INDUKSI KERAGAMAN PADA STEK PUCUK DAN KULTUR KALUS HANDEULEUM (Graptophyllum pictum L. Griff) MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA
ARRIN ROSMALA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Induksi Keragaman pada Stek Pucuk dan Kultur Kalus Handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff) Melalui Iradiasi Sinar Gamma adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
Arrin Rosmala NRP A252070081
ABSTRACT ARRIN ROSMALA. Variability Induction on Stem Cutting and Callus Culture of Handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff) Trough Gamma Rays Irradiation. Supervised by NURUL KHUMAIDA and DEWI SUKMA.
Handeuleum is medicinal plant that being used by Indonesian people for infection prevention after getting birth, body weight reduction, hemmoroids, abscess, ulcer healing, and prevention of plaque development on teeth. In handeuleum biomass production, Doleschallia bisaltidae attack can reduce its biomass yield up to 70%. That’s the reason to find handeuleum varieties which have better phytochemistry and resistance to pest. Since handeuleum cannot produced seeds, it always propagated vegetatively cause handeuleum has narrow variability. One of the ways improve handeuleum variability is through mutation induction with gamma irradiation which can applied both in vivo and in vitro. This aim of this study is to improve variability of handeuleum trough irradiation gamma rays in vivo (i.e. stem cutting of handeuleum accession Bogor) and in vitro (i.e. callus culture of handeuleum accession Kalimantan and Papua). The results indicate that gamma irradiation caused the diversity toward of cuttings handeuleum Bogor accession and callus culture handeuleum Kalimantan and Papua accession. The GR50 values of irradiation on handeuleum stem cuttings could be observed on plant height, total number of leaves, leaf length, and leaf weight. Generally irradiation treatment dose 15 Gy, 30 Gy, and 45 Gy have higher value than control (0 Gy) at growth, leaves morphology, leaves anatomy of paradermal, and pigment content (anthochyanine, chlorophyll, and carotenoid) except leaves anatomy of paradermal variable. On the contrary at treatment dose irradiation 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, and 105 Gy on the same variables have lower value than control. Irradiation caused change in phythochemistry content, isozyme pattern (peroxidase (PER); esterase (EST); and acid phosphatase (ACP)), and phenotipic variability. Dose irradiation 45 Gy results the most putative mutant variation. Variability on experiment callus culture of handeuleum accession Kalimantan and Papua seen at callus variance value of relative rate growth, the most value is result by dose 25 Gy. Key Word : daun ungu, mutation induction, phytochemistry, isozyme, phenotipic variability.
RINGKASAN ARRIN ROSMALA. Induksi Keragaman pada Stek Pucuk dan Kultur Kalus Handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff) Melalui Iradiasi Sinar Gamma. Dibimbing oleh NURUL KHUMAIDA dan DEWI SUKMA.
Handeuleum merupakan tanaman obat yang daunnya telah lama dimanfaatkan untuk mencegah infeksi setelah melahirkan, mengurangi berat badan, mengobati wasir, bisul, dan borok, serta mencegah pembentukan plak pada gigi. Handeuleum biasanya diperbanyak secara vegetatif karena biji sulit untuk terbentuk sehingga keragaman handeuleum menjadi sempit. Selain itu, handeuleum memiliki kendala dalam produksi biomassa daun yaitu adanya serangan larva Doleschallia bisaltidae yang menyebabkan penurunan hasil hingga 70%. Untuk meningkatkan keragaman, mendapatkan kandidat tanaman dengan kandungan fitokimia tinggi serta tahan hama adalah dengan induksi mutasi menggunakan iradiasi sinar gamma. Iradiasi dapat diterapkan pada tanaman in vivo dan in vitro. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan keragaman handeuleum melalui iradiasi sinar gamma secara in vivo (stek pucuk) pada aksesi Bogor dan in vitro (kultur kalus) pada aksesi Kalimantan dan Papua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma menimbulkan keragaman terhadap stek handeuleum aksesi Bogor dan terhadap kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua. Percobaan iradiasi sinar gamma pada stek pucuk handeuleum aksesi Bogor menghasilkan nilai GR50 pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun. Umumnya perlakuan iradiasi dosis 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy memiliki nilai pengamatan lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol pada peubah pertumbuhan, morfologi daun, anatomi daun paradermal, dan kandungan pigmen (antosianin, klorofil, dan karotenoid) kecuali peubah irisan anatomi daun transversal. Sebaliknya untuk perlakuan iradiasi dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy pada peubah yang sama memiliki nilai yang lebih kecil daripada kontrol. Iradiasi menyebabkan terjadi perubahan kandungan fitokimia, pola pita isozim (peroksidase (PER); esterase (EST); dan asam fosfatase (ACP)), serta menyebabkan keragaman fenotipik. Variasi mutan putatif paling banyak dihasilkan oleh perlakuan iradiasi dosis 45 Gy. Keragaman akibat iradiasi sinar gamma pada percobaan kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua terlihat pada nilai ragam peubah rentang pertumbuhan kalus, dimana dosis 25 Gy menghasilkan nilai paling besar. Kata Kunci: daun ungu, induksi mutasi, fitokimia, isozim, keragaman fenotipik.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan sebagian besar pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa seijin IPB.
INDUKSI KERAGAMAN PADA STEK PUCUK DAN KULTUR KALUS HANDEULEUM (Graptophyllum pictum L. Griff) MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA
ARRIN ROSMALA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Muhamad Syukur, S.P., M.Si.
Judul Tesis
:
Induksi Keragaman pada Stek Pucuk dan Kultur Kalus Handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff) Melalui Iradiasi Sinar Gamma
Nama
:
Arrin Rosmala
NRP
:
A252070081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Si. Ketua
Dr. Dewi Sukma, S.P., M.Si. Anggota
Diketahui Koordinator Mayor Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian: 10 Juni 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala rahmat-Nya penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul Induksi Keragaman pada Stek Pucuk dan Kultur Kalus Handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff) Melalui Iradiasi Sinar Gamma. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nurul Khumaida, M.Si. dan Dr. Dewi Sukma, S.P., M.Si. atas bimbingannya selama penelitian dan atas sarana penelitian yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Muhamad Syukur, SP., M.Si, selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan saran yang diberikan demi kesempurnaan tesis ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.Si, selaku Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ibu Ir. Nova Kristiana dan staf kebun dari BALITTRO, serta Pak Ir. Ahmad Riyadi, M.Si. atas penyediaan bahan tanaman untuk penelitian ini. Kepada Ibu Siti Kholifah, Ibu Juju Juariah, Pak Prayitno, Pak Milin, Pak Joko, Pak Atang, Pak Prasetyo, dan Pak Yudi yang telah banyak membantu selama penelitian. Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Nofia Hardarani, Dwi Rahayu, Dewi Cakrawati, Susi Purwiyanti, Rina Hidayati Pratiwi, Dian Novita, Pienyani Rosawanti, Joan Joulanda Grace Kailola, Aries Kusumawati, Puji Lestari, Richenly Nanlohy, Odit Ferry, Leo Mualim, Syukur Karamang, Tisna Prasetyo, Ahmad Rifqi Fauzi, Pak Nur Arifin, Ibu Atra Romeida, Ibu Kartika Ning Tyas, Lya Nur Yulyaningsih, Mutty Ebtessam, Utami Nurani Putri, Rheka Endalia Meina, Ibu Acih, rekanrekan mayor AGH 2007 (S-3), PBT 2007 dan 2008, serta kepada teman-teman di Jasminer’s atas persahabatan yang terjalin. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada papah, mamah, kakakku Mia Anin Rahmania, adik-adikku: Attin Rachmawati dan Alin Rosliana atas doa, dukungan dan kasih sayang yang tidak pernah berhenti mengalir. Sebagian dari karya ilmiah ini rencananya akan dimasukkan ke dalam Jurnal Agronomi Indonesia, dan sebagian lagi ke dalam Jurnal Hayati. Semoga Karya Ilmiah ini bermanfaat untuk banyak pihak.
Bogor, Agustus 2011 Arrin Rosmala
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung tanggal 4 Nopember 1982 dari ayah Abdullah Apip dan ibu Djuaningsih. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, dan lulus tahun 2006. Selanjutnya, pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB untuk mengambil program magister dengan mayor Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xv
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Tujuan ................................................................................................... Hipotesis ............................................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................................ Kerangka Penelitian ..............................................................................
1 3 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi .................................................................... Kandungan Kimia dan Manfaat ............................................................ Kultur Kalus ......................................................................................... Iradiasi Sinar Gamma ........................................................................... Induksi Mutasi In vivo dan In vitro ...................................................... Radiosensitivitas ................................................................................... Analisis Isozim .....................................................................................
5 7 7 9 11 12 13
INDUKSI KERAGAMAN PADA STEK PUCUK HANDEULEUM (Graptophyllum pictum L. Griff) AKSESI BOGOR MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA Abstrak ................................................................................................. Pendahuluan ......................................................................................... Tujuan .................................................................................................. Hipotesis .............................................................................................. Metodologi Penelitian .......................................................................... Waktu dan Tempat ..................................................................... Metode Percobaan ...................................................................... Analisis Data .............................................................................. Hasil dan Pembahasan ......................................................................... Morfologi Tanaman ................................................................... Growth Reduction 50 (GR50) ..................................................... Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, Panjang Daun dan Lebar Daun Warna Daun, Tekstur Daun, Warna Batang, Indeks Warna Hijau Relatif Daun ..................................................................... Kandungan Antosianin, Klorofil Total, dan Karotenoid ............ Anatomi Daun ............................................................................ Korelasi Antara Karakter Pertumbuhan, Morfologi,dan Anatomi Daun .............................................................................
15 16 17 17 17 17 18 22 22 22 25 28 33 35 39 47
Fitokimia ..................................................................................... Isozim ......................................................................................... Keragaman Fenotipik Handeuleum Akibat Dosis Iradiasi Sinar Gamma........................................................................................ Simpulan .............................................................................................. Saran .................................................................................................... INDUKSI KERAGAMAN PADA KULTUR KALUS HANDEULEUM (Graptophyllum pictum L. Griff) AKSESI KALIMANTAN DAN PAPUA MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA Abstrak ................................................................................................. Pendahuluan ......................................................................................... Tujuan .................................................................................................. Hipotesis............................................................................................... Metodologi Penelitian .......................................................................... Waktu dan Tempat...................................................................... Analisis Data............................................................................... Hasil dan Pembahasan ......................................................................... Kondisi Umum ........................................................................... Waktu Inisiasi Kalus, Jumlah dan Persentase Jumlah Eksplan Berkalus dan Bobot Kalus .......................................................... Warna dan Tekstur Kalus ........................................................... Bobot Kalus Proliferasi .............................................................. Iradiasi Sinar Gamma Kalus ....................................................... Keragaman Kalus Hendeuleum Akibat Iradiasi Sinar Gamma .. Simpulan .............................................................................................. Saran ....................................................................................................
51 54 58 64 65
67 68 69 70 70 70 75 75 75 76 80 83 84 90 91 92
PEMBAHASAN UMUM ..............................................................................
93
SIMPULAN UMUM DAN SARAN Simpulan .............................................................................................. Saran ....................................................................................................
99 99
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
101
DAFTAR TABEL Halaman 1
2
Kriteria penilaian kandungan metabolit sekunder secara kualitatif dengan uji fitokimia ................................................................................
20
Nilai rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST .....................................................................
29
2
Nilai rata-rata warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST ............................................... 33
3
Nilai rata-rata jumlah stomata, jumlah sel epidermis, indeks stomata, dan kerapatan stomata daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST ..............................
40
Nilai rata-rata tebal daun, tebal kutikula, tebal epidermis atas, panjang palisade, tebal bunga karang, dan tebal epidermis bawah daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST .............................................................................
45
Korelasi antara karakter pertumbuhan, morfologi, anatomi, dan pigmen pada tanaman handeuleum aksesi Bogor ..................................
49
Kandungan fitokimia daun handeuleum aksesi Bogor yang diiradiasi dengan sinar gamma pada 10 MST .........................................................
51
Keragaman fenotipik handeuleum aksesi Bogor akibat dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST .....................................................................
59
Keragaman regeneran mutan putatif handeuleum hasil perlakuan dengan iradiasi sinar gamma pada 3 BST ...............................................
62
Waktu inisiasi kalus, jumlah eksplan berkalus, persentase jumlah eksplan berkalus, bobot kalus pada tahap induksi kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua ..................................................................
78
10 Interaksi antara komposisi media proliferasi dan aksesi terhadap kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua....................................
83
11 Interaksi antara aksesi, dosis iradiasi, dan media regenerasi terhadap Bobot kalus subkultur 1 dan bobot kalus subkultur 2 setelah iradiasi ....
85
12 Laju pertumbuhan relatif kalus iradiasi handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua ..............................................................................................
86
4
5
6
7
8
9
13 Keragaman laju pertumbuhan relatif kalus iradiasi handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua ................................................................
90
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka berpikir peningkatan keragaman pada stek pucuk handeuleum aksesi Bogor dan kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua melalui iradiasi sinar gamma .............................
4
Keragaan handeuleum. Tanaman utuh (kiri) dan bunga (kanan) aksesi Bogor.......................................................................................................
6
Keragaan daun handeuleum aksesi Bogor tanpa dan yang diiradiasi dengan berbagai dosis sinar gamma; ovate (a), obovate (b), lancoleate (c), kontrol (0 Gy) (d), 15 Gy (e), 30 Gy (f), 45 Gy (g), 60 Gy (h), 75 Gy (i), 90 Gy (j), dan 105 Gy (k) .....................................
23
Keragaan tanaman handeuleum pada berbagai perlakuan iradiasi sinar gamma: kontrol (0 Gy) (a), 15 Gy (b), 30 Gy (c), 45 Gy (d), 60 Gy (e), 75 Gy (f), 90 Gy (g), dan 105 Gy (h). Terlihat bahwa daun pada perlakuan 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy memiliki warna yang berbeda dengan kontrol ..................................................................
24
Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 tinggi tanaman handeuleum aksesi Bogor ......................................................................
26
Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 jumlah daun handeuleum aksesi Bogor .....................................................................
26
Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 panjang daun handeuleum aksesi Bogor .....................................................................
27
Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 lebar daun handeuleum aksesi Bogor .....................................................................
27
Grafik perbandingan kandungan pigmen antosianin, klorofil total, dan karotenoid handeuleum aksesi Bogor pada berbagai dosis iradiasi ........
36
10 Irisan paradermal daun handeuleum aksesi Bogor (400x): sel epidermis (a), sel tetangga (b), sel penjaga (c), lubang stomata (d) .......
40
11 Perbandingan struktur anatomi daun handeuleum aksesi Bogor irisan paradermal (400x) pada berbagai dosis perlakuan: 0 Gy (kontrol) (a), 15 Gy (b), 30 Gy (c), 45 Gy (d), 60 Gy (e), 75 Gy (f), 90 Gy (g), 105 Gy (h). Semakin tinggi dosis perlakuan, jumlah stomata semakin sedikit ......................................................................................................
42
2
3
4
5
6
7
8
9
12 Irisan transversal daun handeuleum: kutikula (a), epidermis bawah (b), palisade (c), bunga karang (d), dan epidermis bawah (e) .......................
42
13 Perbandingan struktur anatomi daun handeuleum aksesi Bogor irisan transversal: (a) 0 Gy (kontrol), (b) 15 Gy, (c) 30 Gy, (d) 45 Gy, (e) 60 Gy, (f) 75 Gy, (g) 90 Gy, (h) 105 Gy Semakin tinggi dosis iradiasi, kandungan antosianin semakin berkurang yang berkurang yang ditunjukkan oleh warna merah ......................................................
47
14 Ilustrasi lintasan metabolik primer pada tanaman (dimodifikasi) menurut Kaufman et al. (1999) ..............................................................
50
15 Interpretasi variasi pola pita isozim peroksidase (PER) .........................
54
16 Interpretasi variasi pola pita isozim esterase (EST) ...............................
55
17 Interpretasi variasi pola pita isozim alkohol dehidrogenase (ADH) ......
56
18 Interpretasi pola pita isozim asam fosfatase (ACP) ...............................
56
19 Interpretasi variasi pola pita isozim enzim malat dehidrogenase (MDH) ....................................................................................................
57
20 Keragaan variasi morfologi handeuluem aksesi Bogor pada berbagai perlakuan iradiasi sinar gamma: Keragaan daun pada dosis 15 Gy (a),30 Gy (b),45 Gy (c); Keragaan tunas pada dosis 0 Gy (d), 45 Gy (e),60 Gy (f); 75 Gy (g); Keragaan warna daun yang umumnya muncul pada penelitian ini: ungu (skoring 5) (h), ungu kehijauan (skoring 3) (i), hijau (skoring 1) (j); Keragaan warna batang yang umumnya muncul pada penelitian ini: ungu (skoring 5) (k), ungu kehijauan (skoring 3) (l), hijau (skoring 1) (m) ......................................
61
21 Keragaan handeuleum. handeuleum di lapang (a); potongan daun asenik untuk inisiasi kalus pada media perlakuan (b) ...................
75
22 Hubungan antara konsentrasi 2.4D dengan bobot kalus dua aksesi handeuleum pada konsentrasi NAA 10 dan 15 µM...............................
79
23 Warna kalus pada induksi kalus dari dua aksesi handeuleum: putih (a), putih bening (b), cokelat (c) ...................................................................
80
24
Pengaruh kombinasi media terhadap warna kalus dua aksesi handeuleum ...........................................................................................
81
25 Pengaruh kombinasi media terhadap tekstur kalus dua aksesi handeuleum ...........................................................................................
82
26 Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap warna kalus handeuleum dua aksesi handeuleum ...........................................................................
87
27 Warna kalus handeuleum yang diiradiasi: putih kecokelatan (a), cokelat keputihan (b), cokelat (c), cokelat kehitaman (d), hitam (e) ......
89
28 Radikal bebas primer (*OH, H*) dan sekunder (H2O2, O2*-) terlibat pada stres okidatif yang diproduksi oleh IR. eaq- : solvated electron/ elektron terhidrasi ; H2O*: molekul air yang tereksitasi (Esnault et al. 2010) .......................................................................................................
95
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Analisis fitokimia ....................................................................................
113
2
Analisis klorofil dan anthosianin ............................................................
114
3
Analisis isozim ........................................................................................
115
4
Komposisi Media WPM ........................................................................
117
PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini, terdapat kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature), dimana masyarakat lebih memilih untuk menggunakan obat alami yang memiliki harga terjangkau dan dipercaya tidak memiliki efek samping dibandingkan dengan obat-obatan sintetik. Pramono (2002) mencatat bahwa terdapat peningkatan tren pasar dunia obat herbal sebesar 13%, dimana nilai perdagangan tercatat sebesar US$20 milyar pada tahun 2000. Biofarmaka (2002) menambahkan pada tahun 2001 terjadi peningkatan penjualan menjadi US$45 milyar. Indonesia sendiri pada tahun 2004 terjadi peningkatan omzet industri jamu nasional sebesar 15 - 20% (Rp3.2 - 3.5 triliun) dari tahun 2003. Handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff.) merupakan tanaman obat yang layak dikembangkan sebagai salah satu tanaman obat unggulan asli Indonesia. Tanaman ini telah lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Orang Sunda menggunakannya untuk mencegah infeksi setelah melahirkan, mengembalikan stamina, menormalkan kembali ukuran rahim, membersihkan rahim dari darah putih, merangsang produksi ASI, dan mengurangi berat badan (Bermawie et al. 2006). Kearifan lokal penggunaan obat ini sebagai obat tradisional juga dilaporkan di Pangalengan Jawa Barat sebagai obat wasir; di Maluku handeuleum yang dikenal sebagai alifuru dimanfaatkan sebagai obat bisul, darah tinggi, rematik, dan lain-lain; dan masyarakat Papua menggunakan handeuleum untuk mengatasi penyakit ulu hati, diabetes, dan batu ginjal (Khumaida et al. 2008). Menurut hasil penelitian Wahyuningtyas (2005) ekstrak handeuleum 40% dapat menghambat pembentukan plak pada gigi. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Mu’minah (2007) menunjukkan bahwa ekstrak etanol handeuleum mampu menurunkan kadar total lipid, kolesterol LDL, dan HDL serum darah mencit yang diovariektomi bilateral. Penelitian ini merupakan penelitian tahap awal untuk menyelidiki peranan etanol yang terkandung dalam handeuleum terhadap kadar hormon estrogen. Estrogen memiliki peran terhadap kondisi menopause wanita. Sjamsuhidayat dan Hutapea (1991) memaparkan bahwa
2
handeuleum dapat dipakai sebagai tanaman obat untuk mengobati wasir, melancarkan buang air seni, melancarkan haid, dan rematik/encok. Isnawati dan Soediro (2003) mengemukakan bahwa handeuleum mengandung antosianin, leukoantosianin, tannin galat, asam protokatekuat, flavon, dan flavanol. Menurut BPOM (2004), adanya alkohol, pektin, dan asam formiat pada tanaman ini merupakan bahan kimia yang bermanfaat sebagai obat. Handeuleum juga mengandung flavonoid 0.4% dan kandungan minyak atsiri kurang dari 0.4%. Dilaporkan kemudian bahwa vormofoliol merupakan senyawa yang menjadi identitas tanaman ini. Hasil uji fitokimia yang dilakukan oleh Khumaida et al. (2008), menunjukkan bahwa beberapa aksesi handeuleum positif kuat sekali (++++) mengandung alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida. Kandungan flavonoid yang positif kuat sekali menandakan bahwa tanaman ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber vitamin E. Selain itu, kandungan triterpenoid yang positif kuat sekali diduga dapat digunakan sebagai senyawa penanda untuk ketahanan tanaman terhadap hama. Pemanfaatan handeuleum sebagai bahan baku obat telah dilakukan oleh perusahaan jamu berskala nasional, seperti PT Indo Farma dan PT Sidomuncul, yang memerlukan 1 - 2 ton daun handeuleum setiap bulannya (PSBI 2008). Menurut Wibowo (2000), PT Fimedco juga turut memanfaatkan bagian tanaman ini sebagai bahan baku obatnya. Hasil eksplorasi dan penelitian yang dilakukan oleh Khumaida (2008) telah mengumpulkan handeuleum sebanyak 38 aksesi dari seluruh Indonesia, dimana tiga belas aksesi yang diuji memiliki kandungan fitokimia tinggi yang berguna untuk pengobatan. Saat ini handeuleum belum dibudidayakan secara khusus, tanaman ini biasanya diperbanyak secara konvensional yaitu dengan cara distek, karena tidak terbentuk biji pada handeuleum. Perbanyakan secara vegetatif menghasilkan tanaman yang seragam akan tetapi tingkat keragaman genetiknya sempit. Selain itu, handeuleum memiliki kendala dalam produksi biomassa daun yaitu adanya serangan larva Doleschallia bisaltide yang menyebabkan penurunan hasil hingga 70%. Induksi mutasi dapat diterapkan untuk meningkatkan keragaman tanaman dan mendapatkan kandidat tanaman yang tahan hama, baik secara in vivo pada stek pucuk maupun in vitro pada kultur kalus. Penelitian yang
3
dilakukan
diharapkan
dapat
meningkatkan
keragaman
handeuleum
dan
memperbesar peluang didapatkannya kandidat-kandidat varian tanaman baru yang memiliki kandungan fitokimia yang tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan obat tradisional Indonesia.
Tujuan Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan keragaman handeuleum melalui iradiasi sinar gamma secara in vivo pada stek pucuk handeuleum aksesi Bogor dan in vitro pada kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua. Hipotesis 1. Terdapat keragaman pada stek pucuk handeuleum aksesi Bogor yang diiradiasi dengan sinar gamma. 2. Terdapat keragaman pada kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua yang diiradiasi dengan sinar gamma.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai peningkatan keragaman handeuleum melalui iradiasi sinar gamma secara in vivo pada stek pucuk dan secara in vitro pada kultur kalus. Kerangka Penelitian Handeuleum adalah tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk digunakan sebagai obat dan sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh. Bagian handeuleum yang banyak dimanfaatkan adalah daunnya. Berdasarkan hasil penelitian awal yang telah dilakukan, Khumaida et al. (2008) menyatakan bahwa tanaman ini memiliki keragaman yang sempit, karena hanya dapat diperbanyak secara vegetatif (biji sulit terbentuk).
4
Perbanyakan handeuleum dengan stek memiliki tingkat keragaman genetik sempit.
Induksi kalus
Stek pucuk berakar Iradiasi
Proliferasi
Inkubasi
Kalus hasil iradiasi
Replanting
Identifikasi Keragaman
Pertumbuhan
Kandidat varian baru
Identifikasi Keragaman Kandidat varian baru Peningkatan Keragaman Genetik
Keterangan: ---- belum didapatkan
Gambar 1
Kerangka berpikir peningkatan keragaman pada stek pucuk handeuleum aksesi Bogor dan kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua melalui iradiasi sinar gamma.
Peningkatan keragaman pada stek pucuk handeuleum aksesi Bogor dan kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua dijelaskan pada Gambar 1. Penelitian ini meningkatkan keragaman Handeuleum yang sempit melalui induksi sinar gamma secara in vitro (kultur kalus) dan in vivo (stek pucuk). Kalus dan stek pucuk diiradiasi sesuai dengan perlakuan, kemudian diidentifikasi keragamannya untuk menentukan kandidat varian baru yang terbentuk.
5
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi Handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff), merupakan tanaman asli Papua berbentuk perdu yang tumbuh lurus, tingginya dapat mencapai 1.5 - 8 m. Handeuleum ditemukan tumbuh di daerah Jawa mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 1 250 m di atas permukaan laut (dpl), sering ditanam sebagai tanaman hias atau tanaman pagar, dan banyak digunakan sebagai tanda batas di perkebunan teh. Tanaman ini diperbanyak dengan cara stek (Heyne 1987). Menurut United States Department of Agriculture (USDA) (2008), taksonomi handeuleum sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Dicotyledonae
Subkelas
: Asteridae
Ordo
: Scrophulariales
Family
: Acanthaceae
Genus
: Graptophyllum Nees
Spesies
: Graptophyllum pictum (L.) Griff
Menurut Heyne (1987), handeuleum dikenal di luar negeri sebagai Caricature plant (Inggris), Gertenschriftblatt (Jerman). Indonesia sendiri memiliki berbagai macam nama daerah: handeuleum, daun temen-temen (Sunda), daun putri (Ambon), temen (Bali), kabi-kabi (Ternate) dan dongo-dongo (Tidore). daerah Madura menyebutnya karoton dan karotong. Daerah Jawa mengenal daun ini dengan nama demung, tulak, dan wungu. Berdasarkan hasil eksplorasi dan observasi oleh Khumaida et al. (2008), diketahui bahwa masyarakat di desa Snaimboy Manokwari-Papua Barat menggunakan handeuleum sebagai obat tradisional, mereka menyebut handeuleum sebagai brendek, dimanfaatkan untuk mengatasi berak darah. Lebih lanjut hasil eksplorasi ini berhasil mengumpulkan
6
38 aksesi handeuleum yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia, dimana 13 di antaranya memiliki kandungan bioaktif yang tinggi. Handeuleum memiliki kulit dan daun berlendir, serta baunya kurang enak. Ciri-ciri batang adalah sebagai berikut: aerial, berkayu, silindris, tegak, warna ungu kehijauan, bagian dalam solid, permukaan licin, percabangan simpodial (batang utama tidak tampak jelas), arah cabang miring ke atas. Daunnya tunggal, tersusun berhadapan (folia oposita), warna ungu tua, panjang 15 - 25 cm, lebar 5 11 cm, helaian daun tipis tegar, bentuk bulat telur, ujung runcing, pangkal meruncing (acuminatus), tepi rata, pertulangan menyirip (pinnate), permukaan mengkilat (nitidus). Sedangkan bunganya majemuk, muncul dari ujung batang (terminalis). Buah: kotak sejati (capsula), lonjong, warna ungu kecoklatan, bentuk biji bulat-berwarna putih, dan akarnya tunggang. Keragaan tanaman handeuleum ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Keragaan handeuleum. Tanaman utuh (kiri) dan bunga (kanan) aksesi Bogor. Menurut BPPT (2008) handeuleum cocok tumbuh di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1 250 meter di atas permukaan laut. Wibowo (2000) menambahkan handeuleum mampu tumbuh pada ketinggian di bawah 800 meter dpl, dimana semakin tinggi dataran maka daun handeuleum akan semakin berwarna ungu yang disebabkan oleh adanya peningkatan senyawa flavonoid yang dikandungnya. Kristina dan Mardaningsih (2008) menyebutkan
7
bahwa handeuleum dapat tumbuh di tempat terbuka, beriklim kering, dan lembab. Handeuleum umumnya dikembangbiakkan menggunakan stek batang karena buah dan biji sulit terbentuk (Djazuli & Fathan 2000).
Kandungan Kimia dan Manfaat Graptophyllum pictum L. Griff telah lama dikenal sebagai tanaman obat, terutama sebagai obat wasir karena bersifat anti inflamasi, sehingga mampu mengurangi pembengkakan atau peradangan yang disebabkan oleh wasir, membantu proses melahirkan, serta dapat dipakai sebagai pelembut kulit. Tanaman ini juga dipakai untuk mengobati bisul, luka-luka, radang, dan melancarkan datang bulan. Beberapa
pustaka
menyebutkan
bahwa
handeuleum
mengandung
metabolit sekunder alkaloid, tanin, saponin, flavonoid, glikosida, dan steroid. Isnawati dan Soediro (2003) mengemukakan bahwa handeuleum juga mengandung antosianin, leukoantosianin, tannin galat, asam protokatekuat, flavon, dan flavanol. Menurut Wahyuningtyas (2005) ekstrak handeuleum 40% dapat menghambat pembentukan plak pada gigi. Berdasarkan uji klinis pada kelinci menunjukkan bahwa infus handeuleum dengan kadar 1.56 - 100% mempunyai efek sebagai laksansia ringan, yaitu dengan menaikkan amplitude kontraksi otot polos jejunumnya (Sumastuti 2000). Mu’minah (2007) melaporkan bahwa ekstrak etanol pada daun handeuleum dalam serum darah dapat menurunkan kadar kolesterol LDL dan total lipid, selain itu juga dapat menurunkan berat badan mencit yang digunakan pada penelitian.
