Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
STUDI PUPA LALAT PENYEBAB MYASIS DI INDONESIA, Chrysomya bezziana (Study on Pupation of Myiasis Fly, Chrysomya bezziana, in Indonesia) APRIL H. WARDHANA dan SRI MUHARSINI Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114
ABSTRACT Control method for myasis on livestock using gamma irradiation (Sterile Insect Technique) needs a large quantity of pupae. Comprehensive understanding on pupae stage of C. bezziana is very important, therefore the data on a good quality of pupae could be achieved. The aim of study is to understand the sex propability on instar larvae III (L3) after pupation, the deep of tunnel made by larvae for pupation using different medium, the optimal temperature for pupae emerging and decreasing of larval weight to be a pupae and adult fly. Six hundreds larvae were used for probability study which conducted by collection evacuated larvae from media on the day-1 and day-2 at 10 o’clock am, 1 and 4 o’clock pm. Four media were used (sand, vermicullite, small stones and soil) for testing the tunnel deep made by larvae. Two thousand and two hundreds larvae were placed on to a tunnel container of 25 cm height and incubated at 36oC. Eight hundred larvae which were incubated at 4, 20, 27 and 36oC were used for the experiment on emerging temperature, while 300 larvae were placed individually (1 larvae/pot) for testing the decreased of larval weight. The result showed that total larvae which evacuate on day-1 was emerging 3.05 times was female, while 1.3 times became male flies on the day-2. The everage of the deep of tunnel made by larvae on the medium of sand, vermicullite and soil and small stone were 4–7 cm, 4–6 cm and 3–5 cm, respectively. Adult flies was starting emerge on the day-7 to 9 and still alive up to day-12 at 27oC without feeding, while at 36oC the flies were emerging on the day-6. Pupae which were incubated at 4oC failed to emerge, while incubation at 20oC were still alive up to day-2. The minimum of pupae weight which was able to emerge was 23.5 mg. Instar larvae III weight (48.12 mg) decreased 25.88% and 44.93% for being pupae and adult fly, respectively. Key words: Myiasis, Chrysomya bezziana, pupae, temperature ABSTRAK Upaya pemberantasan penyakit myasis pada ternak dengan cara irradiasi sinar gamma (Sterile Insect Technique) memerlukan produksi pupa dalam jumlah yang sangat besar. Pemahaman yang jelas terhadap stadium pupa pada lalat Chrysomya bezziana sangat penting sehingga diperoleh data-data kualitas pupa yang baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui probabilitas jenis kelamin pada larva instar III (L3) setelah turun dari sumber makanan (pre pupa), kedalaman terowongan yang dibuat oleh larva untuk membentuk pupa dalam berbagai media, suhu penetasan dan penurunan bobot larva menjadi pupa dan lalat dewasa. Sebanyak 600 larva digunakan untuk uji probabilitas dengan cara mengoleksi larva yang turun dari sumber makanan pada hari pertama dan kedua yaitu pukul 10, 13, dan 16. Empat media (pasir, vermicullite, kerikil dan tanah) digunakan untuk uji kedalaman terowongan. Sebanyak 2200 larva dimasukkan ke dalam tabung dengan tinggi 25 cm dan diinkubasi pada suhu 36oC. Uji suhu penetasan dilakukan pada 800 larva yang diinkubasi pada suhu 27, 36, 20 dan 4oC sedangkan 300 larva ditempatkan dalam pot obat secara individu (1 larva/pot) digunakan untuk uji penurunan bobot larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total