ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN
IDA HILDAWATI A54104039
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ii
RINGKASAN IDA HILDAWATI. Analisis Akses Pangan serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Konsumsi Energi dan Protein pada Keluarga Nelayan. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis akses pangan serta pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi karakteristik keluarga nelayan; 2) Menganalisis tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan (fisik, ekonomi, dan sosial) keluarga nelayan; 3) Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan akses pangan keluarga nelayan; 4) Menganalisis pengaruh karakteristik dan akses pangan keluarga nelayan terhadap tingkat konsumsi energi dan protein keluarga. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2007 di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan kriteria contoh adalah keluarga yang pekerjaan utama kepala keluarganya adalah nelayan dan bertempat tinggal di Desa Grogol. Populasi penelitian ini berjumlah 187 KK. Berdasarkan rumus Slovin total sampel dalam penelitian ini adalah 65 KK. Terpilih sebanyak 26 keluarga prasejahtera dan 39 keluarga sejahtera. Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data primer meliputi karakteristik keluarga, konsumsi pangan keluarga, pengeluaran keluarga, dukungan sosial, dan kepemilikian aset melaut. Sedangkan data sekunder meliputi gambaran umum daerah penelitian yang didapat dari pemerintah daerah setempat dan observasi langsung. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Statistical Program for Social Sciences (SPSS) for windows versi 13.0. Uji beda yang dilakukan menggunakan uji t-test (Independent sampel t-test), uji hubungan antar variabel penelitian menggunakan korelasi Spearman, dan uji pengaruh variabel independent terhadap variabel dependent dilakukan dengan regresi logistik biner (binary logistic regression). Jumlah anggota keluarga nelayan contoh berkisar antara 2-12 orang dengan rata-rata anggota rumah tangga sebesar 5,5 ± 2,2 orang. Sebanyak 38,5% keluarga nelayan contoh tergolong keluarga kecil, yaitu keluarga yang jumlah anggota keluarganya kurang dari 5 orang. Usia kepala keluarga nelayan contoh berkisar antara 25-70 tahun dengan rata-rata 40,5 ± 12,0 tahun. Lebih dari setengah keluarga nelayan contoh (64.6%) usia kepala keluarganya tergolong ke dalam kelompok dewasa awal (18-40 tahun). Lebih dari separuh istri nelayan contoh (69,3%) juga berusia dewasa awal dengan kisaran usia antara 20-66 tahun dengan rata-rata usia 36,5 ± 10,4 tahun. Rata-rata lama sekolah istri (3,1 ± 3,3 tahun) sedangkan rata-rata lama sekolah kepala keluarga (2,9 ± 3,2 tahun). Lama sekolah tertinggi kepala keluarga (suami) nelayan contoh lebih tinggi dari lama sekolah istri, yaitu 15 tahun, sedangkan istri hanya 12 tahun. Kisaran lama sekolah kepala keluarga antara 0-15 tahun, sedangkan kisaran lama sekolah istri berkisar 0-12 tahun. Sebagian besar keluarga nelayan contoh (78,5%) memiliki jaring untuk menangkap ikan. Sedangkan keluarga nelayan contoh yang memiliki kapal/perahu dan motor kapal lebih sedikit (masing-masing 73,8%), yang
iii
memiliki pancing juga jauh lebih sedikit (3,1%). Masih terdapat beberapa keluarga nelayan contoh (20,0%) yang tidak memiliki aset untuk melaut. Dukungan sosial dari masyarakat lebih ke arah emosional. Persentase rata-rata pengeluaran pangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan sebesar 52,6% dan pengeluaran non pangannya 47,4% dari pengeluaran totalnya per kapita per bulan. Rata-rata pengeluaran total keluarga per kapita per bulan Rp 200.152,7 ± 87.233,9. Kisaran tertinggi pengeluaran tersebut adalah Rp 410.103 dan kisaran terendahnya Rp 62.038. Rata-rata pengeluaran pangan keluarga per kapita per bulan adalah Rp 105.903,2 ± 49.520,2, sedangkan pengeluaran nonpangan keluarga sebesar Rp 94.193,4 ± 64.964,9 per kapita per bulan. Berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Cirebon 2006 (Rp 168.272) terdapat sebanyak 38,5% keluarga nelayan contoh yang tergolong miskin. Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan contoh masih lebih rendah dibandingkan dengan AKP keluarga per kapita per hari. Berdasarkan TKE dan TKP, lebih dari separuh keluarga nelayan contoh tergolong dalam kriteria cukup/tahan pangan (TKE 76,5% dan TKP 85,0%). Akses pangan dimensi akses fisik keluarga nelayan contoh tergolong tinggi, sedangkan berdasarkan dimensi akses sosial dan ekonomi tergolong sedang. Berdasarkan ketiga dimensi akses pangan tersebut (dimensi akses fisik, ekonomi, dan sosial) akses pangan keluarga nelayan contoh tergolong sedang. Jumlah anggota keluarga (p=0,000, r= 0,568) serta usia kepala keluarga (p=0,004, r= 0,350) dan istri (p=0,000, r= 0,450) keluarga nelayan contoh berhubungan negatif dengan akses pangan keluarga. Pengeluaran keluarga per kapita per bulan (p=0,000, r=0,570), pendidikan istri (p=0,028, r=0,272), dan kepemilikan aset melaut (p=0,000, r=0,421) keluarga nelayan contoh berhubungan positif dengan akses pangan. Pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan mempengaruhi tingkat konsumsi energi (p=0,026, OR=6,1) maupun protein (p=0,017, OR=8,3) keluarga nelayan contoh. Usia kepala keluarga mempengaruhi tingkat konsumsi energi (p=0,094, OR=0,1) Pendidikan kepala keluarga (p=0,041, OR=14,1) dan kepemilikan aset melaut (p=0,042, OR=16,5) keluarga nelayan contoh berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat konsumsi protein. Akses pangan dimensi akses ekonomi maupun sosial keluarga nelayan contoh berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat konsumsi energi maupun protein keluarga nelayan contoh (p<0,1). Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa akses pangan keluarga nelayan contoh yang tergolong sedang mempunyai peluang 2,95 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energi dan 3,36 kali lebih tinggi tingkat konsumsi protein keluarga nelayan contoh tersebut dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang akses ekonominya tergolong rendah. Akses sosial keluarga nelayan contoh yang sedang mempunyai peluang 3,48 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energi dan 9,68 kali lebih tinggi tingkat konsumsi proteinnya dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang akses sosialnya rendah. Saran dalam penelitian ini adalah perlu adanya penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran anggota keluarga terhadap pentingnya pendidikan. Selain itu, diperlukan juga penyuluhan peningkatan keterampilan sehingga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli keluarga nelayan contoh.
iv
ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh:
IDA HILDAWATI A54104039
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
v
Judul
: ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN
Nama Mahasiswa : IDA HILDAWATI Nomor Pokok
: A54104039
Disetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS NIP 131 628 529
Diketahui Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP 131 124 019
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1986. Penulis adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara dari keluarga Bapak H. Nurmin Ilyas dan Ibu Yusroh. Penulis menempuh pendidikan SD dari tahun 1992 sampai tahun 1998 di SDI Al-Ikhlas, Jakarta. Tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke MTsN 12 Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMUN 29 Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2007 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Sindangrasa, Kecamatan Bogor Timur, Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah terdaftar dan aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Panahan pada tahun 2004.
vii
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati penulis menghaturkan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penulis menyelesaikan skripsi. 2. Ir. Retnaningsih, Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dan saran perbaikan untuk kesempurnaan skripsi ini. 3. Yayat Heryatno, SP, MPS selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini. 4. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen pembimbing akademik. 5. Dosen-dosen serta staf penunjang Program Studi GMSK yang telah sangat banyak membantu penulis. 6. Pemerintah Kabupaten Cirebon Utara beserta perangkat desa yang telah banyak membentu penulis dalam memperoleh informasi dan data. 7. Bapak dan Ibu tercinta, kakak serta adik penulis. Terima kasih atas cinta, kasih sayang, jerih payah, dukungan emosional dan instrumental, serta do'a yang tak pernah putus diberikan untuk penulis. Ika Murniati, kakak penulis tercinta, yang telah banyak memberikan bantuan akses fisik, sosial, dan ekonomi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Keluarga besar Gamasakers dan Wisma Blobo yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, atas pembelajaran, kebersamaan, dukungan sosial, suka cita, kasih sayang dan persaudaraan yang telah terjalin erat selama ini. Kak Ahmad Wahyudin, Dewi Meitasari, dan Kartika Hidayati, atas pemikiran, dukungan, pengalaman, kebersamaan, dan suka duka terutama selama penyelesaian skripsi ini. 9. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Bogor, Juni 2008
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xiii
PENDAHULUAN...........................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................... Perumusan Masalah .............................................................................. Tujuan .................................................................................................... Kegunaan Penelitian ...............................................................................
1 1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
4
Nelayan .................................................................................................. Akses Pangan ........................................................................................ Akses Fisik ....................................................................................... Akses Ekonomi ................................................................................ Akses Sosial ..................................................................................... Konsumsi Pangan .................................................................................. Penilaian Konsumsi Pangan ............................................................. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ............................................... Survei Konsumsi Pangan ................................................................. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan ......................
4 5 7 8 10 11 12 12 13 15
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................
19
METODE PENELITIAN ................................................................................
21
Desain, Tempat, dan Waktu ................................................................... Penarikan Contoh .................................................................................. Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................ Pengolahan dan Analisis Data ............................................................... Definisi Operasional ...............................................................................
21 21 22 22 26
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................
28
Keadaan Umum Wilayah ....................................................................... Karakteristik Keluarga ............................................................................ Jumlah Anggota Keluarga ................................................................ Usia Kepala Keluarga dan Istri ......................................................... Pendidikan Kepala Keluarga dan Istri ............................................... Kepemilikan Aset Melaut .................................................................. Dukungan Sosial .............................................................................. Pengeluaran Keluarga ...................................................................... Konsumsi Pangan Keluarga ................................................................... Tingkat Konsumsi Energi dan Protein ............................................... Keragaan Akses Pangan ....................................................................... Akses Fisik ....................................................................................... Akses Ekonomi ................................................................................. Akses Sosial ..................................................................................... Komposit Akses Pangan .................................................................. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Akses Pangan .......................
28 31 31 32 33 34 35 37 40 41 43 43 44 46 49 50
ix
Pengeluaran Keluarga ...................................................................... Jumlah Anggota Keluarga ................................................................ Usia Kepala Keluarga dan Istri ......................................................... Pendidikan Kepala Keluarga dan Istri ............................................... Kepemilikan Aset Melaut .................................................................. Dukungan Sosial .............................................................................. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kecukupan Energi dan Protein ................................................................................................... Karakteristik Keluarga ...................................................................... Akses Pangan ..................................................................................
50 51 52 53 54 54
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
65
Kesimpulan ............................................................................................ Saran .....................................................................................................
65 66
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
67
LAMPIRAN ..................................................................................................
71
55 55 61
x
DAFTAR TABEL No
Halaman
1
Jenis dan cara pengumpulan data ......................................................
22
2
Pengkategorian variabel penelitian .....................................................
26
3
Potensi sumberdaya alam Desa Grogol ..............................................
29
4
Sebaran penduduk Desa Grogol berdasarkan pendidikan terakhir.......
30
5
Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga .......................
31
6
Sebaran contoh berdasarkan usia kepala keluarga dan istri ...............
32
7
Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri ......................................................................................................
33
8
Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut .......................
34
9
Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut dan kelompok keluarga ..............................................................................................
35
10
Sebaran contoh berdasarkan dukungan sosial ....................................
36
11
Persentase pengeluaran keluarga per kapita per bulan berdasarkan kelompok jenis pengeluaran ................................................................
38
Minimal, maksimal, dan rata-rata pengeluaran keluarga nelayan contoh .................................................................................................
39
Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan ....................................................................................................
40
Rata-rata konsumsi zat gizi dan AKG keluarga contoh per kapita per hari ......................................................................................................
40
Persentase rata-rata konsumsi energi dan protein contoh menurut kelompok pangan ................................................................................
41
Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan contoh per kapita per hari ....................................................................
42
17
Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein .....
42
18
Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan dari tingkat pengeluaran keluarga per kapita per bulan .........................................
45
Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan dari kepemilikan aset melaut .........................................................................................
46
Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan dari tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri ...................................................
47
Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan dari besar keluarga ..............................................................................................
48
Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan dari dukungan sosial ...................................................................................................
48
23
Sebaran contoh berdasarkan akses pangan dari dimensi akses sosial
49
24
Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan komposit .............
49
12 13 14 15 16
19 20 21 22
xi
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan dan komposit akses pangan ......................................................
50
Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan komposit akses pangan ................................................................................................
51
Sebaran contoh berdasarkan usia kepala keluarga dan istri dan komposit akses pangan .......................................................................
52
Sebaran contoh berdasarkan pendidikan kepala keluarga dan istri dan komposit akses pangan ................................................................
53
Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut dan komposit akses pangan ......................................................................................
54
Sebaran contoh berdasarkan dukungan sosial dan komposit akses pangan ................................................................................................
55
Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan dan tingkat konsumsi energi ......................................................
55
Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan dan tingkat konsumsi protein .....................................................
56
Sebaran contoh berdasarkan usia kepala keluarga dan tingkat konsumsi energi ..................................................................................
57
Sebaran contoh berdasarkan usia kepala keluarga dan tingkat konsumsi protein .................................................................................
57
Sebaran contoh berdasarkan pendidikan kepala keluarga dan tingkat konsumsi energi ..................................................................................
58
Sebaran contoh berdasarkan pendidikan kepala keluarga dan tingkat konsumsi protein .................................................................................
58
Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut keluarga dan tingkat konsumsi energi .......................................................................
59
Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut dan tingkat konsumsi protein .................................................................................
59
Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga, usia dan pendidikan istri dan tingkat konsumsi energi .......................................
60
Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga, usia dan pendidikan istri dan tingkat konsumsi protein ......................................
61
Sebaran contoh berdasarkan akses ekonomi dan tingkat konsumsi energi ..................................................................................................
62
Sebaran contoh berdasarkan akses ekonomi dan tingkat konsumsi protein .................................................................................................
62
Sebaran contoh berdasarkan akses sosial dan tingkat konsumsi energi ..................................................................................................
63
Sebaran contoh berdasarkan akses sosial dan tingkat konsumsi protein .................................................................................................
64
xii
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1
Akses pangan tingkat rumah tangga ...................................................
2
Kerangka pemikiran pengaruh akses pangan keluarga terhadap
3
6
tingkat konsumsi pangan keluarga ......................................................
20
Distribusi penduduk Desa Grogol berdasarkan jenis matapencaharian
30
xiii
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1
Kuesioner ............................................................................................
72
2
Hasil uji deskriptif ................................................................................
80
3
Hasil uji beda (independent sample t-test) ...........................................
81
4
Hasil uji hubungan (korelasi Spearman) ..............................................
83
5
Hasil uji regresi logistik karakteristik keluarga terhadap TKE ...............
85
6
Hasil uji regresi logistik karakteristik keluarga terhadap TKP ...............
85
7
Hasil uji regresi logistik akses pangan keluarga terhadap TKE ............
86
8
Hasil uji regresi logistik akses pangan keluarga terhadap TKP ............
86
ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN Food Access Analysis and Its Influence to Consumption Level of Energy and Protein on Fisherman Family Ida Hildawati1) Ikeu Tanziha2)
Abstract The objective of this study is to analyze food access and its influence to consumption level of energy and protein on fisherman family. The method used is cross sectional study and the determination of the research location is conducted by using a purposive sampling. Rank Spearman is used to define relation between variables. Binary logistic regression is used to define regression among characteristic of fisherman family and food access with consumption level of energy and protein. Criteria of the sample are family who has livelihood as fisherman and lives at Grogol village, Cirebon. Total samples are 65 family. Data collected are primary and secondary data. Primary data (characteristic of fisherman family, family’s social support, proprietary of fishing assets and dietary consumption of family) was collected by structural questionnaire interview. Secondary data which is about location of this study has obtained from village office. Result of this study show that family’s expenditure per capita per month (p=0,000), wife education (p=0,028), and proprietary of fishing assets (p=0,000) correlate positively with food access. Number of family member (p=0,000), age of head of the family (p=0,004) and wife (p=0,000) correlate negatively with food access. Factors which influence consumption level of energy are family’s expenditure per capita per month (OR=6,1) and age of head of the family (OR=0,1). Factors which influence consumption level of protein are family’s expenditure per capita per month (OR=8,3), head of the family’s education level (OR=14,1), and proprietary of fishing assets (OR=16,5).
Keyword : Food access, Fisherman family, Consumption level of energy and protein
1 2
Alumni Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, IPB Staf Pengajar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, IPB
RINGKASAN IDA HILDAWATI. Analisis Akses Pangan serta Pengaruhnya terhadap Tingkat Konsumsi Energi dan Protein pada Keluarga Nelayan. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis akses pangan serta pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi energi dan protein pada keluarga nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi karakteristik keluarga nelayan; 2) Menganalisis tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan (fisik, ekonomi, dan sosial) keluarga nelayan; 3) Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan akses pangan keluarga nelayan; 4) Menganalisis pengaruh karakteristik dan akses pangan keluarga nelayan terhadap tingkat konsumsi energi dan protein keluarga. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2007 di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan kriteria contoh adalah keluarga yang pekerjaan utama kepala keluarganya adalah nelayan dan bertempat tinggal di Desa Grogol. Populasi penelitian ini berjumlah 187 KK. Berdasarkan rumus Slovin total sampel dalam penelitian ini adalah 65 KK. Terpilih sebanyak 26 keluarga prasejahtera dan 39 keluarga sejahtera. Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data primer meliputi karakteristik keluarga, konsumsi pangan keluarga, pengeluaran keluarga, dukungan sosial, dan kepemilikian aset melaut. Sedangkan data sekunder meliputi gambaran umum daerah penelitian yang didapat dari pemerintah daerah setempat dan observasi langsung. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Statistical Program for Social Sciences (SPSS) for windows versi 13.0. Uji beda yang dilakukan menggunakan uji t-test (Independent sampel t-test), uji hubungan antar variabel penelitian menggunakan korelasi Spearman, dan uji pengaruh variabel independent terhadap variabel dependent dilakukan dengan regresi logistik biner (binary logistic regression). Jumlah anggota keluarga nelayan contoh berkisar antara 2-12 orang dengan rata-rata anggota rumah tangga sebesar 5,5 ± 2,2 orang. Sebanyak 38,5% keluarga nelayan contoh tergolong keluarga kecil, yaitu keluarga yang jumlah anggota keluarganya kurang dari 5 orang. Usia kepala keluarga nelayan contoh berkisar antara 25-70 tahun dengan rata-rata 40,5 ± 12,0 tahun. Lebih dari setengah keluarga nelayan contoh (64.6%) usia kepala keluarganya tergolong ke dalam kelompok dewasa awal (18-40 tahun). Lebih dari separuh istri nelayan contoh (69,3%) juga berusia dewasa awal dengan kisaran usia antara 20-66 tahun dengan rata-rata usia 36,5 ± 10,4 tahun. Rata-rata lama sekolah istri (3,1 ± 3,3 tahun) sedangkan rata-rata lama sekolah kepala keluarga (2,9 ± 3,2 tahun). Lama sekolah tertinggi kepala keluarga (suami) nelayan contoh lebih tinggi dari lama sekolah istri, yaitu 15 tahun, sedangkan istri hanya 12 tahun. Kisaran lama sekolah kepala keluarga antara 0-15 tahun, sedangkan kisaran lama sekolah istri berkisar 0-12 tahun. Sebagian besar keluarga nelayan contoh (78,5%) memiliki jaring untuk menangkap ikan. Sedangkan keluarga nelayan contoh yang memiliki kapal/perahu dan motor kapal lebih sedikit (masing-masing 73,8%), yang
memiliki pancing juga jauh lebih sedikit (3,1%). Masih terdapat beberapa keluarga nelayan contoh (20,0%) yang tidak memiliki aset untuk melaut. Dukungan sosial dari masyarakat lebih ke arah emosional. Persentase rata-rata pengeluaran pangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan sebesar 52,6% dan pengeluaran non pangannya 47,4% dari pengeluaran totalnya per kapita per bulan. Rata-rata pengeluaran total keluarga per kapita per bulan Rp 200.152,7 ± 87.233,9. Kisaran tertinggi pengeluaran tersebut adalah Rp 410.103 dan kisaran terendahnya Rp 62.038. Rata-rata pengeluaran pangan keluarga per kapita per bulan adalah Rp 105.903,2 ± 49.520,2, sedangkan pengeluaran nonpangan keluarga sebesar Rp 94.193,4 ± 64.964,9 per kapita per bulan. Berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Cirebon 2006 (Rp 168.272) terdapat sebanyak 38,5% keluarga nelayan contoh yang tergolong miskin. Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan contoh masih lebih rendah dibandingkan dengan AKP keluarga per kapita per hari. Berdasarkan TKE dan TKP, lebih dari separuh keluarga nelayan contoh tergolong dalam kriteria cukup/tahan pangan (TKE 76,5% dan TKP 85,0%). Akses pangan dimensi akses fisik keluarga nelayan contoh tergolong tinggi, sedangkan berdasarkan dimensi akses sosial dan ekonomi tergolong sedang. Berdasarkan ketiga dimensi akses pangan tersebut (dimensi akses fisik, ekonomi, dan sosial) akses pangan keluarga nelayan contoh tergolong sedang. Jumlah anggota keluarga (p=0,000, r= 0,568) serta usia kepala keluarga (p=0,004, r= 0,350) dan istri (p=0,000, r= 0,450) keluarga nelayan contoh berhubungan negatif dengan akses pangan keluarga. Pengeluaran keluarga per kapita per bulan (p=0,000, r=0,570), pendidikan istri (p=0,028, r=0,272), dan kepemilikan aset melaut (p=0,000, r=0,421) keluarga nelayan contoh berhubungan positif dengan akses pangan. Pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan mempengaruhi tingkat konsumsi energi (p=0,026, OR=6,1) maupun protein (p=0,017, OR=8,3) keluarga nelayan contoh. Usia kepala keluarga mempengaruhi tingkat konsumsi energi (p=0,094, OR=0,1) Pendidikan kepala keluarga (p=0,041, OR=14,1) dan kepemilikan aset melaut (p=0,042, OR=16,5) keluarga nelayan contoh berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat konsumsi protein. Akses pangan dimensi akses ekonomi maupun sosial keluarga nelayan contoh berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat konsumsi energi maupun protein keluarga nelayan contoh (p<0,1). Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa akses pangan keluarga nelayan contoh yang tergolong sedang mempunyai peluang 2,95 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energi dan 3,36 kali lebih tinggi tingkat konsumsi protein keluarga nelayan contoh tersebut dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang akses ekonominya tergolong rendah. Akses sosial keluarga nelayan contoh yang sedang mempunyai peluang 3,48 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energi dan 9,68 kali lebih tinggi tingkat konsumsi proteinnya dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang akses sosialnya rendah.
