kepada kelompoknya. Sehingga tidak mempengaruhi secara nyata terhadap persepsi mereka.
5.5.13. Faktor Terpaan Media Massa Hubungan faktor Intervening (antara) terpaan Media Massa yang terdiri dari media madia massa surat kabar, majalah, dan televisi dengan persepsi masyarakat terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan dilegislatif yang meliputi akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan,dapat dilihat pada tabel perhitungan test Chi-Square( ?²) sebagai berikut:
104
A. Terpaan Media massa surat kabar: Tabel 36 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Terpaan Media Surat Kabar dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Terpaan Media Surat Kabar × Persepsi Terpaan Media Surat Kabar × Persepsi tentang Akses Politik Terpaan Media Surat Kabar × Persepsi tentang Partisipasi politik Terpaan Media Surat Kabar × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
4.564
df=4, (13.28)
0.335
4.234
df=2, (5.99)
0.120
3.551
df=4, (9.49)
0.470
Tabel 36 menunjukkan hubungan terpaan media surat kabar dengan persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung Chi-square 4,564. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor Intervening terpaan media surat kabar dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa terpaan media massa ya ng diterima responden yang dibedakan antara aktivis lakilaki dan perempuan, non aktivis laki-laki dan perempuan, tidak membuat perbedaan persepsi antara mereka terhadap akses politik perempuan. Tabel 36 menunjukkan hubungan terpaan media surat kabar denga n persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung Chi-square 4,234. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah = 5,99 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa menunjukkan hubungan tidak nyata antara fa ktor Intervening terpaan media surat kabar dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa terpaan media surat kabar yang diterima responden yang dibedakan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan
105
perempuan tidak mempengaruhi persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Tabel 36 menunjukkan hubungan terpaan media surat kabar dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 3,551. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel dapat diartikan bahwa menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor Intervening terpaan media surat kabar dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa terpaan media surat kabar yang diterima oleh responden tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, terhadap keterwakilan politik perempuan. Hal ini dapat dikaitkan dengan umur dan jenjang pendidikan yang didapat responden. Artinya semakin tinggi umur seseorang makin dapat mencari informasi lewat surat kabar sehingga mengalami terpaan tinggi dan dihubungkan dengan intensitas dalam membaca dan menerima informasi. Karena tingkat pendidikan responden cukup tinggi, dan umur responden berada antara 21 – 50 tahun, dapat dikatakan sebagai umur yang mudah menerima suatu pengetahuan, sehingga tidak membuat perbedaan secara nyata antara pers epsi mereka.
106
B. Terpaan Media Massa majalah: Tabel 37 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Terpaan Media Majalah dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Terpaan Majalah × Persepsi Terpaan Majalah × Persepsi tentang Akses Politik Terpaan Majalah × Persepsi tentang Partisipasi politik Terpaan Majalah × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
8.973
df=4, (13.28)
0.062
9.730
df=2, (5.99)
0.008
5.222
df=4, (9.49)
0.265
Tabel 37 menunjukkan hubungan terpaan media majalah dengan persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung Chi-square 8,973. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, dapat diartikan bahwa menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor Intervening terpaan media majalah dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa terpaan Media massa majalah yang diterima responden yang dibeda kan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis laki-laki dan perempuan tidak mempengaruhi persepsi terhadap akses politik perempuan. Tabel 37 menunjukkan terpaan media majalah dengan persepsi terhadap partisipasi politik, dimana nilai hitung Chi- square 9,730. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.01, adalah
9,21 karena chi-square hitung
lebih besar dari Chi-square tabel, dapat diartikan bahwa menunjukkan hubungan sangat nyata antara faktor Intervening terpaan media majalah dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa Terpaan Media massa Majalah yang diterima responden dapat mempengaruhi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis laki-laki dan perempuan terhadap partisipasi politik perempuan.