larva yang turun pada hari pertama menetas 3,05 kali menjadi lalat betina dan 1,3 kali menjadi lalat jantan pada hari ke-2. Rata-rata kedalaman terowongan yang dibuat oleh larva adalah 4–7 cm (pasir), 4–6 cm (vermicullite dan tanah) dan 3–5 cm pada media kerikil. Lalat mulai menetas pada hari ke-7 sampai hari ke-9 dan bertahan hidup hingga hari ke-12 pada suhu 27oC tanpa pemberian pakan sedangkan pada suhu 36oC lalat mulai menetas pada hari ke-6. Pupa yang diinkubasi pada suhu 4oC tidak menetas sedangkan yang diinkubasi pada suhu 20oC mampu bertahan hidup sampai hari ke-20. Bobot pupa minimal yang masih mampu menetas adalah 23,5 mg. Bobot larva (48,12 mg) akan turun sekitar 25,88% untuk menjadi pupa dan sekitar 44,93% untuk menjadi lalat dewasa. Kata kunci: Myasis, Chrysomya bezziana, pupa, suhu
702
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PENDAHULUAN Lalat Chrysomya bezziana dilaporkan sebagai lalat penyebab utama penyakit myasis di Indonesia terutama pada daerah-daerah yang ternaknya dipelihara secara semi intensif dan ekstensif (WARDHANA et al., 2003a). Lalat ini disebut parasit obligat karena mutlak memerlukan jaringan hidup untuk pertumbuhannya. Akibat infestasi larva lalat ini ke dalam tubuh ternak menyebabkan terjadinya penurunan bobot badan dan produksi susu, anemia, kerusakan kulit bahkan apabila luka semakin luas dapat mengakibatkan terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri (BARHOOM et al., 1998). Upaya pemberantasan dan pengawasan terhadap populasi lalat ini di lapang telah banyak dilakukan antara lain dengan pembuatan pemikat (atrractant) (URECH et al., 2002), vaksin rekombinan (VOUCOLO et al., 2000) dan pengujian terhadap beberapa insektisida baik sintetik maupun botanis. Metode-metode di atas akan menjadi lebih efektif apabila diintegrasikan dengan program Steril Insect Teqhnique (SIT) yaitu pembuatan lalat jantan steril dengan irradiasi sinar gamma (WHITTEN, 2002). Oleh karena itu, SIT diarahkan untuk mengontrol dan memberantas semua jenis hama termasuk pada lalat penyebab myasis yaitu, C. bezziana. TWEDDLE (2002) mengatakan bahwa ada tiga komponen penting yang harus diperhatikan dalam SIT, yaitu produksi pupa insekta steril, penetasan pupa menjadi lalat steril di daerah yang berdekatan dengan daerah target dan pengawasan serta pemonitoran populasi di lapang. Oleh karena itu, pupa yang berkualitas menjadi faktor penting dalam keberhasilan program SIT. Produksi pupa dalam skala besar untuk diirradiasi memerlukan pengetahuan teknik pemeliharaan (mass rearing) lalat di laboratorium yang tepat sehingga dapat menghasilkan pupa yang berkualitas dalam jumlah yang banyak. Kondisi lingkungan yang sesuai seperti lingkungan untuk kawin merupakan faktor penting untuk produksi telur yang optimal (FISHER, 2002). WILDE (2002) menginformasikan bahwa untuk mendapatkan koloni laboratorium yang stabil diperlukan sekurang-kurangnya 16 bulan guna memberi
kesempatan koloni tersebut beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru. Stadium pre pupa dan pupa merupakan stadium yang tidak tergantung pada inang/host tetapi keberadaanya sangat tergantung pada kondisi lingkungan seperti kelembaban, suhu dan iklim. Stadium ini bersifat statis diantara beberapa stadium metamorfosis yang terjadi pada lalat C. bezziana sehingga sangat memungkinkan untuk dilakukan penyimpanan dalam jumlah yang sangat besar. Menurut SPRADBERY (1994) bahwa stadium pupa dapat bertahan selama seminggu pada suhu 25–30oC dan bertahan lebih lama (sekitar satu bulan) pada suhu rendah. Stadium pupa sangat memungkinkan untuk disimpan, dikirim dan dimanipulasi periodenya dengan menginkubasinya pada suhu yang berbeda-beda. Pupa juga dapat disimpan pada kondisi yang kurang oksigen (hypoxic). Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pupa yang disterilisasi. FISHER (2002) menjelaskan bahwa sebelum dikirim ke daerah sasaran, pupa yang telah disterilisasi disimpan dalam kondisi hypoxic sehingga dibutuhkan pupa yang berkualitas. Namun demikian, jenis kelamin lalat masih belum dapat dibedakan pada stadium ini sehingga sterilisasi dilakukan pada semua pupa (jantan dan betina). Pengontrolan dan pengawasan yang ketat terhadap lingkungan sangat diperlukan untuk mengoptimalkan perkembangan dan daya hidup pupa secara serentak. SUTHERST et al. (1989) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara suhu perkembangan pupa di lingkungan dengan hasil penangkapan lalat C. bezziana khsususnya pada habitat pinggiran (marginal). KRAFSUR (1987) berpendapat bahwa perubahan suhu dan iklim berpengaruh terhadap pelepasan lalat jantan steril pada program SIT. Menurut SPRADBERY et al. (1991a) bahwa pupa yang dapat bertahan hidup dan perkembangan sel telur dalam lalat betina merupakan komponen yang penting dalam dinamika populasi lalat C. bezziana. Perkembangan kedua komponen tersebut sangat tergantung pada suhu lingkungan. Makalah ini menguraikan tentang probabilitas terjadinya jenis kelamin dari pupa yang terbentuk pada hari yang berbeda dan kemampuan larva membuat terowongan di dalam media yang berbeda. Selain itu, diuraikan juga pengaruh suhu pada penetasan
703
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
pupa dan penurunan bobot badan larva menjadi pupa sampai lalat dewasa. MATERI DAN METODE Sampel Lalat C. bezziana yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari laboratorium Entomologi, Departemen Parasitologi, Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Media artifisial untuk pemeliharaan dibuat berdasarkan metode SUKARSIH et al. (2000) yang dimodifikasi, yaitu mengganti tepung darah dengan darah beku segar sapi (marus) yang diperoleh dari Rumah Potong Hewan, Bogor. Uji probabilitas jenis kelamin Uji probabilitas ditujukan untuk mengetahui jenis kelamin lalat yang berasal dari larva (L3) setelah turun dari tubuh inang pada hari yang berbeda. Sebanyak 600 L3 yang terbagi menjadi enam ulangan digunakan dalam uji ini. Larva instar I (L1) ditempatkan dalam kotak plastik yang berisi media LRM (Larval Rearing Media) berukuran 6 x 10 cm dan dipelihara hingga menjadi larva III. Larva diinkubasi pada suhu 36oC sampai hari keenam dan dibiarkan turun dari sumber makanan secara alamiah. Larva yang turun ke vermicullite dikoleksi pada hari pertama dan kedua yaitu, pukul 10 : 00, 13 : 00 dan 16 : 00. Larva dipindahkan ke dalam kontainer yang berisi vermiculate dan diinkubasi pada suhu 36oC. Lalat yang menetas dari pupa diidentifikasi jenis kelaminnya berdasarkan SPRADBERY (1991b). Uji kedalaman terowongan Sebanyak empat media digunakan dalam uji ini, yaitu pasir, kerikil, tanah dan vermicullite. Masing-masing media dimasukkan kedalam tabung kaca dengan diameter 13 cm dan tinggi 25 cm. Sebanyak 2200 L3 (umur 6 hari) dibagi menjadi empat perlakuan (550 larva per perlakuan) dan dimasukkan ke dalam tabung, selanjutnya diinkubasi pada suhu 36oC. Kedalaman terowongan diukur per 1 cm pada hari ketiga pasca penanaman larva ke dalam media.
