ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN
YOGA CANDRA DITYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRACT
YOGA CANDRA DITYA. Ecological Economics Analysis of Sustainable Aquaculture Development Planning in the Coastal Zone of Banten Province. Supervised by LUKY ADRIANTO as a Chairman, ROKHMIN DAHURI and SETYO BUDI SUSILO as Members. In the planning of Banten coastal zone, aquaculture has important role due to its social and economic value especially related with export activities of the aquaculture products. However, aquaculture activities have also negative multiplier in terms of its effect on the coastal environment especially when there is no proper management of this activities. The aims of this research are (1) to identify the structure and interaction among sectors in aquaculture activities; (2) to estimate the economic and ecological impact of the aquaculture activities; and (3) to estimate the carrying capacity of the coastal area which is appropriated for sustainable aquaculture development. To achieve these objectives, ecological input-output and ecological footprint model was developed. From the results, it can ben revealed that from the index of linkages, backward linkages index (1,84) is higher than forward linkages (1,02). This means that aquaculture activities in Banten Province has more attractive in the upstream sectors rather pushing the downstream sectors. Furthermore, aquaculture development has also produced economic multiplier which is income multiplier (2,20) higher than employment multiplier (1,17). From the ecological multiplier point of view, mangrove area input has index as of 0,005, COD 0,001, and TDS 0,001. Using ecological footprint approach, the carrying capacity of appropriated coastal area is estimated at the level 29.332 ha with the demand target of IDR 298.699,43 million. Keywords : aquaculture development, ecological input-output, ecological footprint, Banten Coastal Zone.
ABSTRACT
YOGA CANDRA DITYA. Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten. Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO, ROKHMIN DAHURI dan SETYO BUDI SUSILO. Dalam perencanaan wilayah pesisir Provinsi Banten, perikanan budidaya memiliki peran penting terhadap nilai sosial dan ekonomi, terutama dalam hubungannya dengan aktivitas ekspor dari produk perikanan budidaya tersebut. Namun demikian, aktivitas perikanan budidaya juga memberikan multiplier negatif jika dipandang dari segi efek yang ditimbulkan ke lingkungan pesisir, terutama ketika tidak ada pengelolaan yang baik pada aktivitas tersebut. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menelaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan budidaya; (2) Mengestimasi dampak ekonomi dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya; dan (3) Mengestimasi daya dukung lingkungan pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan model ecological input-output dan ecological footprint. Dari hasil diperoleh, indeks keterkaitan dapat dinyatakan bahwa, indeks keterkaitan ke belakang (1,84) lebih tinggi daripada keterkaitan ke depan (1,03). Ini berarti bahwa aktivitas perikanan budidaya di Provinsi Banten lebih memiliki kemampuan untuk menarik sektor hulu dibandingkan dengan sektor hilirnya. Lagi pula, pembangunan perikanan budidaya juga memberikan multiplier ekonomi yang memiliki income multiplier (2,18) lebih tinggi dibandingkan employment multipliernya (1,22). Dari segi ecological multiplier, area mangrove memberikan indeks sebesar 0,004, COD 0,001, dan TDS 0,001. Penggunaan pendekatan ecological footprint, diestimasikan bahwa daya dukung dari areal pesisir yang disediakan pada level 29.332 ha dengan target permintaan Rp. 298.699,43 juta. Kata Kunci : Pembangunan perikanan budidaya, ecological input-output, ecological footprint, wilayah pesisir Banten.
ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN
YOGA CANDRA DITYA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
Nama NIM
: Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten : Yoga Candra Ditya : C251040201
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Anggota
Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 24 Juli 2007
Tanggal Lulus:
Dosen Penguji: 1. Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc 2. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2007 Yoga Candra Ditya NRP. C251040201
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah dalam bentuk tesis ini dapat diselesaikan, dengan tema yang diambil Analisis Ekologi-Ekonomi untuk Perencanaan Pembangunan Perikanan Budidaya Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Provinsi Banten. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dan Bapak Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan. Kepada Bapak Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc dan Bapak Dr. Ir Fredinan Yulianda, M.Sc selaku dosen penguji diucapkan terima kasih banyak atas saran dan kritiknya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa, mama, le ‘mbang, dewi serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2007 Yoga Candra Ditya
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Juli 1981 dari pasangan Muhamad Suyudi dan Suparmi Ningsih. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Sekolah Pascasarjana IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam organisasi Forum Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (Forum Wacana Pesisir) IPB, dengan posisi sebagai sekretaris untuk periode 2005-2006.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
vi vii ix x
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1. 1. Latar Belakang ...................................................................................... 1. 2. Rumusan Masalah ................................................................................ 1. 3. Tujuan Penelitian .................................................................................... 1. 4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 1. 5. Kerangka Pemikiran ..............................................................................
1 1 4 7 7 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 2. 1. Pembangunan Berkelanjutan ................................................................ 2. 2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan ........................................... 2. 3. Pengelolaan Perikanan Budidaya ......................................................... 2. 4. Pendekatan Ekonomi-Ekologi ............................................................... 2. 5. Ecological Input-output .......................................................................... 2. 6. Ecological Footprints .............................................................................
9 9 10 11 12 14 15
III. METODOLOGI ......................................................................................... 3. 1. Lokasi Penelitian .................................................................................. 3. 2. Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 3. 3. Pengumpulan Data ................................................................................. 3. 4. Analisis Data .......................................................................................... 3. 4. 1. Kekuatan Struktur dan Interaksi Antar Sektor ................................ 3. 4. 1. 1. Analisis Keterkaitan ............................................................... 3. 4. 1. 2. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan ............................. 3. 4. 2. Dampak Ekologi-Ekonomi .............................................................. 3. 4. 2. 1. Income Multiplier .................................................................... 3. 4. 2. 2. Employment Multiplier ........................................................... 3. 4. 2. 3. Ecological Multiplier .............................................................. 3. 4. 3. Carrying Capacity ...........................................................................
18 20 20 22 22 22 22 24 25 25 26 27 30
IV. GAMBARAN UMUM ................................................................................ 4. 1. Kondisi Geografis dan Iklim ................................................................... 4. 2. Pemerintahan ......................................................................................... 4. 3. Penduduk .............................................................................................. 4. 4. Tenaga Kerja ......................................................................................... 4. 5. Investasi Pembangunan ........................................................................ 4. 6. Perikanan Budidaya .............................................................................. 4. 7. Ekosistem Hutan Mangrove ..................................................................
32 32 33 33 35 36 37 40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 5. 1. Struktur Ekonomi Provinsi Banten ......................................................... 5. 1. 1. Struktur Permintaan dan Penawaran ............................................. 5. 1. 2. Struktur Permintaan Akhir .............................................................. 5. 1. 3. Struktur Input Primer ..................................................................... 5. 1. 4. Efisiensi Penciptaan Output ..........................................................
42 42 42 44 44 47
vi
5. 2. Analisis Keterkaitan ............................................................................... 5. 2. 1. Keterkaitan ke Belakang ............................................................... 5. 2. 2. Keterkaitan ke Depan ................................................................... 5. 2. 3. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan .................................... 5. 3. Analisis Multiplier ................................................................................... 5. 3. 1. Analisis Income Multiplier .............................................................. 5. 3. 2. Analisis Employment Multiplier ...................................................... 5. 4. Aspek Ekologi ........................................................................................ 5. 4. 1. Input Lingkungan ........................................................................... 5. 4. 2. Eksternalitas .................................................................................. 5. 4. 3. Analisa Ecological Multiplier .......................................................... 5. 5. Ecological Footprint .............................................................................. 5. 6. Keterkaitan Ecological Footprint dan Ecological Input-Output ...............
48 48 51 54 56 57 58 59 59 60 61 63 65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 68 6. 1. Kesimpulan ............................................................................................ 68 6. 2. Saran ..................................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 70
vii
DAFTAR TABEL Halaman
1 Struktur Tabel Ecological Input-Output ...................................................... 15 2 Struktur Tabel Input-Output Fisik .............................................................. 27 3 Faktor Pembobotan Areal Menurut Tipe Land Use .................................. 31 4 Jumlah Kecamatan, Kelurahan dan Desa di Banten ................................. 33 5 Perkembangan Penduduk di Banten 1980-2005 ...................................... 34 6 Laju Pertumbuhan Penduduk di Banten (%) ............................................. 35 7 Realisasi Investasi Pembangunan di Propinsi Banten Tahun Anggaran 2002/2003 (Rp) ......................................................................................... 37 8 Luas Areal dan Tempat Pemeliharaan Ikan di Banten (dalam Ha) .......... 38 9 Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Ton) ..................... 39 10 Nilai Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Juta Rupiah) ................................................................................. 39 11 Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Kegiatan Provinsi Banten (Juta Rp) ...................................................................................... 43 12 Komposisi Permintaan Akhir Sektor Perikanan Budidaya Menurut Komponennya di Provinsi Banten ........................................................... 44 13 Nilai Input Primer Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten
.............. 45
14 Komposisi Input Primer Menurut Komponennya Pada Sektor Perikanan Budidaya dan Sektor Basis di Provinsi Banten ...................... 46 15 Efisiensi Penciptaan Output Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ........................................................................................ 47 16 Struktur Input Sektor Perikanan Budidaya di Provinsi Banten ................. 50 17 Alokasi Output Sektor Perikanan Budidaya di Provinsi Banten ................ 53 18 Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten .......................................................... 54 19 Kebutuhan Area dan Mangrove Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ...................................................................................................... 61 20 Dampak Eksternalitas Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ........ 62
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman
1 Kerangka Pemikiran ..................................................................................
8
2 Alur Kerangka Analisis .............................................................................. 19 3 Peta Lokasi Penelitian ............................................................................... 21 4 Metodologi Model Input Output Ekologi ...................................................... 29 5 Kerangka Analisis Untuk Model Ecological Footprint Perikanan Budidaya. 31 6 Keterkaitan ke Belakang Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ...... 49 7 Keterkaitan ke Depan Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten .......... 51 8 Pengelompokkan Sektor Ekonomi di Provinsi Banten berdasarkan Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan ......................... 55 9 Income Multiplier Tipe-I Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ....... 57 10 Employment Multiplier Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten ......... 59 11 Ecological Footprint Budidaya Laut Provinsi Banten ................................. 63 12 Ecological Footprint Budidaya Tambak Provinsi Banten ........................... 64 13 Keterkaitan EF dan EIO dalam Bentuk Areal untuk Perikanan Budidaya . 66 14 Keterkaitan EF dan EIO dalam Bentuk Mangrove untuk Perikanan Budidaya .................................................................................................... 67
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1 Tabel Input Output Provinsi Banten .......................................................... 73 2 Koefisien Input .......................................................................................... 74 3 Tabel Matrik Kebalikan Leontief Terbuka .................................................. 74 4 Multiplier Resources .................................................................................. 75 5 Multiplier Eksternalitas .............................................................................. 76 6 Komponen Footprint Perikanan Budidaya ................................................. 77 7 Analisis Footprint Perikanan Budidaya ...................................................... 78
x
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan wilayah peralihan atau daerah
pertemuan (interface area) antara ekosistem darat dan laut. Secara biologis wilayah ini sangat produktif dan mengandung potensi pembangunan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kawasan ini mendapat input nutrien dan bahan organik dari daratan melalui aliran sungai dan run-off. Selain itu, wilayah pesisir memiliki ekosistem yang berfungsi sangat vital dalam mendukung kehidupan manusia, diantaranya sebagai : 1) Penyedia sumberdaya alam, seperti: sumberdaya alam hayati yang dapat pulih (yaitu sumberdaya perikanan, mangrove, terumbu karang dan rumput laut); dan sumberdaya alam nir-hayati yang tidak dapat pulih (yaitu sumberdaya mineral, minyak bumi dan gas alam); 2) Penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, seperti: air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia; 3) Penyedia jasa-jasa kenyamanan, seperti: tempat rekreasi atau pariwisata; dan 4) Penerima/penampung limbah (Bengen 2004). Potensi ini menimbulkan banyak sektor telah memanfaatkan wilayah pesisir dalam berbagai bentuk pemanfaatan antara lain pemanfaatan bahan baku kayu sebagai bahan bangunan, sebagai kayu bakar, perikanan, kesehatan, dan sebagainya. Hal ini berakibat wilayah ini menjadi tempat konsentrasi pemukiman penduduk beserta segenap kiprah pembangunannya. Dampak dari hal ini, laju pertumbuhan penduduk di wilayah pesisir lebih besar dan lebih pesat ketimbang yang terjadi di daerah hulu (upland area) (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Oleh karena itu, berbagai dampak dan persoalan ekonomi muncul di wilayah pesisir sebagai refleksi dari banyaknya kegiatan manusia di tempat ini. Salah satu kegiatan pembangunan ekonomi yang telah lama dan umumnya lebih dulu diusahakan oleh masyarakat wilayah pesisir adalah usaha perikanan, baik usaha perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Usaha-usaha perikanan ini memiliki space tertentu di wilayah pesisir, dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di wilayah tersebut. Perikanan budidaya dan perikanan tangkap merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai arti penting dalam memberikan kontribusi. Akan tetapi, produksi perikanan tangkap dunia cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena adanya eksploitasi dan penurunan sumberdaya ikan di laut sedangkan akuakultur mempunyai kecenderungan peningkatan yang cukup signifikan.
2
Kegiatan perikanan budidaya termasuk salah satu kegiatan pembangunan ekonomi yang diusahakan oleh masyarakat wilayah pesisir. Dahuri et al. (1996) mengemukakan bahwa sebagian besar kegiatan budidaya perikanan wilayah pesisir adalah usaha perikanan tambak, baik tambak udang, bandeng ataupun campuran keduanya. Dalam kegiatan perikanan budidaya, pengaruh utama yang perlu diperhatikan adalah yang berasal dari lingkungan sekitar lokasi budidaya, termasuk aktivitas lahan atas dan pengaruh kegiatan budidaya tersebut terhadap lingkungan. Namun demikian, kegiatan perikanan budidaya yang dilakukan tanpa mempertimbangkan kaidah pembangunan berkelanjutan dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap wilayah pesisir. Misalnya pada kerusakan fisik habitat hutan mangrove yang merupakan salah satu ekosistem spesifik hutan di sepanjang pantai daerah tropik yang mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis sebagai sumber penghasilan masyarakat pesisir, pelindung pantai dari abrasi, tempat berkembangnya biota laut, flora dan fauna, serta dapat dikembangkan sebagai wanawisata (ekowisata). Berkurangnya luasan hutan mangrove di Indonesia diperkirakan 1,1% per tahun. Selama periode 1982 tercatat seluas 5.209.543,00 ha kemudian pada tahun 1999 luas tersebut menurun menjadi sekitar 3.716.735,82 ha (DKP 2006). Penyebab penurunan luasan hutan mangrove disebabkan karena adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukkan lain seperti: pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman di kawasan pesisir serta penebangan hutan mangrove untuk kayu bakar, arang dan bahan bangunan, dimana diperkirakan 30 % dari kerusakan ini disebabkan oleh konversi hutan mangrove menjadi areal budidaya. Kawasan pesisir yang rentan (vulnerable) terhadap perubahan lingkungan akan menerima dampak negatif berupa pencemaran, sedimentasi, dan perubahan hidrologi serta penurunan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) akibat aktivitas manusia dan pembangunan di daratan. Hal ini akan berakhir pada konflik penggunaan ruang karena sifat wilayah pesisir yang merupakan common property resource dengan pola pemanfaatan menjadi open access (siapa saja, kapan saja, dan berapa saja bebas menggunakan pesisir) yang akibatnya akan terjadi tragedy of the commons.
3
Perencanaan pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan menjadi penting terkait dengan daya dukung wilayah pesisir. Karena secara teknis pembangunan berkelanjutan dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir didefinisikan sebagai suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan untuk kesejahteraan manusia, terutama stakeholders, sedemikian rupa sehingga laju pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan termaksud tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) kawasan pesisir dan laut untuk menyediakannya. Dahuri et al. (1996) menambahkan perencanaan sebagai suatu proses di dalam menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan datang (the process of charting future activities) ke arah keberlanjutan dalam teknisnya dapat dijadikan sebagai suatu bentuk perhatian untuk meminimalkan tekanan terhadap lingkungan, berangkat dari kemampuan lingkungan dalam menerima buangan atau input material yang dilepaskan dan tidak dimanfaatkan dari kegiatan ekonomi. Salah satu pendekatan yang bisa diaplikasikan dalam perencanaan pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan adalah dengan pendekatan ecological footprint dan pendekatan analisis ecological input-output. Menurut Anielski (2005) pendekatan ecological footprint merupakan alat perencanaan dengan kriteria ekologis untuk memonitor ke arah keberlanjutan. Pendekatan ini menggunakan konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat (Adrianto 2006). Analisis ecological input-output merupakan pengembangan dari model input-output
konvensional
yang
telah
digunakan
sebagai
alat
analisis
perencanaan pembangunan selama ini (KMNLH dan BPS 2000). Satu kekurangan dari model input-output konvensional tersebut adalah tidak diikutsertakannya transaksi input ekologi dan output eksternal dari setiap sektor pembangunan, padahal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Adrianto (2004) menambahkan dalam pembangunan ekonomi di mana keduanya (ekonomi dan lingkungan) harus dipandang sebagai sebuah integrasi dan berinteraksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama ini. Diharapkan dengan pengembangan model ecological input-output ini dapat menyempurnakan kekurangan tersebut sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
4
1.2.
Rumusan Masalah Mempertahankan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu agenda
pembangunan ekonomi setiap wilayah. Berbagai cara dan kebijakan dilakukan agar tetap berada pada laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal yang sama juga
dilakukan
oleh
Provinsi
Banten
yang
sedang
giat-giatnya
dalam
melaksanakan pembangunan, sebagai provinsi yang relatif masih muda dan kaya akan sumberdaya alam, baik yang bisa diperbaharui (renewable) meliputi pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan dan peternakan maupun yang tidak bisa diperbaharui (non renewable) meliputi pertambangan dan energi. Provinsi ini berupaya untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dengan cara memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya alam yang tersedia. Dilihat dari potensi perikanannya, Provinsi Banten ternyata memiliki garis pantai sepanjang 501 km dengan tiga muka pantai yaitu sebelah utara yang berhadapan dengan Laut Jawa, sebelah barat dengan Selat Sunda dan sebelah selatan dengan Samudera Hindia (BAPEDA 2002). Dari kondisi ini Banten memiliki sumberdaya laut yang besar yang masih belum tergali potensinya secara maksimal. Selain itu, kemampuan Provinsi Banten dalam melakukan pengelolaan perikanan budidaya di wilayah pesisirnya telah memberikan kapasitas total produksi sebesar 16.810,70 ton di tahun 2005 dari budidaya tambak seluas 8.010,55 Ha dan budidaya laut seluas 11.882,00 Ha (BPS Banten 2006), atau meningkat
26,94%
dari
tahun
sebelumnya.
Perikanan
budidaya
yang
dikembangkan antara lain budidaya rumput laut, kerapu, mutiara dan udang. Pada kawasan yang cukup potensial seperti Teluk Banten (Kabupaten Serang), Kepulauan Kabupaten Tangerang dan Perairan laut Kecamatan Sumur (Kabupaten Pandeglang). Keseriusan pengelolaan perikanan budidaya di Provinsi Banten juga terlihat dengan dilaksanakannya Program Intensifikasi Budidaya Perikanan (Inbudkan) yang kegiatannya meliputi kegiatan percontohan dan penguatan modal untuk memberdayakan masyarakat nelayan pembudidaya. Kamaluddin (2002)
menambahkan cepatnya pertumbuhan produksi
budidaya perikanan menjadikan sektor ini terus berkembang. Guna mensuplai makanan laut dalam jumlah besar dan berkualitas tinggi, sektor ini tidak lagi mengandalkan sistem penangkapan alami, tetapi pola produksi bergeser pada aspek budidaya ikan.
