STUDI KASUS MIGRASI Hari Suroto, Perkembangan Kota HollandiaDI 1944PAPUA – 1962 PERKEMBANGAN KOTA HOLLANDIA 1944 - 1962 Hari Suroto (Balai Arkeologi Jayapura) Abstract Holandia was once a village that when the Pacific war happened, it changed rapidly into a modern city. Hollandia was made as headquarters for the allied armed forces. Then it developed and the population increased rapidly because of urbanization that made many social problems appeared. The rapid changes in culture and custom in Hollandia were generally objected by the natives. They showed their disappointment to the Dutch and its Allies whom they thought as the causes of the fast and confusing changes. Keywords: Rapid Changes, modern city, negative reaction
Pendahuluan Kota Jayapura berada di utara Provinsi Papua. Kota ini terletak di ujung timur Indonesia, berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea. Pada masa Hindia Belanda, kota ini bernama Hollandia. Terdapat banyak definisi kota, dan sudah banyak peneliti yang mengkaji tentang kota. Dari sekian banyak kajian tentang kota, sejarah perkembangan Kota Hollandia merupakan kajian menarik dan belum pernah ada yang membahas tentang kota ini. Kota dapat diartikan sama dengan stad (Belanda), town, city (Inggris) (Surjomihardjo (2008:5). Emrys Jones (1966) dalam bukunya Town and Cities seperti dikutip Abdurrachman Surjomihardjo (2008:4) menjelaskan bahwa tiap negara mempunyai definisi sendiri tentang kota, yang biasanya dikaitkan dengan tujuan dan keperluan sensus. Namun, unsur utama sebuah kota ialah jumlah penduduknya, sedangkan besar atau kecil jumlahnya ditentukan oleh negara masing-masing. Ada juga yang ingin mendekati pengertian kota dari fungsi: kota perdagangan, kota pelabuhan, kota kerajaan, kota kolonial, kota upacara keagamaan dan masih banyak fungsi yang lain. Peter J. M. Nas (1966) dalam buku The Indonesian City seperti dikutip Djoko Soekiman (2000:193) menjelaskan bahwa kota dapat dibedakan dalam empat macam, Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
37
Hari Suroto, Perkembangan Kota Hollandia 1944 – 1962
yaitu: (1) kota awal Indonesia; (2) kota Indis; (3) kota kolonial (4) kota modern. Kota awal Indonesia disebut memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola-pola sosial-budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu; (a) kota-kota pedalaman dengan ciri-ciri tradisional, religius, dan (b) kota-kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan. Awal abad ke-20 sebuah kota Indonesia yang ideal mempunyai ciri-ciri tersendiri yang sekaligus menunjukkan sejarah kota itu. Pertama, sektor kota tradisional yang ditandai dengan pembagian spatial yang jelas berdasarkan status sosial. Kedua, sektor pedagang asing. Ketiga, sektor koloial dengan benteng dan barak, perkantoran, rumahrumah, gedung societeit, rumah ibadah vrijmetselarij. Keempat, sektor kelas menengah pribumi yang mengelompok dalam kampung-kampung tertentu. Kelima, sektor imigran yang menampung pendatang-pendatang baru di kota dan berasal dari pedesaan di sekitar (Kuntowijoyo, 2003:63). Pada masa Hindia Belanda, urusan politik dan administrasi kota koloni akhirnya berada di tangan orang Eropa. Mereka mulai menangani masalah-masalah perkotaan yang ada dengan banyak perencanaan inovatif dan eksperimen-eksperimen. Peraturanperaturan baru seperti Uitbreidingsplan (perancangan kawasan untuk orang Eropa) atau Burgerlijke Wonings Regeling (Perancangan kawasan untuk para pegawai) dilaksanaan. Simposium-simposium Volkshuisvesting (perancangan