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyatakan komitmen untuk mengatasi masalah kelaparan, kekurangan gizi, serta kemiskinan di dunia. Isi kesepakatan yang tercantum dalam Deklarasi World Food Summit 1996, World Food Summit: Five Years Later (WFS: fyl) 2000, serta Deklarasi Millenium Denelopment Goals (MDGs) 2000 adalah mengurangi angka kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015. Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan World Food Programe (WFP) telah menyusun peta kerawanan pangan/Food Insecurity Atlas (FIA), yaitu suatu alat untuk mengetahui daerah rawan pangan dengan permasalahan yang melatarbelakangi kejadian rawan pangan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan/panduan membuat kebijakan dalam penanggulangan kerawanan pangan. Penyusunan peta FIA dilakukan pada daerah rawan pangan kronis dan rawan pangan transien (Deptan 2007b). Peningkatan ketahanan pangan akan dapat mencegah terjadinya rawan pangan dan gizi buruk. Kondisi sehat akan tercapai apabila kebutuhan pangan terpenuhi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi. Data yang tersedia menunjukkan, ketersediaan pangan utama secara nasional cenderung meningkat meskipun pada beberapa komoditas masih tinggi ketergantungannya pada impor. Namun, data dari Dewan Ketahanan Pangan menunjukkan 81 juta orang mengalami defisit energi protein, 8 juta orang lainnya berada dalam kondisi rawan pangan (Pambudy 2004). Perumusan Masalah Setiap individu berhak memperoleh pangan yang cukup, aman, dan bergizi. Hak azasi manusia atas akses pangan telah dinyatakan dalam UndangUndang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Oleh karena itu, pemantapan ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga yang menjamin akses pangan bagi setiap anggotanya mempunyai arti dan peran strategis dalam pembangunan nasional (Dewan BKP 2001). Menurut Dewan Bimas Ketahanan Pangan (Dewan BKP 2001), ketahanan pangan mengandung perspektif makro, yaitu penyediaan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk di tingkat daerah maupun nasional, serta
2
perspektif mikro, yaitu kemampuan setiap rumahtangga mengakses pangan yang cukup, aman, dan bergizi, sesuai dengan kebutuhan setiap individu. Ketahanan pangan dapat terwujud apabila seluruh penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk pemenuhan kecukupan gizi yang dibutuhkan guna menjalani hidup sehat dan produktif setiap harinya. Menurut Pambudy (2004), terdapat kesenjangan antara ketersediaan pangan dengan akses terhadap pangan. Ketahanan pangan tingkat rumahtangga pun masih lemah. Penyebab utama lemahnya ketahanan pangan tersebut adalah kemiskinan yang menyebabkan bukan hanya keluarga tidak mampu membeli pangan untuk mencukupi kebutuhan minimum pangan mereka, tetapi juga rendahnya pengetahuan gizi mereka mengenai pangan yang berpengaruh terhadap status gizinya. Menurut Dewan BKP (2001), kerawanan pangan mempunyai korelasi positif dan erat dengan kemiskinan. Permasalahan utama bagi penduduk miskin adalah dalam hal konsumsi pangan, yakni ketidakmampuannya untuk mencukupi pangan dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Faktor penyebab utamanya adalah rendahnya atau tidak adanya daya beli dan akses terhadap pangan. Tujuan Tujuan Umum Menganalisis akses pangan serta pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. 2. Menganalisis tingkat konsumsi energi dan protein serta akses pangan (fisik, ekonomi, dan sosial) keluarga nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. 3. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan akses pangan keluarga nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. 4. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan akses pangan keluarga terhadap tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon.
3
Kegunan penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang gambaran keadaan akses pangan tingkat rumahtangga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon tentang penyelenggaraan ketahanan pangan tingkat rumahtangga berdasarkan dimensi akses pangan keluarga di desa sampel. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan peneliti lain untuk mengembangkan penelitian dengan topik serupa.
4
TINJAUAN PUSTAKA Nelayan Nelayan adalah orang yang mempunyai matapencaharian dari kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti para penebar dan penarik jaring) maupun tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nahkoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) (Ensiklopedi Indonesia 1983). Mubyarto, Soetrisno, dan Dove 1984 menjelaskan bahwa keluarga nelayan pada umumnya lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin, dan kebanyakan nelayan sudah cukup puas dengan kedudukan sebagai nelayan turun-temurun. Menurut Ditjen Perikanan (2000) dalam Satria (2002), nelayan dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan operasi penangkapan ikan, yaitu: -
Nelayan/petani ikan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk penangkapan atau pemeliharaan ikan atau binatang air atau tanaman air lainnya.
-
Nelayan/petani ikan sambilan yaitu orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk penangkapan atau pemeliharaan ikan atau binatang air atau tanaman air lainnya.
-
Nelayan/petani ikan sambilan tambahan yaitu orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk penangkapan atau pemeliharaan ikan atau binatang air atau tanaman air lainnya. Bila dilihat dari status kepemilikan modal, nelayan dapat dibagi menjadi
nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau yang disebut juragan adalah orang yang memiliki sarana penengkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang bekerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau disebut juga anak buah kapal (ABK) (Satria 2002). Sekelompok nelayan yang tidak memiliki alat tangkap dan perahu harus menjadi
buruh
bagi
nelayan
lainnya,
dimana
pendapatannya
terutama
dipengaruhi oleh pola bagi hasil di kalangan nelayan. Hal ini pada umumnya dapat menguntungkan nelayan pemilik sehingga pendapatan dari nelayan penangkap ikan lebih rendah dan sulit baginya untuk meningkatkan taraf hidup (Mubyarto, Soetrisno, & Dove 1984).
5
Akses Pangan Akses
pangan
tingkat
rumahtangga
adalah
kemampuan
suatu
rumahtangga untuk memperoleh pangan yang cukup secara terus-menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan rumahtangga, persediaan pangan rumahtangga, jual-beli, tukar-menukar/barter, pinjam-meminjam, dan pemberian atau bantuan pangan. Keluarga dapat mengakses pangan melalui beberapa cara seperti produksi rumahtangga (hasil panen, hasil beternak atau hasil budidaya perikanan); berburu, mencari ikan atau mengumpulkan pangan yang hidup liar; mendapatkan bantuan/pemberian pangan melalui jaringan sosial; bantuan dari pemerintah, distribusi-distribusi NGO atau food for work projects (pangan hasil/imbalan pekerjaan); serta barter/tukar-menukar atau membeli dari pasar (World Food Programme 2005). World Food Programme (2005) menjelaskan mengenai pengkajian akan dampak krisis/tekanan terhadap keluarga dalam berbagai kelompok populasi terhadap akses pangan dan uang yang mereka butuhkan untuk membeli persediaan
dan
layanan
pangan
maupun
nonpangan.
Pengkajian
ini
membutuhkan data-data sebagai berikut: - Matapencaharian.
Aset-aset
matapencaharian
(sumberdaya
alam,
sumberdaya manusia, secara fisik, sosial, politik dan keuangan) dan sistem yang ada (politik, ekonomi, sosial, struktur kekuasaan/hukum) dapat mempengaruhi aktivitas matapencaharian. - Konsumsi
pangan.
Pola
konsumsi
pangan
yang
ditandai
oleh
keanekaragaman pangan dan frekuensi konsumsi pangan. - Sumber pangan. Sumber pangan yang berbeda relatif penting, biasanya berasal pembelian di pasar, produksi sendiri (hasil panen, ternak, bididaya perikanan),
memanen/mengumpulkan
pangan
dari
alam/lingkungan
(pertemuan/hajatan, pemburuan, mencari ikan), dan pemberian (termasuk hadiah-hadiah, pinjaman-pinjaman, program-program bantuan pangan), serta perubahan musim dan perubahan lainnya di masa yang akan datang. - Sumber pendapatan. Sumber pendapatan yang berbeda relatif penting, biasanya berasal dari penjualan hasil panen (pangan atau hasil panen yang diperdagangkan),
penjualan
ternak
atau
produk-produk
ternak,
ketenagakerjaan, penjualan dari produk-produk/sumberdaya alam (seperti ikan, pangan yang hidup liar di alam, kayu bakar), penjualan lainnya seperti produk-produk nonagrikultur hasil kerajinan rumahtangga, perdagangan, uang
6
pemberian (hadiah, kiriman, pinjaman), serta perubahan musim dan perubahan lainnya di masa yang akan datang. - Pengeluaran. Pola dan tingkat pangeluaran pangan maupun nonpangan keluarga dan perubahan musim serta perubahan lainnya di masa yang akan datang. Pengeluaran nonpangan yang penting termasuk sewa, air, pelayanan kesehatan, pendidikan anak, bahan bakar untuk memasak, dan pembayaran hutang.
Gambar 1. Akses pangan tingkat rumahtangga. Gambar 1 menggambarkan berbagai cara keluarga untuk mengakses pangan maupun nonpangan (World Food Programme 2005). Gambar tersebut menjelaskan: - Aktivitas matapencaharian dalam gambar tersebut ditunjukkan pada kotak yang ada bayangannya yang berperan dalam sumber pangan dan pendapatan.
7
- Bagaimana produksi pangan keluarga, apa yang mereka dapatkan dari pertemuan/hajatan dan yang lainnya, apa yang mereka dapatkan sebagai hadiah/pemberian
atau
dari
berbagai
sumber
lainnya
yang
dapat
dimanfaatkan untuk dikonsumsi atau dijual untuk menghasilkan pendapatan. - Bagaimana pendapatan harus dibagi antara membeli pangan dan memenuhi kebutuhan nonpangannya (pilihan yang harus diambil oleh keluarga antara konsumsi pangan dan pemenuhan kebutuhan nonpangannya). Akses pangan merupakan salah satu dimensi dari 3 dimensi ketahanan pangan, selain katersediaan pangan dan penyerapan pangan (Deptan 2007a). Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dalam Deptan 2007a). USAID’s Office of Food for Peace (1992) dalam Hoddinott dan Yohannes (2002), mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu kondisi ketika setiap individu dalam setiap waktu memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap kecukupan pangan guna memenuhi kebutuhannya untuk hidup sehat dan produktif. Selain akses fisik dan ekonomi terhadap pangan terdapat pula akses sosial, seperti pendidikan dan dukungan/bantuan sosial dari keluarga/kerabat, tetangga, teman, maupun bantuan dari pemerintah. Menurut Deptan (2007a) ketahanan pangan tidak hanya tercermin oleh ketersediaan pangan yang cukup, namun juga oleh terpenuhinya akses pangan baik secara fisik, ekonomi, maupun sosial dimana saja dan kapan saja. World Food Programme (2005) menjelaskan bahwa
akses
untuk
tempat
tinggal,
kesehatan,
dan
pendidikan
juga
mempengaruhi akses pangan melalui kebutuhan tempat tinggal dan sumber daya tunai/cash dalam jangka waktu pendek dan berpengaruh terhadap kapasitas produksi dan pendapatan dalam jangka waktu yang panjang. Akses Fisik. Akses pangan menunjukkan adanya jaminan bahwa setiap individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk mengakses kebutuhan pangan sesuai norma gizi. Jumlah pangan yang cukup dapat berasal dari kegiatan fisik melalui produksi sendiri atau pun dengan membeli. Persediaan pangan wilayah yang mencukupi kecukupan pemenuhan kebutuhan pangan setiap individu dalam wilayah tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin akses pangan wilayah tersebut. Pangan harus dapat tersedia secara fisik untuk seluruh anggota
8
keluarga. Pangan juga harus tersedia secara terus-menerus dalam suatu pasar/warung dimana rumahtangga tidak dapat memproduksi sendiri pangan yang dibutuhkannya (Sharma 1992). Akses fisik akan menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsi akan dapat ditemui dan mudah diperoleh. Kemudahan dalam memperoleh pangan ditunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam memperoleh pangan. Kemudahan dalam memperoleh pangan ditunjang oleh sarana fisik seperti tersedianya sarana pasar yang cukup dalam mempermudah memperoleh pangan. Pasar adalah tempat para pembeli dan penjual bertemu untuk berdagang. Transaksi yang terjadi khususnya antara orang-orang yang belum dikenal, dan dilakukan secara tunai. Pasar timbul setelah terjadi proses ekonomi yang didasari oleh perencanann yang bersifat kekeluargaan. Pasar pada saat ini berkembang jeuh lebih luas dan lebih penting sebagai faktor penentu bagi produksi dan distribusi (Penny 1990). Suatu wilayah/daerah dikatakan akses pangannya tinggi apabila di wilayah/daerah tersebut terdapat pasar yang menjual bahan pangan pokok. Wilayah/daerah tersebut dikatakan memiliki akses pangan yang sedang apabila tidak memiliki pasar dalam wilayah/daerah tersebut, namun jarak terdekat wilayah/daerah tersebut dengan pasar pasar yang menjual bahan pangan pokok kurang dari dan atau sama dengan 3 km. Dikatakan akses pangannya rendah apabila jarak terdekat dengan pasar lebih dari 3 km (Deptan 2007a). Akses Ekonomi. Kegiatan ekonomi suatu keluarga dalam pemenuhan pangan adalah mendapatkan, menghasilkan atau menerima uang, pangan, dan yang lainnya; mengkonsumsi, membelanjakan, memberi atau mengumpulkan uang, pangan dan aset/harta lain; dan mengutang serta membayar kembali hutang tersebut. Berdasarkan matapencahariannya, suatu keluarga dapat mempunyai satu atau lebih sumber pangan dan sumber pendapatan untuk membeli pangan dan keperluan-keperluan lain, memelihara (menjaga, meningkatkan) aset-aset produktifnya, dan memenuhi kewajiban-kewajiban sosial di dalam masyarakat (World Food Programme 2005). Akses
pangan
keluarga
dalam
berbagai
cara
dan
aktivitas
matapencaharian bergantung pada aset-aset dan sistem-sistem yang ada (politik, ekonomi, sosial, hukum dan struktur-struktur kekuasaan lain dalam
9
masyarakat). Suatu tekanan/krisis pada umumnya berdampak pada aset-aset dan sistem tersebut (World Food Programme 2005). Matapencaharian berhubungan erat dengan akses pangan yang meliputi produksi
rumahtangga
dan
alat
untuk
memperoleh
pendapatan.
Matapencaharian meliputi suatu kemampuan rumahtangga, aset-aset dan aktivitas yang diperlukan untuk menjamin kebutuhan dasar (makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan pendapatan). Suatu matapencaharian dapat terus-menerus jika dapat dengan sukses mengaturnya dan mengurangi tekanantekanan/masalah eksternal, memelihara atau meningkatkan aset-asetnya, dan menghidupi generasi-generasi masa depan (World Food Programme 2005). World
Food
Programme
(2005)
menjelaskan
bahwa
suatu
matapencaharian rumahtangga bergantung pada: a. Cakupan dari aset-aset yang tersedia bagi rumahtangga, seperti asetaset/sumberdaya alam (lahan, hutan-hutan, sumber daya air), aset-aset secara fisik (peralatan dan lainnya), aset-aset sumberdaya manusia (kesehatan,
keterampilan/keahlian),
aset-aset
sosial
(seperti
jaringan
kekerabatan), aset keuangan (seperti pendapatan, uang tabungan, akses untuk kredit), dan aset-aset politik. b. Politik, ekonomi, sosial, hukum dan struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, yang disebut sebagai sistem yang ada. c. Beberapa pilihan yang dibuat oleh rumahtangga dalam batasan peluang dan batasan-batasan memperoleh (a) dan (b). Aset-aset itu dapat termasuk dalam aset-aset yang dimiliki oleh rumahtangga
(seperti
lahan,
peralatan,
keterampilan-keterampilan,
uang
tabungan, kesehatan/kemampuan untuk bekerja) dan aset-aset komunal/umum yang dapat diakses oleh rumahtangga (seperti hutan-hutan, sungai-sungai, sumur-sumur, pasar-pasar, ruang penyimpanan pangan umum, layanan keuangan/perbankan) (World Food Programme 2005). Menurut Sajogyo et al. (1996) dalam Nurhasanah (2004), rendahnya pendapatan seseorang merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Fungsi
dari
akses
terhadap
sumber
nafkah
adalah
daya
beli
rumahtangga, berarti akses pangan terjamin seiring terjaminnya pendapatan dalam jangka panjang, keterjangkauan pangan bergantung pada kesinambungan sumber nafkah. Jumlah orang miskin mencerminkan kelompok yang tidak punya
10
akses yang cukup terhadap sumber nafkah yang produktif. Semakin besar jumlah orang miskin, semakin rendah daya akses terhadap pangan dan semakin tinggi derajat kerawanan pangan di wilayah tersebut (Deptan & WFP 2005). Rumahtangga dapat dikatakan tahan pangan apabila tercukupinya permintaan akan pangan. Pengukuran operasional atas permintaan akan pangan tersebut dalam jangka waktu pendek dapat dipakai untuk memonitor akses ekonomi rumahtangga akan pangan, yaitu pendapatan/pengeluaran dan harga (Sharma 1992). Akses Sosial. Akses sosial rumahtangga terhadap pangan merupakan suatu akses/cara untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan pangannya melalui berbagai dukungan sosial, seperti bantuan/dukungan sosial dari
keluarga/kerabat,
tetangga,
serta
teman.
