STUDI KRITIS PERJANJIAN UTANG PIUTANG DALAM PEGADAIAN SYARIAH INDONESIA Oleh: Muhammad Sjaiful Alamat: Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Jl. Pangeran Antasari No. 9 Anduonohu Kendari, Sulawesi Tenggara. Email:
[email protected] Abstrak Pada prinsipnya hubungan kontrak dalam perjanjian utang piutang lebih menekankan pada sikap tolong menolong untuk membantu saudaranya yang kesulitan keuangan. Namun, jika dicermati praktik perjanjian utang piutang di pegadaian syariah Indonesia, ternyata masih terdapat beberapa aspek yang harus dikritisi apabila dikaitkan dengan penegakan asas taawun (tolong menolong) yang mendasari penormaan tegaknya perjanjian utang piutang berbasis syariah, antara lain tampak dalam praktik akad rahn yang masih meniscayakan pemungutan biaya perawatan oleh murtahin yang dihitung berdasarkan nilai taksiran dari barang yang digadaikan, sehingga tampaklah dalam penentuan ujrah dengan cara seperti itu basis pembiayaan, bukan basis akad ijarah. Begitu pula penentuan biaya administrasi, dalam praktik bukan berdasarkan pengeluaran riil untuk pelaksanaan transaksi itu, tetapi ditentukan berdasarkan konstanta tertentu dikalikan nilai taksiran rahn. Cara seperti itu menyalahi fatwa DSN tentang rahn dan rahn emas. Padahal jumlah jasa fotokopi, biaya materai, dan sejenisnya jelas relatif sama saja. Tentu saja praktik tersebut tidak sejalan dengan spirit transaksi dalam pegadaian syariah yang dijalankan atas dasar tolong menolong. Sebab, hubungan hukum utang piutang tidak boleh didasarkan kepada hubungan hukum yang mencari manfaat atau keuntungan secara komersial. Oleh karena itu, postur perjanjian hutang yang berlangsung di pegadaian syariah Indonesia perlu direkonstruksi kembali dengan tetap tegak atas dasar asas tolong menolong. Tujuannya untuk mengembalikan spirit perjanjian yang berlangsung antara rahin dan murtahin sehingga tidak terjebak dalam transaksi ribawi yang dilarang oleh syariah. Abstract Contractual relation in the debt agreement principally stressed on the principle of assistance for the one who suffered economic difficulty. In fact, several aspects must be critized in the practice of debt contract in Indonesian Islamic Mortgage Institution. The contract of rahn (mortgage) basically derives from the debt contract. Therefore, it should be implemented the basic principle of ta’awun (assistence). However, the practice of Islamic mortgage still demanded for service fee which was calculated from approximate value of the mortgage good. It meant that the determination of ujrah (rental fee) was not purely based on the basic principle of ijarah (leasing) but also considering the commercial value of the good.Besides, Islamic mortgage institution also determined administration fee which was counted from the approximate value times specific contantance. Those calculations could be classified as non-shariah
1
complience due the resolution of Indonesian Shariah Council on rahn (general mortgage and gold morgage) and the spirit of assistence principle because the administration fee should be counted form the real need of expense such as for duplicating the document, stamp fee, stationary need. On the other words, debt contractual in Islamic perspective could not be combined with commercial motive. Therefore, the body contract in Indonesian Islamic Mortgage Institution must be recontructed in order to uphold the general principle of assistence. The main purpose of the reconstruction was to avoid the parties in commiting the prohibiting transaction of riba (usuary). Kata kunci: perjanjian utang piutang, ijarah, pegadaian syariah Pendahuluan Pada prinsipnya Islam tidaklah melarang seorang muslim melakukan transaksi keuangan satu sama lain untuk mencari keuntungan (profit). Syariat Islam (Syariah) hanya membenarkan kerangka mencari keuntungan berdasarkan hubungan transaksi atau kontraktual yang dibenarkan oleh murni syariah, seperti jual beli (bay’), penyewaan (ijarah), ataupun bentuk transaksi lainnya yang dibenarkan oleh syariah, misalnya melakukan kerja sama usaha bersama (syirkah).1 Dalam transaksi keuangan secara spesifik berkenaan dengan perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokok yang terdapat pada fakta pegadaian syariah di Indonesia telah menimbulkan isu hukum yang semestinya dijawab dalam perspektif hukum syariah, yaitu bolehkah mengambil keuntungan (profit) dalam perjanjian utang piutang dalam pegadaian syariah jika dikaitkan dengan urgensitas tolong menolong untuk mencari kebaikan sebagai fondasi yang menjadi landasan tegaknya perjanjian utang piutang itu sendiri?. Selain itu, dalam perjanjian utang piutang pegadaian syariah telah ditetapkan akad rahn yang