perumahan sederhana) tentang perencanaan kota dilaksanakan. Para ahli dengan aspek kesehatan dan sanitasi, aspek sosio-politik, aspek teknik arsitektur serta aspek pembiayaannya. Program-program seperti Kleinwoningsbouw atau Kampong-verbetering diperkenalkan. Pada tahun 1938 dibuatlah Toelichting op de Stadsvormingsordonnantie SVO/SVV (Stadsvormingsordonnantie dan Stadsvormingsverordening) tentang perencanaan kota yang mulai dilaksanakan pada tahun 1948. Dan kemudian menjadi landasan untuk semua peraturan tentang perencanaan kota Indonesia pada zaman paskakoloni (Zahnd, 2008: 41-42). Sangat menarik untuk mengetahui perkembangan Hollandia yang berawal hanya sebuah kampung sebelum Perang Dunia II, kemudian setelah dikuasai Sekutu, dalam waktu singkat Hollandia dibangun menjadi kota modern yang dilengkapi dengan banyak fasilitas pendukung. Adapun pemilihan batasan tahun 1944-1962 adalah pada kurun waktu tersebut Hollandia masih menjadi wilayah kekuasaan Belanda sebelum diserahkan ke Indonesia. 38
Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
Hari Suroto, Perkembangan Kota Hollandia 1944 – 1962
Pembahasan Jayapura berada di tepi Teluk Yos Sudarso. Sebuah teluk berbentuk melengkung dikelilingi perbukitan yang menjadi bagian dari Samudera Pasifik. Teluk ini pertamakali didatangi oleh seorang pelaut berkebangsaan Prancis bernama L.A. Bougainvelle pada 13 Agustus 1768. Perbukitan yang mengelilingi teluk ini oleh Bougainvelle diberi nama Pegunungan Cyclops, sebuah nama Yunani yang berarti Raksasa Bermata Satu. Pelaut Prancis lainnya yang bernama Dumont d’Urville dengan kapal Astrolabe pada 1827 berlabuh di teluk ini. Dumont d’Urville memberi nama teluk ini Humboldtbaai. Pada kunjungan Bougainvelle dan Dumont d’Urville tidak ada kontak dengan penduduk. Hal itu baru terjadi pada 17 Juni - 6 Juli 1858, ketika suatu komisi dibawah H. D. A van der Goes, dengan kapal Etna berlabuh di Teluk Yotefa, dan mengibarkan bendera Belanda untuk pertama kalinya. Sesudah itu menyusul suatu rangkaian kunjungan-kunjungan terutama dari pegawai-pegawai pemerintah Belanda diantara tahun 1871 sampai 1891. Pada tahun 1892 orang kulit putih pertama, seorang naturalis, yaitu W. Doherty, untuk pertama kalinya sampai di daerah Sentani, yang kemudian disusul pula oleh seorang zendeling G. L. Bink. Dalam tahun 1901 daerah Teluk Humboldt, Teluk Yotefa dan daerah Danau Sentani diselidiki dengan lebih seksama dengan tujuan untuk dimasukkan dalam peta. Kemudian ada suatu rangkaian kunjungan dari penyelidik-penyelidik alam seperti A. Wichman, H. A. Lorentz, ahli geologi W. van Bemmelen, ahli biologi A. E. Pratt, dan dokter zendeling F.J.F. van Hasselt (Sofjan,1963:213). Berdasarkan Surat Keputusan Gubernemen No. 4 tanggal 28 Agustus 1909, kepada Asisten Residen di Manokwari diperbantukan satu detasemen tentara. Detasemen ini diperbantukan terutama untuk mengadakan persiapan-persiapan bagi komisi perbatasan antara Belanda-Jerman. Selanjutnya sejalan dengan keputusan Gubernemen tersebut di atas dengan kapal Edi pada tanggal 28 September 1909 mendaratlah detasemen pimpinan Kapten Infanteri F. J. P. Sachese di Teluk Humboldt. Dari sini mereka segera membuat peta lokasi dan melakukan kegiatan eksplorasi secara terbatas. Komisi perbatasan ini dipimpin oleh Letnan I Pelaut J. L. H. Luymes, sedangkan Kapten Infanteri Sachese bertindak sebagai bagian keamanan. Sebagai bivak pertama dipilih didirikan di dekat aliran Sungai Numbai atau sering disebut dengan Sungai Anafre. Sekarang lokasi ini dikenal dengan Taman Imbi.
Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
39
Hari Suroto, Perkembangan Kota Hollandia 1944 – 1962
Penghuni dari bivak mereka terdiri dari empat orang perwira, 80 tentara, 60 orang pemikul barang, selanjutnya terdapat buruh, pelayan-pelayan, istri-istri dan anak-anak yang berjumlah sekitar 270 orang. Setelah tiga bulan menetap diantara mereka menderita malaria dan sekitar 30 orang menderita beri-beri. Oleh karena ekspedisi perbatasan Jerman di Papua bagian timur, memberi nama Germainshok pada bivaknya, maka dalam suatu upacara sederhana yang dihadiri oleh empat regu berpakaian seragam dalam keadaan siap mengelilingi tiang bendera, pada tanggal 7 Maret 1910 Kapten Sachese memberi nama bivaknya ‘Hollandia’. Sachese kemudian memberikan amanatnya dalam bahasa Belanda dan kemudian disusul dalam bahasa Melayu, seraya mengkomandokan “In naam der Koningin, hijs de vlag God geve, dat zij nooit zaklworden neergehaald “ (Atas nama Ratu, kibarkan bendera Belanda. Semoga dengan ridho Tuhan bendera ini tidak akan diturunkan). Segera setelah bendera berkibar, semua klewang disentakkan dari sarungnya dan terdengar teriakan “Hoera” tiga kali (Galis, 1953:3-11). Dalam perkembangan lebih lanjut, sesuai Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Desember 1925 No. 3X (Staastblad. No. 640/1925), maka Hollandia dijadikan onderafdeeling. Onderafdeeling Hollandia terdiri dari Distrik Hollandia, Sentani, Demta, Nimboran, dan Waris (Bachtiar, 1994:66). Hollandia menjadi daerah bernilai penting dan menjadi pusat perhatian masyarakat Dunia ketika terjadi Perang Pasifik. Perang ini diawali dengan serangan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour Hawai pada 7 Desember 1941. Pada waktu singkat Jepang menguasai seluruh Pasifik, termasuk pantai utara Papua. Belanda yang menguasai Papua tidak berdaya melawannya dan mundur ke Australia. Dalam gerakan nanshin rod 19 April 1942 bala tentara Jepang mendarat di Kawasan Teluk Humboldt, Vim dan Abepantai. Jepang menilai kondisi geologi dan struktur tanah pantai di Hollandia yang sebagian besar berbatu-batu menjamin tidak akan ada proses pendangkalan pantai, memungkinkan bertambatnya kapal-kapal berukuran relatif besar sehingga akan memfasilitasi tumbuhnya Hollandia sebagai tempat pertukaran antar komoditi dan secara perlahan menjadikan Hollandia tumbuh menjadi kota pelabuhan dan kota perdagangan regional, bahkan sebagai pusat kekuasaan. Berdasarkan hal ini dan dengan keyakinan letak Hollandia sangat strategis, Jepang melabuhkan kapal beserta marinirnya di Teluk Humboldt. Kemudian pada bulan Agustus yang sama, Jepang kembali lagi menambah pasukan infanteri guna memperkuat marinirnya. 40
Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
Hari Suroto, Perkembangan Kota Hollandia 1944 – 1962
Menurut laporan Sekutu, seluruh bala tentara Jepang di Hollandia ditaksir berjumlah dua resimen infanteri plus satu resimen marinir atau lebih. Di sekitar Sentani, Jepang membangun lapangan terbang dan ditempatkan 350 buah pesawat tempur. Di sekeliling lapangan terbang ditempatkan meriam-meriam penangkis udara jumlahnya cukup banyak. Jepang pun membangun barak, jembatan termasuk dermaga seperti di Pantai Hamadi, APO dan Teluk Yotefa. Teluk yang terlindung dan lapangan terbang yang penting menjadikan Hollandia tumpuan pertahanan Jepang. Begitupun
