STUDI DUKUNGAN SOSIAL DAN FOOD COPING STRATEGY SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN
KARTIKA HIDAYATI
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
STUDI DUKUNGAN SOSIAL DAN FOOD COPING STRATEGY SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : KARTIKA HIDAYATI A54104087
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
:
Judul
Studi Dukungan Sosial dan Food Coping Strategy serta Hubungannya dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein pada Keluarga Nelayan
Nama
:
Kartika Hidayati
NRP
:
A54104087
Disetujui
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
dr. Yekti Hartati Effendi NIP : 140 092 953
Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS NIP : 131 628 329
Diketahui Dekan Fakultas Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul Studi Dukungan Sosial dan Food Coping Strategy serta Hubungannya dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein pada Keluarga Nelayan ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dukungan sosial dan food coping strategy serta hubungannya dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga nelayan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang dukungan sosial, food coping strategy, dan tingkat konsumsi zat gizi pada keluarga nelayan. Informasi tersebut diharapkan dapat membantu pihakpihak yang berkepentingan seperti pemerintah daerah dalam merencanakan kebijakan dan program pangan dan gizi wilayah khususnya untuk masalah ketahanan pangan nelayan. Penulis menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat menyelesaikan pendidikan S1. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, penulis berterimakasih kepada para pihak yang selama ini telah membantu penulis. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penelitian selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, April 2008
Kartika Hidayati
MAKALAH SEMINAR
STUDI DUKUNGAN SOSIAL DAN FOOD COPING STRATEGY SERTA HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN
Pemrasaran
: Kartika Hidayati
NRP
: A54104087
Pembimbing
: 1. dr. Yekti Hartati Effendi 2. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS
Pemandu
:
Pembahas
: 1. Yesa Sri Utami
A54104016
2. Ermita Arumsari
A54104076
3. Ari Adriyani
A54104077
4. Nova Sulviana
A54104085
Hari/Tanggal
: Kamis/15 Mei 2008
Waktu
: 09.00 – 10.00 WIB
Tempat
: Ruang Seminar (R300) Lantai III Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 28 November 1985. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Abdul Hakim Azis dan Ibu Nursekha Khulwiyati. Pendidikan SD ditempuh penulis dari tahun 1992 sampai 1998 di SD Negeri Tugu X Cimanggis. Tahun 1998 penulis melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 8 Depok hingga tahun 2001. Kemudian pendidikan penulis dilanjutkan ke SMU Negeri 1 Depok dari tahun 2001 hingga 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama kuliah, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Pecinta Ilmu Gizi Pertanian (Himagita) pada tahun 2005/2006 dan Badan Konsultasi Gizi (BKG) pada tahun 2007/2008. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan yang diselenggarakan oleh departemen.
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Dukungan Sosial dan Food Coping Strategy serta Hubungannya dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein pada Keluarga Nelayan . Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : 1. dr. Yekti Hartati Effendi dan Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS sebagai dosen pembimbing atas waktu, tenaga, dan pikirannya dalam penyusunan skripsi ini 2. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc sebagai dosen penguji atas saran dan kritiknya untuk kesempurnaan skripsi ini 3. Ir. Retnaningsih, MSi sebagai dosen pemandu seminar sekaligus sebagai dosen pembimbing akademik 4. Segenap dosen yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman kepada penulis 5. Nova, Ari, Ermita, dan Yesa sebagai pembahas dalam seminar hasil penelitian penulis 6. Ibu dan Bapak tercinta atas segala pengorbanan baik berupa kasih sayang dan perhatian maupun materi yang tidak terhingga 7. Ahmad Wahyudin, Ida Hildawati, Dewi Meitasari, dan semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini
Bogor, Juni 2008
Penulis
RINGKASAN KARTIKA HIDAYATI. Studi Dukungan Sosial dan Food Coping Strategy serta Hubungannya dengan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein pada Keluarga Nelayan. Di bawah bimbingan YEKTI HARTATI EFFENDI dan IKEU TANZIHA. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dukungan sosial dan food coping strategy serta hubungannya dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga nelayan. Adapun tujuan khususnya antara lain : (1) mengidentifikasi karakteristik keluarga nelayan; (2) menganalisis dukungan sosial pada keluarga nelayan; (3) menganalisis food coping strategy keluarga nelayan; (4) menganalisis tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan; (5) menganalisis hubungan karakteristik keluarga dan dukungan sosial dengan food coping strategy; dan (6) menganalisis hubungan food coping strategy dengan tingkat konsumsi energi dan protein. Desain penelitian ini adalah cross-sectional study. Penelitian dilakukan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Penentuan tempat ditentukan dengan pertimbangan bahwa daerah ini terletak di pinggir pantai sehingga banyak keluarga nelayan yang bertempat tinggal di daerah ini. Pengambilan data dilakukan dari bulan Juni hingga Juli 2007. Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga nelayan. Pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria keluarga dengan status garis kemiskinan keluarga berdasarkan BKKBN, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahtera 1 (KS 1). Adapun jumlah populasi yang memenuhi kriteria adalah sebanyak 187 KK. Jumlah contoh (n) dihitung menggunakan rumus Slovin sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 65 KK. Proporsi keluarga Pra-KS sebanyak 26 KK dan KS 1 sebanyak 39 KK. Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga, data dukungan sosial, food coping strategy, dan pola konsumsi pangan keluarga. Data sekunder yang dikumpulkan berupa keadaan umum wilayah penelitian dan jumlah keluarga nelayan berkategori Pra KS dan KS 1 di desa Grogol. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner kepada ibu rumah tangga. Data sekunder diperoleh dari kantor desa setempat. Program komputer yang digunakan adalah Microsoft Excel dan SPSS for Windows versi 11.5. Besar keluarga nelayan berkisar antara 2-12 orang. Hampir separuh keluarga nelayan miskin (46.15%) dan tidak miskin (48.72%) memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang. Usia KK nelayan berkisar antara 25-70 tahun, sedangkan usia istri nelayan berkisar antara 20-66 tahun. Lebih dari separuh usia KK nelayan miskin (57.69%) dan tidak miskin (69.23%) berusia antara 20-40 tahun. Lebih dari separuh istri nelayan miskin (53.85%) dan sebagian besar istri nelayan tidak miskin (79.49%) berada pada kisaran usia antara 20-40 tahun. Hasil uji korelasi Spearman menyatakan bahwa usia istri memiliki hubungan yang signifikan dengan status kemiskinan (p<0.05) Lama sekolah KK nelayan adalah 0-15 tahun, sedangkan lama sekolah istri nelayan berkisar antara 0-12 tahun. Hampir seluruh KK nelayan miskin dan nelayan tidak miskin (92.31% dan 97.44%) pendidikan rendah. Sebagian besar pendidikan istri nelayan miskin dan tidak miskin (92.31% dan 89.74%) juga berpendidikan rendah. Hasil analisis korelasi Spearman menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan KK dan pendidikan istri dengan status kemiskinan (p>0.05). Jenis aset terbanyak yang dimiliki oleh nelayan miskin adalah televisi, sedangkan jenis aset terbanyak yang dimiliki oleh nelayan tidak miskin adalah rumah. Rata-rata
ppengeluaran pangan perkapita pada keluarga nelayan miskin perbulan adalah Rp 72960 ± 24805, sedangkan pengeluaran untuk nonpangan memiliki rata-rata Rp 43323 ± 21678. Kisaran rata-rata pengeluaran pangan keluarga nelayan tidak miskin adalah Rp 120943 ± 40558, sedangkan rata-rata pengeluaran nonpangan adalah Rp 131855 ± 64572. Bentuk dukungan sosial yang dimiliki oleh 88.89% keluarga nelayan miskin adalah rasa cinta dan peduli dari sanak famili dan kesediaan masyarakat untuk memberikan pertolongan pada saat terjadi kesulitan. Pada keluarga tidak miskin, sebanyak 92.11% contoh merasa bahwa kehidupan bermasyarakat memberi perasaan aman dan hubungan seakrab mungkin terjalin dengan sanak famili. Bentuk dukungan sosial yang paling sedikit diterima adalah kunjungan dari petugas kesehatan yaitu hanya sebesar 11.11% pada keluarga nelayan miskin dan 13.16% pada keluarga nelayan tidak miskin. Tingkat dukungan sosial 57.69% keluarga nelayan miskin dan 53.85% nelayan tidak miskin berada pada kategori tinggi. Sebagian besar keluarga nelayan miskin (88.46%) dan keluarga tidak miskin (89.74%) pernah mengalami kekurangan pangan. Perilaku food coping strategy yang dilakukan oleh sebagian besar keluarga nelayan miskin (82.61%) dan tidak miskin (88.57%) adalah menerima kupon raskin. Pelaksana food coping strategy pada keluarga nelayan miskin lebih didominasi oleh istri. Istri banyak memegang peranan dalam membeli bahan pangan yang lebih murah (39.13%), mengurangi jenis pangan yang dikonsumsi (47.83%), serta mengubah prioritas pembelian pangan (34.78%). Sebagian besar keluarga miskin dan keluarga nelayan tidak miskin berada pada tingkat food coping strategy rendah. Hampir sebagian besar (73.08%) keluarga nelayan miskin memiliki TKE tidak cukup (<70%) namun 69.23% keluarga nelayan tidak miskin mempunyai TKE berada pada kategori cukup ( 70%). Lebih dari separuh keluarga nelayan miskin (69.23%) memiliki TKP tidak cukup (<70%), namun 69.23% keluarga nelayan tidak miskin memiliki TKP yang berada pada kategori cukup ( 70%). Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, karakteristik keluarga yang mempunyai hubungan signifikan terhadap tingkat food coping strategy adalah besar keluarga (p=0.007) dan tingkat pengeluaran (p=0.005). Semakin tinggi pengeluaran suatu keluarga maka tingkat food coping strategy yang dilakukan semakin rendah. Menurut korelasi n Spearman hubungan antara tingkat dukungan sosial dan tingkat food coping strategy tidak signifikan dengan nilai p=0.434 dan r=0.105. Hasil ini menandakan bahwa semakin banyak dukungan sosial yang diterima oleh sebuah keluarga belum tentu usaha penanggulangan terhadap kekurangan pangan juga ikut meningkat. Hasil korelasi Spearman menjelaskan bahwa hubungan antara tingkat food coping strategy dan TKE tidak signifikan dengan p=0.188. Hasil uji korelasi Spearman juga menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat food coping strategy dengan TKP dengan p=0.778.
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
Halaman vii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Kegunaan Penelitian
1 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Nelayan Dukungan Sosial Food Coping Strategy Konsumsi Pangan Metode Frekuensi Pangan Food Frequency Questionnaire (FFQ) Tingkat Kesejahteraan
4 4 7 9 12 13 14 14
KERANGKA PEMIKIRAN
18
METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional
21 21 21 23 25 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Penelitian Tingkat Kesejahteraan Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Usia Suami dan Istri Pendidikan Suami dan Istri Kepemilikan aset rumah tangga Pengeluaran Perkapita Dukungan Sosial Bentuk Dukungan Sosial Tingkat Dukungan Sosial Food Coping Strategy Identifikasi Kekurangan Pangan dan Persediaan Pangan Pelaksanaan Food Coping Strategy Pelaksana Food Coping Strategy Tingkat Food Coping Strategy Tingkat Konsumsi Zat Gizi Tingkat Konsumsi Energi Tingkat Konsumsi Protein Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Food Coping Strategy Hubungan Dukungan Sosial dengan Food Coping Strategy
33 33 34 35 36 36 38 39 41 43 43 45 45 45 49 53 53 54 54 55 56 58
vi
Hubungan Food Coping Strategy dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP)
59
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
61 61 62
DAFTAR PUSTAKA
63
LAMPIRAN
66
vii
DAFTAR TABEL 1 Hirarki coping strategy
Halaman 11
2 Jumlah keluarga nelayan berdasarkan tingkat kesejahteraan BKKBN
21
3 Jenis data, cara pengumpulan data, dan bahan serta alat pengumpulan data
24
4 Jenis dan kategori pengukuran data garis kemiskinan dan karakteristik keluarga 5 Jenis dan kategori pengukuran data dukungan sosial
26 27
6 Skala, kelompok, dan perilaku food coping strategy
28
7 Angka Konsumsi Energi (AKE) dan Protein (AKP) menurut umur dan jenis kelamin
30
8 Jenis dan pengukuran data tingkat Konsumsi energi dan protein
31
9 Sebaran keluarga nelayan Pra KS dan KS I berdasarkan kategori garis kemiskinan BPS Kabupaten Cirebon (2006)
34
10 Sebaran keluarga nelayan Pra KS dan KS I berdasarkan kategori garis kemiskinan internasional (Bank Dunia 2004)
35
11 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan besar keluarga
36
12 Sebaran suami dan istri nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan usia
37
13 Sebaran suami dan istri nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan lama sekolah
38
14 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan kepemilikan aset
40
15 Sebaran pengeluaran pangan dan nonpangan (Rp) perkapita perbulan pada keluarga nelayan miskin dan tidak miskin
41
16 Persentase setiap jenis pengeluaran pangan dan nonpangan terhadap total pengeluaran perkapita perbulan
42
17 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan bentuk dukungan sosial
44
18 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan tingkat dukungan sosial
45
19 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan kejadian kekurangan pangan
46
20 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan frekuensi kejadian kekurangan pangan
46
21 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan penyebab terjadinya kekurangan pangan
47
22 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan persediaan pangan
47
viii
23 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan lama persediaan pangan 24 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan kecukupan persediaan pangan
48 48
25 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan bentuk persediaan pangan
48
26 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan perilaku food coping strategy
50
27 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan tingkat food coping strategy
54
28 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan TKE
55
29 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan TKP
55
30 Sebaran karakteristik keluarga berdasarkan tingkat food coping strategy keluarga nelayan
57
31 Sebaran keluarga nelayan berdasarkan tingkat dukungan sosial dengan tingkat food coping strategy
58
32 Sebaran keluarga nelayan berdasarkan tingkat food coping strategy dengan TKE dan TKP
59
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kaitan antara dukungan sosial, food coping strategy, dan tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga nelayan
20
2
23
Kerangka pengambilan contoh
x
DAFTAR LAMPIRAN
1 Jenis dan kategori pengukuran data food coping strategy
Halaman 66
2 Sebaran keluarga nelayan miskin berdasarkan pelaksana food coping strategy
67
3 Sebaran keluarga nelayan tidak miskin berdasarkan pelaksana food coping strategy
68
4 Statistik deskriptif Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP) pada keluarga nelayan miskin dan tidak miskin
69
5 Hasil uji korelasi Spearman antara karakteristik keluarga nelayan dengan status kemiskinan menurut BPS
70
6 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat dukungan sosial keluarga nelayan dengan status kemiskinan menurut BPS
71
7 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat food coping strategy keluarga nelayan dengan status kemiskinan menurut BPS
71
8 Hasil uji korelasi Spearman antara tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan dengan status kemiskinan menurut BPS
71
9 Hasil uji korelasi Spearman antara karakteristik keluarga nelayan dengan tingkat food coping strategy
72
10 Hasil uji korelasi Spearman antara dukungan sosial dengan food coping strategy keluarga nelayan
73
11 Hasil uji korelasi Spearman antara food coping strategy dengan TKE dan TKP keluarga nelayan
73
1
PENDAHULUAN Latar belakang Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap rumah tangga mempunyai akses terhadap pangan yang cukup baik dari segi kuantitas, kualitas, serta aman dan terjangkau. Sementara itu masih dari Undang-undang yang sama, pangan didefinisikan sebagai makanan dan minuman hasil tanaman (hortikultura, perkebunan), peternakan, perikanan, dan produk turunannya. Pangan juga bisa didefinisikan sebagai bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja dan penggantian jaringan tubuh yang rusak (Harper, Deaton dan Driskel 1986). Manusia membutuhkan berbagai zat gizi dalam jumlah yang dianjurkan untuk pertumbuhan dan kesehatan yang normal. Zat-zat gizi yang dibutuhkan tersebut diperoleh dari bahan pangan yang dikonsumsi. Makanan sehari-hari yang dikonsumsi sesuai dengan menu sehat dan seimbang merupakan modal dasar untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Hak untuk memperoleh makanan yang cukup bagi setiap orang adalah salah satu bagian penting dari hak asasi manusia (Soekirman 2000). Berbagai upaya dilakukan seseorang atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Pemenuhan kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan yang dikonsumsi oleh setiap anggota rumah tangga untuk mencapai gizi yang baik dan hidup sehat. Rumah tangga dapat dikatakan tahan pangan bila kebutuhan pangannya dapat terpenuhi dan memenuhi syarat-syarat ketahanan pangan (Atmarita dan Fallah 2004). Kondisi ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari adanya perubahan konsumsi pangan yang cenderung pada penurunan kuantitas maupun kualitas, perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok, dan perubahan kehidupan sosial seperti semakin banyak anggota masyarakat yang menggadaikan barang untuk membeli pangan, bertambahnya anggota keluarga yang pergi ke luar daerah untuk mencari pekerjaan, dan sebagainya. Menurut Setiawan (2004) bentuk perubahan tersebut merupakan strategi yang dilakukan oleh sebuah keluarga untuk menanggulangi kekurangan pangan atau dikenal sebagai food coping strategy.