Bantuan/dukungan
dari
saudara/kerabat, tetangga, atau teman dapat berupa bantuan pinjaman uang/pangan, pemberian bantuan pangan, pertukaran pangan, dan lain sebagainya. Selain dari dukungan sosial, kerawanan pangan berdasarkan akses sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikannya. Definisi dukungan sosial adalah berbagai macam sokongan (bantuan) yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang diklasifikasikan menjadi dua (terkadang tiga) kategori. Kategori tersebut antara lain dukungan emosional, instrumental, dan informasional. Dukungan emosional merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang untuk membuat orang lain merasa dicintai dan dipedulikan sehingga mampu menyokong rasa harga diri orang lain, namun bentuk bantuan tidak nyata (non-tangible). Bentuk contoh dari dukungan emosional yaitu dalam memecahkan masalah, memberikan dorongan atau umpan balik yang positif (MacArthur & John 1998). Dukungan instrumental adalah berbagai macam bantuan nyata (tangible help) yang disediakan oleh seseorang, seperti bantuan dari penitipan anak, penjaga rumah, jasa transportasi, dan uang. Dukungan informasional (kadang termasuk dalam kategori dukungan instrumental) merupakan bantuan yang diberikan dalam bentuk penyediaan informasi (MacArthur & John 1998). Dukungan sosial merupakan salah satu indikator kerawanan pangan tingkat rumahtangga berdasarkan dimensi akses sosial. Dukungan sosial merupakan suatu pertolongan baik berupa pemberian bantuan maupun pemberian pinjaman, baik dari keluarga/kerabat, tetangga, teman, maupun dari
11
pemerintah, dalam bentuk fisik maupun nonfisik. Berdasarkan studi yang dilakukan di US, Inggris, dan Swedia ternyata dukungan sosial memiliki pengaruh positif terhadap status sosial ekonomi. Bentuk dukungan tersebut berupa dukungan secara emosional maupun instrumental dan juga pada pria maupun wanita (MacArthur & John 1998). Konsumsi Pangan Konsumsi Pangan adalah informasi pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang, baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun jenis pangan yang dikonsumsi (Hardinsyah & Suhardjo 1990 dalam Rahmah 2006). Menurut Riyadi (1996) dalam Rahmah (2006) ada tiga tujuan seseorang mengkonsumsi pangan, yaitu tujuan fidiologis, psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah untuk memenuhi rasa lapar atau keinginan memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memenuhi kepuasan emosional maupun selera seseorang. Tujuan sosiolagis adalah berhubungan dengan upaya memelihara hubungan antar manusia dalam kelompok kecil maupun kelompok besar. Pola konsumsi pangan adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih bahan makanan dan cara memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya, dan sosial (Harper, Deaton, & Driskel 1985). Seseorang, satu keluarga, atau suatu kelompok masyarakat melakukan tindakan makan pada dasarnya dilandasi oleh beberapa faktor. Sanjur (1982) dalam Junaidi (1997) menggolongkan faktor-faktor yang tersebut kedalam bagian, yaitu biogenik, psikogenik, dan sosiogenik. Dalam konsep biogenik secara implisit mengandung pengertian, bahwa makanan yang dikonsumsi memenuhi kebutuhan biologik konsumen. Konsep psikogenik mengandung arti bahwa makanan yang dikonsumsi itu
memenuhi
kebutuhan/kepuasan
kejiwaan/mental
konsumen.
Konsep
sosiogenik mengandung makna bahwa makanan yang dikonsumsi itu memenuhi kebutuhan sosial konsumen, dalam artian antara lain tidak bertentangan dengan norma-norma budaya yang berlaku dalam lingkungan sosial dimana konsumen tinggal, berkenaan dengan status (kedudukan), menyangkut kehormatan dan lain-lain (Sanjur 1982 dalam Junaidi 1997).
12
Penilaian Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa penelaahan konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Penghitungan jumlah zat gizi yang dikonsumsi (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Secara umum prinsip penilaian jumlah konsumsi zat gizi berdasarkan data konsumsi pangan, data kandungan zat gizi bahan makanan, dan data kecukupan zat gizi. (Hardinsyah & Briawan 1994). Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), terdapat dua pengertian tentang penilaian konsumsi pangan, yaitu penilaian terhadap kandungan zat gizi makanan dan membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupan. Penilaian terhadap kandungan zat gizi makanan digunakan apabila ingin membandingkan kandungan zat gizi antar berbagai makanan atau suatu hidangan, sedangkan membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupan digunakan apabila ingin mengetahui tingkat konsumsi zat gizi seseorang atau keluarga. Berdasarkan satuan atau unit penilaian, konsumsi pangan dibedakan atas penilaian konsumsi pangan individu dan penilaian konsumsi pangan keluarga. Umumnya prinsip penilaian konsumsi zat gizi individu dan keluarga adalah sama. Konsumsi pangan keluarga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu atau anggota keluarga. Apabila satuan atau unit pengumpulan data konsumsi pangan adalah kelompok orang seperti keluarga atau rumahtangga maka jumlah konsumsi pangan keluarga atau rumahtangga dibagi dengan jumlah orang atau anggota keluarga yang mengkonsumsi pangan tersebut (Hardinsyah & Briawan 1994). Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Agar dapat hidup sehat serta mempertahankan kesehatannya, maka setiap manusia memerlukan sejumlah zat gizi. Zat gizi yang diperoleh dari konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh, serta untuk melakukan berbagai kegiatan/aktivitas. Untuk menilai tingkat konsumsi energi rata-rata suatu keluarga atau rumahtangga diperlukan angka kecukupan energi rata-rata keluarga (AKERK). AKERK merupakan penjumlahan angka kecukupan energi individu (AKEI) dari setiap
13
anggota
keluarga
yang
mengkonsumsi
makanan
dalam
suatu
keluarga/rumahtangga yang dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang mengkonsumsi makanan tersebut (Hardinsyah & Martianto 1992). Menaksir kecukupan protein keluarga/rumahtangga pada prinsipnya sama dengan menaksir kecukupan energi keluarga/rumahtangga. Angka kecukupan protein rata-rata keluarga (AKPRK) merupakan jumlah angka kecukupan protein semua anggota keluarga dibagi jumlah anggota keluarga (Hardinsyah & Martianto 1992). Tingkat konsumsi energi dan protein seseorang atau
sekelompok
orang
(rumahtangga/keluarga)
dikatakan
cukup/dapat
memenuhi kebutuhannya bila tingkat konsumsi pangannya lebih dari atau sama dengan 70% (Latief et al. 2000 dalam WNPG VII). Survei konsumsi Pangan Menurut Suhardjo, Hardinsyah, dan Riyadi (1988), survei konsumsi pangan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan informasi konsumsi pangan dan zat gizi pada masyarakat yang dapat digunakan sebagai dasar penyusunan kegiatan atau program. Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan, salah satunya adalah dengan pengumpulan data secara langsung. Hasil dari pencatatan data secara langsung dari hasil wawancara dan pengamatan jenis serta banyaknya pangan yang dikonsumsi dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi dan kebiasaan makan masyarakat. Survei konsumsi pangan dilakukan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif data yang dikumpulkan lebih menitikberatkan pada aspek yang berhubungan dengan kebiasaan makan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti pola makan, pembagian makanan dalam keluarga, besar keluarga, dan akseptabilitas. Secara kuantitatif survei konsumsi pangan ditujukan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi. Berdasarkan data tersebut akan diketahui besarnya konsumsi zat gizi yang dihitung dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) (Suhardjo et.al 1988). Kuesioner dapat digunakan untuk membantu memandu wawancara yang dilakukan. Kuesioner yang ditanyakan dibuat menurut urutan waktu makan dan pengelompokan pangan. Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan dalam bentuk ukuran rumahtangga (URT) seperti potong, piring, sendok makan, gelas, dan alat-alat rumahtangga lainnya yang biasa digunakan. Selanjutnya dari URT dikonversikan ke dalam satuan berat (g).
14
Kelemahan dari metode ini adalah hanya mengandalkan informasi yang diingat oleh responden (Suhardjo et.al 1988). Terdapat beberapa cara untuk mengumpulkan informasi data konsumsi pangan. Pemilihan cara yang akan digunakan sangat ditentukan oleh satuan penelitian, waktu, tenaga, dan dana yang tersedia. Secara umum ada dua cara pengumpulah data konsumsi pangan, yaitu metode penimbangan langsung (saperti weighing method dan food inventory method) dan metode penimbangan tidak langsung, seperti metode ingat-ingat (food recall method), metode pengeluaran pangan (food expenditure method), metode pendaftaran pangan (food list method), dan cara-cara lainnya. Prosedur dan teknik menggunakan cara-cara pengumpulan data konsumsi pangan secara mendalam merupakan bagian dari disiplin metode survei konsumsi pangan atau metode survei gizi (Hardinsyah & Briawan 1994). Metode survei yang sering dilakukan adalah dengan recall (mengingat kembali). Metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa lalu. Wawancara dilakukan sedalam mungkin agar responden dapat mengungkapkan jenis bahan makanan dan perkiraan
jumlah
bahan
makanan
yang
dikonsumsinya
beberapa
hari
sebelumnya (Suhardjo et.al 1988). Mengingat setiap metode mempunyai kelebihan dan kelemahan, maka perlu diperhatikan metode apa yang paling relevan atau paling cocok dengan suatu
penelitian.
Pemilihan
metode
dapat
didasarkan
pada
beberapa
pertimbangan, yaitu tujuan survei, ketelitian yang diinginkan, ketersediaan dana dan
waktu
serta
tingkat
keahlian/kemahiran
tenaga
pengumpul
data
(enumerator). Berdasarkan adanya kekurangan dan kelebihan dari suatu metode, maka suatu metode dapat dikombinasikan dengan metode yang lain, atau melakukan sedikit modifikasi terhadap suatu metode, disesuaikan dengan karakteristik masyarakat yang akan diteliti (Kusharto dan Sa’diyyah 2006). Food Frequency Questionaire (FFQ). FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi responden dalam mengkonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari atau minggu atau bulan atau tahun. Kuesioner terdiri dari list jenis makanan dan minuman (Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2007).
15
Menurut Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2007), kelebihan FFQ adalah relatif murah, dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet dan penyakit, dan lebih representatif.
Keterbatasan
FFQ
yaitu
adanya
kemungkinan
tidak
menggambarkan porsi yang dipilih oleh responden, tergantung pada kemampuan responden untuk mendiskripsikan dietnya. Beberapa jenis FFQ adalah sebagai berikut: 1. Simple or nonquantitative FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi, sehingga menggunakan standar porsi. 2. Semi quntitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya sepotong roti, secangkir kopi. 3. Quntitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi responden, seperti kecil, sedang, atau besar. Penggunaan metode FFQ pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intik konsumsi zat gizi (Gibson 1993). Hal ini tergantung dari tujuan studi, apakah hanya ingin menggali frekuensi pangan saja atau juga sekaligus dengan konsumsi zat gizinya. Dengan metode ini, kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (misalnya sumber energi, protein, lemak, dan vitamin) selama kurun waktu yang spesifik (seperti perhari, minggu, bulan, atau tahun) dan sekaligus mengestimasi konsumsi zat gizinya. Kuisioner mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan. Biasanya metode ini digunakan untuk mengukur konsumsi pangan suatu keluarga. Keuntungan menggunakan metode ini antara lain lebih cepat mengumpulkan data, relatif lebih murah, dapat mengetahui pangan yang biasa dikonsumsi keluarga, dapat diambil oleh enumerator yang tidak berpengalaman dan hasilnya dapat distandarisasi secara umum (Howarth 1990 dalam Gibson 1993). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Menurut Suhardjo (1989) perlu untuk mempelajari apa yang dianggap sebagai nilai dasar yang menentukan pilihan pangan, agar dapat memahami secara lebih baik apa yang orang makan dan apa yang orang perbuat. Nilai dasar tersebut ditentukan oleh empat faktor penting, yaitu rasa (taste), nilai
16
sosial, manfaat bagi kesehatan, dan harga. Lebih lanjut Handajani (1994) dalam Junaidi (1997) mengatakan, faktor yang tak kalah penting dalam pola konsumsi pangan adalah sifat sensori suatu makanan yang meliputi kenampakan, warna, bau, rasa, tekstur, dan suhu. Bahkan sering orang memilih makanan suatu makanan lebih dikarenakan pada pertimbangan sifat sensori daripada nilai gizinya. Lokasi Geografik.
Tempat dimana seorang konsumen tinggal akan
mempengaruhi pola konsumsinya. Orang yang tinggal di desa akan memiliki akses terbatas kepada berbagai produk dan jasa. Penduduk desa dan kota memiliki perbedaan dalam pola konsumsi pangan (Sumarwan 2004). Faktor Budaya.
Faktor budaya mencakup pola pangan, pembagian
makanan dalam keluarga, besar keluarga, dan daya terima. Banyak sekali penemuan para peneliti yang menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Faktor budaya seperti adanya taboo/larangan, dapat mempengaruhi pola konsumsi seseorang atau sekelompok orang (Suhardjo 1989). Setiap masyarakat mengembangkan cara turun-temurun untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan, menyajikan, dan mengkonsumsi makanan yang dihidangkan. Adat dan tradisi merupakan dasar dari perilaku tersebut, yang biasanya dalam beberapa hal berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lain. Nilai-nilai, sikap, dan kepercayaan yang ditentukan budaya, merupakan jaringan kerja dimana kebiasaan makan dan daya terima terhadap makanan terbentuk. Budaya tersebut dipelihara dengan seksama dan diajarkan dengan tekun dari satu generasi ke generasi berikutnya (Suhardjo 1989). Pendapatan.
Pendapatan diduga merupakan salah satu faktor yang
paling berpengaruh terhadap baik-buruk dan tinggi rendahnya konsumsi pangan. Konsumsi
pangan
banyak
dipengaruhi
pendapatan,
tingkat
pendidikan,
kebiasaan, kepercayaan/agama dan keadaan lingkungan (Levinson 1974 dalam Suhardjo 1984). Lingkungan biologi dan fisik disamping lingkungan sosialekonomi banyak berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Pendapatan dan harga merupakan faktor utama yang mempengaruhi daya beli keluarga. Hukum Engel mengetakan bahwa makin tinggi pendapatan, persentase pengeluaran untuk makanan makin kecil walaupun secara absolut meningkat. Umumnya peningkatan pendapatan diikuti oleh peningkatan konsumsi pangan hewani atau makanan-makanan kaleng (Sanjur D 1982
17
Suhardjo 1984). Faktor ekonomi seperti kemiskinan berpengaruh besar pada konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Amin, Suharno, dan Saifullah (1998) menyatakan bahwa rendahnya daya beli atau pendapatan sering berasosiasi dengan kemiskinan (poverty). Sajogyo et al. (1996) dalam Nurhasanah (2004) menyatakan bahwa rendahnya pendapatan seseorang merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Menurut Sumarwan
(2004)
para
peneliti
seringkali
mengalami
kesulitan
untuk
mendapatkan data pendapatan dari konsumen. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, para peneliti menggunakan metode lain dalam mengukur pendapatan seorang konsumen atau rumahtangga, yaitu dengan pendekatan pengeluaran konsumen atau keluarga/rumahtangga. Jumlah pengeluaran rumahtangga inilah yang dianggap sebagai indikator pendapatan rumahtangga. Kemiskinan.
Terdapat dua istilah umum yang digunakan dalam
mengartikan kemiskinan, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan hidup, sedangkan kemiskinan relatif adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup yang sesuai dengan yang diperlukan (Quibria 1991 diacu dalam Raharto & Romdiati 2000). Secara umum terdapat dua pendekatan yang telah digunakan dalam mengukur
kemiskinan,
berdasarkan
pada
yaitu
nilai-nilai
pendekatan normatif,
dan
obyektif
yang
pendekatan
dikembangkan subyektif
yang
dikembangkan berdasarkan pada nilai individu dan rumahtangga. Ukuran kemiskinan pada masyarakat nelayan didasarkan pada pemilikan alat tangkap ikan dan perahu, hubungan patron-client (punggawa-sawi), dan kebutuhan mencari pekerjaan tambahan (Mubyarto, Soetrisno & Dove 1984). BPS menghitung garis kemiskinan nasional berdasarkan komoditas bahan makanan dan bukan makanan yang dikonsumsi oleh penduduk yang menjadi referensi. Garis kemiskinan Kabupaten Cirebon berdasarkan data BPS tahun 2006 sebesar Rp 168.272.00 per kapita per bulan (BPS 2007). Badan
Koordinasi
Keluarga
Berencana
Nasional
(BKKBN)
juga
mengklasifikasikan sendiri siapa yang termasuk dalam keluarga miskin. BKKBN mengidentifikasi keluarga miskin berdasarkan indikator ekonomi dan bukan ekonomi yang mencakup pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, agama,
keluarga
berencana,
interaksi
diantara
anggota
rumahtangga,
18
transportasi, tabungan, informasi, dan peran sosial. Terdapat 22 indikator yang digunakan untuk mengklasifikasikan keluarga ke dalam lima kategori, yaitu Keluarga Pra-Sejahtera/Pra-KS, Keluarga Sejahtera I/KS I, KS II, KS III, dan KS III +. Keluarga Pra-KS dan KS I dikategorikan sebagai keluarga miskin. (Raharto & Romdiati 2000).
19
KERANGKA PEMIKIRAN Akses
pangan
tingkat
rumahtangga
adalah
kemampuan
suatu
rumahtangga untuk memperoleh pangan yang cukup secara terus-menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan rumahtangga, persediaan pangan rumahtangga, jual-beli, tukar-menukar/barter, pinjam-meminjam, dan pemberian atau bantuan pangan. Akses pangan rumahtangga dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu dimensi akses fisik, akses ekonomi, dan akses sosial. Akses fisik dapat diamati berdasarkan jarak pasar terdekat dalam suatu wilayah dan ketersediaan pangan di warung sekitar pemukiman penduduk wilayah tersebut. Pasar merupakan salah satu sarana dan prasarana yang tersedia di suatu wilayah untuk menunjang kebutuhan akan pangan setiap individu dalam wilayah tersebut. Salah satu tujuan pasar adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memungkinkan akses masyarakat terhadap pangan untuk pemenuhan kebutuhan pangannya meningkat. Akses ekonomi dapat dilihat dari tingkat kemiskinan berdasarkan data pengeluaran total (pengaluaran pangan dan non pangan) keluarga per kapita per bulan dengan menggunakan acuan dari data garis kemiskinan BPS. Selain itu, akses ekonomi dapat dilihat pula berdasarkan aset/kepemilikan alat untuk melaut. Akses sosial dapat diamati dari tingkat pendidikan, perhatian, dorongan/dukungan maupun bantuan sosial baik berupa pinjaman ataupun pemberian pangan/uang dari sanak keluarga, tetangga, maupun teman. Berdasarkan ketiga akses tersebut kemudian dilihat apakah keluarga tersebut memiliki akses pangan yang rendah, sedang, atau tinggi.
20
• • • • • •
•
•
Akses Ekonomi Pengeluaran keluarga Kepemilikan aset melaut
Karakteristik Keluarga Usia KK dan ibu Pendidikan KK dan ibu Besar keluarga Pengeluaran keluarga Aset melaut Dukungan sosial
• •
Akses Fisik Jarak pasar Ketersediaan pangan di warung
• •
•
Akses Sosial Besar keluarga Pendidikan KK dan ibu Dukungan sosial
Akses Pangan Keluarga
Ketersediaan Pangan Keluarga
Konsumsi Pangan Keluarga
Tingkat Konsumsi Pangan Keluarga
Angka Kecukupan Gizi
Status Gizi Keterangan: : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti Gambar 2. Kerangka pemikiran pengaruh akses pangan keluarga terhadap tingkat konsumsi pangan keluarga
21
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini menggunakan desain survei melalui pendekatan Crosssectional study, yaitu penelitian yang dilakukan pada suatu waktu untuk meneliti variabel tertentu dan menentukan hubungan antara variabel tersebut. Lokasi penelitian terletak di Desa Grogol, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja), dengan mempertimbangkan desa yang termasuk desa nelayan miskin. Pengambilan data dilakukan dari bulan Juni 2007 hingga Juli 2007. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian besar yang berjudul Analisis Determinan dan Indikator Kelaparan serta Upaya Penanggulangannya pada Keluarga Nelayan, Desa Grogol dan Mertasinga, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Penarikan Contoh Contoh yang diambil adalah yang memenuhi kriteria, yaitu keluarga yang bertempat tinggal di Desa Grogol, Kabupaten Cirebon, yang pekerjaan utama kepala keluarganya adalah nelayan. Jumlah populasi yang memenuhi kriteria sebanyak 187 kepala keluarga (KK). Menurut Umar (1999) jumlah contoh dapat ditentukan berdasarkan rumus Slovin (1960) sebagai berikut: N n=
187 =
1 + N (e)2
1 + (187) (0,12)
Keterangan: n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi yang memenuhi kriteria (187 KK) e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir/diinginkan (10%) Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah contoh sebanyak 65 KK. Sebanyak 26 keluarga pra sejahtera dan 39 keluarga sejahtera dipilih secara random dengan menggunakan rumus proporsi sebagai berikut: Ni ni =
(n) T
Keterangan: T = Total jumlah populasi keluarga nelayan hasil survey Ni = Banyaknya keluarga jenis i dari populasi penelitian n = Jumlah sampel ni = Banyaknya keluarga jenis i yang terpilih sebagai sampel penelitian
22
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Cara pengumpulan
data
primer
dilakukan
dengan
wawancara
serta
observasi/pengamatan secara mendalam (in-depth) terhadap sampel/contoh. Alat pengumpulan data primer menggunakan kuesioner yang disertai alat ukur berat badan dan panjang/tinggi badan. Tabel 1. Jenis dan cara pengumpulan data No.
