STUDI IRADIASI SINAR GAMMA PADA KULTUR KALUS NODULAR MANGGIS UNTUK MENINGKATKAN KERAGAMAN GENETIK DAN MORFOLOGI REGENERAN
OLEH : WARID ALI QOSIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
1
STUDI IRADIASI SINAR GAMMA PADA KULTUR KALUS NODULAR MANGGIS UNTUK MENINGKATKAN KERAGAMAN GENETIK DAN MORFOLOGI REGENERAN
OLEH : WARID ALI QOSIM Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
2
Judul
: Studi Iradiasi Sinar Gamma pada Kultur Kalus Nodular Manggis untuk Meningkatkan Keragaman Genetik dan Morfologi Regeneran. Nama : Warid Ali Qosim Nomor pokok : A156010031 Program Studi : Agronomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Witjaksono, M.Sc. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Agronomi,
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Lulus :
3
SURAT PERNYATAAN
Bersama ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :
“Studi Iradiasi Sinar Gamma pada Kultur Kalus Nodular Manggis untuk Meningkatkan Keragaman Genetik dan Morfologi Regeneran”.
merupakan gagasan dan hasil penelitian saya sendiri yang dibimbing oleh Tim Komisi Pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara akurat, jelas dan dapat dipercaya kebenarannya.
Bogor, Januari 2006 Yang membuat pernyataan,
Warid Ali Qosim Nrp. A156010031
4
RIWAYAT HIDUP WARID ALI QOSIM dilahirkan di Indramayu pada tanggal 7 Mei 1966 sebagai anak ketiga dari pasangan H. Casim (alm) dan H. Rasih.
Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Tugu III, Indramayu pada tahun 1979, pendidikan menengah pertama di MTsN Babakan Ciwaringin, Cirebon pada tahun 1982 dan lulus pendidikan menengah atas di MAN Babakan Ciwaringin, Cirebon pada tahun 1985. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemuliaan Tanaman, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (UNPAD), lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1995, penulis diterima di program studi Ilmu Tanaman Bidang Kajian Utama Pemuliaan Tanaman pada Program Pascasarjana UNPAD, lulus pada tahun 1999.
Pada tahun 2001, penulis
berkesempatan untuk melanjutkan ke Program Doktor pada Program Studi Agronomi pada Sekolah Pascasarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor (IPB). Beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. WARID ALI QOSIM bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian UNPAD sejak tahun 1991 sampai sekarang. Dalam kegiatan profesi, penulis ikut sebagai pengurus Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) komda Jawa Barat WARID ALI QOSIM menikah dengan Raden Nia Nurhayati pada tahun 1990 dan dikaruniai dua orang putri, yaitu Winna Firdawati (lahir 25 Januari 1992) dan Inneke Amalia (lahir 26 Juni 1994).
5
ABSTRAK
WARID ALI QOSIM. 2006. Studi Iradiasi Sinar Gamma pada Kultur Kalus Nodular Manggis untuk Meningkatkan Keragaman Genetik dan Morfologi Regeneran. Di bawah bimbingan ROEDHY POERWANTO sebagai Ketua Komisi Pembimbing, GA WATTIMENA dan WITJAKSONO sebagai anggota. Tanaman manggis termasuk tanaman apomik obligat dan karena itu keragaman genetiknya sempit. Peningkatan keragaman genetik ini dapat dilakukan dengan induksi mutasi dengan sinar gamma. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan metode regenerasi tanaman manggis secara in vitro dan meningkatkan keragaman genetik manggis melalui induksi mutasi dengan iradiasi pada kultur kalus nodular. Penelitian terdiri dari empat rangkaian percobaan, yaitu : (1) Studi regenerasi tanaman manggis in vitro, (2) Induksi mutasi dengan sinar gamma pada kultur kalus nodular dan uji keragaman dari regeneran, (3) Studi anatomi daun mutan putatif manggis in vitro, (4) Uji keragaman genetik mutan putatif dengan marka RAPD. Percobaan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Molekuler Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) IPB, sejak Juli 2002 sampai dengan Desember 2005. Untuk mendapatkan mutan solid, iradiasi sinar gamma dilakukan terhadap kalus nodular. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dipelajari organogenesis tidak langsung dari kalus nodular manggis membentuk tunas. Pembentukan kalus nodular optimum diperoleh pada medium MS dengan kombinasi perlakuan 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ menghasilkan 79, 4 % eksplan membentuk kalus nodular, 3,6 jumlah kalus nodular per eksplan dan waktu membentuk kalus nodular 24,5 hari. Sedangkan regenerasi tunas diperoleh pada medium WPM dengan 2,2 µM BAP menghasilkan 34,7 % kalus nodular membentuk tunas, 5,9 jumlah tunas dan waktu membentuk tunas 13,5 minggu. Kalus nodular diiradiasi dengan sinar gamma dengan level dosis (0; 5; 10; 15; 20; 25; 30; 35; 40) Gy. Iradiasi dengan sinar gamma mempengaruhi daya regenerasi dari kalus nodular membentuk tunas. Respon daya regenerasi kalus nodular menurun dengan meningkatnya tingkat iradiasi. Variabel persen kalus nodular membentuk tunas dan jumlah tunas per kalus nodular menurun secara linier dengan meningkatnya dosis iradiasi. Sedangakan variabel waktu pembentukan tunas meningkat secara linier dengan meningkatnya dosis iradiasi. Dosis respon yang menghasilkan respon sebanyak 50 % dari regenaran kontrol tanpa iradiasi (DR50 ) untuk persen kalus nodular membentuk tunas adalah 25 Gy. Iradiasi sinar gamma dapat mempengaruhi perubahan anatomi daun. Hasil analisis anatomi daun beberapa regeneran mutan menunjukkan keragaman luas untuk luas stomata, kerapatan dan indeks stomata, parenkima palisade, dan jaringan bunga karang, ketebalan kutikula dan daun. Beberapa regeneran mutan mempunyai kerapatan dan indeks stomata lebih tinggi dari kontrol, sedangkan beberapa regeneran mutan memiliki kutikula adaksial yang lebih tipis dari kontrol. Regeneran mutan
6
memiliki parenkima palisade, jaringan bunga karang dan daun yang lebih tebal dari kontrol. Namun, pada umumnya jaringa n bunga karang dan jumlah berkas pembuluh dari regeneran mutan lebih tebal dan lebih banyak dari pada regeneran kontrol. Perubahan anatomi daun pada regeneran mutan manggis in vitro tersebut sangat baik sebagai mutan putatif. Iradiasi sinar gamma dapat mempengaruhi perubahan pola pita DNA menggunakan lima primer acak. Analisis dendogram RAPD 22 regeneran mutan dan kontrol menunjukkan bahwa nilai keragaman genetik 9% - 40% atau kemiripan genetik 60 % - 91 %. Pada nilai kemiripan genetik 60 %, cabang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok E berbeda dengan kelompok lainnya A, B, C, D dan kontrol termasuk kelompok A. Sedangkan dendogram analisis morfologi regeneran mutan dan kontrol dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok utama A dan B dengan nilai keragaman genetik 41 % atau kemiripan genetik 59 %.
7
ABSTRACT
WARID ALI QOSIM. 2006. Study of gamma ray irradiation of mangosteen nodular callus increased genetic and morphological variability of the regenerants. Supervised by ROEDHY POERWANTO as chairman, GA WATTIMENA and WITJAKSONO as members of the advisory committee. Mangosteen is an apomict obligate plant and consequently it has narrow genetic variability. Improvement of the genetic variability of this plant can be done by mutation induction with gamma rays. The purpose of this study was to develop in vitro plant regeneration and to use it for increasing the variability of mangosteen through induced mutation with gamma rays irradiation on nodular callus culture. This study consisted of four sets of experiments: (1) Study of in vitro regeneration of mangosteen, (2) Induced mutation with gamma rays irradiation on nodular callus and phenotypic variability among analysis among regenerants, (3) Anatomical analysis of putative mutants regenerants in vitro, (4) RAPD marker-based genetic variability test of putative mutant regenerants. The experiments were conducted at the Tissue Culture and Molecular laboratory of the Center Tropical Fruits Studies-IPB, from September 2002 to December 2005. To get solid mutants, gamma ray irradiation was subjected to nodular callus. This research used indirect organgenesis (regeneration of shoot from nodular callus). The optimum medium for formation of nodular callus was MS medium with 2,2 µM BAP and 2,27 µM TDZ and resulted in 79,4 % explants formed nodular callus, 3,6 nodular callus per explant and 24,5 day for nodular callus formation. While transfer of nodular callus on to WPM medium supplemented with 2,2 µM BAP resulted in 34,7 % shoot formation, 5,9 shoot per nodular callus, and time of shoot formation to be 13,5 weeks. Nodular callus was irradiated with gamma rays at dose level of 0, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40 Gy. Gamma rays irradiation affected the regeneration capacity of nodular callus. Regeneration capacity of nodular callus decreased linearly with increasing level of irradiation for variable percentage of nodular callus forming shoot and variable of number of shoot per callus nodular, while variable of time of formed shoot increased linearly with increasing level of irradiation. Response dose was yielded response 50 % from control regenerants DR50 to percentage of nodular callus forming shoot was 25 Gy. Gamma irradiation affected the leaf anatomy of regenerants. Result of analysis leaf anatomy of several putative mutant regenerants revealed variability in stomata area, stomata index and stomata density, the thickness of palisade parenchyma, spongy mesophyll, cuticle thickness. Several mutant regenerants had higher stomata density and stomata index than control regenerant, but several other mutant regenerants had thinner adaxial cuticle layer than control regenerant, While some other had thicker spongy mesophyll and thicker lamina than that of control
8
regenerant. However, ge nerally, the thickness spongy mesophyll and the number of vascular of the mutant regenerants were greater than that of control regenerants. Gamma irradiation changed the banding pattern of DNAs as they were amplified with five random primers. Dendogram analysis of RAPD among 22 mutants and control regenerants, indicated value of genetic variability of 9% - 40% or genetic similarity of 60-91 %. At the genetic similarity value of 60 %, the dendogram branched into two groups: group E that was different than A, B, C, and D. Control regenerant included group A. While dendogram analysis of morphology of 22 mutants and control regenerants divided into two main groups, main group A and B indicated value of genetic variability of 41 % or genetic similarity of 59 %.
9
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah dalam bentuk disertasi berhasil diselesaikan. Penelitian untuk disertasi telah dilaksanakan pada bulan Juli 2002 – Desember 2005 dengan judul “Studi Iradiasi Sinar Gamma pada Kultur Kalus Nodular Manggis untuk Meningkatkan Keragaman Genetik dan Morfologi Regeneran”. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih banyak dan penghargaan kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr.Ir. H. Roedhy Poerwanto, M.Sc. dan keluarga atas bimbingan beliau yang sangat lugas, cermat, seksama dan terarah baik dalam bidang akademis, maupun keprofesian di bidang buah-buahan tropika, bimbingan tersebut memahami
sangat berharga dalam mengubah pola pikir penulis dalam
dan mengembangkan buah-buahan tropik di Indonesia.
Selain itu,
penulis mendapat bimbingan kesabaran, disiplin dan konsistensi dari beliau. Budi baik beliau akan menjadi catatan khusus penulis dalam mengembangkan bidang akademis dan keprofesian di bidang buah-buahan. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc. dan Dr. Ir. Witjaksono, M.Sc. atas bimbingan dan saran-sarannya yang terarah, cermat dan lugas sejak merumuskan usulan penelitian sampai menjadi laporan penelitian ini. Terima kasih disampaikan kepada Dr. Ir. Darda Effendi, MSi, Dr. Ir.
Nurul Khumaida, MSi dan Dr. Ika
Mariska sebagai dewan penguji di luar komisi pembimbing. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Padjadjaran dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran atas ijin dan kesempatan yang diberikan penulis untuk mengikuti program doktor (S3 ) di SPs IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kepala Laboratorium Pemuliaan Tanaman Ibu Prof.Dr.Ir. Hj. Murdaningsih HK, M.Sc. dan Ketua Program Studi Pemuliaan Tanaman Bapak Dr. Ir. Medy Rachmadi, MP atas dorongan untuk melanjutkan studi S3 di IPB, begitu juga untuk Bapak Prof. Dr. Ir. H. Achmad Baihaki, M.Sc., Prof. Dr. Ir. H. Ridwan Setiamihardja, M.Sc., dan Ibu Prof. Dr. Ir. Hj. Yuyun Yuwariah AS,
10
MS., penulis sampaikan terima kasih atas ijin dan surat rekomendasinya. Serta rekanrekan staf pengajar PS Pemuliaan Tanaman dan Jurusan Budidaya Pertanian UNPAD atas segala bantuan moril yang telah diberikan. Kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Faperta IPB dan Ketua Program Studi Agronomi SPs IPB, penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan atas segala pelayanannya. Penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada kepala Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) Lembaga Penelitian IPB atas dukungan dana penelitian dan fasilitas laboratorium melaui proyek RUSNAS. Ucapan terima kasih disampaikan Kepada Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional
melalui
beasiswa BPPS dan Hibah Bersaing XII atas dukungan dana selama penulis mengikuti pendidikan dan penelitian S3 di SPs IPB. Rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ayahanda H. Casim (alm) dan Ibunda H. Rasih, Bapak mertua Raden S. Arifin dan Ibu mertua Anah Hendrayanah yang telah memberikan kasih sayang, doa restu, dorongan, semangat dan motivasi. Penghargaan yang sangat dalam dan kebanggaan yang tulus disampaikan kepada istri tercinta Raden Nia Nurhayati dan anak-anakku yang tersayang Winna
Firdawati dan Inneke
Amalia atas segala pengorbanan,
ketabahan, pengertian dan dorongan semangat yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan S3 di SPs IPB. Ucapan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. Roedhy Poerwanto, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Sobir, M.S., Ibu Ir. Yayah K. Wagiono, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Sri Setyati Haryadi, M.Sc., Dr. Ir. Sriani Suprihati, M.S., Dr. Ir. Darda Effendi, MS, serta para peneliti dan staf Pusat Kajian Buahbuahan Tropika (PKBT) LP-IPB atas
segala fasilitas dan kerjasamanya selama
penulis mengikuti penelitian untuk program S3 . Terima kasih disampaikan kepada Kepala Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB dan Ir. Dorly, M.Si. atas pengararahan dan fasilitas kepada penulis selama pengamatan anatomi. Demikian pula kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan, penelitian dan penulisan disertasi ini.
11
Penulis mengharapkan disertasi ini bermanfaat untuk mengembangkan buahbuahan tropika di Indonesia dan pengembangan ilmu pertanian pada umumnya. Disertasi ini masih banyak kekurangan, penulis sangat mengharapkan
kritik dan
saran untuk perbaikan disertasi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan dan rahmat-Nya kepada semuanya, Amin.
Bogor, Januari 2006
Penulis,
12
DAFTAR ISI
Bab
Halaman Ringkasan Summary Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Daftar Istilah (Glossary)
I.
II.
III.
IV.
i iv vi viii x xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Tujuan Penelitian Strategi Penelitian Manfaat Penelitian
1 6 6 8
TINJAUAN PUSTAKA
9
Tanaman Manggis Keragaman pada Manggis Apomiksis pada Manggis Kultur Jaringan pada Manggis Induksi Mutasi In Vitro Mekanisme Mutasi pada Tanaman Deteksi Mutan Manggis dengan Analisis RAPD Identifikasi Mutan Manggis dengan Anatomi Daun
9 12 13 16 17 23 26 28
STUDI REGENERASI TANAMAN MANGGIS IN VITRO
31
Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran
31 30 32 36 59
INDUKSI MUTASI DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA PADA MANGGIS IN VITRO
61
Abstrak Pendahuluan
61 61
13
V.
VI.
VII.
Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran
62 65 77
STUDI ANATOMI DAUN PADA MUTAN MANGGIS IN VITRO
78
Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran
78 78 80 81 94
DETEKSI MUTAN MANGGIS IN VITRO DENGAN MARKA RAPD
95
Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran
95 95 97 101 112
PEMBAHASAN UMUM
113
VIII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN Kesimpulan Saran
120 120 121
DAFTAR PUSTAKA
122
LAMPIRAN-LAMPIRAN
135
14
DAFTAR TABEL
No.
Judul
Halaman
1.
Luas pane n, , produksi, produktivitas volume dan nilai ekspor manggis di Indonesia Tahun 1996 - 2003 Berbagai dosis dan mutagen yang digunakan pada beberapa Tanaman membiak vegetatif atau tahunan Varietas/klon komersial tanaman buah-buahan yang dihasil Kan mutasi dan karakter yang diperbaiki Nilai rata-rata dan hasil uji gugus berganda Duncan pada jumlah tunas organogenesis pada media MS setelah 16 minggu kultur Nilai rata-rata dan hasil uji gugus berganda Duncan pada persentase eksplan yang membentuk kalus nodular, jumlah kalus nodular per eksplan dan waktu membentuk kalus nodular setelah empat minggu kultur Nilai rata-rata dan hasil uji gugus berganda Duncan pada jumlah tunas setelah 20 minggu kultur Nilai rata-rata dan hasil uji gugus berganda Duncan pada jumlah pasang daun dan jumlah panjang tunas akibat perlakuan iradiasi sinar gamma pada media WPM 2,2 µM BAP setelah 20 minggu kultur Keragaman fenotipik dan jumlah mutan potensial yang dihasilkan akibat dosis iradiasi sinar gamma. menurut variabel persentase kultur membentuk tunas dan jumlah tunas per kalus nodular pada medium WPM 2,2 µM BAP Keragaman fenotipik dan jumlah mutan potensial yang dihasilkan akibat dosis iradiasi sinar gamma menurut variabel jumlah pasang daun dan waktu membentuk tunas planlet pada medium WPM 2,2 µM BAP Keragaman fenotipik dan jumlah mutan potensial yang dihasilkan akibat dosis iradiasi sinar gamma menurut variabel panjang tunas pada medium WPM 2,2 µM BAP 21 regeneran hasil seleksi dan satu genotip kontrol Pengamatan irisan paradermal pada beberapa regeneran manggis in vitro Pengamatan irisan transversal pada beberapa regeneran manggis in vitro Jumlah pita hasil amplifikasi lima primer acak pada analisis RAPD Pengelompokan 22 regeneran dan kontrol berdasarkan
2
2. 3. 4.
5.
6. 7.
8.
9.
10.
11. 12. 13. 14. 15.
15
20 25 47
50
55 69
71
71
72
75 84 90 112 106
16. 17. 18.
dendogram analisis RAPD Matrik Kesamaan genetik 22 regeneran dan kontrol manggis berdasarkan marka RAPD Matrik Kesamaan ge netik 22 regeneran dan kontrol manggis dan kontrol berdasarkan karakter morfologi Pengelompokan 22 regeneran dan kontrol berdasarkan dendogram karakter morfologi
16
108 110 111
DAFTAR GAMBAR No.
Judul
Halaman
1.
Skema kerangka pemikiran penelitian induksi mutasi mangis in vitro Skema penelitin pemuliaan induksi mutasi pada manggis in vitro Perbandingan siklus hidup tanaman normal (A); apomiksis gametofit (B); dan nuselar embriony (C) Irisan transversal daun manggis (Pembesaran 400X) Pohon manggis No. 8 (A), Buah manggis (B) Skema studi regenerasi tanaman manggis in vitro Bahan tanaman untuk organogenesis langsung Bakal tunas adventif mulai muncul dari permukaan biji (A); Tunas multiple berasal dari perlakuan 22,2 µM BAP Pengaruh konsentrasi BAP terhadap persentase pembentukan tunas pada perkecambahan manggis dalam media MS setelah tiga minggu kultur Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas per eksplan pada perkecambahan manggis dalam media MS setelah tiga minggu kultur Pengaruh konsentrasi BAP terhadap waktu pembentukan tunas pada perkecambahan manggis dalam media MS setelah tiga minggu kultur Pengaruh konsentrasi BAP terhadap panjang tunas pada perkecambahan manggis dalam media MS setelah tiga minggu kultur Bakal tunas muncul dari tulang daun (A); Tunas adventif dari perlakuan 22,2 µM BAP (B) Pengaruh konsentrasi BAP terhadap pembentukan tunas pada organogenesis langsung dalam media MS setelah 16 minggu kultur Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas per eksplan pada organogenesis langsung dalam media MS setelah 16 minggu kultur Pengaruh konsentrasi BAP terhadap waktu pembentukan tunas pada organogenesis langsung dalam media MS setelah 16 minggu kultur Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah pasang daun pada organogenesis langsung dalam media MS setelah 16 minggu kultur Irisan transversal tulang daun (A); pembentukan bakal tunas
4
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
10.
11.
12.
13. 14.
15.
16.
17.
18.
17
7 15 30 33 33 35 38 39
39
40
41
43 44
45
45
48
49
19. 20. 21.
22.
23.
24.
25.
26. 27. 28. 29. 30. 31.
32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
dari tulang daun Kalus nodular muncul dari tulang daun (A); kalus nodular dari perlakuan 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ Proses terbentuknya tunas Pengaruh konsentrasi BAP terhadap persentase kalus nodular membentuk tunas pada organogenesis tidak langsung dalam media WPM setelah 20 minggu kultur Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas per kalus nodular pada organogenesis tidak langsung dalam media WPM setelah 20 minggu kultur Pengaruh konsentrasi BAP terhadap waktu pembentukan tunas pada organogenesis tidak langsung dalam media WPM setelah 20 minggu kultur Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah pasang daun pada organogenesis tidak langsung dalam media WPM setelah 20 minggu kultur Irisan transversal kalus nodular yang mengalami diferensiasi membentuk tunas (A); tunas pucuk meristem pada perlakuan 2,22 µM BAP Perbandingan tiga tipe regenerasi tanaman berdasarkan persentase pembentukan tunas Perbandingan tiga tipe regenerasi tanaman berdasarkan jumlah tunas Perbandingan tiga metode regenerasi tanaman berdasarkan waktu pembentukan tunas Gambar Chamber 4000 A Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap persentase kalus nodular membentuk tunas pada medium WPM 2,2 µM BAP Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap jumlah tunas per kalus nodular membentuk tunas pada medium WPM 2,2 µM BAP Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap waktu pembentukan tunas pada medium WPM 2,2 µM BAP Penampilan mutan albino pada 5 Gy (R-5/2) dan R-10/1 (B) Struktur anatomi daun manggis irisan paradermal (400X) Perbandingan struktur anatomi irisan paradermal daun manggis Struktur anatomi daun manggis irisan transversal (400X) Perbandingan struktur anatomi irisan transversal daun manggis Pola pita DNA 22 regeneran dan tanaman kontrol pada lima primer Dendogram tanaman regeneran manggis in vitro berdasarkan analisis RAPD Dendogram tanaman regeneran manggis in vitro berdasarkan karakter morfologi
18
48 51 52
53
54
55
56
57 58 58 63 66 67
68 69 80 85 86 88 102 105 110
DAFTAR LAMPIRAN
No. 1. 2. 3.
4.
5.
6.
7.
8. 9. 10. 11. 12.
Judul Komposisi media MS dan WPM Proses pembuatan media MS Analisis varians pengaruh BAP terhadap variabel yang diamati pada perkecambahan manggis empat minggu setelah kultur Analisis varians pengaruh BAP terhadap variabel yang diamati pada organogenesis langsung 16 minggu setelah kultur Analisis varians pada persentase eksplan membentuk kalus nodular, jumlah kalus nodular per eksplan dan waktu membentuk kalus nodular setelah empat minggu kultur Analisis varians variabel yang diamati pada regenerasi tanaman akibat perlakuan BAP pada media WPM setelah 20 minggu kultur Analisis varians variabel yang diamati pada regenerasi tanaman akibat iradiasi gamma pada media WPM 2,2 µM BAP setelah 20 minggu kultur Proses pembuatan preparat irisan paradermal dan transversal daun manggis ………………………………………………. Komposisi larutan dan bahan-bahan yang digunakan untuk isolasi DNA, analisis RAPD dan elektroforesis …………. Nilai Rasio absorbans λ260/280 dan konsentrasi DNA pada beberapa regeneran manggis Data biner pola pita RAPD 22 regeneran dan kontrol manggis in vitro Data biner karakter morfologi 22 regeneran dan kontrol manggis in vitro
19
Halaman 134 135 136
137
138
139
140
141 144 147 148 149
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Manggis (Garcinia mangostana L.)
merupakan
salah satu tanaman buah
tropika yang digemari oleh masya rakat dan dijuluki sebagai Queen of tropical fruit (Cox, 1976). Buah manggis memiliki nilai ekonomi tinggi dan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor. Berdasarkan data statistik, volume ekspor buah manggis tahun 2002 adalah 6.512,423 ton dengan nilai ekspor US $ 6.956.915, sedangkan volume ekspor buah manggis tahun 2003 adalah 9.304,511 ton dengan nilai ekspor US $ 9.306.042 atau volume ekspor meningkat 42,8 % (Tabel 1) (Departemen Pertanian, 2004). Di Indonesia tanaman manggis tersebar hampir di semua kepulauan. Luas panen dari tahun ke tahun meningkat terus. Pada tahun 2002 luas panen 8.051 ha mengalami peningkatan menjadi 9.354 ha pada tahun 2003 atau meningkat 16,2 %. Begitu juga, produksi manggis terus mengalami peningkatan dari 62.055 ton pada tahun 2002 menjadi 79.073 ton pada tahun 2003 atau meningkat 27,4 % (Tabel 1). Tabel 1. Luas panen, produksi, produktivitas, volume dan nilai ekspor manggis di Indonesia tahun 1999 – 2003 Tahun 1999 2000 2001 2002 2003
Luas Panen (Ha) 4.124 4.124 4.607 8.051 9.354
Produksi (ton) 19.174 26.400 25.812 62.055 79.073
Produktivitas (kw/ha) 46,49 46,49 56,03 77,08 84,53
Ekspor Manggis Volume (ton) Nilai (US $) 4.743,493 3.887,816 7.182,089 5.885.035 4.868,528 3.953.234 6.512,423 6.956.915 9.304,511 9.306.042
Sumber : Departemen Pertanian, 2004 (www. Deptan.go.id , download April 2004)
Pada umumnya tanaman manggis di Indonesia berumur sudah tua dan sebagian besar merupakan tanaman pekarangan, kebun campuran dan ditanam pada daerah perbukitan/hutan (Kusuma & Verheij, 1994). Produktivitas pohon manggis di Indonesia berkisar 30-70 kg buah per pohon dan masih tergolong rendah dibandingkan dengan Malaysia dan India yang mencapai 200-300 kg buah per pohon (Yaacob & Tindall, 1995). Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2004),
20
produktivitas pohon manggis di Wanayasa (Purwakarta) dapat mencapai 500 kg buah per pohon. Produktivitas yang rendah disebabkan kebun manggis tidak dikelola dengan baik. Peningkatan produksi manggis dapat ditingkatkan antara lain dengan kultur teknis dan penggunaan klon unggul manggis. Tanaman manggis mempunyai kelemahan, yaitu : (1) fase juvenil panjang, tanaman manggis pertama berbuah setelah berumur 10-15 tahun sejak tanam (Wiebel, 1993), (2) lambatnya laju pertumbuhan bibit. Kelemahan tersebut dapat diperbaiki melalui program pemuliaan tanaman. Menurut Poerwanto (2000) pemuliaan tanaman manggis diarahkan untuk mendapatkan sifat pertumbuhan cepat, masa juvenil pendek, produktivitas tinggi, kualitas buah yang baik dan tahan terhadap hama dan penyakit. Rekombinasi genetik dengan teknik hibridisasi tidak dapat dilakukan karena benang sari tidak dapat berkembang (rudimenter) dan serbuk sari bersifat hampa (Richards, 1990b). Biji manggis merupakan biji apomik obligat. Embrio manggis berkembang dari sel nuselus pada jaringan ovul (Richard, 1990a), sehingga embrio manggis yang muncul merupakan embrio somatik dan secara genetik mewarisi sifat sama dengan induknya (Horn, 1940; Verheij & Coronel, 1992). Secara teori, tidak ada keragaman genetik pada tanaman manggis. Ternyata di lapang tanaman manggis ada keragaman, mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan atau perubahan genetik akibat mutasi alami (Ramage et al., 2004; Supriyanto et al., 1999). Alternatif pemuliaan tanaman manggis dapat dilakukan dengan teknik induksi mutasi. Teknik induksi mutasi sangat baik digunakan untuk tanaman yang mengalami masalah dalam rekombinasi genetik melalui hibridisasi, seperti apomiksis, sterilitas dan inkompatibilitas (Broertjes & van Harten, 1988). Induksi mutasi
dapat
meningkatkan keragaman genetik (van Harten, 1998). Keberhasilan induksi mutasi telah banyak dilaporkan pada tanaman buah-buahan seperti jeruk, apel, pear, pisang dan anggur
(Broertjes & van Harten, 1988).
Induksi mutasi digunakan untuk
memperbaiki karakter agronomi penting tanaman buah-buahan seperti ukuran tanaman, waktu pemasakan, perubahan warna buah, dan self compatibility (Donini, 1982).
21
Mutasi spontan terjadi di alam dengan frekuensi sangat rendah, yaitu 10-6 per pembelahan sel (van Harten, 1998). Frekuensi mutasi dapat ditingkatkan dengan teknik induksi mutasi. Mutagen fisik yang sering digunakan antara lain sinar gamma (ã) yang bersumber dari isotop Cobalt-60 (60 Co) dan Caesium–137 (137 Cs). Energi yang berasal dari sinar gamma dapat mengubah material genetik tanaman (Broertjes & van Harten, 1988). Menurut Micke & Donini (1993), pada umumnya bagian tanaman yang diiradiasi adalah biji, sedangkan untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif adalah umbi, stek, stolon, dan rimpang. Bagian tanaman tersebut merupakan jaringan multiseluler. Apabila jaringan multiseluler diiradiasi, maka akan menghasilkan mutasi sektoral dan mutan tersebut bersifat kimera. Kimera adalah jaringan tanaman yang mengandung sel-sel yang mengalami mutasi dan sel-sel normal, sel-sel dalam jaringan tersebut memiliki konstitusi genetik yang berbeda (Broertjes, 1977). Kelemahan mutan kimera
secara genetik tidak stabil, sehingga
diwariskan ke generasi selanjutnya.
tidak dapat
Pada jeruk terjadi kimera sektoral dimana
kulit buah terdapat dua warna, yaitu merah dan orange-kekuningan (Soost, 1987). Pada apel terjadi kimera periklinal pada warna buah akibat iradiasi 80 Gy (TilneyBasset, 1987). Induksi mutasi pada manggis dapat dilakukan pada biji atau pucuk pada bibit tanaman secara in vitro. Harahap (2005) telah melakukan iradiasi sinar gamma pada biji manggis yang ditanam pada media MS ½ N + 5 mg/l BAP. Hasil penelitian tersebut menunjukkan terjadinya perubahan bentuk morfologi daun meliputi helaian daun lonjong menjadi memanjang, ujung daun runcing menjadi meruncing dan terbelah, pangkal daun runcing menjadi tumpul, pinggir daun menjadi bergerigi. Perbedaan morfologi tersebut dibuktikan adanya perubahan anatomi daun, pola pita DNA dan isozim. Planlet manggis tersebut kemungkinan masih bersifat kimera, karena biji yang diiradiasi dalam bentuk jaringan multiselular. Cara mendapatkan mutan solid dari jaringan kimera dapat dilakukan dengan melakukan subkultur berulang. Namun pada planlet manggis sangat sulit melakukan subkultur berulang, karena planlet manggis muncul secara bergerombol membentuk tunas multipel dan
22
sulit dipisahkan, subkultur dengan memisahkan ruas batang sangat sulit, daya regenerasinya rendah sehingga kemungkinan berhasilnya rendah dan membutuhkan waktu yang lama. Mutan solid dapat diperoleh secara langsung,
jika bagian yang diiradiasi
berupa kalus, suspensi sel, embrio somatik atau protoplas (Maluszynski et al., 1995). Kelemahannya ialah bagian tersebut memiliki daya regenerasi yang rendah (van Harten, 1998). Oleh karena itu, daya regenerasi harus ditingkatkan dengan mencari protokol yang baku dengan modifikasi medium dan zat pengatur tumbuh yang digunakan. Selain bagian tersebut, mutan solid dapat diperoleh dari eksplan daun yang diiradiasi selanjutnya diregenerasikan menjadi tunas adventif, karena tunas adventif
berasal dari sel epidermis (Broertjes & van Harten, 1988). Skema
kerangka pemikiran penelitian induksi mutasi manggis in vitro tersaji dalam Gambar 1. Iradiasi γ mutan kimera
biji manggis/ pucuk in vitro
subkultur berulang pada manggis sulit dilakukan
kalus nodular kelemahan dari eksplan daun
mutan solid
kalus nodular teriradiasi
daya regenerasi rendah
Iradiasi γ peningkatan daya regenerasi
tunas adventif mutan solid Gambar 1. Skema kerangka pemikiran penelitian induksi mutasi manggis in vitro Untuk mendapatkan mutan solid manggis bagian tanaman yang diiradiasi harus berupa kalus, suspensi sel, atau embrio somatik. Oleh karena itu, pada penelitian ini dikembangkan tipe regenerasi manggis in vitro untuk mendapatkan mutan solid.
23
Ada beberapa opsi tipe regenerasi tanaman yang
dikembangkan dengan
urutan
prioritas sebagai berikut, yaitu : (1) embriogenesis somatik atau suspensi sel, (2) organogenesis tidak langsung (pembentukan tunas dari kalus nodular), (3) organogenesis langsung (pembentukan tunas dari daun) dan (4) perkecambahan biji. Namun dalam penelitian pendahuluan, regenerasi tanaman melalui embrio somatik atau suspensi sel tidak berhasil dikembangkan, hanya tiga tipe regenerasi tanaman yang berhasil dikembangkan, yaitu organogenesis tidak langsung, organogenesis langsung dan perkecambahan biji. Dibandingkan dua tipe regenerasi lain, organogenesis tidak langsung memberikan peluang lebih besar untuk mendapatkan mutan solid. Oleh karena itu, tipe regenerasi ini yang digunakan untuk penelitian induksi mutasi manggis in vitro. Perkecambahan biji dan organogenesis langsung dikembangkan hanya untuk mendukung organogenesis tidak langsung. Goh et al. (1994) menyatakan bahwa pembentukan tunas adventif manggis dapat berasal dari eksplan daun setelah ditanam pada medium WPM (Woody Plant Medium) + 22,2 µM BAP (Benzilaminopurin). Sedangkan Te-chato & Lim (2000) menyatakan bahwa induksi kalus nodular manggis in vitro setelah ditanam pada medium MS (Murashige & Skoog’s) yang dilengkapi 2,22 µM TDZ (thidiazuron) dan 2,25 µM BAP mencapai 34 %, sedangkan regenerasi tanaman dari kalus nodular tersebut pada medium WPM dengan konsentrasi 0,44 µM BAP setelah tiga minggu mencapai 8,39 %. Induksi mutasi pada tanaman dapat dilakukan dengan mutagen fisik seperti sinar X, sinar gamma, partikel beta dan neutron cepat. Namun mutagen fisik yang paling banyak digunakan pada tanaman adalah sinar gamma,
karena frekuens i
mutasinya tinggi dan mudah diaplikasikan dibandingkan mutagen fisik lainnya. Iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan perubahan pada tanaman dan meningkatkan keragaman genetik tanaman. Pada penelitian ini, kalus nodular akan diiradiasi
dengan
sinar
gamma
selanjutnya
kalus
nodular
tersebut
akan
diregenerasikan menjadi tunas. Untuk mendeteksi regeneran akibat iradiasi sinar gamma dapat diketahui melalui perubahan struktur anatomi daun, baik pada irisan paradermal maupun
24
transversal. Selain itu, deteksi mutan dilakukan untuk mengetahui pola pita DNA 22 regeneran mutan dan kontrol dengan analisis RAPD (Random Amplified Polymorphyc DNA) dan mengetahui keragaman genetik berdasarkan analisis dendogram.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian
secara umum adalah memperoleh mutan-mutan solid
manggis yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan perakaran yang baik. Sedangkan tujuan penelitian
secara khusus adalah (1) mengembangkan tipe
regenerasi tanaman manggis
in vitro meliputi : organogenesis tidak langsung,
organogenesis langsung dan perkecambahan biji untuk menunjang pemuliaan mutasi in vitro, (2) mengembangkan teknik induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma pada manggis in vitro untuk memperoleh mutan solid, (3) mempelajari perubahan struktur anatomi daun manggis in vitro akibat iradiasi sinar gamma, dan (4) mendeteksi mutan manggis in vitro berdasarkan analisis RAPD dan mengetahui keragaman genetik manggis akibat iradiasi sinar gamma.
Strategi Penelitian Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi penelitian yang ditempuh sebagai berikut: (1) Studi regenerasi tanaman manggis meliputi perkecambahan biji, organogenesis langsung dan tidak langsung. Protokol yang baku tentang organogenesis tidak langsung akan digunakan untuk induksi mutasi in vitro. (2) Induksi mutasi dengan sinar gamma pada kultur in vitro manggis. (3) Regeneran mutan manggis di deteksi perubahannya berdasarkan anatomi pada daun.
(4)
Analisis RAPD. Seleksi mutan berdasarkan sifat-sifat agronomis tidak dapat dilakukan mengingat keterbatasan waktu dalam penelitian disertasi ini (ditunjukan dalam garis terputus-putus). Skema penelitian pemuliaan induksi mutasi pada manggis in vitro disajikan pada Gambar 2.
25
Hibridisasi tidak mungkin dilakukan
Manggis (apomik obligat)
Keragaman ge netik sempit (≈ 0)
tipe regenerasi tanaman
Perkecambahan biji
Rekayasa genetik
Organogenesis langsung
Organogenesis tidak langsung
Induksi mutasi dengan sinar gamma
Keragaman genetik tanaman luas Marka RAPD Fenotipik/ morfologi
Anatomi/ histologi Identifikasi mutan putatif
Sifat2 Agronomis seleksi mutan putatif
Klon unggul
Gambar 2. Skema penelitian pemuliaan induksi mutasi pada manggis in vitro garis putus = tidak dilakukan
26
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian secara umum adalah untuk memperoleh mutan- mutan manggis yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan perakaran yang baik. Sedangkan manfaat penelitian secara khusus adalah: 1. Penelitian tentang studi regenerasi tanaman manggis in vitro akan diperoleh protokol baku yang dapat digunakan untuk menunjang program pemuliaan mutasi in vitro khususnya memperoleh mutan solid, transformasi genetik, variasi somaklonal, dan kriopreservasi atau perbanyakan tanaman secara cepat. 2. Teknik induksi mutasi sangat bermanfaat untuk mendapatkan mutan- mutan putatif yang memiliki pertumbuhan cepat dan meningkatkan keragaman genetik manggis. Teknik ini dapat digunakan khususnya tanaman manggis dan umumnya tanaman tahunan. 3. Studi anatomi daun sangat bermanfaat untuk mengetahui perubahan pada jaringan daun akibat iradiasi sinar gamma dan memberikan bukti tentang adanya perbedaan atau variasi dari regeneran yang diiradiasi sehingga dapat diidentifikasi sebagai mutan. 4. Analisis RAPD sangat bermanfaat untuk mendeteksi mutan- mutan putatif manggis dan mengetahui keragaman genetik manggis akibat iradiasi sinar gamma.
