STUDI KRITIS TERHADAP PERBANKAN SYARIAH DALAM PRAKTEK MUDHARABAH Oleh: IBNU RUSYDI, SH., M.Pd.I.*) ABSTRACT Islamic banking productsin the formof savings generally use mudharabah and there is also awadi'ah. It is published by Islamic bank son the productsand work processes Islamic bank, when examinedmore deeplyandca refully to match the application Islamic banking is currently the instrumentto its legislation and various provisionsof shariaeither already accommodated in the compilation of National Sharia Board fatwa (DSN) as well asthe provision containedin the books of jurisprudence muamalah the scholarsof the salaf, it found many similarities concept o fislamic bank swith that conventional bank makes can not bealigned premises sharia compliance and irregularities inperaktek islamic banking which were linked with the contractmudharabah.in ireggularities such irregularitiesof islamic banksin violation ofsharia could drag wellatusurious transactions. ABSTRAK Produk perbankan syariah dalam bentuk tabungan umumnya menggunakan akad mudharabah dan sebagiannya ada juga yang berakad wadi’ah.Hal yang dipublikasikan oleh bank syariah atas produk dan proses kerja bank syariah, biladicermati lebih mendalam dan seksama dengan mencocokan penerapan peraktek perbankan syariah saat ini dengan instrumen undang-undangnya maupun berbagai ketentuan syariah baik yang sudah diakomodir dalam kompilasi fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) maupun ketentuan yang terdapat dalam kitab kajian fikih muamalah para ulama salaf, ternyata ditemukan berbagai kesamaan konsep bank syariah dengan bank konvensional yang membuatnya memang tidak bisa selaras denga ketentuan syariah serta banyaknya penyimpangan dalam peraktek perbankan syariah diantaranya yang berhubungan dengan akad mudharabah.Dalam penyimpangan-penyimpangan tersebut bank syariah melakukan pelanggaran terhadap syariah yang bisa menyeretnya pula pada transaksi ribawi. Kata kunci : Mudharabah, Perbankan Syari’ah. I.
PENDAHULUAN
yang bebas dari riba dan meninggalkan syariah
aktivitas bisnis haram lainnya. Bank-
belakangan ini bisa menggambarkan
bank konvensional yang lebih dahulu
adanya
hadir
Maraknya potensi
bank-bank pasar
perbankan
dianggap
tidak
syariah di Indonesia.Hal ini seolah bisa
mengakomodir
menjadi
sistem yang diharapkan umat Islam
indikator
telah
munculnya
rentan
perubahan
kesadaran sebagian umat Islam di
selain
Indonesia terhadap penerapan syariah
sistem ribawi, bank konvensional juga
Islam dalam kehidupan bermuamalah
masih tidak memperdulikan pemutaran
*)
masih
tuntutan
mampu
menggunakan
Tenaga Pengajar Fakultas Hukum Universitas Galuh
62
uang nasabah apakah untuk investasi
baik dalam produk pendanaan maupun
dalam bisnis yang di halalkan atau di
produk pembiayaannya.
haramkan menurut ketentuan syariat Islam.
Di
saat
umat
Islam
mulai
Konsentrasi pembahasan dalam tulisan
ini
adalah
mengenai
akad
menyadari dengan kebutuhan tersebut
mudharabah yang di terapkan oleh bank
maka
muncul
syariah guna memberi gambaran dan
berupaya
penegasan mengenai kebenaran ada
perbankan
atau tidaknya penyimpangan peraktek
saat
perbankan
itulah syariah
menyelaraskan dengan
mulai yang
peraktek
ajaran
Islam
serta
akad mudharabah yang dilakukan oleh
meninggalkan berbagai aktivitas yang
bank
lazim dilakukan oleh bank-bank ribawi
mudharabah
(bank konvensional) yang sarat dengan
muamalah paling utama yang melandasi
peraktek riba dan aktivitas investasi
produk perbankan syariah, sebab akad
pada objek yang diharamkan agama.
inilah
Jika dilihat dari tujuan dan latar belakang
kemunculan
syariah,
mengingat
akad
merupakan
yang
mendasari
akad
berbagai
transaksi perbankan syariah.
bank-bank
syariah, tentu sangat pantaslah bank
II.
syariah menuai pujian dan dukungan
2.1. Pengertian
sebagai institusi perbankan alternatif
PEMBAHASAN Riba
dan
Akad
Mudharabah
bagi umat Islam yang membutuhkan
Penyebab utama umat Islam
jasa perbankan tanpa dihantui dosa riba
meninggalkan
dan aktivitas terlarang lainnya, namun
bank konvensional serta beralih menuju
seiring waktu berjalan, saat terjadinya
kepada
interaksi diantara praktisi perbankan,
Banking) adalah dikarenakan alasan
pengguna perbankan (nasabah) dengan
peraktek riba yang masih merajalela dan
para ahli ilmu (para ulama) serta kajian-
diterapkan
kajian yang mendalam maka sedikit
dalam sebagian besar transaksinya.