berisi hak bagi penerima gadai (murtahin) untuk menahan barang berharga milik pemberi gadai (rahin) dalam rangka pelunasan hutang tersebut. Dalam konteks akad rahn yang dikaitkan dengan keberadaan barang jaminan tersebut, apakah ini dapat diterjemahkan sebagai peluang bagi kedua belah pihak baik murtahin maupun rahin untuk menarik manfaat (profit) dalam hubungan perjanjian utang piutang tersebut? Perjanjian utang piutang2 di pegadaian syariah mensifatkan akad rahn yang melekat di dalamnya merupakan suatu bentuk perjanjian yang khas.3 Karakter khas itulah yang kemudian perlu dilakukan analisis secara mendalam dan terperinci menyangkut prinsip tolong menolong untuk kebaikan dan takwa sebagai kerangka dasar yang mendasari perjanjian tersebut. Problematika perjanjian utang piutang pegadaian syariah di Indonesia tersebut, tentu saja menimbulkan perdebatan dan kontroversi dikalangan para ahli hukum ketika menilai perspektif perjanjian transaksi keuangan, yang sejatinya selalu dianggap tidak
1
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), hlm. 29. Lihat juga Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani, 2002), hlm. 19. 2 Yusuf As-Sabatin, Bisnis Islami dan Kritik Atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), hlm. 365. 3 Mohammed Riza Abdullah, Law and Practice of Islamic Banking And Finance, Second Edition, (Selangor, Malaysia: Sweet and Maxwell Asia, 2010), hlm. 2000.
2
bisa lepas dari motivasi untuk mencari keuntungan (profit) bisnis.4 Tulisan ini hendak memberikan sebuah gambaran penting bahwa dalam aspek tertentu terdapat sebuah perjanjian transaksi keuangan berbasis syariah yang juga harus memperhatikan aspek ilahiah yang bukan semata-mata didorong oleh kepentingan bisnis (profit). Hal itu dimaksudkan agar perjanjian utang piutang sebagai perjanjian pokok dalam perspektif syariah tidak terjebak dalam riba. Persoalan riba dalam perspektif hukum syariah merupakan persoalan serius dan krusial bagi seorang muslim karena secara normatif sejumlah ayat dalam Al-Quran membahas tentang riba sebagai sebuah transaksi yang dilarang keras dan haram bagi seorang muslim untuk terlibat di dalamnya.5 Berpijak dari kerangka pemikiran tersebut, tulisan ini berupaya menelaah secara intens tentang keberlangsungan perjanjian utang piutang dalam bisnis gadai syariah di Indonesiai. Untuk itu, tulisan ini mengangkat isu sentral yang berjudul, rekonstruksi perjanjian utang piutang dalam Pegadaian Syariah di Indonesia untuk dijadikan sebagai kajian dan analisis. Tulisan ini secara substansi berbasis penelitian hukum normatif yang bermaksud meneliti format perjanjian utang piutang yang berlangsung di pegadaian syariah Indonesia. Mengingat tipe penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif6 maka pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan konseptual berbasis hukum syariah. Dengan pendekatan ini dapat digali dan diformulasikan landasan konseptual dalam perjanjian utang piutang sebagai instrumen analisis untuk merekonstruksi perjanjian utang piutang di pegadaian syariah Indonesia. Berdasarkan pendekatan konseptual tersebut maka dengan mudah dapat diidentifikasi format perjanjian utang piutang di pegadaian syariah Indonesia, yang tentu saja harus merujuk kepada doktrin-doktrin yang berkembang dalam hukum Islam, karena dari sinilah beranjak konsepsi ini.7 Untuk memperkuat analisis tulisan ini, maka diperlukan sejumlah bahan hukum sebagai alat analisisnya. Bahan hukum yang digunakan, antara lain bahan hukum supra, yaitu Al-Quran dan Hadis dan bahan hukum primer, yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Sebagai tambahan digunakan bahan hukum sekunder, yaitu berbagai tulisan ilmiah, teks hukum, jurnal ilmiah tentang perjanjian di Indonesia. Karakteristik Perjanjian Utang Piutang dalam Perspektif Islam Islam secara prinsip mengatur postur hukum perjanjian utang piutang dengan tetap mengintegrasikan karakteristik kewahyuan.8 Secara mendasar, Islam menetapkan 4
126-127.
Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm.
5
Umat Islam sepakat bahwa riba diharamkan. Menurut Mawardi dalam karya Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Addilatuhu, Penerjemah Abdul Hayyie Al_Katani, dkk., (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), hlm. 308. 6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), hlm. 93. 7 Ibid., hlm. 22. 8 Rahmani Timorita Yulianti, “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syariah,” Jurnal Ekonomi Islam, La_Riba, Vol. II, No. 1, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2008, hlm. 97. Ia menulis bahwa seluruh penerapan asas dalam perjanjian perspektif syariah tidak pernah dilepaskan dari nilai-nilai ketauhidan.