Jenis data
A. 1.
Data Primer Karakteristik keluarga
2.
Konsumsi pangan keluarga
3.
Pengeluaran keluarga Aset melaut Data Sekunder Data desa Letak desa Karakteristik desa
4. B. 1.
Kategori pengumpulan
Sumber
Alat dan bahan
Jenis kelamin Usia BB dan TB Jumlah anggota keluarga Pendidikan Pekerjaan utama dan sampingan Jenis pangan Frekuensi konsumsi pangan URT dan berat konsumsi (g) Persentase konsumsi (%) Pengeluaran pangan Pengeluaran nonpangan Kepemilikan alat-alat melaut
Wawancara
Kuesioner Alat ukur
Wawancara
Semi kuantitatif FFQ
Wawancara
Semi kuantitatif FFQ Kuesioner
Wawancara Buku potensi desa (2005)
-
Data primer yang dikumpulkan meliputi data umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran (pangan dan nonpangan) keluarga. Selain itu, dikumpulkan pula data mengenai dukungan sosial, kepemilikan aset untuk melaut serta konsumsi pangan. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data-data yang berkaitan dengan keperluan penelitian, seperti data mengenai karakteristik desa. Data sekunder ini dapat diperoleh melalui Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon, studi literatur, maupun penggunaan media elektronik seperti internet. Pengolahan dan Analisis Data Data yang sudah terkumpul ditabulasikan dan dianalisis dengan bantuan program Microsoft Excel dan software SPSS for windows versi 13.0. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis korelasi, dan analisis regresi. Tingkat konsumsi pangan dapat diketahui dengan membandingkan angka konsumsi gizi aktual dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan yang
23
dinyatakan dalam persen. Penilaian tersebut dapat digunakan untuk individu dan keluarga. Tingkat konsumsi pangan individu dirumuskan sebagai berikut: AKGi aktual TKGi (%) =
x 100% AKGi
Keterangan: TKGi = Tingkat konsumsi zat gizi individu AKGi aktual = Angka konsumsi zat gizi aktual individu AKGi = Angka kecukupan zat gizi individu yang dianjurkan Konsumsi pangan keluarga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu atau anggota keluarga. Jumlah konsumsi pangan keluarga atau rumahtangga dibagi dengan jumlah orang atau anggota keluarga yang mengkonsumsi pangan tersebut. Uji beda yang digunakan adalah uji t (independent t-test sample) untuk melihat perbedaan antara kelompok keluarga nelayan pra sejahtera dengan kelompok keluarga nelayan sejahtera. Hubungan akses pangan keluarga dengan karakteristik keluarga dan tingkat konsumsi pangan keluarga dianalisis menggunakan korelasi Spearman. Analisis pengaruh kriteria keluarga dan akses pangan keluarga terhadap tingkat konsumsi pangan keluarga menggunakan regresi linear logistik (binary logistic regression). Pengkategorian data ketersediaan pangan di warung, aset melaut, dukungan sosial, dan kriteria akses pangan (akses fisik, akses ekonomi, dan akses sosial) ditentukan dengan menggunakan rumus interval (Slamet 1993 dalam Marwati 2001): Skor maksimum (NT) – Skor minimum (NR) Interval (I) = Jumlah kategori yang diinginkan Setelah dihitung range/intervalnya maka akan didapatkan tiga skor kategori: Rendah = NR sampai (NR + I) Sedang = (NR +I) sampai ((NR + I) + I) Tinggi
= ((NR + I) + I) sampai NT Akses fisik dianalisis berdasarkan jarak pasar terdekat dengan tempat
tinggal penduduk Desa Grogol serta ketersediaan pangan di warung sekitar tempat tinggalnya. Jarak pasar dihitung berdasarkan Deptan (2007a), yaitu akses pangan tergolong tinggi apabila dalam suatu wilayah/daerah tersebut terdapat pasar, suatu wilayah/daerah tergolong akses pangan sedang bila wilayah/daerah tersebut tidak memiliki pasar dan jarak pasar yang terdekat dengan wilayah/daerah tersebut kurang dari atau sama dengan 3 km, suatu
24
wilayah/daerah tergolong akses pangan rendah bila wilayah/daerah tersebut tidak memiliki pasar dan jarak pasar yang terdekat dengan wilayah/daerah tersebut lebih dari 3 km (Tabel 2). Berdasarkan ketersediaan pangan di warung akses pangan dikategorikan menjadi tiga kriteria, yaitu akses pangan rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan rumus interval Slamet (1993) dalam Marwati (2001). Warung yang menjual sembilan bahan pangan diberikan kode masingmasing 2, sedangkan warung yang tidak menjual bahan pangan tersebut masingmasing diberikan kode 1. Masing-masing
kategori
akses
pangan
keluarga
nelayan
contoh
berdasarkan ketersediaan pangan di warung dan jarak terdekat pasar dengan tempat tinggal contoh yang tergolong rendah diberikan kode 1, yang tergolong sedang diberi kode 2, dan yang tergolong tinggi diberi kode 3. Kategori akses fisik berdasarkan gabungan dari data ketersediaan pangan di warung dan jarak terdekat pasar dengan tempat tinggal contoh dibagi menjadi tiga kategori (akses pangan rendah, sedang, dan tinggi) dengan menggunakan rumus interval Slamet (1993) dalam Marwati (2001). Akses
ekonomi
keluarga
nelayan
contoh
dianalisis
berdasarkan
pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan serta kepemilikan aset melaut keluarga. Akses pangan berdasarkan pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan dikategorikan menjadi tiga kriteria, yaitu tergolong akses pangan rendah apabila tingkat pengeluaran per kapita per bulan keluarganya rendah (dibawah garis kemiskinan), tergolong akses pangan sedang apabila tingkat pengeluaran per kapita per bulan keluarganya sedang (diatas garis kemiskinan sampai 1,5 kali garis kemiskinan), dan tergolong tinggi bila tingkat pengeluaran per kapita per bulan keluarganya tinggi (diatas 1,5 garis kemiskinan). Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan Kabupaten Cirebon tahun 2006, yaitu sebesar Rp 168.272.00 (BPS 2007) Kepemilikan aset melaut keluarga nelayan contoh seperti kapal/perahu diberi kode 4 jika keluarga nelayan contoh memilikinya, kode 3 untuk kepemilikan motor kapal (mesin kapal/perahu), kode 2 untuk kepemilikan jaring, dan kode 1 untuk kepemilikan alat pancing. Kode 0 diberikan apabila keluarga nelayan contoh tidak memiliki aset tersebut. Kategori akses pangan berdasarkan kepemilikan aset melaut dibagi menjadi tiga kategori dengan menggunakan rumus interval Slamet (1993) dalam Marwati (2001), yaitu akses pangan rendah, sedang, dan tinggi.
25
Masing-masing
kategori
akses
pangan
keluarga
nelayan
contoh
berdasarkan pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan dan kepemilikan aset melaut yang tergolong rendah diberikan kode 1, yang tergolong sedang diberi kode 2, dan yang tergolong tinggi diberi kode 3. Kategori akses ekonomi berdasarkan gabungan dari data pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan dan kepemilikan aset melaut dibagi menjadi tiga kategori (akses pangan rendah, sedang, dan tinggi) dengan menggunakan rumus interval Slamet (1993) dalam Marwati (2001). Akses sosial keluarga nelayan contoh dianalisis berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri contoh, jumlah anggota keluarga nelayan contoh, serta dukungan sosial keluarga nelayan contoh. Akses pangan berdasarkan pendidikan kepala keluarga dan istri nelayan contoh dikategorikan menjadi tiga, yaitu akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Keluarga nelayan contoh tergolong dalam akses pangan rendah bila tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri tergolong rendah, yaitu tidak sekolah hingga SD (lama sekolahnya < 6 tahun), tergolong sedang bila tamat SD hingga tamat SLTP (6-9 tahun), dan tergolong tinggi bila diatas SLTP (> 9 tahun). Berdasarkan jumlah anggota keluarga, akses pangan keluarga nelayan contoh dikategorikan menjadi tiga kriteria, yaitu akses pangan rendah, sedang, dan tinggi. Akses pangan rendah bila berdasarkan BKKBN (1998) dalam Rahmaulina (2007) jumlah anggota keluarga nelayan contoh tergolong keluarga besar (
7 orang), tergolong sedang bila keluarga sedang (5-6 orang), dan
tergolong tinggi bila termasuk keluarga kecil ( 4 orang). Berdasarkan dukungan sosial, akses pangan keluarga nelayan contoh dibagi menjadi tiga kategori (akses pangan rendah, sedang, dan tinggi) dengan menggunakan rumus interval Slamet (1993) dalam Marwati (2001). Keluarga nelayan contoh yang menjawab ‘iya’ pada setiap pernyataan dukungan sosial diberi kode 2, bila menjawab ‘tidak’ diberi kode 1. Masing-masing
kategori
akses
pangan
keluarga
nelayan
contoh
berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri contoh, jumlah anggota keluarga nelayan contoh, serta dukungan sosial keluarga nelayan contoh yang tergolong rendah diberikan kode 1, yang tergolong sedang diberi kode 2, dan yang tergolong tinggi diberi kode 3. Kategori akses sosial berdasarkan gabungan dari data tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri contoh, jumlah anggota keluarga nelayan contoh, serta dukungan sosial keluarga nelayan contoh dibagi
26
menjadi tiga kategori (akses pangan rendah, sedang, dan tinggi) dengan menggunakan rumus interval Slamet (1993) dalam Marwati (2001). Tabel 2. Pengkategorian variabel penelitian No.
Variabel
1
Usia KK dan ibu
2
Jumlah anggota keluarga
3
Pendidikan KK dan ibu
4
Ketersediaan pangan di warung
5
Jarak pasar
6
Pengeluaran total keluarga
7
Aset melaut
8
Dukungan sosial
9
Akses fisik
10
Akses ekonomi
11
Akses sosial
12
Akses pangan
13
Tingkat konsumsi pangan keluarga - Energi (TKE) -
Protein (TKP)
Kategori Dewasa awal : 18 – 40 th Dewasa menengah : 41 – 65 th Dewasa lanjut : > 65 th Keluarga kecil : 4 orang Keluarga sedang : 5 – 6 orang Keluarga besar : 7 orang Rendah : < SD (< 6 th) Sedang : Tamat SD – SLTP (6 – 9 th) Tinggi : > SLTP (> 9 th) Rendah : < 12 Sedang : 12 – 15 Tinggi : > 15 Rendah : Mempunyai pasar Sedang : 3 km Tinggi : > 3 km Rendah : < GK Sedang : 1.0 – 1.5 GK Tinggi : > 1.5 GK Rendah : < 5 Sedang : 5 – 7 Tinggi : > 7 Rendah : < 3 Sedang : 3 – 4 Tinggi : > 4 Rendah : < 17 Sedang : 17 – 21 Tinggi : > 21 Rendah : < 3 Sedang : 3 – 4 Tinggi : > 4 Rendah : < 7 Sedang : 7 – 9 Tinggi : > 9 Rendah : < 3 Sedang : 3 – 4 Tinggi : > 4
Kurang : < 70% Cukup : 70%
Sumber Papalia dan Olds (1981) BKKBN (1998) dalam Rahmaulina (2007) BPS (2007) Rumus interval Slamet (1993) Deptan (2004)
BPS (2007) Rumus interval Slamet (1993) Rumus interval Slamet (1993) Rumus interval Slamet (1993) Rumus interval Slamet (1993) Rumus interval Slamet (1993) Rumus interval Slamet (1993)
Latief et al. (2000)
Kurang : < 70% Cukup : 70%
Definisi Operasional Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik diolah maupun tidak, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman untuk dikonsumsi manusia.
27
Keluarga adalah kelompok individu yang mempunyai hubungan darah dan tinggal bersama dalam satu tempat tinggal serta menggunakan sumberdaya yang sama dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Nelayan adalah orang yang pekerjaannya menangkap ikan ataupun hasil laut lainnya, baik yang bekerja sendiri maupun kelompok. Pengeluaran pangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk memperoleh pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Pengeluaran non pangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk selain pangan dalam memenuhi kebutuhan keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan. Aset melaut adalah materi yang dimiliki oleh rumahtangga yang dapat digunakan dalam kegiatan melaut yang menjadi pekerjaan utama dalam pendapatan rumahtangga. Dukungan sosial adalah berbagai macam bantuan yang diterima seseorang dari orang lain baik itu secara emosional maupun material (instrumental). Tingkat kecukupan zat gizi adalah penilaian kecukupan konsumsi suatu zat gizi yang dapat digunakan untuk individu ataupun keluarga dengan membandingkan konsumsi zat gizi aktual (nyata) dengan angka kecukupan zat gizi standar yang dinyatakan dalam persentase. Komposit akses pangan adalah gabungan variabel akses pangan (fisik, ekonomi, dan sosial) dalam mengukur kemampuan keluarga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup melalui kombinasi cadangan mereka sendiri dan hasil dari rumah/pekarangan sendiri, pembelian, barter, pemberian, pinjaman atau bantuan pangan. Akses fisik adalah kemampuan/kemudahan keluarga dalam memperolah pangan yang ada di suatu wilayah yang diukur berdasarkan ketersediaan pangan di warung dan jarak pasar, baik itu pasar inpres maupun pasar swalayan. Akses ekonomi adalah kemampuan/kemudahan penduduk dalam memperoleh pangan, dihitung berdasarkan pengeluaran dan aset/kepemilikan alat untuk melaut. Akses sosial adalah kemampuan/kemudahan penduduk untuk mengakses pangan berdasarkan data jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga dan istri, dan bantuan/dukungan sosial keluarga.
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Berdasarkan BPS (2006b), Kabupaten Cirebon merupakan wilayah yang masih terdapat dalam wilayah administrasi Jawa Barat (perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah). Berdasarkan letak geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon berada pada posisi 108040'-108048' Bujur Timur dan 6030'7000' Lintang Selatan. Sebelah utara Kabupaten Cirebon berbatasan dengan wilayah Kabupaten Indramayu, sebelah barat laut berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan, dan sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kotamadya Cirebon dan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah). Luas Kabupaten Cirebon adalah 990,36 km2 dengan jarak terjauh dari barat hingga timur 54 km dan dari utara hingga selatan 39 km. Kabupaten Cirebon berada pada ketinggian 0-130 m diatas permukaan laut (mdpl) dengan jenis tanah Litasol, Aluvial, Grumosol, Mediteran, Latasol, Potsolik, Regosol, dan Gleihumus. Faktor iklim dan curah hujan di Kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pantai terutama daerah bagian utara, timur, dan barat. Daerah bagian selatan merupakan daerah perbukitan (BPS 2006b). Salah satu sumber devisa bagi Kabupaten Cirebon adalah sektor perikanan (no empat setelah industri rotan, batik, dan benang tenun, dilihat dari nilai ekspor non migas tahun 2003) (BPS 2005). Perikanan ini meliputi perikanan darat (kolam dan waduk), perikanan tambak, perikanan laut, dan ikan olahan. Ikan olahan merupakan subsektor perikanan yang mampu menghasilkan nilai produksi terbesar diantara perikanan lainnya (BPS 2006b). Desa Grogol merupakan salah satu desa di Kabupaten Cirebon yang tipologi desanya adalah desa pantai/pesisir. Jenis budidaya ikan tawar/payau yang terdapat di Desa Grogol adalah Tambak sebesar 12.5 ha yang rata-rata produksinya satu ton per tahun. Jenis budidaya ikan air laut berupa empang/kolam seluas 33 ha dengan produktifitas dua ton per tahun (Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon 2005). Jarak terdekat Desa Grogol ke ibukota kecamatan adalah 5 km, dengan lama tempuh kurang lebih 0,15 jam menggunakan kendaraan umum (angkutan kota). Jarak terdekat Desa Grogol ke ibukota kabupaten adalah 15 km, lama
29
tempuh 1,5 jam, dan kendaraan umum yang dapat digunakan adalah angkutan kota (Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon 2005). Desa Grogol mempunyai rata-rata curah hujan 1200-1300 mm dengan jumlah bulan hujan tiga bulan. Suhu rata-ratanya mencapai 28-300C. Ketinggian Desa Grogol mencapai 2 mdpl, yang merupakan wilayah datar. Tekstur tanah Desa Grogol berupa lempengan yang berwarna kehitaman dengan kedalaman 12 m. Desa Grogol mempunyai luas wilayah 173 ha yang terdiri dari (74.7 ha) tanah sawah (Tabel 3). Tanah sawah terdiri dari sawah irigasi serta sawah tadah hujan. Selain tanah sawah, di Desa Grogol juga terdapat tanah basah, tanah kering, serta tanah fasilitas umum seperti lapangan, perkantoran pemerintah desa, dan yang lainnya (Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon 2005). Tabel 3. Potensi sumberdaya alam Desa Grogol Potensi Sumber Daya Alam Luas (ha) Persentase (%) 43,2 Tanah Sawah 74,7 Tanah Basah 55,6 32,1 Tanah Kering 36,3 21,0 Fasilitas Umum 6,4 3,7 Total 173 100,0 Sumber : Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon (2005)
Berdasarkan data Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon (2005), penduduk Desa Grogol berjumlah 4435 orang. Sebagian besar penduduk Desa Grogol termasuk ke dalam kelompok keluarga miskin (Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1). Kategori kemiskinan di Desa Grogol berdasarkan kriteria kemiskinan BKKBN terdapat sebanyak 413 Keluarga Pra-Sejahtera (KPS), 349 Keluarga Sejahtera 1 (KS1), 209 Keluarga Sejahtera 2 (KS2), 156 Keluarga Sejahtera 3 (KS3), dan 92 Keluarga Sejahtera 3+ (KS3+). Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terakhir penduduk di Desa Grogol masih relatif rendah. Hampir separuh (44.5%) penduduk desa Grogol yang tercatat dalam data Potensi Desa tahun 2005 tidak tamat SD. Terdapat 48 orang yang tamat S1 dan hanya 2 orang yang tamat S2. Berdasarkan BPS (2007), tingkat pendidikan TK dan belum tamat SD/Sederajat tergolong ke dalam tingkat pendidikan dasar.