demi sedikit mulai bermunculan temuan
Umat Islam mulai memahami bahwa
berbagai penyimpangan yang terjadi
konsep
baik
pembagian bunga bank baik dalam
pada
proses
akad
muamalah
bermuamalah
perbankan
oleh
yang
syariah
bank
dengan
(Islamic
konvensional
digunakan
pendanaan
dalam
berlaku yang diterapkan oleh bank
konteks
syariah maupun konsep dasarnya yang
pembiayaan
melandasi berdirinya perbankan syariah
mengadopsi cara dan konsep riba.
bank
maupun konvensional
63
Peran
ulama
pembelajaran
dan
kepada
proses
pemahaman
barang
tertentu
yang
berlangsung,
ketika
tidak
akad
diketahui
syariah yang benar, membuat umat
kesamaannya menurut ukuran syariat
Islam dapat mengetahui bahwa bunga
atau
bank
kedua barang yang menjadi obyek akad
merupakan
implementasi
dari
transaksi riba. Oleh sebab itu, di sinilah perlunya
pengetahuan
dengan
menunda
penyerahan
atau salah satunya”.
mengenai
Dari definisi tersebut diketahui
hakikat dari suatu masalah agar tidak
jika riba bisa muncul pada jual beli,
tertipu dari penamaan-penamaan lain
pinjam meminjam, hal tersebut bisa
yang
terjadi
kelihatannya
namun
baik
sebenarnya
namanya,
tetap
buruk
hakikatnya.
karena
melanggar
ketentuan
yang dibenarkan syariat. Semisal contoh dari yang diatur syariat ialah tidak
Agar bisa menjauhi riba, maka
dibolehkannya mengambil keuntungan
diperlukan pengetahuan mengenai apa
dari
itu yang dimaksud dengan riba. Syafi’i
transaksi utang piutang dalam ketentuan
Antonio (2003:37) mendefinisikan riba
prinsip
sebagai berikut “Riba secara bahasa
berakad sosial dan tidak boleh di
bisa bermakna ziyadah atau tambahan.
komersilkan.
Dalam pengertian lain, secara linguistik,
mendatangkan
riba juga berarti tumbuh dan membesar.
keuntungan, maka itu adalah riba.”
Adapun menurut istilah teknis, riba
(baca al-Muhadzdzab karya al-Syairazi
berarti
1/304).
pengambilan
tambahan
dari
harta pokok atau modal secara batil. Ada
beberapa
piutang,
muamalah
karena
Islam
“Setiap
akad
haruslah
piutang
yang
kemanfaatan/
Hukum
riba
adalah
haram
dalam
menurut kesepakatan ulama Islam, dan
menjelaskan riba, namun secara umum
riba masuk salah satu diantara dosa
terdapat
besar
benang
menegaskan pengambilan transaksi meminjam
penjelasan
utang
merah
bahwa
riba
beli secara
maka
umat
baik
dalam
banyak sekali dalil baik dari al-Qur`an
maupun
pinjam
maupun al-Sunnah yang menyatakan
batil
atau
dan
apapun
dilarang
mengambil
haramnya
riba
Islam
adalah
tambahan,
jual
yang
jenisnya,
terlarangnya
riba.
bertentangan dengan prinsip muamalah
Muhammad bin Shalih al Utsaimin
dalam Islam. Sementara itu Muhammad
seperti dikutip oleh Muhammad Arifin
Arifin Badri (2009:2) mendefiniskan Riba
badri
sebagai
suatu
“akad/transaksi
atas
(2009:19)
mengatakan
“Keharaman riba telah disepakati oleh 64
ulama. Oleh karena itu, barangsiapa
prosentase yang telah disepakati antara
yang
keduanya.