704
Uji suhu penetasan Uji ini menggunakan 400 pupa yang terbagi menjadi empat perlakuan dengan dua ulangan (50 pupa per ulangan). Pupa dimasukkan ke dalam kotak plastik berukuran 9 x 14 cm dan ditutup dengan kain kasa, selanjutnya diinkubasi pada 27, 36, 20 dan 4oC. Lalat yang telah menetas diidentifikasi dan dimasukkan ke dalam sangkar kasa berukuran 30 x 30 x 30 cm tanpa diberi pakan dan minum. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk menghitung jumlah lalat menetas dan yang mati. Uji penurunan bobot badan Sebanyak 300 L3 (umur 6 hari) dipilih secara acak. Setiap larva ditimbang dan dimasukkan ke dalam pot obat yang telah berisi vermiculate. Masing-masing pot obat ditutup dengan kain kasa dan diinkubasi pada suhu 36oC. Parameter yang diamati pada uji ini adalah bobot pupa, lalat dewasa dan cangkang pupa (puparium). HASIL DAN PEMBAHASAN Uji probabilitas jenis kelamin Sejak telur menetas menjadi L I sampai ke stadium pupa, jenis kelamin lalat masih belum dapat dibedakan karena antara larva jantan dan betina mempunyai morfologi yang sama. WARDHANA et al. (2003b) menyebutkan bahwa lalat betina menetas satu hari lebih awal dibandingkan lalat jantan. Berdasarkan pendapat ini diduga bahwa larva yang bakal menjadi lalat betina akan turun dari sumber pakan lebih awal. Untuk mengkonfirmasi pendapat ini maka perlu dilakukan pemisahan larva yang turun dari sumber pakan pada hari yang berbeda kemudian diamati hingga menetas menjadi lalat dewasa. Larva yang turun pada hari kedua (umur 6 hari) 2,8 kali lebih banyak dibandingkan hari pertama (umur 5 hari). Menurut SPRADBERY et al. (1983), periode turunnya larva C. bezziana dari luka inang adalah 2 hari (umur 6 dan 7 hari). Umumnya larva yang turun pada hari kedua lebih banyak daripada hari pertama.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
30
Jumlah lalat
25 Jantan/I
20
Betina/I 15
Jantan/II Bentina/II
10 5 0 10:00
13:00
16:00
Waktu pengamatan
Gambar 1. Probabilitas jenis kelamin lalat C. bezziana berdasarkan turunnya larva dari sumber pakan pada hari pertama dan kedua
Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva yang turun dari sumber pakan pada hari pertama 3,05 kali lebih banyak menjadi lalat betina dan 1,3 kali menjadi lalat jantan pada hari kedua (Gambar 1). Hasil ini sama dengan pendapat MAHON dan LEOPOLD (2002) yang menyatakan bahwa larva betina cenderung turun dari sumber pakan lebih awal daripada larva jantan. Adanya persamaan hasil ini membuktikan bahwa dugaan larva yang turun ke tanah pada hari pertama akan menjadi lalat betina telah terbukti. Uji kedalaman terowongan Larva C. bezziana yang telah berumur 5–6 hari (L3) akan meninggalkan luka inang sebagai sumber pakan. Larva akan masuk ke dalam tanah dengan membuat terowongan agar terhindar dari sinar matahari dan mendapatkan suhu yang lebih rendah dari lingkungan luar. Tahap ini memungkinkan larva untuk melakukan perjalanan beberapa meter. TRAVIS et al. (1940) melaporkan larva Cochliomyia hominivorax mampu menempuh jarak 2,1 meter sebelum membentuk terowongan dan membentuk pupa. Terowongan yang dibentuk
bervariasi, yaitu 15,2 cm pada musim dingin dan 5,1 cm pada musim panas. Jenis media yang digunakan pada penelitian ini didasarkan pada kondisi tanah di lapang yang berbeda-beda dan dibandingkan dengan vermicullite. Pasir yang digunakan mempunyai butiran yang cukup homogen dan media tanah mempunyai tekstur yang mirip dengan tanah kandang. Media kerikil berasal dari butiran batu kecil dengan ukuran yang berbeda-beda. Semua media diinkubasi pada lingkungan laboratorium bersuhu 36oC. Ditinjau dari banyaknya larva yang terkonsentrasi pada kedalaman tertentu menunjukkan hasil yang beragam, yaitu pasir (41–70 mm), vermicullite dan tanah (41–60 mm) sedangkan terowongan pada media kerikil mempunyai kedalaman 31–50 mm. Tinggi rendahnya kedalaman terowongan diduga karena sifat dari media. Larva mengalami kesulitan untuk menembus ke bawah pada media kerikil karena semua sisi yang dijumpai adalah batu-batu kecil yang rapat. Hasil yang cukup menarik adalah terdapatnya satu larva yang mampu membuat terowongan hingga kedalaman 151–160 mm pada media pasir dan 161–170 pada vermicullite (Tabel 1).