107
Tabel 37 menunjukkan hubungan terpaan media majalah dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 5,222. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, dapat diartikan menunjukkan
bahwa
hubungan tidak nyata antara faktor Intervening terpaan
media majalah dengan persepsi terhadap keterwakilan politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa terpaan media massa majalah tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibe dakan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis laki-laki dan perempuan terhadap keterwakilan politik perempuan. Hal ini dapat dikaitkan dengan intensitas responden dalam membaca majalah. Terdapat hubungan sangat nyata dengan partisipasi politik karena perempuan lebih menyenangi membaca majalah dari pada membaca surat kabar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan termasuk dalam katagori lebih sering membaca majalah dibanding laki-laki, dan partisipasi perempuan lebih banyak dilihat dalam informasi melalui majalah. Sedangkan tidak terdapat hubungan dengan akses politik dan keterwakilan politik.
108
C. Terpaan Media Massa Televisi: Tabel 38 Hasil Hitung Analisis Hubungan antara faktor Terpaan Media Televisi dengan Persepsi terhadap Kuota 30% pada Aktivis Partai dan Non Aktivis Partai Terpaan Televisi × Persepsi Terpaan Televisi × Persepsi tentang Akses Politik Terpaan Televisi × Persepsi tentang Partisipasi politik Terpaan Televisi × Persepsi tentang keterwakilan politik
?² hitung
?² tabel
. Signifikansi
7.990
df=4, (13.28)
0.092
4.014
df=2, (5.99)
0.134
7.453
df=4, (9.49)
0.114
Tabel 38 menunjukkan hubungan terpaan televisi dengan persepsi terhadap akses politik, dimana nilai hitung Chi-square 7,990. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, dapat diartikan bahwa menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor Intervening terpaan media televisi dengan persepsi terhadap akses politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa terpaan media massa televisi yang diterima responden, tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan terhadap akses politik perempuan. Tabel 38 menunjukkan hubungan terpaan media televisi dengan persepsi terhadap partisipasi politik,dimana nilai hitung Chi-square 4,014. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 5,99 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, dapat diartikan bahwa menunjukkan hubungan tidak nyata antara faktor Intervening terpaan media televisi dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa terpaan media televisi yang diterima responden yang dibedakan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis laki-laki dan
109
perempuan, tidak mempengaruhi persepsi terhadap partisipasi politik perempuan. Tabel 38 menunjukkan hubungan terpaan media televisi dengan persepsi terhadap keterwakilan politik, dimana nilai hitung Chi-square 7,453. nilai tabel Chi-square dalam a = 0.05, adalah 9,49 karena chi-square hitung lebih kecil dari Chi-square tabel, dapat diartikan bahwa menunjukkan
hubungan tidak nyata antara faktor Intervening terpaan
media televisi dengan persepsi terhadap keterw akilan politik perempuan. Dapat dikatakan bahwa terpaan media televisi yang diterima responden yang dibedakan antara aktivis laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan, tidak mempengaruhi persepsi
terhadap
keterwakilan politik perempuan. Hal ini dapat dikaitkan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan responden yang berhubungan dengan pola penggunaan waktu dan pemanfaatan media, karena responden penelitian ini lebih dominan pegawai swasta sehingga waktu yang mereka miliki memungkinkan untuk menonton dan memilih saluran televisi yang mereka gunakan, sehingga tidak membuta perbedaan antara mereka dalam memberikan persepsi terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan di Legislatif.
110
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi terhadap data penelitian yang ada dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi masyarakat kota Bekasi secara keseluruhan menghasilkan persepsi yang positif terhadap kuota 30 persen keterwakilan perempuan. 2. Persepsi antara laki-laki dan perempuan kelompok aktivis partai dan non aktivis partai berbeda terhadap kuota 30 persen yang meliputi: akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan, keterwakilan politik perempuan.. 3. Faktor kharakteristik personal yang berhubungan dengan persepsi terhadap kuota 30 persen adalah: a. Jenis Kelamin (gender) mempunyai hubungan sangat nyata dengan persepsi terhadap akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan
dan keterwakilan
politik
perempuan.