mengingkari
keharamannya,
Sedangkan
sedangkan ia tinggal di masyarakat
mudharabah
muslim, berarti ia telah murtad (keluar
disebutkan oleh wahbah zuhayli (1985:
dari agama Islam), karena riba termasuk
Juz 5: 3792) antara lain:
hal-hal haram yang telah jelas dan
1. Ijab dan qobul
diketahui oleh setiap orang serta telah disepakati”
itu
rukun-rukun
Ijab
ialah
sebagaimana
perkataan
yang
diucapkan oleh pihak pertama yang
Sementara mudharabah
itu,
menurut
Ahmad
akad
menghendaki
terjalinnya
akad
al-
mudharabah,
Sedangkan
qobul
Syarbasyi sebagaimana dikutip Syafii
merupakan
Antonio (2003:95) adalah akad kerja
mengandung
sama usaha antara dua pihak dimana
diucapkan pihak kedua atau yang
pihak
al-mâl)
mewakilinya. Tidak ada kata-kata
menyediakan seluruh (100%) modal,
khusus dalam hal ini sebagaimana
sedangkan
sebagai
amalan ibadah layaknya sholat, haji
pengelola. Keuntungan usaha secara
dan sebagainya namun mudharabah
mudharabah
menurut
merupakan wujud interaksi sesama
kesepakatan yang dituangkan dalam
manusia, sehingga teknisnya yang
kontrak,
menunjukan
pertama
(shâhibu
pihak
lainnya
dibagi
sedangkan
apabila
rugi
jawaban persetujuan
kesepakatan
yang yang
kedua
ditanggung oleh pemilik modal selama
belah pihak dapat diungkapkan apa
kerugian itu bukan akibat kelalaian si
saja sesuai kebiasaan yang berlaku
pengelola. Sedangkan kerugian yang
baik bisa berupa lisan maupun tulisan
diakibatkan karena kecurangan atau
2. Pemodal dan pelaku usaha
kelalaian si pengelola, si pengelola
Orang yang dibolehkan untuk
harus bertanggung jawab atas kerugian
menjalin akad mudharabah harus
tersebut.
al-Silmi
memenuhi empat kriteria yaitu orang
sebagaimana dikutip Arifin Badri(2010:
yang merdeka, oleh sebab itu hamba
131) mudharabah adalah suatu akad
sahaya
Menurut
Sa’ad
dagang antara dua pihak, pihak pertama sebagai
pemodal,
sedangkan
pihak
kedua sebagai pelaksana usaha, dan keuntungan antara
yang
mereka
diperoleh
dibagi
berdua
dalam
tidak
dibenarkan
untuk
bertransaksi tanpa seizin tuannya, telah
baligh
bagi
laki-laki
telah
diketahui sampai mencapai umur lima belas tahun atau telah bermimpi junub sedang pada wanita ditandai
65
dengan mulainya siklus datang bulan
(mudharabah bebas). Adalah sistem
(haidh),
telah
mudharabah, yang dalam hal ini,
berumur lima belas tahun, berakal
pemilik modal (shâhib al-Mal atau
sehat, oleh sebab itu orang yang
investor) menyerahkan modal kepada
mengalami gangguan jiwa
atau
pengelola tanpa pembatasan jenis
serupa tidak sah akad perniagaanya,
usaha, tempat dan waktu, ataupun
dan kriteria terakhir ialah mampu
dengan siapa pengelola bertransaksi.
membelanjakan
Jenis
atau
hamil
atau
hartanya
dengan
ini
memberikan
kebebasan
baik.
kepada mudhârib (pengelola modal)
3. Modal
untuk melakukan apa saja yang
Modal ialah harta milik pihak pertama
(pemodal)
kedua
(pelaku
kepada usaha)
dipandang
dapat
mewujudkan
pihak
kemaslahatan. Kemudian ada pula
guna
mudharabah
al-muqayyadah
membiayai usaha yang dikerjakan
(mudharabah terbatas). Dalam hal ini,
oleh pihak kedua. Para ulama telah
pemilik
menyebutkan sejumlah persyaratan
menyerahkan
modal
bagi harta yang menjadi modal akad
pengelola
menentukan
mudharabah diantaranya:1) diketahui
usaha, tempat, waktu, ataupun pihak-
jumlah modalnya oleh kedua belah
pihak yang dibolehkan bertransaksi
pihak
dengan mudharib.
supaya
tidak
menimbulkan
perselisihan
dalam
pembagian
keuntungan,
hal
ini
modal dan
karena
jenis
Tujuan utama diadakannya akad mudharabah
mengembalikan
keuntungan
kepada
kepada
5. Keuntungan
konsekuensi akad mudharabah yang modal
(investor)
adalah kedua
belah
pihak,
pemodal lalu kedua belah pihak
pemodal
berbagi keuntungan; 2) penyerahan
dengan keuntungan dan pengusaha
modal kepada pelaku usaha dan
menikmati laba usaha (keuntungan)
pelaku usaha tersebut sepenuhnya
hasil operasi.