30
Tabel 4. Sebaran penduduk Desa Grogol berdasarkan pendidikan terakhir Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) Belum sekolah 570 16,5 Tidak pernah sekolah 378 10,9 44,5 Tidak tamat SD 1533 Tamat SD/Sederajat 467 13,5 Tamat SLTP/Sederajat 278 8,1 Tamat SLTA/Sederajat 156 4,5 Tamat D-1 2 0,1 Tamat D-2 7 0,2 Tamat D-3 7 0,2 Tamat S-1 48 1,4 Tamat S-2 2 0,1 Total 3448 100,0 Sumber : Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon (2005)
Berdasarkan data Potensi Desa (Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon 2005), sebanyak 1798 orang (68.9%) mempunyai matapencaharian sebagai nelayan (Gambar 3). Warga Desa Grogol juga ada yang mempunyai matapencaharian lain selain melaut, seperti bertani, menjadi buruh tani, swasta, pegawai negeri, pengrajin, pedagang, peternak, dan sebagainya. Berikut gambaran mengenai distribusi penduduk Desa Grogol berdasarkan jenis matapencaharian:
Gambar 3. Distribusi penduduk Desa Grogol berdasarkan jenis matapencaharian
31
Karakteristik Keluarga Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga nelayan contoh berkisar antara 2-12 orang dengan rata-rata anggota keluarga sebesar 5,5 ± 2,2 orang (Tabel 5). Sebanyak 38,5% keluarga nelayan contoh tergolong keluarga kecil. Terdapat 36,9% keluarga yang tergolong keluarga sedang, dan 24,6% keluarga nelayan contoh tergolong keluarga besar. Suatu keluarga tergolong keluarga kecil apabila jumlah anggota keluarga kurang dari lima orang. Suatu keluarga dikatakan keluarga sedang apabila anggota keluarganya berjumlah lima sampai enam orang, dan keluarga tersebut dikatakan keluarga besar bila anggota keluarganya berjumlah lebih dari enam orang (BKKBN 1998 dalam Rahmaulina 2007). Tabel 5. Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga Pra sejahtera Sejahtera Total Jumlah Anggota Keluarga (orang) n % n % n % 4 5-6 7
7 10 9
26,9 38,5 34,6
18 14 7
46,2 35,9 17,9
25 24 16
38,5 36,9 24,6
Total
26
100,0
39
100,0
65
100,0
Rata-rata ± SD
6,3 ± 2,7
5,1 ± 1,6
5,5 ± 2,2
Hasil uji beda (Independent sampel t-test) menunjukkan perbedaan yang signifikan antara rata-rata jumlah anggota keluarga nelayan kedua kelompok sampel (p<0,05) (Lampiran 3). Rata-rata jumlah anggota keluarga nelayan pra sejahtera adalah 6,3 ± 2,7 orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga nelayan sejahtera lebih rendah dibanding rata-rata jumlah anggota keluarga pra sejahtera, yaitu 5,1 ± 1,6 orang. Sebanyak 38,5% keluarga nelayan contoh pra sejahtera tergolong keluarga sedang, sedangkan sebesar 46,2% keluarga nelayan contoh sejahtera tergolong keluarga kecil. Menurut Dam et al. (1976) dalam Penny (1990), pertumbuhan penduduk adalah faktor kunci yang menyebabkan dan
mempertahankan
adanya
kemiskinan. Menurut Loppies (1998), penelitian Perisse dan Kamoun (1982) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh langsung terhadap kecukupan konsumsi pangan keluarga tersebut. Menurut Suhardjo (1989), faktor budaya seperti besar keluarga berpengaruh besar pada konsumsi pangan sehingga sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara.
32
Usia Kepala Keluarga dan Istri Usia kepala keluarga nelayan contoh berkisar antara 25-70 tahun dengan rata-rata 40,5 ± 12,0 tahun (Tabel 6). Lebih dari setengah keluarga nelayan contoh (64.6%) usia kepala keluarganya tergolong ke dalam kelompok dewasa awal (18-40 tahun), sedangkan kepala keluarga (suami) nelayan contoh yang tergolong dewasa menengah terdapat sebanyak 29,2%, dan yang tergolong dewasa lanjut hanya 6,2%. Rata-rata usia istri keluarga nelayan contoh sebesar 36,5 ± 10,4 tahun dengan kisaran usia antara 20-66 tahun. Lebih dari setengah (69,23%) istri keluarga nelayan contoh termasuk dalam kategori dewasa awal dan hanya 1,5% yang tergolong dewasa lanjut. Menurut Papalia dan Olds (1981), masa kedewasaan seseorang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu young adult/dewasa awal (18-40 tahun), middle life/dewasa menengah (40-65 tahun), dan late adulthood/dewasa lanjut (>65 tahun). Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan usia kepala keluarga dan istri Pra sejahtera Sejahtera Total Kriteria Usia n % n % n % Kepala keluarga (suami) Dewasa awal 57,7 69,2 64,6 15 27 42 Dewasa menengah 9 34,6 10 25,6 19 29,2 Dewasa lanjut 2 7,7 2 5,2 4 6,2 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Rata-rata ± SD 42,2 ± 12,7 39,3 ± 11,5 40,5 ± 12,0 Istri Dewasa awal 65,4 71,8 69,3 17 28 45 Dewasa menengah 8 11 30,8 19 28,2 29,2 Dewasa lanjut 1 3,8 0 0,0 1 1,5 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Rata-rata ± SD 37,9 ± 11,8 35,5 ± 9,4 36,5 ± 10,4 Rata-rata usia kepala keluarga nelayan contoh dan istri pada kelompok keluarga pra sejahtera tidak berbeda signifikan dengan kelompok keluarga sejahtera (p>0,05) (Lampiran 3). Menurut Sumarwan (2004) perbedaan usia dapat mempengaruhi tingkat maupun macam barang dan jasa (baik berupa pangan maupun nonpangan) yang akan dibeli dan dikonsumsi oleh seseorang. Konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda pula. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merek suatu produk pangan maupun jasa. Kebutuhan akan barang dan jasa untuk dirinya juga tentunya berbeda sesuai dengan usianya.
33
Pendidikan Kepala Keluarga dan Istri Menurut BPS (2007), pendidikan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu pendidikan dasar (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/Sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/Sederajat hingga tamat SLTP/Sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/Sederajat). Lama sekolah tertinggi kepala keluarga (suami) nelayan contoh lebih tinggi dari lama sekolah istri, yaitu 15 tahun, sedangkan istri hanya 12 tahun. Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan kepala keluarga nelayan contoh adalah 2,9 ± 3,2 tahun dengan kisaran lama sekolah antara 0 tahun (tidak sekolah) hingga 15 tahun (perguruan tinggi). Rata-rata pendidikan istri adalah 3,1 ± 3,3 tahun dengan kisaran tertinggi lamanya sekolah 12 tahun (SLTA) dan kisaran terendahnya adalah 0 tahun (tidak sekolah). Tabel 7. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri Pra sejahtera Sejahtera Total Tingkat Pendidikan N % n % n % Kepala keluarga (suami) 73,1 69,2 70,8 Dasar (< 6 tahun) 19 27 46 Menengah (6-9 tahun) 23,1 6 30,8 12 27,7 18 Tinggi (> 9 tahun) 1 3,8 0 0,0 1 1,5 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Rata-rata ± SD 2,6 ± 3,7 3,1 ± 2,9 2,9 ± 3,2 Istri 73,1 66,7 69,2 Dasar (< 6 tahun) 19 26 45 Menengah (6-9 tahun) 6 23,1 12 30,8 18 27,7 Tinggi (> 9 tahun) 1 3,8 1 2,5 2 3,1 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Rata-rata ± SD 2,5 ± 3,4 3,4 ± 3,2 3,1 ± 3,3 Sebesar 70,8% suami termasuk dalam tingkat pendidikan dasar (tidak sekolah dan atau tidak tamat SD). Tingkat pendidikan istri persentasenya lebih kecil, yaitu 69,2% yang tidak sekolah dan atau tidak tamat SD. Kepala keluarga dan istri yang tingkat pendidikannya menengah mempunyai persentase yang sama, yaitu sebasar 27,7%. Contoh yang mengenyam tingkat pendidikan yang tergolong pendidikan tinggi hanya sedikit. Persentase kepala keluarga nelayan contoh yang pendidikan terakhirnya tergolong pendidikan tinggi sebesar 1,5%, sedangkan istri sebesar 3,1%. Rata-rata tingkat pendidikan kepala keluarga nelayan contoh dan istri pada kelompok keluarga pra sejahtera tidak berbeda signifikan dengan kelompok keluarga sejahtera (p>0,05) (Lampiran 3). Rata-rata lama sekolah kepala
34
keluarga dan istri baik kelompok keluarga pra sejahtera maupun sejahtera tergolong dalam kriteria pendidikan dasar. Menurut Sumarwan (2004), pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik konsumen yang saling berhubungan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seorang konsumen. Pendidikan dan pekerjaan
(pendapatan) tersebut kemudian akan
mempengaruhi
proses
keputusan dan pola konsumsi baik pangan maupun nonpangan seseorang. Kepemilikan Aset Melaut Aset untuk melaut terdiri dari kapal/perahu, motor kapal (mesin kapal/perahu), jaring, dan pancing. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar (78,5%) keluarga nelayan contoh memiliki jaring untuk menangkap ikan. Keluarga nelayan contoh yang memiliki kapal/perahu dan motor kapal lebih sedikit, yaitu masing-masing hanya 26,2%. Hal ini disebabkan karena biaya pembelian maupun pembuatan kapal/perahu dan motor kapal yang relatif jauh lebih mahal dibandingkan jaring sehingga lebih banyak nelayan yang memiliki jaring daripada kapal/perahu dan motor kapal. Tabel 8. Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut Punya Tidak punya Total Kepemilikan aset n % n % n % Kapal/perahu 17 26,2 48 73,8 65 100,0 Motor kapal 17 26,2 48 73,8 65 100,0 78,5 Jaring 51 14 21,5 65 100,0 96,9 Pancing 2 3,1 63 65 100,0 Pancing hanya dimiliki oleh 3,1% keluarga nelayan contoh karena keluarga nelayan contoh merupakan nelayan yang komoditi utamanya adalah rajungan sehingga lebih mudah dan lebih cepat jika menggunakan jaring. Selain itu, hasil tangkapan juga akan lebih banyak dengan menggunakan jaring daripada menggunakan pancing sehingga secara ekonomis penggunaan jaring akan lebih menguntungkan daripada menggunakan pancing. Rata-rata kepemilikan aset melaut keluarga nelayan contoh pada kelompok keluarga prasejahtera tidak berbeda signifikan dengan kelompok keluarga sejahtera (p>0,05) (Lampiran 3). Tabel 9 menunjukkan bahwa sebanyak 13 keluarga nelayan contoh (20,0%) dari kedua kelompok keluarga tersebut tidak memiliki aset untuk melaut sehingga mereka bekerja sebagai nelayan pekerja/buruh dengan upah dan waktu melaut yang tidak tentu.
35
Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut dan kelompok keluarga Pra sejahtera Sejahtera Total Kepemilikan aset n % n % n % Kapal/perahu 6 35,3 11 64,7 17 100,0 Motor kapal 6 35,3 11 64,7 17 100,0 Jaring 17 33,3 34 66,7 51 100,0 Pancing 2 100,0 0 0,0 2 100,0 Tidak memiliki aset 8 61,5 5 38,5 13 100,0 Berdasarkan Ensiklopedi Indonesia (1983), nelayan pekerja atau disebut juga nelayan penggarap bidak/sawi adalah nelayan yang tidak mempunyai alat produksi, tetapi hanya mempunyai tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Antara nelayan juragan dengan nelayan bidak/sawi berlaku perjanjian yang tak tertulis yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Nelayan juragan berkewajiban mengutangkan bahan makanan dan kayu bakar untuk keperluan operasi penangkapan ikan, jika nelayan pekerja memerlukan lagi bahan makanan untuk dapur keluarga yang ditinggalkan selama ia berlayar, maka nelayan itu harus berhutang lagi kepada juragan. Hasil penangkapan di laut dibagi menurut peraturan tertentu yang berbeda-beda dari juragan yang bersangkutan. Umumnya bagian nelayan pekerja selalu habis untuk membayar hutangnya (Ensiklopedi Indonesia 1983). Dukungan Sosial Dukungan sosial keluarga nelayan contoh dilihat melalui beberapa pernyataan dalam kuesioner. Semakin banyak pernyataan yang sesuai dengan keadaan keluarga mereka, maka semakin besar dukungan sosial yang diterima keluarga tersebut. Beberapa pernyataan dalam mengukur dukungan sosial yang diterima keluarga nelayan contoh dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan MacArthur dan John (1998) dukungan sosial dibedakan menjadi dua macam, yaitu dukungan emosional dan dukungan instrumental. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga nelayan contoh mendapatkan dukungan emosional. Sebagian besar sanak keluarga nelayan contoh (76,9%) mau mendengarkan permasalahannya, sebagian besar nelayan contoh (84,6%) sanak keluarganya juga berupaya memperlihatkan perasaan cinta dan menunjukkan kepeduliannya, dan sebagian besar keluarga nelayan contoh (87,7%) mencoba untuk berhubungan dengan sanak keluarga mereka seakrab mungkin.
36
Dukungan sosial yang diterima keluarga nelayan contoh tidak hanya terbatas dari sanak keluarganya saja, tetapi juga dari tetangga, teman karib serta masyarakat di tempat tinggal mereka. Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa sebagian besar keluarga nelayan contoh (86,2%) jarang bahkan tidak pernah mendapatkan dukungan/kunjungan dari petugas kesehatan. Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan dukungan sosial
1. Bantuan makanan selalu diterima
n 40
% 61,5
n 25
Tidak % 38,5
2. Petugas kesehatan selalu mengunjungi
9
13,8
56
86,2
3. Ketua RT selalu memberikan semangat 4. Anak-anak bisa sekolah tanpa harus membayar uang SPP dan biaya lainnya 5. Sanak keluarga mau mendengarkan permasalahannya 6. Sanak keluarga berupaya memperlihatkan perasaan cinta dan menunjukkan kepeduliannya 7. Mempunyai beberapa teman karib diluar keluarga yang diyakini sangat peduli dan mencintainya 8. Kehidupan dalam masyarakat memberi perasaan aman 9. Mencoba berhubungan dengan sanak keluarga seakrab mungkin 10. Jika sedang menghadapi masalah, tetangga selalu memberi pertolongan 11. Selalu mendapat bantuan keuangan dari orang tua/sanak keluarga ketika mendapat kesulitan 12. Ketika menghadapi kesulitan, tetangga mau membantu meminjamkan uang atau barang 13. Merasa tenang dengan lingkungan tempat tinggal yang sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan anak-anak 14. Selalu mendapatkan pertolongan dari masyarakat dimana ia tinggal, jika sedang dalam kesulitan 15. Saran yang diberikan tetangga sangat membantu dalam penyelesaian masalah yang dihadapinya
20
30,8
45
69,2
35
53,8
30
46,2
50
76,9
15
23,1
55
84,6
10
15,4
48
73,8
17
26,2
56
86,2
9
13,8
57
87,7
8
12,3
50
76,9
15
23,1
45
69,2
20
30,8
36
55,4
29
44,6
53
81,5
12
18,5
57
87,7
8
12,3
52
80,0
13
20,0
Pernyataan
Ya
Sebagian besar tetangga keluarga nelayan contoh (76,9%) selalu memberikan pertolongan terhadap keluarga nelayan contoh apabila sedang mengalami masalah. Selain bantuan pertolongan tersebut, terdapat sebanyak 80,0% keluarga nelayan contoh yang tetangganya juga memberikan saran yang sangat membantu dalam menyelesaikan masalahnya. Sebagian besar keluarga nelayan contoh mendapatkan bantuan dari tetangganya baik bantuan berupa materi (pangan, barang/jasa serta uang) yang disebut dengan dukungan instrumental maupun bantuan yang berupa non materi yang disebut dengan dukungan emosional. Sebagian besar keluarga nelayan contoh (86,2%) merasa kehidupan dalam masyarakat memberikan rasa aman pada dirinya maupun keluarganya.
37
Terdapat 81,5% keluarga nelayan contoh merasa tenang dengan lingkungan tempat
tinggalnya
yang
menurut
mereka
sesuai
sebagai
tempat
menumbuhkembangkan anak-anak mereka. Selain itu, sebagian besar keluarga nelayan contoh (87,7%) selalu mendapat pertolongan dari masyarakat dimana mereka tinggal apabila mereka sedang dalam kesulitan. Pengeluaran Keluarga Menurut Sajogyo (1977) dalam Satari (1989), data pengeluaran rumahtangga lebih menggambarkan pendapatan rumahtangga yang meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain seperti pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, dan pemberian. Menurut Moho dan Wagner (1981) dalam Satari (1989), data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi rumahtangga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Dikemukakan pula bahwa pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka. Oleh karena itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya. Pengeluaran keluarga per kapita per bulan dihitung berdasarkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan seluruh anggota keluarga baik kebutuhan pangan maupun nonpangan dalam sebulan. Pengeluaran per kapita per bulan didapatkan dengan mengakumulasikan pengeluaran pangan dan nonpangan keluarga selama setahun kemudian dibagi dua belas dan dibagi lagi sebesar jumlah seluruh anggota keluarga tersebut. Pengeluaran pangan mencakup pengeluaran untuk membeli sembilan kelompok bahan pangan, yaitu padi-padian (seperti beras), umbi-umbian (seperti ubi jalar, ubi kayu), pangan hewani (ikan, telur, daging, dan susu), minyak dan lemak (seperti minyak kelapa, minyak sawit), buah/biji berminyak (kelapa, kemiri, dan lainnya), kacang-kacangan (seperti kacang tanah), gula, sayur dan buah, dan lainnya (minuman, bumbu, dan lainnya). Pengeluaran nonpangan mencakup pengeluaran untuk kesehatan (obat/jamu, sabun, dan lainnya), pendidikan (SPP, uang saku, seragam, peralatan sekolah, dan yang lainnya), dapur (bahan bakar, peralatan dapur), perumahan (sewa/cicilan, perbaikan rumah), pakaian (baju, kain sarung, dan sebagainya), pesta/selamatan, dan lainnya (sumbangan, tabungan , telepon, rokok, pembantu, dan yang lainnya). Persentase rata-rata pengeluaran pangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan sebesar 52,6% dari pengeluaran keluarga per kapita per bulan (Tabel 11). Apabila dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran pangan keluarga
38
per kapita per bulan secara nasional pada tahun 2005, maka pengeluaran pangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan lebih rendah dari pengeluaran keluarga per kapita per bulan secara nasional, yaitu sebesar 53,01% (BPS 2006d). Rata-rata pengeluaran pangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan didominasi oleh pengeluaran untuk kelompok pangan padi-padian seperti beras, mie, terigu, dan jagung (35,9% dari keseluruhan rata-rata pengeluaran pangannya per kapita per bulan). Persentase pengeluaran pangan per kapita per bulan terkecil adalah untuk kelompok pangan makanan dan minuman jadi (1,8%). Tabel 11. Persentase pengeluaran keluarga per kapita per bulan berdasarkan kelompok jenis pengeluaran Persentase Pengeluaran (%) Jenis Pengeluaran Terhadap subtotal Terhadap total Pangan 35,9 18,9 Padi-padian Umbi-umbian 2,8 1,5 Ikan 5,8 3,1 Daging 2,8 1,5 Telur dan susu 8,9 4,7 Sayur-sayuran 7,6 4,0 Kacang-kacangan 7,0 3,7 Buah-buahan 7,1 3,7 Minyak dan lemak 6,6 3,5 Bumbu-bumbuan 4,4 2,3 Makanan dan minuman jadi 1,8 0,9 Lainnya 9,3 4,9 Sub total 100,0 52,6 Nonpangan Kesehatan 11,1 5,2 Pendidikan 19,0 9,0 36,4 17,2 Dapur Perumahan 0,2 0,1 Pakaian 6,4 3,1 Pesta/Slamatan 4,3 2,1 Lainnya 22,6 10,7 Sub total 100,0 47,4 Total 100,0 Tabel 11 menunjukkan persentase rata-rata pengeluaran nonpangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan adalah 47,4%. Pengeluaran nonpangan keluarga nelayan per kapita per bulan relatif lebih besar jika
39
dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran nonpangan keluarga per kapita per bulan secara nasional tahun 2005, yaitu 46,99% (BPS 2006d). Alokasi pengeluaran nonpangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan terbesar (36,4%) terdapat pada pengeluaran untuk dapur seperti bahan bakar (minyak tanah, kayu bakar, listrik, gas) untuk keperluan memasak serta peralatan dapur lainnya. Alokasi pengeluaran nonpangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan yang terendah (0,2%) adalah untuk perumahan (sewa/cicilan, perbaikan rumah, dan lainnya). Rata-rata pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan Rp 200.152,7 ± 87.233,9 (Tabel 12). Kisaran tertinggi pengeluaran tersebut adalah Rp 410.103 dan kisaran terendahnya Rp 62.038. Rata-rata pengeluaran pangan keluarga per kapita per bulan adalah Rp 105.903,2 ± 49.520,2, sedangkan pengeluaran nonpangan keluarga sebesar Rp 94.193,4 ± 64.964,9 per kapita per bulan. Tabel 12. Minimal, maksimal, dan rata-rata pengeluaran keluarga nelayan contoh Pengeluaran Keluarga Minimal Maksimal Rata-rata ± SD (Rp/kapita/bulan) Pangan 42.286 317.725 105.903,2 ± 49.520,2 Nonpangan 14.029 297.092 94.193,4 ± 64.964,9 Total 62.038 410.103 200.152,7 ± 87.233,9 Indonesia menggunakan garis kemiskinan berdasarkan nillai rupiah per kapita yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk pangan (2100 Kal per hari) dan nonpangan. Pengkategorian status ekonomi keluarga nelayan contoh dikelompokkan berdasarkan ketentuan dari garis kemiskinan Kabupaten Cirebon tahun 2006 berdasarkan pengeluaran total per kapita per bulan sebesar Rp 168.272 (BPS 2007). Suatu keluarga dikatakan miskin apabila pengeluaran keluarga per kapita per bulan berada dibawah garis kemiskinan (GK), dikatakan hampir miskin bila pengeluaran keluarga per kapita per bulannya diatas garis kemiskinan dan dibawah 1,25 garis kemiskinan (1,25 GK 1), hampir tidak miskin bila pengeluaran keluarga per kapita per bulannya diatas 1,25 garis kemiskinan dan dibawah 1,5 garis kemiskinan (1,5 GK>1,25). Suatu keluarga dikatakan tidak miskin apabila pengeluaran keluarga per kapita per bulan diatas 1,5 GK (BPS 2006a).