Hal
ini
menunjukkan bahwa jenis kelamin (gender) sangat mempengaruhi responden sehingga membuat perbedaan persepsi antara responden aktivis partai laki- laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik perempuan. b. Faktor Umur, Pendidikan, Pekerjaan, Pendapatan, Pengalaman Politik, Motivasi politik, mempunyai hubungan tidak nyata dengan akses
politik
perempuan,
partisipasi
politik
perempuan
dan
keterwakilan politik perempuan. Hal ini berarti perbedaan umur, Pendidikan, Pekerjaan, Pendapatan, Pengalaman Politik, Motivasi Politik,
tidak membuat perbedaan persepsi
responden yang
dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis
111
partai laki-laki dan perempuan terhadap akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan. 4.
Faktor Situasional yang berhubungan dengan persepsi masyarakat adalah: a. Budaya patriarkhi mempunyai hubungan sangat nyata dengan persepsi terhadap akses politik perem puan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya patriarkhi mempengaruhi persepsi terhadap akses politik perempuan, tetapi tidak membuat perbedaan persepsi terhadap partisipasi politik dan keterwakilan politik perempuan. b. Faktor Agama ( kepercayaan ), Kebijakan Pemerintah, Kebiasaan Responden, Kelompok Rujukan, mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa agama, Kebijakan Pemerintah, Kebiasaan, Kelompok Rujukan tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan terhadap akses politik, partisipasi politik, dan keterwakilan politik perempuan.
5. Faktor Terpaan Media Massa meliputi: a. Terpaan Media massa cetak surat kabar dan Terpaan Media Televisi mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan akses politik perempuan, partisipasi politik perempuan, keterwakilan politik perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa terpaan media massa cetak surat kabar dan televisi tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan terhadap akses politik, partisipasi politik, dan keterwakilan politik perempuan
112
b. Terpaan Media massa majalah mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik perempuan; mempunyai hubungan sangat nyata dengan persepsi terhadap partisipasi politik perempuan dan mempunyai hubungan yang tidak nyata dengan persepsi terhadap keterwakilan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa terpaan media massa majalah mempengaruhi persepsi responden sehingga membedakan persepsi responden terhadap partisipasi politik perempuan, tetapi tidak membuat perbedaan persepsi terhadap akses politik perempuan dan keterwakilan politik perempuan. c. Terpaan Media Massa Televisi mempunyai hubungan tidak nyata dengan persepsi terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik. Hal ini menunjukkan bahwa terpaan media massa televisi tidak membuat perbedaan persepsi responden yang dibedakan antara aktivis partai laki-laki dan perempuan, non aktivis partai laki-laki dan perempuan terhadap akses politik, partisipasi politik dan keterwakilan politik.
113
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini maka disarankan: A. Pemanfaatan media massa dalam mensosialisasikan suatu Undang undang peraturan tentang kehidupan dalam berpolitik maupun tata laksana politik lebih baik menggunakan media yang bersifat informasi spesifik seperti majalah. B. Partai politik hendaknya membuka kesempatan lebih banyak untuk perempuan baik secara akses politik, partisipasi politik maupun keterwakilan politik. C. Untuk mewujudkan keterwakilan perempuan dengan kuota 30 persen dilegislatif, partai politik sebaiknya menghilangkan sistem kontribusi terhadap partai. D. Sistem Distrik yang digabung dengan sistem proporsional lebih membantu perempuan dalam politik untuk mencapai keterwakilan sebanyak 30 persen di legislatif.