27
II. TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Manggis Laurent Garcin (1683 – 1751) memberi nama tanaman manggis adalah Garcinia mangostana L. (Yaacob & Tindall, 1995). Tanaman manggis kemungkinan berasal dari Peninsular Malaysia (Richard, 1990b). Tanaman ini menyebar ke timur sampai ke Papua Nugini dan kepulauan Mindanau (Filipina), sedangkan ke utara menyebar ke Thailand bagian selatan, Myanmar, Vietnam dan Kamboja (Verheij & Coronel, 1992). Dalam dua abad terakhir tanaman manggis menyebar ke Srilangka, India Selatan, Amerika Tengah, Brazil, dan Australia (Nakasone & Paul, 1998). Tanaman manggis mempunyai banyak kegunaan dan kandungan gizi yang tinggi. Buah manggis segar mengandung gula yang terdiri dari sakarosa, dekstrosa dan levulosa. Komposisi
buah manggis
per 100 g terdiri dari 79,2 g air, 0,5 g
protein, 19,8 g karbohidrat, 0,3 g serat, 11 mg kalsium, 17 mg fosfor, 0,9 mg besi, 14 IU vitamin A, 66 mg vitamin C (Verheij & Coronel, 1992), vitamin B (thiamin) 0,09 mg, vitamin B2 (riboflavin) 0,06 mg dan vitamin B5 (niacin) 0,1 mg (Chau kay-Ming 1990 dalam Yaacob & Tindall, 1995). Kebanyakan buah manggis dikonsumsi segar. Tanaman manggis mengeluarkan eksudat yang berupa getah/latek/resin kuning (Goh et al., 1990). Eksudat tersebut dikenal gamboge (gummosis) yang berguna anti infeksi (mikroba) bagi tanaman manggis. Selain itu, resin gumosis mengandung asam garsinolat dan asam gambogat yang digunakan sebagai bahan cat, untuk menurunkan tekanan darah dan memiliki aktivitas sebagai penginduksi apoptosis sel kanker (Yaacob & Tindall, 1995). Kulit buah manggis mengandung pektin, tanin, dan resin
yang bermanfaat untuk
menyamak kulit dan sebagai zat pewarna hitam. Kulit buah manggis mengandung senyawa
5 polyxygenated xanthonas termasuk mangostin 4, â-mangostin, non
mangostin dan gartanin yang berguna dalam kesehatan. Derivat mangostin berfungsi dapat menekan sistem syaraf pusat dan tekanan darah serta anti peradangan, sedangkan antosianin seperti cyanidin-3-sophoroside dan cyanidin-3- glucoside
28
dapat berperan pada pewarnaan kulit manggis (Yaacob & Tindall, 1995; Verheij, 1997). Famili Guttiferae memiliki sekitar 35 genera dan lebih dari 800 spesies berasal dari daerah tropika. Di antaranya terdapat sembilan genera dengan spesies yang berupa pohon buah-buahan. Lima genera dengan anggota sekitar 50 spesies dari famili Guttiferae berasal dari kawasan Asia Tenggara (Verheij & Coronel, 1992). Kromosom manggis berukuran kecil dan jumlahnya banyak, sehingga sulit untuk dihitung. Para peneliti belum mencapai kesepekatan tentang jumlah kromosom manggis. Ada pendapat yang mengatakan manggis merupakan tanaman poliploid (2n = 96) (Tixier,1955). Ada pendapat lain manggis merupakan tanaman alotetraploid (2n = 90) turunan dari G. malaccensis (2n = 42) dan G. hombroniana (2n = 48), karena
tanaman manggis mempunyai morfologi intermediet antara dua spesies
diploid tersebut (Richards, 1990c). Jumlah kromosom bervariasi, yaitu 56 - 76; 88 90; 120 – 130 (Nakasone & Paul, 1998). Tanaman manggis memiliki
pertumbuhan yang sangat lambat. Lambatnya
pertumbuhan manggis disebabkan oleh (a) sistem perakaran yang buruk dan mudah patah, sehingga (b) penyerapan air dan hara lambat, (c) rendahnya laju fotosintesis, karena rendahnya kapasitas daun menangkap CO2 (Downton et al., 1990), (d) rendahnya laju pembelahan sel pada meristem pucuk (Wieble et al., 1992 ; Ramlan et al., 1992; Verheij, 1997). Daun berhadapan dengan tangkai daun pendek, yaitu 1,5 – 2 cm. Helaian daun berbentuk bulat telur, bulat panjang atau elip dengan panjang 15 – 25 cm x lebar 7 – 13 cm mengkilap, tebal dan kaku, ujung daun meruncing (acuminate) dan licin (glabrous) (Verheij, 1997). Bunga manggis mempunyai organ betina saja, sedangkan organ jantan tidak berkembang dengan sempurna (rudimenter) (Richard, 1990c).
Bunga
manggis
tumbuh pada pucuk ranting muda. Diameternya berukuran 5–6 cm, pedikelnya pendek, tebal dan panjang 1,8 – 2 cm terletak pada dasar bunga dan mempunyai 4 sepal dan 4 petal dengan tangkai bunga pendek dan tebal berwarna merah kekuningkuningan. Bakal buah berjumlah 4-8 sesuai dengan banyaknya sel telur dan
29
dikelilingi oleh 4 petal merah bergaris.
Ke empat sepal tersebut besar, kuat dan
menyirip ganda (biseriate). Petal pada umumnya berukuran lebih besar, berbentuk bulat telur, tumpul dan berdaging, berwarna hijau kekuningan berukuran panjang 3 cm x lebar 2,5 cm. Benangsari tersusun dalam 1–3 kelompok dalam 1– 2 seri, membentuk cincin di sekitar dasar ovari, ovari melekat pada dasar bunga (sessile) dengan 4 – 8 ruang. Stigmanya menonjol dan tebal, melekat dan terbentuk dengan jumlah yang sama dengan jumlah ruang dalam ovari. Bunga manggis membuka pada sore hari dan tidak tahan lama, kemudian petal segera mengering dan jatuh dari bunga (Yaacob & Tindall, 1995). Pada bunga
manggis tidak pernah dijumpai serbuk sari yang viabel atau
hampa. Pada kepala sari yang masih muda, sel-sel induk mikrospora terbentuk dengan baik, tetapi pada saat pembelahan meiosis, sel-sel
tersebut mengalami
degenerasi yang diawali oleh nuk leus dan sitoplasmanya (Lim, 1984). Dasar ovari dikelilingi oleh 14 – 16 tangkai sari, pistil reseptik terjadi antara pukul 4 – 6 sore hari. Petal gugur setelah 24 jam sedangkan sepal tetap sampai buah rusak. Primordia ovul berkembang dari plasenta, integumen bagian dalam mengalami diferensiasi yang diikuti bagian luar, sel-sel nuklear membentuk sel arkesporial yang berfungsi sebagai sel-sel induk megaspora selanjutnya membentuk kantong embrio (Yaacob & Tindall, 1995). Di Negeri Sembilan, Malaysia telah ditemukan pohon jantan manggis yang berumur ± 70 tahun dengan tinggi 25 m. Posisi bunga di terminal, ukuran bunga jantan lebih kecil (5 cm) dibandingkan bunga betina pohon betina manggis. Ukuran filamen sangat pendek 0,5 mm, dan terdapat serbuk sari berdiameter 36 µm. Ovari tidak berkembang (rudimenter) berwarna merah kekuningan dan berukuran kecil panjangnya 3 mm dan lebarnya 5 mm, dan tidak terdapat cuping. Bunga betina cepat mengering dan beberapa hari selanjutnya jatuh. Pada pohon jantan manggis tidak ditemukan pembentukan buah (Idris & Rukayah, 1988). Sebelumnya, pohon jantan manggis pernah ditemukan di Indocina (Corner, 1952). Buah manggis dihasilkan secara partenogenesis (tanpa penyerbukan).
Buah
berbentuk bundar, berdaging lunak saat hampir masak, pipih pada bagian dasarnya di
30
bawahnya terdapat sepal yang tebal dan rongga-rongga stigma, sisa rongga stigma tetap tinggal pada ujung buahnya (Yaacob & Tindall, 1995). Biji manggis merupakan biji apomik yang terbentuk dari sel nuselus pada buah partenokarpi (Almeyda & Martin, 1976). Pada embrio manggis tidak nampak jelas lokasi plumula dan radikelnya. Akan tetapi embrio muncul di permukaan biji. Berat biji bervariasi antara 0,1 – 2,2 g dengan rata-rata 1,0 – 1,6 g (Yaacob & Tindall 1995). Tanaman Manggis biasanya diperbanyak dengan biji yang bersifat rekalsitran (Goh et al., 1990). Jumlah biji per buah sangat terbatas biasanya satu atau dua (Almeyda & Martin, 1976; Yaacob & Tindall 1995).
Keragaman pada Manggis Tanaman manggis berasal dari biji apomiksis atau obligat agamosperm. Biji bukan berasal dari hasil penyerbukan dan pembuahan (Richard, 1990a), tetapi berasal dari sel nuselus. Embrio yang muncul berasal dari embrio somatik, sehingga dapat dikatakan bahwa perbanyakan tanaman manggis merupakan perbanyakan vegetatif. Secara genetik tanaman manggis bersifat homogen, sehingga sulit untuk menyeleksi kultivar yang superior karena keragaman genetiknya sempit (tidak ada). Karakterisasi buah manggis dari enam lokasi yang berbeda di Peninsula r Malaysia menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar pohon berdasarkan sembilan karakter buah yang diteliti (Zin, 1991). Di Jawa terdapat variasi rasa buah manggis dan ukuran buah lebih besar dibandingkan yang ada di Filipina. Di Nikaragua terdapat dua tipe manggis yang berbeda, yaitu berdaun besar dengan ukuran buah bervariasi dan berdaun kecil dengan ukuran buah kecil (Cox, 1976). Manggis Jolo lebih besar dan mempunyai kulit buah yang lebih tebal dari pada manggis di Singapura dan Saigon, daging buahnya lebih tebal dan masam dari pada buah di Semenanjung Malaya dan Jawa (Wester,1926).
Manggis di kepulauan Sulu
mempunyai kulit buah tebal dan rasa buah masam (Richard, 1990b). Tanaman manggis di Sumatera Barat menunjukkan keragaman pada beberapa karakter kualitatif, seperti bentuk kanopi. Diduga karakter kualitatif tidak dipengaruhi oleh
31
faktor lingkungan, karena kedua bentuk kanopi oval dan kerucut terdapat di semua lokasi. (Mansyah et al.,1992). Hasil analisis isozim keragaman pohon manggis dari sentra produksi di Jawa yang meliputi Kaligesing (Purworejo), Dampit (Malang), Cipaku (Bogor), Cikalong (Cianjur) dan Lombok yang meliputi Narmada dan Lingsar menunjukkan bahwa enzim esterase dan acid fosfatase tidak menunjukkan keragaman polimorfik, sedangkan enzim peroksidase menunjukkan keragaman polimorfik (Supriyanto et al., 1999). Hasil studi keragaman genetik manggis dengan marka RAPD dan fenotipik dari sentra produksi di Jawa yang meliputi Wanayasa (Purwakarta), Leuwiliang (Bogor), Cantayan (Sukabumi), Kaligesing (Purworejo), Watulimo (Trenggalek) dan Sumatera Barat yang meliputi Balai Baru (Padang), Padang Laweh dan Subarang Sukam menunjukkan bahwa tanaman manggis bervariasi secara fenotipik dan genetik. Variasi fenotipik yang spesifik terlihat pada kanopi tanaman dan bentuk buah, bentuk kanopi terdiri atas oblong dan piramid, dan bentuk buah dapat dibagi atas tiga jenis yaitu bentuk bulat dengan dasar buah agak lonjong dan cupat menonjol, buah bulat dengan cupat datar, dan buah agak gepeng dengan cupat datar.
Variasi genetik
dijumpai pada tanaman induk dari berbagai lokasi maupun antar tanaman induk dan keturunannya. Untuk pohon induk yang mewakili populasi tanaman dari berbagai lokasi variasi genetiknya sebesar 56.6 % (Mansyah, 2002). Di Australia, tedapat variasi genetik (60-70 %) di antara 37 aksesi pohon manggis berdasarkan analisis RAPD (Ramage et al., 2004).
Apomiksis pada Manggis Siklus hidup tanaman secara normal merupakan proses reproduksi seksual dimana jaringan sporofit mengalami proses pembelahan meiosis menghasilkan gametofit dengan melalui proses fertilisasi menghasilkan zigot dan selanjutnya membentuk embrio (Gambar 2A). Sedangkan apomiksis
merupakan proses
reproduksi aseksual dimana dalam pembentukan embrio jumlah kromosom tidak
32
mengalami reduksi (den Nijs & van Dijk, 1993). Jumlah kromosom yang tidak mengalami reduksi dapat berasal dari sel somatik dalam ovul yang berkembang menjadi embrio tanpa penggabungan inti telur dan sperma (Ramulu et al., 1995). Keturunan tanama n manggis bersifat uniform dan identik dengan tanaman induknya (Horn, 1940; Nakasone & Paul, 1998)). Apomiksis dapat dikategorikan menjadi fakultatif dan obligat (den Nijs & van Dijk, 1993). Apomiksis fakultatif
adalah bentuk apomiksis dimana
proses
fertilisasi juga dijumpai, seperti pada spesies jeruk, proses fertilisasi dan apomiksis terjadi secara bersamaan dalam ovul yang sama (Koltunow, 1993). fakultatif
mempunyai tendensi
Apomiksis
seksualitas rendah bahkan mendekati apomiksis
obligat (den Nijs & van Dijk, 1993). Apomiksis obligat adalah bentuk apomiksis keseluruhan dimana biji terbentuk tanpa proses fertilisasi, seperti manggis (Richard, 1990a). Mekanisme apomiksis dapat dibedakan menjadi tiga kelompok (den Nijs & van Dijk, 1993), yaitu : 1.
Diplospori adalah berkembangnya kantong embrio non-reduksi dari sel arkespora (kantong embrio sel induk megaspora) melalui pencegahan atau restitusi meiosis, sel telur membentuk embrio melalui proses partenogenesis atau sel lain dari kantong embrio membelah dan berkembang menjadi embrio melalui proses apogameti (Gambar 3B).
2. Apospori
adalah berkembangnya kantong embrio non-reduksi dari sel
somatik nuselus atau integumen daripada sel induk kantong embrio (Gambar 3B). 3. Nuselar embrioni adalah embrio berkembang langsung dari jaringan nuselus sporofitik tanpa pembentukan gametofit terlebih dahulu (Gambar 3C). Apomiksis obligat memiliki ciri-ciri sebagai berikut yaitu: 1) pembentukan biji tanpa pembuahan, 2). perkembangan embrio telalu cepat, yaitu sebelum antesis, 3). Pembentukan proembrio dari nuselar atau jaringan integumen dan 4). Satu biji menghasilkan lebih dari satu bibit (poliembrioni), 5). jarang sekali atau tidak ditemukan kelamin jantan (Richard, 1990a).
33
A. Siklus hidup tanaman normal Meiosis Sporofit (2n)
Fertilisasi Spora (n)
Gametofit (n)
Zigot (2n)
Embrio
B. Apomiksis gametofit Dipl ospori
Kantong embrio Sel induk (2n)
Sporofit (2n)
Sel telur (2n)
Diploid partenogenesis Embrio (2n)
Gametofit (2n) Apospori
Apogameti
Sel somatik ovul (2n)
Selain sel telur (2n)
C. Nuselar embrioni Sporofit (2n)
Sel somatik ovul (2n)
Embrio (2n)
Gambar 3. Perbandingan siklus hidup tanaman normal (A); apomiksis gametofit (B); dan nuselar embrioni (C). (Sumber: den Nijs & van Dijk, 1993) Mekanisme reproduksi apomiksis pada manggis termasuk ke dalam nuselar embrioni, perkembangan endosperm bersifat autonomous (tanpa adanya fertilisasi) dari primary endosperm nucleus (Richard, 1990a), perkembangan
proembrio
adventif dari integumen bagian luar pada endosperm dewasa tanpa adanya stimulasi dari perkembangan seksual (Lim, 1984). Sebagian besar spesies apomiktik adalah poliploid, kecuali pada genus citrus dan beberapa spesies Potentilla. Beberapa kerabat seksual spesies apomiktik bersifat self incompatibility. Analisis keturunan pada persilangan antara apomiksis dan bentuk seksual menunjukkan bahwa kemampuan untuk reproduksi ditentukan secara genetik. Sebagai contoh nuselar embrioni pada jeruk dikontrol oleh lokus tunggal dominan Selain faktor genetik, apomiksis juga distimulasi oleh faktor lingkungan dan nutrisi (Koltunow, 1993).
34
Kultur Jaringan pada Manggis Sistem regenerasi tanaman yang efesien sangat diperlukan untuk menunjang program pemuliaan tanaman melalui kultur in vitro seperti rekayasa genetik, variasi somaklonal, dan induksi mutasi (Litz & Gray, 1992). Ada beberapa metode organogenesis),
organogensis
regenerasi, yaitu organogenesis langung (direct tidak
langsung
(indirect
organogenesis)
dan
embriogenesis somatik (somatic embryogenesis). Pada kultur in vitro kesesuaian media dan pemilihan eksplan merupakan hal penting untuk menghasilkan planlet (Hartmann et al., 1997). Pada manggis, embrio kemungkinan terdapat di sepanjang permukaan biji (Yaccob & Tindall, 1995), sehingga biji bersifat poliembrioni (Richards, 1990a). Tunas adventif dapat diperoleh dari segmen kotiledon yang ditanam pada medium MS yang dilengkapi dengan konsentrasi 5,0 mg l-1 BAP (Goh et al., 1988). Organogenesis langsung adalah proses pembentukan tunas adventif langsung dari eksplan. Tunas adventif yang dihasilkan berstruktur unipolar dan jaringan tersebut masih terkait dengan jaringan asalnya (Tisseret, 1994). Organogenesis in vitro tergantung pada fitohormon eksogen, seperti auksin dan sitokinin dan juga kemampuan jaringan merespon fitohormon selama kultur (Sugiyama, 1999). Pada beberapa spesies tanaman, tunas adventif diinduksi dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi dibandingkan auksin (Phillips et al., 1995; Sugiyama, 1999). Pada manggis, pembentukan tunas adventif berasal dari eksplan daun yang ditanam pada medium WPM (Woody Plant Medium) dengan konsentrasi 5,0 mg l-1 BAP (Goh et al., 1994). Planlet manggis telah didapatkan dengan menggunakan biji sebagai eksplannya (Goh et al., 1988), daun muda dari bibit dan pohon dewasa (Goh et al., 1990), daun muda dari kultur in vitro (Te-chato & Lim, 2000). Organogenesis tidak langsung adalah proses pembentukan tunas adventif melalui pembentukan kalus terlebih dahulu. Tunas adventif atau embrio somatik dapat dibentuk dari kalus jika konsentrasi zat pengatur tumbuh khususnya auksin rendah. Kalus dapat diperoleh dari beberapa spesies tanaman, akan tetapi tidak semua kalus dari spesies tanaman dapat diregenerasikan menjadi planlet tergantung dari sifat
35
totipotensinya (Yeoman, 1986). Pada ekplan yang ditransfer ke dalam media dengan konsentrasi auksin yang tinggi, seperti 2,4-D kalus akan menjadi friable (remah) dan berproliferasi lebih cepat. Pertumbuhan kalus friable yang ditempatkan pada media cair dan digojok akan membentuk suspensi sel (Yeoman, 1986). Ketika suspensi sel ditransfer ke media dengan konsentrasi auksin yang lebih rendah, maka struktur meristem akan membentuk struktur bipolar embrio somatik (Reinar et al., 1977 cit Yeoman, 1986). Pada manggis, induksi kalus nodular manggis berasal dari eksplan daun muda dari kultur in vitro yang ditanam pada medium Murashige & Skoog (MS) yang dilengkapi 2,22 µM thidiazuron (TDZ) dan 2,25 µM Benzyladenin (BA) setelah tiga minggu menghasilkan 34 %,
sedangkan regenerasi
tanaman
dari nodul kalus
dilakukan pada WPM dengan konsentrasi 0,44 µM BA setelah tiga minggu menghasilkan rata-rata 8,39 tunas (Te-chato & Lim, 2000). Pada tanaman berkayu, penggunaan TDZ dapat menginduksi kalus dan regenerasi tanaman. Penggunaan TDZ yang lebih kecil dari 1µM dapat merangsang pembentukan kalus,
tunas
adventif, atau embrio somatik (Fiola et al., 1990). TDZ adalah derivat diphenilurea yang terbukti dapat meningkatkan biosintesis dan akumulasi sitokinin endogen kelompok purin dalam kultur jaringan (Massimo et al., 1995). Embriogenesis somatik merupakan pembentukan embrio dari sel somatik (Tisseret, 1994). Pola pembentukan embriogenesis somatik ada dua macam, yaitu embriogenesis langs ung
yaitu pembentukan embrio langsung dari eksplan,
sedangkan embriogenesis tidak langsung yaitu pembantukan embrio harus melalui proliferasi kalus terlebih dahulu (Sharf, 1985). Embrio somatik berasal dari proembrionic masses (PEM) yang berasal dari individu sel,
karena itu embrio
somatik diasumsikan berasal dari individu sel (Litz & Gray, 1992) dan memiliki struktur bipolar yang akan membentuk tunas dan akar (Phillips et al., 1995). Sel somatik terbentuk biasanya terpisah dari jaringan asalnya (Tisseret, 1994). Embrio somatik sangat penting untuk memperoleh tanaman transgenik atau mutan non
36
kimera (Litz & Gray, 1992). Pada embriogenesis somatik, embrio berkembang melalui beberapa tahap, yaitu globular, hati, torpedo, kotiledonari dan maturasi (Phillips et al., 1995). Kalus embriogenik dapat dinduksi dengan adanya 2,4-D pada basal medium (Phillips et al., 1995). Pada Linum usitatissimum, kalus embriogenik dapat diinduksi dengan 2,24 – 18,10 µM 2,4-D atau 2,85-28,54 µM IAA (Tejavathi et al., 2000); Chepaelis apecacuantia 0,5 mg l- 1 kinetin dan 4,0 mg l- 1 2,4-D (Rout et al., 2000); Prunus cerasus kombinasi 2,4-D dan kinetin (Tang et al., 2000); Anacardium occidentale 6,78 µM 2,4-D (Ananthakrishnan et al., 1999).
Dalam
beberapa kasus, konsentrasi thidiazuron lebih besar dari 1 µM dapat merangsang pembentukan kalus, tunas adventif dan embrio somatik (Huettemen & Preece, 1993). Pada manggis, induksi kalus dapat dilakukan pada medium MS dengan konsentrasi 2,22 µM TDZ dan 2,25 µM BA (Te-chato & Lim, 2000).
Induksi Mutasi In vitro Keberhasilan program pemuliaan mutasi sangat tergantung pemilihan mutagen (fisik atau kimia), metode aplikasi (akut atau kronik), dosis yang optimum, tahap perkembangan fisiologi materi tanaman (dorman atau pertumbuhan), bagian tanaman atau jaringan yang diperlukan (mata tunas, setek, jaringan, nuselus, zigot atau embrio) dan teknik penanganan materi yang diradiasi dan seleksi pada generasi selanjutnya (Donini et al., 1990). Mutagen dapat dikelompokan menjadi mutagen fisik dan kimia. Mutagen fisik yang sering digunakan adalah sinar ultraviolet dan beberapa tipe radiasi pengion, seperti sinar X, sinar gamma, partikel alfa, partikel beta, proton dan neutron (Briggs & Constantin, 1977). Masing- masing mutagen fisik mempunya i ionisasi
yang
berbeda. Mutagen fisik yang sering digunakan adalah sinar gamma yang mempunyai panjang gelombang pendek (10 – 0,01 nm). Sumber utama sinar gamma adalah isotop Cobalt-60 (60 Co) dan Caesium-137 (137 Cs).
Fasilitas sinar gamma dapat
berasal dari gamma cell yang ditempatkan dalam ruangan biasanya untuk sampel
37
yang kecil, sedangkan gamma field ditempatkan dalam rumah kaca biasanya yang diiradiasi adalah seluruh bagian tanaman dan dalam jumlah besar. Pembuatan Cobalt-60 dilakukan dalam reaktor atau dengan menembak Co-59 yang diperoleh dari alam dengan berkas-berkas neutron. 59
27
Co
+
1
60
n
0
Co
27
Energi sinar gamma yang dikeluarkan Cobalt-60 cukup besar, yaitu 1,17 MeV yang dihasilkan dari proses peluruhan beta Cobalt-60 menjadi isotop Ni-60 (Briggs & Constantin, 1977). 60
27
Co
60
Ni + â- +
27
ã
Sedangkan radioisotop Cs-137 merupakan salah satu radioisotop hasil samping reaksi fisi nuklir dalam sebuah reaksi atom. Radioisotop Cs-137 meluruh menjadi Ba-137 dengan sinar gamma yang berenergi 0,66 MeV (Briggs & Constantin, 1977). 137
Cs
55
137
Ba + â- + ã
56
Penggunaan mutagen fisik sangat dianjurkan karena mudah diaplikasikan, penetrasi dan reprodusibilitas tinggi dan frekuensinya tinggi (Boertjes & van Harten, 1988), sedangkan mutagen kimia penetrasinya sangat rendah dan bersifat toksik (Briggs & Constantin, 1977; Poehlman & Sleper, 1995). Pada umumnya bagian tanaman yang dapat mutasi adalah biji atau tepung sari, sedangkan untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif yang dimutasi adalah umbi, stek, stolon, dan rimpang Mutagen fisik (iradiasi) dan kimia dapat digunakan pada semua bahan tanaman (Micke & Donini, 1993). Keberhasilan induksi mutasi pada tanama n sangat tergantung pada genotipe yang digunakan, bagian tanaman yang diiradiasi dan dosis iradiasi sinar gamma yang diaplikasikan. Iradiasi akut untuk mutagenesis dengan sinar gamma atau sinar X menggunakan kisaran dosis 2 – 20 Gy/jam (Broertjes & van Harten , 1988). Berbagai dosis yang dianjurkan pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif atau tahunan terdapat pada Tabel 2.
38
Tabel 2. Berbagai dosis dan mutagen yang digunakan pada beberapa tanaman tahunan atau yang diperbanyak secara vegetatif Spesies Tanaman Chrysanthemum Begonia Malus pumila Prunus cerasus Prunus avium Citrus sinensis Vitis vinifera Musa spp Sacharum sp Pyrus communis Mangifera indica
Materi/Eksplan
Referensi
Bagian pedicel (in vitro) Bagian daun (in vitro) Grafting dorman Tunas pucuk dorman Tunas dorman
Rekomendasi Perlakuan Mutagen Dosis Sinar X 8 Gy Sinar X 15– 20 Gy Sinar gamma 60– 70 Gy Sinar gamma 25– 50 Gy Sinar gamma 20– 50 Gy
Tunas dorman Sel induk tepung sari Kalus bakal biji (in vitro) Tunas dorman Tunas dorman Pucuk batang (in vitro) Bakal tunas tunggal Tunas dorman Tunas
Sinar gamma Sinar X Sinar gamma Sinar gamma Sinar X Sinar gamma Sinar gamma Sinar gamma Sinar gamma
Micke&Donini, 1993 Micke&Donini, 1993 Micke&Donini, 1993 Micke&Donini, 1993
35– 45 Gy 8 Gy 80– 16 Gy 25– 35 Gy 25– 35 Gy 10-25 Gy 10-25 Gy 50-70 Gy 10-50 Gy
Micke&Donini, 1993 Micke&Donini, 1993
Broertjes & Harten , 1988 Broertjes & Harten , 1988
van van
Broertjes & van Harten , 1988 Micke&Donini, 1993 Micke&Donini, 1993
Broertjes & Van Harten , 1988
Sumber : Micke & Donini (1993) :Broertjes & van Harten (1988) (dimodifikasi)
Sensitivitas bahan tanaman setelah iradiasi akut pada setiap spesies tanaman berbeda-beda baik dalam kondisi in vivo maupun in vitro. Biasanya untuk masingmasing varietas dipilih dua dosis untuk eksperimen, yaitu dosis sedang yang menghasilkan reduksi atau proliferasi lebih kurang 40 % dan dosis tinggi yang menghambat 60 % (Donini et al., 1990). Mutan solid diperoleh bila embrio zigotik atau jaringan nuselar diiradiasi sebelum pembentukan embrio seperti pada jeruk (Donini et al., 1990). Pada mutan solid, mutasi terjadi pada satu tingkat sel, sedangkan pada jaringan meristem apikal biasanya mutasi terjadi pada sejumlah sel seperti epidermis (L1 ), sub-epidermis (L2 ) dan sel-sel lainnya (L3 ). Apabila jaringan multiseluler dilakukan perlakuan iradiasi kemungkinan akan menghasilkan mutan kimera. Kimera adalah jaringan tanaman yang mengandung sel-sel yang
mengalami mutasi dan sel-sel normal sehingga
memiliki konstitusi genetik yang berbeda (Broertjes, 1977). Mutan kimera memiliki sifat yang tidak stabil dan tidak dapat Berbeda dengan
mutan
solid,
diwariskan pada
generasi selanjutnya.
semua lapisan sel mengalami mutasi yang
menyebabkan individu tersebut secara genetik seragam. Klon mutan yang dihasilkan
39
dari tunas adventif biasanya bersifat non kimera, karena dihasilkan dari satu sel, yaitu sel epidermis (George, 1993). Perlakuan iradiasi
meristem apikal dapat terjadi di lapisan bagian luar saja
atau lapisan bagian dalam saja atau keduanya. Kimera meriklinal atau sektoral dapat diisolasi dari jaringan yang termutasi. Selanjutnya jaringan tersebut menjadi periklinal yang diperoleh dari generasi M1 V2 atau M1 V3 dari pertumbuhan tunas M1 V1 melalui perbanyakan tunas aksilar (Donini et al.,1990). Pada umumnya konstitusi genetik tanaman buah-buahan dan tanaman lain yang diperbanyak secara vegetatif bersifat heterosigos (Libby, 1987). Hal ini merupakan suatu keuntungan dalam efesiensi program pemuliaan mutasi, jika terjadi perubahan genetik suatu karakter yang diharapkan akibat mutasi maka dapat dipelihara dan diperbanyak secara vegetatif. Seleksi induksi mutasi pada tanaman yang membiak vegetatif atau apomiksis sangat berbeda dengan tanaman yang diregenerasikan melalui biji. Tanaman membiak vegetatif, mutasi dapat terjadi pada sel-sel somatik yang hanya memungkinkan terjadinya pewarisan somatik (Micke & Donini, 1993), sedangkan tanaman yang dibiakan dengan biji, jaringan yang termutasi dapat diwariskan secara meiosis ke generasi selanjutnya. Kimera sektoral yang mungkin terjadi akibat iradiasi pada tanaman yang membiak secara vegetatif harus dapat dihilangkan. Pada kondisi in vivo mengisolasi mutan dari kimera sektoral akibat iradiasi
sangat sulit dan
membutuhkan waktu yang lama (Maluszynski et al., 1995), sedangkan kondisi in vitro mengisolasi mutan dari kimera dapat dilakukan dengan mudah dan membutuhkan waktu yang cepat. Teknik kultur jaringan atau kultur sel dapat dimanfaatkan untuk pemuliaan mutasi, yaitu untuk mengisolasi jaringan mutan dan diperoleh mutan solid dengan cepat. Teknik kultur jaringan atau kultur in vitro
selain dapat digunakan untuk
perbanyakan tanaman secara cepat dan tanaman bebas virus, juga dapat menciptakan dan meningkatkan keragaman genetik melalui variasi somaklonal dan induksi mutasi (Broertjes & van Harten, 1988). Pada beberapa tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, penggunaan induksi mutasi dengan kultur in vitro sangat efektif dalam
40
mengurangi pembentukan kimera dan
mempercepat seleksi
karakter yang
diharapkan (Maluszynski et al., 1995). Mutagenesis in vitro dengan menggunakan shoot tip sebagai eksplan kemudian
dilakukan multiplikasi melalui tunas aksilar
dapat mengurangi pembentukan kimera dan mendapatkan mutan solid dengan cepat, seperti dilakukan pada apel, cherry dan kentang. Teknik kultur in vitro, seperti kultur kalus, suspensi sel, adventitious bud, proliferasi tunas aksilar dapat dikombinasikan dengan teknik induksi mutasi baik dengan menggunakan mutagen fisik atau kimia akan menghasilkan mutan stabil (Donini et al., 1990). menjadi
Teknik in vitro dapat memisahkan dari jaringan kimera
jaringan yang utuh dengan melakukan multiplikasi dua atau tiga kali
(Donini et al., 1990). Apabila kalus atau embriogenesis diiradiasi kemungkinan besar dapat menghasilkan mutan solid karena kultur kalus atau embriogenesis somatik berasal dari satu sel (Maluszynski et al., 1995). Mutan solid dapat diperoleh secara langsung, jika bagian yang diiradiasi adalah kalus, suspensi sel, embrio somatik
atau protoplas, akan tetapi kelemahannya
memiliki daya regenerasi yang rendah (van Harten, 1998). Untuk mendapatkan mutan
solid dari jaringan kimera dapat dilakukan dengan mengisolasi jaringan
kimera tersebut yang kemudian menumbuhkannya melalui kultur sel tunggal ataupun kultur protoplas (Wattimena dkk., 1992). Menurut Broertjes & van Harten (1988), ada beberapa keuntungan penggunaan mutan solid, yaitu : (1) seleksi lebih cepat dan mudah dilakukan, (2) mutan lebih stabil, (3) mutan dapat diperbanyak secara vegetatif, (4) mutan dapat digunakan dalam program pemuliaan konvensional. Bahan yang sering digunakan di dalam teknik radiasi secara in vitro adalah berupa tunas, mata tunas ataupun pucuk. Dalam keadaan tertentu juga menggunakan kalus yaitu merupakan sekelompok sel yang belum mengalami diferensiasi. Penggunaan kalus di dalam teknik kultur jaringan pada saat sekarang masih ditemui kesulitan dalam meregenerasikan menjadi tanaman lengkap, namun dilaporkan bahwa penggunaan kalus tersebut dapat meningkatkan keragaman somaklonal (van Harten, 1998).
41
Bagian tanaman yang diperbanyak secara vegetatif kemudian diiradiasi dengan sinar gamma maka tanaman disebut generasi MVo , sedangkan tanaman yang berasal dari bagian tanaman yang diiradiasi disebut generasi MV1 . Pengaruh iradiasi sinar gamma pada tanaman generasi MV1 ada empat macam, yaitu : (1) kematian tanaman, (2) pertumbuhan terhambat, (3) perkembangan morfologi yang abnormal dan (4) perubahan genetik (Chaudhari, 1971). Kerusakan fisiologis tanaman yang rendah dan perubahan genetik yang kuat sangat diharapkan dalam program pemuliaan (Gaul. 1977). Gejala-gejala kerusakan fisiologis sangat tergantung pada dosis iradiasi yang diberikan dan kepekaan atau radiosensitivitas dari materi yang diberikan selama perlakuan iradiasi. Bila dibandingkan dengan metode pemuliaan mutasi in vivo, metode in vitro waktu yang diperlukan dari eksplan yang diberi perlakuan mutagen sampai pelepasan klon mutan relatif lebih cepat. Pada tahun pertama diperoleh keseragaman genetik di antara tanaman mutan, sedangkan tahun kedua sampai ketujuh uji kestabilan genetik tanaman termutasi dan tahun kedelapan dapat melepas klon mutan.
Keuntungan
metode in vitro, isolasi jaringan termutasi akan lebih mudah dilakukan dengan cara multiplikasi (Donini et al., 1990). Mekanisme Mutasi pada Tanaman Informasi genetik disimpan dalam bentuk rantai polinukleotida yang berstruktur double helik DNA. Ada empat basa nukleotida yang terdiri dari kelompok purin meliputi adenin (A) dan guanin (G), dan kelompok pirimidin meliputi timin (T) dan sitosin (C). Basa nukleotida terikat oleh grup fosfat dan gula deoksiribosa DNA. Dalam kondisi normal timin berpasangan dengan adenin dan guanin berpasangan dengan sitosin (van Harten, 1998). Gutafsson & Ekberg (1977) menyatakan perubahan genetik akibat mutasi baik spontan maupun induksi dapat dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu: 1. Mutasi genom, yaitu perubahan (penambahan atau pengurangan) dalam set kromosom.
42
2. Mutasi gen, yaitu perubahan yang terjadi pada satu atau lebih basa nukleotida. Mutasi gen dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu : a. Mikrolesi, yaitu perubahan pasang basa dalam bentuk subtitusi (transisi atau transversi), frame shift mutasi (insersi atau delesi pasang basa). Transisi adalah pertukaran satu basa purin/pirimidin ke satu basa purin/pirimidin lain. Ada empat kombinasi pertukaran basa pada transisi, yaitu AT→GC, GC→AT, TA →CG, dan CG→TA. Transversi adalah pertukaran dari basa purin ke basa pirimidin atau sebaliknya. Ada empat kombinasi pertukaran basa pada transversi, yaitu AT →TA, AT→CG, GC→CG, dan GC→TA Mikrolesi umumnya disebut mutasi titik (point mutation). b. Makrolesi, yaitu perubahan pasang basa dalam jumlah besar (> dua pasang basa), seperti delesi, duplikasi dan rearrangement. Makrolesi dapat berpengaruh terhadap dua atau lebih sistron. 3.
Mutasi kromosom, yaitu perubahan struktur atau aberasi kromosom. Mutasi kromosom dapat dikelompokkan menjadi empat: a. Defesiensi (delesi), yaitu hilangnya segmen kromosom. b. Translokasi, yaitu patahnya dua kromosom secara bersamaan dalam inti, patahan segmen kromosom bergabung dengan kromosom yang lain. c. Duplikasi, yaitu penambahan segmen kromosom pada kromosom yang normal. d. Inversi, yaitu segmen kromosom mengalami patah, kemudian segmen kromosom mengalami posisi terbalik (rotasi 180o ). 4. Mutasi di luar inti, yaitu perubahan organel-organel, seperti plastida, mitokondria dan lain- lain. Proses ionisasi dari iradiasi gamma dapat menyebabkan basa nukleotida salah
berpasangan (transisi atau transversi), aberasi kromosom atau mutasi di luar inti. Sedangkan penggunaan mutagen kimia biasanya hanya terjadi perubahan satu pasang basa nukleotida (Gustafsson & Ekberg, 1977).
43
Pada tanaman buah-buahan telah berhasil dikembangkan varietas komersial akibat mutasi spontan atau induksi, seperti apel, pear, peac,
ceri, apricot, black
current, pisang (Tabel 3). Tabel 3. Varietas/klon komersial tanaman buah-buahan yang dihasilkan mutasi dan karaketer yang diperbaiki Varietas/klon Apel (Malus pumila) McIntosh 8F2.32
Perlakuan
Karakter yang diperbaiki
mata tunas 5 Krad sinar γ
Blackjon BA2520
mata tunas 5 krad sinar γ mata tunas EMS 1 %
Warna buah baik, tahan terhadap Podosphaera leucotricha & Venturia inaequalis Warna buah menjadi merah
Belrene Ceri (Prunus avium) Compact Lambert Stella Compact Blenheim
mata tunas 4 krad sinar X Lambert x John Innes 2420 (mutan sinar X) mata tunas neutron cepat
Apricot (Prunus armeniaca) Early Blenheim mata tunas neutron thermal
Peac (Prunus persica) Magnif 135
Pisang (Musa spp) Gros Michel
Black current Westra Pear (Pyrus communis) Max red Bartlett
Waktu pemasakan lebih cepat, buah lebih besar pertumbuhan kompak dan lebat, bentuk pendek, kualitas buah baik, self fertil dan rasa manis matang lebih cepat, ukuran buah lebih besar, lebih cepat berbuah
Buah masak lebih cepat 1 minggu, berbuah tiap tahun, ukuran buah besar, tepung sari self incompatibility
Iradiasi kronik sinar ukuran lebih besar dengan warna gamma 10-60/hari merah, pematangan buah lebih cepat 7 hari rimpang, 2,5 – 40 tahan terhadap krad sinar gamma oxysporium dan musae 1,5 krad sinar X
tumbuh lebih dekat
bakal tunas dorman 3-5 krad sinar gamma
warna buah merah
Sumber : Broertjes & van Harten (1988)
44
Fusarium Cercospora
Deteksi Mutan dengan Analisis RAPD Keragaman genetik tanaman yang terjadi akibat induksi mutasi dapat diamati langsung secara fenotipik/morfologi tanaman, jaringan tanaman, biokimia (protein, atau isozim), analisis sitologi/histologi atau tidak langsung dengan marka molekuler (DNA) (Brar, 2002). Penggunaan karakter morfologi dalam analisis keragaman genetik tanaman mempunyai kelemahan terutama dalam hal konsistensi hasil karena penampakan karakter morfologi mungkin berubah setelah tanaman mencapai fase pertumbuhan tertentu. Pada tanaman tahunan perubahan morfologi itu membutuhkan waktu lama dan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan mempunyai efek pleiotropi (Brar, 2002) dan epistasis (George & Sadasivam, 1997).