perbekalan
Jepang di Hollandia diakui Sekutu satu-satunya yang terbesar dan terkaya di Pasifik (Galis, 1953:27-28). Perang Pasifik yang banyak menyebabkan kehancuran itu juga telah membawa akibat yang konstruktif terhadap aktivitas pembangunan Hollandia. Dengan penggunaan Teluk Humboldt, sebagai benteng pertahanan yang paling ujung di sebelah timur terhadap serangan tentara Amerika dan Australia, tentara Jepang membangun lapangan terbang, basis-basis logistik, serta suatu jaringan jalan sekeliling Teluk Humboldt. Untuk menyiapkan lapangan terbang dan sarana militernya Jepang mengerahkan tenaga penduduk setempat. Maka dapat dimengerti bila penduduk pribumi Hollandia kehilangan sebagian besar hasil kebunnya. Bahkan babi dan ayam piaraan diambil serdadu Jepang secara paksa. Dalam perang Pasifik, Papua termasuk kawasan strategis Panglima Tertinggi Komado Daerah Pasifik Barat Daya Jenderal Douglas Mac Arthur dalam rangka serangan balik menuju Tokyo. Sekutu berniat menghancurkan pertahanan Jepang terlebih dahulu mulai dari Laut Karang sampai Pulau Saipan. Kekalahan Jepang dalam pertempuran Laut Karang 7 Mei 1942 dan Midway 4-7 Juni 1942 merupakan turning point bagi sekutu. Posisi Jepang semakin memburuk ketika Sekutu mulai melancarkan pemboman secara besar-besaran ke Papua (Dutch New Guinea waktu itu). Hollandia yang merupakan basis pertahanan Jepang setelah Wewak dan Teluk Hansa di Papua New Guinea, merasakan pemboman yang dahsyat pada bulan Maret-April 1944. Serbuan Sekutu ke Hollandia ini menandai berakhirnya pendudukan Jepang atas Hollandia dan puncaknya tanggal 22 April 1944 armada Sekutu yang begitu besar jumlahnya mendekati Pantai Hollandia. Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
41
Hari Suroto, Perkembangan Kota Hollandia 1944 – 1962
Tidak kurang 215 kapal perang didukung kira-kira 800 pesawat terbang membayangi kesatuan-kesatuan Sekutu yang mendarat dari dua arah. Dari Teluk Tanah Merah (Depapre) dan Teluk Humboldt (Pantai Hamadi). Operasi ini diberi sandi “reckless” dipimpin Jenderal Douglas Mac Arthur dibantu Laksamana D. E. Barbey dan Letnan Jenderal R. L. Eichelherger dari atas kapal induk Nashville. Pukul 10.00 pagi tanggal 22 April 1944 Jenderal Douglas Mac Arthur mendarat di Pantai Hamadi. Bala tentara Jepang di Hollandia ternyata tak berdaya menghadapi serbuan Sekutu. Laksamana Endu dari armada VIII-IX Jepang yang baru saja ditempatkan di Hollandia, tidak berkutik menghadapi serbuan Sekutu. Akhirnya Endu dan pasukannya menyingkir ke hutan sekitar Hollandia dan diperkirakan melakukan hara-kiri. Sejumlah prajurit zeni kemudian dikerahkan oleh Sekutu untuk memperkuat pangkalannya di Sentani. Para tenaga tambahan yang adalah tenaga insinyur teknik ini sekaligus merupakan tenaga teknisi yang berbasis di landasan bekas pangkalan militer Jepang. Tugas utama mereka adalah membuat landasan baru yang lebih luas agar bisa didarati oleh pesawat pengebom B-29 Superfortress. Merekalah yang memegang peranan penting dalam pembuatan landasan pesawat serta memperlebar jalan setapak Hollandia-Sentani menjadi jalan raya; hasil kerja mereka itu sampai saat ini masih tetap dipergunakan. Dalam proses pembuatan landasan serta jalan raya ini, pasukan Sekutu bekerja ekstra keras dengan terlebih dahulu meratakan sisi-sisi pegunungan di sekitar areal tersebut. Setelah itu, jembatan-jembatan