5
Perikanan budidaya juga mampu menciptakan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat bahwa perikanan budidaya dapat dilakukan di setiap lapisan masyarakat mulai dari pedesaan sampai perkotaan sehingga dapat mengatasi kemiskinan penduduk; mempunyai karakteristik usaha yang cepat menghasilkan (quick yielding) dengan margin keuntungan yang cukup besar; mempunyai cakupan usaha yang luas, sehingga dapat memacu pembangunan industri hulu maupun hilir seperti: pabrik pakan, pembenihan (hatchery), industri jaring, industri pengolahan, pabrik es (cold storage). Dengan kata lain, perikanan budidaya memiliki potensi kekuatan struktur dan interaksi dengan sektor kegiatan lainnya. Namun demikian, ternyata sisi lain yang terjadi adalah berkurangnya areal hutan mangrove yang dikonversi menjadi tambak mengakibatkan menurunnya potensi sumberdaya alam hayati. Kerusakan dan konversi hutan mangrove ini terjadi di pantai utara, selatan dan barat Provinsi Banten, yang meliputi wilayah pesisir Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang dan Kecamatan Panimpang Kabupaten Pandeglang. Selama periode 2004 tercatat luas hutan mangrove di Provinsi Banten 2.374,11 ha kemudian pada tahun 2005 luas tersebut menurun menjadi 2.214,45 ha (DKP 2006). Dengan kata lain, terjadi penurunan luasan 6,73% per tahun, angka ini lebih besar dari rata-rata penurunan luasan mangrove secara nasional 1,10% per tahun. Pertumbuhan ekonomi, baik melalui pemanfaatan sumberdaya alam, intensifikasi penggunaan lahan maupun industrialisasi memang memungkinkan timbulnya dampak terhadap lingkungan, atau sering dikatakan adanya trade off antara sisi ekonomi dan ekologi. Namun demikian, dampak negatif dari kegiatan pembangunan ekonomi tidak berarti harus menghentikan atau mengurangi kegiatan pembangunan ekonomi, karena penghentian kegiatan pembangunan berarti akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan menurunkan pendapatan masyarakat dan pada sisi lain akan meningkatkan pengangguran atau kemiskinan. Hal
tersebut
di
atas
mendorong
perlunya
suatu
perencanaan
pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan terkait dengan daya dukung kawasan/wilayah pesisir itu sendiri. Menurut Dahuri et al. (1996) pembangunan secara ekonomi akan berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor, sedangkan secara ekologi
6
berkelanjutan jika basis ketersediaan sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil dan pembuangan limbah tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungannya. Dahuri
et
al.
(1996)
menambahkan
persyaratan
ekologi
dalam
pembangunan suatu wilayah antara lain: (1) perlu adanya keharmonisan ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan; (2) laju pemanfaatan sumberdaya pulih (sumberdaya perikanan dan hutan mengrove) tidak boleh melebihi kemampuan pulih (renewable capacity) dari sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu; (3) limbah yang dibuang tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi lingkungan; dan (4) merancang dan membangun kawasan pesisir sesuai dengan kaidah-kaidah alam (karakteristik dan dinamika alamiah lingkungan pesisir). Selain itu, belum adanya studi tentang daya dukung lingkungan dilihat dari segi pemanfaatan areal pesisir yang optimal untuk keberlanjutan menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan ilmu yang ada, karena ke depan selain inventarisasi informasi juga dapat memberikan kontribusi dalam perencanaan pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir. Bertolak dari uraian di atas timbul permasalahan pokok yang perlu dijawab yaitu : 1. Apakah pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir Provinsi Banten mampu meningkatkan kekuatan struktur dan interaksi antar sektor; 2. Apakah dengan pembangunan perikanan budidaya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir di Provinsi Banten; 3. Bagaimana dampak yang terjadi atas adanya pembangunan perikanan budidaya terhadap sumberdaya pesisir (areal dan mangrove) di Provinsi Banten; 4. Berapa besar daya dukung dari areal pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan budidaya. Dari fenomena di atas, diperlukan suatu analisis ekologi-ekonomi untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir Provinsi Banten yang didasarkan pada pemanfaatan areal pesisir untuk perikanan budidaya yang optimal dan berkelanjutan.
7
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka dapat ditentukan beberapa
tujuan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Menelaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan budidaya. 2. Mengestimasi dampak terhadap ekonomi dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir. 3. Mengestimasi daya dukung lingkungan pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan.
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan perumusan
dalam perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir dengan menggunakan pendekatan ecological footprint dalam hal daya dukung dari areal pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan budidaya yang optimal dan berkelanjutan di Provinsi Banten. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan atau literatur tentang pengembangan aplikasi model input-output di Indonesia dan di Provinsi Banten khususnya.
1.5.
Kerangka Pemikiran Perikanan budidaya merupakan salah satu kegiatan yang telah lama dan
umumnya lebih dulu diusahakan oleh masyarakat pesisir. Dalam aktivitas kegiatannya, perikanan budidaya memiliki orientasi ekonomi untuk memenuhi permintaan dan penawaran, konsumsi domestik, target ekspor dan adanya dukungan investasi serta kebutuhan impor untuk produksi. Selain aspek ekonomi tersebut, kegiatan perikanan budidaya juga tidak terlepas dari aspek ekologi, berupa kebutuhan akan sumberdaya alam baik dalam bentuk areal dan mangrove ataupun eksternalitas yang dihasilkan ke lingkungan akibat kegiatan ekonomi tersebut. Ini menjadi perhatian penting karena dalam aktivitasnya terjadi keterkaitan antar sektor dalam kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi baik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Konsekuensi yang timbul dari aktivitas kegiatan antar sektor tersebut antara lain: peningkatan pendapatan dan ketersediaan kesempatan kerja bagi masyarakat serta dampak lingkungan yang harus diminimalisasi.
8
Terkait dengan aktivitas dan konsekuensi yang timbul, perhatian terhadap pemanfaatan areal pesisir yang optimal untuk perikanan budidaya menjadi penting terkait dengan kemampuan lingkungan dalam memperbaiki diri (self purification) bila mengalami gangguan dan bila terlampaui akan terjadi degradasi serta ke depan tuntutan terhadap sumberdaya ini untuk menopang dalam segala hal kegiatan ekonomi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, pemanfaatan areal pesisir yang optimal dengan pendekatan ecological footprint menjadi alternatif penyelesaian, yaitu dengan mengestimasi daya dukung lingkungan dan diharapkan output yang dihasilkan bisa menjadi pertimbangan oleh pengambil kebijakan untuk perencanaan pembangunan berkelanjutan dari perikanan budidaya (sustainable aquaculture development) di wilayah pesisir Provinsi Banten. Alur kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.
Perikanan Budidaya
Ekologi
Ekonomi
Permintaan Penawaran
Konsumsi Domestik
Investasi
Target Ekspor
Kebutuhan Impor
Kebutuhan Areal
Kebutuhan Mangrove
Keterkaitan Antar sektor
Peningkatan Pendapatan
Ketersediaan Kesempatan Kerja
Pemanfaatan Areal Pesisir Untuk Perikanan Budidaya yang Optimal
Sustainable Aquaculture Development
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
Dampak Lingkungan
Eksternalitas
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan mencakup upaya memaksimumkan net benefit dari pembangunan ekonomi yang berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya alam setiap waktu. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan per kapita riil, tetapi juga mencakup elemenelemen lain dalam kesejahteraan sosial dan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan mengintegrasikan tiga pilar kehidupan yaitu ekonomi, sosial dan ekologis dalam suatu hubungan yang sinergis. Oleh karena itu, makna keberlanjutan dalam konsep tersebut juga didefinisikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sistem sosial dan keberlanjutan ekologis. Konsep pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya pula. Clark
dan
Dickson
(2003)
berpendapat
bahwa
walaupun
isu-isu
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang terkait dengan ilmu dan teknologi yang sesuai telah muncul sejak lama, namun kenyataan empiris membuktikan bahwa masih banyak hal yang harus dilakukan terutama pentingnya integrasi keilmuan dan riset guna mewujudkan konsep operasional pembangunan berkelanjutan. Lebih lanjut, Daly (1990) memberikan tiga kriteria dasar bagi keberlanjutan modal alam (natural capital) dan keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yaitu : 1) untuk sumberdaya alam terbarukan (renewable resources), laju pemanfaatannya tidak boleh melebihi laju regenerasinya (sustainable yield); 2) laju produksi limbah dari kegiatan pembangunan tidak boleh melebihi kemampuan asimilasi dari lingkungan (sustainable waste disposal), dan 3) untuk sumberdaya
tidak
terbarukan
(non-renewable
resources),
laju
deplesi
sumberdaya harus mempertimbangkan pengembangan sumberdaya substitusi bagi sumberdaya tersebut. Tiga kriteria ini menurut Adrianto (2004) ideal dan lebih bersifat normatif, namun dalam konteks pembangunan berkelanjutan di Indonesia, ketiganya menjadi faktor penting yang diharapkan dapat menjadi norma bagi setiap pengambilan kebijakan pembangunan ekonomi nasional.
10
2.2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Wilayah pesisir menggambarkan dan umumnya selalu dihubungkan dengan daerah antarmuka (interface) atau ruang transisi antara darat dan laut (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Wilayah ini didefinisikan sebagai bagian dari darat yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh laut, dan bagian dari laut yang dipengaruhi – karena dekatnya – oleh daratan (USCMSER 1969, diacu dalam United Nation 1995). Dengan demikian, proses-proses interaksi antara darat dan laut di wilayah ini terjadi sangat kuat. Sedangkan menurut World Bank (1993) pengertian wilayah pesisir adalah “suatu daerah antarmuka (interface), dimana darat bertemu laut, meliputi baik lingkungan garis pantai maupun perairan pesisir yang berbatasan. Komponennya dapat termasuk delta sungai, dataran pesisir, lahan-lahan basah (wetland), pantai dan gundukan pasir (dune), laguna, karang dan hutan mangrove”. Untuk tujuan perencanaan, wilayah pesisir merupakan suatu daerah spesial yang memiliki ciri-ciri khusus, antara lain : a). Merupakan suatu daerah dinamis, yang seringkali mengalami perubahan sifat biologis, kimiawi dan geologis; b). Daerah produktifitas tinggi dengan adanya bermacam-macam ekosistem biologis, yang memberikan
habitat
penting
bagi
beberapa
spesies
laut;
c).
Memiliki
keistimewaan wilayah seperti sistem-sistem terumbu karang, hutan mangrove, pantai dan gundukan pasirnya, yang memberikan pertahanan alami khusus guna mengatasi badai, banjir dan erosi; d). Ekosistem-ekosistem pesisir dapat berperan menetralisir dampak polusi yang datang dari darat, seperti lahan basah yang dapat menampung kelebihan nutrien, sedimen dan kotoran manusia; e). Wilayah pantai memunculkan sangat banyak perkampungan dan pemukiman manusia yang memanfaatkan sumberdaya hayati dan non-hayati di lautan, transportasi laut dan rekreasi wisata. Wilayah pesisir merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa datang. Sudah sejak lama wilayah pesisir dengan segala potensinya dimanfaatkan oleh manusia, terutama dalam bidang perekonomian. Wilayah ini juga merupakan kawasan tempat berlangsungnya berbagai macam kegiatan pembangunan yang paling intensif. Wilayah pesisir ini, selain potensial untuk kegiatan pembangunan juga rentan terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pembangunan dan perekonomian itu, baik yang berlangsung di wilayah pesisir itu sendiri maupun yang berlangsung di laut
ataupun
kawasan
atasnya
(daratan).
Berbagai
bukti
pengrusakan
11
sumberdaya darat dan laut tanpa mempertimbangkan kondisi ekologis dan kelangsungannya (KMNLH dan Bapedalwil I 1999). Padahal sumberdaya pesisir dan lautan merupakan aset pembangunan yang penting dan terbesar bagi Indonesia di masa depan, karena sumberdaya darat seperti hutan dan lahan lainnya sendiri semakin terbatas akibat alih fungsi, eksploitasi yang berlebihan, kebakaran hutan dan lain-lain. Di samping itu, tekanan pertambahan penduduk terhadap
wilayah
pesisir
dengan
berbagai
dampaknya
semakin
besar.
Diperkirakan 60% dari populasi penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir dan 80% dari pembangunan industri mengambil tempat di wilayah pesisir ini (Hinrichson 1997, diacu dalam Bengen dan Rizal 2000). Oleh karena itu, konsep pembangunan berkelanjutan dalam rangka perlindungan terhadap wilayah pesisir, merupakan langkah terbaik yang perlu dilakukan sebagai bentuk tatacara pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir ini bagi sebesar-besarnya kesejahteraan hidup manusia. Pemikiran
pembangunan
berwawasan
lingkungan
secara
terpadu
dan
berkelanjutan ini dilakukan dengan menekan kerusakan sekecil mungkin yang dapat
ditimbulkannya.
Hal
ini
dikarenakan
pembangunan
berkelanjutan
merupakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dahuri et al. 1996).
2.3. Pengelolaan Perikanan Budidaya Kawasan perikanan pesisir merupakan tempat dilakukannya berbagai aktivitas yang berorientasi pada usaha-usaha perikanan, baik usaha perikanan budidaya air payau/pertambakan (brakish water aquaculture), budidaya laut (mariculture), maupun usaha penangkapan ikan (capture fisheries). Kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir merupakan bagian dari usaha perikanan darat (inland fisheries). Selain itu, Indonesia memiliki peluang pengembangan usaha perikanan yang sangat besar, namun sayangnya perikanan budidaya khususnya budidaya air payau dan budidaya laut masih diibaratkan sebagai “raksasa ekonomi yang masih tidur” (the sleeping giant of economy). Dahuri et al. (1996) mengemukakan bahwa sebagian besar kegiatan budidaya perikanan wilayah pesisir adalah usaha perikanan tambak, baik tambak udang, bandeng ataupun campuran keduanya. Selain itu terdapat beberapa jenis kegiatan budidaya perikanan lain, seperti budidaya rumput laut, tiram dan
12
budidaya ikan dalam keramba (net impondment). Karena air merupakan media utama dalam kegiatan budidaya perikanan, maka pengelolaan terhadap sumbersumber air alami maupun non alami (tambak, kolam dll) harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dalam kegiatan budidaya perikanan, pengaruh utama yang perlu diperhatikan adalah yang berasal dari lingkungan sekitar lokasi budidaya, termasuk aktivitas lahan atas dan pengaruh kegiatan budidaya tersebut terhadap lingkungan. Kamaluddin (2002) menambahkan bahwa perikanan budidaya juga dapat ditata sebaik mungkin sehingga dapat dijadikan objek wisata, untuk itu budidaya harus dibangun dengan nuansa ekonomi dan wisata yang berwawasan lingkungan. Melalui cara ini terbuka peluang usaha bagi masyarakat dalam kerangka agrowisata. Pengembangan budidaya perikanan ke depan harus mampu mendayagunakan potensi yang ada. Dengan demikian, subsektor ini dapat mendorong kegiatan produksi berbasis ekonomi rakyat, meningkatkan perolehan devisa negara, serta mempercepat pembangunan ekonomi masyarakat pembudidaya ikan Indonesia secara keseluruhan (Dahuri 2002). Bertolak dari hal di atas, maka menurut Dahuri (2002) kegiatan budidaya perikanan diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, penyediaan bahan baku industri, mendorong pertumbuhan industri dalam negeri, yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi bagi penerimaan devisa negara. Namun demikian, pada saat yang sama kegiatan budidaya perikanan harus tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungan dalam rangka mewujudkan kawasan budidaya yang berkelanjutan, berdaya saing dan berkeadilan.
2.4. Pendekatan Ekonomi-Ekologi Kebijakan pembangunan ekonomi selama ini terkesan lepas dari kebijakan lingkungan dan sosial. Pelaksanaan baru dilakukan pada tingkat pembicaraan ataupun koordinasi antar instansi yang terkait. Koordinasi yang dimaksud masih terbatas pada tahap pembicaraan rencana pelaksanaan dan belum terwujud. Alasannya adalah belum ada perangkat aturan yang dapat memberikan rujukan tolok ukur untuk menjawab masalah tersebut. Misalnya perkembangan ekonomi yang meningkat sekian persen maka berapa seharusnya target untuk perbaikan
13
lingkungan dan sosial yang mampu ditunjang oleh ekonomi secara proporsional (Ristianto 2003). Adrianto
(2004)
mengemukakan
pertumbuhan
ekonomi
memiliki
keterbatasan hingga suatu titik dimana ekonomi menuju kondisi stabil (steadystate economy). Seoptimis apapun teknologi yang mampu dihasilkan, sudut pandang bahwa ekonomi bukan tak terbatas merupakan pandangan yang penting dalam koridor keberlanjutan (sustainability corridors). Dalam konteks dan pertimbangan seperti diuraikan di atas, Adrianto (2004) berargumen perlunya perubahan paradigma lingkungan dalam pembangunan ekonomi dimana keduanya (ekonomi dan lingkungan) harus dipandang sebagai sebuah integrasi dan berinteraksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama ini sehingga menjadi sangat diametris satu sama lain. Salah satu penghalang terkuat dari bersatunya ekonomi dan ekologi adalah cara pandang dan asumsi bahwa sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah dua sistem yang terpisah dan tidak perlu dipahami secara bersama-sama. Para ekonom berpikir bahwa sistem ekonomi terpisah dari sistem alam sehingga beberapa isu yang terkait dengan sistem di luar sistem ekonomi akan dianggap sebagai eksternalitas, sementara pemerhati lingkungan tidak jarang memandang sistem alam dan lingkungan sebagai sebuah sistem yang terpisah dari dinamika ekonomi. Oleh karena itu, pemikiran alternatif yang mampu memberikan penjelasan bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem (biosphere) menjadi sangat diperlukan untuk diwujudkan. Alternatif ini ditawarkan oleh mainstream Ecological Economics yang memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan time-frame yang lebih panjang antara sistem ekologi dan ekonomi. Komitmen normatif dari mainstream ini adalah berusaha mewujudkan terciptanya “masyarakat yang bukan tanpa batas” (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Adrianto 2004). Selanjutnya
dengan
mengubah
paradigma
dan
cara
pandang
pembangunan ekonomi dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan, maka konsep daya dukung merupakan salah satu alat yang dapat diimplementasikan sebagai salah satu nilai normatif dalam kebijakan pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang tidak terlepas pada paradigma sustainability sciences.