Marka sitologi jarang sekali
digunakan karena sulit untuk mengamati perbedaan kromosom, terutama untuk tanaman yang ukuran kromosomnya kecil dan jumlahnya banyak. Marka isozim digunakan untuk menganalisis keragaman genetik
karena
relatif cepat, mudah
digunakan, dan biayanya murah, namun masih memiliki kelemahan, yaitu tingkat polimorfik yang terbatas (Meunier, 1992) dan dipengaruhi oleh fase perkembangan tanaman (Brar, 2002). Marka DNA memberikan alternatif terbaik dalam menganalisis keragaman genetik tanaman
karena mampu memberikan polimorfik pita DNA dalam jumlah
banyak, konsisten, tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan tidak ada efek pleiotropi (Brar, 2002). Marka molekuler dapat diturunkan dan berasosiasi dengan genotip tertentu (Asiedu et al., 1989), keterpautan dengan karakter yang diinginkan (McCaskill & Giovannoni, 2002), dan pewarisannya mengikuti hukum mendel dan pewarisannya stabil (Brar, 2002). Saat ini telah banyak ditemukan penggunaan
enzim
restriksi
seperti
marka molekuler yang didasari pada RFLP
(Restriction
Fragment
Length
Polymorphism) maupun dengan penggunaan amplifikasi PCR (polimerase chain reaction), antara lain RAPD (Random Amplified Polymorphyc DNA), AFLP (Amplied Fragment Length Polymorphism), dan SSR (Simple Sequance Repeat)
45
(Brar, 2002). Analisis isozim dan RFLP mempunyai polimorfik relatif sedikit, sedangkan RAPD mempunyai polimorfik tinggi (Mulcahy et al., 1993). RAPD adalah teknik biologi molekuler yang banyak digunakan untuk mendeteksi perbedaan polimorfik DNA antar individu dan spesies berdasarkan hasil amplifikasi reaksi berantai polimerase (PCR) (Saunder & Hopkins, 1999). Prinsip dasar PCR meliputi tiga tahapan, yaitu (1) Denaturation yaitu DNA target yang berutas ganda mengalami pemisahan menjadi utas tunggal, proses ini terjadi pada suhu 94 0 C, (2) annealing, yaitu masing- masing utas tunggal DNA cetakan ditempeli oleh dua primer (oligonukleotida) berdasarkan pasangan komplementer antara basabasa DNA cetakan dengan primer, proses ini
terjadi pada suhu 55 – 60 o C, (3)
extension yaitu perpanjangan komplemen basa-basa DNA cetakan dengan primer, proses ini terjadi pada suhu 72 – 74 o C (Varghese, 1997). Perpanjangan primer oleh enzim Taq DNA polimerase dimungkinkan karena adanya basa nuklotida (dATP, DGTP, dCTP dan dTTP) yang ditambahkan ke dalam reaksi, serta MgCl2 yang berfungsi sebagai kofaktor enzim. Pengulangan siklus 25-50 kali akan meningkatkan jumlah fragmen DNA yang teramplifikasi secara eksponensial. Marka RAPD menggunakan primer random oligonukleotida (dengan panjang 10 basa) yang amplifikasinya random pada sekuen DNA di dalam genom (McCaskill & Giovannoni, 2002). Teknik RAPD dapat mendeteksi variasi dengan ada atau tidak adanya produk amplifikasi polimorfik DNA oleh PCR yang divisualisasikan melalui elektroforesis DNA (Dowling et al., 1996; McCaskill & Giovannoni, 2002)). RAPD digunakan untuk mengidentifikasi variasi genetik di dalam atau di antara populasi dan pemetaan genom (Mayer et al., 1997; Varghese et al., 1997). Teknik RAPD banyak digunakan dalam (1) klasifikasi taksonomi interspesifik, (2) variasi genotipik, (3) klasifikasi dan identifikasi kultivar, (4) analisis genetik di antara klon, (5) analisis variasi somaklonal, (6) analisis aliran gen di antara individu, (7) analisis diversitas genetik dan (7) studi DNA (Demke & Adams, 1994). Teknik RAPD
mempunyai
beberapa
keuntungan dibandingkan
teknik
lain,
yaitu
membutuhkan sampel DNA yang sedikit (10 – 25 ng), tidak bersifat radioaktif, pelaksanaanya relatif lebih mudah dan menghasilkan estimasi yang lebih tinggi untuk
46
kesamaan interspesifik (Powell et al., 1996).
Namun demikian teknik RAPD juga
mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain tidak dapat membedakan individu homosigot dan heterosigot karena bersifat domina n (Ronning & Schnell, 1995), perubahan kecil dalam kondisi reaksi dapat merubah jumlah dan intensitas produk amplifikasi sehingga reprodusibilitas sulit dipertahankan (Dowling et al., 1996), kesulitan dalam skoring data (Karp et al., 1997). Teknik RAPD telah berhasil digunakan untuk mengidentifikasi genotipa pada mawar (Gallego & Martinez, 1996); kakao (Ronning & Schnell, 1995); apel (Mulcahy et al., 1993); tomat (KleinLankhorst et al., 1991); krisan (Kirsten Wolff & Jenny Peter van Rijn, 1993), Pisang (George & Sadaivam, 1997) dan manggis (Mansyah, 2002). Mansyah (2002) telah melakukan identifikasi 23 aksesi manggis dari sentra produksi di Jawa, yaitu Wanayasa (Purwakarta), Leuwiliang (Bogor), Cantayan (Sukabumi), Kaligesing (Purworejo), Watulimo (Trenggalek) dan Sumatera Barat yaitu Balai Baru (Padang), Padang Laweh dan Subarang Sukam (Sawahlunto Sijunjung) dengan menggunakan 5 primer, yaitu SB 13, SB 19, OPH 12, OPH 13 dan OPH 18 telah menghasilkan polimorfik berdasarkan marka RAPD.
Identifikasi Mutan dengan Anatomi Daun Pengaruh mutagen baik fisik atau kimia menghasilkan tiga efek, yaitu : (1) kerusakan fisiologi (primary injury), (2) mutasi gen (point/gene mutation), (3) mutasi kromosom (chromosome aberration). Mutasi gen atau kromosom dapat diwariskan pada generasi M1 atau MV1 ke generasi selanjutnya, sedangkan efek fisiologis umumnya terjadi pada generasi M1 atau MV1 . Mutasi kromosom dapat diketahui melalui perubahan mitosis atau meiosis (Gaul, 1977). Ketiga efek tersebut sangat tergantung pada dosis, kerusakan fisiologis meningkat dengan meningkat dosis. Akhir dari kerusakan fisiologis berupa kematian/letalitas tanaman. Pengaruh fisiologis akibat mutagen dapat dijelaskan melalui pendekatan sitologi yang dapat diukur pada pembelahan mitosis atau meiosis bagian organ tanaman (Gaul, 1977). Selain itu juga,
melalui pendekatan anatomi daun seperti jumlah
stomata, jaringan epidermis, parenkim palisade, bunga karang dan kutikula.
47
Epidermis merupakan lapisan sel terluar pada daun, sifat sel epidermis susunannya yang kompak dan adanya kutikula dan stomata. Fungsi sel epidermis sebagai
regulasi air, melindungi terhadap cahaya matahari, proteksi terhadap
organisma, proteksi terhadap agen non biologi dan berfungsi sebagai sekresi (Mauseth, 1988). Kutikula adalah lapisan paling luar dinding epidermis. Kutikula merupakan senyawa komplek, poliester lipid dengan berat molekul tinggi yang dihasilkan dari polimerasi asam lemak tertentu (Mauseth, 1988). Kutikula bersifat hidrofobik sehingga berfungsi dalam ketahanan air dan indikator tumbuhan beradaptasi terhadap lingkungan kering (Mauseth, 1988). Stomata adalah lubang pada epidermis
yang dibatasi oleh dua epidermis
khusus, yakni sel penjaga (Esau, 1965; Mauseth, 1988). Dengan mengubah bentuk sel, sel penjaga mengatur pelebaran dan penyempitan lubang. Sel-sel mengelilingi stomata dinamakan sel tetangga.
yang
Sel tetangga berperan penting
perubahan osmotik yang menyebabkan gerakan sel penjaga yang mengatur lubang stomata (Esau, 1965). Pada daun, stomata ditemukan di kedua permukaan daun disebut amfistomik, atau hanya bagian permukaan atas atau adaksial disebut epistomik, atau hanya bagian permukaan bawah atau abaksial disebut hipostomik (Mauseth, 1988). Salisbury (1928) dalam Willmer (1983) memperkenalkan indeks stomata. Indeks stomata menunjukkan perbandingan jumlah stomata per unit area terhadap jumlah sel epidermis per unit area. Bagian utama helaian daun adalah mesofil yang banyak mengandung kloroplas dan ruang antarsel. Mesofil dapat bersifat homogen atau terbagi menjadi jaringan palisade (pallisade parenchime) dan jaringan bunga karang (spongy mesophyl) (Essau, 1977). Jaringan palisade lebih kompak dari pada jaringan yang memiliki ruang antar sel yang luas. Jaringan palisade terdiri dari sejumlah sel yang memanjang tegak lurus terhadap permukaan helaian daun. Meskipun jaringan palisade nampak lebih rapat namun sisi panjang selnya saling terpisah sehingga udara dalam antar ruang antar sel tetap mencapai sisi panjang. Pada daun, jaringan palisade dapat ditemukan 1-2 lapisan (Estiti, 1995). Sebagai contoh struktur daun Lilac pada irisan transversal tersaji dalam Gambar 3.
48
kutikula atas epidermis atas jaringan palisade
jaringan bunga karang
epidermis bawah kutikula bawah stomata
Gambar 4. Irisan transversal daun manggis (Pembesaran 400X) Pada tumbuhan daerah sedang yang hidup di daerah berkadar air tinggi, jaringan palisade berada di sebelah atas (adaksial) dan jaringan bunga karang di bagian bawah, daun seperti ini disebut dorsiventral atau bifasial. Jika jaringan palisade berada di bagian atas (adaksial) dan bawah (abaksial) disebut unifasial atau isobifasial, seperti tumbuhan di daerah kering (xerofitik) (Mauseth, 1988). Pada ke dua jaringan mesofil, kloroplas paling banyak terdapat pada jaringan palisade. Jaringan bunga karang terdiri dari sel yang bercabang yang tidak teratur bentuknya. Hubungan antar sel dan sel lainnya terbatas pada ujung cabang itu (Estiti, 1995). Sistem jaringan pembuluh (vascular sytem) tersebar di seluruh helaian daun dan dengan demikian menunjukkan adanya hubungan ruang ya ng erat dengan mesofil. Jaringan pembuluh
membentuk sistem yang saling berkaitan dan terletak dalam
bidang median, sejajar dengan permukaan daun. Berkas pembuluh dalam daun biasanya disebut tulang daun (Estiti, 1995).
49
III. STUDI REGENERASI TANAMAN MANGGIS IN VITRO Abstrak Regenerasi tanaman manggis in vitro dapat dilakukan melaui beberapa tipe regenerasi, yaitu perkecambahan biji, organogeneisis langsung dan organogenesis tidak langsung. Tujuan penelitian adalah mengembangkan tipe regenerasi tanaman yang efesien untuk menunjang pemuliaan mutasi in vitro pada manggis. Eksplan yang digunakan pada perkecambahan berupa biji, sedangkan organogenesis langsung berupa daun. Eksplan ditanam pada media MS (Murashige & Skoog) dengan konsentrasi (0,0; 11,1 ; 22,2 ; 33,3 ; 44,4) µM BAP (Benzilaminopurin). Pada organogenesis tidak langsung, induksi kalus nodular dari daun yang ditanam pada medium MS dengan konsentrasi BAP adalah 2,2 µM dan 4,4 µM, sedangkan konsentrasi TDZ (thidiazuron) adalah 1,14 µM, 2,27 µM, dan 4,54 µM. Kombinasi BAP dan TDZ digunakan sebagai perlakuan. Kalus nodular diregenerasikan membentuk tunas pada medium WPM (Woody Plant Medium) dengan konsentrasi (0,0 ;1,1 ; 2,2 ; 3,3; 4,4) µM BAP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa medium optimal pembentukan tunas pada perkecambahan biji dan organogenesis langsung adalah medium MS dengan konsentrasi 22,2 µM BAP. Pada organogenesis tidak langsung, medium optimal induksi kalus nodular adalah MS dengan perlakuan kombinasi konsentrasi 2,2 µM BAP dan 2,27 µM TDZ, sedangkan medium optimum regenerasi tanaman pada medium WPM dengan konsentrasi BAP 2,2 µM. Kata kunci : tunas adventif, perkecambahan biji, organogenesis langsung dan organogenesis tidak langsung
Pendahuluan Dalam pemuliaan mutasi (mutation breeding) in vitro, tipe regenerasi tanaman yang baku sangat penting dalam upaya memperoleh mutan solid. Mutan solid dapat diperoleh secara langsung jika bahan tanaman yang mendapat perlakuan mutagen berupa kalus, embrio somatik, atau protoplas. Namun demikian, kelemahan bahan tersebut sangat sulit untuk diregenerasikan menjadi tanaman. Untuk mendapatkan mutan solid, dikembangkan tipe regenerasi tanaman dengan urutan prioritas sebagai berikut : (1) organogenesis tidak langs ung (pembentukan tunas melalui kalus nodular), (2) organogenesis langsung (pembentukan tunas langsung dari eksplan daun), (3) perkecambahan biji.
50
Regenerasi tanaman sangat dipengaruhi oleh pemilihan eksplan, medium yang digunakan, zat pengatur tumbuh dan kondisi lingkungan yang cocok (Hartmann et al., 1997). Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman in vitro diregulasi oleh interaksi ekplan dan medium, serta keseimbangan zat pengatur tumbuh
yang digunakan
(George, 1993). Pada kultur in vitro, zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin sangat penting dalam mengatur arah pertumbuhan dan morfogenesis pembentukan organ tanaman (George, 1993). Beberapa spesies tanaman, tunas adventif dapat diinduksi dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi dibandingkan auksin (Phillips et al., 1995). Pada organogenesis tidak langsung, kalus harus bersifat morfogenik atau kompeten untuk membentuk tunas (George, 1993). Pada manggis, induksi kalus nodular dilakukan pada medium MS yang dilengkapi 2,22 µM TDZ dan 2,25 µM BA menghasilkan 34 % kalus nodular setelah tiga minggu, sedangkan regenerasi tanaman dari kalus nodular dilakukan pada medium WPM yang dilengkapi 0,44 µM BA menghasilkan rata-rata 8,39 tunas setelah tiga minggu (Te-chato & Lim, 2000). Eksplan daun manggis dapat membentuk tunas adventif pada medium WPM pada konsentrasi 5,0 mg l-1 (Goh et al., 1994). Hasil tesebut masih tergolong rendah, sehingga perlu optimasi untuk memperoleh jumlah tunas lebih banyak. Tujuan penelitian mengembangkan tiga tipe regenerasi tanaman manggis in vitro, yaitu perkecambahan biji, organogenesis langsung dan organogenesis tidak langsung, serta menentukan tipe regenerasi tanaman yang efesien. Hasil penelitian diharapkan tipe regenerasi tanaman yang efisien dapat menunjang pemuliaan mutasi pada tanaman manggis, variasi somaklonal, dan rekayasa genetik maupun untuk perbanyakan tanaman.
51
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Molekuler Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) IPB. Waktu percobaan dilaksanakan Juli 2002 sampai dengan Juni 2003. Bahan Tanaman Bahan tanaman berupa buah manggis masak fisiologis berasal dari pohon No.8 (umur > 40 tanun) Kebun Rakyat (milik Ade Sugema) di Wanayasa, Purwakarta. Bahan tanaman untuk perkecambahan manggis tersaji dalam Gambar 5.
A
B
Gambar 5. Pohon manggis No. 8 (A), Buah manggis (B). Penelitian tentang studi regenerasi tanaman manggis in vitro, terdiri dari tiga tipe regenerasi, yaitu (1) Perkecambahan biji manggis in vitro, (2) organogenesis langsung, dan (3) organogenesis tidak langsung (Gambar 6). Tipe regenerasi tanaman
Perkecambahan biji
Organogenesis langsung
Eksplan
biji
daun
Perlakuan
(0; 11,1; 22,2; 33,3; 44,4) µM BAP
Organogenesis tidak langsung daun ( 2,2; 4,4) µM BAP (1,14; 2,27; 4,54) µM TDZ
kalus nodular (0; 1,1; 2,2; 3,3; 4,4) µM BAP
Planlet
tunas adventif
Gambar 6. Skema studi regenerasi tanaman manggis in vitro
52
Perkecambahan biji manggis in vitro Biji dibersihkan dari kulit aril dengan sikat, kemudian biji direndam
pada
larutan Dithane (8 g/l) selama 30 menit dan dibilas dengan air mengalir. Selanjutnya biji direndam pada alkohol 70 % selama 15 menit, lalu direndam pada larutan HgCl (merkuri klorid) 0,1 % selama 20 menit, masing- masing dibilas dengan akuades steril sebanyak tiga kali. Biji dipotong menjadi empat segmen secara vertikal. Eksplan biji ditanam pada botol kultur yang berisi 20 ml medium MS yang dilengkapi 3 % gula pasir, 0,8 % agar, 1,39 µM PVP (Polyvinylpyrolidon) dan perlakuan konsentrasi BAP (0,0; 11,1 ; 22,2 ; 33,3 ; 44,4) µM. Media kultur diatur pada pH 5,7 – 5,8 dengan 0,1 M KOH dan diautoklaf pada temperatur 121 o C dan tekanan 1.1 kg cm2 selama 20 menit. Percobaan ditata dalam RAL (rancangan acak lengkap) terdiri dari lima perlakuan BAP, masing- masing perlakuan diulang 20 kali (botol), setiap botol kultur terdiri dari empat eksplan.
Kultur dipelihara pada ruang kultur dengan
penyinaran 16 jam terang pada suhu 22 o C. Subkultur dilakukan setiap empat minggu. Pengamatan dilakukan terhadap persentase eksplan membentuk tunas, kalus, akar, panjang tunas, dan waktu pembentukan tunas. Data ditransformasikan dengan
x+0.5,
kecuali persentase eksplan membentuk tunas ditransformasikan dengan arcsin
x.
Analisis statistik menggunakan uji F dan dilanjutkan dengan uji gugus berganda Duncan. Analisis
data
me nggunakan program SAS
Release 6.12 (SAS Inst.,
1996). Organogenesis langsung Organogenesis langsung menggunakan eksplan daun muda yang berasal dari bibit berumur tiga bulan (Gambar 7-A). Proses sterilisasi eksplan daun dilakukan dengan membersihkan daun dan merendam eksplan pada alkohol 70 % selama 15 menit kemudian dibilas dengan akuades steril sebanyak tiga kali. Eksplan direndam pada larutan HgCl 0,1 % selama 20 menit lalu dibilas dengan akuades steril sebanyak tiga kali. Eksplan daun muda dipotong berserta tulang daun dengan ukuran (1cm x 1cm), eksplan ditanam di dalam botol kultur berisi 20 ml media MS yang dilengkapi 3 % gula pasir, 0,8 % agar, dan 1,39 µM PVP. Eksplan ditanam dalam posisi abaksial (Gambar 7-B).
53
B
A
Gambar 7. Bahan tanaman untuk organogenesis langsung. Bibit manggis (A), Ekslan daun dalam posisi abaksial (B) Perlakuan organogenesis langsung adalah perbedaan konsentrasi BAP, yaitu (0,0; 11,1 ; 22,2 ; 33,3 ; 44,4) µM. Media kultur diatur pada pH 5,7–5,8 dengan 0,1 M KOH dan diautoklaf pada temperatur 121 o C dan tekanan 1.1 kg cm2 selama 20 menit. Percobaan ditata dalam RAL yang diulang 20 kali (botol). Setiap botol kultur terdiri dari empat eksplan. Kultur dipelihara di ruang kultur dengan fotoperiodisitas 16 jam terang dan suhu 22 o C. Subkultur dilakukan setiap empat minggu. Pengamatan dilakukan terhadap persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas per eksplan, jumlah pasang daun per tunas, waktu pembentukan tunas dan total jumlah tunas per botol. Pengamatan jumlah tunas dikelompokkan menjadi tiga kelompok: tunas yang panjangnya 1-5 mm, tunas yang panjangnya 6-10 mm dan
tunas yang panjangnya > 10 mm. Data ditransformasikan dengan
persentase eksplan membentuk tunas ditransformasik an dengan arcsin
x+0.5 , x.
kecuali
Analisis
statistik menggunakan uji F dan dilanjutkan dengan uji gugus berganda Duncan. Analisis data menggunakan program SAS Release 6.12 (SAS Inst., 1996). Organogenesis tidak langsung a. Induksi kalus nodular Daun muda manggis diambil dari tunas in vitro berasal dari perkecambahan biji. Daun di potong berikut tulang daunnya menjadi empat bagian. Eksplan ditanam
54
dalam posisi abaksial dalam botol kultur yang berisi 20 ml media MS padat yang dilengkapi dengan 3 % gula pasir, 1,39 µM PVP, 0,8 % agar murni. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah BAP dengan konsentasi 2,2 µM dan
4,4 µM,
sedangkan TDZ dengan konsentrasi 1,14 µM, 2,27 µM, dan 4,54 µM. Kombinasi konsentrasi BAP dan TDZ dijadikan sebagai perlakuan, sehingga terdapat enam kombinasi perlakuan dan diulang 20 kali (botol kultur), setiap botol kultur terdiri dari empat eksplan. Media kultur diatur pada pH 5,7 – 5,8 dengan 0,1 N KOH dan diautoklaf pada temperatur 121 o C dan tekanan
1.1 kg cm2 selama 20 menit.
Percobaan ditata dalam RAL. Kultur dipelihara pada penyinaran 16 jam terang dan suhu 22 o C. Subkultur dilakukan setiap empat minggu. Setelah empat minggu dilakukan pengamatan terhadap persentase eksplan membentuk jumlah
kalus nodular,
kalus nodular per eksplan, bentuk dan warna kalus nodular serta waktu
pembentukan kalus nodular.
b. Pembentukan tunas dari kalus nodular Kalus nodular dari perlakuan kombinasi 2,2 µM BAP dan 2,27 µM TDZ diregenerasikan menjadi planlet dengan menanam kalus nodular
pada
medium
WPM ditambahkan 1,39 µM PVP, 0,8 % agar murni, 3 % gula pasir. Perlakuan pembentukan tunas dari kalus nodular adalah BAP dengan konsentrasi 0,0 µM; 1,1 µM; 2,2 µM; 3,3 µM dan 4,4 µM. Percobaan ditata dalam RAL, perbedaan konsentrasi BAP dijadikan sebagai perlakuan dan diulang 20 kali (botol kultur), masing- masing botol kultur ditanam empat
inokulum.
Kultur dipelihara pada
0
penyinaran 16 jam terang dan suhu 22 C. Pengamatan jumlah tunas dikelompokkan menjadi tiga kelompok: tunas yang panjangnya 1-5 mm, tunas yang panjangnya 6-10 mm dan
tunas yang panjangnya > 10 mm. Data ditransformasikan dengan
x+0.5,
kecuali persentase jumlah kalus nodular yang membentuk tunas ditransformasikan dengan arcsin
x.
Analisis statistik menggunakan uji F dan dilanjutkan dengan uji
gugus berganda Duncan. Analisis data menggunakan program SAS (SAS Inst., 1996).
55
Release 6.12
Pengamatan histologi dilakukan pada kalus nodular yang mulai beregenerasi membentuk tunas. Proses pembuatan irisan transversal mengikuti metode parafin (Sass, 1957). Daun disayat menggunakan mikrotom putar (rotary microtom) dengan tebal sayatan 10 µm, kemudian diwarnai dengan safranin 1 % dan fastgreen 0,5 %.
Hasil dan Pembahasan Tanaman manggis termasuk tanaman tropik yang mengandung senyawa polifenol tinggi. Ketika eksplan biji atau daun dipotong dan ditana m pada medium, maka eksplan mengeluarkan eksudat berupa getah kuning yang mengandung senyawa polifenol sehingga menyebabkan media menjadi hitam (blackening) dan eksplan mengalami pencoklatan (browing) dan akhirnya mati. George & Sherington (1984) mengatakan beberapa spesies tanaman tropik banyak mengandung senyawa polifenol yang tinggi dan
akan
teroksidasi ketika sel mengalami pelukaan. Lebih lanjut,
senyawa polifenol atau tanin dapat menghambat aktivitas enzim pada tanaman sehingga pembentukan tunas me njadi terhambat (George & Sherington, 1984). Untuk mengatasi senyawa fenolik ditambahkan 1,39 µM PVP, hasilnya media menjadi jernih dan eksplan dapat berkembang dengan baik menjadi tunas. Penggunaan PVP dalam kultur jaringan sebagai absorpsi senyawa polifenol atau tanin melalui ikatan hidrogen sehingga mencegah proses oksidasi (George & Sherington, 1984). Selain itu, PVP juga dapat meningkatkan regenerasi tanaman pada kultur anter Datura innoxia (Tyagi et al., 1981 cit. George & Sherington, 1984). Ada cara lain untuk mengatasi senyawa polifenol, yaitu dengan penambahkan 3 g/l arang aktif (activated charcoal) pada medium (George & Sherington, 1984). Tingkat kontaminasi kultur berkisar antara 5 % – 15 %. Kontaminasi kultur disebabkan oleh jamur dan bakteri. Hal ini disebabkan oleh proses sterilisasi eksplan yang kurang sempurna, sehingga menyebabkan mikroorganisma terbawa dalam kultur. Pada saat subkultur dan pemisahan tunas dari eksplan kecenderungan kultur mengalami kontaminasi. Oleh karena, pada kondisi ini dilakukan sangat hati- hati sekali.
56
Pengaruh BAP terhadap pembentukan tunas manggis in vitro Tidak semua segmen biji yang ditanam pada media MS mengalami proliferasi membentuk tunas atau kalus. Bakal tunas muncul dari permukaan biji, seperti tersaji dalam
Gambar 8-A.
Eksplan
yang tidak responsif terhadap perlakuan BAP
mengalami pencoklatan (browning) dan mati. Tunas yang muncul dari permukaan biji berbentuk multipel. Contoh tunas multipel perlakuan 22,2 µM BAP dapat tersaji pada Gambar 8-B.
B
A
Gambar 8. Bakal tunas adventif mulai muncul dari permukaan biji (tanda panah) (A); tunas multipel berasal dari perlakuan 22,2 µM BAP (B) Berdasarkan analisis varians setiap perlakuan BAP menunjukkan berbeda nyata pada semua variabel yang diamati (Lampiran 3). Gambar 9 menunjukkan bahwa persentase
pembentukan tunas
bervariasi
antara 4,41 % - 53,75 %. Persentase pembentukan tunas paling tinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi BAP 22,2 µM (53,75 %), sedangkan yang paling rendah pada perlakuan BAP 0,0 µM (4,41 %). Begitu juga, rata-rata jumlah tunas paling banyak terdapat pada perlakuan BAP pada konsentrasi 22,2 µM (3,25 tunas) dan paling sedikit pada perlakuan 0,0 µM BAP (tanpa BAP) (0,23 tunas). Jumlah tunas per eksplan dapat mencapai 25 tunas. Biasanya jumlah tunas tersebut berkaitan erat dengan persentase kultur yang membentuk tunas. Pada umumnya, persentase kultur
57
yang membentuk tunas dan jumlah tunas paling tinggi terdapat pada perlakuan 22,2 µM BAP (Gambar 10).
Pembentukan tunas (%)
60
53,7 a
50 40 31,2 b 30
26,2 b 19,4 bc
20 10
4,4 c
0 0
11,1
22,2
33,3
44,4
Konsentrasi BAP (µM)
Gambar 9. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap persentase pembentukan tunas pada perkecambahan manggis dalam media MS setelah tiga minggu kultur Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
3,3 a
jumlah tunas per eksplan
3,5 3 2,5 2 1,5
1,2 b
1,2 b 0,8 bc
1 0,5
0,2 c
0 0
11,1
22,2
33,3
44,4
Konsentrasi BAP (µM)
Gambar 10. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas per eksplan pada perkecambahan manggis dalam media MS setelah tiga minggu kultur Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
58
Waktu pembentukan tunas bervariasi rata-rata antara 17 – 25 hari setelah kultur. Waktu yang paling cepat kultur mulai membentuk tunas terdapat pada perlakuan 22,5 µM BAP (17,28 hari), sedangkan waktu yang paling lama pembentukan tunas terdapat pada perlakuan BAP 44,4 µM (25,33 hari) (Gambar 11). Berdasarkan uji gugus berganda Duncan, jumlah tunas per eksplan pada perlakuan 22,2 µM BAP berbeda nyata dengan perlakuan la innya (Gambar 11). Panjang tunas berkaitan pula dengan jumlah tunas yang terbentuk. Perlakuan 22,2 µM BAP
menunjukkan panjang tunas paling tinggi rata-rata 1,7 cm, sedangkan
paling rendah pada perlakuan 0,0 µM BAP dengan rata-rata 0,2 cm. Perbedaan nilai rata-rata tersebut didukung oleh hasil uji gugus berganda Duncan yang menunjukkan
Waktu pembentukan tunas (hari)
berbeda nyata antara perlakuan (Gambar 12).
30,0 23,6 a
25,0 20,0
19,0 b
18,7 b
0
11,1
25,3 a
17,3 b
15,0 10,0 5,0 0,0 22,2
33,3
44,4
Konsentrasi BAP (µM)
Gambar 11. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap waktu pembentukan tunas pada perkecambahan manggis dalam media MS setelah tiga minggu kultur Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
59
Panjang tunas (cm)
1,8 1,6
1,7 a
1,6 a
1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0
1,1 ab
0,6 bc 0,2 c
0
11,1
22,2
33,3
44,4
Konsentrasi BAP (µM) Gambar 12. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap panjang tunas pada perkecambahan manggis dalam media MS setelah tiga minggu kultur Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
Pada eksplan biji, media MS tanpa BAP kurang
menstimulasi proliferasi
tunas. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh BAP sangat besar dalam merangsang pembentukan tunas. Seperti diungkapkan oleh Normah et al. (1990), penggunaan media MS pada manggis dengan konsentrasi 40 µm BAP pada tanpa NAA menghasilkan lebih banyak tunas (6,5 tunas), sedangkan penggunaan NAA saja tidak dapat merangsang pembentukan tunas (Goh et al., 1988). Pada manggis, perlakuan biji yang dipotong menjadi enam lebih banyak menghasilkan tunas jika dibandingkan dipotong tiga, selain itu fotoperiodisitas 8 jam lebih baik dari 12 jam dalam merangsang pembentukan tunas adventif (Normah et al., 1990). Harahap (2005) menyatakan eksplan biji pada perlakuan 5 ppm BAP menghasilkan 91,43 % tunas dan jumlah tunas tertinggi rata-rata 8,71 tunas per eksplan pada 12 minggu setelah tanam. Embrio biji manggis kemungkinan terdapat di sepanjang permukaan biji (Yacob & Tindall, 1995), sehingga biji manggis bersifat poliembrioni (Richards, 1990a).
60
Kultur yang membentuk akar hanya pada konsentrasi 11,1 µM BAP (0,6 %), dan 22,2 µM BAP (0,2 %), sedangkan kultur pada konsentrasi 0,0 µM BAP, 33,3 µM BAP dan 44,4 µM BAP tidak terbentuk akar. Akar yang terbentuk biasanya dari segmen biji bagian ujung, karena memang secara alami sudah terdapat primordia akar dan biasanya tidak terbentuk tunas, sedangkan segmen biji yang membentuk tunas tidak membentuk akar. Goh et al. (1988) menyatakan segmen kotiledon manggis membentuk akar hanya 7 % pada medium 4,4 µM BAP dan 5,3 µM NAA. Harahap (2005) menyatakan eksplan membentuk akar pada media MS ½ N + IBA 3mg/l + NAA 4 mg/l menghasilkan 85 % dengan jumlah akar 1,05 dan panjang akar 1,49 cm. Kalus hanya terbentuk pada segmen biji pada medium yang diberi perlakuan BAP. Persentase kultur yang membentuk kalus paling tinggi pada perlakuan 22,2 µM BAP (12,5 %), sedangkan kultur pada perlakuan 0,0 µM BAP tidak terbentuk kalus. Kalus muncul dari bagian segmen biji
bekas pelukaan, kalus berwarna putih,
strukturnya sangat remah, rapuh dan cepat mengering. Kalus pernah disubkultur pada medium yang sama kecenderungan mengering. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Normah et al. (1990), kalus yang terbentuk dari segmen biji pada medium MS dengan konsentrasi 90,5 - 135,7 µM 2,4-D tidak dapat berorganogenesis. Organogenesis langsung Eksplan daun yang responsif terhadap medium mulai na mpak membentuk bakal tunas setelah 12 minggu. Pada medium tanpa BAP (0,0 µM) eksplan tidak mengalami pertumbuhan, berwarna coklat dan mengering. Eksplan yang responsif pada media memperlihatkan kondisi eksplan daun tetap hijau dan berproliferasi membentuk tunas adventif. Tunas adventif muncul dari tulang daun yang mengalami pelukaan (Gambar 13-A). Pembentukan tunas dari tulang daun terjadi juga pada tanaman lain, seperti pistasia (Barghchi & Alderson, 1983) dan apel (Liu et al., 1983). Menurut Goh et al. (1994), BAP yang terdapat di dalam medium dapat diserap oleh jaringan daun manggis melalui pelukaan, sehingga dapat merangsang
61
pembentukan tunas. Sedangkan daun manggis yang utuh tidak dapat membentuk tunas pada medium yang mengandung BAP. Ternyata pelukaan dapat menyebabkan kontak jaringan meristematis pada berkas pembuluh dengan medium yang mengandung BAP sehingga mengakibatkan jaringan meristem tersebut mengalami diferensiasi membentuk tunas adventif.
bakal tunas
A
B
Gambar 13. Bakal tunas muncul dari tulang daun (A). Tunas adventif dari perlakuan 22,2 µM BAP (B) Analisis varian menunjukkan bahwa perlakuan BAP berbeda nyata untuk semua variabel yang diamati pada taraf 5 % (Lampiran 4), artinya perlakuan BAP berpengaruh nyata terhadap pembentukan tunas. Selanjutnya analisis statistik dilanjutkan dengan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.. Gambar 14 menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi BAP terhadap persentase pembentukan tunas bervariasi antara 0,0 – 39,8 %. Pada konsentrasi 22,2 µM BAP, persentase eksplan membentuk tunas paling tinggi (39,8 %), sedangkan pada perlakuan 0,0 µM BAP, eksplan daun mengalami pencoklatan dan selanjutnya mengering. Pada konsentrasi 22,2 µM BAP sangat baik digunakan untuk pembentukan tunas dibandingkan perlakuan lain. Pembentukan tunas tersebut tergolong masih rendah.
Hal ini
menunjukkan bahwa daun manggis termasuk
tanaman yang sulit berorganogenesis. Seperti diungkapkan oleh Goh et al .(1988), kebanyakan daun tanaman berkayu mengalami kesulitan dalam organogenesis langsung membentuk tunas. Hal sama juga dijumpai pada apel (Liu et al., 1983),
62
mulberry (Mhatre et al., 1985), pistasia (Barghchi & Alderson, 1983). Ekspan daun manggis yang berwarna kehijauan persentasenya sangat rendah menghasilkan tunas dan kalus yang tidak dapat berorganogenesis. Gambar 15 menunjukkan bahwa pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas per eksplan bervariasi rata-rata antara 0,0 – 1,3 tunas. Pada konsentrasi 22,2 µM BAP ditemukan jumlah tunas maksimum per eksplan tiga tunas, kebanyakan jumlah tunas per eksplan hanya satu atau dua tunas. Pada konsentrasi 33,3 µM BAP
Eksplan membentuk tunas (%)
jumlah tunas per eksplan rata-rata hanya 0,6 tunas (Gambar 15). 50 39,8 a
40 30
22,4 ab
20,0 b
20
21,3 b
10 0
11,1
22,2
33,3
44,4
Konsentrasi BAP (µM) Gambar 14. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap pembent ukan tunas pada organogenesis langsung dalam media MS setelah 16 minggu kultur Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
63
Jumlah tunas per eksplan
1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0
1,3 a 1,1 a 0,8 a 0,6 a
11,1
22,2
33,3
44,4
Konsentrasi BAP (µM) Gambar 15. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas per eksplan pada organogenesis langsung dalam media MS setelah 16 minggu kultur
Waktu membentuk tunas (hari)
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
120 100
98,6 ab
109,4 a
105,0 a
33,3
44,4
80,7 b
80 60 40 20 0
11,1
22,2
Konsentrasi BAP (µM) Gambar 16. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap waktu pembentukan tunas pada organogenesis langsung dalam media MS setelah 16 minggu kultur Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
Gambar 16 menunjukkan bahwa waktu
pembentukan tunas sangat lambat
sekali berkisar 60–110 hari. Pada konsentrasi 22,2 µM BAP waktu membentuk tunas rata-rata 80,7 hari dan yang paling lama pada konsentrasi 33,3 µM BAP rata-rata
64
109,4 hari.
Hal ini disebabkan karena pada manggis proses pembelahan sel secara
alami sangat lambat, sehingga menyebabkan laju pertumbuhan
tanaman sangat
lambat (Wiebel, 1993). Eksplan yang berasal dari tahap juvenil lebih mudah membentuk organ pada kultur in vitro dan lebih cepat menghasilkan tunas (3-4 minggu) dibandingkan dari pohon dewasa (9 minggu) (Goh et al., 1990). Hal ini, mungkin disebabkan oleh level zat pengatur tumbuh endogen pada tanaman (Goh et al., 1990). Rata-rata jumlah pasang daun yang paling tinggi terdapat pada perlakuan konsentrasi 22,2 µM BAP rata-rata 1,2 pasang daun, sedangkan yang paling rendah pada perlakuan 44,4 µM BAP rata-rata 0,6 pasang daun. Jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm paling tinggi terdapat pada perlakuan 22,2 µM BAP rata-rata 1,3. Begitupun juga untuk jumlah tunas yang panjangnya 6-10 mm dan > 10 mm masing- masing 0,8 dan 0,3. Sedangkan jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm yang paling rendah terdapat perlakuan 11,1 µM BAP, begitu juga jumlah panjang tunas 610 mm dan > 10 mm terdapat pada perlakuan 44,4 µM BAP (Tabel 4).
Jumlah pasang daun
1,4
1,2 a
1,2 1,0 0,8
0,7 b 0,6 b
0,6
0,6 b
0,4 0,2 0,0
11,1
22,2
33,3
44,4
Konsentrasi BAP (µM) Gambar 17. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah pasang daun pada organogenesis langsung dalam media MS setelah 16 minggu kultur Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
65
Tabel 4. Nilai rata-rata dan hasil uji gugus berganda Duncan pada jumlah tunas pada organogenesis langsung dalam media MS setelah 16 minggu kultur Perlakuan BAP (µM ) 11,1 22,2 33,3 44,4
Jumlah kultur 19 19 20 20
1-5 mm 0,4 b 1,3 a 0,5 b 0,8 ab
Jumlah tunas yang panjangnya 6-10 mm >10 mm total/botol 0,6 a 0,1 b 1,1 0,8 a 0,3 a 2,4 0,4 ab 0,2 ab 1,1 0,4 ab 0,1 b 1,3
Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
Goh et al. (1988) menyatakan pembentukan tunas dipengaruhi oleh ukuran dan sumber eksplan. Eksplan daun utuh tidak menghasilkan tunas, sedangkan daun yang dibagi menjadi dua menghasilkan tunas lebih banyak, bahkan ukuran eksplan mencapai 3 mm menghasilkan jumlah tunas lebih banyak (Goh et al., 1994). Sumber eksplan
dari
lapangan
mempunyai
kemampuan
organogenik
lebih
tinggi
dibandingkan dari tunas in vitro (Goh et al., 1994). Lebih lanjut, pembentukan bakal tunas dari eksplan daun dipengaruhi oleh pelukaan pada daun dan konsentrasi BA di dalam medium. Karena adanya pelukaan menyebabkan eksplan dapat merespon BA untuk mentriger diferensiasi bakal tunas. Pengaruh lain adalah adanya level auksin endogen yang tinggi sehingga menghambat pembentukan tunas, sedangkan level auksin yang rendah dapat menginduksi atau merangsang tunas (Goh et al., 1994). Pengamatan histologi menunjukkan bahwa bakal tunas muncul dari berkas pembuluh (vascular bundle) tulang daun. Pada berkas pembuluh terdiri dari floem, xilem dan kambium (Gambar 18-A). Kambium merupakan sel-sel meristematis yang aktif membelah diri secara mitosis ke arah bidang periklinal dan antikinal. Ketika selsel meristem kontak dengan medium yang bernutrisi, maka sel-sel meristem mengalami pembesaran dan menonjol ke luar dengan mendorong lapisan epidermis membentuk tonjolan kecil. Selanjutnya tonjolan tersebut membentuk bakal tunas. Primordia daun muncul dari bakal tunas yang ditopang oleh kambium (Gambar 18B). Primordia daun akan berkembang menjadi daun, sedangkan kambium berkembang menjadi tulang daun.
66
berkas pembuluh primordia daun
kambium
A
B
1 mm
Gambar 18. Irisan transversal tulang daun manggis (A), pembentukan bakal tunas dari tulang daun (B).