114
DAFTAR PUSTAKA Ali, F 1997, Metodologi Penelitian Sosial dalam Bidang Administrasi dan Pemerintahan, Raja Garindo Persada, Jakarta. Applbaum, RI.W.E.A Karl ,R.H Ellias.OJ Owen.E.P.Richard. and E.M.Jerry 1973 Fundamen tal Concepts in Human Communication, Canfield Press San Fransisco. Arikunto, dkk,1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek , Cetakan ke-8, Rineka Cipta,Yokyakarta. _________, 1996, Manajemen Penelitian , Cetakan ke-4 Rineka Cipta,Yogyakarta. Atkinson, Rc dan ER Hilgard, 1991 , Pengantar Psikologi, Alih Bahasa Nurjanah Taufik dan Rukmini Barhana. Erlangga Jakarta. Azwar. 1997 , Sikap Manusia : Teori dan Pengukuran . Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Bari Azed,2005, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, Pusat studi hukum Tata negara,Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta Berlo.D.K,1960. The Process of Communication An Introduction theory and Practice New York : Holt,Rihchart and Winstone. Bhatnagar, 1985. Education and communication for Development. New Delhi: Oxford & IBH Publishing co. Black, J.A, dan J. Champion, 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Eresco.Bandung. BPS, 2002. Sensus Penduduk tahun 2002 , BPS Jakarta Devito.JA.1997. Komunikasi Antar Manusia , Professional Books.Indonesia.Jakarta. Dinas Kependudukan Kota Bekasi, 2005. Data Wilayah dan Jumlah Penduduk Kota Bekasi. Effendy. 2003, Metode Penelitian Komunikasi. Remadja Karya.Bandung. Hanafi, A, 1981. Memasyarakatkan Ide-ide Baru . Pustaka Nasional.
115
Surabaya. Hardjana.AM.2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Kanisius.Yogyakarta, Hubeis,AVS,2003. “Memanfaatkan Peluang Quota Perempuan di Parlemen.”
Makalah
seminar,
Pusat
Kajian
dan
Aplikasi
Pengembangan Pemberdayaan Perempuan (PKAP3) Universitas Trisakti, Jakarta. Jurnal Perempuan, 2001. Politik dan Keterwakilan Perempuan. Yayasan Jurnal Perempuan.Jakarta. Kartasasmita,G, 1995 Perencanaan Pembangunan. BAPPENAS, Jakarta. Kompas,2002, “ Keterwakilan politik perempuan,” Kompas, senin 11 Februari 2002.Jakarta. Kompas 2003, “Harapan Perempuan pada kuota,” kompas, senin 24 Februari 2003.Jakarta. Klausmeier, H,J,dan W.Goodwin, 1966, Learning Human Abilities: Educational
Psychology
Edisi
ke
empat,
National
Bookstores,Inc.Manila Mar’at. 1984. Sikap Manusia Perubahan serta pengukurannya. Ghalia Indonesia Bandung. Mardikanto,T. 1993, Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press.Surakarta. McMohan, B, and Y.W. McMohan, 1986. Psycologi The Hybrid Science, Fith Ed Dorcey Press. Homewild.Illions. McQuail, 1987. Teori Komunikasi Massa, suatu pengantar, Erlannga Muhibinsyah, 1995. Psikologi Pendidikan, Suatu Pendekatan Baru . Remaja Rosdakarya.Bandung. Nasution Zulkarimein. 1990. Komunikasi Politik, Suatu Pengantar. Ghalia Indonesia, Jakarta. Nimmo.D.2003. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media , Remadja Rosdha Karya.Bandung.