2
Dukungan sosial merupakan salah satu bagian dari modal sosial yang dapat meningkatkan atau justru menurunkan akses terhadap pangan rumah tangga. Menurut Sarafino (1996) manusia selalu dihadapkan pada berbagai hal yang menyangkut kepentingannya terutama dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Demi memenuhi hal tersebut maka setiap orang memerlukan bantuan dari orang lain (sebagai sumber dukungan sosial). Bentuk dukungan ini dapat berupa emosional, instrumental, penghargaan, maupun informasi. Dukungan sosial dibangun dari sumberdaya-sumberdaya sosial produktif yang dapat dimanfaatkan untuk satu atau lebih pelaku sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu modal sosial dapat mendukung usaha manusia dalam bertahan hidup (Dharmawan 2001, diacu dalam Alfiasari 2004). Masyarakat nelayan di beberapa wilayah sering mengalami kerawanan pangan secara berulang (kronis) pada saat musim paceklik dan kerawanan mendadak karena terkena bencana (Badan Bimas Ketahanan Pangan 2005). Berbagai kendala dialami oleh nelayan antara lain jumlah tangkapan sedikit, rendahnya kualitas hasil tangkapan, kurangnya modal, keterbatasan mobilitas nelayan, ketertinggalan teknologi, tekanan dari majikan, dan ketidakpastian iklim dan cuaca. Pada kondisi sulit, ada beberapa cara yang ditempuh oleh nelayan untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya seperti mengambil ikan secukupnya setiap kali melaut untuk keperluan lauk pauk, menjual barang-barang yang dimiliki, serta meminjam uang kepada juragan darat, tempat mereka bekerja (Masyhuri dan Najib 2000).
Perumusan Masalah Food coping strategy yang diambil oleh sebuah keluarga merupakan suatu upaya menganggulangi masalah kekurangan pangan yang dialami. Strategi yang dilakukan oleh keluarga nelayan miskin mungkin akan berbeda dengan nelayan tidak miskin. Dukungan sosial mungkin juga ada hubungannya dengan jenis coping yang dipilih. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam coping yaitu konteks sosial, budaya, dan situasional. Jenis coping yang diambil memiliki hubungan dengan tingkat konsumsi zat gizi setiap anggota keluarga. Oleh sebab itu permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini antara lain bagaimana karakteristik keluarga nelayan miskin dan tidak miskin? Bagaimana dukungan sosial, pelaksanaan food coping strategy, serta tingkat konsumsi energi dan protein (TKE dan TKP) pada keluarga nelayan? Bagaimana
3
hubungan karakteristik keluarga dan dukungan sosial dengan food coping strategy? Serta bagaimana hubungan antara food coping strategy dengan TKE dan TKP? Tujuan Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dukungan sosial dan food coping strategy serta hubungannya dengan tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga nelayan. Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga nelayan 2. Menganalisis dukungan sosial pada keluarga nelayan 3. Menganalisis food coping strategy keluarga nelayan 4. Menganalisis tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan 5. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga dengan food coping strategy 6. Menganalisis hubungan dukungan sosial dengan food coping strategy 7. Menganalisis hubungan food coping strategy dengan tingkat konsumsi energi dan protein Hipotesis 1. Karakteristik keluarga nelayan tidak berhubungan dengan food coping strategy 2. Dukungan sosial keluarga nelayan tidak berhubungan dengan food coping strategy 3. Food coping strategy tidak berhubungan dengan tingkat konsumsi energi dan protein Kegunaan penelitian Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
gambaran
tentang
dukungan sosial yang diterima, food coping strategy yang dilakukan, dan tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan. Informasi tersebut diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah daerah dalam merencanakan kebijakan dan program pangan dan gizi wilayah khususnya untuk masalah ketahanan pangan nelayan.
4
TINJAUAN PUSTAKA Nelayan Menurut Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan (2000) definisi nelayan adalah orang yang aktif dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam kapal tidak termasuk dalam kategori nelayan. Teknisi mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkap disebut sebagai nelayan walaupun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan. Klasifikasi nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan yaitu 1) Nelayan/petani ikan penuh ialah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan
ikan/binatang
air
lainnya/tanaman
air;
2) Nelayan/petani ikan sambilan utama ialah orang yang sebagian besar waktu kerjanya
digunakan
untuk
melakukan
pekerjaan
operasi
penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air, disamping melakukan pekerjaan penangkapan/pemeliharaan nelayan ini mempunyai pekerjaan lain; 3) Nelayan/petani ikan sambilan tambahan ialah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Masyarakat nelayan terbagi menjadi dua kelompok yaitu nelayan juragan dan nelayan buruh. Pembagian ini berdasarkan perbedaan kepemilikian alat tangkap, organisasi kerja penangkapan ikan, dan pendapatan dari sistem bagi hasil (Hermanto 1986, diacu dalam Baliwati, Pranadji, dan Retnaningsih 1992). Faktor pendapatan memegang peranan penting dalam permasalahan gizi, kebiasaan makan, dan ketersediaan pangan. Akan menjadi masalah bagi penduduk yang memiliki pendapatan rendah karena tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dalam jumlah yang dibutuhkan sehingga terjadi ketidakcukupan konsumsi pangan (Birowo 1983, diacu dalam Baliwati dkk. 1992). Berdasarkan struktur armada yang digunakan, sebagian besar nelayan Indonesia termasuk golongan pengusaha skala kecil. Perubahan struktur armada ini tampak berjalan sangat lamban sebagai akibat kemiskinan struktural. Secara ekonomi nelayan ini kekurangan modal serta kurang terampil dalam memilih dan menggunakan teknologi yang tepat. Hal ini berarti bahwa mereka
5
belum mampu menghadapi pembangunan ekonomi yang ditandai dengan banyaknya fasilitas yang telah tersedia namun pemanfaatannya sangat kurang. Secara sosial mereka kekurangan dukungan dari golongan masyarakat lain, kurang pendidikan atau pengetahuan, kurang komunikasi dan pada akhirnya tidak
mampu
menyesuaikan
diri
dengan
perubahan-perubahan
dalam
pembangunan. Kondisi ini bagi mereka dianggap sebagai takdir yang berakibat pada lahirnya kebudayaan miskin dan tidak berdaya dalam mencari jalan keluar yang lebih baik. Segala upaya pembangunan akan sulit menarik perhatian kaum ini (Murtadi 1993). Kehidupan
nelayan
berada
dalam
lingkungan
keterbatasan
dan
kemiskinan yang dibatasi oleh dua ciri lainnya, yaitu mobilitas dan ketidakpastian usaha karena ketergantungan terhadap musim. Keterbelakangan komunitas nelayan di desa-desa pantai tercermin pula pada tingkat pendidikan mereka. Tingkat pendidikan nelayan pada umumnya rendah dan tingkat putus sekolah untuk pendidikan dasar maupun menengah cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh sarana pendidikan yang ada di desa nelayan pada umumnya hanya sampai tingkat SD saja, sedangkan untuk tingkat lanjutan hanya ada di kota kecamatan yang letaknya jauh dari desa pantai. Transportasi buruk dan terbatas, ataupun kalau lancar anak-anak nelayan harus mengeluarkan biaya transport, membuat mereka tidak tertarik untuk pergi sekolah. Penghasilan orangtua yang tidak menentu, bersifat fluktuatif dan harian membuat sulit untuk merencanakan pengeluaran biaya pendidikan anak (Abustam 1991, diacu dalam Baliwati dkk. 1992). Mubyarto et al. (1990) mengatakan bahwa pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang sangat berat. Kebanyakan mereka yang menjadi nelayan tidak dapat membayangkan pekerjaan lain yang lebih mudah, sesuai kemampuan yang mereka miliki. Keterampilan sebagai nelayan bersifat amat sederhana dan hampir sepenuhnya dapat dipelajari dari orangtua mereka sejak masih kanak-kanak. Jika orangtua mampu, mereka pasti akan berusaha menyekolahkan anak setinggi mungkin sehingga tidak harus menjadi nelayan seperti orangtuanya. Karakteristik komunitas nelayan berbeda dari komunitas petani dari sudut sosiologis. Petani menghadapi situasi ekologi yang dapat dikontrol namun tidak demikian dengan nelayan. Ia harus bisa menguasai medan yang sulit demi mengendalikan produknya. Apalagi mengingat perikanan tangkap memiliki sifat
6
open access sehingga nelayan juga harus berpindah-pindah dan ada elemen risiko yang harus dihadapi lebih besar daripada yang dihadapi petani. Selain itu, nelayan juga harus berhadapan dengan kehidupan laut yang keras sehingga membuat mereka umumnya bersikap keras, tegas, dan terbukaBerbagai kendala sering menghadang sebagian besar nelayan di Indonesia yang masih merupakan nelayan tradisional. Kendala-kendala tersebut antara lain kurangnya modal, rendahnya kualitas hasil tangkapan, jumlah tangkapan sedikit, tekanan dari majikan, ketidakpastian iklim dan cuaca. Hal tersebut dapat mempengaruhi keragaan ekonomi dan kehidupan rumah tangga para nelayan (Pasandaran dkk. 1990, diacu dalam Baliwati dkk. 1992). Rumah tangga nelayan memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Deptan 1991, diacu dalam Baliwati dkk. 1992) : 1. Rumah dan barang yang dimiliki terbatas dan sangat sederhana 2. Tingkat kesehatan dan pendidikan rendah 3. Produktivitas kerja rendah 4. Keterampilan kurang memadai 5. Kurang dapat mengikuti pembaharuan dan kurang memperoleh kesempatan berperan serta dalam pembangunan. Rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan memiliki kemampuan daya beli yang dapat digunakan untuk menjamin ketahanan pangan rumah tangganya. Kemampuan daya beli pada masyarakat nelayan dilihat dari besarnya pendapatan yang diperoleh berdasarkan sistem bagi hasil antara nelayan pemilik dan nelayan buruh, kepemilikan alat tangkap dan jumlah nelayan yang terlibat dalam usaha penangkapan ikan (Saefudin 2002). Pola pendapatan di sektor penangkapan ikan tidak teratur. Saat musim barat, nelayan biasanya sulit melaut akibat cuaca buruk. Pendapatan yang cukup besar pada awal musim barat merupakan bekal selama musim barat. Pada keadaan sulit, ada beberapa cara yang ditempuh nelayan untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Cara pertama adalah berusaha menutup kebutuhan sehari-harinya dengan pendapatan “lawuhan” setiap kali melaut. “Lawuhan” merupakan hak nelayan ABK (Anak Buah Kapal) untuk mengambil ikan secukupnya setiap kali melaut untuk keperluan lauk pauk. Bnyak
sedikitnya
“lawuhan” tergantung banyak sedikitnya hasil tangkapan. Ikan “lawuhan” ini biasanya dijual lalu hasilnya digunakan untuk keperluan makan hari itu. Cara kedua dilakukan jika hasil penjualan “lawuhan” tidak mencukupi, yaitu dengan
7
menjual barang-barang yang dimiliki (perhiasan, alat elektronik, piring berharga) untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Cara ketiga ditempuh jika musim ikan belum kunjung dating, yakni dengan meminjam uang kepada juragan darat tempat mereka bekerja (Masyhuri dan Najib 2000). Dukungan Sosial Dukungan sosial merupakan salah satu bagian dari modal sosial. Definisi modal sosial menurut Stone dan Hughes (2002) diacu dalam Alfiasari 2004 yakni sebuah perekat di antara anggota masyarakat untuk menjaga kebersamaan komunitas/masyarakat. Hal ini dipahami sebagai jaringan-jaringan dalam hubungan sosial yang dicirikan oleh adanya norma kepercayaan dan hubungan timbal balik yang mengarahkan masyarakat untuk mencapai kepentingan bersama. MacArthur & D (1998) mendefinisikan dukungan sosial sebagai bermacam sokongan (bantuan) yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang diklasifikasikan menjadi 2 (terkadang 3) kategori. Kategori tersebut antara lain dukungan emosional, instrumental, dan informasional. Dukungan emosional merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang untuk membuat orang lain merasa dicintai dan dipedulikan sehingga mampu menyokong rasa harga diri orang lain, namun bentuk bantuan tidak nyata (non-tangible). Bentuk contoh dari dukungan emosional yaitu dalam memecahkan masalah, memberikan dorongan atau umpan balik yang positif. Sementara itu dukungan instrumental adalah berbagai macam bantuan nyata (tangible help) yang disediakan oleh seseorang, seperti bantuan dari penitipan anak, penjaga rumah, jasa transportasi, dan uang. Sedangkan dukungan informasional (kadang termasuk dalam kategori dukungan instrumental) merupakan bantuan yang diberikan dalam bentuk penyediaan informasi. Dukungan
sosial
diartikan
sebagai
kenyamanan,
perhatian,
penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai individu perorangan ataupun kelompok. Dukungan sosial keluarga mencakup adanya interaksi di antara masing-masing anggota dan saling membantu sehingga dapat tetap terjalin hubungan dan menghasilkan kepuasan batin seseorang (Sarafino 1996). Berdasarkan studi yang dilakukan di US, Inggris, dan Swedia ternyata dukungan sosial memiliki pengaruh positif terhadap status sosial ekonomi baik pada pria maupun wanita (MacArthur & D 1998)
8
Menurut Sarafino (1996) manusia sebagai individu selalu dihadapkan pada
berbagai hal
yang
menyangkut
kepentingannya
terutama
dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Demi memenuhi hal tersebut maka setiap orang memerlukan bantuan atau pertolongan dari orang lain (sumber dukungan sosial). Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain seperti keluarga (suami atau istri), sanak keluarga, tetangga atau masyarakat di sekitar individu berada. Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan meliputi dukungan emosi, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, serta dukungan informasi. Dukungan emosi melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan. Jenis dukungan ini meliputi perilaku seperti memberi perhatian, afeksi, dan bersedia mendengarkan keluhan orang lain. Dukungan emosi biasanya diberikan oleh orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan individu seperti keluarga, tetangga, ataupun teman akrab. Dukungan instrumental melibatkan bantuan langsung berupa materi misalnya bantuan finansial atau bantuan dalam menyelesaikan pekerjaan tertentu. Dukungan penghargaan meliputi pengakuan orang lain terhadap kemampuan atau kualitas individu. Bentuknya bisa berupa pujian, hadiah, pernyataan setuju, maupun penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan, penampilan orang lain, atau bersedia menerima segala kekurangan yang dimiliki orang lain. Dukungan informasi memberikan kesempatan bagi individu untuk mendapatkan pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan tersebut dapat berbentuk bimbingan, arahan, diskusi masalah, ataupun pengajaran suatu keterampilan. Dengan adanya informasi ini maka individu dapat menyelesaikan masalah serta menambah pengetahuan baru (Sarafino 1996). Tati (2004) menyatakan bahwa sumber dukungan sosial adalah segala sesuatu yang berjalan secara kontinyu dan dimulai dari unit keluarga, kemudian bergerak secara progresif dari individu-individu anggota keluarga, dimana mereka
merupakan
anggota
kelompok
yang
dianggap
penting
dalam
memberikan dukungan sosial. Secara operasional sumber-sumber dukungan sosial dibagi ke dalam dua golongan, yaitu: a. Sumber dukungan informal, antara lain: 1. Sumber dukungan individu seperti suami/istri, tetangga, saudara, dan teman. Dukungan yang dapat diperoleh antara lain berupa dukungan emosional, kasih sayang, nasehat, material, dan informasi.
9
2. Sumber dukungan kelompok yaitu dari kelompok-kelompok sosial seperti kelompok PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), BKB (Bina Keluarga Balita), Karang Taruna, dan sebagainya. b. Sumber dukungan formal, dapat diperoleh dari bidang: 1. Profesional seperti psikiatri, psikolog, pekerja sosial, atau spesialis lainnya. 2. Pusat-pusat pelayanan, antara lain rumah sakit, panti sosial, atau lembaga pelayanan lainnya.