Organogenesis tidak langsung Induksi kalus nodular Eksplan daun yang responsif terhadap medium MS na mpak segar kehijauan dan akan muncul kalus nodular pada bagian tulang daun, meskipun pada bagian pinggir daun bekas pelukaan nampak mengering (Gambar 19A). Sedangkan eksplan yang tidak responsif terhadap medium MS akan terlihat berwarna coklat
selanjutnya
eksplan mengering dan akhirnya mati. Semua perlakuan kombinasi BAP dan TDZ dapat menginduksi kalus nodular dari eksplan daun. Kalus nodular berwarna kuningkehijauan ada juga putih kehijauan, kalus berbentuk nodul dan kompak. Kalus nodular biasanya mulai muncul setelah dua minggu kultur dan diamati setelah empat minggu. Adanya perlakuan kombinasi BAP dan TDZ memberikan respon berbeda terhadap pembentukan kalus nodular.
67
kalus nodular
A
B
Gambar 19. Kalus nodular muncul dari tulang daun (A), Kalus nodular dari perlakuan 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ (B) Berdasarkan uji F, setiap perlakuan BAP menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % untuk semua variabel yang diamati, seperti terlihat pada Lampiran 5. Uji gugus berganda Duncan menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ tidak berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan 2,22 µM BAP dan 1,14 µM TDZ, sedangkan kombinasi perlakuan 2,22 µM BAP dan 4.54 µM TDZ tidak berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan 4,4 µM BAP dan 2,27 µM TDZ (Tabel 5). Persentase eksplan
membentuk
kalus nodular paling tinggi terdapat pada
kombinasi perlakuan 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ (79,4 %), sedangkan paling rendah pada pada kombinasi perlakuan 4,44 µM BAP dan 4.54 µM TDZ (38,2 %). Begitu juga, jumlah kalus nodular per eksplan paling tinggi pada perlakuan kombinasi perlakuan 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ (3,57 kalus nodular). Waktu membentuk kalus nodular pada perlakuan 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ lebih cepat dibandingkan perlakuan lainnya dengan rata-rata 24,5 hari, bahkan ada eksplan yang membentuk kalus nodular dalam waktu 15 hari. (Tabel 6). Perbedaan respon eksplan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan konsentrasi BAP dan TDZ. Hasil tersebut jauh lebih baik dibandingkan penelitian Te-chato & Lim (1999), induksi kalus nodular manggis hanya menghasilkan kalus nodular 34 %. Menurut pendapat Te-chato & Lim (2000), eksplan daun manggis yang ditanam pada medium MS atau WPM yang diberi suplemen 2,2 µM
BAP akan menghasilkan 2-5 tunas tanpa
68
pembentukan kalus nodular, akan tetapi penggunaan TDZ yang dikombinasikan dengan BAP dapat menginduksi pembentukan kalus nodular, penggunaan BAP saja atau TDZ saja tidak dapat membentuk kalus nodular atau proliferasi tunas pada manggis. TDZ merupakan kelompok fenilurea yang berperan penting dalam meningkatkan biosintesis dan akumulasi sitokinin endogen purin (Capelle et al., 1983). Tabel 5. Nilai rata-rata dan hasil uji gugus berganda Duncan pada persentase eksplan yang membentuk kalus nodular, jumlah kalus nodular per eksplan dan waktu membentuk kalus nodular pada meidia MS setelah empat minggu kultur Konsentrasi (µM) BAP TDZ 2,2 2,2 2,2 4,4 4,4 4,4
1,14 2,27 4,54 1,14 2,27 4,54
N
17 20 19 16 16 17
Persentase ekplan membentuk kalus nodular 72,3 79,4 64,5 64,1 51,6 38,2
a a ab ab bc c
Jumlah kalus nodular per eksplan 2,4 b 3,6 a 3,3 a 2,1 b 2,1 b 1,9 b
Waktu membentuk kalus nodular (hari) 25,7 ab 24,5 b 26,4 ab 23,1 c 22,5 c 27,7 a
Warna kalus nodular
Putih kehijauan kuning kehijauan Putih kehijauan Kuning kehijauan putih kehijauan putih kehijauan
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %. N = jumlah kultur
Hasil penelitian menunjukkan perlakuan 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ untuk
induksi kalus nodular memberikan respon yang paling baik dibandingkan
perlakuan lainnya.
Terbukti pada perlakuan tersebut
menunjukkan persentase
eksplan membentuk kalus nodular paling tinggi (79,4 %),
jumlah kalus nodular
paling tinggi (3,6 kalus nodular) dan waktu membentuk kalus nodular (24,5 hari) (Tabel 5). Ternyata untuk induksi kalus nodular membutuhkan konsentrasi BAP dan TDZ yang seimbang, sedangkan penggunaan BAP saja atau TDZ saja eksplan tidak dapat menginduksi kalus nodular, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Techato & Lim, 1999) pada tanaman manggis. Lu (1993) menyatakan TDZ dapat menggantikan tipe adenin dalam pembentukan kultur kalus dan mikropropagasi pada spesies tanaman berkayu. Penggunaan TDZ lebih kecil dari 1µM pada tanaman berkayu yang bijinya bersifat rekalsitran dapat menginduksi kalus, embrio somatik
69
(Fiola et al., 1990), dan tunas adventif (Huettman & Preece, 1993). Pada tembakau, TDZ dtemukan lebih aktif dibandingkan sitokinin purin seperti BAP atau zeatin dalam merangsang pembentukan kalus dan morfogenesis (George, 1993). Pada Vitis vinifera, penggunaan TDZ lebih efektif dalam menginduksi dan meregenerasikan tunas adventif dibandingkan basa adenin (George, 1993). Pembentukan tunas dari kalus nodular Kalus nodular dapat beregenerasi menjadi tunas setelah 20 minggu kultur pada medium WPM. Kalus nodular yang dapat beregenerasi menjadi tunas berwarna hijau tua (Gambar 20-A), sedangkan berwarna hijau muda atau kekuningan relatif lebih sulit untuk beregenerasi membentuk tunas.
Setiap kalus nodular menghasilkan
banyak tunas (tunas multipel) (Gambar 20-B). bakal tunas tunas
A
B
C
D
Gambar 20. Proses terbentuknya tunas. Kalus nodular mulai beregenerasi membentuk tunas (A); tunas multiple dari perlakuan 2,2 µM BAP (B-D)
70
Tunas multipel dipisah menjadi 2-3 tunas (Gambar 20-C) dan tunas disubkultur pada cawan petri (Gambar 20-D). Berdasarkan analisis varians (Lampiran 6), Fhitung setiap variabel yang diamati menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5 % artinya perbedaan konsentrasi BAP berpengaruh terhadap pembentukan tunas, sehingga analisis statistik dilanjutkan dengan uji gugus berganda Duncan pada taraf uji 5 %. Persentase jumlah kalus nodular membentuk tunas paling tinggi pada perlakuan 2,2 µM BAP (34,7 %), sedangkan
yang paling rendah pada perlakuan 3,3 µM
BAP (13,3 %). Pada perlakuan 0,0 µM BAP (kontrol), kalus nodular tidak dapat beregenerasi menjadi tunas (Gambar 21). Hal ini menunjukkan penggunaan BAP
kalus nodular membentuk tunas (%)
sangat berpengaruh terhadap proliferasi tunas.
40,0
34,7 a
35,0 30,0
25,0 ab
25,0 20,0 13,3 b
15,0
15,3 b
10,0 5,0 0,0
1,1
2,2 3,3 Konsentrasi BAP (µM)
4,4
Gambar 21. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap persentase kalus nodular membentuk tunas pada organogenesis tidak langsung dalam media WPM setelah 20 minggu kultur Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
71
Jumlah tunas per kalus nodular
9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0
7,9 a 5,9 ab 4,5 ab 3,0 b
1,1
2,2
3,3
4,4
Konsentrasi BAP (µM) Gambar 22. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah tunas per kalus nodular pada organogenesis tidak langsung dalam media WPM setelah 20 minggu kultur Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
Berdasarkan uji gugus rata-rata Duncan, jumlah tunas per kalus nodular pada perlakuan 2,2 µM
BAP berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, sedangkan
perlakuan 1,1 µM BAP dan 3,3 µM BAP tidak bebeda nyata pada taraf 5 % (Gambar 22). Pada perlakuan 2,2 µM BAP, jumlah tunas per kalus nodular paling tinggi dapat mencapai 20 tunas dengan rata-rata 7,9 tunas. Sedangkan jumlah tunas per kalus nodular yang paling rendah adalah perlakuan
0,0 µM BAP dengan
dengan
persentase 0 (nol) (Gambar 22). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Te-chato & Lim (2000), kalus nodular yang membentuk tunas sebanyak 8,4 tunas setelah tiga minggu pada medium WPM dengan konsentrasi 0,44 µM BA. Waktu membentuk tunas yang paling cepat pada perlakuan 2,2 µM BAP dengan rata-rata 13,5 minggu, sedangkan yang paling lama pada perlakuan 3,3 µM BAP dengan rata-rata 15,8 minggu (Gambar 23). Waktu membentuk tunas pada manggis tergolong sangat lambat, karena secara alami tanaman manggis memiliki laju pertumbuhan yang lambat.
72
waktu pembentukan tunas (minggu)
16,0 15,5 15,0 14,5 14,0 13,5 13,0 12,5 12,0
15,8 a 15,1 a
15,0 a
13,5 b
1,1
2,2
3,3
4,4
Konsentrasi BAP (µM)
Gambar 23. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap waktu pembentukan tunas pada organogenesis tidak langsung dalam media WPM setelah 20 minggu kultur
Jumlah pasang daun
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0
1,1 a 0,8 ab 0,6 b 0,5 b
1,1
2,2
3,3
4,4
Konsentrasi BAP (µM) Gambar 24. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap jumlah pasang daun pada organogenesis tidak langsung dalam media WPM setelah 20 minggu kultur Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada diagram batang menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %.
73
Tabel 6. Nilai rata-rata dan hasil uji gugus berganda Duncan pada jumlah tunas panjang tunas pada media WPM setelah 20 minggu kultur Konsentrasi Jumlah Jumlah tunas yang panjangnya kultur BAP (µM) 1-5 mm 6-10 mm >10 mm total/botol 1,1 19 6,6 b 1,7 ab 0,2 b 8,5 2,2 19 11,1 a 2,6 a 0,6 a 14,3 3,3 20 4,3 c 1,4 ab 0,1 b 5,8 4,4 20 4,1 c 0,7 b 0,0 b 4,8 Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %. Jumlah pasang daun berkisar antara 1-3. Pada perlakuan 2,2 µM BAP jumlah panjang tunas paling banyak dengan rata-rata 1,1 pasang daun, sedangkan yang sedikit pada perlakuan 4,4 µM BAP dengan rata-rata 0,5 pasang daun (Gambar 24). Jumlah pasang daun berkaitan dengan panjang tunas. Jumlah pasang daun umumnya banyak terdapat pada panjang tunas 1-5 mm dan 6-10 mm, sedangkan panjang tunas > 10 mm sangat sedikit jumlah pasang daunnya. Berdasarkan jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm, perlakuan 2,2 µM BAP memiliki jumlah tunas rata-rata 11,1. Begitu juga, kelompok jumlah tunas yang panjangnya 5-10 mm dan lebih 10 mm masing- masing nilai rata-ratanya adalah 2,6 dan 0,61 (Tabel 6). Sedangkan jumlah tunas paling rendah terdapat pada perlakuan 4,4 µM BAP untuk ketiga kelompok tersebut. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan 2,2 µM BAP untuk regenerasi tanaman melalui kalus nodular memberikan respon yang paling baik dibandingkan perlakuan lainnya. Terbukti pada perlakuan tersebut menunjukkan persentase kalus nodular membentuk tunas paling tinggi (34,7 %) (Gambar 21), jumlah tunas dapat mencapai 20 tunas dengan rata-rata 7,9 tunas (Gambar 22), waktu membentuk tunas rata-rata 13,5 minggu (Gambar 23), jumlah pasang daun rata-rata 1,1 pasang daun (Gambar 24), dan jumlah tunas total 14,3 tunas (Tabel 6). Menurut Te-chato & Lim (1999), induksi primordia tunas dari kalus nodular dapat dilakukan pada medium MS atau WPM. Lebih lanjut, medium WPM dengan konsentrasi 4,45 µM BAP memberikan respon induksi tunas dan menghambat
74
pemanjangan tunas. Penggunaan BAP supraoptimal (>44,4 µM) menyebabkan pembentukan dan perpanjangan tunas menjadi terhambat, sehingga muncul tunas dari kotiledon manggis lebih kurang 5 bulan (Goh et al., 1988). Gambar 23 menunjukkan proses terbentuknya kalus nodular dari eksplan daun. kalus nodular muncul sepanjang tulang daun, karena pada tulang daun terdapat jaringan pembuluh yang bersifat meristematis. Setelah eksplan kontak dengan medium. Sel-sel meristematis tertentu mengalami pembelahan sel menjadi sel baru. Pembelahan sel meristem ke arah bidang periklinal selanjutnya ke arah bidang antikinal dan membentuk tonjolan kecil (Gambar 25-A). Tonjolan bertambah besar membentuk lengkungan seperti kerucut kearah apeks pucuk. Pada tonjolan bagian atas apeks pucuk terdapat primordia daun yang ditopang oleh kambium. Primordia daun akan berkembang menjadi daun, sedangkan kambium berkembang menjadi tulang daun (Gambar 25-B). Menurut Litz & Gray (1992), eksplan daun pada beberapa tanaman berkayu sangat responsif pada medium yang mengandung auksin, karena pada daun mengandung sel mesofil dan pembuluh yang sedang aktif membelah diri, sehingga membentuk sel embrioid.
kalus nodular Primordia daun apeks pucuk kambium
100 um
A
B
1 mm
Gambar 25. Irisan transversal kalus nodular yang mengalami diferensiasi membentuk tunas (A); meristem tunas pucuk pada perlakuan 2,2 µM BAP (B)
75
Perbandingan efesiensi regenerasi tunas manggis in vitro
Uji efisiensi sistem regenerasi tanaman dilakukan pada masing- masing tipe regenerasi tanaman pada kondisi optimum dengan membandingkan variabel yang diamati, seperti persentase eksplan membentuk tunas, jumlah tunas dan waktu pembentukan tunas. Pembentukan tunas optimum pada perkecambahan dan organogenesis langsung pada manggis terdapat pada perlakuan konsentrasi 22,2 µM BAP, sedangkan organogenesis tidak langsung pada perlakuan konsentrasi 2,2 µM BAP. Persentase pembentukan tunas yang paling tinggi pada perkecambahan biji (53,8 %), sedangkan paling rendah pada organogenesis tidak langsung (34,7 %)
Pembentukan tunas (%)
(Gambar 26). 60
53,8
50
39,8
34,7
40 30 20 10 0 Perkecambahan biji
Organogenesis langsung
Organogenesis tidak langsung
Tipe Regenerasi
Gambar 26. Perbandingan tiga tipe regenerasi tanaman berdasarkan persentase pembentukan tunas Gambar 27. menunjukkan bahwa jumlah tunas paling banyak pada organogenesis tidak langsung (7.9 tunas), sedangkan yang paling rendah pada organogenesis
langsung
(1,3
tunas).
Pada
organogenesis
tidak
langsung,
pembentukan tunas harus melalui tahapan kalus nodular, setiap eksplan daun berukuran 1 cm2 akan menghasilkan banyak nodul, setiap nodul menghasilkan banyak tunas.
76
Jumlah tunas per eksplan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7,9
tunas
3,3 1,3
Perkecambahan biji
Organogenesis langsung
Organogenesis tidak langsung
Tipe Regenerasi
Waktu pembentukan tunas (hari)
Gambar 27. Perbandingan tiga tipe regenerasi tanaman berdasarkan jumlah tunas
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
94,5 80,7
17,3
Perkecambahan biji
Organogenesis langsung
Organogenesis tidak langsung
Tipe Regenerasi
Gambar 28. Perbandingan tiga tipe regenerasi tanaman berdasarkan pembentukan tunas
waktu
Gambar 28. menunjukkan waktu membentuk tunas paling cepat adalah perkecambahan biji (17,3 hari), sedangkan yang paling lama pada organogenesis tidak langsung (94,5 hari).
77
Pada perkecambahan biji, organogenesis langsung dan tidak langsung membutuhkan peranan BAP dalam proliferasi tunas. BAP termasuk dalam kelompok sitokinin purin yang berperan penting dalam pembentukan tunas seperti pada kacang tanah (Victor et al., 1999). Peranan BAP eksogen sangat penting dalam memacu sitokinesis, karena BAP memacu
pembelahan sel dan produksi sel lebih cepat
dengan cara mempercepat peralihan dari tahap G2 ke mitosis (Salisbury & Ross 1992), meningkatkan laju sintesis protein, mempersingkat waktu berlangsungnya tahap S (sintesis) dalam siklus sel sehingga merangsang pertumbuhan dan diferensiasi jaringan atau organ (George (1993).
Penggunaan BAP juga dapat meningkatkan
rasio tunas terhadap akar, meningkatkan produksi etilen dan meningkatkan sintesis protein (Staden & Crouch, 1996). Menurut Staden & Crouch (1996), sitokinin dapat berperan dalam sintesis protein, karena : (1) sitokinin meningkatkan kecepatan pembuatan RNA (tRNA, rRNA, mRNA) diduga dapat meningkatkan enzim chromatin bound RNA polimerase, (2) sitokinin dapat meningkatkan pengikatan aminoasil tRNA pada ribosom yang memperlancar pengenalan kodon, (3) sitokinin bekerja pasca transkripsi dengan mendorong pembentukan polisom, sehingga mRNA yang tidak ditranslasikan dapat diaktifkan, (4) sitokinin dibutuhkan dalam regulasi sintesis protein dalam pembentukan fungsi benang spindel. Aplikasi BAP dalam kultur jaringan digunakan untuk regenerasi tunas pada beberapa spesies tanaman (Mondal et al.,1998). Proliferasi kalus membentuk tunas biasanya membutuhkan adanya auksin dan sitokinin. Pada tembakau, pembentukan tunas dari kalus membutuhkan level konsentrasi auksin yang rendah dan sitokinin yang tinggi (Skoog & Miller, 1957 cit George, 1993), karena auksin berpengaruh terhadap
replikasi DNA (fase S), sedangkan sitokinin
berpengaruh terhadap
pembelahan mitosis (George, 1993). Beberapa contoh penggunaan auksin dan sitokinin dalam kultur jaringan ; perkembangan embrio somatik Linum usitassimum pada medium MS yang diberi suplemen 2,69 µM NAA dan 2,22 µM BA (Tejavathi et al., 2000), alpokat pada medium MS yang diberi suplemen 0,41 µM pikloram (Witjaksono & Litz, 1999), Phoenix canarisensis pada medium MS yang diberi
78
suplemen 0,45 µM BA dan 0,06 µM NAA (Huong et al., 1999), Prunus cerasus pada medium MS yang diberi suplemen 2,4 D dan kinetin (Haoru Tang et al., 2000), Azadirachta exelsa (Jack) Jacobs) pada medium SH (Schenk and hildebrandt) dengan suplemen 0,25 µM 2,4-D dan 2 µM BA (Te-chato & Rungnoi, 2000), Vitis vinifera dengan suplemen 5-10 µM 2,4-D dan 5-10 µM BA (Gray & Meredith, 1992).
Kesimpulan dan Saran Pembentukan tunas adventif manggis in vitro dapat dilakukan melalui tiga tipe regenerasi, yaitu: perkecambahan biji, organogenesis langsung dan tidak langsung. medium optimal pembentukan tunas pada perkecambahan biji dan organogenesis langsung adalah medium MS dengan konsentrasi 22,2 µM BAP. Pada organogenesis tidak langsung, medium optimal induksi kalus nodular adalah MS dengan perlakuan kombinasi konsentrasi 2,2 µM BAP dan 2,27 µM TDZ, sedangkan medium optimum regenerasi tanaman pada medium WPM dengan konsentrasi BAP 2,2 µM. Pembentukan tunas asal biji pertumbuhannya relatif cepat dan menghasilkan banyak tunas dibandingkan ke dua tipe regenerasi lainnya. Namun untuk pemuliaan mutasi, perkecambahan biji kurang sesuai karena akan menghasilkan mutan kimera. Sedangkan tipe regenerasi organogenesis langsung dan tidak langsung waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan tunas relatif lama dan tunas adventif yang dihasilkan bersifat mutan solid jika mendapat perlakuan mutagen.
Tunas adventif yang
dihasilkan melalui organogenesis tidak langsung sangat banyak sehingga sangat sesuai untuk menunjang pemuliaan mutasi manggis in vitro. Perpanjangan tunas pada manggis in vitro sangat lambat dan
induksi
perakaran yang sangat sulit disarankan untuk mencari komposisi medium dan zat pengatur tumbuh yang digunakan.
79
IV. INDUKSI MUTASI DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA PADA MANGGIS IN VITRO
Abstrak Peningkatan keragaman genetik tanaman manggis dapat dilakukan dengan induksi mutasi pada kultur in vitro. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan tanaman, menentukan dosis respon 50 % (DR50 ), mengetahui keragaman fenotipik. Kalus nodular berasal dari eksplan daun yang ditanam pada medium MS dengan kombinasi 2,2 µM BAP dan 2,27 µM TDZ. Kalus nodular diiradiasi denga n sinar gamma pada level dosis (0, 5 , 10, 15, 20 , 25, 30, 35, 40) Gy, kemudian diregenerasikan pada medium WPM ditambahkan 1,39 µM PVP, 0,8 % agar, 3 % gula pasir dan 2,2 µM BAP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis iradiasi sinar gamma dapat mempengaruhi regenerasi kalus nodular membentuk tunas. Persentase kalus nodular membentuk tunas dan jumlah tunas berbanding terbalik dengan peningkatan dosis iradiasi sinar gamma, sedangkan waktu membentuk tunas berbanding lurus dengan peningkatan dosis ri adiasi. DR50 pada persentase kalus nodular membentuk tunas adalah 25 Gy, jumlah tunas per kalus terjadi pada dosis 21 Gy dan waktu membentuk tunas adalah 18 Gy. Jumlah tunas total dosis 5 Gy lebih besar (9,1 tunas) dibandingkan dosis 0 Gy (8,6 tunas). Variabel persentase kalus nodular membentuk tunas dan waktu membentuk tunas pada dosis 0–40 Gy memiliki keragaman fenotipik luas, jumlah pasang daun dan jumlah tunas yang panjangnya 6-10 mm dan > 10 mm pada dosis 0–40 Gy memiliki keragaman fenotipik sempit, jumlah tunas per kalus nodular pada dosis 0–15 Gy memiliki keragaman fenotipik luas dan jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm pada dosis 0– 25 Gy memiliki keragaman fenotipik luas.
Kata kunci : induksi mutasi, dosis iradiasi sinar gamma, keragaman fenotipik
Pendahuluan Alternatif program pemuliaan tanaman apomik obligat seperti manggis dapat dilakukan dengan induksi mutasi. Induksi mutasi dapat berkontribusi dalam meningkatkan keragaman genetik tanaman. Selanjutnya dengan melakukan seleksi terarah akan diperoleh mutan yang diharapkan (Brock, 1977).
80
Induksi mutasi adalah proses perubahan mendadak pada materi genetik dari suatu sel yang mencakup perubahan pada tingkat gen, molekuler atau kromosom (Poehlman & Sleper, 1995). Induksi mutasi telah banyak digunakan untuk perbaikan genetik beberapa spesies tanaman buah-buahan seperti apel, mangga (Broertjes & van Harten,1988),
jeruk (Gmitter et al., 1992), pisang (Novak, 1992; Bhagwat &
Duncan, 1998), anggur (Valeria et al., 1997), pear (Predieri et al., 1997). Kombinasi teknik induksi mutasi dengan kultur in vitro akan diperoleh mutan somatik lebih cepat (Roux, 2004). Keuntungan induksi mutasi pada kultur in vitro dapat mengurangi pembentukan kimera, selanjutnya dengan melakukan multiplikasi akan diperoleh mutan utuh dengan cepat (Predieri et al., 1997), dan mempercepat program pemuliaan tanaman mulai dari pembentukan keragaman genetik, proses seleksi dan multiplikasi genotip yang diharapkan (Maluszinski et al., 1995). Metode induksi mutasi pada kultur in vitro mempunyai keuntungan, yaitu : (1) bahan tanaman dapat diperbanyak dengan cepat sebelum mendapatkan perlakuan untuk mendapatkan ukuran populasi yang besar, (2) melalui teknik perbanyakan akan diperoleh kimera periklinal atau individu homohiston, (3) mutan akan mudah didapatkan dengan memodifikasi kondisi kultur dengan menurunkan kompetisi somatik (Roux, 2004). Pada penelitian sebelumnya telah dikembangkan tiga tipe regenerasi tanaman in vitro pada manggis yaitu
perkecambahan, organogenesis langsung dan
organogenesis tidak langsung melalui kalus nodular. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh tipe regenerasi yang efisien, yaitu organogenesis tidak langsung. Induksi kalus nodular menggunakan medium MS dengan kombinasi 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ, sedangkan regenerasi tanaman menggunakan medium WPM dengan konsentrasi 2,22 µM BAP. Pada penelitian mutagenesis ini, materi yang digunakan adalah kalus nodular yang diiradiasi dengan sinar gamma. Sampai saat ini belum ada informasi pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap perkembangan kalus nodular dan regenerasi tanaman pada kultur in vitro manggis. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap sifat pertumbuhan manggis in vitro dan mengetahui keragaman fenotipik manggis akibat iradiasi sinar gamma. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi
81
teknik induksi mutasi pada manggis, memperluas keragaman fenotipik dan memperoleh mutan putatif yang memiliki sifat pertumbuhan yang baik.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan iradiasi dilaksanakan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan radiasi (P3TIR) BATAN, sedangkan percobaan kultur jaringan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Molekuler Pusat Kajian Buahbuahan Tropika (PKBT) IPB. Waktu percobaan dilaksanakan Juli 2003 sampai dengan April 2004. Pelaksanaan Percobaan Kalus nodular berasal dari eksplan daun yang
ditanam pada medium MS
dengan kombinasi 2,2 µM BAP dan 2,27 µM TDZ. Kalus nodular diiradiasi dengan sinar gamma pada Iradiator Gamma Chamber 4000 A (sumber
60
Co) dengan dosis
0 Gy (kontrol), 5 Gy, 10 Gy, 15 Gy, 20 Gy, 25 Gy, 30 Gy, 35 Gy dan 40 Gy. Laju dosis 204,4437 krad/jam (pada April, 2003). Gamma Chamber 4000A terlihat dalam Gambar 29.
Gambar 29. Gamma Chamber 4000 A (sumber 60 Co)
82
Kalus nodular yang sudah diiradiasi kemudian diregenerasikan menjadi planlet dengan menanam kalus nodular pada medium WPM ditambahkan 1,39 µM PVP, 0,8 % agar murni, 3 % gula pasir, dan 2,2 µM BAP. Perbedaan dosis iradiasi sinar gamma dijadikan sebagai perlakuan dan diulang 30 kali (botol kultur), masingmasing botol kultur terdiri dari empat inokulum. Percobaan ditata dalam RAL pada saat kalus nodular diregenerasikan menjadi planlet. Kultur dipelihara pada penyinaran 16 jam terang dan suhu 22
0
C.
Pengamatan dilakukan setelah 20 minggu kultur terhadap variabel persentase jumlah kalus nodular membentuk tunas, jumlah tunas per kalus nodular, jumlah pasang daun, waktu pembentukan tunas dan jumlah panjang tunas. Pengamatan mutasi secara visual dengan mengetahui pertumbuhan tunas dan warna daun. Untuk mengetahui DR50 digunakan grafik terhadap persentase jumlah kalus nodular yang membentuk tunas, jumlah tunas per kalus nodular dan waktu membentuk tunas. Data ditransformasikan dengan
x+0.5 ,
kecuali persentase jumlah
kalus nodular yang membentuk tunas ditransformasikan dengan arcsin
x.
Analisis
statistik menggunakan uji F dan dilanjutkan dengan uji gugus berganda Duncan. Analisis data menggunakan program SAS Release 6.12 (SAS Inst., 1996). Keragaman fenotipik (ó2 f) dihitung melalui perbandingan ragam fenotipik dengan standar deviasi ragam fenotipik (Sdó 2 f ) variabel yang diamati. Nilai ragam fenotipik dihitung menurut Steel & Torrie (1995) sebagai berikut : X2 i – ( X i)2 ó2 f = (n-1) keterangan : ó2 f = ragam fenotipik X i = nilai rata-rata genotipe ke-1 n = jumlah genotipe yang diuji Selanjutnya standar deviasi ragam fenotipik (Sd
2 ó f
) dihitung berdasarkan rumus
Anderson dan Brancot (1952) dikutip Daradjat (1987) sebagai berikut : Sd ó
2
f
ó2f = (n+1)
83
Kriteria penilaian terhadap luas atau sempit dihitung sebagai berikut (Darajat, 1987): Apabila ó2 f ≥ 2*Sd ó 2f
berarti keragaman fenotipiknya luas
Apabila ó2 f < 2*Sd ó 2f
berarti keragaman fenotipiknya sempit
Selanjutnya mutan- mutan manggis tersebut diseleksi dengan menentukan kriteria sebagai berikut persentase kalus nodular membentuk tunas melebihi 50 %, jumlah tunas yang melebihi 5 tunas, jumlah pasang daun yang melebihi 2 pasang daun, waktu membentuk tunas kurang dari 118 hari, jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm melebihi 5 tunas, jumlah tunas yang panjangnya 6-10 mm melebihi 3 tunas dan jumlah tunas yang panjangnya >10 mm melebihi 2 tunas.
Hasil dan Pembahasan Kalus nodular memberikan respon yang berbeda terhadap variabel yang diamati. Regenerasi dan pertumbuhan tunas pada manggis sangat lambat, sehingga pengamatan terhadap variabel tersebut dilakukan setelah 20 minggu. Kalus nodular yang beregenerasi memperlihatkan warna hijau tua, sedangkan kalus nodular yang berwarna coklat-hitam kecenderungan tidak dapat beregenerasi dan akhirnya mati. Berdasarkan analisis ragam, Fhitung untuk sumber variasi dosis iradiasi (perlakuan) semua variabel yang diamati menunjukkan berbeda nyata (Lampiran 7), artinya perlakuan dosis iradiasi dapat berpengaruh terhadap regenerasi tunas dari kalus nodular. Peningkatan perlakuan dosis iradiasi sinar gamma menyebabkan penurunan persentase daya regenerasi kalus nodular membentuk tunas. Pada perlakuan 0 Gy tanaman mengalami pertumbuhan normal dan tidak mengalami kerusakan fisiologis dan perubahan genetik, Terbukti pada perlakuan 0 Gy (kontrol) lebih tinggi dibandingkan perlakuan iradiasi sinar gamma. Sedangkan pada perlakuan iradiasi sinar gamma tanaman akan mengalami kerusakan fisiologis dan terjadi mutasi.
84
Terbukti pada perlakukan iradiasi regeneran lebih pendek dibandingkan kontrol. Menurut van Harten (1998), perubahan gen atau kromosom dapat terjadi akibat mutagen fisik atau kimia. Hubungan persentase kalus nodular membentuk tunas dengan dosis iradiasi dapat menggunakan persamaan regresi linier yaitu Y = 51,05 – 1,06 X, dimana Y adalah persentase kalus nodular membentuk tunas dan X adalah dosis iradiasi sinar gamma (Gambar 30). Hubungan persentase kalus nodular membentuk tunas berbanding terbalik dengan dosis iradiasi sinar gamma. Semakin tinggi dosis iradiasi yang digunakan semakin rendah persentase kalus nodular membentuk tunas. Berdasarkan analisis regresi tersebut setiap peningkatan dosis iradiasi 5 Gy terjadi penurunan persentase kalus nodular membentuk tunas sebesar 7,8 %. Koefisien determinasi (R2 ) telah diketahui 0,97. Hal ini menunjukkan
model regresi yang
digunakan sangat sesuai (andal) (Gambar 30).
Nodul kalus membentuk tunas (%)
60 50 40
DR50 menurut persamaan regresi Y = 51,05-1,06 X R2 = 0,97
30 20 10 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Dosis iradiasi sinar gamma (Gy)
Gambar 30. Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap persentase kalus nodular membentuk tunas pada medium WPM 2,2 µM BAP dihitung setelah 20 minggu kultur Sensitivitas radiasi dapat diketahui dengan letal dosis 50 % (LD50 ) (Roux, 2004) atau proliferasi dosis 50 % (PD50 ) (Witjaksono & Litz, 2004). Pada dosis respon 100 % ( DR100 ) didefinisikan sebagai regenerasi tanaman kontrol, sedangkan DR50 didefinisikan sebagai penurunan 50 % dari regenerasi tanaman kontrol. DR50
85
pada persentase kalus nodular yang membentuk tunas terdapat pada perlakuan dosis iradiasi sinar gamma 24 Gy (Gambar 30), karena persentase kalus nodular yang membentuk tunas pada kontrol adalah 54,3 % (DR100 ), sedangkan pada 25 Gy adalah 25,9 % (DR50 ). Witjaksono & Litz (2004) menyatakan DR50 pada perkembanga n embrio somatik alpukat diperoleh pada dosis iradiasi sinar gamma 35 Gy. Sedangkan Predieri et al. (2001) menyatakan LD50 tanaman pear diperoleh pada dosis 3,5 Gy dan diperoleh mutan yang mempunyai produktivitas tinggi dan kualitas buah yang baik. Peningkatan dosis iradiasi dapat menyebabkan jumlah tunas per kalus nodular menjadi berkurang. Hal ini didukung oleh analisis regresi Y = 4,65 – 0,11 X, dimana Y adalah jumlah tunas per kalus nodular dan X adalah dosis iradiasi. Hubungan jumlah tunas per kalus nodular berbanding terbalik dengan dosis iradiasi. Semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma yang digunakan maka jumlah tunas per kalus nodular yang dihasilkan semakin sedikit. Berdasarkan analisis regresi tersebut setiap peningkatan dosis iradiasi 5 Gy terjadi penurunan jumlah tunas per kalus nodular membentuk tunas sebesar 0,5. Koefisien determinasi (R2 ) adalah 0,91 artinya model
Jumlah tunas per nodul kalus
regresi yang digunakan sangat sesuai (andal) untuk data tersebut (Gambar 31). 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
DR50 menurut persamaan regresi Y = 4,65-0,11 X R2 = 0,91
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Dosis iradiasi sinar gamma (Gy) Gambar 31 . Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap jumlah tunas per kalus nodular pada medium WPM 2,2 µM BAP dihitung setelah 20 minggu kultur
86
DR50 telah diketahui adalah 21 Gy, karena pada dosis iradiasi 0 Gy jumlah tunas per kalus nodular adalah 4,90 tunas (DR100 ), sedangkan dosis iradiasi 21 Gy adalah 2,4 tunas (Gambar 31). Menurut Roux (2004), parameter radiasi sensitivitas dan pasca iradiasi yang diukur adalah laju survival dan laju multiplikasi. Pada pisang, LD50
Waktu pembentukan tunas (hari)
adalah 45 Gy (Mak Chay et al., 2004).
135 130 125
DR50 menurut persamaan regresi Y = 113,45+0,47 X R2 = 0,60
120 115 110 105 100
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Dosis iradiasi sinar gamma (Gy) Gambar 32 . Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap waktu pembentukan tunas pada medium WPM 2,2 µM BAP dihitung setelah 20 minggu kultur Waktu yang diperlukan kalus nodular membentuk tunas bervariasi rata-rata antara 104,45 – 129,53 hari, pada perlakuan 0 Gy rata-rata 104,5 hari kalus nodular dapat membentuk tunas, sedangkan yang paling lama terdapat pada perlakuan 25 Gy dan 40 Gy, dengan masing- masing 129,5 hari dan 129,4 hari. Waktu yang diperlukan untuk regenerasi membentuk tunas sangat lama. Waktu membentuk tunas pada medium WPM 2,2 µM BAP adalah rata-rata 94,5 hari (Gambar 31). Hal ini menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan tunas pada tanaman manggis sangat lambat yang disebabkan oleh faktor genetik atau iradisi sinar gamma. Pada perlakuan 0 Gy, 5 Gy dan 10 Gy jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm berjumlah
di atas 5, hal ini didukung dengan uji gugus berganda Duncan yang
menunjukkan tidak berbeda nyata. Pada jumlah tunas yang panjangnya 6-10 mm
87
perlakuan 0 Gy dan 5 Gy menunjukkan tidak berbeda nyata dengan nilai rata-rata berjumlah > 2, sedangkan perlakuan lainnya jumlah tunas yang panjangnya 6-10 mm berjumlah kurang dari 2, bahkan perlakuan di atas 25 Gy panjang tunas di atas 10 mm berjumlah kurang dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa panjang tunas pada manggis sangat lambat perkembangannya, meskipun ada beberapa planlet yang lebih dari 10 mm, tetapi sangat sedikit. Jumlah pasang daun yang muncul biasanya panjang tunas yang lebih dari 5 mm, sedangkan jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm belum muncul daun, sehingga belum dapat dihitung. jumlah tunas yang panjangnya yang paling tinggi pada perlakuan 0 Gy (kontrol), yaitu 1,0 dan dan diikuti perlakuan 5 Gy, yaitu 0,9. Sedangkan yang paling rendah terdapat pada perlakuan 40 Gy, yaitu 0,1. Berdasarkan uji gugus berganda Duncan perlakuan 0 Gy dan 5 Gy jumlah pasang daun menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 %, meskipun nilai rata-rata tersebut berbeda. Perlakuan 10 Gy berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sedangkan perlakuan 15 Gy dan 20 Gy menunjukkan tidak berbeda nyata, begitu juga perlakuan 25 Gy sampai 40 Gy menunjukkan tidak berbeda (Tabel 7). Tabel 7. Nilai rata-rata dan hasil uji gugus berganda Duncan pada jumlah pasang daun dan jumlah panjang tunas akibat perlakuan iradiasi sinar gamma pada media WPM 2,2 µM BAP setelah 20 minggu kultur Dosisiradiasi gamma (Gy) 0 5 10 15 20 25 30 35 40
Jumlah kultur 29 27 26 27 26 27 25 26 25
Jumlah pasang daun 1,0 a 0,9 a 0,6 b 0,3 bc 0,4 bc 0,2 c 0,1 c 0,1 c 0,1 c
Jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm 6-10mm >10 mm Total/botol 5,9 a 2,3 a 0,4 ab 8,6 6,6 a 0,2 a 0,3 ab 9,1 5,5 a 1,3 b 0,6 a 7,4 3,1 b 1,3 b 0,2 bc 4,6 3,1 b 1,3 b 0,3 ab 4,7 1,8 bc 0,9 b 0,2 bc 2,9 1,2 c 0,6 b 0,1 c 1,9 0,9 c 0,8 b 0,2 bc 1,9 0,6 c 0,6 b 0,1 bc 1,3
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh hurup yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji gugus berganda Duncan pada taraf 5 %
88
Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap planlet manggis bersifat individual. Meskipun perlakuan dosis yang sama pada kalus nodular, maka planlet yang dihasilkan belum tentu sama. Kebanyakan pertumbuhan planlet mutan sangat lambat, planlet berukuran pendek, daunnya kecil-kecil. Pada dosis iradiasi sinar gamma 5 Gy terdapat tanaman kimera dimana muncul tunas albino (R-5/2), munculnya tanaman albino frekuensinya sangat rendah (Gambar 33). Pada dosis 10 Gy terdapat tanaman agak pucat dimana terlihat tulang daun (R-10/1). Dosis di atas 30 Gy banyak kalus nodular yang tidak dapat beregenerasi dan cenderung kering dan mati.
tunas albino
B
A
Gambar 33. Penampilan regeneran mutan albino pada dosis 5 Gy (R-5/2) (A) dan R-10/1 (B) Uji Keragaman fenotipik manggis akibat pengaruh dosis iradiasi sinar gamma
Baihaki (1999) menyatakan bahwa untuk mengetahui adanya variasi dari suatu populasi harus dilakukan pengukuran dan analisis mengikuti kaidah statistika. Populasi yang bervariasi akan mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat dilihat dari nilai rata-rata, ragam, dan standar deviasi. Iradiasi sinar gamma merupakan mutagen fisik yang dapat menyebabkan peningkatan keragaman dari populasi awal. Krieteria keragaman fenotipik dapat dianalisis dengan membandingkan ragam dari suatu variabel dengan standar deviasi (Anderson & Brancot (1952) dikutip Darajat (1987).