40
Tabel 13. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan Pra sejahtera Sejahtera Total Status Ekonomi Keluarga n % n % n % Miskin 50,0 30,9 38,5 12 25 13 Hampir miskin 4 15,4 7 17,9 11 16,9 Hampir tidak miskin 3 11,5 10 25,6 13 20,0 Tidak miskin 6 23,1 10 25,6 16 24,6 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Tabel 13 menunjukkan bahwa berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Cirebon tahun 2006, terdapat 38,5% keluarga nelayan contoh tergolong miskin. Sebanyak 16,9% dan 20,0% keluarga nelayan contoh masing-masing tergolong hampir miskin dan hampir tidak miskin. Keluarga nelayan contoh yang tidak miskin sebanyak 24,6%. Rata-rata pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan berbeda signifikan (p<0,1) antara kelompok keluarga prasejahtera dengan kelompok keluarga sejahtera. Rata-rata pengeluaran nonpangan per kapita per bulan kelompok keluarga pra sejahtera juga berbeda signifikan dengan kelompok keluarga sejahtera (p<0,05) (Lampiran 3). Konsumsi Pangan Keluarga Konsumsi energi rata-rata keluarga nelayan contoh per kapita per hari 1.560 Kal (Tabel 14). Angka ini masih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata angka kecukupan energi (AKE) keluarga contoh per kapita per hari, yaitu sebesar 2.035 Kal. Rata-rata konsumsi energi per kapita per hari contoh juga termasuk rendah bila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi energi keluarga per kapita per hari secara nasional pada tahun 2005 (1.926,74 Kal) (BPS 2006d). Tabel 14. Rata-rata konsumsi zat gizi dan AKG keluarga contoh per kapita per hari Zat Gizi Konsumsi Rata-rata Angka Kecukupan Energi (Kal) Protein (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat Besi (mg) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg)
1560 44,1 222,1 680,1 9,2 1226 68,0
2.035 51,8 791,0 646,2 12,8 575 77,1
Rata-rata konsumsi protein keluarga nelayan contoh per kapita per hari sebesar 44,1 g dengan rata-rata angka kecukupan protein (AKP) keluarga nelayan contoh per kapita per hari 51,8 g. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
41
konsumsi protein keluarga nelayan contoh juga masih rendah dibandingkan dengan AKP keluarga per kapita per hari. Jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi protein keluarga secara nasional pada tahun 2005 (53,65 g) (BPS 2006d), rata-rata konsumsi protein keluarga nelayan contoh per kapita per hari juga tergolong rendah. Hal tersebut menunjukan bahwa konsumsi energi dan protein keluarga contoh belum memenuhi AKE dan AKP. Rata-rata konsumsi kalsium, zat besi, dan vitamin C keluarga nelayan contoh juga masih belum mencukupi kebutuhan rata-rata keluarga nelayan contoh tersebut. Rata-rata konsumsi fosfor dan vitamin A keluarga nelayan contoh per kapita per hari telah mencukupi angka kecukupan rata-rata keluarga per kapita per hari. Konsumsi fosfor dan vitamin A tersebut banyak disumbang dari kelompok pangan buah dan sayur, terutama dari sayur-sayuran, karena konsumsi pangan kelompok sayur-sayuran keluarga nelayan contoh cukup besar. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Kontribusi konsumsi energi keluarga nelayan contoh terbesar diberikan oleh jenis kelompok pangan padi-padian yaitu 63,0% (Tabel 15). Rata-rata konsumsi padi-padian keluarga nelayan contoh lebih besar dibandingkan dengan rata-rata konsumsi padi-padian di Indonesia tahun 2005 (54,5%) (BPS 2006c). Kontribusi energi terkecil terdapat pada jenis kelompok pangan bumbu-bumbuan, yaitu sebesar 1,2%. Tabel 15. Persentase rata-rata konsumsi energi dan protein contoh menurut kelompok pangan Energi (%) Protein (%) Kelompok Pangan Contoh Nasional Contoh Nasional 47,4 63,0 54,5 44,1 Padi-padian Umbi-umbian 2,8 3,8 1,2 1,1 Pangan Hewani 5,9 5,4 28,6 21,1 Pangan Nabati 4,1 3,2 16,7 10,5 Sayur-sayuran 2,4 2,0 5,7 5,0 Buah-buahan 1,6 2,0 0,8 0,8 Minyak&lemak 12,0 11,8 0,4 1,0 1,4 Bumbu-bumbuan 1,2 0,9 1,3 11,8 Lainnya 7,1 16,4 1,3 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 Hal yang serupa juga terjadi pada kontribusi konsumsi protein keluarga nelayan contoh. Kontribusi konsumsi protein terbesar diberikan oleh jenis kelompok pangan padi-padian sebesar 44,1%. Rata-rata konsumsi protein padipadian keluarga nelayan contoh lebih rendah dibanding rata-rata konsumsi
42
protein padi-padian nasional tahun 2005, yaitu sebesar 47,4% (BPS 2006c). Kontribusi protein yang terbesar setelah kelompok pangan padi-padian adalah kelompok pangan hewani (28,6%). Menurut Sukandar et al. (2006) tingkat konsumsi energi dan protein keluarga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat ketahanan pangan keluarga. Apabila seseorang atau kelompok orang (rumahtangga/keluarga) mengkonsumsi energi dan atau protein kurang dari 70% angka kecukupan (recommended dietary
allowances),
maka
seseorang
atau
kelompok
orang
(rumahtangga/keluarga) tersebut dikatakan konsumsi pangannya kurang/tidak cukup dan tergolong rawan pangan (tidak tahan pangan). Tabel 16. Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan contoh per kapita per hari Konsumsi Angka Tingkat Konsumsi Zat Gizi Rata-rata Kecukupan (%) Energi (Kal) 1560 2.035 76,5 Protein (g) 44,1 51,8 85,0 Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan contoh diatas 70%, sehingga dapat dikatakan konsumsi pangan keluarga nelayan contoh tergolong cukup (Tabel 16). Rata-rata tingkat konsumsi energi (TKE) keluarga sampel per kapita per hari sebesar 76,5% (termasuk dalam kriteria cukup atau tahan pangan). TKE keluarga per kapita per hari terbesar adalah 148,1% dan terendahnya sebesar 37,9%. Rata-rata tingkat konsumsi protein (TKP) keluarga nelayan contoh per kapita per hari sebesar 85,04% (tergolong dalam kriteria cukup atau tahan pangan). TKP keluarga per kapita per hari terbesar adalah 176,9% dan terendahnya sebesar 34,0%. Tabel 17. Sebaran contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein Pra Sejahtera Sejahtera Total Tingkat Konsumsi n % n % n % Energi Kurang (<70%) 11 42,3 19 48,7 30 46,2 57,7 51,3 53,8 Cukup ( 70%) 15 20 35 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Mean ± SD 76,6 ± 28,0 76,4 ± 25,9 76,5 ± 26,6 Protein Kurang (<70%) 11 42,3 18 46,2 29 44,6 57,7 53,8 55,4 Cukup ( 70%) 15 21 36 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Mean ± SD 87,6 ± 37,0 83,3 ± 60,1 85,0 ± 52,1
43
Tabel 17 menunjukkan bahwa lebih dari setengah keluarga nelayan contoh (53,8%) memiliki rata-rata tingkat konsumsi energi per kapita per hari yang cukup dengan kebutuhan rata-rata keluarganya per kapita per hari (telah memenuhi rata-rata angka kecukupan gizinya per kapita per hari). Lebih dari setengah nelayan contoh (55,4%) juga memiliki rata-rata tingkat konsumsi protein per kapita per hari yang cukup dengan kebutuhan rata-rata keluarga per kapita per hari. Hal ini dikarenakan beberapa keluarga nelayan di Desa Grogol juga memiliki lahan untuk bercocok tanam walaupun hanya dapat memenuhi kebutuhan keluarganya saja. Selain itu terdapat keluarga nelayan contoh yang dukungan sosialnya tinggi, karena dukungan instrumental di Desa Grogol dapat berupa makanan (beras maupun hasil melaut) ataupun uang. Rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan contoh tidak berbeda signifikan antara kelompok keluarga prasejahtera dengan kelompok keluarga sejahtera (p>0,05). Keragaan Akses Pangan Menurut Deptan (2007a) akses pangan terdiri dari akses fisik, akses ekonomi, serta akses sosial. Akses fisik pangan berupa jarak pasar serta ketersediaan pangan secara fisik di warung/pasar. Akses ekonomi pangan berupa pengeluaran per kapita serta kepemilikan aset untuk melaut. Akses sosial berupa pendidikan kepala keluarga (suami) dan istri, jumlah anggota keluarga, serta dukungan sosial baik dari keluarga/kerabat, teman, tetangga, maupun pemerintah, baik berupa pinjaman ataupun pertolongan bantuan materi maupun emosional (nonmateri). Akses Fisik Akses fisik merupakan salah satu dimensi yang membentuk akses pangan yang terdiri dari jarak pasar serta ketersediaan pangan di warung. Akses pangan rumahtangga berdasarkan dimensi akses fisik (jarak pasar maupun ketersediaan pangan di warung) dibagi menjadi tiga kategori, yaitu akses pangan rendah, akses pangan sedang, dan akses pangan tinggi. Ketersediaan Pangan di Warung.
Ketersediaan pangan di warung
ditentukan melalui observasi terhadap warung-warung yang terletak di sekitar responden serta wawancara terhadap responden tentang asal pembelian pangan untuk kebutuhan keluarganya. Ketersediaan pangan di warung dilihat dari ketersediaan sembilan kelompok bahan pangan. Kelompok bahan pangan
44
tersebut adalah kelompok pangan padi-padian (beras), kelompok pangan umbiumbian (ubi kayu, ubi jalar), kelompok pangan hewani (ikan, daging), kelompok pangan nabati (tempe, tahu, kacang-kacangan). Kelompok pangan minyak dan lemak (minyak sawit, minyak kelapa), kelompok pangan buah/biji berminyak (kelapa, kemiri). Kelompok pangan gula (gula pasir, gula batu), kelompok pangan sayur-sayuran, dan kelompok pangan buah-buahan. Menurut observasi terhadap warung-warung yang terletak di sekitar responden serta asal pembelian pangan untuk kebutuhan keluarga responden, sebagian besar warung-warung yang terletak di sekitar responden menyediakan hampir semua jenis kelompok pangan. Hanya terdapat dua jenis kelompok pangan yang tidak tersedia di warung, yaitu kelompok pangan umbi-umbian dan kelompok pangan buah-buahan. Kedua kelompok pangan ini mereka dapatkan dari hasil kebun atau pun dari pasar. Menurut rumus interval Slamet (1993) dalam Marwati (2001) akses fisik pangan keluarga nelayan contoh berdasarkan ketersediaan pangan di warung tergolong tinggi. Jarak Pasar. Akses fisik pangan berdasarkan jarak pasar di Desa Grogol secara umum termasuk ke dalam kategori akses pangan sedang, karena Desa Grogol tidak mempunyai pasar, sehingga penduduknya harus ke pasar kecamatan (Pasar Celancang) jika ingin berbelanja kebutuhan pangan maupun nonpangan yang tidak terdapat di warung sekitar mereka. Jarak Desa Grogol ke pasar Celancang kurang lebih 2 Km. Menurut Deptan (2007a) suatu wilayah memiliki akses pangan tinggi apabila mempunyai pasar dalam wilayah tersebut. Apabila tidak memiliki pasar, maka jika jarak pasar terdekat dengan wilayah tersebut kurang dari atau sama dengan 3 Km termasuk dalam kategori akses pangan sedang. Apabila jarak pasar terdekat dengan wilayah tersebut lebih dari 3 Km maka kategori akses pangan rendah. Berdasarkan rumus interval Slamet (1993) dalam Marwati (2001), akses pangan Desa Grogol berdasarkan kedua dimensi akses fisik tersebut tergolong dalam akses pangan tinggi. Akses Ekonomi Akses pangan bergantung pada daya beli rumahtangga, yang pada akhirnya merupakan fungsi dari akses matapencaharian. Akses terhadap matapencaharian berarti terjaminnya penghasilan dalam jangka waktu yang panjang. Dengan kata lain, kemampuan untuk memperoleh pangan bergantung pada akses terhadap matapencaharian yang tetap. Mereka yang tidak
45
berpenghasilan tetap dan memadai akan tetap miskin. Jumlah penduduk miskin merupakan gambaran dari penduduk yang tidak memiliki akses yang produktif terhadap matapencaharian yang memadai. Semakin besar jumlah penduduk miskin, maka semakin rendah pula akses mereka terhadap tingkat yang memadai terhadap pangan dan semakin tinggi tingkat kerawanan pangan di daerah-daerah tersebut (Deptan & WFP 2005). Akses pangan dimensi akses ekonomi yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari tingkat pengeluaran total keluarga nelayan contoh per kapita per bulan serta kepemilikan aset untuk melaut. Pengkategorian akses ekonomi dibagi menjadi tiga kriteria, yaitu akses pangan rendah, akses pangan sedang, serta akses pangan tinggi. Tingkat
Pengeluaran.
Kriteria
akses
pangan
di
Desa
Grogol
berdasarkan tingkat pengeluaran dibagi menjadi tiga, yaitu akses pangan rendah, akses pangan sedang, dan akses pangan tinggi. Kriteria akses pangan keluarga tersebut dikelompokkan berdasarkan tingkat kemiskinan Kabupaten Cirebon dari BPS pada tahun 2006. Akses pangan keluarga tergolong tinggi apabila pengeluaran total keluarga nelayan contoh per kapita per bulan diatas 1,5 garis kemiskinan (keluarga tidak miskin berdasarkan BPS), akses pangan keluarga sedang apabila pengeluaran total keluarga per kapita per bulan diatas garis kemiskinan dan dibawah 1.5 garis kemiskinan (keluarga hampir miskin/hampir tidak miskin berdasarkan BPS), dan akses pangan keluarga rendah apabila pengeluaran total keluarga per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan (keluarga miskin berdasarkan BPS). Tabel 18. Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan dari tingkat pengeluaran keluarga per kapita per bulan Pra sejahtera Sejahtera Total Kriteria Akses Pangan n % n % n % 50,0 40,0 Rendah 13 13 33,4 26 41,0 Sedang 7 26,9 16 23 35,4 Tinggi 6 23,1 10 25,6 16 24,6 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Menurut data BPS (2007), garis kemiskinan Kabupaten Cirebon tahun 2006 berdasarkan pengeluaran total keluarga nelayan contoh per kapita per bulan sebesar Rp 168.272. Berdasarkan Tabel 18, akses ekonomi keluarga di Desa Grogol berdasarkan tingkat pengeluaran tergolong ke dalam kategori akses pangan rendah (40,0%).
46
Aset Melaut.
Berdasarkan kepemilikan aset melaut, kriteria akses
pangan rumahtangga dibagi menjadi tiga kategori, yaitu akses pangan rendah, akses pangan sedang, dan akses pangan tinggi. Kepemilikan aset yang diteliti adalah
aset
untuk
melaut,
seperti
kapal/perahu,
motor
kapal
(mesin
kapal/perahu), jaring, serta pancing. Menurut aset/kepemilikan alat untuk melaut (perahu/kapal, motor kapal, jaring, dan pancing), akses pangan Desa Grogol tergolong dalam kriteria akses pangan rendah (63,1%) (Tabel 19). Hanya sebagian kecil saja keluarga yang memiliki akses pangan tinggi, yaitu sebanyak sepuluh keluarga dari 65 kepala keluarga (15,4%). Tabel 19. Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan dari kepemilikan aset melaut Pra sejahtera Sejahtera Total Kriteria Akses Pangan n % n % n % 65,4 61,5 63,1 Rendah 17 24 41 Sedang 6 23,1 8 20,5 14 21,5 Tinggi 3 11,5 7 18,0 10 15,4 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Mata pencaharian berhubungan erat dengan akses pangan yang meliputi produksi
rumahtangga
dan
alat
untuk
memperoleh
pendapatan.
Mata
pencaharian meliputi suatu kemampuan rumahtangga, aset-aset dan aktivitas yang diperlukan untuk menjamin kebutuhan dasar (makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan pendapatan) (World Food Programme 2005). Sebanyak 20,0% keluarga nelayan contoh tidak memiliki aset apapun untuk melaut sehingga tidak dapat menjamin kebutuhan dasar (makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan pendapatan) mereka. Berdasarkan pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan serta kepemilikan aset untuk melaut tersebut, maka akses ekonomi tergolong dalam kriteria akses pangan sedang. Berdasarkan dimensi akses pangan (akses ekonomi), Desa Grogol termasuk dalam kriteria kerawanan pangan sedang. Akses Sosial Akses pangan yang tergolong dimensi akses sosial yang diteliti dalam penelitian ini antara lain tingkat pendidikan kepala keluarga (suami) dan istri, jumlah anggota keluarga, serta dukungan sosial. Berdasarkan ketiga dimensi tersebut akses pangan rumahtangga dimensi akses sosial dibagi menjadi tiga kategori, yaitu akses pangan rendah, akses pangan sedang, dan akses pangan tinggi.
47
Tingkat Pendidikan.
Berdasarkan BPS (2007), tingkat pendidikan
kepala keluarga (suami) dan istri dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kategori pendidikan dasar (tidak sekolah dan belum tamat SD/Sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/Sederajat hingga tamat SLTP/Sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/Sederajat). Pengkategorian akses pangan rumahtangga berdasarkan tingkat pendidikan dikategorikan berdasarkan kategori pendidikan yang dilakukan oleh BPS tersebut. Terdapat tiga kelompok kategori akses pangan rumahtangga, yaitu akses pangan rendah, akses pangan sedang, dan akses pangan tinggi. Suatu rumahtangga dikatakan akses pangannya rendah apabila tingkat pendidikannya tergolong dalam pendidikan dasar. Akses pangan rumahtangga sedang apabila tingkat pendidikannya adalah pendidikan menengah, dan dikatakan akses pangan tinggi bila tingkat pendidikannya tergolong pendidikan tinggi. Menurut penggolongan tersebut, 66,9% keluarga nelayan contoh akses pangan keluarganya berdasarkan dimensi sosial tergolong dalam kategori akses pangan rendah (Tabel 20). Tabel 20. Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan dari tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri Pra sejahtera Sejahtera Total Kriteria Akses Pangan n % n % n % Rendah 61,5 70,5 66,9 32 55 87 Sedang 17 32,7 21 26,9 38 29,2 Tinggi 3 5,8 2 2,6 5 3,9 Total 52 100,0 78 100,0 130 100,0 Menurut Deptan dan WFP (2005) pendidikan merupakan salah satu infrastruktur dasar yang sangat penting untuk memperbaiki standar kehidupan. Jumlah orang yang buta huruf merupakan salah satu indikator kerawanan pangan, sehingga dapat diketahui bahwa
pendidikan berpengaruh terhadap
ketahanan pangan. Jumlah Anggota Keluarga. Akses pangan dimensi akses sosial dilihat dari jumlah anggota keluarga dikategorikan menjadi tiga kriteria, yaitu akses pangan keluarga rendah apabila keluarga tersebut tergolong keluarga besar. Akses pangan keluarga dikatakan sedang apabila keluarga tersebut tergolong keluarga sedang, dan akses pangan keluarga tinggi apabila tergolong keluarga kecil. Berdasarkan BKKBN (1998) dalam Rahmaulina (2007), suatu keluarga dapat dikategorikan sebagai keluarga kecil apabila jumlah anggota keluarga
48
kurang dari lima orang. Apabila anggota keluarganya berjumlah lima sampai enam orang, keluarga tersebut dikatakan keluarga sedang, dan keluarga tersebut dikatakan keluarga besar bila anggota keluarganya berjumlah lebih dari enam orang. Tabel 21. Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan dari besar keluarga Pra sejahtera Sejahtera Total Kriteria Akses Pangan n % n % n % Rendah 9 34,6 7 17,9 16 24,6 38,5 Sedang 10 14 35,9 24 36,9 46,2 38,5 Tinggi 7 26,9 18 25 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Tabel 21 menunjukkan bahwa akses pangan dimensi akses sosial keluarga nelayan contoh berdasarkan jumlah anggota keluarganya tergolong akses pangan tinggi (38,5%). Akses pangan dimensi akses sosial keluarga nelayan contoh yang tergolong keluarga pra sejahtera berdasarkan jumlah anggota keluarganya tergolong akses pangan sedang (38,5%). Sebanyak 46,2% keluarga nelayan contoh yang tergolong keluarga sejahtera memiliki akses pangan yang tinggi. Dukungan Sosial.