116
Nazir, Moh,1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia. Jakarta. Padmowihardjo,Soedijanto,1994. Psikologi Belajar Mengajar:LUHT 4232/2SKS Modul 1-6 Universitas Terbuka Jakarta. Rakhmat J. 1992. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Rogers, E.M, dan F.F.Shoemaker, 1971. Communication of Innovations,A Cross Cultural Approach. The Free Press, New York, ColierMacmillan LTD. London. Riduwan. 2004. Metode dan Teknik Menyusun Tesis, Alfabeta Bandung. Rousydy, TA, 1985. Dasar dasar Rethorika Komunikasi dan Informasi . Rimbow. Medan. Sarwono, S.W, 1992. Psikologi: Pengantar Umum. Bulan Bintang. Jakarta. Siegel, S.1986. Statistisk Non Parametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial . Gramedia .jakarta. Singarimbun.M, dan S Effendy.1995. Metode Penelitian Survey. LP3ES.Grafindo.Jakarta. Soekanto, 1982. Sosiologi suatu pengantar, Rajawali.Jakarta Sugiyono, 1997. Statistik untuk Penelitian , Alfabeta Bandung. ________, 2002, Metode Penelitian Adminstrasi,Alfabetha, Bandung. Sunito,Setiawan,1996, “Sylabus Mata Ajaran Pengantar Sosiologi” PraPascasarjana Institute Pertanian Bogor,Bogor. Surakhmad,Winarno.(1994), Pengantar penelitian Ilmiah.Tarsito Bandung. Susanto,A, 1984. Komunikasi Teori dan Praktek 1, Bina Cipta Tjiptosasmito,Waskito,1976,” Mandat Masyarakat yang dijalankan oleh Sistem Sekolah.” Prisma No.2 Thn IV,2 Maret Jakarta. UNDP,2003, “Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang baik:Tantangan Abad 21, “diterjemahkan oleh, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO),Jakarta. Walker,E.L.,1973. Conditioning dan Proses Belajar Instrumental. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
117
Winkel,W.s,1996. Psikologi Pengajaran. Gramedia Widiasar ana Indonesia Jakarta. Yusuf. Y.1991.Psikologi Antar Budaya. Remaja Rosdakarya.Bandung
118
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Perkenankan kami mengajukan beberapa pertanyaan dibawah ini sebagai bahan untuk melakukan penelitian dalam rangka menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nama : Afrina Sari NRP : P054040091 Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian & Pedesaan. Judul Penelitian : Persepsi Masyarakat Terhadap Kuota 30 Persen Keterwakilan Perempuan di Legislatif Kami haturkan terimakasih atas bantuan Bapak/Ibu/Sdr memberikan jawaban dengan baik terhadap daftar pertanyaan. No. Responden:…….. Lokasi 1. 2. 3.
penelitian : Kecamatan Bekasi Utara Kecamatan Bekasi Barat Kecamatan Medan Satria
A. IDENTITAS RESPONDEN 1. Jenis Kelamin : 1. Pria 2. wanita 2. Usia: …………Tahun ( isi sesuai jawaban responden) 3. Agama/kepercayaan yang dianut 1. 2. 3. 4.
Islam Kristen Protestan Kristen Khatolik Hindu
5. Budha 6. Khonghu chu 7. lainnya sebutkan …………………
4. Pendidikan 1. Tidak pernah sekolah 5. Diploma 2. S.D 6. Sarjana ( Strata 1) 3. SLTP 7. Sarjana ( Strata 2) 4. SLTA 8. Sarjana ( Strata 3) ( 1,2,3 , jawaban tersebut Stop menjawab) 5. Pekerjaan Utama ; 1. PNS 2. TNI/Polri 3. Pensiunan 4. Pegawai BUMN 5. Pegawai Swasta 6. Pelajar
10. Buruh 11. Ibu Rumah tangga 12. Belum Bekerja 13. Profesional:Guru/Dosen,Pengacara, Dokter,Wartawan,Peneliti,Arsitek, Rohaniawan(Kyai,Pendeta,Pastur) 1
7. Mahasiswa 8. Pedagang/Wiraswasta 9. Bertani/Nelayan
14. Lainnya, sebutkan……………….
6. Berapa lama tinggal di Kota ini? …….tahun ( isi sesuai jawaban responden ) 7. Suku Bangsa: 1. Melayu 2. Batak (Mandailing, toba, Karo, Pak-pak,dll) 3. Nias 4. Minang 5. Palembang 6. Lampung 7. Betawi 8. Sunda 9. Jawa
10. Madura 11. Dayak 12. Banjar 13. Bugis 14. Makasar 15. Minahasa 16. Ambon 17. Papua 18. Bali 19. Lainnya, sebutkan………..
