III.
METODOLOGI
Studi ini dimaksudkan sebagai kajian pemanfaatan areal pesisir untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan dengan suatu pendekatan ecological footprint dan pengembangan analisis ecological inputoutput di wilayah pesisir Provinsi Banten. Untuk keterkaitan pertumbuhan ekonomi dengan sektor perikanan budidaya maka studi ini dianalisis melalui Model Input-Output karena dalam tabel input-output dijabarkan bagaimana output suatu sektor ekonomi tergantung pada output sektor lainnya. Selanjutnya, untuk keperluan analisis model ini disederhanakan ke dalam ukuran matrik 10X10 sektor. Model ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan faktor fisik berupa input sumberdaya alam yang digunakan oleh sektor ekonomi dan eksternalitas yang timbul terhadap lingkungan sebagai akibat dari kegiatan tersebut. Tabel transaksi Provinsi Banten yang diterbitkan BPS, menunjukkan hubungan saling berkaitan antara sektor yang satu dengan sektor yang lainnya. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai analisis tabel input-ouput terlebih dahulu harus ditentukan koefisien input, karena koefisien input merupakan nilai yang sangat fundamental untuk merumuskan berbagai formulasi analisis yang merupakan manfaat dari tabel input-output. Model ini dikembangkan dengan memasukkan faktor fisik (PIOT) berupa input sumberdaya alam yang digunakan oleh sektor ekonomi dan eksternalitas yang timbul terhadap lingkungan sebagai akibat dari kegiatan tersebut, maka koefisien yang diperoleh meliputi koefisien input ekonomi dan ekologi. Nilai dari koefisien input ekonomi digunakan untuk menganalisis besarnya nilai keterkaitan langsung (direct linkages) ke belakang dan ke depan. Selanjutnya, nilai matrik kebalikan Leontief terbuka selain digunakan untuk menentukan besarnya nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung (direct and indirect linkages) ke belakang dan ke depan, dapat juga dimanfaatkan untuk menganalisis besarnya indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan serta income multiplier dan employment multiplier. Kegunaan analisis keterkaitan antar sektor, indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan, selain dapat melihat interaksi antar sektor akan dapat menentukan sektor andalan, potensial, jenuh atau kurang berkembang. Lain halnya dengan analisis multiplier, dari aspek ekonomi bertujuan untuk melihat
19
dampak dari peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah terhadap pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja sebagai cerminan pembangunan suatu sektor kegiatan dengan menggunakan analisis income multiplier dan employment multiplier. Dari aspek ekologi analisis lebih lanjut dari koefisien ekologi akan diperoleh nilai ecological multiplier baik dari sisi input maupun output. Analisis ecological multiplier akan memberikan estimasi dampak ekologi dari pembangunan suatu sektor kegiatan akibat peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah, baik dari input ekologi maupun dari output yang dihasilkan ke ekologi. Selanjutnya untuk mengestimasi daya dukung lingkungan untuk kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan ecological footprint, yaitu dengan membandingkan nilai biocapacity dari budidaya laut dan tambak dengan nilai ecological footprint dari budidaya tersebut. Hasil yang diperoleh berupa besaran parameter ha/kapita, yang berarti kemampuan lingkungan dan sumberdaya alam secara total dapat menghidupi kapita tersebut secara berkelanjutan jika potensi yang ada dimanfaatkan secara optimal. Alur kerangka analisis disajikan pada Gambar 2. Tabel Transaksi (I-O) Banten
MIOT
PIOT
Koefisien Ekologi
Ecological Footprint
Koefisien Ekonomi
Matriks Leontief
Analisis Keterkaitan
Daya Penyebaran Derajat Kepekaan
Input Ecological
Output Ecological
Biocapacity Income Multiplier
Employment Multiplier
Ecological Multiplier Carrying Capacity
Pemanfaatan Areal Pesisir Perikanan Budidaya
Gambar 2 Alur kerangka analisis.
