STUDI KOMPARATIF ANTARA PENDAPAT IMAM SYAFI’I DENGAN YUSUF AL-QARDAWI TENTANG PENGERTIAN FI SABILILLAH
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : MISBAHUL FUADI NIM : 052311027
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2009
MOTTO
ﻟﻐﺩﻭﺓ ﻓﻲ ﺴﺒﻴل ﺍﷲ ﺍﻭﺭﻭﺤﺔ ﺨﻴﺭ: ﻲ ﺼل ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻗﺎل ﺍﻟﻨﹼﺒ ﻨﻴﺎ ﻭﻤﺎ ﻓﻴﻬﺎﻤﻥ ﺍﻟﺩ ()ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ
“Sesungguhnya pergi di jalan Allah di waktu pagi dan pergi di waktu petang adalah lebih baik dari pada dunia seisinya”
Deklarasi
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 14 Desember 2009 Deklarator,
Misbahul Fuadi
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, hanya dengan pertolongan Allah penulis panjatkan kehadirat-Nya atas segala limpahan rahmat dan nikmat yang telah dikaruniakan kepada penulis. Sholawat dan Salam kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Semoga kita selalu mendapatkan pertolongan, petunjuk, dan perlindunganNya. Keinginan penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini sempat mengalami kendala ketika waktu untuk bisa menyelesaikannya dalam satu semester sangatlah sempit. Selain itu penulis harus membagi antara konsentrasi kegiatan dan penulisan. Pada kesempatan yang baik ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas partisipasi dalam berbagai pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini : 1. Bapak Prof. DR. H. Abdul Djamil, M.A pengemban Rektor IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag selaku Dekan fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 3. Bapak Drs. Moh. Solek, M.A yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Nur Fatoni, M. Ag selaku dosen pembimbing kedua yang senantiasa dengan sabar mendidik dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Seluruh dosen, karyawan, dan civitas akademika Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah berpartisipasi memberikan support terhadap penulis. 6. Ayahanda tercinta yang selalu mendo’akan dan mengharapkan kiprah penulis, penyemangat moral dan spiritual, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Wa bilkhusus almarhumah Ibunda Hj. Mubarohah yang setiap saat senantiasa penulis rasakan kehadirannya menemani dalam kebahagiaan dan kesusahan, terutama saat-saat akhir menyelesaikan skripsi ini. Seolah menyeru dan menginstruksikan maju terus dan terus menuntut ilmu meneruskan perjuangan para ulama dan menegakkan agama, menuntut ilmu adalah tidak mengenal umur. Saudara-saudara yang memberikan motifasi penulis untuk dapat merubah pola kehidupan yang selama ini dijalani. 7. Seluruh personil Resimen Mahasiswa (Korp Mahasiswa Bela Negara) Satuan 906 khususnya yudha 29 dan teman-teman bolo-bolo alumni Asrama Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang yang memberikan pernak-pernik perjalanan hidup akademi penulis, dan semangatnya untuk menyelesaikan tugas akhir. Semoga Allah membalas semua amal baik mereka dengan balasan yang lebih dan menempatkan mereka pada derajat yang mulia di mata Allah dan mahluk-Nya. Apabila isi skripsi ini baik dan bermanfaat, hanyalah semata-mata karena pertolongan dan petunjuk Allah. Sedangkan apabila skripsi ini kurang layak
menjadi sebuah karya ilmiah, hanyalah semata-mata ketidakmampuan menulisnya dengan baik, semoga pembaca memakluminya dan Allah mengampuninya. Pada akhirnya, penulis mengakui bahwa skripsi ini banyak kekurangan yang menonjol dalam penulisan ini, yaitu menghindari terlalu tebalnya skripsi, dan contoh-contoh pengertian Fi Sabilillah yang tidak cukup rinci dan beraneka macam untuk berfungsi sebagai argumen, berarti butuh waktu yang lebih lama lagi untuk dapat menyelesaikan tulisan ini. Karya ini jauh dari kesempurnaan yang idealnya diharapkan, maka dari itu, saran yang membangun dan masukan yang positif demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi sangat penulis harapkan. Semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan kita semua, Amin.
Semarang, 14 Desember 2009
Penulis
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati dan penuh kebahagiaan, skripsi ini penulis persembahkan kepada mereka, orang yang telah membuat hidup ini lebih berarti. 1. Bapak Prof. DR. H. Abdul Djamil, M.A orang nomor satu di IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M. Ag pemangku jabatan Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. 3. Ibu Dra. Nuna Mustikawati Dewi sebagai dosen Wali Studi penulis. 4. Bapak Drs. Moh. Solek, M.A selaku dosen pembimbing satu dalam penulisan ini, yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Nur Fatoni, M. Ag selaku dosen pembimbing kedua yang senantiasa dengan sabar mendidik dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini. 6. Seluruh dosen, staf karyawan dan civitas akademika Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang yang telah berpartisipasi memberikan support terhadap penulis. Bapak Karyadi yang selalu membuatkan surat-surat keterangan aktif kuliah disaat penilis butuhkan untuk mengurus dana PT. Taspen. 7. Kepala Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tercinta, Ahmad Furqon, Lc,. M.A yang telah banyak meluangkan waktu untuk dapat mengajarkan kepada penulis tentang tata cara penulisan kode buku dan memberikan
masukan
terhadap
permasalahan
yang
dihadapi
dalam
menyelesaikan tugas kepada penulis. bapak Afif Noor S. Ag, SH, M.Hum
yang menemani penulis menulis kode-kode buku, dan seluruh Staf Perpustakaan Fakultas Syari’ah yang penyabar, semoga dalam pelayanannya yang bijaksana dan arif Perpustakaan Fakultas Syari’ah semakin terdepan. Semoga hal ini dapat berlanjut tanpa akhir dan semoga pula Allah meningkatkan derajat dan membalas amal sholihnya. 8. Mas Tedi Kholiluddin, M. Si yang senantiasa membantu penulis untuk berdiskusi tentang segala hal dan selalu mengarahkan tentang cara pandang berfikir penulis. 9. Ayahanda tercinta yang selalu mendo’akan dan mengharapkan kiprah penulis, penyemangat moral dan spiritual, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Wa bilkhusus almarhumah Ibunda Hj. Mubarohah yang setiap saat senantiasa penulis rasakan kehadirannya menemani dalam kebahagiaan dan kesusahan, terutama saat-saat akhir menyelesaikan skripsi ini. Seolah menyeru dan menginstruksikan maju terus dan terus menuntut ilmu meneruskan perjuangan para ulama dan menegakkan agama, menuntut ilmu adalah tidak mengenal umur. Saudara-saudara dan adik-adikku, (mida yang manutan, nawaf yang bergedul) yang memberikan motifasi penulis untuk dapat merubah pola kehidupan yang selama ini dijalani. 10. Bapak Mugiarto Saputro beserta Ibu Rochmiati dan segenap keluarga yang senantiasa membuat penulis semakin terbiasa dengan kesabaran dan kebesaran hati menghadapi seseorang yang pemarah dan nyebelke serta terima kasih juga atas pinjaman komputernya.
11. Ust. Ahmad Sholihun sebagai guru ngaji dari kecil hingga kini, selalu mengajarkan tentang apa yang tidak diketahui oleh penulis. 12. Segenap Staf Perpustakaan Institut IAIN Walisongo Semarang. Bapak Ibnu Surowo dan Ibu Siti Khodtijah, S. Ag yang senantiasa memberi semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhirnya. 13. Mayor INF Erwin, S.E mantan Komandan Kompi Dodik Bela Negara Rindam IV Diponegoro. Walaupun sekarang berada di ujung Maluku, tetapi masih selalu berkomunikasi dan memberi semangat serta arahan kepada penulis. 14. Seluruh personil Resimen Mahasiswa (Korp Mahasiswa Bela Negara) Satuan 906 ”Sapu Jagad” IAIN Walisongo Semarang khususnya yudha 29, Komandan Fathkuri, Wadan Fathkurahman, PAM Saefudin, Humas Nely, Diklat Atta, Log Indah, Tri Aini, Prov Deni, Masat Sarjito, Pers Mahmudah, dan Suwarno yang selalu memberi semangat, arti persaudaraan, dan motifasi kepada penulis. 15. Teman-teman seperjuangan Diksar Menwa yudha 29. Rifqi (Sat 901), terima kasih atas jaketnya, Dhama Peni Lasari (Sat 904) yang senantiasa memberi motifasi dan meluangkan sedikit waktu untuk berdebat dan diskusi dengan penulis hingga kini. 16. Bolo-bolo alumni Asrama Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang. Kiepley, Idros, Agus pecinta PS, Luthfi raja tidur, Benidur, Kuat, Qowi, Ubed, Farid, Zuddin yang selalu ngorok, Mas Habib yang penyabar, Sukron atlet volly, dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
17. Segenap konco-konco sepaket MUA’05, Mr. Rochim, Mr. Udien, Mr. Romli, Mr. Zackhi, Mr. Munif Ibnu, Mr. Tino sebagai comting andalan, Memey, Cahya, Eni, Sofie, Ana, Ulil, Tiwox, Anis, Ellies, dll. 18. Keluarga Pak Lurah, keluarga Ibu Barokah, dan keluarga Pak Sabar, serta teman-teman Team KKN posko 33 di desa Randusari, kecamatan Rowosari, kabupaten Kendal. Mister Sukron, pak Birin, bu Aka, bu Is, dan mbak Memey. 19. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan yang telah berjasa dalam hidup penulis.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Misbahul Fuadi
Tempat/ Tanggal lahir
: Kendal, 11 Oktober 1986
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Gubugsari RT. 03 RW. 05 Pegandon Kendal 51357.
Riwayat Pendidikan : -
SD Gubugsari I, lulus tahun 1999
-
Madrasah Tsanawiyah NU 06 Sunan Abinawa Pegandon, lulus tahun 2002
-
Madrasah Aliyah Negeri Kendal, lulus tahun 2005
-
Mahasiswa
Fakultas
Syari’ah
Walisongo Semarang 2005-2009
Demikianlah riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Semarang, 14 Desember 2009 Hormat saya,
Misbahul Fuadi
IAIN
BIODATA
Nama
: Misbahul Fuadi
Tempat/tanggal lahir
: Kendal, 11 Oktober 1986
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Nama orang tua
: - Ayah : H. M. Djamnun - Ibu
Alamat
: Hj. Mubarohah
: Gubugsari RT. 03 RW. 05 Pegandon Kendal 51357
ABSTRAKS
Mustahik zakat dalam Al-Qur’an telah jelas disebutkan bahwa jumlahnya adalah 8 golongan. Salah satunya adalah Fi Sabilillah. Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi dalam pendapatnya yang mengatakan tentang pengertian Fi Sabilillah keduanya terlihat berbeda. Imam Syafi’I yang merupakan salah satu ulama besar Mazhab 4 mengatakan Fi Sabilillah adalah perang, sedangkan Yusuf Al-Qardawi merupakan ulama kontemporer mengatakan Fi Sabilillah bukan hanya terbatas pada perang, akan tetapi segala perbuatan yang bertujuan untuk kepentingan Islam. Dalam hal ini banyak orang yang masih memperdebatkan tentang makna Fi Sabilillah. Oleh karena itu, hal ini merupakan permasalahan yang sangat penting untuk dikaji. Perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dn Yusuf Al-Qardawi menimbulkan suatu permasalahan. Dalam hal ini kita bisa mengetahui bagaiman pendapat Imam Syafi’i dan Yusuf Al-Qardawi tentang pengertian Fi Sabilillah? Dan metode istinbath hukum seperti apa yang digunakan keduanya? Kerangka metodologi yang dipakai adalah kepustakaan dengan metode deskriptif, yaitu menguraikan atau menggambarkan pendapat Imam Syafi’i dan Yusuf Al-Qardawi secara mendalam. Lalu mengkomparasikan kedua pendapat tersebut dengan metode komparatif, yaitu metode perbandingan, dengan memperbandingkan pendapat Imam Syafi’I dengan pendapat Yusuf Al-Qardawi. Dan juga dengan analisis kualitatif, yaitu dengan menggunakan pemikiran logis atau menganalisa dengan logika sehingga bisa menghasilkan kesimpulan yang valid. Kesimpulannya, pengertian Fi Sabilillah menurut Imam Syafi’i adalah pada makna orang dan alat, sedangkan Yusuf Al-Qardawi memaknainya dengan penekanan pada kemaslahatan umat. Metode Imam Syafi’i menggunakan Hadis bukan Qiyas dan tidak memakai Istihsan, sedangkan Yusuf Al-Qardawi menggunakan Qiyas dan memakai Istihsan.