serta pipa-pipa pembuang air didirikan di sepanjang sungai. Kemudian, untuk membuat jalan raya, rawa-rawa ditimbun dengan kerikil dan batu-batu. Hanya dalam waktu semalam, Hollandia telah bermetamorfosis dari sebuah kampung yang sunyi sepi menjadi sebuah kota berpopulasikan total 250.000 manusia, suatu jumlah yang sepertiga lebih banyak dari total jumlah penduduk Papua pada saat itu. Hollandia kemudian menjadi salah satu markas militer terhebat selama berlangsungnya Perang Pasifik dan sebagian besar komando untuk wilayah Pasifik Barat Daya dioperasikan dari Hollandia (Muller, 2008:152-153). Sekutu menjadikan Hollandia sebagai Basis G, dilengkapi dengan sembilan galangan kapal (dock), fasilitas militer, rumah sakit, gudang, toko dan tempat hiburan. Peninggalan Sekutu hingga saat ini dapat dilihat dari bangunan dan toponim. Bangunan tinggalan Sekutu berupa rumah bulat terdapat di Ifar Gunung, Abepura, APO dan Sentani. Jalan raya Jayapura-Sentani, Pelabuhan Jayapura, gereja di Pulau Asei, 42
Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
Hari Suroto, Perkembangan Kota Hollandia 1944 – 1962
stasiun pemancar radio Mac Arthur di Skyline, dan tangki minyak di Depare. Toponim peninggalan Sekutu diantaranya Base G, Skyline, APO (Army Post Office), Hawai, Entrop, dan Dok II sampai IX. Pada 1944-1945, Papua diperintah oleh Sekutu. Komandan Sekutu membawahi para pejabat Belanda yang disebut NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Tugas NICA berkaitan dengan urusan-urusan sipil. NICA terdiri atas SONICA (Senior Officer NICA) yang disamakan kedudukannya dengan residen dan CONICA (Commanding Officer NICA), yang disamakan kedudukannya dengan asisten residen. SONICA pertama yang mendarat di Hollandia sebagai staf pembantu Letnan Jenderal Walter Krueger, panglima kesatuan Sixth Army United States of America adalah Kolonel C. Giebel (Bachtiar, 1994:73). Kemudian wilayah SONICA Nugini pada 1946 resmi menjadi residensi dibawah gubernemen Grote Oost. Residensi Nugini pada 1947 dibagi menjadi empat afdeling yang masing-masing di bawah seorang asisten residen yang mengawasi pemerintahan harian setempat. Pada saat pengakuan kedaulatan Indonesia 27 Desember 1949, kewenangan residensi Nugini, termasuk kewenangannya sebagai HGB (Hoofd van het Gewestelijk Bestuur, kepala pemerintahan wilayah administratif), tertuang dengan jabatan baru menjadi gubernur Nugini-Belanda. Gubernemen Nugini Belanda beribukota di Hollandia (Gelpke, 2001: 598-599). Sejak pengakuan kedaulatan Indonesia 27 Desember 1949, Hollandia menjadi tujuan utama keturunan Belanda yang eksodus dari wilayah Indonesia yang merdeka. Pada mulanya usaha Belanda untuk mempertahankan Papua sebagai bagian dari koloni Hindia Timurnya ini didasarkan pada keinginan untuk mencadangkan Papua sebagai tempat pemukiman kembali kaum Indo-Belanda yang ingin mencari tanah air baru. Papua bahkan tidak cuma dicita-citakan sebagai tempat pemukiman kembali kaum Indo, tapi juga bagi para imigran Belanda Totok dari kampung halaman mereka yang sudah terancam peledakan penduduk. Para keturunan Belanda ini kemudian beradaptasi dengan lingkungan Hollandia dan memanfaatkan orang-orang Papua sebagai tenaga kerja mereka (Aditjondro, 2001: xvii). Pemukiman keturunan Belanda di Hollandia diatur oleh ALKOL (Algemene Leider van de Kolonisatie: asisten residen urusan migrasi). Dalam membangun fisik Kota Hollandia, Belanda tinggal melanjutkan pekerjaan yang telah dirintis oleh tentara Jepang dan Sekutu. Gubernur Nugini Belanda Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