8. Rata-rata pengeluaran rumah tangga sebulan: 1. kurang dari Rp, 500.000,7. Rp.3.000.001,--Rp.3.500.000,2. Rp. 501.000,-- Rp. 1.000.000,8. Rp.3.500.001,--Rp.4.000.000,3. Rp.1.000.001,-- Rp. 1.500.000,9. Rp.4.000.001,--Rp.4.500.000,4. Rp.1.500.001,-- Rp. 2.000.000,10. Rp.4.500.001,--Rp.5.000.000,5. Rp.2.000.001,-- Rp. 2.500.000,6. Rp.2.500.001,-- Rp. 3.000.000,-
11. lebih dari Rp. 5.000.000,-
9. Berapa pendapatan Bapak/Ibu satu bulan? 1. 500.000,1.500.000,-/bulan 2. 1.500.000,2.500.000,-/bulan 3. 2.500.000,3.500.000,-/bulan 4. 3.500.000,5.000.000,-/bulan 5. > 5.000.000,-/bulan Pengalaman : 10. Pernahkah melibatkan diri pada partai politik? 1. Tidak pernah ( lanjutkan menjawab ke no.12) 2. Pernah sekali 3. Kadang-kadang 4. Sering 5. Sangat sering 11. Terlibat sebagai apa ? 1. meramaikan kampanye 2. pengatur kampanye 3. penyampai kampanye 4. penyelenggara kampanye 5. lainnya,sebutkan………….
2
12. Partai politik yang pernah anda ikuti: a. PDI Perjuangan b. Partai Golkar c. Partai Persatuan Pembangunan d. Partai Demokrat e. Partai Bulan Bintang f. Partai Amanat Nasional g. Partai Kebangkitan Bangsa
h. Partai Keadilan Sejahtera i.. lainnya,sebutkan ………. ………………………….
Terpaan Media Massa: 13. Apakah Bapak/Ibu membaca surat kabar dalam tiga bulan terakhir? 1. ya 2. tidak 14. Jika “ ya” seberapa sering? ( pilih satu jawaban ) 1. 6 – 7 hari dalam seminggu 2. 5 – 4 hari dalam seminggu 3. 4 – 3 hari dalam seminggu 4. Sekali seminggu 5. Lebih jarang dari itu. 15. Seberapa sering Anda membaca surat kabar berikut ini dalam tiga bulan terakhir? (masing-masing satu jawaban untuk satu jenis surat kabar)
Jenis Surat Kabar
Tidak pernah 1
Frekuensi Membaca 1-3 hari 3-4 hari seminggu seminggu 2 3
4-5 hari seminggu 4
Setiap hari 5
1. Kompas 2. Republika 3. Media Indonesia 4. Seputar Indonesia 5. Merdeka 6. Pos Kota 7. Harian terbit 8. Suara Karya 9. Koran Tempo 10. Warta Kota 11. Pembaharuan 12. Jawa Post 13. lainnya…………
16. Apakah Bapak/Ibu membaca majalah dalam tiga bulan terakhir? ( pilih satu jawaban ) 1. ya 2. tidak (lanjut ke pertanyaan No. 18)
3
17. Jika “ Ya “ seberapa sering? ( pilih salah satu jawaban) 1. sekali sebulan 2. dua kali sebulan 3. tiga kali sebulan 4. empat kali sebulan 5. lainnya,sebutkan ………………….