Kultur Kalus Menurut Gamborg dan Shyluk (1981), kultur jaringan merupakan sejumlah teknik untuk menumbuhkan organ, jaringan, dan sel tanaman. Jaringan dapat dikulturkan secara aseptik dalam medium hara. Kemudahan dalam melakukan kultur tergantung pada jenis tanaman dan asal jaringan. Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti
protoplasma,
sel,
sekelompok
sel,
jaringan,
dan
organ,
serta
menumbuhkannya dalam kondisi akseptik yang kaya akan nutrisi serta Zat
8
Pengatur Tumbuh (ZPT) dalam wadah tertutup yang tembus cahaya agar bagianbagian tersebut memperbanyak diri dan beregenerasi kembali menjadi tanaman lengkap. Teknik kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan secara in vitro. Awalnya teknik kultur jaringan ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran teori totipotensi sel, lalu berkembang untuk penelitian di bidang fisiologi tanaman dan biokimia (Gunawan 1992). Totipotensi didefinisikan sebagai kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan berkembang bila tersedia lingkungan luar yang sesuai (Mantell et al. 1985). Menurut George dan Sherrington (1984) ada 2 (dua) kemungkinan pertumbuhan tanaman secara in vitro yaitu pertumbuhan terorganisasi dan tidak terorganisasi. Pertumbuhan terorganisasi terjadi pada bagian-bagian tanaman (organ) seperti titik tumbuh (meristem) pucuk atau akar, daun yang baru/mulai muncul, kuncup bunga, dan buah-buah kecil yang dikulturkan. Pertumbuhan tidak terorganisasi jarang terjadi di alam, seringkali terjadi ketika potongan-potongan tanaman yang dikulturkan secara in vitro. Jaringan-jaringan yang kemudian terbentuk, kekurangan beberapa struktur khas yang dapat dikenali dan hanya berisi sejumlah sel berbeda jenis yang ditemukan pada tanaman lengkap yang selanjutnya disebut kalus. Regenerasi tanaman dapat dilakukan secara langsung atau melalui dua tahap yaitu media induksi kalus dan media induksi tunas adventif. Kultur kalus dapat dihasilkan dari sejumlah besar organ tanaman yang beragam seperti akar, tunas, dan daun, atau tipe spesifik sel seperti endosperm dan polen. Untuk inisiasi kalus, secara aseptik eksplan ditransfer ke dalam media semi solid dan secara halus merendam eksplan ke dalam medium agar sehingga tercipta suatu kontak yang baik. Media, jenis, dan konsentrasi ZPT adalah faktor utama dalam pembentukan kalus. Berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh George dan Sherrington (1984), untuk induksi kalus tanaman dikotil diperlukan auksin dengan konsentrasi tinggi dan tetap memerlukan sitokinin pada konsentrasi sangat rendah. Induksi tunas diperlukan sitokinin dengan konsentrasi tinggi dan auksin pada konsentrasi rendah, ada juga induksi tunas dapat dihasilkan dengan penggunaan sitokinin tunggal tanpa auksin. Eksplan yang telah dipilih dan diisolasi dari
9
tanaman induk dikulturkan dalam media semi padat yang ditambahkan auksin dengan konsentrasi yang relatif cukup tinggi, dengan atau tanpa sitokinin. Kalus yang terbentuk selanjutnya dipindahkan ke media dengan auksin rendah untuk merangsang pembentukan struktur yang terorganisir. Tunas dan akar akan terbentuk dari bagian meristemastik, pada bagian permukaan dari kalus. Faktor genotipe secara keseluruhan mempengaruhi pola pembentukan organ adventif dari kalus. Kemampuan membentuk tunas dan akar secara terpisah atau embriogenesis dari kalus berbeda antar famili maupun genus tanaman. Pembentukan embrio (embriogenesis) dan pengembangan dari embrio pada umumnya memerlukan taraf auksin yang berbeda. Embrio terbentuk dari sel meristemastik yang mempunyai isi sitoplasma yang penuh (tanpa vakuola). Hasil penelitian Sondahl dan Sharp pada tahun 1977 memaparkan bahwa eksplan daun Coffea arabica ditanam pada medium MS + Kinetin 22 µM (≈ 0.43 mg/L) + 2.4-D 2 µM (≈4.862 mg/L) dapat membentuk kalus dan pada medium MS + Kinetin 2.5 µM (≈0.538/L) + NAA 0.5 µM (≈0.09 mg/L) dapat membentuk tunas dan embrio genesis somatik (Ammirato 1982; Tisserat 1985).
Iradiasi Sinar Gamma Iradiasi ialah pemberian sinar radio aktif pada suatu objek dengan dosis tertentu selama periode tertentu (Ismachin 2007). Salah satu sifat dari unsur radioaktif tersebut adalah kemampuannya untuk menghasilkan iradiasi pengion, yaitu iradiasi dengan energi tinggi yang dapat bereaksi dengan objek yang dikenai iradiasi dengan cara pengionan. Molekul objek akan mengalami ionisasi dan tereksitasi. Elektron yang terlepas akibat ionisasi akan ditangkap oleh molekul lain yang kemudian dapat membentuk radikal bebas yang sangat reaktif. Pembentukan radikal bebas tersebut akan mempengaruhi air yang merupakan komponen terbesar di dalam sel atau dalam sistem biologi. Hal tersebut akan sangat menentukan terhadap kerusakan di dalam sistem biologi. Briggs dan Constantin (1977) melaporkan bahwa iradiasi elektromagnetik dapat menimbulkan keragaman genetik, karena pengaruh iradiasi dapat menimbulkan perubahan struktur gen, struktur kromosom ataupun jumlah kromosom. Mutagen dapat dikelompokkan menjadi mutagen fisika dan kimia.
10
Mutagen fisik yang sering digunakan adalah sinar ultraviolet dan beberapa tipe radiasi pengion seperti sinar x, sinar gamma, partikel alfa, partikel beta, proton, dan neutron. Van Harten (1998) menyatakan bahwa sinar gamma merupakan mutagen yang paling banyak digunakan, hal ini dikarenakan sinar gamma memiliki panjang gelombang yang pendek (lebih pendek dari sinar X) sehingga memiliki level energi tertinggi. Level energi yang tinggi membuat sinar gamma mampu untuk menembus lebih ke dalam jaringan dibandingan dengan mutagen fisika lainnya, sehingga frekuensi mutasi yang terjadi menjadi lebih besar. Selain itu, sinar gamma tidak meninggalkan residu radioaktif seperti yang dihasilkan oleh partikel alpha dan beta. Lebih jauh van Harten (1998) menjelaskan bahwa sinar gamma dapat dihasilkan oleh radioisotop 137Cs atau 60Co. Cobalt-60 memiliki dua puncak spektrum energi radiasi pada 1.33 MeV dan 1.17 MeV, dengan masa paruh 5.27 tahun, dan cobalt menjadi hilang terhadap stanium yang stabil. Caesium-137 merupakan mono-energetic dengan puncak energi pada 0.66 MeV. Menurut
Crowder
(1997)
iradiasi
dapat
menyebabkan
patahnya
kromosom, dan pada dosis yang rendah dapat menyebabkan terjadinya delesi, semakin tinggi dosis akan menimbulkan duplikasi, inversi, dan translokasi. Ionisasi dari basa di dalam molekul DNA menyebabkan basa-basa tersebut salah berpasangan. Tiamin akan berpasangan dengan adenin dalam keadaan normal, namun apabila tiamin kehilangan satu proton akibat ionisasi maka tiamin akan berpasangan dengan guanin. Hal demikian akan menimbulkan terjadinya mutasi gen. Apabila iradiasi pengion memutuskan rantai kromosom pada tempat-tempat tertentu, maka dapat mengubah struktur kromosom. Apabila kerusakan terjadi pada benang-benang gelendong (spindle fibre) yang berfungsi menarik kromosom ke kutub-kutubnya pada fase anafase saat pembelahan mitosis, maka akan mengubah jumlah kromosom dan menyebabkan euploidi dan aneuploidi. Oleh karena itu ionisasi dapat menyebabkan terjadinya mutasi kromosom dan aberasi kromosom. Mandal et al. (2000) menyatakan pemberian perlakuan iradiasi pada tunas krisan dengan dosis 1.5 krad, 2.0 krad, dan 2.5 krad telah didapatkan hasil bahwa dengan iradiasi 2.5 krad telah memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan
11
dengan perlakuan yang lain dimana 55% daun varigata dan 5% lainnya mengalami mutasi. Menurut Handayanti et al. (2001), tanaman mini varietas Romantica meilandina yang diiradiasi 1 krad sampai 10 krad bunga berubah dari warna pink menjadi warna putih. Eksplan Prince meilandina yang diiradiasi 1 krad sampai 8 krad dari merah tua berubah menjadi merah agak muda. Pemberian iradiasi sinar gamma dan kolkisin pada kultur in vitro menyebabkan terjadinya keragaman dalam bentuk dan ukuran daun, serta warna bunga dari tanaman Crossandra infundibuliformis var Danica (Hewawasam et al. 2004). Penelitian iradiasi sinar gamma pada kultur kalus nodular manggis yang dilakukan oleh Qosim et al. (2007) mengemukakan bahwa respon daya regenerasi kalus nodular menurun dan variabel waktu pembentukan tunas meningkat secara linier seiring dengan meningkatnya dosis iradiasi. Selain itu jaringan bunga karang dan jumlah berkas pembuluh dari regeneran mutan pada umumnya lebih tebal dan lebih banyak daripada regeneran kontrol yang tidak mendapat perlakuan sinar gamma.
Induksi Mutasi In Vivo dan In Vitro Ibrahim (1999) menyatakan bahwa mutasi adalah perubahan genetik, dan merupakan sumber pokok dari semua keragaman genetik. Mutasi merupakan satusatunya sumber pencipta keragaman pada tanaman yang pada tanaman yang steril dan tanaman apomiktik obligat. Poespodharsono (1996) menambahkan bahwa secara molekuler mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan (sekuen) nukelotida DNA kromosom, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang dihasilkan. Van Harten (1998) menyebutkan induksi mutasi sinar gamma dapat diterapkan pada materi tanaman in vivo dan in vitro. Micke dan Donini (1993) menyatakan bahwa bagian tanaman yang dapat dimutasi dengan cara diiradiasi adalah dengan biji dan tepung sari, dan untuk tanaman yang diperbanyak secara vegetatif bagian yang dapat dimutasi adalah umbi, stek stolon, dan rimpang. Micke dan Donini (1993) menyebutkan pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif, mutasi dapat terjadi pada sel-sel somatik, kimera sektoral yang mungkin terjadi akibat iradiasi pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif harus dapat
12
dihilangkan. Maluszynski et al. (1995) mengemukakan pada kondisi in vivo sulit untuk mengisolasi mutan dari kimera sektorial dan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan kondisi in vitro mengisolasi mutan dari kimera dapat dilakukan dengan mudah dan membutuhkan waktu yang cepat. Van Harten (1998) menambahkan bahwa meski mutan utuh dapat diperoleh secara langsung dari kalus, akan tetapi kalus memiliki daya regenerasi yang rendah. Chaudhari (1971) menyatakan bahwa pengaruh iradiasi pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif ada empat macam, yaitu: (1) perubahan genetik, (2) pertumbuhan terhambat, (3) perkembangan morfologi yang abnormal, dan (4) kematian tanaman. Radiosensitivitas Menurut van Harten (1998) radiosensitivitas adalah tingkat sensitifitas tanaman terhadap iradiasi. Radiosensitifitas adalah perhitungan relatif yang mengindikasikan kuantitas efek iradiasi pada objek yang diiradiasi (tanaman, bagian tanaman, perbedaan tahap pertumbuhan, tahap meiosis dan mitosis, tahap bibit muda dengan tanaman dewasa, atau fungsi molekuler yang spesifik). Sel yang aktif membelah lebih sensitif terhadap iradiasi bila dibandingkan dengan sel yang tidak aktif membelah. Radiosensitifitas dapat diukur dengan menentukan dosis iradiasi yang menghasilkan persentase tertentu dari sel yang bertahan hidup. Kriteria lain untuk mengukur radiosensitifitas adalah jumlah sel yang membelah, penundaan mitotik, penghambatan pertumbuhan, dan sterilitas dari polen. Seringkali ditemukan hubungan antara ukuran nukleus (atau ICV = Volume kromosom interfase) dengan radiosensitifitas, tapi hal ini tidak terdapat pada mayoritas spesies poliploidi. Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi radiosensitivitas, yaitu: (1) faktor lingkungan, seperti oksigen, kandungan air, suhu, dan penyimpanan paska iradiasi; (2) faktor biologi, seperti volume inti, volume kromosom saat interfase, dan faktor genetik. Keragaman yang timbul akibat iradiasi mutasi fisik, sangat tergantung pada tingkat radiosensitivitas. Secara visual tingkat sensitivitas ini dapat diamati dari respon yang diberikan tanaman baik dari sterilitas tanaman, morfologi, maupun Growth
13
Reduction 50 (GR50) (Akgun & Tosun 2004).
GR50 ialah dosis yang
menyebabkan penurunan pertumbuhan 50% dari populasi yang diiradiasi, pada umumnya mutasi yang diinginkan berada pada kisaran GR50. Analisis Isozim Menurut Taiz dan Zeiger (2002) isozim adalah suatu enzim yang terdiri dari beberapa molekul aktif yang mempunyai struktur kimia berbeda dan dikode oleh gen berbeda, akan tetapi mengkatalisis reaksi yang sama. Sastra (1996) menyatakan
bahwa
isozim
terdiri
atas
rantai
polipeptida,
sehingga
memperlihatkan sifat-sifat umum seperti protein. Strukturnya terdiri dari asamasam amino yang mengandung gugus karboksil dan gugus amino. Asam amino akan terionisasi di dalam larutan, dan dapat bersifat asam atau basa (amfoter). Adanya perbedaan konstanta ionisasi (pK), bila diberi medan listrik akan menyebabkan asam amino bermigrasi menuju ke kutub yang berlawanan muatannya. Keragaman tanaman dapat dilakukan secara morfologi, sitologi, biokimia, dan molekuler. Analisis morfologi paling umum dilakukan untuk mendeteksi keragaman, hanya saja analisis ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Simpson dan Whiters (1986) menyatakan bahwa protein termasuk isozim merupakan produk primer ekspresi gen, karenanya keragaman protein atau isozim dapat dipakai untuk menduga keragaman genetik tanaman atau organisme yang lain. Molekul-molekul
protein
atau
isozim dapat
dipisahkan
dengan
teknik
elektroforesis, setelah pewarnaan akan tampak pita-pita protein pada gel sehingga dapat ditelaah perbedaan dan persamaannya. Alel-alel kodominan umumnya mengontrol pola pita tersebut dan diwariskan sesuai dengan hukum mendel. Simpson dan Whiters (1986) mengemukakan bahwa sekuen-sekuen asam amino pada dasarnya ditentukan oleh sekuen nukleotida pada gen, maka analisis genetika yang berlandaskan isozim dapat digunakan sebagai pendekatan bagi analisis gen yang mengkodenya. Menurut Azrai dan Kasim (2003) isozim memiliki kelebihan yaitu bersifat stabil, hal ini dikarenakan isozim tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, lebih cepat dan akurat karena tidak menunggu tanaman sampai berproduksi. Wendel
14
dan Weeden (1989) menyebutkan bahwa bagian tanaman yang digunakan untuk analisis isozim adalah bagian vegetatif tanaman yang masih muda, yang biasanya mempunyai aktifitas enzim yang tinggi, sehingga akan mudah diamati. Aisyah (2006) mengemukakan bahwa aktivitas isozim yang dapat diuji pada tanaman sangat beragam karena masing-masing tanaman memiliki isozim utama. Peroksidase (PER) dan esterase (EST) banyak dijumpai pada tanaman. Peroksidase merupakan enzim tanaman yang terlibat dalam sintesis lignin, dan dijumpai juga pada vakuola tanaman. Boumann dan Klerk (1997) mengingatkan untuk mempertimbangkan adanya pengaruh fisiologi dan fase perkembangan tanaman terhadap keberadaan enzim, sehingga disarankan untuk menggunakan enzim yang bersifat stabil terhadap perubahan fisiologi maupun fase perkembangan tanaman. Contohnya enzim malat dehidrogenase (MDH), alkohol dehidrogenase (ADH), asam fosfatase (ACP), fosfoglukoisomerase (PGA), dan fosfoglukomutase (PGM).
15
INDUKSI KERAGAMAN PADA STEK PUCUK HANDEULEUM (Graptophyllum pictum L. Griff) AKSESI BOGOR MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA Abstrak Salah satu cara untuk meningkatkan keragaman tanaman membiak vegetatif adalah dengan induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma pada stek pucuk. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan, morfologi, anatomi daun, kandungan fitokimia, isozim, serta keragaman fenotipik stek pucuk handeuleum aksesi Bogor. Dosis sinar gamma yang digunakan adalah 0 Gy, 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy, 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma mempengaruhi semua peubah pertumbuhan, morfologi, anatomi daun handeuleum, mempengaruhi kandungan fitokimia, aktifitas enzimatis, dan keragaman fenotipik pada beberapa perlakuan dosis iradiasi sinar gamma. Iradiasi sinar gamma menghasilkan GR50 pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun. Dosis 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy menghasilkan klorofil total, antosianin, dan karotenoid yang lebih besar dibandingkan perlakuan lain. Terdapat korelasi yang erat antara jumlah daun dengan panjang daun, lebar daun, dan antosianin; antosianin dengan indeks warna hijau relatif daun dan klorofil total; karotenoid dengan klorofil total; palisade dengan bunga karang. Terdapat perbedaan pola pita enzim peroksidase (PER), esterase (EST), dan asam fosfatase (ACP) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya perubahan genetik handeuleum yang diiradiasi. Iradiasi sinar gamma menimbulkan keragaman fenotipik pada semua peubah pertumbuhan, morfologi dan anatomi daun handeuleum kecuali pada peubah indeks stomata. Iradiasi sinar gamma dosis 45 Gy menghasilkan variasi dan jumlah mutan putatif yang paling banyak, masing-masing sebesar 9 (sembilan) variasi dan 10 mutan putatif. Kata kunci: daun ungu, dosis iradiasi, isozim, keragaman fenotipik. Abstract One methode way to increase plant variability is to induce mutation by gamma ray irradiation. This research was conducted to study the effect of gamma ray irradiation dose to the growth, morphology, leaves anatomy, phytochemical content, isozymes, and phenotypic variability of handeuleum accession Bogor. The gamma ray doses used were 0 Gy, 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy, 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, and 105 Gy. The results showed that gamma-ray irradiation affected all variables of plant growth, morphology and anatomy of handeuleum leaves, phytochemical content, enzymatic activity and phenotypic. Gamma irradiation produced GR50 on plant height, total of leaves, leaves lenght, and leaves width. The doses of 15 Gy, 30 Gy, and 45 Gy caused the increase of total chlorophyll, anthocyanins, and carotenoids. There was a close correlation between the number of leaves with other variables including leaf length, leaf width, and anthocyanin; anthocyanins with green leaf index and total chlorophyll; carotenoids to total
16
chlorophyll; palisade with sponge tissue. There were some differences in enzyme banding pattern of peroxidase (PER), esterase (EST), and acid phosphatase (ACP) indicating changes of irradiated handeuleum. Gamma ray irradiation caused phenotypic variability in all variables of plantgrowth, morphology and anatomy leaves of handeuleum.Gamma irradiation 45 Gy produced number of variation and putative mutant the most, 9 (nine) variation with 10 putative mutant respectively. Key words: daun ungu, irradiation dose, isozyme, phenotypic variability Pendahuluan Perbaikan sifat genetik tanaman dapat dilakukan pemuliaan konvensional dan induksi mutasi menggunakan mutagen fisika dan kimia. Induksi mutasi dilakukan guna meningkatkan peluang terjadinya mutasi, dan seringkali diterapkan pada tanaman yang tidak dapat diperbaiki melalui persilangan. Menurut van Harten (1998) metode induksi mutasi banyak digunakan karena memiliki keuntungan dapat merubah satu karakter tanpa merubah seluruh susunan gen secara signifikan, selain itu kombinasi metode mutasi dengan pembiakan secara vegetatif dapat menurunkan resiko kehilangan karakter mutan akibat segregasi. Handeuleum merupakan tanaman yang belum dibudidayakan secara khusus dan biasanya diperbanyak secara vegetatif yaitu dengan cara distek, hal ini dikarenakan
handeuleum
bijinya
tidak
berkembang
dengan
sempurna.
Perbanyakan secara vegetatif menghasilkan tanaman yang seragam akan tetapi tingkat keragamannya sempit, keragaman pada tanaman dapat dilakukan dengan induksi mutasi. Menurut Broertjes dan van Harten (1998), sinar gamma sering digunakan sebagai mutagen untuk induksi mutasi karena merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang pendek, sehingga dapat menghasilkan radiasi elektromagnetik dengan tingkat energi yang tinggi. Hal ini menyebabkan daya tembus ke dalam jaringan sangat dalam, bisa mencapai beberapa sentimeter dan bersifat merusak jaringan yang dilewatinya. Sinar gamma bereaksi dengan atom atau molekul untuk memproduksi radikal bebas dalam sel, contohnya: OH- dan H2O2. Radikal bebas ini dapat merusak atau memodifikasi komponen yang penting dari sel tanaman (DNA) dan telah dilaporkan menyebabkan efek yang berbeda secara morfologi, anatomi,
17
biokimia, dan fisiologi dari tanaman tergantung dari level iradiasi (Wi et al. 2007). Khumaida et al. (2008) dalam penelitiannya menyebutkan dari 38 aksesi tanaman handeuleum yang diteliti menunjukkan karakter morfologi yang tidak berbeda nyata, sedangkan kandungan fitokimianya (alkaloid, saponin, tanin, flavonoid, steroid, triterpenoid, dan glikosida) memiliki nilai yang bervariasi. Sebanyak 13 aksesi yang memiliki kandungan fitokimia yang tinggi, di antaranya adalah aksesi Bogor, Kalimantan, dan Papua. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap pertumbuhan, morfologi, anatomi daun, kandungan fitokimia, karakter isozim, serta keragaman fenotipik stek pucuk handeuleum aksesi Bogor. Hipotesis Iradiasi
sinar
gamma
dapat
mengakibatkan
perubahan
terhadap
pertumbuhan, morfologi, anatomi daun, kandungan fitokimia, serta dapat meningkatkan keragaman stek pucuk handeuleum aksesi Bogor. Metodologi Penelitian Waktu dan Tempat Percobaan dilakukan pada bulan Nopember 2009 hingga Juni 2010. Aplikasi iradiasi dilakukan di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) BATAN Pasar Jumat Jakarta. Pengamatan karakter pertumbuhan tanaman dan morfologi dilakukan di kebun percobaan Cikabayan, University Farm (UF), IPB. Pengujian fitokimia dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), Bogor. Analisis kandungan pigmen dilakukan di Laboratorium Spektrofotometrik, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, sedangkan pengamatan karakter anatomi daun dilakukan di Laboratorium Microtechnique Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Analisis isozim
18
dilakukan di laboratorium Hayati, Pusat Studi Bioteknologi dan Sumberdaya Hayati IPB. Metode Percobaan Rancangan lingkungan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 1 (satu) faktor yaitu dosis iradiasi sinar gamma yang terdiri atas 8 (delapan) taraf yaitu 0 Gy, 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy, 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy. Setiap perlakuan terdiri dari 10 ulangan, dengan 1 (satu) stek pucuk untuk setiap ulangan, sehingga secara keseluruhan terdapat 80 stek pucuk. Model linier RAL adalah sebagai berikut: Yij = µ + αi + εij Keterangan: Yij
: Nilai pengamatan perlakuan dosis iradiasi ke-i, dan ulangan ke-j
µ
: Rataan umum
αi
: Pengaruh perlakuan dosis iradiasi ke-i
εijk : Pengaruh galat percobaan perlakuan dosis iradiasi ke-i ulangan ke-j. i : 1, 2, 3...8. j : 1, 2, 3..10. Persiapan Bahan Tanam Tanaman yang digunakan berasal dari perbanyakan stek handeuleum aksesi Bogor yang mempunyai kandungan fitokimia yang tinggi (Khumaida et al. 2008). Stek dengan panjang 3 (tiga) ruas ditanam pada polibag dengan media tanam menggunakan tanah : kompos dengan perbandingan 2 : 1 (v/v). Stek pucuk yang sudah berakar dan memiliki daun baru dengan tinggi sekitar 15 cm digunakan sebagai bahan percobaan yang akan diiradiasi. Stek kemudian dicabut dengan hati-hati dari media, dibersihkan dari tanah, lalu akarnya dibungkus dengan aluminium foil. Stek diiradiasi menggunakan sinar gamma dari ionisasi Cobalt 60, memakai alat irradiator gamma chamber 4000A, tipe Irpasena buatan India.
19
Stek yang telah diiradiasi langsung ditanam pada media baru, ditumbuhkan di bawah kubung kecil selama kurang lebih dua bulan. Stek berumur dua bulan selanjutnya dipindah tanam ke polibag yang lebih besar berdiameter 15 cm dan dipelihara di lapang dengan naungan paranet 55%. Penyemprotan pestisida dilakukan untuk menghindari serangan hama dan penyakit. Selama perawatan tanaman disiram 2 (dua) kali sehari, dan diberi pupuk daun setiap satu minggu sekali, dan dipupuk dengan NPK sebulan sekali sebanyak 4 g/polibag dengan perbandingan komposisi N:P:K = 15:15:15. Pengamatan Karakter Pertumbuhan Tanaman dan Morfologi Pengamatan dilakukan pada karakter yang diduga berkaitan dengan keragaman tanaman yang diinduksi oleh iradiasi sinar gamma, meliputi 1. Tinggi tanaman, diukur mulai dari permukaan media sampai pucuk dengan menggunakan penggaris. 2. Jumlah daun, dihitung jumlah semua daun yang terdapat pada tanaman. 3. Panjang dan lebar daun, sampel diambil dari daun kedua dari ujung, panjang daun diukur mulai dari pangkal sampai ujung daun, sedangkan lebar daun diukur pada area terlebar daun. 4. Indeks warna hijau relatif daun, diamati menggunakan klorofilmeter Minolta SPAD 502. Sebelum digunakan alat dikalibrasikan terlebih dahulu dengan standar warna hijau yang telah disertakan pada alat tersebut. 5. Warna daun, warna batang, dan tekstur daun, diukur berdasarkan nilai skoring. Skoring warna daun dan batang: 5=ungu, 3=ungu kehijauan, 1=hijau. Skoring tekstur daun: 3=lembut, 1=keras/kaku. Karakter Anatomi Daun Pengamatan karakter anatomi daun dilakukan pada irisan transversal dan paradermal menggunakan metode sediaan utuh menggunakan bahan segar, meliputi: 1. Jumlah sel epidermis dan stomata, diamati jumlahnya di bawah mikroskop dengan pembesaran 400x dengan luas bidang pandang 0.038 mm2.
20
2. Kerapatan stomata didapat dari perhitungan berikut: Kerapatan stomata = Σ Stomata / Luas bidang pandang ( mm2). 3. Indeks stomata didapat dari perhitungan berikut: Indeks stomata = (Σ Stomata / (Σ Stomata + Σ Sel epidermis)) x 100. 4. Tebal daun, tebal kutikula, tebal epidermis atas, panjang palisade, tebal bunga karang, dan tebal epidermis bawah. Pengamatan dilakukan dengan mikroskop digital molekuler. Analisis Kandungan Fitokimia Daun Analisis dilakukan terhadap kandungan fitokimia daun handeuleum untuk kandungan alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, flavonoid, tanin, dan glikosida; serta pada kandungan pigmen seperti klorofil total, karotenoid total, dan antosianin total. Tabel 1 Kriteria penilaian kandungan metabolit sekunder secara kualitatif dengan uji fitokimia Senyawa
Dasar Penilaian
1 tetes 4+ 1 tetes Steroid Perubahan warna biru/hijau 4+ Tua Triterpenoid Perubahan warna merah/ungu 3+ 3 cm Saponin Pembentukan lapisan busa 3+ 1 tetes Flavonoid Jumlah pereaksi 4+ 1 tetes Tanin Jumlah pereaksi 4+ Keterangan : 1+ = positif lemah, 2+ = positif, 3+ = positif (Mualim 2009). Alkaloid
Jumlah pereaksi
Penilaian 2 tetes 3+ 2 tetes 3+ Sedang 2+ 2 cm 2+ 2 tetes 3+ 2 tetes 3+ kuat, 4+ =
3 tetes 4 tetes 2+ 1+ 3 tetes 4 tetes 2+ 1+ Muda 1+ 1 cm 1+ 3 tetes 4 tetes 2+ 1+ 3 tetes 4 tetes 2+ 1+ positif kuat sekali
Analisis kandungan alkaloid, saponin, triterpenoid, steroid, tanin, dan glikosida dilakukan secara kualitatif (Harborne 2000) dengan data berupa skoring yang berdasarkan standar laboratorium pengujian Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO). Kandungan metabolit sekunder dalam sampel diketahui berdasarkan jumlah pereaksi (reagen), pembentukan warna, dan busa
21
yang terbentuk (Tabel 1). Kegiatan analisis kandungan fitokimia daun dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisis kandungan pigmen seperti klorofil total, karotenoid total, dan antosianin total dilakukan dengan metode Sims dan Gamon (2002), menggunakan alat spektrofotometer yang teknis pelaksanaannya dapat dilihat pada Lampiran 2. Setiap pigmen diidentifikasi konsentrasinya pada panjang gelombang yang berbeda-beda, dimana panjang gelombang 663 nm untuk klorofil a, 647 nm untuk klorofil b, 537 nm untuk antosianin, dan 470 nm untuk karotenoid. Data kemudian dibaca menggunakan UV spektrofotometer, dan hasilnya dikonversi ke dalam satuan mol/m2 dengan tahapan perhitungan sebagai berikut: Antosianin = 0.01373*A537 – 0.00697*A647 – 0.002228*A663 Klorofil a = 0.01373*A663 – 0.000897*A537 – 0.003046*A663 Klorofil b = 0.02405*A647 – 0.004305*A537 – 0.005507*A663 Klorofil total dapat dihitung dengan persamaan berikut: Klorofil total 7.15*A633 – 18.71*A647 Karotenoid = (A470 – (17.1*(Chl a + Chl b) – 9.479*antosianin))/119.26 Keterangan: A(x) merupakan data hasil pembacaan pada panjang gelombang x. Konsentrasi pigmen per satuan luas dikonversi menggunakan perhitungan sebagai berikut: Pigmen/area = (pigmen*6/1000)/(Luas area daun total dalam m2) Analisis Isozim Kegiatan analisis isozim terdiri atas beberapa tahapan, cara penyiapan bahan untuk analisis bahan dapat dilihat pada Lampiran 3. Interpretasi pola pita isozim dilakukan dengan cara meletakkan gel di atas plastik bening kemudian diletakkan di atas lampu pengamatan untuk diambil data dan difoto. Pola pita isozim yang tampak digambar pada plastik transparan, hasil foto diamati dan diukur jarak pergerakan pita dari titik awal. Hasil pengukuran jarak pergerakan ditentukan pola pada Rf (relative electrophoresis mobility) dengan perhitungan (Sastrosumarjo et al. 2006). Rf =
Jarak pergerakan pita dari tempat awal Jarak pergerakan warna pelacak dari awal
22
Analisis Data Data pertumbuhan, morfologi dan anatomi daun diuji menggunakan analisis ragam (uji F) pada taraf nyata (α) 1% dan 5% dengan menggunakan program SAS. Apabila hasil uji nyata, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test-DMRT). Nilai Growth Reduction 50 (GR50) didapatkan dengan menggunakan program curve-fit, yaitu suatu program analisis statistik yang dapat digunakan untuk mencari model persamaan terbaik terhadap persentase penurunan pertumbuhan dari suatu populasi (Aisyah 2006). Uji korelasi antar peubah dilakukan berdasarkan persamaan Pearson. Analisis perbandingan nilai varian antar populasi dengan uji F. Keragaman fenotipik (σ2f) dihitung menurut Steel dan Torrie (1995): σ2f=∑ X2i–(∑ Xi )2/(n-1). Standar deviasi ragam fenotipik (Sdσ2f) dihitung menurut Anderson dan Brancot (1952) dalam Darajat (1987): Sdσ2f = √σ2f. Kriteria penilaian terhadap luas atau sempit keragaman fenotipik: Apabila σ2f ≥ 2* Sdσ2f Æ keragaman fenotipik luas Apabila σ2f < 2* Sdσ2f Æ keragaman fenotipik sempit. Keterangan: σ2f = ragam fenotipik; Xi = nilai rata-rata ke-i; n = jumlah yang diuji; Sdσ2f = standar deviasi keragaman fenotipik. Hasil dan Pembahasan Morfologi Tanaman Pengamatan terhadap karakter morfologi tanaman dapat mendeteksi pertumbuhan dari tanaman. Penelitian ini menggunakan karakter pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun) dan karakter morfologi (warna daun, tekstur daun, dan warna batang) sebagai peubah untuk melihat perubahan pertumbuhan tanaman akibat perlakuan dengan iradiasi sinar gamma. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter-karakter tersebut di atas terlihat bahwa terdapat kecenderungan pengelompokkan tanaman hasil iradiasi berdasarkan dosis iradiasi menjadi dua kelompok. Tanaman yang mendapat dosis iradiasi 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy pada umumnya pertumbuhannya normal sama dengan tananaman kontrol (0 Gy) dengan daun yang berwarna ungu, sedangkan tanaman yang mendapat iradiasi dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy dan 105 Gy pada
23
umumnya pertumbuhannya terhambat, tidak menghasilkan tunas yang baru, dan daun tetap berwarna hijau.