20
Selain itu, lebih lanjut dapat dilihat hubungan ecological footprint dengan ecological input-output untuk menentukan batasan optimal dalam pemanfaatan areal pesisir untuk perikanan budidaya. Diharapkan hasil ini bisa menjadi rekomendasi dan pertimbangan pengambil kebijakan dalam merencanakan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir Provinsi Banten terkait dengan pemanfaatan areal pesisir untuk perikanan budidaya. 3.1.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian didasarkan pada pasal 18 UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa wilayah pesisir Provinsi Banten meliputi wilayah laut sejauh 12 mil, yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Secara geografis meliputi wilayah pesisir dari Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. 3.2.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian yang dilakukan dalam analisis ekologi-ekonomi
untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir
Provinsi
Banten
meliputi
budidaya
laut
dan
budidaya
tambak
menggunakan pendekatan ecological footprint dan pengembangan analisis ecological input-output dengan aspek ekologi dan ekonomi. Aspek ekologi meliputi input sumberdaya alam untuk kegiatan perikanan budidaya pesisir dalam hal ini berupa input areal dan mangrove serta dampak yang terjadi terhadap lingkungan akibat kegiatan tersebut yang berupa pencemaran bahan organik. Sedangkan aspek ekonomi mencakup dampak dari kegiatan perikanan budidaya pesisir terhadap pendapatan dan ketersediaan lapangan kerja. Cakupan lingkup analisis, terdiri dari : 1. Telaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan budidaya. 2. Estimasi dampak terhadap ekonomi dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir. 3. Estimasi daya dukung lingkungan pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan.
21
22
3.3.
Pengumpulan Data Data dan informasi diperoleh melalui dua cara, yaitu pengumpulan data
dan wawancara. Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer melalui wawancara untuk konfirmasi penggunaan areal. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran pustaka dan laporan dari berbagai instansi, yang meliputi: data fisik, sosial dan ekonomi, antara lain: Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten dan Tabel Input-Output Provinsi Banten. 3.4.
Analisis Data
3.4.1. Kekuatan Struktur dan Interaksi Antar Sektor Analisis deksriptif digunakan untuk menelaah kekuatan struktur dari perikanan budidaya terhadap struktur permintaan dan penawaran, struktur permintaan akhir dan struktur input primer, dengan cara mendeskripsikan angkaangka pada tabel dasar, yaitu tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen. Interaksi antar sektor dianalisis dengan menggunakan analisis keterkaitan; dan indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan. 3.4.1.1.
Analisis Keterkaitan
Keterkaitan sektor perikanan budidaya dengan sektor kegiatan lainnya dianalisis, baik sektor penyedia input maupun sektor yang menggunakan output dari sektor perikanan budidaya dengan menggunakan analisis keterkaitan (linkages), baik secara langsung (direct) ke belakang dan ke depan, maupun secara tidak langsung (indirect) ke belakang dan ke depan. a. Keterkaitan Langsung ke Belakang (Direct backward linkages) Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan keterkaitan suatu sektor tertentu terhadap sektor kegiatan yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung ke belakang suatu sektor ke-j merupakan penjumlahan suatu kolom kej dalam matrik koefisien teknis. Persamaan untuk mencari keterkaitan langsung ke belakang adalah : n
KB j =
∑X i =1
Xj
ij
n
= ∑ aij i =1
(1)
23
Keterangan : KB = Keterkaitan langsung ke belakang j
X = Banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j ij
X
= Total input sektor j
a
= Unsur matrik koefisien teknis
j
ij
b. Keterkaitan Langsung ke Depan (Direct forward linkages) Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan keterkaitan suatu sektor tertentu terhadap sektor kegiatan yang menggunakan sebagian output sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung ke depan suatu sektor ke-i merupakan penjumlahan suatu baris ke-i dalam matriks koefisien teknis. Keterkaitan tipe ini dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut : n
KDi =
∑X i =1
ij
Xi
n
= ∑ aij
(2)
j =1
Keterangan : KD = Keterkaitan langsung ke depan i
X
= Banyak output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
X
= Total output sektor i
a
= Unsur matrik koefisien teknis
ij i
ij
c. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang (Direct and indirect backward linkages) Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang merupakan alat untuk mengukur keterkaitan dari suatu sektor terhadap sektor kegiatan lainnya yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor ke-j merupakan penjumlahan unsur-unsur kolom ke-j dari matrik kebalikan Leontief terbuka. Untuk mengukur besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang digunakan persamaan sebagai berikut : n
KBLT j = ∑ C ij i =1
Keterangan : KBLT C
ij
j
= Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
(3)
24
d. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan (Direct and indirect forward linkages) Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merupakan alat untuk mengukur keterkaitan dari suatu sektor terhadap sektor kegiatan lainnya yang menggunakan output dari sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor ke-i merupakan penjumlahan unsur-unsur baris ke-i dari matriks kebalikan Leontief terbuka. Untuk mengukur besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan digunakan persamaan sebagai berikut : n
KDLTi = ∑ Cij
(4)
j =1
Keterangan : KDLT
i
= Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
C
ij
3.4.1.2.
= Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan
Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan
a. Daya Penyebaran Analisis ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan kemampuan industri hulunya. Sektor ini dikatakan mempunyai kaitan ke belakang yang tinggi jika daya penyebarannya (Pd ) mempunyai nilai lebih besar j
dari satu atau di atas rata-rata sektor secara keseluruhan. Secara matematis analisis ini dapat dinyatakan sebagai berikut : n
Pd j =
n∑ C ij n
i =1 n
∑∑ C i =1 j =1
(5) ij
Keterangan : Pdj Cij n
= Daya penyebaran = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka = Total sektor
b. Derajat Kepekaan Analisis ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor lain yang memakai input dari sektor ini. Sektor yang dikatakan mempunyai kepekaan penyebaran yang tinggi apabila nilai derajat kepekaannya (Sd ) lebih besar dari satu atau di atas rata-rata sektor i
secara keseluruhan. Secara matematik analisis ini dinyatakan sebagai berikut :
25 n
Sd i =
n∑ C ij j =1
n
(6)
n
∑∑ C i =1 j =1
ij
Keterangan : = Derajat kepekaan = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka = Total sektor
Sdj Cij n
3.4.2. Dampak Ekologi-Ekonomi Analisis yang digunakan untuk mengestimasi dampak terhadap ekonomi dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir antara lain: dampak ekonomi dengan menggunakan analisis income multiplier dan employment multiplier. Dampak ekologi dengan menggunakan analisis ecological multiplier. 3.4.2.1.
Income Multiplier
Dampak ekonomi berupa pendapatan dari pembangunan perikanan budidaya dianalisis dengan menggunakan analisis income multiplier. Untuk mendapatkan informasi besaran parameter pengganda pendapatan sederhana (Simple Income Multiplier) digunakan rumus : n
MS j = ∑ a n +1,i C ij
(7)
i =1
Keterangan : MSj Cij an+1,i
= Pengganda pendapatan sederhana sektor j = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka = Koefisien input gaji/upah rumah tangga
Selanjutnya untuk mendapatkan informasi besaran parameter pengganda pendapatan I (Income Multiplier I) yang merupakan perbandingan antara pengganda pendapatan sederhana dengan koefisien teknis upah dan gaji rumah tangga digunakan persamaan : n
MI j =
∑a i =1
n +1,i
C ij
a n +1, j
Keterangan : MIj Cij an+1,j
= Pengganda pendapatan tipe I = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka = Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j
(8)
26
Persamaan ini menunjukkan besarnya peningkatan pendapatan pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut sebesar satu unit, yang artinya apabila permintaan akhir terhadap output sektor tertentu meningkat sebesar satu juta rupiah, maka akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang bekerja pada sektor tersebut sebesar nilai pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan. 3.4.2.2.