diberi
kebebasan
membiayai usaha yang dilakukannya. 4. Usaha mudharabah
2.2. Ketidaksesuaian
Akad
Mudharabah Pada Bank Syariah dengan Akad Mudharabah Syar’i
menjalin
akad
umumnya
ulama
membagi atas dua bagian yakni Mudharabah
berkembang
untuk
menggunakan modal tersebut untuk
Dalam
dananya
memperoleh
al-muthlaqah
Dengan membandingkan,
mengkaji, meneliti
serta
melakukan tinjauan berdasar berbagai literatur
fikih
muamalah
syarί’ah, 66
peraturan
perbankan
syariah
serta
amanah
apa
yang
semestinya
praktek dan aktualisasi yang terjadi
dilakukan oleh pihak pelaku usaha
berdasar literatur yang mengambil objek
dalam
pada bank syari’ah maupun melakukan
justru bank kembali mengikat diri lagi
observasi
dengan
kepada
pihak-pihak
yang
akad
mudharabah
perjanjian
namun
mudharabah
terlibat dalam aktualisasi perbankan
kepada pihak lain yakni nasabah
syariah maka terdapat ketidaksesuaian
kedua.
akad
mudharabahbank
syariah
di
Dalam
konteks
kedua
ini
Indonesia dengan akad mudharabah
bank
yang syar’i. Hal ini bisa di tinjau dari hal-
modal dan nasabah yang datang kali
hal sebagai berikut:
ini
1. Status
ganda
perbankan
menyalahi
mengklaim
adalah
sebagai
pihak
pelaku
syariah
sesungguhnya
yang
akad
membutuhkan
curahan
ketentuan
pemilik
usaha
benar-benar bantuan
mudharabah sesuai syar’i menurut
modal untuk usahanya. Menyimak
yang dipahami para ulama fikih Islam.
skenario status ganda bank syariah
Dalam
menjalankan
akad
tersebut maka diketahui dalam dua
mudharabah terhadap para nasabah
akad mudharabah yang dilakukan
pihak bank melakukan status ganda,
bank syariah tersebut baik akad
pertama
mudharabah
bank
pengelola
berlaku
usaha
sebagai
(mudhârib)
dengan
nasabah
dan
pertama ketika bank memposisikan
kemudian bank dalam waktu sekejap
diri sebagi pelaku usaha maupun
berubah status menjelma menjadi
pada mudharabah dengan nasabah
investor (shâhibual-mâl).
kedua
Berikut penjelasan skenario
ketika
memposisikan
bank diri
kemudian
sebagi
pemilik
status ganda bank: bank syariah
modal, seandainya bank melakukan
menghimpun
nasabah
mudharabah dengan nasabah kedua
menabung
atas izin pemilik modal (nasabah
dengan akad mudharabah, dalam hal
pertama) maka bank tidak berhak
ini
nasabah
mendapat bagian keuntungan dan
sebagai pemilik modal dan bank
menentukan nisbah bagi hasil karena
syariah sendiri mengklaim sebagai
statusnya
pelaku usahanya, ketika uang modal
perantara atau makelar dana saja.
sudah
bank,
Para ulama menjelaskan bahwa hasil
maka bank tidak menjalankan dengan
keuntungan dalam akad mudharabah
pertama
dana
yang
bank
dari
datang
memposisikan
dalam
penguasaan
hanya
sebagai
calo
67
hanya milik pemodal dan pelaku
Jika dicermati lebih jauh pada
usaha, sedangkan pihak yang tidak
status ganda perbankan maka akan
memiliki modal dan tidak ikut serta
didapati bahwa yang dilakukan oleh
dalam
pelaksanaan
pihak
bank
tidak
mendapatkan
usaha
maka
bank syariah sesungguhnya saat ini
berhak
untuk
merupakan akad utang piutang dan
hasil
bukan mudharabah,. Kamuflase pada
bagian
dari
bentuk akad dan istilah syar’i tidaklah
keuntungan (bagi hasil). Para
melarang
merubah hakikat sebenarnya pada
peraktek mudharabah yang dilakukan
susbtansi akad utang piutang dalam
bank syariah saat ini sebagaimana
skenario status ganda bank. Berikut
yang dikemukakan oleh al-Nawawi
skenario akad utang piutang yang
yang di kutip dan dibenarkan dalam
dijalankan
sejumlah kitab-kitab fikih klasik para
meskipun melabeli namanya dengan
ulama salaf: “Hukum kedua: tidak
akad mudharabah.