(a)
(c)
(b)
(e)
(d)
(f)
(g)
Gambar 2 Bentuk daun handeuleum pada berbagai dosis iradiasi; (a) ovate, (b) obovate, (c) lancoleate, (d) kotrol (0 Gy), (e) 15 Gy, (f) 30 Gy, (g) 45 Gy, (h) 60 Gy, (i) 75 Gy, (j) 90 Gy, (k) 105 Gy.
(i)
(h)
Gambar 3
(j)
(k) 1 cm
Keragaan daun handeuleum aksesi Bogor tanpa dan yang diiradiasi dengan berbagai dosis sinar gamma; ovate (a), obovate (b), lancoleate (c), kontrol (0 Gy) (d), 15 Gy (e), 30 Gy (f), 45 Gy (g), 60 Gy (h), 75 Gy (i), 90 Gy (j), dan 105 Gy (k).
Awal-awal pertumbuhan (3 MST, 4 MST) pada tanaman yang diiradiasi terbentuk daun-daun baru yang mengalami perubahan baik dari segi bentuk,
24
warna serta tekstur yang lebih tebal, meskipun bisa dikatakan bahwa respon yang timbul bersifat individual. Morfologi pada tanaman kontrol pada umumnya adalah ovate dan sebagian kecil lanceolate. Sedangkan pada tanaman yang diiradiasi terdapat penambahan bentuk elliptical selain kedua bentuk di atas. Handeuleum pada stadia awal pertumbuhan umumnya memiliki warna daun hijau muda dan ketika beranjak dewasa warna daun berubah menjadi berwarna ungu merah kecoklatan. Tanaman yang diiradiasi sinar gamma dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy, warna daunnya tetap hijau sampai daun tersebut mati. Seterusnya daun-daun baru yang terbentuk kembali normal. Variasi bentuk dan warna daun terbanyak terdapat pada handeuleum yang diiradiasi sinar gamma 45 Gy, yaitu sebanyak 9 (sembilan) variasi, dengan jumlah tanaman mutan putatif yang terbentuk sebanyak 11 tanaman.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 4 Keragaan tanaman handeuleum pada berbagai perlakuan iradiasi sinar gamma: kontrol (0 Gy) (a), 15 Gy (b), 30 Gy (c), 45 Gy (d), 60 Gy (e), 75 Gy (f), 90 Gy (g), dan 105 Gy (h). Terlihat bahwa daun pada perlakuan 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy memiliki warna yang berbeda dengan kontrol.
25
Bentuk morfologi dan warna daun serta keragaan tanaman pada penelitian ini disajikan pada Gambar 3 dan 4. Berdasarkan analisis ragam, Fhitung sumber variasi dosis iradiasi (perlakuan) pada semua peubah yang diamati menunjukkan berbeda nyata, yang berarti bahwa dosis iradiasi berpengaruh terhadap peubahpeubah pengamatan. Hal yang sama dijumpai pada penelitian Datta et al. (2005), dikatakan bahwa mutasi somatik pada warna bunga dan bentuk floret dideteksi pada populasi tanaman yang diberi perlakuan dengan sinar gamma. Wi et al. (2007) menunjukkan bahwa gejala awal tanaman labu yang diiradiasi oleh sinar gamma tingkat tinggi (1 kGy) adalah daun yang menjadi keriting dan menguning (data tidak ditunjukkan), keduanya merupakan indikasi dari terjadinya ketidakseimbangan zat pengatur tumbuh pada tanaman. Penelitian yang dilakukan Badignnavar dan Murty (2007), menunjukkan bahwa warna daun tanaman kacang tanah yang diberi iradiasi sinar gamma berubah menjadi hijau dan penampilan tanaman secara keseluruhan menjadi normal kembali setelah 80 HST. Mutan selalu tersegregasi ke dalam mutan dan tanaman tetua dengan frekuensi yang lebih tinggi untuk tipe tanaman tetua bila dibandingkan dengan tanaman mutan. Menurut Micke dan Donini (1993), kerusakan pada struktur genetik akibat mutasi dapat berubah normal kembali (diplontic atau haplontic selection), hal ini dikarenakan sel-sel yang normal pertumbuhannya mengalahkan sel-sel yang termutasi. Bahkan terkadang terjadi mutasi balik, yaitu mutan yang sudah terekspresi dapat kembali menjadi fenotip tetuanya pada generasi berikutnya. Menurut Wi et al. (2007), tanaman memiliki sistem perlindungan alami terhadap kerusakan oksidatif yaitu salah satunya dengan cara mengaktifkan perlindungan enzimatik endogen, seperti: peroksidase (POD), superoksida dismutase (SOD), dan katalase (CAT), yang aktif selama tanaman mengalami luka. Growth Reduction 50 (GR50) Sensitivitas iradiasi dapat diketahui dengan Growth Reduction 50 (GR50) (Akgun & Tosun 2004). Pertumbuhan tanaman kontrol didefinisikan pada GR100, sedangkan GR50 didefinisikan sebagai penurunan 50% dari pertumbuhan tanaman kontrol. Penelitian ini menghitung nilai GR50 untuk peubah pertumbuhan tinggi
26
tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun. GR50 dihitung pada akhir pengamatan, yaitu pada minggu ke-10 setelah tanam.
S = 3.11144608 r = 0.99838653
Persentase Penurunan (%)
. 30 108 7 91.
0
1 75.
0
5 58.
0
9 41.
0
3 25.
0
0 8.7
0.0
19.3
38.5
57.8
77.0
96.3
115.5
Dosis Iradiasi (Gy)
Gambar 5
Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 tinggi tanaman handeuleum aksesi Bogor.
Nilai koefisien determinasi (R2) persamaan ini adalah sebesar 0.998, hal ini menunjukkan persamaan yang digunakan sangat sesuai (andal) (Gambar 5). Berdasarkan analisis curve fit di atas diketahui GR50 peubah tinggi tanaman diperoleh pada dosis 42 Gy. Gambar 6 menunjukkan hubungan persentase penurunan jumlah daun dengan dosis iradiasi sinar gamma, dan dapat diperoleh menggunakan persamaan regresi Sinusodial Fit, yaitu Y = 55.48 + 58.59 cos (0.03 X + 0.72), dimana Y adalah persentase penurunan jumlah daun, dan X adalah dosis iradiasi.
S = 8.97040010 r = 0.98515682
Persentase Penurunan (%)
.70 109 47 91. 23 73. 00 55. 77 36. 53 18. 0 0.3
0.0
19.3
38.5
57.8
77.0
96.3
115.5
Dosis Iradiasi (Gy)
Gambar 6 Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 jumlah daun handeuleum aksesi Bogor.
27
Nilai koefisien determinasi (R) persamaan ini adalah sebesar 0.985, hal ini menunjukkan persamaan yang digunakan sangat sesuai (andal). Berdasarkan analisis curve fit di atas diketahui GR50 diperoleh pada dosis iradiasi 33 Gy. Fungsi
matematika
yang
membantu
mengetahui
dosis
yang
mengakibatkan reduksi panjang daun handeuleum sebesar 50% adalah Polynomial Fit yang dirumuskan dalam persamaan Y = 96.88 – 2.19 X + 0.04 X2 – 0.0002 X3, dimana Y adalah persentase penurunan panjang daun, dan X adalah dosis iradiasi.
S = 6.31834921 r = 0.94204873
Persentase Penurunan (%)
10
0 4.5
95.
50
86.
50
77.
50
68.
50
50 59. 50.
50
0.0
19.3
38.5
57.8
77.0
96.3
115.5
Dosis Iradiasi (Gy)
Gambar 7 Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 panjang daun handeuleum aksesi Bogor. Nilai koefisien determinasi (R2) persamaan ini adalah sebesar 0.942, hal ini menunjukkan persamaan yang digunakan sangat sesuai (andal) (Gambar 7). Berdasarkan analisis curve fit di atas diketahui nilai GR50 peubah panjang daun diperoleh pada dosis 113 Gy. S = 4.41575789 r = 0.96092842
Persentase P enurunan (% )
10 3
.8 0
96.
20
88.
60
81.
00
73.
40
65.
80
58.
20
0.0
19.3
38.5
57.8
77.0
96.3
115.5
Dosis Iradiasi (Gy)
Gambar 8
Pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap GR50 handeuleum aksesi Bogor.
lebar daun
28
Hubungan persentase penurunan lebar daun dengan dosis iradiasi sinar gamma dapat menggunakan persamaan Polynomial Fit Y = 97.79 – 1.86 X + 0.03 X2 – 0.0002 X3, dimana Y adalah persentase penurunan jumlah daun, dan X adalah dosis iradiasi. Nilai koefisien determinasi (R2) persamaan ini adalah sebesar 0.961, hal ini menunjukkan persamaan yang digunakan sangat sesuai (andal) (Gambar 8). Berdasarkan analisis curve fit di atas didapat GR50 lebar daun adalah sebesar 122 Gy. Menurut Ahnstroem (1977), morfologi tanaman seperti batang tanaman yang berkayu atau sukulen dapat mempengaruhi tingkat radiosensitivitas, karena berhubungan dengan ketahanan fisik sel saat menerima iradiasi sinar gamma. Selain itu, radiosensitivitas juga dipengaruhi oleh faktor genetika dan lingkungan seperti oksigen, kadar air, penyimpanan paska-iradiasi, dan suhu. Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, Panjang Daun dan Lebar Daun. Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui iradiasi sinar gamma berpengaruh sangat nyata terhadap peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun (Tabel 2). Peubah ini umumnya nilainya semakin kecil seiring dengan bertambahnya dosis iradiasi sinar gamma. Hasil yang disajikan pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa tinggi tanaman paling tinggi diperoleh pada perlakuan kontrol tanpa iradiasi sinar gamma (0 Gy) yaitu sebesar 83 cm, tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi sinar gamma 15 Gy yang menghasilkan tinggi 78.7 cm. Tinggi tanaman paling
rendah
diperoleh pada perlakuan 105 Gy sebesar 14.1 cm (tereduksi sebesar 83.0%), tidak berbeda nyata dengan perlakuan 60 Gy, 75 Gy, dan 90 Gy yang masingmasing menghasilkan tanaman dengan tinggi berturut-turut sebesar 16.2 cm, 16.1 cm, dan 15.9 cm dimana masing-masing perlakuan mengalami tinggi tanaman tereduksi secara berturut-turut sebesar 80.5%, 80.6%, dan 80.8%. Dosis iradiasi sinar gamma yang semakin tinggi menyebabkan tinggi tanaman handeuleum semakin pendek (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel meristem pucuk dari tanaman yang diiradiasi dengan dosis yang tinggi mengalami kerusakan.
29
Tabel 2
Nilai rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST
Dosis Iradiasi (Gy) 0
Peubah Jumlah Daun Panjang Daun (helai) (cm) a 106.3 ± 12.6 19.7 ± 1.7 a
Tinggi Tanaman (cm) 83.0 ± 4.7 a
a)
Lebar Daun (cm) 9.2 ± 0.9
a
15
78.7 ± 9.3
a
78.3 ± 14.1
b
12.6 ± 1.4
bc
6.5 ± 0.5
b
30
63.4 ± 8.0
b
71.0 ± 12.7
b
13.3 ± 1.9
b
6.5 ± 1.0
b
45
37.8 ± 8.1
c
36.5 ± 19.1
c
10.9 ± 0.6
d
5.7 ± 0.9
b
60
16.2 ± 2.1
d
3.8 ± 1.0
d
12.3 ± 0.8
bc
6.1 ± 0.8
b
75
16.1 ± 2.0
d
3.4 ± 1.3
d
12.0 ± 1.2
bcd
6.1 ± 0.7
b
90
15.9 ± 1.7
d
3.3 ± 1.2
d
12.4 ± 0.6
bc
6.3 ± 0.3
b
105
14.1 ± 2.0
d
3.0 ± 2.0
d
11.5 ± 1.5
cd
6.0 ± 0.8
b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi. a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+0.5)
Penelitian Kon et al. (2007) menyebutkan bahwa semakin tinggi dosis radiasi sinar gamma yang diberikan, tinggi tanaman long bean semakin tereduksi bila dibandingkan dengan tanaman kontrol, dimana penurunan paling tinggi adalah pada dosis 800 Gy, yang merupakan dosis perlakuan paling tinggi. Menurut Fauza et al. (2005) pada bibit tanaman manggis yang bijinya diberi perlakuan sinar gamma dosis 0 krad, 1 krad, 2 krad, dan 3 krad, terdapat kecenderungan terjadi penurunan tinggi bibit tanaman manggis dengan semakin tingginya dosis iradiasi sinar gamma yang diberikan. Hasil pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tanaman kontrol (0 Gy) menghasilkan rata-rata jumlah daun paling banyak yaitu sebanyak 106.3 helai, sedangkan perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 105 Gy menghasilkan rata-rata jumlah daun paling sedikit yaitu sebanyak 3.0 helai, mengalami penurunan sebesar 97.2%. Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 60 Gy, 75 Gy, dan 90 Gy yang berturut-turut menghasilkan daun sebanyak 3.8, 3.4, 3.3 helai. Perlakuan sinar gamma dosis 60 Gy mengalami penurunan sebesar 96,4%, dosis 75 Gy sebesar 96.8%, sedangkan dosis 90 Gy sebesar 96.9% bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. Tanaman yang
30
mendapat perlakuan iradiasi sinar gamma dengan dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy, memiliki jumlah daun yang sedikit bila dibandingkan dengan kontrol. Tunas yang muncul pada tanaman yang mendapat dosis iradiasi besar pertumbuhannya sangat lambat dan tidak menghasilkan tunas baru, kecuali untuk perlakuan 60 Gy. Penelitian Badignnavar dan Murty (2007) mengenai kacang tanah menyatakan bahwa semakin besar dosis iradiasi yang digunakan mengakibatkan tinggi dan jumlah daun tanaman kacang semakin berkurang. Kendarini (2006) menunjukkan bahwa penambahan jumlah daun krisan yang diiradiasi dengan sinar gamma tidak linier dengan penambahan dosis sinar gamma. Krisan kultivar “Puma White” menghasilkan jumlah daun lebih banyak saat dipapar pada sinar gamma dosis 15 Gy dibandingkan dengan tanaman yang dipapar pada dosis 10 Gy, sedangkan pada tanaman yang dipapar pada dosis 20 Gy, jumlah daunnya kembali menurun. Pellegrini et al. (2000) mengamati bahwa pada tanaman seledri setelah diberi perlakuan dengan sinar gamma tidak membentuk primordia daun baru. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 2 terlihat bahwa perlakuan iradiasi sinar gamma 0 Gy menghasilkan panjang dan lebar daun paling besar dibandingkan dengan perlakuan lain, yaitu berturut-turut sebesar 19.1 cm dan 9.2 cm. Panjang dan lebar daun paling kecil dihasilkan oleh iradiasi sinar gamma dosis 105 Gy, yaitu sebesar 11.5 cm dan 6.0 cm. Panjang daun pada perlakuan 105 Gy mengalami penurunan sebesar 39.8%, sedangkan pada lebar daun sebesar 34.8%. Terhambatnya pertumbuhan menyebabkan daun yang diiradiasi memiliki panjang dan lebar daun yang lebih kecil dibandingkan dengan kontrol, seperti yang dialami oleh bibit tanaman manggis (Widiastuti 2010). Semakin besar dosis iradiasi yang diberikan (0 Gy, 20 Gy, dan 25 Gy) ukuran daun menjadi semakin kecil. Panjang dan lebar daun tanaman anyelir yang diiradiasi tidak selamanya lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol, beberapa genotipe yang diiradiasi memiliki ukuran daun yang lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman kontrol (Aisyah 2006).
31
Tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun pada tanaman yang diiradiasi lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol (0 Gy) disebabkan oleh kerusakan pada jaringan meristem tanaman. Iradiasi sinar gamma dengan dosis yang tinggi, 100 - 500 Gy, menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, degradasi klorofil, aberasi morfologi pada tanaman Nicotiana (Wada et al. 1998). dan menghentikan mitosis pada jaringan meristematik. Menurut Kim et al. (2004); Kova´cs dan Keresztes (2002); Wi et al. (2005) dalam Wi et al. (2007), sinar gamma bereaksi dengan atom atau molekul untuk memproduksi radikal bebas (H2O2) yang terdapat dalam sel. Radikal bebas ini dapat merusak atau memodifikasi komponen yang penting dari sel tanaman, yang menyebabkan perubahan secara morfologi, anatomi, biokimia, dan fisiologi dari tanaman tergantung dari level iradiasi. Efek ini termasuk perubahan dalam struktur seluler tanaman dan metabolisme, pembesaran dari membran tilakoid, perubahan dalam fotosintesis, modulasi dari sistem antioksidatif, dan akumulasi dari senyawa fenolik. Dosis iradiasi yang tinggi telah terbukti dapat menyebabkan menginduksi perubahan fisiologi dan dapat merusak komponen seluler makromolekuler seperti dinding sel, membran, dan DNA. Wi et al. (2007) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa terjadi peningkatan intensitas penumpukan cerium perhydroxide, yang merupakan marker penumpukan H2O2, pada membran plasma dan dinding sel jaringan (petiole, kotiledon, hipokotil, terutama pada daun) tanaman labu yang diiradiasi dibandingkan dengan kontrol. Akumulasi dan lokalisasi dari H2O2 dan peroksida lebih tinggi pada sel parenkima dibandingkan dengan yang terdapat pada pembuluh, sehingga diperkirakan jaringan pembuluh lebih sensitif dibandingkan dengan sel parenkima. Rusaknya jaringan pembuluh menyebabkan terganggunya transportasi asimilat yang dihasilkan oleh daun ke seluruh jaringan tanaman, sehingga mengakibatkan terjadinya penghambatan pertumbuhan. Lebih lanjut dikatakan bahwa peroksida merupakan salah satu enzim antioksidan yang berperan penting dalam mendetoksifikasi H2O2 dalam sel, sehingga dapat melindungi komponen seluler seperti protein dan lemak melawan oksidasi. Peroksida juga dibutuhkan terutama untuk banyak fungsi seluler seperti
32
lignifikasi, suberisasi, pemanjangan sel, pengaturan biosintesis dinding sel, dan plasticity. Nagata et al. (2005) menyebutkan bahwa iradiasi akut dapat mengaktifkan atau menghambat satu set gen. Gen-gen ini terkait dengan asam nukleat (misal perbaikan DNA, penggabungan DNA, atau metabolisme RNA) dan terlibat pada respron stress oksidatif (misal peroksidase, sitokrom
P450, glutation S-
transferase), atau sinyal transduksi. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (2009) yang mengidentifikasi 2165 gen yang terinduksi oleh sinar gamma dan 1735 gen tertekan, dan dari 345 ekspresi gen yang diteliti, gen yang mengatur respon terhadap stres lingkungan jumlahnya meningkat, sedangkan gen yang mengatur respon pertumbuhan jumlahnya tertekan. Kovalchuck et al. (2007) memaparkan bahwa pada iradiasi sinar gamma kronik, gen auksin adalah hampir satu-satunya gen hormonal yang terlibat pada saat tanaman dipapar iradiasi sinar gamma. Menurut Taiz dan Zeiger (2002), auksin adalah hormon yang mengatur bermacam-macam proses perkembangan, seperti perpanjangan batang, dominansi apikal, inisiasi akar, perkembangan buah, dan orientasi atau pertumbuhan yang terorientasi. Hal ini menjadi salah satu sebab yang menyebabkan terjadi penghambatan pertumbuhan tinggi tanaman. Penelitian yang dilakukan oleh Momiyama et al. (1999) pada koleoptil jagung menyebutkan bahwa jumlah IAA endogen koleoptil yang diberi perlakuan 300 dan 3000 Gy berubah hanya setelah 0 jam iradiasi. Jumlah IAA menurun pada 2 jam pertama pada iradiasi dosis 300 Gy, kemudian secara perlahan meningkat dan mencapai level yang sama dengan kontrol (6 jam setelah iradiasi). Hal ini kontras pada penurunan yang teramati pada dosis 3000 Gy. Penelitian tentang IAA teramati dari terjadinya penghambatan pemanjangan koleoptil jagung yang meningkat seiring dengan peningkatan dosis iradiasi (25 Gy, 300 Gy, 1000 Gy), dan terhenti sama sekali pada dosis 3000 Gy. Akan tetapi pada dosis yang lebih rendah dari 1000 Gy kerusakannya sementara dan dapat diperbaiki.
33
Warna Daun, Tekstur Daun, Warna Batang, dan Indeks Warna Hijau Relatif Daun Hasil pengamatan morfologi kualitatif menunjukkan bahwa warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun secara sangat nyata dipengaruhi oleh perlakuan iradiasi sinar gamma. Warna daun handeuleum pada perlakuan iradiasi sinar gamma 15 Gy sama dengan tanaman kontrol menunjukkan nilai skoring 5, tidak berbeda nyata dengan perlakuan sinar gamma 30 Gy dan 45 Gy. Perlakuan 105 Gy menghasilkan nilai skoring 1, hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan 75 Gy dan 90 Gy. Semakin kecil nilai skoring menunjukkan bahwa warna daun handeuleum berubah atau berbeda dengan warna daun handeuleum pada umumnya. Warna daun handeuleum biasanya berwarna ungu, sedangkan tanaman yang mendapat perlakuan iradiasi sinar gamma daunnya berwarna hijau, dan hijau keunguan. Tabel 3 Nilai rata-rata warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST Dosis Iradiasi (Gy)
Peubah
0
5.0 ± 0.0
a
3.0 ± 0.0 a
5.0 ± 0.0 a
Indeks Warnac) Hijau Relatif Daun 53.94 ± 2.4 b
15
5.0 ± 0.0
a
3.0 ± 0.0 a
5.0 ± 0.0 a
53.66 ± 2.8 b
30
4.5 ± 1.4
a
3.0 ± 0.0 a
5.0 ± 0.0 a
52.96 ± 3.5 b
45
3.8 ± 1.5
a
2.2 ± 1.0 b
3.8 ± 1.5 bc
56.81 ± 2.6 a
60
2.0 ± 1.1
b
1.0 ± 0.0 c
4.0 ± 1.1 b
33.52 ± 3.7 c
75
1.2 ± 0.7
bc
1.0 ± 0.0 c
3.0 ± 0.0 c
30.38 ± 5.2 c
90
1.5 ± 0.9
bc
1.0 ± 0.0 c
3.0 ± 0.0 c
31.30 ± 4.3 c
105
1.0 ± 0.0
c
1.0 ± 0.0 c
3.0 ± 0.0 c
30.39 ± 6.7 c
Keterangan:
Warnaa) Daun
Teksturb) Daun
Warna a) Batang
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi. a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+0.5); b) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+1); c) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (log x). Angka pada peubah warna daun, tekstur daun, dan warna batang merupakan nilai skoring. Skoring warna daun dan batang: 5=ungu, 3=ungu kehijauan, 1=hijau. Skoring tekstur daun: 3=lembut, 1=keras/kaku.
34
Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 3, perlakuan sinar gamma memberikan pengaruh nyata pada tekstur daun tanaman handeuleum. Perlakuan 0 Gy, 15 Gy, dan 30 Gy menghasilkan nilai skoring 3, yang berarti daunnya bertekstur lembut dan lemas. Perlakuan dengan dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy memiliki nilai skoring 1, dan tekstur daun tanaman kaku, daunnya tebal dan mudah patah. Terdapatnya perubahan pada tekstur daun sesuai dengan penelitian yang dipaparkan oleh Widiastuti (2010) pada manggis, dan Aisyah (2006) pada anyelir. Muthusamy et al. (2007) menjelaskan penelitiannya pada kacang tanah, bahwa jumlah daun yang mengalami variasi juga meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi dari mutagen. Perlakuan sinar gamma juga memberikan pengaruh pada warna batang handeuleum. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 3 diketahui bahwa tanaman yang diberikan perlakuan dengan dosis 15 Gy dan 30 Gy memiliki nilai skoring 5, sama dengan nilai skoring tanaman kontrol (0 Gy). Tanaman handeuleum yang diberi iradiasi sinar gamma dosis 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy memiliki nilai skoring 3, dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan sinar gamma dosis 45 Gy. Warna batang pada tanaman yang diberi perlakuan dengan dosis 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy adalah hijau dan hijau keunguan, berbeda dengan warna batang pada perlakuan sinar gamma 15 Gy dan 30 Gy yaitu berwarna ungu. Sinar gamma mempengaruhi tinggi tanaman, warna daun, tipe daun, ukuran daun, bentuk daun, tipe polong, dan warna benih (Badignnavar & Murty 2007). Menurut Cuttriss et al. (2007), klorofil merupakan pigmen yang menyebabkan warna hijau, sedangkan karotenoid merupakan pigmen penyebab warna merah, oranye, dan kuning pada bagian tumbuhan. Buchanan et al. (2000) menyebutkan bahwa antosianin merupakan pigmen nonkloroplas pada tanaman, dikenal sebagai pigmen yang menyebabkan warna merah jambu, ungu, dan biru dan ditimbun dalam vakuola sel parenkim dewasa. Berdasarkan hasil analisis skoring terlihat bahwa perubahan warna daun terlihat skoringnya semakin menurun seiring dengan peningkatan dosis iradiasi sinar gamma, dan diikuti oleh penurunan kandungan klorofil yang ditunjukkan oleh penurunan indeks warna hijau relatif daun. Menurut Rostini et al. (2000) dan Tyas (2006), kandungan
35
klorofil berkorelasi positif dengan warna hijau relatif daun, sehingga indeks warna hijau relatif pada daun dapat dimanfaatkan untuk menduga kandungan klorofil. Iradiasi menyebabkan peningkatan kandungan radikal bebas hidrogen peroksidase (H2O2) pada tanaman, karena ionisasinya mengakibatkan reaksi radiolisis air yang hasil akhirnya adalah radikal bebas. H2O2 terbukti mengakibatkan kerusakan dinding sel, membran, dan DNA. Kloroplas secara genetik memiliki sistem pewarisan sendiri dalam bentuk kromosom kloroplas. Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa klorofil terdapat pada membran tilakoid kloroplas yang terdapat di dalam sitoplasma. Kloroplas mengandung DNA, RNA, ribosom, serta enzim. Apabila mutasi terjadi pada salah satu gen akan mempengaruhi sintesis klorofilnya. Seperti diketahui klorofil terletak pada sel parenkima, terutama palisade dan sedikit di sel bunga karang. Menurunnya kandungan klorofil pada tanaman yang diiradiasi mengindikasikan bahwa tempat sintesisnya juga mengalami kerusakan. Penelitian yang dilakukan oleh Wi et al. (2007) ditemukan bahwa akumulasi H2O2 ditemukan di membran plasma dan lamela tengah berbagai organ tanaman, tapi paling utama terdapat pada daun. Wi et al. (2007) menjelaskan lebih lanjut bahwa sel parenkima lebih sensitif terhadap iradiasi dibandingkan dengan sel pembuluh. Kandungan Antosianin, Klorofil Total dan Karotenoid Perbedaan warna daun dan batang antara tanaman kontrol (0 Gy) dan yang diiradiasi sinar gamma berhubungan sangat erat dengan kandungan antosianin, klorofil, dan karotenoids (Gambar 9). Daun yang telah diiradiasi dosis 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy kandungan pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sedangkan yang diiriadiasi dengan dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy kandungannya lebih rendah dibandingkan kontrol. Antosianin merupakan pigmen nonkloroplas pada tanaman, dikenal sebagai pigmen yang menyebabkan warna merah jambu, ungu, dan biru, dan ditimbun dalam vakuola sel parenkim dewasa (Buchanan et al. 2000). Menurut Hopkins dan Huner (2004) antosianin berfungsi menyerap UV-B untuk mencegah kerusakan jaringan daun yang disebabkan oleh radiasi UV.