Food Coping Strategy Menurut Usfar (2002) tindakan food coping merupakan aktifitas yang dilakukan oleh anggota rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan anggotanya. Beberapa tindakan coping yang sama atau memiliki persamaan nilai dikelompokkan dan menjadi coping strategy. Informasi mengenai situasi ketahanan pangan dapat diketahui dari coping strategy yang dilakukan oleh rumah tangga. Food coping strategy adalah suatu respon jangka pendek dan segera terhadap menurunnya akses terhadap pangan (Davies 1993, diacu dalam Usfar 2002). Coping strategy pada masing-masing individu sebaiknya dilihat dan diukur dengan konteks sosial, budaya, dan situasional. Tipe penyebab stres, personal, dan sumberdaya sosial ikut mempengaruhi cara seseorang dalam menyesuaikan diri dengan latar belakang sosial, budaya, sejarah, dan ekonomi yang juga akan mempengaruhi proses coping seseorang. Berdasarkan perspektif psikologi tidak hanya budaya, nilai, dan tindakan yang mempengaruhi proses coping seseorang terhadap proses kognitif mereka, tetapi juga posisi sosial mereka dalam masyarakat. Hal ini akan membedakan pilihan dan cara coping seseorang. Tujuan coping strategy adalah untuk mempertahankan berbagai tujuan rumah tangga termasuk pemenuhan konsumsi pangan, kesehatan, status, dan mata pencaharian. Konsumsi pangan dan kesehatan merupakan tujuan utama dibandingkan status dan mata pencaharian karena kecukupan pangan sangatlah perlu untuk memperoleh kesehatan dan pemenuhan zat gizi yang dibutuhkan oleh anggota rumah tangga (Adams et al. 1998, diacu dalam Usfar 2002). Akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumah tangga dan individu memiliki sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan
10
sesuai norma gizi. Kondisi tersebut dapat dilihat dari kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan pendapatan dan produksi pangan. Indikator akses pangan juga meliputi strategi rumah tangga untuk mengatasi kekurangan pangan. Strategi ini dikenal sebagai food coping strategy. Tidak tercukupinya kebutuhan pangan rumah tangga disebabkan oleh kemiskinan atau pendapatan yang rendah. Setiawan (2004) menyatakan bahwa secara teoritis terdapat dua tipe ketidaktahanan pangan, yaitu kronis dan transitori. Ketidaktahanan pangan kronis adalah ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan melalui pembelian di pasar atau melalui produksi sendiri. Kondisi ini berakar pada kemiskinan. Ketidaktahanan pangan transitori adalah penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan rumah tangga secara temporer. Hal ini ditimbulkan oleh bencana alam sehingga mengakibatkan ketidakstabilan harga pangan, produksi, atau pendapatan. Adi dkk (1999) menyebutkan bahwa rumah tangga yang mengalami gangguan ketahanan pangan melakukan coping strategy untuk memperoleh alat tukar dan meminimalkan risiko demi mengatasi masalah pangannya. Alat tukar dapat bersifat, benda hidup, maupun benda mati. Alat tukar yang bersifat fisik (tenaga) adalah dengan bekerja keluar desa sebagai buruh bangunan, buruh serabutan, tukang becak, dan pedagang asongan. Alat tukar bersifat benda hidup yaitu dengan menjual hewan ternak (ayam, kambing) sedangkan alat tukar berupa benda mati (materi) yaitu dengan menjual atau menggadaikan perhiasan (emas) dan aset rumah tangga. Pemilihan coping strategy tergantung pada faktor endogen dan eksogen rumah tangga. Struktur demografi, status sosial ekonomi, jaringan sosial, dinamika intra rumah tangga, dan krisis coping strategy serta konsekuensinya termasuk ke dalam faktor endogen. Sementara itu kekuatan ekonomi dan politik, iklim, ekonomi, budaya, institusi, dan infrastruktur merupakan faktor eksogen dalam memilih coping strategy (Usfar 2002). Menurut Den Hartog et al. (1995), diacu dalam Kartika (2005) kelangkaan pangan pada tingkat keluarga dipengaruhi oleh jumlah pangan yang langka dan lama waktu kelangkaannya itu sendiri. Waktu ke waktu terjadinya kelangkaan itu sendiri merupakan kelangkaan musiman yang lambat laun bisa berubah menjadi situasi yang lebih parah seperti kelaparan. Oleh sebab itu dibentuklah hirarki coping strategy (Tabel 1). Hirarki ini dipengaruhi oleh alam dan lamanya
11
kelangkaan. Kenyataannya hirarki tersebut tidak benar-benar terbagi karena perbedaan antar daerah mungkin saja terjadi. Tabel 1 Hirarki coping strategy I.
Hirarki coping strategy Kelaparan musiman Jumlah pangan
•
Kebiasaan makan
•
II. Kelaparan pada kondisi lebih kronis Menjual barang
Tindakan spesifik Penurunan jumlah - mengurangi jumlah makanan - mengurangi porsi - menambah jumlah air Pengkonsumsian pangan yang tidak biasa dimakan - disebut famine food - mengkonsumsi biji-bijian
yang • •
Mencari makanan
• •
Migrasi
• • • Upaya keagamaan
•
Menjual kerbau, tanah, perhiasan, meminjam uang (pada wanita) untuk makan Perpindahan kaum pria untuk mencari pendapatan (temporal) Meminjam makanan dari keluarga lain Mengembara untuk mencari makanan dari daerah lain Menyerang Untuk sementara menetap di daerah lain Menitipkan anak-anak pada keluarga lain Berdoa
Sumber : den Hartog, van Staveren dan Brouwer (1995), diacu dalam Kartika (2005)
Usfar (2002) membagi tindakan coping menjadi 5 kelompok yaitu peningkatan pendapatan, perubahan kebiasaan makan, penambahan akses segera pada pangan, penambahan akses segera untuk membeli pangan, dan langkah drastis. Kelima tindakan tersebut kemudian dinilai ke dalam 3 poin skala, dari usaha yang paling sedikit dalam penyediaan pangan (skala 1) hingga tindakan paling ekstrim (skala 3) yang dapat berdampak negatif terhadap rumah tangga. Tiga skala tersebut antara lain: 1) Skala 1 yaitu
peningkatan
pendapatan, perubahan kebiasaan makan, penambahan akses segera pada pangan; 2) Skala 2 yaitu penambahan akses segera untuk membeli pangan; 3) Skala 3 yaitu langkah drastis. Pengambilan keputusan dalam rumah tangga dilakukan pada saat pemilihan tindakan coping strategy untuk mengatasi kekurangan pangan. Pengambilan
keputusan
merupakan
suatu
proses
dalam
memilih
dan
12
menetapkan alternatif yang tepat untuk suatu tindakan yang diinginkan dan akan mendasari semua fungsi manajemen. Ada tiga tipe pengambilan keputusan dalam rumah tangga berdasarkan keterlibatan anggota rumah tangga dalam mengambil keputusan, antara lain: (1) konsensus yaitu pengambilan keputusan dilakukan secara bersama-sama antar anggota keluarga; (2) akomodatif yaitu pengambilan keputusan yang dicirikan oleh adanya orang yang dominan; dan (3) de facto yaitu keputusan yang diambil karena terpaksa. Kategori struktur peranan pasangan hidup dalam pengambilan keputusan menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1994) dikelompokkan menjadi empat. Kelompok tersebut yaitu; (1) otonom, jika jumlah keputusan yang diambil oleh masing-masing pasangan adalah sama tetapi masing-masing keputusan dibuat secara individual; (2) suami yang dominan; (3) istri yang dominan; dan (4) sinkratis, jika kebanyakan keputusan dibuat bersama oleh suami maupun istri. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan baik tunggal maupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau kelompok orang untuk tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan adalah memperoleh sejumlah energi dan zat gizi yang diperlukan tubuh. Menurut Riyadi (2004) penilaian konsumsi pangan merupakan cara menilai keadaan atau status gizi masyarakat secara tidak langsung. Konsumsi gizi menunjukkan jumlah zat gizi yang diperoleh dari pangan atau makanan yang dikonsumsi. Konsumsi pangan seseorang yang telah memenuhi kecukupan gizi yang dianjurkan untuk
hidup sehat dapat
diketahui setelah dilakukan perbandingan antara masing-masing zat gizi yang diperoleh dari pangan yang dikonsumsi dengan jumlah masing-masing kecukupan gizi yang dianjurkan. Harper et al. (1986) menyebutkan bahwa ada 4 faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang, yaitu produksi pangan untuk keperluan keluarga, pengeluaran uang untuk pangan keluarga, pengetahuan gizi, dan ketersediaan pangan. Informasi tentang konsumsi pangan dapat dilakukan dengan cara survei dan akan menghasilkan data yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif (Riyadi 2004). Konsumsi pangan individu, keluarga, maupun golongan tertentu (balita) dapat diketahui dengan melakukan survei konsumsi pangan. Survei secara kualitatif ditujukan untuk mengetahui frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara
13
memperoleh pangan. Konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh pola makan keluarga sebagian besar masyarakat di sekitarnya, ketersediaan pangan, tingkat pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi istri, dan selera sebagian besar anggota keluarga (Suhardjo 1989). Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2006) ada beberapa metode yang digunakan dalam penilaian konsumsi pangan baik untuk tingkat individu, keluarga dan masyarakat. Metode yang dapat digunakan pada survei konsumsi tingkat individu dapat menggunakan metode penimbangan (weighed method), metode mengingat-ingat (recall method), riwayat makan (dietary history), frekuensi pangan (food frequency), dan metode kombinasi. Survei konsumsi pangan di tingkat rumah tangga adalah metode inventaris (inventory method), metode pendaftaran (food list-recall method), metode frekuensi pangan (food frequency method), food account method dan food record method. Pemilihan metode yang tepat dapat didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu tujuan survei, ketelitian yang diinginkan, ketersediaan dana dan waktu, serta tingkat kemahiran tenaga pengumpul data (enumerator). Suatu metode dapat dikombinasikan dengan metode yang lain atau dilakukan sedikit modifikasi terhadap suatu metode, disesuaikan dengan karakteristik masyarakat yang akan diteliti (Kusharto & Sa’diyyah 2006). Metode Frekuensi Pangan Metode frekuensi pangan digunakan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi secara deskriptif mengenai pola konsumsi. Metode ini pada umumnya bukan suatu cara untuk memperoleh data kuantitatif pangan maupun intake konsumsi zat gizi (Gibson 1993, diacu dalam Widiyanti 2007). Namun menurut Haraldsdotter dan van Stavaren (1988) diacu dalam Widiyanti (2007) metode frekuensi pangan dapat digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara kuantitatif tergantung pada tujuan studi, apakah hanya ingin menggali frekuensi penggunaan pangan saja atau sekaligus pula untuk menggali konsumsi zat gizinya. Metode frekuensi pangan dapat digunakan untuk menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu seperti sumber lemak, protein, vitamin, dan sebagainya selama kurun waktu tertentu (harian, mingguan, bulanan, tahunan) sekaligus mengestimasi konsumsi zat gizi. Metode ini merupakan salah satu metode yang biasanya digunakan untuk mengukur
14
konsumsi pangan suatu keluarga. Keuntungan menggunakan metode frekuensi pangan adalah lebih cepat mengumpulkan data, relatif lebih murah, dapat mengetahui pangan yang biasa dikonsumsi keluarga, dapat dilakukan oleh enumerator yang tidak ahli, dan hasilnya dapat distandardisasi secara umum (Howarth 1990, diacu dalam Widiyanti 2007). Food Frequency Questionnaire (FFQ) FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi konsumsi makanan dan minuman responden. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari atau minggu atau bulan atau tahun. Kuesioner terdiri dari list jenis makanan dan minuman (Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2007). FFQ memiliki dua komponen utama, yakni daftar pangan serta frekuensi penggunaan pangan. Menurut Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2007), kelebihan FFQ adalah relatif murah, dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet dan penyakit, dan lebih representatif. Sedangkan keterbatasannya yaitu adanya kemungkinan tidak menggambarkan
porsi
yang
dipilih
oleh
responden,
tergantung
pada
kemampuan responden untuk mendiskripsikan dietnya. Beberapa jenis FFQ adalah sebagai berikut : 1. Simple or nonquantitative FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi, sehingga menggunakan standar porsi. 2. Semi quntitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya sepotong roti, secangkir kopi. 3. Quntitative
FFQ,
memberikan
pilihan
porsi yang
biasa
dikonsumsi
responden, seperti kecil, sedang, atau besar. Tingkat Kesejahteraan Badan
Koordinasi
Keluarga
Berencana
Nasional
(BKKBN)
mengklasifikasikan status kesejahteraan keluarga, terutama untuk menentukan kelompok sasaran yang dipergunakan dalam beberapa program untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. BKKBN (1997) mengidentifikasikan keluarga sejahtera berdasarkan indikator ekonomi dan non ekonomi. Indikator tersebut mencakup pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, agama, keluarga berencana, interaksi sosial, transportasi, tabungan, informasi, dan peran sosial. Kategori keluarga sejahtera menurut BKKBN ada 5, yaitu: (1)
15
Keluarga Pra Sejahtera/Pra KS; (2) Keluarga Sejahtera I/KS I; (3) KS II; (4) KS III; dan (5) KS III+. Keluarga Pra KS dan KS I dikategorikan sebagai keluarga miskin. Berdasarkan definisi BKKBN (1997) masing-masing tahapan keluarga sejahtera adalah sebagai berikut: 1. Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal atau keluarga yang belum memenuhi salah satu atau lebih indikator Keluarga Sejahtera I. Indikator tersebut yaitu: a. Anggota keluarga menjalankan ibadah sesuai agamanya b. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih c. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian d. Bagian yang terluas dari rumah bukan dari tanah e. Bila anak sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan atau pengobatan modern 2. Keluarga Sejahtera I (KS I) adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara maksimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan psikologisnya seperti kebutuhan akan pendidikan, KB, interaksi dalam
keluarga,
interaksi
dengan
lingkungan
tempat
tinggal,
dan
transportasi. 3. Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan pengembangannya seperti menabung dan memperoleh informasi. 4. Keluarga Sejahtera III adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan
dasar,
kebutuhan
sosial
psikologis,
dan
kebutuhan
pengembangannya, tetapi belum mampu memberikan sumbangan dalam bentuk materil untuk kepentingan sosial serta berperan aktif sebagai pengurus lembaga kemasyarakatan. 5. Keluarga Sejahtera III Plus adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan baik yang bersifat dasar, sosial psikologis, pengembangan, serta sudah mampu memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.
16
Menurut Raharto dan Romdiati (2000) beberapa penelitian mikro mengenai kemiskinan di Indonesia berfokus pada ukuran kemiskinan subyektif. Studi ini mengkaji fenomena kemiskinan berdasarkan wawancara mendalam tentang persepsi masyarakat mengenai tingkat kesejahteraan keluarga. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya perbedaan pendekatan obyektif dan subyektif, sehingga terlihat bahwa masyarakat masih berbeda dalam mengartikan kemiskinan. Pendekatan obyektif diturunkan dari data kuantitatif yang diperoleh dari angka-angka yang langsung dihitung dari aspek yang ditelaah, misalnya pengeluaran perkapita sebagai indikator ekonomi dihitung langsung dari pengeluaran keluarga. Pendekatan subyektif didapat dari persepsi masyarakat tentang aspek kesejahteraan sehingga hasilnya merupakan perkembangan dari aspek kesejahteraan. Konsep subyektif dapat memberikan pengertian yang mendalam tentang masalah kesejahteraan yang dihadapi keluarga. Model ini dianggap lebih sensitif untuk megukur tingkat kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan secara subyektif menggambarkan evaluasi individu terhadap kehidupan yang meliputi kebahagiaan, kondisi emosi yang gembira, kepuasan hidup dan relatif tidak adanya semangat dan emosi yang tidak menyenangkan. Pendekatan subyektif mendefinisikan kemiskinan berdasarkan pemahaman penduduk mengenai standar hidup mereka dan bagaimana mereka mengartikannya. Penduduk mungkin memiliki pandangan sandiri tentang apa arti kemiskinan yang mungkin berbeda dengan pandangan obyektif. Garis kemiskinan dalam pendekatan subyektif lebih cocok untuk studi-studi mikro karena biasanya menggunakan ukuran kualitatif (Raharto dan Romdiati 2000). Pengukuran kemiskinan rumah tangga di Indonesia sudah dikembangkan untuk tingkat nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mengembangkan suatu konsep resmi yang disetujui oleh pemerintah. Menurut Badan Pusat Statistik (2006) nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2100 Kal perkapita perhari ditambah dengan kebutuhan minimum nonpangan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang meliputi kebutuhan papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumah tangga dan individu mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran (dalam Rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan. Penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum dikategorikan sebagai penduduk miskin.
17
BPS menggunakan data konsumsi dan pengeluaran yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi (SUSENAS) untuk menghitung garis kemiskinan nasional berdasarkan komoditas bahan makanan dan bukan makanan yang dikonsumsi oleh penduduk yang menjadi referensi.