89
Tabel 8. Keragaman fenotipik dan jumlah mutan putatif yang dihasilkan akibat dosis iradiasi sinar gamma menurut variabel persentase kultur membentuk tunas dan jumlah tunas per nodul kalus pada medium WPM 2,2 µM BAP Dosis Iradiasi (Gray)
N
0 5 10 15 20 25 30 35 40
29 27 26 27 26 27 25 26 25
Selang (%) 25-100 25-100 25-10 25-75 25-75 25-75 25-50 25-50 25-75
Persentase nodul kalus membentuk tunas ó2f 2*(Sdó 2 f) kriteria Jumlah mutan keragaman putatif 965,51 763,54 826,74 809,34 895,33 764,28 382,33 487,89 511,54
62,78 28,09 28,43 56,87 60,68 56,29 37,47 19,01 45,23
luas luas luas luas luas luas luas luas luas
13 9 10 6 4 2 2 2
selang 1,2 - 4,5 2,0 - 12,0 2,3 - 7,5 1,0 - 5,3 1,5 - 3,5 2,0 - 5,2 2,0 - 4,6 1,0 - 3,1 2,0 - 4,0
Jumlah tu ó2f 18,46 8,91 7,32 3,93 2,33 2,65 2,88 2,63 2,44
Tabel 9. Keragaman fenotipik dan jumlah mutan putatif yang dihasilkan akibat dosis iradiasi sinar gamma menurut variabel jumlah pasang daun dan waktu membentuk tunas pada medium WPM 2,2 µM BAP Dosis Iradia si (Gray) 0 5 10 15 20 25 30 35 40
N 29 27 26 27 26 27 25 26 25
selang
ó2f
1-2 1-2 1-2 1-2 1-1 1-1 1-1 1-1 1-1
0,62 0,65 0,48 0,31 0,23 0,17 0,07 0,10 0,07
Jumlah pasang daun 2*(Sdó 2 f) kriteria keragaman 1,60 1,61 1,41 1,11 0,96 0,85 0,39 0,65 0,54
sempit sempit sempit sempit sempit sempit sempit sempit sempit
90
Waktu m Jumlah mutan putatif
Selang (hari)
6 3 1 -
118 - 136 122 - 134 111 - 132 112 - 132 117 - 132 112 - 140 112 - 140 119 - 134 126 - 135
ó2f 1797,87 3109,29 2400,74 3931,73 4025,92 4283,99 4000,83 4017,34 3075,87
Tabel 10. Keragaman fenotipik dan jumlah mutan putatif yang dihasilkan akibat dosis iradiasi sinar gamma menurut variabel panjang tunas planlet pada medium WPM 2,2 µM BAP Dosis Iradias (Gray)
N
0 5 10 15 20 25 30 35 40
29 27 26 27 26 27 25 26 25
Jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm selang ó2f 2*(Sd ó2f) kriteria Jumla keraga h man mutan 2 - 12 16,4 4,06 luas 2 - 15 24,3 10,04 luas 11 2 - 13 15,4 7,96 luas 6 1- 9 7,18 5,44 luas 6 1- 9 7,70 5,60 luas 2 1- 6 4,73 4,2 luas 2 1- 5 2,95 3,31 sempit 1 1- 5 2,53 3,01 sempit 1 1- 4 1,61 2,53 sempit -
91
Jumlah tunas yang panjangnya 6-10 selan ó2f 2*(Sd ó2f) kriteria g keragam an 1- 6 2,67 2,84 sempit 1- 6 3,67 3,84 sempit 1- 5 3,24 3,63 sempit 1- 4 1,48 2,47 sempit 1- 3 1,48 2,39 sempit 1- 3 1,47 2,14 sempit 1- 3 0,93 1,72 sempit 1- 3 1,23 2,21 sempit 1- 4 1,38 2,35 sempit
mm selan jumlah mutan 5 5 3 2 1 1 1 1
Pada Tabel 8, selang persentase kalus nodular membentuk tunas 25 %-100 % untuk perlakuan 0 Gy, 5 Gy dan 10 Gy, sedangkan persentase kalus nodular membentuk tunas 25 % - 75 % untuk perlakuan 20 Gy, 25 Gy dan 40 Gy. Variabel persentase kalus nodular membentuk tunas mempunyai ragam yang lebih besar dari dua kali standar deviasi untuk semua dosis iradiasi, sehingga dikategorikan keragaman fenotipik menjadi luas.
Begitu juga, perlakuan 0 Gy (kontrol) juga
memiliki keragaman fenotipik luas. Hal ini disebabkan oleh kondisi kalus nodular yang tidak seragam, sehingga tingkat proliferasi kalus nodular berbeda. Begitu juga, dengan adanya perlakuan iradiasi sinar gamma menyebabkan kalus nodular sulit untuk berproliferasi membentuk tunas, namun demikian banyak planlet yang dihasilkan dari kalus nodular
yang diiradiasi.
Seleksi dilakukan berdasarkan
persentase kalus nodular yang membentuk tunas di atas 50 %, sehingga diperoleh 46 mutan putatif berdasarkan variabel tersebut (Tabel 8). Jumlah tunas per kalus nodular menunjukkan keragaman fenotipik yang luas untuk perlakuan 0 Gy, 5 Gy dan 10 Gy. Sedangkan pada perlakuan 15 Gy sampai 40 Gy menunjukkan keragaman fenotipik sempit. Jumlah tunas per eksplan pada perlakuan 15 Gy sampai 40 Gy memiliki ragam yang relatif kacil berkisar antara 2,44 – 3,93 dan nilai rata-rata < 2,42. Berdasarkan variabel jumlah tunas per kalus nodular diperoleh 18 mutan putatif dengan menyeleksi jumlah tunas di atas 5 tunas per kalus nodular (Tabel 8). Jumlah pasang daun untuk semua perlakuan memiliki ragam lebih kecil dibandingkan dua kali standar deviasi sehingga dikategorikan variabel tersebut mempunyai keragaman fenotipik sempit, jumlah pasang daun dihitung pada planlet yang mempunyai panjang tunas > 5 mm, sedangkan panjang tunas < 5 mm pasang daun planlet manggis belum muncul, sehingga belum dapat dihitung. Bedasarkan variabel jumlah pasang daun hanya diperoleh 10 mutan yang memiliki > 2 pasang daun (Tabel 9). Waktu membentuk tunas mempunyai ragam yang lebih besar dari dua kali standar deviasi, sehingga memilki keragaman fenotipik yang luas. Pada perlakuan 0 Gy selang waktu kalus nodular membentuk tunas 118-136 hari,
92
sedangkan
perlakuan 10 Gy dan 15 Gy masing- masing selang waktu kalus nodular membentuk tunas relatif lebih pendek masing- masing 111-132 hari dan 112-132 hari, berdasarkan variabel waktu membentuk tunas diperoleh 24 mutan putatif dengan kriteria seleksi kalus nodular membentuk tunas <118 hari (Tabel 9).
Pada jumlah tunas yang
panjangnya 1-5 mm, perlakuan 0 Gy – 25 memiliki ragam yang lebih besar dibandingkan dengan dua kali standar deviasi, sehingga dikategorikan memiliki keragaman fenotipik yang luas, sedangkan perlakuan 30 Gy sampai 40 Gy memiliki keragaman fenotipik yang sempit. Berdasarkan jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm diperoleh 29 mutan putatif. Untuk jumlah tunas yang panjangnya 6-10 mm dan > 10 mm memiliki keragaman fenotipik sempit untuk semua perlakuan dosis iradiasi dan diperoleh masing- masing 19 dan 17 mutan putatif (Tabel 10). Seleksi mutan putatif akan efektif terhadap variabel yang memiliki keragaman fenotipik luas seperti pada persentase kultur membentuk tunas, jumlah tunas, waktu membentuk tunas dan jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm. Sedangkan variabel jumlah pasang daun dan jumlah tunas yang panjangnya 5-10 mm dan >10 mm tidak dapat dijadikan kriteria seleksi karena memiliki keragaman fenotipik sempit sehingga mutan yang dihasilkan relatif sedikit. Berdasarkan gabungan variabel yang diamati maka dilakukan seleksi dan ditetapkan 21 genotip mutan putatif dan satu tanaman kontrol yang akan dijadikan sebagai bahan analisis berikutnya (Tabel 11). Tata cara penamaan genotip mutan, yaitu R-5/1, yaitu R menunjukkan Regeneran, angka 5 menunjukkan asal dosis 5 Gy dan angka 1 menunjukkan asal tanaman nomor 1. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dosis iradiasi dapat berpengaruh terhadap regenerasi tanaman manggis in vitro. Gaul (1977) menyatakan kerusakan fisiologis yang disebabkan oleh pengaruh iradiasi sinar gamma, seperti pertumbuhan yang terhambat dan letalitas hanya terjadi pada generasi M1 atau MV1 sedangkan pada generasi selanjutnya yang terjadi perubahan genetik saja. Gustafson & Ekberg (1977) menyatakan iradiasi sinar gamma akan menyebabkan mutasi. Lebih lanjut Gustafson & Ekberg (1977) menyatakan mutasi dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu mutasi genom, mutasi kromosom (termasuk mutasi gen) dan mutasi di luar inti.
93
Tabel 11. 21 regeneran mutan putatif hasil seleksi dan satu regeneran kontrol No . 1. 2. 3.
Regeneran Asal- usul seleksi
Ciri khusus mutan
Kontrol R-5/1 R-5/2
Tanaman kontrol Regeneran no. 1 dari dosis 5 Gy Regeneran no. 2 dari dosis 5 Gy
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
R-5/3 R-5/4 R-10/1 R-10/2 R-10/3 R-10/4 R-15/1 R-15/2 R-15/3 R-20/1 R-20/2 R-20/3 R-25/1 R-25/2 R-30/1 R-30/2 R-35/1 R-35/2 R-40/1
Regeneran no. 3 dari dosis 5 Gy Regeneran no. 4 dari dosis 5 Gy Regeneran no. 1 dari dosis 10 Gy Regeneran no. 2 dari dosis 10 Gy Regeneran no. 3 dari dosis 10 Gy Regeneran no. 4 dari dosis 10 Gy Regeneran no. 1 dari dosis 15 Gy Regeneran no. 2 dari dosis 15 Gy Regeneran no. 3 dari dosis 15 Gy Regeneran no. 1 dari dosis 20 Gy Regeneran no. 2 dari dosis 20 Gy Regeneran no. 3 dari dosis 20 Gy Regeneran no. 1 dari dosis 25 Gy Regeneran no. 2 dari dosis 25 Gy Regeneran ke 1 dari dosis 30 Gy Regeneran no. 2 dari dosis 30 Gy Regeneran no. 1 dari dosis 35 Gy Regeneran no. 2 dari dosis 35 Gy Regeneran no. 1 dari dosis 40 Gy
tunas tinggi, daun lebar tunas pendek, daun kecil, daun tebal, muncul tunas albino ruas pendek, daun agak kecil tunas agak pendek, daun kecil daun lebar dan agak pucat tunas agak pendek ujung daun cuspidate tunas pendek, daun agak kecil ruas pendek, daun kecil tunas pendek, daun kecil daun tebal, tunas pendek, daun kecil daun lebih kecil, ruas buku pendek, daun kecil tunas pendek, daun kecil, ruas pendek, daun agak lebar ruas pendek, daun kecil ujung daun cuspidate tunas pendek, daun agak kecil internod pendek, daun kecil tunas pendek, daun kecil
Mutasi genom terjadi bila satu atau lebih jumlah set kromosom
mengalami
penambahan. Mutasi kromosom terbagi menjadi mutasi jumlah kroosom dan struktur kromosom. Mutasi jumlah kromosom terjadi bila terdapat penambahan atau pengurangan jumlah kromosom, sedangkan mutasi struktur kromosom terjadi bila segmen kromosom mengalami pengurangan (delesi), translokasi, duplikasi atau inversi (Gustafson & Ekberg, 1977). Mutasi di luar inti terjadi bila pada organelorganel di luar inti mengalami perubahan seperti DNA plastid, DNA mitokondria dan lain- lain. (Mohr & Schopfer, 1995). Mohr & Schopfer (1995) menyatakan radiasi pengion (iradiasi gamma) akan menghasilkan ion dan radikal dalam bentuk hidroksil (OH-). Jika radikal hidroksil menempel pada rantai nukleotida dalam DNA, maka utas tunggal DNA akan patah,
94
sehingga akan mengalami perubahan gen. Van Harten (1998) menyatakan kerusakan DNA akibat iradiasi sinar gamma dapat berupa transisi atau transversi antara purin dan pirimidin, tali utas tunggal atau ganda patah. Radiasi pengion sering menyebabkan aberasi kromosom; radiasi pada tahap propase dalam pembelahan sel akan menghasilkan menghasilkan aberasi kromatid (Desrosier & Rosenstock, 1960). Kromosom manggis mengalami aberasi akibat sinar gamma, mengingat jumlah kromosom manggis banyak dan berukuran kecil. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan kromosom, mengingat regeneran mengalamai kesulitan untuk berakar. Selanjutnya Banerji & Datta (1993) menyatakan hasil evaluasi tipe aberasi kromosom pada 15 kultivar krisan yang diiradiasi sinar gamma pada dosis 1,5–2,5 krad terlihat
ada gumpalan dan persentase sel yang
mengalami aberasi kromosom meningkat dengan adanya dosis iradiasi sinar gamma. Menurut Bhagwat & Duncan (1998), reduksi pertumbuhan 50 % pada pisang terjadi pada dosis 30-40 Gy, sedangkan menurut Novak (1992), dosis sinar gamma dianjurkan 25 Gy untuk pisang diploid, 35 Gy untuk triploid (AAA), 40 Gy untuk AAB dan ABB dan 50 Gy untuk tetraploid (AAAA). Pada jeruk, kalus yang diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 8 - 16 Gy (Micke & Donini, 1993), pada tanaman krisan, letal dosis 50 % terjadi pada dosis 15 Gy dan muncul mutasi sektoral dam periklinal pada genotipe ‘Borholm’ (Qosim, 1999). Dosis iradiasi gamma yang dianjurkan pada Malus pumila adalah 60-70 Gy, Prunnus cerasus 20-50 Gy, Mangifera indica 10-50 Gy (Broertjes & van Harten, 1988), Citrus sinensis 8-16 Gy, Pyrus communis 50-70 Gy, Sacharum sp. 10-25 Gy, Musa spp. 10-25 Gy (Micke & Donini, 1993). Pada kentang, penggunaan iradiasi gamma dosis rendah 2,5 Gy dapat meningkatkan produksi umbi mikro 38 % dari tanaman kontrol ( Al-Safadi et al., 2000). Induksi mutasi telah digunakan dalam peningkatan kemampuan genetik pada beberapa tanaman. Kultivar tanaman buah-buahan yang dihasilkan melalui pemuliaan mutasi, seperti mutan pear kultivar ‘Gold Nijisseiki’ tahan terhadap penyakit black spot (Alternaria alternata), apel kultivar ‘McIntosh’ tahan terhadap powdery mildew (Podospora leucotricha), anggur
tahan terhadap downy mildew (Plasmopora
95
viticola) (van Harten, 1998). Pada tanaman padi karakter yang berhasil dikembangkan adalah hasil, kegenjahan, kualitas biji, toleransi pada blas, adaptabilitas, glutinous endosperm, intensitivitas fotoperiod (FAO/IAEA 1993 dalam Maluszynski at al., 1995).
Kesimpulan dan Saran
Iradiasi sinar gamma dapat berpengaruh terhadap pembentukan tunas adventif, perubahan morfologi
serta
meningkatkan keragaman fenotipik. DR50 pada
persentase kalus nodular membentuk tunas adalah 25 Gy, jumlah tunas per kalus terjadi pada dosis 21 Gy dan waktu membentuk tunas adalah 18 Gy. Jumlah tunas total dosis 5 Gy lebih besar
(9,1 tunas) dibandingkan dosis 0 Gy (8,6 tunas).
Variabel persentase kalus nodular membentuk tunas dan waktu membentuk tunas pada dosis 0–40 Gy memiliki keragaman fenotipik luas, jumlah pasang daun dan jumlah tunas yang panjangnya 6-10 mm dan > 10 mm pada dosis 0–40 Gy memiliki keragaman fenotipik sempit, jumlah tunas per kalus nodular pada dosis 0–15 Gy memiliki keragaman fenotipik luas dan jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm pada dosis 0– 25 Gy memiliki keragaman fenotipik luas. Pada umumnya regeneran akibat iradiasi sinar gamma memberikan pertumbuhan yang lambat, meskipun ada beberapa regeneran yang memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan kontrol. Pembentukan mutan solid telah tercapai, karena tunas adventif yang muncul berasal dari kalus nodular. DR50 terjadi pada dosis iradiasi sinar gamma 25 Gy. Penggunaan dosis tersebut akan memberikan peluang untuk mendapatkan mutan yang diharapkan semakin besar. Regeneran yang mengalami perubahan morfologi disarankan untuk diuji kestabilan genetiknya, perubahan tersebut bersifat genetik atau faktor lingkungan.
96
V. STUDI ANATOMI DAUN PADA REGENERAN MANGGIS IN VITRO Abstrak
Deteksi mutan dapat diketahui melalui perubahan struktur anatomi daun manggis in vitro. Tujuan penelitian untuk mempelajari perubahan anatomi daun manggis in vitro akibat iradiasi sinar gamma. Sampel daun berasal dari 21 regeneran dan satu tanaman kontrol. Struktur anatomi daun diamati dengan membuat irisan paradermal dan transversal. Irisan paradermal dibuat mengikuti metode sediaan utuh (whole mount) dan diwarnai dengan safranin 1 % (Johansen, 1940), sedangkan irisan transversal dibuat dengan mengikuti metode parafin. Daun disayat menggunakan mikrotom putar dengan tebal 10 µm, kemudian diwarnai dengan safranin 1 % dan fastgreen 0,5 % (Sass, 1951). Hasil penelitian menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma dapat mempengaruhi perubahan anatomi daun baik pada irisan paradermal maupun transversal. Pada irisan paradermal, luas stomata regeneran pada umumnya lebih besar dibandingkan kontrol. Regeneran yang memiliki kerapatan dan indeks stomata yang lebih besar dibandingkan kontrol adalah regeneran R-5/2, R-5/3, R-5/4, R-10/4, R-15/3, R-25/1, R-30/1 dan R-30/2. Pada irisan transversal, ketebalan kutikula adaksial regeneran lebih tipis dibandingkan kontrol, kecuali regeneran R-5/1. Regeneran R-10/4, R-15/1, R-15/2, R-15/3 memiliki parenkim palisade, bunga karang dan lamina daun yang lebih tebal. Pada umumnya bunga karang dan jumlah berkas pembuluh regeneran lebih tebal dibandingkan kontrol. Kata kunci : anatomi daun , regeneran, manggis
Pendahuluan Tanaman manggis termasuk
tanaman yang mempunyai
laju pertumbuhan
yang sangat lambat. Hal ini disebabkan oleh (1) sistem perakaran yang kurang baik (Almayda & Martin, 1976; Home, 1947), karena pertumbuhan bulu-bulu akar sangat terbatas, sehingga penyerapan air dan hara lambat, (2) rendahnya pembelahan sel pada meristem pucuk, (3) rendahnya laju fotosintesis (Poerwanto et al., 1995; Wieble et al., 1993; Ramlan et al., 1992). Di lapang laju fotosintesis daun manggis sangat rendah, yaitu 1,0 – 4,8 µmol CO2 R- 2 .s-1 , sedangkan laju fotosintesis untuk tanaman buah-buahan tropik lainnya, yaitu 10 – 20 µmol CO2 R- 2 .s-1 (Wiebel, 1993).
97
Laju fotosintsis dapat diukur langsung melaui indeks luas daun, sudut daun, dan kerapatan stomata (Rasmusson & Gengenbach, 1984). Laju fotosintesis sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman. Laju fotosintesis setiap
spesies atau varietas berbeda seperti, jagung, kedelai gandum gula bit dan kacang merah (Rasmusson & Gengenbach, 1984). Laju fotosintesis tanaman sangat berkaitan dengan perubahan anatomi daun. Induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma dapat berpengaruh terhadap perubahan fisiologi atau anatomi tanaman. Perubahan anatomi dapat diamati secara histologi seperti stomata, kutikula, epidermis, parenkim palisade, bunga karang dan berkas pembuluh. Pemuliaan karakter laju pertumbuhan dan hasil pada tanaman tahunan seperti manggis membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Untuk mempersingkat program pemuliaan
karakter tersebut dilakukan seleksi tidak
langsung dengan mengukur laju fotosintesis pada fase juvenil, sehingga seleksi terhadap karakter pertumbuhan dan hasil dapat dilakukan lebih awal. Pemuliaan manggis dapat dilakukan induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma. Iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan mutasi dan perubahan fisiologis. Pengaruh fisiologis dapat diketahui melalui pendekatan perubahan anatomi pada daun. Hasil penelitian sebelumnya telah diperoleh regeneran manggis in vitro berasal dari beberapa dosis iradiasi sinar gamma. Akan tetapi pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap perubahan struktur anatomi daun belum diketahui. Tujuan penelitian untuk mempelajari perubahan anatomi daun manggis in vitro akibat iradiasi sinar gamma. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi indikator seleksi tidak langsung terhadap laju pertumbuhan tanaman manggis.
98
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB. Waktu percobaan dilaksanakan bulan Mei 2004 sampai dengan September 2004.
Bahan dan Alat Sampel daun berasal dari tanaman regeneran dan kontrol seperti pada Tabel 11. Bahan-bahan lainnya adalah alkohol 70 %, HNO3 , safranin 1 %, gliserin 10 %, FAA, TBA, parafin, fastgreen 0,5 %, dan larutan xilol. Alat-alat yang digunakan tabung film, cawan petri, pinset, kuas, silet, oven, mikrotom putar (rotary microtom) (Yamato RV-240), gelas objek, gelas penutup dan mikroskop (Nikon HFX-DX).
Pelaksanaan Percobaan Sampel daun tanaman manggis in vitro berasal dari regeneran perlakuan dosis iradiasi sinar gamma yang sudah diseleksi. Daun berasal dari tunas yang berumur lebih kurang 12 bulan daun yang kedua. Setiap sampel hanya satu daun dengan pengamatan lima bidang pandang per daun. Pengamatan anatomi daun manggis dilakukan pada irisan paradermal dan transversal. Pada irisan paradermal, variabel yang diamati adalah panjang, lebar dan luas stomata, kerapatan stomata, kerapatan epidermis dan indeks stomata. Irisan paradermal dibuat mengikuti metode sediaan utuh (whole mount) dan diwarnai dengan safranin 1 % (Johansen, 1940), sedangkan irisan transversal dibuat dengan mengikuti metode parafin. Daun disayat menggunakan mikrotom putar dengan tebal 10 µm, selanjutnya diwarnai dengan safranin 1 % dan fastgreen 0,5 % (Sass, 1951). Proses pembuatan irisan paradermal dan transversal dapat dilihat pada Lampiran 8. Pengamatan irisan paradermal dilakukan terhadap panjang, lebar dan stomata, kerapatan stoma ta, kerapatan epidermis dan indeks stomata.
99
luas
Kerapatan stomata (per mm2 ) =
Indeks stomata
jumlah stomata satuan luas bidang pandang
jumlah stomata = jumlah stomata + jumlah sel epidermis
Pengamatan pada irisan transversal meliputi ketebalan daun, kutikula, jaringan epidermis, jaringan parenkim palisade dan jaringan bunga karang serta jumlah berkas pembuluh.
Hasil dan Pembahasan a. Irisan paradermal Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa lapisan epidermis daun manggis ditemukan lubang stomata, sel penjaga, sel tetangga dan sel epidermis (Gambar 34).
Lubang stomata Sel penjaga
Sel tetangga
Sel epidermis
Gambar 34. Struktur anatomi daun manggis irisan paradermal (400x)
100
Stomata daun manggis tersebar secara merata di antara sel epidermis dan stomata ditemukan pada permukaan atas (adaksial) dan bawah (abaksial) daun sehingga daun manggis dikelompokan pada tipe amfistomatik. Stomata pada daun manggis diiringi oleh sel tetangga yang tak sama besar sehingga termasuk pada jenis parasitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas stomata antar regeneran manggis bervariasi antara 221,7 - 427,3 µm2 dengan rata-rata 339,5 ± 21,9 µm2 . Luas stomata kontrol adalah 304,8 µm2 dengan panjang stomata 18,7 µm dan lebar stomata 16,3 µm. Luas stomata paling kecil terdapat pada regeneran R-25/1, yaitu 221,7 µm2 dengan panjang stomata 15,4 µm dan lebar stomata 14,8 µm, sedangkan luas stomata yang paling besar pada regeneran R-20/3, yaitu 427,3 µm2 dengan panjang 19,6 µm dan lebar 21,8 µm (Tabel 12). Pada umumnya regeneran lebih besar (> 304,8 µm) dari kontrol. Hasil uji- t menunjukkan bahwa terdapat tujuh regeneran yang sangat berbeda secara statistik. Regeneran tersebut adalah R-10/1, R-10/2, R-10/3, R-15/2, R-20/1, R-20/3, dan R-35/1. Luas stomata sangat berpangaruh terhadap pertukaran gas CO2, Regeneran yang mempunyai luas stomata yang besar memungkinkan pertukaran gas CO2 sangat tinggi, sehingga laju fotosintesis sangat efesien (Willmer, 1983). Tabel 12. menunjukkan kerapatan stomata antar regeneran manggis bervariasi antara 54,0-122,4 /mm2 dengan rata-rata 94,1 ± 7,2 /mm2 . Pada kontrol kerapatan stomata ditemukan 100,0 /mm2 . Kerapatan stomata paling banyak terdapat pada regeneran R-10/4, yaitu 122,4/mm2 dengan luas stomata 290,5 µm2 , tetapi kerapatan epidermis termasuk
sedikit, yaitu 1246,2/mm2 . Regeneran R-10/3 mempunyai
kerapatan stomata yang paling sedikit, yaitu 54,0 /mm2 dengan luas stomata 432,5 µm2 , tetapi regeneran tersebut mempunyai kerapatan sel epidermis paling tinggi, yaitu 1587,8 /mm2 (Tabel 12). Hasil uji-t (Tabel 12) menunjukkan bahwa sembilan regeneran yang memiliki kerapatan sel epidermis lebih dari 1456/mm2 berbeda nyata secara statistik. Regeneran tersebut adalah R-10/1, R-10/2, R-10/3, R-20/1, R-20/3 dan R-35/1, sedangkan regeneran yang memiliki kerapatan stomata lebih dari 102,6/mm2
101
berbeda nyata secara statistik. Regeneran tersebut adalah R-5/1, R-5/2, R-5/3, R10/4, R-15/3, R-25/1, R-25/2, R-30/2 dan R-40/1. Pada umumnya, kerapatan stomata sering berkaitan dengan luas stomata,
kerapatan stomata paling tinggi biasanya
mempunyai luas stomata yang kecil. Begitu juga sebaliknya, kerapatan stomata yang sedikit biasanya mempunyai luas stomata yang besar. berkaitan pula dengan kerapatan stomata.
Kerapatan sel epidermis
Kerapatan stomata tinggi biasanya
mempunyai kerapatan sel epidermis rendah, seperti pada regeneran R-10/4 dan kerapatan stomata yang rendah biasanya mempunyai kerapatan sel epidermis yang tinggi, seperti pada regeneran R-10/3. Willmer (1983) menjelaskan sel penjaga yang lebih kecil menghasilkan kerapatan stomata yang lebih tinggi. Menurut Wiebel (1993), kerapatan stomata pada manggis tergolong rendah berkisar 100-180 /mm2 dibandingkan kerapatan stomata tanaman buah lainnya. Pada apel, kerapatan stomata berkisar 250-460/mm2 (Friedrich et al., 1986), jeruk kerapatan stomata 450/mm2 (Kriedemenn, 1986), makadamia kerapatan stomata berkisar 360-500/mm2 (Stephenson, 1989), cashew cv Guntur kerapatan stomata 474/mm2 dan mangga cv Kensington kerapatan stomata 631 /mm2 (Wiebel, 1993). Indeks stomata antar regeneran manggis bervariasi antara 4,1 – 9,3 dengan ratarata 7,2 ± 0,56. Indeks stomata paling rendah pada R-10/3, yaitu 4,1, sedangkan yang paling tinggi terdapat regeneran R-10/4, yaitu 9,3 (Tabel 12). Indeks stomata menunjukkan rasio stomata dengan sel epidermis. Indeks stomata berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada luas stomata dan sel epidermis. Bila kerapatan stomata rendah dibandingkan sel epidermis akan menghasilkan indeks stomata yang rendah, begitu juga sebaliknya kerapatan stomata yang tinggi dibandingkan sel epidermis akan menghasilkan indeks stomata tinggi. Hasil uji-t menunjukkan bahwa
tujuh regeneran yang
memiliki
indeks
stomata lebih dari 8,3 yang berbeda nyata secara statistik. Regeneran tersebut adalah R-5/2, R-5/3, R-5/4, R-10/4, R-15/3, R-25/1 dan R-30/2. Menurut Willmer (1983), variabel indeks stomata merupakan karakter anatomi yang tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (stabil) dibandingkan variabel luas dan kerapatan stomata, sehingga variabel tersebut digunakan sebagai penciri keragaman tanaman.
102
Tabel 12. Pengamatan irisan paradermal pada 21 regeneran mutan dan satu kontrol manggis in vitro Regeneran Kontrol R-5/1 R-5/2 R-5/3 R-5/4 R-10/1 R-10/2 R-10/3 R-10/4 R-15/1 R-15/2 R-15/3 R-20/1 R-20/2 R-20/3 R-25/1 R-25/2 R-30/1 R-30/2 R-35/1 R-35/2 R-40/1 Rata-rata
Panjang (µm) ± S.E 18,7 ± 0,3 tn 17,5 ± 0,2 tn 15,9 ± 0,5 tn 18,6 ± 0,6 tn 16,3 ± 0,4 tn 19,5 ± 0,3 ** 21,3 ± 0,5 ** 21,2 ± 0,7 ** 16,6 ± 0,6 tn 19,1 ± 0,5 * 20,1 ± 0,6 ** 17,6 ± 0,5 tn 19,5 ± 0,4 ** 17,9 ± 0,3 tn 19,6 ± 0,4 ** 15,4 ± 0.9 tn 17,8 ± 0,6 tn 17,1 ± 0,7 tn 18,2 ± 0,6 tn 19,6 ± 0,4 ** 18,3 ± 0,6 tn 18,7 ± 0,5 tn 18,4 ± 0,5
Stomata Lebar (µm) ± S.E 16,3 ± 0,4 tn 17,4 ± 0,9 tn 16,9 ± 0,6 tn 18,9 ± 0,7 tn 17,6 ± 0,7 tn 21,5 ± 0,6 ** 19,3 ± 0,8 tn 20,4 ± 0,7 ** 17,5 ± 0,7 tn 18,4 ± 0,7 tn 19,4 ± 0,7 tn 16,1 ± 0,8 tn 22,7 ± 0,6 ** 20,4 ± 0,7 ** 21,8 ± 0,8 ** 14,8 ± 0,3 tn 15,3 ± 0,7 tn 19,3 ± 0,8 tn 18,4 ± 0,9 tn 20,4 ± 0,7 ** 19,1 ± 0,6 tn 17,3 ± 0,4 tn 18,6 ± 0,7
Luas (µm2 ) ± S.E 304,8 ± 13,1 tn 304,5 ± 12,7 tn 268,7 ± 21,7 tn 351,5 ± 11,9 tn 286,9 ± 21,0 tn 419,3 ± 19,8 ** 411,1 ± 16,7 ** 432,5 ± 15,6 ** 290,5 ± 17,1 tn 351,4 ± 18,2 tn 389,9 ± 11,1 ** 283,4 ± 14,1 tn 442,6 ± 13,1 ** 365,2 ± 9,1 tn 427,3 ± 17,6 ** 221,7 ± 13,4 tn 272,3 ± 14,5 tn 330,0 ± 18,1 tn 334,9 ± 17,9 tn 399,8 ± 32,2 ** 349,5 ± 12,4 tn 323,5 ± 17,2 tn 339,5 ± 21,9
Kerapatan Epidermis (per mm2 ) Stoma ± S.E 1310,1 ± 25,9 tn 100,0 1324,6 ± 17,8 tn 94,8 tn 1127,2 ± 12,9 119,8 tn 1239,7 ± 17,9 117,1 1258,8 ± 23,7 tn 109,2 1456,8 ± 25,9 * 75,0 1575,2 ± 31,7 * 59,2 1587,8 ± 25,9 * 54,0 tn 1246,2 ± 37,8 122,4 tn 1338,4 ± 28,9 85,5 1417,3 ± 19,7 tn 76,3 tn 1311,4 ± 21,7 109,2 1471,9 ± 18,4 * 80,3 1377,2 ± 21,9 tn 90,8 1568,0 ± 28,8 * 67,1 tn 1258,8 ± 17,5 119,8 1384,4 ± 16,5 tn 100,0 tn 1304,8 ± 11,3 106,6 tn 1272,6 ± 17,6 114,5 1516,7 ± 14,7 * 79,0 tn 1400,2 ± 15,9 86,9 tn 1345,6 ± 23,5 102,6 1367,9 ± 21,9 94,1
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata; ** = berbeda sangat nyata berdasarkan uji-t pada taraf 5 %; SE = standar error
103
Iradiasi sinar gamma dapat mempengaruhi perubahan karakter anatomi daun pada irisan paradermal. Perubahan tersebut nampak bersifat individual, meskipun diiradiasi pada dosis yang sama. Dosis 5 Gy dan 25 Gy terjadi perubahan yang nyata pada variabel kerapatan dan indeks stomata, sedangkan dosis 10 Gy dan 35 Gy terjadi perubahan yang nyata pada luas stomata dan kerapatan sel epidermis. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan karakter anatomi daun adalah faktor lingkungan seperti ketersediaan air, intensitas cahaya, konsentrasi CO2 , dan temperatur (Willmer, 1983). Willmer (1983) menyatakan kerapatan stomata sangat tergantung pada ukuran sel, jika ukuran sel penjaga kecil maka kerapatan stomata lebih banyak. Begitu juga, sebaliknya ukuran sel penjaga lebih besar maka kerapatan stomata menurun. Lebih lanjut Willmer (1983) menyatakan kerapatan stomata sangat tergantung pada genotip dan kondisi lingkungan.
Genotip yang memiliki tingkatan ploidi besar biasanya
genotip tersebut memiliki kerapatan stomata rendah. Selanjutnya Salisbury mengembangkan konsep indeks stomata. Indeks stomata merupakan perbandingan jumlah stomata dengan jumlah epidermis dan stomata. Indeks stomata relatif lebih stabil dibandingkan kerapatan stomata (Willmer, 1983). Regeneran manggis yang mempunyai kerapatan stomata tinggi memungkinkan pertukaran gas atau penyerapan konsentrasi CO2 tinggi. Kerapatan stomata manggis di lapang berkisar 100- 180 /mm2 . Secara teori, kerapatan stomata di kultur in vitro lebih rendah di bandingkan di lapang, karena kondisi cahaya dan CO2 yang lebih rendah. Bila ada regeneran
in vitro yang memiliki kerapatan stomata lebih tinggi
(>100 /mm2 ) maka regeneran dikelompokkan sebagai mutan putatif. Salisbury & Ross (1992) menyatakan stomata berfungsi sebagai pintu masuknya CO2 ke dalam daun untuk fotosintesis dan mengeluarkan air dari daun sebagai proses transpirasi. Stomata membuka pada siang hari yang memungkinkan masuknya CO2 yang diperlukan untuk proses fotosintesis.
104
Kontr
10µm
10µm
10µm
R-25/2
10µm
R-
R-35/2
Gambar 35. Perbandingan struktur anatomi irisan paradermal daun manggis. kontrol (kiri atas); regeneran R-10/3 (kanan atas); regeneran R-25/2 (kiri bawah); regeneran R-35/2 (kanan bawah)
b. Irisan transversal Struktur daun manggis pada irisan transversal terdiri dari jaringan epidermis adaksial, parenkim palisade, bunga karang, dan epidermis abaksia l. Jaringan epidermis dilapisi oleh kutikula yang tersebar pada permukaan daun. Struktur daun manggis termasuk pada tipe dorsiventral, karena jaringan palisade berada di antara epidermis bagian atas (adaksial) dan jaringan bunga karang dan ditemukan satu lapisan parenkim palisade. Struktur daun manggis pada irisan transversal seperti tertera pada Gambar 36.
105
Kutikula atas Palisade parenkim
Epidermis adaksial idioblas
Berkas pembuluh Bunga karang Epidermis abaksial 10µm
Kutikula bawah
Gambar 36. Struktur daun manggis pada irisan transversal (pembesaran 400 X)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kutikula daun manggis terdapat pada jaringan epidermis adaksial dan abaksial. Kutikula pada bagian adaksial pada umumnya lebih tebal bisa mencapai 4 µm, sedangkan kutikula abaksial hanya mencapai 2 µm. Dari sampel regeneran yang dianalisis ketebalan kutikula adaksial berkisar antara 1,0 µm – 4,0 µm dengan rata-rata 2,1 ± 0,4 µm, sedangkan kutikula abaksial 1 µm – 2 µm dengan rata-rata 1,4 ± 0,3 µm. Ketebalan kutikula adaksial pada kontrol 3,0 µm (Tabel 13). Ada satu regeneran yang memiliki ketebalan kutikula yang lebih besar dari kontrol, yaitu R-5/1 (4 µm), sedangkan yang lainnya lebih rendah dari kontrol, kecuali R-20/1 sama dengan kontrol. Sedangkan lapisan kutikula abaksial yang paling tebal dibandingkan kontrol adalah regeneran R-5/1, R-5/2, R20/3, R-30/2 dan R-35/1 dengan ketebalan ≥ 2 µm (Tabel 13). Genotip- genotip tersebut mungkin memiliki sifat toleran terhadap kekeringan, karena kutikula yang lebih tebal dapat mengurangi laju transpirasi air dan dapat merepleksikan sinar matahari. Kutikula juga berfungsi untuk melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit.
Kutikula
yang
sangat
licin
dapat
mengurangi
penempelan
dan
perkembangan spora pada permukaan daun, sehingga terhindar dari serangan penyakit (Mauseth, 1988).
106
Gambar 36 menunjukkan bahwa kontrol yang memiliki sel epidermis, parenkim palisade, dan bunga karang berkembang secara normal. Berbeda dengan regeneran R25/3 memiliki daun yang paling tebal (115,4 µm) dibandingkan regeneran lainnya dan memiliki berkas pembuluh paling tinggi (37) serta banyak ditemukan idioblas yang tersebar pada parenkim palisade dan bunga karang. Regeneran R-25/2 memiliki daun yang lebih tipis (76 µm), dan parenkim palisade lebih tipis, serta bunga karang tidak mengalami kerusakan. Regeneran R-35/2 memiliki perubahan pada bunga karang (rongga yang besar). Begitu juga regeneran R-10/2 memiliki bentuk bunga karang yang tidak beraturan memanjang ke arah horizontal. Regeneran R-5/3 ditemukan sedikit perubahan pada bunga karang. Tabel 13 menunjukkan bahwa sel epidermis adaksial ketebalannya dengan epidermis abaksial
hampir sama
dapat mencapai rata-rata 6,6 µm. Pada
kontrol tebal epidermis adaksial 4,8 µm dan epidermis abaksial 4,2 µm. Regeneran R-10/3, R-10/4, R-15/1, R-15/3, R-20/1, R-20/3, R-25/2, R-30/1, R-35/1, dan R-35/2 memiliki epidermis adaksial yang lebih tebal dibandingkan kontrol, yaitu > 4,8 µm, sedangkan regeneran R-15/1, R-25/1, R-25/2 dan R-35/1 memiliki epidermis abaksial yang lebih tebal (> 5,5 µm). Sel epidermis merupakan tipe sel yang berukuran besar pada jaringan epidermal, biasanya sel epidermis memiliki ukuran vakuola lebih besar dibandingkan sitoplasma (Willmer, 1983). Selanjutnya Willmer (1983) menyatakan vakuola pada epidermis banyak mengandung air, vakuola tersebut berperan penting dalam menyerap radiasi ultra violet dan infra merah untuk menghilangkan panas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa epidermis daun manggis bagian luar dilapisi oleh kutikula. Lapisan kutikula adaksial ditemukan lebih tebal dibandingkan kutikula abaksial, mungkin disebabkan oleh faktor genetik dan pengaruh lingkungan. Pada umumnya lapisan kutikula adaksial regeneran mutan lebih rendah dibandingkan kontrol (Tabel 13). Hal ini menunjukkan pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap perubahan struktur daun. Menurut Willmer (1983), ketebalan kutikula setiap spesies sangat berbeda tergantung kondisi pertumbuhan tanaman. Kutikula merupakan senyawa lemak yang terdapat di permukaan luar dinding sel epidermis (Fahn, 1982).