36
Gambar 9 Grafik perbandingan kandungan pigmen antosianin, klorofil total, dan karotenoid handeuleum aksesi Bogor pada berbagai dosis iradiasi. Klorofil dan karotenoid merupakan pigmen fotosintetik pada tumbuhan, dimana klorofil merupakan pigmen utama dalam fotosintesis. Karotenoid, merupakan pigmen yang mempunyai warna berbagai campuran kuning dan jingga, dengan fungsi utama untuk fotoproteksi dengan cara menyerap dan melepaskan energi cahaya yang berlebihan (Sandman & Scherr 1998). Salisbury dan Ross (1995) mengemukakan bahwa klorofil terdapat pada membran tilakoid dalam kloroplas yang terdapat di dalam sitoplasma. Kloroplas mengandung DNA, RNA, ribosom, serta enzim. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan iradiasi sinar gamma berpengaruh sangat nyata pada indeks warna hijau relatif daun tanaman handeuleum. Perlakuan iradiasi 45 Gy menghasilkan indeks warna hijau relatif daun paling tinggi yaitu sebesar 56.81. Nilai paling kecil didapat pada perlakuan iradiasi 75 Gy sebesar 30.38, tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi 60 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy. Selain diukur dengan indeks warna hijau relatif daun, analisa pigmen juga dilakukan di laboratorium terhadap kandungan masing pigmen antosianin, total klorofil, dan total karotenoid. Menurut Rostini et al. (2000) dan Ning Tyas (2006), kandungan klorofil berkorelasi positif dengan warna hijau relatif daun, sehingga
37
indeks warna hijau relatif pada daun dapat dimanfaatkan untuk menduga kandungan klorofil. Berdasarkan hasil analisis laboratorium terlihat bahwa kandungan klorofil total yang besar terdapat pada tanaman kontrol (0 Gy) dan tanaman yang diberi perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy, sedangkan tanaman yang diberi perlakuan iradiasi dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy memiliki kandungan klorofil total yang sedikit. Secara umum hal ini sejalan dengan hasil analisis ragam, meskipun secara statistik tanaman yang diberi perlakuan iradiasi 45 Gy ialah tanaman yang memiliki indeks warna hijau relatif daun paling tinggi, sedangkan menurut analisis laboratorium tanaman justru kontrol yang memiliki kandungan klorofil total paling tinggi. Kandungan antosianin tertinggi dimiliki oleh tanaman yang diberi perlakuan iradiasi dosis 30 Gy, dan paling rendah oleh perlakuan iradiasi 60 Gy. Hal yang sama terlihat pada kandungan karotenoid, iradiasi sinar gamma 30 Gy menghasilkan kandungan paling banyak sedangkan perlakuan 105 Gy menghasilkan karotenoid paling sedikit. Seperti halnya kandungan klorofil total terlihat bahwa kandungan antosianin dan karotenoid yang tinggi dimiliki oleh tanaman yang diberi perlakuan iradiasi dosis 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy, bahkan melebihi kandungan antosianin dan karotenoid tanaman kontrol (0 Gy). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (2009), yang mengemukakan bahwa iradiasi sinar gamma meningkatkan kandungan protein terlarut, klorofil, dan karotenoid, pada daun Arabidopsis yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis 50 Gy bila dibandingkan dengan kontrol. Nagata et al. (1999) memaparkan bahwa terjadi akumulasi antosianin pada bagian yang berongga (aerial part) setelah tanaman Arabidopsis diiradiasi dengan sinar gamma (1 - 3 kGy). Iradiasi juga menginduksi pembentukan trikoma baru pada permukaan atas daun, penambahan lapisan sel akar, dan pemanjangan akar rambut. Menurut Wada (1998), tanaman Nicotiana setelah mendapatkan iradiasi sinar gamma dosis tinggi (100 - 500 Gy) pertumbuhannya menjadi terhambat, klorofil terdegradasi, dan terjadi aberasi morfologi pada tanaman. Penelitian yang dilakukan Calucci et al. (2003) dikatakan bahwa aplikasi dosis yang umum digunakan (10 kGy) dari iradiasi sinar gamma menyebabkan penurunan
38
karotenoid pada cinnamon, oregano, parsley, rosemary, bird pepper, dan sage ketika semua dibandingkan dengan kontrol. Sementara menurut Koseki et al. (2002) iradiasi gamma di atas 30 kGy (interval 10), kandungan β-karoten menurun secara perlahan pada ekstrak pada kemangi (Ocimum basilicum L.). Wi et al. (2007) mengemukakan bahwa berdasarkan observasi TEM, kloroplas merupakan organel yang sangat sensitif terhadap iradiasi dengan sinar gamma tingkat tinggi bila dibandingkan dengan organel lain. Adapun dosis iradiasi yang rendah tidak menyebabkan perubahan pada ultra struktur kloroplas. Hal ini yang mungkin dapat dijadikan pegangan mengapa pada penelitian ini antosianoin, klorofil total, dan karotenoid pada tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis rendah kandungannya justru lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol. Antosianin, klorofil total, dan karotenoid akan mengalami degradasi bila diiradiasi dengan dosis yang tinggi. Lebih jauh Kim et al. (2009) menjelaskan bahwa kandungan klorofil, karotenoids, protein, dan antosianin yang lebih banyak pada tanaman yang diiradiasi disebabkan gen yang terlibat dalam anabolisme klorofil dan antosianin (AtHEMA1, AtPORB, AtPORC, AtCHLG, dan AtANS) proses transkripsi meningkat bila dibandingkan dengan kontrol. Kandungan pigmen fotosintetik yang tinggi terutama klorofil dapat meningkatkan fotosintesis tanaman sehingga akumulasi fotosintat yang dihasilkan semakin tinggi. Akumulasi fotosintat yang tinggi mengakibatkan pembesaran dan diferensiasi sel yang dinyatakan dalam perubahan ukuran luas daun, pertumbuhan tinggi, dan pembesaran diameter batang (Urnemi et al. 2002). Hasil pengamatan terhadap warna daun, batang, baik secara skoring, maupun analisis laboratorium sejalan dengan hasil yang diperoleh oleh pengamatan warna hijau relatif daun menggunakan SPAD. Warna daun dan batang ditentukan oleh kandungan pigmen yang terdapat di dalam jaringan tanaman tersebut. Tanaman handeuleum kontrol (0 Gy) dan yang diiradiasi dengan dosis 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy memiliki warna daun dan batang keunguan, sedangkan yang diiradiasi dengan dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy memiliki warna hijau. Berdasarkan hasil analisis laboratorium dan SPAD terlihat bahwa kandungan klorofil tanaman kontrol (0 Gy) dan yang diiradiasi dengan dosis 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy memiliki kandungan pigmen-pigmen yang lebih
39
tinggi. Berdasarkan penampang melintang daun secara transversal (Gambar 13) diduga warna ungu yang terlihat pada daun dan batang dikarenakan letak antosianin yang lebih tersebar, yaitu terletak di sel epidermis atas dan juga terdapat pada palisade. Hal ini yang menentukan warna tanaman handeuleum terutama pada daun yang terlihat oleh mata, meskipun kandungan antosianin dan klorofil hampir sama besarnya. Anatomi Daun Iradiasi sinar gamma berpengaruh sangat nyata terhadap struktur anatomi daun handeuleum. Perubahan bersifat individual meskipun diiradiasi pada dosis yang sama karena pengaruh mutagen bersifat acak, tidak terdapat pola dari kenaikan dosis iradiasi sinar gamma. Menurut Dickinson (2000), stuktur anatomi daun dapat mengalami perubahan akibat iradiasi sinar gamma yang bersifat ionisasi. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan susunan dan ukuran jaringan palisade serta pembesaran jaringan bunga karang, nekrosis jaringan, dan distorsi tulang daun. Harahap (2005) menyatakan bahwa studi struktur anatomi tanaman mutan sangat berguna menjelaskan perubahan kontrol genetik pada proses tertentu. Qosim et al. (2007) berpendapat bahwa tanaman yang memiliki kerapatan stomata, parenkim palisade, dan jumlah pembuluh yang banyak dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi tidak langsung untuk efisiensi fotosintesis.
Irisan Paradermal Daun handeuleum memiliki stomata yang terletak pada permukaan bawah daun. Berdasarkan pengamatan secara paradermal terlihat bahwa pada lapisan epidermis daun handeuleum terdapat stomata, sel penjaga, sel tetangga, dan sel epidermis (Gambar 10).
40
(a) (c)
(b)
Gambar 10
(d)
20
Irisan paradermal daun handeuleum aksesi Bogor (400x): sel epidermis (a), sel tetangga (b), sel penjaga (c), dan lubang stomata (d).
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 4 terlihat bahwa jumlah sel epidermis terbanyak dimiliki oleh tanaman yang mendapat perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 60 Gy, yaitu sebesar 303.6, tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 30 Gy dengan jumlah sel epidermis sebanyak 284.9. Jumlah sel epidermis yang terendah sebesar 223.8 didapat pada tanaman yang diiradiasi sinar gamma dosis 75 Gy. Tabel 4
Dosis Iradiasi (Gy)
Nilai rata-rata jumlah stomata, jumlah sel epidermis, indeks stomata, dan kerapatan stomata daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST Peubah Jumlah Sel Epidermis
0
239.8 ±27.8 bc
15
Jumlah Stomata
Indeks Stomata
Kerapatan Stomata (jml/mm2) 482.7±39.0 bc
94.7 ± 7.7 bc
0.3 ± 0.03
a
256.6 ± 17.4 b
108. ± 15.7 ab
0.3 ± 0.03
a
554.3 ± 79.8
a
30
284.9 ± 20.8 a
112.1 ± 8.8 a
0.3 ± 0.02
a
571.0 ± 44.9
a
45
248.1 ± 18.0 bc
111.4 ± 8.6 a
0.3 ± 0.02
a
567.6 ± 43.7
a
60
303.6 ± 35.2 a
104.5 ± 7.2 ab
0.2 ± 0.05
b
532.5 ± 87.9
ab
75
223.8 ± 2.1 c
89.0 ± 8.5 c
0.3 ± 0.02
a
453.5 ± 43.5
c
90
229.7 ± 42.6 bc
63.0 ± 19.3 d
0.2 ± 0.07
b
321.0 ± 98.4
d
105
243.2 ± 30.3 bc
0.3 ± 0.03
a
485.2 ± 45.5
bc
95.2 ± 8.9 bc
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi.
41
Tanaman yang mendapat perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 30 Gy memiliki jumlah stomata terbanyak sebesar 111.0, tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi
sinar gamma dosis 45 Gy yang menghasilkan stomata
sebanyak 111.4. Jumlah stomata paling sedikit terdapat pada tanaman yang diberi perlakuan sinar gamma dosis 90 Gy, yaitu sebanyak 63.0. Indeks stomata paling besar dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 45 Gy yaitu sebesar 0.3, tidak berbeda nyata dengan perlakuan 0 Gy, 15 Gy, 30 Gy, 75 Gy, dan 105 Gy (0.3, 0.3, 0.3, 0.3, dan 0.3). Indeks stomata terkecil terdapat pada tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis 90 Gy yaitu sebesar 0.2, tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi dosis 60 Gy yang menghasilkan indeks stomata sebesar 0.2. Kerapatan stomata paling besar dihasilkan oleh perlakuan sinar gamma dosis 30 Gy sebesar 571.0, tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 15 Gy dan 45 Gy yang berturut-turut menghasilkan kerapatan stomata sebesar 554.3 dan 567.6. Kerapatan stomata paling kecil dihasilkan oleh iradiasi sinar gamma dosis 90 Gy yaitu sebesar 321.6. Penampang paradermal daun handeuleum disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan pengamatan paradermal daun dan hasil analisis ragam terlihat bahwa terjadi perubahan anatomi daun handeuleum yang diiradiasi. Hal yang sama terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Qosim et al. (2007) dan Widiastuti (2010) terhadap manggis yang ditanam secara in vitro dan in vivo. Qosim et al. (2007) mengemukakan terdapat beberapa regeneran manggis yang memiliki kerapatan dan indeks stomata yang lebih besar bila dibandingkan dengan kontrol. Penelitian Widiastuti (2010) memaparkan bahwa iradiasi sinar gamma dosis 25 Gy menghasilkan indeks dan kerapatan stomata daun manggis paling kecil bila dibandingkan dengan kontrol. Kerapatan stomata sangat tergantung ukuran sel, jika ukuran sel penjaga kecil maka kerapatan stomata lebih banyak, begitu pula sebaliknya. Indeks stomata merupakan perbandingan jumlah stomata dengan penjumlahan jumlah sel epidermis dan jumlah stomata, dan merupakan karakter anatomi yang tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan bila dibandingkan dengan kerapatan stomata, sehingga digunakan sebagai penciri keragaman tanaman (Wilmer 1983).
42
Indeks stomata yang besar menunjukkan bahwa tanaman memiliki jumlah stomata yang banyak. Stomata berfungsi sebagai tempat pertukaran gas, tanaman dengan indeks stomata yang besar memungkinkan tingginya penyerapan gas CO2 yang mengakibatkan laju fotosintesis menjadi tinggi, sehingga akan memacu pertumbuhan tanaman handeuleum.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar 11 Perbandingan struktur anatomi daun handeuleum aksesi Bogor irisan paradermal (400x) pada berbagai dosis perlakuan: 0 Gy (kontrol) (a), 15 Gy (b), 30 Gy (c), 45 Gy (d), 60 Gy (e), 75 Gy (f), 90 Gy (g), dan 105 Gy (h). Semakin tinggi dosis perlakuan, jumlah stomata semakin sedikit. Tidak terdapatnya pola hasil pengamatan paradermal terhadap kenaikan dosis iradiasi sinar gamma dikarenakan perubahan bersifat individual meskipun diiradiasi pada dosis yang sama, sinar gamma diketahui merupakan mutagen yang bersifat acak. Meskipun begitu, terlihat ada kecenderungan bahwa sinar gamma dosis 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy menghasilkan parameter irisan paradermal (jumlah stomata, jumlah sel epidermis, indeks stomata, dan kerapatan stomata) yang lebih
43
besar dibandingkan kontrol, dan tanaman yang diiradiasi dengan dosis yang tinggi memiliki nilai yang lebih kecil. Hal yang sama ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Fauza et al. (2005), yaitu bahwa iradiasi sinar gamma dosis 1 krad justru mengakibatkan pertumbuhan tanaman manggis yang lebih baik dibandingkan tanpa iradiasi, tetapi pertumbuhan menjadi cenderung menurun ketika diiradiasi dengan dosis di atas 1 krad. Irisan Transversal Struktur daun handeuleum berdasarkan irisan transversal terdiri atas lapisan kutikula, epidermis atas, dua lapisan palisade, bunga karang, dan epidermis bawah. Lapisan kutikula melapisi seluruh permukaan atas epidermis bagian atas dan epidermis bawah. Struktur daun handeuleum termasuk tipe dorsiventral karena jaringan palisade berada di antara jaringan epidermis atas dan jaringan bunga karang (Gambar 12). (b)
(a) (c) (d) (e)
Gambar 12
Irisan transversal daun handeuleum aksesi Bogor: kutikula (a), epidermis atas (b), palisade (c), bunga karang (d), dan epidermis bawah (e).
Berdasarkan hasil pada harga Tabel 5 dapat dilihat bahwa semua peubah anatomi daun secara transversal (tebal daun, kutikula, epidermis atas, palisade, bunga karang, dan epidermis bawah) dipengaruhi secara sangat nyata oleh perlakuan iradiasi sinar gamma. Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 5, tebal daun paling tebal dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 105 Gy (313.1 µm), tidak berbeda nyata dengan perlakuan 75 Gy dan 90 Gy (306.8 µm dan 305.8µm). Tebal daun paling tipis dihasilkan dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy (199.2 µm), tidak berbeda nyata
44
dengan perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 0 Gy, 30 Gy, 45 Gy, dan 60 Gy (225.2 µm, 230.8 µm, 236.3 µm, dan 238.0 µm). Iradiasi sinar gamma dosis 90 Gy menghasilkan tebal kutikula paling tebal (20.29 nm) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan iradiasi sinar gamma 75 Gy (18.9 nm). Tebal kutikula paling tipis dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 0 Gy (5.9 nm), tidak berbeda nyata dengan perlakuan 15 Gy (6.6 nm). Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 5 terlihat bahwa tebal epidermis atas paling tebal dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 105 Gy (43.7 nm), tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 75 Gy (43.2 nm). Sedangkan tebal epidermis paling tipis dihasilkan oleh iradiasi sinar gamma dosis 0 Gy (14.8 nm). Peubah panjang palisade paling panjang dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 75 Gy (92.3 nm), tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 60 Gy dan 105 Gy (81.0 nm dan 82.6 nm). Palisade paling pendek dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy (37.5 nm), tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 0 Gy (40.3 nm) dan 30 Gy (40.3 nm). Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 5 terlihat bahwa tebal bunga karang paling tebal dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 90 Gy (63.6 nm), sedangkan tebal bunga karang paling tipis dihasilkan oleh perlakuan dosis 0 Gy (16.2 nm). Peubah tebal epidermis bawah paling tebal dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 45 Gy (37.4 nm), tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 90 Gy (36.7 nm). Tebal epidermis bawah paling tipis dihasilkan oleh perlakuan dosis 0 Gy (15.3 nm). Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa kisaran nilai pada tebal daun, tebal kutikula, tebal epidermis atas, panjang palisade, tebal bunga karang, tebal epidermis bawah, dan tebal daun daun handeuleum sangat bervariasi. Tidak terdapat pola tertentu antara peubah-peubah dengan kenaikan dosis iradiasi sinar gamma. Meskipun begitu, tanaman yang diiradiasi dengan dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy pada umumnya memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan tanaman yang diiradiasi dengan dosis 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy pada umumnya memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan kontrol.
45
Tabel 5 Nilai rata-rata tebal daun, tebal kutikula, tebal epidermis atas, panjang palisade, tebal bunga karang, dan tebal epidermis bawah daun handeuleum aksesi Bogor pada berbagai perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST Dosis Iradiasi (Gy)
Peubah
0
Tebal Daun (µm) 225.2±286.4 b
Tebal Kutikula (nm) 6.0±1.0 e
Tebal Epidermis Atas (nm) 14.8±2.3 e
Panjang Palisade (nm) 40.3±584.7 d
Tebal Bunga Karang (nm) 16.2±1.7 f
Tebal Epidermis Bawah (nm) 15.3±1.6 d
15
199.2±703.8 b
6.6±1.5 de
30.5±2.7 d
37.5±647.1 d
31.8±1.5 e
32.2±4.3 b
30
230.8±426.9 b
8.1± 1.1 d
27.7±7.2 d
40.3±644.8 d
34.4±6.3 de
31.9±4.7 b
45
236.3±262.3 b
14.2±1.7 c
38.7±3.3 b
53.5±146.0 c
38.2±5.5 cd
37.4±2.6 a
60
238.0±216.6 b
13.0±1.3 c
33.7±5.0 c
81.0±503.0 ab
35.8±5.6 cde
24.6±4.2 c
75
306.8±993.2 a
18.9±3.9 a
43.2±3.3 a
92.3± 192.5 a
54.6±7.5 b
26.7±2.8 c
90
305.8±124.8 a
20.3±2.5 a
35.8±3.6 bc
77.2±107.8 b
63.6±10.5 a
36.7±3.7 a
105
313.1±226.4 a
16.6±4.3 b
43.7±6.8 a
82.6± 539.6 ab
40.0±8.8 c
26.0±4.2 c
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi.
45
46
46
Tingginya nilai-nilai peubah anatomi daun yang diiradiasi sinar gamma dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy yang menyebabkan tekstur daun-daun tanaman ini menjadi kaku, keras dan mudah patah. Iradiasi menggunakan sinar gamma terbukti dapat menimbulkan perubahan baik pada tingkat jaringan maupun pada tingkat sel (Lestari 2005). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Dickinson (2000) bahwa radiasi ionisasi dapat menyebabkan adanya perubahan pada sel palisade, sel bunga karang, atau peningkatan atau penurunan jaringan berkas pengangkut. Adanya perubahan anatomi tersebut pada umumnya diikuti oleh perubahan aktivitas fisiologi. Menurut Taiz dan Zeiger (2002) sel palisade dan sel bunga karang memiliki peran yang kontras, yaitu sel palisade dapat menyebabkan cahaya lewat dan sel bunga karang menangkap cahaya sebanyak mungkin, hal ini yang menyebabkan absorpsi cahaya yang lebih seragam di dalam daun. Salisbury dan Ross (1995) memaparkan bahwa dalam sel-sel mesofil (sel palisade dan sel bunga karang) terdapat organel sel yang berperan dalam melakukan proses fotosintesis yang disebut kloroplas. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Fahn (1991), yaitu bahwa parenkim palisade banyak mengandung kloroplas, sehingga dapat memanfaatkan CO2 secara maksimum dan menjadikan laju fotosintesis sangat efisien. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap penampang transversal daun handeuleum (Gambar 13) terlihat bahwa klorofil dan antosianin pada umumnya terdapat pada sel palisade dan sedikit pada sel bunga karang, ditandai dengan sel yang berwarna hijau dan merah. Akan tetapi pada tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy kandungan klorofil dan antosianin semakin sedikit. Terlihat pada penampang transversal daun-daun tersebut memiliki sel yang berwarna yang lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan hasil analisis laboratorium terhadap kandungan-kandungan tersebut di atas. Meningkatnya nilai panjang palisade dan tebal bunga karang pada tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis tinggi tidak diikuti dengan meningkatnya kandungan klorofil dan antosianin yang terkandung di dalamnya. Diduga pada tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy, kandungan klorofil dan antosianinnya mengalami degradasi.
47
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
(g)
(f)
(h)
Gambar 13 Perbandingan struktur anatomi irisan transversal daun handeuleum aksesi Bogor: 0 Gy (kontrol) (a), 15 Gy (b), 30 Gy (c), 45 Gy (d), 60 Gy (e), 75 Gy (f), 90 Gy (g), dan 105 Gy (h). Semakin tinggi dosis iradiasi, kandungan antosianin semakin berkurang yang ditunjukkan oleh warna merah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wi et al. (2007), yang mengemukakan bahwa berdasarkan observasi TEM kloroplas merupakan organel yang sangat sensitif terhadap iradiasi dengan sinar gamma tingkat tinggi bila dibandingkan dengan organel lain. Adapun dosis iradiasi yang rendah tidak menyebabkan perubahan pada ultrastruktur kloroplas. Korelasi Antara Karakter Pertumbuhan, Morfologi, dan Anatomi Daun Karakter pertumbuhan, morfologi dan anatomi daun pada tanaman saling mempengaruhi satu sama lain dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002), korelasi merupakan gambaran keeratan hubungan antara satu karakter dengan karakter lainnya, bila nilai korelasi antara dua peubah mendekati 1 atau -1 menunjukkan hubungan kedua peubah sangat erat.
48
Analisis korelasi antara peubah-peubah pengamatan pertumbuhan, morfologi, anatomi daun, dan pigmen pada penelitian ini disajikan pada Tabel 6. Terlihat bahwa jumlah daun berkorelasi positif sangat nyata dengan tinggi tanaman (98%) dan positif nyata dengan panjang daun, lebar daun, antosianin berturut-turut sebesar 76%, 78%, dan 79%. Antosianin berkorelasi positif sangat nyata dengan indeks warna hijau relatif daun dan klorofil yaitu sebesar 92% dan 93%, sedangkan di antara keduanya terdapat korelasi positif sangat nyata sebesar 98%. Karotenoid berkorelasi positif sangat nyata dengan klorofil total yaitu sebesar 99%. Palisade berkorelasi positif sangat nyata dengan bunga karang yaitu sebesar 81%. Korelasi positif antara jumlah daun dan tinggi tanaman dapat diartikan bahwa semakin tinggi tanaman, maka jumlah daun yang dihasilkan semakin banyak. Jumlah daun yang banyak sejalan dengan peningkatan panjang dan lebar daun, yang berimplikasi pada semakin banyaknya jumlah kandungan antosianin. Menurut Buchanan (2000) antosianin ditimbun di dalam vakuola dari sel parenkim dewasa. Distribusinya paling luas pada daun, dapat ditemukan pada sel epidermis atau epidermis bawah, atau sel-sel mesofil (Woodall & Stewart 1998). Meningkatnya kandungan antosianin pada penelititan ini diiringi dengan meningkatnya indeks warna hijau relatif daun dan klorofil total. Hal ini tidak sesuai, karena produksi antosianin sebenarnya bertolak belakang dengan klorofil dimana faktor yang mempengaruhinya adalah suhu, dimana pada suhu yang tinggi klorofil akan lebih banyak diproduksi dibandingkan dengan antosianin. Antosianin disintesa melalui phenylpropanoid pathway sedangkan klorofil dan karotenoid dibentuk pada terpenoid pathway. Diduga iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan terjadinya aktivasi maupun inaktivasi gen-gen yang mengendalikan lintasan pembentukannya sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan kandungan pada pigmen-pigmen tersebut. Indeks warna hijau relatif daun berkorelasi positif sangat nyata dengan klorofil sebesar 98%, yang berarti hubungan keduanya sangat erat. Rostini et al. (2000) dan Tyas (2006) mengemukakan bahwa indeks warna hijau relatif daun dapat dimanfaatkan untuk menduga kandungan klorofil.
49
Tabel 6 Korelasi antar karakter pertumbuhan, morfologi, anatomi dan pigmen pada tanaman handeuleum aksesi Bogor Kutikula
Epidermis Atas
Palisade
Bunga Karang
Epidermis Bawah
Kerapatan Stomata
Indeks Stomata
Tinggi Tanaman
Jumlah Daun
Panjang Daun
Lebar Daun
Epidermis Atas
0.90**
Palisade
0.91**
0.75
Bunga Karang
0.92**
0.94**
0.81*
Epidermis Bwh
0.16
0.51
-0.13
0.39
Kerapatan Stomata
-0.49
-0.18
-0.62
-0.32
-0.67
Indeks Stomata
0.02
0.20
-0.34
-0.09
-0.59
0.22
Tinggi Tanaman
-0.93**
-0.84*
-0.94**
-0.84*
-0.10
0.36
0.26
Jumlah Daun
-0.93**
-0.90**
-0.91**
-0.86*
-0.24
0.26
0.15
0.98**
Pjg Daun
-0.64
-0.89**
-0.47
-0.78*
-0.79*
-0.27
-0.25
0.66
0.76*
Lebar Daun Indeks warna hijau relatif
-0.64
-0.88**
-0.49
-0.77*
-0.78*
-0.29
-0.18
0.68
0.78*
0.99**
-0.70
-0.57
-0.91**
-0.67
0.29
0.65
0.59
0.79*
0.73
0.32
0.33
Indeks warna hijau relatif Daun
Klorofil Total
-0.71
-0.59
-0.95**
-0.63
0.20
0.42
0.64
0.85
0.80
0.40
0.42
0.98**
Antosianin
-0.78*
-0.56
-0.96**
-0.62
0.36
0.70
0.47
0.85*
0.79*
0.27
0.29
0.92**
Karotenoid
0.61
0.43
0.59
0.65
-0.04
-0.64
0.11
-0.41
-0.39
-0.18
-0.19
-0.50
-0.44
-0.92**
-0.92**
-0.59
-0.59
-0.75*
-0.44
-0.92**
-0.93**
-0.64
-0.64
-0.70*
Kutikula
Klorofil Total
Antosianin
Karotenoid
0.93** 0.99**
-0.51
-0.71
-0.78*
0.60
49
50
Klorofil dan karotenoid berkorelasi positif sangat nyata sebesar 99%, hal ini karotenoid diproduksi seiring dengan produksi klorofil. Klorofil dan karotenoid sama-sama dibentuk melalui terpen pathway, diduga karena pigmenpigmen ini memiliki prekursor yang sama maka peningkatan kadungan klorofil dapat meningkatkan kandungan karotenoid.
Solar Energy CO2 C3 & C4 photosynthesis with Calvin
Carbohydrates
Glycolysis
Pentose phosphate pathway
Pyruvic acid
DOP/MEP pathway Mevalonic acid
Acetyl CoA Erythrose 4-phosphate Shicimic acid Aromatic amino acid
Tricarboxylic acid cycle
Malonic acid
Aliphatic amino acid
Polyketides
Nitrogencontaining secondary product
S-adenosyl methionine
Tetrapyrrol
Anthocyanin
Gambar 14
Phenolic compounds Flavonoid
Lignin
• Monoterpens • Sesquiterpens
Chlorophyll Phenylpropanoids pathway
Terpenoids pathway
• Diterpens • Triterpens
Steroids Tannins
• Tetraterpens (β-carotene) • Polyterpens
Ilustrasi lintasan metabolik primer pada tanaman (dimodifikasi) menurut Kaufman et al. (1999).
51
Jumlah daun juga berkorelasi negatif sangat nyata dengan kutikula (-93%), epidermis atas (-90%), palisade (-91%) dan berkorelasi negatif nyata dengan bunga karang (-86%). Korelasi negatif sangat nyata juga terjadi antara palisade dengan indeks hijau relatif daun (-0.91%), klorofil total (-0.95%), dan dengan antosianin (-96%). Hal ini terjadi dikarenakan sampel yang diambil merupakan sampel per satuan luas bukan sampel per volume, jadi belum mewakili keadaan sebenarnya dan menyebabkan terjadinya korelasi negatif. Adanya korelasi antara kareakter pertumbuhan, morfologi, anatomi daun, dan pigmen mengindikasikan karakter-karakter tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Fitokimia Berdasarkan hasil uji fitokimia pada tanaman yang diiradiasi sinar gamma yang disajikan pada Tabel 7, menunjukkan terjadinya perubahan kandungan fitokimia antara tanaman yang diiradiasi dibandingkan dengan tanaman control (0 Gy). Tabel 7 Dosis Iradiasi (Gy)
Kandungan fitokimia daun handeuleum aksesi Bogor yang diiradiasi dengan sinar gamma pada beberapa dosis pada 10 MST Alkaloid
Saponin
Tanin
Fenolik
Trit
Steroid
Gli
0
++++
+++
+
-
-
++
+++
15
++
++++
+
-
+
+
++
30
++++
++++
+
-
-
+
++
45
++++
++++
+
-
-
++
++
Keterangan: Trit: triterpenoid, Gli: glikosida.
Analisis fitokimia pada penelitian ini hanya dilakukan pada beberapa perlakuan saja, yaitu perlakuan kontrol (0 Gy), 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy. Hal ini dikarenakan tanaman yang diiradiasi sinar gamma dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy tidak memiliki jumlah daun yang mencukupi untuk dijadikan bahan sampel analisis.
52
Perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy meningkatkan kandungan saponin dibandingkan tanaman kontrol, yaitu dari 3+ menjadi 4+. Akan tetapi kandungan alkaloid (3+) sedikit menurun bila dibandingkan dengan kontrol (4+). Begitu pula dengan kandungan steroid yang memiliki nilai 2+, sedangkan pada tanaman kontrol kandungan steroidnya sebesar 3+. Glukosida pun mengalami penurunan dimana perlakuan menghasilkan kandungan glukosida 2+, sementara pada tanaman kontrol glukosidanya sebesar 3+. Perlakuan iradiasi sinar gamma 30 Gy meningkatkan kandungan saponin, dari yang awalnya 3+ pada tanaman kontrol, menjadi 4+ setelah tanaman diiradiasi. Sedangkan alkaloid dan tanin tidak mengalami perubahan, masingmasing secara berturut-turut memiliki nilai 4+ dan 3+. Perlakuan ini kandungan steroid dan glikosida mengalami penurunan dibandingkan dengan tanaman kontrol. Steroid dan glikosida awalnya memiliki nilai 2+ dan 3+, pada tanaman yang diiradiasi kandungannya berturut-turut menjadi 2+ dan 2+. Kandungan tanin tidak mengalami perubahan, tetap 1+ baik pada tanaman kontrol maupun pada tanaman yang diberi perlakuan. Perlakuan iradiasi 45 Gy memiliki pola yang hampir sama dengan perlakuan 30 Gy dalam menghasilkan senyawa fitokimia bila dibandingkan dengan tanaman kontrol, hanya saja perlakuan ini menghasilkan kandungan steroid yang lebih kecil yaitu sebesar 1+, sedangkan tanaman kontrol memiliki kandungan steroid sebesar 2+. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kandungan senyawa fitokimia pada tanaman yang diiradiasi ada yang mengalami peningkatan dibandingkan tanaman kontrol, ada yang tetap sama, dan ada pula yang mengalami penurunan. Bahkan kandungan fitokimia pada tanaman kontrol yang awalnya tidak ada, menjadi ada pada tanaman yang diiradiasi. Meskipun demikian, pada penelitian yang dilakukan oleh Khumaida et al. (2008), aksesi Bogor memiliki kandungan fitokimia yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan fitokimia pada tanaman kontrol pada penelitian ini (alkaloid=4+, saponin=4+, tanin=4+, fenolik= -, flavonoid=1+, triterpenoid=1+, steroid=4+, dan glikosida=4+). Perbedaan kandungan fitokimia pada aksesi yang sama diduga karena perbedaan lokasi penanaman tanaman, yang berakibat perbedaan
53
ketinggian lahan, suhu, intensitas cahaya matahari, curah hujan dan lain-lain. Fitokimia pembentukannya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas. Chawla et al. (2007) melaporkan untuk pertama kalinya bahwa iradiasi sinar gamma pada dosis 40 kGy dapat digunakan untuk menghasilkan antioksidan baru dari kombinasi gula dan asam amino. Hal yang sama ditemukan pada penelitian Saepudin (2003), bahwa perlakuan iradiasi sinar gamma 1.5 krad pada kalus kedelai menghasilkan senyawa baru (xanthatin) yang tidak terdapat pada perlakuan lain (0 krad, 0.5 krad, dan 1 krad). Penelitian Harrison dan Were (2007) menemukan total fenolik dan aktivitas antioksidan pada kacang almond mengalami peningkatan pada iradiasi sinar gamma 0 - 16 kGy. Bervariasinya tingkat perubahan kandungan fitokimia pada tanaman yang diiradiasi juga terdapat pada penelitian Koseki et al. (2002) yaitu pada kemangi (Ocimum basilicum Linne). Dijelaskan bahwa iradiasi gamma di atas 30 kGy (interval 10) tidak menyebabkan perubahan yang signifikan pada flavonoids, tanin, dan kandungan fenolik, sementara kandungan β-karoten menurun secara perlahan. Lee et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan fenolik produk teh hijau dan ekstrak daun teh tidak mengalami perubahan yang signifikan pada kandungan fenoliknya. Iradiasi sinar gamma dapat mengakibatkan perubahan pada kandungan fitokimia suatu tanaman, hal ini kemungkinan dikarenakan terjadi perubahan susunan molekul DNA yang menyandikan atau memberi sinyal yang berhubungan dengan produksi suatu metabolit sekunder, sehingga dapat meningkatkan, menurunkan, mempertahankan, bahkan memunculkan produk metabolit sekunder baru. Penelitian iradiasi dengan UV yang dilakukan oleh Nigro et al. (2000) menyatakan bahwa aktivitas enzim mungkin dapat meningkat atau menurun, tergantung dosis iradiasi yang digunakan. Nigro et al. (2000) lebih lanjut melaporkan bahwa aktivitas Phenylalanine ammonia-lyase meningkat pada dosis rendah UVC (0.50 kJ/m2), sementara dosis yang tinggi (2.50 kJ/m2) menyebabkan level aktivitas yang rendah.