18
KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana setiap rumah tangga mempunyai akses terhadap pangan yang cukup baik dari segi kuantitas, kualitas, serta aman dan terjangkau. Kondisi ketidaktahanan pangan rentan sekali dialami oleh penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan diindikasikan oleh ketidakmampuan dari seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup, yang mencakup kebutuhan untuk makanan, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan sandang. Kondisi sosial ekonomi sebuah keluarga akan mempengaruhi strategi dalam pemenuhan pangan. Karakteristik keluarga itu antara lain besar keluarga, usia suami dan istri, pendidikan suami dan istri, dan aset rumah tangga yang dimiliki. Karakteristik inilah yang akan diteliti hubungannya dengan food coping strategy keluarga ketika menghadapi kekurangan pangan. Setiap keluarga membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Dukungan sosial tidak selamanya tersedia pada diri sendiri melainkan harus diperoleh dari orang lain seperti sanak keluarga, tetangga atau masyarakat di sekitar individu berada. Dukungan sosial baik itu dalam bentuk dukungan secara emosional maupun instrumental dapat meningkatkan atau justru menurunkan usaha food coping strategy keluarga. Dukungan tersebut antara lain berupa bagaimana kepedulian masyarakat sekitar terhadap keluarga responden, rasa aman dan tenang dalam hidup bermasyarakat, hubungan dengan sanak famili, serta bantuan materi yang diterima. Cara yang diambil oleh sebuah keluarga dalam memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dan menanggulangi masalah kekurangan pangan merupakan coping strategy
keluarga untuk mempertahankan hidup anggotanya. Food
coping strategy itu antara lain berupa identifikasi kejadian kekurangan pangan dan persediaan pangan, pelaksanaan coping dan pelaksana. Food coping strategy dibagi menjadi 7 kelompok yaitu : (1) meningkatkan pendapatan; (2) perubahan kebiasaan makan; (3) penambahan akses segera pada pangan; (4) penambahan segera akses untuk membeli pangan; (5) perubahan distribusi dan frekuensi makan; (6) menjalani hari-hari tanpa makan; dan (7) langkah drastis. Upaya
meningkatan
pendapatan
berhubungan
dengan
pekerjaan
sampingan, menanam tanaman pangan, dan beternak. Hal yang biasa dilakukan antara lain kepala keluarga mencari tambahan pekerjaan atau ada anggota
19
keluarga selain kepala keluarga yang ikut mencari pekerjaan. Perubahan kebiasaan makan rumah tangga meliputi perubahan konsumsi jenis pangan dalam kelompok pangan, perubahan kualitas jenis pangan menjadi lebih rendah atau murah, dan perubahan porsi atau ukuran jenis pangan menjadi lebih sedikit. Upaya untuk menambah akses segera terhadap pangan antara lain adanya bantuan pangan dari saudara, program pemerintah berupa food for work dan bantuan raskin, atau saling bertukar bahan makanan. Tindakan untuk meningkatkan akses segera untuk membeli pangan yaitu menjual aset yang dimiliki, melakukan peminjaman baik berupa uang maupun bahan pangan kepada sanak saudara, pegadaian, bakul hingga berhutang di warung. Selain itu coping lain yang dilakukan adalah perubahan distribusi dan frekuensi makan, puasa karena kekurangan makanan, hingga dilakukannya langkah drastis berupa migrasi keluar daerah bahkan ke luar negeri untuk menjadi TKI. Berbagai upaya food coping strategy ditempuh oleh sebuah keluarga demi menjamin ketersediaan pangan guna memenuhi kebutuhan konsumsi pangan anggotanya. Pangan merupakan bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja dan penggantian jaringan tubuh yang rusak. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein (TKE dan TKP) dijadikan indikator keberhasilan coping strategy sebuah keluarga dalam mencukupi kebutuhan zat gizi anggotanya. Konsumsi zat gizi akan mempengaruhi status gizi seorang individu. Kaitan antara dukungan sosial, food coping strategy, dan tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga nelayan dapat dilihat pada Gambar 1.
20
Karakteristik keluarga • Besar keluarga • Usia suami dan istri • Pendidikan suami dan istri • Kepemilikan aset rumah tangga
Pendapatan keluarga
Pengeluaran pangan dan nonpangan
Status kemiskinan • Miskin • Tidak miskin
Dukungan sosial • Dukungan instrumental • Dukungan emosional
Food Coping Strategy • Identifikasi kejadian kekurangan pangan dan persediaan pangan • Pelaksanaan coping • Pelaksana
Ketersediaan pangan rumah tangga
Tingkat Konsumsi Energi dan Protein
Status gizi
Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Hubungan yang diteliti Hubungan yang tidak diteliti Gambar 1. Kaitan antara dukungan sosial, food coping strategy, dan tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga nelayan
21
METODOLOGI Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari penelitian dengan judul Analisis Determinan dan Indikator Kelaparan serta Upaya Penanggulangannya pada Keluarga Nelayan. Desain penelitian yang digunakan adalah crosssectional study. Penelitian dilakukan di Desa Grogol dan Mertasinga, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Penentuan tempat dilakukan secara purposive (disengaja) dengan pertimbangan bahwa daerah ini terletak di pinggir pantai sehingga banyak keluarga nelayan yang bertempat tinggal di daerah ini. Pengambilan data dilakukan dari bulan Juni hingga Juli 2007. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga nelayan yang tinggal di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Pengambilan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria keluarga nelayan pada tingkat kesejahteraan berdasarkan BKKBN, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Keluarga Sejahtera I (KS I). Jumlah nelayan di desa Grogol adalah 1798 orang. Adapun jumlah populasi yang memenuhi kriteria adalah sebanyak 187 KK. Rincian mengenai jumlah keluarga nelayan menurut tingkat kesejahteraan BKKBN dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah keluarga nelayan berdasarkan tingkat kesejahteraan BKKBN Jumlah keluarga nelayan
Tingkat kesejahteraan (BKKBN 1997) Pra KS KS I KS II Total
73 110 4 187
Jumlah contoh ditentukan berdasarkan rumus Slovin (1973) diacu dalam Umar (1999) sebagai berikut : N n= 1 + N (e)2 Keterangan : n = Jumlah contoh N = Jumlah populasi yang memenuhi kriteria (187 KK) e = margin error/standar (0.1)
22
Margin of error (e) merupakan persen kelonggaran ketidaktelitian yang masih dapat diterima akibat kesalahan dalam pengambilan sampel. Besar nilai kelonggaran yang digunakan adalah 0.1 (10%). Perhitungan jumlah contoh (n) berdasarkan rumus Slovin tersebut adalah sebagai berikut : 187 n=
= 65 KK 1 + 187 (0.1)2
Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah contoh sebanyak 65 KK. Rumus proporsi keluarga nelayan adalah sebagai berikut : Ni ni =
(n) T
Keterangan : T
= Total jumlah keluarga nelayan hasil survei
Ni
= Banyak keluarga jenis i yang terpilih
N
= Banyaknya keluarga yang digunakan dalam penelitian Jumlah keluarga nelayan KS II terlalu sedikit ketika diproporsikan (hanya
1 KK), sehingga tidak dapat mewakili kelompoknya. Oleh sebab itu KS II tidak dijadikan contoh penelitian. Perhitungan proporsi keluarga Pra-KS (73 KK) dan KS I (110 KK) adalah sebagai berikut : 73 n1 =
x
65 = 26 KK
x
65 = 39 KK
187 110 n2 = 187 Keterangan : n1
= Jumlah keluarga Pra KS sebagai contoh
n2
= Jumlah keluarga KS I sebagai contoh Secara rinci kerangka penentuan contoh terdapat pada Gambar 2.
23
Nelayan di Kabupaten Cirebon
Nelayan di Kecamatan Gunung Jati
Nelayan Belum Berkeluarga dan Sudah Berkeluarga di Desa Grogol (n=1798 orang) Keluarga nelayan RW 2 dan RW 3 (187 KK)
65 KK Pra KS (n=26) KS I (n=39) RW 2 (n=42 KK)
RW 3 (n=23 KK)
Pra KS (n=12KK) KS I (n=30 KK)
Pra KS (n=13KK) KS I (n=10 KK)
Gambar 2. Kerangka pengambilan contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik keluarga, data dukungan sosial, food coping strategy, dan pola konsumsi pangan keluarga. Data sekunder yang dikumpulkan berupa keadaan umum wilayah penelitian, dan jumlah keluarga nelayan berkategori Pra KS dan KS 1 di desa Grogol. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara teknik wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner (daftar pertanyaan) kepada ibu rumah tangga. Data mengenai jumlah keluarga miskin menurut BPS didapatkan dengan cara membandingkan pengeluaran perkapita sebuah keluarga dengan garis kemiskinan BPS Kabupaten Cirebon (2006) yaitu sebesar Rp 168272. Apabila pengeluaran perkapita kurang dari Rp 168272, maka keluarga nelayan tersebut tergolong miskin. Demikian pula sebaliknya, apabila pengeluaran perkapita sebuah keluarga lebih dari atau sama dengan Rp 168272 maka keluarga tersebut tergolong tidak miskin. Tabel 3 berikut ini memberi penjelasan mengenai jenis dan cara pengumpulan data.
24
Tabel 3 Jenis data, cara pengumpulan data, dan bahan serta alat pengumpulan data No.
Data
Cara Pengumpulan
Bahan dan Alat
Primer 1.
Total pengeluaran (pangan dan non pangan)
2.
Karakteristik keluarga (jumlah anggota keluarga, usia suami dan istri, pendidikan suami dan istri, aset rumah tangga) Dukungan sosial (Dukungan emosional dan instrumental)
3.
Wawancara terstruktur terhadap ibu rumah tangga Wawancara terhadap ibu rumah tangga
Kuesioner tentang pengeluaran rumah tangga
Wawancara terstruktur terhadap ibu rumah tangga
Kuesioner yang berisi 6 pertanyaan tentang kepedulian masyarakat terhadap keluarga, 2 pertanyaan tentang rasa aman dan tenang dalam hidup bermasyarakat, 3 pertanyaan tentang hubungan dengan sanak famili, 4 pertanyaan tentang bantuan materi yang diterima Kuesioner tentang kejadian kekurangan pangan dan persediaan pangan, pelaksanaan coping, dan pelaksana
Kuesioner tentang data keluarga
4.
Food Coping Strategy (identifikasi kejadian kekurangan pangan dan persediaan pangan, pelaksanaan, pelaksana)
Wawancara terstruktur terhadap ibu rumah tangga
5.
Pola konsumsi pangan keluarga (frekuensi, berat pangan, URT, % konsumsi dan non konsumsi) Sekunder
Wawancara terhadap ibu rumah tangga dengan metode Food Frequencies
Food Frequency Questionnaire (FFQ)
6.
Keadaan umum wilayah penelitian
Data potensi desa
7.
Jumlah KK nelayan berkategori Pra KS, KS 1, KS 2, dan KS 3
Diperoleh dari kantor desa Grogol Diperoleh dari kantor desa Grogol
Data potensi desa
Data karakteristik keluarga meliputi jumlah anggota keluarga, usia suami dan istri, pendidikan suami dan istri, aset rumah tangga, pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Data mengenai dukungan sosial meliputi dukungan emosional dan instrumental. Data food coping strategy yaitu berupa identifikasi kekurangan pangan dan persediaan pangan, pelaksanaan dan pelaksana coping. Data mengenai pola konsumsi pangan keluarga yang
25
dibutuhkan antara lain jenis pangan, frekuensi konsumsi, berat pangan, ukuran rumah tangga, persen (%) konsumsi dan non konsumsi. Data konsumsi pangan dikumpulkan dengan menggunakan Food Frequency Questionnaire (FFQ). Penggunaan metode ini bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif meliputi jenis pangan dari masing-masing kelompok pangan dan secara kuantitatif yaitu ukuran yang dikonsumsi dalam gram, URT, maupun dalam bentuk persen. Data sekunder diperoleh dari kantor desa setempat. Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan SPSS for Windows versi 11.5. Proses pengolahan meliputi coding, entry, dan editing. Analisis deskriptif dan inferensia dibedakan menurut kategori keluarga miskin dan tidak miskin berdasarkan garis kemiskinan BPS Kabupaten Cirebon tahun 2006. Analisis secara deskriptif meliputi karakteristik keluarga, dukungan sosial, food coping strategy, dan pola konsumsi pangan keluarga. Hubungan antara karakteristik keluarga, tingkat dukungan sosial, tingkat food coping strategy serta tingkat konsumsi energi dan protein dengan status kemiskinan dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Bentuk dukungan sosial, pelaksanaan coping, dan aset rumah tangga antara keluarga nelayan miskin dan tidak miskin diuji beda menggunakan uji Mann-Whitney. Hubungan karakteristik keluarga dengan food coping strategy dan dukungan sosial dengan food coping strategy dianalisis dengan korelasi Spearman. Hubungan food coping strategy dengan tingkat konsumsi energi dan protein juga dianalisis dengan korelasi Spearman. Menurut BPS Kabupaten Cirebon (2006) nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2100 Kal perkapita perhari ditambah dengan kebutuhan minimum nonpangan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang meliputi kebutuhan papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumah tangga dan individu mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran (dalam Rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan. BPS Kabupaten Cirebon (2006) menentukan garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran baik pangan maupun nonpangan sebesar Rp 168272/kapita/bulan. Penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum dikategorikan sebagai
26
penduduk miskin. Jenis dan kategori pengukuran data mengenai garis kemiskinan dan karakteristik keluarga dapat disimak dalam Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan kategori pengukuran data garis kemiskinan dan karakteristik keluarga No. 1.
Jenis Data Status kemiskinan
2.
Besar keluarga
3.
Usia suami dan istri
4.
Pendidikan suami dan istri (lama sekolah) Aset rumah tangga
5.
Kategori Pengukuran 1.Miskin (< Rp 168272) 2.Tidak miskin ( Rp 168272) 1. Kecil ( 4 orang) 2. Sedang (5-7 orang) 3. Besar ( 8 orang) 1. Dewasa awal (20-40 tahun) 2.Dewasa menengah (41-65 tahun) 3.Dewasa lanjut ( 66) 1.Dasar ( 6 tahun) 2.Menengah (7-12 tahun) 3.Tinggi ( 13 tahun) 1.Liquid assets 2.Productive assets
Dasar pengukuran BPS Kab. Cirebon (2006) BKKBN (1998) diacu dalam Rahmaulina (2007) Papalia & Olds (1981) BPS (1992)
Frankenberger & Goldstein (1991) diacu dalam Polin (2005)
Dukungan sosial diukur dengan 15 pertanyaan yang terdiri atas 11 pertanyaan mengenai dukungan emosional dan 4 pertanyaan mengenai dukungan instrumental. Jawaban ya diberi skor 2 sedangkan jawaban tidak diberi skor 1. Total skor dukungan sosial berkisar antara 15 hingga 30. Klasifikasi tingkat dukungan sosial dapat dibuat dengan menggunakan rumus interval (Slamet 1993), yaitu : Skor maksimum – skor minimum Interval = Jumlah kategori yang diinginkan
Tingkat dukungan sosial terdiri atas 3 kategori yaitu : (1) rendah (jika skor antara 15 sampai 20); (2) sedang (jka skor antara 21 sampai 25); dan (3) tinggi (jika skor antara 26 sampai 30). Tabel 5 menerangkan jenis dan kategori pengukuran dukungan sosial.
27
Tabel 5 Jenis dan kategori pengukuran data dukungan sosial No. 1. 2.
3.
4.
Jenis Data Bentuk dukungan sosial Bentuk dukungan emosional
Kategori Pengukuran
1.Dukungan emosional 2.Dukungan instrumental 1.Kunjungan petugas kesehatan 2.Semangat dari ketua RT 3.Kepedulian teman karib 4.Pertolongan tetangga saat menghadapi masalah 5.Pertolongan masyarakat saat kesulitan 6.Saran dari tetangga 7.Kesediaan sanak famili untuk mendengarkan masalah 8.Rasa cinta dan peduli dari sanak famili 9.Hubungan akrab dengan sanak famili 10.Rasa aman dalam hidup bermasyarakat 11.Rasa tenang dalam menumbuhkembangkan anak Bentuk dukungan 1.Bantuan makanan selalu instrumental diterima 2.Bantuan biaya sekolah anak 3.Bantuan keuangan dari sanak famili 4.Pinjaman uang/barang dari tetangga Tingkat dukungan 1.Rendah (15-20) sosial 2.Sedang (21-25) 3.Tinggi (26-30)
Dasar pengukuran MacArthur & John D (1998) Tati (2004)
Tati (2004)
Slamet (1993)
Food coping strategy diukur dengan 33 pertanyaan yang dikelompokkan menjadi 7 yaitu: (1) meningkatkan pendapatan; (2) perubahan kebiasaan makan; (3) penambahan akses segera pada pangan; (4) penambahan segera akses untuk membeli pangan; (5) perubahan distribusi dan frekuensi makan; (6) menjalani hari-hari tanpa makan; dan (7) langkah drastis. Kelompok coping 1, 2, dan 3 diberi nilai skala 1, kelompok coping 4, 5, dan 6 diberi nilai skala 2, sedangkan kelompok coping 7 diberi nilai skala 3. Skala 1 terdiri dari 13 pertanyaan, skala 2 terdiri dari 12 pertanyaan, dan skala 3 terdiri dari 4 pertanyaan. Perilaku coping pada tiap-tiap kelompok food coping strategy dapat dilihat dalam Tabel 6.
28
Tabel 6 Skala, kelompok, dan perilaku food coping strategy No.
Kelompok food coping strategy
1.
Meningkatkan pendapatan
2.
Perubahan kebiasaan makan
3.
Penambahan akses segera terhadap pangan
4.
Penambahan akses segera untuk membeli pangan
5. 6.
7.
Perubahan distribusi dan frekuensi makan Menjalani hari-hari tanpa makan Langkah drastis
Perilaku coping 1. Mencari pekerjaan sampingan 2. Menanam tanaman yang bisa dimakan di kebun/ tanah dekat rumah 3. Beternak ayam, dll 4. Membeli makanan yang lebih murah harganya 5. Mengurangi jenis pangan yang dikonsumsi 6. Mengubah prioritas pembelian pangan Membeli makanan yang nilainya lebih rendah 8. Mengurangi porsi makan 9. Mengumpulkan makanan liar 10.Menerima makanan dari saudara 11.Food for work dari pemerintah 12.Menerima kupon raskin 13.Pertukaran pangan 14.Mengambil uang tabungan 15.Menggadaikan aset 16.Menjual aset tidak produktif 17.Menjual aset produktif 18.Meminjam uang dari saudara dekat 19.Meminjam uang dari saudara jauh 20.Meminjam uang dari pegadaian 21.Meminjam uang dari bakul 22.Membeli pangan dengan hutang di warung 23.Perubahan distribusi makan 24.Mengurangi frekuensi makan perhari
Skala
1
2
25. Menjalani hari-hari tanpa makan (puasa) 26.Migrasi ke kota/desa/pulau lain 27.Migrasi ke luar negeri (TKI) 28.Memberikan anak pada saudara 29.Keluarga bercerai
3
Skala pada Tabel 6 kemudian dikalikan dengan skor frekuensi food coping strategy yang dilakukan oleh keluarga. Skor tersebut yaitu 4 untuk setiap hari, 3 untuk beberapa kali seminggu, 2 untuk beberapa kali sebulan, 1 untuk beberapa kali setahun, dan 0 untuk tidak pernah. Penilaian skor food coping strategy keluarga dilakukan dengan rumus Usfar (2002) yang dimodifikasi yaitu sebagai berikut : Total skor food coping strategy = (n1 x 1 x f1) + (n2 x 2 x f2) + (n3 x 3 x f3) Keterangan : ni = Jumlah perilaku coping pada skala i fi = Skor frekuensi pelaksanaan coping pada skala i
29
Tingkat food coping strategy dihitung dengan rumus interval (Slamet 1993) : Skor maksimum – skor minimum Interval = Jumlah kategori yang diinginkan Total skor food coping strategy berkisar antara 0 hingga 184. Tingkat food coping strategy terdiri atas 3 kategori yaitu : (1) rendah (jika skor antara 0 sampai 61.3); (2) sedang (jka skor antara 61.4 sampai 122.6); dan (3) tinggi (jika skor antara 122.7 sampai 184.0). Lampiran 1 menjelaskan jenis dan kategori pengukuran data food coping strategy. Pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan keluarga merupakan upaya sebuah keluarga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan bagi anggotanya baik itu dalam jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau. Pemenuhan kebutuhan pangan keluarga nelayan tercermin dari rata-rata konsumsi pangan individu dalam keluarga. Untuk menilai tingkat konsumsi energi rata-rata suatu keluarga diperlukan Angka Kecukupan Energi Rata-rata Keluarga (AKERK). Angka tersebut merupakan hasil penjumlahan angka kecukupan energi dari setiap anggota keluarga yang mengkonsumsi makanan dibagi dengan jumlah anggota keluarga itu sendiri.
AKE dapat dihitung dengan rumus menurut Hardinsyah dan
Martianto (1992) yaitu : AKEi AKERK = n Keterangan : AKERK = Angka Kecukupan Energi Rata-rata Keluarga (Kal/kap/hari) AKEi
= Angka Kecukupan Energi Individu (Kal/kap/hari)
n
= Jumlah anggota keluarga Prinsip yang digunakan untuk menaksir kecukupan protein keluarga
sama dengan menaksir kecukupan energi keluarga. Perhitungannya adalah sebagai berikut : AKPi AKPRK = n Keterangan : AKPRK = Angka Kecukupan Protein Rata-rata Keluarga (Kal/kap/hari) AKPi
= Angka Kecukupan Protein Individu (Kal/kap/hari)
n
= Jumlah anggota keluarga
30
Angka kecukupan energi dan protein individu pada setiap anggota keluarga dibedakan menurut umur dan jenis kelamin. Ketentuan AKG yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Angka Kecukupan Energi (AKE) dan Protein (AKP) menurut umur dan jenis kelamin No. Umur AKE AKP (Kal/kap/hari) (Kal/kap/hari) Anak 1. 0-6 bulan 550 10 2. 7-11 bulan 650 16 3. 1-3 tahun 1000 25 4. 4-6 tahun 1550 39 5. 7-9 tahun 1800 45 Pria 6. 10-12 tahun 2050 50 7. 13-15 tahun 2400 60 8. 16-18 tahun 2600 65 9. 19-29 tahun 2550 60 10. 30-49 tahun 2350 60 11. 50-64 tahun 2350 60 12. > 65 tahun 2050 60 Wanita 13. 10-12 tahun 2050 50 14. 13-15 tahun 2350 57 15. 16-18 tahun 2200 55 16. 19-29 tahun 1900 50 17. 30-49 tahun 1800 50 18. 50-64 tahun 1750 50 19. > 65 tahun 1600 50 Hamil 20. Trimester I + 180 + 17 21. Trimester II + 300 + 17 22. Trimester III + 300 + 17 Menyusui 23. 6 bulan pertama + 500 + 17 24. 6 bulan kedua + 550 + 17 Sumber : Hardinsyah dan Tambunan (2004) diacu dalam WNPG (2004)
Untuk mengetahui tingkat konsumsi energi dan protein (TKE dan TKP) maka dilakukan pembandingan antara angka konsumsi energi dan protein aktual dengan angka kecukupan energi dan protein yang dianjurkan yang dinyatakan dalam persen. Penilaian tersebut dapat digunakan untuk individu maupun keluarga. Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dihitung dari data konsumsi pangan dengan menggunakan rumus : Rata-rata Konsumsi Energi Aktual Keluarga TKE =
x 100% Rata-rata Angka Kecukupan Energi Keluarga
31
Tingkat Konsumsi Protein (TKP) dihitung dari data konsumsi pangan dengan menggunakan rumus : Rata-rata Konsumsi Protein Aktual Keluarga TKP =
x 100% Rata-rata Angka Kecukupan Protein Keluarga
Tingkat Konsumsi Energi sebagai indikator kecukupan energi dibagi menjadi 2 kategori yaitu tidak cukup jika TKE kurang dari 70% dan cukup jika TKE lebih besar sama dengan 70%. Tingkat Konsumsi Protein sebagai indikator kecukupan protein dibedakan menjadi 2 kategori yaitu tidak cukup jika TKP kurang dari 70% dan cukup jika TKP lebih besar sama dengan 70%. Jenis dan pengukuran data tingkat konsumsi energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8 Tingkat konsumsi energi dan protein No. Data Kategori Pengukuran 1. Tingkat Konsumsi 1. Tidak cukup (< 70%) Energi (TKE) 2. Cukup ( 70%) 2. Tingkat Konsumsi 1. Tidak cukup (< 70%) Protein (TKP) 2. Cukup ( 70%)
Dasar pengukuran Azwar (2004) Latief, Atmarita, Minarto, Basuni, Tilden (2000)
Definisi Operasional Food Coping Strategy adalah upaya yang dilakukan oleh anggota keluarga untuk menanggulangi kesulitan pangan sehingga kebutuhan pangan anggotanya dapat tercukupi. Keluarga adalah kelompok individu dengan hubungan kekeluargaan yang hidup bersama dalam satu tempat tinggal dan menggunakan sumberdaya yang sama dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Nelayan adalah orang yang memiliki pekerjaan utama menangkap ikan, baik yang bekerja sendiri ataupun yang bekerja sebagai buruh. Pola konsumsi pangan adalah frekuensi, jumlah, dan jenis pangan yang dikonsumsi rumah tangga nelayan yang diukur dengan metode food frequency. Tingkat Konsumsi Energi adalah penilaian yang dapat digunakan untuk individu ataupun keluarga dengan membandingkan konsumsi energi aktual (nyata) dengan angka kecukupan energi yang dinyatakan dalam persen. Tingkat Konsumsi Protein adalah penilaian yang dapat digunakan untuk individu ataupun keluarga dengan membandingkan konsumsi protein
32
aktual (nyata) dengan angka kecukupan protein yang dinyatakan dalam persen. Aset adalah materi yang dimiliki oleh rumah tangga yang dapat digunakan dalam pemenuhan kebutuhan pangan baik itu dengan cara ditukar dengan uang (dijual) maupun yang memiliki peran dalam pencapaian pendapatan rumah tangga. Dukungan sosial adalah berbagai macam dukungan (bantuan) yang diterima seseorang dari orang lain baik itu secara emosional maupun material. Pengeluaran pangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk memperoleh pangan oleh rumah tangga dan dinyatakan dalam rupiah perkapita perbulan. Pengeluaran non pangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk selain pangan oleh rumah tangga dan dinyatakan dalam rupiah perkapita perbulan.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Cirebon terletak di bagian timur wilayah Provinsi Jawa Barat dan merupakan daerah perbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan letak geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon berada pada posisi 108o40’ – 108o48’ Bujur Timur dan 6o30’ – 7o00’ Lintang Selatan. Batas-batas wilayahnya meliputi sebelah utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Indramayu, sebelah barat laut berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan, dan sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kotamadya Cirebon dan Kabupaten Brebes. Penelitian dilakukan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Luas wilayah desa Grogol adalah 173 hektar. Bentuk tipologi desa tersebut berupa desa pantai atau pesisir. Jarak ke ibukota kecamatan sekitar 5 km, sedangkan jarak ke ibukota kabupaten sekitar 15 km. Ketinggian wilayah desa Grogol adalah 2 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata harian adalah sekitar 28-30oC dengan curah hujan rata-rata 12001300 mm per tahun. Penduduk desa Grogol pada tahun 2005 berjumlah 4435 jiwa yang terdiri dari 2106 jiwa laki-laki dan 2329 jiwa perempuan dengan jumlah keluarga sebanyak 1219 KK. Sebanyak 1798 orang (68.89% dari 2610 orang yang bekerja) mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Berdasarkan tahap kesejahteraan keluarga menurut BKKBN, penduduk desa Grogol terbagi menjadi 413 keluarga pra sejahtera, 349 keluarga sejahtera I, 209 keluarga sejahtera II, 156 keluarga sejahtera III, dan 92 keluarga sejahtera III plus. Fasilitas pendidikan yang tersedia antara lain 1 TK, 4 SD, dan 2 SMP dengan jumlah murid sebanyak 1812 orang dan 67 orang guru. Sebanyak 1533 orang penduduk pernah sekolah SD tetapi tidak tamat. Mayoritas masyarakat desa Grogol (98,2%) memeluk agama Islam sedangkan sisanya menganut agama Kristen dan Katolik. Jenis budidaya ikan yang terdapat di desa Grogol adalah berupa tambak seluas 12.5 Ha dan empang/kolam seluas 33 Ha. Jenis ikan yang diproduksi oleh sektor perikanan desa Grogol antara lain udang sebanyak 10 ton/tahun, ikan mujair sebanyak 2 ton/tahun, lele sebanyak 0.5 ton/tahun, serta bandeng sebanyak 1 ton/tahun (Pemerintah Kabupaten Cirebon 2005).
34
Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan indikator ekonomi dan bukan ekonomi, BKKBN (2003) mengklasifikasikan keluarga menjadi lima kategori yaitu keluarga: (1) Pra Sejahtera (Pra KS); (2) Sejahtera I; (3) Sejahtera II; (4) Sejahtera III; dan (5) Sejahtera III plus. Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) dan Sejahtera I (KS I) dikategorikan sebagai keluarga miskin, sedangkan keluarga Sejahtera II, III, dan III plus memiliki tingkat kesejahteraan lebih baik (tidak miskin). Menurut klasifikasi tersebut maka lebih dari separuh (62,51%) keluarga di wilayah desa Grogol termasuk kedalam keluarga miskin. Keluarga nelayan yang dipilih menjadi contoh dalam penelitian ini adalah keluarga dengan status Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I, sehingga dapat dikatakan contoh termasuk kategori keluarga miskin. BPS berdasarkan
Kabupaten
Cirebon
(2006)
menentukan
garis
kemiskinan
pengeluaran baik pangan maupun nonpangan sebesar Rp
168272/kapita/bulan. Penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimum dikategorikan sebagai penduduk miskin. Tabel 9 memberikan gambaran mengenai sebaran keluarga nelayan Pra KS dan KS 1 yang dikategorikan menjadi miskin dan tidak miskin menurut garis kemiskinan BPS Kabupaten Cirebon tahun 2006. Tabel 9 Sebaran keluarga nelayan Pra KS dan KS 1 berdasarkan kategori garis kemiskinan BPS Kabupaten Cirebon (2006) Pra KS KS 1 Total Status Ekonomi n % n % n % Miskin 13 50.00 13 33.33 26 40.00 Tidak Miskin 13 50.00 26 66.67 39 60.00 Total 26 100.00 39 100.00 65 100.00 Berdasarkan Tabel 9, persentase keluarga Pra KS yang termasuk kategori miskin dan tidak miskin yaitu masing-masing sebesar 50%. Keluarga dengan status KS 1 yang termasuk kategori miskin sebanyak sepertiganya (33.33%) dan tidak miskin sebanyak duapertiganya (66,66%). Perbedaan jumlah keluarga miskin menurut BKKBN dan BPS diakibatkan oleh perbedaan standar pengkategorian kemiskinan yang digunakan antara BKKBN dan BPS. Garis kemiskinan menurut BKKBN (2003) tidak hanya didasarkan pada alasan ekonomi tetapi juga alasan non ekonomi, sedangkan menurut BPS (2006), standar garis kemiskinan hanya dilihat dari segi ekonomi yakni besarnya nilai pengeluaran.
35
Penentuan status kemiskinan keluarga nelayan juga dapat menggunakan garis kemiskinan internasional (GKI) yang ditentukan oleh Bank Dunia yakni sebesar US $ 1 perhari perkapita. Apabila asumsi kurs Rp 9.000 per dolar, maka batas pendapatan perbulan perkapita adalah sebesar Rp 270000. Jumlah keluarga nelayan yang masuk ke dalam kategori miskin dan tidak miskin menurut kategori kemiskinan berdasarkan Bank Dunia dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran keluarga nelayan Pra KS dan KS 1 berdasarkan kategori garis kemiskinan internasional (Bank Dunia 2004) Pra KS KS 1 Total Status Ekonomi n % n % n % Miskin 22 84.62 30 76.92 52 80.00 Tidak miskin 4 15.38 9 23.08 13 20.00 Total 26 100.00 39 100.00 65 100.00 Berdasarkan Tabel 10, sebagian besar keluarga Pra KS yang termasuk kategori miskin (84.62%), sedangkan sebanyak 15.38% termasuk keluarga tidak miskin. Keluarga dengan status KS 1 yang termasuk kategori miskin sebanyak 76.92% dan yang termasuk keluarga tidak miskin adalah sebanyak 23.08%. Tingginya angka keluarga miskin diakibatkan oleh standar garis kemiskinan internasional yang lebih tinggi dibandingkan dengan standar garis kemiskinan BPS. Apabila
pemerintah
Indonesia
menggunakan
garis
kemiskinan
internasional (GKI) sebesar US $ 1 perhari (dengan asumsi kurs Rp 9000 perdolar maka GKI Rp 270000 = 1,77 GK), maka jumlah masyarakat miskin di Indonesia akan meningkat tajam menjadi lebih dari 58,61 %. Hal ini dikarenakan GKI tersebut meliputi seluruh penduduk hampir miskin (1 GK – 1,25 GK) yang berjumlah 13,02 % dan penduduk hampir tidak miskin (1,25 GK – 1,5 GK) yang berjumlah 27,84 %, bahkan sebagian penduduk tidak miskin ( > 1,5 GK). Hal ini memperlihatkan bahwa jumlah penduduk yang mendekati garis kemiskinan di Indonesia berada dalam jumlah yang relatif sangat besar, sehingga jika ada goncangan sedikit saja dalam perekonomian akan menenggelamkan mereka ke jurang kemiskinan (Teja 2006). Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga yang dianalisis meliputi besar keluarga, usia kepala keluarga dan istri, pendidikan kepala keluarga dan istri, kepemilikan aset rumah tangga, dan pengeluaran perkapita.
36
Besar Keluarga Besar keluarga merupakan seluruh anggota keluarga yang tinggal bersama dalam satu atap serta memiliki ikatan kekeluargaan. Jumlah anggota keluarga nelayan miskin berkisar antara 3 sampai 12 orang, sedangkan pada keluarga tidak miskin berkisar antara 2 sampai 10 orang. Berdasarkan pengkategorian besar keluarga oleh BKKBN (1998) maka sebesar 46.15% keluarga nelayan miskin termasuk kategori keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga 5 sampai 7 orang dan 26.92% masing-masing termasuk kategori keluarga kecil dan besar. Kategori besar keluarga dengan proporsi terbesar pada keluarga tidak miskin adalah keluarga sedang yaitu sebesar 48.72%. Hanya 7.69% keluarga tidak miskin yang memiliki jumlah keluarga lebih dari 8 orang. Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan besar keluarga Miskin Tidak Miskin Total Besar Keluarga n % n % n % Kecil ( 4 orang) 7 26.92 17 43.59 24 36.92 Sedang (5-7 orang) 12 46.15 19 48.72 31 47.69 Besar ( 8 orang) 7 26.92 3 7.69 10 15.38 Total 26 100.00 39 100.00 65 100.00 Minimum-maksimum 3-12 orang 2-10 orang 2-12 orang Rata-rata ± SD 6.26 ± 2.53 4.97 ± 1.63 5.49 ± 2.12 Menurut BPS (2002), bertambahnya jumlah anggota maka akan menyebabkan makin meningkatnya beban ekonomi rumah tangga sehingga makin bertambah pula kecenderungan menjadi miskin. Uji korelasi Spearman menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan status kemiskinan (p=0.051). Usia Suami dan Istri Usia suami dapat menggambarkan kemampuannya untuk melakukan kegiatan produktif. Usia suami berkisar antara 25 sampai 70 tahun, sedangkan usia istri berkisar antara 20 sampai 66 tahun. Tabel 12 menyediakan informasi mengenai sebaran usia KK dan istri nelayan menurut kategori miskin dan tidak miskin.
37
Tabel 12 Sebaran suami dan istri nelayan usia Miskin Usia n % Dewasa awal 57.69 15 Dewasa 8 30.77 menengah Suami Dewasa lanjut 3 11.54 Total 26 100.00 Minimum-maksimum 25-69 tahun Rata-rata ± SD 42.11 ± 14.06 53.85 Dewasa awal 14 Dewasa 11 42.31 menengah Istri Dewasa lanjut 1 3.85 Total 26 100.00 Minimum-maksimum 23-66 tahun Rata-rata ± SD 38.36 ± 11.83
miskin dan tidak miskin berdasarkan Tidak Miskin n % 27 69.23
n 42
% 64.62
11
19
29.23
28.21
Total
1 2.56 39 100.00 25-70 tahun 39.10 ± 9.60 31 79.49
4 6.15 65 100.00 25-70 tahun 40.31 ± 11.58 45 69.23
8
19
20.51
0 0.00 39 100.00 20-65 tahun 34.92 ± 8.42
29.23
1 1.54 65 100.00 20-66 tahun 36.29 ± 9.97
Lebih dari separuh usia suami pada keluarga nelayan miskin (57.69%) dan tidak miskin (69.23%) termasuk kelompok usia dewasa awal. Kelompok usia suami dengan persentase terkecil adalah usia dewasa lanjut. Pada data dalam Tabel 11 dapat dilihat bahwa ada 11.54% suami pada keluarga miskin dan 2.56% nelayan tidak miskin yang berusia diatas 65 tahun. Bila usia suami dikorelasikan dengan status kemiskinan maka tidak ada hubungan yang signifikan (p=0.394). Lebih dari separuh usia istri nelayan miskin berada pada kisaran dewasa awal yaitu sebesar 53.85%. Hanya ada satu orang yang berusia di atas 65 tahun (3.85%). Sebagian besar istri nelayan tidak miskin berusia antara 20 hingga 40 tahun (79.49%), namun tidak ada satupun istri nelayan tidak miskin yang berusia lanjut. Hasil uji korelasi menyatakan bahwa usia istri memiliki hubungan yang signifikan dengan status kemiskinan
dengan p=0.021 dan r=-0.291. Artinya
semakin muda usia istri keluarga nelayan maka semakin besar kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai kesejahteraan keluarganya. Berdasarkan hasil penelitian Polin (2005) secara umum sebagian besar usia suami dan istri nelayan termasuk ke dalam usia produktif, sehingga aktivitas yang dilakukan akan semakin banyak dan diharapkan dapat menambah jumlah pendapatan rumah tangga. Sebagian besar suami dan istri nelayan juga termasuk pasangan usia subur, sehingga sangat berpeluang untuk menambah jumlah anggota rumah tangga. Dalam rumah tangga nelayan, keterlibatan anak dalam usaha penangkapan ikan sangat tinggi.
38
Pendidikan Suami dan Istri Kisaran lama sekolah suami pada keluarga nelayan miskin adalah antara 0 sampai 15 tahun sedangkan pada keluarga nelayan tidak miskin antara 0 sampai 9 tahun. Lama sekolah istri nelayan miskin berkisar antara 0 sampai 12 tahun, demikian pula pada istri nelayan tidak miskin. Pendidikan diukur dengan jumlah tahun sekolah tanpa menghitung tinggal kelas berdasarkan kategori BPS (1992). Tabel 13 menjelaskan sebaran suami dan istri nelayan berdasarkan lama sekolah. Tabel 13 Sebaran suami dan istri nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan lama sekolah Miskin Tidak Miskin Total Lama Sekolah (tahun) n % n % n % Rendah ( 6) 24 92.31 38 97.44 62 95.38 Menengah (7-12) 1 3.85 1 2.56 2 3.08 KK Tinggi ( 13) 1 3.85 0 0.00 1 1.54 Total 26 100.00 39 100.00 65 100.00 Minimum-maksimum 0-15 tahun 0-9 tahun 0-15 tahun Rendah ( 6) 24 92.31 35 89.74 59 90.77 Menengah (7-12) 2 7.69 4 10.26 6 9.23 Istri Tinggi ( 13) 0 0.00 0 0.00 0 0.00 Total 26 100.00 39 100.00 65 100.00 Minimum-maksimum 0-12 tahun 0-12 tahun 0-12 tahun Hampir seluruh KK baik miskin maupun tidak miskin memiliki lama sekolah kurang dari 6 tahun. Sebanyak 92.31% KK nelayan miskin dan 97.44% KK nelayan tidak miskin bersekolah selama
6 tahun. Hanya terdapat 1 KK yang
berpendidikan menengah pada nelayan miskin dan tidak miskin. Terdapat KK nelayan miskin yang berpendidikan tinggi yaitu sebanyak satu orang (3.85%), namun tidak ada satupun KK nelayan tidak miskin yang mencapai pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Sebagian besar istri nelayan miskin (92.31%) hanya menempuh pendidikan hingga tingkat dasar sedangkan lainnya (7.69%) berpendidikan menengah. Sementara itu 89.74% istri nelayan tidak miskin termasuk kategori pendidikan rendah dan lainnya sebanyak 10.26% bersekolah selama 7 hingga 12 tahun. Tidak ada istri nelayan baik miskin maupun tidak miskin yang mencapai pendidikan tinggi. Pendidikan individu dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup dalam berbagai hal. Pendidikan dan kesejahteraan adalah dua aspek yang saling mempengaruhi. Tingkat pendidikan akan menentukan kemampuan sebuah keluarga dalam mengakses kebutuhan hidupnya.
39
Hasil analisis korelasi Spearman menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan KK dengan status kemiskinan (p=0.333). Demikian halnya pada pendidikan istri, tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan istri dengan status kemiskinan (p=0.731). Kepemilikan Aset Rumah Tangga Aset rumah tangga nelayan sangat penting diketahui karena terkait dengan penggunaan aset tersebut sebagai alat tukar dalam mengatasi kekurangan pangan pada masa paceklik. Menurut Frankenberger dan Goldstein (1991), diacu dalam Polin (2005) aset rumah tangga digolongkan menjadi 2 macam, yaitu liquid assets dan productive assets. Liquid assets adalah materi yang dimiliki oleh rumah tangga yang dapat ditukar dengan uang (dijual) untuk memenuhi kebutuhan pangan, sedangkan productive assets adalah materi yang dimiliki oleh rumah tangga yang memiliki peran dalam pencapaian pendapatan rumah tangga. Materi yang termasuk liquid assets antara lain rumah, barang elektronik, perhiasan emas dan perak, tabungan, asuransi kesehatan, asuransi pendidikan, sofa, dan kompor gas. Alat transportasi, alat tangkap ikan, serta hewan ternak digolongkan ke dalam productive assets. Sebaran contoh berdasarkan persentase kepemilikan aset rumah tangga baik liquid assets maupun productive assets dapat dilihat pada Tabel 14. Aset terbanyak dimiliki oleh lebih dari separuh (66.67%) nelayan miskin dan sebagian besar nelayan tidak miskin (94.74%) adalah rumah. Rumah tersebut berstatus kepemilikan sendiri. Keluarga nelayan miskin maupun tidak miskin yang tidak memiliki rumah sendiri, biasanya menempati rumah peninggalan orang tua atau menumpang di tempat saudara. Hasil uji beda MannWhitney menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara nelayan miskin dan tidak miskin dalam hal kepemilikan rumah (p=0.008). Jenis barang elektronik dengan proporsi terbesar yang dimiliki oleh nelayan miskin adalah televisi yaitu sebanyak 77.78% dan 78.95% pada nelayan tidak miskin. Hampir separuh nelayan miskin (44.44%) dan 34.21%`nelayan tidak miskin mempunyai perhiasan emas sebagai aset yang mudah dijual ketika keadaan perekonomian tidak memungkinkan untuk membeli bahan pangan. Sebesar 37.04% nelayan miskin dan 34.21% nelayan tidak miskin memiliki sepeda. Sepeda motor lebih banyak dimiliki oleh nelayan tidak miskin
40
(13.16%) dibandingkan dengan nelayan miskin (11.11%). Nelayan miskin lebih banyak yang memiliki sepeda daripada sepeda motor, sebaliknya nelayan tidak miskin lebih banyak yang memiliki sepeda motor daripada sepeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan keterjangkauan secara ekonomi antara nelayan miskin dan tidak miskin, mengingat harga sepeda motor dan bahan bakar yang cukup tinggi. Tabel 14 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan kepemilikan aset Jenis Aset Rumah tangga Rumah Barang elektronik - TV - Radio - Tape - VCD - Rice cooker - Magic jar - Kulkas - Mesin cuci - Kipas angin Perhiasan - Emas - Perak Tabungan Asuransi kesehatan Asuransi pendidikan Sofa Kompor gas
Miskin Tidak miskin n % n % Liquid Assets 18 66.67 36 94.74
54
83.08
21 9 6 11 0 2 2 1 1
78.95 47.37 28.95 36.84 5.26 5.26 5.26 5.26 15.79
51 27 17 25 2 4 4 3 7
78.46 41.54 26.15 38.46 3.08 6.15 6.15 4.62 10.77
34.21 0.00 13.16 10.53 2.63 15.79 7.89
25 1 6 5 1 6 4
38.46 1.54 9.23 7.69 1.54 9.23 6.15
34.21 13.16 42.11 31.58
23 8 18 16
35.38 12.31 27.69 24.62
81.58 5.26
51 2
78.46 3.08
12 1 1 1 0 0 1
77.78 33.33 22.22 40.74 0.00 7.41 7.41 3.70 3.70
30 18 11 14 2 2 2 2 6
44.44 13 3.70 0 3.70 5 3.70 4 0.00 1 0.00 6 3.70 3 Productive Assets
Alat transportasi - Sepeda 10 37.04 13 - Sepeda motor 3 11.11 5 - Kapal 2 7.41 16 - Motor kapal 4 14.81 12 Alat tangkap ikan - Jaring 20 74.07 31 - Alat pancing 0 0.00 2 Ternak dan Perikanan - Ayam 1 3.70 2 - Itik 2 7.41 5 - Tambak 0 0.00 2 Keterangan : Persen terhadap masing-masing jumlah (miskin = 26; tidak miskin = 39)
n
Total %
5.26 3 4.62 13.16 7 10.77 5.26 2 3.08 contoh pada kelompok nelayan
Nelayan miskin yang memiliki kapal dan motor kapal adalah 7.41% dan 14.81%, sedangkan pada nelayan tidak miskin adalah sebesar 42.11% dan
41
31.58%. Berdasarkan hasil uji beda Mann-Whitney ternyata kepemilikan kapal pada nelayan miskin dan tidak miskin berbeda nyata dengan p-value sebesar 0.002. Sementara itu sebagian nelayan miskin (74.07%) hanya memiliki alat tangkap berjenis jaring dan tidak memiliki alat pancing. Mayoritas nelayan tidak miskin (81.58%) mempunyai jaring penangkap ikan, namun alat pancing hanya dimiliki oleh 5.26% nelayan. Nelayan lebih memilih jaring sebagai alat tangkap ikan karena kuantitas ikan yang akan diperoleh lebih banyak dibanding jika menggunakan alat pancing. Nelayan tidak miskin cenderung lebih sering menjadi nelayan pemilik atau juragan yang mempunyai sarana penangkapan seperti kapal, jaring, dan alat tangkap lainnya. Sementara nelayan miskin biasanya lebih sering menjadi nelayan buruh yang menjual jasa tenaga kerja dalam kegiatan penangkapan ikan di laut. Menurut Masyhuri dan Nadjib (2000) yang termasuk kelompok nelayan miskin adalah kelompok nelayan yang tidak memiliki sarana produksi, kaum buruh yang tidak terpelajar dan terlatih, dan sebagainya. Pengeluaran Perkapita Pengeluaran perkapita perbulan merupakan pengeluaran keluarga perbulan dibagi dengan jumlah anggota keluarga. Pengeluaran pangan perkapita pada keluarga nelayan miskin perbulan berkisar antara Rp 42285 hingga Rp 124275 dengan rata-rata Rp 72960 ± 24805. Pengeluaran untuk nonpangan berkisar antara Rp 14029 hingga Rp 93521 dengan rata-rata Rp 43323 ± 21678. Kisaran pengeluaran pangan keluarga nelayan tidak miskin antara Rp 57337 sampai dengan Rp 209414 dengan rata-rata Rp 120943 ± 40558. Pengeluaran nonpangan berkisar antara Rp 44145 sampai dengan Rp 297091 dengan ratarata Rp 131855 ± 64572. Sebaran data pengeluaran pangan dan nonpangan perkapita perbulan pada keluarga nelayan miskin dan tidak miskin dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran pengeluaran pangan dan nonpangan (Rp) perkapita perbulan keluarga nelayan miskin dan tidak miskin Pengeluaran Perkapita Pengeluaran Pangan Minimum-Maksimum Rata-rata ± SD % Pangan Pengeluaran Nonpangan Minimum-Maksimum Rata-rata ± SD % Nonpangan
Miskin (Rp)
Tidak Miskin (Rp)
42285-124275 72960 ± 24805 62.70
57337-209414 120943 ± 40558 47.81
14029-93521 43323 ± 21678 37.30
44145-297091 131855 ± 64572 52.19
42
Persentase pengeluaran pangan perkapita pada keluarga nelayan miskin (62.70%) lebih tinggi daripada keluarga nelayan tidak miskin (47.81%). Persentase pengeluaran nonpangan perkapita keluarga nelayan tidak miskin (52.19%) lebih tinggi dibandingkan keluarga nelayan miskin (37.30%). Seperti yang diungkapkan oleh Berg (1986) bahwa persentase pengeluaran pada keluarga miskin lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Persentase pengeluaran untuk masing-masing jenis pengeluaran baik pangan maupun nonpangan disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16 Persentase setiap jenis pengeluaran pangan dan nonpangan terhadap total pengeluaran perkapita perbulan Jenis pengeluaran
% terhadap total pada nelayan miskin
% terhadap total pada nelayan tidak miskin
27.79 2.60 8.71 4.24 0.56 4.85 3.47 7.74 2.74 62.70
17.48 1.11 8.99 2.81 0.85 3.21 2.67 6.91 3.78 47.81
7.22 6.63 13.16 0.19 2.81 2.36 4.93 37.30 100.00
4.42 9.33 20.79 0.05 2.85 1.65 13.10 52.19 100.00
Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lainnya Sub total Non Pangan Kesehatan Pendidikan Bahan bakar/dapur Perumahan Pakaian Pesta/selamatan Lainnya Sub total Total
Berdasarkan
tabel
di
atas,
dapat
diketahui
bahwa
persentase
pengeluaran pangan paling besar baik pada keluarga nelayan miskin maupun tidak miskin adalah untuk jenis pangan padi-padian (27.79% dan 17.48%). Pengeluaran pangan dengan persentase terendah adalah untuk kelompok pangan buah/biji berminyak yaitu sebesar 0.56% dan 0.85% pada keluarga nelayan miskin dan tidak miskin. Sesuai dengan hukum Bennet yaitu peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi pangan denagn harga yang lebih mahal per unit zat gizinya. Pada tingkat pendapatan yang lebih rendah, permintaan terhadap pangan diutamakan pada pangan padat energi yang berasal dari karbohidrat, terutama padi-padian. Jika pendapatan meningkat maka pola konsumsi pangan akan
43
semakin beragam serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang bernilai gizi tinggi (Soekirman 2000). Pengeluaran
nonpangan
dengan
persentase
terbesar
adalah
pengeluaran untuk bahan bakar/dapur. Pada keluarga nelayan miskin, persentase tersebut sebesar 13.16% sedangkan pada keluarga tidak miskin mencapai 20.79% dari subtotal pengeluaran nonpangannya. Manusia sangat bergantung pada energi yang berasal dari bahan bakar minyak sehingga pemenuhannya lebih diprioritaskan daripada kebutuhan nonpangan lainnya. Proporsi pengeluaran nonpangan terkecil pada kedua kelompok contoh adalah untuk perumahan yakni sebesar 0.19% pada keluarga miskin dan 0.05% pada keluarga tidak miskin. Persentase pengeluaran untuk kesehatan pada keluarga nelayan miskin (7.22%) ternyata lebih besar daripada keluarga nelayan tidak miskin (4.42%). Hal ini dikarenakan keluarga tidak miskin mampu mencukupi kebutuhan zat gizinya sehingga mereka lebih terpelihara kesehatannya. Akibatnya mereka tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk pemeliharaan kesehatan. Rata-rata pengeluaran pangan perkapita keluarga nelayan miskin dan tidak miskin lebih kecil dibandingkan dengan dengan rata-rata pengeluaran pangan Jawa Barat (BPS 2005) yaitu sebesar Rp 124701,00 perkapita perbulan. Sementara itu rata-rata pengeluaran nonpangan keluarga nelayan miskin (Rp 43323 ± 21678) lebih kecil dibandingkan dengan dengan rata-rata pengeluaran nonpangan Jawa Barat yaitu sebesar Rp 82721,00 perkapita perbulan. Berbeda dengan pengeluaran nonpangan keluarga nelayan tidak miskin, rata-ratanya (Rp 131855 ± 64572) lebih tinggi dibandingkan dengan ratarata Jawa Barat. Dukungan Sosial Bentuk Dukungan Sosial Dukungan sosial merupakan berbagai macam bantuan yang diterima oleh seseorang dari orang lain. Dukungan tersebut dapat berupa dukungan secara emosional maupun instrumental. Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan bentuk dukungan sosial yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 17.
44
Tabel 17
Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak bentuk dukungan sosial
Bentuk Dukungan Sosial
Miskin n
%
miskin berdasarkan
Tidak Miskin n %
Total n
% Dukungan emosional - Kunjungan dari petugas kesehatan 3 11.11 5 13.16 8 12.31 - Semangat dari ketua RT 6 22.22 13 34.21 19 29.23 - Sanak famili bersedia mendengarkan masalah 23 85.19 28 73.68 51 78.46 - Rasa cinta dan peduli dari sanak famili 24 88.89 32 84.21 56 86.15 - Rasa cinta dan peduli dari teman karib 21 77.78 28 73.68 49 75.38 - Rasa aman dalam bermasyarakat 22 81.48 35 92.11 57 87.69 - Hubungan akrab dengan sanak famili 23 85.19 35 92.11 58 89.23 - Pertolongan tetangga 20 74.07 31 81.58 51 78.46 - Rasa tenang dalam menumbuhkembangkan anak 22 81.48 32 84.21 54 83.08 - Pertolongan masyarakat 24 88.89 34 89.47 58 89.23 - Saran dari tetangga dalam penyelesaian masalah 21 77.78 32 84.21 53 81.54 Dukungan instrumental - Bantuan makanan selalu diterima 17 62.96 24 63.16 41 63.08 - Bantuan biaya sekolah anak 15 55.56 20 52.63 35 53.85 - Bantuan keuangan dari sanak famili 19 70.37 27 71.05 46 70.77 - Pinjaman uang/barang dari tetangga 16 59.26 20 52.63 36 55.38 Keterangan : Persen terhadap masing-masing jumlah contoh pada kelompok nelayan (miskin = 26; tidak miskin = 39)
Berdasarkan tabel tersebut bentuk dukungan emosional dengan proporsi terbesar yang dimiliki oleh keluarga nelayan miskin yaitu berupa rasa cinta dan peduli dari sanak famili dan kesediaan masyarakat untuk memberikan pertolongan pada saat terjadi kesulitan masing-masing sebesar 88.89%. Keluarga nelayan tidak miskin sebanyak 92.11%, merasa bahwa kehidupan bermasyarakat memberi perasaan aman dan hubungan seakrab mungkin terjalin dengan sanak famili. Bentuk dukungan sosial yang paling sedikit diterima oleh keluarga nelayan miskin maupun tidak miskin adalah kunjungan dari petugas yang memeriksa kesehatan anggota keluarga. Keluarga nelayan yang merasa dikunjungi oleh petugas kesehatan hanya sebesar 11.11% keluarga nelayan miskin dan 13.16% keluarga nelayan tidak miskin. Hal ini menandakan kurang adanya kepedulian dari pemerintah setempat dalam memperhatikan kesehatan warganya terutama keluarga nelayan. Dukungan sosial dalam bentuk instrumen yang terbanyak dirasakan oleh keluarga nelayan adalah bantuan keuangan dari sanak famili ketika mengalami kesulitan yaitu sebesar 70.37% pada keluarga miskin dan 71.05% pada keluarga nelayan tidak miskin. Persentase dukungan instrumental terkecil pada keluarga nelayan miskin adalah bantuan biaya sekolah anak yaitu sebesar 55.56%,
45
sementara 44.44% lainnya tidak mendapat bantuan biaya SPP sekolah. Pada keluarga tidak miskin, 52.63% contoh menyatakan diberi bantuan biaya SPP sekolah untuk anak serta mendapatkan pinjaman uang maupun barang dari tetangga saat menghadapi kesulitan. Tingkat Dukungan Sosial Tingkat dukungan sosial dikategorikan menjadi tiga yaitu (1) rendah jika skor antara 15 sampai 20; (2) sedang jika skor antara 21 sampai 25; dan (3) tinggi jika skor antara 26 sampai 30. Tingkat dukungan sosial keluarga nelayan miskin dan tidak miskin disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan tingkat dukungan sosial Miskin Tidak Miskin Total Tingkat Dukungan Sosial n % n % n % Rendah (skor 15-20) 2 7.69 3 7.69 5 7.69 Sedang (skor 21-25) 9 34.62 16 41.03 25 38.46 Tinggi (skor 26-30) 15 57.69 20 51.28 35 53.85 Total 26 100.00 39 100.00 65 100.00 Minimum-maksimum 18 - 28 16 - 30 16 -30 Rata-rata ± SD 25.61 ± 2.59 25.15 ± 3.28 25.33 ± 3.01 Tabel 18 menunjukkan bahwa tingkat dukungan sosial lebih dari separuh keluarga nelayan miskin (57.69%) berada pada kategori tinggi dan hanya 7.69% yang berada pada kategori rendah. Demikian pula pada keluarga tidak miskin, lebih dari separuh (53.85%) keluarga nelayan tidak miskin mempunyai tingkat dukungan sosial tinggi dan hanya 7.69% yang berada pada kategori rendah. Hasil uji korelasi Spearman menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat dukungan sosial dengan status kemiskinan (p=0.654). Lebih dari separuh nelayan pada kelompok miskin maupun tidak miskin mendapatkan dukungan sosial yang cukup tinggi. Hal tersebut menandakan masih adanya kebudayaan tolong menolong di lingkungan masyarakat nelayan tanpa membeda-bedakan status kemiskinannya.
Food Coping Strategy Identifikasi Kekurangan Pangan dan Persediaan Pangan Food coping strategy merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh anggota keluarga untuk menanggulangi kesulitan pangan sehingga kebutuhan pangan anggotanya dapat tercukupi. Langkah ini dilakukan pada saat terjadi kekurangan pangan pada keluarga.
46
Sebagian besar keluarga nelayan miskin (88.46%) dan keluarga tidak miskin (89.74%) pernah mengalami kekurangan pangan. Sebesar 11.54% keluarga nelayan miskin dan 10.77% keluarga nelayan tidak miskin menyatakan tidak pernah mengalami kekurangan pangan. Persentase kejadian kekurangan pangan pada keluarga nelayan tidak miskin ternyata lebih besar daripada keluarga nelayan miskin. Tabel di bawah ini (Tabel 19) memberikan gambaran mengenai kejadian kekurangan pangan yang dialami oleh keluarga nelayan. Tidak ada perbedaan yang nyata pada kejadian kekurangan pangan antara keluarga nelayan miskin dan tidak miskin (p=0.871). Tabel 19 Sebaran keluarga nelayan miskin kejadian kekurangan pangan Miskin Pernah Kekurangan Pangan n % - Ya 23 88.46 - Tidak 3 11.54 Total 26 100.00 Frekuensi
kejadian
kekurangan
dan tidak miskin berdasarkan Tidak miskin n % 35 89.74 4 10.26 39 100.00
pangan
dipengaruhi
Total n % 58 89.23 7 10.77 65 100.00 oleh
tingkat
pendapatan. Frekuensi ini dibagi menjadi 2 yaitu lebih dari 12 kali dalam satu tahun dan kurang dari sama dengan 12 kali dalam satu tahun. Sebagian besar keluarga miskin (82.61%) mengalami kekurangan pangan lebih dari 12 kali dalam satu tahun. Sebanyak 62.86% keluarga tidak miskin mengalami kekurangan pangan sebanyak kurang dari sama dengan 12 kali dalam satu tahun. Frekuensi kejadian kekurangan pangan pada keluarga miskin berbeda nyata dengan keluarga tidak miskin (p=0.001). Gambaran mengenai hal ini dapat disimak dalam Tabel 20 berikut. Tabel 20 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan frekuensi kejadian kekurangan pangan Miskin Tidak miskin Total Frekuensi Kejadian Kekurangan Pangan n % n % n % 12 kali setahun 19 82.61 13 37.14 32 55.17 < 12 kali setahun 4 17.39 22 62.86 26 44.83 Total 23 100.00 35 100.00 58 100.00 Kekurangan pangan dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya turunnya pendapatan akibat masa paceklik tangkapan laut. Kondisi alam yang tidak memungkinkan bagi nelayan untuk pergi mencari ikan di laut (ombak tinggi dan angin kencang) dapat menyebabkan penurunan hasil tangkapan laut sehingga pendapatan nelayan pun menurun. Tabel 21 menggambarkan sebaran keluarga nelayan berdasarkan penyebab terjadinya kekurangan pangan.
47
Seluruh contoh baik keluarga nelayan baik miskin maupun tidak miskin (100%) menyatakan alasan terjadinya kekurangan pangan adalah akibat menurunnya tingkat pendapatan. Bertambahnya anggota keluarga bukan merupakan penyebab kekurangan pangan pada keluarga nelayan miskin dan tidak miskin. Tidak ada perbedaan yang nyata pada penyebab terjadinya kekurangan pangan antara keluarga nelayan miskin dan tidak miskin (p=1.000). Tabel 21 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan penyebab terjadinya kekurangan pangan Miskin Tidak miskin Total Penyebab Kekurangan Pangan n % n % n % - Pendapatan menurun 23 100.00 35 100.00 58 100.00 - Anggota keluarga bertambah 0 0.00 0 0.00 0 0.00 Total 23 100.00 35 100.00 58 100.00 Salah satu hal yang perlu untuk diperhatikan dalam usaha pemenuhan kebutuhan pangan keluarga adalah persediaan pangan. Tabel 22 menjelaskan bagaimana kondisi persediaan pangan keluarga nelayan. Lebih dari separuh keluarga nelayan miskin (65.38%) dan 66.67% keluarga nelayan tidak miskin memiliki persediaan pangan. Sebesar 34.62% keluarga miskin dan 33.33% keluarga tidak miskin merasa tidak mempunyai persediaan pangan bagi anggota keluarganya. Persediaan pangan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Tidak ada perbedaan yang nyata antara persediaan pangan pada keluarga nelayan miskin dan tidak miskin (p=0.915). Tabel 22 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan persediaan pangan Miskin Tidak miskin Total Persediaan Pangan n % n % n % Ada 17 65.38 26 66.67 43 66.15 Tidak ada 9 34.62 13 33.33 22 33.85 Total 26 100.00 39 100.00 65 100.00 Lama persediaan pangan keluarga nelayan berbeda-beda (Tabel 23). Sebesar 64.71% keluarga nelayan miskin dan 69.23% keluarga nelayan tidak miskin hanya mempunyai persediaan pangan untuk satu hari. Tidak ada satupun keluarga nelayan miskin yang memiliki cukup persediaan pangan untuk 30 hingga 60 hari, sedangkan pada keluarga tidak miskin hanya terdapat 3.85%.
48
Tabel 23 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan lama persediaan pangan Miskin Tidak miskin Total Lama Persediaan Pangan n % n % n % 1 hari 11 64.71 18 69.23 29 67.44 2-7 hari 4 23.53 6 23.08 10 23.26 8-29 hari 2 11.76 1 3.85 3 6.98 30-60 hari 0 0.00 1 3.85 1 2.33 Total 17 100.00 26 100.00 43 100.00 Persediaan pangan yang dimiliki menurut sebagian contoh mampu mencukupi semua kebutuhan pangan anggota keluarga. Namun lebih dari separuh keluarga nelayan miskin (52.94%) dan 61.54% keluarga nelayan tidak miskin menyatakan bahwa persediaan pangan yang ada belum mencukupi. Hal ini diperlihatkan oleh Tabel 24. Tabel 24 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan konsumsi persediaan pangan Miskin Tidak miskin Total Persediaan Pangan Cukup n % n % n % Ya 8 47.06 10 38.46 18 41.86 Tidak 9 52.94 16 61.54 25 58.14 Total 17 100.00 26 100.00 43 100.00 Bentuk persediaan pangan keluarga nelayan pun tidak sama. Ada yang menjadikan beras sebagai persediaan pangan, namun ada pula yang menyediakan uang tunai sebagai aset yang mudah dipertukarkan dengan bahan pangan. Tabel 25 memberikan informasi mengenai sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan bentuk persediaan pangannya. Tabel 25 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan bentuk persediaan pangan Miskin Tidak miskin Total Bentuk Persediaan Pangan n % n % n % Beras 17 100.00 25 96.15 42 97.67 Uang 0 0.00 1 3.85 1 2.33 Total 17 100.00 26 100.00 43 100.00 Berdasarkan tabel di atas, dari seluruh nelayan yang memiliki persediaan pangan, ternyata seluruh keluarga nelayan miskin (100%) menjadikan beras sebagai persediaan pangannya. Tidak ada satupun keluarga miskin yang mempunyai persediaan pangan dalam bentuk uang tunai. Sebanyak 96.15% keluarga nelayan tidak miskin memilih beras sebagai persediaan pangannya dan
49
hanya ada satu keluarga nelayan (3.85%) yang memilih uang tunai sebagai bentuk persediaan pangan.
Pelaksanaan Food Coping Strategy Pelaksanaan food coping strategy merupakan suatu langkah yang dilakukan keluarga pada saat terjadi kekurangan pangan. Food coping strategy diukur dengan menggunakan 33 pertanyaan yang dikelompokkan menjadi 7 yaitu: (1) peningkatan pendapatan; (2) perubahan kebiasaan makan; (3) penambahan akses segera pada pangan; (4) penambahan akses segera untuk membeli pangan; (5) perubahan distribusi dan frekuensi makan; (6) menjalani hari-hari tanpa makan; dan (7) langkah drastis. Perilaku coping yang termasuk ke dalam kelompok 1 hingga 7 dapat dilihat pada Tabel 26. Mencari pekerjaan sampingan menjadi salah satu upaya yang dilakukan oleh keluarga nelayan demi mendapatkan tambahan pendapatan. Pendapatan ini akan digunakan untuk membeli bahan pangan bagi anggota keluarga. Sekitar 43.48% keluarga nelayan miskin dan 25.71% keluarga nelayan tidak miskin yang bekerja sampingan. Bertanam tanaman pangan dan beternak bukanlah cara yang banyak dipilih oleh kebanyakan keluarga nelayan dalam mengatasi masalah kekurangan pangan. Hanya 8.57% keluarga nelayan tidak miskin yang menanam tanaman pangan dan 17.14% yang memilih untuk beternak ayam, kambing, dan sebagainya. Sementara pada keluarga nelayan miskin tidak ada satu keluarga pun yang menanam tanaman pangan di sekitar rumah , sedangkan beternak hanya dilakukan oleh 8.70% keluarga. Rendahnya persentase ini mungkin disebabkan oleh keterbatasan lahan atau pekarangan yang dimiliki. Padahal jika pekarangan rumah ditanami dengan tanaman pangan maka ketahanan pangan rumah tangga dapat meningkat. Upaya perubahan kebiasaan makan juga dilakukan oleh keluarga nelayan dalam mencukupi kebutuhan pangannya. Hampir sebagian besar nelayan miskin (73.91%) memilih untuk membeli makanan yang lebih murah harganya dan 60% nelayan tidak miskin melakukan hal yang sama. Sebesar 78.26% dan 80% keluarga nelayan miskin dan tidak miskin mengurangi jumlah jenis pangan yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Jika dalam kondisi tidak kekurangan pangan, jenis pangan yang dikonsumsi adalah nasi, sayur, dan lauk nabati maka pada saat terjadi kekurangan pangan, jenis pangan yang dikonsumsi dikurangi menjadi nasi dan sayur saja atau nasi dan lauk seadanya saja. Sebesar 34.78% nelayan
50
miskin dan 28.57% nelayan tidak miskin membeli makanan yang nilainya lebih rendah, misalnya jika sebelumnya ia mengkonsumsi nasi maka pada saat kekurangan pangan ia mengkonsumsi singkong. Hampir sebagian besar keluarga nelayan miskin (78.26%) mengurangi porsi makan dari sebelumnya. Sebesar 54.29% keluarga nelayan tidak miskin mengurangi porsi makan saat mengalami kekurangan pangan. Tabel 26 Kelompok coping
Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan perilaku food coping strategy Total Miskin Tidak miskin Perilaku
n
%
n
%
n
Bekerja sampingan 10 43.48 9 25.71 19 1 Bertanam 0 0.00 3 8.57 3 Beternak 2 8.70 6 17.14 8 Membeli makanan yang lebih murah 17 73.91 21 60.00 38 Mengurangi jenis pangan 18 78.26 28 80.00 46 Mengubah prioritas pembelian 2 pangan 15 65.22 19 54.29 34 Membeli makanan bernilai rendah 8 34.78 10 28.57 18 Mengurangi porsi makan 18 78.26 19 54.29 37 Mengumpulkan makanan liar 9 39.13 7 20.00 16 Menerima makanan dari saudara 11 47.83 11 31.43 22 Food for work 1 4.35 3 8.57 4 3 Kupon raskin 19 82.61 31 88.57 50 Barter pangan 8 34.78 12 34.29 20 Mengambil tabungan untuk beli pangan 1 4.35 0 0.00 1 Gadaikan aset 1 4.35 1 2.86 2 Menjual aset tidak produktif 4 17.39 3 8.57 7 Menjual aset produktif 1 4.35 3 8.57 4 4 Pinjam uang pada saudara dekat 18 78.26 28 80.00 46 Pinjam uang pada saudara jauh 5 21.74 13 37.14 18 Pinjam uang pegadaian 4 17.39 7 20.00 11 Pinjam uang bakul 8 34.78 7 20.00 15 Hutang pada warung 18 78.26 23 65.71 41 Merubah distribusi makan 13 56.52 16 45.71 29 5 Mengurangi frekuensi makan 16 69.57 15 42.86 31 6 Menjalani hari-hari tanpa makan 6 26.09 0 0.00 6 Migrasi ke luar daerah 4 17.39 12 34.29 16 Menjadi TKI 3 13.04 3 8.57 6 7 Memberikan anak ke saudara 0 0.00 0 0.00 0 Cerai 0 0.00 0 0.00 0 Keterangan : Persen terhadap masing-masing jumlah contoh pada kelompok yang melakukan coping (miskin=23; tidak miskin=35)
% 32.76 5.17 13.79 65.52 79.31 58.62 31.03 63.79 27.59 37.93 6.90 86.21 34.48 1.72 3.45 12.07 6.90 79.31 31.03 18.97 25.86 70.69 50.00 53.45 10.34 27.59 10.34 0.00 0.00 nelayan
51
Penambahan akses segera terhadap pangan dilakukan oleh keluarga nelayan miskin diantaranya 47.83% menerima makanan dari saudara. Sebagian besar keluarga nelayan miskin (82.61%) dan tidak miskin (88.57%) menerima kupon raskin (beras untuk rakyat miskin). Tingginya persentase nelayan tidak miskin yang menerima raskin mencerminkan tidak akuratnya penyaluran program raskin pemerintah ini pada kenyataannya di masyarakat. Pihak RW hanya diberi waktu 1 minggu oleh pihak desa untuk menjual beras kepada rakyat miskin. Keluarga miskin biasanya hanya mampu membeli beras sebanyak 2 kilogram dengan harga Rp 1800 per kilogram. Oleh sebab itu, pihak RW akhirnya memilih untuk menjual raskin juga kepada rakyat yang tidak miskin agar beras tersebut laku. Penambahan akses segera untuk membeli pangan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan uang tunai yang selanjutnya dipertukarkan dengan bahan pangan. Sebanyak 78.26% keluarga nelayan miskin memilih untuk meminjam uang kepada saudara dekat daripada kepada saudara jauh (21.74%). Begitu pula pada nelayan tidak miskin, 80% contoh memilih untuk meminjam uang kepada saudara dekat dibandingkan kepada saudara jauh (37.14%). Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang nyata antara usaha meminjam kepada saudara jauh antara keluarga nelayan miskin dan tidak miskin (p<0.05). Alternatif lain yang dipilih oleh contoh adalah meminjam uang kepada pegadaian. Sebanyak 17.39% keluarga nelayan miskin dan 20% tidak miskin memilih untuk meminjam uang ke pegadaian. Uji beda Mann-Whitney menyatakan bahwa peminjaman uang kepada pegadaian antara keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berbeda nyata (p<0.05). Hampir sebagian besar keluarga nelayan miskin maupun tidak miskin (78.26% dan 65.71%) memilih berhutang pada warung dalam memenuhi kebutuhan pangannya pada saat kekurangan pangan. Perubahan distribusi dan frekuensi makan juga dilakukan oleh keluarga nelayan. Sebanyak 56.52% keluarga nelayan miskin dan 45.71% tidak miskin melakukan perubahan distribusi makan. Seorang ibu biasanya akan lebih memprioritaskan anak dalam hal makanan dibandingkan dirinya sendiri. Mengurangi frekuensi makan dalam sehari juga dilakukan oleh keluarga nelayan miskin (69.57%) dan tidak miskin (42.86%). Jika pada kondisi tidak sedang kekurangan pangan, keluarga nelayan mengkonsumsi makanan sebanyak tiga kali dalam sehari, maka ketika didera kekurangan pangan mereka mengurangi frekuensi makan menjadi dua kali atau satu kali.
52
Menjalani hari-hari tanpa makan dilakukan apabila benar-benar tidak ada makanan dalam rumah tangga. Sebanyak 26.09% keluarga nelayan miskin pernah melakukan puasa karena tidak memiliki makanan selama beberapa hari. Hal ini tidak terjadi pada keluarga tidak miskin. Perilaku coping lain yang dilakukan ternyata cukup dapat mengatasi kekurangan pangan yang dialami sehingga mereka tidak harus sampai berpuasa selama berhari-hari. Langkah drastis pun dilakukan apabila upaya-upaya yang telah disebutkan di atas masih belum bisa mengatasi masalah kekurangan pangan. Sebanyak 17.39% nelayan miskin dan 34.29% nelayan tidak miskin memilih untuk bermigrasi ke luar kota atau pulau lain. Hal ini dilakukan untuk mencari pendapatan demi memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarganya. Anggota keluarga yang pada umumnya bermigrasi adalah kepala keluarga, dan kadangkadang bersama dengan anaknya. Para nelayan bermigrasi ke perairan Jakarta untuk mencari ikan karena di perairan Cirebon terdapat kapal pengeruk yang beroperasi sehingga jumlah ikan yang tersisa menjadi sedikit. Mereka yang melakukan migrasi ke luar kota ini pergi menggunakan kapal dan pulang ke daerah asal melalui jalur darat sesekali untuk memberikan pendapatannya kepada istri. Hasil uji beda menyatakan bahwa ada perbedaan nyata antara perilaku migrasi ke luar daerah (kota atau pulau) pada keluarga miskin dan tidak miskin (p<0.05). Upaya ekstrim lain yang dapat dilakukan adalah dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Hal tersebut dilakukan oleh 13.04% nelayan miskin dan 8.07% nelayan tidak miskin. Berdasarkan hasil penelitian Usfar (2002), tindakan food coping yang banyak dilakukan oleh penduduk Indonesia dalam hal peningkatan pendapatan antara lain dengan memelihara ternak dan menanam tanaman pangan. Upaya perubahan kebiasaan makan yang sering dilakukan adalah merubah kualitas makanan menjadi lebih rendah dan mengumpulkan makanan. Tindakan coping dalam akses segera terhadap pangan adalah berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat sekitar dan menerima kupon raskin dari pemerintah. Tindakan coping yang termasuk dalam akses segera untuk membeli pangan yang banyak dilakukan antara lain dengan menjual hewan ternak yang bernilai jual rendah seperti ayam, bebek, ikan, dan kelinci). Langkah drastis yang dipilih oleh penduduk Indonesia adalah bermigrasi ke luar desa, kota, atau pulau lain.
53
Pelaksana Food Coping strategy Pelaksana food coping strategy meliputi kepala keluarga (KK), istri, anak, KK dan istri, KK dan anak, Istri dan anak, serta semua anggota keluarga (KK, istri dan anak). Sebaran mengenai pelaksana food coping strategy pada keluarga nelayan miskin maupun tidak miskin dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 3. Berdasarkan Lampiran 2 dan 3, sebagian besar pelaksana food coping strategy pada keluarga nelayan adalah istri. Istri berperan hampir di semua jenis perilaku coping. Jenis perilaku tersebut antara lain membeli makanan yang lebih murah, mengurangi jenis pangan dan porsi makan, mengubah prioritas pembelian pangan, mengutang makanan di warung, mengurangi frekuensi makan, dan merubah distribusi pangan. Peran kepala keluarga dalam pelaksanaan food coping strategy hanya meliputi beberapa hal seperti menerima raskin, meminjam uang kepada bakul, dan migrasi ke luar kota atau pulau untuk mencari tambahan pendapatan. Anak juga memiliki peran dalam usaha pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Bentuk peran yang dilakukannya adalah dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Pelaksana food coping strategy pada keluarga nelayan miskin lebih didominasi oleh istri daripada suami atau anggota keluarga yang lain. Istri banyak memegang peranan dalam membeli bahan pangan yang lebih murah (39.13%), mengurangi jenis pangan yang dikonsumsi (47.83%), serta mengubah prioritas pembelian pangan (34.78%).
Tingkat Food Coping Strategy Tingkat keparahan kejadian kekurangan pangan dapat diukur dari skor food coping strategy yang dilakukan oleh sebuah keluarga. Semakin tinggi skor maka semakin berat tingkat keparahan kejadian kekurangan pangan. Total skor food coping strategy keluarga nelayan miskin berkisar antara 19.00 sampai 76.00 dengan rata-rata skor 43.60 ± 16.54, sedangkan pada keluarga nelayan tidak miskin berkisar antara 8.00 sampai 60.00 dengan rata-rata skor 29.91 ± 12.32. Rendahnya skor food coping strategy mengindikasikan kekurangan pangan dalam keluarga masih dapat diatasi. Semakin tinggi skor food coping strategy maka peluang terjadinya kelaparan dalam keluarga semakin besar karena langkah drastis pasti akan dilakukan untuk memperoleh pangan. Tingkat food coping strategy dibagi menjadi tiga yaitu: (1) rendah jika skor antara 0 hingga 61.3; (2) sedang jika skor antara 61.4 hingga 122.6; (3) tinggi jika
54
skor antara 122.7 hingga 184.0. Berdasarkan klasifikasi tersebut maka sebagian besar keluarga miskin berada pada tingkat food coping strategy rendah (84.62%). Tingkat food coping strategy sedang hanya ditempati oleh 15.38% keluarga nelayan miskin. Tidak ada satupun keluarga nelayan yang memiliki tingkat food coping strategy tinggi. Seluruh keluarga nelayan tidak miskin (100%) mempunyai tingkat food coping strategy rendah. Hasil korelasi Spearman menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan (p=0.010) antara tingkat food coping strategy dengan status kemiskinan. Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin menurut tingkat food coping strategy dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan tingkat food coping strategy Miskin Tidak miskin Total Tingkat food coping strategy n % n % n % Rendah (0-61.3) Sedang (61.4-122.6) Tinggi (122.7-184) Total Minimum-Maksimum Rata-rata ± SD
19 82.61 4 17.39 0 0.00 23 100.00 19.00 - 76.00 43.60 ± 16.54
35 100.00 0 0.00 0 0.00 35 100.00 8.00 - 60.00 29.91 ± 12.32
54 93.10 4 6.89 0 0.00 58 100.00 8.00 - 76.00 35.34 ± 15.55
Tingkat Konsumsi Zat Gizi Manusia membutuhkan berbagai zat gizi dalam jumlah yang dianjurkan untuk pertumbuhan dan kesehatan yang normal. Zat-zat gizi yang dibutuhkan tersebut diperoleh dari bahan pangan yang dikonsumsi. Makanan sehari-hari yang dikonsumsi sesuai dengan menu sehat dan seimbang merupakan modal dasar untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas (Soekirman 2000). Tingkat Konsumsi Energi Kebutuhan akan konsumsi energi seseorang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier 2002). Tingkat konsumsi energi (TKE) diperoleh dengan cara membandingkan angka konsumsi energi aktual dengan angka kecukupan energi yang dianjurkan dalam AKG yang dinyatakan dalam persen. Rata-rata asupan energi perkapita keluarga nelayan miskin adalah 1258.35 ± 402.78 kkal perhari, sedangkan rata-rata asupan energi keluarga nelayan tidak miskin adalah 1764.28 ± 559.90 kkal perhari. Tingkat konsumsi energi keluarga miskin berkisar antara 37.93% sampai 104.07%, sedangkan
55
pada keluarga tidak miskin berkisar antara 38.08% sampai 148.12%. Statistik deskriptif mengenai tingkat konsumsi energi dapat dilihat pada Lampiran 3. Tabel 28 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan TKE Tingkat Konsumsi Energi* Cukup ( 70%) Tidak cukup (<70%) Total
n 7 19 26
Miskin % 26.92 73.08 100.00
Tidak miskin n % 27 69.23 12 30.77 39 100.00
Total n 34 31 65
% 52.31 47.69 100.00
*Sumber : Azwar (2004) diacu dalam WKNPG VIII
Berdasarkan data pada Tabel 28 dapat dilihat bahwa hampir sebagian besar keluarga nelayan miskin (73.08%) memiliki klasifikasi tingkat konsumsi energi tidak cukup (< 70%). Namun keluarga nelayan tidak miskin sudah banyak yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsi energi. Sebesar 69.23% tingkat konsumsi energi keluarga nelayan tidak miskin berada pada kategori cukup
(
70%). Hasil uji korelasi Spearman menyatakan adanya hubungan yang nyata antara klasifikasi TKE dengan status kemiskinan dengan r=0.441 dan p=0.000. Hubungan yang positif menandakan arah perubahan yang sejalan, yaitu semakin besar persentase TKE perkapita suatu keluarga maka status keluarga semakin tidak miskin. Tingkat Konsumsi Protein Rata-rata asupan protein perkapita keluarga nelayan miskin adalah 34.48 ± 11.72 g perhari, sedangkan rata-rata konsumsi protein keluarga nelayan tidak miskin adalah sebesar 56.30 g ± 32.89 g perhari. Tingkat konsumsi protein keluarga miskin berkisar antara 37.06% sampai 116.84%, sedangkan pada keluarga tidak miskin berkisar antara 33.99% sampai 176.91%. Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan tingkat konsumsi protein dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29 Sebaran keluarga nelayan miskin dan tidak miskin berdasarkan TKP Tingkat Konsumsi Protein* Cukup ( 70%) Tidak cukup (<70%) Total
Miskin n % 8 30.77 18 69.23 26 100.00
Tidak miskin n % 27 69.23 12 30.77 39 100.00
Total n 35 30 65
% 53.85 46.15 100.00
*Sumber : Latief, Atmarita, Minarto, Basuni, Tilden (2000) diacu dalam WKNPG VII
56
Berdasarkan data pada Tabel 28 terlihat bahwa hampir sebagian besar keluarga nelayan miskin (69.23%) memiliki klasifikasi tingkat konsumsi protein tidak cukup (<70%). Namun sebaliknya yang terjadi pada keluarga nelayan tidak miskin. Sebesar 69.23% tingkat konsumsi protein keluarga nelayan tidak miskin berada pada kategori cukup ( 70%). Hasil uji korelasi Spearman menyatakan adanya hubungan yang nyata antara klasifikasi TKP dengan status kemiskinan dengan r=0.415 dan p=0.001. Hubungan yang positif menandakan arah perubahan yang sama, yaitu semakin besar persentase TKP perkapita suatu keluarga maka status keluarga semakin tidak miskin. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Food Coping Strategy Karakteristik keluarga nelayan yang dihubungkan dengan food coping strategy antara lain besar keluarga, usia KK dan istri, pendidikan KK dan istri, serta tingkat pengeluaran perkapita. Sebaran karakteristik keluarga berdasarkan tingkat food coping strategy keluarga nelayan dapat dilihat pada Tabel 30. Hampir separuh keluarga nelayan (48.15%) yang berada pada kategori tingkat food coping strategy rendah memiliki jumlah anggota keluarga 5 sampai 7 orang. Sebanyak 75% keluarga nelayan dengan tingkat food coping strategy sedang memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 7 orang (keluarga besar). Hampir sebagian besar KK dengan kategori tingkat food coping strategy rendah (70.37%) berada pada kisaran usia dewasa awal, sedangkan sebagian besar KK yang memiliki tingkat food coping strategy sedang (75%) berada pada kisaran usia dewasa menengah. Demikian pula pada istri keluarga nelayan. Hampir sebagian besar istri dengan kategori tingkat food coping strategy rendah berada pada kisaran usia dewasa awal (74.08%), sedangkan istri nelayan dengan tingkat food coping strategy sedang (75%) berusia antara 41 sampai 65 tahun (dewasa menengah). Hampir seluruh KK dengan kategori tingkat food coping strategy rendah (94.44%) dan seluruh KK dengan tingkat food coping strategy sedang (100%) memiliki tingkat pendidikan dasar. Hampir seluruh istri nelayan dengan kategori tingkat food coping strategy rendah (90.74%) dan seluruh istri nelayan dengan tingkat food coping strategy sedang (100%) memiliki tingkat pendidikan dasar.
57
Tabel 30 Sebaran karakteristik keluarga berdasarkan tingkat food coping strategy keluarga nelayan Karakteristik keluarga Besar keluarga Kecil ( 4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar ( 8 orang) Total Usia KK Dewasa awal (20-40 th) Dewasa menengah (41-65 th) Dewasa akhir ( 66 th) Total Usia istri Dewasa awal (20-40 th) Dewasa menengah (41-65 th) Dewasa akhir ( 66 th) Total Pendidikan KK Dasar ( 6 th) Menengah (7-12 th) Atas ( 13 th) Total Pendidikan istri Dasar ( 6 th) Menengah (7-12 th) Atas ( 13 th) Total Tingkat pengeluaran Rendah (< Rp 168272.00) Tinggi ( Rp 168272.00) Total
Tingkat food coping strategy Rendah Sedang n % n % 22 26 6 54
40.74 48.15 11.11 100.00
0 1 3 4
0.00 25.00 75.00 100.00
38 13 3 54
70.37 24.07 5.56 100.00
1 3 0 4
25.00 75.00 0.00 100.00
40 13 1 54
74.08 24.07 1.85 100.00
1 3 0 4
25.00 75.00 0.00 100.00
51 2 1 54
94.44 3.70 1.86 100.00
4 0 0 4
100.00 0.00 0.00 100.00
49 5 0 54
90.74 9.25 0.00 100.00
4 0 0 4
100.00 0.00 0.00 100.00
19 35 54
35.18 64.82 100.00
4 0 4
100.00 0.00 100.00
Terdapat 64.82% keluarga nelayan yang berada pada kategori tingkat food coping strategy rendah memiliki tingkat pengeluaran perkapita tinggi ( Rp 168272.00) dan 35.18% memiliki tingkat pengeluaran perkapita rendah (< Rp 168272.00). Seluruh keluarga nelayan yang berada pada kategori tingkat food coping strategy sedang memiliki tingkat pengeluaran rendah (