14
2.5. Ecological Input-Output Menurut Rustiadi et al. (2004) model Input-Output telah dikenal semenjak jaman Phsyokrat pada pertengahan abad ke-18, khususnya oleh Quesnay di tahun 1758 dengan Tableu de’economique-nya. Semula Quesnay hanya mengkonstruksi model makro ekonomi input-output khususnya antara petani dan buruh (farmers and laborers), tuan tanah (land owners) dan pihak lainnya (others, sterile class). Kemudian, oleh Walras di tahun 1877 dengan General Equilibriumnya dibuatlah model tersebut menjadi lebih terinci dengan pemisahan sektor yang lebih baik dan jelas. Puncak perkembangan Tabel Input-Output yang mencapai bentuk yang mendasari tabel-tabel input-output modern adalah tabel input-output yang dikembangkan oleh Leontief (1966). Tujuan Leontief mengembangkan tabel input-output adalah untuk menjelaskan besarnya arus interindustri dalam hal tingkat produksi dalam tiap-tiap sektor. Saat ini Analisis Input-Output telah berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat struktur keterkaitan
perekonomian
nasional,
wilayah
dan
antar
wilayah,
serta
dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian (Rustiadi et al. 2004). Ecological input-output merupakan pengembangan dari model input-output (I-O) konvensional yang telah digunakan sebagai alat analisis perencanaan pembangunan selama ini (KMNLH dan BPS 2000). Satu kekurangan dari model I-O konvensional adalah tidak diikutsertakannya transaksi komoditi ekologi dan output eksternal dari setiap sektor pembangunan. Padahal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Pengembangan model ecological input-output ini diharapkan dapat menyempurnakan kekurangan tersebut sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Model ecological input-output dilakukan dengan cara memasukkan beberapa jenis komoditas ekologi, seperti air dan tanah ke dalam deretan sektor produksi dan menambahkan pada kolom-kolom terakhir beberapa output yang berupa limbah atau permasalahan lingkungan/ekologi seperti pencemaran CO, CO2, SOx dan sebagainya yang merupakan produk kegiatan ekonomi. Prinsip analisis yang digunakan sama dengan prinsip pada analisis dasar, dimana dengan mengasumsikan koefisien konstan, maka dampak perubahan permintaan akhir pada produksi berbagai sektor (termasuk produksi limbah) akan
15
bisa diprediksi. Karena model ini mencakup komoditi ekologi seperti air dan tanah yang dimasukkan sebagai input, maka dapat diprediksi dampak perubahan permintaan akhir pada besarnya kebutuhan input setiap sektor, sehingga dampaknya pada degradasi lingkungan dapat diperkirakan (KMNLH dan BPS 2000). Bentuk umum tabel ecological input-output yang memperhitungkan dampak lingkungan adalah dengan menambahkan beberapa kolom pada sisi kanan tabel input-output standar yang mencerminkan output berupa produk sampingan ekonomi yang dalam hal ini eksternalitas dan degradasi yang terjadi terhadap lingkungan. Di samping itu dengan menambahkan baris pada sisi bawah yang menggambarkan input berupa variabel sumberdaya (lingkungan) yang dapat memberikan masukan bagi kegiatan ekonomi. Format tabel input-output terdiri dari suatu kerangka matrik berukuran “n x n” dimensi yang dibagi menjadi empat kuadran dan tiap kuadran mendeskripsikan suatu hubungan tertentu. Untuk memberikan gambaran yang lengkap, maka Tabel 1 menyajikan format tabel ecological input-output. Tabel 1 Struktur Tabel Ecological Input-Output Alokasi Output
j
…
n
X11 … … … Xi1 … … … Xn1
… … … … … … … … …
X1j … … … Xij … … … Xnj
… … … … … … … … …
X1n … … … Xin … … … Xnn
L1
…
Lj
…
Ln
Nilai Tambah Lain
V1
…
Vj
…
Vn
Impor
M1
…
Mj
…
Mn
Total Input Ecological Commodity Inputs
I1
…
Ij
…
In
R1
…
Ri
…
Rn
Sektor Produksi
Input Antara
Susunan Input 1 . . . i . . . n
Upah dan gaji Rumah Tangga
Ekspor
…
Stok
1
Pembentukan Modal Tetap
Sektor Produksi
Konsumsi Pemerintah
Permintaan Akhir Konsumsi Rumah Tangga
Permintaan Antara
Total Output
RT1 … … … RTi … … … RTn
KP1 … … … KPi … … … KPn
PM1 … … … PMi … … … PMn
S1 … … … Si … … … Sn
E1 … … … Ei … … … En
O1 … … … Oi … … … On
Ecological Commodity Outputs
N1 … … … Ni … … … Nn
2.6. Ecological Footprint Sachs (2003), diacu dalam Anielski (2005) mengatakan bahwa : “The world is no longer divided by the ideologies of ‘left’ and ‘right,’ but by those who accept ecological limits and those who don’t.” (“Dunia tidak lagi dibagi oleh ideologi ‘kiri’
16
dan ‘kanan’ tetapi oleh mereka yang menerima adanya keterbatasan ekologis dan mereka yang tidak”). Oleh karena itu, perhatian terhadap keberlanjutan ekologi menjadi kewajiban bagi seluruh umat manusia. Dengan kata lain diperlukan suatu pendekatan. Salah satu konsep pendekatan yang coba ditawarkan adalah ecological footprint sebagai panduan kebijakan dan alat perencanaan untuk keberlanjutan pembangunan. Ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat (Adrianto 2006). Selain itu menurut Anielski (2005) ecological footprint adalah suatu alat untuk memonitor kemajuan ke arah keberlanjutan. Ini merupakan salah satu langkah penyampaian mengenai perbandingan konsumsi manusia yang secara langsung dengan batasan produktivitas sumberdaya alam. Ini merupakan suatu alat menarik untuk berkomunikasi, mengajar, dan perencanaan dengan menggunakan kriteria ekologis minimum untuk keberlanjutan. Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dalam bukunya yang berjudul : Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan areal untuk konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan, TPA dan lain-lain (degraded land footprint), dan perlu hutan (dan juga lautan) untuk mengabsorbsi kelebihan CO2 pada saat membakar BBM (energy footprint). Jumlah footprint tersebut merupakan apa yang disebut ecological footprint diri kita. Venetoulis et al. (2004) menambahkan ecological footprint merupakan suatu alat untuk mengukur dan meneliti konsumsi sumberdaya alam oleh manusia dan output buangan di dalam konteks sumberdaya alam dapat diperbaharui dan memiliki kapasitas regenerasi (biocapacity). Pendekatan ini memberikan penilaian yang bersifat kuantitatif mengenai produktifitas area secara biologi yang diperlukan untuk menghasilkan sumberdaya baik makanan, energi dan material serta untuk menyerap buangan dari individu, kota, wilayah, atau negara. Pada saat kita makan nasi, maka jumlah nasi yang kita konsumsi selama satu tahun memerlukan sejumlah areal yang khusus diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan nasi kita. Tidak penting lokasi areal itu dimana, tetapi pasti ada areal di permukaan bumi yang telah berproduksi untuk kita. Kertas dan kayu yang kita gunakan setiap tahun juga memerlukan sejumlah areal hutan yang
17
khusus diperuntukkan untuk keperluan kita. Demikian pula areal untuk rumah, perkantoran, kawasan perkotaan, jalan dan lain-lain, merupakan areal yang harus tersedia untuk kita sebagai areal yang secara ekologis telah ”terdegradasi” karena secara biologis tidak produktif lagi. Mengingat areal di permukaan bumi yang terbatas, ekspansi seseorang terhadap komponen-komponen kebutuhan tersebut pasti akan mengurangi atau berakibat kerugian pada orang lain. Analisis ecological footprint dari kebutuhan nyata tersebut dapat memberikan gambaran pada tingkat mana permukaan bumi dapat mendukung pola konsumsi manusia ketika populasi bertambah dan standar hidup di negara berkembang juga meningkat (Palmer 1999). Secara konseptual ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity. Biocapacity dapat diartikan sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung saja. Ferguson (2002) mendefinisikan biocapacity sebagai ukuran ketersediaan areal produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi tersebut, yang didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan (carrying capacity) adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological footprint. Menurut Rees (1996) yang dikutip dalam Wackernagel dan Yount (1998), analisis ecological footprint adalah suatu indikator area-based yang digunakan untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas menghasilkan limbah di suatu area khusus dalam hubungan dengan kapasitas area untuk menyediakan aktivitas tersebut. Wackernagel dan Yount (1998) menjelaskan bahwa analisis ecological footprint didasarkan pada dua fakta sederhana. Pertama, kita dapat menelusuri banyaknya sumberdaya yang dikonsumsi pada suatu populasi manusia dan kebanyakan
populasi
tersebut
menghasilkan
buangan.
Kedua,
bahwa
sumberdaya dan aliran buangan tersebut dapat dikonversi ke suatu area yang produktif untuk keperluan menyediakan sumberdaya dan asimilasi buangan. Setiap proses kehidupan akan memiliki ecological footprint dengan ukuran yang berbeda. Pada skala global, manusia secara keseluruhan dapat dibandingkan dengan total kekayaan alam dan jasa yang tersedia. Ketika manusia dalam pemanfaatannya masih di dalam kemampuan alam melakukan regenerasi, maka keberlanjutan sebagai konsekuensinya.
III.
METODOLOGI
Studi ini dimaksudkan sebagai kajian pemanfaatan areal pesisir untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan dengan suatu pendekatan ecological footprint dan pengembangan analisis ecological inputoutput di wilayah pesisir Provinsi Banten. Untuk keterkaitan pertumbuhan ekonomi dengan sektor perikanan budidaya maka studi ini dianalisis melalui Model Input-Output karena dalam tabel input-output dijabarkan bagaimana output suatu sektor ekonomi tergantung pada output sektor lainnya. Selanjutnya, untuk keperluan analisis model ini disederhanakan ke dalam ukuran matrik 10X10 sektor. Model ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan faktor fisik berupa input sumberdaya alam yang digunakan oleh sektor ekonomi dan eksternalitas yang timbul terhadap lingkungan sebagai akibat dari kegiatan tersebut. Tabel transaksi Provinsi Banten yang diterbitkan BPS, menunjukkan hubungan saling berkaitan antara sektor yang satu dengan sektor yang lainnya. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai analisis tabel input-ouput terlebih dahulu harus ditentukan koefisien input, karena koefisien input merupakan nilai yang sangat fundamental untuk merumuskan berbagai formulasi analisis yang merupakan manfaat dari tabel input-output. Model ini dikembangkan dengan memasukkan faktor fisik (PIOT) berupa input sumberdaya alam yang digunakan oleh sektor ekonomi dan eksternalitas yang timbul terhadap lingkungan sebagai akibat dari kegiatan tersebut, maka koefisien yang diperoleh meliputi koefisien input ekonomi dan ekologi. Nilai dari koefisien input ekonomi digunakan untuk menganalisis besarnya nilai keterkaitan langsung (direct linkages) ke belakang dan ke depan. Selanjutnya, nilai matrik kebalikan Leontief terbuka selain digunakan untuk menentukan besarnya nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung (direct and indirect linkages) ke belakang dan ke depan, dapat juga dimanfaatkan untuk menganalisis besarnya indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan serta income multiplier dan employment multiplier. Kegunaan analisis keterkaitan antar sektor, indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan, selain dapat melihat interaksi antar sektor akan dapat menentukan sektor andalan, potensial, jenuh atau kurang berkembang. Lain halnya dengan analisis multiplier, dari aspek ekonomi bertujuan untuk melihat
19
dampak dari peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah terhadap pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja sebagai cerminan pembangunan suatu sektor kegiatan dengan menggunakan analisis income multiplier dan employment multiplier. Dari aspek ekologi analisis lebih lanjut dari koefisien ekologi akan diperoleh nilai ecological multiplier baik dari sisi input maupun output. Analisis ecological multiplier akan memberikan estimasi dampak ekologi dari pembangunan suatu sektor kegiatan akibat peningkatan permintaan akhir sebesar satu juta rupiah, baik dari input ekologi maupun dari output yang dihasilkan ke ekologi. Selanjutnya untuk mengestimasi daya dukung lingkungan untuk kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan ecological footprint, yaitu dengan membandingkan nilai biocapacity dari budidaya laut dan tambak dengan nilai ecological footprint dari budidaya tersebut. Hasil yang diperoleh berupa besaran parameter ha/kapita, yang berarti kemampuan lingkungan dan sumberdaya alam secara total dapat menghidupi kapita tersebut secara berkelanjutan jika potensi yang ada dimanfaatkan secara optimal. Alur kerangka analisis disajikan pada Gambar 2. Tabel Transaksi (I-O) Banten
MIOT
PIOT
Koefisien Ekologi
Ecological Footprint
Koefisien Ekonomi
Matriks Leontief
Analisis Keterkaitan
Daya Penyebaran Derajat Kepekaan
Input Ecological
Output Ecological
Biocapacity Income Multiplier
Employment Multiplier
Ecological Multiplier Carrying Capacity
Pemanfaatan Areal Pesisir Perikanan Budidaya
Gambar 2 Alur kerangka analisis.
20
Selain itu, lebih lanjut dapat dilihat hubungan ecological footprint dengan ecological input-output untuk menentukan batasan optimal dalam pemanfaatan areal pesisir untuk perikanan budidaya. Diharapkan hasil ini bisa menjadi rekomendasi dan pertimbangan pengambil kebijakan dalam merencanakan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir Provinsi Banten terkait dengan pemanfaatan areal pesisir untuk perikanan budidaya. 3.1.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian didasarkan pada pasal 18 UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa wilayah pesisir Provinsi Banten meliputi wilayah laut sejauh 12 mil, yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Secara geografis meliputi wilayah pesisir dari Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. 3.2.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian yang dilakukan dalam analisis ekologi-ekonomi
untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya berkelanjutan di wilayah pesisir
Provinsi
Banten
meliputi
budidaya
laut
dan
budidaya
tambak
menggunakan pendekatan ecological footprint dan pengembangan analisis ecological input-output dengan aspek ekologi dan ekonomi. Aspek ekologi meliputi input sumberdaya alam untuk kegiatan perikanan budidaya pesisir dalam hal ini berupa input areal dan mangrove serta dampak yang terjadi terhadap lingkungan akibat kegiatan tersebut yang berupa pencemaran bahan organik. Sedangkan aspek ekonomi mencakup dampak dari kegiatan perikanan budidaya pesisir terhadap pendapatan dan ketersediaan lapangan kerja. Cakupan lingkup analisis, terdiri dari : 1. Telaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan budidaya. 2. Estimasi dampak terhadap ekonomi dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir. 3. Estimasi daya dukung lingkungan pesisir yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan.
21
22
3.3.
Pengumpulan Data Data dan informasi diperoleh melalui dua cara, yaitu pengumpulan data
dan wawancara. Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data primer melalui wawancara untuk konfirmasi penggunaan areal. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran pustaka dan laporan dari berbagai instansi, yang meliputi: data fisik, sosial dan ekonomi, antara lain: Neraca Kualitas Lingkungan Hidup Daerah, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten dan Tabel Input-Output Provinsi Banten. 3.4.
Analisis Data
3.4.1. Kekuatan Struktur dan Interaksi Antar Sektor Analisis deksriptif digunakan untuk menelaah kekuatan struktur dari perikanan budidaya terhadap struktur permintaan dan penawaran, struktur permintaan akhir dan struktur input primer, dengan cara mendeskripsikan angkaangka pada tabel dasar, yaitu tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen. Interaksi antar sektor dianalisis dengan menggunakan analisis keterkaitan; dan indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan. 3.4.1.1.
Analisis Keterkaitan
Keterkaitan sektor perikanan budidaya dengan sektor kegiatan lainnya dianalisis, baik sektor penyedia input maupun sektor yang menggunakan output dari sektor perikanan budidaya dengan menggunakan analisis keterkaitan (linkages), baik secara langsung (direct) ke belakang dan ke depan, maupun secara tidak langsung (indirect) ke belakang dan ke depan. a. Keterkaitan Langsung ke Belakang (Direct backward linkages) Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan keterkaitan suatu sektor tertentu terhadap sektor kegiatan yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung ke belakang suatu sektor ke-j merupakan penjumlahan suatu kolom kej dalam matrik koefisien teknis. Persamaan untuk mencari keterkaitan langsung ke belakang adalah : n
KB j =
∑X i =1
Xj
ij
n
= ∑ aij i =1
(1)
23
Keterangan : KB = Keterkaitan langsung ke belakang j
X = Banyaknya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j ij
X
= Total input sektor j
a
= Unsur matrik koefisien teknis
j
ij
b. Keterkaitan Langsung ke Depan (Direct forward linkages) Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan keterkaitan suatu sektor tertentu terhadap sektor kegiatan yang menggunakan sebagian output sektor tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung ke depan suatu sektor ke-i merupakan penjumlahan suatu baris ke-i dalam matriks koefisien teknis. Keterkaitan tipe ini dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut : n
KDi =
∑X i =1
ij
Xi
n
= ∑ aij
(2)
j =1
Keterangan : KD = Keterkaitan langsung ke depan i
X
= Banyak output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j
X
= Total output sektor i
a
= Unsur matrik koefisien teknis
ij i
ij
c. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang (Direct and indirect backward linkages) Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang merupakan alat untuk mengukur keterkaitan dari suatu sektor terhadap sektor kegiatan lainnya yang menyediakan input antara bagi sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang sektor ke-j merupakan penjumlahan unsur-unsur kolom ke-j dari matrik kebalikan Leontief terbuka. Untuk mengukur besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang digunakan persamaan sebagai berikut : n
KBLT j = ∑ C ij i =1
Keterangan : KBLT C
ij
j
= Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
(3)
24
d. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan (Direct and indirect forward linkages) Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merupakan alat untuk mengukur keterkaitan dari suatu sektor terhadap sektor kegiatan lainnya yang menggunakan output dari sektor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung per unit kenaikan permintaan total. Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan sektor ke-i merupakan penjumlahan unsur-unsur baris ke-i dari matriks kebalikan Leontief terbuka. Untuk mengukur besarnya keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan digunakan persamaan sebagai berikut : n
KDLTi = ∑ Cij
(4)
j =1
Keterangan : KDLT
i
= Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka
C
ij
3.4.1.2.
= Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan
Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan
a. Daya Penyebaran Analisis ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk meningkatkan kemampuan industri hulunya. Sektor ini dikatakan mempunyai kaitan ke belakang yang tinggi jika daya penyebarannya (Pd ) mempunyai nilai lebih besar j
dari satu atau di atas rata-rata sektor secara keseluruhan. Secara matematis analisis ini dapat dinyatakan sebagai berikut : n
Pd j =
n∑ C ij n
i =1 n
∑∑ C i =1 j =1
(5) ij
Keterangan : Pdj Cij n
= Daya penyebaran = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka = Total sektor
b. Derajat Kepekaan Analisis ini diartikan sebagai kemampuan suatu sektor untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor lain yang memakai input dari sektor ini. Sektor yang dikatakan mempunyai kepekaan penyebaran yang tinggi apabila nilai derajat kepekaannya (Sd ) lebih besar dari satu atau di atas rata-rata sektor i
secara keseluruhan. Secara matematik analisis ini dinyatakan sebagai berikut :
25 n
Sd i =
n∑ C ij j =1
n
(6)
n
∑∑ C i =1 j =1
ij
Keterangan : = Derajat kepekaan = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka = Total sektor
Sdj Cij n
3.4.2. Dampak Ekologi-Ekonomi Analisis yang digunakan untuk mengestimasi dampak terhadap ekonomi dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir antara lain: dampak ekonomi dengan menggunakan analisis income multiplier dan employment multiplier. Dampak ekologi dengan menggunakan analisis ecological multiplier. 3.4.2.1.
Income Multiplier
Dampak ekonomi berupa pendapatan dari pembangunan perikanan budidaya dianalisis dengan menggunakan analisis income multiplier. Untuk mendapatkan informasi besaran parameter pengganda pendapatan sederhana (Simple Income Multiplier) digunakan rumus : n
MS j = ∑ a n +1,i C ij
(7)
i =1
Keterangan : MSj Cij an+1,i
= Pengganda pendapatan sederhana sektor j = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka = Koefisien input gaji/upah rumah tangga
Selanjutnya untuk mendapatkan informasi besaran parameter pengganda pendapatan I (Income Multiplier I) yang merupakan perbandingan antara pengganda pendapatan sederhana dengan koefisien teknis upah dan gaji rumah tangga digunakan persamaan : n
MI j =
∑a i =1
n +1,i
C ij
a n +1, j
Keterangan : MIj Cij an+1,j
= Pengganda pendapatan tipe I = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka = Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j
(8)
26
Persamaan ini menunjukkan besarnya peningkatan pendapatan pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut sebesar satu unit, yang artinya apabila permintaan akhir terhadap output sektor tertentu meningkat sebesar satu juta rupiah, maka akan meningkatkan pendapatan rumah tangga yang bekerja pada sektor tersebut sebesar nilai pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan. 3.4.2.2.
Employment Multiplier
Dampak ekonomi berupa kesempatan kerja dari pembangunan perikanan budidaya dianalisis dengan menggunakan analisis employment multiplier. Sebelum mendapatkan informasi besaran parameter pengganda tenaga kerja, terlebih dahulu harus diperoleh informasi besaran parameter koefisien tenaga kerja
(employment
coefficient)
yang
merupakan
suatu
bilangan
yang
menunjukkan besarnya jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit keluaran (output). Sesuai dengan pengertian ini maka koefisien tenaga kerja dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
W=
Li Xi
(9)
Keterangan : W Li Xi
= Koefisien tenaga kerja = Jumlah tenaga kerja sektor i = output sektor i
Koefisien tenaga kerja sektoral merupakan indikator untuk melihat daya serap tenaga kerja di masing-masing sektor. Semakin tinggi koefisien tenaga kerja di suatu sektor menunjukkan semakin tinggi pula daya serap tenaga kerja di sektor bersangkutan, karena semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit output. Sebaliknya sektor yang semakin rendah koefisien tenaga kerjanya menunjukkan semakin rendah pula daya serap tenaga kerjanya. Koefisien tenaga kerja yang tinggi pada umumnya terjadi di sektorsektor padat karya, sedangkan koefisien tenaga kerja yang rendah umumnya terjadi di sektor padat modal yang proses produksinya dilakukan dengan teknologi tinggi. Informasi tentang koefisien tenaga kerja sektoral antara lain dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam menyusun berbagai kebijakan dan perencanaan di bidang ketenagakerjaan. Selanjutnya untuk mendapatkan informasi besaran parameter pengganda tenaga kerja (employment multiplier) yang merupakan perbandingan antara pengganda tenaga kerja sederhana dengan koefisien tenaga kerja digunakan persamaan :
27 n
MLI j =
∑W i =1
n +1,i
C ij (10)
Wn +1, j
Keterangan : MLIj Cij Wn+1,j
= Pengganda tenaga kerja tipe I = Unsur matrik kebalikan Leontief terbuka = Koefisien tenaga kerja sektor j
Persamaan ini akan memperlihatkan bahwa permintaan akhir terhadap output suatu sektor memiliki pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi permintaan akhir terhadap satu unit output diperlukan tenaga kerja sebanyak hasil yang diperoleh. 3.4.2.3.