dibenarkan
ulama
bagi
pelaku
usaha
oleh
Pihak
bank
bank
syariah
yang
dalam
(mudharib) untuk menyalurkan modal
status pertama sebagai pelaku usaha
yang ia terima kepada pihak ketiga
dan menerima modal dari nasabah
dengan perjanjian mudharabah. Bila
pertama
ia melakukan hal itu atas seizin
kreditur)
pemodal, sehingga ia keluar dari
untuk menjalankan perannya sebagai
akad
pelaku
mudharabah
(pertama)
dan
(diasumsikan kemudian
usaha
tidak
sesuai
sebagai amanah
akad
berubah status menjadi perwakilan
mudharabah dimaksud, namun bank
bagi pemodal pada akad mudharabah
syariah malah kemudian menyalurkan
kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan
kembali dana tersebut kepada pihak
tetapi
untuk
nasabah lain (diasumsikan sebagai
mensyaratkan dirinya sedikitpun dari
debitur) yang hendak berlaku sebagai
keuntungan yang diperoleh. Bila ia
pelaku usaha, pada kali ini bank
tetap mensyaratkan hal itu, maka
memposisikan diri sebagai pemodal
akad mudharabah kedua bathil” (al-
yang pada hakikatnya uang modal
Nawawi: 230)
yang ada pada bank merupakan uang
ia
tidak
dibenarkan
2. Bank syariah hakikatnya menjalankan
milik
nasabah
pada
akad
akad utang piutang dan bukan akad
mudharabah pertama. Jadi subtansi
mudharabah
dari skenario status ganda perbankan
dalam
dengan nasabah.
hubungannya
ini
ialah
bank
berupaya 68
mengalokasikan dana terhimpun dari
bermasalah dalam implementasi akad
pihak
mudharabahnya.
lain
yang
dijanjikan
akan
kembali dananya oleh bank seiring
Penjelasan Bank Indonesia
waktu berjalan beserta bagi hasilnya
dalam Ikhtisar Undang-Undang No.
(bunga uang). Hal ini berjalan dari
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
suatu
pada
Syariah menyatakan bahwa “Bank
hakikatnya tidak pernah bank lakukan
Syariah yang terdiri dari BUS dan
kecuali
dan
BPRS (Pasal 18) serta UUS, pada
menyalurkan dana serta mengambil
dasarnya melakukan kegiatan usaha
keuntungan
yang
usaha
kosong
hanya
pinjaman
menerima
atasnya bank
yang
(menyerupai
terhadap
uang
sama
konvensional
dengan yaitu
bank
melakukan
nasabah pada bank konvensional
penghimpunan dan penyaluran dana
yang disertai bunga pinjaman).
masyarakat disamping penyediaan
Aliran uang nasabah pertama
jasa keuangan lainnya.”
tadi kemudian di lokasikan oleh bank dalam
bentuk
penyaluran
dana
Dari undang-undang tersebut dapat dipahami pada dasarnya setiap
kepada pihak lainnya (bank syariah
bank,
pada hakikatnya bukan pemilik uang
konvensional
yang sebenarnya), dimana bank kali
melabeli diri dengan label syari’ah
ini
adalah
menuntut
pengembalian
dana
baik
itu
yang
maupun
masih
bank
lembaga
yang
perantara
seiring waktu berjalan beserta bagi
(intermediary) antara sektor yang
hasilnya (bunga uang) atas modal
kelebihan dana (surplus) dan sektor
yang hakikatnya bukan milik bank
yang kekurangan dana (minus). Bank
namun milik nasabah pertama yang
menerima
berperan sebagai kreditur, dengan
tabungan dan deposito dari pihak
catatan dalam kedua proses tadi
kelebihan
diisyaratkan
terhimpun lalu disalurkan ke pihak-
adanya
keuntungan
atasnya, sebagaimana telah diketahui
pihak
bahwa pengambilan keuntungan dari
bentuk
utang piutang adalah riba.
Pihak
3. Kegiatan usaha bank syariah yang masih
memplagiasi
aturan
main
kegiatan bank konvensional akan
simpanan
dana.
yang
Dana
memerlukan
giro,
yang
dalam
kredit/pinjaman/pembiayaan. yang
mendapatkan yang
berupa
kelebihan imbalan
ditempatkan
di
dana
atas
dana
bank
yaitu
berupa bunga/bagi hasil.