43
Hari Suroto, Perkembangan Kota Hollandia 1944 – 1962
mempekerjakan tukang bangunan dari Pulau Biak dan penduduk sekitar Jayapura (Sulistyawaty et al., 2007: 105). Belanda membangun arbeiderskamp (kamp kaum buruh) di Dok II, HBS di Dok II, HBS Dok V, Dienst van Binnenlandse Zaken (Dinas Dalam Negeri) di Dok II, Kantor Bevolkingsvoorlichting (penerangan penduduk) di Dok IV, MULO di Dok V, Hogere Mantri Verplegingschool di Dok II, Politie Inspecteurs Opleidings School di Base G, OSIBA (Opleidings School voor Inheemsche Bestuurs Ambtenaren) di Kamp Kei, Adjunct Administratief Ambtenaar di Dok V, kediaman gubernur (Paleis Noordwijk) di Dok V, Rumah Sakit Pusat Dok II, bibliotheek Dok II, Gereja Marten Luther di Abepura, Gereja Immanuel di Hamadi, Meerzicht (tempat rekreasi bermain ski air – saat ini Restoran Yougwa) di Sentani dan Radio Omroep Nieuw Guinea (RONG) di Skyline. Toponim peninggalan Belanda diantaranya Kamp Kei, Vim, Klopkam (dahulu Kloofkamp), Holtekamp, Kampwolker, Kampcina dan Polimak (dahulu Polimatsy). Hollandia berkembang menjadi kota “konsumtif”. Kebutuhan pokok penduduk Hollandia diimport oleh perusahaan NIGIMY (Neuw Guinea Import & Export Maatschappij). Kebutuhan barang di Hollandia disalurkan lewat Juliana Supermarket, dan harga-harga barang sudah ditentukan oleh Dinas Perekonomian. Uang yang digunakan dalam transaksi pembayaran adalah Nieuw Guinea Gulden, dengan nilai 1 Nederlands Gulden sama dengan 1,5 Nieuw Guinea Gulden. Menurut Supratikno Rahardjo (2007:134) suatu kota termasuk kategori “konsumtif’ bila wilayah penyangganya sendiri tidak dapat memenuhi kebutuhan makan pokok penduduknya, penjelasan terhadap argumentasi ini terletak pada fungsi negara sebagai pemegang kekuasaan dalam melakukan redistribusi barang-barang strategis Sebaliknya sifat ketergantungan kota ‘konsumtif’ akan semakin tinggi bila kota tersebut merupakan bagian dari negara yang mengandalkan sumber makanannya dari negeri lain. Melalui Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, maka kekuasaan Belanda di Papua berakhir, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengambil alih wilayah ini pada 1 Oktober 1962, kemudian membentuk pemerintahan sementara yang dinamakan United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Tanggal 31 Desember 1962 bendera Kerajaan Belanda diturunkan dan sebagai gantinya dinaikkan bendera Indonesia berdampingan dengan bendera PBB. Sesuai persetujuan New York maka pada 1 Mei 1963 pemerintahan UNTEA di Papua berakhir, untuk selanjutnya Papua diserahkan oleh UNTEA kepada pemerintah Indonesia (Bachtiar, 1994: 88).
44
Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
Hari Suroto, Perkembangan Kota Hollandia 1944 – 1962
Pada 31 Desember 1962 nama Hollandia diganti menjadi Kota Baru. Setahun kemudian, yaitu 1 Mei 1963, untuk pertama kalinya Presiden Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno mengunjungi Papua dan mengganti nama Kota Baru menjadi Soekarnopura dan Teluk Humboldt menjadi Teluk Yos Sudarso. Kemudian setelah terjadi pemberontakan G 30 S/ PKI, nama Soekarnopura diganti menjadi Jayapura.