Ecological Multiplier
Proses analisis untuk memperkirakan dampak perubahan besarnya permintaan akhir dari adanya faktor ekologi dengan cara menggabungkan aspek ekologi dalam aspek ekonomi menggunakan model Tabel Input-Output Fisik (Hubacek dan Giljum 2002). Adapun model Tabel Input-Output Fisik yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Struktur Tabel Input-Output Fisik Permintaan Antara
Permintaan Akhir
Total Output
Into Nature
Input Antara
Xij
Yi
X
N
Input Primer
Vj
Total Input
X’
From Nature
M
Sumber: Diadopsi dari Maenpaa dan Muukkonen (2001) dan Budiharsono (2005)
Keterangan : Xij Vj X’ M Yi X N
= Parameter permintaan input antara sektor ij. = Parameter permintaan input primer sektor j = Total input sektor i = Variabel input sumberdaya yang dipergunakan oleh sektor j = Permintaan akhir (Final Demand) sektor i = Total output sektor j = Variabel Eksternalitas yang dihasilkan oleh sektor j Sejumlah k komoditi ekologi yang akan diperhitungkan (seperti tanah)
membutuhkan tambahan k baris pada tabel input-output untuk mengakomodir besarnya kebutuhan komoditi tersebut oleh masing-masing sektor ekonomi (dari sektor 1 sampai dengan sektor n). Matriks yang menunjukkan arus komoditi ekologi (k) ke sektor ekonomi yang menggunakan (sektor j), dinotasikan dengan
28
matrik M. Jadi koefisien matriks ini (mkj) menunjukkan besarnya volume komoditi k yang dibutuhkan dalam memproduksi output sektor j. Bila sejumlah k eksternalitas (limbah) yang akan diperhitungkan dalam analisis, maka tabel input-output ditambah k kolom (setelah permintaan akhir) untuk mengakomodir produksi limbah oleh masing-masing sektor produksi. Matriks yang menunjukkan arus eksternalitas oleh masing-masing sektor j dinotasikan sebagai matriks N. Jadi koefisien matriks ini (njk) menunjukkan besarnya eksternalitas yang dihasilkan oleh sektor j (mulai dari sektor 1 sampai dengan sektor n). Kalau tabel input-output dasar sudah menyediakan data tentang besarnya nilai output setiap sektor yang digunakan dalam produksi sektor j, maka dalam analisis ekologi ini diperlukan data mengenai penggunaan areal, air dan komoditas ekologi lainnya yang dilibatkan dalam setiap kegiatan ekonomi serta besarnya buangan yang ditimbulkan dari kegiatan ekonomi di masing-masing sektor tersebut. Untuk komponen input ekologi, koefisien yang menunjukkan rasio input ekologi (k) terhadap output sektor pengguna (sektor j) dinotasikan sebagai rkj, yang dihitung sebagai :
rkj =
mkj Xj
, dalam bentuk matrik ditulis R = M ( X ) −1
(11)
Koefisien tersebut disebut koefisien input ekologi (ecological input coefficient) atau merupakan matriks koefisien input yang digunakan dari ekologi, dimana R menunjukkan besarnya kebutuhan input ekologi k untuk memproduksi output sektor j. Komponen output eksternalitas, juga dapat diperlakukan sama. Di sini dapat dihitung besarnya output eksternalitas dari masing-masing sektor penghasil produksi. Jadi koefisiennya menunjukkan besarnya eksternalitas per unit nilai output sektor j.
q kj =
nkj Xj
, dalam bentuk matrik ditulis Q = N ' ( X ) −1
(12)
Koefisien tersebut disebut koefisien output ekologi (ecological output cofficient) atau merupakan matriks koefisien eksternalitas yang dikeluarkan ke ekologi, dimana Q menunjukkan besarnya output eksternalitas k yang dikeluarkan untuk memproduksi output sektor j. Satu
aplikasi
yang
terpenting
dalam
analisis
input-output
adalah
perhitungan total kebutuhan input untuk satu unit permintaan akhir. Oleh karena itu, satu akses tidak hanya digunakan pada kebutuhan langsung dalam proses
29
produksi pada sektor analisis, tetapi juga semua kebutuhan tidak langsung yang dihasilkan dari produk antara dari sektor lain, sehingga untuk mencukupi permintaan akhir dapat ditentukan kebutuhan total input baik langsung maupun tidak langsung (Miller dan Blair 1985). Dengan perubahan output (X) akibat perubahan permintaan akhir, maka kebutuhan input termasuk input komoditi ekologi juga berubah. Matriks koefisien R* berikut menunjukkan besarnya komoditi ekologi k yang dibutuhkan oleh sektor produksi j dalam memenuhi setiap permintaan akhir atas produksi sektor j. Analog dengan matriks R*, dapat pula dihitung matriks Q*, yang menggambarkan eksternalitas ke ekosistem sebagai akibat kegiatan sektor j dalam memenuhi setiap permintaan akhir atas produksi sektor j tersebut.
R* = R (I − A) , dan −1
Q* = Q (I − A)
−1
(13)
Unsur matriks R* menunjukkan jumlah input dari ekologi yang diperlukan baik langsung maupun tidak langsung untuk menghasilkan output sektor j dalam memenuhi permintaan akhir. Sedangkan unsur matriks Q* menunjukkan jumlah eksternalitas
ke
ekologi
baik
langsung
maupun
tidak
langsung
untuk
menghasilkan output sektor j dalam memenuhi permintaan akhir. Sementara itu, (I-A)-1 merupakan matriks kebalikan Leontief terbuka. Dalam bentuk visual metodologi model input-output ekologi dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel I-O Matriks Invers (I-A)-1
Input Ekologi, M
Koefisien Input Ekologi -1 R = M(X) R* = R(I-A)-1
Output Ekologi, N
Koefisien Output Ekologi -1 Q = N’(X) Q* = Q(I-A)-1
Gambar 4 Metodologi Model Input-Output Ekologi (KMNLH dan BPS 2000).
Dengan diketahui besaran input ekologi yang digunakan oleh sektor j dalam memenuhi permintaan akhir (R*), dan eksternalitas ke ekologi yang dihasilkan sektor j dalam memenuhi output untuk memenuhi permintaan akhir (Q*), maka dampak perubahan besarnya permintaan akhir akan dapat diperkirakan. Hal ini bisa menjadi dasar pertimbangan dalam mengestimasi dampak terhadap ekologi dari perencanaan pembangunan perikanan budidaya.
30
3.4.3. Carrying Capacity Pendekatan ecological footprint digunakan untuk mengestimasi daya dukung lingkungan untuk kegiatan perikanan budidaya berkelanjutan. Pengaruh fisik pada perhitungan metodologi difokuskan pada ketersediaan areal yang diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dan secara umum direferensikan untuk ecological footprint (Hubacek dan Giljum 2002). Oleh Wackernagel dan Rees (1996), ecological footprint didefinisikan sebagai total lahan dan perairan yang dibutuhkan untuk mendukung suatu populasi dengan spesifik lifestyle dan pemberian teknologi terhadap kebutuhan sumberdaya alam dan mengabsorbsi semua buangan dan emisi dalam kurun waktu tertentu. Lebih lanjut Adrianto (2006), menambahkan ecological footprint merupakan suatu konsep daya dukung lingkungan dengan memperhatikan tingkat konsumsi masyarakat, sehingga perbandingan ketersediaan areal untuk populasi di suatu wilayah
dengan
ketersediaan
ecological
capacity,
defisit
atau
surplus
keberlanjutan dapat dikuantitatifkan. Analisis carrying capacity di sini menggunakan pendekatan ecological footprint, dimana menurut Hubacek dan Giljum (2002) perhitungan ecological footprint adalah bagian dari kategori areal built-up dan kesesuaian areal langsung untuk infrastruktur, bukan pada dasar penggunaan areal aktual atau data tutupan areal, tetapi diawali dengan konsumsi sumberdaya oleh suatu populasi yang spesifik dalam unit massa. Penggunaan ecological footprint dapat dilihat sebagai hal yang bermanfaat dengan suatu jalan yang berbeda untuk membuat kebijakan (Moffat et al. 2000). Yang
fundamental
dari
metode
ecological
footprint
adalah
ide
untuk
menunjukkan areal dalam beberapa tipe areal yang digunakan per kapita dari perhitungan terhadap populasi suatu wilayah. Model Haberl’s digunakan sebagai model dasar perhitungan ecological footprint (Haberl et al. 2001), yaitu sebagai berikut :
EFi =
DEi IM i EX i + − , dimana EFlok = ∑ EFi Ylok i Yreg i Ylok i
Keterangan : EFi EFlok DEi IMi EXi Ylok i Yreg I
= Ecological Footprint produk ke-i (Ha/kapita) = Total Ecological Footprint (lokal) (Ha/kapita) = Domestic Extraction produk ke-i (Ton/kapita) = Impor produk ke-i (Ton/ha) = Ekspor produk ke-i (Ton/ha) = Yield (produktivitas) lokal produk ke-i (Ton/ha) = Yield (produktivitas) regional produk ke-i (Ton/ha)
(14)
31
Pada persamaan di atas dapat dilihat bahwa terdapat tiga elemen atau sektor perhitungan ecological footprint, yaitu: populasi, yield keduanya baik lokal maupun regional, dan ecological footprint itu sendiri (Haberl et al. 2001). Secara visual dapat dilihat kerangka analisis untuk model ecological footprint perikanan budidaya pada Gambar 5. Yield Productivity System Population System
Apparent Consumption System
Aquaculture Ecological Footprint
Gambar 5 Kerangka Analisis untuk Model Ecological Footprint Perikanan Budidaya (diadopsi dari Adrianto dan Matsuda 2004).
Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Lenzen dan Murray 2001):
BC k = Ak YF , dimana BClok = ∑ Ak YF
(15)
Keterangan : Ak YF
= Luas land cover kategori ke-k (Ha) = Yield factor land cover kategori ke-k
Untuk yield factor land cover yang digunakan dalam perhitungan biocapacity pada pendekatan ecological footprint di sini, didasarkan pada tipe land use dan faktor pembobotan dari riset yang diperkenalkan oleh Lenzen dan Murray (2001) dan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Faktor Pembobotan Areal Menurut Tipe Land Use Tipe Land Use
Faktor Pembobotan
- Built
1,00
- Degraded pasture or crop land Mined land
0,80
- Cleared pasture and crop land Non-native plantations
0,60
- Thinned pasture Parks and gardens Native plantations
0,40
- Partially disturbed pasture (mostly arid)
0,20
Sumber: Lenzen dan Murray (2001)
Menurut Lenzen dan Murray (2001), sumberdaya pesisir dan lautan termasuk dalam tipe cleared pasture and crop land non-native plantations. Dengan demikian, faktor pembobotan dari luas areal potensinya adalah 0,60.
IV.
4.1.
GAMBARAN UMUM
Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105o1’11”-
106o7’12” BT dan 5o7’50”-7o1’1” LS, mempunyai posisi strategis pada lintas perdagangan internasional dan nasional dengan batas-batas wilayahnya : a. Sebelah utara dengan Laut Jawa b. Sebelah timur dengan Provinsi DKI c. Sebelah selatan dengan Samudra Hindia d. Sebelah barat dengan Selat Sunda Morfologi wilayah Banten secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu dataran,
perbukitan
landai-sedang
(bergelombang
rendah-sedang)
dan
perbukitan terjal. Dataran dengan tingkat kemiringan 0-15% tersebar di sepanjang pesisir Utara Laut Jawa, sebagian wilayah Serang, sebagian Kabupaten Tangerang bagian utara serta wilayah selatan yaitu di sebagian pesisir Selatan dari Pandeglang hingga Kabupaten Lebak. Perbukitan landaisedang (kemiringan ≤ 25% dengan tekstur bergelombang rendah-sedang) sebagian besar terdapat di bagian utara meliputi Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang serta bagian utara Kabupaten Pandeglang. Sedangkan perbukitan terjal (kemiringan > 25%) terdapat di Kabupaten Lebak, sebagian kecil Kabupaten Pandeglang bagian selatan dan Kabupaten Serang. Iklim wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh angin Muson. Dengan tingkat kelembaban udara 78-85% dan curah hujan 95-480 mm, saat musim penghujan (November-Maret) cuaca didominasi oleh angin barat (dari Sumatera, Samudera Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari asia yang melewati Laut Cina Selatan. Pada musim kemarau (Juni-Agustus), cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian pantai utara. Temperatur di daerah pantai dan perbukitan berkisar antara 22oC dan 32oC, sedangkan temperatur di pegunungan dengan ketinggian antara 400-1.350 m dpl mencapai 18oC-29 oC.
33
4.2.
Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2000, status Karesidenan
Banten Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Provinsi Banten. Sebagai salah satu provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Provinsi Banten mempunyai sistem pemerintahan yang sama dengan provinsi lainnya. Unit pemerintahan di bawah provinsi adalah kabupaten/kota. Masing-masing kabupaten/kota terdiri dari beberapa kecamatan. Sedangkan kecamatan terbagi habis dalam beberapa desa/kelurahan. Wilayah Provinsi Banten yang mempunyai luas 9.438,33 km2, terdiri dari 4 kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang, Tangerang, dan 2 Kota yaitu Kota Tangerang dan Cilegon. Provinsi ini meliputi 135 kecamatan, 146 kelurahan dan 1.337 desa (Tabel 4). Jumlah pegawai negeri sipil di Banten pada tahun 2004 sebanyak 2,768 orang yang terdiri dari 1.286 orang berpendidikan sarjana (Strata I/II/III), sedangkan sisanya 1.482 orang hanya berpendidikan non gelar (Sarjana muda/D3 atau yang lebih rendah). Tabel 4 Jumlah Kecamatan, Kelurahan dan Desa di Banten Kabupaten/Kota Kabupaten: 1. Pandeglang 2. Lebak 3. Tangerang 4. Serang Kota: 5. Tangerang 6. Cilegon Banten
Kecamatan
Desa
Desa/Kelurahan Kelurahan Jumlah
31 23 26 34
322 295 328 351
13 5 22
335 300 328 373
13 8 135
41 1.337
104 2 146
104 43 1.483
Sumber: BPS Provinsi Banten 2006
4.3.
Penduduk Jumlah penduduk di suatu daerah merupakan suatu aset dan potensi
pembangunan yang besar, manakala penduduk tersebut berkualitas. Sebaliknya dengan jumlah pertumbuhan penduduk yang pesat tetapi dengan kualitas yang rendah akan menjadi beban besar bagi proses pembangunan yang akan dilaksanakan.
34
Penduduk Banten berdasarkan data hasil sensus penduduk yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah penduduk terus bertambah. Pada tahun 1961 tercatat sebanyak 2,43 juta jiwa. Dan pada tahun 2000, jumlah penduduk tersebut berdasarkan hasil sensus penduduk 2000 (SP 2000) telah bertambah menjadi 8,09 juta jiwa, kemudian di tahun 2005 meningkat menjadi 9,30 juta jiwa. Tabel 5 Perkembangan Penduduk di Banten 1980-2005 Kabupaten/Kota 1961 1971 1980 1990 2000 Kab : 1. Pandeglang 440.213 572.628 694.759 858.435 1.011.788 2. Lebak 427.802 546.364 682.868 873.646 1.030.040 3. Tangerang 643.647 789.870 1.131.199 1.843.755 2.781.428 4. Serang 648.115 766.410 968.358 1.244.755 1.652.763 Kota : 5. Tangerang 206.743 276.825 397.825 921.848 1.325.854 6. Cilegon 72.054 93.057 140.828 226.083 294.936 Banten 2.438.574 3.045.154 4.015.837 5.967.907 8.096.809 Sumber: Sensus penduduk 1961, 1971, 1980, 1990, 2000 dan Susenas 2005
2005 1.106.788 1.139.043 3.324.949 1.866.512 1.537.244 334.408 9.308.944
Kecenderungan penduduk yang terus bertambah dari periode sensus yang satu ke sensus berikutnya tentunya bukan hanya disebabkan oleh pertambahan penduduk secara alamiah, tetapi tidak terlepas dari kecenderungan migran baru yang masuk. Hal ini dikarenakan daya tarik Provinsi Banten dilihat dari potensi daerahnya seperti adanya perusahaan industri besar/sedang di daerah Cilegon, Tangerang dan Serang maupun potensi pariwisata di Pandeglang, Serang dan daerah lainnya, sehingga ketersediaan lapangan kerja dan makin kondusifnya kesempatan berusaha akan menarik pendatang dari luar Banten. Laju pertumbuhan penduduk Banten seperti yang disajikan pada Tabel 6 selama kurun waktu 1990-2000 rata-rata tumbuh sebesar 3,21%. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan pertumbuhan antara tahun 1980-1990 yang rata-rata sebesar 4,04% tetapi relatif lebih besar bila dibandingkan antara kurun waktu 1971-1980 yang rata-rata sebesar 3,12%. Jumlah penduduk Banten pada tahun 2005 berdasarkan hasil Susenas bertambah menjadi 9.308.944 jiwa. Bila dihitung rata-rata laju pertumbuhan penduduk selama periode 2000-2005 besarnya sekitar 2,83%, relatif menurun dibandingkan periode 1990-2000 tetapi masih relatif lebih besar bila dibandingkan antara kurun waktu 1961-1971 yang besarnya 2,25%.
35
Tabel 6 Laju Pertumbuhan Penduduk di Banten (%) Kabupaten/Kota 1961-1971 1971-1980 1980-1990 1990-2000 Kab: 1. Pandeglang 2,66 2,17 2,14 1,71 2. Lebak 2,48 2,51 2,49 1,72 3. Tangerang 4,07 4,07 5,00 4,35 4. Serang 2,69 2,63 2,54 2,98 Kota: 5. Tangerang 2,96 4,11 8,77 3,83 6. Cilegon 2,59 4,71 4,85 2,79 Banten 2,25 3,12 4,04 3,21 Sumber: Sensus penduduk 1961, 1971, 1980, 1990, 2000 dan Susenas 2005
2000-2005 1,81 2,05 3,63 2,46 3,00 2,54 2,83
Kepadatan penduduk Banten mencapai 1.058 orang per kilometer persegi. Kota Tangerang masih merupakan daerah terpadat, yaitu sebesar 8.355 orang per kilometer persegi, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Lebak yang hanya sebesar 398 orang per kilometer persegi. Jumlah rumah tangga pada tahun 2005 di Banten mencapai 2.504.330. Berdasarkan hasil registrasi jumlah warga negara asing pada tahun 2005 tercatat sebanyak 16.871 jiwa yang terdiri dari warga negara asing Cina 12.141 dan sisanya 4.730 warga negara asing lainnya.
4.4.
Tenaga Kerja Gambaran umum tingkat pendidikan tenaga kerja di Banten menunjukkan
bahwa lebih dari separuhnya hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah, yaitu 56,6% (tahun 2001), berkurang menjadi sekitar 53,2% (tahun 2003) dan 48,6% (tahun 2004). Penurunan persentase tenaga kerja berpendidikan rendah tersebut mengindikasikan adanya perbaikan kualitas tenaga kerja dari sisi pendidikan. Untuk jenjang satu tingkat di atasnya (SLTP), porsinya sebesar 13,7% (tahun 2001) dan mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga pada tahun 2004 telah mencapai 17,6%. Harapan tenaga kerja agar mampu menghadapi tingkat persaingan yang makin kompetitif, akan sangat bertumpu pada mereka yang memiliki tingkat pendidikan minimal SLTA di samping memiliki keterampilan dan keahlian sesuai tuntutan pasar kerja. Tenaga kerja berpendidikan SLTA pada tahun 2004 telah mencapai 27,0% dan meningkat cukup signifikan dibanding tahun 2001 yang besarnya baru mencapai 23,1%. Sementara itu tenaga kerja yang berpendidikan tinggi (PT) masih relatif rendah, hanya sebesar 6,8%.