69
Pada sisi lain, pihak yang minus atau memanfaatkan kredit/ pinjaman/pembiayaan
prinsip syari’ah.
bank
4. Undang-undang Perbankan syariah
harus membayar imbalan kepada
tidak mengisyaratkan bank syariah
bank berupa bunga/bagi hasil/margin.
untuk memiliki usaha real dan terjun
Biaya operasional dan laba bank
langsung dalam dunia usaha, dengan
diperoleh dari selisih imbalan yang
hal ini bank syariah sulit untukdapat
diberikan
yang
menjalankan akad mudharabah pada
memanfaatkan dana (debitur) dengan
usaha riil yang hakikatnya memang
imbalan yang diberikan bank kepada
tidak pernah dimiliki.
nasabah
oleh
syariah
pihak
deposan.
itu,tampaklah
Oleh
bahwa
sama
konvensional.
dari
mudharabah yang sesuai dengan
karena
fungsi
dengan Bank
Hal
ini
didasarkanpada
bank
Undang-Undang Nomor 21 Tahun
bank
2008
syariah
Pasal
tentang 4
ayat
Perbankan 1
dan
Syariah 2
yang
menghimpun dana dari masyarakat
menyebutkan:
lalu disalurkan kepada pihak yang
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpundan menyalurkan dana masyarakat. (2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
membutuhkan (fungsi intermediary), mekanisme fungsi intermediary yakni dengan menghimpundana nasabah dan menerapkan akad mudharabah dua pihak oleh bank baik pertama terhadap investor
posisi
nasabah
kemudian
sebagai
melakukan
penyaluran pada nasabah lain yang diposisikan sebagai pelaku usaha. Oleh sebab itu, pada hakikatnya bank hanya
melakukan
instrumen
pendanaan utang piutang kemudian mengambil keuntungan atas transaksi tersebut sehingga jatuhlah pada riba. Dari
sini
instrumen
semakin yang
jelas,
mengacu
bahwa pada
undang-undang perbankan syariah tidak bisa kompatibel dengan akad
Begitu pun dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang
Perbankan
Syariah
Pada ayat 1 tentang kegiatan usaha Bank Umum Syariah dan ayat 2 tentang kegiatan usaha UUS Bank syariah berfungsi untuk a) menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad 70
lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b) menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; c) menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d) menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; Dari pasal di atas menjadi
bisnis yang dijalankan oleh bank benar
dan
sesuai
menjalankan
syar’i.
produk
Dalam usaha
pembiayaan (bai’al-murabahah) bank syariah memposisikan diri sebagai penjual barang (skenario ini agar terpenuhinya akad syar’i, bank harus membeli dahulu barang yang akan dijual
kepada
sejumlah
konsumen)
barang-barang
untuk
konsumtif
yang dibutuhkan seperti kendaraaan bermotor, rumah dan lainnya sesuai Dewan
Syariah
Nasional
(yang
jelas bahwa semua jenis produk
selanjutnya
perbankan syari’ah hanya sebatas
fatwanya
pembiayaan dan pendanaan. Dengan
tentang
demikian, pada setiap unit usaha
“Bank
yang
diperlukan nasabah atas nama bank
hanya
dikelola,
peran
sebagai
perbankan
penyalur
dana
nasabah dan ini menyebabkan sulit untuk
mendapatkan
antara
perbankan
No:
DSN)
pada
04/DSN-MUI/IV/200,
Murabahah membeli
menyatakan: barang
yang
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.”
perbedaan
Namun adakah bank syariah
dan
yang benar-benar mempraktekan ini,
ini
dalam praktek sistem murabahah
tidak
yang dilakukan bank syariah tidak
mempunyai usaha riil, selain hanya
sesuai dengan fatwa DSN, hal ini
memudharabahkan
seperti
perbankan
syari’ah
disingkat
konvensional,
dikarenakanbank
hal
syariah
kembali
dana
contoh
kasus
proses
nasabah, dengan kemungkinan lain
pembiayaan murabahah di Bank BRI
yakni
Syariah Ciamis
dana
nasabah
pertama
dimana nasabah
disalurkan dalam bisnis pembiayaan
diharuskan membayar uang muka
bank.
(urbun) sebesar 20% dari nilai kredit Sebagai pihak yang beritikad
yang
diajukan
kepada
pihak
baik dan berinvestasi dalam usaha
developer
yang dikelola bank syariah maka
mengambil KPR dengan angsuran 10
perlu pula untuk mengetahui apakah
tahun, dengan margin keuntungan
terlebih
dahulu
untuk
71
sebesar
9,5%
(margin
biasa
belum
selesai diserahterimakan; 2)
ditentukan terlebih dahulu oleh bank
larangan menjual barang yang belum
sesuai lamanya waktu angsuran).
selesai diserahterimakan ini berlaku
Dari kritikan
kasus
untuk
bank
ini
terdapat
yakni
bank
bagi bahan makanan dan barang lainnya; 3) barang yang sudah dibeli
memberikan piutang, hal ini terbukti
harus
berpindah
bahwa nasabah membayarkan urbun
dahulu
ke developer dan bukan kepada bank
kepada pihak lain.