3
bahwa perjanjian utang piutang hukumnya ialah sunnah bagi kreditur (orang yang memberikan pinjaman) dan boleh (mubah) bagi debitur (orang yang meminta pinjaman).9 Memberi bantuan pinjaman uang atau modal kepada yang membutuhkan dalam perspektif ajaran Islam merupakan kebajikan.10 Seseorang yang membantu orang lain atau saudara-saudaranya berupa bantuan pinjaman uang disebabkan yang bersangkutan sangat membutuhkan maka kelak Allah Swt, mengganjarnya pahala di akhirat. Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa melepaskan seorang mukmin dari salah satu penderitaannya di dunia ini, maka Allah akan melepaskan dia dari salah satu penderitaannya pada hari kiamat nanti”. Sejalan dengan itu, dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Rasulullah Saw bersabda, “Tiada seorang Muslim menghutangi muslim lainnya dua kali, melainkan ia laksana orang yang bersedekah satu kali.11 Dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah Saw. bersabda, “Tatkala malam isra’ mi’raj, aku melihat di pintu surga tertulis, sedekah dilipatgandakan sepuluh kali dan pinjaman dilipatgandakan delapan belas kali. Aku bertanya kepada Malaikat Jibril, wahai Jibril kenapa qardh (pinjaman) lebih utama daripada sedekah? Jibril menjawab karena dalam sedekah pengemis meminta sedangkan dia punya, adapun bagi orang yang meminta pinjaman (berhutang), tidaklah ia berhutang kecuali karena ada kebutuhan ”.12 Ada perbedaan karakteristik perjanjian utang piutang dalam hukum Islam dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hukum Islam sangat melarang keras pengembalian utang yang menyelisihi harga pokok berupa tambahan baik sedikit maupun banyak. Dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, setiap tambahan atas pokok hutang disebut dengan bunga. Sedangkan dalam perspektif hukum Islam setiap tambahan atas pokok hutang disebut dengan riba. Terdapat beberapa dalil serta pendapat banyak ulama yang melarang riba, yaitu sebagai suatu perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Realitas Perjanjian Utang Piutang Pegadaian Syariah Di Indonesia Kehadiran lembaga pegadaian syariah oleh beberapa penulis yang concern terhadap hukum ekonomi syariah dipandang sebagai koreksi terhadap munculnya lembaga pegadaian konvensial peninggalan kolonial Belanda, yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Realitas perjanjian utang piutang yang berlangsung di pegadaian syariah Indonesia terlihat melekat dua akad, yaitu akad rahn dan akad ijarah. Dalam akad rahn tercakup akad utang piutang dengan menggadaikan harta sebagai jaminan. Sedangkan dalam akad ijarah tercakup akad penyewaan tempat dan 9
Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam ….. Op. Cit., hlm. 374-375. Wasilul Chair, Koversi Hutang Piutang Uang Menjadi Daging Sapi pada Masyarakat Desa Bicorong Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan Madura dalam Perspektif Hukum Islam. Lihat http://fe.unira.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/konversi-hutang-piutang-uangmenjadi-daging-sapi-pada-masyarakat-desa-bicorong.pdf. 11 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam shahih-nya, dan Baihaqi secara marfu’ dan mauquf dari Abdullah bin Mas’ud. Dalam sanad riwayat Ibnu Majah terdapat Sulaiman bin Basyir, ia adalah perawi matruk (yang ditinggalkan), tetapi banyak penguat dan syawahid lain dari Al-Quran dan Sunnah yang menguatkan Hadis tersebut (Lihat at-targhiib wat Tarhiib, Vol. II, hlm. 41 dan Nailul Authaar, Vol. V, hlm. 229). 12 Oleh Ibnu Majah dan Baihaqi dari Anas bin Malik. Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan pula dari Abu Umamah, dengan redaksi Hadis yang mirip Hadis di atas, lihat pula Majma’uz Zawaaid, Vol. IV, hlm. 126, at-Targhiib, Vol. II, hlm. 41. 10
4