36
Sektor pembangunan
ketenagakerjaan ekonomi
merupakan
khususnya
dalam
salah
satu
upaya
sektor
pemerintah
penting untuk
menanggulangi kemiskinan. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja adalah modal utama bagi geraknya roda pembangunan. Tahun 2004 dari jumlah penduduk Banten 9,08 juta jiwa ternyata 7,12 juta jiwa (78,46%) diantaranya merupakan penduduk usia kerja (PUK). Dari sejumlah PUK tersebut 3,9 juta jiwa (55,11%) merupakan angkatan kerja dan 3,19 (44,88%) bukan angkatan kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Banten pada tahun 2004 sebesar 55,11%, meningkat dibanding tahun sebelumnya (55,07%). TPAK menurut kabupaten/kota tidak jauh berbeda dibanding tahun sebelumnya. TPAK tertinggi di Kabupaten Lebak (58,62%) dan terendah di Kota Tangerang (52,65%). Tingkat pengangguran di Provinsi Banten mencapai 19,85%. Tingkat pengangguran
menurut
kabupaten/kota
tertinggi
berada
di
Kabupaten
Pandeglang (23,29%) dan Kota Cilegon (20,76%), sementara terendah di Kota Tangerang (16,55%). Proporsi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha biasanya dipakai sebagai salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Di Provinsi Banten, lapangan usaha pertanian (termasuk di dalamnya perikanan budidaya) merupakan sektor yang paling dominan dalam menyerap tenaga kerja, yaitu 25,80% dari total penduduk yang bekerja. Kemudian diikuti oleh industri (25,23%) dan perdagangan (20,58%). Perikanan budidaya sendiri menyerap tenaga kerja sebesar 15.469 orang atau hanya 1,89% dari total tenaga kerja di sektor pertanian secara agregat. 4.5.
Investasi Pembangunan Investasi merupakan salah satu penggerak roda pembangunan karena
investasi merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi proses pembangunan. Investasi diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi ataupun ekspansi lapangan kerja. Oleh karena itu, pemerintah melalui kebijakannya berusaha memfasilitasi para investor agar lebih giat melakukan investasi, antara lain dengan dipermudah kepemilikan saham oleh para pemodal asing dan makin terbukanya peluang usaha di Indonesia. Investasi pembangunan (baik oleh swasta dan pemerintah) sebagai salah satu bentuk stimulan ekonomi dalam pengembangan suatu sektor dialokasikan pada berbagai sektor. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan di Provinsi Banten mendapat alokasi investasi pembangunan (swasta dan pemerintah)
37
sebesar 120 juta rupiah pada tahun anggaran 2002/2003. Investasi tersebut dialokasikan di beberapa subsektor pertanian, kehutanan, perikanan (termasuk perikanan budidaya) untuk meningkatkan produksi di subsektor tersebut. Tabel 7 memperlihatkan bahwa sektor industri merupakan sektor utama, karena paling banyak diminati oleh perusahaan penanam modal yaitu mendapat investasi mencapai 1.356.264,62 juta rupiah atau 78,49%. Kemudian diikuti oleh sektor listrik, perdagangan dan jasa mencapai 297.555,00 juta rupiah atau 17,22%. Tabel 7 Realisasi Investasi Pembangunan di Provinsi Banten Tahun Anggaran 2002/2003 (Juta Rp) Sektor 1. Pertanian, Kehutanan, Perikanan 2. Pertambangan 3. Industri 4. Angkutan 5. Listrik, Perdagangan & Jasa Total
Dana Anggaran 120,00 70.650,00 1.356.264,62 3.411,00 297.555,00 1.728.000,62
Sumber: BPS Provinsi Banten 2005
Sebagai provinsi baru yang sedang membangun, Banten membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Di samping usaha memobilisasi dana dari dalam negeri, dana investasi dari luar negeri di luar pinjaman pemerintah juga terus diupayakan. Dalam upaya untuk menarik minat investor
menanamkan
modalnya
di
Banten,
pemerintah
daerah
terus
meningkatkan kegiatan promosi. 4.6.
Perikanan Budidaya Selama masa krisis moneter melanda kawasan Asia, sektor perikanan
telah menunjukkan kemampuannya sebagai salah satu sektor yang mampu bertahan dari krisis, bahkan menunjukkan peningkatan nilai ekspor. Hal ini disebabkan karena sektor ini mempunyai kandungan impor yang relatif kecil dibandingkan nilai ekspor yang dihasilkan. Kegiatan perikanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Mengingat semakin banyaknya areal penangkapan yang mulai menunjukkan gejala over fishing di beberapa wilayah perairan Indonesia
termasuk
Provinsi
Banten,
maka
perikanan
budidaya
dapat
memberikan peluang usaha guna mensuplai makanan laut dalam jumlah besar dan berkualitas tinggi.
38
Perkembangan luas areal dan tempat pemeliharaan ikan dapat dilihat pada Tabel 8. Dari tabel tersebut tampak bahwa selama periode tahun 2004-2005 luas areal pemeliharaan ikan di Provinsi Banten khususnya tambak memiliki luas areal mencapai 8.010,55 ha, sedangkan budidaya laut memiliki luas areal efektif mencapai 11.882,00 ha (DKP 2006) yang tersebar di perairan pesisir Provinsi Banten. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota luas areal tambak tertinggi berada di Kabupaten Serang, yaitu 5.141,67 ha (64,19%) dan terendah di Kabupaten Lebak 37,50 ha (0,47%). Tabel 8 Luas Areal dan Tempat Pemeliharaan Ikan di Banten (dalam ha) Kabupaten/Kota Kab: 1. Pandeglang 2. Lebak 3. Tangerang 4. Serang Kota: 5. Tangerang 6. Cilegon Banten
Budidaya Laut
Budidaya Tambak
6.317,69 1.250,68 751,20 3.187,58
354,00 37,50 2.477,38 5.141,67
374,85 11.882,00*
8.010,55
Sumber: BPS Provinsi Banten 2006 * DKP 2006
Lokasi areal pengembangan budidaya perikanan terdapat di Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Sementara itu Kota Cilegon dan Kota Tangerang tidak memiliki areal pengembangan, karena lebih didominasi oleh fungsi areal industri dan permukiman. Perkembangan produksi perikanan budidaya dapat dilihat dari Tabel 9. Hasil produksi perikanan budidaya di Provinsi Banten pada periode tahun 2004-2005
mengalami
peningkatan.
Tingkat
produksi
budidaya
tambak
mengalami peningkatan sebesar 14,09% dari 9.424,10 ton di tahun 2004 menjadi 10.970,70 ton. Budidaya laut juga mengalami peningkatan produksi sebesar 51,06%, menjadi 5.840,00 ton yang sebelumnya di tahun 2004 mencapai 2.858,00 ton.
39
Tabel 9 Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Ton) Kabupaten/Kota Kab: 1. Pandeglang 2. Lebak 3. Tangerang 4. Serang Kota: 5. Tangerang 6. Cilegon Banten
Budidaya Laut
Budidaya Tambak
3.010,00 2.830,00 -
429,30 80,40 7.309,50 3.151,50
5.840,00
10.970,70
Sumber: BPS Provinsi Banten 2006
Dilihat dari kabupaten/kota, produksi tertinggi untuk budidaya tambak berada di Kabupaten Tangerang yang mencapai 7.309,50 ton (66,63%) dan terendah di Kabupaten Lebak yang hanya mencapai 80,40 ton (0,73%). Sementara untuk budidaya laut, Kabupaten Pandeglang memiliki produksi tertinggi yang mencapai 3.010,00 ton (51,54%) kemudian diikuti oleh Kabupaten Tangerang sebesar 2.830,00 ton (48,46%). Nilai produksi perikanan budidaya dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai produksi perikanan di Provinsi Banten ternyata budidaya tambak memiliki nilai produksi mencapai 179.343 juta rupiah. Sementara budidaya laut memiliki nilai produksi mencapai 12.728 juta rupiah. Jika dilihat dari produktivitas tiap jenis usaha perikanan budidaya, maka budidaya tambak memiliki nilai produktivitas 1,37 ton/ha sementara budidaya laut memiliki nilai produktivitas 0.49 ton/ha. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat potensi budidaya laut yang lebih besar dari budidaya tambak, memungkinkan produktivitas budidaya laut lebih besar dari budidaya tambak. Tabel 10 Nilai Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Juta Rupiah) Kabupaten/Kota Kab: 1. Pandeglang 2. Lebak 3. Tangerang 4. Serang Kota: 5. Tangerang 6. Cilegon Banten Sumber: BPS Provinsi Banten 2006
Budidaya Laut
Budidaya Tambak
1.408 11.320 -
14.777 809 133.389 30.368
12.728
179.343
40
Dalam rangka menguatkan daya saing daerah pada era otonomi, maka perlu dikembangkan berbagai jenis komoditas unggulan perikanan dari usaha budidaya sesuai dengan keunggulan masing-masing kabupaten. Berbagai jenis komoditas unggulan perikanan budidaya yang layak untuk dikembangkan di Provinsi Banten adalah : •
Kabupaten Serang
: udang dan bandeng
•
Kabupaten Pandeglang
: udang, patin dan kerapu
•
Kabupaten Tangerang
: udang dan patin
•
Kabupaten Lebak
: udang, bandeng dan patin
Selain itu, rencana tata ruang wilayah Provinsi Banten menyebutkan bahwa lokasi budidaya yang dianggap tepat adalah kawasan pesisir sekitar Pulau Panaitan, kawasan pesisir Ujung Kulon, kawasan pesisir antara Labuan dan Panimbang, serta Pulau-pulau kecil di bagian utara dan selatan Provinsi Banten.
4.7.
Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem mangrove merupakan kawasan pasang surut di muara sungai
yang ditumbuhi vegetasi khas mangrove dan memiliki nilai ekonomi, ekologis dan sosial yang tinggi. Ekosistem mangrove ini tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, namun luasan mangrove juga terus mengalami perubahan yang disebabkan oleh berkurangnya luasan di alam karena konversi. Provinsi Banten yang memiliki luas wilayah 943.833 ha memiliki luas hutan mangrove sebesar 2.214,45 ha yang tersebar di Kabupaten Tangerang (Teluknaga, Mauk, Pakuhaji, Kronjo), Kabupaten Serang (Sepanjang pesisir sebelah selatan hingga timur Pulau Panjang, pesisir selatan, timur hingga utara Pulau Merak Besar dan Pulau Merak Kecil) serta Kabupaten Pandeglang (Pulau Panaitan, pesisir Teluk Pamegaran, Teluk Linto, Tanjung Waton, dan bagian timur laut Tanjung Karangjajar, pesisir Teluk Paraja dan Lorogan Cilintang) (DKP 2006). Secara
ekologis,
mangrove
merupakan
daerah
asuhan,
tempat
berkembang biak dan mencari makan dari berbagai jenis ikan dan udang. Selain itu, mangrove juga merupakan sumberdaya yang memiliki potensi ekonomi dan sosial yang tinggi. Ekosistem mangrove menjadi salah satu kawasan andalan untuk berbagai bentuk kegiatan ekonomi produktif, seperti wisata, penghasil bahan bakar, kawasan perikanan, dan sebagainya yang menyebabkan banyak masyarakat yang kehidupannya tergantung secara sosial dan ekonomi pada keberadaan mangrove tersebut.
41
Arahan pengelolaan kawasan ekosistem mangrove di Provinsi Banten antara lain (BAPEDA 2002): 1. Kegiatan yang tidak menunjang perlindungan terhadap flora dan fauna di kawasan ini dilarang. 2. Kegiatan yang sudah ada, yang tidak menunjang perlindungan terhadap flora dan fauna di kawasan ini secara bertahap dipindahkan dengan penggantian yang layak. 3. Kegiatan tambak dan kegiatan lain yang berhubungan dengan aktivitas kelautan diperkenankan. 4. Penanaman kembali tanaman bakau pada daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya banjir dan abrasi pantai. Berdasarkan arahan pengelolaan maka pemanfaatan lahan mangrove untuk budidaya harus tetap memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove. Hal ini disebabkan karena lahan mangrove bermanfaat untuk penyedia pakan alami dan sumber benih bagi areal tambak yang ada di sekitarnya. Selain itu mangrove dapat berfungsi sebagai penyaring dan mengendapkan limbah yang berasal dari kawasan budidaya. Mengingat perikanan budidaya mampu memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional yang tidak kecil dan menyadari arti pentingnya kawasan mangrove, maka pengembangan tambak di daerah mangrove membutuhkan pertimbangan yang komprehensif dan penuh kehati-hatian serta pemilihan lokasi yang paling sesuai. Dengan demikian, pemanfaatan areal tambak nantinya dapat menghasilkan
panen
yang
optimal,
sekaligus
meminimumkan
kuantitas
pembukaan lahan mangrove yang sia-sia. Menurut informasi dari Dinas Kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, hutan mangrove yang ada tidak semua diprogramkan untuk kepentingan konservasi ataupun jalur hijau sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan perikanan budidaya. Pemanfaatan mangrove harus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek teknis dan sesuai dengan kebutuhan. Salah satu cara untuk memadukan dua kepentingan yaitu pengembangan areal perikanan budidaya dengan pelestarian mangrove adalah bentuk silvofishery. Dengan teknik ini maka kegiatan budidaya dapat dipadukan dengan konservasi mangrove.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perencanaan pembangunan perikanan budidaya yang berkelanjutan melibatkan aspek yang ada di wilayah pesisir Provinsi Banten. Beberapa aspek tersebut meliputi aspek ekologi dan ekonomi. Aspek ekologi mengkaji daya dukung wilayah pesisir Provinsi Banten untuk pembangunan perikanan budidaya dengan pendekatan ecological footprint. Selain itu, aspek ini juga meliputi input lingkungan yang digunakan sebagai dampak dari pemanfaatan areal dan mangrove untuk perikanan budidaya dan eksternalitas yang dihasilkan terhadap lingkungan. Sedangkan aspek ekonomi meliputi peluang/kesempatan kerja dan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan perikanan budidaya tersebut dengan menggunakan alat analisis dan model pengembangan ecological input-output. Selain itu, model tabel input-output dapat digunakan untuk melihat kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari suatu sektor kegiatan. Berikut akan disajikan telaah kekuatan struktur dan interaksi antar sektor dari perikanan budidaya. 5.1.
Struktur Ekonomi Provinsi Banten
5.1.1. Struktur Permintaan dan Penawaran Berdasarkan pengamatan terhadap struktur permintaan dan penawaran pada setiap sektor, dapat dilihat sektor mana yang merupakan produsen utama untuk suatu produk tertentu. Dari produsen utama selanjutnya dapat ditelusuri sektor/komoditas mana yang mengalami surplus yang paling tinggi ataupun yang paling rendah yang dinilai berdasarkan selisih atau perbandingan antara jumlah permintaan dan besarnya penawaran/penyediaan. Tinggi rendahnya ekspor produk sektor tertentu, akan dicerminkan oleh selisih tersebut. Semakin besar surplusnya maka semakin besar pula ratio untuk mengekspor sektor yang bersangkutan. Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa dari sisi permintaan dialokasikan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam proses produksi (permintaan antara) di berbagai sektor sebesar 52.426.415 juta rupiah (48,06%), sisanya digunakan untuk konsumsi akhir yang meliputi untuk kebutuhan domestik sendiri sebesar 27.867.314 juta rupiah (25,54%) dan untuk keperluan ekspor sebesar 28.800.957 juta rupiah (26,40%). Untuk memenuhi permintaan tersebut (ekspor) produksi barang dan jasa sebagian dihasilkan oleh kegiatan domestik, yakni
43
sebesar 43.184.332 juta rupiah (39,58%) dan kekurangannya dipenuhi dengan mengimpor dari luar Provinsi Banten sebesar 13.483.939 juta rupiah (12,36%). Dengan memperhatikan besarnya ekspor dan impor Provinsi Banten dapat disimpulkan bahwa telah terjadi surplus perdagangan sebesar 15.317.018 juta rupiah (14,04%). Tabel 11 Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten (Juta Rp) Sektor Pertanian
2.068.042
934.447
171.872
4.059.114
30.040
177.140
11.211
16.182
107.576
218.391
Tambang & Galian
Listrik & Air Bersih
Penyediaan Input
1.964.921
Perikanan Budidaya
Industri
Permintaan Akhir
Jumlah Permintaan/ Penawaran 4.967.410
Permintaan Antara
Domestik
Ekspor
Import
Domestik
124.885
(50.003)
17.120
4.959
43.611
57.762
37.219.477
14.815.807
25.302.496
10.387.668
22.889.689
77.337.780
1.690.761
2.442.289
0
1.183.966
1.672.380
4.133.050
455.905
2.259.056
0
259.375
1.021.884
2.714.961
Pdgng, Htl & Resto
6.300.697
3.627.668
409.771
616.523
7.593.761
10.338.136
Transport & Kom
2.996.962
847.725
2.040.908
659.970
3.085.426
5.885.595
806.870
304.091
23.756
154.712
814.330
1.134.717
Konstruksi
Keuangan Jasa-jasa Jumlah
835.897
1.409.739
61.248
28.712
1.896.561
2.306.884
52.426.415
27.867.314
28.800.957
13.483.939
43.184.332
109.094.686
Sumber: Data Diolah 2007
Berdasarkan kajian terhadap struktur permintaan dan penawaran pada sektor perikanan budidaya, yang merupakan topik pembahasan ini, dapat dijelaskan bahwa sektor perikanan budidaya penyebarannya hampir merata. Jumlah permintaan seluruhnya mencapai 218.391 juta rupiah. Dari jumlah tersebut sebesar 30.040 juta rupiah atau sekitar 13,76% digunakan untuk memenuhi permintaan antara sektor produksi lainnya, memenuhi permintaan akhir domestik sebesar 177.140 juta rupiah (81,11%) dan selebihnya untuk ekspor, yakni sebesar 11.211 juta rupiah (5,13%) dari seluruh permintaan. Namun demikian, jika dilihat dari sisi penawaran menunjukkan bahwa wilayah pesisir Provinsi Banten hanya mampu berperan menyediakan produksi perikanan budidaya sebesar 107.576 juta rupiah (49,26%) dari seluruh penawaran/penyediaan produk, kekurangannya yakni sebesar 16.182 juta rupiah (7,41%) harus dipasok dari luar Provinsi Banten. Dengan adanya kekurangan pasokan sebesar 7,41% menunjukkan bahwa di Provinsi Banten telah terjadi kekurangan pasokan (minus) dalam penyediaan produksi perikanan budidaya atau penawaran sektor perikanan budidaya lebih kecil dari permintaannya, dengan demikian secara keseluruhan sektor perikanan budidaya mengalami defisit sebesar 4.971 juta rupiah (2,28%).