107
10µm
10µm
10µm
10µm
Kontrol
R-25/2
R-15/3
10µm
R-10/2
10µm
Gambar 37. Perbandingan struktur anatomi irisan transversal daun manggis (pembesaran 400 X)
108
R-35/2
R-5/3
Tabel 13. Pengamatan irisan transversal pada 21 regeneran mutan dan satu regeneran kontrol manggis in vitro
Regeneran
Kutikula adaksial (µm) ± S.E
Epidermis adaksial (µm) ± S.E
Kontrol R-5/1 R-5/2 R-5/3 R-5/4 R-10/1 R-10/2 R-10/3 R-10/4 R-15/1 R-15/2 R-15/3 R-20/1 R-20/2 R-20/3 R-25/1 R-25/2 R-30/1 R-30/2 R-35/1 R-35/2 R-40/1 Rata-rata
3,0 4,0 2,5 2,0 2,5 1,5 2,0 2,5 1,8 1,5 1,0 1,5 3,0 2,0 2,7 1,5 2,0 2,5 2,4 2,5 1,5 1,0 2,1
4,8 4,7 4,6 4,1 3,2 3,4 4,8 5,8 6,2 5,0 4,8 5,4 6,6 4,8 5,0 4,8 5,2 5,2 4,2 5,0 5,2 4,0 4,9
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0,3 0,4 0,3 0,2 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,6 0,7 0,9 0,1 0,4 0,2 0,3 0,2 0,5 0,2 0,4 0,2 0,2 0,4
** ** * tn
* tn tn
* tn tn tn tn
* tn
* tn tn
* tn
* tn tn
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0,3 tn 0,3 tn 0,4 tn 0,5 tn 0,3 tn 0,6 tn 0,3 tn 0,4 ** 0,4 ** 0,2 tn 0,7 tn 0,8 tn 0,4 ** 0,5 tn 0,3 tn 0,3 tn 0,3 tn 0,4 tn 0,3 tn 0,9 tn 0,3 tn 0,5 tn 0,4
Parenkim Palisade (µm) ± S.E
Ketebalan Bunga karang (µm) ± S.E
20,9 17,4 13,9 22,0 16,7 12,6 15,6 15,2 23,6 21,2 19,0 20,2 18,6 17,8 21,0 16,2 18,8 21,2 19,8 20,4 18,3 16,5 18,5
33,2 48,6 50,7 49,3 47,0 42,6 40,8 52,6 47,0 56,6 52,0 64,4 56,0 42,3 43,5 41,2 39,6 53,2 45,5 40,2 36,0 35,5 46,3
± 0,8 ** ± 0,9 tn ± 0,5 tn ± 0,7 ** ± 0,5 tn ± 0,5 tn ± 0,6 tn ± 0,6 ** ± 0,5 ** ± 0,5 ** ± 0,6 * ± 0,9 ** ± 0,8 tn ± 0,4 tn ± 0,3 ** ± 0,5 tn ± 0,6 tn ± 0,5 ** ± 0,5 * ± 0,6 ** ± 0,4 tn ± 0,4 tn ± 0,5
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
1,1 tn 0,8 tn 1,3 * 1,7 tn 1,1 tn 1,3 tn 1,4 tn 1,4 * 1,4 tn 1,2 ** 1,1 ** 1,0 ** 1,3 ** 1,9 tn 1,8 tn 1,8 tn 1,3 tn 1,4 * 1,3 tn 0,9 tn 1,7 tn 1,8 tn 1,4
Epidermis abaksial (µm) ± S.E 4,2 4,4 4,9 4,0 3,4 3,4 4,3 5,2 5,2 5,6 4,8 4,4 5,0 4,7 4,3 5,6 5,0 6,6 4,6 4,8 5,5 3,8 4,9
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata; * = berbeda nyata; ** = berbeda sangat nyata berdasarkan uji-t pada taraf 5 % ; SE = standar error
109
± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ±
0,3 tn 0,2 tn 0,3 tn 0,4 tn 0,4 tn 0,2 tn 0,5 tn 0,4 tn 0,5 tn 0,4 * 0,4 tn 0,3 tn 0,5 tn 0,7 tn 0,6 tn 0,4 ** 0,8 ** 0,3 ** 0,4 tn 0,3 tn 0,7 * 0,5 tn 0,4
Kutikul abaksia ± S.E 1,5 2,1 2,0 1,1 1,5 1,7 1,5 1,2 1,3 1,0 1,1 1,0 1,2 1,5 1,7 1,0 1,5 1,3 2,0 2,0 1,0 1,0 1,4
Senyawa lemak bersifat kedap air sehingga mengurangi laju transpirasi. Hal ini yang menyebabkan laju transpirasi melalui kutikula lebih rendah dibandingkan laju transpirasi stomata. Komposisi kimia kutikula adalah matrik kutin, selulosa, oligosakarida dan lilin. Selulosa mengisi bagian dalam yang menempel pada sel epidermis, sedangkan bagian permukaan adalah lilin. Kutikula pada tanaman sangat penting untuk mengurangi laju transpirasi air dan mengurangi serangan penyakit melalui penempelan dan perkembangan spora pada permukaan daun. Kutikula yang tebal merupakan salah satu ciri adaptasi tumbuhan pada lingkungan kering (Fahn, 1982). Regeneran yang mempunyai ketebalan epidermis
lebih dari 5,5 µm
menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji-t, seperti R-10/3, R-10/4 dan R-20/1. Sel epidermis lebih besar terisi oleh vakuola dibandingkan organel lainnya. Vakuola pada sel epidermis banyak mengandung kristal kalsium oksalat yang ditemukan pada Commelina communis, antosianin, flavonoid dan alkaloid (Willmer, 1983). Sel epidermis berfungsi : (1) sebagai tempat menyimpan air, kalsium atau oksalat, (2) mencegah kehilangan air, (3) mencegah serangan hama dan penyakit, (4) untuk fotosintesis karena mengandung kloroplas. Tebal lamina daun antar regeneran bervariasi antara 59,8 µm – 115 µm dengan rata-rata 74,5 ± 1,7 µm. Pada kontrol tebal daun rata-rata 63,1 µm. Menurut uji- t terdapat delapan regeneran secara statistik berbeda nyata dan memiliki tebal daun lebih dari 79,4 µm. Regeneran tersebut adalah R-5/3, R-10/3, R-10/4, R-15/1, R-15/2, R-15/3, R-20/1 dan R-30/1. Regeneran R-15/3 memiliki tebal daun yang paling tinggi (115,1 µm) dan banyak ditemukan idoblas (Gambar 37). Menurut Fahn (1991), idioblas berfungsi sebagai tempat penyimpanan kristal protein. Pada umumnya peningkatan variabel tebal lamina daun diikuti oleh meningkatnya ukuran mesofil yang terdiri dari jaringan palisade dan bunga karang. Lamina daun yang tebal menyebabkan rasio volume terhadap luas permukaan daun menjadi tinggi. Menurut Esau (1977) rasio volume terhadap luas permukaan daun yang tinggi berassosiasi dengan ciri anatomi yang antara lain : mesofil yang tebal, palisade lebih berkembang dari pada bunga karang dan kadang-kadang dengan ukuran sel yang kecil.
110
Menurut Fahn (1982), lamina daun yang tebal merupakan indikasi tanaman yang bersifat xerofit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tebal lamina daun sangat bervariasi antar regeneran. Pada umumnya lamina daun regeneran lebih tebal dibandingkan kontrol (> 59,8 µm), kecuali regeneran R-40/1 (59,8 µm) (Tabel 13). Lamina daun yang tebal menyebabkan rasio volume jaringan terhadap permukaan daun menjadi tinggi. Pada kondisi ini kapasitas fotosintesis menjadi tinggi dan laju transpirasi menjadi rendah. Bila volume jaringan sama dengan luas permukaan, maka kapasitas fotosintesis tetap tinggi dan laju transpirasi lebih rendah. Pada daun manggis ditemukan parenkim palisade yang ada di antara epidermis adaksial dan bunga karang, sehingga daun manggis dikategorikan pada dorsiventrals. Parenkim palisade berada pada posisi tegak lurus dengan permukaan daun. Ketebalan jaringan parenkim palisade setiap regeneran bervariasi
antara 12,6 µm.- 23,6 µm
dengan rata-rata 18,5 ± 0,5 µm. Pada kontrol ketebalan parenkim palisade rata-rata 20,9 µm. Regeneran R-5/3, R-10/4, R-15/1, R-20/1 dan R-30/1 memiliki parenkim palisade yang lebih tebal dari kontrol (20,9 µm). Regeneran R-5/3, R-10/4, R-15/1, R-20/1 dan R-30/1 mempunyai laju fotosintesis yang lebih efisien dibandingkan regeneran lain. Parenkim palisade banyak mengandung kloroplas dan
dapat
memanfaatkan CO2 secara maksimum, sehingga laju fotosintesis sangat efesien (Fahn, 1982). Parenkim palisade pada regeneran mutan manggis
mengalami perubahan
dibandingkan kontrol. Ada lima regeneran yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, yaitu R-5/3, R-10/4, R-15/1, R-20/1 dan R-30/1 (Tabel 13). Sedangkan regeneran lainnya lebih rendah dibandingkan kontrol. Perubahan parenkim palisade tersebut disebabkan oleh pengaruh iradiasi sinar gamma. Parenkim palisade sangat penting untuk fotosintesis, karena banyak mengandung kloroplas. Pada Commelina communis, kloroplas per sel
pada sel palisade (41 kloroplas) lebih tinggi
dibandingkan sel bunga karang (28 kloroplas) dan sel penjaga (10 kloroplas), sedangkan pada Vicia faba, kloroplas per sel pada sel palisade (59 kloroplas) lebih tinggi dibandingkan sel bunga karang (24 koroplas) dan sel penjaga (8-10 kloroplas)
111
(Willmer, 1983). Parenkim palisade sangat efisien untuk fotosintesis, bukan hanya banyak mengandung kloroplas tetapi dimensi dan permukaan parenkim
palisade
yang bebas dapat memanfaatkan CO2 secara optimal (Fahn, 1982). Jaringan bunga karang ditemukan pada daun manggis berada di antara jaringan parenkim palisade dan epidermis abaksial. Ketebalan jaringan bunga karang antar regeneran bervariasi antara 33,2 µm.- 64,4 µm dengan rata-rata 46,3 ± 1,4 µm. Pada kontrol ketebalan jaringan bunga karang rata-rata 33,2 µm. Regeneran memiliki jaringan bunga karang yang lebih tebal dibandingkan kontrol. Jaringan bunga karang terdiri dari sel yang bentuknya tidak beraturan dan menyediakan ruang antar sel yang luas sehingga mempermudah pertukaran gas dengan cepat (Mauseth, 1988). Regeneran
yang
memiliki
ketebalan
jaringan
bunga
karang
yang
tinggi
memungkinkan regeneran tersebut dapat menyimpan CO2 yang dapat digunakan untuk proses fotosintesis. Secara tidak langsung jaringan bunga karang dapat meningkatkan laju fotosintesis. Pada umumnya jaringan bunga karang regeneran lebih tebal dibandingkan kontrol (33,2 µm). Jaringan bunga karang yang tebal berarti ruang antar sel semakin besar yang berguna untuk menyimpan air dan CO2 . Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap jaringan bunga karang adalah ruang antar sel semakin besar kearah horizontal, seperti regeneran R-10/2 (Gambar 46). Faktor penting yang.dapat meningkatkan efisiensi fotosintesis adalah sistem ruang antar sel yang sangat baik yang terdapat dalam mesofil, sehingga memudahkan pertukaran gas dengat cepat (Fahn, 1982). Berkas pembuluh pada daun manggis terdapat pada tulang daun dan lapisan bunga karang, berkas pembuluh terdapat jaringan floem dan xilem. Jumlah berkas pembuluh antar regeneran bervariasi antara 11,0 – 33,0 dengan rata-rata 20,7 ± 0,6 dan kontrol memiliki jumlah berkas pembuluh 11,0. Pada umumnya regeneran memiliki jumlah berkas pembuluh lebih banyak dibandingkan kontrol, regeneran R-5/3
kecuali
memiliki jumlah berkas pembuluh yang sama dengan kontrol.
Berkas pembuluh sangat penting dalam transportasi assimilat ke seluruh organ
112
tanaman. Sel seludang berkas (bundle sheat) yang ada dalam jaringan berkas pembuluh berperan penting dalam fotosintesis tanaman C4 (Salisbury & Ross, 1992). Tabel 13 menunjukkan jumlah berkas pembuluh regeneran lebih banyak dibandingkan kontrol, kecuali regeneran R-5/3 lebih sedikit. Peningkatan jumlah berkas pembuluh sangat diharapkan oleh pemulia. Berkas pembuluh sangat penting dalam transportasi assimilat ke seluruh organ tanaman. Perlakuan dosis iradiasi sinar gamma memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perubahan struktur anatomi daun baik pada irisan paradermal atau transversal. Perubahan struktur anatomi daun
pada regeneran tersebut bersifat
individual. Perlakuan dosis iradiasi yang sama belum tentu sama pengaruhnya pada tanaman, karena pengaruh mutagen dapat bersifat acak (random). Regeneran yang mempunyai kerapatan stomata, parenkim palisade dan jumlah berkas pembuluh yang banyak dapat dijadikan kriteria seleksi tidak langsung untuk efesiensi fotosintesis pada tanaman manggis. Kesimpulan dan Saran Penggunaan iradiasi sinar gamma dapat berpengaruh terhadap perubahan antomi daun. Pada irisan paradermal, luas stomata regeneran pada umumnya lebih besar dibandingkan kontrol. Regeneran yang memiliki kerapatan dan indeks stomata yang lebih besar dibandingkan kontrol adalah regeneran R-5/2, R-5/3, R-5/4, R-10/4, R-15/3, R-25/1, R-30/1 dan R-30/2. Pada irisan transversal, ketebalan kutikula adaksial regeneran lebih tipis dibandingkan kontrol, kecuali regeneran R-5/1. Regeneran R-10/4, R-15/1, R-15/2, R-15/3 memiliki parenkim palisade, bunga karang dan lamina daun yang lebih tebal. Pada umumnya bunga karang dan jumlah berkas pembuluh regeneran lebih tebal dibandingkan kontrol. Parameter anatomi daun dapat dijadikan indikator seleksi tidak langsung terhadap laju pertumbuhan tanaman manggis in vitro, sehingga dapat mempersingkat proses seleksi dalam pemuliaan tanaman. Untuk melihat perubahan daun akibat iradiasi sinar gamma disarankan untuk mengamati luas permukaan daun dan analisis klorofil.
113
VI. DETEKSI MUTAN MANGGIS IN VITRO DENGAN MARKA RAPD
Abstrak Informasi keragaman genetik sangat penting untuk menunjang program pemuliaan manggis. RAPD (Random Amplified Polymorphyc DNA) adalah marka molekuler yang dapat membantu dalam proses seleksi dalam program pemuliaan tanaman manggis.Tujuan penelitian untuk mempelajari keragaman genetik akibat iradiasi sinar gamma. DNA 22 regeneran manggis yang sudah diseleksi diamplifikasi menggunakan random primer dalam mesin PCR. Primer yang digunakan adalah SBH 13, SBH 18, SB 13, SB 12, dan SB 19. Pembuatan dendogram dilakukan dengan program NTSys-pc versi 2.1. Hasil analisis RAPD menunjukkan perubahan pita lima primer acak berkisar 250-2000 pasang basa (pb). Primer SB 19 menghasilkan jumlah pita paling banyak, sedangkan primer SBH 13 menghasilkan jumlah pita paling sedikit. Berdasarkan dendogram analisis RAPD 22 rege neran, nilai kemiripan genetik antara 60% 91% atau keragaman genetik 9% - 40%. Pada nilai kemiripan genetik 60 % terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok E berbeda dengan kelompok lainnya (A, B, C, D), sehingga secara keseluruhan kelompok regeneran dan tanaman kontrol yang dianalisis menghasilkan lima kelompok utama. Sedangkan dendogram analisis morfologi regeneran dan kontrol dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok utama A dan B dengan kemiripan genetik 59 % atau variasi genetik 41 %. Kata kunci : Manggis, RAPD, keragaman genetik,
Pendahuluan Deteksi mutan dapat dilakukan dengan membedakan fenotipik tanaman karakter morfologi, analisis kandungan biokimia tanaman (Gallego & Martinez, 1996). Deteksi berdasarkan karakter morfologi tanaman mempunyai kelemahan karena penampakan karakter tersebut diketahui setelah tanaman mencapai fase pertumbuhan tertentu dan membutuhkan waktu yang lama seperti pada tanaman tahunan (Meunir, 1992).
Selain itu, karakter morfologi sangat dipengaruhi oleh
faktor lingkungan (Gallego & Martinez, 1996), adanya pengaruh pleiotropi dan epistasis (George & Sadasivam, 1997). Pengamatan sitologi jarang sekali digunakan
114
karena sulit untuk mengamati perbedaan kromosom terutama untuk tanaman-tanaman yang mempunyai jumlah kromosom banyak dan berukuran kromosom kecil. Marka DNA merupakan alternatif dalam menganalisis keragaman genetik tanaman, karena mampu memberikan polimorfik pita DNA dalam jumlah banyak, konsisten/stabil, dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Saat ini telah banyak ditemukan marka molekuler yang didasari pada penggunaan enzim restriksi seperti RFLP maupun dengan penggunaan amplifikasi PCR, antara lain RAPD, AFLP dan SSR (Karp et al., 1997). Marka molekuler telah banyak digunakan dalam : (1) penapisan plasma nutfah, (2) estimasi diversitas genetik, (3) identifikasi strain dan proteksi varietas tanaman, (4) introgresi dan piramidisasi gen, (5) pengembangan galur murni dan hibrida (Mohapatra, 1997), (6) deteksi mutasi (Varghese, 1997). Marka RAPD dihasilkan melalui proses amplifikasi DNA seperti halnya dalam melakukan PCR, perbedaannya terletak pada penggunaan primer oligonukleotida (dengan panjang 10 basa) yang sekuennya dibuat secara random. Teknik RAPD dapat mendeteksi variasi dengan ada atau tidak adanya amplifikasi polimorfik DNA oleh PCR (Dowling et al., 1996). RAPD digunakan untuk mengidentifikasi variasi genetik di dalam atau di antara populasi, dan pemetaan genom (Mayer et al., 1997). Teknik RAPD mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan teknik lain, yaitu membutuhkan sampel DNA yang lebih sedikit (10 – 25 ng), tidak bersifat radioaktif, pelaksanaanya relatif lebih mudah dan menghasilkan estimasi yang lebih tinggi untuk kesamaan interspesifik (Powell et al., 1996). Namun demikian teknik RAPD juga mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain tidak dapat membedakan individu homosigot dan heterosigot karena bersifat dominan (Ronning & Schnell, 1995), perubahan kecil dalam kondisi reaksi dapat merubah jumlah dan intensitas produk amplifikasi sehingga reprodusibilitas sulit dipertahankan (Dowling et al., 1996), kesulitan dalam skoring data (Karp et al., 1997). Iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan mutasi dan perubahan fisiologis. Hasil penelitian sebelumnya tela h diperoleh regeneran manggis in vitro berasal dari beberapa dosis iradiasi sinar gamma. Akan tetapi belum diketahui pola pita DNA regeneran manggis in vitro.
115
Tujuan penelitian untuk mendeteksi regeneran manggis in vitro berdasarkan marka RAPD dan morfolo gi serta mengetahui keragaman genetik regeneran manggis in vitro berdasarkan analisis dendogram.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Percobaan Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan dan Molekuler Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (PKBT) IPB. Waktu percobaan dilaksanakan bulan Oktober 2004 sampai dengan Februari 2005.
Bahan dan Alat Bahan tanaman untuk analisis RAPD adalah DNA 22 regeneran yang terdiri dari 21 regeneran yang telah diseleksi dan satu kontrol (Tabel 11). Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis RAPD adalah nitrogen cair, PVPP (Polyvinyl polypyrrolidone), merkaptoetanol, CTAB, akuades steril, larutan KIA (kloroform: isoamil: alkohol), alkohol absolut, isopropanol, etanol 70 %, natrium asetat, agarose, air bebas ion, agarose, parafilm, bufer TAE, loading dye, PCR kit, oil mineral , lima primer acak, yaitu SBH 13 (3’-GACGCCACAC-5’), SBH 18 (3’-ACGCGCATGT5’), SB 13 (3’-AGTCAGCCAC-5’), SB 12 (3’-GAATCGGCCA-5’), SB 19 (3’CAGCACCCAC-5’) (Operon Tech Alameda, Calipornia) dan 1 kb DNA ladder (Promega). Alat-alat yang digunakan tabung mikro, mortal, mikropipet (Gilson), vorteks, shaker, freezer, sentrifuge (Kubota 1-13), waterbath (tipe Memmert), spektrometer (UV 200-RS), mesin PCR (Temp Control PC 707), bak elektroforesis,
UV
transiluminator. Ekstraksi DNA Metode isolasi DNA mengikuti prosedur yang dikembangkan oleh Doyle dan Doyle (1990) yang dimodifikasi dengan penambahan 1 % PVPP (Polyvinyl Poly
116
Pyrolidon). Isolasi DNA dimulai dari jaringan daun
manggis yang berasal dari
planlet, yaitu seberat 0.25 g ditambah 10 mg PVPP dan nitrogen cair kemudian digerus sampai halus di dalam mortal.
Serbuk daun yang didapatkan kemudian
dimasukan ke dalam tabung mikro berisi 700 µl bufer ekstraksi CTAB (3 %; 1.4 M NaCl; 20 Mm EDTA; 100 mM Tris-HCl pH 8.0; dan â- mercaptoethanol). Selanjutnya campuran dikocok dengan menggunakan vorteks dan diinkubasikan dalam waterbath pada suhu 65 o C selama 30 menit. Setelah inkubasi kemudian didinginkan sampai suhu kamar dan ditambahkan 570 µl buffer kloroform : isoamil alkohol (24:1) ke dalam campuran tersebut, dikocok dengan vortek kemudian dipisahkan dengan sentrifus 12.000 rpm selama 15 menit. (supernatan)
Cairan bagian atas
diambil dengan pipet mikro dan dimasukan ke dalam tabung mikro
baru. Selanjutnya supernatan ditambah dengan 600 µl isopropanol dingin kemudian disentrifugasi 12.000 selama 15 menit. Kemudian dibuang bagian atas, pelet DNA ditambah dengan 100 µl etanol 80 %, dan disentrifugasi
selama 5 menit. Pelet
dikeringkan sampai kering (1 jam di freezer atau semalam dalam suhu kamar), pelet diberi air bebas ion 100 µl dan disimpan dalam freezer. Pemurnian DNA dilakukan mengikuti prosedur yang dikembangkan Sambrook et al. (1989). Larutan DNA yang diperoleh dimurnikan dengan penambahan 100 µl bufer fenol dan 100 µl KIA (kloroform : isoamil alkohol dengan perbandingan 24 : 1). Campuran disentrifus 12.000 rpm selama 15 menit, supernatan diambil dan dimasukan ke dalam tabung mikro baru dan ditambah dengan 10 µl natrium asetat dan 600 µl isopropanol dingin. Campuran dikocok dan diinkubasi dalam freezer selama 30 menit. Campuran disentrifus 12.000 rpm selama 15 menit, pelet DNA yang diperoleh dicuci dengan 200 µl etanol 70 % kemudian disentrifus (12.000 rpm) selama 5 menit. Tabung mikro dibalikan di atas tisu semalam. Setelah kering pelet DNA dilarutkan dengan 100 µl air bebas ion dan disimpan dalam freezer sebagai stok DNA.
117
Analisis Kuantitas dan Kualitas DNA Kuantitas dan kemurnian DNA dari masing- masing hasil ekstraksi ditentukan dengan menggunakan spektrometer dengan membaca absorban pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm. Pembacaan absorbans λ260 = 1 berarti konsentrasi DNA yang didapat sebesar 50
ìg/ml.
Konsentrasi DNA yang didapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut : DNA (ìg/ml) = absorbans λ260 x faktor pengenceran x 50 Kemurnian DNA ditetapkan berdasarkan nilai rasio absorbans λ260 /280,
batas
kemurniaan yang biasa dipakai dalam analisis molekuler mempunyai nilai rasio absorbans λ260 /280 sekitar 1.8 – 2.0 (Sambrook et al., 1989). Uji kualitas DNA dilakukan dengan mencampur 10 µl larutan DNA ditambah 2 µl loading dye di atas kertas parafilm. Campuran DNA dimasukan dalam sumur gel. Proses pembuatan gel, yaitu menimbang 0,8 gr agar agarose (Promega) ditambah larutan TAE 1X sebanyak 40 ml kemudian dipanaskan dalam microwave selama 5 menit. Elektroforesis dilakukan pada voltase konstan sebesar 60 volt selama 45 jam di dalam bak elektroporesis yang berisi buffer TAE 1X.
DNA yang telah
dielektroforesis direndam dalam larutan etidium bromida (0,5 mg/l) selama 45 menit, kemudian divisualisasikan di atas Ultraviolet transiluminator dan didokumentasikan. Amplifikasi DNA manggis dengan menggunakan primer acak dapat dilakukan mengikuti metode yang dikembangkan oleh William et al. (1990). Setiap reaksi amplifikasi
menggunakan volume 25 ìl campuran larutan yang terdiri dari 14,37 ìl
H2 O, 2,5 ìl thermophillic DNA poli 10X buffer (50 mM KCl, 10 mM Tris-HCl pH 9.0, 0.1 % Triton X-100), 2,5 ìl PCR Nucleotide Mix /dNTP 2 mM, 2,5 ìl MgCl2 25 mM, 0,13 ìl Taq DNA polimerase (Promega), 1 ìl primer, dan 2 ìl DNA (50 ng). Primer-primer yang digunakan adalah SB 12, SBH 13, SBH 18, SB 13 dan SB 19. Campuran larutan tersebut ditambah oil mineral sebanyak 20 ìl (Promega). Tabungtabung mikro tersebut dimasukan ke dalam blok mesin PCR (Temp Control System PC 707) yang diprogram dengan tahapan sebagai berikut: a). Pre PCR (denaturasi awal) pada suhu 94 o C selama dua menit sebanyak satu siklus
118
b). PCR : denaturasi
suhu 94 o C selama 1 menit, annealing (penempelan primer)
pada suhu 36 o C selama 1 menit dan extention (perpanjangan) pada 72 o C selama 2 menit dan dilakukan 45 siklus. c). Perpanjangan akhir pada suhu 72 o C selama 4 menit. Hasil amplifikasi PCR di analisis dengan menggunakan elektroforesis 1.4 % gel agarose (Promega) dengan voltase konstan 50 Volt selama 45 menit di dalam bak elektroporesis yang berisi buffer TAE 1X. DNA yang telah dielektroforesis direndam dalam larutan etidium bromida 1 % selama 45 menit, kemudian divisualisasikan di atas UV transiluminator dan didokumentasikan.
Analisis statistik Produk RAPD hasil pemotretan gel berupa pola pita DNA dengan ukuran tertentu.
Ukuran DNA
ditentukan dengan membandingkan marka dengan berat
molekul 1 kb DNA ladder. Perbedaan antar individu tanaman ditunjukkan dengan adanya jumlah pita dan jarak migrasinya. Pita-pita DNA diubah menjadi data biner dengan melakukan skoring data. Pita diskor “1” bila ada pita atau diskor “0” bila tidak ada pita. Variasi genetik di antara
tanaman sampel dihitung dengan
menggunakan model jarak genetik (1-F). Nilai F diperoleh berdasarkan estimasi fraksi dari pita (F) di antara dua populasi sebagai berikut (Nei & Li,1979) : 2 mxy F = mx + my Keterangan : F mxy mx my
= koefisien kemiripan genetik = Jumlah pita RAPD dari dua populasi = jumlah pita pada individu x = jumlah pita pada individu y
Data karakter morfo logi juga diubah menjadi data biner dengan skoring data berdasarkan kriteria-kriteria yang sudah ditetapkan pada setiap variabel. Bila ada nilai pada kriteria tersebut diskor “1” atau tidak ada nilai diskor “0”. Data biner hasil marka RAPD dan data morfologi dilakukan analisis dengan menggunakan UPGMA (Unweighted pair group method with aritmathic means) dengan fungsi SIMQUAL
119
menjadi dendogram melalui program NTSYSpc 2.02 for Windows (Rohlf, 1998). Hasil analisis tersebut dapat diketahui hubungan kekerabatan antara tanaman yang satu dengan yang lain berdasarkan jarak genetik.
Hasil dan Pembahasan Proses ekstraksi DNA manggis cukup sulit, karena daun manggis mengandung senyawa polifenol yang sangat tinggi.
Ketika daun dipotong kecil-kecil, maka
potongan daun mengeluarkan latek kuning yang mengandung senyawa polifenol. Proses ekstraksi dan pemurnian DNA akan mengalami kegagalan apabila masih terdapat polifenol (Touran et al.,1999). Senyawa polifenol dapat dioksidasi oleh enzim fenol oksidase membentuk senyawa komplek dan asam nukleat yang dapat menyebabkan kerusakan DNA (Yu & Paul, 1994). Untuk menghambat oksidasi senyawa fenolik ditambahkan ß- mercaptoetanol (senyawa antioksidan) pada larutan bufer ekstraksi kloroform (Sauder & Parkes, 1999).
Senyawa fenolik dapat
dihilangkan dengan penambahan PVPP pada saat penggerusan daun pada mortal. Yu & Paul (1994) menyatakan kontaminan lain seperti RNA dapat mengganggu proses PCR. RNA dapat mengganggu teknik kuantitas DNA dalam menentukan konsentrasi stok DNA dan proses amplifikasi oleh primer. RNA dapat dihilangkan dengan melakukan pemurnian DNA dengan penambahan RNAse (Sauder & Parkes, 1999). Kuantitas kemurnian DNA dihitung dengan menggunakan alat spektrometer. Kisaran nilai absorbans rasio λ260/280 pada 22 regeneran adalah 1,025 – 1,400. Nilai rasio absorbans yang paling tinggi terdapat pada regeneran R-15/1 (1,400), sedangkan yang paling rendah pada regeneran R-25/2 (1,025) (Lampiran 9). Kemurnian DNA 22 sampel regeneran tersebut tergolong rendah. Hal ini disebabkan masih terdapat kontaminan yang terdiri dari RNA, protein dan polifenol. Menurut Sambrook et al. (1989), batas kemurnian DNA yang biasa dipakai dalam analisis molekuler mempunyai rasio absorbans λ260/280 adalah 1,8 – 2,0.
120
Komponen RNA dapat
terserap pada λ260 nm sehingga berpengaruh terhadap konsentrasi DNA total (Sauder & Parkes, 1999). Amplifikasi DNA dilakukan untuk melihat polimorfisme DNA 22 regeneran dan kontrol tanaman manggis dengan menggunakan lima primer acak. Pita DNA terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu pita polimorfik dan pita monomorfik. Primer yang menghasilkan jumlah pita yang paling banyak adalah primer SB 19, sedangkan yang paling sedikit adalah primer SBH 13 dan SBH 18. Pita DNA polimorfik yang dihasilkan berjumlah 23 pita. Setiap primer menghasilkan jumlah pita berkisar antara 4 – 6 pita, jumlah pita DNA per regeneran berkisar 1 pita – 6 pita dengan ukuran pita 250 – 2.500 pasang basa (pb). Tingey et al. (1992) mengatakan umumnya ukuran pita DNA hasil amplifikasi adalah 200-2000 pb, namun dapat juga mencapai 3000 pb dan bahkan 5000 pb. Perbedaan profil pita DNA hasil amplifikasi terutama jumlah dan
ukuran pita berperan sangat penting dalam menentukan tingkat keragaman
genetik regeneran akibat iradiasi sinar gamma. Jumlah pita pada masing- masing primer disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah pita hasil amplifikasi lima primer acak pada analisis RAPD Primer acak Ukuran Jumlah pita Jumlah pita Jumlah pita (pb) monomorfik polimorfik pita SBH 13 500-1.500 0 4 4 SB 19 250-2.000 0 6 6 SB 12 500-2.000 1 4 5 SB 13 500-2.000 0 5 5 SBH 18 500-2.000 0 4 4 Total 1 21 23 Primer SBH 13 (3’-GACGCCACAC-5’) menghasilkan jumlah pita keseluruhan 37 pita,
ukuran
pita 500 – 1.500 pb. Jumlah pita masing- masing regeneran
berjumlah 1 – 4 pita. Kesamaan pola pita dapat dilihat tanaman kontrol dengan regeneran R-5/3, R-5/4, R-10/3, R-20/1, R-25/1, R-30/1, R-30/2, R-35/2, tanaman regeneran R-5/2 dengan R-10/2, R-15/3, R-40/1, sedangkan regeneran lainnya memperlihatkan variasi pola pita, kecuali regeneran R-20/2 tidak memunculkan pita (Gambar 38).
121
Primer SBH 13
M 1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
10.000 bp 2.000 bp 1.000 bp 250 bp
Primer SB 19
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
10.000 bp 2.000 bp 1.000 bp 250 bp
Primer SB 12
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 M 16 17 18 19 20 21 22 M 10.000 bp 1.000 bp 250 bp
Primer SB 13
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
M 17 18 19 20 21 22
10.000 bp 2.000 bp 1.000 bp 250 bp
Primer SBH 18
M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14 15 M 16 17 18 19 20 21 22 M
10.000 bp 2.000 bp 1.000 bp 250 bp
Gambar 38. Pola pita DNA 21 regeneran dan tanaman kontrol pada lima primer. Lajur (M) Marker (1 kb DNA Ladder); (1) kontrol; (2) R-5/1; (3) R-5/2; (4) R-5/3; (5) R-5/4; (6) R-10/1; (7) R-10/2; (8) R-10/3; (9) R-10/4; (10) R-15/1; (11) R-15/2; (12) R-15/3; (13) R-20/1; (14) R-20/2; (15) R-20/3; (16) R-25/1; (17) R-25/2; (18) R-30/1; (19) R-30/2; (20) R-35/1; (21) R-35/2; (22) R-40/1
122
Primer SB 19 (3’-CAGCACCCAC-5’) menghasilkan jumlah pita keseluruhan 62 pita, ukuran pita 250 – 2.000 pb. Jumlah pita masing- masing regeneran berjumlah 1–6 pita. Kesamaan pola pita dapat dilihat pada kontrol dengan regeneran R-5/2, R5/3, R-5/4, R-15/1, R-20/2, R-35/1, R-35/2, dan R-40/1, Regeneran R-5/1 dengan R-10/2, R-10/3, R-15/3, R-20/3, R-25/1, R-25/2, R-30/1, dan R-30/2, sedangkan regeneran lainnya memperlihatkan variasi pola pita (Gambar 38). Primer SB 12 (3’-CAGCACCCAC-5’) menghasilkan jumlah pita keseluruhan 44 pita, ukuran pita 500 – 2.000 pb. Jumlah pita masing- masing regeneran berjumlah 1–4 pita. Kesamaan pola pita dapat dilihat pada R-10/2, R-10/3, dan R-35/2,
kontrol dengan regenaran R-5/3,
regeneran R-5/1 dengan R-15/1, R-15/2, regeneran R-
10/1 dengan R-15/3, R-25/1, R-35/1, R-40/1, sedangkan
regeneran lainnya
memperlihatkan variasi pola pita (Gambar 38). Primer SB 13 (3’- AGTCAGCCAC -5’) menghasilkan jumlah pita keseluruhan 58 pita, ukuran pita 500 – 2.000 pb. Jumlah pita masing- masing regeneran berjumlah 1 – 5 pita. Kesamaan pola pita dapat dilihat pada kontrol dengan regeneran R-5/2, regeneran R-5/1 dengan R-10/4, R-20/2, R-30/1, sedangkan regeneran lainnya memperlihatkan variasi pola pita (Gambar 38). Primer SBH 18 (3’-ACGCGCATGT-5’) menghasilkan jumlah pita keseluruhan 40 pita, ukuran pita 500 – 2.000 pb. Jumlah pita masing- masing regeneran berjumlah 1 – 3 pita. Kesamaan pola pita dapat dilihat pada kontrol dengan regeneran R-5/1, R-10/4, R-20/3, R-25/1, R-40/1, regeneran R-5/2 dengan regeneran R-10/2, R-15/1, R-15/2, R-25/2, R-30/1, R-30/2, regeneran R-5/3 dengan R-20/, sedangkan regeneran lainnya memperlihatkan variasi pola pita (Gambar 38). Pola pita DNA dari 21 regeneran dan kontrol dari lima primer acak (RAPD) menunjukkan sangat bervariasi. Pola pita regeneran pada umumnya berbeda dengan kontrol. Pola pita DNA antar regeneran
bersifat individual tanaman, meskipun
berasal dari perlakuan dosis iradiasi sinar gamma yang sama, maka pola pita DNA yang dihasilkan belum tentu sama. Hal ini menunjukkan bukti adanya mutasi genetik pada regeneran manggis in vitro yang disebabkan oleh induksi mutasi dengan sinar gamma, sehingga menyebabkan variasi pola pita DNA berdasarkan marka RAPD.
123
Ada dua tipe polimorfik pola pita DNA yang teramplifikasi, yaitu ada atau tidak adanya pita dan perbedaan ukuran pita. Pada regeneran R-20/2 (primer SBH 13) dan regeneran R-5/2 (primer SB 12) pita DNA tidak teramplifikasi. Hal ini disebabkan sekuen DNA tidak sesuai dengan primer. Sedangkan regeneran lainnya menunjukkan perbedaan ukuran pita DNA, hal ini menunjukkan sekuen DNA mengalami perubahan yang diakibatkan oleh iradiasi gamma. William et al. (1990) menyatakan ukuran pita DNA yang sama dalam dua regeneran menunjukkan adanya tingkat sekuen homolog DNA yang tinggi, sebaliknya adanya pita dalam satu regeneran tetapi tidak terdapat pada regeneran lainnya akan menunjukkan sekuen DNA berbeda. Menurut Mohr & Schopfer (1995), radiasi pengion dapat menyebabkan ikatan kimia basa nukleotida putus (rusak). Radikal hidrogen dan hidroksil yang terbentuk akibat radiasi pengion akan menempel pada utas tunggal DNA, sehingga utas tunggal DNA menjadi patah. Van Harten (1998) menyatakan kerusakan DNA akibat iradiasi sinar gamma dapat berupa transisi atau transversi antara purin dan pirimidin, tali utas tunggal atau ganda akan patah. Van Harten (1998) menyatakan iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan perubahan sekuen DNA dapat berupa delesi, insersi, atau subtitusi. Marka RAPD dapat mendeteksi perubahan basa pada sekuen DNA dengan menggunakan lima primer acak yang menempel pada situs sekuen genom tanaman manggis in vitro. Marka RAPD dapat digunakan untuk menjelaskan keragaman genetik pada tanaman peach yang disebabkan oleh variasi somaklonal (Hashmi et al., 1997), intra populasi dan inter populasi alami orchardgrass (Metin Tuna et al., 2004), Brassica napus (Dulson et al., 1998), interspesifik dan intraspesifik hibrid somatik kentang (Baird et al., 1992), aksesi apel (Mulcahy et al., 1993). Pola pita DNA hasil RAPD dapat dianalisis dengan mengubah data pita polimorfik menjadi data biner barupa matrik peubah ganda (multivariate matrix).