Definisi dukungan sosial adalah berbagai macam
sokongan (bantuan) yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang diklasifikasikan sebagai dukungan emosional dan dukungan instrumental (MacArthur & John 1998). Pengkriteriaan akses pangan dimensi akses sosial berdasarkan dukungan sosial dilakukan dengan menggunakan rumus interval (Slamet 1993 dalam Marwati 2001). Akses pangan dimensi akses sosial keluarga nelayan contoh berdasarkan dukungan sosial dikatakan rendah apabila dukungan sosialnya rendah, dikatakan sedang apabila dukungan sosialnya sedang, dan dikatakan tinggi apabila dukungan sosialnya tinggi. Tabel 22. Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan dari dukungan sosial Pra sejahtera Sejahtera Total Kriteria Akses Pangan n % n % n % Rendah 4 15,4 2 5,1 6 9,2 Sedang 9 34,6 16 41,0 25 38,5 50,0 53,9 52,3 Tinggi 13 21 34 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Berdasarkan Tabel 22 dukungan sosial Desa Grogol tergolong tinggi (52,3%) sehingga akses pangan dimensi akses sosial keluarga nelayan contoh berdasarkan dukungan sosial tergolong akses tinggi. Berdasarkan studi yang
49
dilakukan di USA, Inggris, dan Swedia ternyata dukungan sosial memiliki pengaruh positif terhadap status sosial ekonomi. Bentuk dukungan tersebut berupa dukungan secara emosional maupun instrumental dan juga pada pria maupun wanita (MacArthur & John 1998). Tabel 23. Sebaran contoh berdasarkan akses pangan dari dimensi akses sosial Pra sejahtera Sejahtera Total Kriteria Akses Pangan n % n % n % Rendah 11 42,3 11 28,2 22 33,8 50,0 66,7 60,0 Sedang 13 26 39 Tinggi 2 7,7 2 5,1 4 6,2 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Tabel 23 menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga (suami), tingkat pendidikan istri, besar keluarga, dan dukungan sosial, akses pangan dimensi akses sosial keluarga nelayan contoh tergolong akses pangan sedang. Keluarga nelayan contoh yang tergolong akses pangan tinggi hanya sebanyak 6,2% keluarga. Rata-rata kriteria akses pangan keluarga nelayan contoh pada kedua kelompok keluarga tidak berbeda signifikan (p>0.05) (Lampiran 3). Komposit Akses Pangan Komposit akses pangan ditentukan berdasarkan gabungan dari ketiga dimensi akses pangan (akses fisik, akses ekonomi, dan akses sosial). Tabel 24 menunjukkan
sebaran
kriteria
akses
pangan
rumahtangga
responden
berdasarkan kriteria akses pangan tersebut. Tabel 24. Sebaran contoh berdasarkan kriteria akses pangan komposit Kriteria Akses Pangan Keluarga Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Dimensi Sedang Akses Tinggi Ekonomi Total Rendah Dimensi Sedang Akses Tinggi Sosial Total Total keluarga Dimensi Akses Fisik
Kriteria Komposit Akses Pangan Keluarga Rendah Sedang Tinggi Total n % n % N % n % 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 100,0 100,0 100,0 100,0 9 48 8 65 9 100,0 48 100,0 8 0,0 65 100,0 100,0 9 12 25,0 0 0,0 21 32,3 62,5 49,2 0 0,0 30 2 25,0 32 75,0 0 0,0 6 12,5 6 12 18,5 9 100,0 48 100,0 8 100,0 65 100,0 100,0 9 12 25,0 0 0,0 21 32,3 70,8 75,0 61,5 0 0,0 34 6 40 0 0,0 2 4,2 2 25,0 4 6,2 9 100,0 48 100,0 8 100,0 65 100,0 73,8 9 13,9 48 8 12,3 65 100,0
50
Berdasarkan rumus interval (Slamet 1993), diperoleh tiga kategori komposit akses pangan rumahtangga, yaitu akses pangan rendah, akses pangan sedang, dan akses pangan tinggi. Tabel 24 menunjukkan bahwa dari ketiga dimensi akses pangan, Desa Grogol memiliki akses pangan sedang (73,8%). Apabila suatu rumahtangga mempunyai akses pangan sedang maka tingkat ketahanan pangan rumahtangga berdasarkan dimensi akses pangan tergolong sedang dan resiko kerawanan pangan tingkat rumahtangga juga sedang. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Akses Pangan Pengeluaran Keluarga Tabel 25 menunjukkan bahwa seluruh keluarga nelayan contoh (100,0%) yang pengeluaran keluarga per kapita per harinya tergolong rendah memiliki akses pangan keluarga yang rendah. Sebesar (43,8%) keluarga nelayan contoh yang akses pangan keluarganya tergolong sedang memiliki tingkat pengeluaran keluarga per kapita per bulan sedang juga, dan sebanyak 75,0% keluarga nelayan contoh yang akses pangannya tergolong tinggi memiliki tingkat pengeluaran keluarga per kapita per bulan tinggi. Tabel 25. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan dan komposit akses pangan Kriteria Komposit Akses Pangan Keluarga
Kriteria pengeluaran keluarga per kapita per bulan
n
%
n
%
n
%
n
%
Rendah
9
100,0
17
0
0,0
26
40,0
Sedang
0
0,0
21
35,4 43,8
2
25,0
23
35,4
Tinggi
0
0,0
10
20,8
6
75,0
16
24,6
Total
9
100,0
48
100,0
8
100,0
65
100,0
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan berhubungan signifikan dengan akses pangan keluarga nelayan contoh (p<0,05) (Lampiran 4). Hubungan antara pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan terhadap akses pangan keluarga nelayan contoh merupakan bentuk hubungan positif, yaitu semakin besar pengeluaran total keluarga per kapita per bulan maka semakin tinggi pula akses pangan keluarga nelayan contoh. Menurut Deptan dan WFP (2005) akses pangan bergantung pada daya beli rumahtangga, yang pada matapencaharian.
Akses
akhirnya merupakan
terhadap
matapencaharian
fungsi dari akses berarti
terjaminnya
penghasilan dalam jangka waktu yang panjang. Dengan kata lain, kemampuan untuk memperoleh pangan bergantung pada akses terhadap matapencaharian
51
yang tetap. Mereka yang tidak berpenghasilan tetap dan memadai akan tetap miskin. Jumlah penduduk miskin merupakan gambaran dari penduduk yang tidak memiliki akses yang produktif terhadap matapencaharian yang memadai. Semakin besar jumlah penduduk miskin, maka semakin rendah pula akses mereka terhadap tingkat yang memadai terhadap pangan dan semakin tinggi tingkat kerawanan pangan di daerah-daerah tersebut. Penghasilan (pengeluaran) keluarga per kapita per bulan yang tidak tetap serta tidak memadai dapat membuat keluarga tersebut tergolong keluarga miskin. Semakin besar angka kemiskinan suatu daerah maka semakin rendah akses pangan keluarga di daerah tersebut. Jumlah Anggota Keluarga Lebih dari separuh keluarga nelayan contoh (66,7%) yang memiliki akses pangan rendah tergolong dalam keluarga sedang (Tabel 26). Sebesar 45,8% keluarga nelayan contoh yang memiliki akses pangan sedang tergolong dalam keluarga sedang, dan sebanyak 75,0% keluarga nelayan contoh yang akses pangannya tinggi tergolong dalam keluarga kecil. Tabel 26. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan komposit akses pangan Kriteria Komposit Akses Pangan Keluarga Kriteria besar keluarga
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
Besar
2
7
0,0
9
6
22
14,6 45,8
0
Sedang
22,2 66,7
2
25,0
30
13,8 46,2
Kecil
1
11,1
19
39,6
6
75,0
26
40,0
Total
9
100,0
48
100,0
8
100,0
65
100,0
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga nelayan contoh behubungan negatif (p<0.05) dengan akses pangan keluarga nelayan contoh (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar keluarga tersebut maka semakin rendah akses pangannya dikarenakan semakin banyak jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab keluarga tersebut untuk dipenuhi kebutuhan pangannya. Selain itu, jumlah anggota keluarga juga akan berhubungan dengan pendapatan (dalam penelitian ini pengeluaran) per kapita per bulan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa besar keluarga nelayan contoh berhubungan negatif dengan pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan (p<0,05) (Lampiran 4). Semakin besar keluarga nelayan contoh maka akan semakin rendah
52
pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan dan akan semakin rendah pula akses pangan keluarga tersebut. Usia Kepala Keluarga dan Istri Sebagian besar keluarga nelayan contoh (87,5%) yang memiliki akses pangan tinggi, usia kepala keluarga (suami) dan istri tergolong dalam dewasa awal (Tabel 27). Hampir setiap tingkat kriteria akses pangan keluarga nelayan contoh memiliki proporsi terbesar usia kepala keluarga (suami) dan istri yang tergolong dalam dewasa awal, hanya tingkat akses pangan keluarga yang rendah saja yang proporsi terbesar usia kepala keluarganya tergolong dewasa menengah. Tabel 27. Sebaran contoh berdasarkan usia kepala keluarga dan istri dan komposit akses pangan Kriteria Usia Kepala keluarga Dewasa awal Dewasa menengah Dewasa lanjut Total Istri Dewasa awal Dewasa menengah Dewasa lanjut Total
Kriteria Komposit Akses Pangan Keluarga Rendah Sedang Tinggi Total N % n % N % n % 1 7 1 9
11,1 77,8 11,1 100,0
33 12 3 48
68,8 25,0 6,2 100,00
7 1 0 8
87,5 12,5 0,0 100,0
41 20 4 65
63,1 30,8 6,1 100,0
9 0 0 9
100,0 0,0 0,0 100,0
37 11 0 48
77,08 22,92 0,00 100,00
7 1 0 8
87,5 12,5 0,0 100,0
53 12 0 65
81,5 18,5 0,0 100,0
Usia kepala keluarga (suami) dan istri nelayan contoh juga berhubungan negatif dengan akses pangan keluarga nelayan contoh (p<0.05) (Lampiran 4). Hal ini membuktikan bahwa semakin tua usia kepala keluarga (suami) dan istri nelayan contoh maka semakin rendah akses pangannya. Hal ini dapat disebabkan karena semakin tua usia kepala keluarga dan istri keluarga nelayan contoh maka kemampuan untuk bekerja mencari nafkah semakin rendah sehingga akan mempengaruhi pendapatan (dalam penelitian ini pengeluaran) per kapita per bulannya. Usia kepala keluarga nelayan contoh berhubungan negatif (p<0,1) dengan pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan. Usia istri juga berhubungan negatif (p<0,05) dengan pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan. Semakin tinggi usia kepala keluarga dan istri maka pengeluaran keluarga per kapita per bulan akan semakin rendah dan akses pangan keluarga tersebut juga akan semakin rendah.
53
Pendidikan Kepala Keluarga Istri Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa hampir setiap tingkat kriteria akses pangan keluarga nelayan contoh memiliki proporsi terbesar pendidikan kepala keluarga (suami) dan istri yang tergolong dalam pendidikan dasar. Tingkat akses pangan keluarga yang tinggi saja yang pendidikan istrinya memiliki proporsi yang sama besarnya, yaitu masing-masing sebesar 50,0% yang tergolong dasar dan menengah. Tabel 28. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan kepala keluarga dan istri dan komposit akses pangan Kriteria Pendidikan Kepala keluarga Dasar (< 6 tahun) Menengah (6-9 tahun) Tinggi (> 9 tahun) Total Istri Dasar (< 6 tahun) Menengah (6-9 tahun) Tinggi (> 9 tahun) Total
Kriteria Komposit Akses Pangan Keluarga Rendah Sedang Tinggi Total N % n % N % n % 9 0 0 9
100,0 0,0 0,0 100,0
32 15 1 48
66,7 31,2 2,1 100,0
5 3 0 8
62,5 37,5 0,0 100,0
46 18 1 65
70,8 27,7 1,5 100,0
9 0 0 9
100,0 0,0 0,0 100,0
32 14 2 48
66,7 29,1 4,2 100,0
4 4 0 8
50,0 50,0 0,0 100,0
45 18 2 65
69,2 27,7 3,1 100,0
Pendidikan kepala keluarga (suami) nelayan contoh tidak berhubungan secara signifikan dengan akses pangan keluarga nelayan contoh (p<0,05) (Lampiran 4). Hal ini diduga karena pekerjaan kepala keluarga contoh yang homogen, yaitu sebagai nelayan. Pendidikan istri pada keluarga nelayan contoh berhubungan secara signifikan dengan akses pangan keluarga nelayan contoh (p<0,05) (Lampiran 4). Hubungan antara tingkat pendidikan (lamanya sekolah) istri keluarga nelayan contoh dengan akses pangan keluarga nelayan contoh merupakan bentuk hubungan positif, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan istri maka akan meningkatkan akses pangan keluarga nelayan tersebut. Menurut Sumarwan (2004), pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik konsumen yang saling berhubungan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan
yang
dilakukan
oleh
seorang
konsumen.
Pendapatan
(pengeluaran) keluarga nelayan contoh per kapita per bulan bukan hanya dari seorang kepala keluarga (suami) saja, namun juga dari anggota keluarganya yang lain, seperti istri. Pendapatan (pengeluaran) keluarga nelayan contoh per kapita per bulan juga tergantung dari pendapatan istri. Istri keluarga nelayan contoh ada yang bekerja sebagai pekerja/buruh pengupas kulit rajungan.
54
Kepemilikan Aset Melaut Lebih dari separuh keluarga nelayan contoh (62,5%) yang memiliki akses pangan sedang, kepemilikian aset melaut keluarganya tergolong rendah (Tabel 29). Proporsi terbesar keluarga nelayan contoh yang memiliki akses pangan rendah dan tinggi, kepemilikian aset melaut keluarganya tergolong tinggi. Tabel 29. Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut dan komposit akses pangan Kriteria Komposit Akses Pangan Keluarga
Kriteria kepemilikan aset melaut
n
%
n
%
n
%
n
%
Rendah
0
0,0
30
62,5
2
25,0
32
49,2
Sedang
4
44,4
12
25,0
2
25,0
18
27,7
Tinggi
5
55,6
6
12,5
4
50,0
15
23,1
9
100,0
48
100,0
8
100,0
65
100,0
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Aset/kepemilikan alat untuk melaut berhubungan positif dengan akses pangan keluarga nelayan contoh (p<0,05) (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak kepemilikan aset untuk melaut keluarga nelayan contoh maka akan semakin meningkatkan akses keluarga nelayan contoh tersebut terhadap pangan. Menurut World Food Programme (2005) mata pencaharian yang meliputi produksi rumahtangga dan alat untuk memperoleh pendapatan berhubungan erat dengan
akses pangan.
Mata
pencaharian
meliputi suatu
kemampuan
rumahtangga, aset-aset dan aktivitas yang diperlukan untuk menjamin kebutuhan dasar (makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan pendapatan, sehingga dapat diketahui bahwa aset juga berhubungan positif akan akses pangan keluarga nelayan contoh. Dukungan Sosial Lebih dari separuh keluarga nelayan contoh (75,0%) yang memiliki akses pangan tinggi, dukungan sosial keluarganya tergolong tinggi (Tabel 30). Proporsi terbesar keluarga nelayan contoh yang memiliki akses pangan sedang, dukungan sosial keluarganya tergolong tinggi, dan keluarga nelayan contoh yang memiliki akses pangan rendah, seluruhnya (100,0%) memiliki dukungan sosial yang rendah. Dukungan sosial tidak berhubungan signifikan dengan akses pangan keluarga nelayan contoh (p<0,05) (Lampiran 4). Hal ini disebabkan dukungan
55
sosial keluarga nelayan lebih mengarah ke dukungan emosional daripada dukungan instrumental. Tabel 30. Sebaran contoh berdasarkan dukungan sosial dan komposit akses pangan Kriteria Komposit Akses Pangan Keluarga
Kriteria dukungan sosial
n
%
n
%
n
%
n
%
Rendah
9
100,0
6
12,5
0
0,0
15
23,1
Sedang
0
0,0
19
2
0
0,0
23
6
25,0 75,0
21
Tinggi
39,6 47,9
29
32,3 44,6
Total
9
100,0
48
100,0
8
100,0
65
100,0
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Karakteristik Keluarga Pengeluaran Keluarga.
Lebih dari separuh nelayan contoh (60,0%)
yang konsumsi energinya tergolong kurang memiliki pengeluaran keluarga per kapita per bulan yang tergolong rendah (Tabel 31). Keluarga nelayan contoh yang konsumsi energinya tergolong cukup 40,0% memiliki pengeluaran per kapita per bulan yang tinggi. Tabel 31. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan dan tingkat konsumsi energi Kriteria Tingkat Konsumsi Energi Kriteria pengeluaran keluarga per kapita per Kurang Cukup Total bulan n % n % n % 60,0 40,0 Rendah 18 8 22,9 26 Sedang 10 33,3 13 37,1 23 35,4 40,0 Tinggi 2 6,7 14 16 24,6 Total 30 100,0 35 100,0 65 100,0 Berdasarkan Tabel 32 dapat dilihat bahwa konsumsi protein keluarga nelayan contoh yang tergolong cukup, sebesar 38,9% pengeluaran keluarga perkapita per bulannya tergolong sedang dan tinggi. Lebih dari setengah keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi proteinnya tergolong kurang (62,1%) memiliki tingkat pengeluaran per kapita per bulan rendah.
56
Tabel 32. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan dan tingkat konsumsi protein Tingkat Konsumsi Protein Kriteria pengeluaran keluarga per kapita per Kurang Cukup Total bulan n % n % n % 62,1 40,0 Rendah 18 8 22,2 26 38,9 Sedang 9 31,0 14 23 35,4 38,9 Tinggi 2 6,9 14 16 24,6 Total 29 100,0 36 100,0 65 100,0 Berdasarkan hasil uji regresi logistik diketahui bahwa pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan mempengaruhi tingkat konsumsi energi keluarga nelayan contoh (p<0,05) (Lampiran 5). Pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan yang tinggi mempunyai peluang 6,1 kali secara signifikan lebih tinggi tingkat konsumsi energinya dibandingkan pada keluarga nelayan contoh yang tingkat pengeluaran total per kapita per bulannya lebih rendah. Pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan juga mempengaruhi tingkat konsumsi protein keluarga nelayan contoh tersebut (p<0,05) (Lampiran 6). Pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan yang lebih tinggi mempunyai peluang 8,3 kali lebih tinggi tingkat konsumsi proteinnya dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang lebih rendah tingkat pengeluaran total keluarga per kapita per bulan. Menurut Berg (1986), tingkat pandapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Menurut Sajogyo et al. (1996) dalam Nurhasanah (2004) menyatakan bahwa rendahnya pendapatan seseorang merupakan salah satu rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Menurut Suhardjo (1984) pendapatan merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap baik-buruk dan tinggi rendahnya konsumsi pangan. Usia dan Pendidikan kepala keluarga.