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii NOTA PEMBIMBING ........................................................................................ iii HALAMAN MOTTO ......................................................................................... iv HALAMAN DEKLARASI .................................................................................. v HALAMAN ABSTRAK ...................................................................................... vi HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................... vii HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... x DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiv
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 B. Rumusan Masalah........................................................................... 5 C. Tujuan Penulisan Skripsi............................................................. 5 D. Telaah Pustaka................................................................................ 5 E. Metode Penelitian.......................................................................... 7 F. Sistematika Penulisan................................................................. 10
BAB II
BIOGRAFI .......................................................................................... 12 A. Biografi Imam Syafi'i ...................................................................... 12 1. Nasab Imam Syafi’i ................................................................. 12 2. Pendidikan dan Pengalaman Imam Syafi’i .............................. 15 3. Guru-guru Imam Syafi’i .......................................................... 18 4. Murid-murid Imam Syafi’i ...................................................... 20 5. Pemikiran dan Karya Imam Syafi'I ......................................... 22 B. Biografi Yusuf Al-Qardawi ........................................................... 25 1. Pendidikan Yusuf Al-Qardawi ................................................ 25 2. Pemikiran Dan Karya Yusuf Al-Qardawi ............................... 29 xiv
BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI'I DAN YUSUF AL-QARDAWI TENTANG PENGERTIAN FI SABILILLAH ................................... 31 A. Pendapat Imam Syafi'I Tentang Pengertian Fi Sabilillah ............. 34 B. Metode Istinbath Imam Syafi'I Dalam Merumuskan Pengertian Fi Sabilillah........................................................................................ 34 C. Pendapat Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah..... 36 D. Metode
Istinbath
Yusuf
Al-Qardawi
Dalam
Merumuskan
Pengertian Fi Sabilillah ................................................................ 39
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF PENDAPAT IMAM SYAFI'I DENGAN YUSUF
AL-QARDAWI
TENTANG
PENGERTIAN
FI
SABILILLAH ...................................................................................... 42
A. Analisis Komparatif Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Dengan Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah.................... 42 B. Analisis Komparatif Terhadap Istinbath Hukum Imam Syafi’i Dengan Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah ...... 45
BAB V
PENUTUP ........................................................................................... 53 A. Kesimpulan ..................................................................................... 53 B. Saran-saran ...................................................................................... 53 C. Penutup ........................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Ibadah merupakan pondasi bagi umat beragama, bukan hanya Islam. Dalam tata hukum Islam, ibadah merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ibadah didalam ajaran Islam sangat bermacam-macam, ada Rukun iman, Rukun Islam, dll. Itu adalah dasar dalam mengenal Tuhan. Zakat adalah kewajiban bagi setiap muslim yang mampu dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Diwajibkannya zakat adalah untuk kebaikan manusia dan sarana untuk mensucikan, menjaga harta serta sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Allah berfirman,
ﺎ ﻭﺻ ﹼﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺇ ﹼﻥ ﺻﻼ ﺗﻚ ﺳﻜﻦ ﺮﻫﻢ ﻭﺗﺰﻛﹼﻴﻬﻢﺧﺬ ﻣﻦ ﺃﻣﻮﺍﳍﻢ ﺻﺪﻗﺔ ﺗﻄﻬ
﴾١٠٣﴿ ﳍﻢ ﻭﺍﻟﻠﹼﻪ ﲰﻴﻊ ﻋﻠﻴﻢ
“Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.(QS At-Taubah : 103)1
Dengan demikian, zakat merupakan sarana untuk mensucikan diri dari sifat bakhil dan kikir. Juga merupakan ujian bagi orang kaya agar mendekatkan diri kepada Allah dengan sedikit harta yang dicintainya.2
1
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994, hlm. 297. 2
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, Jakarta : Gema Insani, 2006, hlm. 245.
1
Didalam zakat terdapat persoalan-persoalan yang belum memperoleh perhatian dan penggarapan yang semestinya dari para Ulama, misalnya dalam masalah fungsinya, kedudukannya dalam system moneter ekonomi, ataupun mengenai ashnaf dalam pembagian zakat. Dalam kondisi sekarang memang tidak jauh seperti pada zaman dahulu. Pada masa dahulu pembagian akan zakat sudah jelas diatur dalam AlQur’an mengenai ashnaf zakat. Oleh sebab itu pembagian pada waktu itu sudah sangat tepat. Masalah ketentuan tersebut disebutkan dalam Al-Qur’an secara ringkas, bahkan lebih ringkas lagi seperti halnya sholat, maka secara khusus Al-Qur’an memberikan perhatian dengan menerangkan kepada siapa zakat itu diberikan. Golongan yang berhak menerima zakat telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam surat At-Taubah : 60
ﻗﺎﺏﻢ ﻭﰲ ﺍﻟﺮﺪﻗﺎﺕ ﻟﻠﻔﻘﺮﺍﺀ ﻭﺍﳌﺴﺎﻛﻦ ﻭﺍﻟﻌﺎﻣﻠﲔ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺍﳌﺆﻟﹼﻔﺔ ﻗﻠﻮﻤﺎ ﺍﻟﺼﺇﻧ ﺒﻴﻞ ﻓﺮﻳﻀﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﹼﻪ ﻭﺍﻟﻠﹼﻪ ﻋﻠﻴﻢ ﺣﻜﻴﻢﻭﺍﻟﻐﺎﺭﻣﲔ ﻭﰲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﹼﻪ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺴ ﴾٦٠﴿ “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”.3
Dalam ayat diatas dijelaskan salah satu ashnaf penerima zakat adalah
3
Departemen Agama RI, Ibid, hlm. 296.
2
untuk jalan Allah atau sering disebut Fi Sabalillah. keumuman makna "Sabalillah" diluar ayat itu sangat luas dan banyak sekali cakupannya. Tidak terbatas pada penetapan ashnaf saja. karenanya sama sekali tidak sejalan dengan pembatasan delapan ashnaf yang berhak menerima zakat sebagaimana termaktub dalam ayat 60 surat At-Taubah. 4 Selain dalam surat At-Taubah tadi, Fi Sabiillah juga terdapat diantaranya dalam surat An-nisa’ : 167, surat Al-Anfaal : 36, surat : Luqman : 6 dan masih banyak lagi. Akan tetapi yang menjadi rujukan dalam penuusan skripsi ini adalah surat At –Taubah : 60. dalam ayat itu makna Fi Sabiillah diartikan dengan “di jalan Allah”, atau dengan nama lain adalah jihad di jalan Allah. Dengan kata lain Fi Sabiillah dalam al-Qur’an adalah untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Disini jelas diterangkan bahwa makna itu mengandung arti jihad untuk peperangan dalam membela agama Allah. Akan tetapi para ulama sekarang masih banyak yang memperdebatkan tentang pengertian itu. Karana dizaman modern ini khususnya Indonesia sudah tidak ada lagi yang namanya perang. Lantas, kemanakah bagian Fi Sabiillah? Menurut Imam Syafi’I, Fi Sabiillah adalah orang yang secara sukarela berperang karana Alah dan tidak mendapat gaji dari pemerintah setempat, orang-orang ini berhak mendapatkan zakat walaupun kaya. Pengertian yang dijabarkan Imam syafi’I mengenai Fi Sabiillah tidak lepas dari yang namanya perang untuk membela Islam. Menurutnya Fi Sabiillah memang artinya demikian. Oleh karena itu pendapatnya sangatlah
4
Yusuf Al-Qardawi, Fatwa-Fartwa Mutakhir, Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 372.
3
sempit bila direlevansikan pada masa sekarang. Di zaman sekarang sudah tidak ada lagi perang. Banyak hadist-hadist shahih berasa dari Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang menunjukkan, bahwa yang dimaksud “Sabiillah” adalah jihad.5 Dalam hadist riwayat Imam Bukhori dan Muslim disebutkan :
ﻟﻐﺩﻭﺓ ﻓﻲ ﺴﺒﻴل ﺍﷲ ﺍﻭﺭﻭﺤﺔ ﺨﻴﺭ: ﻲ ﺼل ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ ﻗﺎل ﺍﻟﻨﹼﺒ ﻨﻴﺎ ﻭﻤﺎ ﻓﻴﻬﺎﻤﻥ ﺍﻟﺩ “Sesungguhnya pergi pada waktu pagi atau petang untuk Sabiillah (berjihad) lebih baik dari pada dunia seisinya”6
Pendapat lain dari Yusuf Al-Qardawi, pendapat ini bisa dikatakan pendapat yang paling mutakhir. Menurutnya Fi Sabilillah bukan hanya orang yang berperang, akan tetapi segala sesuatu yang bertujuan untuk kemajuan agama Islam bisa dikatakan Fi Sabiillah, seperti : membangun pusat-pusat dakwah Islam, menerbitkan surat kabar Islami, membantu juru dakwah, membantu pembangunan masjid, dll.7 Dengan membandingkan antara pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf AlQardawi pengertian Fi Sabiillah. Disini penulis akan membahas yang lebih mendalam, pendapat mana yang lebih kuat dengan relevansinya dimasa sekarang. Karena masalah ini merupakan hal yang layak dan aktual untuk dikaji.
5 6
Yusuf Al-Qardawi, ibid, hlm. 373. Hasby Asy Shiddiqy, Mutiara Hadis 6, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putera, 2003, hlm.
7
Ibid, hlm. 382.
71.
4
B. RUMUSAN MASALAH Setelah penulis memaparkan uraian diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah : 1. Apa pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi tentang pengertian Fi
Sabalillah? 2. Bagaimana metode istinbath hukum Iman Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi
tentang pengertian Fi Sabalillah? C. TUJUAN PENULISAN SKRIPSI Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan, adapun tujuannya antara lain : 1. Untuk mendeskripsikan pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi tentang pengertian Fi Sabalillah. 2. Untuk mengetahui istinbath hukum yang digunakan dalam mendukung pendapat keduanya. D. TELAAH PUSTAKA Kajian ini mempergunakan semua kesempatan untuk mencari kepustakaan diperpustakaan atau tempat lain.8 Tentang mustahik zakat secara umum memang telah banyak dikaji, namun sepanjang pengetahuan penulis belum ada yang membahas mengenai Fi Sabilillah dalam konteks perbandingan pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi. Adapun skripsi yang telah mempresentasikan berhubungan dengan skripsi penulis antara lain:
8
Consuelo G. Sevilla, dkk, Pengertian Metode Penelitian, Jakarta : UI-Press, 1993, hlm. 32.
5
Skripsi mahasiswa yang bernama Muhammad Rofiq Anwar dengan NIM 2199195 yang berjudul “Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Penyamarataan
Dalam
Pendistribusian
Zakat
Kepada
Mustahiq”.9
Menjelaskan bahwa zakat itu harus dibagikan merata kepada mustahiq. Skripsi yang berjudul “Studi Analisis Terhadap Pendapat Dr. Sahal Mahfudz Tentang Zakat Al-Fitr Untuk Membangun Masjid.”10 yang ditulis oleh Zaimatul Khasanah (2199046). Dalam skripsi ini dijelaskan tentang kebolehan memberi zakat untuk kepentingan agama dengan metode kontekstual. Sedangkan permasalahan yang akan penulis kaji adalah masalah Fi Sabalillah, jadi jelas berbeda dengan karya tersebut. Judul diatas juga mempunyai relevansi dengan buku-buku dan kitabkitab yang didalamnya memuat tentang zakat serta berkaitan dengan ashnaf zakat, seperti : Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah dijelaskan juga tentang Fi Sabalillah, pengertian dan contoh-contohnya dizaman sekarang.11 Akan tetapi yang disebutkan dalam buku ini kurang begitu detail mengenai pembahasan yang dikaji oleh penulis. Pendapat Imam syafi’I dalam kitab Al-Umm juga menerangkan mengenai Fi Sabiillah. Yaitu orang-orang yang secara sukarela berperang 9
Muhammad, Rofiq, Studi Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Penyamarataan Dalam Pendistribusian Zakat Kepada Mustahiq, Skripsi Sarjana Fakultas Syari’ah Semarang : Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2004, hlm 83. 10 Zaimatul Khasanah, Studi Analisis Terhadap Pendapat Dr. Sahal Mahfudz Tentang Zakat Al-Fitr Untuk Membangun Masjid, Skripsi Sarjana Fakultas Syari’ah Semarang : Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2006, hlm. 55. 11 Lebih lanjut baca : Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundit Aksara, 2006, jilid I, hlm. 573.