124
Analisis yang dilakukan di antaranya analisis dendogram (cluster analysis) Keragaman genetik dapat diketahui melalui analisis dendogram dengan melihat individu secara langsung pada diagram pohon. Berdasarkan dendogram analisis RAPD menunjukkan bahwa nilai koefisien kemiripan genetik antar tanaman sampel antara 0,60 – 0,91 (60% - 91%) atau keragaman genetik 9% - 40% (Gambar 37),. Pada nilai koefisien kemiripan genetik 60 % terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
E berbeda dengan kelompok lainnya (A, B, C, D), sehingga secara
keseluruhan kelompok regeneran dan tanaman kontrol yang dianalisis menghasilkan lima kelompok utama. Kelompok A berjumlah 8 regeneran, terbagi ke dalam dua sub kelompok. Tanaman kontrol termasuk sub kelompok A1
yang mempunyai
kekerabatan dekat dengan regeneran R-20/2 dan R-20/3 dengan koefisien kemiripan genetik 77 % atau variasi genetik 23 %. Sub kelompok A2 terdiri dari regeneran R20/1, R-25/2, R-35/2, R-5/2, dan R-15/1 mempunyai kekerabatan yang paling dekat dengan koefisien kemiripan genetik 82 % atau variasi genetik 18 %. Kontrol M-20/2 M-20/3 M-20/1 M-25/2 M-35/2 M-5/2 M-15/1 M-25/1 M-30/2 M-35/1 M-40/1 M-5/1 M-10/1 M-15/3 M-10/2 M-15/2 M-10/3 M-30/1 M-10/4 M-5/3 M-5/4
A
B
C
D D
E 0.58
0.65
0.71
0.78
0.84
0.91
Koefisien Kemiripan
Gambar 39. Dendogram tanaman regeneran manggis in vitro berdasarkan analisis RAPD
125
A1 A2
B1 C1 C2 D E
Kelompok B berjumlah 4 regeneran terdiri dari regeneran R-25/1, R-30/2, R35/1, R-40/1 dengan koefisien kemiripan genetik 69 % atau variasi genetik 31 %. Kelompok C berjumlah 7 regeneran, terbagi ke dalam dua sub kelompok. Sub kelompok
C1 terdiri dari regeneran R-5/1, R-10/1, R-15/3 dengan koefisien
kemiripan genetik 69 % atau variasi genetik 31 %, sedangkan sub kelompok C2 terdiri dari regeneran R-10/2, R-15/2, R-10/3, R-30/1 dengan koefisien kemiripan genetik 71 % atau variasi genetik 29 %. Kelompok D hanya satu regeneran R-10/4. Kelompok E berjumlah dua regeneran, yaitu R-5/3 dan R-5/4 dengan koefisien kemiripan genetik 60 % atau variasi genetik 40 % (Tabel 15). Tabel 15. Pengelompokan 22 regeneran dan kontrol berdasarkan dendogram analisis RAPD Kelompok utama A
Sub kelompok A1 A2
Koefisien kemiripan genetik (%) 77 82
B C
B1 C1 C2 D1 E1
69 69 71 63 60
D E
regeneran Kontrol, R-20/2, R-20/3 R-20/1, R-25/2, R-35/2, R-5/2, R-15/1 R-25/1, R-30/2, R-35/1, R-40/1 R-5/1, R-10/1, R-15/3 R-10/2, R-15/2, R-10/3, R-30/1 R-10/4 R-5/3, R-5/4
Nilai koefisien kemiripan menunjukkan kesamaan individu dalam suatu populasi, semakin
tinggi
nilai koefisien kemiripan antar individu menunjukkan
kekerabatan genetik yang dekat antar individu tersebut. Regeneran R-20/1 dan R-25/2 mampunyai koefisien kemiripan yang paling tinggi, yaitu 0,91 (91 %), kedua regeneran tersebut menunjukkan kekerabatan genetik dekat. Regeneran R-10/4 mempunyai koefisien kemiripan paling rendah, yaitu 0,63 (63 %), regeneran tersebut menunjukkan kekerabatan genetik jauh dengan regeneran lainnya dan tidak ditemukan kemiripan genetik individu 100 %. Matrik kesamaan genetik regeneran dan kontrol berdasarkan analisis RAPD tersaji dalam Tabel 16.
126
Tabel 16. Matrik kesamaan genetik 22 regeneran manggis dan kontrol berdasarkan marka RAPD
genotip Kontrol R-5/1 R-5/2 R-5/3 R-5/4 R-10/1 R-10/2 R-10/3 R-10/4 R-15/1 R-15/2 R-15/3 R-20/1 R-20/2 R-20/3 R-25/1 R-25/2 R-30/1 R-30/2 R-35/1 R-35/2 R-40/1
Kontrol R-5/1 R-5/2 R-5/3 R-5/4 R-10/1 R-10/2 R-10/3 R-10/4 R-15/1 R-15/2 R-15/3 R-20/1 R-20/2 R-20/3
0,88 0,84 0,80 0,84 0,72 0,76 0,92 0,96 0,92 0,84 0,72 0,84 0,88 0,84 0,80 0,84 0,72 0,84 0,84 0,80 0,72
0,80 0,76 0,80 0,68 0,64 0,80 0,84 0,80 0,72 0,76 0,72 0,76 0,72 0,84 0,72 0,60 0,72 0,80 0,68 0,76
0,80 0,76 0,72 0,76 0,84 0,88 0,76 0,84 0,72 0,84 0,88 0,84 0,80 0,84 0,72 0,76 0,84 0,80 0,80
0,80 0,76 0,81 0,82 0,83 0,84 0,96 0,76 0,96 0,84 0,80 0,76 0,96 0,84 0,88 0,82 0,76 0,83
0,89 0,84 0,76 0,80 0,92 0,84 0,88 0,84 0,80 0,68 0,72 0,84 0,80 0,92 0,84 0,86 0,84
0,88 0,80 0,76 0,82 0,76 0,82 0,83 0,73 0,63 0,72 0,84 0,84 0,92 0,82 0,68 0,83
127
0,76 0,84 0,85 0,86 0,83 0,81 0,85 0,68 0,65 0,87 0,89 0,85 0,78 0,81 0,86
0,96 0,84 0,83 0,82 0,63 0,87 0,86 0,85 0,82 0,77 0,78 0,85 0,82 0,82
0,89 0,87 0,88 0,68 0,88 0,92 0,85 0,84 0,81 0,76 0,83 0,86 0,73
0,92 0,80 0,92 0,87 0,76 0,72 0,94 0,85 0,92 0,84 0,87 0,89
0,81 0,98 0,87 0,83 0,71 0,97 0,88 0,93 0,84 0,82 0,84
0,84 0,68 0,64 0,62 0,65 0,84 0,88 0,72 0,61 0,68
0,87 0,84 0,72 0,98 0,87 0,92 0,84 0,81 0,83
0,86 0,76 0,88 0,76 0,80 0,88 0,92 0,84
0,80 0,84 0,80 0,76 0,84 0,88 0,64
Analisis dendogram banyak digunakan untuk menjelaskan kekerabatan genetik tanaman, seperti kelapa (Roslim et al., 2003), Dactylis glomerata L. (Metin Tuna et l.,2004),
Brassica napus (Dulson et al.,1998), manggis (Ramage et al., 2004;
Mansyah et al., 2003). Hasil analisis dendogram berdasarkan karakter morfologi menunjukkan bahwa regeneran dan kontrol dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok utama A dan B dengan koefisien kemiripan genetik 59 % atau variasi genetik 41 % (Gambar 38). Kelompok utama A berjumlah 14 regeneran terbagi menjadi tiga sub kelompok. Tanaman kontrol termasuk ke sub kelompok A1 yang mempunyai kekerabatan dekat dengan regeneran R-5/1 dan R-5/3 dengan nilai koefisien kemiripan genetik 75 %, sub kelompok A2 terdiri dari regeneran R-15/3, R-20/1, R20/2, R-30/2, R-35/2, R-30/1, R-35/1 mempunyai nilai koefisien kemiripan 75 % dan sub kelompok A3 terdiri dari regeneran R-20/3, R-25/2, R-25/1, R-40/1 mempunyai nilai koefisien kemiripan genetik 83 %. kelompok utama B terdiri dari 8 regeneran terbagi menjadi dua sub kelompok. Sub kelompok B1 terdiri dari regeneran R-5/2, R5/4, R-10/1 mempunyai nilai koefisien kemiripan genetik 79 %, sedangkan sub kelompok B2 terdiri dari R-10/3, R-10/4, R-15/2, R-15/1, R-10/4 (Tabel 16). Matrik kesamaan genetik regeneran dan kontrol berdasarkan karakter morfologi tersaji dalam Tabel 17.
128
Tabel 17. Matrik kesamaan genetik 22 regeneran manggis dan kontrol berdasarkan karakter morfologi
Kontrol R-5/1 R-5/2 R-5/3 R-5/4 R-10/1 R-10/2 R-10/3 R-10/4 R-15/1 R-15/2 R-15/3 R-20/1 R-20/2 R-20/3
Kontrol R-5/1 R-5/2 R-5/3 R-5/4 R-10/1 R-10/2 R-10/3 R-10/4 R-15/1 R-15/2 R-15/3 R-20/1 R-20/2 R-20/3 R-25/1 R-25/2 R-30/1 R-30/2 R-35/1 R-35/2 R-40/1
0,75 0,55 0,60 0,73 0,62 0,76 0,62 0,76 0,42 0,74 0,72 0,44 0,68 0,44 0,50 0,74 0,52 0,44 0,74 0,40 0,72
0,63 0,76 0,80 0,68 0,64 0,80 0,84 0,80 0,72 0,76 0,72 0,76 0,72 0,84 0,72 0,60 0,72 0,80 0,68 0,76
0,43 0,46 0,42 0,76 0,84 0,78 0,46 0,54 0,72 0,84 0,58 0,74 0,50 0,44 0,72 0,76 0,54 0,60 0,51
0,73 0,46 0,51 0,52 0,63 0,74 0,56 0,66 0,56 0,44 0,60 0,36 0,26 0,44 0,68 0,42 0,66 0,33
0,55 0,67 0,76 0,52 0,62 0,74 0,48 0,54 0,30 0,68 0,72 0,64 0,70 0,32 0,64 0,76 0,24
0,68 0,88 0,76 0,52 0,76 0,72 0,43 0,33 0,63 0,72 0,64 0,84 0,72 0,52 0,48 0,73
129
0,83 0,63 0,70 0,67 0,47 0,61 0,63 0,68 0,65 0,57 0,58 0,81 0,76 0,23 0,43
0,76 0,72 0,78 0,72 0,52 0,78 0,66 0,52 0,57 0,63 0,54 0,42 0,54 0,82
0,89 0,87 0,88 0,68 0,88 0,92 0,85 0,84 0,81 0,76 0,83 0,86 0,73
0,70 0,67 0,70 0,57 0,77 0,72 0,62 0,85 0,62 0,84 0,57 0,59
0,84 0,67 0,53 0,63 0,47 0,57 0,68 0,63 0,44 0,52 0,44
0,74 0,62 0,60 0,43 0,50 0,67 0,63 0,42 0,50 0,42
0,67 0,74 0,58 0,80 0,82 0,66 0,55 0,81 0,67
0,62 0,57 0,38 0,57 0,53 0,40 0,67 0,53
0,89 0,62 0,67 0,73 0,84 0,82 0,74
Kontrol M-5/1 M-5/3 M-15/3 M-20/1 M-20/2 M-30/2 M-35/2 M-30/1 M-35/1 M-20/3 M-25/2 M-25/1 M-40/1 M-5/2 M-5/4 M-10/1 M-10/3 M-10/4 M-15/2 M-15/1 M-10/4
A
B
0.59
0.69
0.79
0.90
A1
A2
A3
B1 B2
1.00
Koefisien Kemiripan
Gambar 40. Dendogram tanaman regeneran manggis in vitro berdasarkan karakter morfologi Tabel 18. Pengelompokan 22 regeneran dan kontrol berdasarkan dendogram karakter morfologi Kelompok utama A
B
Sub kelompok A1 A2
Nilai koefisien kemiripan genetik (%) 75 75
A3
83
B1 B2
79 68
130
regeneran Kontrol, R-5/1, R-5/3 R-15/3, R-20/1, R-20/2, R-30/2, R-35/2, R-30/1, R-35/1 R-20/3, R-25/2, R-25/1, R-40/1 R-5/2, R-5/4, R-10/1 R-10/3, R-10/4, R-15/2, R-15/1, R-10/4
Kesimpulan dan Saran
Marka RAPD dapat digunakan untuk mendeteksi mutan manggis akibat iradiasi sinar gamma sejak kondisi tanaman masih dalam fase juvenil.
Berdasarkan
dendogram analisis RAPD 22 regeneran, nilai kemiripan genetik antara
60% -
91% atau keragaman ge netik 9% - 40%. Pada nilai kemiripan genetik 60 % terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok E berbeda dengan kelompok lainnya (A, B, C, D), sehingga secara keseluruhan kelompok regeneran dan tanaman kontrol yang dianalisis menghasilkan lima kelompok utama. Sedangkan dendogram analisis morfologi regeneran dan kontrol dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok utama A dan B dengan kemiripan genetik 59 % atau variasi genetik 41 %. Keuntungan penggunaan marka RAPD dapat menghasilkan pita polimorfik dalam jumlah banyak, konsisten/stabil dan tidak dipengaruhi faktor lingkungan. Dimasa yang akan datang, marka DNA (RAPD) dapat digunakan sebagai indikator seleksi tidak langsung terhadap karakter yang diharapkan, sehingga dapat mempersingkat program pemuliaan dan menghemat biaya dan waktu yang dikeluarkan. Ekstraksi dan amplifikasi DNA manggis sangat sulit disarakan mencari protokol yang baku, agar hasil pita yang dihasilkan bersifat stabil.
131
VII.
PEMBAHASAN UMUM
Dari penelitian ini diperoleh beberapa regeneran mutan manggis yang
waktu
pembentukan tunas lebih cepat dan tingkat keragaman genetik yang luas baik dilihat dari segi penampilan fenotipik/morfologi, struktur anatomi daun dan pola pita DNA. Regenaran tersebut diharapkan merupakan mutan yang solid, karena bahan tanaman yang diiradiasi berupa kalus nodular berasal dari daun. Kalus nodular diperoleh dari eksplan daun setelah ditanam pada medium MS yang diberi suplemen 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ. Kalus nodular dapat beregenerasi membentuk tunas setelah ditanam pada medium WPM yang diberi suplemen 2,2 µM BAP. Berbeda dengan bahan tanaman yang diiradiasi dalam bentuk biji, tunas yang muncul akan bersifat kimera karena tunas yang muncul berasal dari jaringan multiseluler dari biji. Penggunaan kultur in vitro sangat penting dalam menunjang pemuliaan mutasi (mutation breeding), karena mempunyai keuntungan sebagai berikut : (1) materi tanaman yang mendapat perlakuan mutagen dapat bersifat seragam, (2) dapat mengurangi pembentukan kimera, (3) isolasi jaringan termutasi dari jaringan kimera lebih mudah, (4) penggunaan kultur individu sel seperti kultur kalus atau embrio somatik yang diiradiasi kemungkinan besar akan menghasilkan mutan solid, (5) dapat mempercepat proses pemuliaan dari mulai pembentukan keragaman genetik, proses seleksi dan multiplikasi yang diharapkan (Maluszynski et al., 1995). Induksi mutasi pada kultur in vitro telah banyak dikembangkan, seperti pada ubi kayu, pisang, kentang dan ubi jalar (Maluszynski et al., 1995). Menurut van Harten (1998), keberhasilan program induksi mutasi sangat tergantung pada materi tanaman yang mendapat perlakuan mutagen. Pada penelitian ini materi tanaman yang digunakan adalah eksplan pada kultur in vitro. Penggunaan eksplan mempunyai banyak keuntungan, yaitu: (1) materi tanaman yang mendapat perlakuan mutagen relatif lebih seragam dan jumlahnya banyak, (2) komposisi medium dan kondisi lingkungan dapat diatur, (3) tidak membutuhkan tempat yang luas. Penelitian lain yang dilakukan Harahap (2005) menggunakan biji atau pucuk bibit in vitro manggis sebagai eksplan yang diiradiasi sinar gamma.
132
Namun
penggunaan biji atau pucuk in vitro dapat menghasilkan mutasi sektoral/meriklinal, karena biji atau pucuk merupakan jaringan multiseluler. Jika jaringan multiseluler diiradiasi tidak seluruhnya jaringan tersebut termutasi sehingga mutan yang dihasilkan bersifat kimera. Untuk mendapatkan mutan solid manggis secara langsung, materi yang diiradiasi dapat berupa kalus nodular. Tunas adventif dari kalus nodular akan menghasilkan mutan solid, karena tunas adventif yang muncul berasal dari sel-sel tunggal yang belum mengalami diferensiasi (organogenesis tidak langsung). Tunas adventif manggis juga dapat berasal dari eksplan daun (organogenesis langs ung). Perlakuan mutagen pada eksplan daun akan menghasilkan mutan solid, karena tunas adventif yang muncul berasal dari lapisan sel epidermal (George, 1993). Kalus nodular manggis yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari eksplan daun manggis in vitro atau daun seedling. Kalus nodular muncul dari tulang daun setelah eksplan ditanam pada medium MS yang diberi suplemen kombinasi 2,22 µM BAP dan 2,27 µM TDZ. Kalus nodular berkembang dan berdiferensiasi membentuk tunas multipel setelah kalus nodular ditanam pada medium WPM yang diberi suplemen 2,2 µM BAP. Dari hasil penelitian ini nampak bahwa peranan BAP sangat penting dalam memacu sitokinesis, karena BAP dapat memacu pembelahan sel dan produksi sel lebih cepat, sehingga sel-sel meristematis menga lami diferensiasi membentuk tunas. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan tunas adalah: (1) genotip, (2) lingkungan fisik, (3) komposisi media, dan (4) zat pengatur tumbuh. Interaksi antara empat komponen tersebut sangat penting dalam menentukan arah pertumbuhan tanaman. Zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin sangat penting dalam meregulasi pembentukan organ tanaman (George, 1993). Pembentukan tunas adventif diinduksi oleh adanya konsentrasi sitokinin yang tinggi dibandingkan auksin (Phillips et al., 1995). Peranan BAP eksogen sangat penting dalam mempersingkat waktu berlangsungnya tahap S (sintesis) dalam siklus sel sehingga merangsang pertumbuhan dan diferensiasi membentuk organ (George, 1993). Penggunaan BAP juga dapat meningkatkan rasio tunas terhadap akar, meningkatkan produksi etilen dan
133
meningkatkan laju sintesis protein (Staden & Crouch, 1996). Pembentukan tunas dari kalus biasanya membutuhkan adanya auksin dan sitokinin.
Pembentukan tunas dari
kalus membutuhkan konsentrasi auksin yang rendah dan sitokinin yang tinggi (George, 1993). Auksin berpengaruh
terhadap
replikasi DNA (fase sintesis),
sedangkan sitokinin berpengaruh terhadap pembelahan mitosis dalam pembelahan sel (George, 1993). Pembentukan tunas manggis melalui organogenesis tidak langsung sangat membutuhkan BAP. Diduga BAP eksogen dapat merangsang pertumbuhan dan diferensiasi membentuk tunas dengan memacu pembelahan mitosis dan meningkatkan laju sintesa protein dalam sel tanaman. Sinar gamma banyak digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman, karena : (1) mempunyai panjang gelombang yang lebih pendek (10–0,01 nm), (2) mempunyai spektrum yang luas (Briggs & Constantin, 1979), (3) penetrasi ke jaringan tanaman relatif lebih mudah, (4) frekuensi mutasi yang terjadi cukup tinggi, (5) mudah diaplikasikan. Sinar gamma telah digunakan pada tanaman buahbuahan seperti, apel, jeruk peach, pisang, dan anggur (Broertjes & van Harten,1988). Keberhasilan induksi mutasi sangat tergantung pada genotip yang digunakan, bagian tanaman yang diiradiasi dan dosis mutagen yang diaplikasikan (Donini et al., 1990). Genotip yang mempunyai konstitusi genetik yang berbeda, maka kompetensi genotip membentuk tunas berbeda pula. Selain konstitusi genetik tingkatan ploidi dari suatu genotip juga sangat pengaruh terhadap pembentukan tunas akibat radiasi. Genotip yang mempunyai tingkatan ploidi
lebih besar (poliploid) lebih tahan
terhadap iradiasi dibandingkan genotip diploid pada spesies yang sama. Begitu juga, ukuran kromosom sangat berpengaruh terhadap sensitivitas iradiasi. Genotip yang mempunyai ukuran kromosom besar lebih sensitif dibandingkan ukuran kromosom kecil pada spesies yang sama (Mohr & Shopfer, 1995). Bagian tanaman yang diiradiasi dalam bentuk kalus, suspensi sel, embrio somatik dan protoplas lebih sensitif dibandingkan dengan jaringan. Peningkatan dosis iradiasi sinar gamma akan mengalami penurunan regenerasi membentuk tunas. Dosis terlalu tinggi akan menyebabkan perubahan genetik dan kerusakan fisiologis yang lebih besar, sehingga menyebabkan pertumbuhan yang terhambat (Mohr & Schopfer, 1995).
134
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dosis rendah 5 dan 10 Gy terdapat regeneran yang munculnya tunas lebih cepat dibandingkan regeneran kontrol. Menurut Pierik
(1987), dosis rendah dapat memberi pengaruh positif terhadap
pertumbuhan tunas karena dosis rendah
dapat menyebabkan degradasi auksin
sehingga menggeser kesimbangan hormonal ke arah yang mendorong pertumbuhan. Van Harten (1998) menyatakan radiasi dosis rendah akan menstimulasi perubahan fisiologi tanaman dan pada saat ini perlakuan dosis rendah banyak digunakan untuk peningkatan perkecambahan dan peningkatan hasil tanaman. Pada kentang, penggunaan sinar gamma pada dosis rendah (2,5 Gy) dapat meningkatkan berat umbi mikro kentang (Al-Safadi, 2000). Frekuensi mutasi dapat ditingkatkan dengan meningkatnya dosis iradiasi dan laju dosis. Akan tetapi, penggunaan dosis tinggi dapat menyebabkan survival dan kemampuan kalus untuk regenerasi menurun dengan meningkatnya dosis (Bhagwat & Duncan, 1998). Oleh karena itu, digunakan PD50 untuk mendapatkan peluang mutan putatif yang diharapkan lebih besar. Pada penelitian ini diperoleh PD50 adalah 25 Gy. Radikal hidroksil dan hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh pancaran iradiasi sinar gamma akan bersenyawa dengan bahan tanaman yang diiradiasi dan menyebabkan kerusakan fisiologis berupa terhambatnya proses pembelahan dan diferensiasi sel dan kerusakan gen. Mohr & Schopfer (1995) menyatakan radiasi pengion (iradiasi gamma) akan menghasilkan ion dan radikal dalam bentuk hidroksil (OH-). Jika radikal hidroksil menempel pada rantai nukleotida dalam DNA, maka utas tunggal atau ganda DNA akan patah, sehingga akan mengalami perubahan gen. Sedangkan van Harten (1998) menyatakan kerusakan DNA akibat iradiasi sinar gamma dapat berupa transisi atau transversi antara purin dan pirimidin, tali utas tunggal ataupun ganda akan patah. Iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan perubahan morfologi, fisiologi dan mutasi pada manggis. Perubahan morfologi regeneran mutan dibuktikan adanya ukuran regeneran, bentuk daun, dan perakaran. Sedangkan perubahan fisiologis dapat dibuktikan adanya ketidak seimbangan hormonal di dalam tanaman. Ada empat
135
macam perubahan genetik yang mungkin terjadi, yaitu : (1) perubahan jumlah genom, (2) perubahan jumlah kromosom, (3) perubahan struktur kromosom, (4) perubahan gen. Jika radiasi pengion merusakan benang spindel, maka akan terjadi perubahan jumlah genom sehingga menyebabkan terjadinya enauploidi. Jika radiasi pengion memutuskan rantai kromosom, maka dapat merubah struktur kromosom (aberasi kromosom) seperti delesi, inversi, duplikasi dan translokasi. Jika radiasi pengion dapat menyebabkan perubahan pada sekuen DNA, maka disebut mutasi gen. Mutasi juga dapat terjadi di luar kromosom atau pada sitoplasma, yaitu pada kloroplas dan mitokondria (van Harten, 1998). Pada kultur jaringan sering terjadi keragaman yang disebabkan oleh variasi somaklonal dan perubahan jumlah genom. Variasi somaklonal dapat terjadi dalam kultur jaringan, karena adanya transposable genetic element yang menempel pada sekuen DNA yang meneyebabkan terjadi perubahan fenotipik.
Perubahan jumlah
genom terjadi melalui mekanisme endoreduplikasi (terjadi duplikasi jumlah kromosom pada tahap profase), endomitosis (tidak terjadi pembelahan pada tahap anafase) dan restitusi (tidak terjadi pembagian pada metafase I atau II pada pembelahan meiosis). Peluang terjadinya mutasi pada kalus nodular yang diiradiasi adalah perubahan struktur kromosom dibandingkan tipe mutasi lainnya, karena kalus nodular merupakan kumpulan masa sel yang tidak terorganisasi yang belum mengalami diferensiasi dan membelah diri secara terus- menerus (George, 1993). Kalus nodular manggis sangat peka terhadap iradiasi karena sel-sel pada kalus nodular sedang aktif membelah diri sehingga peluang terjadinya mutasi sangat besar. Pada sel yang aktif membelah diri pengaruh iradiasi dapat terjadi pada tahap sintesis DNA, G1 , G2 dan mitosis. Jika radiasi pengion mengenai sel pada tahap G1 dimana kromatin DNA belum disintesis, maka sel mengalami duplikasi dan terjadi pemotongan kromosom, sedangkan pada tahaf G2 dimana kromatin DNA sudah disintesis, maka sebagian kromosom akan terpotong. Menurut van Harten (1998), tahap sintesis DNA dan G2 merupakan target untuk perlakuan mutagen, karena pada tahap ini sel mengalami penggandaan kromosom, sehingga mutasi kromatid lebih mudah terjadi.
136
Iradiasi sinar gamma dapat berpengaruh terhadap perubahan fisiologis regeneran. Perubahan tersebut berkaitan dengan energi iradiasi yang diserap oleh jaringan tanaman sehingga menyebabkan stimulasi sintesis auksin endogen terganggu. Selain perubahan
fisiologis, perubahan genetik dapat terjadi akibat
iradiasi sinar gamma. Perubahan tersebut dapat berupa
aberasi kromosom
(abnormalitas mitosis), mutasi somatik, dua sister kromatid patah, dan pada tahap profase
akhir
setengah
kromatid
mengalami
aberasi
kromosom,
sehingga
pertumbuhan tanaman menjadi terhambat (Desrosier & Rosenstock, 1960). Perubahan fisiologis dan genetik diekspresikan
adanya perubahan penampilan
fenotipik
regeneran yang sangat bervariasi. Pada umumnya,
ukuran tanaman
regeneran
sangat pendek dan ukuran daun kecil, bahkan ada tunas albino yang
muncul. Pada generasi selanjutnya kerusakan fisiologis berangsur pulih. Sel-sel yang mengalami kerusakan mengalami recovery, sedangkan gen termutasi dapat diwariskan pada generasi berikutnya. Iradiasi sinar gamma dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman manggis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dosis lebih dari 25 Gy membutuhkan waktu 129 hari untuk membentuk tunas. Hal ini menunjukkan bahwa regeneran pada dosis tinggi menyebabkan pertumbuhan yang terhambat, sulit berakar bahkan sama sekali tidak tumbuh. Pengaruh pertumbuhan tersebut disebabkan oleh kerusakan fisiologis akibat iradiasi sinar gamma. Iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan perubahan struktur anatomi daun. Ukuran stomata regeneran mengalami peningkatan akibat iradiasi sinar gamma, namun kenaik an ukuran tidak berdasarkan dosis iradiasi yang diberikan. Ketebalan daun dan parenkim palisade cenderung mengalamai peningkatan akibat iradiasi sinar gamma, meskipun kisaran nilai yang muncul sangat bervariasi. Ukuran stomata sangat terkait dengan laju fo tosintesis, karena stomata berfungsi sebagai tempat pertukaran gas atau masuknya CO2 ke dalam interseluler daun. Sedangkan parenkim palisade berfungsi sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis dalam daun, karena parenkim palisade banyak mengandung kloroplas.
137
Iradiasi sinar gamma dapat mempengaruhi sekuen DNA genom tanaman. Perubahan sekuen DNA dapat terjadi delesi, subtitusi, dan duplikasi. Delesi akan terjadi jika sekuen DNA hilang oleh radikal hidroksil dan primer acak tidak dapat mengenali situs DNA, sehingga pita DNA menjadi hilang. Subtitusi akan terjadi jika pertukaran sekuen DNA tertentu dengan sekuen DNA yang lain. Duplikasi akan terjadi jika banyak sekuen DNA mengalami pengulangan. Iradiasi pengion dapat juga menyebabkan basa-basa nitrogen salah berpasangan. Dalam keadaan normal timin akan berpasangan dengan adenin, jika timin kehilangan 1 proton akibat radiasi pengion, maka timin akan dapat berpasangan dengan guanin, sehingga struktur DNA akan berubah. Penggunaan metode RAPD telah banyak digunakan untuk analisis keragaman genetik pada berbagai jenis tanaman, karena metode ini relatif lebih sederhana, lebih cepat dan murah. Analisis tingkat keragaman genetik 21 genotip mutan dan 1 kontrol berdasarkan analisis RAPD adalah koefisien kemiripan ge netik 60 % atau atau keragaman genetik 40 %. Hal ini membuktikan bahwa iradiasi sinar gamma dapat meningkatkan keragaman. Hasil penelitian Harahap (2005) menunjukkan bahwa koefisien kemiripan genetik 80 tanaman sampel akibat iradiasi sinar gamma adalah 62 % atau keragaman genetik 38 %. Perubahan pada tingkat DNA dan histologi tidak seluruhnya diekspresikan dalam bentuk perubahan morfologi, karena suatu gen dapat diekspresikan melalui proses transkripsi dan translasi. Transkripsi merupakan transfer informasi genetik dari DNA ke RNA, sedangkan translasi penerjemahan informasi genetik yang terdapat RNA ke dalam polipeptida (protein). Perubahan pada tingkat morfologi merupakan cerminan adanya perubahan pada tingkat DNA atau enzim (protein). Dari hasil penelitian ini diperoleh regeneran mutan yang diharapkan solid. Adanya mutan dibuktikan dengan adanya perbedaan struktur anatomi daun. Meskipun regeneran tersebut mengalami pertumbuhan yang lambat, akan tetapi hal tersebut disebabkan oleh kerusakan fisiologis, sehingga pada generasi berikutnya pengaruh kerusakan fisiologis akan berangsur hilang. Bukti lain adanya mutan pada regeneran mutan adalah perbedaan pada pola pita DNA.
138
VIII. KESIMPULAN UMUM DAN SARAN
Kesimpulan 1. Dari hasil penelitian ini diperoleh regeneran mutan yang diharapkan solid. Beberapa regeneran mutan muncul tunas lebih cepat dibandingkan regeneran kontrol. Adanya
mutan dibuktikan dengan perubahan morfologi, perbedaan
struktur anatomi daun dan perubahan pola pita DNA. 2. Tipe regenerasi tanaman manggis in vitro melalui perkecambahan biji, organogenesis langsung dan tidak langsung telah berhasil dikembangkan. Medium optimal untuk induksi kalus nodular adalah MS dengan perlakuan kombinasi 2,2 µM BAP dan 2,27 µM TDZ, sedangkan medium optimum regenerasi tanaman pada medium WPM dengan konsentrasi 2,2 ,2 µM BAP. 3. Iradiasi sinar gamma dapat meningkatkan keragaman fenotipik manggis in vitro. Terjadi perubahan fenotipik/morfologi yang muncul akibat iradiasi sinar gamma, seperti daun ya ng berukuran kecil, ruang batang yang pendek, dan muncul tunas albino. DR50
diketahui pada dosis iradiasi sinar gamma 25 Gy. Pada dosis
rendah (5 dan 10 Gy) banyak dihasilkan regeneran yang memiliki pertumbuhan lebih cepat dibandingkan kontrol, sedangkan pada dosis lebih dari 30 Gy kalus nodular mengalami kesulitan untuk beregenerasi. 4. Perubahan fenotipik/morfologi akibat iradiasi sinar gamma dapat diamati perubahan anatomi daun
(histologi) dengan membuat irisan paradermal dan
transversal. Pada umumnya luas stomata regeneran lebih besar dibandingkan kontrol. Begitu juga ukuran kutikula, parenkim palisade, bunga karang dan jumlah berkas pembuluh regeneran lebih tebal dibandingkan kontrol. Regeneranregeneran tersebut adalah R-5/2, R-5/3, R-5/4, R-10/4, R-15/1, R-15/2, R-15/3, R-25/1, R-30/1 dan R-30/2 berpotentsi sebagai mutan putatif manggis 5. Perubahan fenotipik/mofologi dapat diamati pada tingkatan DNA dengan mengetahui pola pita DNA dengan menggunakan lima primer acak. Regeneran manggis in vitro memperlihatkan pola pita DNA yang bervariasi dibandingkan
139
kontrol. Hal ini membuktikan bahwa perubahan morfologi merupakan cerminan perubahan DNA. Perubahan fenotipik dapat dianalisis tingkat keragaman genetik berdasarkan karakter morfologi dan marka RAPD. Berdasarkan dendogram analisis RAPD nilai kemiripan genetik antara 60% - 91% atau keragaman genetik 9% - 40%. Sedangkan dendogram analisis morfologi dengan nilai kemiripan genetik 59 % atau keragaman genetik 41 %.
Saran
1. Regeneran-regeneran manggis in vitro mengalami kesulitan dalam berakar, disarankan mencari protokol yang baku untuk induksi perakaran atau dengan teknik lain seperti mikrografting. 2. Untuk meningkatkan peluang penggunaan
diperoleh mutan yang potensial disarankan
dosis iradiasi sinar gamma 25 Gy dengan meningkatkan jumlah
eksplan/kalus nodular. 3. Untuk meningkatkan akurasi dengan marka RAPD disarankan penggunaan primer yang lebih banyak. 4. Untuk analisis anatomi daun disarankan juga pengamatan kloroplas stomata pada regeneran manggis in vitro. 5. Untuk menguji kemungkinan adanya variasi somaklonal perlu uji keragaman lebih dari satu individu regeneran dari kalus nodular tanpa radiasi. 6. Uji keragaman dan identifikasi regeneran perlu dilanjutkan pada tanaman yang telah tumbuh di lapang.
140
Daftar Pustaka Almeyda N, Martin FW. 1976. Cultivation of neglected tropical fruit with promise, Part I : The Mangosteen In : Agriculture Research Service, USDA. Ananthakrishnan R, Ravikumar, Prem Anan., Vengadesan G, Ganapathi A. 1999. Induction of somatic embryogenesis from nucellus derived callus of Anacardium occidentale. L. Scientia Horticulturae 79 (1999) : 91-99 Asiedu RN, Terkuile, Ujeeb-Kazi A. 1986. Diagnostic marker in wheat wide crosses. In A Ujjeeb-Kazi and L.A. Sitch (Eds.). Review of Advances in Plant Biotechnology, 1985-1988 : 2nd International Symposium on Genetic manipulation in Crops. CYMMIT, Mexico DF, Mexico. Al-Safadi B, Ayyoubi Z, Jawdat D. 2000. The effect of gamma irradiation on potato microtuber production in vitro. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 61 : 183187 Baihaki A. 1999. Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan. Program pengembangan Kemampuan Peneliti Tingkat S1 non Pemuliaan dalam Ilmu dan Teknologi Pemuliaan. Bandung, 23 Februari – 21 Agustus 1999. Baird E, Cooper-bland S, Waugh R, DeMaine M, Powell W. 1992. Moleculer characterization of inter and intra-specific somatic hybrids of potato using randomly amplified polymorphyc DNA (RAPD) markers. Mol Gen Genet 233 ; 469-474 Barghchi M, Alderson PG. 1983. In vitro propagation of Pistacia species. Acta Horticulturae 131: 49-60 Bhagwat B, Duncan EJ. 1998. Mutation breeding of highgate (Musa acuminata, AAA) for tolerance to Fusarium oxysporium sp. cubense using gamma irradiation. Euphytica 101. 143-150 Brar DS. 2002. Moleculer marker assisted breeding. In: Moleculer Techniques in Crop Improvement (edited by S.M. Jain, D.S. Brar and B.S. Ahloowalia). Kluwer Academic Publishers. London. Briggs RW, Constantin MJ. 1977. Radiation type and radiation sources. In: Manual on Mutation Breeding, Technical Report Series. No. 119, IAEA. Vienna. Broertjes C. 1977. Induced mutant technique in breeding asexually propagated plant: Mutagent treatment and handling of treated material In: Manual on Mutation Breeding, Technical Report Series. No. 119, IAEA. Vienna.
141
__________ , van Harten AM. 1988. Application of Mutation Breeding Methods in The Improvement of Vegetatively Propagated Crops, Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam. Brock RD. 1977. When to use mutation in plant breeding In: Manual on Mutation Breeding, Technical Report Series. No. 119, IAEA. Viena. Budiastra IW. 2000. Penanganan pasca panen manggis untuk ekspor. Diskusi Nasional Bisnis dan Teknologi Manggis. Bogor 15-16 Nopember 2000. Capella SC, Mok DWS, Kirchner SC. 1983. Effect of thidiazuron on cytokinin autonomy and metabolism of N6 (2- isophentenyl) adenosine in callus tissue of phaseolus luntus. Plant Physiology 81: 151-683 Chaudhary HK. 1971. Elementary Principles of Plant Breeding, Oxford & IBH Publishing Co. New York. Chau Kay-Ming. 1990. Mangosteen. In: Fruit: Tropical and Subtropical (eds. T.K. Bose and S.K. Mitra. Naya Prokash, Calcuta, India. Chin HF. 1978. Production and storage of recalcitran seed in the tropics. Acta Horticulture 83: 17-21 Corner EJH. 1952. Wayside Trees of Malaya. 2nd edn. Singapore.. Cox JEK. 1976. Garcinia mangostana - Mangosteen. p. 361-375. In Gardner, R. J dan S. A. Chaudhary (eds.). The Propagation of Tropical Fruit Trees. FAO and CAB, England. Darajat AA 1987. Variabilitas dan Adaptasi Genotipe Terigu pada Berbagai Lingkungan Tumbuh di Indonesia. Disertasi. Universitas Padjadjaran. Bandung. Tidak dipublikasikan. Departemen Pertanian. 2004. Ekspor Hortikultura Indonesia: Nilai dan volume ekspor buah-buahan. http.//deptan.go.id (21 April 2004). Desrosier NW, Rosenstock HM. 1960. Radiation Technology in Food, Agriculture and Biology. The AVI Publishing Company, Inc. New York. Demeke T, Adam RP. 1994. The use of PCR-RAPD analysis in plant taxonomy and evolution. In: PCR Technology-Current Innovation (Eds. Griffin and Griffin0 CRC Press. London.
142
den Nijs APM, van Dijk GE. 1993. Apomixis. In : M.D. Hayward, N.O. Bosemark and I. Romagossa (eds.). Plant Breeding Principles and Prospects. Chapmant and Hall. London. Dickson WC. 2000. Integrative Plant Anatomy. Academic Press. Tokyo. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 2004. Laporan akhir varietas. UPTD Balai Pengawasan & Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Barat. Ditjen BPPHP. 2002. Volume dan Nilai ekspor dan Impor Hortikultura Indonesia Tahun 1997-2001. Donini B. 1982. Mutagenesis applied to improve fruit trees : techniques, methods and evaluation or radiation induced mutation. In: Induced Mutation in Vegetatively Propagated Plants II, IAEA,Vienna. Donini B, Mannino P, Ancora G. 1990. Mutation breeding programmes for the genetic improvement of vegetatively propagated plant in Italy. In: Plant Mutation Breeding for Crop Improvement. Proceeding. of an International Symposium organized by IAEA – FAO Vienna, 18 – 22 Juny 1990. Dowling TE, Moritz C, Palmer JD, Rieseberg LH. (1996). Nucleic Acid III : Analysis of fragments and restriction site. In: Molecular Systematic (Eds. Hill , D.M. Moritz, C., and B.K. Mable) Sinauer Associates, Inc. Massachusetts. USA. Downton WJS, Grant WJR, Chacko EK. 1990. Effect of elevated carbondioxide on the photosynthesis and early growth of mangosteen (Garcinia mangostana L.) . Scientia Horticulturae 44 : 215-225 Doyle JJ, Doyle JL. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus 12 (1) : 13-15. Dulson J, Laima SK, Ripley VL. 1998. Efficacy of bulk DNA sample for RAPD DNA fingerprinting of genetically complex Brassica napus cultivars. Euphytica 102 : 65-70. Estiti BH. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Penerbit ITB. Bandung. Esau K. 1965. Plant Anatomy. John Wiley & Sons Inc. New York. Esau K. 1977. Anatomy of Seed Plants. John Wiley & Sons Inc. New York.