44
5.1.2. Struktur Permintaan Akhir Struktur permintaan akhir menunjukkan jumlah barang dan jasa dari setiap sektor
perekonomian
yang
digunakan
untuk
konsumsi
rumah
tangga,
pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok, dan permintaan ekspor bagi daerah lain di luar Provinsi Banten. Besarnya nilai komponen permintaan akhir dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Komposisi Permintaan Akhir Sektor Perikanan Budidaya Menurut Komponennya di Provinsi Banten Komponen Konsumsi Rumah Tangga
Sektor Perikanan Budidaya Nilai (Juta Rp) % 178.465 94,75
Konsumsi Pemerintah
0
0,00
Pembentukan Modal Tetap
0
0,00
Perubahan Stok
(1.325)
(0,70)
Ekspor
11.211
5,95
188.351
100,00
Jumlah Permintaan Akhir Sumber: Data Diolah 2007
Hasil analisis terhadap sektor perikanan budidaya menunjukkan bahwa permintaan akhir sektor ini paling banyak digunakan untuk konsumsi rumah tangga yaitu sebesar 94,75%, dan ekspor sebesar 5,95%, sedangkan untuk konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap sama sekali tidak ada, bahkan terjadi minus 0,7% untuk perubahan stok sehingga diperlukan impor untuk mengatasi hal tersebut. Interpretasi dari hal ini ternyata produksi perikanan budidaya lebih banyak digunakan untuk konsumsi rumah tangga dibandingkan untuk kegiatan akhir lainnya. Nilai investasi yang terbentuk di sektor perikanan budidaya tidak ada, terbukti dengan pembentukan modal tetap sama sekali tidak ada. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan semua stakeholder, jika memungkinkan sektor ini menjadi sektor andalan dimana salah satu alternatifnya adalah dengan meningkatkan investasi melalui pemberian insentif. 5.1.3. Struktur Input Primer Struktur input primer merupakan semua jenis balas jasa yang dibayarkan kepada sektor ekonomi sebagai kompensasi atas keterlibatannya dalam kegiatan perikanan budidaya. Input primer dalam terminologi yang berbeda disebut nilai tambah bruto (value added) yang merupakan selisih antara output dengan input antara. Komponen input primer meliputi upah/gaji, surplus usaha, penyusutan,
45
pajak tak langsung dan memiliki hubungan vertikal dengan input antara. Dalam terminologi makro input primer merupakan bagian dari komponen input dalam suatu produksi dan disebut sebagai komponen nilai tambah bruto. Penjumlahan seluruh input primer ataupun nilai tambah bruto dari seluruh sektor ekonomi di wilayah Banten disebut PDRB dan hasilnya dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur kinerja perekonomian Provinsi Banten. Rincian nilai input primer dari sepuluh sektor kegiatan di Provinsi Banten dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Nilai Input Primer Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten Sektor 1. Pertanian 2. Perikanan Budidaya
Nilai (Juta Rp) 4.059.114
Distribusi (%) 9,39
107.576
0,25
43.611
0,10
22.889.689
53,00
5. Listrik & Air Bersih
1.672.380
3,88
6. Konstruksi
1.021.884
2,37
7. Perdgngan, Htl & Restoran
7.593.761
17,58
8. Transportasi & Komunikasi
3.085.426
7,15
9. Keuangan
814.330
1,89
10. Jasa-jasa
1.896.561
4,39
43.184.332 4.318.433
100,00 10,00
3. Pertambangan & Galian 4. Industri
Jumlah Rata-rata per sektor Sumber: Data Diolah 2007
Secara total pembentukan struktur input primer dari seluruh sektor perekonomian di Provinsi Banten adalah sebesar 43.184.332 juta rupiah; dimana keseluruhan diciptakan oleh sepuluh sektor di atas. Namun demikian, kontribusi sektor perikanan budidaya memberikan nilai input primer yang relatif kecil, yaitu sebesar 107.576 juta rupiah (0,25%) di bawah rata-rata per sektor 4.318.433 juta rupiah atau menduduki rangking ke-9. Lebih lanjut terlihat pada Tabel 14, struktur input primer terbesar diberikan oleh dua buah sektor yaitu sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran, masing-masing memberikan kontribusi sebesar 53,00% dan 17,58%. Selanjutnya analisis pembentukan input primer menurut komponennya yang terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, pajak tak langsung dapat dilihat pada Tabel 14. Atas dasar komponen ini, terlihat bahwa surplus usaha dari keseluruhan sektor perekonomian memberikan kontribusi tertinggi, yaitu sebesar 52,39%, upah dan gaji sebesar 32,62%, penyusutan sebesar
46
10,69%, dan pajak tak langsung sebesar 4,30%. Penjelasan tersebut memberikan implikasi bahwa secara makro kegiatan perekonomian di Provinsi Banten relatif menguntungkan yang ditunjukkan oleh nilai surplus usaha yang dominan. Selain itu, dengan tingkat upah dan gaji yang memberikan kontribusi sebesar 32,62%, secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi daya beli masyarakat dalam sistem perekonomian domestik. Tabel 14 Komposisi Input Primer Menurut Komponennya Pada Sektor Perikanan Budidaya dan Sektor Basis di Provinsi Banten Komponen
Perikanan Budidaya 18.603
Lainnya
Jumlah
1.686.513
3.523.090
14.087.200
29,07
22,21
41,28
32,62
1.577.182
12.777.254
5.000.944
3.189.948
22.624.685
73,77
38,86
55,81
65,86
37,38
52,39
4.836
175.533
2.304.453
458.357
1.673.787
4.616.966
4,50
4,32
10,08
6,04
19,61
10,69
4.780
100.988
1.154.399
447.947
147.367
1.855.481
4,44
2,49
5,04
5,89
1,73
4,30
107.576 100,00 Sumber: Data Diolah 2007
4.059.114 100,00
22.889.689 100,00
7.593.761 100,00
8.534.192 100,00
43.184.332 100,00
Upah & Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak tak Langsung Jumlah
Pertanian
Industri
2.205.411
6.653.583
17,29
54,33
79.357
Perdagangan
Khusus untuk sektor perikanan budidaya, terdapat gambaran bahwa kegiatan usaha perikanan budidaya relatif lebih memberikan proporsi yang menguntungkan dibanding kegiatan ekonomi lainnya, yang ditunjukkan dengan surplus usaha sebesar 79.357 juta rupiah (73,77%) dari total nilai output. Artinya, setiap satu satuan output wilayah yang dihasilkan akan diperoleh surplus usaha sebesar 0,7377 satuan. Angka ini lebih besar dari rata-rata surplus usaha semua sektor ekonomi wilayah (0,5239 satuan). Data ini menunjukkan bahwa dalam pembentukan output di sektor perikanan budidaya, komponen surplus usaha memegang peranan penting. Jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga perbankan yang berkisar antara 6% hingga 12% per tahun, maka surplus usaha ini jauh lebih tinggi. Hal ini merupakan daya tarik tersendiri bagi para investor untuk menanamkan modalnya di sektor ini. Namun demikian, tingkat upah dan gaji yang diterima masyarakat nelayan relatif kecil dibanding dengan kegiatan ekonomi lainnya yaitu sebesar 18.603 juta rupiah (17,29%). Artinya, untuk menghasilkan satu satuan output wilayah diperlukan upah dan gaji sebesar 0,1729 satuan untuk membayar tenaga kerja di sektor perikanan budidaya. Angka tersebut lebih kecil dari rata-rata semua sektor
47
ekonomi dalam membayar pekerja yaitu sebesar 0,3262 satuan. Padahal upah dan gaji merupakan satu-satunya komponen nilai tambah yang bisa langsung diterima oleh pekerja (buruh nelayan). Sebaliknya surplus usaha yang harus diterima oleh pengusaha (nelayan) yang jumlahnya lebih sedikit dari buruh nelayan, dua kali lebih besar dibanding dengan upah dan gaji, sehingga upah dan gaji yang relatif lebih kecil secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi daya beli masyarakat (buruh nelayan). Di lain pihak dengan adanya kelebihan dari surplus usaha akan ada penambahan investasi atau saving di perusahaan yang belum tentu dapat langsung dinikmati oleh masyarakat nelayan. 5.1.4. Efisiensi Penciptaan Output Efisiensi penciptaaan output merupakan hasil bagi antara nilai tambah bruto (input primer) dengan output. Dengan menelaah besarnya efisiensi penciptaan output oleh masing-masing sektor, maka akan diketahui sektor-sektor mana yang lebih efisien dalam menciptakan output. Tabel 15 memperlihatkan sepuluh sektor kegiatan yang memiliki tingkat efisiensi penciptaan output di Provinsi Banten. Tabel 15 Efisiensi Penciptaan Output Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten Sektor 1. Pertanian
NTB (Juta Rp) 4.059.114
Output (Juta Rp) 4.967.410
107.576
218.391
49,26
43.611
57.762
75,50
22.889.689
77.337.780
29,60
5. Listrik & Air Bersih
1.672.380
4.133.050
40,46
6. Konstruksi
1.012.884
2.714.961
37,31
7. Pdgng, Htl & Restoran
7.593.761
10.338.136
73,45
8. Transport & Kom
3.085.426
5.885.595
52,42
9. Keuangan
814.330
1.134.717
71,77
10. Jasa-jasa
1.896.561
2.306.884
82,21
43.184.332
109.094.686
39,58
2. Perikanan Budidaya 3. Tambang & Galian 4. Industri
Jumlah
Distribusi (%) 81,71
Sumber: Data Diolah 2007 Ket: NTB = Nilai Tambah Bruto
Pada Tabel 15 terlihat bahwa sektor perikanan budidaya masih bisa dikategorikan efisien dengan tingkat efisiensi sebesar 49,26% dan berada di atas rata-rata total efisiensi sektor kegiatan di Provinsi Banten yang besarnya 39,58%. Efisiensi dari sektor perikanan budidaya ini merupakan salah satu nilai strategis
48
yang menjadi bahan pertimbangan untuk berinteraksi. Di samping tingkat efisiensi, tentu saja masih ada pertimbangan-pertimbangan lainnya yang harus diperhitungkan seperti misalnya tingkat pengembalian, tingkat suku bunga dan kondisi sosial politik. Selain itu, pada Tabel 15 juga terlihat sektor yang paling efisien dalam menciptakan outputnya adalah sektor jasa-jasa dan sektor pertanian. Ternyata sektor pertanian di sini sama dengan sektor pertanian di Provinsi Jawa Barat di mana sektor tanaman bahan makanan dan perkebunan merupakan sektor yang paling efisien dalam penciptaan output (Hermawan 2001). Tingkat efisiensi yang diciptakan dalam pembentukan output sektor perikanan budidaya ini telah teruji dalam meningkatkan perekonomian dan pendapatan nelayan serta daya tahan ekonomi umumnya, yakni pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997, sektor perikanan budidaya merupakan sektor ekonomi rakyat yang cukup handal dalam menggerakkan ekonomi nasional. 5.2.
Analisis Keterkaitan Keterkaitan aktifitas antar sektor ekonomi dapat dianalisa dari tabel input-
output. Analisis keterkaitan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh suatu sektor ekonomi terhadap sektor-sektor lain dalam sistem perekonomian. Dengan demikian dapat diukur tingkat ketergantungan antar sektor dalam suatu sistem perekonomian dan diketahui sejauh mana pertumbuhan suatu sektor dipengaruhi oleh sektor-sektor lainnya. Analisis keterkaitan antar sektor dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (I) kaitan ke belakang dan (II) kaitan ke depan. Masing-masing keterkaitan tersebut dapat dibagi dua lagi, yaitu: (i) keterkaitan output langsung ke depan dan ke belakang; (ii) keterkaitan output tidak langsung ke depan dan ke belakang, selanjutnya analisis keterkaitan ke belakang dan ke depan secara rinci dapat dijelaskan melalui daya penyebaran dan derajat kepekaan. 5.2.1. Keterkaitan ke Belakang Pengaruh peningkatan suatu sektor akan terlihat pada sektor-sektor yang mensuplai atau menyediakan bahan baku sebagai inputnya. Seberapa besar dampaknya terhadap sektor-sektor yang mensuplai tadi disebut sebagai keterkaitan ke belakang. Koefisien keterkaitan ke belakang baik langsung maupun tidak langsung dari sektor kegiatan di Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 6.
49
Koefisien Keterkaitan
0.6000 0.5000 0.4000 0.3000 0.2000 0.1000
sa Ja
tr i st rk & Ai Ko r ns tr u D gn ks i g, H tl , R Tr es an t s& Ko m ke ua ng an
Tm
Li
bn
In d
us
G al
ya
g&
id a ud
P. B
Pe r
ta n
ia
n
i
0.0000
(a) Keterkaitan Langsung ke Belakang
1.6000
Koefisien Keterkaitan
1.4000 1.2000 1.0000 0.8000 0.6000 0.4000 0.2000
sa Ja
ri st rk & Ai Ko r ns t ru D gn ks i g, H tl , R Tr es an t s& Ko m ke ua ng an Li
st
i du
In
G al
ya Tm
bn
g&
id a
ud
Pe r
P. B
ta
ni
an
0.0000
(b) Keterkaitan Tidak Langsung ke Belakang
Gambar 6 Keterkaitan ke Belakang Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten
Berdasarkan Gambar 6(a), dapat diartikan bahwa koefisien keterkaitan langsung ke belakang sektor perikanan budidaya adalah 0,4333, angka ini menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan satu unit output pada sektor perikanan budidaya membutuhkan output sektor lain sebesar 0,4333 unit, atau dengan kata lain output tersebut akan digunakan oleh sektor perikanan budidaya sebagai input dalam proses produksinya. Hal ini kemudian secara simultan akan memicu peningkatan penggunaan output sektor-sektor lainnya sebagai input sebesar 1,4045 unit (Gambar 6b). Dengan demikian, secara total akan mengakibatkan peningkatan penggunaan output kegiatan sebesar 1,8378 unit. Total nilai keterkaitan ke belakang sektor perikanan budidaya menempati urutan ketiga dari klasifikasi 10 sektor, setelah sektor industri dan sektor konstruksi, berada di atas rata-rata per sektor ekonomi lainnya yakni 1,5568. Data tersebut menunjukkan bahwa sektor perikanan budidaya sangat tinggi dalam menyerap
50
output sektor lain yang digunakan sebagai input sektor tersebut. Tingginya nilai keterkaitan ke belakang dari sektor perikanan budidaya menunjukkan tingginya input yang diserap oleh sektor ini. Tabel 16 menyajikan struktur input sektor perikanan budidaya, untuk melihat lebih dalam komponen dan sektor yang dapat diserap oleh sektor perikanan budidaya terkait dengan keterkaitannya ke belakang. Tabel 16 Struktur Input Sektor Perikanan Budidaya di Provinsi Banten Sektor
Nilai (Juta Rp)
%
Pertanian
3.248
Perikanan Budidaya
3.308
1,51
0
0,00
67.061
30,71
169
0,08
4.330
1,98
13.530
6,20
2.414
1,11
6
0,00
Pertambangan & Galian Industri Listrik & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Transportasi & Komunikasi Keuangan Jasa-jasa
1,49
567
0,26
Jumlah Input Antara
94.633
43,33
Impor
16.182
7,41
Upah & Gaji
18.603
8,52
Surplus Usaha
79.357
36,34
Penyusutan
4.836
2,21
Pajak Tak Langsung
4.780
2,19
Nilai Tambah Bruto
107.576
49,26
Jumlah Input
218.391
100,00
Sumber: Data Diolah 2007
Pada Tabel 16 terlihat bahwa total input yang terserap yaitu sebesar 218.391 juta rupiah. Biaya yang dikeluarkan untuk nilai tambah bruto sebesar 107.576 juta rupiah (49,26%), terdiri atas upah dan gaji sebesar 18.603 juta rupiah (8,52%), surplus usaha sebesar 79.357 juta rupiah (36,34%), penyusutan sebesar 4.836 juta rupiah (2,21%) dan pajak tak langsung 4.780 juta rupiah (2,19%). Sedangkan untuk biaya input antara sebesar 94.633 juta rupiah (43,33%), yang sebagian besar dilakukan terhadap sektor industri yaitu sebesar 67.061 juta rupiah (30,71%) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 13.530 juta rupiah (6,20%).
51
Hal ini mengindikasikan bahwa usaha di sektor perikanan budidaya memberikan keuntungan yang cukup besar (sekitar 36,34%), namun upah dan gaji yang diterima oleh buruh nelayan relatif sangat kecil (sekitar 8,52%), sehingga kondisi buruh nelayan selalu miskin keberadaannya. Usaha sektor perikanan budidaya sangat besar bergantung kepada sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Pendapatan
nelayan
dapat
diupayakan
untuk
ditingkatkan
melalui
intervensi pemerintah, salah satunya adalah memberikan bantuan dana yang cukup bagi usaha di bidang perikanan budidaya yang langsung diberikan kepada kelompok nelayan pembudidaya (pemberdayaan nelayan) berikut peningkatan kapasitas di segala aspek keahlian. Selain itu, untuk meningkatkan peran sektor perikanan budidaya pada perekonomian wilayah maka sektor yang berperan dalam menyumbang/menyediakan input bagi sektor perikanan budidaya, yakni sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran harus diupayakan peningkatan kapasitasnya, melalui kemudahan dalam birokrasi, penciptaan iklim usaha yang kondusif, dan pemberian insentif lainnya. 5.2.2. Keterkaitan ke Depan Analisis keterkaitan ke depan merupakan dorongan oleh suatu sektor terhadap penggunaan outputnya oleh sektor lain. Dalam hal ini, keterkaitan ke depan menunjukkan kegiatan-kegiatan sektor lain yang menggunakan output dari sektor yang bersangkutan atau dengan kata lain, jika terjadi peningkatan output produksi tertentu, maka tambahan output tersebut akan didistribusikan ke sektorsektor produksi di perekonomian tersebut, termasuk pada sektor itu sendiri. Nilai keterkaitan ke depan baik langsung maupun tidak langsung sektor kegiatan di Provinsi Banten dapat dilihat pada Gambar 7. 1.8000
1.4000 1.2000 1.0000 0.8000 0.6000 0.4000 0.2000
D
gn
g,
H
(a) Keterkaitan Langsung ke Depan
sa Ja
tl ,
R Tr es an t s& Ko m ke ua ng an
ks i
Ai r
st ru
st rk &
Li
Ko n
tr i us
In d
G al
ya Tm
bn
g&
id a ud
Pe r
ta n
ia
n
i
0.0000
P. B
Koefisien Keterkaitan
1.6000
52
Koefisien Keterkaitan
3.0000 2.5000 2.0000 1.5000 1.0000 0.5000
sa Ja
tr i Li st rk & Ai Ko r ns t ru D gn ks i g, H tl , R Tr es an t s& Ko m ke ua ng an
i
us
In d
G al
ya
g&
id a
bn Tm
ud
Pe r
P. B
ta
ni
an
0.0000
(b) Keterkaitan Tidak Langsung ke Depan
Gambar 7 Keterkaitan ke Depan Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten
Pada Gambar 7(a) terlihat bahwa nilai keterkaitan langsung ke depan sektor perikanan budidaya adalah 0,0179. Interpretasi dari nilai tersebut yaitu setiap kenaikan satu unit output sektor ini akan meningkatkan output sektor lain yang menggunakan output sektor ini sebagai inputnya sebesar 0,0179 unit. Dengan kata lain, output sektor ini akan digunakan sebagai input sektor lain sebesar nilai tersebut. Secara simultan peningkatan tersebut akan mendorong sektor-sektor lainnya sebesar 1,0019 unit (Gambar 7b).
Dengan demikian,
kenaikan satu unit output sektor perikanan budidaya akan meningkatkan permintaan total dalam perekonomian sebesar 1,0198 unit, dimana nilai tersebut menempati urutan terakhir klasifikasi 10 sektor dan berada di bawah rata-rata sektor ekonomi lainnya yaitu sebesar 1,5568. Data tersebut menunjukkan bahwa sektor perikanan budidaya sangat rendah dalam mendorong outputnya untuk digunakan sebagai input oleh sektor lainnya. Rendahnya nilai keterkaitan ke depan dari sektor perikanan budidaya menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan output yang didorong oleh sektor ini untuk digunakan sebagai input oleh sektor lainnya. Tabel 17 menyajikan alokasi output sektor perikanan budidaya, untuk melihat lebih dalam komponen dan sektor yang menerima output dari sektor perikanan budidaya terkait dengan keterkaitannya ke depan.
53
Tabel 17 Alokasi Output Sektor Perikanan Budidaya di Provinsi Banten Sektor
Nilai (Juta Rp)
%
Pertanian
3.825
Perikanan Budidaya
3.308
1,51
0
0,00
3.047
1,40
Listrik & Air Bersih
0
0,00
Konstruksi
0
0,00
19.751
9,04
33
0,02
Keuangan
0
0,00
Jasa-jasa
76
0,03
Pertambangan & Galian Industri
Perdagangan, Hotel & Restoran Transportasi & Komunikasi
Jumlah Permintaan Antara
1,75
30.040
13,76
178.465
81,72
Konsumsi Pemerintah
0
0,00
Pembentukan Modal Tetap
0
0,00
Konsumsi Rumah Tangga
Perubahan Stok
(1.325)
(0,61)
Ekspor
11.211
5,13
Jumlah Permintaan Akhir
188.351
86,24
Jumlah Output
218.391
100,00
Sumber: Data Diolah 2007
Tabel 17 menunjukkan bahwa dari segi alokasi penggunaan, sektor perikanan budidaya sebagian besar dialokasikan untuk memenuhi permintaan akhir, yaitu sebesar 86,24% dan sisanya untuk permintaan antara sebesar 13,76%. Komposisi dari permintaan akhir sebagian besar untuk konsumsi rumah tangga (81,72%), sedangkan alokasi permintaan antara sebagian besar digunakan untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran. Implikasi dari Tabel 17 memberi
indikasi
bahwa
output
sektor
perikanan
budidaya
cenderung
dimanfaatkan untuk kegiatan konsumsi baik langsung maupun tidak langsung dibandingkan untuk kegiatan produksi, ini dapat dilihat pada konsumsi rumah tangga yang mencapai 81,72% dan hal ini pula yang mengakibatkan rendahnya nilai keterkaitan ke depan sektor perikanan budidaya. Dengan demikian, untuk pengembangan sektor perikanan budidaya salah satunya adalah dengan pengembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang berkaitan dengan keanekaragaman jenis olahan hasil perikanan.