jasa penyimpanan harta gadai. Dalam akad ijarah, lembaga pegadaian syariah yang menyediakan sewa tempat dan jasa penyimpanan, sedangkan nasabah yang menyewa tempat serta memanfaatkan jasa penyimpanan dimaksud. Kedua akad tersebut ditandatangani sekaligus pada saat nasabah (rahin) menggadaikan harta yang dijadikan sebagai jaminan. Dalam praktik perjanjian utang piutang pegadaian syariah, lembaga pegadaian biasanya menetapkan plafon jumlah utang yang bisa diterima oleh nasabah, yaitu berkisar makimal 90% dari nilai harga barang yang digadaikan. Sedangkan jangka waktu utang maksimal empat bulan bagi nasabah harus mengembalikan utangnya sesuai jumlah pokok. Sedangkan dari segi akad ijarah, nasabah dibebani membayar ujrah sewa tempat dan jasa penyimpanan kepada pegadaian selaku penerima gadai. Lazimnya, besaran ujrah yang sering disebut biaya simpanan yang berlaku di pegadaian syariah adalah Rp 90 untuk setiap kelipatan 10.000 dari nilai taksiran per sepuluh hari. Artinya, biaya untuk penyewaan jasa penitipan itu adalah 0,9% dari nilai taksiran untuk per 10 hari atau 2,7% dari nilai taksiran per 30 hari. Jika jangka waktunya empat bulan = 120 hari maka biaya penyewaannya adalah 10,8% dari nilai taksiran. Selain itu, nasabah juga dibebani kewajiban membayar biaya administrasi. Besarnya biaya administrasi itu menurut fatwa Dewan Syariah Nasional harus berdasarkan biaya yang nyata-nyata dikeluarkan. Misalnya, biaya foto kopi, materai, jasa taksir, dan sebagainya. Dalam praktik pegadaian syariah yang berlangsung sekarang, biaya administrasi ada yang langsung ditetapkan nominalnya sesuai klasifikasi besaran utang tertentu. Ada juga yang ditetapkan dengan konstanta tertentu untuk setiap kelipatan niai taksiran tertentu, misalnya, Rp 50,00 untuk setiap kelipatan 5000 atau 1% dari nilai taksiran. Biaya administrasi yang dibebankan kepada rahin hanya sekali dibayar, yaitu pada saat perjanjian utang piutang dengan skema gadai berawal. Adapun contoh dari perjanjian utang piutang dengan peletakan akad gadai (rahn) yang berlangsung di pegadaian syariah, sebagai berikut: seorang nasabah hendak meminjam uang di pegadaian syariah dengan mengadaikan harta bergeraknya. Setelah ditaksir nilai harta bergeraknya itu oleh pegadaian syariah, ternyata harta bergerak yang akan digadaikan sebagai gadai (jaminan), bernilai Rp 1 juta. Menurut ketentuan, nasabah hanya diperbolehkan mendapat pinjaman uang sebesar maksimal 90% dari nilai taksiran. Artinya, nasabah hanya diperbolehkan mendapat pinjaman sebesar Rp 900 ribu. Pada saat akad utang piutang dibuka dengan melekatkan akad gadai (rahn), pihak nasabah harus membayar biaya administrasi. Jika jangka waktu utangnya empat bulan atau 120 hari, maka biaya simpan yang harus dibayar nasabah adalah sebesar 90X (1.000.000/10.000) X (120/10) = Rp 108. 000,00. Ketika telah jatuh tempo untuk membayar utang tersebut, yaitu 120 hari, maka pihak nasabah membayar utang pokoknya yang ditambah dengan biaya simpan atau sewa tempat, dengan perincian 900. 000 + 108.000 = Rp 1. 008. 000,00. Apabila nasabah (rahin) belum dapat membayar utangnya beserta kewajibannya tersebut yang sudah jatuh tempo maka akad gadai (rahn) bisa diperpanjang. Nasabah cukup membayar biaya sewa tempat (biaya penyimpanan) harta yang digadaikan. Namun apabila, nasabah juga tetap tidak mampu membayar utangnya yang sudah jatuh tempo itu kemudian nasabah tidak memperpanjang akad gadainya maka lembagai pegadaian syariah memberikan peringatan kepada nasabah (rahin) yang selanjutnya akan mengeksekusi barang gadai milik nasabah dan harga hasil penjualan digunakan untuk melunasi utang nasabah. Bila terjadi kelebihan harga hasil penjualan barang gadai maka sisa hasil penjualan dari kelebihan itu akan dikembalikan kepada nasabah.