143
Fahn A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Fehr WR. 1987. Principle of Cultivars Development, Theory and Technique. McGraw Hill, Inc. New York. Fiola JA, Hanssan MA, Swartz HJ, Bors RH, McNicole R. 1990. Effect of Thidiazuron, light influence rate and kanamycin on in vitro shoot organogenesis from excised Rubus cotyledons and leave. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 20 : 223228. Friedrich G, Neumann D, Volg M. 1986. Physiologie der Obstgeholze. 2nd ed. Akademie-Verlag Berlin, p 52. Gallego FJ, Martinez I. 1996. Molecular typing of rose cultivars using RAPDs. J. Horticultural Science 71 (6) : 901 – 908. Gaul H. 1977. Mutagent effect in the first generation after seed treatment. In: Manual on Mutation Breeding, Technical Report Series. No. 119, IAEA. Viena. George KJ, Sadasivam S. 1997. Random amplified polymorphic DNA (RAPD) fingerprinting of triploid banana genotype. In: In: Moleculer Approaches to Crop Improvement (edited by J.P. Varghese). Proc. Seminar 29-31 December 1997. Kottayam. New Delhi. George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Exegetic Limited. London. George EF. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture. 2nd Edition. Exegetics Limited. England. Gmitter FG, Grosser JW, Moore GA. 1992. Citrus . In. Biotechnology of Perennial Fruit Crops (eds. F.A. Hammerschlag and R.E. Litz. CAB International. London. Goh HKL, Rao AN, Loh CS. 1988. In vitro planlet formation in mangosteen (Garcinia mangostana L.). Annual of Botany 62: 87-93 Goh HKL, Rao AN, Loh CS. 1990. Direct shoot bud formation from leaf explants of seedling and mature mangosteen (Garcinia mangostana L.) tree. Plant Science 68 : 113-121 Goh CJ, Lakshmanan P, Loh CS. 1994. High frequency direct shoot bud regeneration from excised leaves of mangosteen (Garcinia mangostana L.). Plant science 101 (1994) : 174-180
144
Gray DJ, Meredith 1992. Grape. In. Biotechnology of Perennial Fruit Crops (eds. F.A. Hammerschlag and R.E. Litz. CAB International. London. Gustafson A, Ekberg. 1979. Type of mutation. In: Manual on Mutation Breeding, Technical Report Series. No. 119, IAEA. Vienna. Harahap F. 2005. Induksi Variasi Genetik Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.) Dengan Radiasi Sinar Gamma. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor (tidak dipublikasikan). Haouru Tang, Ren Z, Krezal G. 2000. Somatic embryogenesis and organogenesis from immature embryo cotyledons of three sour cherry cultivars (Prunus cerasus L.). Scientia Horticulture 83 : 109-126 Hartmann HT, Kester DE, Davies FT, Geneve RL. 1997. Plant Propagation. Principles and Practices. 6th edition. Prentice Hall International, Inc. London. Hashmi G, Huettel R, Meyer R, Krusberg. 1997. RAPD analysis of somaclonal variant derived from embryo callus culture of peach. Plant Cell Report 16 : 624-627. Horn CL. 1940. Stimulation of growth in juvenile mangosteen plants. J. Agr. Res., 61: 397-400 Huetteman CA, Preece JE. 1993. Thidiazuron: a potent cytokinin for woody plant tissue culture. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 33 : 105-119. Hume EP. 1947. Difficulties in Mangosteen Culture. Tropica Agriculture. Vol. XXIV, Nos 1-3. Idris S, Rukayah A. 1987. Description of the male mangosteen (Garcinia mangostana L.) discovered in Peninsular Malaysia. MARDI Res. Bull. 15(1): 63-66 Jain SM. 2000. Induction of mutations in fruits of tropical and subtropical regions. Abst. Int. Sym. Trop. Subtrop. Fruits. Cairn Australia. Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. McGraw-Hill Book Comp., Inc. New York. Karp A, Kresovich S, Bhat KV, Ayad WG, Hodgkin T. 1997. Molecular tool in plant genetic resources conservation : a guide to the technologyes. IPGRI Technical Bulletin No.2. Italy
145
Klein- Lankhorst RM, Vermunt A, Weide R, Liharska T, Zabel P. 1991. Isolation of molecular marker for tomato (L. esculentum) using random amplified polymorphic DNA (RAPD). Theor Appl Genet (1991): 108-114 Kriedemenn PE. 1986. Tree water relation. Acta Hort. 175: 343-350 Kristen Wolff, Jenny peters- van Rijn. 1993. Rapid detection of genetic variability in chrysanthemum (Dendtrathema grandiflora Tzvelev) using random primers. Heredity 71: 335 - 341 Koltunow AW. 1993. Embryo sacs and embryo formed without meiosis or fertilization in ovule. The Plant Cell. Vol.5 : 1425-1437 Kusuma E, Verheij EWM. 1994. Mangosteen, the queen of tropical fruit : problem and suggested research in Indonesia. IARD Journal, Vol. 16 (3): 33-34 Lim LA. 1984. Embryology of Garcinia mangostana L. (Clusiaceae). Gard. Bulletin Singapore 37 (1) : 93-103. Liu JR, Sink KC, Dennis FG. 1993. Plant Regeneration from apple seedling explants and callus cultures. Plant Cell, Tissue and Culture 2 : 293-304 Lu CY. 1993. The use of thidiazuron in use culture. In Vitro Cell Dev Biol 29: 9296 Libby WJ. 1987. Genetic resources and variation in forest trees. In. Improving Vegetatively Propagated Crops (eds. A.j. Abbot and R.K. Atkin). Academic Press. London. Litz RE, Gray DJ. 1992. Organogenesis and somatic embryogenesis. In. Biotechnology of Perennial Fruit Crops (eds. F.A. Hammerschlag and R.E. Litz. CAB International. London. Livy W. Gunawan. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. PAU-IPB. Bogor. Mak C, Mohamed AA, Liew KW, Ho YW. 2004. Early screening techniques for Fusarium wilt resistance in banana micropagated plants. In: Banana Improvement. Cellular, Molecular Biology and Induced Mutation (Eds. S.M. Jain and R. Swennen) Science Pubishers, Inc. Enfield (NH). USA. Maluszynski M, Ahloowalia BS, Sigurbjörnsson B. 1995. Application of in vivo and in vitro mutation techniques for crop improvement. Euphytica 85 : 303-315.
146
Mansyah E, Edison HS, Winarno M. 1992. Eksplorasi dan studi keragaman manggis (Garcinia mangostana L.) di Sumatera Barat: I. Karaterisasi kuantitatif antar tanaman pada populasi manggis di beberapa lokasi. Penel Hort., 5(1):1-15. Mansyah E. 2002. Analisis Variabilitas Genetik Manggis Melalui Teknik RAPD dan Fenotipiknya pada Berbagai Lingkungan Tumbuh di Jawa dan Sumatera Barat. Master Tesis Universitas Padjadjaran. Bandung. (tidak dipublikasikan). Massimo HMS, Susan JM, Tannis YS, Sangkaran K, Praveen KS. 1995. Morphoregulatory role thidiazuron : morphogenesis of root outgrowths in thidiazuron-treated geranium (Pelargonium x hortorum Bailey). Plant Cell Reports 15 : 205-211. Mauseth JD. 1988. Plant Anatomy. The Benjamin/Cumming Publishing Co.Inc. Menlo Park, California. Mayer MS, Abebe Tullu, Simon CJ, Kumar J, Kaiser WJ, Kraft JM, Muehlbauer FJ. 1997. Development of a DNA marker for Fusarium Wilt Resistance in Chicpea. Crop Sci. 37: 1625-1629 McCaskill AR, Giovannoni JJ. 2002. Use of moleculer markers for fruit crop improvement. In: Moleculer Techniques in Crop Improvement (eds. S.M. Jain, D.S. Brar and B.S. Ahloowalia). Kluwer Academic Publishers. London. Metin Tuna, Khadka DK, Shrestha MK, Arumuganathan K, Goldhirsh AG. 2004. Characterization of natural orchardgrass (Dactylis glomerata L.) population of the thrace region of Turkey based on ploidy and DNA polymorphisms. Euphytica 135 : 39-46 Meunier J. 1992. Genetic diversity in coconut a brief survey of IRHO’s Work. In: Coconut Genetic resources. IBPGR, Rome. Mhatre M, Bapat VA, Rao PS. 1985. Regeneration of plants from the culture. Combined Proceedings of the international Plant Propagation Society 30: 421-426 Micke A, Donini B. 1993. Induced mutation .In: Plant Breeding Principles and Prospects (Eds. M.D. Hayward, N.O. Bosemark and I. Romagosa ). Chapmant and Hall. London. Mondal TP, Bhattacharya A, Sood A, Ahuja PS. 1998. Plant Growth Regulation 26: 57-61 Mohapatra T. 1997. RFLP technique and its application in crop improvement. In: Moleculer Approaches to Crop Improvement (edited by J.P. Varghese). Proc. Seminar 29-31 December 1997. Kottayam. New Delhi
147
Mohr H, Schopfer. 1995. Plant Physiology. Springer-Verlag. Berlin. Mulcahy DL, Cresti M, Sansavini S, Douglas GC, Linskens HF, Bergamini G, Vignani R, Pancaldi M. 1993.The use of random amplified polymorphic DNAs to fingerprint apple genotypes. Scientia Horticulturae 54: 89 – 96. Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and biossays with tobacco tissue culture. Physiologia Plantarum 15 ; 473-479 Nakasone HY, Paul RE. 1998. Tropical fruit. In Crop Production Science in Horticulture Series. Cab. International. London. Nei M, Li WH. 1979. Mathematical model for studying genetic variation in term restriction endonuclease. Proc. Neth. Acad Sci. USA 76 : 5269-5273 Normah MN, Rosnah H, Noor Azza AB. 1990. Multiple shoot and callus formation from seeds of mangosteen (Garcinia Mangostana L.) cultured in vitro. Acta Horticulturae 292 Novak FJ. 1992. Musa (Bananas and Plantains). In. Biotechnology of Perennial Fruit Crops (eds. F.A. Hammerschlag and R.E. Litz. CAB International. London. Phillips GC, Hubstenberger JF, Hansen EE. 1995. Plant regeneration by organogenesis from callus and cell suspension culture. In: plant Cell, Tissue and Organ Culture. Fundamental Methods. Springer. London. PKBT Institut Pertanian Bogor. 2001. RUSNAS Buah-buahan Indonesia, Pusat Kajian Buaha-buahan Tropika Institut Pertanian Bogor. Bogor. Poehlman JM, Sleper DA. 1995. Breeding Field Crops. Iowa State University Press. Ames. Poerwanto R. 2000. Teknologi Budidaya Manggis. Prosiding Pemantapan Teknologi Spesifik Lokasi Wilayah Barat Melalui Temu Pakar. 15-16 Nopember. Bogor. _____________. 2003. Peran Manajemen Budidaya Tanaman dalam Meningkatkan Ketersediaan dan Mutu Buah-buahan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Hortikultura IPB. Bogor. 13 September 2003 Powell W, Morgante M, Andre CC, Hanafey M, Voge l J, Tingey S, Rafalski A. 1996. The comparation of RFLP, RAPD, AFLP, and SSR (microsatellite) markers for germplasm analysis. Molecular Breeding. 2 : 225-238
148
Predieri S, Magli M, Zimmerman RH. 1997. Pear mutagenesis: In vitro treatment with gamma-rays and field selection for vegetatif form traits. Euphytica 93 : 227-237 Qosim WA. 1999. Variabilitas Genetik Karakter Morfologi Tanaman Krisan pada Generasi MV2 dan MV3 akibat Iradiasi Sinar Gamma. Tesis Magister. Universitas Padjadjaran. Bandung. Tidak dipublikasikan Ramage CM, Sando L, Peace CP, Caroll BJ, Drew RJ. 2004. Genetic diversity revealed in the apomict fruit species Garcinia mangostana L. (mangosteen). Euphytica 136 (1) : 1-10 Ramlan MF, Mahmud TM, Hasan BM, Karim M Z. 1992. Studies on photosynthesis on young mangosteen plants grown under several growth conditions. Acta. Hort., 321:482-489. Ramulu KS, Dijkhuis P, Pereira A, Angenent GC, van Lookeren Campagne MM, Dons JJ. 1995. Apomixis, a clonal reproduction throught seed; new molecula r genetic strategies at CPRO-DLO. In : Apomixis (Eds.Yves Savidan) News Letter 8, Juni 1995. Rasmusson DC, Gengenbah BG. 1984. Genetic and use of physiological variability in crops breeding. In Physiological basis of crops growth and Development. (edit by M.B. Tesar). American Society of Agronomy, Inc. and crop Science Society American, Inc. Winconsin. USA. Richard AJ. 1990a. Studies in Garcinia dioecious tropical forest trees : agamospermy. Botanical Journal of The Linnean Society 103: 233-250 Richard AJ. 1990b. Studies in Garcinia dioecious tropical forest trees : the phenology, pollination biology and fertilization of Garcinia hombroniana L.). Botanical Journal of The Linnean Society 103: 301-308 Richard AJ. 1990c. Studies in Garcinia dioecious tropical forest trees : the origin of the mangosteen (Garcinia mangostana L.). Botanical Journal of The Linnean Society 103: 251-261 Rohlf FJ. 1998. NTSYSpc Versi. 2.0 (numerical taxonomy and multivariate analysis system) user guide. Applied Biostatistics Inc. New York. Ronning CM, R.J. Schnell. 1995. Inheritance of random amplified polymorphic DNA (RAPD) markers in Theobroma cacao L. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 120 (4) : 681686.
149
Roslim DI, Alex Hartana, Suharsono. 2003. Kemiripan genetik tiga populasi kelapa tipe dalam berdasarkan tiga metode analisis data penanda RAPD. Hayati Vol. 10 (1) : 12-18 Rout GR, Samantaray R, Das P. 2000. In Vitro embryogenesis from callus culture of Cephaelis ipecacuanha A. Richard. Scientia Horticulturae 86 (2000) : 71-79 Roux NS. 2004. Mutation induction in Musa Review. In: Banana Improvement. Cellular, Molecular Biology and Induced Mutation (Eds. S.M. Jain and R. Swennen) Science Pubishers, Inc. Enfield (NH). USA. Salisbury FB, Ross CW. 1992. Plant Physiology. 4th edition. Wadhsworth Publishing Co. London. Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis R. 1989. Molecular Cloning A Laboratory Manual (2nd ed.), Cold Spring Harbor Laboratory. New York. Saunder GC, Hopkins D. 1999. Random amplified polymorphyc DNA (RAPD) analysis. In: Analytical Molecular Biology (edited by G.C. Saunder & H.C. Parkes). RSC. London. Sass JE. 1957. Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa State College Press. New York. SAS Institute.1996. The SAS Release 6.12./Guide’s for user. Lousiana. USA. Skroch P, Tivang J, Nienhuis J. 1992. Analysis of genetic relationship using RAPD marker data. In: Aplication of RAPD Technology to plant Breeding. Joint Plant Breeding symposia Series. Minneapolis. Soost RK. 1987. Breeding citrus – genetic and nucellar embryony. In. In. Improving Vegetatively Propagated Crops (eds. A.j. Abbot and R.K. Atkin). Academic Press. London. Staden J, Crouch NR. 1996. Benzyladenine and derivates-their significance and interconversion in plants. Plant Growth regulation 19: 153-175 Steenis CG, Van GJ. 1975. Flora. PT Prada Paramita, Jakarta. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan prosedur statistika (terjemahan Bambang Sumantri). PT Gramedia. Jakarta. Stephenson RA, Ko HL, Gallagher EC. 1989. Plant-water relation of streesed, nonbearing macadamia trees. Scientia Hortic., 39 : 41-53
150
Sugiyama M. 1999. Organogenesis in vitro. Opinion in Plant Biology (1999) 2:61-64 Supriyanto A, Muharam, Hariyanto B. 1999. Evaluasi keragaman pohon manggis pada sentra produksi di Jawa dan Lombok dengan analasis isozim. Bull. Plasma Nutfah. Vol. 5 (1): 6-10 Tang H, Gabi Krezal ZR. Somatic embryogenesis and organogenesis from immature embryo cotyledone of three sour cherry cultivar (Prunus cerasus L.). Scientia Horticulturae 83 (2000) : 109 – 126 Tanksley SD, Orton TJ. 1983. Isozymes in plant genetics and breeding. Elsevier. Amsterdam. Te-chato, Lim M. 2000. Improvement of mangosteen micropropagation through meristematic nodular callus formation from in vitro derived leaf explants. Scientia Horticulture 86 (2000): 291 – 298 Te-chato S, Rungnoi O. 2000. Induction of somatic embryogenesis from leave of sadao chang (Azadirachta exelsa (Jack) Jacobs) Scientia Horticulture 86 : 311321 Te-Chato S. 1999. Mutation Induction in Mangosteen, Effect of Mutagen on Biochemical and Histological Change. J. Sci. Technol. Abstract 21 (1) : 17-24 Te-chato, Lim M. 1999. Plant regeneration of mangosteen via nodular callus formation. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 59 : 89-92. Tejavathi DH, Laksmi Sita G, Sunita A.T. 2000. Somatic embryogenesis in Flax. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 63: 155-159 Tilney-Baseet RAE. 1987. The chimeral problem. In. Improving Vegetatively Propagated Crops (eds. A.j. Abbot and R.K. Atkin). Academic Press. London. Tingey S, Rafalsky A, Williams JGK. 1992. Genetic analysis with RAPD marker. In. Application of RAPD Technology to Plant Breeding Symposia Series CSSA/ASHS/AGA. Minneapolis, 1 November 1992. Valeria BK, Piven NM, Gleba YY. 1997. Somaclonal variation and in vitro induced mutagenesis in graveine. Plant Cell,Tissue and Organ Culture 49 ;17-27 Varghese YA. 1997. Random amplified polymorphic DNA (RAPD) technique and its applications. In: Moleculer Approaches to Crop Improvement (edited by J.P. Varghese). Proc. Seminar 29-31 December 1997. Kottayam. New Delhi.
151
Varghese JP. 1997. Polymerase chain reaction as a tool for the selective amplification of genes : the technique and its application. In: Moleculer Approaches to Crop Improvement (edited by J.P. Varghese). Proc. Seminar 2931 December 1997. Kottayam. New Delhi. van Harten AV. 1998. Mutation Breeding. Theory and Practical Application. Cambridge University Press. London. Verheij EWM, Coronel RE. 1992. Garcinia mangostana L.. Verheij PROSEA. Plant Resources of South-Easth Asia 2. Edible fruits and Nut. Prosea. Bogor Indonesia. Verheij EWM. 1997. Buah-buahan yang dapat dimakan. PT. Gramedia. Jakarta. Victor JMR, Murch SJ, KrishnaRaj S, Saxena PK. 1999. Somatic embryogenesis and organogenesis in peanut: The role of thidiazuron and N6 -benzylaminopurine in the induction of plant morphogenesis. Plant Growth regulation 28: 9-15 Witjaksono, Litz RE. 2004. Effect of gamma irradiation on embryogenic avocado culture and somatic embryo development. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 77: 139-147 Witjaksono, Litz RE. 1999. Maturation of avocado somatic embryos and plant recovery. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 58: 141-148 Wattimena GA, Gunawan LW, Mattjik NA, Syamsudin E, Wiendi NMA dan Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. PAU Bioteknologi. IPB. Bogor. Wester PJ. 1926. Edible Garcinia and Possible Mangosteen Stock. The Journal of the Departement of Agriculture of Puerto Rico No. 34 p: 283-305. Wieble J. 1993. Physiology and Growth of Mangosteen (Garcinia mangostana L.) Seedlings. Dissertation of Doctor Scientarium Agrariarum. Universität Berlin. Berlin. Wieble J, Chacko EK, Downtown WJS. 1992. Mangosteen (Garcinia mangostana L.) : A potensial crop for tropical northern Australia. Acta. Hort., 321:132-137. William JGK, Kubelik AR, Livak KJ, Ravalski JA, Tingey SV. 1990. DNA polymorphisms amplified by arbitrary primer are useful as genetic markers. Nucleic Acid Research. 18 (22) : 6531-6535 Willmer CM. 1983. Stomata. Longman. London. Yaacob O, Tindall HD. 1995. Mangosteen cultivation: FAO : p. 1-100
152
Yeoman MM. 1986. Plant Cell Culture Technology. Botanical Monographs Vol. 23. Blackwell Scientific Publication. London. Yu K, Paul KP. 1994. The use of RAPD analysis to tag genes and determine relatedness in heterogenous plant population using tetraploid Alfalfa as an example. In. PCR Technology Current Innovation (H.G. Griffin and A.M. Griffin. Editor). CRC Press. London. Zin MK. 1991. Variabilitas in mangosteen in Paninsular Malaysia. In : Prosiding Simposium Buah-buahan Kebangsaan Ketiga, Malaysia: 24-26 September 1991 : 292-293
153
Lampiran 1. Komposisi Media MS dan WPM Bahan kimia Makronutrisi (mg/liter) KNO3 NH4 NO3 Ca(NO3 )2 .2H2 O CaCl2 .2H2 0 MgSO4 .7H2 O KH2 PO4
MS
WPM
1.900 1.650 440 370 170
400 576 96 370 170
Mikronutrisi (mg/liter) MnSO4.4H2 O ZnSO4.7H2O H3 BO3 KI CuSO4.5H2 O NaMoO4 .2H2O CoCl2.6H2 O FeSO4.7H2 O NaFeEDTA
22,3 8,6 6,2 0,83 0,025 0,25 0,025 27,8 37,3
22,3 8,6 6,2 27,8 37,3
100 0,1 0,5 0,5
100 1 0,5 0,5
30 8
30 8
Vitamin (mg/liter) Mio-inositol Thiamin Nikotinik asid Piridoksin HCl Sukrosa/gula pasir (g/liter) Agar (g/liter) Sumber : George & Sherington, (1984)
154
Lampiran 2. Proses Pembuatan Media MS (George, 1993) LARUTAN STOK
PETUNJUK PELAKSANAAN
Larutan stok A NH4.NO3
82,5 g/l
Membuat 1 liter medium MS
Larutan stok B KNO3
95
Larutan stok C CaCl2 .H2 O
44
Larutan stok D MgSO4.H2 O KH2 .PO4
37 g/l 17 g/l
Tambahkan 20 ml masing2 larutan stok A & B g/l
g/ Tambahkan 10 ml masing2 larutan stok C & D
Larutan stok E FeSO4. 7H2 O Na 2 EDTA Larutan stok F Mn SO4.H2O
ZnSO4.7H2 O H3 BO3 KI NaMoO4.7H2 O CoCl2.6H2 O CuSO4 .5H2 O
5,57 g/l 7,45 g/l
Tambahkan 5 ml masing2 larutan stok E & F
3380,0 mg/l 1720,0 mg/l 1240,0 mg/l 66,0 mg/l 50,0 mg/l 5,0 mg/l 5,0 mg/l
Tambahkan 1 ml larutan vitamin
Tambahkan 10 ml larutan stok Myo-inositol Larutan stok vitamin Thiamin .HCl 10,0 mg/100 ml Nicotinic acid 50,0 mg/100 ml Pyridoxice. HCl 50,0 mg/100 ml Glycine 200,0 mg/100 ml
Tambahkan ZPT sesuai kebutuhan
Tambahkan akuades sampai mencapai 1 liter Larutan stok myo-Inositol 10 g/l
Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Tambahkan sukrosa/gula pasir 30 g/l Atur pH 5,6 – 5,9 dengan KOH 1M Tambahkan agar 8 g/l lalu panaskan sampai larut Tuangkan ke dalam botol kultur 20 ml Sterilisasi dengan autoklap pada suhu 121 o C Selama 20 menit
155
Lampiran 3. Analisis varians pengaruh BAP terhadap variabel perkecambahan manggis empat minggu setelah kultur Variabel yang Sumber diamati Variasi Persentase eksplan Perlakuan membentuk tunas Galat Total Jumlah eksplan Perlakuan membentuk kalus Galat Total Jumlah eksplan Perlakuan membentuk akar Galat Total Jumlah tunas per Perlakuan Galat eksplan Total Panjang tunas Perlakuan Galat Total Waktu Perlakuan pembentukan tunas Galat Total
db 4 95 99 4 95 99 4 95 99 4 95 99 4 95 99 4 95 99
Jumlah Kuadrat 23554,75 36249,09 59803,85 23,69 289,84 313,52 0,090 0,093 1.025 11,39 17,50 28,89 6,27 11,17 17,44 105,97 215,84 321,81
Kuadrat Tengah 588,69 34,20
Fhitung
5,92 3,05
1,94
17,2**
0,022 0,0009
22,47**
2,848 0,18
15,48**
1,568 0,118
13,33**
26,493 2,272
11,66**
Keterangan : tanda * ( berbeda nyata); ** (berbeda sangat nyata) berdasarkan uji F. Data di atas ditransformasikan dengan (x+0.5) kecuali persentase eksplan membentuk tunas, kalus dan akar dengan arcsin x
156
Lampiran 4. Analisis varians pengaruh BAP terhadap variabel yang diamati pada organogenesis langsung setelah 16 minggu kultur Variabel yang Sumber Variasi diamati Persentase eksplan Perlakuan membentuk tunas Galat Total Jumlah tunas per Perlakuan eksplan Galat Total Waktu membentuk Perlakuan tunas Galat Total Jumlas pasang Perlakuan daun Galat Total Jumlah tunas yang Perlakuan panjangnya Galat 1-5 mm Total Jumlah tunas yang Perlakuan Galat panjangnya 6-10 mm Total Jumlah tunas yang Perlakuan Galat panjangnya >10 mm Total
db 3 76 79 3 76 79 3 76 79 3 76 79 3 76 79 3 76 79 3 76 79
Jumlah Kuadrat 4,11 14,35 18,47 6,47 25,95 32,42 1994,87 4512,24 6507,11 2,33 7,32 9,65 3,26 10,20 13,47 1,49 8,84 10,34 0,15 2,04 2,19
Kuadrat Tengah 1,37 0,19
Fhitung 6,87*
2,15 0, 34
6,29**
664,95 59,37
11,19**
0,78 0,09
8,09**
1,08 0,13
8,30**
0,49 0,11
4,45**
0,05 0,02
1,86
Keterangan : tanda * ( berbeda nyata); ** (berbeda sangat nyata) berdasarkan uji F pada taraf 5 %. data di atas ditransformasikan dengan (x+0.5) kecuali persentase eksplan membentuk tunas dengan arcsin x
157
Lampiran 5. Analisis varians pada persentase eksplan membentuk kalus nodular, jumlah kalus nodular per eksplan dan waktu membentuk kalus nodular pada media MS setelah empat minggu kultur Variabel yang diamati Persentase eksplan membentuk kalus nodular Jumlah kalus nodular per eksplan
Sumber Variasi
db
Jumlah Kuadrat Fhitung Kuadrat Tengah Perlakuan 5 11772,60 2354,52 6,71** Galat 114 40033,11 351,17 Total 119 51805,72 Perlakuan 5 4,15 0,83 6,62** Galat 114 14,29 0,13 Total 119 18,44 Waktu membentuk Perlakuan 5 4,74 0,95 5,35** Galat 114 20,23 0,17 kalus nodular Total 119 24,97 Keterangan : tanda * ( berbeda nyata); ** (berbeda sangat nyata) berdasarkan uji F pada taraf 5 %. data di atas ditransformasikan dengan (x+0.5) kecuali persentase eksplan membentuk kalus nodular dengan arcsin x
158
Lampiran 6. Analisis varians variabel yang diamati pada regenerasi tanaman akibat perlakua n BAP pada media WPM setelah 20 minggu kultur Variabel yang diamati Persentase kalus nodular membentuk tunas Jumlah tunas per kalus nodular Waktu membentuk tunas Jumlas daun
pasang
Jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm Jumlah tunas yang panjangnya 5-10 mm Jumlah tunas yang panjangnya > 10 mm
Sumber Variasi
db
Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total Perlakuan Galat Total
3 76 79 3 76 79 3 76 79 3 76 79 3 76 79 3 76 79 3 76 79
Jumlah Kuadrat 15,51 64,97 80,48 39,34 99,74 139,05 12977,87 58070,41 71048,11 2,77 6,47 9,24 53,35 133,85 187,21 8,55 27,52 36,07 0,92 2,35 3,23
Kuadrat Tengah 5,17 0,85
Fhitung 6,04**
13,1 1,31
9,97**
4325,95 764,08
5,66**
0,92 0,08
10,80**
17,78 1,78
10,08**
2,85 0,36
7,87**
0,31 0,03
10,02**
Keterangan : tanda * ( berbeda nyata); ** (berbeda sangat nyata) berdasarkan uji F pada taraf 5 %. Data di atas ditransformasikan dengan x+0,5 , kecuali variabel jumlah kalus nodular membentuk tunas dengan arcsin x
159
Lampiran 7. Analisis ragam variabel yang diamati pada regenerasi tanaman akibat iradiasi gamma pada media WPM 2,2 µM BAP setelah 20 minggu kultur Variabel yang diamati Persentase kalus nodular membentuk tunas Jumlah tunas per kalus nodular Waktu tunas
membentuk
Jumlah pasang daun
Jumlah tunas yang panjangnya 1-5 mm Jumlah tunas yang panjangnya 6-10 mm Jumlah tunas yang panjangnya > 10 mm
Sumber Variasi
db
Dosis iradiasi Galat Total Dosis iradiasi Galat Total Dosis iradiasi Galat Total Dosis iradiasi Galat Total Dosis iradiasi Galat Total Dosis iradiasi Galat Total Dosis iradiasi Galat Total
8 261 269 8 261 269 8 261 269 8 261 269 8 261 269 8 261 269 8 261 269
Jumlah Kuadrat 34010,74 120001,75 154012,50 39,09 108,95 148,04 944,87 5578,99 6523,89 5,66 15,83 21,49 64,82 147,88 212,70 15,78 56,62 72,40 1,17 11,45 26,73
Kuadrat Tengah 4251,35 459,78
F- hitung 9,24**
4,88 11,69** 0,42 118,11 21,38
5.52**
0,71 11,85** 0,06 8,10 14,29** 0,57 1,98 0,23
9,13**
0,15 0,04
3,42**
Keterangan : tanda * ( berbeda nyata); ** (berbeda sangat nyata) berdasarkan uji F pada taraf 5 %. Data di atas ditransformasikan dengan (x+0,5) kecuali variabel persentase kalus nodular membentuk tunas dengan arcsin x
160
Lampiran 8. Proses pembuatan preparat irisan paradermal dan transversal daun manggis a. Irisan paradermal Irisan paradermal dibuat dalam bentuk preparat semi permanen dengan pewarnaan safranin 1 %, tahapan kerja sebagai berikut : 1. daun difiksasi dalam alkohol 70 %, kemudian dicuci dengan akuades. 2. daun direndam dalam larutan HNO3 25 % selama 15-30 menit dan dicuci dengan akuades. 3. epidermis disayat dengan menggunakan pisau silet, untuk menghilangkan klorofil dari mesofil yang terikat, sayatan epidermis direndam dalam larutan bayclean selama 3 menit dan dicuci dengan akuades. 4. sayatan epidermis diwarnai dengan pewarna safranin 1 % selama 3-5 menit. 5. sediaan diberi gliserin 10 % dan ditutup dengan gelas penutup.
b. Irisan transversal Sayatan transversal mengikuti metode parafin dengan menggunakan larutan seri Johansen dengan TBA sebagai dehidran, tahapan kerja sebagai berikut : 1. Daun difiksasi selama 24 jam dalam larutan FAA dengan komposisi Alkohol 70 %: asam asetat glasial : Formaldehida dengan perbandingan 90 : 5 : 5. 2. Larutan fiksasi dibuang dan dicuci dengan etanol 50 % sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian mansing- masing 1 jam. 3. Dehidrasi dan penjernihan dilakukan secara bertahap dengan merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VII dengan komposisi sebagai berikut : Komposisi larutan Air Etanol 95 % Etanol 100 % Tertierbutyl alkohol Minyak parafin
I 50 % 40 % 10 % -
II 30 % 50 % 20 % -
Larutan Johansen III IV V 15 % 50 % 45 % 25 % 35 % 55 % 75 % -
161
VI 100 % -
VII 50 % 50 %
waktu perendaman untuk masing- masing tahap sebagai berikut : Johansen I (2 jam), Johansen II (24 jam), Johansen III (2 jam), Johansen IV (2 jam), Johansen V (2 jam), Johansen VI (24 jam), Johansen VI (2 jam), Johansen VII dalam botol yang berisi 1/3 bagian parafin beku. 4. Infiltrasi: wadah berisi material daun dan campuran TBA, minyak parafin serta 1/3 bagian paraffin disimpan dalam oven 58o C selama 12 jam dan dituang seluruh paraffin diganti dengan parafin cair baru dilakukan 3 kali penggantian setiap 6 jam dan disimpan pada suhu 58 o C. 5. Penanaman dalam blok: menuang semua cairan paraffin ganti dengan parafin cair murni disimpan di oven 58o C selama 1 jam, selanjutnya material siap diblok. 6. Penyayatan: blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan disayat dengan mikrotom putar setebal 10 ìm. 7. Perekatan: sayatan direkatkan pada gelas objek yang telah diolesi albumin gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita paraffin dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 45 o C selama 3-5 jam. 8. Pewarnaan dilakukan pewarnaan ganda safranin 2 % dalam air dan fastgreen 0,5 % dalam etanol 95 %. Berturut-turut gelas objek direndam ke dalam larutan berikut: Xilol 1 Xilol 2 Etanol- xilol (3:1) Etanol- xilol (1:1) Etanol- xilol (3:1) Etanol absolut Etanol 95 % Etanol 70 % Etanol 50 % Etanol 30 % Akuades Safranin 2 % Akuades Etanol 30 % Etanol 50 % Etanol 70 %
5-10 menit 5-10 menit 2-5 menit 2-5 menit 2-5 menit 2-5 menit 2-5 menit 2-5 menit 2-5 menit 2-5 menit 1-2 menit 12-24 j am 1-2 menit 2-5 menit 2-5 menit 2-5 menit
162
Etanol 95 % Fastgreen 0,5 % Etanol absolut Etanol- xilol (3:1) Etanol- xilol (1:1) Etanol- xilol (3:1) Xilol 1 Xilol 2
2-5 menit 3 menit 2-5 menit 2-5 menit 2-5 menit 2-5 menit 5-10 menit 5-10 menit
9. Penutupan: objek gelas diberi tetesan entellen dan ditutupi dengan gelas penutup. 10. Diberi label pada sisi kiri dan dikeringkan (oven).
163
Lampiran 9. Komposisi larutan dan bahan-bahan yang digunakan untuk isolasi DNA, Analisis RAPD dan elektroforesis
I. Ekstraksi/Isolasi DNA 1. Larutan CTAB 10 % NaCl : 4,1 g CTAB : 10 g Larutkan dengan akuades hingga 100 ml 2. Buffer Tris-HCl 1 M pH 8.0 Tris base : 12,11 g HCl pekat : 4,2 ml Akuades : 80 ml Atur pH larutan hingga 8.0, volume total 100 ml dan sterilisasi (autoklap) 3. Larutan EDTA 0,5 M pH 8.0 EDTA` : 18,61 ml NaOH : 2,0 Akuades : 80 ml Atur pH larutan hingga 8.0, volume total 100 ml dan sterilisasi (autoklap) 4. NaCl 5 M NaCl ; 29,22 g Larutkan dengan akuades hingga volume 100 ml dan sterilisasi dengan autoklap. 5. Etanol 70 % Etanol : 70 ml Akuades : 30 ml Simpan dalam lemari es 6. Isopropanol dingin 7. Buffer ekstrak (Doyle & Doyle, 1987) untuk 25 ml Laruran CTAB 10 % : 5 ml Larutan EDTA 0,5 M pH 8.0 : 1 ml Buffer Tris-HCl 1 M pH 8.0 : 2,5 ml NaCl 5 M : 7,5 ml Akuades steril : 8,25 ml Mercaptoetanol : 0,75 ml 8. Kloroform : Isoamil alkohol (24:1) kloroform : 48 ml isoamil alkohol : 2 ml
164
9. Natrium asetat 3 M pH 5.2 10. Buffer phenol 0,2 gram – hidroquinon dalam 20 ml phenol, kloroform : isoamil alkohol (24:1) ke dua bahan dicampur dengan perbandingan 1 : 1 11. Pembuatan RNAse 10 mg/ml (dalam Na-asetat 0,01 M pH 5.2) timbang 0,01 g Rnase (SIGMA) masukan ke dalam tabung 1,5 ml. tambahkan 3,3 µl Na-asetat 0,01 M pH 5,2 dan 996,7 µl H2 O. kocok dan panaskan pada suhu 100 o C Selma 15 menit. Dinginkan pada suhu kamar dan tambahkan 100 µl (1/10v) Tris-Cl pH 7,4 Simpan pada -20 o C. II. RAPD ( berbasis PCR) 1. PCR kit (PCR Core System I) (PROMEGA) - Buffer reaksi (Thermophilic DNA polimerase 10X) 2,5 µl - MgCl2 25 mM 2,5 µl - PCR nucleotide (dNTP) 2,5 mM 2,5 µl - Taq DNA Polimerase 0,13 µl 2. Primer 1 µl 3. DNA sampel 50 ng 1 µl 5. H2 O (bebas ion) 15,37 µl ---------------------------------------------------------------------------------Reaksi 1X 25 µl 4. mineral oil 20 µl III. Elektroforesis 1. Buffer TAE 50 X Tris base : 24,2 g Asam asetat glacial : 5,7 ml EDTA 0,5 M ph 8,0 : 1,0 ml Larutkan dengan akuades hingga 100 ml 3. Ethidium bromida 1 % ethidium bromida akuades
: 1 ml : 99 ml
4. Pembuatan gel agarose 1,4 % Agarase (PROMEGA) : 0,56 g TAE 1X : 40 ml Larutan di atas dipanaskan dalam microwave selama 5 menit, larutan gel dituangkan dalam cetakan yang sudah di siapkan.
165
Lampiran 10. Nilai Rasio absorbans λ260/280 dan konsentrasi DNA pada beberapa genotip mutan manggis No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Genotip K (kontrol) R-5/1 R-5/2 R-5/3 R-5/4 R-10/1 R-10/2 R-10/3 R-10/4 R-15/1 R-15/2 R-15/3 R-20/1 R-20/2 R-20/3 R-25/1 R-25/2 R-30/1 R-30/2 R-35/1 R-35/2 R-40/1
absorbans λ260 λ280 0,046 0,034 0,103 0,078 0,095 0,082 0,099 0,088 0,100 0,087 0,095 0,072 0,071 0,055 0,085 0,069 0,067 0,065 0,103 0,081 0,049 0,035 0,084 0,064 0,041 0,035 0,023 0,022 0,042 0,033 0,069 0,057 0,041 0,040 0,062 0,052 0,047 0,040 0,035 0,033 0,056 0,054 0,025 0,023
166
Rasio λ260/280 1,353 1,321 1,159 1,125 1,149 1,319 1,291 1,232 1,031 1,272 1,400 1,313 1,171 1,045 1,273 1,211 1,025 1,192 1,175 1,061 1,037 1,087
Konsentrasi DNA (ng/ml) 115,0 257,5 237,5 247,5 250,0 237,5 177,5 212,5 167,5 257,5 122,5 210,0 102,5 57,5 105,0 172,5 102,5 155,0 117,5 87,5 140,0 62,5
Lampiran vitro Primer SBH 13
SBH 18
SB19
SB 13
SB 12
11. Data biner pola pita RAPD 22 regeneran dan kontrol manggis in
1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
2 0 1 1 1 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1
3 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1
4 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 1 0 1 1 0 1 1 1
5 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1
6 0 0 1 1 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
167
7 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1
8 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1
9 0 0 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1
10 0 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1
11 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1
12 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1
13 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1
14 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1
15 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1
Lampiran
12. Data biner karakter morfologi 22 regeneran dan kontrol manggis in vitro
Variabel Persentase kalus nodular membentuk tunas Jumlah tunas per nodul kalus
Kriteria
25<X<50 50<X<75 >75 1<X<5 5<X<7.5 >7,5 Waktu membentuk 110<X<120 tunas 121<X<130 >130 Jumlah pasang 1<X<2 daun >2 Jumlah tunas yg 1<X<5 panjang 1-6 mm 6<X<10 >10 Jumlah tunas yg 1<X<3 panjang 5-10 mm 3<X<4 >5 Jumlah tunas yg 1<X<2 panjang >10 mm >2
1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0
2 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0
2 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0
3 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0
4 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0
5 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0
6 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0
7 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0
8 0 0 1 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0
9 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0
regeneran 10 11 12 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keterangan : (1) kontrol; (2) R-5/1; (3) R-5/2; (4) R-5/3; (5) R-5/4; (6) R-10/1; (7) R-10/2; (8) R-10/3; (9) R-10/4; (10) R-15/1; (11) R-15/2; (12) R-15/3; (13) R-20/1; (14) R-20/2; (15) R-20/3; (16) R-25/1; (17) R-25/2; (18) R-30/1; (19) R-30/2; (20) R-35/1; (21) R-35/2; (22) R-40/1
168
13 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0