18. Apakah Bapak/Ibu pernah menonton TV pada masa kampanye Pemilu tahun 2004? 1. Tidak pernah ( jika tidak pernah, lanjut ke no20) 2. Kadang-kadang ( = 2 kali, seminggu) 3. Jarang ( 3-4 kali/minggu) 4. Sering ( 5 kali / minggu) 5. Sangat sering (= 6 kali seminggu)
19. Seberapa sering Bapak/Ibu menonton televisi dari stasiun televis i berikut tiga bulan terakhir? ( masing-masing satu jawaban untuk satu stasiun TV)
Stasiun TV
Tidak pernah 1
Frekuensi Menonton 1-3 hari 3-4 hari seminggu seminggu 2 3
4-5 hari seminggu 4
Setiap hari 5
1. TVRI 2. RCTI 3. SCTV 4. INDOSIAR 5. TPI 6. ANTEVE 7. TRANS TV 8. TV.7 9. LATIVI 10. METRO.TV 11. GLOBAL TV 12. O -CHANNEL TV 13. JAK-TV 14. STA..TV LOKAL
4
Cara mendapatkan Informasi: 20. Sebagai warga Negara yang terlibat pada pemilu 2004, apakah Bapak/ Ibu pernah mencari informasi berkaitan dengan Kuota 30% untuk Perempuan? 1. Tidak pernah ( jika tidak pernah, lanjut ke no 22) 2. Kadang-kadang ( 1 kali, semasa pemilu) 3. Jarang ( 2-3 kali semasa pemilu) 4. Sering ( 4 kali semasa pemilu) 5. Sangat sering ( = 6 kali semasa pemilu ) 21. Apakah Bapak/Ibu pernah mencari informasi tentang kuota 30% kedalam lembaga berikut,
Nama Lembaga 1. KPU Pusat 2. KPU Daerah 3. Kantor Pemerintah setempat 4. Kantor Partai politik 5. Kantor DPR.RI 6. Kantor DPR daerah
PERNAH 1
TIDAK 2
22. Apakah Bapak/Ibu pernah mendiskusikan masalah keterwakilan perempuan di legislatif? 1. 2. 3. 4. 5.
Tidak pernah ( jika tidak pernah, lanjut ke no 24) Kadang-kadang ( 1 kali, selama kampanye) Jarang ( 2-3 kali, selama kampanye) Sering ( 5 kali, selama kampanye ) Sangat sering (= 6 kali selama Kampanye)
23. Dengan siapa dan topik apa yang dibahas serta pihak yang terlibat dalam diskusi. Tempat/Lembaga
Topik yg dibahas
Pihak yang dihubungi
Motivasi 24. Seandainya Bapak/Ibu terlibat politik, apa yang dicari dengan keterlibatan tersebut? 1. mencari wawasan 2. mencari teman 3. mencari posisi struktur partai 4. mencari popularitas 5. lainnya, sebutkan……………………….
5
25. Seandainya ada saudara perempuan Bapak/Ibu yang terlibat politik bagaimana tanggapan anda? 1. Tidak senang, akan melarang 2. Kurang senang, tapi membiarkan 3. Agak senang, tapi tidak mendukung 4. Senang, akan mendukung 5. Sangat senang, akan mendukung dengan membantu
II. FAKTOR SITUASIONAL RESPONDEN (Pilih salah satu jawaban dari setiap pernyataan ) Pernyataan Sangat Setuju setuju Budaya Patriarkhi 1.Laki-laki lebih diutamakan dalam segala hal 2.Politik lebih cocok untuk lakilaki daripada untuk perempuan 3.Laki-laki sangat berperan dalam politik dibanding perempuan 4.Partai politik lebih menyukai laki-laki terlibat secara struktur disbanding perempuan Agama 5.Kuota 30% keterwakilan perempuan sangat bertentangan dengan agama (yang Anda anut) 6.Agama (yang anda Anut) kurang mendukung perempuan menjadi pemimpin 7.Ajaran Agama (yang anda anut) menyatakan perempuan adalah pengikut suami 8. Agama (yg anda anut) menghalangi gerak/kegiatan perempuan secara public Kebijakan Pemerintah 9. Undang-undang tentang pemilu No.12 tahun 2003 belum banyak membahas politik perempuan 10.Keterwakilan perempuan dengan kuota 30% belum terjawab karena kurang sosialisasi
Kadangkadang
Kurang setuju
Tidak setuju
6
11.Kebijakan tentang kuota 30% masih belum banyak dimengerti oleh perempuan secara umumnya 12.Pemerintah harus melaksanakan sosialisasi kuota 30%, agar perempuanIndonesia mengerti arti kuota Tersebut Kebiasaan