dan hal ini tidak tepat dikatakan hubungan dengan
jual
beli
antara
bank
jika
pun
konsumen,
tempat
terlebih
dijual
kembali
sebelum
Secara
garis
besarnya
praktek akad pembiayaan murabahah baik
untuk
pembiayaan
diasumsikan bahwa bank melakukan
rumah,
aktivitas
bermotor, pembelian rumah KPR,
penjualan
maka
bank
pembelian
renovasi
menjual sesuatu yang sepenuhnya
pengadaan
belum diserah terimakan kepadanya
pengadaan
dan
al-Sunnah
umumnya berjalan dengan skema
sebagaimana hadis riwayat Abu Daud
bank (ba`ial-Murabahah) membelikan
yang artinya sebagai berikut: dari
terlebih dahulu barang tersebut dari
Hakim bin Hizam, “ia berkata kepada
supplier
kemudian
Rasulullah: wahai Rasulullah, ada
menjual
barang
orang yang mendatangiku. Orang
konsumen (musytari) melalui akad
tersebut ingin mengadakan transaksi
murabahah dengan harga sebesar
jual belidenganku terhadap barang
harga pokok ditambah keuntungan
yang belum aku miliki, bolehkah aku
yang telah disepakati antara ba’i dan
membelikan barang tertentu yang dia
musytari.
ini
menyalahi
modal
kendaraan
kerja
barang
maupun
lain
pada
penjual
(ba’i)
tersebut
pada
inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan
orang
tersebut?kemudian
Rasulullah bersabda: Janganlah kau menjual barang yang belum kau
5. Bank
tidak
siap
menanggung
kerugian Akad
mudharabah
adalah
miliki.'” (HR. Abu Daud, no. 3505;
akad yang oleh para ulama telah
dinilai sahih oleh al-Albani)
disepakati
Dari
Karena itu, akad ini dianggap sebagai
1)
tulang punggung praktek perbankan
terlarangnya menjual barang yang
syariah. DSN-MUI telah menerbitkan
beberapa
di
kehalalannya.
atas
menunjukkan
hadis
akan
hal
72
fatwa no: 07/DSN-MUI/IV/2000, yang
mensyaratkan agar pelaku usaha
kemudian
menjadi pedoman bagi
memberikan jaminan seluruh atau
praktek perbankan syariahakan tetapi
sebagian modalnya. Sehingga apa
praktek bank syariah perlu ditinjau
yang
ulang. Pada fatwa dengan nomor
syariah, yaitu mewajibkan atas pelaku
tersebut, DSN menyatakan: “LKS
usaha untuk mengembalikan seluruh
(lembaga Keuangan Syariah) sebagai
modal
penyedia dana, menanggung semua
kerugian usaha adalah persyaratan
kerugian
mudharabah
yang batil bahkan dalam ilmu fikih bila
(nasabah)
suatu akad terdapat persyaratan yang
yang
batil, maka akad persyaratan tersebut
menyalahi
tidak sah sehingga masing-masing
kecuali
akibat jika
dari
mudharib
melakukan
kesalahan
disengaja,
lalai,
atau
perjanjian.”
diterapkan
pada
dengan
utuh
bila
terjadi
harus mengembalikan seluruh hak-
Praktek perbankan syariah di
hak lawan akadnya atau akad tetap
lapangan masih jauh dari apa yang
dilanjutkan
difatwakan
oleh
persyaratan tersebut.
perbankan
syariah
DSN.
Andai
benar-benar
menerapkan ketentuan ini, niscaya masyarakat bondong
perbankan
akan
meninggalkan
6. Semua nasabah mendapatkan bagi hasil
berbondong-
mengajukan
dengan
Bank
syariah
mencampur
pembiayaan
adukan seluruh dana yang masuk
dengan skema mudharabah, namun
kepadanya tanpa dipilah mana yang
kembali
lagi,
dengan
teori.
fakta
tidak
sejalan
sudah disalurkan ke usaha bank
Perbankan
syariah
maupun yang masih beku dan belum
yang ada belum sungguh-sungguh
tersalurkan, namun demikian pada
menerapkan fatwa DSN secara utuh.
setiap akhir bulan seluruh nasabah
Sehingga
mendapatkan
pelaku
usaha
yang
bagian
dari
mendapatkan pembiayaan modal dari
hasil/keuntungan. Hal ini didasarkan
perbankan syariah, masih diwajibkan
bahwa pertimbangan bank dalam
mengembalikan modal secara utuh,
membagi keuntungan adalah total
walaupun
modal
ia
mengalami
kerugian
usaha.