Kesimpulan Perubahan besar terjadi di Hollandia, bermula hanya sebuah perkampungan, dalam waktu singkat bermetamorfosis menjadi sebuah kota, hal ini terjadi pada bulan April 1944 ketika tentara Angkatan Darat Amerika mendarat di Hollandia. Penduduk Holandia yang awalnya hidup subsisten tergantung pada keberadaan sumberdaya alam setempat dengan cara berburu dan meramu, kemudian berkenalan dengan bahan-bahan modern yang dibawa oleh Sekutu diantaranya peralatan perang, jalan aspal, lapangan terbang, bangunan beton, alat transportasi, makanan buatan pabrik, minuman keras, pakaian, film, dan hiburan-hiburan lainnya. Teori perkembangan kota secara umum menyatakan kota (city) berawal dari village. Village berkembang menjadi town dengan ciri terdapat pusat pemerintahan dan lembaga yang lebih tegas, formal dan jelas batasnya. Town berkembang menjadi city. Selain terdapat pusat pemerintahan yang lebih formal, di kota kepadatan bangunan dan penduduknya juga lebih rapat. Di dalam kota ini kebutuhan tersier akan tampak, seperti kesenian, hiburan yang bersifat rutin, tempat rekreasi, dan pusat perbelanjaan. Teori ini tidak berlaku dalam perkembangan Kota Hollandia. Hollandia yang berawal dari village, dalam berkembang secara instan langsung menjadi city. Dalam perkembangannya kemudian, jumlah penduduk Kota Hollandia meningkat pesat akibat urbanisasi, menyebabkan kota berkembang tidak sehat, seperti masalah pemukiman kumuh, penyediaan perumahan layak huni, kriminalitas yang meningkat, masalah sumber air bersih, dan saluran air. Pembangunan Hollandia yang secara instan hampir selalu menimbulkan reaksi yang negatif, karena dalam prosesnya adat dan kebiasaan yang telah menjadi pegangan dan pola hidup penduduk asli sudah pasti akan berubah.
Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
45
Hari Suroto, Perkembangan Kota Hollandia 1944 – 1962
Perubahan-perubahan adat dan kebiasaan di Hollandia yang berlangsung sangat cepat itu pada umumnya mendapat tanggapan yang negatif dari penduduk asli (Suku Kayu Batu, Kayu Pulau, Tobati, Enggros, Nafri, dan Sentani). Orang asli Papua yang sebagian besar hidup pada taraf subsisten, pengembara atau setengah pengembara, kesulitan memasuki sistem kehidupan kota yang mengenal spesialisasi pekerjaan, khususnya pada profesi non agraris. Perasaan tidak puas mereka tujukan kepada orang Belanda dan Sekutu yang mereka anggap sebagai penyebab terjadinya perubahan-perubahan yang cepat dan membingungkan.
46
Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
Hari Suroto, Perkembangan Kota Hollandia 1944 – 1962
DAFTAR PUSTAKA Aditjondro, George J.. 2001. “Apabila Camat Belajar Antropologi (atau Antropolog Jadi Camat?)” kata pengantar dalam Belanda di Irian Jaya Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945-1962 (Pim Schoorl ed.). Jakarta: Garba Budaya. Hlm. xi-xxvii. Bachtiar, H. W. 1994. “Sejarah Irian Jaya” dalam Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk (Koentjaraningrat ed.). Jakarta: Djambatan. Hlm. 44-96. Galis, K.W. 1953. ‘Geschiedenis’, dalam W.C. Klein (ed.), Nieuw Guinea; De ontwilkkeling op economisch, social en cultureel gebied, in Nederlands en Australisch Nieuw Guinea, Jilid 1. ‘s-Gravenhage: Staatsdrukkerij. Hlm. 1-65. Gelpke, Frits Sollewijn. 2001.”Tata Pemerintahan di Nugini-Belanda dari Masa ke Masa” dalam Belanda di Irian Jaya Amtenar Di Masa Penuh Gejolak 1945-1962 (Pim Schoorl ed.). Jakarta: Garba Budaya. Hlm.591-604. Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Muller, Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Books. Rahardjo, Supratikno. 2007. Kota-Kota Prakolonial Indonesia Pertumbuhan dan Keruntuhan. Jakarta: Komunitas Bambu. Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII-Medio Abad XX). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Sulistyawaty, Agnes Rita dan Rudy Badil. 2007. “Dipindahkan Belanda Bangun Hollandia” dalam Ekspedisi Tanah Papua. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Hlm.105-108. Surjomihardjo, Abdurrachman. 2008. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe Sejarah Sosial 1880-1930. Jakarta: Komunitas Bambu. Zahnd, Markus. 2008. Model Baru Perencanaan Kota Yang Kontekstual Kajian Tentang Kawasan Tradisional Kota Semarang dan Yogyakarta Suatu Potensi Perancangan Kota Yang Efektif. Yogyakarta: Kanisius.
Papua Vol. 2 No. 2 / November 2010
47