5
Tetapi bila hasil penjualan tersebut tidak datang diambil sesuai jangka waktu yang ditetapkan maka sesuai perjanjian, pihak pegadaian syariah (murtahin) berhak untuk menyalurkannya sebagai infaq atau shadaqoh. Uraian tentang perjanjian utang piutang dengan melekatkan akad gadai (rahn) pada lembaga gadai syariah tersebut merupakan deskripsi bila yang dijadikan sebagai barang gadai (marhun) adalah barang bergerak. Lalu, bagaimana bila yang digadaikan adalah barang tidak bergerak yang dalam transaksi perjanjian utang piutang konvensional menggunakan sistem fidusia? Untuk menjawab tuntutan tersebut, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa Nomor 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tajsily. Deskripsi tentang rahn tajsily dalam fatwa Dewan Syariah Nasional tersebut sangat mirip dengan praktik jaminan fidusia. Dalam fatwa tentang rahn tajsily, dijelaskan bahwa rahn tajsily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang barang jaminan (marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) rahin dan bukti kepemilikannya diserahkan kepada murtahin. Dengan berpijak kepada ketentuan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN/MUI/III/2002 tentang Rahn. Pada prinsipnya rahn tajsily juga harus mematuhi ketentuan fatwa tersebut termasuk dengan ketentuan-ketentuan khusus dalam rahn tajsily adalah rahin menyerahkan bukti kepemilikan barang kepada murtahin; penyimpanan barang jaminan dalam bentuk bukti sah kepemilikan atau sertifikat tersebut tidak memindahkan kepemilikan barang kepada murtahin. Apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi hutangnya, marhun dapat dijual secara paksa/dieksekusi langsung baik melalui lelang atau dijual ke pihak lain sesuai prinsip syariah; rahin memberi wewenang kepada murtahin untuk mengeksekusi barang jaminan tersebut apabila terjadi wanprestasi atau tidak dapat melunasi utangnya; pemanfaatan barang gadai (marhun) oleh rahin harus dalam batas kewajaran sesuai kesepakatan; murtahin dapat mengenakan biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang gadai (marhun) berupa bukti sah kepemilikan atau sertifikat dari marhun milik rahin; besaran biaya pemeliharaan dan penyimpanan barang marhun tidak boleh dikaitkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan; besaran biaya sebagaimana dimaksud huruf e tersebut didasarkan pada pengeluaran yang riil dan beban lainnya berdasarkan akad ijarah; dan biaya asuransi pembiayaan rahn tajsily ditanggung oleh rahin. Dengan adanya fatwa rahn tajsily tersebut dimungkinkan untuk mengagunkan rumah, tanah, mesin, alat berat, mobil, motor dan sebagainya. Barang gadai (marhun) tetap dikuasai rahin. Adapun yang diserahkan kepada murtahin hanyalah bukti kepemilikan atas barang gadai tersebut seperti sertifikat, BPKB, dan lain-lain. Dengan demikian, rahin tidak diperbolehkan memindahkan kepemilikan barang gadai (marhun) secara legal kepada pihak lain kecuali atas seizin murtahin. Praktik tersebut sangat mirip dengan praktik jaminan fidusia sebagaimana yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.13 Secara sederhana dapat dikatakan bahwa praktik rahn tajsily merupakan replika dari praktik jaminan fidusia yang berbasis syariah. Namun tentu saja, semua biaya yang ditanggung oleh murtahin berkaitan erat dengan biaya yang ditanggung oleh rahin yang secara prinsip tetap mengikuti ketentuan praktik gadai syariah termasuk juga eksekusi terhadap benda rahn tajsily merujuk ketentuan eksekusi rahn yang diatur oleh fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Rahn. Gunawan Widjaja, “Hal-hal Prinsip dalam Pembuatan Kontrak yang Sering Terlupakan dan Akibat-akibatnya,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 29, No. 2, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2010, hlm. 6. 13
6
Kritik Penerapan Klausula Perjanjian Utang Piutang Pegadaian Syariah Indonesia Mencermati praktik perjanjian utang piutang di pegadaian syariah tampak masih terdapat beberapa aspek yang harus dikritisi jika dikaitkan dengan penegakan asas taawun yang mendasari penormaan tegaknya perjanjian utang piutang berbasis syariah. Klausula perjanjian yang berlangsung di lembaga pegadaian syariah telah meniscayakan dua akad dalam satu paket perjanjian yang berlangsung antara rahin dengan murtahin. Dua akad itu masing-masing, akad qardhun (perjanjian hutang) dan akad ijarah (perjanjian sewa menyewa). Pada perjanjian hutang bagi rahin dilekatkan akad rahn, sedangkan untuk pemeliharaan termasuk perawatan marhun diletakkan akad ijarah. Ditetapkan dalam klausula bahwa rahin memiliki kewajiban-kewajiban tertentu yang akan diperincikan oleh pihak murtahin, antara lain kewajiban itu tampak dalam praktik adalah kewajiban menanggung biaya perawatan. Penempatan biaya perawatan bila diletakkan dalam kerangka perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, sebetulnya masih menimbulkan masalah bila ditilik dari sudut pandang penegakan asas tolong menolong (taawun) yang menjadi spirit