705
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 1. Jumlah larva C. bezziana yang membuat terowongan pada media yang berbeda Jenis media pasir
Vermiculate
Kerikil
Tanah
0–10 11–20 21–30 31–40 41–50 51–60 61–70 71–80 81–90 91–100 101–110 111–120 121–130 131–140 141–150 151–160 161–170 171-180
1 5 7 14 107 143 171 54 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0
3 11 26 87 135 157 34 18 6 6 1 0 0 0 0 0 1 0
8 24 73 137 192 38 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Umumnya posisi larva yang menjadi pupa adalah vertikal dan kepala berada diatas, hanya beberapa pupa saja yang horisontal. Persentase pupa yang terbentuk pada masing-masing media berbeda-beda, yaitu pasir (91,64%), vermicullite (88,18%), kerikil (86,55%) dan tanah (90,91%). Namun demikian, belum ada laporan yang menyebutkan tentang pengaruh media-media tersebut pada terbentuknya pupa. Adanya perbedaan diatas diduga karena variasi individu larva C. bezziana yang berbeda-beda.
2 2 3 32 167 208 74 8 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Uji suhu penetasan Suhu merupakan faktor yang penting dalam penetasan pupa menjadi lalat dewasa (DAVIES dan RATCLIFFE, 1994). Umumnya pupa yang disimpan dalam suhu rendah akan menetas lebih lama dibandingkan dengan suhu tinggi. Lama hari penyimpanan dapat dijadikan perkiraan bertahannya pupa untuk dibawa ke suatu daerah target SIT.
Tabel 2. Jumlah lalat yang menetas pada inkubasi suhu yang berbeda Jumlah larva yang menetas pada suhu (oC) Hari penetasan
6 7 8 9 10 11 12 13 14
706
4
20
27
36
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0,5 15 24 5 5,5 2 1 0
0 1 32 13 1,5 0,5 0 0 0
0 30 15 3,5 0 0 0 0 0
1 43 6 1 0 0 0 0 0
1 35 4 0 0 0 0 0 0
1 43 6 1 0 0 0 0 0
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Hasil pupa yang menetas menjadi lalat jantan dan betina yang menetas pada suhu 4oC, 20oC, 27oC dan 36oC dapat dilihat pada Tabel 2. Persentase total lalat yang menetas adalah 0 % (4oC), 99 % (20oC), 93 % (27oC) dan 98,5 % (36oC). Pada suhu 36oC, lalat jantan menetas mulai hari ke tujuh sampai hari ke sembilan terhitung saat L3 jatuh ke vermiculate sedangkan pada suhu 27oC lalat jantan menetas mulai hari ke enam sampai ke delapan. Periode penetasan lalat jantan pada suhu 20oC lebih lama, yaitu pada hari ke tujuh sampai ke 13 (Tabel 2). Berbeda dengan hasil di atas, lalat betina menetas 1 hari lebih awal dibandingkan lalat jantan (Tabel 2). Tidak ada pupa yang menetas menjadi lalat dewasa pada suhu 4oC. Lalat yang menetas dipindahkan ke sangkar. Lalat tidak diberi pakan tambahan dan air minum sehingga diketahui lama daya tahan hidup lalat pasca menetas. Kematian terjadi pada hari ke-8 baik jantan maupun betina pada suhu 27oC dan 36oC sedangkan pada hari ke-11 untuk suhu 20oC (Tabel 3). Lalat jantan dapat bertahan hingga hari ke-13 atau 1 minggu (27oC) dan hari ke-10 atau 5 hari (36oC). Daya tahan hidup yang lebih lama dimiliki oleh lalat jantan yang menetas pada suhu 20oC, yaitu sampai hari ke-20.
Kematian lalat betina mulai terjadi pada hari ke-8 sampai hari ke-9 pada suhu 36oC sedangkan pada suhu 27oC, lalat betina mampu bertahan hidup sampai hari ke-11. Larva betina yang mati terjadi pada hari ke-11 sampai hari ke-17 pada suhu 20oC (Tabel 3). Secara fisiologis, metabolisme energi pada lalat yang dipelihara pada suhu rendah berjalan lebih lambat sehingga lalat yang dipelihara mampu bertahan hingga hari ke-20. Uji penurunan bobot badan Penurunan bobot larva ke pupa sampai ke lalat dewasa dapat dilihat pada gambar 6. Larva yang mempunyai bobot badan kurang dari 30 mg cenderung tidak dapat membentuk pupa sedangkan bobot pupa yang kurang dari 23,5 mg cenderung tidak dapat menetas menjadi lalat dewasa. Rata-rata bobot L3 adalah 48,57 ± 0,004 mg dan mengalami penurunan sekitar 25,87 % (36,01 ± 0,004 mg) untuk menjadi pupa dan sekitar 44,93 % (26,75 ± 0,003 mg) setelah menjadi lalat dewasa. Cangkang pupa (puparium) mempunyai bobot sekitar 3,97 ± 0,001 mg atau 8,17 % dari bobot L3 (Gambar 2).