Sangat sering
Sering
Kadangkadang
Kurang Tidak sering pernah
Sangat benar
Benar
Kadangkadang
Kurang Tidak benar benar
13.Membicarakan sesuatu hal yang belum anda mengerti, biasanya anda selalu mencari orang lain 14.mengerjakan pekerjaan Rumah tangga apakah anda terlibat secara langsung 15.Anda terbiasa membaca surat kabar setiap hari 16.Anda mendiskusikan informasi kuota 30% bersama teman-teman 17.Mendengarkan diskusi di Radio setiap hari 18.Menonton Tele visi setiap hari Kelompok rujukan 19.Keputusan yang dilakukan anda dipengaruhi oleh orang lain 20 Melakukan kegiatan sosial dilingkungan Masyarakat di tempat tinggal
21.Aktifitas Anda di dorong oleh orang lain 22.Pendapat Anda dengan teman anda sama terhadap kuota 30%
7
PERSEPSI TERHADAP KUOTA 30% KETERWAKILAN PEREMPUAN DILEGISLATIF (Pilih salah satu jawaban dari setiap pernyataan ) Pernyataan Sangat Setuju setuju Akses Politik 1. Kuota 30% dapat menjadi saluran politik perempuan di Indonesia. 2 . Saluran politik bagi perempuan perlu dipelajari melalui sosialisasi politik 3. Perempuan Indonesia sangat membutuhkan kuota untuk keterwakilan di legislatif 4. Kuota 30% sudah ses uai dengan kebutuhan politik perempuan di Indonesia 5. Partai politik telah memberikan peluang yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam politik 6. Peran Partai politik dalam menyalurkan Politik perempuan sudah sesuai prosedur yang berlaku 7. Pelatihan yang diadakan Partai politik sudah mewakili kepentingan politik perempuan Partisipasi Politik 8. Perempuan ikut dalam politik sebagai pelengkap struktur 9. Pengambilan keputusan yang menyangkut hak perempuan sebaiknya melibatkan perempuan 10.Partisipasi perempuan yang terlibat politik masih sedikit 11.Pemimpin perempuan di Lembaga Indonesia masih sedikit 12.Kuota 30% dapat mewujudkan partisipasi perempuan dalam politik 13.Peran perempuan dalam mengembangkan diri dan memperjuangkan hak-hak
Kadangkadang
Kurang Tidak setuju setuju
8
perempuan mulai muncul setelah adanya kuota 30% 14. Perempuan yang ada di Parlemen sebagai anggota legislatif masih belum tampak berperan aktif dalam pengambilan keputusan 15. Perempuan yang ada di Parlemen harus siap membela kepentingan dan hak perempuan 16. Perempuan berada secara politik bukan karena kaderisasi 17. Perempuan ada dalam politik karena desakan diri sendiri 18. Perempuan masih sering dicekal dalam kampanye politik sebagai calon legislatif. 19. Perempuan sangat berpotensi aktif dalam politik 20. Kuota 30% dapat membantu jumlah partisipasi politik perempuan Keterwakilan Politik 21. Jumlah perempuan di legislatif belum mencapai 30% dari jumlah laki-laki 22. Perempuan belum pernah menjadi ketua Komisi di DPR.RI. maupun DPRD 23. Jumlah 30% cukup sebagai kuota keterwakilan bagi perempuan 24. P artai politik telah memberikan kesempatan kepada perempuan untuk memenuhi kuota 30% di legislatif. 25. P ersyaratan yang ditentukan Partai politik untuk menjadi calon legislatif tidak sulit 26. Pelayana n Partai politik terhadap calon legislatif sangat membantu 27. Pelayanan Partai politik tidak membedakan caleg laki-laki dan perempuan
9
28. Pendapatan semua anggota Parlemen di Legislatif tidak ada perbedaan antara lakilaki dan perempuan 29. Pemilu secara langsung dengan sistem Distrik kurang menguntungkan perempuan 30. Pemilu secara proporsional akan membantu peningkatan jumlah kuota perempuan
10