perjanjian. Sebab, biaya perawatan seharusnya tidak boleh ada atau tidak harus ditanggung oleh nasabah (rahin). Memang perawatan marhun tetap menjadi tanggungan rahin sebagai pemilik barang gadai (marhun) itu. Harus diingat bahwa perawatan marhun itu tidak berlaku untuk semua jenis harta, tetapi hanya terjadi terhadap harta yang memang harus dirawat agar tidak rusak atau binasa, seperti hewan tunggangan. Hewan yang diagunkan itu tentu akan mati jika tidak beri makan. Begitu pula akan bisa menyusut atau sakit jika tidak dirawat sebagaimana semestinya. Namun, jika barang gadai milik rahin sebagaimana yang terdapat pada fakta barang gadai di lembaga pegadaian syariah Indonesia, misalnya emas, kain, termasuk juga barang elektronik, mobil, motor, dan sebagainya, memang tidak perlu perawatan khusus, apalagi jangka waktu utangnya yang relatif singkat misalnya empat bulan. Jika harta itu tidak perlu dirawat tentu saja tidak bisa muncul biaya perawatan. Apabila merujuk kepada pendapat para fuqaha,14 secara prinsip biaya perawatan bisa saja muncul apabila marhun merupakan barang/harta yang memang perlu dirawat, misalnya hewan atau pohon, maka perawatannya menjadi tanggung jawab rahin selaku pemiliknya.15 Perawatan itu bisa dia lakukan sendiri sehingga tentu saja dia tidak perlu keluar biaya ujrah perawatan. Bisa juga dia pekerjakan orang lain untuk merawatnya. Orang lain itu bisa murtahin, bisa juga orang lain. Kalau yang dipekerjakan merawat rahn itu orang lain selain murtahin tentu saja murtahin tidak akan dapat memperoleh biaya perawatan itu. Di sinilah titik krusialnya, karena akad rahn dalam praktik pegadaian syariah yang saat ini berlangsung motivasinya ialah bisnis atau mencari keuntungan investasi. Dengan demikian terkesan praktik pegadaian syariah dapat menghasilkan keuntungan dengan cara memberikan beban biaya perawatan kepada rahin. Padahal, dalam konteks perawatan marhun milik rahin menurut pendapat para fuqaha (ahli hukum Islam), pada umumnya sepakat jika perawatan itu dilakukan oleh rahin sendiri atau dia pekerjakan orang lain selain murtahin. Jika dalam perawatan tersebut diharuskan menimbulkan biaya maka tentu biaya yang dikeluarkan sepadan perawatan terhadap barang gadai itu sendiri. Artinya, besarnya biaya perawatan atau kompensasi yang diperoleh karena merawat marhun itu haruslah sesuai dengan nilai jasa atau kerja yang diberikan. Karena 14 15
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam ….. Op. Cit., hlm. 185-188. Ibid.
7
itu dalam riwayat Hamad bin Salamah tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa susu yang boleh diminum oleh murtahin hanyalah dalam kadar yang sesuai dengan kadar makanan untuk hewan itu. Artinya, sesuai dengan kadar/nilai aktivitas merawat hewan itu. Jika lebih maka kelebihan itu adalah riba. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang gadaian tidak ditutup dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Dia berhak atas manfaat barang tersebut, dan wajib membayar hutangnya”.16 Berdasarkan Hadis ini, Taqiyuddin an Nabhani17 menafsirkan bahwa perkataan Nabi Muhammad SAW, la yughlaqu ar-rahnu min shaa hibihi al-ladziy ra hanahuu, barang gadaian tidak ditutup dari pemiliknya, berarti murtahin tidak memiliki atau tidak boleh memanfaatkan barang gadaian, sehingga barang yang digadaikan tetap milik orang yang menggadaikan dan manfaat barang tersebut tetap miliknya. Hanya saja dalam praktik di pegadaian syariah, kebanyakan bukanlah biaya perawatan, tetapi biaya penyimpanan. Padahal, penyimpanan barang gadai oleh murtahin itu memang sudah merupakan kewajiban yang muncul dari akad rahn itu. Kewajiban penyimpanan barang gadai oleh murtahin itu otomatis sudah ada dengan sah pasca sempurnanya akad rahn. Karena itu tidak perlu diakadkan tersendiri. Selain itu, penyimpanan barang gadai sebagai kewajiban murtahin yang menjadi implikasi dari akad rahn itu ialah tanpa kompensasi. Sebab, akad rahn bukanlah akad mu'awadhah. Apalagi yang menjadi pokok dari akad rahn itu adalah perjanjian utang piutang (akad utang) yang dalam praktik gadai syariah merupakan utang dalam bentuk qardhun yang haram menarik manfaat dalam bentuk apapun, kecuali dalam bentuk hadiah yang memang sudah biasa terjadi antara debitur dengan kreditur dan tanpa dipersyaratkan dari awal. Dalam praktik di lembaga pegadaian syari'ah Indonesia, biaya perawatan dihitung berdasarkan nilai taksiran dari barang yang digadaikan, sehingga tampaklah dalam penentuan ujrah dengan cara seperti itu terlihat basisnya ialah basis pembiayaan, bukan basis akad ijarah. Penentuan ujrah dengan cara seperti itu menyalahi penentuan ujrah dalam akad ijarah perspektif syariah. Besarnya ujrah dalam suatu akad ijarah itu seharusnya sesuai dengan nilai manfaat yang diberikan. Manfaat yang diberikan itu bisa diukur dari tenaga yang dicurahkan, keahlian yang dibutuhkan, jenis pekerjaan dan waktu kerjanya. Bila biaya yang dikeluarkan berdasarkan tenaga yang dikeluarkan, maka konteks perjanjiannya terwujud dalam bentuk