54
5.2.3. Daya Penyebaran dan Derajat Kepekaan Analisis lebih lanjut dari keterkaitan ke belakang dan ke depan adalah daya penyebaran dan derajat kepekaan. Parameter ini sering digunakan untuk menentukan sektor-sektor perekonomian yang dapat dijadikan sebagai leading sector, dan sangat penting dalam menetapkan kebijakan pembangunan sektoral di suatu wilayah. Daya penyebaran menunjukkan dampak dari perubahan permintaan akhir suatu sektor terhadap output seluruh sektor ekonomi. Ukuran ini dapat digunakan untuk melihat keterkaitan ke belakang (backward linkages) sektor-sektor ekonomi di suatu wilayah. Derajat kepekaan menunjukkan dampak yang terjadi terhadap output suatu sektor sebagai akibat dari perubahan permintaan akhir pada masing-masing sektor perekonomian. Ukuran ini dapat dimanfaatkan untuk melihat keterkaitan ke depan (forward linkage). Sektor perekonomian dikategorikan mempunyai daya penyebaran (daya serap) dan derajat kepekaan (daya dorong) yang kuat apabila nilai indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan lebih besar dari satu (>1). Dengan kata lain, daya penyebaran dan derajat kepekaan sektor tersebut di atas daya peyebaran dan derajat kepekaan rata-rata secara keseluruhan. Tabel 18 menyajikan indeks daya penyebaran dan derajat kepekaan sektor kegiatan di Provinsi Banten. Tabel 18 Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten Indeks Daya Penyebaran 0,8095
Indeks Derajat Kepekaan 0,7775
2. Perikanan Budidaya
1,1805
0,6550
3. Pertambangan & Galian
0,8171
0,6614
4. Industri
1,3494
2,9138
5. Listrik & Air Bersih
0,9684
0,7911
6. Konstruksi
1,3057
0,7361
7. Perdgngan, Htl & Restoran
0,8617
1,0602
8. Transportasi & Komunikasi
1,0523
0,8968
9. Keuangan
0,8114
0,7516
10. Jasa-jasa
0,8440
0,7566
Rata-rata per sektor
1.0000
1,0000
Sektor 1. Pertanian
Sumber: Data Diolah 2007
55
Tabel 18 menunjukkan bahwa sektor perikanan budidaya mempunyai nilai indeks daya penyebaran sebesar 1,1805, menduduki urutan ke-3 dari klasifikasi 10 sektor. Hal ini berarti bahwa kenaikan satu unit output sektor perikanan budidaya akan menyebabkan naiknya output sektor-sektor lain (termasuk sektor perikanan budidaya sendiri) secara keseluruhan sebesar 1,1805 unit sebagai penyedia input bagi sektor perikanan budidaya dan berada di atas rata-rata daya penyebaran sektor kegiatan lainnya yaitu sebesar 1,0000. Tabel 18 juga menunjukkan bahwa sektor perikanan budidaya mempunyai nilai indeks derajat kepekaan sebesar 0,6550 menduduki urutan terakhir dari klasifikasi 10 sektor. Hal ini berarti bahwa kenaikan satu unit output sektor perikanan budidaya akan menyebabkan naiknya output sektor-sektor lain (termasuk sektor perikanan budidaya sendiri) yang menggunakan output sektor perikanan budidaya secara keseluruhan sebesar 0,6550 unit, dan posisinya berada dibawah rata-rata derajat kepekaan sektor lainnya yaitu 1,0000. Interpretasi berdasarkan Tabel 18 ternyata indeks daya penyebaran sektor perikanan budidaya lebih besar dari indeks derajat kepekaan. Hal ini berarti bahwa sektor perikanan budidaya lebih kuat dipengaruhi oleh sektor-sektor penyedia input daripada dengan sektor-sektor pengguna output sektor yang bersangkutan. Dengan kata lain, sektor perikanan budidaya lebih besar dipengaruhi sektor-sektor lain daripada mempengaruhi sektor-sektor lain. Namun demikian, sektor ini dapat dikategorikan sebagai sektor potensial untuk dikembangkan terkait dengan daya tarik yang tinggi terhadap sektor lainnya. Gambar 8 adalah ilustrasi pengelompokkan sektor ekonomi di Provinsi Banten berdasarkan indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan. 1.60000 ANDALAN
POTENSIAL
1.40000
4
6 Daya Penyebaran
1.20000
2 8 5
1.00000
10 3 9 1
0.80000
7
0.60000 0.40000 0.20000
JENUH
KURANG BERKEMBANG
0.00000 0.00000
0.50000
1.00000
1.50000
2.00000
2.50000
3.00000
3.50000
Derajat Kepekaan
Gambar 8 Pengelompokkan Sektor Ekonomi di Provinsi Banten berdasarkan Indeks Daya Penyebaran dan Indeks Derajat Kepekaan
56
Berdasarkan analisis keterkaitan indeks daya penyebaran dan indeks derajat kepekaan sebagaimana terlihat pada Gambar 8, sektor-sektor ekonomi di Provinsi Banten dapat dikelompokkan ke dalam 4 kelompok, sebagai berikut : Kelompok I : adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran
dan indeks derajat kepekaan yang tinggi yang disebut sebagai sektor Andalan, artinya sektor-sektor tersebut mempunyai daya dorong dan daya tarik lebih besar dari rata-rata semua sektor, sehingga sektor ini mempunyai peranan yang sangat menentukan terhadap perekonomian wilayah. Gambar 8 terlihat yang termasuk kelompok ini adalah sektor industri. Kelompok II : adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran
tinggi dan indeks derajat kepekaan rendah yang disebut sebagai sektor Potensial, artinya sektor-sektor tersebut mempunyai daya dorong yang lebih kecil dari rata-rata semua sektor, tetapi mempunyai daya tarik yang lebih besar dari rata-rata semua sektor. Di Provinsi Banten yang termasuk kelompok ini adalah sektor perikanan budidaya, sektor konstruksi dan sektor transportasi dan komunikasi. Kelompok
III : adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya
penyebaran rendah dan indeks derajat kepekaan tinggi yang disebut sebagai sektor Jenuh, artinya sektor-sektor tersebut mempunyai daya dorong yang lebih besar dari rata-rata semua sektor, tetapi daya tarik yang dimiliki lebih kecil dari rata-rata semua sektor. Gambar 8 terlihat yang termasuk kelompok ini adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kelompok
IV : adalah sektor-sektor yang mempunyai indeks daya
penyebaran dan indeks derajat kepekaan yang rendah yang disebut sebagai sektor Kurang Berkembang, artinya sektor-sektor tersebut mempunyai daya dorong dan daya tarik lebih kecil dari rata-rata semua sektor, sehingga sektor ini kurang berperan terhadap perekonomian wilayah. Di Provinsi Banten yang termasuk kelompok ini adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan galian, sektor listrik dan air bersih, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa. 5.3.
Analisis Multiplier Sebagai dasar analisis untuk perencanaan pembangunan perikanan
budidaya Provinsi Banten maka dilakukan analisis informasi tabel input-output transaksi Banten. Dari tabel I-O (Lampiran 1) dapat dilihat bahwa penggunaan berbagai input untuk menghasilkan suatu output direkam oleh informasi setiap kolom pada kwadran I. Informasi dalam terminologi I-O tersebut merupakan
57
struktur input yang memperlihatkan besarnya barang dan jasa yang digunakan oleh suatu sektor ekonomi untuk memproduksi output sektor bersangkutan. Dengan tersedianya informasi pada struktur antara dan input primer yang disajikan pada kwadran I dan III maka dapat dihitung koefisien input (Lampiran 2) yang merupakan nilai fundamental untuk merumuskan formulasi analisis tabel I-O, sehingga lebih lanjut diperoleh matriks multiplier yang merupakan dasar analisis untuk melihat dampak ekonomi dan ekologi dari pembangunan perikanan budidaya. 5.3.1. Analisis Income Multiplier Income multiplier atau pengganda pendapatan didefinisikan sebagai besarnya dampak yang ditimbulkan oleh adanya perubahan dalam permintaan akhir pada sektor tertentu terhadap pendapatan sektor tersebut. Artinya, apabila permintaan terhadap suatu sektor tertentu meningkat sebesar satu juta rupiah, maka akan meningkatkan pendapatan masyarakat yang bekerja pada sektor tersebut sebesar nilai pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan. Angka pengganda ini menunjukkan seberapa besar kontribusi sektor tersebut terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Untuk mengetahui besarnya peningkatan pendapatan rumah tangga perikanan budidaya terhadap masing-masing sektor ekonomi maka perlu diketahui besarnya pengganda pendapatan terlebih dahulu. Melalui proses matriks pengganda pendapatan sederhana dapat diperoleh pendapatan tipe-I yang disajikan dalam Gambar 9.
Koefisien Income Multiplier
2.5000
2.0000
1.5000
1.0000
0.5000
Pe r
Ja sa
P. B
ta ni an ud id ay Tm a bn g& G al i In du st ri Li st rk & Ai Ko r ns t ru D gn ks i g, H tl , R Tr es an t s& Ko m ke ua ng an
0.0000
Gambar 9 Income Multiplier Tipe-I Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten
58
Gambar 9 menunjukkan bahwa sektor perikanan budidaya mempunyai angka pengganda pendapatan sebesar 2,1959 yang berada di atas rata-rata pembentukan pendapatan masyarakat secara sektoral sebesar 1,5820 dan menempati urutan ke-2 setelah sektor industri. Nilai pengganda pendapatan 2,1959, artinya jika terdapat permintaan akhir atas sektor perikanan budidaya sebesar satu juta rupiah, maka pendapatan masyarakat nelayan akan meningkat sebesar 2,1959 kali. Informasi ini memberi petunjuk bahwa, dari sisi pengganda pendapatan sektor perikanan budidaya cukup andal dalam menciptakan pendapatan masyarakat (nelayan). 5.3.2. Analisis Employment Multiplier Dalam suatu proses produksi, tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang memiliki peranan cukup penting. Pengeluaran untuk tenaga kerja oleh produsen merupakan salah satu komponen input primer antara lain berupa upah dan gaji, tunjangan dan bonus serta hasil usaha seperti sewa, bunga, keuntungan, baik berupa uang mupun barang. Definisi tenaga kerja dalam tabel input-output, yaitu penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan, sekurang-kurangnya satu jam secara tidak terputus dalam seminggu. Dalam banyak analisis makro tenaga kerja sering juga dihubungkan dengan kesempatan kerja atau lapangan kerja. Employment multiplier atau pengganda tenaga kerja menunjukkan kemampuan suatu sektor untuk menyerap tenaga kerja, apabila pada sektor tersebut terjadi peningkatan satu juta rupiah output sebagai akibat adanya injeksi (perubahan permintaan akhir). Semakin besar pengganda tenaga kerja maka makin besar kesempatan kerja yang terdapat pada sektor tersebut. Dalam pelaksanaan pembangunan perikanan budidaya diperlukan input tenaga kerja sebagai human resources yang akan menghasilkan output perikanan budidaya. Seberapa besar kebutuhan tenaga kerja sebagai input dari pembangunan perikanan budidaya dapat dilihat dari Gambar 10 berikut.
59
Koefisien Employment Multiplier
4.0000 3.5000 3.0000 2.5000 2.0000 1.5000 1.0000 0.5000
sa Ja
tr i st rk & Ai Ko r ns t ru D ks gn i g, H tl , R Tr es an t s& Ko m ke ua ng an Li
us
In d
G al
ya Tm
bn
g&
id a ud
Pe r
P. B
ta n
ia
n
i
0.0000
Gambar 10 Employment Multiplier Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten
Nilai pengganda tenaga kerja sektor perikanan budidaya adalah sebesar 1,1693 berada di bawah rata-rata total pembentukan tenaga kerja secara sektoral yang sebesar 1,5732 dan menempati urutan ke-6 klasifikasi 10 sektor. Nilai
pengganda
tenaga
kerja
1,1693,
mengindikasikan
bahwa
untuk
menghasilkan output satu juta rupiah bagi sektor perikanan dibutuhkan tenaga kerja 1,1693 orang. Informasi ini memberi petunjuk bahwa, dari sisi pengganda tenaga kerja sektor perikanan budidaya belum cukup andal dalam menciptakan kesempatan kerja pada masyarakat (nelayan). Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dikarenakan upah dan gaji yang diterima oleh tenaga kerja di sektor tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan surplus usaha yang diterima oleh pengusaha, meskipun diketahui ternyata sektor ini mampu memberikan income multiplier yang cukup andal. Namun demikian, sektor ini ternyata belum cukup andal dalam menciptakan kesempatan kerja. 5.4.
Aspek Ekologi
5.4.1. Input Lingkungan Pada umumnya pembangunan ekonomi di sektor pertanian bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan para petani. Sebagian besar areal tanah wilayah Banten dikembangkan untuk pertanian khususnya perkebunan yang potensial memproduksi tanaman kelapa. Selain itu, terdapat tanaman pangan serta hutan yang berfungsi sebagai stabilitas lingkungan. Luas areal pertanian meliputi
areal
tanaman
pangan,
perkebunan
dan
kehutanan
yang
keseluruhannya mencapai 660.137 ha. Sektor industri yang merupakan andalan dari Provinsi Banten sebagai komoditi ekspor disediakan areal seluas 6.876 ha,
60
untuk areal pertambangan disediakan areal oleh Pemerintah Daerah sebesar 2.474 ha. Di samping itu, kebutuhan areal yang lain meliputi kegiatan pembangunan konstruksi wilayah Banten (100.451 ha), kegiatan perdagangan hotel dan restoran (13.320 ha), transportasi (585 ha) dan keuangan (2.730 ha) serta kegiatan jasa pendukung (79.019 ha). Hutan mangrove merupakan ekosistem wilayah pesisir yang berfungsi sebagai daerah pelindung dari gelombang serta sebagai tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara komponen abiotik dengan biotik. Letak lokasi mangrove berada di pantai utara, selatan dan barat Provinsi Banten dengan luas mencapai 2.214,45 ha dan merupakan areal pendukung untuk pembangunan perikanan budidaya. Menurut Bengen (2004), untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian lingkungan maka idealnya pemanfaatan hutan mangrove diupayakan hanya 40% yaitu 885,78 ha untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan pembangunan perikanan budidaya. Di samping itu, pola teknis pemanfaatan dan pertumbuhan mangrove juga perlu diperhatikan agar dalam pembangunan
dan
pengelolaan
perikanan
budidaya
tidak
menimbulkan
kerusakan ataupun penurunan ekosistem mangrove. 5.4.2. Eksternalitas Pencemaran lingkungan menurut Connel dan Muller (1974), diacu dalam Feriningtyas (2005) adalah masuknya bahan-bahan yang diakibatkan oleh berbagai kegiatan manusia sehingga menimbulkan perubahan yang merusak karakteristik
fisik,
kimia,
biologi
ataupun
estetika
lingkungan
tersebut.
Pencemaran perairan pesisir dan laut menurut Gesamp (1986), diacu dalam Feriningtyas (2005) merupakan dampak negatif terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan (amenities) ekosistem perairan pesisir serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem perairan pesisir yang secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan limbah ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia. Komponen eksternalitas dari perikanan budidaya di sini meliputi komponen BOD, COD, TSS dan TDS. Perikanan budidaya di Provinsi Banten komponen BOD yang dihasilkan mencapai 16,32 ton, sedangkan untuk COD, TSS dan TDS berturut-turut 30,27; 10,70; dan 27,68 ton (Lampiran 1).
61
5.4.3. Analisis Ecological Multiplier Dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan input sumberdaya yang akan menghasilkan output berupa barang dan jasa serta eksternalitas yang dilepas ke ekosistem. Untuk mengetahui kebutuhan input dari ekosistem yang akan digunakan dan eksternalitas yang terjadi, dilakukan analisis model tabel I-O Leontief (Lampiran 3). Pada penelitian ini, tinjauan ekologi dilakukan terhadap sumberdaya yang dimanfaatkan dalam pembangunan perikanan budidaya antara lain: areal untuk produksi dan ekosistem mangrove sebagai input dari ekosistem serta limbah bahan organik (BOD, COD, TSS dan TDS) sebagai eksternalitas yang dihasilkan sebagai akibat kegiatan perikanan budidaya. Seberapa besar kebutuhan areal produksi dan ekosistem mangrove sebagai input dari ekosistem dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Kebutuhan Areal dan Mangrove Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten Sektor
Areal
Mangrove
1. Pertanian
0,1394
0,0000
2. Perikanan Budidaya
0,0982
0,0103
3. Pertambangan & Penggalian
0,0452
0,0000
4. Industri
0,0067
0,0000
5. Listrik & Air Bersih
0,0186
0,0000
6. Konstruksi
0,0411
0,0000
7. Perdagangan, Hotel & Restoran
0,0083
0,0000
8. Transportasi & Komunikasi
0,0048
0,0000
9. Keuangan
0,0050
0,0000
10. Jasa-jasa
0,0362
0,0000
Rata-rata per sektor
0,0403
0,0010
Sumber: Data Diolah 2007
Elemen R* pada Lampiran 4 merupakan refleksi jumlah input ekologi yang dibutuhkan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menghasilkan output sektor j untuk memenuhi permintaan akhir. Tabel 19 menunjukkan bahwa kebutuhan tertinggi areal terjadi pada sektor pertanian dengan nilai 0,1394, sedangkan perikanan budidaya menempati posisi kedua dengan nilai sebesar 0,0982 yang berada di atas rata-rata kebutuhan areal secara sektoral sebesar 0,0403. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk menghasilkan satu juta rupiah output bagi sektor perikanan budidaya baik secara langsung maupun tidak langsung dibutuhkan areal seluas 0,0982 hektar. Demikian juga untuk menghasilkan satu juta rupiah output sektor perikanan budidaya dibutuhkan areal mangrove seluas 0,0103 hektar.