Employment Multiplier
Dampak ekonomi berupa kesempatan kerja dari pembangunan perikanan budidaya dianalisis dengan menggunakan analisis employment multiplier. Sebelum mendapatkan informasi besaran parameter pengganda tenaga kerja, terlebih dahulu harus diperoleh informasi besaran parameter koefisien tenaga kerja
(employment
coefficient)
yang
merupakan
suatu
bilangan
yang
menunjukkan besarnya jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit keluaran (output). Sesuai dengan pengertian ini maka koefisien tenaga kerja dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
W=
Li Xi
(9)
Keterangan : W Li Xi
= Koefisien tenaga kerja = Jumlah tenaga kerja sektor i = output sektor i
Koefisien tenaga kerja sektoral merupakan indikator untuk melihat daya serap tenaga kerja di masing-masing sektor. Semakin tinggi koefisien tenaga kerja di suatu sektor menunjukkan semakin tinggi pula daya serap tenaga kerja di sektor bersangkutan, karena semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Sebaliknya sektor yang semakin rendah koefisien tenaga kerjanya menunjukkan semakin rendah pula daya serap tenaga kerjanya. Koefisien tenaga kerja yang tinggi pada umumnya terjadi di sektorsektor padat karya, sedangkan koefisien tenaga kerja yang rendah umumnya terjadi di sektor padat modal yang proses produksinya dilakukan dengan teknologi tinggi. Informasi tentang koefisien tenaga kerja sektoral antara lain dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam menyusun berbagai kebijakan dan perencanaan di bidang ketenagakerjaan. Selanjutnya untuk mendapatkan informasi besaran parameter pengganda tenaga kerja (employment multiplier) yang merupakan perbandingan antara pengganda tenaga kerja sederhana dengan koefisien tenaga kerja digunakan persamaan :
27 n
MLI j =
∑W i =1
n +1,i
C ij (10)
Wn +1, j
Keterangan : MLIj Cij Wn+1,j
= Pengganda tenaga kerja tipe I = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka = Koefisien tenaga kerja sektor j
Persamaan ini akan memperlihatkan bahwa permintaan akhir terhadap output suatu sektor memiliki pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi permintaan akhir terhadap satu unit output diperlukan tenaga kerja sebanyak hasil yang diperoleh. 3.4.2.3.
Ecological Multiplier
Proses analisis untuk memperkirakan dampak perubahan besarnya permintaan akhir dari adanya faktor ekologi dengan cara menggabungkan aspek ekologi dalam aspek ekonomi menggunakan model Tabel Input-Output Fisik (Hubacek dan Giljum 2002). Adapun model Tabel Input-Output Fisik yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Struktur Tabel Input-Output Fisik Permintaan Antara
Permintaan Akhir
Total Output
Into Nature
Input Antara
Xij
Yi
X
N
Input Primer
Vj
Total Input
X’
From Nature
M
Sumber: Diadopsi dari Maenpaa dan Muukkonen (2001) dan Budiharsono (2005)
Keterangan : Xij Vj X’ M Yi X N
= Parameter permintaan input antara sektor ij. = Parameter permintaan input primer sektor j = Total input sektor i = Variabel input sumberdaya yang dipergunakan oleh sektor j = Permintaan akhir (Final Demand) sektor i = Total output sektor j = Variabel Eksternalitas yang dihasilkan oleh sektor j Sejumlah k komoditi ekologi yang akan diperhitungkan (seperti tanah)
membutuhkan tambahan k baris pada tabel input-output untuk mengakomodir besarnya kebutuhan komoditi tersebut oleh masing-masing sektor ekonomi (dari sektor 1 sampai dengan sektor n). Matriks yang menunjukkan arus komoditi ekologi (k) ke sektor ekonomi yang menggunakan (sektor j), dinotasikan dengan
28
matrik M. Jadi koefisien matriks ini (mkj) menunjukkan besarnya volume komoditi k yang dibutuhkan dalam memproduksi output sektor j. Bila sejumlah k eksternalitas (limbah) yang akan diperhitungkan dalam analisis, maka tabel input-output ditambah k kolom (setelah permintaan akhir) untuk mengakomodir produksi limbah oleh masing-masing sektor produksi. Matriks yang menunjukkan arus eksternalitas oleh masing-masing sektor j dinotasikan sebagai matriks N. Jadi koefisien matriks ini (njk) menunjukkan besarnya eksternalitas yang dihasilkan oleh sektor j (mulai dari sektor 1 sampai dengan sektor n). Kalau tabel input-output dasar sudah menyediakan data tentang besarnya nilai output setiap sektor yang digunakan dalam produksi sektor j, maka dalam analisis ekologi ini diperlukan data mengenai penggunaan areal, air dan komoditas ekologi lainnya yang dilibatkan dalam setiap kegiatan ekonomi serta besarnya buangan yang ditimbulkan dari kegiatan ekonomi di masing-masing sektor tersebut. Untuk komponen input ekologi, koefisien yang menunjukkan rasio input ekologi (k) terhadap output sektor pengguna (sektor j) dinotasikan sebagai rkj, yang dihitung sebagai :
rkj =
mkj Xj
, dalam bentuk matrik ditulis R = M ( X ) −1
(11)
Koefisien tersebut disebut koefisien input ekologi (ecological input coefficient) atau merupakan matriks koefisien input yang digunakan dari ekologi, dimana R menunjukkan besarnya kebutuhan input ekologi k untuk memproduksi output sektor j. Komponen output eksternalitas, juga dapat diperlakukan sama. Di sini dapat dihitung besarnya output eksternalitas dari masing-masing sektor penghasil produksi. Jadi koefisiennya menunjukkan besarnya eksternalitas per unit nilai output sektor j.