54
Isozim Terdapat 5 (lima) isozim yang diujikan pada penelitian ini, yaitu: peroksidase (PER), esterase (EST), alkohol dehidrogenase (ADH), asam fosfatase (ACP), dan malat dehidrogenase (MDH). Kelima enzim tersebut tersebut memberikan polimorfisme pada pola pitanya. Menurut Wendel dan Weeden (1989), pola pita polimorfik dapat diinterpretasikan sebagai susunan genetik dari individu, karena enzim adalah produk langsung dari gen. Karenanya setiap tanaman tidak akan cocok pada suatu enzim, atau bisa dikatakan akan terjadi keragaman polimerfisme dari setiap enzim yang diuji. Hasil analisis pola pita isozim menggunakan lima macam enzim menunjukkan adanya jumlah variasi pola pita yang terbentuk pada setiap enzim berbeda, kecuali untuk enzim alkohol dehidrogenase (ADH), dan enzim malat dehidrogenase (MDH) memiliki jumlah pola pita yang sama, yaitu satu variasi pola pita. Analisis hanya dilakukan pada beberapa dosis iradiasi (0 Gy, 15 Gy, 30 Gy, 45 Gy, dan 60 Gy) dikarenakan pada perlakuan dengan dosis 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy tidak tumbuh daun baru atau daunnya tidak membesar sehingga tidak cukup untuk dijadikan sampel analisis. Enzim Peroksidase (PER) Hasil analisis isozim dengan enzim peroksidase (PER) menunjukkan bahwa terdapat tiga variasi pola pita pada tanaman yang dianalisis. Hasil distribusi pita isozim ini menuju ke arah kutub negatif (katoda) (Gambar 15). 0 0.1
0.4 0.5
Rf (-)
0 Gy
15 Gy
30 Gy
45 Gy
60 Gy
Gambar 15 Interpretasi variasi pola pita isozim peroksidase (PER).
55
Adanya variasi pada pola pita PER menunjukkan terjadinya perubahan pola enzimatik antara tanaman yang diiradiasi dibandingkan dengan tanaman kontrolnya, sehingga bisa dikatakan telah terjadi keragaman pada tanaman yang diberi perlakuan dengan sinar gamma. Pola pita enzim ini dapat dilihat pada Gambar 15, dimana kontrol (0 Gy) dan perlakuan 15 Gy memiliki satu alel, perlakuan 30 Gy terdapat dua alel, sedangkan perlakuan 45 Gy dan 60 Gy masing-masing memiliki tiga alel. Menurut Brewer dan Sing (1970), enzim peroksidase banyak digunakan dalam studi isozim dikarenakan enzim ini diketahui cukup aktif pada banyak jaringan tanaman dan cukup beragam. Enzim ini cukup mudah diuji karena aktivitasnya yang tinggi. Enzim Esterase (EST) Seluruh pita isozim esterase (EST) pada penelitian ini bermigrasi ke kutub positif (Gambar 16), dan menghasilkan tiga variasi pola pita. Hal ini menandakan bahwa enzim EST dapat mengenali perubahan protein yang terjadi pada tanaman yang diiradiasi dengan sinar gamma. Rf (+)
0.5 0.43
0.14 0 0 Gy
15 Gy
30 Gy
45 Gy
60 Gy
Gambar 16 Interpretasi variasi pola pita isozim esterase (EST). Terlihat bahwa pada perlakuan kontrol (0 Gy) terdapat satu alel, sedangkan pada perlakuan dosis iradiasi 15 Gy terdapat dua alel. Terakhir pada perlakuan dosis iradiasi 30 Gy, 45 Gy, dan 60 Gy masing-masing terdapat tiga alel.
56
Enzim Alkohol Dehidrogenase (ADH) Enzim alkohol dehidrogenase (ADH) tidak dapat membedakan antar populasi tanaman yang diberi perlakuan iradiasi dengan sinar gamma, semua perlakuan memiliki masing-masing satu alel (Gambar 17).
Rf (+)
0.14 0 0 Gy
15 Gy
30 Gy
45 Gy
60 Gy
Gambar 17 Interpretasi variasi pola pita isozim alkohol dehidrogenase (ADH) . Tidak adanya variasi pada pola pita ADH menunjukkan bahwa enzim ADH tidak dapat mengenali adanya perubahan genetik pada tanaman handeuleum yang diiradiasi. Sehingga bisa dikatakan tidak terjadi keragaman pada tanaman yang diberi perlakuan dengan sinar gamma. Enzim Asam Fosfatase (ACP) Seluruh pita isozim enzim ACP pada penelitian ini bermigrasi ke kutub positif (Gambar 18) menghasilkan dua variasi pola pita. Rf (+) 0.57 0.4
0 0 Gy
15 Gy
30 Gy
45 Gy
60 Gy
Gambar 18 Interpretasi pola pita isozim asam fosfatase (ACP).
57
Tanaman yang diiradiasi (15 Gy, 30 Gy, 45 Gy, dan 60 Gy) masingmasing memiliki dua alel, sedangkan tanaman kontrolnya memiliki hanya satu alel. Hal ini menandakan bahwa pada tanaman yang diiradiasi mengalami perubahan genetik yang berbeda dengan kontrolnya. Enzim Malat Dehidrogenase (MDH) Hasil analisis isozim dengan enzim malat dehidrogenase (MDH) menunjukkan bahwa tidak terdapat variasi pola pita pada tanaman yang dianalisis (Gambar 19). Tidak adanya variasi pada pola pita MDH menunjukkan bahwa enzim MDH tidak dapat mendeteksi adanya keragaman antara tanaman yang diiradiasi dibandingkan dengan tanaman kontrolnya. Rf (+)
0.07
0 0 Gy
15 Gy
30 Gy
45 Gy
60 Gy
Gambar 19 Interpretasi variasi pola pita isozim malat dehidrogenase (MDH). Menurut Hartana (2003), isozim merupakan produk gen, sehingga hasil analisisnya dapat menjadi cerminan aktivitas gen secara langsung, yaitu bila ada perubahan dalam sekuen DNA yang mengakibatkan perubahan asam aminonya. Menurut Wi et al. (2007) peroksida di antara enzim antioksidan memerankan peranan penting dalam mendetoksifikasi H2O2 dalam sel, karena dapat melindungi komponen seluler seperti protein dan lemak terhadap oksidasi. Peroksida juga dibutuhkan terutama untuk banyak fungsi seluler seperti lignifikasi, suberisasi, pemanjangan sel, pengaturan biosintesis dinding sel dan plasticity. Oleh karena itu, sangat penting untuk menganalisis perubahan pada disitribusi spatial dan jumlah peroksida setelah iradiasi sinar gamma.
58
Lebih jauh Wi et al. (2007) mengatakan bahwa iradiasi sinar gamma dapat meningkatkan aktivitas peroksida, terutama pada sel ujung sel lamela tengah sel parenkim. Induksi peroksida oleh iradiasi sinar gamma dapat menjadi salah satu sistem pertahanan melawan signal seluler yang dimediasi oleh radikal bebas ROS. Buchanan et al. (2000) menjelaskan bahwa peroksida berfungsi mengkatalisis oksidasi reduksi hidrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan oksigen. Hidrogen peroksida merupakan senyawa radikal, yang akan merusak membran bila tidak diuraikan menjadi air dan oksigen. Berdasarkan hasil analisis isozim terlihat bahwa semakin tinggi dosis iradiasi maka akan semakin tinggi pula aktifitas enzim peroksidanya, hal ini berarti bahwa memang tanaman memiliki sistem perlindungan enzimatik terhadap kerusakan oksidasi yang disebabkan oleh hidrogen peroksida. Keragaman Fenotipik Handeuleum Akibat Dosis Iradiasi Sinar Gamma Menurut Baihaki (1999) variasi dari suatu populasi dapat dilihat dari nilai rata-rata, standar deviasi, dan ragam. Sinar gamma merupakan mutagen fisika yang dapat meningkatkan keragaman dari populasi awal. Menurut Anderson dan Brancot (1952) dalam Darajat (1987), keragaman fenotipik dapat dianalisis dengan membandingkan ragam dari suatu variabel dengan standar deviasi Peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, indeks relatif warna hijau daun, jumlah stomata, kerapatan stomata, tebal daun, panjang palisade, dan tebal bunga karang pada Tabel 8 menunjukkan keragaman fenotipik yang lebih besar daripada dua kali standar deviasi untuk dosis iradiasi, sehingga dikatakan memiliki keragaman fenotipik yang luas. Kecuali peubah indeks stomata memiliki keragaman fenotipik yang sempit. Peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, lebar daun, pada perlakuan kontrolnya (0 Gy) juga memiliki keragaman fenotipik yang luas (nilainya paling besar di antara perlakuan lain). Hal ini dikarenakan kondisi stek pucuk handeuleum waktu awal tidak seragam, sehingga tingkat pembelahan dari sel handeuleum tersebut juga berbeda.
59
Tabel 8 Keragaman fenotipik handeuleum aksesi Bogor akibat dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST Dosis Iradiasi (Gy) 0 15 30 45 60 75 90 105
σ2f
2*(Sd σ2f)
7062.042 6307.872 4173.708 238.005 268.488 266.125 337.335 201.771
168.072 158.844 129.208 30.855 32.771 32.627 36.733 28.409
Kriteria Keragaman Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Jumlah Daun (helai)
0 15 30 45 60 75 90 105
11134.501 7597.333 4955.000 1498.694 40.556 19.977 13.004 11.491
211.040 174.325 140.784 77.426 12.737 8.939 7.212 6.780
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Panjang Daun (cm)
0 15 30 45 60 75 90 105
413.715 161.887 183.510 131.974 156.275 146.039 155.367 136.689
40.680 25.447 27.093 22.976 25.002 24.169 24.929 23.383
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Lebar Daun (cm)
0 15 30 45 60 75 90 105
88.292 42.662 44.279 31.971 36.875 37.921 39.473 36.470
18.793 13.063 13.308 11.309 12.145 12.316 12.566 12.078
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Indeks Warna Hijau Relatif Daun
0 15 30 45 60 75 90 105
2895.753 2887.425 2817.405 3656.103 1136.650 949.584 997.517 968.438
107.624 107.470 106.158 120.931 67.428 61.631 63.167 62.239
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Jumlah Stomata (buah)
0 15 30 45 60 75 90 105
9435.529 10911.079 12230.554 11389.861 12595.923 7994.000 4342.000 9146.966
194.273 208.912 221.184 213.447 224.463 178.818 131.788 191.280
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Peubah Tinggi Tanaman (cm)
60
Tabel 8 Keragaman fenotipik handeuleum akibat dosis iradiasi sinar gamma pada 10 MST (Lanjutan) Indeks Stomata
0 15 30 45 60 75 90 105
0.082 0.090 0.080 0.098 0.053 0.084 0.052 0.081
0.572 0.599 0.565 0.625 0.462 0.580 0.455 0.569
Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit Sempit
Kerapatan Stomata
0 15 30 45 60 75 90 105
244989.188 318324.248 317560.747 319532.667 327047.383 207560.550 112738.042 237496.786
989.928 1128.405 1127.051 1130.544 1143.761 911.176 671.530 974.673
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Tebal Daun (μm)
0 15 30 45 60 75 90 105
51559090151.572 39711758752.352 55068319502.024 56539618385.445 57136797005.400 94200238370.160 93686861571.985 98542914013.515
454132.536 398611.383 469332.801 475561.220 478066.092 613841.147 612166.192 627830.914
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Panjang Palisade (nm)
0 15 30 45 60 75 90 105
1657799783.183 1449050726.567 1663944230.076 3077060651.588 6593269334.693 8524296094.366 5957569206.703 6830759431.330
81432.175 76132.798 81582.945 110942.519 162397.898 184654.229 154370.581 165296.817
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Tebal Bunga Karang (nm)
0 15 30 45 60 75 90 105
262898623.159 840263855.952 1037132731.826 1326342516.371 1402308388.538 2026089332.138 3936173071.835 1417013844.752
32428.298 57974.610 64409.090 72837.971 74894.817 110201.440 125477.856 75286.489
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Iradiasi sinar gamma menghasilkan nilai keragaman fenotipik pada peubah indeks relatif warna hijau daun, dimana perlakuan dosis 45 Gy menghasilkan keragaman yang paling besar. Peubah jumlah stomata dan kerapatan stomata memiliki keragaman fenotipik paling tinggi pada perlakuan dosis 60 Gy. Peubah
61
tebal daun, panjang palisade, dan tebal bunga karang, memiliki keragaman paling tinggi pada perlakuan 105, 75 dan 90 Gy berturut-turut.
(a)
(b)
(d)
(f)
(e)
(h)
(i)
(k)
(c)
(g)
(j)
(m)
Gambar 20 Keragaan variasi morfologi handeuluem aksesi Bogor pada berbagai perlakuan iradiasi sinar gamma: 15 Gy (a), 30 Gy (b), 45 Gy (c); Keragaan tunas pada dosis 0(l) Gy (d), 45 Gy (e), 60 Gy (f); 75 Gy (g); Keragaan warna daun yang umumnya muncul pada penelitian ini: ungu (skoring 5) (h), ungu kehijauan (skoring 3) (i), hijau (skoring 1) (j); Keragaan warna batang yang umumnya muncul pada penelitian ini: ungu (skoring 5) (k), ungu kehijauan (skoring 3) (l), hijau (skoring 1) (m).
62
Perubahan bentuk daun, bentuk tunas, warna daun, dan warna batang, akibat iradiasi sinar gamma dapat terlihat pada Gambar 16. Terlihat bahwa Penyimpangan morfologi yang terjadi tidak mewakili satu perlakuan tertentu, hanya terdapat beberapa tanaman dalam satu perlakuan yang mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan sinar gamma bersifat individual. Hasil pada Tabel 9 menunjukkan bahwa pada penelitian ini iradiasi sinar gamma mengakibatkan perubahan pada morfologi tunas, tekstur daun, warna daun dan batang. Perubahan yang terjadi terjadi secara individual pada tiap dosis perlakuan, variasi morfologi mutan putatif yang terbentuk paling banyak terdapat pada dosis 45 Gy, terdapat 9 (sembilan) variasi mutan dengan 10 mutan putatif yang terbentuk. Diikuti oleh perlakuan dosis 30 Gy, dengan 8 (delapan) variasi mutan dan 8 (delapan) mutan putatif, dan. Variasi morfologi pada dosis tersebut cukup banyak bila dibandingkan dengan perlakuan iradiasi dosis 15 Gy (dua variasi dengan tiga mutan putatif), 60 Gy (tiga variasi dengan delapan mutan putatif ), 75 Gy (satu variasi dan 10 mutan putatif), 90 Gy (satu variasi dengan 10 mutan putatif), dan 105 Gy (tiga variasi dengan 10 mutan putatif). Tabel 9 Keragaman mutan putatif handeuleum hasil perlakuan dengan iradiasi sinar gamma pada 3 BST No.
Asal-usul tanaman
1.
Tanaman kontrol
2.
Diiradiasi dosis 15 Gy (15.2, 15.6)
3. 4. 5.
Diiradiasi dosis 15 Gy (15.8) Diiradiasi dosis 30 Gy (30.1) Diiradiasi dosis 30 Gy (30.6)
6.
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.7)
7.
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.9)
8.
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.10)
9.
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.11.1)
10.
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.11)
Ciri khusus Tunas normal, daun panjang dan lebar, warna daun ungu, tekstur daun lembut terkulai, warna batang ungu, Tunas berbentuk lancip, terdapat daun ketiak yang abnormal. Daun kedua dari atas asimetris. Tunas daun berbentuk lancip, tidak simetris. Tunas ketiak abnormal (warna ungu tua bercak hijau, bentuk membulat, tidak asimetris, buku batang pendek) Tunas daun asimetris, bertumpuk, buku batang pendek, warna daun ketiak ungu belang hijau. Daun pada buku ke-2 dan ke-3 berbentuk lancip dan berwarna ungu bercak hijau. Daun tunas asimetris, buku ke-1 dan ke-2 dari atas pendek dengan daun yang asimetris. Tunas daun abnormal (terbentuk cabang, bentuk daun asimetris, buku pendek, warna daun ungu bercak hijau), warna daun hijau bentuknya lancip. Tunas abnormal (bentuk daun tidak asimetris, ruas batang pendek), terbentuk daun ketiak yang abnormal, daun baru lebih lancip dgn pinggiran bergerigi. Warna daun ungu berbercak hijau.
63
Tabel 9 Keragaman regeneran mutan putatif handeuleum hasil dengan iradiasi sinar gamma pada 3 BST (Lanjutan) 11.
Tunas abnormal (bentuk daun tidak simetris, buku batang pendek, warna ungu agak hijau). 12. Diiradiasi dosis 45 Gy (45.1) Daun ketiak berbentuk abnormal. 13. Diiradiasi dosis 45 Gy (45.3) Tunas baru berbentuk lacip. 14. Diiradiasi dosis 45 Gy (45.4) Buku batang di bagian tengah ada yang jaraknya pendek dengan bentuk daun asimetris, warna daun ungu kehijauan. 15. Diiradiasi dosis 45 Gy (45.6) Daun pada buku ke-3 dari atas keriting. 16. Diiradiasi dosis 45 Gy (45.7, 45.8) Tunas abnormal (pertumbuhan terhambat, helai daun pucuk sudah terbuka), warna daun hijau keunguan, tekstur daun kaku. 17. Diiradiasi dosis 45 Gy (45.9) Tunas abnormal (berbentuk bulat, sudah terbuka), daun berwarna hijau keunguan, tekstur kaku. 18. Diiradiasi dosis 45 Gy (45.10) Tunas abnormal (bentuk asimetris, bertumpuk tidak beraturan dengan jumlah daun yg banyak, buku sangat pendek). 19. Diiradiasi dosis 45 Gy (45.11) Tunas abnormal (bentuk daun asimetris, buku batang pendek), warna daun ungu bercak hijau, tekstur daun kaku. 20. Diiradiasi dosis 45 Gy (45.12) Buku batang pendek, warna daun hijau. 21. Diiradiasi dosis 60 Gy (60.2) Tunas abnormal (terdapat 3 daun tunas, pertumbuhan terhambat, buku tunas pendek), warna daun ungu kehijauan, tekstur daun kaku, warna ruas batang ungu, warna buku batang hijau. 22. Diiradiasi dosis 60 Gy (60.1, 60.3, Tunas abnormal (sudah terbuka, pertumbuhan 60.4, 60.6, 60.8, 60.11) terhambat), warna daun ungu kehijauan, tekstur daun kaku, warna ruas batang ungu, warna buku batang hijau. 23. Diiradiasi dosis 60 Gy (60.7) Tunas abnormal (bentuk daun asimetris dengan sisi bergerigi, warna hijau tua berbercak ungu), warna daun ungu kehijauan, tekstur daun kaku, warna ruas batang ungu, warna buku batang hijau. 24. Diiradiasi dosis 75 Gy (75.1, 75.2, Tunas abnormal (pertumbuhan terhambat), warna 75.3, 75.4, 75.5, 75.6, 75.7, 75.8, daun ungu kehijauan, tekstur daun kaku, warna 75.9, 75.10). ruas batang ungu, warna buku batang hijau. 25. Diiradiasi dosis 90 Gy (90.1, 90.2, Tunas abnormal (pertumbuhan terhambat), warna 90.3, 90.4, 90.6, 90.7, 90.8, 90.9, daun ungu kehijaun,tekstur daun kaku, warna ruas 90.10, 90.11). batang ungu, warna buku batang hijau. 26. Diiradiasi dosis 105 Gy (105.4, Tidak terbentuk tunas baru, warna daun hijau, 105.5). tekstur daun kaku, warna ruas batang ungu kehijauan, warna buku batang hijau. 27. Diiradiasi dosis 105 Gy (105.10) Tunas abnormal (pertumbuhan terhambat, helai daun pucuk sudah terbuka) warna daun hijau keunguan, tekstur daun kaku, warna ruas batang ungu, warna buku batang hijau. 28. Diiradiasi dosis 105 Gy (105.1, Tunas pertumbuhannya terhambat, warna daun 105.2, 105.3, 105.6, 105.7, 105.8, hijau, tekstur kaku, warna ruas batang ungu, 105.9, 105.11). warna buku batang hijau. Keterangan: angka dalam kurung merupakan perlakuan dosis iradiasi dan ulangan
Diiradiasi dosis 30 Gy (30.12)
perlakuan
64
Meskipun semua populasi tanaman pada dosis 60 Gy, 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy semuanya mengalami perubahan yaitu pertumbuhan yang terhambat, akan tetapi hanya dihasilkan satu perubahan bentuk tanaman. Penelitian yang dilakukan oleh Wongpiyasatid et al. (2007) pada tanaman saintpaulia menyebutkan bahwa iradiasi menyebabkan perubahan pada karakter warna daun, bentuk daun, warna bunga, dan lebar kanopi pada tanaman. Hasil yang sama diperoleh pada kalus nenas in vitro yang diberi perlakuan sinar gamma dimana populasi tanaman yang diberi perlakuan sinar gamma dosis 15 Gy, 25 Gy, dan
35 Gy mengalami perubahan morfologi tunas dan daun (Suminar 2010).
Iradiasi sinar gamma juga dapat berpengaruh terhadap pembentukan tunas adventif, perubahan morfologi, serta meningkatkan keragaman fenotipik pada planlet manggis (Qosim et al. 2007). Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh iradiasi tergantung pada spesies, morfologi, dan fisiologi tanaman, ukuran,dan komposisi genom. Tanaman berkayu dikenal lebih sedikit mengalami kerusakan akibat iradiasi bila dibandingkan dengan tanaman herba (Kovalchuk et al. 2007). Keragaman populasi tanaman dapat ditingkatkan dengan induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma, seperti yang dilakukan oleh Badignnavar dan Murty (2007) pada tanaman kacang tanah. Menurut Sleeper dan Poehlman (2006) mutasi adalah perubahan genetik pada tingkat DNA (gen), kromosom, dan genom. Hal ini lah yang dapat menyebabkan terjadinya keragaman genetik, karena sinar gamma dapat merubah susunan DNA. Simpulan 1.
Iradiasi sinar gamma mempengaruhi semua peubah pertumbuhan, morfologi, dan anatomi daun hendeuleum, serta mempengaruhi kandungan fitokimia, karakter isozim, serta keragaman pada beberapa perlakuan dosis iradiasi sinar gamma.
2.
Iradiasi sinar gamma menghasilkan nilai GR50 pada peubah tinggi tanaman (42 Gy), jumlah daun (33 Gy), panjang daun (113 Gy), dan lebar daun (122 Gy).
65
3.
Iradiasi sinar gamma dosis 0 Gy, 15 Gy, 30 Gy, dan 45 Gy menghasilkan klorofil total, antosianin, dan karotenoid yang lebih besar. dibandingkan dengan perlakuan lain.
4.
Terdapat korelasi yang erat antara jumlah daun dengan tinggi tanaman panjang daun, lebar daun, dan antosianin berturut-turut sebesar 98%, 76%, 99% dan 79%; antosianin dengan indeks warna hijau relatif daun dan klorofil total berturut-turut sebesar 92% dan 98%; karotenoid dengan klorofil total (99%); palisade dengan bunga karang (81%).
5.
Terdapat perbedaan pola pita enzim PER, EST, dan ACP yang menunjukkan bahwa ketiga enzim tersebut mampu mendeteksi adanya perubahan genetik pada handeuleum yang diiradiasi. Namun demikian, pada enzim ADH dan MDH tidak menunjukkan adanya perbedaan pola pita.
6.
Keragaman fenotipik pada semua peubah pertumbuhan, morfologi dan anatomi daun handeuleum adalah luas, kecuali pada peubah indeks stomata dimana keragaman fenotipiknya sempit.
7.
Iradiasi sinar gamma dosis 45 Gy menghasilkan variasi morfologi dan jumlah mutan putatif yang paling banyak, masing-masing sebesar 9 (sembilan) variasi dan 10 mutan putatif .
Saran 1.
Dilakukan analisis kromosom dan analisis seluler pada kloroplas untuk melihat keragaman akibat iradiasi terhadap kromosom dan kloroplas.
2.
Dilakukan penelitian lanjutan pada beberapa generasi untuk mempelajari stabilitas mutan handeuleum.
67
INDUKSI KERAGAMAN PADA KULTUR KALUS HANDEULEUM (Graptophyllum pictum L. Griff) AKSESI KALIMANTAN DAN PAPUA MELALUI IRADIASI SINAR GAMMA Abstrak Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi 2.4-D dan NAA terhadap induksi kalus handeuleum, mengetahui pengaruh vitamin media dasar MS dan B5 terhadap proliferasi kalus handeuleum, serta mengetahui pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap keragaman kultur kalus pada dua aksesi handeuleum. Eksplan berupa daun muda yang ditanam pada media induksi kalus yang mengandung 2.4-D (5 µM, 10 µM, 15 µM, 25 µM, 35 µM, 45 µM, dan 55 µM), yang dikombinasikan dengan NAA (10 µM dan 15 µM). Selanjutnya proliferasi kalus dilakukan pada media yang mengandung vitamin media dasar MS dan B5 yang dikombinasikan dengan 2.4-D (2.5 µM dan 5 µM) dan NAA (5 µM dan 10 µM). Kalus hasil proliferasi kemudian diiradiasi dengan sinar gamma (0 Gy, 15 Gy, 25 Gy, 35 Gy), lalu ditanam pada media regenerasi yang mengandung BAP (4.44 µM dan 8.88 µM) dan TDZ (4.44 µM dan 8.88 µM). Hasil percobaan menunjukkan bahwa kombinasi media induksi 10 μM 2.4-D + 15 μM NAA menghasilkan eksplan berkalus paling banyak. Kombinasi media induksi 5 μM 2.4-D + 10 μM NAA menghasilkan persentase eksplan berkalus paling besar. Kombinasi media induksi 5 μM 2.4-D + 15 μM NAA menghasilkan bobot kalus paling besar. Kombinasi media dalam konsentrasi NAA 15 μM pada semua konsentrasi 2.4-D menghasilkan persentase kalus warna putih yang lebih besar dibandingkan dengan kombinasi media NAA 10 μM pada semua konsentrasi 2.4 D. Interaksi kombinasi media proliferasi 2.5 μM 2.4-D + 5 μM NAA + vit media dasar MS dengan handeuleum aksesi Papua menghasilkan bobot kalus proliferasi paling tinggi. Interaksi antara aksesi Papua, iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy, dan media regenerasi 4.44 μM BAP, menghasilkan bobot kalus subkultur ke-1 dan subkultur ke-2 hasil iradiasi paling besar. Dosis iradiasi 25 Gy pada aksesi Kalimantan menghasilkan laju pertumbuhan relatif kalus hasil iradiasi paling tinggi. Dosis iradiasi 25 Gy menghasilkan kalus warna putih kecoklatan sedangkan perlakuan lain tidak. Iradiasi sinar gamma dosis 25 Gy menghasilkan nilai ragam paling besar pada laju pertumbuhan relatif kalus hasil iradiasi. Kata kunci: daun ungu, aksesi, 2.4-D, NAA, vitamin media dasar MS dan B5, dosis iradiasi, ragam. Abstract The aims of this research were to know the influence of 2.4-D and NAA on handeuleum callus induction, to study effect of basal media vitamins MS and B5 to handeuleum callus proliferation and to study handeuleum variability as result of gamma rays irradiation on its calluses. Young leaves explants were
68
grown in media containing MS and B5 vitamins, and combined with 2.4-D (2.5 µM and 5 µM) or NAA (5 µM and 10 µM). Callus resulted from proliferation stage were irradiated with gamma rays (0, Gy, 15 Gy, 25 Gy, and 35 Gy), then grown on regeneration medium containing BAP (4.44 µM and 8.88 µM) or TDZ (4.44 µM and 8.88 µM). The result showed that the 10 µM 2.4-D + 15 µM NAA supplemented media produced the highest number of callus. The medium contain 5 µM 2.4-D + 10 µM NAA produced the greatest percentage of explants producing callus, whereas 5 µM 2.4-D + 15 µM NAA produced the greatest callus weight. The combination of medium supplemented with 15 µM NAA in all concentration of 2.4-D produced greater percentage of white callus than those on 10 µM NAA. Interaction of proliferation medium supplemented with 2.5 µM 2.4D + 5 µM NAA + basal medium vitamin MS on Papua accession produced the highest weight of callus proliferation. The interaction between papua accession, gamma rays 15 Gy, and the regeneration media contain 4.44 µM BAP produced the greatest weight callus on the first and the second subculture. Irradiation 15 Gy in Kalimantan accession produced the highest relative growth rate of irradiated callus. Irradiation dose 25 Gy produced brownish callus whereas other treatment did not. The 25 Gy gamma iradiation produced the greatest variance of the relative growth rate of irradiated callus Key word: handeuleum, accession, 2.4-D, NAA, MS and B5 vitamin basal medium, irradiation dose, variability.
Pendahuluan Keragaman pada tanaman dapat diciptakan dengan metode induksi mutasi. Metode mutasi memiliki keuntungan dapat merubah satu karakter tanpa merubah seluruh susunan gen secara signifikan, selain itu kombinasi metode mutasi dengan pembiakan secara vegetatif dapat menurunkan resiko kehilangan karakter mutan akibat segregasi (van Harten 2002). Menurut Maluszynski et al. (2000), kombinasi teknik kultur in vitro dengan induksi mutasi iradiasi dapat memperbaiki kultivar dari tanaman yang diperbanyak secara vegetatif. Maluszinski et al. (1995) mengemukakan bahwa kultur in vitro yang diberi perlakuan dengan teknik induksi mutasi akan mempercepat program pemuliaan tanaman mulai dari pembentukan keragaman genetik, proses seleksi, dan multiplikasi genotipe yang diharapkan.