62
Di samping dibutuhkan dalam pembangunan, ekosistem juga menerima eksternalitas yang berupa limbah bahan organik. Berdasarkan analisis perhitungan dengan menggunakan model tabel input-output Leontief (Lampiran 5) dapat diketahui bahwa dampak pencemaran bahan organik merupakan eksternalitas yang dihasilkan dari kegiatan perikanan budidaya seperti digambarkan pada Tabel 20 berikut ini. Tabel 20 Dampak Eksternalitas Menurut Sektor Kegiatan di Provinsi Banten Sektor
BOD
COD
TSS
TDS
1. Pertanian
0,0005
0,0009
0,0003
0,0008
2. Perikanan Budidaya
0,0006
0,0011
0,0004
0,0010
3. Pertambangan & Penggalian
0,0036
0,0049
0,0024
0,0044
4. Industri
0,0015
0,0028
0,0010
0,0025
5. Listrik & Air Bersih
0,0010
0,0018
0,0007
0,0017
6. Konstruksi
0,0008
0,0015
0,0005
0,0014
7. Perdagangan, Htl & Restoran
0,0005
0,0010
0,0003
0,0009
8. Transportasi & Komunikasi
0,0008
0,0014
0,0005
0,0013
9. Keuangan
0,0005
0,0010
0,0003
0,0009
10. Jasa-jasa
0,0004
0,0007
0,0003
0,0007
Rata-rata per sektor
0,0010
0,0017
0,0007
0,0016
Sumber: Data Diolah 2007
Element Q* pada Lampiran 5 merupakan refleksi eksternalitas yang akan dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung ke ekologi untuk menghasilkan output sektor j dalam memenuhi permintaan akhir. Dari perhitungan di atas, nilai BOD 0,0006 menggambarkan bahwa untuk menghasilkan satu juta rupiah output di sektor perikanan budidaya baik langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan eksternalitas berupa BOD sebesar 0,0006 ton. Demikian juga dengan COD, TSS dan TDS dimana nilainya berturutturut sebesar 0,0011; 0,0004; dan 0,0010 menggambarkan bahwa untuk menghasilkan satu juta rupiah output sektor perikanan budidaya akan menimbulkan eksternalitas berupa COD, TSS dan TDS masing-masing sebesar 0,0011; 0,0004; dan 0,0010 ton. Jika dilihat sektor yang mampu memberikan kontribusi relatif tinggi terhadap laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten yaitu sektor pertambangan galian dan sektor industri, ternyata juga paling dominan dalam menghasilkan eksternalitas baik BOD, COD, TSS dan TDS, nilai sektor ini berada di atas ratarata eksternalitas secara sektoral, sedangkan perikanan budidaya dalam
63
menghasilkan eksternalitas masih berada di bawah rata-rata ekternalitas secara sektoral. Implikasi dari hal ini dapat diketahui bahwa sektor perikanan budidaya meskipun merupakan sektor yang potensial (Gambar 8) ternyata dalam menghasilkan
pencemaran
bahan
organik
masih
relatif
lebih
rendah
dibandingkan sektor potensial lainnya. 5.5.
Ecological Footprint Wilayah pesisir Provinsi Banten yang rentan (vulnerable) terhadap
perubahan lingkungan akan menerima dampak negatif berupa pencemaran, sedimentasi, dan penurunan keanekaragaman hayati (biodiversity loss) akibat aktivitas manusia dan ini tentu akan menyulitkan pencapaian pembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian, untuk mengantisipasi dampak negatif dari pembangunan yang mungkin timbul, maka kajian tentang kemampuan daya dukung Provinsi Banten diperlukan untuk mendukung kegiatan perikanan budidaya yang ada di atasnya. Ecological footprint sebagai suatu konsep daya dukung, yang paling mendasar adalah menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumberdaya dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut (Adrianto dan Matsuda 2004). Analisis footprint di suatu wilayah didasarkan pada kegiatan konsumsi, ekspor dan impor yang dilakukan oleh wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebenarnya kategori atau komponen footprint didasarkan pada jenis yang dikonsumsi dan bukan jenis yang diproduksi. Hasil perhitungan footprint perikanan budidaya di Provinsi Banten tahun 1999-2005 dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7. Komponen footprint perikanan budidaya terdiri dari budidaya laut dan budidaya tambak. Nilai produktivitas setiap komponen menggunakan nilai produktivitas lokal dan regional. Gambar 11 dan Gambar 12 menyajikan nilai ecological footprint perikanan budidaya baik budidaya laut maupun budidaya tambak di wilayah pesisir Provinsi Banten. 0.160
EF (Ha/kapita)
0.140 0.120 0.100 0.080 0.060 0.040 0.020
1
0.000 1999
2000
2001
12002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 11 Ecological Footprint Budidaya Laut Provinsi Banten
64
Gambar 11 menunjukkan bahwa tingkah laku ecological footprint budidaya laut di Provinsi Banten berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Tahun 1999, ecological footprint budidaya laut berada pada level 0,1240 ha/kapita atau dibutuhkan areal seluas 987.242 ha untuk budidaya laut atau 1,05 kali dari luas total wilayah Provinsi Banten. Selanjutnya, ecological footprint meningkat pada level 0,1386 ha/kapita atau dibutuhkan areal seluas 1.121.893 ha. Tahun 2001, ecological footprint mengalami penurunan pada level 0,1256 ha/kapita atau dibutuhkan areal seluas 1.036.633 ha dan relatif stabil di tahun 2002 pada level 0,1225 ha/kapita atau areal seluas 1.045.241 ha. Peningkatan terjadi pada tahun 2003 di level 0,1290 ha/kapita atau dibutuhkan areal seluas 1.155.443 ha dan relatif stabil pada level 0,1289 ha/kapita atau areal seluas 1.170.544 ha di tahun 2004. Kemudian, tahun 2005 areal yang dibutuhkan mencapai 1.429.109 ha atau mengalami peningkatan dan berada pada level 0,1535 ha/kapita. Dengan kata lain, dapat dikatakan dari Gambar 11 terjadi ecological defisit dari budidaya laut di Provinsi Banten. Rata-rata areal yang dibutuhkan untuk budidaya laut di wilayah pesisir Provinsi Banten adalah 1.135.157 ha atau 1,2 kali dari luas total wilayah Provinsi Banten (943.833 ha). Namun demikian, jika menggunakan areal produktif untuk budidaya laut seluas 29.332 ha, maka areal
EF (Ha/kapita)
yang dibutuhkan 38 kali dari luas areal produktif. 0.018 0.016 0.014 0.012 0.010 0.008 0.006 0.004 0.002 0.000 1999
2000
2001
12002
2003
2004
2005
Tahun
Gambar 12 Ecological Footprint Budidaya Tambak Provinsi Banten
Gambar 12 memperlihatkan ecological footprint dari budidaya tambak di wilayah pesisir Provinsi Banten juga berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan. Tahun 1999, ecological footprint budidaya tambak berada pada level 0,0145 ha/kapita atau dibutuhkan areal seluas 115.330 ha untuk budidaya tambak atau 0,12 kali dari luas total wilayah Provinsi Banten. Selanjutnya, ecological footprint budidaya tambak relatif stabil pada level 0,0141 ha/kapita
65
atau areal yang dibutuhkan seluas 114.003 ha di tahun 2000, kemudian menurun pada level 0,0134 ha/kapita pada tahun 2001 atau dibutuhkan areal seluas 110.327 ha. Tahun 2002, ecological footprint budidaya tambak meningkat pada level 0,0156 ha/kapita atau luasan areal yang dibutuhkan 133.235 ha, peningkatan ini terjadi sampai pada level 0,0161 ha/kapita di tahun 2003 atau areal yang dibutuhkan menjadi 143.926 ha. Peningkatan ini tidak terjadi pada tahun 2004, ecological footprint budidaya tambak cenderung menurun pada level 0,0152 ha/kapita atau areal yang dibutuhkan menjadi 137.700 ha, meskipun di tahun 2005 areal yang dibutuhkan mencapai 156.762 ha atau mengalami peningkatan dan berada pada level 0,0168 ha/kapita. Implikasi dari Gambar 12 adalah terjadi ecological defisit dari budidaya tambak di Provinsi Banten. Rata-rata areal yang dibutuhkan untuk budidaya tambak di wilayah pesisir Provinsi Banten adalah 130.183 ha atau 0,13 kali dari luas total wilayah Provinsi Banten (943.833 ha). Namun demikian, jika dibandingkan dengan areal produktif untuk budidaya tambak seluas 11.707 ha, maka areal yang dibutuhkan 11,12 kali dari luas areal produktif. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Provinsi Banten saat ini terjadi “ecological defisit” untuk budidaya laut dan budidaya tambak. Namun demikian, perlu diingat bahwa daerah yang ecological defisit belum tentu “tidak makmur” dalam konotasi ekonomi karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi oleh sumberdaya alam dan lingkungan setempat. Daerah yang ecological defisit juga dapat makmur jika hasil dari sumberdaya alam yang tersedia dapat dipasarkan secara sehat untuk ditukarkan dengan kebutuhan hidup lain yang tidak dapat dipenuhi oleh sumberdaya dan lingkungan setempat. Jika dibandingkan dengan beberapa negara dan dunia, ecological footprint dari budidaya laut dan budidaya tambak Provinsi Banten memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan negara lain, sebagai contoh: Hongkong 20 ha/kapita (WarrenRhodes dan Koenig 2001) dan Dunia 0,3 ha/kapita (WWF 2002). 5.6.
Keterkaitan Ecological Footprint dan Ecological Input-Output Pendekatan ecological footprint (EF) dengan hasil analisis ecological input-
output (EIO) dapat dihubungkan. Telah diketahui bahwa biocapacity untuk budidaya laut dan budidaya tambak berturut-turut adalah 29.332 ha dan 11.707 ha. Biocapacity ini merupakan areal potensial secara ekologis yang telah disediakan oleh Pemerintah Provinsi Banten untuk kegiatan budidaya.
66
Hasil analisis dari EIO diperoleh bahwa untuk memenuhi target permintaan sebesar satu juta rupiah output perikanan budidaya diperlukan areal seluas 0,0982 ha dan mangrove seluas 0,0103 ha. Hal ini memberikan hubungan bahwa untuk membuka suatu usaha budidaya baik laut maupun tambak, sangat tergantung pada target permintaan yang ingin dipenuhi, semakin besar target permintaan yang ingin dicapai, maka semakin besar pula areal dan mangrove yang dibutuhkan. Keterkaitan antara EF dengan EIO dapat dilihat pada Gambar
Permintaan (Juta Rp)
13 dan Gambar 14.
300,000 Area BL 250,000 200,000 150,000 Area BT 100,000 50,000 0 0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
Biocapacity (Ha)
Gambar 13 Keterkaitan EF dan EIO dalam Bentuk Areal untuk Perikanan Budidaya
Pada Gambar 13 terlihat bahwa areal yang optimum untuk budidaya laut (BL) yaitu pada level 29.332 ha atau sejalan dengan biocapacity, dengan target permintaan yang dapat dipenuhi sebesar 298.699,43 juta rupiah. Lain halnya dengan budidaya tambak (BT), areal yang optimum hanya pada level 11.707 ha dengan target permintaan yang dapat dipenuhi sebesar 119.217,04 juta rupiah. Dari hubungan EF dan EIO untuk perikanan budidaya tersebut khususnya dalam bentuk areal, dapat dibuat suatu persamaan yaitu : A = 0,0982 y, Dimana: A = Areal (ha), dan y = Target permintaan yang ingin dipenuhi (juta rupiah) Persamaan di atas bisa digunakan dalam merencanakan pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir Provinsi Banten khususnya untuk mengetahui berapa besar areal yang dibutuhkan untuk usaha budidaya (laut atau tambak) berdasarkan pada target permintaan yang ingin dipenuhi. Namun demikian, perlu diingat batasan biocapacity sebagai sebuah ukuran ketersediaan
67
areal produktif secara ekologis, sehingga dalam pemanfaatannya tidak boleh melebihi agar pembangunan yang berkelanjutan terpenuhi.
Permintaan (Juta Rp)
3,000,000 Mangrove BL 2,500,000 2,000,000 1,500,000 Mangrove BT
1,000,000 500,000 0 0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
Biocapacity (Ha)
Gambar 14 Keterkaitan EF dan EIO dalam Bentuk Mangrove untuk Perikanan Budidaya
Selanjutnya pada Gambar 14 dapat dilihat hubungan EF dan EIO dalam bentuk mangrove yang dikonversi untuk perikanan budidaya. Jika biocapacity mencerminkan luas mangrove yang harus dikonversi untuk perikanan budidaya baik laut atau tambak, maka target permintaan yang dapat dipenuhi dari mangrove tersebut untuk kegiatan budidaya laut (BL) dengan biocapacity 29.332 ha adalah 2.848.191,19 juta rupiah, sedangkan kegiatan budidaya tambak (BT) dengan biocapacity 11.707 ha adalah 1.136.771,25 juta rupiah. Dari hubungan EF dan EIO untuk perikanan budidaya khususnya dalam keperluan mangrove, dapat dibuat suatu persamaan yaitu: M = 0,0103 y, Dimana: M = Mangrove (ha), dan y = Target permintaan yang ingin dipenuhi (juta rupiah) Persamaan di atas bisa digunakan dalam merencanakan pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir Provinsi Banten khususnya untuk mengetahui berapa besar mangrove yang dibutuhkan untuk usaha budidaya (laut atau tambak) berdasarkan pada target permintaan yang ingin dipenuhi. Namun demikian, perlu diingat batasan biocapacity untuk mangrove itu sendiri. Ternyata di Provinsi Banten luas mangrove hanya sebesar 2.214,45 ha, hal ini bisa menjadi perhatian dan pertimbangan yang optimum oleh pengambil kebijakan dalam merencanakan pembangunan perikanan budidaya agar lebih berwawasan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan.
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis untuk perencanaan pembangunan perikanan budidaya di wilayah pesisir Provinsi Banten dapat disimpulkan bahwa : 1. Ditinjau dari kekuatan struktur perikanan budidaya Provinsi Banten cenderung
digunakan
untuk
keperluan
konsumsi.
Namun
demikian,
perikanan budidaya termasuk dalam kategori sektor potensial untuk dikembangkan. 2. Estimasi dampak ekonomi yang muncul dari pembangunan perikanan budidaya ternyata perikanan budidaya cukup andal dalam meningkatkan pendapatan
masyarakat
nelayan,
tetapi
belum
cukup
andal
dalam
menciptakan kesempatan kerja. 3. Estimasi dampak ekologi dari pembangunan perikanan budidaya ternyata perikanan budidaya membutuhkan input lingkungan di atas rata-rata kebutuhan
area
dan
mangrove
secara
sektoral.
Namun
demikian,
eksternalitas yang ditimbulkan dari perikanan budidaya masih berada di bawah rata-rata ekternalitas secara sektoral. 4. Analisis daya dukung lingkungan menunjukkan bahwa perikanan budidaya Provinsi Banten mengalami ecological defisit. Daya dukung lingkungan pesisir yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut yaitu pada level 29.332 ha dengan target permintaan optimum 298.699,43 juta rupiah, sedangkan budidaya tambak pada level 11.707 ha dengan target permintaan optimum 119.217,04 juta rupiah.
6.2. Saran 1. Terkait dengan perencanaan pembangunan berkelanjutan, hendaknya pemerintah
lebih
memperhatikan
mariculture
sebagai
sebuah
solusi
keberlanjutan perikanan budidaya. Hal ini dikarenakan dukungan biocapacity yang lebih besar sehingga mampu memberikan target permintaan yang optimum, dengan tetap menjaga kelangsungan ekosistem mangrove. 2. Diharapkan pemerintah memberikan perhatian terhadap iklim investasi khususnya di sektor perikanan budidaya.
69
3. Hendaknya pemerintah dalam melakukan pembangunan perikanan budidaya perlu
juga
memperhatikan
keberadaan
sektor
industri
dan
sektor
perdagangan, hotel dan restoran, karena sektor tersebut memiliki daya tarik dan daya dorong yang besar terhadap perikanan budidaya. Dengan demikian, diharapkan pembangunan tidak bersifat sektoral melainkan lintas sektoral, dan keterkaitan dengan sektor tersebut akan semakin kuat. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di dalam pengembangan perikanan budidaya
dengan
menggunakan
pendekatan
dalamnya teknologi dan riset kapasitas asimilasi.
gabungan
termasuk
di
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L. 2004. Menggagas Visi Ekonomi-Ekologi (Ecological Economics) dalam Perspektif Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Menuju Terwujudnya Indonesia Berkelanjutan (Sustainable Indonesia). Working Paper 10 Oktober 2004. PKSPL-IPB. Bogor. Adrianto L, Matsuda Y. 2004. Fishery Resources Appropriation in Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan : A Static and Dynamic Analysis. Kagoshima University. Japan. Adrianto L. 2006. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan: Tantangan Riset dan Akademik. Disampaikan pada Mukernas Himitekindo Bogor, 16 Januari 2006. PKSPL-IPB. Bogor. Anielski. 2005. Ecological Footprints of Canadian Municipalities and Regions Prepared for: The Canadian Federation of Canadian Municipalities. Anielski Management Inc. Canada. [BAPEDA] Badan Perencanaan Daerah Provinsi Banten. 2002. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Banten 2002-2017. Banten. Bengen DG, Rizal. 2000. Aktivitas Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Wilayah Pesisir. Warta Pesisir dan Lautan (02). PKSPL-IPB. Bogor. Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL-IPB. Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2002. Tabel Input-Output Provinsi Banten, Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, Banten. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Tinjauan Ekonomi Banten 2004. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, Banten. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Banten Dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, Banten. Budiharsono S. 2005. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan (edisi kedua). PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Cicin-Sain B, Knecht RW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Center for The Study of Marine Policy Graduate Collage of Marine Studies. University of Delaware. Island Press. Washington, D.C. Covelo. California. Clark WC, Dickson NM. 2003. Sustainability Science: The Emerging Research Program. PNAS, July 8, 2003. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
71
Dahuri R. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan FPIK-IPB. Bogor. Daly
H. 1990. Towards Some Operational Development. J Ecological Economics 2:1-6.
Principles
of
Sustainable
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jendral Kelautan, Pesisir & Pulau-Pulau Kecil. 2006. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove Ferguson, ARB. 2002. The Assumptions Underlying Eco-Footprinting. Population and Environment 23 (3); 303-313. Feriningtyas D. 2005. Perubahan Spasial dan Temporal Kualitas Air Waduk Cirata, Jawa Barat Selama Periode 2000-2004 [skripsi]. Bogor: FPIK, Institut Pertanian Bogor. Haberl, Heinz EK, Krausmann F. 2001. How to Calculate and Interpret Ecological Footprints For Long Periods of Time : The Case of Austria 1926-1995. Ecological Economics 38 : 25-45. Hermawan. 2001. Sektor Perikanan Laut Dalam Perekonomian Jawa Barat (Kajian Tabel I/O dan Beberapa Indikator Lainnya) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hubacek K, Giljum S. 2002. Applying Physical input-output analysis to estimate land appropriation (ecological footprints) of international trade activities. J Ecological Economics 44:137-151. [KMNLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup, [BAPEDALWIL I] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Wilayah I. 1999. Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Hayati Kawasan Pesisir dan Lautan secara Terpadu di Provinsi Riau: BARELANG (Batam, Rempang dan Galang) dan Bintan. Laporan Akhir Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Universitas Riau. Pekanbaru. [KMNLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup, [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Modul Pelatihan Model Ekonomi Makro untuk Analisis Lingkungan di Indonesia. Kerjasama antara Pemerintah Kerajaan Norwegia Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Biro Pusat Statistik. Jakarta. Kamaluddin LM. 2002. Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Lenzen M, Murray SA. 2001. A Modified Ecological Footprint Method and Its Application to Australia. J Ecological Economics 37:229-255. Leontief W. 1966. Input-Output Economics. Oxford University Press. New York. Maenpaa I, Muukkonen J. 2001. Physical Input-Output in Finland: Methods, Preliminary Results anda Tasks Ahead. Conference on Economic Growth, Material Flows and Environmental Pressure 25-27th April, Stockholm, Sweden.
72
Miller RE, Blair PD. 1985. Input-Output Analysis: Foundations and Extensions. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs. New Jersey. Moffat I, Hanley N, Wilson MD. 2000. Measuring and Modeling Sustainable Development. Parthenon Publishing. Bristol, UK. Palmer AR. 1999. Ecological Footprints : Evaluating Sustainability. Environmental Geosciences 6 (4); 200-204. Ristianto B. 2003. Pendekatan Ekologi-Ekonomi dalam Pengembangan Pelabuhan Dumai [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2004. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Edisi: 10 Desember 2004. Faperta IPB. Bogor. United Nations. 1995. Planning Guidelines on Coastal Environmental Management. Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. New York. Venetoulis J, Chazan D, Gaudet C. 2004. Ecological Footprint of Nation: Sustainability Indicators Program March 2004. Redefining Progress. Wackernagel M, Rees. 1996. Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on The Earth. New Society Publishers, Gabriola Island, British Columbia. Wackernagel M, Yount JD. 1998. The Ecological Footprint : An Indicator of Progress Toward Regional Sustainability. Environmental Monitoring and Assessment 51 : 511-529. Warren-Rhodes K, Koenig A. 2001. Ecosystem Appropriation by Hong Kong and Its Implications for Sustainable Development. J Ecological Economics 39:347-359. World Bank. 1993. Noordwijk Guidelines: for Integrated Coastal Zone Management. Distribution to The World Coast Conference. WWF 2002. Assessing The Ecological Footprint. A Look at The WWF’s Living Planet Report 2002. Environmental Assessment Institute. Denmark.
Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian.