Provinsi Papua 2015 ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI PAPUA
1. 1.1. 1.2.
KINERJA PEMBANGUNAN WILAYAH PERKEMBANGAN INDIKATOR UTAMA KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA
1 1 4
2. 2.1. 2.1.1. 2.1.2. 2.1.3. 2.1.4.
ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH ANALISIS PEMBANGUNAN MANUSIA Pendidikan Kesehatan Perumahan Mental/Karakter
8 8 8 10 12 14
2.2. 2.2.1. 2.2.2. 2.2.3. 2.2.4.
ANALISIS PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN Pengembangan Sektor Pangan Pengembangan Sektor Energi Pengembangan Sektor Kemaritiman dan Kelautan Pengembangan Sektor Pariwisata dan Industri
15 15 20 21 23
2.3. 2.3.1. 2.3.1.1 2.3.2.
ANALISIS PEMERATAAN DAN PEMBANGUNAN KEWILAYAHAN Pusat Pertumbuhan Wilayah Kawasan Ekonomi Khusus Kesenjangan intra wilayah
26 26 26 28
3.
ISU STRATEGIS WILAYAH
30
4.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
41
5.
PROSPEK PEMBANGUNAN TAHUN 2016
41
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~i~
Provinsi Papua 2015 ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH PROVINSI PAPUA 1.
KINERJA PEMBANGUNAN WILAYAH
Pembangunan wilayah bertujuan untuk meningkatkan daya saing wilayah, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan antarwilayah, serta memajukan kehidupan masyarakat. Pembangunan wilayah yang strategis dan berkualitas menjadi harapan setiap daerah di Indonesia.
1.1.
PERKEMBANGAN INDIKATOR UTAMA
Pembangunan wilayah selain meningkatkan daya saing wilayah juga mengupayakan keseimbangan pembangunan antardaerah sesuai dengan potensinya masing-masing. Perkembangan indikator utama dalam pembangunan wilayah meliputi pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, dan pengurangan kemiskinan dapat menggambarkan capaian kinerja pembangunan wilayah secara umum.
1.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Potensi kekayaan alam di Provinsi Papua melimpah, yang berasal dari hasil hutan, perkebunan, pertanian, perikanan, dan pertambangan. Sektor pertambangan telah mampu menyumbang lebih dari 50 persen perekonomian di Papua dengan komoditas tembaga, emas, minyak dan gas. Selain sektor pertambangan, kegiatan perekonomian masyarakat dominan pada sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan. Pertumbuhan ekonomi Papua terus mengalami peningkatan periode 2011 – 2013, kemudian menurun pada tahun 2014(Gambar 1). Selama kurun waktu 2011-2014 kinerja perekonomian Provinsi Papua memiliki laju pertumbuhan rata-rata 2,15 persen, mengalami pertumbuhan negatif tahun 2011 dan meningkat pada tahun 2013 karena pengaruh dari produksi sektor pertambangan yang mendominasi perekonomian di wilayah ini. Kegiatan ekonomi utama masih bersifat ekstraktif, memanfaatkan sumber daya alam secara langsung. Gambar 1 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 10 8
Persen / Tahun
6 4 2 0 -2 -4 -6 Papua
2011 -4.28
2012 1.72
2013 7.91
2014 3.25
Nasional
6.16
6.16
5.74
5.21
Sumber: BPS, 2014
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~1~
2015 Provinsi Papua Selama kurun waktu 2010-2014 pendapatan per kapita di Provinsi Papua cenderung meningkat , lebih tinggi dari pendapatan per kapita nasional sampai dengan tahun 2013 namun pada tahun 2014 lebih rendah dari nasional. Tingginya pendapatan perkapita di Provinsi Papua tidak dapat digunakan untuk mengukur besarnya pendapatan di lapangan. Dukungan pendapatan dari sektor pertambangan mempengaruhi peningkatan pendapatan perkapita di Provinsi Papua. Jika pada tahun 2010 rasio PDRB perkapita Provinsi Papua dan PDB Nasional sebesar 134,77 persen, maka pada tahun 2014 rasionya menurun menjadi 93,92 persen (Gambar 2). Hal ini menunjukkan pengaruh sektor pertambangan mulai mengalami penurunan bagi peningkatan pendapatan perkapita di provinsi ini. Besarnya PDRB perkapita yang menunjukkan tingkat kesejahteraan di Provinsi Papua relatif meningkat namun tidak secara riil menunjukkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Gambar 2 PDRB Per Kapita ADHB 45,000.00 40,000.00
Ribu Rupiah
35,000.00 30,000.00 25,000.00
20,000.00 15,000.00 10,000.00 5,000.00 0.00 Papua
2010 38,785.11
2011 37,111.15
2012 37,935.01
2013 39,496.27
2014 39,850.48
Nasional
28,778.17
32,336.26
35,338.48
38,632.67
42,432.08
Sumber: BPS, 2013
1.1.2. Pengurangan Pengangguran Tingkat pengangguran di Provinsi Papua berada di bawah rata-rata tingkat pengangguran nasional. Seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran wilayah cenderung menurun pada tahun 2008-2013, namun kembali meningkat pada tahun 2014-2015, yang menunjukkan peningkatan angkatan kerja baru selama tahun 2008-2013 masih mampu diserap oleh lapangan kerja yang tersedia. Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Papua tahun 2008-2015 berkurang sebesar 1,13 persen (Gambar 3).
~2~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 Gambar 3 Tingkat Pengangguran Terbuka 9 8 7 Persen
6 5 4 3 2 1 0
2008 4.85
2009 4.13
2010 4.08
2011 3.72
2012 2.9
2013 2.81
2014 3.48
2015 3.72
Nasional 8.46
8.14
7.41
6.8
6.32
5.92
5.7
5.81
Papua
Sumber: BPS, 2015 1.1.3. Pengurangan Kemiskinan Tingginya pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua tidak berdampak signifikan terhadap pengurangan tingkat kemiskinan di wilayah ini. Selama kurun waktu 2007-2014 persentase penduduk miskin di Provinsi Papua telah berkurang sebesar 10,78 persen namun kemiskinan di wilayah ini masih menempati urutan tertinggi secara nasional (Gambar 4). Kemiskinan disebabkan karena struktur sosial dalam masyarakat, yaitu kurang mampunya memanfaatkan pengelolaan sumber daya alam yang melimpah akibat terbatasnya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki. Tingkat kemiskinan di Provinsi Papua tahun 20072014 selalu berada di atas rata-rata nasional. Gambar 4 Persentase Penduduk Miskin 60.00 50.00
Persen
40.00 30.00 20.00
10.00 -
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Perkotaan 7.97 7.02 6.10 5.55 4.60 5.81 6.11 4.47 Perdesaan 50.47 45.96 46.81 46.02 41.58 39.39 39.9 38.9 Papua 40.78 37.08 37.53 36.80 31.98 30.66 31.1 30.0 Nasional 16.58 15.42 14.15 13.33 12.49 11.96 11.37 10.96 Sumber: BPS, 2014
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~3~
2015 Provinsi Papua
1.2.
KUALITAS PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA
Kualitas pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi biasanya diikuti oleh pengurangan kemiskinan, peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), serta perluasan lapangan kerja.
1.2.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan Gambar 5 menunjukkan persebaran kabupaten dan kota di Provinsi Papua menurut rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan tahun 2008 sampai dengan tahun 2013, dengan penjelasan sebagai berikut. Pertama, Kabupaten Membramo Raya, Dunga, Puncak, Jayapura, dan Yalimo termasuk kabupaten dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di atas rata-rata provinsi. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kuadran ini dapat mendorong pengurangan kemiskinan secara lebih cepat (pro-growth, propoor). Tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah adalah menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan tetap meningkatkan upaya pengurangan kemiskinan. Gambar 5 Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengurangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Papua Tahun 2008-2013
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
~4~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015
Kedua, Kabupaten Merauke, Nabire, Intan Jaya, Biak Numfor, Mimika, Yopen Waropen, Sarmi, Paniai, Supiori, dan Puncak Jaya terletak di kuadran II yang termasuk kategori daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata, tapi pengurangan kemiskinan di atas ratarata (low growth, pro-poor). Tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah adalah menjaga efektvititas dan efisiensi kebijakan dan program pengurangan kemiskinan, dan secara bersamaan mendorong percepatan pembangunan ekonomi dengan prioritas sektor atau kegiatan ekonomi yang punya potensi berkembang seperti pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan, serta perdagangan dan jasa. Ketiga, Kabupaten Jayawijaya, Tolikara, Deiyai, Boven Digoel, Dogiyai, Keerom, dan Asmat terletak di kuadran III dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di bawah rata-rata provinsi (low growth, less pro-poor). Kinerja pembangunan daerah tersebut menegaskan bahwa pemerintah daerah harus bekerja keras untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi melalui peningkatan produkvititas sektor atau kegiatan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja secara lebih besar dari golongan miskin. Selain itu, pemerintah daerah juga dituntut untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi berbagai kebijakan dan program pengurangan kemiskinan. Keempat, Kabupaten Memberamo Tengah, Pegunungan Bintang, Waropen, Yahukimo, Lanny Jaya, Mappi, dan Kota Jayapura terletak di kuadran IV dengan rata-rata pertumbuhan tinggi di atas rata-rata, tapi pengurangan kemiskinan di bawah rata-rata (high-growth, less-pro poor). Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di daerah tersebut belum memberi dampak penuruan angka kemiskinan secara nyata. Tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah adalah mendorong pengembangan sektor dan kegiatan ekonomi yang menyerap tenaga kerja relatif tinggi seperti pertanian dan perkebunan, serta usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. Tantangan lainnya adalah meningkatkan koordinasi sinergi dalam mengoptimalkan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
1.2.2. Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan IPM Gambar 6 menunjukkan distribusi kabupaten dan kota di Provinsi Papua berdasarkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan peningkatan IPM selama tahun 2008-2013. Pertama, Kabupaten Lanny Jaya, Memberamo Raya, Pegunungan Bintang, Mappi, Jayapura, dan Kota Jayapura terletak di kuadran I, merupakan daerah dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan peningkatan IPM di atas rata-rata provinsi. Kondisi ini menyiratkan bahwa pertumbuhan ekonomi sejalan dengan peningkatan IPM (pro-growth, pro-human development). Dengan kinerja yang baik ini, tantangan yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah menjaga momentum pertumbuhan dengan tetap meningkatkan produktivitas dan nilai tambah, dan sekaligus mempertahankan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Kedua, Kabupaten Jayawijaya, Merauke, Yapen Waropen, Deiyai, Boven Digoel, Dogiya, dan Nabire yang terletak di kuadran II termasuk kategori daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata, tapi peningkatan IPM di atas rata-rata (low growth, pro-human development). Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunan untuk meningkatkan pelayanan publik dapat meningkatkan IPM. Tantangan yang harus diatasi adalah mendorong percepatan pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dan nilai tambah sektor dan kegiatan ekonomi yang menggunakan sumber daya lokal seperti pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan.
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~5~
2015 Provinsi Papua
Gambar 6 Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Peningkatan IPM Provinsi Papua Tahun 2008-2013
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
Ketiga, Kabupaten Asmat, Mimika, Supiori, Tolikara, Biak Numfor, Paniai, Keerom, Intan Jaya, Sarmi, dan Puncak Jaya terletak di kuadran III dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan peningkatan IPM di bawah rata-rata provinsi (low growth, less pro-human development). Kondisi ini menegaskan perlunya pemerintah daerah membenahi pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, pemerintah daerah juga harus bekerja keras mendorong seluruh SKPD untuk memacu pembangunan ekonomi dengan meningkatkan produktivitas dan nilai tambah sektor dan kegiatan utama daerah. Keempat, Yahukimo, Waropen, memberamo Tengah, Yalimo, Nduga, dan Puncak terletak di kuadran IV dengan rata-rata pertumbuhan tinggi di atas rata-rata, tapi peningkatan IPM di bawah rata-rata (high-growth, less-pro human development). Tantangan bagi pemerintah daerah adalah menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan peningkatan mutu pelayanan publik terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
~6~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 1.2.3. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Pengangguran Gambar 7 menunjukkan persebaran kabupaten/kota di Provinsi Papua menurut ratarata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran selama tahun 2008-2013. Pertama, Kabupaten Pegunungan Bintang, Yahukimo, Mappi, Jayapura, dan Kota Jayapura termasuk darah dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran di atas rata-rata provinsi. Kondisi ini menyiratkan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mendorong perluasan lapangan kerja (pro-growth, pro-job). Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah daerah adalah menjaga momentum pertumbuhan dengan tetap meningkatkan produktivitas dan nilai tambah sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja seperti pertanian, perkebunan, kelautan dan perikanan. Kedua, Kabupaten Merauke, Biak Numfor, Supiori, Mimika, Paniai, Puncak Jaya, Intan Jaya, Dogiyai, Asmat, Sarmi, Boven Digoel yang terletak di kuadran II termasuk kategori daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata, tapi pengurangan pengangguran di atas ratarata (low growth, pro-job). Hal ini mengindikasikan bahwa perluasan lapangan kerja terjadi pada sektor ekonomi dengan pertumbuhan rendah seperti pertanian dan perikanan. Gambar 7 Dampak Pertumbuhan Ekonomi terhadap Rata-Rata Pengurangan Jumlah Pengangguran Provinsi Papua Tahun 2008-2013
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~7~
2015 Provinsi Papua Ketiga, Kabupaten Jayawijaya, Keerom. Nabire, Yapen Waropen, Deiyai, dan Tolikara terletak di kuadran III dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran di bawah rata-rata provinsi (low growth, less pro-job). Hal ini menegaskan bahwa pemerintah daerah harus bekerja keras untuk memacu pengembangan sektor atau kegiatan ekonomi yang mampu menyerap tenaga kerja secara lebih besar. Keempat, Kabupaten Puncak, Waropen, Yalimo, memberamo Tengah, Lanny Jaya, dan Nduga terletak di kuadran IV dengan rata-rata pertumbuhan tinggi di atas rata-rata, tapi pengurangan pengangguran di bawah rata-rata (high-growth, less-pro job). Hal ini menunjukan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di wilayah tersebut, tetapi tidak dapat menurunkan jumlah pengangguran. Daerah tersebut termasuk daerah perkebunan, dan daerah perkotaan yang harus menampung migrasi penduduk dari daerah perdesaan. Tantangan yang harus dihadapi adalah mendorong pengembangan sektor dan kegiatan ekonomi yang menyerap tenaga kerja relatif tinggi seperti pertanian dan perkebunan. Tantangan lainnya adalah mengembangkan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi yang mampu menyerap tenaga kerja di sektor informal.
2.
ANALISIS PEMBANGUNAN WILAYAH
Pembangunan wilayah berkelanjutan bersifat multidimensi sehingga diperlukan analisis pembangunan yang komprehensif untuk mengatasi berbagai masalah publik. Analisis pembangunan wilayah didasarkan pada dimensi pembangunan manusia, pembangunan sektor unggulan, serta pemerataan pembangunan dan kewilayahan.
2.1. ANALISIS PEMBANGUNAN MANUSIA 2.1.1. Pendidikan Pendidikan merupakan sarana dalam menyiapkan sumberdaya manusia untuk pembangunan. Penyelenggaraan pendidikan di daerah terpencil akan mampu menjembatani kesenjangan budaya di masyarakat melalui budaya belajar di sekolah. Karena pembangunan sektor pendidikan di Papua memiliki peran penting dan strategis, dalam UU Nomor 21 Tahun 200, tentang Otonomi Khusus Papua, pendidikan menjadi sektor prioritas yang berada pada urutan pertama diantara sektor-sektor prioritas lainnya. Secara keseluruhan tingkat pendidikan di Papua belum berkembang, terutama di kabupaten yang terisolir. Angka Partisipasi Sekolah (APS) usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun (pendidikan dasar) tahun 2013 antarkota dan kabupaten di Provinsi Papua tidak merata (Gambar 8). Rata-rata APS Provinsi Papua tahun 2013 sebesar 75,51 persen untuk usia 7-12 tahun dan 73,27 persen untuk usia 13-15 tahun. Kabupaten di Provinsi Papua dengan APS terendah meliputi Kabupaten Nduga (13,34 persen), Kabupaten Puncak (21,35 persen), dan Kabupaten Asmat (36,8 persen). Pendidikan dasar di wilayah terpencil dan terisolir di Provinsi Papua belum terpenuhi karena kekurangan tenaga pendidik dan layanan pendidikan lainnya. Terbatasnya tenaga pendidik banyak terjadi pada jumlah guru yang bertugas di pedalaman, daerah pinggiran, serta terpencil. Kurangnya guru di daerah pedalaman Papua ini dikarenakan sulitnya transportasi menuju daerah tersebut, tempat tinggal penduduk yang masih nomaden, serta adanya budaya kamiri yang mengharuskan anak-anak ikut orang tua ketika mencari bahan makan ikan dan sagu. Angka ketidakhadiran guru dan kepala sekolah di wilayah terpencil dan terisolir cukup tinggi. Terbatasnya ketersediaan gedung sekolah juga mengakibatkan banyaknya anak Papua yang belum mendapatkan pendidikan.
~8~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 Gambar 8 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Pendidikan Dasar Tahun 2013 (Persen) 120 100 80 60 40
20 Kab. Deiyai
Angka Partisipasi Sekolah (APS) 07-12 tahun
Angka Partisipasi Sekolah (APS) 13-15 tahun
APS 7-12 tahun Provinsi
APS 13-15 tahun Provinsi
Kota Jayapura
Kab. Intan Jaya
Kab. Dogiyai
Kab. Yalimo
Kab. Puncak
Kab. Mamberamo Tengah
Kab. Nduga
Kab. Lanny Jaya
Kab. Mamberamo Raya
Kab. Supiori
Kab. Keerom
Kab. Waropen
Kab. Sarmi
Kab. Tolikara
Kab. Pegunungan Bintang
Kab. Yahukimo
Kab. Asmat
Kab. Mappi
Kab. Boven Digoel
Kab. Mimika
Kab. Paniai
Kab. Puncak Jaya
Kab. Biak Numfor
Kab. Kepulauan Yapen
Kab. Nabire
Kab. Jayapura
Kab. Jayawijaya
Kab. Merauke
0
Sumber: BPS, 2013
Gambar 9 Rata-Rata Lama Sekolah dan Angka Melek Huruf Tahun 2009-2013 9
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
8 7 6 5 4 3 2 1 0 2009
2010
2011
2012
2013
RLS Provinsi (Tahun)
RLS Nasional (Tahun)
AMH Provinsi (%)
AMH Nasional (%)
Sumber: BPS, 2013
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~9~
2015 Provinsi Papua Rendahnya capaian APS pendidikan dasar usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun berdampak pada rendahnya rata-rata lama sekolah (RLS) dan angka melek huruf (AMH) sebagai indiktor keberhasilan pembangunan oleh MDGs di Provinsi Papua (Gambar 9). RLS di Provinsi Papua 6 7 tahun, lebih rendah dari RLS nasional 8 tahun. AMH Provinsi Papua tahun 2009-2013 berkisar pada angka 75 persen dan tidak banyak peningkatannya, lebih rendah daripada AMH nasional yang terus meningkat dari 91 persen di tahun 2009 menjadi 94 persen di tahun 2013. Rendahnya AMH dan RLS di Provinsi Papua antara lain disebabkan kondisi Papua dengan aksesibilitas yang masih rendah sehingga pertumbuhan pencapaian komponen AMH dan RKS berjalan lambat. Beberapa faktor yang juga menyebabkan rendahnya APS, AMH, dan RLS di Provinsi Papua, seperti rendahnya pendanaan dukungan pendanaan bidang pendidikan karena alokasinya yang belum sesuai, ketersediaan unit layanan dan kapasitas pelaksana kegiatan yang menyebabkan rendahnya pertumbuhan AMH, serta didukung kondisi geografis yang sulit sehingga menyulitkan dalam penyediaan tenaga pendidik yang belum memadai. Dampak dari rendahnya APS, AMH, serta RLS mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di Provinsi Papua. Angkatan kerja di Provinsi Papua memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga Papua berada dalam ekonomi dengan produktivitas rendah. Provinsi Papua perlu konsisten dalam meningkatkan APS, AMH, dan RLS sehingga penyelenggaraan layanan untuk pemerataan akses dan mutu pendidikan dapat tercapai. Salah satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya dilakukan analisis terhadap kondisi umum pendidikan, prioritas bidang, prioritas wilayah dan anggaran sebagai suatu kesatuan analisis pemecahan masalah penyelenggaraan pembangunan pendidikan di Papua.
2.1.2. Kesehatan Faktor kesehatan merupakan salah satu kebutuhan penting untuk pembangunan manusia. Penyediaan fasilitas kesehatan menjadi salah satu upaya dalam meningkatkan pembangunan kesehatan di Provinsi Papua. Tingkat kesehatan masyarakat Papua belum menunjukkan hasil yang baik apabila dilihat dari indikator kesehatan, seperti angka kematian ibu, angka kematian bayi dan balita, serta gizi buruk yang berada di atas nasional. Kematian pada bayi baru lahir disebabkan karena gangguan pernafasan serta tidak mencukupinya berat badan bayi yang baru lahir. Hal lain anak-anak yang baru lahir kemudian mengalami masalah kesehatan akibat menderita gizi buruk sebelum usia 5 tahun. Angka kematian bayi di Papua pada tahun 2012 sebanyak 54 kematian per 1000 kelahiran baru, sedangkan angka nasional menunjukkan 34 kematian per 1000 kelahiran baru (Gambar 10). Angka ini juga mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan kondisi pada 2007, angka kematian bayi Papua 41 kematian per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu, angka kematian balita mencapai 115 kematian per 1000 kelahiran hidup atau meningkat tajam dari kondisi tahun 2007 sebesar 64 kematian per 1000 kelahiran hidup. Faktor penyebab meningkatnya AKB adalah gizi buruk penanganan persalinan yang kurang memadai, kesehatan lingkungan yang buruk, serta wawasan masyarakat terhadap kesehatan. Kondisi geografis Papua membuat tenaga medis sulit memberikan pekayanan kesehatan terutama di daerah pedalaman. Sarana penunjang kesehatan bayi yang masih terbatas menjadi salah satu penyebab tingginya AKB di Papua.
~10~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015
Gambar 10 Angka Kematian Bayi Provinsi Papua 60 50 40
39 34
30
26
20 10 41
19
54
2007
2010
2012
0 AKB Provinsi
AKB Nasional
Sumber: BPS, 2012
Pemerintah Provinsi Papua telah mengajukan program prioritas untuk percepatan pembangunan kesehatan di Papua. Program prioritas pembangunan bidang kesehatan di Provinsi Papua antara lain pembangunan rumah sakit pratama di Kabupaten Sarmi, Deiyai, Tolikara, Lanny Jaya, Waropen dan Intan Jaya. Sampai akhir tahun 2014, jumlah pelayanan kesehatan di Papua berupa puskesmas terbanyak berada di Kabupaten Yahukimo, beserta unit perawatan yang tersedia, sementara di Kabupaten Supiori memiliki 5 unit puskesmas dengan jumlah puskesmas perawatan 3 unit (Tabel 1). Jumlah puskesmas dan unit perawatan ini tidak bertambah selama tahun 2012-2014. Mengingat luas wilayah Papua dengan sebaran penduduk dan pelayanan kesehatan yang tidak merata, jarak antara pusat kesehatan masyarakat cukup jauh. Walaupun jumlah layanan kesehatan telah tersedia, namun aksesibilitas dan jangkauan pelayanan kesehatan masyarakat masih rendah. Adanya pemekaran wilayah administratif dan rendahnya akses layanan dan informasi kesehatan di Papua juga menyebabkan permasalahan kesehatan terus bertambah. Penduduk Papua yang tinggal di daerah terisolir juga terancam penyakit menular yang berkembang di wilayah rawa-rawa karena belum memadainya upaya kesehatan lingkungan. Tabel 1 Jumlah Puskesmas (Unit) Tahun 2014 Provinsi Papua No.
Kabupaten/ Kota
Puskesmas
Puskesmas Perawatan
Pueskemsmas non Perawatan
1 2 3 4 5
Kab. Merauke Kab. Jayawijaya Kab. Jayapura Kab. Nabire Kab. Kepulauan Yapen
20 13 19 26 13
11 2 6 6 4
9 11 13 20 9
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~11~
2015 Provinsi Papua
No.
Kabupaten/ Kota
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Kab. Biak Numfor Kab. Paniai Kab. Puncak Jaya Kab. Mimika Kab. Boven Digoel Kab. Mappi Kab. Asmat Kab. Yahukimo Kab. Pegunungan Bintang Kab. Tolikara Kab. Sarmi Kab. Keerom Kab. Waropen Kab. Supiori Kab. Mamberamo Raya Kab. Nduga Kab. Lanny Jaya Kab. Mamberamo Tengah Kab. Yalimo Kab. Puncak Kab. Dogiyai Kab. Intan Jaya Kab. Deiyai Kota Jayapura Provinsi Nasional
Puskesmas
Puskesmas Perawatan
Pueskemsmas non Perawatan
18 18 8 13 20 11 13 31 29 25 9 10 10 5 7 8 10 5 7 8 10 6 10 12 394 9.731
5 3 2 3 4 6 4 4 5 7 4 6 3 2 4 1 3 0 2 2 2 1 1 1 104 3.378
13 15 6 10 16 5 9 27 24 18 5 4 7 3 3 7 7 5 5 6 8 5 9 11 290 6.336
Sumber: BPS, 2014
Untuk masalah gizi buruk, di Papua masih terdapat kasus kurang gizi pada beberapa distrik. Hal ini terkait dengan status ekonomi masyarakat setempat yang tidak menunjukkan peningkatan yang lebih baik. Peningkatan angka kecukupan gizi harus sejalan dengan peningkatan kesejahteraan keluarga. Program prioritas yang harus dilakukan terkait dengan pembangunan kesehatan harus menyeluruh dari penurunan AKB, peningkatan gizi masyarakat,jaminan kesehatan ibu hamil, serta pelatihan tenaga medis.
2.1.3. Perumahan Arah kebijakan pada sasaran pembangunan perumahan adalah meningkatkan akses masyarakat berpendapatan rendah terhadap hunian yang layak, aman, terjangkau serta didukung oleh penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas yang memadai. Kebutuhan rumah layak huni di Papua sangat besar, mengingat masih banyaknya penduduk yang belum meiliki rmah yang layak ditempati, kepemilikan pemukiman yang belum tertata, serta terdapat keterbatasan lahan yang disebabkan oleh kondisi fisik wilayah Papua. Pemenuhan hunian yang layak dengan didukung oleh prasaran, sarana, dan utilitas yang memadai perlu mendapatkan
~12~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 perhatian khusus. Masyarakat berpenghasilan rendah masih banyak yang belum tinggal di rumah layak huni karena rendahnya keterjangkuan mereka untuk membangun maupun membeli rumah. Untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni bagi masyarakat Papua dibutuhkan peran developer dalam membangun rumah yang dapat dijual pada masyarakat dengan kriteria tertentu. Pembangunan perumahan yang layak huni bagi masyarakat juga harus memperhatikan akses air minum dan sanitasi layak. Selama tahun 2010-2013 rumah tangga di Papua yang mendapatkan kriteria sanitasi dan air minum layak cenderung meningkat, meskipun masih di bawah nasional (Gambar 11). Jumlah rumah tangga dengan kelayakan sanitasi di Provinsi Papua meningkat tajam pada tahun 2011 ke tahun 2012, yaitu dari 24,31 persen menjadi 55,57 persen; walaupun kemudian turun kembali menjadi 49,06 persen. Sementara itu jumlah rumah tangga dengan kriteria kelayakan air minum di Papua selama 2010-2013 sedikit peningkatannya, dan masih jauh di bawah rata-rata nasional. Gambar 11 Persentase Rumah Tangga Kriteria Kelayakan Sanitasi dan Air Minum Sanitasi 70 60 50 40 30 20 10 0
Air Minum 57.35
55.6
55.53
55.57
80 60.91 49.06
60 40
24.31
23.97
44.19
63.48
65.05
67.73
40.82
42.82
44.12
32.42
20 0
2010
2011 Papua
2012
2013
Nasional
2010
2011 Papua
2012
2013
Nasional
Sumber: BPS, 2013
Tantangan terbesar dalam meningkatkan akses terhadap air bersih dan sanitasi di Papua adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengadakan perilaku hidup bersih dan sehat. Permasalahan dalam penyelenggaraan air minum dan sanitasi adalah minimnya keberlanjutan sarana dan prasarana yang telah terbangun, semakin terbatasnya sumber air baku untuk air minum dan kurang optimalnya sinergi pembangunan air minum dan sanitasi. Minimnya keberlanjutan sarana dan prasarana disebabkan oleh belum optimalnya kesadaran dan pemberdayaan masyarakat, keterlibatan aktif pemerintah daerah baik dari aspek regulasi maupun pendanaan, serta penerapan manajemen aset. Penyediaan layanan sanitasi belum tersinergikan dengan penyediaan layanan air minum sebagai upaya pengamanan air minum untuk pemenuhan aspek 4K (kuantitas, kualitas, kontinuitas dan keterjangkauan). Indikator lain dalam pembangunan perumahan sanitasi dan air minum adalah berkurangnya kawasan kumuh perkotaan dan menurunnya jumlah kekurangan tempat tinggal berdasarkan perspektif penghuni. Kebutuhan rumah di Provinsi Papua banyak tersebar di Kota Sorong, Jayapura, Kabupaten Manokwari, Mimika, Jayawijaya, dan Puncak Jaya. Belum
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~13~
2015 Provinsi Papua optimalnya pembangunan prasarana dasar pada permukiman yang dibangun menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan kawasan kumuh di perkotaan.
2.1.4. Mental/Karakter Untuk mencapai Indonesia yang maju, makmur dan mandiri diperlukan sumberdaya manusia yang unggul dan memiliki pendidikan yang baik, keahlian dan keterampikan, pekerja keras, memiliki etos kemajuan, bersikap optimis, serta memiliki nilai luhur budaya bangsa. Nilai-nilai luhur yang penting ditanamkan untuk mencapai kemandirian tersebut antara lain gotong royong, toleransi, solidaritas, saling menghargai dan menghormati. Negara Indonesia merupakan negara majemuk dengan latar belakang budaya dan adat istiadat yang beragam. Pembangunan mental dan budaya masyarakat penting dilakukan untuk mendukung pembangunan fisik dan mengatasi permasalahan sosial. Pembangunan mental sangat diperlukan, termasuk dalam hal perlindungan hukum bagi perempuan dan anak-anak. Pembangunan karakter di setiap wilayah berbeda, tergantung dari budaya, agama, serta kehidupan masyarakatnya. Di Papua, pembangunan karakter membutuhkan peran kepala suku dan gereja sebagai pihak yang dominan membentuk karakter kehidupan sosial masyarakat Papua. Pendidikan karakter bisa ditanamkan melalui sekolah, tempat ibadah, serta lembaga sosial dalam masyarakat. Pendidikan karakter di sekolah dapat mempengaruhi karakter peserta didik karena guru membantu dalam pembentukan murid dalam hal memberikan keteladanan, menyampaikan materi, sikap toleransi, dan cara berperilaku. Implementasi pendidikan karakter yang dilakukan melalui media masyarakat adat dan gereja juga merupakan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk membantu mengembangkan pendidikan karakter melalui budaya lokal. Pendidikan karakter di Papua dapat dikembangkan melalui budaya lokal berbasis gereja dan masyarakat adat. Unsur budaya dan agama perlu diikutsertakan dalam kurikulum dan program pendidikan masyarakat Papua. Keberadaan tempat ibadah untuk pendidikan karakter masyarakat menjadi penting untuk dikembangkan (Tabel 2). Media gereja dan tempat ibadah lain adalah komponen masyarakat Papua yang dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan. Tabel 2 Data Umat, Tempat Ibadah, Penyuluh PNS Provinsi Papua Agama Jumlah Umat Tempat Ibadah Penyuluh PNS
Kristen 2.159.086 4.121 45
Katholik 846.655 1.170 17
Islam 456.510 711 18
Hindu 5.357 25 1
Budha 3.816 10
Sumber: Kementerian Agama Kanwil Papua, 2015
Adanya keberagaman etnis dan agama dan berkembangnya lembaga sosial dalam kehidupan masyarakat membutuhkan peran pemuda sebagai aset pembangunan sosial. Untuk menjamin kesejahteraan sosial keterlibatan pemuda dipelukan untuk mendorong proses pembelajaran serta membangun komitmen bersama dalam pembangunan. Pengembangan karakter pemuda dapat dilakukan melalui lembaga sosial dan organisasi kemasyarakatan karena keterlibatan pemuda dalam hal ini sangat tinggi. Pada akhir tahun 2012 jumlah organisasi kemasyarakatan dalam ruang lingkup Provinsi Papua berjumlah 286 organisasi, dengan anggota terbanyak pada organisasi profesi (Gambar 12). Melalui peran organisasi ini
~14~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 pengembangan karakter yang positif dapat dilakukan. Pemuda memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun daerahnya untuk kepentingan masyarakat.
Gambar 12 Data Organisasi Kemasyarakatan Terdaftar Provinsi Papua Tahun 2012
Keagamaan 14%
LSM 16%
Kewanitaan 8%
Pemuda 18%
Profesi 23%
Sosial 21%
Sumber: Website Pemerintah Provinsi Papua, 2012 https://papua.go.id/download/kategori_6/DATA%20ORMAS.pdf - diolah (tanggal akses 24 November 2015)
Pendidikan karakter bersifat menanamkan kebiasaan dan hal yang baik. Melalui media sekolah, tempat ibadah, serta organisasi masyarakat kebiasaan langsung dipraktekkan. Pembangunan karakter di Papua dapat terwujud melalui konsep pendidikan budaya dan agama menuju masyarakat Papua yang maju dan cerdas.
2.2. ANALISIS PEMBANGUNAN SEKTOR UNGGULAN 2.2.1. Pengembangan Sektor Pangan Terwujudnya kedaulatan pangan merupakan salah satu cerminan kemandirian ekonomi nasional. Pertanian menjadi sektor strategis pembangunan di Papua karena potensi sumberdaya pertanian yang melimpah di wilayah ini. Potensi tersebut perlu dimanfaatkan dan dikembangkan untuk ketahanan pangan masyarakat Papua. Sumber pangan lokal di Provinsi Papua antara lain tanaman pangan dan holtikultura, peternakan, perkebunan, dan perikanan. Produksi padi di Provinsi Papua tahun 2015 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, dan mencapai 204.891 ton (Gambar 13). Peningkatan produksi ini disebabkan karena bertambahnya luas panen seluas 6.834 hektar (15,02 persen) dan naiknya produktivitas sebesar 0,48 kuintal/hektar. Kontribusi produksi padi di provinsi Papua tahun 2015 sebesar 0,30 persen terhadap produksi padi Nasional.
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~15~
2015 Provinsi Papua Gambar 13 Produksi (Ton) dan Produktivitas (Ku/Ha) Tanaman Padi Provinsi Papua 250,000
60.00 50.00
200,000
40.00
150,000
30.00 100,000
20.00
50,000
10.00
0
0.00 2011
2012
Produksi Padi
2013
Produktivitas Padi
2014
2015
Produktivitas Nasional
Sumber: BPS, 2015
Produksi jagung di Provinsi Papua pada tahun 2015 mencapai 7.079 ton, turun sebesar 200 ton (3,06 persen) dari tahun 2014 sebesar 7282 ton (Gambar 14). Penurunan produksi ini juga dikarenakan menurunnya luas panen sebesar 317 ha (10,31 persen). Adanya penambahan lahan jagung di Provinsi Papua diharapkan dapat menambah produksi jagung di wilayah ini sehingga mampu mengurangi impor jagung. Gambar 14 Produksi (Ton) dan Produktivitas (Ku/Ha) Tanaman Jagung Provinsi Papua 7,400
60.00
7,200
50.00
7,000 40.00
6,800 6,600
30.00
6,400
20.00
6,200 10.00
6,000 5,800
0.00 2011 Produksi Jagung
2012
2013 Produktivitas Jagung
2014
2015
Produktivitas Nasional
Sumber: BPS, 2014
Untuk komoditas kedelai, kontribusi Provinsi Papua terhadap nasional cenderung menurun dari 0,59 persen pada tahun 2013, 0,42 persen pada tahun 2014, dan menurun lagi
~16~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 menjadi 0,32 persen pada tahun 2015. Selama tahun 2011-2015 tanaman kedelai di Papua menghasilkan produksi tertinggi yaitu mencapai 4.610 ton, namun kemudian menurun menjadi 3.983 ton di tahun 2014 dan 3.086 ton pada tahun 2015 (Gambar 15). Produksi kedelai menurun tetapi produktivitasnya meningkat pada tahun 2015 karena produksi kedelai yang menurun juga diikuti oleh menurunnya luas panesn kedelai. Gambar 15 Produksi (Ton) dan Produktivitas (Ku/Ha) Tanaman Kedelai Provinsi Papua 5,000
18.00
4,500
16.00
4,000
14.00
3,500
12.00
3,000
10.00
2,500
8.00
2,000
6.00
1,500 1,000
4.00
500
2.00
0
0.00 2011 Produksi Kedelai
2012
2013 Produktivitas Kedelai
2014
2015 Produktivitas Nasional
Sumber: BPS, 2014
Kondisi agroekosistem Papua sangat mendukung untuk pengembangan komoditas pertanian. Selain padi dan jagung, berbagai sumber pangan lokal di Papua telah dibudidayakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pangan. Tanaman pangan lokal yang sudah dimanfaatkan masyarakat Papua antara lain umbi-umbian dan sagu. Sagu umumnya dikonsumsi oleh masyarakat pesisir, sedangkan umbi-umbian merupakan makanan pokok penduduk yang tinggal di pegunungan. Komoditas tersebut juga dapat dikembangkan sebagai sumber pangan sehingga mengurangi ketergantungan pada beras. Kebutuhan bahan pangan selain bersumber dari pertanian juga bersal dari peternakan. Kebutuhan konsumsi daging di di Provinsi Papua dipenuhi dari produksi sendiri dan pasokan daerah lain. Kabupaten Merauke merupakan penyuplai daging terbesar di wilayah Papua. Sebagian besar produksi daging di Kabupaten Merauke juga memenuhi kebutuhan daging di Kabupaten Biak, Jayapura, Wamena, dan Kota Jayapura. Terdapat kendala pada aspek produksi dan produktivitas ternak dalam penyediaan daging di Papua khususnya daging sapi, yaitu jumlah kepemilikan ternak yang tidak ekonomis dan sistem pemeliharaan ternak dengan subsistem. Produksi daging di Provinsi Papua didominasi oleh daging babi yang terus mengalami peningkatan produksi setiap tahunnya (Gambar 16). Produksi daging babi dan sapi di Papua tahun 2014 berkontribusi masing-masing sebesar 0,59 persen dan 2,06 persen terhadap produksi daging babi dan sapi nasional.
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~17~
2015 Provinsi Papua Gambar 16 Produksi Daging Provinsi Papua (Ton) 7,000 6,000
5,242
5,000
4,306
3,973
4,000 3,000
6,411
6,267
2,770
3,172
2,903
2,737
2,733
2,000 1,000 0
111
63
116
84
2010
118
78
2011
132
63
2012
2013
Daging Sapi
Daging Kerbau
Daging Kuda
Daging Kambing
Daging Domba
Daging Babi
140
67
2014
Sumber: BPS, 2014
Gambar 17 Populasi Ternak Unggas Provinsi Papua (Ribu Ekor) 3,000.00
2,761.50
2,728.50 2,506.20
2,500.00 2,000.00
2,518.10
2,247.80 1,771.60
1,731.30
2,017.70
1,942.20
1,881.20
1,500.00 1,000.00 500.00 115.8
84.4
89.8
81.7
102.2
82.9
123.7
80.8
127.5
87.9
0.00 2010 Ayam Kampung
2011
2012
Ayam Petelur
2013 Ayam Pedaging
2014 Itik
Sumber: BPS, 2014
Peternakan unggas di Provisi Papua juga mengalami peningkatan dengan hasil produksi yang terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah populasi ternak terbesar di Papua adalah ayam pedagang yaitu sebanyak 2,7 juta ekor pada tahun 2014, meningkat sebesar 8,36 persen dari tahun sebelumnya (Gambar 17). Peningkatan jumlah produksi dan populasi unggas didukung adanya pemberian bantuan bibit ternak, bantuan pakan ternak, serta pengobatan ternak dari
~18~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 pemerintah. Kebutuhan pakan ternak di Papua didatangkan dari Makassar dan Surabaya karena produksi bahan utama pembuat pakan ternak masih terbatas. Tercapainya kondisi ketahanan dan kemandirian pangan di Provinsi Papua juga dipengaruhi adanya inovasi dan adopsi teknologi dalam pengembangan usaha tani tanaman pangan, usaha tani hortikultura, usaha peternakan, dan usaha perkebunan yang mampu memberikan dampak bagi peningkatan produksi dan produktivitas petani dan peternak. Pemerintah daerah mendorong peningkatan jumlah lahan pertanian dengan memfungsikan kembali lahan sawah untuk ditanam padi, jagung, dan kedelai sesuai dengan musimnya. Ketersediaan lahan di Papua cukup luas untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan produksi tanaman pertanian dan kebutuhan pangan lainnya. Kabupaten Merauke merupakan salah satu wilayah yang potensial untuk perluasan areal tanaman pangan. Upaya perluasan areal sawah sangat penting untuk mendukung ketahanan pangan karena kebutuhan produksi tanaman pangan khususnya padi terus meningkat sedangkan alih fungsi lahan cukup luas setiap tahunnya. Untuk mendukung Papua sebagai salah satu lumbung pangan nasional diperlukan pembukaan lahan pertanian dalam memenuhi target produksi tanaman pangan di tahun 2019 (Tabel 3). Tabel 3 Sasaran Kedaulatan Pangan Provinsi Papua Desa Mandiri Benih
Cetak Sawah (Ha) 20
31.000
Target Produksi 2019 (ribu ton) Padi 214.220
Jagung 4.207
Kedelai 13.079
Daging Sapi dan kerbau 4.187
Sumber: Perhitungan Bappenas, 2015
Dalam pemanfaatan dan pengolahan lahan sawah petani perlu mendapatkan pembinaan dan didampingi secara intensif baik dalam pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen, dan pasca panen oleh penyuluh pertanian dengan menerapkan inovasi teknologi spesifik lokasi. Dinas pertanian perlu memantau penyaluran benih dan pupuk agar lahan sawah bisa diusahakan secara berkelanjutan sehingga meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan. Petani juga perlu mendapatkan fasilitas berupa kemudahan dalam mengakses sarana produksi, sumber permodalan, pengolahan hasil serta pemasaran untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahterannya. Salah satu upaya dalam mendorong produksi dan produktivitas pangan adalah tersedianya infrastruktur pertanian yang memadai. Pembangunan infrastruktur yang saat ini diperlukan antara lain berupa perbaikan dan pembangunan infrastruktur pengairan, seperti waduk dan saluran irigasi, serta pembangunan jalan yang menghubungkan sentra produksi kepada konsumen akhir. Untuk mewujudkan ketersediaan infrastruktur tersebut, dukungan dan koordinasi antara instansi yang membidangi pembangunan fisik serta pemerintah daerah melalui dukungan kebijakan yang mempermudah implementasi pembangunan tersebut, mutlak diperlukan. Selain pembangunan infrastruktur, peningkatan produksi dan produktivitas pertanian juga memerlukan dukungan penyediaan teknologi dan sarana produksi, serta sumber daya manusia yang baik.
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~19~
2015 Provinsi Papua 2.2.2. Pengembangan Sektor Energi Sumber daya energi Papua yang melimpah berupa minyak bumi, batu bara, gas bumi, panas bumi, tenaga air, dan tenaga matahari umumnya belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena pemanfaatan sumber energi tersebut memerlukan program konservasi, diversifikasi, intensifikasi energi. Sebagian besar kebutuhan energi di Papua baik untuk sektor ekonomi maupun sebagai pembangkit tenaga listrik masih mengandalkan potensi migas yang sebagian besar dimanfaatkan untuk memenuhi komoditas ekspor. Peran energi terbarukan di provinsi Papua akan menjadi penting mengingat seluruh pasokan bahan bakar minyak (BBM) dan LPG ke provinsi ini berasal dari luar Papua. BBM diperoleh dari depot utama di Maluku dan LPG masih bergantung pada pasokan dari wilayah Jawa. Keberadaan beberapa kilang di Papua tidak mampu memenuhi kebutuhan provinsi Papua, dan kilang tersebut hanya menghasilkan BBM. Disisi lain, pemanfaatan sumber energi terbarukan bersifat lokal dan tidak ekonomis jika ditransportasikan antar wilayah. Kondisi ini menyebabkan pengembangan sumber energi terbarukan sangat cocok dalam peningkatan pemanfaatan energi di wilayah terpencil dan terisolasi. Pemadaman listrik dan kelangkaan BBM menjadi fenomena yang biasa terjadi di Papua. Papua memiliki sumber daya energi terbarukan yang melimpah dan belum dimanfaatkan, antara lain luasnya wilayah pegunungan dengan potensi hutan yang mengandung sumber energi air dan biomasa energi biogas dari produk pertanian dan peternakan. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat harus diimbangin dengan ketersediaan tenaga listrik karena meningkatnya permintaan tenaga listrik. Rasio elektrifikasi di Provinsi Papua tahun 2014 masih di bawah 100 persen, lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 81,70 persen (Gambar 18). Rasio elektrifikasi merupakan perbandingan jumlah rumah tangga yang berlistrik dan jumlah keseluruhan rumah tangga (RUPTL PLN 2015-2024). Rasio elektrifikasi ini menggambarkan tingkat ketersediaan energi listrik untuk masyarakat. Wilayah Pulau Papua secara keseluruhan memiliki rasio elektrifikasi yang rendah karena luas wilayahnya dan jarak antarrumah tangga cukup jauh. Gambar 18 Rasio Elektrifikasi (%) Tahun 2014 120 100 80
81.70
60 40
Tidak termasuk pelanggan non PLN Sumber: Statistik PLN, 2014
~20~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Papua
Papua Barat
Maluku
Nasional
Maluku Utara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur dan…
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur
BALI
Rasio Elektrifikasi
Nusa Tenggara Barat
Banten
Jawa Timur
D.I Yogyakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
Kepulauan Riau
DKI Jakarta Tangerang
Lampung
Kep Bangka Belitung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Riau
Jambi
Sumatera Barat
Aceh
0
Sumatera Utara
20
Provinsi Papua 2015
Pengembangan kelistrikan di Papua terus ditingkatkan karena wilayah ini masih mengalami defisit listrik. Pembangunan Pembangkit listrik Tenaga Mikrohidro Provinsi Papua merupakan salah satu upaya mengembangkan energi baru terbarukan. PLTMH banyak dimanfaatkan untuk menyediakan energi listrik di wilayah terpencil namun harga pokok produksi listrik yang dibangkitkan PLTMH sangat kompetitif dibandingkan teknologi pembangkit lainnya. Pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan listrik dengan pemenuhan yang terfokus di Kabupaten Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, Paniai, Puncak Jaya, Puncak, Mamberamo Tengah, Mamberamo Raya, Yalimo, Nduga, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya, Puncak, Asmat, Waropen, Supiori dan Lanny Jaya yang selama ini relatif masih belum memperoleh pelayanan energi yang memadai dibandingkan daerah lainnya. Pelayanan sistem jaringan kelistrikan merupakan salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua. Rencana penyediaan kebutuhan listrik selain untuk meningkatkan ketersediaan listrik, juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat membantu kegiatan sosial dan pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua.
2.2.3. Pengembangan Sektor Kemaritiman dan Kelautan Pembangunan ekonomi bidang maritim merupakan salah satu prioritas program kerja pembangunan. Papua memiliki wilayah perbatasan dengan Papua Nugini (Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen), dengan potensi maritim antara lain industri bioteknologi kelautan, perairan dalam, wisata bahari, energi kelautan, mineral laut, pelayaran, pertahanan, dan industri maritim. Batas maritim memberikan kepastian hukum untuk seluruh kegiatan kelautan, penegakan kedaulatan dan hukum laut, khususnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan. Kawasan perbatasan di Papua yang dikembangkan menjadi model pusat kegiatan kelautan dan perikanan terintegrasi adalah Merauke, sementara itu pengembangan Pelabuhan Jayapura merupakan salah satu sasaran untuk pengembangan tol laut dalam RKP 2016. Saat ini, aktivitas di dermaga Pelabuhan Merauke terdiri atas pelayaran lokal, pelayaran antarpulau, dan pelayaran samudera. Dermaga pelabuhan Merauke merupakan pelabuhan utama di Kabupaten Merauke yang disinggahi oleh kapal penumpang dan kapal perintis. Pelabuhan di Provinsi Papua yang melayani kunjungan kapal pelayaran luar negeri terdapat di Pelabuhan Merauke, Biak, Jayapura, dan Serui. Jumlah aktivitas pelayaran di Papua sebanyak 3.554 unit dengan volume 12.595.272 GRT (Tabel 4). Jumlah kunjungan kapal dapat digunakan untuk menganalisis aktivitas suatu pelabuhan karena data jumlah kunjungan kapal di suatu pelabuhan menunjukkan tingkat kesibukan aktivitas pelabuhan. Semakin rendahnya aktivitas pelabuhan, biaya logistik semakin tinggi sehingga biaya operasional kurang efisien. Transportasi laut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis maritim dan menekan angka inflasi karena disparitas harga antarwilayah makin rendah. Namun tingginya biaya logistik menyebabkan pengiriman barang di Papua lebih mahal daripada pengiriman barang ke luar negeri. Mahalnya biaya logistik ini menyebabkan transportasi maritim Indonesia tidak masuk dalam peta perdagangan maritim dunia.
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~21~
2015 Provinsi Papua Tabel 4 Aktivitas Pelabuhan di Provinsi Papua Tahun 2014 Jumlah Pelayaran Unit GRT)* 418 799.881 734 2.564.624 542 3.636.358 693 3.173.400 865 2.187.300 302 233.709 3.554 12.595.272
Pelabuhan Merauke Biak Jayapura (Kota Jayapura) Nabire Serui (Kep. Yapen) Sarmi Total
)* 1 GRT = 2.83m3 Sumber: Statistik Perhubungan Provinsi Papua, 2014
Papua memiliki potensi sumber daya besar pada wilayah pesisir dan laut. Hal ini didukung dengan wilayah teritorial perairan yang luas, sekaligus memiliki potensi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi. Sektor perikanan dan kelautan menjadi salah satu sektor unggulan di Provinsi Papua. Sebagian besar produksi perikanan di Provinsi merupakan perikanan tangkap laut dengan hasil produksi tahun 2013 sebesar 286.339 ton. Hasil perikanan budidaya di Papua terdiri atas budidaya laut, tambak, kolam, karamba, jaring apung dan sawah (mina padi) dengan hasil produksi yang kecil (gambar 19). Jenis ikan yang dibudidayakan antara lain udang windu, udang galah, gurame, mujair, nila dan ikan mas. Jenis alat tangkap yang digunakan masyarakat lokal masih bersifat tradisional, seperti jaring insang, pancing, tonda, tambak, serta kalawai.
Gambar 19 Produksi Perikanan (ton) Provinsi Papua Tahun 2013
2%
97%
Tangkap Laut
Perairan Umum
Budidaya Laut
Tambak
Kolam
Keramba
Jaring Apung
Sawah
Sumber: BPS, 2013
~22~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015
Hasil produksi perikanan tangkap laut Papua menyumbang 5,02 persen terhadap hasil produksi perikanan tangkap laut nasional yang sebesar 5.707.012 ton pada tahun 2013. Potensi perikanan yang besar di Papua terdapat di Kabupaten Asmat, Mimika, Sarmi, Waropen, Nabire, dan Biak, sertai didukung dengan perbedaan pasang surut arus laut yang tinggi sehingga potensi perikanan cukup tinggi. Tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan sektor perikanan di Papua antara lain belum terpadunya usaha penangkapan ikan, tambak ikan, serta budidaya perikanan lainnya, dan penggunaan teknologi penangkapan dan pengolahan hasil ikan yang belum memadai. Strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan perekonomian berbasis kelautan ini antara lain pemberian kredit mikro kepada nelayan, peningkatan kualitas produk perikanan di pasar lokal dan untuk ekspor, dan pengembangan industri yang berasal dari produk olahan ikan. Pengembangan sektor kelautan ini harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan agar memberikan dampak yang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.2.4. Pengembangan Sektor Pariwisata dan Industri Sektor pariwisata dan industri merupakan salah satu komponen dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan pariwisata dan industri harus dilakukan secara berkelanjutan sehingga memberikan manfaat langsung untuk kesejahteraan masyarakat. Arah kebijakan dalam pengembangan sektor pariwisata meliputi: pemasaran pariwisata nasional dengan mendatangkan jumlah wisatawan nusantara dan mancanegara; pembangunan destinasi pariwisata dengan meningkatkan daya tarik daerah tujuan wisata sehingga berdaya saing di dalam dan luar negeri; pembangunan industri pariwisata dengan meningkatkan partisipasi usaha lokal dalam industri pariwisata nasional serta meningkatkan keragaman dan daya saing produk dan jasa pariwisata nasional di setiap destinasi pariwisata yang menjadi fokus pemasaran; dan pembangunan kelembagaan pariwisata dengan membangun sumberdaya manusia pariwisata serta organisasi kepariwisataan nasional. Arah kebijakan dalam pengembangan sektor industri meliputi pengembangan perwilayahan industri di luar Pulau Jawa, penumbuhan populasi industri, serta peningkatan daya saing dan produktivitas. Kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian Provinsi Papua masih rendah dibandingkan dengan potensi pariwisata yang dimilikinya. Wisatawan asing maupun domestik yang berkunjung ke Papua belum begitu besar. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke tempat wisata di Papua meningkat setiap tahunnya walaupun peningkatan jumlah kunjungan tersebut dianggap tidak signifikan. Hal ini juga terlihat dari jumlah tamu yang menginap di hotel dan akomodasi lainnya di Provinsi Papua dibandingkan Indonesia secara keseluruhan Tahun 20102014 (Gambar 20). Jumlah tamu asing dan domestik pada hotel dan akomodasi lain di Papua mengalami peningkatan terutama pada tahun 2013 sebesar 147,62 persen dari tahun sebelumnya yaitu dari 364.763 orang menjadi 903.225 orang. Sementara itu, tingkat kunjungan ke objek wisata di Papua ditargetkan meningkat 2000 orang setiap tahunnya. Salah satu penyebab peningkatan jumlah kunjungan yang tidak signifikan adalah terkendala biaya transportasi yang sulit untuk menjangkau lokasi wisata. Pertimbangan faktor biaya karena sulitnya transportasi menjadi salah satu kendala bagi wisatawan yang berkunjung ke Papua.
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~23~
2015 Provinsi Papua Gambar 20 Jumlah Tamu yang Menginap Tahun 2010-2014 1,000,000
100,000,000
900,000
90,000,000
800,000
80,000,000
832,490
700,000
858,790
70,000,000
600,000
60,000,000
500,000
50,000,000
400,000 300,000
272,155
40,000,000
350,494
348,002
30,000,000
200,000
20,000,000
100,000 -
8,614
2010
11,287
14,269
2011
2012
70,735
2013
10,000,000 20,137
-
2014
Jumlah Tamu Asing (Provinsi)
Jumlah Tamu Indonesia (Provinsi)
Jumlah Tamu Asing (Nasional)
Jumlah Tamu Indonesia (Nasional)
Sumber: BPS, 2014
Sektor pariwisata mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan lapangan kerja dan menjadi multiplier effect untuk pengembangan sektor perekonomian yang lain. Objek wisata yang dimiliki Papua belum ditata dengan baik menjadi daya tarik wisata unggulan, padahal potensinya sangat besar karena alam yang dimiliki masih asli dan memiliki budaya khas dan unik Papua. Salah satu objek wisata yang menarik di Papua adalah keberadaan salju abadi di Pegunungan Tengah dan Taman Nasional Lorentz yang menjadi kawasan konservasi terluas di Asia Tenggara. Kawasan ini tersebar di Kabupaten Jayawijaya, Mimika, Puncak Jaya, dan Asmat. UNESCO menetapkan Taman Nasional Lorentz menjadi situs warisan dunia yang memiliki lebih dari 43 jenis ekosistem, kawasan daerah tropis yang memiliki gletser di Puncak Cartenz, dan Danau Habema yang dihiasi padang rumput dan rawa-rawa. Untuk sektor industri, salah satu tantangan yang dihadapi industri nasional saat ini adalah daya saing yang rendah di pasar internasional. Faktor yang menyebabkan rendahnya daya saing tersebut antara lain adanya peningkatan biaya energi, tingginya biaya ekonomi, serta belum memadainya layanan birokrasi. Tantangan lain yang dihadapi adalah masih lemahnya keterkaitan antar industri (industri hulu dan hilir maupun antara industri besar dengan industri kecil dan menengah), adanya keterbatasan berproduksi barang setengah jadi dan komponen di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan kemampuan ekonomi antardaerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa komoditas tertentu. Sektor industri Papua hanya berkontribusi sebesar 2 persen terhadap pembentukan PDRB provinsi karena saat ini kegiatan perekonomian masih didominasi oleh kegiatan pertambangan. Potensi sumberdaya alam Papua yang besar dalam perekonomian harus berimbas pada kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha mandiri, seperti keberadaan industri rakyat. Sektor industri usaha mikro, kecil, dan menengah perannya tidak begitu besar dalam pembentukan ekonomi Papua, namun berperan dalam menciptakan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan di Provinsi Papua (Gambar 21). Penyerapan tenaga kerja di sektor industri mikro kecil dan menengah banyak terdapat di Kabupaten Merauke, Kota Jayapura dan Kota Mimika. Kabupaten Nduga, Yalimo, Puncak, dan Dogiyai belum terdapat
~24~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 industri yang mampu menyerap lapangan kerja besar. Pelatihan dan ketrampilan berwirausaha perlu diberikan kepada masyarakat di wilayah ini untuk meningkatkan daya saing saat memiliki industri mandiri.
Gambar 21 Jumlah Tenaga Kerja Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Tahun 2014 3500
3136
2922
3000
2550
2500 2000 1500 1000
1735
1599 719
975
697
965 308
500
532
449 66 74 72 126137 42
415 103
0
221
914 0
0
674
0
Merauke Jayawijaya Jayapura Nabire Kepulauan Yapen Biak Numfor Paniai Puncak Jaya Mimika Boven Digoel Mappi Asmat Yahukimo Pegunungan Bintang Tolikara Sarmi Keerom Waropen Supiori Mamberamo Raya Nduga Lanny Jaya Mamberamo Tengah Yalimo Puncak Dogiyai Intan Jaya Deiyai Kota Jayapura
0
1135
870
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Provinsi Papua, 2014
Jumlah industri mikro, kecil dan menengah di Provinsi Papua pada tahun 2014 sebesar 22.586 industri, dengan jumlah industri tertinggi terdapat di Kabupaten Mimika, yaitu sebanyak 4.178 industri dan terendah di Kabupaten Boven Digoel, sebanyak 34 industri (Tabel 5). Pertumbuhan produksi industri manufaktur Pengembangan usaha industri manufaktur mikro, kecil dan menengah belum menunjukkan hasil maksimal karena masih terkendala keterbatasan modal, bahan baku, serta pemasaran. Untuk meningkatkan skala industri dan menjadi industri yangberdaya saing industri, jenis usaha manufaktur sering mengalami kendala infrastruktur berupa akses jalan dan jembatan, misalnya sektor usaha perkebunan tebu mengalami kesulitan dalam pengangkutan tebu dari kebun ke pabrik gula. Tabel 5 Jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah Menurut Sektor Usaha Tahun 2014 Kabupaten/ Kota Merauke Jayawijaya Jayapura Nabire Kepulauan Yapen Biak Numfor Paniai Puncak Jaya Mimika Boven Digoel Mappi
Pertanian/ Perkebunan/ Peternakan
Perdagangan
Non Pertanian/ Industri
338 306 110 86 197 226 38 51 1132 9
593 597 400 320 817 520 96 380 2922 13 15
824 186 75 59 108i 263 39 69 68 8 2
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Aneka Usaha/ Jasa 736 289 86 57 116 158 31 68 56 13 10
Jumlah Total 2221 1378 671 522 1238 1167 204 568 4178 34 36
~25~
2015 Provinsi Papua
Kabupaten/ Kota
Pertanian/ Perkebunan/ Peternakan
Perdagangan
Non Pertanian/ Industri
Aneka Usaha/ Jasa
Asmat 6 1 Yahukimo 36 87 37 Pegunungan Bintang 46 195 45 Tolikara 16 23 5 Sarmi 55 226 62 Keerom 228 506 158 Waropen 195 636 250 Supiori 51 178 96 Mamberamo Raya 0 1714 Nduga Lanny Jaya 333 Mamberamo Tengah 125 632 318 Yalimo Puncak Dogiyai Intan Jaya 350 94 Deiyai 121 394 91 Kota Jayapura 259 1077 117 Jumlah 3631 13025 2974 Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UKM Provinsi Papua, 2014
28 37 38 39 42 292 102 32 120 63 224 589 3226
Jumlah Total 35 197 324 83 385 1184 1183 357 1714 333 1195 507 830 2042 22586
Permasalahan yang dihadapi daerah saat ini adalah belum diterapkannya perencanaan perekonomian daerah yang menjadi komitmen bersama di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota. Upaya meningkatkan kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDRB Papua dapat dilakukan apabila ada jaminan pasokan bahan baku dengan berbagai jenisnya, jumlah produksi dan harga stabil untuk sektor primer yang akan diolah. Dalam hal ini diperlukan mobilisasi pada pelaku usaha sektor primer (petani, nelayan, peternak) agar menjamin kelangsungan produksi di sektor industri.
2.3. ANALISIS PEMERATAAN DAN PEMBANGUNAN KEWILAYAHAN 2.3.1. Pusat Pertumbuhan Wilayah Pusat pertumbuhan wilayah banyak ditentukan berdasarkan potensi yang dimilikinya. Peningkatan infrastruktur dan ketersediaan sarana mampu mendukung percepatan pembangunan. Ketersediaan infrastruktur yang lengkap di suatu wilayah juga bisa digunakan sebagai dasar dalam penetapan pusat pertumbuhan, karena hierarki suatu kota yang besar akan mempercepat wilayah lain untuk berkembang. Hierarki kota dapat menentukan jenjang pelayanan terkait dengan pusat pelayanan di kota.
2.3.1.1.
Kawasan Ekonomi Khusus
Untuk mempercepat pengembangan ekonomi wilayah dan menjaga keseimbangan kemajuan daerah perlu dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geoekonomi dan gesostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Setidaknya ada empat daerah di Pulau Papua yang akan dikembangkan menjadi KEK, salah satunya di Kabupaten Merauke (persiapan penetapan KEK). Pengembangan KEK difokuskan pada sektor pertanian dan
~26~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 kehutanan. Walaupun saat ini Provinsi Papua belum memiliki KEK, namun pemerintah telah menetapkan lima Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) berbasis wilayah adat di Papua dengan mengembangkan infrastruktur yang mendukung sektor pertanian dan pertambangan (Tabel 6). Hal ini juga dilakukan untuk mendukung sentra produksi di sektor pangan, peternakan, industri, dan pariwisata. Tabel 6 Kawasan Pengembangan Ekonomi Berbasis Wilayah Adat di Provinsi Papua KPE Saereri Mamta Me Pago La Pago
Ha’anim
Wilayah Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Kepulauan Yapen, dan Waropen Kabupaten Mamberamo Raya, Jayapura, Keerom, Sarmi, dan Kota Jayapura Kabupaten Nabire, Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, dan Mimika Kabupaten Mamberamo Tengah, Jayawijaya, Lanny Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yalimo, Yahukimo, Puncak, dan Puncak Jaya Kabupaten Merauke, Asmat, Mappi, dan Boven Digoel
Fokus Pengembangan Perikanan laut, Industri Pengalengan, Industri Perikanan Laut, pariwisata Perkebunan dan industri kelapa sawit dan coklat, pariwisata Perkebunan dan industri sagu, buah merah, ubi jalar,pariwisata Perkebunan dan industri sagu, buah merah, ubi jalar,pariwisata
Perkebunan dan industri karet, kelapa sawit, industri pengalengan ikan, pangan, dan peternakan
Sumber: Buku III RPJMN 2015-2019
Untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi KPE membutuhkan penguatan konektivitas di masing-masing wilayah adat. Kebutuhan infrastruktur untuk penguatan konektivitas di pusat pertumbuhan ekonomi antara lain mempercepat penyelesaian pembangunan transportasi darat, laut, dan udara, pembangunan ruas jalan strategis nasional, dan mempercepat pembangunan infrastruktur air bersih, listrik, dan telekomunikasi. Beberapa pembangunan infrastruktur untuk penguatan konektivitas di KPE Provinsi Papua antara lain: 1. Pembangunan ruas jalan, antara lain: Ruas Jalan Sarmi-Ampawar-Barapasi-SumianggaKimibay, Jalan Lingkar Numfor dan Kota Biak; Ruas Jalan Depapre-Bongkrang, ruas jalan Warumbaim-Taja-Lereh-Tengon, Ruas Jalan Jayapura-Wamena-Mulia; Ruas Jalan Sumohai-Dekai-Oksibil-Iwur-Waropko, ruas jalan Enarotali-Tiom, Ruas Jalan WamenaHabema-Kenyam, Ruas Jalan Timika-Potowaiburu-Wagete-Nabire, Ruas jalan YetiUbrub; Ruas Jalan Okaba– Sanomere–Bade, Ruas Jalan Merauke-Okaba-Buraka- Wanam -Bian-Wogikel, Ruas Jalan Okaba-Kumbe-Kuprik-Jagebob-Erambu; 2. Pengembangan Bandara Internasional Frans Kaisepo, Bandara Internasional Sentani, Bandara Internasional Moses Kilangin, Bandara Internasional Mopah; pembangunan Bandara di Yapen Waropen, Wamena, Dekai; 3. Reaktivasi Pelabuhan Biak; pengembangan Pelabuhan Peti Kemas depapre, pelabuhan Jayapura, Pelabuhan Merauke; pengembangan dermaga Kenyam dan Suru-suru; 4. Pembangunan Terminal Tipe A Kota Jayapura, Terminal B Kabupaten Sarmi, Keerom, dan Kota Jayapura; 5. Pembangunan jaringan kereta api mulai dari Timika ke Pegunungan Tengah
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~27~
2015 Provinsi Papua 6. Pengembangan PLTA Supiori, PLTA Mamberamo, PLTA Gayem, PLTA Hotekamp, PLTA Baliem, PLTA Urumuka, PLTS Makro. Salah satu syarat pengembangan KEK adalah ketersediaan investor yang akan menggerakkan investasi di wilayah tersebut. KEK bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan mengurangi kesenjangan dalam masyarakat melalui hadirnya aktivitas ekonomi yang memberikan nilai tambah. Terbentuknya KEK diharapkan semakin membangun daya saing wilayah dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.3.1.2.
Kawasan Industri
Percepatan pembangunan wilayah juga didukung oleh pembangunan lokasi industri berupa Kawasan Industri (KI). KI bertujuan untuk mengendalikan tata ruang, meningkatkan upaya industri yang berwawasan lingkungan, mempercepat pertumbuhan industri di daerah, meningkatkan daya saing industri, meningkatkan daya saing investasi, serta memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur yang terkoordinasi antar sektor terkait. Arah pengembangan KI di luar Pulau Jawa diharapkan dapat menciptakan pemerataan pembangunan ekonomi dan meningkatkan efisiensi sistem logistik dan KI sebagai pergerakan utama pusat-pusat pertumbuhan baru. Rencana pembangunan KI membutuhkan: kesiapan infrastruktur yang memadai sehingga semua fasilitas dapat terintegrasi; fasilitas pendukung tumbuhnya industri prioritas berupa area komersil serta penelitian dan pengembangan; dan fasilitas pendukung lainnya. Pemerintah telah menetapkan 14 kawasan industri di Indonesia, namun tidak ada pengembangan KI di Provinsi Papua. Adapun rencana pembangunan industri di Timika Papua antara lain pembangunan smelter, industri hasil perkebunan, industri hasil perikanan, dan industri hasil kehutanan. Penciptaan kawasan industri merupakan salah satu rencana strategis untuk pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat.
2.3.2. Kesenjangan intra wilayah Tingkat kesenjangan ekonomi antarkota dan kabupaten di Provinsi Papua yang ditunjukan dengan nilai indeks wiliamson dari tahun 2009-2013 cukup tinggi dan berada di atas rata-rata nasional. Ketimpangan pembangunan yang terjadi di Papua tergolong pada kelompok ketimpangan tinggi. Penyebab kesenjangan ekonomi dan sosial di Provinsi Papua antara lain jarak kualitas pelayanan kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi yang terbatas. Kesenjangan dalam perekonomian menimbulkan disparitas terutama melonjaknya harga barang kebutuhan pokok.
~28~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 Gambar 22 Perkembangan Kesenjangan Ekonomi (Indeks Williamson) 2009-2013 0.90 0.80
0.77 0.70
0.70
0.76 0.71
0.60
0.76
0.76
0.76
0.65
0.64
0.65
0.50 0.40 0.30 0.20
0.10 0.00 2009
2010
2011 Papua
2012
2013
Nasional
Sumber: BPS, 2013 (diolah)
Kesenjangan ekonomi antarkota dan kabupaten di Provinsi Papua cukup tinggi, terlihat dari besarnya gap antara kabupaten atau kota dengan PDRB perkapita tertinggi dan PDRB perkapita terendah (Tabel 7). Pendapatan perkapita di Provinsi Papua relatif lebih tinggi daripada pendapatan perkapita kabupaten dan kota di Provinsi Papua. Wilayah Papua memiliki tingkat kepadatan penduduk paling rendah daripada wilayah lain di Indonesia dengan konsentrasi penduduk tersebar di perdesaan dan pedalaman. PDRB perkapita di Kabupaten Mimika tergolong tinggi karena potensi sumber daya alam di bidang pertambangan dan didukung oleh keberadaan perusahaan tambang PT Freeport Indonesia yang sudah puluhan tahun melakukan penambangan terhadap bijih tembaga, emas, dan perak. Infrastruktur di Mimika terbangun dengan keberadaan kota modern, bandara, pelabuhan, serta fasilitas jalan. Lapangan kerja di Kabupaten Mimika cukup terbuka meskipun tidak menyerap seluruh penduduk lokal. Perusahaan pendukung kegiatan pertambangan juga bermunculan di Mimika sehingga aktivitas ekonomi di wilayah ini semakin berkembang dan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat. Seluruh lapangan pekerjaan yang digerakkan penduduk lokal maupun pendatang menghasilkan perputaran uang yang cukup besar. Hal ini bukan hanya menjadikan pendapatan per kapita Kabupaten Mimika tinggi, namun juga memberi kontribusi besar terhadap pendapatan daerah.
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~29~
2015 Provinsi Papua Tabel 7 Perkembangan Nilai PDRB Perkapita ADHB dengan Migas Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Tahun 2008-2013 (000/jiwa) Kab/ Kota Merauke Jayawijaya Jayapura Nabire Yapen Waropen Biak Numfor Paniai Puncak Jaya Mimika Boven Digoel Mappi Asmat Yahukimo Pegunungan Bintang Tolikara Sarmi Keerom Waropen Supiori Mamberamo Raya Nduga Lanny Jaya Mamberamo tengah Yalimo Puncak Dogiyai Intan Jaya Deiyai Kota Jayapura Papua Sumber: BPS, 2013
3.
2008 14.278 2.773 12.425 8.659 7.638 9.929 3.171 4.384 251.819 22.233 6.659 6.373 1.542 5.946 3.285 16.876 12.633 8.030 19.919 8.180 21.012 19.690
2009 16.704 4.949 14.919 12.483 8.281 11.185 3.111 5.600 302.335 25.043 8.461 7.350 1.987 8.437 3.578 19.112 15.119 10.198 22.188 11.354 2.684 2.131 1.538 1.429 5.611 4.190 26.263 24.563
2010 18.448 5.652 17.000 14.059 9.099 12.115 3.025 6.006 306.872 27.796 9.176 7.807 2.423 9.753 4.326 21.561 17.131 11.944 23.544 14.947 3.745 2.857 1.973 1.869 6.418 5.031 4.575 3.626 29.014 35.116
2011 20.018 6.351 19.335 15.542 9.550 12.988 3.342 6.402 241.906 30.957 10.438 8.647 2.848 10.878 4.707 25.029 19.484 14.320 25.002 20.529 5.113 3.805 2.867 2.537 7.349 6.213 5.891 4.381 34.419 46.027
2012 22.171 7.032 21.911 17.446 10.203 14.453 3.678 6.489 211.933 34.493 12.132 10.085 3.323 12.263 4.871 29.124 21.664 17.135 26.423 25.192 6.490 4.589 3.580 3.193 8.147 7.789 6.870 4.899 40.124 53.538
2013 25.003 7.826 24.853 19.932 11.029 15.991 3.940 6.634 238.826 37.914 14.482 11.215 3.734 13.715 5.153 33.786 23.783 20.051 27.968 27.755 7.422 5.193 3.962 3.587 8.549 9.293 7.574 5.167 46.541 61.462
ISU STRATEGIS WILAYAH
Isu strategis merupakan permasalahan pembangunan yang memiliki kriteria yaitu: (i) berdampak besar bagi pencapaian sasaran pembangunan nasional; (ii) merupakan akar permasalahan pembangunan di daerah; dan (iii) mengakibatkan dampak buruk berantai pada pencapaian sasaran pembangunan yang lain jika tidak segera diperbaiki. Berdasarkan gambaran kinerja pembangunan wilayah, analisis pembangunan, serta identifikasi permasalahan yang telah dilakukan, maka isu-isu strategis Provinsi Papua adalah sebagai berikut: 1.
Tingginya Ketergantungan pada Sektor Primer (Pertambangan) Penambangan PT Freeport Indonesia di Provinsi Papua menarik banyak pekerja pada kegiatan operasional penambangan ataupun usaha-usaha lain yang berkaitan dengan
~30~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 pertambangan. Sebagai perusahaan tambang terbesar di Papua, perusahaan ini mempekerjakan sekitar 7.600 karyawan. Dari jumlah tersebut, 26 persen merupakan penduduk lokal Papua. Kondisi sumber daya manusia Papua yang kurang memiliki keterampilan dan pendidikan untuk bekerja menggunakan teknologi modern menjadi kendalanya. Kinerja sektor pertambangan dan penggalian merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua. Naik turunnya produksi PT. Freeport Indonesia sangat menentukan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Strukur perekonomian Provinsi Papua tahun 2014 didominasi oleh kontribusi sektor pertambangan dan penggalian sebesar 40,11, sektor pertanian sebesar 12,02 persen, dan sektor konstruksi sebesar 10,70 persen (Tabel 8). Peranan sektor industri pengolahan hanya memberikan kontribusi sebesar 2,08 persen. Tabel 8 Struktur PDRB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2014
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Lapangan Usaha Pertanian , Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estate Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintah, Pertahanan, Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa Lainnya
Distribusi Persentase (%) PDRB ADHK PDRB ADHB 2010 14,11 12,02 28,87 40,11 2,44 2,08 0,03 0,03 0,07 0,06 13,79 10,70 9,17 8,06 5,48 0,86 4,06 1,92 2,88 1,31 9,96
4,17 0,69 3,79 1,55 2,44 1,19 8,43
2,16 1,72 1,16 100.00
2,10 1,52 1,06 100.00
Sumber: BPS, 2014
Apabila ditelusuri lebih lanjut berdasarkan analisis sektor basis, sektor pertambangan dan penggalian, administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib, dan sektor jasakesehatan dan kegiatan sosial merupakan sektor-sektor tradable (dapat diperdagangkan antardaerah), dengan nilai location quotient lebih besar dari satu (LQ>1). Hal ini menunjukkan Provinsi Papua memiliki proportional share lebih besar dari rata-rata daerah lain untuk sektorsektor tersebut (Tabel 9).
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~31~
2015 Provinsi Papua Tabel 9 Nilai LQ Sektor Ekonomi Provinsi Papua No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Lapangan Usaha
2010
2011
2012
2013
2014
0,75 5,18 0,08 0,09
0,83 4,60 0,09 0,11
0,89 4,35 0,09 0,12
0,88 4,47 0,08 0,12
0,92 4,39 0,09 0,13
0,57
0,63
0,66
0,67
0,69
0,78
0,94
1,03
1,05
1,10
0,46
0,52
0,55
0,56
0,58
0,89
1,00
1,05
1,06
1,10
0,17
0,19
0,21
0,21
0,23
0,74 0,33 0,62 0,60
0,81 0,38 0,72 0,70
0,84 0,39 0,77 0,73
0,84 0,40 0,79 0,71
0,82 0,42 0,82 0,72
1,72
1,98
2,17
2,15
2,43
0,54 1,18 0,29
0,61 1,34 0,33
0,64 1,40 0,35
0,65 1,40 0,36
0,66 1,43 0,38
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum Informasi dan Komunikasi Jasa Keuangan dan Asuransi Real Estat Jasa Perusahaan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial Jasa lainnya
Nilai LQ dihitung menggunakan PDRB ADHK Tahun 2010 Sumber: BPS, 2014(diolah)
Sektor pertanian perlu dikembangkan untuk mendukung kedaulatan pangan sesuai dengan agenda prioritas pembangunan. Upaya mencapai kedaulatan pangan dilakukan dengan meningkatkan produksi pertanian sekaligus menggerakkan usaha industri pengolahan hasilhasil pertanian. Ada dua alasan yang mendukung hal tersebut. Pertama, sektor pertanian primer memiliki elastisitas permintaan yang rendah terhadap pendapatan. Hal ini ditunjukkan dengan relatif bertahannya kinerja pertumbuhan sektor pertanian di masa krisis, namun ketika situasi ekonomi membaik dan pendapatan masyarakat meningkat permintaan terhadap komoditas pertanian tidak meningkat dengan proporsi yang sama. Berbeda halnya dengan permintaan terhadap produk manufaktur, yang sangat elastis terhadap peningkatan pendapatan. Kedua, sektor industri pengolahan non migas sangat potensial dalam menciptakan nilai tambah, mendorong perkembangan sektor-sektor lain dan menciptakan lapangan kerja. Di Provinsi Papua terdapat potensi pengolahan kakao dengan luas penanaman yang terus bertambah di beberapa kabupaten. Permasalahan yang dihadapi adalah terbatasnya tenaga penyuluh lapangan, baik dari segi jumlah maupun mutu, untuk melakukan tugastugas pendampingan, terbatasnya sarana produksi terutama pestisida, terbatasnya sumber dana pengembangan kakao, rendahnya nilai tambah, dan rendahnya proses pengolahan. Di Provinsi Papua juga terdapat potensi pengolahan kopi. Permasalahan yang dihadapi hampir sama dengan pengolahan kakao, yaitu terbatasnya tenaga penyuluh lapangan, baik dalam aspek
~32~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 jumlah maupun mutu, untuk melakukan tugas-tugas pendampingan, rendahnya nilai tambah produksi biji kopi kering, terbatasnya sarana produksi, rendahnya proses pengolahan dan pengeringan biji kopi dan belum tertatanya kelembagaan di tingkat petani plasma. Selama periode 2011-2015, perubahan orang bekerja di sektor pertanian, jasa-jasa, dan industri pengolahan menunjukkan peningkatan tertinggi, sementara orang bekerja di sektor pertambangan, listrik, gas, dan air, serta keuangan cenderung menurun (Tabel 10). Di sisi lain kekuatan perekonomian di Papua bergantung pada pertambangan sampai berakhirnya kontrak karya perusahaan pertambangan dengan pemerintah Indonesia. Ke depan, sektor industri pengolahan non migas masih perlu berkembang lagi sehingga mampu menyerap angkatan kerja baru dan menyerap tenaga kerja yang menumpuk di sektor pertanian dan jasa-jasa dengan yang kurang produktif. Tabel 10 Perubahan Jumlah Orang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan 2011-2015 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Pekerjaan Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Bangunan Perdagangan, Hotel, Restoran Angkutan & Telekomunikasi Keuangan Jasa-Jasa Total
2011 1.036.520 33.174 19.995 2.910 36.359 116.847 52.225 16.493 147.906 1.462.429
2015 (Feb) Perubahan 1.131.795 95.275 23.456 -9.718 31.161 11.166 768 -2.142 46.488 10.129 126.471 9.624 53.301 1.076 15.528 -965 217.089 69.183 1.646.057
183.628
Sumber: BPS, 2014
2.
Kurangnya Sumber Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan Dari sisi pengeluaran (penggunaan) pendorong utama pertumbuhan ekonomi selama 2007-2014 adalah pada ekspor. Peningkatan penjualan komoditas pertambangan dari PT Freeport Indonesia menjadi pendorong utama peningkatan ekspor di Provinsi Papua. Jika terjadi penurunan produksi, hal ini tentunya akan berdampak langsung terhadap kinerja ekspor impor dan mempengaruhi perekonomian daerah. Perekonomian daerah memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekspor produk pertambangan (Tabel 11). Besarnya kontribusi net ekspor antar daerah padaPDRB ADHB Papua Barat mendominasi struktur perekonomian Papua, sedangkan investasi (PMTB) yang sangat penting bagi pertumbuhan daerah kontribusinya berada jauh di bawah tersebut. Investasi berperan meningkatkan stok kapital di daerah yang digunakan untuk berproduksi. Tingkat investasi yang rendah akan diikuti oleh terbatasnya kemampuan daerah untuk memacu peningkatan produksi.
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~33~
2015 Provinsi Papua Tabel 11 PDRB Menurut Penggunaan 2014 No.
Lapangan Usaha
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Lembaga Nirlaba Konsumsi Pemerintah PMTB Perubahan Stok Ekspor Impor Net Ekspor Antar Daerah Total
Distribusi Persentase (%) PDRB ADHB PDRB ADHK 2010 0,60 42,01 0,02 27,51 0,28 1,66 0,38 20,04 0,00 -0,15 0,18 14,22 0,13 9,31 98,66 4,02 100,00 100,00
Sumber : BPS, 2014
Sejalan dengan kebijakan percepatan pembangunan di Papua, kegiatan investasi perlu ditingkatkan dengan mengembangkan potensi wilayah, meliputi sumber daya alam dengan kandungan minyak dan gas, kandungan mineral logam, sumber daya hutan dan perairan, pengembangan pertanian dan agribisnis, serta potensi pariwisata yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat. Mengingat pentingnya investasi bagi pertumbuhan ekonomi daerah, hal yang perlu diperhatikan adalah kelembagaan yang ramah dunia usaha. Pencapaian nilai tambah pada komponen investasi diantaranya dipengaruhi oleh pembenahan sarana infrastruktur, pengurusan perizinan usaha, kepastian hukum dan kondisi keamanan suatu daerah.
3.
Rendahnya Kualitas dan Kuantitas Infrastruktur Wilayah
Pembangunan infrastruktur yang baik akan menjamin efisiensi, memperlancar pergerakan barang dan jasa, dan meningkatkan nilai tambah perekonomian. Ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu faktor pendorong produktivitas daerah. Keberadaan infratsruktur seperti jalan raya dan jembatan akan mampu membuka akses bagi masyarakat dalam melaksanakan aktivitas ekonomi. Provinsi Papua memiliki wilayah sangat luas dengan kepadatan penduduk rendah dan dilayani oleh jaringan jalan sepanjang 16.773 km. Pembangunan ekonomi membutuhkan dukungan sarana transportasi dan ketersediaan jaringan listrik yang memadai. Kerapatan jalan yang menunjukkan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah di Provinsi Papua menempati urutan terendah dibandingkan provinsi lain di Indonesia (Tabel 12).
~34~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 Tabel 12 Kerapatan Jalan dan PDRB Per Kapita Provinsi Tahun 2014 No.
Provinsi
1 DKI Jakarta 2 D.I Yogyakarta 3 Bali 4 Jawa Tengah 5 Jawa Timur 6 Banten 7 Sulawesi Selatan 8 Jawa Barat 9 Kepulauan Riau 10 Lampung 11 Sumatera Barat 12 Sumatera Utara 13 Sulawesi Utara 14 Nusa Tenggara Barat 15 Bengkulu 16 Gorontalo 17 Nusa Tenggara Timur 18 Sulawesi Barat 19 Aceh 20 Sulawesi Tenggara 21 Sulawesi Tengah 22 Kalimantan Selatan 23 Kep Bangka Belitung 24 Riau 25 Jambi 26 Maluku Utara 27 Sumatera Selatan 28 Maluku 29 Kalimantan Timur 30 Kalimantan Barat 31 Kalimantan Tengah 32 Papua Barat 33 Papua Sumber: BPS (2014)
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
PDRB Per Kapita ( Ribu Rp) 136.407,58 21.873,72 29.666,48 22.858,32 32.703,80 29.961,85 27.760,65 24.961,05 76.753,11 23.648,76 25.963,24 30.482,59 27.804,68 15.351,54 19.631,40 18.627,37 10.742,42 19.211,14 23.199,49 27.898,88 25.316,32 27.230,80 32.868,70 72.331,01 36.088,33 16.872,31 30.627,55 14.230,08 123.985,45 22.707,79 30.220,97 59.156,84 38.891,99
Kerapatan Jalan 1068,36 136,19 133,20 90,56 89,03 70,84 69,98 69,55 60,40 56,85 54,57 50,41 49,14 43,52 43,06 42,76 42,10 41,93 39,86 31,32 30,38 30,16 29,62 28,27 26,65 19,39 18,71 16,61 12,13 10,42 9,93 8,40 5,26
~35~
2015 Provinsi Papua Gambar 23 Hubungan antara Kerapatan Jalan dan PDRB Per Kapita Tahun 2014 3.50
Log Kerapatan Jalan
3.00 2.50 y = 0.2139x - 0.008 R² = 0.0149
2.00 1.50 1.00 Papua
0.50 0.00 6.80
7.00
7.20
7.40 7.60 7.80 Log PDRB per kapita
8.00
8.20
Sumber: BPS (2014) - diolah
Berdasarkan asumsi terdapat korelasi antara tingkat kerapatan jalan dan tingkat pendapatan perkapita dalam suatu perekonomian, dengan menggunakan data 33 provinsi terlihat hubungan positif antara PDRB per kapita dan tingkat kerapatan jalan (Gambar 23). Semakin tinggi pendapatan per kapita wilayah kerapatan jalannya cenderung tinggi pula. Provinsi-provinsi yang posisinya di bawah kurva linier tersebut berarti mengalami defisiensi infrastruktur jalan. Dengan menggunakan ukuran ini terlihat bahwa posisi Papua relatif tidak lebih baik dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Dengan pendapatan perkapita tinggi, posisi Papua masih mengalami defisiensi infrastruktur jalan. Secara kualitas, kondisi jalan di Provinsi Papua belum cukup baik dan berada jauh dibawah rata-rata nasional. Berdasarkan jenis permukaannya, persentase jalan belum beraspal di Provinsi Papua masih besar, yaitu sebesar 49,97 persen. Data kualitatif menunjukkan adanya tingkat kerusakan jalan di Papua lebih tinggi dari pada wilayah lain di Indonesia yang kemungkinan disebabkan oleh desain teknik yang tidak cocok untuk medan dan kondisi tanah yang sulit, hasil perkiraan biaya dan anggaran yang tidak memadai, mutu konstruksi dan pengawasan konstruksi yang buruk yang kemudian diperparah oleh pemeliharaan yang tidak memadai. Kondisi jalan yang buruk akan meningkatkan waktu tempuh perjalanan dan membengkakkan biaya distribusi barang antar daerah, yang pada gilirannya menghambat perekonomian daerah. Dengan adanya perbedaan kapasitas fiskal antardaerah, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya peningkatan integrasi jaringan jalan antarwilayah. Infrastruktur lain yang mendorong produktivitas daerah adalah jaringan listrik. Konsumsi listrik di Papua termasuk rendah dan kurang dari rata-rata tingkat konsumsi listrik nasional sebesar 787,6 kWh (Gambar 24). Untuk mengukur defisiensi terhadap infrastruktur kelistrikan digunakan cara yang sama, yaitu dengan melihat korelasi antara pendapatan perkapita dan konsumsi listrik perkapita terlihat hubungan yang positif antara PDB per kapita
~36~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 dengan tingkat konsumsi listrik (Gambar 25). Wilayah yang memiliki posisi di bawah kurva linier mengalami defisiensi infrastruktur listrik. Gambar 24 Konsumsi Listrik per Kapita (KWh) Tahun 2014 3,000 2,500 2,000
1,500 1,000 0
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Tangerang Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Banten BALI Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur… Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
500
Konsumsi Listrik
Rata-Rata Nasional
Sumber: Statistik PLN, 2014
Gambar 25 Hubungan Konsumsi Listrik dan Pendapatan Tahun 2014 4.00 3.50
y = 0.648x - 2.1557 R² = 0.3755
3.00 2.50 2.00
Papua
1.50 1.00 0.50 0.00 6.80
7.00
7.20
7.40
7.60
7.80
8.00
8.20
Sumber: BPS (2014), Statistik PLN (2014) - diolah
Semakin tinggi pendapatan perkapita suatu perekonomian, konsumsi listriknya cenderung semakin tinggi pula. Posisi Papua berada di bawah kurva linier, menunjukkan konsumsi listrik Papua jauh lebih rendah dari di provinsi lain yang memiliki pendapatan perkapita sama. Dengan demikian, ketersediaan jaringan listrik merupakan salah satu masalah di Papua
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~37~
2015 Provinsi Papua
4.
Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia Semakin tinggi kualitas sumber daya manusia di suatu daerah, semakin produktif angkatan kerja, dan semakin tinggi peluang melahirkan inovasi yang menjadi kunci pertumbuhan secara berkelanjutan. Kualitas sumber daya manusia di Papua yang ditunjukkan melalui nilai IPM relatif meningkat tahun 2014 dibandingkan tahun 2010 namun masih jauh di bawah IPM nasional sebesar 68,9 (Gambar 26). Nilai IPM ini sudah menerapkan metode baru yang lebih merepresentasikan kondisi saat ini. Nilai IPM di Papua ini juga selalu lebih rendah daripada Papua Barat. Rendahnya nilai IPM di Papua sejalan dengan rendahnya tingkat kemiskinan di provinsi ini. Kondisi ini tentunya bertolak belakang dengan tingginya nilai pendapatan perkapita Provinsi Papua, yang menunjukkan bahwa pembangunan di wilayah Provinsi Papua masih berjalan eksklusif dan tidak merata.
2010
2014
Nilai IPM menggunakan metode baru Sumber: BPS, 2014
Tabel 13 Angkatan Kerja Menurut Pendidikan yang Ditamatkan No.
Pendidikan yang Ditamatkan
2012
1 2 3 5 6
≤ SD SMP SMA (Umum dan Kejuruan) Diploma I/II/III/Akademi Universitas
1.015.562 190.561 284.790 36.531 64.249
Total
2015
Perubahan
937.168 250.025 353.657 36.556 132.262
-78.394 59.464 68.867 25 68.013
1.591.693 1.709.668
117.975
Sumber: BPS, 2015
~38~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Papua
Papua Barat
Maluku
Nasional
Maluku Utara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Utara
Kalimantan Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Nusa Tenggara Timur
BALI
Nusa Tenggara Barat
Banten
Jawa Timur
D.I Yogyakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Lampung
Kep Bangka Belitung
Bengkulu
Sumatera Selatan
Riau
Jambi
Sumatera Barat
Aceh
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Sumatera Utara
Gambar 26 Nilai IPM Provinsi di Indonesia Tahun 2010 dan 2014
Provinsi Papua 2015
Apabila dilihat dari struktur angkatan kerja berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, proporsi angkatan kerja di Papua dengan ijasah minimal SMA meningkat dari 24,22 persen pada tahun 2012 menjadi 30,56 persen pada tahun 2015 (Tabel 13). Angkatan kerja dengan pendidikan SD dan SMP masih mendominasi angkatan kerja di Papua dan masih menunjukkan peningkatan yang besar. Perbaikan kualitas angkatan kerja merupakan modal berharga untuk mendukung industrialiasi berbasis sumber daya alam setempat. 5.
Terbatasnya Mobilitas Tabungan Masyarakat Salah satu sumber pendanaan investasi dan usaha ekonomi masyarakat adalah tabungan masyarakat. Melalui fungsi intermediasi perbankan, tabungan masyarakat akan berkembang apabila dikonversi menjadi investasi di sektor-sektor produktif. Imbal hasil dari investasi ini sebagian akan dikonsumsi dan sebagian akan ditabung oleh masyarakat. Demikian seterusnya sehingga terjadi perputaran dan pertumbuhan ekonomi. Rasio pinjaman terhadap simpanan di Papua nilainya lebih kecil dari satu, menunjukkan rendahnya posisi pinjaman dibandingkan simpanan. Hal ini juga berarti kegiatan investasi di Papua ditentukan oleh simpanan masyarakat. Rasio tersebut masih berada di bawah rata-rata nasional sebesar 0,64 (Tabel 14). Tabel 14 Rasio Simpanan dan Pinjaman di Bank Umum dan BPR Tahun 2014
Wilayah
Posisi Pinjaman di Bank Umum dan BPR (Milyar Rp)
Posisi Simpanan di bank Umum dan BPR (Milyar Rp)
Papua Nasional
21.006,42 3.707.916,34
32.650,77 4.013.816,57
Rasio Pinjaman terhadap Simpanan 0,64 0,92
Rasio PMTB terhadap Simpanan 1,27 0,85
Sumber: Bank Indonesia, 2014
Rendahnya posisi pinjaman di Provinsi Papua karena penyaluran kredit perbankan yang terkendala beberapa permasalahan, seperti kondisi geografis, ketidakjelasan status gak ulayat dan permintaan kredit dari debitur yang bersifat rendah. Tingkat bunga kredit bank umum maupun BPR juga saat ini masih dianggap terlalu tinggi untuk penyaluran kredit. Penyaluran kredit sebagian besar diberikan pada usaha mikro, kecil, dan menengah, yang sejalan dengan sasaran pembangunan ekonomi Provinsi Papua untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada golongan ini. Rasio PMTB terhadap simpanan di Papua nilainya lebih dari satu, menunjukkan investasi fisik di daerah mulai banyak dikembangkan. Percepatan pembangunan di Papua didukung oleh banyaknya infrastruktur fisik dibangun pemerintah maupun sektor swasta. PMTB biasa disebut investasi fisik karena dihitung dari penanaman modal yang benar-benar menghasilkan nilai tambah dan bukan dihitung dari realisasi penanaman modal yang tercatat pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 6.
Rendahnya Kualitas Belanja Daerah Investasi pemerintah yang umumnya merupakan pembangunan dan pemeliharaan prasarana publik yang bersifat non excludable dan atau non rivalry memiliki peran yang tidak tergantikan dibandingkan dengan peran swasta. Peran pemerintah semakin penting di daerah-
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~39~
2015 Provinsi Papua daerah relatif tertinggal, di mana tingkat investasi swasta masih rendah. Pada daerah-daerah ini investasi pemerintah diharapkan dapat meningkatkan daya tarik daerah melalui pembangunan infrastruktur wilayah seperti jalan, listrik, irigasi, dan prasarana transportasi lainnya, serta peningkatan sumberdaya manusia (SDM). Tanpa itu, sulit diharapkan dunia usaha daerah dapat berkembang. Komitmen pemerintah daerah dalam memprioritaskan investasi publik dapat ditunjukkan melalui rasio belanja modal pemerintah daerah terhadap total belanja pemerintah kabupaten/kota dan provinsi di Papua. Rasio belanja modal di Papua pada tahun 2014 sebesar 20,310 persen, dan rasio belanja pegawai sebesar 9,35 persen (Gambar 27). Kondisi ini belum cukup memacu upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam mengurangi tingkat kemiskinan dan peningkatan kualitas SDM. Pemerintah perlu melakukan upaya pengembangan program penanggulangan kemiskinan dan peningkatan SDM secara tepat dan berkelanjutan, dengan alokasi alokasi anggaran yang memadai. Gambar 27 Komposisi Belanja Pemerintah Daerah 2014
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Belanja Barang dan Jasa
Belanja Modal
Belanja Pegawai
Belanja Lain-lain
Sumber: BPS, 2013
Beberapa hal yang menyebabkan tidak tercapainya indikator kinerja tercapainya realisasi keuangan di Papua adalah karena belum terlaksananya sistem pengendalian internal pemerintah di lingkungan SKPD, adanya pemekaran wilayah yang belum masuk dalam rencana pembiayaan, dan beberapa faktor alam yang menghambat pelaksanaan program kegiatan. Proporsi dana otonomi khusus wilayah Papua dialokasikan untuk berbagai belanja pembangunan yang telah diprogramkan oleh pemerintah daerah, mencakup pembangunan infrastruktur, pembangunan sektoral, belanja modal dan belanja rutin dalam memacu pembangunan di wilayah Papua dan berdampak nyata terhadap kebutuhan pembangunan di wilayah Papua.
~40~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
Provinsi Papua 2015 4.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Penanganan isu-isu di atas diperkirakan dapat meningkatkan kinerja perekonomian daerah secara keseluruhan. Salah satu agenda prioritas pembangunan adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik. Oleh karena itu disarankan beberapa kebijakan operasional sebagai berikut: a. Peningkatan pengembangan ekonomi lokal berbasis masyarakat b. Pemberdayaan usaha kecil, menengah, dan koperasi khususnya dalam hal akses permodalan dan penguasaan teknologi tepat guna; c. Pemberdayaan petani dan nelayan khususnya dalam hal perbaikan akses input produksi (pupuk, benih, pestisida) termasuk peningkatan jaringan irigasi; d. Peningkatan pelayanan sosial, khususnya pendidikan dan kesehatan; e. Peningkatan kemudahan perijinan usaha khususnya pada sektor pertanian dan industri pengolahan; f. Peningkatan porsi belanja modal APBD yang diprioritaskan pada sektor infrastruktur dan pengembangan pertanian yang menjadi kewenangan daerah, dan pembangunan SDM. g. Pembangunan jaringan jalan dan perbaikan kualitas jalan; h. Peningkatan kapasitas/suplai listrik wilayah; i. Meningkatkan koordinasi antara pemerintah daerah dan otoritas moneter di tingkat wilayah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif: pengendalian inflasi daerah dan peningkatan fungsi intermediasi perbankan di daerah; j. Peningkatan harmonisasi antar pekerja dan perusahaan. 5.
PROSPEK PEMBANGUNAN TAHUN 2016 Perkembangan perekonomian di Papua secara makro relatif baik meskipun belum diikuti perkembangan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Tingkat kesenjangan konsumsi masyarakat di Provinsi Papua (indeks gini) selama periode 2008-2013 mengalami sedikit peningkatan dari angka 0,40 menjadi 0,44, lebih tinggi dari angka nasional yang sebesar 0,35 pada tahun 2008 menjadi 0,4 pada tahun 2013. Kesenjangan output antarkabupaten/kota di Papua tergolong tinggi secara nasional sehingga kurang mendukung dalam menjaga stabilitas perekonomian wilayah. Percepatan pengembangan ekonomi Papua diperkirakan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah secara keseluruhan. Perbaikan kinerja ekonomi yang cukup signifikan terjadi di wilayah KTI dengan faktor pendorong utama datang dari komponen ekspor luar negeri. Manfaat dari proyek-proyek infrastruktur utama di kota-kota pusat pertumbuhan diperkirakan tak hanya memberi manfaat kota bersangkutan tetapi juga wilayah sekitarnya. Namun demikian hal ini sangat bergantung pada aksesibilitas di dalam wilayah Provinsi Papua (Timika, Jayapura, dan Merauke), serta konektivitasnya dengan Provinsi Papua Barat (Kota Sorong dan Manokwari). Berdasarkan modal pembangunan yang dimiliki dan semakin meningkatnya kinerja pembangunan, prospek pembangunan Provinsi Papua Tahun 2015 dalam mendukung pencapaian target RPJMN 2015-2019 adalah sebagai berikut: 1. Sasaran pertumbuhan ekonomi Papua dalam RPJMN 2015-2019 sebesar 14,1 – 17,7 persen dimungkinkan dapat tercapai dengan meningkatkan optimalisasi potensi sumberdaya yang dimiliki daerah, sejalan dengan peningkatan pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2016 prospek pertumbuhan Kawasan Timur Indonesia akan
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015
~41~
2015 Provinsi Papua terus membaik namun risiko ke bawah masih ada. Prospek pertumbuhan ekonomi yang membaik di wilayah ini terutama karena dukungan kinerja ekonomi Wilayah Papua melalui perbaikan kinerja ekspor tambang tembaga di Papua setelah sebelumnya dilarang karena belum memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU Minerba, serta beroperasinya smelter nikel yang baru. Kinerja sektor pertanian akan meningkat seiring musim panen raya. Kebijakan kemaritiman juga dapat digunakan sebagai upaya menjaga kinerja sektor kelautan dan perikanan. 2. Upaya menurunkan tingkat kemiskinan di Papua harus dilakukan dengan optimal agar sesuai dengan Buku III RPJMN 2015-2019. Sasaran pengurangan tingkat kemiskinan dalam Buku III RPJMN 2015-2019 adalah 30,9 – 21,5 persen, sedangkan pada tahun 2014 tingkat kemiskinan di Provinsi Papua sebesar 30,05 persen, untuk itu diperlukan upaya konsisten untuk menurunkan tingkat kemiskinan di provinsi ini. Selama kurun waktu 2015-2019 Provinsi Papua harus menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 8,55 poin persentase atau 1,71 poin persentase per tahun. 3. Prospek pencapaian sasaran-sarasan utama pembangunan Provinsi Papua akan sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungan baik internal daerah Papua maupun lingkungan eksternal. Dampak krisis di Eropa dan pelambatan arus perdagangan global merupakan ancaman eksternal yang bisa mengganggu kinerja perekonomian daerah, antara lain melalui transmisi perdagangan komoditas ekspor sektor kehutanan dan perikanan.
~42~
Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Papua 2015