69
Iradiasi sinar gamma pada kultur jaringan sering digunakan sebagai mutagen fisik dalam meningkatkan keragaman genetik tanaman karena penetrasi serta frekuensi mutasi yang tinggi (Broertjes & van Harten 1998). Menurut Jain (2005) terdapat lebih dari 2300 varietas mutan hasil iradiasi sinar gamma telah dirilis. Micke et al. (1987) melaporkan bahwa sinar gamma efektif dalam menghasilkan mutan yang diinginkan, hal ini dilihat dari total 698 kultivar mutan berbagai macam tanaman yang telah dirilis, sebanyak 395 kultivar (56%) di antaranya adalah hasil dari perlakuan mutasi dengan sinar gamma. Iradiasi sinar gamma dilakukan pada kultur kalus karena sel-selnya bersifat meristemastik sehingga lebih responsif terhadap radioaktif dibandingkan dengan sel-sel dewasa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mariska et al. (1996) pada kalus yang telah disubkultur lama dapat meningkatkan keragaman genetik, dan mendapatkan somaklon yang kadar minyaknya lebih tinggi dari tanaman induknya. Muthusamy et al. (2007) menemukan bahwa perlakuan iradiasi sinar gamma (10 – 30 Gy) pada kultur kalus kacang tanah dapat mengakibatkan perubahan secara morfologi (tinggi tanaman, hari berbunga, jumlah cabang, dan jumlah polong matang) dan dapat meningkatkan hasil bila dibandingkan dengan kontrol. Penelitian yang dilakukan oleh Witjaksono dan Litz (2004) menyebutkan bahwa iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan perubahan jumlah embrio somatik yang dihasilkan pada fase-fase pembentukannya. Sejauh ini belum ada informasi dan hasil penelitian mengenai kultur in vitro dan iradiasi sinar gamma terhadap keragaman handeuleum. Oleh karena itu diharapkan dengan teknik in vitro dan iradiasi akan dihasilkan mutan baru sebagai sumber keragaman tanaman handeuleum.
Tujuan Mengetahui pengaruh konsentrasi 2.4-D dan NAA terhadap induksi kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua. Mengetahui pengaruh vitamin media dasar MS dan B5 terhadap proliferasi kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua. Mengetahui pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap keragaman kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua.
70
Hipotesis Terdapat pengaruh konsentrasi 2.4-D dan NAA terhadap induksi kalus pada handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua. Terdapat pengaruh vitamin media dasar MS dan B5 terhadap proliferasi kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua. Terdapat pengaruh dosis iradiasi sinar gamma terhadap keragaman kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua.
Metodologi Penelitian Waktu dan Tempat Percobaan dilakukan pada bulan Oktober 2008 hingga Agustus 2010. Percobaan
dilaksanakan
di
Laboratorium
Bioteknologi
Tanaman
dan
Laboratorium Umum Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Aplikasi iradiasi dilakukan di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) BATAN Pasar Jumat Jakarta.
Induksi Kalus Percobaan menggunakan eksplan daun asenik, ditata dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 (dua) faktor. Faktor pertama adalah aksesi handeuleum yang terdiri dari 2 (dua) taraf aksesi yaitu Kalimantan dan Papua. Faktor kedua adalah kombinasi konsentrasi ZPT 2.4-D dan NAA yang terdiri dari 15 taraf kombinasi yaitu: I0 (0 µM 2.4-D + 0 µM NAA), I1 (5 µM 2.4-D + 10 µM NAA), I2 (10 µM 2.4-D + 10 µM NAA), I3 (15 µM 2.4-D + 10 µM NAA), I4 (25 µM 2.4-D + 10 µM NAA), I5 (35 µM 2.4-D + 10 µM NAA), I6 (45 µM 2.4-D + 10 µM NAA), I7 (55 µM 2.4-D + 10 µM NAA), I8 (5 µM 2.4-D + 15 µM NAA), I9 (10 µM 2.4-D + 15 µM NAA), I10 (15 µM 2.4-D + 15 µM NAA), I11 (25 µM 2.4-D + 15 µM NAA), I12 (35 µM 2.4-D + 15 µM NAA), I13 (45 µM 2.4-D + 15 µM NAA), I14 (55 µM 2.4-D + 15 µM NAA). Total kombinasi perlakuan adalah sebanyak 30. Setiap satuan percobaan diulang 10 kali dengan 2 (dua) eksplan per botol kultur. Semua media ditambahkan 0.5 µM BAP, 250 ppm kasein hidrolisat, dan 25 ppm arang aktif.
71
Model linier RAL adalah sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan: Yijk :
Nilai pengamatan perlakuan aksesi ke-i, komposisi media ke-j, dan ulangan ke-k.
µ
:
Rataan umum.
αi
:
Pengaruh perlakuan aksesi ke-i.
βj
:
Pengaruh perlakuan komposisi media ke-j.
(αβ)ij :
Komponen interaksi antara perlakuan aksesi ke-i dan komposisi media ke-j.
εijk
:
Pengaruh galat percobaan perlakuan aksesi ke-i dan komposisi media ke-j pada ulangan ke-k.
i : 1, 2. j : 1, 2, 3...15. k : 1, 2, 3...10. Pengamatan tahap induksi kalus dilakukan terhadap peubah: 1.
Waktu inisiasi kalus, diamati mulai dari waktu pertama kali kalus muncul sampai saat subkultur satu.
2.
Jumlah eksplan berkalus, dihitung dari banyaknya eksplan yang membentuk kalus pada tiap-tiap perlakuan.
3.
Persentase jumlah eksplan berkalus, dihitung dari banyaknya eksplan yang membentuk kalus dibandingkan dengan total eksplan yang ditanam. Σ eksplan yang berkalus Σ eksplan seluruhnya
4.
X 100%
Bobot kalus induksi, dihitung pada saat subkultur.
Proliferasi Kalus Hasil Induksi Eksplan yang digunakan adalah eksplan kalus hasil percobaan induksi kalus yang sebelumnya telah dikulturkan pada media WPM 0 selama 1 (satu) minggu
untuk
menghilangkan
pengaruh
media
sebelumnya.
Percobaan
72
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 (dua) faktor. Faktor pertama adalah aksesi handeuleum yang terdiri atas 2 (dua) taraf yaitu aksesi Kalimantan dan aksesi Papua. Faktor kedua adalah media proliferasi yang terdiri atas 4 (empat) taraf, yaitu P1 (2.5 µM 2.4-D + 5 µM NAA + vitamin media dasar B5), P2 (5 µM 2.4-D + 10 µM NAA + vitamin media dasar B5), P3 (2.5 µM 2.4-D + 5 µM NAA + vitamin media dasar MS), P4 (5 µM 2.4-D + 10 µM NAA + vitamin media dasar MS), sehingga didapat 8 (delapan) kombinasi perlakuan. Setiap satuan percobaan diulang 10 kali dengan 2 (dua) eksplan per botol kultur. Semua media ditambahkan 250 ppm kasein hidrolisat, dan 25 ppm arang aktif. Model linier RAL adalah sebagai berikut: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan: Yijk
: Nilai pengamatan perlakuan aksesi ke-i, perlakuan komposisi media proliferasi ke-j, dan ulangan ke-k.
µ
: Rataan umum.
αi
: Pengaruh perlakuan aksesi ke-i.
βj
: Pengaruh perlakuan komposisi media proliferasi ke-j.
(αβ)ij : Komponen interaksi antara perlakuan aksesi ke-i dan perlakuan komposisi media proliferasi ke-j. εijk
: Pengaruh galat percobaan perlakuan aksesi ke-i dan komposisi media proliferasi ke-j pada ulangan ke-k.
i : 1, 2. j : 1, 2, ... 4. k : 1, 2, 3...10. Pengamatan peubah bobot kalus proliferasi dilakukan pada saat subkultur.
Iradiasi Sinar Gamma pada Kultur Kalus Percobaan menggunakan eksplan kalus yang didapatkan dari percobaan proliferasi kalus, yang sebelumnya dikulturkan terlebih dahulu pada media WPM 0 selama 1 (satu) minggu untuk menghilangkan pengaruh media
73
sebelumnya. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 3 (tiga) faktor. Faktor pertama adalah aksesi handeuleum yang terdiri dari 2 (dua) taraf, yaitu aksesi Kalimantan dan aksesi Papua. Faktor kedua adalah media regenerasi yang terdiri dari 4 (empat) taraf, yaitu R1 (4.44 µM BAP), R2 (8.88 µM BAP), R3 (4.44 TDZ), R4 (8.88 µM TDZ). Faktor ketiga adalah dosis iradiasi sinar gamma yang terdiri dari 4 (empat) taraf, yaitu 0 Gy (kontrol), 15 Gy, 25 Gy, dan 35 Gy. Didapat 32 kombinasi perlakuan, dimana setiap satuan percobaan diulang 10 kali dengan 2 (dua) eksplan per botol kultur. Model linier RAL yang digunakan untuk percobaan ini adalah: Yijkl = µ + αi + βj + (αβ)ij + γk + (αγ)ik + (βγ)jk + (αβγ)ijk + εijkl Keterangan: Yijkl
: Nilai pengamatan perlakuan aksesi ke-i, media regenerasi ke-j, dosis iradiasi ke-k, dan ulangan ke-l.
µ
:
αi
: Pengaruh perlakuan aksesi ke-i.
βj
: Pengaruh perlakuan media regenerasi ke-j.
γk
: Pengaruh perlakuan dosis iradiasi ke-k.
Rataan umum.
(αβ)ij : Komponen interaksi antara perlakuan aksesi ke-i dan media regenerasi ke-j. (αγ)ik :
Komponen interaksi iradiasi ke-k.
antara
perlakuan
aksesi
ke-i
dan
dosis
(βγ)jk :
Komponen interaksi iradiasi ke-k.
antara
perlakuan
media
ke-j
dan
dosis
(αβγ)ijk : Komponen interaksi antara perlakuan aksesi ke-i, media regenerasi ke-j dan dosis iradiasi ke-k. εijkl
:
Pengaruh galat percobaan perlakuan aksesi ke-i, media regenerasi ke-j, dan dosis iradiasi ke-k pada ulangan ke-l.
i : 1, 2. j : 1, 2, ...4. k : 1, 2, ...4. l : 1, 2, 3,..10.
74
Pengamatan sesudah kalus diiradiasi terdiri atas: 1. Bobot kalus, dihitung saat subkultur. 2. Laju pertumbuhan relatif = (Bobot kalus subkultur 2 – bobot kalus subkultur 1) / bobot kalus subkultur 1. Perhitungan ini berdasarkan Witjaksono dan Litz (2004), Patade et al. (2008).
Persiapan Bahan Tanam Eksplan handeuleum berasal dari aksesi Kalimantan dan Papua yang memiliki kandungan fitokimia yang tinggi (Khumaida et al. 2008). Tanaman ditanam pada polibag yang diisi media dengan perbandingan tanah : kompos = 1 : 2, setelah itu diberi pupuk dengan kandungan pupuk NPK seimbang dosis 4 g / polibag. Tanaman dipelihara dengan diberi pupuk daun setiap satu minggu sekali, dibersihkan dari gulma, dan disemprot pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit.
Persiapan Media Media dasar yang digunakan pada tahap induksi kalus dan tahap iradiasi dengan sinar gamma
terdiri atas hara makro dan mikro media WPM
(Lampiran 4), 3% sukrosa, 0.2% gelrite, arang aktif, kasein hidrolisat, dan zat pengatur tumbuh (2.4-D, NAA, BAP, dan TDZ) sesuai dengan perlakuan. Media dasar yang digunakan pada tahap proliferasi sama dengan di atas, tapi vitaminnya memakai vitamin media dasar MS dan B5.
Persiapan dan Sterilisasi Eksplan Eksplan yang digunakan untuk percobaan ini adalah eksplan daun asenik yang berasal dari daun muda yang sudah membuka dengan sempurna. Daun disterilisasi dengan cara dicuci dengan deterjen lalu dibilas di bawah air mengalir selama satu jam, setelah itu direndam kedalam larutan fungisida-bakterisida (masing-masing 2 g / l ) selama kurang lebih 10 jam. Daun dibersihkan dengan air steril di dalam laminar. Daun yang telah bersih dicelup pada alkohol 70% selama 10 detik, lalu dibilas dengan air steril. Setelah itu daun direndam dalam larutan
75
kloroks 2.5% selama 10 menit, lalu dibilas dengan air steril. Daun dipotong 1 x 1 cm dan direndam selama 10 menit pada larutan betadine encer. Potongan daun asenik kemudian dikeringkan di atas kertas tisu steril, setelah kering potongan daun asenik ditanam pada media pre-kondisi selama satu minggu. Eskplan yang steril kemudian ditanam pada media perlakuan. Eksplan kalus yang berasal dari percobaan proliferasi kemudian diiradiasi dengan sinar gamma pada beberapa taraf dosis perlakuan yang telah ditentukan sebelumnya. Eksplan lalu ditumbuhkan pada media perlakuan untuk regenerasi.
Analisis Data Hasil percobaan dianalisis dengan menggunakan uji F. Apabila hasil uji nyata dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test-DMRT). Sebaran kenormalan data dianalisis dengan sistem Saphiro-Wilk. Data ditransformasi dengan skala kenormalan √X+0.5 untuk mendekati sebaran normal. Uji kontras dilakukan pada percobaan proliferasi kalus untuk menentukan perbandingan-perbandingan dari perlakuan.
Hasil dan Pembahasan Kondisi Umum Percobaan ini menggunakan 2 (dua) aksesi handeuleum (Kalimantan dan Papua) hasil eksplorasi dari penelitian Khumaida et al. (2008) yang memiliki kandungan fitokimia yang tinggi. Keragaan tanaman yang digunakan sebagai eksplan dapat dilihat pada gambar 21.
(a)
(b)
Gambar 21 Keragaan handeuleum di lapang (a), dan potongan daun asenik untuk inisiasi kalus pada media perlakuan (b).
76
Daun yang digunakan sebagai eksplan untuk inisiasi kalus adalah daun kedua setelah pucuk. Daun muda dipilih sebagai eksplan karena jaringannya merupakan jaringan yang masih muda dan sel-selnya masih aktif membelah. Eksplan daun yang responsif terhadap perlakuan media terlihat berwarna hijau segar dan terlihat mengembang untuk kemudian timbul kalus, sedangkan pada eksplan yang tidak responsif biasanya tidak terjadi perubahan, kemudian lamalama berubah warna menjadi coklat dan mati. Kalus mulai terbentuk sekitar minggu ke-2 dan ke-3 setelah tanam pada media perlakuan, kalus tumbuh pada permukaan daun yang mengalami pelukaan, baik dari tengah permukaan eksplan asenik atau dari sisi terluar. Menurut Gunawan (1992) kalus adalah sekumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus-menerus, timbul karena adanya pelukaan dan kondisi stres. George dan Sherrington (1984) mengatakan bahwa kalus tersusun atas sel-sel parenkima yang memiliki ikatan renggang dengan sel-sel lainnya, dan timbul karena adanya rangsangan dari zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen yang mengakibatkan metabolisme menjadi aktif. Persentase kontaminasi yang terjadi pada percobaan ini pada fase induksi kalus adalah sebesar 37.33% untuk aksesi Papua dan 38.67% untuk aksesi Kalimantan, pada fase proliferasi sebesar 7.69% untuk aksesi Papua dan 7.50% untuk aksesi Kalimantan, pada fase iradiasi dengan sinar gamma kontaminasi yang terjadi sebesar 35.90% pada aksesi Papua dan 12.74% pada aksesi Kalimantan. Kontaminasi disebabkan oleh cendawan dan bakteri endogen, dapat terjadi saat sterilisasi, subkultur, maupun pada saat penyimpanan di ruang kultur. Hal ini dikarenakan bahan tanaman yang tidak bersih, kurang sterilnya peralatan dan ruang tanam yang digunakan.
Waktu Inisiasi Kalus, Jumlah dan Persentase Jumlah Eksplan Berkalus dan Bobot Kalus Kalus adalah sekumpulan massa sel tanaman yang tidak terorganisir dan formasinya dikontrol oleh zat pengatur tumbuh (ZPT) yang ada pada media kultur (Shah et al. 2003). Konsentrasi spesifik ZPT diperlukan untuk menginduksi kalus,
77
bervariasi dari spesies yang satu dengan spesies yang lain, dan tergantung juga pada sumber eksplan (Charriere et al. 1999). Waktu inisiasi kalus berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 10 tidak menunjukkan tidak berbeda nyata, waktu inisiasi eksplan tidak dipengaruhi oleh perlakuan aksesi dan kombinasi media. Bila dilihat dari hasil rata-rata, kombinasi media 25 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I11) menghasilkan rata-rata waktu inisiasi kalus tercepat yaitu sebesar 1.81 minggu. Jumlah eksplan berkalus pada percobaan ini dipengaruhi secara sangat nyata oleh perlakuan kombinasi media tapi tidak dipengaruhi oleh perlakuan aksesi dan interaksi antara aksesi-media. Berdasarkan hasil pada Tabel 10 terlihat bahwa kombinasi media 10 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I9) menghasilkan jumlah eksplan berkalus terbesar yaitu sebesar 1.88 eksplan per botol. Kombinasi media 55 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I7) menghasilkan jumlah eksplan berkalus paling sedikit sebesar 1.20 per botol, hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi media 55 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I14) yang menghasilkan jumlah eksplan berkalus sebesar 1.26. Persentase jumlah eksplan berkalus dipengaruhi secara sangat nyata oleh perlakuan kombinasi media tapi tidak dipengaruhi oleh perlakuan aksesi dan interaksi antara aksesi-media. Bila dilihat berdasarkan persentase jumlah eksplan berkalus, perlakuan 5 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I1) menghasilkan persentase jumlah eksplan terbesar (97.06 %). Hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan kombinasi media 10 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I2), 15 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I3), 10 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I9), 35 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I12), yang menghasilkan persentase jumlah eksplan berkalus berturut-turut sebesar 88.24%, 91.18%, 97.06%, dan 93.75%. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 10 terlihat bahwa bobot kalus induksi pada percobaan ini dipengaruhi sangat nyata oleh perlakuan media, sedangkan aksesi dan interaksi antara aksesi-media tidak memberikan respon. Bobot kalus tertinggi pada Tabel 1 dihasilkan oleh perlakuan kombinasi 5 µM 2.4-D+15 µM NAA (I8) yang menghasilkan bobot 1.02 g.
78 78
Tabel 10
Waktu inisiasi kalus, jumlah eksplan berkalus, persentase jumlah eksplan berkalus, bobot kalus pada tahap induksi kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua
Komposisi Media Induksi (µM)
Wkt Inisiasi Kalus (minggu)
Eksplan Berkalus a) (buah)
Persentase b) Eksplan Berkalus (%)
Bobot Kalus a) (g)
5 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I1)
2.18 ± 1.19 tn
1.82 ± 0.39 ab
97.06 ± 12.13
a
0.48 ± 0.14 b
10 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I2)
2.42 ± 0.86 tn
1.76 ± 0.44 ab
88.24 ± 21.86
a
0.40 ± 0.14 bc
15 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I3)
2.44 ± 1.26 tn
1.82 ± 0.53 ab
91.18 ± 26.43
a
0.30 ± 0.11 c
25 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I4)
2.40 ± 0.83 tn
1.59 ± 0.71 abc
79.41 ± 35.61
abc
0.17 ± 0.05 d
35 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I5)
2.35 ± 0.74 tn
1.59 ± 0.71 abc
82.35 ± 35.09
abc
0.07 ± 0.01 e
45 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I6)
2.13 ± 1.25 tn
1.79 ± 0.58 ab
89.29 ± 28.95
ab
0.07 ± 0.02 e
55 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I7)
2.00 ± 1.75 tn
1.20 ± 0.86 c
60.00 ± 43.09
bc
0.06 ± 0.02 e
5 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I8)
2.31 ± 1.29 tn
1.56 ± 0.70 abc
80.56 ± 34.89
abc
1.02 ± 0.36 a
10 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I9)
2.29 ± 0.87 tn
1.88 ± 0.38 a
97.06 ± 12.13 a
0.33 ± 0.10 c
15 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I10)
2.94 ± 0.66 tn
1.61 ± 0.70 abc
86.11 ± 33.46 abc
0.30 ± 0.11 c
25 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I11)
1.81 ± 1.31 tn
1.57 ± 0.65 abc
78.57 ± 32.31 abc
0.12 ± 0.04 de
35 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I12)
2.86 ± 0.99 tn
1.75 ± 0.45 ab
93.75 ± 17.08 a
0.08 ± 0.04 de
45 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I13)
2.29 ± 1.29 tn
1.33 ± 0.77 bc
69.44 ± 38.88 abc
0.06 ± 0.01 e
55 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I14)
3.00 ± 1.62 tn
1.26 ± 0.93 c
63.16 ± 46.67 c
0.06 ± 0.01 e
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom peubah yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%; Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi; a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+0.5) ; b) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus log (x+1).
79
Auksin sintetik yang paling banyak digunakan dalam beberapa percobaan tentang kalus adalah 2.4-D dan NAA, seperti yang digunakan oleh Prakash dan Gurumurthi (2009) pada Eucalyptus camaldulensis, Yan et al. (2009) pada tanaman Allium chinense. Berdasarkan penelitian Wanil et al. (2010), 2.4-D adalah auksin terbaik untuk menginduksi Tridax procumbens L diikuti oleh NAA, yang masing-masing dikombinasikan dengan BAP. Fillipov et al. (2006) dalam penelitiannya tentang pengaruh auksin dan genotipe pada gandum, menyatakan bahwa pemberian auksin tambahan (NAA, IAA, IBA) dari auksin yang sudah ada (Dicamba, 2.4-D, 2.4.5-T) terbukti bermanfaat meningkatkan respon morphogenic dari embrio matang gandum. Hal ini didukung oleh penelitian Khumaida dan Handayani (2010), kombinasi 2.4-D dan NAA pada media menyebabkan pertumbuhan kalus embrionik lebih cepat pada kalus kedelai. Persamaan regresi Y = 0.710 – 0.007 X1 + 0.023 X2 (R2 = 0.585) untuk pengaruh 2.4-D pada NAA 15 µM, menunjukkan bahwa bobot kalus pada konsentrasi 5 µM 2.4-D mencapai bobot terbesar (1.02 g), dan jumlahnya terus menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi 2.4-D. Begitu pula pada konsentrasi NAA 10 µM, dengan persamaan regresi Y = 0.710 – 0.005 X1 + 0.027 X2 (R2 = 0.765), bobot kalus mencapai nilai tertinggi pada konsentrasi 2.4-D 5 µM (0.48 g), dan jumlahnya menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi 2.4-D.
Gambar 22 Hubungan antara konsentrasi 2.4D dengan bobot kalus dua aksesi handeuleum pada konsentrasi NAA 10 µM dan 15 µM.
80
Hasil ini sama dengan penelitian Thomas dan Sreejesh (2004) pada tanaman Benincasa hispida, dimana kalus menjadi coklat dan kemudian mati pada konsentrasi 2.4-D yang lebih tinggi (di atas 6 µM). Menurut Karimi (2010) meskipun 2.4-D dapat meningkatkan pertumbuhan kalus, tetapi hormon ini bersifat herbisida sehingga konsentrasi yang tinggi dapat menghambat pengkalusan, dan mungkin dapat mencegah pembelahan sel. Fillipov (2006) melaporkan bahwa 2.4-D adalah auksin yang sangat stabil dibandingkan auksin lain, memiliki resistensi yang sangat kuat terhadap degradasi secara enzimatik pada sel tanaman. Hal ini lah yang mungkin menyebabkan mengapa bobot kalus mengalami penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi 2.4-D pada konsentrasi NAA 10 dan 15 µM.
Warna dan Tekstur Kalus Menurut Riyadi (2009) keberadaan 2.4-D dan NAA mempengaruhi secara nyata warna dan struktur kalus empat genotipe kedelai. Kalus yang diinduksi oleh NAA memiliki warna hijau, dan keberadaan 2.4-D pada media cenderung menjadikan kalus menjadi berwarna coklat. (a)
(b)
Gambar 23
(c)
Warna kalus pada induksi kalus dari dua aksesi handeuleum: putih (a), putih bening (b), coklat (c).
Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Gambar 23, terlihat bahwa terdapat tiga jenis warna kalus yang dihasilkan oleh kombinasi perlakuan antara 2.4-D dan NAA, yaitu kalus berwarna putih, putih bening, dan kalus berwarna coklat. Persentase warna kalus disajikan pada Gambar 24. Keberadaan kalus putih ada pada semua perlakuan, dimana persentase terbesar terdapat pada kombinasi media 55 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I7) yaitu sebesar 18 %, sedangkan
81
persentase kalus putih terkecil dihasilkan oleh perlakuan kombinasi media 10 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I9) sebesar 3%
Gambar 24 Pengaruh kombinasi media terhadap warna kalus dua aksesi handeuleum. Kalus yang berwarna putih bening hanya terdapat di perlakuan kombinasi media 5 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I1), 10 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I2), 15 µM 2.4-D + 10 µM NAA (I3), 5 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I8), 10 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I9), 15 µM 2.4-D + 15 µM NAA (I10), berturut-turut sebesar 67%, 45%, 43%, 71%, 58%, dan 21%. Warna kalus yang disajikan pada Gambar 24 terlihat bahwa warna kalus kedua
aksesi
handeuleum
pada
berbagai
kombinasi
media
memiliki
kecenderungan pola sehingga dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menghasilkan tiga warna kalus dengan yang menghasilkan dua warna kalus. Kelompok pertama terdiri dari media yang mengandung konsentrasi 2.4-D kecil (I1, I2, I3, I8, I9, dan I10), kelompok kedua adalah kelompok media yang mengandung konsentrasi 2.4-D yang besar (I4, I5, I6, I7, I11, I12, I13, dan I14). Kelompok pertama menghasilkan kalus yang berwarna putih dan berwarna putih bening, sedangkan kelompok kedua tidak menghasilkan kalus putih bening. Hal ini dikarenakan 2.4-D lebih stabil bila dibandingkan dengan NAA, sehingga lebih dominan dalam memberi pengaruh terhadap warna kalus.
82
Gambar 25
Pengaruh kombinasi media terhadap tekstur kalus dua aksesi handeuleum.
Berdasarkan hasil percobaan yang disajikan pada Gambar 25 terlihat bahwa tekstur kalus induksi dipengaruhi oleh keberadaan 2.4-D dan NAA. Semakin tinggi konsentrasi 2.4-D pada kombinasi media, semakin meningkatkan jumlah kalus yang bertekstur keras-kompak, sementara kalus yang bertekstur lembut- sedikit kompak semakin berkurang, bahkan tidak dihasilkan sama sekali pada kombinasi media yang mengandung konsentrasi 2.4-D yang tinggi (I4, I5, I6, I7, I11, I12, I13, dan I14). Persentase tertinggi kalus bertekstur lembut-sedikit kompak dihasilkan oleh perlakuan kombinasi media I1 dan I8 yang mengandung 5 µM 2.4-D, yaitu berturut-turut sebesar 67% dan 71%. Begitu pula dengan kalus bertekstur keras dan kompak dihasilkan sebanyak 100% pada kombinasi media yang mengandung 2.4-D konsentrasi tinggi (I4, I5, I6, I7, I11, I12, I13, dan I14). Hasil ini hampir sama dengan yang dicapai oleh Prakash dan Gurumurthi (2009) pada tanaman Eucalyptus camaldulensis, dimana pada level 2.4-D yang rendah (0.1 ppm, 0.5 ppm, dan 1 ppm) kalus yang terbentuk friable, sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi (2 ppm) kalus yang terbentuk keras. Fillipov et al. (2006) pada penelitiannya pada tanaman gandum, menyatakan bahwa pada konsentrasi rendah dari berbagai macam auksin, biasanya menghasilkan kalus yang transparan, berair, dan remah. Sedangkan pada konsentrasi auksin di atas 6 ppm menghasilkan kalus yang putih kekuningan atau kompak.
83
Bobot Kalus Proliferasi Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa bobot kalus proliferasi dipengaruhi secara sangat nyata oleh perlakuan interaksi antara kombinasi media dengan aksesi (Tabel 11). Tabel 11 Interaksi antara komposisi media proliferasi dan aksesi terhadap kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua Bobot (g) a)
Komposisi Media Proliferasi (µM)
Aksesi
2.5 µM 2.4-D + 5 µM NAA + Vit B5 (P1)
Kalimantan
1.23 ± 0.22
b
Papua
1.14 ± 0.07
bc
Kalimantan
0.89 ± 0.03
e
Papua
0.97 ± 0.07
de
Kalimantan
1.17 ± 0.11
b
Papua
1.37 ± 0.07
a
Kalimantan
1.05 ± 0.40
cd
Papua
0.95 ± 0.04
de
5 µM 2.4-D + 10 µM NAA + Vit B5 (P2)
2.5 µM 2.4-D + 5 µM NAA + Vit MS (P3)
5 µM 2.4-D + 10 µM NAA+ Vit MS (P4)
Keterangan:
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi. a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+0.5).
Berdasarkan hasil yang diuji menggunakan kontras ortogonal yang disajikan pada baris kedua Tabel 11 terlihat bahwa, aksesi Kalimantan dan Papua berbeda dalam menghasilkan bobot kalus proliferasi, dimana rata-rata bobot kalus terbesar dihasilkan oleh aksesi Papua. Perlakuan media yang mengandung vitamin media dasar B5 memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan media yang mengandung vitamin media dasar MS. Penelitian yang dilakukan oleh Srilestari (2005) pada kacang tanah menyebutkan bahwa vitamin media dasar B5 memproduksi embrio somatik pada jumlah yang banyak dibandingkan dengan vitamin media dasar MS dalam waktu yang relatif singkat. Menurut Wattimena (1988) vitamin merupakan berfungsi sebagai kofaktor dalam reaksi-reaksi enzim, dan biasanya terdapat pada sel dalam jumlah yang kecil. Golongan vitamin B (B1 = tiamin, B3 = asam nikotinat, dan B6 = piridoksin) merupakan komponen penting dari koenzim-koenzim yang penting dalam
84
metabolisme
sel-sel,
dan
tiamin
merupakan
komponen
penting
dalam
metabolisme dan dibutuhkan pada hampir semua kultur. Lebih lanjut Wattimena (1988) menjelaskan bahwa tiamin adalah bagian yang aktif dari enzim karboksilase; asam nikotinat merupakan komponen dari NAD dan NADP; dan asam panthetonat adalah bagian dari koenzim A. Lebih jauh menurut Srilestari (2005) tiamin yang terkandung pada vitamin media dasar B5 dan MS dapat mempercepat pembelahan sel, dan berfungsi sebagai koenzim dalam metabolisme karbohidrat.
Iradiasi Sinar Gamma Kalus Iradiasi sinar gamma secara sangat nyata mempengaruhi bobot kalus subkultur 1 dan 2, serta bobot laju pertumbuhan relatif kalus. Perlakuan aksesi, media, dan dosis berinteraksi mempengaruhi peubah-peubah tersebut (Tabel 12). Berdasarkan hasil pada Tabel 12, terlihat bahwa bobot kalus subkultur 1 terbesar dihasilkan pada aksesi Papua yang diiradiasi sinar gamma 15 Gy dan ditanam pada media 4.44 µM BAP (0.570 g). Bobot kalus subkultur 2 terbesar dihasilkan oleh aksesi Papua yang diiradiasi oleh sinar gamma 15 Gy, dan ditanam pada media yang mengandung 4.44 µM BAP (0.595 g). Genotipe yang digunakan menentukan keberhasilan dari induksi mutasi, selain itu juga tergantug pada bagian tanaman yang diiradiasi dan dosis mutagen yang diaplikasikan. Berdasarkan Tabel 12, terlihat bahwa aksesi Papua menghasilkan bobot kalus yang paling besar bila dibandingkan dengan aksesi Kalimantan. Meskipun demikian, kemampuan untuk menghasilkan bobot kalus yang besar tidak berhubungan dengan kemampuan dari aksesi tersebut untuk beregenerasi setelah diberi perlakuan iradiasi. Kalus handeuleum aksesi Papua yang diiradiasi dengan sinar gamma bobotnya meningkat ketika diiradiasi dengan dosis 15 Gy, dan bobotnya semakin menurun seiring dengan peningkatan dosis iradiasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Qosim et al. (2007) yang menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma menyebabkan kalus nodular manggis sulit untuk berproliferasi.
85
Tabel 12 Interaksi antara aksesi, dosis iradiasi, dan media regenerasi terhadap bobot kalus subkultur 1 dan bobot kalus subkultur 2 setelah iradiasi Aksesi Kalimantan
Papua
Perlakuan Dosis Media Regenerasi Iradiasi (µM) (Gy) 4.44 BAP (R1) 0
15
25
35
0
15
25
35
Peubah Bobot Kalus Subkultur 1 (g)
Bobot Kalus Subkultur 2 (g)
0.464 ± 0.07 b
0.504 ± 0.07 b
8.88 BAP (R2)
0.442 ± 0.07 b-c
0.442 ± 0.03 b-d
4.44 TDZ (R3)
0.436 ± 0.05 b-d
0.428 ± 0.09 b-e
8.88 TDZ (R4)
0.377 ± 0.06 c-g
0.359 ± 0.03 d-j
4.44 BAP (R1)
0.374 ± 0.06 d-h
0.374 ± 0.07 d-j
8.88 BAP (R2)
0.370 ± 0.06 d-h
0.373 ± 0.05 c-i
4.44 TDZ (R3)
0.430 ± 0.09 b-e
0.407 ± 0.08 c-h
8.88 TDZ (R4)
0.382 ± 0.07 c-f
0.326 ± 0.02 g-m
4.44 BAP (R1)
0.331 ± 0.08 f-j
0.307 ± 0.09 i-m
8.88 BAP (R2)
0.302 ± 0.04 h-k
0.288 ± 0.04 j-m
4.44 TDZ (R3)
0.354 ± 0.06 f-i
0.426 ± 0.07 b-f
8.88 TDZ (R4)
0.367 ± 0.05 d-h
0.328 ± 0.05 h-m
4.44 BAP (R1)
0.264 ± 0.05 j-k
0.297 ± 0.05 i-m
8.88 BAP (R2)
0.253 ± 0.04 k
0.298 ± 0.05 i-m
4.44 TDZ (R3)
0.304 ± 0.05 g-k
0.295 ± 0.06 i-m
8.88 TDZ (R4)
0.273 ± 0.05 jk
0.267 ± 0.05 l-m
4.44 BAP (R1)
0.439 ± 0.07 b-d
0.475 ± 0.07 b-c
8.88 BAP (R2)
0.362 ± 0.06 e-i
0.310 ± 0.06 i-m
4.44 TDZ (R3)
0.329 ± 0.05 f-j
0.360 ± 0.04 d-k
8.88 TDZ (R4)
0.345 ± 0.01 f-i
0.352 ± 0.03 d-k
4.44 BAP (R1)
0.570 ± 0.04 a
0.595 ± 0.10 a
8.88 BAP (R2)
0.378 ± 0.07 c-f
0.350 ± 0.03 e-l
4.44 TDZ (R3)
0.385 ± 0.07 c-f
0.487 ± 0.09 b-c
8.88 TDZ (R4)
0.270 ± 0.07 j-k
0.420 ± 0.09 b-g
4.44 BAP (R1)
0.360 ± 0.08 e-i
0.416 ± 0.06 b-g
8.88 BAP (R2)
0.312 ± 0.05 g-k
0.302 ± 0.06 i-m
4.44 TDZ (R3)
0.268 ± 0.04 j-k
0.260 ± 0.04 m
8.88 TDZ (R4)
0.294 ± 0.05 j-i
0.335 ± 0.04 f-m
4.44 BAP (R1)
0.297 ± 0.06 h-k
0.272 ± 0.06 l-m
8.88 BAP (R2)
0.237 ± 0.03 k
0.263 ± 0.01 l-m
4.44 TDZ (R3)
0.273 ± 0.05 j-k
0.272 ± 0.05 k-m
8.88 TDZ (R4)
0.244 ± 0.04 k
0.260 ± 0.02 m
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi. a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+0.5).
86
Iradiasi sinar gamma berpengaruh sangat nyata terhadap laju pertumbuhan relatif kalus handeuleum pada kedua aksesi (Tabel 13). Berdasarkan hasil yang disajikan oleh Tabel 13, laju pertumbuhan relatif dipengaruhi oleh interaksi antara dosis sinar gamma dan aksesi handeuleum. Iradiasi menyebabkan laju pertumbuhan relatif kalus dua aksesi yang diiradiasi menjadi lebih tinggi ataupun lebih rendah apabila dibandingkan dengan kontrol (0 Gy).
Tabel 13 Laju pertumbuhan relatif kalus handeuleum iradiasi aksesi Kalimantan dan Papua Dosis Iradiasi (Gy) 0 15 25 35
Aksesi
Laju Pertumbuhan Relatif
Kalimantan
0.229 ± 0.20 bc
Papua
0.177 ± 0.12 bcd
Kalimantan
0.083 ± 0.09 cd
Papua
0.212 ± 0.21 bcd
Kalimantan
0.448 ± 0.41 a
Papua
0.163 ± 0.12 bcd
Kalimantan
0.240 ± 0.25 b
Papua
0.083 ± 0.06 d
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Nilai ± yang disajikan adalah standar deviasi. a) Data merupakan hasil transformasi dengan rumus (√X+0.5)
Laju pertumbuhan relatif kalus iradiasi terbesar terdapat pada aksesi Kalimantan yang diiradiasi dengan dosis 25 Gy (0.448), sedangkan laju pertumbuhan relatif kalus iradiasi terkecil terdapat pada aksesi Papua yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis 35 Gy (0.083). Iradiasi sinar gamma berpengaruh secara acak, akan tetapi terdapat gambaran umum perubahan laju pertumbuhan realtif kalus kedua aksesi. Terlihat bahwa aksesi Kalimantan secara umum memiliki laju pertumbuhan relatif yang lebih tinggi pada semua perlakuan iradiasi apabila dibandingkan dengan aksesi Papua, sehingga bisa disimpulkan bahwa aksesi Kalimantan lebih tahan terhadap perlakuan iradiasi sinar gamma dibandingkan dengan aksesi Papua.
87
Hal yang sama terdapat pada penelitian Witjaksono dan Litz (2004) pada kultur embriogenik dua genotipe alpukat yang diiradiasi sinar gamma, dimana pertumbuhan genotipe T362 lebih tertekan apabila dibandingkan dengan genotipe Fuerte. Arabi et al. (2005) mengungkapkan bahwa pada penelitian kultur antera tanaman barley yang dipapar pada iradiasi sinar gamma sangat tergantung dengan genotipe. Lebih lanjut Arabi menambahkan bahwa respon yang terkait dengan iradiasi sinar gamma, dapat menstimulasi beberapa aktivitas enzim pada barley, seperti oksidasi polyphenol, katalase, peroksidase, dan beberapa biosintesis beberapa asam amino seperti lysine dan phenylalanine, sehingga dapat menyebabkan
perubahan
pada
populasi
kalus
yang
diiradiasi
apabila
dibandingkan dengan kontrol. Iradiasi sinar gamma memberikan pengaruh yang berbeda terhadap bobot kalus, hal ini terlihat dari bervariasinya hasil analisis ragam. Peningkatan perlakuan dosis iradiasi sinar gamma pada umumnya menyebabkan penurunan daya regenerasi kalus, terlihat dari penurunan bobot dan perubahan warna. Kalus yang diiradiasi warnanya cenderung menjadi coklat, bahkan untuk yang diiradiasi dengan dosis tinggi kalus menjadi hitam, yang artinya kalus tersebut mengalami kematian.
Gambar 26 Pengaruh iradiasi sinar gamma terhadap warna kalus dua aksesi handeuleum. Hasil percobaan menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma mempengaruhi secara sangat nyata terhadap warna kalus (Gambar 26). Warna kalus menjadi penanda dari keadaan kalus setelah menerima perlakuan iradiasi. Ada empat
88
macam warna kalus, yaitu warna putih kecoklatan, coklat keputihan, coklat, hitam kecoklatan, dan warna hitam. Kalus yang berwarna hitam berarti kalus tersebut mengalami kematian. Gambar 26 menunjukkan bahwa kalus yang berwarna putih kecoklatan hanya terdapat pada perlakuan 0 Gy (kontrol) yaitu sebesar 5%, sedangkan perlakuan iradiasi 25 Gy menghasilkan kalus putih kecoklatan sebesar 2%. Kalus berwarna coklat keputihan ada pada semua dosis perlakuan dengan sinar gamma, dosis 0 Gy (kontrol) menghasilkan kalus sebesar 24%, dosis 15 Gy menghasilkan kalus sebesar 21%, sedangkan dosis 25 Gy menghasilkan kalus sebesar 46%, terakhir dosis sinar gamma 35 Gy menghasilkan kalus berwarna coklat keputihan sebesar 5%. Iradiasi 0 Gy menghasilkan kalus coklat sebesar 22%, pada dosis 15 Gy menghasilkan 31%, perlakuan 25 Gy menghasilkan 23%, sedangkan perlakuan iradiasi 35Gy menghasilkan kalus coklat sebesar 40%. Kalus hitam kecoklatan dihasilkan oleh perlakuan iradiasi sinar gamma secara berturut-turut sebagai berikut, 0 Gy (46%), 15 Gy (50%), 25 Gy (51%), dan perlakuan iradiasi 35 Gy (49%). Kalus berwarna hitam yang berarti bahwa kalus tersebut mengalami kematian dihasilkan hanya oleh pelakuan iradiasi sinar gamma 25 Gy, yaitu sebesar 13%. Sedangkan pada dosis perlakuan yang lain tidak terdapat kalus yang berwarna hitam. Keragaan warna kalus yang diiradiasi disajikan pada Gambar 27. Berdasarkan pengamatan dapat ditarik garis besar mengenai warna kalus, yaitu pada perlakuan dosis 0 Gy dan 25 Gy menghasilkan kalus sehat yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kalus yang sehat adalah kalus yang berwarna putih kecoklatan, coklat keputihan. Kalus yang sehat berarti kalus tersebut masih memiliki daya regenerasi setelah diberi perlakuan dengan sinar gamma.
89
(b)
(a)
(c (c)
(d)
Gambar 27
(e)
Warna kalus dua aksesi handeuleum yang diiradiasi: putih kecoklatan (a), coklat keputihan (b), coklat (c), coklat kehitaman (d), dan hitam (e).
Patade et al. (2008) menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma menyebabkan peningkatan warna coklat pada kalus tebu seiring dengan meningkatnya dosis iradiasi. Menurut Kadir (2007), sel kalus nilam yang diiradiasi berwarna coklat terjadi karena terhambatnya proses pembelahan sel yang menyebabkan sel tersebut tidak aktif berproliferasi. Kalus yang aktif berproliferasi terlihat lebih bening dan strukturnya lebih kompak. Ismachin (2007) menyatakan bahwa iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan adanya radikal bebas yang meningkatkan kandungan hidrogen peroksida yang bersifat toksik, sehingga menyebabkan kerusakan fisiologis seperti penghambatan proses pembelahan dan diferensiasi sel yang pada akhirnya merusak jaringan. Menurut Hua et al. (1999), iradiasi sinar gamma dosis 1500 rad pada kalus Onosma paniculatum Bur. Et Franch mengakibatkan terjadinya peningkatan kandungan shikonin sebesar 144.6%. Chung BY et al. (2006) meneliti bahwa iradiasi sinar gamma secara signifikan meningkatkan hasil shikonin kultur kalus Lithospermum erythrorhizon S. sebesar 400% pada dosis 16 Gy, 240% pada dosis 2 Gy, dan 180% pada dosis 32 Gy apabila dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan kedua penelitian di atas dapat disimpulkankan bahwa iradiasi sinar
90
gamma dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder pada kultur kalus, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan
metabolit sekunder dalam
waktu yang singkat.
Keragaman Kalus Handeuleum Akibat Iradiasi Sinar Gamma Percobaan ini memperlihatkan bahwa iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan terjadinya keragaman dalam bobot kalus pasca iradiasi (subkultur 1 dan 2) dan terlihat juga pada laju pertumbuhan relatif. Berdasarkan Tabel 14 di antara populasi kalus yang diiradiasi menunjukkan terjadinya keragaman. Menurut Baihaki (1999), populasi yang bervariasi memiliki ciri-ciri khusus yang dapat dilihat dari nilai rata-rata, ragam, dan standar deviasi. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa nilai laju pertumbuhan relatif kalus pada populasi kalus kontrol (0 Gy), dan yang diiradiasi sinar gamma dosis 15 Gy, 25 Gy, dan 35 Gy menghasilkan nilai rata-rata yang berbeda nyata satu sama lainnya. Terlihat bahwa populasi kalus yang diiradiasi sinar gamma memiliki nilai tengah, standar deviasi, nilai ragam memiliki nilai yang paling besar, diikuti oleh populasi kalus yang tidak diiradiasi (kontrol). Tabel 14 Keragaman laju pertumbuhan relatif kalus iradiasi handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua Peubah
Dosis Iradiasi (Gy)
X
s
σ2
KK (%)
0
0.07*
0.05
0.0025
74.09
15
0.05*
0.04
0.0019
87.22
25
0.07*
0.07
0.0047
92.11
35
0.04*
0.04
0.0013
102.77
Keterangan: Angka-angka nilai tengah (x) yang diberi tanda (*), berbeda nyata menurut uji Duncan 5%, s = standar deviasi, σ2 = ragam, KK = koefisien keragaman.
Menurut Micke dan Donini (1993) iradiasi sinar gamma dapat meningkatkan keragaman suatu populasi dasar. Keragaman pada populasi yang diiradiasi
terdapat
juga
pada
penelitian
Suminar
(2010)
pada
nenas,
Qosim et al. (2007) pada manggis. Menurut Kim et al. (2004), Kova´cs dan
91
Keresztes (2002), dan Wi et al. (2005) dalam Wi et al. (2007) hal ini dikarenakan iradiasi sinar gamma bereaksi dengan atom atau molekul untuk memproduksi radikal bebas yang terdapat dalam sel. Radikal bebas ini dapat merusak atau memodifikasi komponen yang penting dari sel tanaman (gen, kromosom, dan genom) dan telah dilaporkan menyebabkan efek yang berbeda secara morfologi, anatomi, biokimia, dan fisiologi dari tanaman tergantung dari level iradiasi. Efek ini termasuk perubahan dalam struktur seluler tanaman dan metabolisme, pembesaran dari mebran tilakoid, perubahan dalam fotosintesis, modulasi dari sistem antioksidatif, dan akumulasi dari senyawa fenolik.
Simpulan 1.
Kombinasi media induksi 10 μM 2.4-D + 15 μM NAA menghasilkan eksplan berkalus paling banyak (1.88 buah). Kombinasi media induksi 5 μM 2.4-D + 10 μM NAA menghasilkan persentase eksplan berkalus paling besar (97.06%). Kombinasi media induksi 5 μM 2.4-D + 15 μM NAA menghasilkan bobot kalus paling besar (1.02 g).
2.
Kombinasi media dalam konsentrasi NAA 15 μM pada semua konsentrasi 2.4-D menghasilkan persentase kalus warna putih yang lebih besar dibandingkan dengan kombinasi media NAA 10 μM pada semua konsentrasi 2.4 D.
3.
Interaksi kombinasi media proliferasi 2.5 μM 2.4-D + 5 μM NAA + vit media dasar MS dengan handeuleum aksesi Papua menghasilkan bobot kalus proliferasi paling tinggi (1.37 g).
4.
Interaksi antara aksesi Papua, iradiasi sinar gamma dosis 15 Gy, dan media regenerasi 4.44 μM BAP, menghasilkan bobot kalus subkultur 1 dan subkultur 2 hasil iradiasi paling besar, berturut-turut sebesar 0.570 g dan 0.595 g
5. Dosis iradiasi 25 Gy pada aksesi Kalimantan menghasilkan laju pertumbuhan relatif kalus hasil iradiasi paling tinggi (0.448). 6.
Dosis iradiasi 25 Gy menghasilkan kalus warna putih kecoklatan sebesar 13%, sedangkan perlakuan lain tidak.
92
7.
Iradiasi sinar gamma dosis 25 Gy menghasilkan nilai ragam paling besar terhadap laju pertumbuhan relatif kalus hasil iradiasi (0.0047).
Saran 1.
Dilakukan percobaan induksi kalus dengan laju konsentrasi zat pengatur tumbuh yang lebih rendah, menggunakan media dasar dan jenis eksplan yang lain.
2.
Dilakukan percobaan lanjutan hingga regenerasi tanaman dan menguji stabilitas mutan yang dihasilkan hingga beberapa generasi di lapang.
3.
Dilakukan analisis kromosom untuk melihat keragaman akibat iradiasi.
93
PEMBAHASAN UMUM Perbaikan sifat genetik dari tanaman dapat melalui pemuliaan, baik konvensional maupun modern (Soedjono 2003). Bahan tanaman yang digunakan didapatkan dengan cara meningkatkan keragaman dari tanaman tersebut, salah satu cara untuk meningkatkan keragaman pada tanaman adalah dengan penggunaan metode mutasi (Aisyah 2006) dengan iradiasi sinar gamma. Iradiasi sinar gamma dapat diterapkan secara in vitro maupun in vivo (van Harten 1998). Metode ini terutama diterapkan pada tanaman yang tidak dapat disilangkan atau diperbaiki melalui teknik pemuliaan konvensional (Soedjono 2003). National Nuclear Agency (2002) menyebutkan metode mutasi memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan metode pemuliaan konvensional, salah satunya adalah kemampuannya untuk merubah beberapa karakter saja, tanpa merombak seluruh karakter dasar tanaman tersebut. Handeuleum merupakan tanaman obat yang memiliki potensi yang besar untuk dibudidayakan dalam skala yang luas karena khasiatnya yang banyak. Handeuleum memiliki keragaman genetik yang sempit karena tidak terbentuk biji, perbanyakannya hanya melalui perbanyakan vegetatif. Selain itu, handeuleum memiliki hama utama larva Doleschallia bisaltide yang dapat menurunkan hasil hingga 70% (Baringbing & Mardiningsih 2000). Oleh karena itu, untuk meningkatkan keragamannya dan untuk mendapatkan kandidat tanaman yang tahan hama adalah dengan cara metode induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma secara in vivo (iradiasi pada stek pucuk) dan in vitro (iradiasi pada kultur kalus). Meningkatnya keragaman akan memberikan peluang yang lebih besar diperolehnya karakter-karakter yang diinginkan. Iradiasi pada stek pucuk dilakukan karena kemudahan dalam pengaplikasiannya, serta dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat apabila dibandingkan dengan induksi mutasi pada kultur in vitro. George (1993) menyatakan kalus merupakan sel monoseluler yang belum terdiferensiasi, jadi bila diinduksi mutasi dengan sinar gamma akan mudah untuk mendapatkan mutan yang solid. Iradiasi sinar gamma pada penelitian ini telah menyebabkan keragaman pada handeuleum. Penerapannya pada pucuk tanaman handeuleum aksesi Bogor menimbulkan keragaman pada peubah pertumbuhan (tinggi tanaman, jumlah
94
daun, panjang daun, dan lebar daun), peubah morfologi (warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun), anatomi daun irisan transversal (jumlah stomata, jumlah epidermis, kerapatan stomata, dan indeks stomata), anatomi daun irisan paradermal (tebal daun, tebal kutikula, tebal epidermis atas, panjang palisade, tebal bunga karang, dan tebal epidermis bawah), fitokimia (antosianin, klorofil total, karotenoid, alkaloid, saponin, tanin, fenolik, triterpenoid, steroid, dan glikosida) dan secara enzimatis (enzim peroksidase, esterase, alkohol dehodrogenasi, asam fosfatase, dan malat dehidrogenase). Begitu pula ketika iradiasi diterapkan pada kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua, menimbulkan keragaman terhadap laju pertumbuhan relatif kalus hasil iradiasi. Iradiasi sinar gamma bekerja dengan cara mengionisasi atom-atom dalam jaringan dengan cara melepaskan elektron-elektron dari atomnya (Aisyah 2006). Disebut ionisasi karena jika melewati materi akan melepaskan energi terpisah (Ismachin 2007). Proses ionisasi membentuk molekul air yang terionisasi (H2O*-) dan elektron bebas (e-). Molekul air yang terionisasi kemudian menghasilkan radikal °OH dan H°, yang apabila bertemu dengan oksigen akan menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2). Sedangkan elektron bebas (e-) akan mempolarisasi molekul air (yang banyak terdapat dalam jaringan tanaman) menjadi solvated electron/elektron terhidrasi (e-aq), yang mana apabila elektron terhidrasi ini bertemu dengan oksigen akan menghasilkan anion superoxide (O2°-) (Esnault et al. 2010). Radikal bebas primer (*OH, H*) dan sekunder (H2O2, O2*-) ini biasa disebut dengan Reactive Oxygen Species (ROS). Reaksi di atas disajikan pada Gambar 28. Menurut Gill dan Tuteja (2010), ROS H2O2 adalah radikal bebas yang memiliki masa paruh yang lama dalam jaringan. Selain itu, mungkin radikal ini dapat menginaktifkan enzim dengan cara mengoksidasi grup tiolnya, sehingga H2O2 menyebabkan kerusakan paling besar pada tanaman yang diiradiasi. ROS menyebabkan kerusakan pada lemak, protein, karbohidrat, dan DNA sehingga akan mengarahkan pada kematian sel. Kerusakan terlihat pada tanaman Arabidopsis thaliana yang digunakan dalam penelitian Shikazono et al. (2005), dimana tanaman diinduksi mutasi dengan ion kabon dan fast neutron. Shikazono
95
melalui analisis kromosom breakpoints memperlihatkan bahwa ionisasi menyebabkan terjadinya rearregement, delesi, inversi, insersi, dan translokasi pada sekuen DNA. Berubahnya DNA menyebabkan terjadinya perubahan gen, sehingga otomatis merubah reaksi-reaksi yang dikendalikan oleh gen-gen tersebut, akhirnya terjadi perubahan secara morfologi, anatomi, biokimia, dan fisiologi dari tanaman (Kim et al. 2004, Kova´cs dan Keresztes 2002, Wi et al. 2005).
Gambar 28
Radikal bebas primer (*OH, H*) dan sekunder (H2O2, O2*-) terlibat pada stres okidatif yang diproduksi oleh IR. eaq-: solvated electron/elektron terhidrasi; H2O*: molekul air yang tereksitasi (Esnault et al. 2010).
Iradiasi sinar gamma pada stek pucuk handeuleum aksesi Bogor (penelitian 1) menghasilkan nilai GR50 pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun. Menurut perhitungan analisis curve fit GR50 untuk peubah-peubah di atas adalah beruturut-turut sebesar 42 Gy, 33 Gy, 113 Gy, dan 122 Gy. Menurut Akgun dan Tosun (2004) GR50 adalah dosis dimana terjadi penurunan pertumbuhan 50% dari pertumbuhan tanaman kontrol. Berdasarkan hasil penelitian Aisyah (2006) pada stek pucuk anyelir, tinggi rendahnya radiosensitivitas secara tidak langsung mengacu pada kemudahan jaringan tanaman membentuk mutan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor anatomi sel (bentuk dan kekuatan sel), sifat fisiologi sel (kadar air dan oksigen), dan sifat genetik sel.
96
Iradiasi sinar gamma pada umumnya menyebabkan penurunan nilai pengamatan pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun, warna daun, tekstur daun, dan warna batang. Diduga penurunan tinggi tanaman, jumlah daun, panjang daun, dan lebar daun salah satunya dipengaruhi oleh menurunnya produksi hormon auksin dalam tanaman. Auksin merupakan hormon yang berperan dalam pembelahan sel untuk pertumbuhan tanaman. Menurut penelitian Momimaya et al. (1999), iradiasi sinar gamma dosis 3000 Gy mempengaruhi aktivitas protein IAA oksidatif pada koleoptil jagung yang nantinya berpengaruh pada pembentukan IAA endogen. Iradiasi sinar gamma menyebabkan terjadinya perubahan warna pada daun dan batang handeuleum. Tanaman pada dosis 60 Gy, 75 Gy, dan 90 Gy memiliki daun berwarna ungu kehijauan, sedangkan pada dosis 105 Gy warna daun menjadi hijau. Begitu pula pada warna batang, tanaman yang diiradiasi dosis 75 Gy, 90 Gy, dan 105 Gy memiliki warna batang hijau. Warna yang terlihat oleh mata diakibatkan oleh gelombang cahaya yang dipantulkan oleh benda tersebut. Warna merah keunguan tanaman handeuleum disebabkan oleh pigmen antosianin. Hopkins
dan
Hunner
(2004)
mengatakan
bahwa
antosianin
mentransmisikan cahaya biru dan merah. Menurut Woodall dan Stewart (1998) antosianin memiliki distribusi yang luas pada daun, yaitu pada vakuola sel epidermis dan sel-sel mesofil daun. Letak antosianin yang tersebar menutupi klorofil dan karotenoid yang terletak pada kloroplas yang berada di sel palisade dan bunga karang, mengakibatkan antosianin lebih berperan dalam menimbulkan warna pada handeuleum (ungu). Warna hijau pada handeuleum yang diiradiasi diduga disebabkan karena antosianin merupakan pigmen yang pertama kali mengalami kerusakan, hal ini dikarenakan letaknya yang berada di atas sel-sel yang mengandung klorofil dan karotenoid. Sehingga dengan rusaknya antosianin maka warna daun handeuleum kemudian ditentukan oleh pigmen klorofil dan karotenoid. Menurut Falconer (1970) analisis keragaman dapat berdasarkan data pengamatan atau pengamatan karakter morfologi tertentu. Ahloowalia (1995) menyatakan bahwa keragaman dapat berupa defisiensi klorofil, aneuploid, resistensi terhadap penyakit, tinggi tanaman, luas daun, panjang daun, ketebalan
97
batang, vigor, pembungaan, fertilitas, dan hasil panen. Penelitian ini menghasilkan keragaman fenotipik pada peubah pengamatan, kecuali pada peubah indeks stomata. Terjadinya keragaman juga ditunjukkan oleh adanya polimorfisme pada enzim PER, EST, dan ACP. Dimana tanaman yang diiradiasi memiliki band yang berbeda dari tanaman kontrolnya. Menurut Hartana (2003), isozim merupakan produk gen, sehingga hasil analisisnya dapat menjadi cerminan aktivitas gen secara langsung, yaitu bila ada perubahan dalam sekuen DNA yang mengakibatkan perubahan asam aminonya. Pengujian fitokimia (alkaloid, saponin, tanin, fenolik, triterpenoid, steroid, dan glikosida) secara kualitatif menunjukkan satu hal yang menarik, yaitu dosis iradiasi 15 Gy menghasilkan satu jenis fitokimia yang baru yang sebelumnya tidak terdapat pada perlakuan kontrol (0 Gy). Selain itu, tanaman yang diberi perlakuan iradiasi memiliki kandungan saponin yang tinggi (4+) dibandingkan dengan tanaman kontrol (3+). Penelitian ini menghasilkan mutanmutan putatif, dimana variasi morfologi yang paling banyak dihasilkan oleh perlakuan 45 Gy. Iradiasi sinar gamma juga menyebabkan keragaman kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua (penelitian 2), yang terlihat pada laju pertumbuhan relatif kalus. Meski pada penelitian ini tidak diteruskan sampai terbentuknya planlet, akan tetapi pengukuran pada kalus sudah dapat terlihat pengaruh dari iradiasi sinar gamma. Van Harten (1998) memaparkan bahwa penyebaran iradiasi sinar gamma memiliki sifat acak terhadap jaringan. Menurut Ismachin (2007) iradiasi yang bersifat acak menyebabkan ionisasi dari sinar gamma tidak hanya mengenai seluruh bagian sel yang memang sensitif terhadap paparan iradiasi, tetapi juga mengenai sel yang tidak sensitif sehingga ada kemungkinan sel menjadi selamat. Selain itu, DNA tanaman memiliki sistem perbaikan sendiri terhadap adanya kerusakan yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal (Kimball 1987). Friedberg (1985) menyatakan bahwa proses perbaikan DNA melibatkan kerja dari enzim perbaikan yang spesifik atau oleh lintasan biokimia yang spesifik juga. Lebih jauh Friedberg menjelaskan terdapat dua sistem perbaikan yang
98
fundamental, yaitu: (1) tipe yang bervariasi dari kerusakan yang diperbaiki secara langsung, dan (2) pemotongan dari area yang rusak. Penjelasan di atas dapat menjadikan suatu alasan mengapa iradiasi sinar gamma tidak menunjukkan menghasilkan perbedaan yang jelas antar populasi yang diiradiasi oleh dosis yang berbeda, bahkan pada populasi yang diiradiasi dengan dosis yang sama pun menghasilkan nilai yang berbeda pada masingmasing peubah pengamatan.
99
SIMPULAN UMUM DAN SARAN Simpulan 1. Iradiasi sinar gamma menghasilkan keragaman fenotipik yang luas, dimana dihasilkan 72.5% mutan putatif. 2. Iradiasi sinar gamma menyebabkan keragaman, terlihat pada nilai ragam laju pertumbuhan relatif kultur kalus handeuleum aksesi Kalimantan dan Papua.
Saran 1. Melanjutkan penelitian evaluasi pertumbuhan dan morfologi pada stek pucuk hasil iradiasi sampai beberapa generasi untuk mendapatkan mutan yang stabil. 2. Melanjutkan regenerasi tanaman dari kalus hasil iradiasi sinar gamma pada kultur kalus sampai didapat planlet. 3. Melakukan pengamatan di tingkat sitologi dan DNA, untuk mengetahui pengaruh iradiasi terhadap kromosom dan DNA.
DAFTAR PUSTAKA Akgun I, Tosun M. 2004. Agricultural and cytological charateristics of M1 perenial rye as effected by the application of different doses of gamma rays. Pakistan Journal of Biological Science 7(5):827-833. Ahloowalia BS. 1995. In Vitro Techniques and Mutagenesis for the Improvement of Vegetative Propagated Plants. Di dalam: Jain M, Brar DS, Ahloowalia BS, editor. Somaclonal Variation and Induced Mutation in Crop Improvement. London: Kluwer Acad. hlm 293-309. Aisyah SI. 2006. Induksi mutagen fisik pada anyelir (Dianthus caryophyllus L.) dan pengujian mutannya yang diperbanyak secara vegetatif [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aisyah SI, Hapsari L, Herlina D. 2004. Induced mutation on Jasmine (Jasminum spp.) trough gamma irradiation. Journal of Agriculture and Rural Development in the Tropics and Subtropics 80:180-185. Ahnstroem G. 1977. Radiobiology. Di dalam: Manual on Mutation Breeding, Ed ke-2. Tech. Report Series No. 199. Joint FAO/IAEA. Vienna: Div. Of Atomic Energy in Food and Agricuture. hlm 286. Ammirato PV. 1982. Embryogenesis. Di dalam: Evans D, Sharp WR, Ammirato PV, Yamada Y, editor. Handbook of Plant Cell Culture Techniques for Propagation and Breeding. Volume ke-1. New York: Mac Millan Publ. Co. Arabi MIE. 2005. Enhancement of embryogenesis and plant regeneration from barley anther culture by low doses of gamma irradiation. In Vitro Cell Dev Biol Plant 41:762–764. Azrai M, Kasim F. 2003. Ketahanan galur jagung rekombinan terhadap penyakit bulai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 22(1):31-35. Badignnavar dan Murty AM, Murty GSS. 2007. Genetic enhancement of groundnut through gamma ray induced mutagenensis. Plant mutation reports 1(3):16-21. Baihaki A. 1999. Teknik rancang dan analisis penelitian pemuliaan. [Diktat Kuliah dan Praktikum]. Kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian dengan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Baringbing B, Mardiningsih TL. 2000. Serangga perusak daun ungu (Graptophyllum pictum L. Griff). Warta Tumb Obat Ind 6(3):15-17.
102
Bermawie N, Kristina NN, Nurhayati H. 2006. Jamu used for women’s health caring Indonesia. Di dalam: Proceedings Women’s Healths and Asian Traditional Medicine Conference and Exhibition. 28-30 July. Putra World Trade Centre, Kuala Lumpur, Malaysia. hlm 45-54. Biofarmaka-IPB. 2002. Tanaman Obat Indonesia: Keragaan Pasar, Standar Mutu dan Permasalahannya. Bogor: Pusat Studi Biofarmaka-LP IPB bekerjasama dengan Direktorat THSAT, Dirjen B2HP Deptan. Boumann H, Klerk GJ. 1997. Somaclonal Variation. Di dalam: Geneve RL, Preece JE, Merkle SA, editor. Biotechnology of Ornamental Plants. United Kingdom: CAB. hlm 165-183. BPOM. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Vol 1:77-79. BPPT. 2008. Handeuleum (Graptophyllum pictum (Linn) Griff.). Jakarta: Sentra Informasi IPTEK. Brewer GJ, Sing CF. 1970. An Introduction to Isozyme Techniques. New York: Acad Press. hlm 186. Broertjes C, van Harten AM. 1998. Applied Mutation Breeding for Vegetatively Propagated Crops. London: Development in Crop Science. Elsevier. hlm 286-287. Briggs RW, Constantin MJ. 1977. Radiation Types and Radiation Sources Tech. Pepps. Sr. No. 119. Manual on Mutation Breeding IAEA. Vienna. Buchanan BB, Gruissem W, Jones RL. 2000. Biochemistry and Molecular Biology of Plant. Maryland: American Society of Plant Physiologists. Calucci L et al. 2003. Effects of gamma irradiation on the free radical and antioxidant contents in nine aromatic herbs and spices. J Agric Food Chem 51:927–934. Charriere F, Sotta B, Miginiac E, Hahne G.1999. Induction of adventitious shoots or somatic embryos on in vitro culture. Plant Physiol Biochem 37(10):752757. Chaudhari HK. 1971. Elementary Principles of Plant Breeding. Ed ke-2. New Delhi: Oxford and IBH Publ. hlm 327. Chawla SP, Chander R, Sharma A. 2007. Antioxidant formation by γ-irradiation of glucose amino acid model systems. Food Chemistry 103:1297-1304. Chung BY et al. 2006. Effects of low-dose gamma-irradiation on production of shikonin derivatives in callus cultures of Lithospermum erythrorhizon S. Radiation Physics and Chemistry 75(9):1018-1023.
103
Cools T, Veylder DEL. 2009. DNA stress checkpoint control and plant development.Curr Opin Plant Biol 12:23–28. Crowder LV. 1997. Genetika Tumbuhan. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Cuttriss AJ, Mimica JL, Howwitt CA, Pogson BJ. 2007. Carotenoids. Di dalam Wise RR, Hobber JK, editor. The Structure and Function of Plastid. Australia: Springer-Verlag. hlm 315-334. Darajat AA. 1987. Variabilitas dan adaptasi genotip terigu pada berbagai lingkungan tumbuh di Indonesia [disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran. Datta SK, Misra P, Mandal AKA. 2005. In vitro mutagenesis-a quick method for establishment of solid mutant in chrysanthemum. Curr Sci 88:153-158. Dickison WC. 2000. Integrative Plant Anatomy. Tokyo: Academic Press. Djazuli M, Fathan R. 2000. Pengaruh pemupukan dan pemangkasan terhadap pertumbuhan, status hara, dan produktivitas daun ungu (Graptophyllum pictum L. Griff). Warta Tan Obat Ind 6(3):6-8. Esnault MA, Legue F, Chenal C. 2010. Ionizing radiation: advances in plant response. Environmental and Experimental Botany 68:231–237. Fahn A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah University Press. Falconer DS. 1970. Introduction to Quantitative Genetics. Edinburg: Oliver & Boyd. Fauza H, Karmana MH, Rostini N, Mariska I. 2005. Pertumbuhan dan variabilitas fenotipik manggis hasil iradiasi sinar gamma. Zuriat 16(2):133-144. Filippov M, Miroshnichenko D, Vernikovskaya D, Dolgov S. 2006. The effect of auxins, time exposure to auxin and genotypes on somatic embryogenesis from mature embryos of wheat. Plant Cell Tissue and Organ Culture 84:213–222. Friedberg EC. 1985. DNA Repair. New York: Freeman & Company. Gamborg O, Shyluk. 1981. Characteristic of Plant Cell and Tissue Culture. Di dalam: Trope TA, editor. Plant Tissue Culture, Method and Application in Agriculture. San Fransisco: Academic Press. Gang Lu et al. 2007. Effect of radiation on regeneration of Chinese narcissus and analysis of genetic variation with AFLP and RAPD markers. Plant Cell Tiss Organ Cult 88:319–327.
104
George EF. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture. Ed-2. England: Exegetics Limited. George EF, Sherington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. England: Exegetics Ltd. Gill SS, Tuteja N. 2010. Reactive oxygen species and antioxidant machinery in abiotic stress. Plant Physiology and Biochemistry 48:909-930. Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Bogor: PAUBioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Handayanti W, Darliah, Mariska I, Purnamaningsih R. 2001. Peningkatan keragaman genetik mawar mini melalui kultur in vitro dan iradiasi sinar gamma. Berita Biologi 5 (4):365-371. Harahap F. 2005. Induksi variasi genetik tanaman manggis (Garcinia mangostana) dengan radiasi sinar gamma [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harborne J, Williams C. 2000. Advances in flavonoid research since 1992. Phytochemistry 55:481-504. Harrison K, Were LM. 2007. Effect of gamma irradiation on total phenolic content yield and antioxidant capacity of Almond skin extracts. Food Chemistry 102:932-937. Hartana A. 2003. Elektroforesis Sebagai Alat Pelacak Marka Molekul Biologi: pelatihan singkat teknik analisis dengan metode dan peralatan mutakhir di bidang hayati dan kimia. Bogor: Laboratorium Biologi Tumbuhan. PSIHInstitut Pertanian Bogor. hlm 29-30. Hewawasam WDCJ, Bandara DC, Aberathne WM. 2004. New phenotypes of crossandra infundibuliformis var. Danica trough in-vitro culture and induced mutations. Tropical Agricultural Research 16:253-270. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Litbang Departemen Kehutanan, penerjemah. Jakarta: Yayasan Sarana Wanajaya. Terjemahan dari: De Nuttige Planten van Indonesie. Hopkins WG, Huner NPA. 2004. Introduction to Plant Physiology. USA: John Wiley & Sons, Inc. Hua Z, Riqiang C, Yonghua Y. 1999. Influence of gamma ray on shikonin formation in cultured cells of Onosma paniculatum Bur. et Franch. Journal of Plant Resources and Environment 01. Ibrahim R. 1999. In vitro mutagenesis in roses [tesis]. Belgium: Universitas Gent.
105
Ismachin M. 2007. Diklat Ilmu Pemuliaan, Sejarah Ilmu Pemuliaan Mutasi. Jakarta: BATAN. Isnawati A, Soediro I. 2003. Pemeriksaan senyawa-senyawa turunan fenol daun handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff). Media Litbang Kesehatan Vol 13 Nomor 1. Jain SM. (2005). Major mutation-assisted plant breeding programs supported by FAO/IAEA. Plant Cell Tiss Org Cult 82:113–123. Kadir A. 2007. Induksi varian somaklon melalui iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro untuk mendapatkan tanaman nilam toleran terhadap cekaman kekeringan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Karimi N, Mofid MR, Ebrahimi M, Nekouei SMK. 2010. Effect of genotype, explant size, and position on callus induction in Cereus peruvianus Mill. (cactaceae). Trakia Journal of Sciences 1(8):33-37. Kaufman PB, Cseke LJ, Warber S, Duke JA, Brielmann HL. 1999. Natural Products from Plants. Florida: CRC Press LCC. Kendarini N. 2006. Penggunaan radiasi sinar gamma untuk induksi keragaman somaklonal pada krisan (Dendrathema grandiflora Tzvelev) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Khumaida N, Handayani T. 2010. Induksi dan Proliferasi Kalus Embriogenik pada Beberapa Genotipe Kedelai. J Agron Indonesia 38(1):19-24. __________, Kristina NN, Novita D. 2008. Karakterisasi morfologi dan kandungan bahan aktif handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff). Di dalam: Potensi Tumbuhan Obat Indonesia Cengkeh (Syzygium aromaticum Linn.) dan Ketumbar (Coriandum sativum Linn.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXXV; Serpong: 13-14 Nopember 2008. Serpong: Puspitek 2008. hlm 147-154. ___________, Kristina NN, Sartiami D, Mardiningsih TL. 2008. Kearifan lokal penduduk jawa barat, maluku, dan papua dalam memanfaatkan tanaman obat handeuleum (Graptophyllum pictum L. Griff). Di dalam: Potensi Tumbuhan Obat Indonesia Cengkeh (Syzygium aromaticum Linn.) dan Ketumbar (Coriandum sativum Linn.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXXV; Serpong: 13-14 Nopember 2008. Serpong: Puspitek 2008. hlm 284-290. Kim JH, Lee MH, Moon YR, Kim JS, Wi SG, Kim TH, Chung BY. 2009. Characterization of metabolic disturbances closely linked to the delayed senescence of Arabidopsis leaves after irradiation. Environmental and Experimental Botany 67:363–371.
106
Kimball RF. 1987. The development of ideas about the effects of DNA repair on the induction of gene mutations and chromosomal aberrations by radiation and by chemicals. Mutation Research 186:1-34. Kim JH, Baek MH, Chung BY, Wi SG, Kim JS. 2004. Alterations in the photosynthic pigments and antioxidant machineries of red pepper (Capsicum annuum L.) seedlings from gamma-irradiated seeds. J Plant Biol 47:314–321. Kon E, Ahmed OH, Saamin S, Majid NMA. 2007. Gamma radiosensitivity study on Long Bean (Vigna sesquipedalis). American Journal of Applied Sciences 4(12):1090-1093. Koseki PM et al. 2002. Effects of irradiation in medicinal and eatable herbs. Radiation Physics and Chemistry 63:681-684. Kovalchuk I, Molinier B, Yao Y, Arkhipov A, Kolvachuk O. 2007. Transcriptome analysis reveals fundamental differences in plant response to acute and chronic exposure to ionizing radiation. Mutant Res/Fundam Mol Mech Mutagen 624:101–113. Kristina NN, Mardaningsih TL. 2008. Keragaan tanaman handeuleum (Graptophyllum pictum). Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 14(2):11-14. Kova´cs E, Keresztes A. 2002. Effect of gamma and UV-B/C radiation on plant cell. Micron 33:199–210. Lee NY, Jo C, Sohn SH, Kim JK, Byun MW. 2006. Effects of gamma irradiation on the biological activity of green tea byproduct extracts and a comparison with green tea leaf extracts. Journal of Food Science 71:C269-C274. Lestari. 2005. Akumulasi prolin untuk seleksi ketahanan kekeringan pada tanaman padi hasil seleksi in vitro. Di dalam: Proceeding Seminar Nasional Tantangan dan Peluang Pengembangan Bioteknologi Pertanian Menghadapi Era Globalisasi; Malang, 4 Mei 2005. hlm 103-113. Maluszynski M, Nichterlein K, van Zanten L, Ahloowalia B. 2000. Official released mutant varieties- the FAO/IAEA database. Mut Breed 12:1–88. Maluszynski M, Ahloowalia BS, Sigurbjörnnsson B. 1995. Application of in vivo and in vitro mutation techniques for crop improvement. Euphytica 85:303315. Mandal AKA, Chakrabarty D, Datta SK. 2000. Application of in vitro techniques in mutation breeding of Crysanthemum. Plant Cell Tissue and Organ Culture.
107
Mantell SH, Matthews JA, Mc Kee RA. 1985. Principles of Plant Biotechnology: an Introduction to Genetic Engineeringin Plants. Oxford: Blackwell Scientific Publ. Mariska, Hobir, Gati E, Seswita. 1996. Peningkatan keragaman genetik tanaman nilam melalui kultur kalus dan radiasi. Pertemuan aplikasi isotop dan radiasi. Badan Tenaga Atom Nasional, Jakarta 9-10 Januari 1996. hlm 17. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I Ed ke-2. Bogor: IPB Press. Micke A, Donini B. 1993. Induction Mutation. Di dalam: Hayward MD, Bosemark NO, and Romagosa I, editor. Plant Breding Principles and Prospects. London: Chapmann and Hall. Micke A, Donini B, Maluszski M. 1987. Induced mutation for crop improvementa review. Top Agric 64(4):259-278. Miyuki M, Tomokazu K, Koji F, Yuji K, Mitsuhiko S. 1999. Effects of gamma irradiation on elongation and indole-3-acetic acid level of maize (Zea mays) coleoptiles. Environmental and Experimental Botany. 41:131–143. Momiyama M, Koshiba T, Furukawa K, Kamiya Y, Sato M. 1999. Effects of γirradiation on elongation and indole-3-acetic acid level of maize (Zea mays) coleoptiles. Environmental and Experimental Botany 41:131-143. Mualim L. 2009. Kajian pemupukan NPK dan jarak tanam pada produksi antosianin daun kolesom [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mu’minah. 2007. Pengaruh ekstrak etanol daun handeuleum (Graptophyllum pictum (L.) Griff) terhadap kadar total lipid, kolesterol ldl dan hdl serum darah mencit (Mus muculus) yang diovariektomi [tesis]. Surabaya: Program Pascasarjana, Universitas Airlangga. Muthusamy A, Vasanth K, Sivasankari D, Chandrasekar BR, Jayabalan N. 2007. Effects of mutagens on somatic embryogenesis and plant regeneration in groundnut. Biologia Plantarium 51(3):430-435. Nagata T, Yamada H, Du Z, Todoriki S, Kikuchi S. 2005. Microarray analysis of genes that respond to gamma-irradiation in Arabidopsis. J Agric Food Chem 53:1022–1030. Nagata T et al. 1999. Radiation induces leaf trichome formation in Arabidopsis. Plant Physiol 120:113–119.
108
National Nuclear Energy Agency. 2002. Varietal Improvement of Vegetatively Propagated Crops by Mutation Techniques in Indonesia. http://www.fnca.ip/english/e_old/2_totuzenheni/3/2002ws/04/02indonesia/ main.html. Nigro F, Ippolito A, Lattanzio V, Di Venere D, Salerno M. 2000. Effect of ultraviolet-C light on postharvest decay of strawberry. Journal of Plant Pathology 82:29-37. Patade VY, Suprasanna P, Bapat VA. 2008. Gamma irradiation of embryogenic callus culture and in vitro selection for salt tolerance in sugarcane (Saccharum officinarum L.). Agricultural Science in China 7(9):11471152. Pellegrini CN, Crocib CA, Orioli GA. 2000. Morphological changes induced by different doses of gamma irradiation in garlic sprouts. Radiation Physics and Chemistry 57: 315-318. Poespodarsono. 1996. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor: Pusat Antar Universitas dan Lembaga Sumberdaya Informasi, IPB. [PSBI] Pusat Studi Biofarmaka IPB. 2008. Pasar domestik dan ekspor produk tanaman obat (biofarmaka). http://www.seafast.ipb.ac.id. Prakash MG, Gurumurthi K. 2009. Effects of type of explant and age, plant growth regulators and medium strength on somatic embryogenesis and plant regeneration in Eucalyptus camaldulensis. Plant Cell Tiss Organ Cult.: DOI 10.1007/s11240-009-9611-1. Pramono E. 2002. Perkembangan dan prospek industri obat tradisional Indonesia. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia; Surabaya, 27-28 Mar 2002. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. hlm 18-27. Qosim WA, Purwanto R, Wattimena GA,Witjaksono. 2007. Perubahan anatomi daun pada regeneran manggis akibat iradiasi sinar gamma in vitro. Zuriat 18(1):20-30. Riyadi A. 2009. Studi embriogenensis somatik tiga genotip kedelai toleran dan satu genotip peka naungan secara in vitro [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rostini N, Baihaki A, Setiamihardja R, Suryatmana G. 2000. Pewarisan karakter kandungan klorofil pada kedelai. Zuriat 11(2):65-72. Saepudin A. 2003. Kajian aktivitas antibakteri dari ekstrak kalus kedelai yang diinduksi 2,4-D + BA dan radiasi sinar gamma [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
109
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Sandman G, Scherr. 1998. Chloroplast Pigmen. Di dalam: AS Raghavendra, editor. Photosynthesis A Comparative Treatise. New York: Cambridge University Press. Sastra DR. 1996. Induksi keragaman somaklonal kentang (Solanum tuberosum L.) dengan radiasi sinar gamma [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sastrosumarjo S et al. 2006. Sitogenetika Tanaman. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. hlm 268. Shah MI, Jabeen M, Ilahi I. 2003. In vıtro callus induction, its proliferation and regeneration ın seed explants of wheat (Triticum aestivum L.) var. Lu-26S. Pak J Bot 35(2):209-217. Shikazono N, Suzuki C, Kitamura S, Watanabe H, Tano S, Tanaka A . 2005. Analysis of mutations induced by carbon ions in Arabidopsis thaliana. Journal of Experimental Botany 412(56):587–596. Simpson MJA, Withers LA. 1986. Characterization of Plant Genetic Resources Using Isozime Electrophoresis; A guide to The Literature. Rome: IBPGR. Sims DA, Gamon JA. 2002. Relationship between leaf pigmen content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structure and developmental stages. Remot Sens Environ 81:337-354. Sjamsuhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman Indonesia (1): Badan Litbang Kesehatan Departemen Kesehatan RI. hlm 271-492. Sleeper DA, Poehlman JM. 2006. Breeding Field Crops. Fifth edition. Blackwell Publishing. hlm 433. Soedjono S. 2003. Aplikasi mutasi induksi dan variasi somaklonal dalam pemuliaan tanaman. Jurnal Litbang Pertanian 22:70-78. Srilestari R. 2005. Induksi embrio somatik kacang tanah pada berbagai macam vitamin dan sukrosa. Ilmu Pertanian. 1(12):43-50. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: PT Gramedia. Sumastuti R. 2000. Efek infuse daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) pada usus kelinci terisolasi dalam kaitannya sebagai obat wasir. Warta TOI hal 1-3.
110
Suminar E. 2010. Induksi keragaman genetik dengan mutagen sinar gamma pada nenas secara in vitro [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. New York: The Benjamin/Cummings Publishing Co. Inc. Thomas TD, Sreejesh KR. 2004. Callus induction and plant regeneration from cotyledonary explants of ash gourd (Benincasa hispida L.). Scientia Horticulturae 100:359–367. Tisserat B. 1985. Embryogenesis, Organogenesis, and Plant Regeneration. Di dalam Dixon RE, editor. Plant Cell Culture: A practical Approach. Oxford England: I.R.L. Press Ltd. [USDA] United States Department of Agriculture. 2008. Classification for Kingdom Plantae Down to Genus Graptophyllum Nees. Urnemi, Yahya S, Darusman LK. 2002. Pengaruh pupuk fosfor dan pupuk herbal pada tiga taraf naungan terhadap pertumbuhan dan kadar metabolit sekunder tanaman daun jinten (Coleus ambonicus Lour.). Forum Pascasarjana 25(2):135-145. Tyas KN. 2006. Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui efisiensi penangkapan cahaya [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Van Harten AM. 2002. Mutation Breeding of Vegetatively Propagated Ornamentals. Di dalam: A. Vainstein, editor. Breeding for Ornamental: Classical and Molecular Approaches. Boston: Kluwer Academic Press. hlm 105-127. Van Harten AM. 1998. Mutation Breeding, Theory and Practical Applications. Cambridge: Cambridge University. hlm 353. Wada H, Koshiba T, Matsui T, Sato M. 1998. Involvement of peroxidase in differential sensitivity to gamma radiation in seedlings of two Nicotiana species. Plant Sci 132:109–119. Wahyuningtyas, E. 2005. The Graptophyllum pictum extract effect on acrylic resin complete denture plaque growth. Majalah Kedokteran Gigi (Dent J) 38(4):201-204. Wanil M, Pandel S, More N. 2010. Callus induction studies in Tridax procumbens L. International Journal of Biotechnology Applications 1(2):11-14. Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor: PAU dan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB.
111
Wendel JF, Weeden. 1989. Visualization of Plant Isozymes. Di dalam: Soltis DE, Soltis PS, editor. Isozyme in Plant Biology. Portland Oregon: Dioscorides Press. Wibowo. 2000. Beberapa formulasi obat tradisional yang mengandung komponen daun ungu (Graptophyllum pictum L. Griff). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 6(3):9-12. Widiastuti A. 2010. Analisis keragaman genetik manggis (Garcinia mangostana L.) hasil iradiasi sinar gamma berdasarkan morfologi, anatomi, dan penanda ISSR [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wilmer CM. 1983. Stomata. London: Longman. Wi SG et al. 2005. Ultra structural changes of cell organelles in Arabidopsis stem after gamma irradiation. J Plant Biol 48(2):195–200. Wi SG, Chung BY, Kim JS, Kim JH, Baek MH, Lee JW, Kim YS. 2007. Effects of gamma irradiation on morphological changes and biological responses in plants. Micron 38:553–564. Witjaksono, Litz RE. 2004. Effect of gamma irradiation on embryogenic avocado cultures and somatic embryo development. Plant Cell Tissue and Organ Culture 77:139-147. Wongpiyasatid A, Thinnok T, Taychasinpitak T, Jompuk P, Chusreeaeom, Lamseejan S. 2007. Effect of acute gamma irradiation on adventitious planlet regeneration and mutation from leaf cuttings of african violet (Saintpaulia ionantha). Kasetsart J (Nat Sci) 41(4):633-640. Woodall GS, Stewart GR. 1998. Do anthocyanin play a role in UV protetion of
the red juvenile leaves of syzygium?. Journal of Experimental Botany 49(325): 1447-1450.
Yan MM, Xu C, Kim CH, Um YC, Bah AA, Guo DP. 2009. Effects of explant type, culture media and growth regulators on callus induction and plant regeneration of Chinese jiaotou (Allium chinense). Scientia Horticulturae 123:124–128.
113
Lampiran 1 Analisis fitokimia a. Uji alkaloid Satu gram sampel daun digerus dan ditambahkan 1.5 ml kloroform dan tiga tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan lima tetes H2SO4 2 M. Fraksi asam dibagi menjadi tiga tabung kemudian masing-masing ditambahkan pereaksi Dragendorf, Meyer, dan Wagner. Adanya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada pereaksi Meyer, endapan merah pada pereaksi Dragendorf, dan endapan cokelat pada pereaksi Wagner. b. Uji flavonoid Sebanyak 0.5 g daun sampel ditambahkan dengan methanol sampai terendam lalu dipanaskan. Filtrat ditambahkan dengan lima tetes H2SO4, terbentuknya warna merah karena penambahan H2SO4 menunjukkan adanya senyawa flavonoid. c. Uji saponin Sebanyak 0.5 g sampel ditambahkan air secukupnya dan dipanaskan selama lima menit. Larutan tersebut didinginkan kemudian dikocok selama ±10 menit dan bila menimbulkan busa menunjukkan adanya saponin. d. Uji triterpenoid dan steroid Satu gram sampel ditambahkan 2 ml etanol lalu dipanaskan dan disaring. Filtratnya
diuapkan
kemudian
ditambahkan
dengan
eter.
Lapisan
eter
ditambahkan dengan pereaksi Liebermen Burchard (tiga tetes asetat anhidrat dan satu tetes H2SO4 pekat). Warna merah atau ungu yang terbentuk menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau adanya steroid. e. Uji tannin Lima gram sampel ditambahkan air kemudian didihkan selama beberapa menit. Disaring dan filtrat ditambahkan dengan 3 tetes FeCl3, warna biru tua atau hitam kehijauan yang terbentuk menunjukkan adanya tanin.
114
Lampiran 2 Analisis klorofil dan antosianin Klorofil dianalisis menggunakan metode Sims (2002). Pelaksanaannya adalah sebagai berikut: sampel daun diambil menggunakan alat pelubang yang berdiameter 1 085 cm. Sampel dimasukkan ke dalam mortar kemudian diberi 1 ml asetris (aseton) dengan menggunakan mikropipet, sampel daun digerus dan ditambah 1 ml asetris (aseton) lagi. Setelah itu dihomogenkan, lalu dimasukkan ke microtube 2 ml setelah sebelumnya diberi label sesuai perlakuan. Kemudian dimasukkan ke centrifuge 14 000 rpm selama 10 menit, 1 ml supernatan dan ± 3 ml asetris dipipet ke dalam tabung reaksi dan dimasukkan ke dalam spektrofotometer (Vortex → λ 663, 647, 537, dan 470). Selanjutnya dilakukan perhitungan kandungan antosianin, klorofil (a dan b), dan karotenoid.
115
Lampiran 3 Analisis isoezim Analisis pola pita isoezim dilakukan menurut metode Wendel dan Weeden (1989). Enzim yang akan dianalisis adalah enzim peroksidase (PER), esterase (EST), dan asam Fosfatase (ACP). Tahapan analisis isozim adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan gel pati. Gel pati yang digunakan mengandung 10% pati kentang. Pati kentang yang digunakan sebanyak 12 g dan buffer gel 120 ml. Pati dilarutkan dengan sedikit buffer gel dalam erlenmeyer, sisa buffer gel dipanaskan di atas hot plate sampai mendidih, kemudian ditambahkan ke dalam erlenmeyer yang berisi larutan pati tadi sampai habis dan larutan pati matang. Setelah itu, larutan divakum untuk menghilangkan udara dalam gel sampai gelembung udara habis. Gel lalu dituangkan secepat mungkin pada baku berukuran 10 cm x 15 cm, baki sebelumnya telah diolesi parafin cair dan lubang pada kaki baki ditutup dengan selotip. Gel lalu disimpan selama satu malam pada suhu 5 - 10ºC dalam lemari es. Buffer gel yang digunakan merupakan campuran 11.15 g tris, 2.7g asam sitrat, 200 ml buffer elektroda yang dilarutkan dalam 2000 ml H2O. Buffer elektroda merupakan campuran 11 875 g asam borat, 2 g NaOH, 1000 ml H2O dengan pH 8.3. 2. Ekstraksi enzim Daun muda sebanyak 0.2-0.5 g dimasukkan ke dalam mortar dan digerus halus dengan menambahkan pasir kuarsa sekitar 40 mg serta diberi buffer pengekstrak 1 ml. Ekstraksi enzim dilakukan dalam keadaan dingin di atas es untuk mencegah rusaknya enzim. Buffer ekstrak yang digunakan berupa campuran 5 g sukrosa, 1400 µM merkaptoetanol dan 100 ml H2O. Supernatan yang mengandung enzim diserap dengan memasukkan potongan kertas saring Whatman berukuran 0.5-0.7 cm ke dalam setiap mortar untuk menyerap cairan sel dari setiap contoh daun. Potongan kertas saring tersebut dilap menggunakan tissue untuk membuang cairan sel yang berlebih, selanjutnya potongan kertas saring tersebut disisipkan pada lubang gel yang tersedia.
116
3. Elektroforesis Selotip yang ada pada kaki cetakan dilepaskan kemudian gel yang telah disispi kertas saring dimasukkan dalam baki yang telah berisi buffer elektroda pH 8.3 sampai kaki cetakan terendam, selanjutnya disimpan dalam ruang pendingin. Elektroforesis awal dilakukan selama 30 menit pada 100 volt dan elektroforesis tetap pada 200 volt selama 4 jam. Untuk mengontrol jarak migrasi, salah satu lubang diberi penanda bromfenol biru. 4. Pewarnaan dan fiksasi. Setelah selesai elektroforesis, gel dibelah menjadi tiga bagian pada posisi horizontal di atas alat pemotong. Sebelumnya kertas saring dikeluarkan dari lubang-lubangnya. Lembaran gel dimasukkan ke dalam nampan yang masingmasing telah diberi larutan pewarna dari enzim yang telah disiapkan sebelumnya sampai gel terendam. Gel dalam baki diinkubasi pada suhu ruang sampai muncul pita yang cukup jelas pada gel. Metode pewarnaan yang digunakan adalah menurut Soltis dan Soltis (1992). Komposisi larutan pewarna untuk sistem enzim PER adalah campuran dari 100 ml buffer asetat pH 4.8 - 50 mg CaCl2, 0.05 mg 3-amino-9 etil karbazol (dilarutkan dalam 3 ml aseton), 150 mg MgCl2, dan 100 ml tris HCl pH 8.5, 20 mg NAD, 300 mg asam malat, 20 mg MTT, dan 4 mg PMS. Larutan pewarna untuk EST adalah campuran 0.05 M fosfat pH 6.0 5ml, aquades 45 ml, S 20 mg, β-Namhtyl acetate (yang dilarutkan dalam aseton) 20 mg serta garam Fast Blue RR 50 mg. Selesai pewarnaan, gel dicuci dengan air mengalir sampai bersih. Kemudian potongan gel difiksasi dengan 50% gliserol atau dengan campuran etanol : aquades : asam asetat : gliserol = 5 : 4 : 2 :1. 5. Dokumentasi Setelah dicuci dan difiksasi, gel dipindahkan dari baki ke tempat pengamatan menggunakan plastik transparansi. Pola pita yang muncul digambar di kertas dan difoto. Pengamatan terhadap analisis isozim tanaman krisan yang diuji dilakukan dengan cara deskripsi yaitu dengan menginterpretasikan pola pita yang terjadi.
117
Lampiran 4 Komposisi Media WPM Bahan Kimia (NH4)2SO4 NH4NO3 NaNO3 KNO3 Ca(NO3)2.4H2O CaCl2.2H2O MgSO4.7H2O Na2SO4 KH2PO4 NaH2PO4.H2O KCl FeSO4.7H2O Na2EDTA FeCl3.6H2O Fe2(SO4)3 MnSO4.4H2O ZnSO4.7H2O H3BO3 KI Na2MoO4.2H2O CuSO4.5H2O NiCl2.6H2O AlCl3 Myo-inositol Niacin Pyridoxine-HCl Thiamine-HCl Glycine Ca D-pantothenat Sucrose Sumber: Gunawan (1992).
Mg/l 400 576 96 370 170 27.8 37.3 22.3 8.6 6.2 0.25 100 0.5 0.5 1.0 20000