6
karena Allah dan tidak mendapatkan gaji dari pemerintah setempat, orang orang ini berhak mendapatkan zakat walaupun kaya. Sedangkan pendapat Yusuf Al-Qardawi dalam bukunya Hukum Zakat menjelaskan Fi Sabiillah adalah jalan yang menyampaikan pada ridha Allah, baik aqidah maupun perbuatan. Dalam buku ini dibahas secara detail mengenai Fi Sabiillah, bahkan lengkap juga mengenai pendapat-pendapat para Ulama serta contohnya di masa sekarang.12 Sejauh ini belum ada penelitian secara spesifik yang membahas pemikiran Iman Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi tentang pengetian Fi Sabalillah, sehingga permasalahan tersebut perlu diteliti karana hal tersebut merupakan hal yang aktual. E. METODE PENELITIAN 1. JENIS PENELITIAN Skripsi ini dalam penelitiannya menggunakan jenis penelitian library research dengan dua sumber data, yaitu : a.
Sumber data primer adalah data yang diambil langsung dari tangan pertama.13 Kitab Al-Umm dan kitab Fiqhuz Zakat merupakan sumber utama dalam skripsi ini. Data yang diperoleh dari karya asli seorang
12
Lebih lanjut baca : Yusuf Al-Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta : PT. Mitra Kerjaya Indonesia, 2004, hlm. 610. 13 Robert R. Mayer & Ernest Greicn wood, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Jakarta CV. Rajawali, cet I, 1984, hlm. 361. 14 Ibid 15 Muhammad Nazim, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988, hlm. 405 16 Ibid, hlm. 63 17 Tatang M Amin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 13. Analisis kualitatif menggunakan pemikiran logis, analisa dengan logika dengan induksi, analogi, komparasi, dan sejenisnya.
7
tokoh secara langsung disebut data asli. b.
Sumber data sekunder adalah data yang mengutip dari sumber-sumber lain,14 artinya data yang ditulis oleh orang lain tentang pandangan Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi sehingga tidak bersifat asli karena diperoleh dari tangan kedua atau ketiga, serta buku-buku dan tulisan pendukung yang bertemakan fi sabilillah. Selanjutnya dengan demikian data ini disebut data tidak asli.
2. METODE ANALISIS DATA Analisis data adalah kepustakaan dan merupakan bagian yang amat penting dalam metode ilmiah, karena dengan menganalisis data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.15 Setelah data tersebut terkumpul selanjutnya disusun secara sistematis dan dianalisis. Untuk dapat menghasilkan kesimpulan yang yang benar dan valid, maka metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,16 dengan analisis kualitatif,17 penulis mendeskripsikan pandangan Imam syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi dengan analisis secara mendalam. Sehingga diperoleh gambaran pemikiran Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi tentang pengertian Fi Sabilillah dengan
jelas.
Untuk
memperoleh
deskripsinya
penulis
juga
mengkomparasikannya dengan pendapat ulama yang lain. Adapun langkah-langkah yang digunakan penulis adalah sebagai
8
berikut : Pertama, penulis mengartikan pokok-pokok masalah dengan cara membaca kitab-kitab, buku-buku, karya imam-imam mujtahid melalui sebuah pembahasan deskriptif yang pembahasannya melalui deskriptif komparatif. Karena membandingkan dua pendapat Imam Syafi’i dengan Yusuf Al-Qardawi. Kedua, setelah data tersebut diatas dapat disajikan secara menyeluruh, maka penulis mencoba membahas dan menganalisa secara keseluruhan. Sehingga pada titik final penulis menyimpulkan pendapat mana yang paling kuat dasar hukumnya dengan alasan-alasan yang melatar belakanginya. 3. METODE KOMPARATIF Adalah metode menganalisa data-data tertentu yang berkaitan dengan situasi atau faktor-faktor yang diselidiki dan membandingkan faktor satu dengan factor lainnya.18 Dalam studi komparatif ini, memang sangat sulit untuk
mengetahui
faktor-faktor
penyebab
yang
dijadikan
dasar
pembanding,19 dengan persepsi tentang pengetahun hokum, khususnya hokum zakat yang penulis gunakan didalam melakukan pengkajian dan perbandingan terhadap berbagai pendapat Ulama-ulama Islam mengenai permasalahan yang terkandung didalam pengertian Fi Sabilillah. Penulis mengetengahkan pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi serta
18 19
Ibid, hlm. 135. Opcit, hlm. 68.
9
beberapa pendapat lainnya yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam pembahasan skripsi ini. Sudah barang tentu perbedaan tersebut dilakukan untuk mengkaji argumentasi-argumentasi dari jumlah pendapat yang ditinjau dari segi relevansinya dengan dasar Al-Qur’an dan Al-Hadist dari segi rasionya. F. SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan skripsi yang berjudul “Studi Komparatif Antara Pendapat Imam Syafi’i Dengan Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah” tersusun atas lima bab. Adapun penyusunannya sebagai berikut : BAB I
: Pendahuluan, yang memuat tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II
: Bab ini memberikan gambaran umum profil Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardhawi.
BAB III : Pendapat Imam Syafi’i dan Yusuf Al-Qardawi, dilengkapi dengan
metode
istinbath
keduanya
dalam
merumuskan
pengertian Fi Sabilillah. BAB VI : Membahas analisis komparatif terhadap pendapat Imam Syafi’I dengan YusufAl-Qardawi tentang pengertian Fi Sabilillah. Masih dalam bab ini, memaparkan pula analisis komparatif metode istinbath hukum Imam Syafi’I dengan Yusuf AlQardawi tentang pengertian Fi Sabilillah. BAB V
: Akhir perjalanan penulisan skripsi. Memuat kesimpulan, saran-
10
saran, dan penutup
11
BAB II BIOGRAFI
A. Biografi Imam Syafi'i 1. Nasab Imam Syafi’i Imam Syafi’i ialah Imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Dia adalah pendukung terhadap Ilmu Hadis dan pembaharu dalam agama (Mujadid) dalam abad kedua Hijriah.1 Ia juga Ulama Mujtahid (ahli ijtihad) di bidang fiqih dan salah satu dari empat Imam Mazhab yang terkenal dalam Islam. Imam Syafi’I dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut Tengah pada bulan Rajab tahun 150 H/767 M.2 Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah.3 Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Al-Saib bin Ubaid bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Abdul Al-Muthalib bin Abdul Manaf.4 Kata Syafi’i dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i bin AlSaib. Ayahnya bernama Idris bin Abbas, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin Al-Hasan bin Husain bin Ali bin Abi
1
Ahmad Asy-Syurbasi, “Al-Aimatul Arba’ah”, terj. Sabil Huda, Sejarah Dan Biografi Imam Empat Mazhab, Jakarta : Bumi Aksara, 1993, hlm. 193. 2 Basri Iba Asyghary, Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hlm. 159. 3 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 120. 4 Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 27.
12
Tholib.5 Dengan demikian ibu Imam Syafi’i adalah cucu dari Sayyidina Ali bin Abi Tholib, menantu Nabi Muhammad SAW.6 Dengan demikian, kedua orang tua beliau berasal dari bangsawan Arab Quraisy.7 Dengan pertalian tersebut diatas, Imam Syafi’I menganggap dirinya dari orang dekat kepada Rasulullah SAW. Bahkan beliau dari keturunan Zawil Kubra yang berjuang bersama dengan Rasulullah SAW di zaman jahiliyah dan Islam. Mereka bersama dengan Rasulullah SAW juga semasa orang Quraisy mengasingkan Rasulullah SAW mereka bersama turut menanggung penderitaan bersama-sama Rasulullah SAW.8 Keluarga Imam Syafi’i adalah dari keluarga Palestina yang miskin dan yang dihalau dari negerinya, mereka hidup di dalam perkampungan orang Zaman.9 Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam keluarga yang miskin, hal ini tidak menjadikannya merasa rendah diri apalagi malas. Sebaliknya, dia bahkan sangat giat mempelajari Hadis dari Ulama-ulama Hadis yang banyak terdapat di Makkah.10 Dia terpaksa mengumpulkan batu-batu yang baik, belulang, pelepah tamar dan tulang unta untuk ditulis di atasnya.
5
Moh. Yassir Abn Mutholib, Ringkasan Kitab Al-Umm, Jakarta : Pustaka Azzam, 2004,
hlm. 3. 6
Huzaimah Tahido Yanggo, Ibid, hlm. 121. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, hlm. 327. 8 Ahmad Asy-Syurbasi, Opcit, hlm. 142 9 Sabil Huda, Opcit, hlm. 142. 10 Masykur A.B, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta : lentera basritama, 2000, hlm. 29. 7
13
Kadangkala dia pergi ke tempat-tempat perkumpulan orang banyak meminta kertas untuk menulis pelajarannya.11 Sejarah Islam mengatakan Imam Syafi’i hidup pada masamasa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orangorang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orangorang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.12 Pada suatu ketika Imam Syafi’i mengalami sakit yang sangat parah. Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Segenap murid-murid Imam Syafi’i diantaranya : Al-Muzany dan 11
Ahmad Asy-Syurbasi, Opcit, hlm. 143. http://www.assunnahqatar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=519&Ite mid=144, di akses tanggal 9 Desember 2009. 12
14
Rabi Al-Jizi sering kali datang kerumah Imam Syafi’i untuk melayaninya selama sakit.13 Kemudian pada suatu hari, dia berwasiat kepada Rabi Al-Jizi : ”Apabila aku mati, hendaklah kamu segera datang memberitahukan kepada wali negeri Mesir, dan mintalah kepadanya supaya ia memandikan aku”. Imam Syafi’i sudah merasa bahwa dirinya akan kembali ke Rahmatullah, akhirnya dengan tenang dia menghembuskan nafasnya yang terakhir sesudah sholat Isya’ malam jum’at bulan Rajab tahun 204 H/819 M di usianya yang ke 54 tahun dengan disaksikan muridnya Rabi Al-Jizi.14 2. Pendidikan dan Pengalaman Imam Syafi’i Imam Syafi’i dalam riwayatnya seperti yang telah diuraikan diatas bahwa ia dilahirkan dalam keadaan yatim, hingga dalam usia dua tahun, ia dibawa ibunya pindah ke negeri Hijaz (persisnya ke kota Makkah). Sungguhpun ia dalam keadaan yatim dan miskin, namun dengan dorongan ibunya tercinta dan dengan dukungan kecerdasannya yang mengagumkan, maka dalam usia sembilan tahun sudah dapat menghafal kitab suci Al-Qur’an 30 juz diluar kepala, dibawah bimbingan guru besar Imam Ismail bin Qasthanthin.15 Begitu tamat belajar Al-Qur’an Imam Syafi’i oleh ibunya dimasukkan ke lembaga pendidikan lain yang berada di dalam Masjidil Haram, agar dapat membaca Al-Qur’an lebih baik termasuk 13
Hilaluddin MS, Riwayat Ulama Besar Imam Syafi’i, Surabaya : Apollo, 1996, hlm. 69. Abdullah Mustofa Al-Maraghi, Opcit, hlm. 97. 15 Hilaluddin MS, Opcit, hlm. 7. 14
15
tajwid dan tafsirnya. Dalam usia 13 tahun, dia sudah mampu membaca
Al-Qur’an
dengan
tartil
dan
baik,
sudah
dapat
menghafalnya, bahkan memahami apa yang dibacanya sebatas kesanggupan soerang anak yang baru berusia 13 tahun.16 Imam Syafi’i setelah dapat menghafal seluruh isi Al-Qur’an dengan lancar, dia berangkat ke dusun Baduwy Banu Huzail untuk mempelajari bahasa arab yang asli dan fasih. Disana selama bertahun-tahun dia mendalami bahasa, kesusastraan dan adat istiadat arab yang asli. Bahkan ketekunan dan kesanggupannya, kemudian dikenal sangat ahli dalam bahasa arab dan kesusastraannya, mahir dalam membuat syair, serta mendalami adat istiadat arab yang asli.17 Sepulangnya dari dusun Baduwy Banu Huzail, dia kembali ke Makkah untuk berguru kepada Imam Muslim bin Kholid AzZanniy tentang ilmu fiqih dan ushul fiqh serta ilmu hadis berguru kepada Imam sufyan bin Uyainah,18 sampai memperoleh ijazah dan berhak mengajar serta memberi fatwa. Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Ini terbukti, pada usia 10 tahun Ia sudah hafal kitab AlMuwatto karya Imam Malik. Oleh karena itu, setelah berumur 15 tahun, oleh para gurunya ia diberi izin untuk mengajar dan memberi fatwa kepada khalayak ramai. Imam Syafi’ipun tidak keberatan
16
H. MH Al-Hamid Al-Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 383. 17 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ibid, hlm. 329. 18 Hilaluddin MS, Ibid
16
menduduki jabatan guru besar dan mufti di dalam Masjidil Haram di Makkah. Tetapi walaupun demikian dia tetap belajar ilmu pengetahuan di Makkah.19 Adapun gelar yang disandang Imam Syafi’i adalah Nashirul Hadits (pembela hadits). Dia mendapat gelar ini karena dikenal sebagai pembela hadits Rasulullah, dan komitmennya untuk mengikuti Sunnah Rasul.20 Imam Syafi’i setelah menghafal isi kitab Al-Muwatto, dia sangat berhasrat untuk menemui
pengarangnya, Imam Malik,
sekaligus ingin memperdalam ilmu fiqih yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Makkah, dia berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik. Setibanya di Madinah, Imam Syafi’i sholat di Masjid Nabi SAW dan menziarahi makamnya Nabi SAW, baru kemudian menemui Imam Malik. Ia sangat dikasihi oleh gurunya dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktikan isi kitab Al-Muwatto kepada murud-murid Imam Malik.21 Kesimpulan dari uraian diatas, bahwa Imam Syafi’i mempunyai pengetahuan yang sangat luas dalam bidang lughah dan adab. Di samping pengetahuan hadis yang ia peroleh dari beberapa negeri. Sedangkan pengetahuannya dalam bidang fiqih meliputi Fiqih Ashab Al-Ra’yi di irak dan Fiqih Al-Hadis di Hijaz.
19
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 4. http://www.gp-ansor.org/hikmah/mengenal-kebesaran-imam-asysyafiirahimahullah.html, di akses tanggal 9 Desember 2009. 21 H. MH Al-Hamid Al-Husaini, Ibid 20
17
3. Guru-guru Imam Syafi’i Imam Syafi’i sejak masih kecil adalah seorang yang memang mempunyai sifat ”pecinta ilmu pengetahuan”, maka sebab itu bagaimanapun keadaanya, tidak segan dan tidak jenuh dalam menuntut
ilmu
pengetahuan.
Kepada
orang-orang
yang
dipandangnya mempunyai pengetahuan dan keahlian tentang ilmu, diapun sangat rajin dalam mempelajari ilmu yang sedang dituntutnya.22 Diantara Guru-Guru utama yang membina kepada Imam Syafi’i antara lain : 1) Ketika berada di Makkah : a) Muslim bin Kholid (guru bidang fiqih) b) Sufyan bin Uyainah (guru bidang hadis dan tafsir) c) Ismail bin Qashthanthin (guru bidang Al-Qur’an) d) Ibrahim bin Sa’id23 e) Sa’id bin Al-Kudah f) Daud bin Abdurrahman Al-Attar g) Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud24 2) Ketika berada di Madinah : a) Malik bin Anas R.A b) Ibrahim bin Saad Al-Ansari 22
Hilaluddin MS, Opcit, hlm. 72. Ibid 24 Ahmad Asy-Syurbasi, Lokcit, hlm. 149. 23
18
c) Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi d) Ibrahim bin Yahya Al-Asami e) Muhammad Said bin Abi Fudaik f) Abdullah bin Nafi Al-Shani25 3) Ketika berada di Irak : a) Abu Yusuf b) Muhammad bin Al-Hasan c) Waki’ bin Jarrah26 d) Abu usamah e) Hammad bin Usammah f) Ismail bin Ulaiyah g) Abdul Wahab bin Ulaiyah27 4) Ketika berada di Yaman : a) Yahya bin Hasan b) Muththarif bin mizan c) Hisyam bin Yusuf d) Umar bin Abi Maslamah Al-Auza’i28 5) Di antara yang lain lagi : a) Ibrahim bin Muhammad b) Fudhail bin Lyadi c) Muhammad bin Syafi’i29 25
Ahmad Asy-Syurbasi, 4 Mutiara Zaman, Jakarta : Pustaka Qalami, 2003, hlm. 135. Hilaluddin MS, Lokcit. 27 Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 487. 28 Ibid 26
19
4. Murid-murid Imam Syafi’i Guru-guru Imam Syafi’i amatlah banyak, maka tidak kurang pula penuntut ilmu atau murid-muridnya, diantaranya ialah : 1) Abu Bakar Al-Humaidi 2) Ibrahim bin Muhammad Al-Abbas 3) Abu Bakar Muhammad bin Idris 4) Musa bin Abi Al-Jarud.30 Murid-muridnya yang keluaran Bagdad, adalah : 1) Al-hasan Al-Sabah Al-Za’farani 2) Al-Husain bin Ali Al-Karabisi 3) Abu Thur Al-Kulbi 4) Ahmad bin Muhammad Al-Asy’ari.31 Murid-muridnya yang keluaran Irak, yaitu : 1) Ahmad bin Hambal 2) Dawud bin Al-Zahiri 3) Abu Tsaur Al-Bagdadi 4) Abu ja’far At-Thabari.32 Murid-muridnya yang keluaran Mesir, adalah : 1) Abu Ya’kub Yusub Ibnu Yahya Al-Buwaithi 2) Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Muradi 3) Abdullah bin Zuber Al-Humaidi
29
Hilaluddin MS, Opcit, hlm. 73. Ahmad Asy-Syurbasi, Lokcit, hlm. 151. 31 Ibid. 32 Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1976, hlm. 68. 30
20
4) Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzany 5) Al-Rabi’in bin Sulaiman Al-Jizi 6) Harmalah bin Yahya At-Tujubi 7) Yunus Abdil A’la 8) Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakim 9) Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakim 10) Abu Bakar Al-Humaidi 11) Abdul Aziz bin Umar 12) Abu Usman Muhammad bin Syafi’i 13) Abu Hanifah Al-Asnawi33 Para murid Imam Syafi’I dari kalangan perempuan tercatat antara lain saudara perempuan Al-Muzani. Mereka adalah para cendikiawan besar dalam bidang pemikiran Islam dengan sejumlah besar bukunya, baik dalam fiqih maupun lainnya.34 Di antara para muridnya yang termasyhur sekali adalah Ahmad bin Hambal, yang mana beliau talah memberi jawaban kepada pertanyaan tentang Imam Syafi’i dengan katanya : ”Allah Ta’ala telah memberi kesenangan dan kemudahan kepada kami melalui Imam Syafi’i. Kami telah mempelajari pendapat para kaum dan kami telah mennyalin kitab-kitab mereka, tetapi apabila Imam Syafi’i datang kami belajar kepadanya, kami dapati bahwa Imam
33
Sirajuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 2004, hlm. 180-181. 34 Abdullah Mustofa Al-Maraghi, “Fath Al-Mubin Di Tabaqat Al-Usuliyyin”, terj. Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta : LPKSM, 2001, Cet 1, hlm. 95.
21
Syafi’i lebih alim dari orang-orang lain. Kami senantiasa mengikuti Imam syafi’i malam dan siang. Apa yang kami dapati darinya adalah kesemuaannya
baik,
mudah-mudahan
Allah
melimpahkan
rahmatNya atas beliau”.35 5. Pemikiran dan Karya Imam Syafi'I Aliran keagamaan Imam Syafi’i, sama dengan Imam Mazhab lainnya dari Imam-imam Mazhab Empat : Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hambal adalah termasuk golongan Ahlu AlSunnah Wa Al-Jama’ah. Ahlu Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah dalam bidang furu’ terbagi kepada dua aliran, yaitu aliran Ahlu Al-Hadis dan aliran Ahlu Al-Ra’yu. Imam Syafi’i termasuk Ahlu Al-Hadis. Meskipun termasuk golongan sebagai seorang yang beraliran Ahlu Al-Hadis, namun pengetahuannya tentang fiqih Ahlu Al-Ra’yu tentu akan memberikan pengaruh kepada metodenya dalam menetapkan hukum.36 Imam Syafi’i mempunyai dua pemikiran yang dikenal dengan nama Qaul Al-Qadim dan Qaul Al-Jadid. Qaul Al-Qadim terdapat dalam kitabnya Al-Hujjah, yang dicetuskan di Irak. Sedangkan Qaul Al-Jadid terdapat dalam kitab Al-Umm, yang dicetuskan di Mesir.37 Pada saat Imam Syafi’i penyampaikan pendapatnya di Makkah. Apakah itu Qaul Al-Qodim atau Qaul Al-Jadid? Apabila ditelusuri dari sejarah perjalanan Imam Syafi’i tersebut, dapat 35
Ahmad Asy-Syurbasi, Opcit, hlm. 152. Huzaimah Tahido Yanggo, Opcit, hlm. 124. 37 Ibid. 36
22
diperkirakan bahwa pendapatnya yang disampaikan di Makkah itu adalah Qaul Al-Qodim, meskipun pada saat itu Qaul Al-Qodimnya belum didiktekan kepada murid-muridnya (Ulama Irak).38 Adapun mengenai karya-karya yang ditulis oleh Imam Syafi’i cukup banyak dalam bentuk kitab maupun risalah, menurut Abu Bakar Al-Baihaqy dalam kitabnya Ahkam Al-Qur’an. Al-Qadhi Imam Abu Hasan bin Muhammad Al-Mazuzy mengatakan bahwa Imam Syafi’i menyusun 133 buah kitab tentang tafsir, fiqih, adab, dan lain-lain.39 Kitab-kitab karya Imam Syafi’i dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian : a) Ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri, seperti : 1) Al-Umm 2) Al-Risalah (Riwayat Al-Buwaiti dan dilanjutkan oleh Rabi bin Sulaiman) b) Ditulis oleh murid-muridnya, seperti : 1) Mukhtasyar oleh Al-Muzanni 2) Mukhtasyar oleh Al-Buwaiti (Keduanya merupakan ikhtisar dari kitab Imam Syafi’i, yaitu : Al-Imla’ dan Al-Amaly).40
38
Ibid, hlm. 126 Huzaimah Tahido Yanggo, Ibid, hlm. 133. 40 Hasby Ash-Shiddieqy, Opcit, hlm. 134. 39
23
Kitab-kitab Imam Syafi’i, baik yang ditulisnya sendiri, didektekan kepada murid-muridnya, maupun dinisbatkan kepadanya, antara lain sebagai berikut : a) Kitab Al-Risalah, tentang Ushul Fiqih (riwayat Rabi).41 b) Kitab Al-Umm, sebuah kitab fiqih yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah kitab sebagai berikut : 1) Kitab ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila 2) Kitab Khila Ali wa Ibn Mas’ud.42 3) Kitab Ikhtilaf Malik Wa Al-Syafi’i 4) Kitab Jama’i Al-Ilmi 5) Kitab Al-Rada ‘Ala Muhammad Ibn Al-Hasan 6) Kitab Siyar Al-Auza’iy 7) Kitab Ikhtilaf Al-Hadis 8) Kitab Ibthalu Al-Istihsan c) Kitab Al-Musnad, berisi hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Al-Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya. d) Kitab Al-Imla’ e) Kitab Al-Amaly f) Harmalah (didektekan kepada muridnya yang bernama Harmalah bin Yahya) g) Mukhtasar Al-Muzainy (dinisbatkan kepada Imam Syafi’i)
41
Kitab Al-Risalah adalah kitab yang pertama dikarang Imam Syafi’I pada usia muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abdul Rahman bin Mahdy di Makkah. 42 Sebuah kitab yang menghimpun permasalahan yang diperselisihkan antara Ali dengan Ibn Mas’ud dan antara Imam Syafi’i dengan Abi Hanifah.
24
h) Mukhtasar Al-Buwaity (dinisbatkan kepada Imam Syafi’i) i) Kitab Ikhtilaf Al-Hadis (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadishadis Nabi SAW).43 Karangan diatas adalah hanya sebagian saja yang telah tercatat, Di samping itu juga ada beberapa risalah dan karangankarangan Imam Syafi’i, baik yang dikarang langsung atau tidak langsung. Tetapi belum pernah dicetak atau belum pernah dicetak kembali.44 Demikianlah beberapa sumber yang disebutkan di atas yang dapat digunakan untuk mempelajari kembali pokok-pokok pikiran Imam Syafi’I sebagai salah seorang Imam Mazhab yang terkemuka di dunia Islam dan sebagai Mazhab yang banyak dianut oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam. B. Biografi Yusuf Al-Qardawi 1. Pendidikan Yusuf Al-Qardawi Yusuf Al-Qardawi lahir di desa Shaf Al-Turab, Mesir bagian barat, pada tanggal 9 September 1926 M. ketika berusia 2 tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia diasuh oleh pamannya dan mendapat perhatian
yang
cukup
besar
dari
pamannya,
sehingga
ia
menganggapnya sebagai orang tuanya sendiri. Yusuf Al-Qardawi
43 44
Huzaimah Tahido Yanggo, Opcit, hlm. 31. H Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, Jakarta : Erlangga, 1991, hlm. 96.
25
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Nama lengkapnya Muhammad Yusuf Al-Qardawi.45 Ketika masih berusia 5 tahun, ia dididik menghafal AlQur’an secara intensif oleh pamannya, dan pada usia 10 tahun ia sudah menghafal seluruhnya dengan fasih. Karena kefasihannya, ditambah kemerduan suaranya, ia sering diminta menjadi Imam.46 Pendidikan tingkat dasar ia tempuh memalui ibtida’iyyah dan tsanawiyyah di Ma’had Thomtho’ Mesir.47 Kecerdasannya mulai terlihat ketika ia menyelesaikan studinya di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar dengan predikat terbaik yang diraihnya pada tahun 1952/1953. kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke jurusan bahasa arab selama 2 tahun. Di jurusan inilah ia lulus dengan peringkat pertama diantara 500 mahasiswa. Lalu melanjutkan studinya ke lembaga tinggi riset dan penelitian masalah-masalah Islam dan perkemmbangannya selama 3 tahun. Pada tahun 1960, dia memasuki pasca sarjana (Dirasah AlUlya) di Universitas Al-Azhar, Cairo Mesir. Di Fakultas ini, ia memilih jurusan Tafsir Hadis atau jurusan Akidah Filsafat.48 Setelah itu melanjutkan studinya ke program Doctor dan menulis disertasi yang berjudul ”Fiqhuz Zakat” yang selesai dalam 2 tahun.
45
Abdul Azia Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 1448. 46 Ibid. 47 Yusuf Al-Qardawi, Syaikh Muhammad Ghazali Yang Saya Kenal, Jakarta : Rabbadi Pers, 1999, hlm. 7. 48 Abdul Azia Dahlan, Opcit, hlm. 1448.
26
Pada tahun 1977, ia ditugaskan memimpin pendirian dan sekaligus menjadi Dekan l Fakultas Syari’ah dan Studi Islam di Universitas Qatar hingga akhir tahun 1989/1990. madrasah itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Syari’ah Qatar, yang kemudian berkembang menjadi Universitas Qatar dengan beberapa fakultas. Akhirnya dia kembali mengerjakan tugas rutinnya di Pusat Riset Sunnah dan Sirah Nabi setelah ditugaskan oleh pemerintah Qatar untuk menjadi dosen tamu di Aljazair tahun 1990/1991. Aktivitasnya dalam pengabdian kepada Islam tidak terbatas pada satu sisi atau medan tertentu. Aktivitasnya sangat beragam dan sangat luas serta melebar ke banyak bidang dan sisi yaitu : dalam bidang ilmu poengetahuan fiqih dan fatwa, dakwah dan pengarahan, seminar dan muktamar, kunjungan dan ceramah bidang ekonomi Islam, amal sosial (dalam kebangkitan umat), pergerakan dan ijtihad. Dan apa yang sangat membantu aktivitas dakwahnya adalah keterlibatannya dalam gerakan ”Ikhwanul Muslimin”. Pada perjalanan dakwahnya, ia telah banyak mengalami rintangan, tantangan, dan tekanan keras, bahkan harus dipenjara beberapa kali sejak berstatus sebagai siswa Sekolah Menengah Umum pada masa pemerintah Raja Faruq tahun 1948. Yusuf AlQardawi juga pernah dipenjarakan pada masa revolusi bulan Januari tahun 1954, kemudian pada bulan November ditahun yang sama dipenjarakan selama 20 bulan sejak tahun 1968-1970. Ia ditahan
27
penguasa militer Mesir atas tuduhan mendukung pergerakan Ikhwanul Muslimin (Organisasi yang didirikan oleh Syaikh Hasan Al-Banna 1906-1949), pada tahun 1928 yang bergerak dalam bidang dakwah, kemudian bergerak dalam bidang politik.49 Dia pernah dipenjara pada tahun 1956 selama kurang lebih 2 bulan di sebuah penjara militer kelas satu di Thomtho’ bersama teman-temannya pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin. Untuk mengatasi agar tidak dipenjara lagi karena beberapa artikel yang ditulisnya, ia disarankan oleh salah satu dari gurunya agar menggunakan nama samaran yaitu Yusuf Abdullah sebagai ganti nama ”Qardawi”.50 Jabatan-jabatan yang pernah disandang olehnya sebagai bentuk pengabdian terhadap Islam, diantaranya adalah : a) Di lingkungan akademis, Yusuf Al-Qardawi adalah sebagai Profesor dan Dekan Fakultas Syari’ah di Studi Islam di Universitas Qatar. b) Direktur sekaligus pendiri Pusat Kajian Dan Sirah di Universitas Qatar. c) Anggota Majlis Pengembangan Dakwah Islamiyah di Afrika. d) Anggota pendiri Yayasan Kebajikan Islam Internasional.51
49
Ishom Talimah, “Al-Qardawi Tiggihan”, Terj. Samson Rahman, Manhaj Fiqh Yusuf AlQardawi, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001, cet I, hlm. 128-135. 50 Yusuf Al-Qardawi, Opcit, hlm. 14. 51 Yusuf Al-Qardawi, “Al-Fatwa Al-Muassirah”, Terj. Muhammad Ihsan, MasalahMasalah Islam Kontemporer, Jakarta : Najah Press, 1994, hlm. 61.
28
Sebagai seorang tokoh intelektual termasuk aktivitas Yusuf Al-Qardawi sangat baik dalam bidang akademis ataupun non akademis seperti : khutbah, ceramah, menulis artikel, mengikuti muktamar-muktamar di Negara Islam maupun di luar Negara Islam, melakukan riset dan aktivitas lainnya yang berhubungan dengan dakwah Islam 2. Pemikiran Dan Karya Yusuf Al-Qardawi Yusuf Al-Qardawi Sebagai soerang ilmuan dan da’I, dia juga aktif menulis berbagai artikel keagamaan di berbagai media cetak. Dia juga aktif melakukan penelitian tentang Islam di berbagai dunia Islam maupun diluar Islam. Dalam kapasitasnya sebagai seorang kontemporer, dia banyak menulis buku dan berbagai masalah pengetahuan Islam. Diantara karya-karyanya yang sudah popular di kalangan perguruan tinggi dan pesantren ialah :52 a) Al-Halal Wal Al-Haram Fi Islam (tentang masalah yang halal dan yang haram dalam Islam). b) Fiquz Zakat (berbagai masalaqh zakat dan hukumnya) c) Al-Ibadah Fi Al-Islam (hal ihwal ibadah dalam Islam) d) Musykilat Al-Faqr Wa Kaifa ‘Alajah Al-Islam (membahas perbedaan paham sebagian golongan dalam Islam dan cara yang ditempuh Islam untuk menyelesaikannya) e) An-Nas Wa Al-Haqq (tentang manusia dan kebenaran)
52
Ibid.
29
f) Al-Iman Wa Al-Hayah (mengenai keimanan dan kehidupan) g) Al-Hulul Al-Mustawadah (paham hulul
yang di impor dari non muslim) h) Al-Hill Al-Islam (kebebasan Islam) i) Syari’ah Al-Islamiyah Khuluduha Wa Salihuha Li Fathiq Li Kuli Zaman Wa Makan (mengenai syariat Islam, elastisitas dan kesesuaiannya dalam penerapannya pada setiap masa dan tempat) j) Asar Al-Fikrat Hukm Al-Islami (dasar pemikiran hokum Islam) k) Al-Ijtihad Fi Syari’ah Al-Islamiyyah (ijtihad dalam Islam) l) Fiqh As-Siyam (fiqih puasa). Karya-karya diatas adalah karya dari Yusuf Al-Qardawi yang terdiri berbagai macam disiplin ilmu. Disamping itu, masih banyak lagi karya-karyanya yang lain.
30
BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI'I DAN YUSUF AL-QARDAWI TENTANG PENGERTIAN FI SABILILLAH
A.
Pendapat Imam Syafi'I Tentang Pengertian Fi Sabilillah Imam Syafi’I dalam kitabnya Al-Umm menjelaskan :
ﻞ وﻋ ّﺰ ﻣﻦ ﻋﺰا ﻣﻦ ﺟﻴﺮان ّ وﻳﻌﻄﻰ ﻣﻦ ﺳﻬﻢ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ ﺟ اﻟﺼّﺪﻗﺔ ﻓﻘﻴﺮا آﺎن اوﻏﻨﻴﺎ وﻻ ﻳﻌﻄﻰ ﻣﻨﻪ ﻏﻴﺮهﻢ اﻻان ﻳﺤﺘﺎج اﻟﻲ اﻟﺪﻓﻊ ﻋﻨﻬﻢ ﻓﻴﻌﻄﺎﻩ ﻣﻦ دﻓﻊ ﻋﻨﻬﻢ اﻟﻤﺸﺮآﻴﻦ “Diberikan dari bagian sabilillah, orang yang berperang yang termasuk dekat dengan harta yang dikeluarkan zakatnya, walaupun mereka fakir atau kaya. Tidak diberikan yang lain dari orang tersebut, kecuali memberi buat orang yang menghalangi kaum musyrik”.1 Dalam hal ini Imam Syafi’i menerangkan bahwa Sabilillah adalah orang-orang yang berperang untuk mempertahankan diri (Islam) dari serangan orang-orang musyrik. Orang-orang ini berhak mendapatkan bagian zakat daan mensyaratkan orang yang dekat dengan harta zakat, karena menurut pendapatnya tidak boleh memindahkan zakat ke tempat lain dimana harta itu berada. Jadi, Sabilillah menurutnya adalah sukarelawan yang berperang untuk kepentingan Islam dan tidak mendapatkan gaji dari baitul maal di daerah tersebut. Mereka berhak mendapatkan bagian
1
Al-Imam Asy-Syafi’i R.A, Al-Umm (Kitab Induk), Jakarta : CV Faizan, 1981, hlm. 6.
31
zakat yang diperuntukkan untuk Sabilillah. Karena tidak lain sabilillah merupakan hal yang berhubungan dengan perang.
ان ﻳﻜﻮن ﻓﻴﻬﺎاﻟﻌﺪو ﺑﻤﻮﺿﻊ ﺷﺎط ﻻﺗﻨﺎﻟﻪ: ﻗﺎل ﺷﺎﻓﻌﻰ اﻟﺠﻴﻮش اﻻ ﺑﻤﻮء ﻧﺔ وﻳﻜﻮن اﻟﻌﺪو ﺑﺎءزاء ﻗﻮم ﻣﻦ اهﻞ ﺼّﺪﻗﺎت ﻓﺎﻋﺎن ﻋﻠﻴﻬﻢ اهﻞ اﻟﺼّﺪﻗﺎت اﻣﺎ ﺑﻨﻴﺔ ﻓﺎري ان ﻳﻘﻮى َ اﻟ ﺑﺴﻬﻢ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ ﻣﻦ اﻟﺼّﺪﻗﺎت “Imam Syafi’i berkata : Bahwa ada padanya musuh pada tempat yang jauh, yang tidak bisa tercapai oleh tentara kepadanya, selain dengan perbelanjaan. Dan musuh itu berada, berbetulan dengan kaum yang berhak atas zakat. Maka ditolong oleh orang-orang yang memberi zakat kepada mereka. Adakalanya dengan niat. Maka saya berpendapat, supaya dikuatkan dengan bagian zakat dari sabilillah”.2 Oleh karena itu, dia menguatkan makna Sabilillah tidak lain adalah perang untuk jalan Allah. Dan orang yang menerima zakat bukanlah seorang tentara yang sudah mendapatkan gaji dari pemerintah, melainkan seseorang yang tidak mendapatkan gaji tetapi ia mau untuk berperang demi menegakkan agama Allah. Fi Sabilillah menurut Imam Syafi’I adalah tidak lain hanya perang. 3
وﺳﻬﻢ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ ﻓﻲ اﻟﻜﺮاع واﻟﺴﻼح ﻓﻲ ﺛﻐﺮاﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ
”Dan bagian Sabilillah mengenai kuda dan senjata pada benteng orang muslimin”. Sabilillah yang digambarkan dalam pengertian diatas menyangkut kuda dan senjata. Selain ada orang-orang ada juga kuda yang terlibat 2 3
Al-Imam Asy-Syafi’i R.A, Opcit, hlm. 37. Imam Syafi’I R.A, Al-Umm I, Damaskus : Darul Fikru, 1986, hlm. 97.
32
didalamnya. Akan tetapi kuda yang dimaksud adalah sebagai alat bukan digambarkan sebagai Sabilillah yang menerima zakat. Sabilillah yang menerima zakat tidak lain adalah mengenai orangorang yang berperang menggunakan kuda dan senjata seperti yang diterangkan dalam pengertian diatas. Pendapat yang lain adalah : 4
وﻳﻌﻄﻲ اﻟﻐﺰاة اﻟﺤﻤﻮﻟﺔ واﻟﺮﺣﻞ واﻟﺴﻼح واﻟﻨﻔﻘﺔ واﻟﻜﺴﻮة
”Orang-orang yang berperang diberikan ongkos pengangkutan, kendaraan, senjata, pembelanjaan, dan pakaian”. Imam Syafi’i tidak lain mengartikan Fi Sabilillah adalah perang menggunakan senjata, karena pada waktu itu masih banyak terjadi pemberontakan dari kaum musyrikin terhadap orang Islam yang mengakibatkan peperangan dengan senjata. Pengangkutan, kendaraan, pembelanjaan, dan pakaian juga masuk dalam kategori perang, sebab hal tersebut memang dibutuhkan untuk perang. Orang-orang yang diberi bagian dari zakat tersebut bisa digunakan untuk ongkos pengangkutan, senjata, pembelanjaan, dan pakaian. Hal itulah yang merupakan bagian dari Fi Sabilillah yang diberikan kepada orang-orang dalam kategori Fi Sabilillah.
4
Ibid. hlm. 81.
33
B.
Metode Istinbath Imam Syafi'I Dalam Merumuskan Pengertian Fi Sabilillah Imam Syafi’i dalam mengistinbathkan suatu masalah, dia selalu memakai hadis karena dia adalah seorang yang sangat menjunjung tinggi nilai hadis sebagai penjelas sesuatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an. Di kabarkan oleh Malik dari Zaid bin Aslam, dari ’Atha’ bin Yassar, bahwa Rasullullah SAW bersabda :
ن رﺳﻮل ّ ا:اﺧﺒﺮﻧﺎ ﻣﺎﻟﻚ ﻋﻦ زﻳﺪ ﺑﻦ اﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﻋﻄﺎء اﺑﻦ ﻳﺴﺎر ﻻﺗﺤﻞ اﻟﺼّﺪﻗﺔ اﻻ ﻟﻐﺎز ﻓﻲ: ﻗﺎل،اﷲ ﺻﻠﻲ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ او ﻟﻌﺎﻣﻞ ﻋﻠﻴﻬﺎ او ﻟﻐﺎرم اوﻟﺮﺟﻞ اﺳﺘﺮاهﺎ ﺑﻤﺎﻟﻪ اوﻟﺮﺟﻞ ﻟﻪ ﺟﺎر ﻣﺴﻜﻴﻦ ”Tidak halal zakat, selain bagi orang yang berperang pada jalan Allah (sabilillah) atau bagi amil zakat atau bagi orang yang berhutang atau bagi orang yang membeli dirinya dengan hartanya (budak mukatab) atau bagi orang yang mempunyai tetangga miskin”.5 Dari hadis tersebut kita tahu bahwa harta zakat tidak diperbolehkan untuk golongan orang-orang kaya kecuali mereka adalah orang yang berperang di jalan Allah, amil, dan sebagainya. Karena selain dari yang disebutkan pada Surat At-Taubah : 60, orang kayapun berhak atas zakat dengan ketentuan-ketentuan tertentu seperti yang ada pada hadis di atas. Kandungan makna yang pertama disebutkan dalam hadis itu juga adalah orang yang berperang pada jalan Allah. Hal ini 5
Al-Imam Asy-Syafi’i R.A, Opcit, hlm. 7
34
dimasukkan pada pengertian Sabilillah, karena tidak lain pengertian dari Sabilillah kecuali untuk keperluan yang ditujukan untuk jalan Allah. Dasar inilah yang dipakai Imam Syafi’i dalam menerangkan istinbath hukumnya tentang pendapatnya mengenai pengertian Fi Sabilillah. Dalam menafsirkan makna ini dia bisa dikatakan sejalan dengan Imam Malik, dalam hal, yang pertama : Mensyaratkan mujahid sukarelawan yang berperang itu tidak mendapat gaji atau bagian yang tetap dari kas Negara, yang pada waktu itu disebut baitul mal. Kedua : mereka tidak memperbolehkan golongan ini diberi bagian dari zakat melebihi bagian yang diserahkan pada sasaran lain. Imam syafi’I memandang kedudukan Hadis sebagai penjelas dari nash Al-Qur’an. Karenanya, dia lebih sering memakai Hadis. Imam Syafi’I pernah berkata : “Barang siapa yang menuntut ilmu pengetahuan dengan tidak ada alasan dari hadis Nabi, seperti seperti seseorang yang buta pada malam hari, ia membawa seberkas kayu dan didalamnya terdapat seekor ular berbisa yang akan memagutnya, padahal dia tidak mengetahuinya”.6
6
Hilaluddin MS, Opcit, hlm. 65.
35
اﻷﺻﻞ ﻗﺮان وﺳﻨﺔ ﻓﺈن ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻘﻴﺎس ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ”Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada AlQur’an dan Sunnah”.7 Dalam pokok pola pikir Imam Syafi’i diatas, ini jelas bahwa dia hanya memakai Al-Qur’an dan Hadis apabila sudah ada dalam AlQur’an ataupun Hadis mengenai permasalahan yang dibahas. Apabila tidak ada baru dia mengqiyaskannya. Metode istinbath Imam Syafi’i tidak lain adalah dari hadis Nabi SAW, dimana hadis diatas menggambarkan yang disebut bahwa Fi Sabilillah adalah berperang. Selain dari hadis tersebut, masih banyak lagi hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Fi Sabilillah adalah perang, akan tetapi hanya hadis diataslah yang digunakan Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm mengenai Fi Sabilillah. C.
Pendapat Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah Yusuf
Al-Qardawi
dalam
kitabnya
Fiqhuz
Zakat
menerangkan bahwa :
اﻟﻄﺮﻳﻖ اﻟﻤﻮﺻﻞ اﻟﻰ ﻣﺮﺿﺎﺗﻪ اﻋﺘﻘﺎد اوﻋﻤﻼ: ﺳﺒﻴﻞ اﷲ “Sabilillah artinya jalan yang menyampaikan pada ridha Allah, baik akidah maupun perbuatan”.8
7
Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 127. 8 Yusuf Al-Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, 2004, hlm. 610
36
Yusuf Al-Qardawi menjelaskan bahwa Sabilillah adalah adalah jalan yang menyampaikan pada ridha Allah dan tidak terbatas hanya kepada perang saja. Hal ini lebih luas dari pendapat Imam Syafi’i yang mengartikan bahwa sabilillah adalah perang. Yusuf Al-Qardawi dalam menjelaskan pendapatnya selangkah lebih maju. Bisa dilihat dari pendapat yang dikemukakannya di bawah ini :
،ﻓﺎن ﻣﻦ اﻋﻈﻢ اﻟﺠﻬﺎد اﻧﺸﺎء ﻣﺪرﺳﺔ اﺳﻼﻣﻴﺔ ﺧﺎﻟﺼﺔ ي ِ ﺗﻌﻠﻢ اﺑﻨﺎء اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ وﺗﺤﺼﻨﻬﻢ ﻣﻦ ﻣﻌﺎول اﻟﺘﺨﺮﻳﺐ اﻟﻔﻜﺮ واﻟﺤﻠﻘﻲ ”Sesungguhnya jihad yang paling utama adalah mendirikan madrasah yang berdasarkan ajaran islam yang murni, mendidik anak-anak kaum muslimin dan memeliharanya dari pecangkokan kehancuran fikiran dah ahlak”.9 Pendapat dari Yusuf Al-Qardawi lebih cocok dengan apa yang terjadi sekarang. Dia mengatakan Sabilillah yang paling utama adalah mendirikan madrasah, mendidik kaum muslimin untuk belajar. Hal ini sangatlah tepat dimana sekarang sudah tidak ada lagi yang namanya perang khususnya di Indonesia. Hadis-hadis Nabi SAW banyak sekali mengemukakan tentang Fi Sabilillah. Dan tak soerangpun yang mengartikan Sabilillah kecuali dengan jihad.10 Alasan ini cukup kuat, dimana para Jumhur Ulamapun menyatakan maksud sabilillah pada ayat sasaran zakat adalah jihad.
9
Ibid, hlm 635. Ibid, hlm. 632.
10
37
Sesungguhnya jihad itu kadangkala bisa dilakukan dengan tulisan dan ucapan sebagaimana pula bisa dilakukan dengan pedang dan pisau. Kadangkala juga dilakukan dalam bidang pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, sebagaimana dilakukan dengan kekuatan bala tentara. Seluruh jihad ini membutuhkan bantuan dan dorongan materi. Yang paling penting, terwujudnya syarat utama pada semuanya itu, yaitu hendaknya sabilillah itu dimaksudkan untuk membela dan menegakan kalimat Islam di muka bumi ini.11 Kemana
bagian
Fi
Sabilillah
sekarang?
Diapun
mengungkapkan zakat untuk Fi Sabilillah bisa kita gunakan untuk mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam yang reprensatif, dimana hal tersebut digunakan untuk mendidik pemuda-pemuda muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah Islam dari kekufuran, karena itu adalah masuk dalam kategori Fi Sabilillah.12 Mendirikan percetakan surat kabar yang baik, untuk menandingi berita-berita dari surat kabar yang merusak aqidah dan menyesatkan, agar kalimat Allah tetap tegak, membela Islam dari berita-berita kebohongan dan dijelaskan Islam itu adalah bersih dari penipuan-penipuan, inipun termasuk juga kategori Fi Sabilillah.13 Alasan-alasan Yusuf Al-Qardawi yang memperluas arti ini adalah : pertama : bahwa jihad dalam Islam tidak hanya terbatas pada peperangan dan pertempuran saja, akan tetapi bisa dilakukan 11
Ibid. Ibid, hlm. 643. 13 Ibid. 12
38
dengan lidah dan harta. Kedua : apa yang telah disebutkan beliau atas pengertian tentang jihad dan kebangkitan Islam. Kalau tidak termasuk ke dalam jihad dengan nash, maka wajib menyertakannya kedalam Qiyas. Keduanya adalah perbuatan yang bertujuan untuk membela Islam, menghancurkan musuh-musuhnya dan menegakan kalimat Allah.14 D.
Metode Istinbath Yusuf Al-Qardawi Dalam Merumuskan Pengertian Fi Sabilillah Masa Yusuf Al-Qardawi hidup adalah masa dimana dunia sudah modern. Inilah metode munculnya pendapat dari Yusuf AlQardawi. Dengan hidup dimasa dimana sudah tidak ada lagi yang namanya perang, diapun mengartikan Fi Sabilillah tidak hanya terbatas pada perang. akan tetapi semua hal kebaikan yang bertujuan untuk menegakkan kalimat Allah adalah Fi Sabilillah. Yusuf Al-Qardawi masa hidupnya berbeda dengan Imam Syafi’I yang pada waktu itu masih banyak terjadi peperangan dimana-mana. Zaman Yusuf Al-Qardawi bisa dikatakan Negara sudah merdeka karena di Mesir tidak ada lagi perang. hal inilah sangat berpengaruh terhadap ijtihad para ulama khususnya Yusuf AlQardawi sendiri. Hampir sama seperti Imam Syafi’I, Yusuf Al-Qardawi juga berpegang pada hadis Nabi. Dia lebih menitik beratkan kepada
14
Ibid.
39
sesuatu perbuatan untuk kepentingan jalan Allah, seperti : pembangunan madrasah, pembangunan masjid, pembangunan pusat kegiatan Islam, dan lain-lain. Hadis Bukhari dan Muslim menyatakan :
ﻟﻐﺪوة ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ أوروﺣﺔ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﺪﻧﻴﺎ وﻣﺎ ﻓﻴﻬﺎ ”Sesungguhnya pergi atau berangkat untuk membela agama Allah lebih baik dari dunia dan segala isinya”.15 Maksud dari berangkat untuk membela agama Allah adalah segala berbuatan yang ditujukan untuk kemajuan agama Islam seperti yang telah dicontohkan diatas. Oleh karena itu, hadis tersebut adalah hadis yang menjadi pokok pikiran Yusuf Al-Qardawi dalam merumuskan pendapatnya mengenai Fi Sabilillah. Hadis lain riwayat Imam Nasa’i dan Turmizi dengan hadis Hasan menyebutkan :
ﻣﻦ أﻧﻔﻖ ﻧﻔﻘﺔ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ آﺘﺒﺖ ﺑﺴﺒﻌﻤﺄة ﺿﻌﻒ ”Barang siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, maka akan dituliskan dengan tujuh ratus kali lipat”.16 Karenanya tepatlah tidak meluaskan maksud Sabilillah untuk segala perbuatan yang menimbulkan kemaslahatan dan takarrub
15 16
Ibid, hlm. 632 Ibid.
40
kepada Allah, sebagaimana tepatnya tidak terlalu menyempitkan arti kalimat ini hanya untuk jihad dalam arti bala tentara saja.17 Dasar
itulah
mengatakan
bahwa
Yusuf
Al-Qardawi
menggunakan hadis seperti Imam Syafi’i. Dia berpandangan pada hadis Nabi SAW dan selanjutnya lebih melihat situasi dan kondisi dalam menarjihkannya dengan tidak keluar dari sumber hukum Islam yang telah disepakati para Jumhur Ulama.
17
Ibid.
41
42
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF PENDAPAT IMAM SYAFI'I DENGAN YUSUF AL-QARDAWI TENTANG PENGERTIAN FI SABILILLAH
A. Analisis Komparatif Terhadap Pendapat Imam Syafi’i Dengan Yusuf AlQardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah Imam Syafi’I dalam pendapatnya yang mengatakan bahwa fi sabilillah adalah relawan yang berperang melawan orang-orang kafir untuk tegaknya agama Islam dan tidak mendapat gaji dari pemerintah setempat. Hal ini memang sangat logis, dimana pada waktu itu banyak terjadi perang dan tidak lain dari pengertian fi sabilillah adalah perang melawan musuh yaitu orangorang kafir. Pendapat ini juga dikatakan sama dengan para Ulama Salaf yang lain, seperti : Imam Malik, Abu Yusuf, Ibnu Qudamah, dan lain sebagainya. Mereka juga berpendapat sejalan dari apa yang di utarakan oleh Imam Syafi’i. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kitab-kitab yang dikarang dari para ulama tersebut. Penulis menganggap bahwa pendapat Imam Syafi’I memang relevan pada zaman itu. Sah-sah saja dia berpendapat dan mengatakan Fi Sabilillah adalah perang menggunakan senjata. Akan tetapi bila digunakan pada zaman sekarang tidak bisa diterima khususnya di Indonesia. Karena dizaman yang modern ini sudah tidak ada lagi yang namanya perang dengan senjata
43
melawan orang-orang kafir. Dalam masalah ini pendapat dari Imam Syafi’i juga bisa dipakai pada masa sekarang. Pendapatnya bisa dipakai pada suatu daerah yang masih terjadi konflik perang, misalnya : Afganistan, Pelestina, Libanon, dan lain sebagainya. Imam Syafi’i lebih menekankan bahwa yang dimaksud Fi Sabilillah adalah mengenai orangnya. Dalam pendapatnya juga bisa diartikan demikian, yang tidak lain adalah orang yang berperang yang mendapat bagian zakat untuk Fi Sabilillah. Oleh sebab itu walaupun ada kuda dan lain sebagainya, akan tetapi selain dari pada orang tidak bisa dikatakan Fi Sabilillah. Perang menggunakan senjata, itulah pendapat dari Imam Syafi’i. Konteks ini berhubungan dengan zaman dia hidup yang masih banyak terjadi peperangan dan pemberontakan. Sah-sah saja dia mengartikan perang dengan menggunakan senjata karena untuk melawan musuh yang menggunakan senjata harus juga menggunakan senjata. Pendapat dari Yusuf Al-Qardawi lain lagi, dia menerangkan pengertian Sabilillah adalah jalan yang menuju pada keridhoan Allah. Artinya segala perbuatan yang diperuntukkan untuk kepentingan pada jalan Allah. Misalnya pembangunan masjid, mushola, madrasah, dakwah untuk menguatkan imam para kaum muslimin, dan lain sebagainya. Disini disebutkan dalam berjihad bisa dilakukan dengan harta, seperti : mendirikan sekolah-sekolah, madrasah, masjid. Dengan diri, bisa diartikan berperang melawan orang-orang kafir. Dengan lidah, seperti : dakwah dalam
44
meluruskan, menguatkan ataupun menyebarkan agama Islam. Hal itulah merupakan pendapat dari Sabilillah menurut Yusuf Al-Qardawi. Pendapat dari Yusuf Al-Qardawi lebih cocok dipakai di Indonesia.. Pendapat Yusuf Al-Qardawi bisa dikatakan sangat kuat yang menerangkan bahwa Fi Sabilillah adalah menegakkan kalimat Allah. Adapun cara untuk menegakkan kalimat Allah sangatlah banyak seperti yang telah disebutkan pula diatas. Dalam menarjihkan masalah ini, Yusuf Al-Qardawi berpegang pada kedua Hadis yang telah disebut pada bab sebelumnya. Dengan dasar inilah yang dipakai Yusuf Al-Qardawi, karena itu sangatlah wajar jika beliau mengatakan bahwa Sabilillah bukan hanya terbatas pada perang, tetapi pekerjaan yang bisa dilakukan dengan harta dan lidah untuk tujuan menegakkan agama Islam. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis banyak ayat-ayat mengenai Fi Sabilillah yang mengandung arti adalah jihad. Hal tersebut dikarenakan juga turunnya ayat itu memang pada masa yang masih bergejolak terjadinya perang. Jadi, bisa dikatakan pendapat Imam Syafi’I lebih relevan dengan masa turunnya ayat. Karena pandangan dari Imam syafi’I pada waktu itu masih sangat sempit. Akan tetapi jika dilihat pula pada isi pokok kandungan ayat pendapat Yusuf Al-Qardawi adalah yang sangat pas, bisa dilihat dari makna ayat tersebut. Dimana disebutkan yang termasuk Fi Sabilillah adalah jihad yang menegakkan kalimat Allah dengan setinggi-tingginya. Dengan kata lain jihad adalah perang, tetapi tidak harus di artikan dengan perang.
45
Kedua Ulama tersebut sah-sah saja dengan apa yang mereka ungkapkan, kerena mereka punya zaman tersendiri. Imam Syafi’i hidup di zaman Ulama Salaf sedangkan Yusuf Al-Qardawi hidup di zaman modern. Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kududukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi SAW. Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pandapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.1 Sebagian orang memang mempertanyakan, bahwa perbedaan pendapat kenyataannya
membawa
laknat,
bukan
rahmat.
Perbedaan
pendapat
dikalangan orang awam dan orang yang kurang ilmunya memang demikian. Perbedaan pendapat dikalangan cendekiawan atau ilmuwan, itulah yang membawa rahmat, karena wawasan dan pandangannya luas dan tidak kaku.2 Perbedaan pendapat antara keduanya bisa dipandang akan menguatkan struktur Islam itu sendiri. Andaikan tidak ada perbedaan pendapat maka tidak akan terjadi persatuan, adanya persatuan karena perbedaan. B. Analisis Komparatif Terhadap Istinbath Hukum Imam Syafi’i Dengan Yusuf Al-Qardawi Tentang Pengertian Fi Sabilillah Pemikiran Imam Syafi’i dalam merumuskan suatu pengertian tidak lepas dari peran para guru nya. Pemikiran-pemikiran gurunya selalu menjadi pertimbangan dalam menetapkan kaidah-kaidah fiqih, walaupun tidak semua 1 2
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 8. Ibid.
46
pemikiran dari para gurunya digunakan dalam beristinbath selain dari pada sumber hukum Islam. Imam Syafi’i dalam beristinbath memang meniru dari para gurunya, meskipun tidak semua metode istinbath dari para gurunya dia pakai. Hal ini merupakan contoh dari sifat teladan Imam Syafi’I yang sangat ta’dhim dan menganggap guru-gurunya adalah sebagai sosok panutan yang harus ditiru baik dari segi tingkah laku maupun cara berfikir. Inilah salah satu kunci kesuksesan Imam Syafi’i dalam perjuangannya dalam menegakkan agama Islam. Menurut penulis, memang sangatlah wajar jikalau seorang ulama besar sangat mengagumi para gurunya. Karena bagaimanapun, seorang guru sangatlah berjasa besar dengan kesabarannya dalam mendidik, mengarahkan, dan memberitahu tentang sesuatu ilmu pengetahuan yang tidak kita ketahui. Dalam satu riwayat menyatakan bahwa salah satu dari kunci sukses dalam menuntut ilmu adalah ta’dhim kepada guru Imam malik merupakan guru yang sangat dia kagumi. Hal ini didasarkan pada Imam Syafi’i yang telah hafal kitab Al-Muwatto sejak masih berusia 10 tahun. Banyak pengalaman yang didapat Imam Syafi’i ketika belajar pada Imam Malik. Selain itu, dalam memecahkan setiap permasalahan hukum ataupun dalam beristinbath, dia sering meniru metode cara berfikir Imam Malik. Dalam menetapkan makna Fi Sabilillah, Imam Malik mengatakan bahwa Sabilillah itu bermakna tentara yang berperang. Oleh
47
karena itu, tidak jauh pemikiran Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa sabilillah adalah sukarelawan yang berperang. Hadis Nabi merupakan alat yang tidak pernah lepas darinya dalam mengeluarka pendapat yang menerangkan makna Fi Sabilillah. Banyak dari hadis-hadis Rasul yang bermakna Fi Sabilillah adalah jihad. Karena itulah dia dalam mengungkapkan makna Fi Sabilillah adalah perang. Imam Syafi’I dalam hal Hadis terlihat pada dasar-dasar mazhabnya. Dalam kitabnya Al-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasar-dasar mazhabnya serta beberapa contoh bagaimana merumuskan fiqih. Baginya AlQur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, bahkan merupakan satu kesatuan sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori Istidlal, seperti : Qiyas, Istihsan, Istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi. Pemahaman integral Al-Qur’an dan Sunnah merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafi’i. menurutnya, kedudukan Sunnah dalam banyak hal mennjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari AlQur’an. Karenanya, Sunnah Nabi tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan Al-Qur’an. Hal ini dapat dipahami karena Al-Qur’an dan Sunnah adalam Kalamullah Nabi Muhammad SAW. Tidak berbicara tantang hawa nafsu, semua ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah. Dari keterangan di atas dapat diketahui pemikiran metodologis Imam Syafi’i. Dia begitu teguh dalam berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah,
48
diapun menganggap sunnah sebagai penjelas dari Al-Qur’an. Inilah bukti bahwa Imam Syafi’i sangat menjunjung tinggi keberadaan Hadis dan menjajarkannya dengan Al-Qur’an, karena itu rumusan Imam Syafi’i punya nuansa dan paradigma baru. Penulis menganggap Hadis sebagai salah satu metode Imam Syafi’I dalam menerangkan pengertian Fi Sabilillah. Imam Syafi’i adalah soerang yang sangat kagum terhadap Hadis, karena itu dia menempatkannya sebagai penjelas dari pada Al-Qur’an. Hal tersebut memang dipandang sangat rasional dimana perilaku, perbuatan dan perkataan Rasul SAW punya kedudukan tertinggi dalam sumber hukum Islam. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar Imam Syafi’I dalam merumuskan pengertian Fi Sabilillah. Karena dia sangat menghormati dan menghargai para penuntut hadis dan para ahli hadis Rasul dengan penghargaan setinggi-tingginya.3 Dan diapun menganggap bahwa kedudukan hadis Nabi sebagai penjelas dari pada Al-Qur’an. Zaman merupakan salah satu indikasi pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan sabilillah adalah perang. Tidak dipungkiri lagi bahwa masa atau keadaan pada waktu itu punya peran yang sangat besar dalam pemikiran Imam Syafi’i. Karena zaman pada saat dia hidup masih banyak terjadi peperangan dimana-mana. Oleh sebab itu, sangatlah logis bila perang masuk dalam kategori Fi Sabilillah.
3
Hilaluddin MS, Riwayat Ulama Besar Syafi’i, Surabawa : Apollo, 1996, hlm. 57.
49
Masa Imam Syafi’I hidup pada waktu itu masih banyak terjadi perang. Hal inipun juga menjadi dasar terhadap pendapatnya yang mengatakan bahwa sabilillah adalah perang. Imam Syafi’I dalam menarjihkan pendapatnya sangatlah literalis. Dia memakai Qiyas tetapi tidak memakai istihsan (Berpindah dalam menetapkan hukum, adakalanya dari hukum yang ditunjuki oleh umum nash ke hukum khusus, dan adakalanya berpindah dari hukum yang dikehendaki oleh penerapan satu kaidah Syar’iyyah ke kaidah Syar’iyyah yang lain).4 Qiyas dia pakai jikalau tidak ada dasar hukum yang jelas. Dalam pembahasan ini dasar hukum sudah jelas yaitu dari hadis, oleh sebab itu Qiyas tidak dipakai oleh Imam Syafi’I dalam menerangkan Fi Sabilillah. Yusuf Al-Qardawipun dalam berijtihad juga bisa dikatakan sama dengan Imam Syafi’i. Salah satunya adalah mengenai masa. Pada saat dia hidup, zaman sudah maju. Berbeda dengan zamannya Imam Syafi’i yang pada waktu itu masih banyak terjadi perang. Oleh karena itu, Yusuf Al-Qardawi bependapat bahwa Fi Sabilillah bukan hanya perang, akan tetapi suatu perbuatan yang menuju pada ridho Allah adalah pengertian dari Fi Sabilillah. Zaman sebagai asal mula dari pendapat Yusuf Al-Qardawi mengenai Sabilillah memang sangatlah sesuai dengan tempatnya. Karena hal ini sama pula seperti Imam Syafi’i yang dalam pemaknaan Fi Sabilillah disesuaikan dengan zaman pada saat dia hidup. Oleh sebab itu, pemaknaan Yusuf Al-
4
Zarkasi Abdul Salam, dan Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Fiqh Ushul Fiqh I, Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, 1994, hlm. 114.
50
Qardawi yang mengambil dari kesesuaian dengan zaman pada waktu itu sangatlah tepat dan bisa diterima masyarakat pada umumnya. Hadis juga dipakai Yusuf Al-Qardawi dalam hal ini. Pemaknaannya dalam kitab Fiqhuz Zakat yang menyatakan bahwa sabilillah bukan hanya perang. hal ini terlihat jelas bahwa dia memakai hadis dalam menerangkan makna Fi Sabilillah, Sebagian besar dalil-dalil agama yang digunakan berbentuk pernyataan-pernyataan umum. Yusuf Al-Qardawi memberi alasan supaya lingkup pengertiannya yang merupakan rahasia dan membuat bahasan ini cocok untuk setiap masa dan tempat serta sesuai dengan perkembangan zaman. Yusuf Al-Qardawi berpendapat bahwa keumuman ayat-ayat dan hadishadis harus diperhatikan dan diterima selama tidak terdapat dalil-dalil lain yang lebih tegas menunjukkan hal ini berlaku khusus. Bila terjadi demikian, barulah kita bisa mendahulukan yang khusus dari pada yang umum.5 Menurut penulis, sumber-sumber dalil yang digunakan Yusuf AlQardawi sangatlah komplit dan relevan. Ini bisa dilihat dari alasan-alasan beliau yang sangat valid dan tepat dalam melampirkan dalil-dalil yang digunakan disetiap permasalahan. Dan juga tidak ketinggalan ijtihad para ulamapun digunakan untuk lebih memberi warna tersendiri. Yusuf Al-Qardawi dalam memperbandingkan Mazhab-mazhab yang terdapat dalam Islam, dia tidak membatasi hanya pada Empat Mazhab besar yang terkenal saja, akan tetapi lebih dari itu. Dalam Islam terdapat Mazhab-
5
Yusuf Al-Qardawi, Hukum Zakat, Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, 2004, hlm. 20.
51
mazhab ahli fiqih, sahabat, dan tabi’in sesudah mereka yang tidak bisa diabaikan dan dikesampingkan begitu saja, baik dipandang dari segi agama maupun logika. Akan tetapi tidak semua pendapat dapat dijadikan bahan referensi olehnya kecuali pendapat Rasul SAW. Hal itulah yang membuat Yusuf Al-Qardawi menerima pendapat satu Ulama yang tidak begitu terkenal dan menolak pendapat mayoritas ulama (Jumhur). Beliau berpendapat kebenaran tidak selamanya berada dipihak mayoritas sedangkan minoritas selalu salah. Oleh karena itu, pendapat para Ulama hanya beliau dijadikan saranu untuk melengkapi. Ada juga Ulama yang berpendapat bahwa adanya dua pendapat tentang satu persoalan menunjukkan ijtihad tentang persoalan itu boleh. Pendapat ketiga itu adalah sesuatu yang lahir dari ijtihad, oleh karena itu boleh saja. Sebagian tabi’in misalnya membuat pendapat ketiga tentang beberapa masalah yang belum pernah disinggung sahabat-sahabat. Hal itu lebih baik, apabila masalah itu merupakan masalah-masalah yang perlu diijtihadkan, yang bisa mengakibatkan berbagai pandangan dan pendapat yang terjadi.6 Yusuf Al-Qardawi selain menggunakan masa dan hadis, dia juga memperbandingkan Mazhab dalam memaknai Sabilillah. Bukan hanya dari Empat Mazhab besar saja, akan tetapi seperti Mazhab Ja’fari dan Mazhab Zaidi masuk dalam studi perbandingannya. Maka tidak heran apabila pendapat yang dikeluarkannya sangatlah modern dengan tidak meninggalkan sifat-sifat keIslaman.
6
Ibid, hlm. 24.
52
Yusuf Al-Qardawi sendiri dalam mengartikan ini lebih mengutamakan kemaslahatan dan ia menggunakan Qiyas serta Istihsan. Dia memakai Qiyas Khofi yang menutupi Qiyas Jali, seperti contoh : hal yang tampak adalah perang, akan tetapi dibalik perang ada dakwah, dakwah itulah sebagai illat. Karena itulah pendapat Yusuf Al-Qardawi lebih menekankan pada kemaslahatan umat yang menuju pada jalan Allah. Titik temu dalam penelitian ini antara pendapat Imam Syafi’I dan Yusuf Al-Qardawi mengenai pengertian Fi Sabilillah adalah dalam hal metode istinbath hukumnya. Keduanya sama-sama menggunakan waktu dimana mereka hidup serta berjuang pada masa itu dan dalil dari hadis Nabi SAW dalam pokok pikiran dalam menafsirkan pengertian Fi Sabilillah.
53
BAB V PENUTUP
Setelah dibahas panjang lebar mengenai pengertian fi sabilillah dari pembahasan komparatif antara pendapat Imam Syafi’i dan Yusuf AlQardawi, maka untuk mengakhiri pembahasan-pembahasan dalam karya ilmiah ini, setelah penulis menganalisa, mengamati, dan mencermati uraian bab-bab sebelumnya, perlu mengemukakan beberapa kesimpulan yang dapat ditarik serta disamping itu dapat pula diajukan beberapa saran untuk mendapat perhatian dari semua pihak. A. Kesimpulan 1. Imam Syafi’I memaknai Fi Sabilillah adalah pada makna senjata atau alat, sedangkan Yusuf Al-Qardawi memaknainya dengan penekanan pada kemaslahatan umat. 2. Metode Imam Syafi’i menggunakan Hadis bukan Qiyas dan tidak memakai Istihsan, sedangkan Yusuf Al-Qardawi menggunakan Istihsan dengan cara Qiyas. B. Saran-saran 1. Menghadapi adanya perbedaan pendapat harusnya kita mengikuti dengan kritis karena pada dasarnya itu semua adalah tuntutan zaman. 2. Perbedaan adalah sebuah rahmat yang memberikan keleluasaan bagi umat Islam. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyalahkan pendapat salah satu Ulama tanpa mengetahui dasar hukum yang jelas.
54
C. Penutup Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan rahmat, hidayat, taufiq, dan inayahNya pemulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sekalipun apabila dikaji lebih dalam masih banyak kekurangan di sana-sini. ”Tak ada gading yang tak retak”, sebuah ungkapan yang sepantasnya melekat pada karya ilmiah ini. Dengan kerendahan hati, penulis mengharap saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak, demi perbaikan sempurnanya skripsi ini. Dan pada akhirnya tiada untaian kata yang tidak dapat membagiakan penulis, kecuali sebuah celah cerah do’a. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis, para pecinta ilmu, dan para pembaca yang budiman. Amin Ya Robbal ’Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
A.B Masykur, fiqih lima mazhab, Jakarta : lentera basritama, 2000 Abbas Sirajuddin, Sejarah Dan Keagungan Mazhab Syafi’i, Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 2004. Al-Fauzan Saleh, Fiqh Sehari-Hari, Jakarta : Gema Insani, 2006 Al-Husaini H. MH Al-Hamid, Riwayat Sembilan Imam Fiqh, Bandung : Pustaka Hidayah, 2000 Al-Maraghi Abdullah Mustofa, “Fath Al-Mubin Di Tabaqat Al-Usuliyyin”, terj. Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta : LPKSM, 2001, Cet 1 Al-Qardawi Yusuf, Fatwa-Fartwa Mutakhir, Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000 _______________, Fatwa-Fatwa Kontemporer I, Jakarta :Gema Insani, 1995 _______________, Hukum Zakat, Jakarta : PT. Mitra Kerjaya Indonesia, 2004 _______________, “Al-Fatwa Al-Muassirah”, Terj. Muhammad Ihsan, MasalahMasalah Islam Kontemporer, Jakarta : Najah Press, 1994 Amin M, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995 Asy-Syafi’i R.A Imam, Al-Umm (Kitab Induk), Jakarta : CV Faizan, 1981 __________________, Al-Umm I, Damaskus : Darul Fikru, 1986 Asy-Syurbasi Ahmad, 4 Mutiara Zaman, Jakarta : Pustaka Qalami, 2003 _________________,“Al-Aimatul Arba’ah”, terj. Sabil Huda, Sejarah Dan Biografi Imam Empat Mazhab, Jakarta : Bumi Aksara, 1993
55
Asy ghary Basri Iba, Kodifikasi Hukum Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1993 Asy Shiddieqy Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Zakat, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997 _______________, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997 ________________, Mutiara Hadis 6, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putera, 2003 Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994 ________________, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid 4, Semarang : CV. Wicaksana, 2004 Dahlan Abdul Azia, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, Jakarta : Ictiar Baru Van Hoeve, 1996 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993 Hasan, M. Ali Perbandingan Mazhab, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002 Ibrahim H Muslim, Pengantar Fiqh Muqaran, Jakarta : Erlangga, 1991 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000 Mahmassani Subhi, Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung : Al-Ma’arif, 1976 Mayer Robert R. & Ernest Greicn wood, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Jakarta : CV. Rajawali, cet I, 1984 MS Hilaluddin, Riwayat Ulama Besar Imam Syafi’i, Surabaya : Apollo, 1996 Mubarok Jaih, Modifikasi Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002 Mughniyah Muhammad Jawad, Fiqih Ja’fari, Jakarta : PT. Lentera Basritama, 1996
56
Mutholib Moh. Yassir Abn, Ringkasan Kitab Al-Umm, Jakarta : Pustaka Azzam, 2004 Nasution Drs. Lahmuddin, M.Ag, Fiqh I, Semarang : Logos, 1999 Nazim Muhammad, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988 Rasyid H Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru, 2007 Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006, jilid I, Salam Drs. Zarkasi Abdul, dan Drs. Oman Fathurohman, Pengantar Ilmu Fiqh Ushul Fiqh I, Yogyakarta : Lembaga Studi Filsafat Islam, 1994 Sevilla Consuelo G., dkk, Pengertian Metode Penelitian, Jakarta : UI-Press, 1993 Shihab M Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2002 Sujak Abi, Al-Iqna’ Juz I, Indonesia : Ruhya’ Kitab Arabiyah, 1996 Talimah Ishom, “Al-Qardawi Tiggihan”, Terj. Samson Rahman, Manhaj Fiqh Yusuf Al-Qardawi, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001, cet I Yanggo Huzaimah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997 Yusuf Al-Qardawi, Syaikh Muhammad Ghazali Yang Saya Kenal, Jakarta : Rabbadi Pers, 1999 http://www.assunnahqatar.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5 19&Itemid=144, di akses tanggal. 9 Desember 2009. http://www.gp-ansor.org/hikmah/mengenal-kebesaran-imam-asysyafiirahimahulla h.html, di akses tanggal 9 Desember 2009
57