q kj =
nkj Xj
, dalam bentuk matrik ditulis Q = N ' ( X ) −1
(12)
Koefisien tersebut disebut koefisien output ekologi (ecological output cofficient) atau merupakan matriks koefisien eksternalitas yang dikeluarkan ke ekologi, dimana Q menunjukkan besarnya output eksternalitas k yang dikeluarkan untuk memproduksi output sektor j. Satu
aplikasi
yang
terpenting
dalam
analisis
input-output
adalah
perhitungan total kebutuhan input untuk satu unit permintaan akhir. Oleh karena itu, satu akses tidak hanya digunakan pada kebutuhan langsung dalam proses
29
produksi pada sektor analisis, tetapi juga semua kebutuhan tidak langsung yang dihasilkan dari produk antara dari sektor lain, sehingga untuk mencukupi permintaan akhir dapat ditentukan kebutuhan total input baik langsung maupun tidak langsung (Miller dan Blair 1985). Dengan perubahan output (X) akibat perubahan permintaan akhir, maka kebutuhan input termasuk input komoditi ekologi juga berubah. Matriks koefisien R* berikut menunjukkan besarnya komoditi ekologi k yang dibutuhkan oleh sektor produksi j dalam memenuhi setiap permintaan akhir atas produksi sektor j. Analog dengan matriks R*, dapat pula dihitung matriks Q*, yang menggambarkan eksternalitas ke ekosistem sebagai akibat kegiatan sektor j dalam memenuhi setiap permintaan akhir atas produksi sektor j tersebut.
R* = R (I − A) , dan −1
Q* = Q (I − A)
−1
(13)
Unsur matriks R* menunjukkan jumlah input dari ekologi yang diperlukan baik langsung maupun tidak langsung untuk menghasilkan output sektor j dalam memenuhi permintaan akhir. Sedangkan unsur matriks Q* menunjukkan jumlah eksternalitas
ke
ekologi
baik
langsung
maupun
tidak
langsung
untuk
menghasilkan output sektor j dalam memenuhi permintaan akhir. Sementara itu, (I-A)-1 merupakan matriks kebalikan Leontief terbuka. Dalam bentuk visual metodologi model input-output ekologi dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel I-O Matriks Invers (I-A)-1
Input Ekologi, M
Koefisien Input Ekologi -1 R = M(X) R* = R(I-A)-1
Output Ekologi, N
Koefisien Output Ekologi -1 Q = N’(X) Q* = Q(I-A)-1
Gambar 4 Metodologi Model Input-Output Ekologi (KMNLH dan BPS 2000).
Dengan diketahui besaran input ekologi yang digunakan oleh sektor j dalam memenuhi permintaan akhir (R*), dan eksternalitas ke ekologi yang dihasilkan sektor j dalam memenuhi output untuk memenuhi permintaan akhir (Q*), maka dampak perubahan besarnya permintaan akhir akan dapat diperkirakan. Hal ini bisa menjadi dasar pertimbangan dalam mengestimasi dampak terhadap ekologi dari perencanaan pembangunan perikanan budidaya.
30
3.4.3. Carrying Capacity Pendekatan ecological footprint digunakan untuk mengestimasi daya dukung lingkungan untuk kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan. Pengaruh fisik pada perhitungan metodologi difokuskan pada ketersediaan areal yang diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dan secara umum direferensikan untuk ecological footprint (Hubacek dan Giljum 2002). Oleh Wackernagel dan Rees (1996), ecological footprint didefinisikan sebagai total lahan dan perairan yang dibutuhkan untuk mendukung suatu populasi dengan spesifik lifestyle dan pemberian teknologi terhadap kebutuhan sumberdaya alam dan mengabsorbsi semua buangan dan emisi dalam kurun waktu tertentu. Lebih lanjut Adrianto (2006), menambahkan ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat, sehingga perbandingan ketersediaan areal untuk populasi di suatu wilayah
dengan
ketersediaan
ecological
capacity,
defisit
atau
surplus
keberlanjutan dapat dikuantitatifkan. Analisis carrying capacity di sini menggunakan pendekatan ecological footprint, dimana menurut Hubacek dan Giljum (2002) perhitungan ecological footprint adalah bagian dari kategori areal built-up dan kesesuaian areal langsung untuk infrastruktur, bukan pada dasar penggunaan areal aktual atau data tutupan areal, tetapi diawali dengan konsumsi sumberdaya oleh suatu populasi yang spesifik dalam unit massa. Penggunaan ecological footprint dapat dilihat sebagai hal yang bermanfaat dengan suatu jalan yang berbeda untuk membuat kebijakan (Moffat et al. 2000). Yang
fundamental
dari
metode
ecological
footprint
adalah
ide
untuk
menunjukkan areal dalam beberapa tipe areal yang digunakan per kapita dari perhitungan terhadap populasi suatu wilayah. Model Haberl’s digunakan sebagai model dasar perhitungan ecological footprint (Haberl et al. 2001), yaitu sebagai berikut :
EFi =
DEi IM i EX i + − , dimana EFlok = ∑ EFi Ylok i Yreg i Ylok i
Keterangan : EFi EFlok DEi IMi EXi Ylok i Yreg I
= Ecological Footprint produk ke-i (Ha/kapita) = Total Ecological Footprint (lokal) (Ha/kapita) = Domestic Extraction produk ke-i (Ton/kapita) = Impor produk ke-i (Ton/ha) = Ekspor produk ke-i (Ton/ha) = Yield (produktivitas) lokal produk ke-i (Ton/ha) = Yield (produktivitas) regional produk ke-i (Ton/ha)
(14)
31
Pada persamaan di atas dapat dilihat bahwa terdapat tiga elemen atau sektor perhitungan ecological footprint, yaitu: populasi, yield keduanya baik lokal maupun regional, dan ecological footprint itu sendiri (Haberl et al. 2001). Secara visual dapat dilihat kerangka analisis untuk model ecological footprint perikanan budidaya pada Gambar 5. Yield Productivity System Population System
Apparent Consumption System
Aquaculture Ecological Footprint
Gambar 5 Kerangka Analisis untuk Model Ecological Footprint Perikanan Budidaya (diadopsi dari Adrianto dan Matsuda 2004).
Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Lenzen dan Murray 2001):
BC k = Ak YF , dimana BClok = ∑ Ak YF
(15)
Keterangan : Ak YF
= Luas land cover kategori ke-k (Ha) = Yield factor land cover kategori ke-k
Untuk yield factor land cover yang digunakan dalam perhitungan biocapacity pada pendekatan ecological footprint di sini, didasarkan pada tipe land use dan faktor pembobotan dari riset yang diperkenalkan oleh Lenzen dan Murray (2001) dan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Faktor Pembobotan Areal Menurut Tipe Land Use Tipe Land Use
Faktor Pembobotan
- Built
1,00
- Degraded pasture or crop land Mined land
0,80
- Cleared pasture and crop land Non-native plantations
0,60
- Thinned pasture Parks and gardens Native plantations
0,40
- Partially disturbed pasture (mostly arid)
0,20
Sumber: Lenzen dan Murray (2001)
Menurut Lenzen dan Murray (2001), sumberdaya pesisir dan lautan termasuk dalam tipe cleared pasture and crop land non-native plantations. Dengan demikian, faktor pembobotan dari luas areal potensinya adalah 0,60.