Tabel 3. Jumlah lalat yang mati pada inkubasi suhu yang berbeda tanpa diberi pakan Jumlah lalat yang mati pada suhu (oC) 4
Hari penetasan 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
20
27
36
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 1 4,5 18 14 10 4 0 1 1
0 0 0 0 0 1 3,5 17 14 5 2,5 1 0 0 0
0 0 4 30 1,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 12 34 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 26 13 7 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 6 36 7,5 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
707
26-30 31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60
21-25
16-20
10-15
Stadium perkemba ngan lalat
Imago
Larva
65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
t (mg) Kelompok bobo
Bobot larva (mg)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
10-15 21-25 31-35 41-45 51-55
16-20 26-30 36-40 46-50 56-60
Gambar 2. Penurunan bobot badan pada berbagai stadium perkembangan lalat C. bezziana
Bobot minimal pupa dapat dijadikan parameter untuk membuktikan efikasi suatu insektisida atau obat-obat myiasis lainnya. Daya kerja suatu insektisida terhadap insekta adalah melalui saluran pencernaan (efek racun perut) dan bersinggungan langsung dengan tubuh insekta (efek racun kontak) (PRIJONO, 1994). Apabila hasil uji tersebut menghasilkan pupa yang kurang dari standar maka kemungkinan menetas menjadi lalat dewasa sangatlah kecil atau dengan kata lain bahwa insektisida yang diuji berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva C. bezziana. Data-data yang diperoleh pada beberapa uji diatas dapat dijadikan acuan untuk memonitor kualitas larva yang dipelihara di laboratorium. Koloni laboratorium senantiasa harus dievaluasi pada tahap pre pupa dan pupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk SIT, uji obat, uji pemikat, uji vaksin dan keperluan yang lain. Jika diperoleh koloni yang kurang sehat (bobot badan kurang dari datadata di atas) maka perlu ditelusuri komposisi media, kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) dan kemungkinan ada kontaminasi dari lingkungan.
betina dewasa. Media pasir dan tanah dapat dijadikan media alternatif sebagai media buatan untuk pembentukan pupa. Terowongan yang dibuat larva untuk menjadi pupa mempunyai kedalaman berkisar 6–7 cm dibawah tanah. Larva yang dipelihara pada suhu 20oC dan tanpa diberi pakan mempunyai umur yang lebih panjang yaitu 8 hari. Larva akan mengalami penurunan bobot badan sekitar 25,87% untuk menjadi pupa dan 44,93% untuk menjadi lalat dewasa. DAFTAR PUSTAKA BARHOOM, S.S., A.M. KHALAF dan F.S. KADHIM. 1998. Aetiological and clinical findingns of cutaneous myiasis in domestic animals in Iraq. Iraq J. Vet. Sci. 11: 31−44. DAVIES, L. dan G.G. RATCLIFFE. 1994. Development rates of some pre-adult satges in blowflies with reference to low temperatures. Med. Vet. Entomol. 8: 245−254.
KESIMPULAN
FISHER, K. 2002. Multi-insect rearing facilities for sterile insect technique in Australia. Proc. of screwworm fly emergency preparedness conference. Departement of Agriculture Fisheries and Forestry Australia. Canberra, 12−15 November 2001. pp. 169−175.
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan yaitu larva yang turun ke tanah lebih awal cenderung menjadi lalat
KRAFSUR, E.S. 1987. Climatological correlates of screwworm (Cochliomyia hominivorax) abudance in Texas, U.S.A. Med. Vet. Entomol. 1: 71−80.
708
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
MAHON, R.J. dan R.A. LEOPOLD. 2002. Cryopreservation of old world screw-worm fly embryos. Proc. of screwworm fly emergency preparedness conference. Departement of agriculture fisheries and forestry Australia. Canberra, 12−15 November 2001. pp. 163168.