ijaratul ajir. Namun, jika manfaat yang ditarik berdasarkan ijaratul a'yan (penyewaan benda) semata-mata maka harus sesuai dengan manfaat benda itu. Misalnya, dari segi ukuran dan luasnya tempat penyimpanan barang gadai milik rahin. Begitu pula dalam hal penentuan biaya administrasi, dalam praktiknya ada yang ditentukan bukan berdasarkan pengeluaran riil untuk pelaksanaan transaksi itu, tetapi ditentukan berdasarkan konstanta tertentu dikalikan nilai taksiran rahn, misalnya Rp 50,00 untuk setiap kelipatan 5000 dari nilai taksiran. Jika ditetapkan dengan cara seperti itu maka hal itu menyalahi fatwa Dewan Syariah Nasional tentang rahn dan rahn emas. Padahal jumlah jasa fotokopi, biaya materai, dan sejenisnya jelas relatif sama saja. Praktik perjanjian18 utang piutang dengan menempatkan akad rahn di lembaga 16
Hadis Riwayat Asy-Syafi’i melalui Sa’id bin Musayyab. Taqiyuddin an Nabhani, Kepribadian Islam (Terjemahan), Jilid II (Edisi Mu’tamadah), (Jakarta Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia Press, 2011), hlm. 556-557. 18 Dengan demikian makna perjanjian dalam konteks pegadaian syariah Indonesia, masih terlihat unsur bisnis. Makna perjanjian ini dikutip dalam Agus Sardjono, “Prinsip-Prinsip 17
8
pegadaian syariah Indonesia jika dilihat menurut ketentuan syariah masih terdapat sesuatu yang bermasalah. Spirit untuk mengoreksi akad-akad konvensional yang haram agar menjadi akad yang legal secara syariah jelas perlu didukung dan dibesarkan. Namun, tidak selayaknya jika syariah hanya dijadikan stempel saja, sementara substansi akadnya sendiri tidak berbeda dengan akad konvensional yang tidak syar'i itu. Juga tidak sepantasnya akad-akad syariah diperalat untuk memberikan label syariah untuk praktik yang tidak syar'i. Yang harus dilakukan tentu saja adalah mengubah akad konvensional agar sempurna sesuai dengan ketentuan akad-akad syariah tanpa mengakali akad. Juga tanpa mengutak-atik nash dan menafsirkan ulang nash agar sesuai dan bisa digunakan melegalkan keuntungan yang diperoleh seperti dalam akad konvensional. Jika memang akad konvensional itu tidak bisa dikonversi sesuai syariah maka harus berhenti sampai di situ dan tidak boleh dicari-cari trik untuk menjadikannya tampak syar'i. Seharusnya akad konvensional yang tidak bisa dikonversi menjadi akad berbasis syariah itu ditinggalkan meski mendatangkan keuntungan atau mengandung maslahat dalam pandangan manusia. Misalnya, akad qardhun yang dalam sistem konvensional dijadikan sarana investasi. Hal itu jelas tidak akan ketemu dengan ketentuan syariah karena syariah tidak memandang akad qardhun atau perjanjian utang piutang sebagai akad investasi. Syariah memandang perjanjian utang piutang (akad qardhun) semata sebagai akad rifqu bayn an-nas, yaitu kelemahlembutan di antara sesama manusia, dan sebagai tolong menolong serta motivasinya untuk kebaikan saja dengan maksud taqarrub kepada Allah. Jika melakukan perjanjian utang piutang maka haruslah dilaksanakan sesuai ketentuan syariah itu. Jika ingin berinvestasi untuk mendapat keuntungan sesuai syariah, maka tidak boleh menggunakan instrumen qardhun, tetapi harus menggunakan skema perjanjian investasi yang sesuai syari'ah. Begitu juga dalam akad rahn ini. Jika rahn itu dilakukan dalam akad qardhun maka itu semata dalam rangka kebaikan, tolong menolong dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jika ingin mendapat keuntungan maka rahn itu dilakukan dalam rangka dayn, yaitu dalam bentuk transaksi jual beli secara kredit, murabahah, istishna atau sewa yang dibayar dengan tempo yang tentu saja semua itu harus memenuhi standar syariah. Artinya, dalam perspektif syariah, para pihak dapat memperoleh keuntungan dari transaksi yang mereka lakukan, bukan dengan menggunakan skema akad rahn sebagaimana yang tampak di pegadaian syariah. Syariah hanya membenarkan para pihak untuk memperoleh keuntungan melalui transaksi jual-beli atau sewa menyewa yang dibenarkan syariah. Sedangkan transaksi utang piutang di lembaga pegadaian syariah Indonesia dengan melekatkan akad rahn motifnya ialah untuk tolong menolong dan memperoleh kebaikan. Di sinilah urgensi yang mestinya menjadi meta norma yang mendasari tegaknya perjanjian utang piutang di pegadaian syariah Indonesia. Berdasarkan telaah atas transaksi perjanjian utang piutang di lembaga pegadaian syariah Indonesia tersebut tampaknya kehadiran lembaga pegadaian syariah sejak awal ada motivasi agar gadai itu bisa dijadikan sebagai instrumen investasi. Terkesan spiritnya sejak awal gadai konvensional jelas haram karena ribanya itu menjadi syar'i dengan tetap memberikan keuntungan kepada penerima gadai. Jadi, terkesan spiritnya ialah melegalkan (mensyariahkan) keuntungan yang diperoleh dalam praktik gadai. Mereka menggunakan celah pendapat bahwa biaya perawatan rahn yang Hukum Kontrak dalam Cross Border Transaction: Antara Norma dan Fakta,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 4, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 2008, hlm. 6.