bukan
keuntungan
yang
diperoleh dari dana masing-masing Para ulama dari berbagai
nasabah.
mazhab telah menegaskan bahwa
tersebut
pemilik modal tidak dibenarkan untuk
dalam
Pembagian menjadi
metode
keuntungan
masalah
mudharabah
besar yang 73
memegang prinsip islami. Pembagian
dikelola bank. Pada akhir bulan bank
hasil kepada nasabah yang dananya
berhasil membukukan laba bersih
belum
sebesar Rp 1.000.000.000 (1 miliar).
tersalurkan
jelaslah
akan
merugikan nasabah yang dananya
Operator
telah tersalurkan.
perhitungan
7. Metode bagi hasil yang berbelit-belit Muhammad (2010:
173-175)
Arifin
bank
setelah
yang
menentukan
melalui
berbelit
bahwa
belit
pendapatan
Badri
investasi dari setiap Rp 1000 adalah
mengungkapkan
Rp 11,61. Bila menggunakan metode
metode bagi hasil yang diterapkan
perbankan syariah maka hasilnya:
oleh salah satu perbankan syari’ah di
100.000.000 x 11,61 x 50 = Rp. 580.500 1000 100
Indonesia :
Pak Ahmad hanya mendapat
Bagi hasil nasabah= dana/saldo nasabah x E x Rasio/nisbah nasabah 1000 100 E= Pendapatan rata-rata investasi dari setiap 1000 rupiah dari nasabah
Sementara,
metode
perhitungan hasil mudharabah yang benar-benar syar’i dengan rumus
Rp
580.500,
sedangkan
jika
menggunakan metode mudharabah dengan
prinsip
islami
yang
sebenarnya maka hasilnya sebagai berikut : 100.000.000 x 50 x 1= Rp. 5.000.000 1000 100
hasil
Dengan metode perhitungan
nasabah=keuntungan bersih x nisbah
mudharabah yang benar Pak Ahmad
nasabah x nisbah modal nasabah
mendapatkan bagi hasil yang lebih
dari total uang yang dikelola oleh
menguntungkan.
hitung
yakni:
Bagi
bank Perbedaan
antara
dua
III. KESIMPULAN Berdasarkan data, tinjauan
metode tersebut bisa diketahui dari contoh kasus berikut. Pak ahmad
dan
pembahasan
yang
menginventasikan modal sebesar Rp
dilakukan,
maka
100.000.000, dengan perjanjian 50%
beberapa
kesimpulan
untuk pemodal dan 50% untuk pelaku
berikut :
usaha (bank), dan total uang yang
1. Undang-undang
dapat
telah ditarik sebagai
perbankan
dikelola oleh bank berjumlah Rp
syariah
masih
memplagiasi
10.000.000.000 (10 miliar). Dengan
kepada
aturan
perundang-
demikian, modal Pak Ahmad adalah
undangan
1% dari keseluruhan dana yang
konvensional.
perbankan
74
2. Status
ganda
bank
dengan
mudharabah dua pihak dalam mengakomodir
peraturan
undang-undang
perbankan
syariah yang saat ini diterapkan tidak
sesuai
dengan
fikih
mudharabah yang dikenal para ulama. 3. Bank
syariah
menanggung
tidak
siap
kerugian,
sebab
merupakan sesuatu yang musykil dalam menjalankan usaha tidak mendapatkan kerugian. 4. Selama perbankan syariah tidak terjun
langsung
dalam
dunia
usaha dan hanya mencukupkan diri
sebagai
penyalur
dana
Badri, Arifin Muhammad, 2010, Riba dan Tinjauan Kritis Perbankan Syari’ah, Bogor, Pustaka Darul Ilmi. _____, 2010, Tinjauan Kritis Perbankan Syariah, Jakarta, Makalah Seminar Nasional KPMI. Bank Indonesia, 2008, Ikhtisar Undang Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Jakarta. Daud, AbuSunan Abu Daud, Lebanon, Dar al-Fikri. DSN MUI, 2000, Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiyaan Mudharabah (Qiradh), Jakarta. Zuhaily Wahbah, 1985, al-Fiqh al-Islamy wa adillatuhu, Lebanon, Dar Fikr.
nasabah maka tidak akan pernah terhindar dari riba. 5. Semua nasabah pasti mendapat bagi hasil, jaminan uang nasabah tidak akan mengalami kerugian dan perhitungan bagi hasil yang berbelit-belit tidak sesuai akad mudharabah
murni
yang
diajarkan islam. DAFTAR PUSTAKA Al-Nawawi, al-Minhaj, Lebanon, Dar alFikri. Antonio, Syafi’i Muhammad, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema Insani Press.
75