TWEDDLE, N.E. 2002. Management issues for a sterile insect technique campaign against screw-worm fly in Australia. Proc. of screwworm fly emergency preparedness conference. Departement of agriculture fisheries and forestry Australia. Canberra, 1215 November 2001. pp. 210−215.
PRIJONO, D. 1994. Teknik Pemanfaatan Insektisida Botanis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
URECH, R., P.E. GREEN, G.W. BROWN, SUKARSIH, A.H. WARDHANA, R.S. TOZER dan J.P. 2002. Improvement to SPRADBERY. screwworm fly surveillance traps. Report to AQIS. DPI Queensland.
READSHAW, J.L. 1989. The influence of seasonal temperatures on the natural regulation of the screwworm, Cochliomyia hominivorax, in the Southern U. S. A. Med. Vet. Entomol. 3: 159−168. SPRADBERY, J.P., W.G. VOGT, D.P.A. SANDS dan N. DREWETT. 1991a. Ovarian develompment rates in the old world screw-worm fly, Chrysomya bezziana. Entomol. Exp. Appl. 58: 261-165. SPRADBERY, J.P. 1991b. A Manual for the diagnosis of screwworm fly. CSIRO Division of Entomology. Canberra. Australia. SPRADBERY, J.P. 1994. Screwworm fly: a tale of two species. Agric. Zool. Rev. 6. SUKARSIH, S. PARTOUTOMO, R. TOZER, E. SATRIA. G. WIJFFELS, dan G. RIDDING. 2000b. Establishment and maintenance of a colony of the old world screwworm fly, Chrysomya bezziana at Balai Penelitian Veteriner in Bogor, West Java, Indonesia. JITV Spec. Ed. 5(3): 144-149. SUTHERST, R.W., J.P. SPRADBERY dan G.F. MAYWALD. 1989. The potential geographical distribution of the old world screwworm fly, Chrysomya bezziana. Med. Vet. Entomol. 3: 273–280. TRAVIS, B. V., E. F. KNIPLING dan A. L. BRODY. 1940. Lateral migration and depth of pupation of the larvae of the primary screwworm Cochliomyia americana C. dan P. J. Econ. Entomol. 33: 847−850.
VUOCOLO, T., F. SUPRIYANTI, S. MUHARSINI dan G. WIJFFELS. 2000. cDNA library construction and isolation of genes for candidates vaccine antigens from Chrysomya bezziana (old world screwworm fly). JITV 5(3): 160–169. WARDHANA, A. H., S. MUHARSINI dan SUHARDONO. 2003a. Koleksi dan kejadian myasis yang disebabkan oleh old world screwworm fly, Chrysomya bezziana di daerah endemik di Indonesia. Pros. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Bogor, 29-30 September 2003. hlm. 235−239. WARDHANA, A. H., S. MUHARSINI dan SUHARDONO. 2003b. Studi biologi Chrysomya bezziana (Diptera: Calliphoridae) dalam kondisi laboratorium. Pros. Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Bogor, 29-30 September 2003. hlm. 230-234. WHITTEN, M. 2002. The sterile insect technique and its potential for Australia. Proc. of screwworm fly emergency preparedness conference. Departement of Agriculture Fisheries and Forestry Australia. Canberra, 12-15 November 2001. pp. 58–64. WILDE, A. 2002. Options for reducing lead times to implement a SIT facility. Proc. of screwworm fly emergency preparedness conference. Departement of Agriculture Fisheries and Forestry Australia. Canberra, 12-15 November 2001. pp. 199−202.
709
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
DISKUSI Pertanyaan: Pada suhu berapa inkubasi untuk penetasan? Jawaban: Berdasarkan hasil penelitian ini, suhu penetasan pupa menjadi lalat dapat dimodifikasi sesuai dengan tujuan yang akan dilakukan. Apabila kita menginginkan pupa cepat menetas maka dapat diinkubasi pada suhu 36oC atau suhu kamar (27oC), tetapi jika menginginkan waktu yang lebih lama, maka pupa dapat diinkubasi pada suhu 20oC.
710