9
dianalogikan dengan bahasa taksiran barang yang menjadi tanggungan nasabah (rahin) sebagai pembenaran bagi murtahin (lembaga pegadaian syariah) untuk memungut keuntungan. Penutup Mencermati praktik perjanjian utang piutang di pegadaian syariah, tampak masih terdapat beberapa aspek yang harus dikritisi jika dikaitkan dengan penegakan asas taawun atau tolong menolong yang mendasari penormaan tegaknya perjanjian utang piutang berbasis syariah, antara lain tampak dalam praktik akad rahn yang masih meniscayakan pemungutan biaya perawatan oleh murtahin yang dihitung berdasarkan nilai taksiran dari barang yang digadaikan, sehingga penentuan ujrah dengan cara seperti itu terlihat basisnya adalah basis pembiayaan, bukan basis akad ijarah. Begitu pula penentuan biaya administrasi, dalam praktiknya ada yang ditentukan bukan berdasarkan pengeluaran riil untuk pelaksanaan transaksi, tetapi ditentukan berdasarkan konstanta tertentu dikalikan nilai taksiran rahn, misalnya Rp 50,00 untuk setiap kelipatan 5000 dari nilai taksiran. Jika ditetapkan dengan cara seperti itu maka hal itu menyalahi fatwa Dewan Syariah Nasional tentang rahn dan rahn emas. Padahal, jumlah jasa fotokopi, biaya materai, dan sejenisnya jelas relatif sama saja. Penulis menyarankan agar postur perjanjian hutang yang berlangsung di pegadaian syariah kembali direkonstruksi dengan tetap tegak atas dasar asas taawun, yang maksudnya tidak lain untuk mengembalikan spirit (ruh) perjanjian yang berlangsung antara rahin dengan murtahin tidak terjebak dalam transaksi ribawi yang sangat dilarang oleh syariah. Daftar Pustaka Abd. Shomad. 2009. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media. Abu Sura’i Abdul Hadi. 1993. Bunga Bank dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. Agus Sardjono. 2008. “Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak dalam Cross Border Transaction: Antara Norma dan Fakta,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 4, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta. Agus Yudha Hernoko. 2010. Hukum Perjanjian, (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial). Jakarta: Kencana Prenada Media. Arma Safitri, Pegadaian Syariah, Karya tulis ilmiah yang tidak dipublikasikan, Program Studi Muamalat Jurusan Perbankan Syari’ah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009. Gunawan Widjaja. 2010. “Hal-Hal Prinsip dalam Pembuatan Kontrak yang Sering Terlupakan dan Akibat-akibatnya,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 29, No. 2, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta. Mohammed Riza Abdullah. 2010. Law and Practice of Islamic Banking And Finance. Second Edition. Selangor, Malaysia: Sweet and Maxwell Asia. Muhammad Ismail Yusanto dan Muhammad Karebet Widjajakusuma. 2002. Menggagas Bisnis Islami. Jakarta: Gema Insani. Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media. Rahmani Timorita Yulianti. 2008. “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syariah,” Jurnal Ekonomi Islam, La_Riba, Vol. II, No. 1, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Taqiyuddin an Nabhani, 2011. Kepribadian Islam (Terjemahan). Jilid II (Edisi Mu’tamadah. Jakarta Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia Press.
10
Wahbah Az-Zuhaili. 2011. Fiqh Islam Wa Addilatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie Al_Katani, dkk. Jakarta: Gema Insani Press. Yusuf As-Sabatin. 2009. Bisnis Islami dan Kritik Atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis. Bogor: Al-Azhar Press.
11