Lebih dari separuh nelayan
contoh yang konsumsi energinya tergolong kurang maupun cukup, usia kepala keluarganya tergolong dalam dewasa awal (Tabel 33). Berikut tabel sebaran kriteria usia kepala keluarga berdasarkan kriteria tingkat konsumsi energi:
57
Tabel 33. Sebaran contoh berdasarkan usia kepala keluarga dan tingkat konsumsi energi Kriteria Tingkat Konsumsi Energi Kriteria usia kepala Kurang Cukup Total keluarga n % n % n % 60,0 68,6 64,6 Dewasa Awal 18 24 42 Dewasa Menengah 11 36,7 8 22,8 19 29,2 Dewasa Lanjut 1 3,3 3 8,6 4 6,2 Total 30 100,0 35 100,0 65 100,0 Berdasarkan Tabel 34 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh keluarga nelayan contoh yang konsumsi protein keluarganya tergolong kurang maupun cukup, usia kepala keluarganya tergolong dalam dewasa awal. Tabel 33 dan 34 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi maupun protein keluarga nelayan contoh yang tergolong kurang dan cukup, proprosi terbesar usia kepala keluarganya tergolong dewasa awal. Tabel 34. Sebaran contoh berdasarkan usia kepala keluarga dan tingkat konsumsi protein Tingkat Konsumsi Protein Kriteria usia kepala Kurang Cukup Total keluarga n % n % n % 58,6 69,4 64,6 Dewasa Awal 17 25 42 Dewasa Menengah 10 34,5 9 25,0 19 29,2 Dewasa Lanjut 2 6,9 2 5,6 4 6,2 Total 29 100,0 36 100,0 65 100,0 Berdasarkan hasil uji regresi logistik dapat diketahui bahwa usia kepala keluarga (suami) nelayan contoh secara signifikan mempengaruhi tingkat konsumsi energi keluarga tersebut (p<0,1) (Lampiran 5). Usia kepala keluarga (suami) berpengaruh negatif terhadap tingkat konsumsi energi keluarga tersebut, artinya usia kepala keluarga (suami) yang lebih muda mempunyai peluang 0,1 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energinya dibandingkan dengan usia kepala keluarga (suami) yang lebih tua. Hasil penelitian Pramudya (1991) menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi energi adalah umur. Tabel 35 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi keluarga nelayan contoh yang tergolong kurang dan cukup, proporsi terbesar pendidikan kepala keluarganya tergolong dalam pendidikan dasar. Berikut tabel sebaran kriteria pendidikan kepala keluarga berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein:
58
Tabel 35. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan kepala keluarga dan tingkat konsumsi energi Tingkat Konsumsi Energi Kriteria pendidikan Kurang Cukup Total kepala keluarga n % n % n % 73,4 68,6 70,8 Dasar 22 24 46 Menengah 7 23,3 11 31,4 18 27,7 Tinggi 1 3,3 0 0,0 1 1,5 Total 30 100,0 35 100,0 65 100,0 Tabel 36 juga menunjukkan hal yang serupa, yaitu lebih dari separuh keluarga nelayan contoh (61,1%) yang tingkat konsumsi proteinnya tergolong cukup, pendidikan kepala keluarganya tergolong dalam pendidikan dasar. Sebagian besar kepala keluarga nelayan contoh (82,8%) yang tingkat konsumsi proteinnya tergolong kurang, pendidikan kepala keluarganya juga tergolong dalam pendidikan dasar. Tabel 36. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan kepala keluarga dan tingkat konsumsi protein Tingkat Konsumsi Protein Kriteria pendidikan kepala Kurang Cukup Total keluarga n % n % n % 82,8 61,1 70,8 Dasar 24 22 46 Menengah 4 13,8 14 38,9 18 27,7 Tinggi 1 3,4 0 0,0 1 1,5 Total 29 100,0 36 100,0 65 100,0 Tingkat pendidikan kepala keluarga (suami) berdasarkan hasil uji regresi logistik signifikan mempengaruhi tingkat konsumsi protein keluarga nelayan contoh (p<0,05) (Lampiran 6). Hasil uji regresi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kepala keluarga (suami) yang sedang mempunyai peluang 14,1 kali lebih tinggi tingkat konsumsi proteinnya daripada keluarga nelayan contoh yang tingkat pendidikan kepala keluarganya rendah. World Food Programme (2005) mengtakan bahwa pendidikan mempengaruhi akses pangan. Menurut Suhardjo (1984), konsumsi pangan banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Hasil penelitian Rohati (1996) menunjukkan bahwa pendidikan formal berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Kepemilikan Aset. Tabel 37 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi keluarga nelayan contoh yang tergolong kurang dan cukup, proporsi terbesar kepemilikan aset melaut keluarganya tergolong rendah. Berikut tabel
59
sebaran kriteria kepemilikan aset melaut keluarga nelayan contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan protein: Tabel 37. Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut keluarga dan tingkat konsumsi energi Kriteria tingkat konsumsi Energi Kriteria kepemilikan aset Kurang Cukup Total melaut n % n % n % 76,6 51,4 63,1 Rendah 23 18 41 Sedang 5 16,7 9 25,7 14 21,5 Tinggi 2 6,7 8 22,9 10 15,4 Total 30 100,0 35 100,0 65 100,0 Tabel 38 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi protein keluarga nelayan contoh yang tergolong kurang dan cukup, proporsi terbesar kepemilikan aset melaut keluarganya juga tergolong rendah. sebagian besar (82,8%) keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi proteinnya tergolong kurang dan hampir separuh (47,2%) keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi proteinnya tergolong cukup memiliki aset melaut yang tergolong rendah. Tabel 38. Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut dan tingkat konsumsi protein Kriteria Tingkat konsumsi Protein Kriteria kepemilikan aset Kurang Cukup Total melaut n % n % n % 82,8 47,2 63,1 Rendah 24 17 41 Sedang 4 13,8 10 27,8 14 21,5 Tinggi 1 3,4 9 25,0 10 15,4 Total 29 100,0 36 100,0 65 100,0 Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa kepemilikan aset untuk melaut keluarga nelayan contoh secara signifikan mempengaruhi tingkat konsumsi protein keluarga nelayan contoh (p<0,05) (Lampiran 6). Berdasarkan hasil uji regresi logistik dapat diketahui bahwa kepemilikan aset melaut keluarga nelayan contoh yang tinggi mempunyai peluang 16,5 kali lebih tinggi tingkat konsumsi proteinnya dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang kepemilikan aset untuk melautnya lebih rendah. Hal ini dapat terjadi karena kepemilikan aset untuk melaut nelayan contoh akan mempengaruhi hasil tangkapan mereka baik berupa rajungan yang merupakan komoditi utamanya maupun hasil tangkapan lainnya. Hasil tangkapan ini akan berdampak terhadap pendapatan maupun konsumsi pangan khususnya pangan hewani mereka yang paling banyak menyumbangkan protein. Hasil
60
penelitian Pramudya (1991) menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh pada konsumsi protein adalah aset keluarga. Jumlah
Anggota
Keluarga,
Usia
Istri,
dan
Pendidikan
Istri.
Berdasarkan Tabel 39 dapat dilihat bahwa proporsi terbesar keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi energinya kurang, jumlah anggota keluarganya tergolong sedang (53,3%), usia istrinya tergolong dalam dewasa awal (70,0%), dan pendidikan istrinya tergolong pendidikan dasar (66,7%). Keluarga nelayan contoh yang memiliki tingkat konsumsi energi yang tergolong cukup juga menunjukkan hal yang hampir serupa, hanya saja proporsi terbesar jumlah anggota keluarganya tergolong kecil. Tabel 39. Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga, usia dan pendidikan istri dan tingkat konsumsi energi Tingkat Konsumsi Energi Karakteristik Keluarga Kurang Cukup Total n % n % n % Jumlah anggota keluarga Besar (> 6 orang) 9 30,0 7 20,0 16 24,6 53,3 8 22,9 24 36,9 Sedang (5-6 orang) 16 57,1 38,5 Kecil (<5 orang) 5 16,7 20 25 Total 30 100,0 35 100,0 65 100,0 Usia Istri 70,0 68,6 69,2 21 24 45 Dewasa Awal 8 26,7 11 31,4 19 29,2 Dewasa Menengah Dewasa Lanjut 1 3,3 0 0,0 1 1,6 Total 30 100,0 35 100,0 65 100,0 Pendidikan Istri 66,7 71,4 69,2 Dasar (< 6 tahun) 20 25 45 Menengah (6-9 tahun) 9 30,0 9 25,7 18 27,7 Tinggi (> 9 tahun) 1 3,3 1 2,9 2 3,1 Total 30 100,0 35 100,0 65 100,0 Tabel 40 menunjukkan bahwa proporsi terbesar keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi proteinnya kurang, jumlah anggota keluarganya tergolong sedang (44,8%), usia istrinya tergolong dalam dewasa awal (65,5%), dan pendidikan istrinya tergolong pendidikan dasar (75,9%). Keluarga nelayan contoh yang memiliki tingkat konsumsi protein yang tergolong cukup juga menunjukkan hal yang hampir serupa, hanya saja proporsi terbesar jumlah anggota keluarganya tergolong kecil.
61
Tabel 40. Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga, usia dan pendidikan istri dan tingkat konsumsi protein Tingkat Konsumsi Protein Karakteristik Keluarga Kurang Cukup Total n % n % n % Jumlah anggota keluarga Besar (> 6 orang) 9 31,0 7 19,4 16 24,6 44,8 11 30,6 24 36,9 Sedang (5-6 orang) 13 50,0 38,5 25 Kecil (<5 orang) 7 24,2 18 Total 29 100,0 36 100,0 65 100,0 Usia Istri 65,5 72,2 69,2 Dewasa Awal 19 26 45 Dewasa Menengah 9 31,0 10 27,8 19 29,2 Dewasa Lanjut 1 3,5 0 0,0 1 1,6 Total 29 100,0 36 100,0 65 100,0 Pendidikan Istri 75,9 63,9 69,2 Dasar (< 6 tahun) 22 23 45 Menengah (6-9 tahun) 6 20,7 12 33,3 18 27,7 Tinggi (> 9 tahun) 1 3,4 1 2,8 2 3,1 Total 29 100,0 36 100,0 65 100,0 Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga nelayan contoh, usia istri, serta pendidikan istri tidak mempengaruhi tingkat konsumsi energi dan protein (p>0,1) (Lampiran 5 dan 6). Hal ini diduga karena terdapat anggota keluarga (khususnya anak perempuan dan istri nelayan contoh) yang bekerja sebagai TKI. Walaupun tingkat pendidikannya rendah, jumlah anggota keluarganya besar, maupun usianya yang masih muda, namun pendapatan untuk keluarganya menjadi lebih besar dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang anggota keluarganya tidak ada yang menjadi TKI. Pendapatan (dalam penelitian ini pengeluaran) keluarga per kapita per bulan mempengaruhi tingkat konsumsi energi dan protein keluarga nelayan contoh. Akses Pangan Akses Fisik. Akses pangan berdasarkan dimensi akses fisik (jarak pasar dan ketersediaan pangan di warung) keluarga nelayan contoh bersifat homogen. Karena jarak pasar dengan tempat tinggal setiap keluarga nelayan contoh hampir sama dan ketersediaan pangan di warung juga dapat dikatakan hampir sama pada setiap warung-warung yang berada di sekitar tempat tinggal keluarga nelayan contoh (tidak berbeda secara signifikan) maka dapat dikatakan jarak pasar dan ketersediaan pangan di warung setiap keluarga nelayan contoh homogen. Jarak pasar ke tempat tinggal keluarga nelayan contoh dan ketersediaan pangan di warung sekitar tempat tinggal keluarga nelayan contoh homogen maka
62
akses pangan dimensi akses fisik juga bersifat homogen. Akses fisik tidak dapat dianalisis untuk uji hubungan (korelasi Spearman) maupun uji regresi logistik karena bersifat homogen. Akses Ekonomi. Separuh (50,0%) keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi energinya tergolong kurang memiliki akses ekonomi rendah (Tabel 41). Keluarga nelayan contoh yang tergolong cukup konsumsi energinya, memiliki akses ekonomi sedang (54,3%). Berikut tabel sebaran kriteria akses ekonomi keluarga: Tabel 41. Sebaran contoh berdasarkan akses ekonomi dan tingkat konsumsi energi Tingkat Konsumsi Energi Kriteria akses ekonomi Kurang Cukup Total n % n % n % 50,0 Rendah 15 6 17,1 21 32,3 54,3 49,2 Sedang 13 43,3 19 32 Tinggi 2 6,7 10 28,6 12 18,5 Total 30 100,0 35 100,0 65 100,0 Tabel 42 menunjukkan hal yang hampir sama, yaitu 51,7% keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi proteinnya tergolong kurang memiliki akses ekonomi rendah. Sebanyak 52,8% keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi proteinnya tergolong cukup memiliki akses ekonomi sedang. Tabel 42. Sebaran contoh berdasarkan akses ekonomi dan tingkat konsumsi protein Kriteria Tingkat konsumsi Protein Kriteria akses ekonomi Kurang Cukup Total n % n % n % 51,7 Rendah 15 6 16,7 21 32,3 52,8 49,2 Sedang 13 44,8 19 32 Tinggi 1 3,5 11 30,5 12 18,5 Total 29 100,0 36 100,0 65 100,0 Akses pangan dimensi akses ekonomi keluarga nelayan contoh mempengaruhi tingkat konsumsi energi keluarga nelayan contoh (p<0,1) (Lampiran 7). Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa akses pangan keluarga nelayan contoh yang tergolong sedang mempunyai peluang 2,95 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energi keluarga nelayan contoh tersebut dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang akses ekonominya tergolong rendah. Akses ekonomi keluarga nelayan contoh yang tergolong tinggi mempunyai peluang yang lebih besar daripada contoh yang akses ekonomi
63
keluarganya tergolong rendah, yaitu 16,7 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energinya dibandingkan keluarga nelayan contoh yang akses ekonominya tergolong rendah (p<0,05). Hasil uji regresi logistik juga menunjukkan hasil yang serupa terhadap tingkat konsumsi protein keluarga nelayan contoh, yaitu akses pangan dimensi akses ekonomi keluarga nelayan contoh mempengaruhi tingkat konsumsi protein keluarga nelayan tersebut (p<0,1) (Lampiran 8). Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa akses pangan keluarga nelayan contoh yang tergolong sedang mempunyai peluang 3,4 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energi keluarga nelayan contoh tersebut dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang akses ekonominya tergolong rendah. Akses
ekonomi
keluarga
nelayan
contoh
yang
tergolong
tinggi
mempunyai peluang yang lebih besar daripada contoh yang akses ekonomi keluarganya tergolong rendah, yaitu 40,1 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energinya dibandingkan keluarga nelayan contoh yang akses ekonominya tergolong rendah (p<0,05). Deptan dan WFP (2005), mengatakan bahwa kemampuan untuk memperoleh pangan bergantung pada akses terhadap matapencaharian yang tetap (akses ekonomi). Akses Sosial. Separuh (50,0%) keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi energinya tergolong kurang memiliki akses sosial yang sedang (Tabel 43). Keluarga nelayan contoh yang tergolong cukup konsumsi energinya, juga memiliki akses sosial yang sedang (71,4%). Tabel 43. Sebaran contoh berdasarkan akses sosial dan tingkat konsumsi energi Kriteria Tingkat Konsumsi Energi Kriteria akses sosial Kurang Cukup Total n % n % n % Rendah 13 43,3 8 22,9 21 32,3 50,0 71,4 61,5 Sedang 15 25 40 Tinggi 2 6,7 2 5,7 4 6,2 Total 30 100,0 35 100,0 65 100,0 Tabel 44 menunjukkan hal yang hampir sama, yaitu keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi proteinnya tergolong kurang memiliki akses sosial yang sedang (55,2%). Keluarga nelayan contoh yang tingkat konsumsi proteinnya tergolong cukup memiliki akses sosial yang sedang (66,7%).
64
Tabel 44. Sebaran contoh berdasarkan akses sosial dan tingkat konsumsi protein Kriteria Tingkat Konsumsi Protein Kriteria akses sosial Kurang Cukup Total n % n % n % Rendah 12 41,4 9 25,0 21 32,3 55,2 66,7 61,5 Sedang 16 24 40 Tinggi 1 3,4 3 8,3 4 6,2 Total 29 100,0 36 100,0 65 100,0 Berdasarkan hasil uji regresi logistik dapat diketahui bahwa akses pangan dimensi akses sosial keluarga nelayan contoh secara signifikan mempengaruhi tingkat konsumsi energi keluarga nelayan contoh tersebut. (p<0,1). Akses sosial keluarga nelayan contoh yang sedang mempunyai peluang 3,5 kali lebih tinggi tingkat konsumsi energinya dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang akses sosialnya rendah (Lampiran 7). Hasil uji regresi logistik juga menunjukkan bahwa akses pangan dimensi akses ekonomi secara signifikan mempengaruhi tingkat konsumsi protein keluarga nelayan contoh (p<0,1) (Lampiran 8). Akses sosial keluarga nelayan contoh yang tinggi mempunyai peluang 9,7 kali lebih tinggi tingkat konsumsi proteinnya dibandingkan dengan keluarga nelayan contoh yang akses sosialnya rendah (Lampiran 7). Menurut Deptan (2007a) ketahanan pangan suatu keluarga/wilayah dicerminkan oleh kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan keluarga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya. Ketahanan pangan tidak hanya tercermin oleh ketersediaan pangan yang cukup, namun juga oleh terpenuhinya akses pangan baik secara fisik, ekonomi, maupun sosial dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu akses pangan dimensi akses ekonomi berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan.
65
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Rata-rata anggota rumahtangga sebesar 5,5 ± 2,2 orang. Lebih dari separuh kepala keluarga nelayan contoh berusia dewasa awal dengan kisaran usia antara 25-70 tahun dan rata-rata usianya 40,5 ± 12,0 tahun. Lebih dari separuh istri nelayan contoh juga berusia dewasa awal dengan kisaran usia antara 20-66 tahun. Rata-rata lama sekolah istri 3,1 ± 3,3 tahun sedangkan ratarata lama sekolah kepala keluarga (2,9 ± 3,2 tahun). Sebagian besar keluarga nelayan contoh (78,5%) memiliki jaring untuk menangkap ikan. Keluarga nelayan contoh yang memiliki kapal/perahu dan motor kapal lebih sedikit (masing-masing 73,8%), yang memiliki pancing juga jauh lebih sedikit (3,1%). Masih terdapat beberapa keluarga nelayan contoh (20,0%) yang tidak memiliki aset untuk melaut. Dukungan sosial dari masyarakat lebih ke arah emosional. Persentase rata-rata pengeluaran pangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan sebesar 52,64% dan pengeluaran non pangannya 47,4%. Rata-rata konsumsi energi dan protein keluarga nelayan contoh masih lebih rendah dibandingkan dengan AKP keluarga per kapita per hari. Berdasarkan TKE dan TKP, lebih dari separuh keluarga nelayan contoh tergolong dalam kriteria cukup/tahan pangan. Akses pangan dimensi akses fisik keluarga nelayan contoh tergolong tinggi, sedangkan berdasarkan dimensi akses sosial dan ekonomi tergolong sedang. Pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan, pendidikan istri keluarga nelayan contoh, serta kepemilikan aset melaut berhubungan positif dengan akses pangan keluarga (p<0,05). Jumlah anggota keluarga nelayan contoh serta usia kepala keluarga dan istri nelayan contoh berhubungan negatif dengan akses pangan keluarga (p<0,05). Pengeluaran keluarga per kapita per hari (p<0,05) dan usia kepala keluarga (p<0,1) nelayan contoh mempengaruhi tingkat konsumsi energi keluarga nelayan contoh. Pengeluaran keluarga per kapita per hari, pendidikan kepala keluarga, dan kepemilikan aset melaut nelayan contoh berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat konsumsi protein (p<0,05). Akses pangan dimensi akses ekonomi maupun sosial keluarga nelayan contoh berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat konsumsi energi maupun protein keluarga nelayan contoh.
66
Saran 1.
Perlu adanya penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran dari anggota keluarga nelayan contoh terhadap pendidikan.
2.
Perlu adanya peningkatan keterampilan serta sumberdaya melaut nelayan sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli keluarga nelayan contoh.
3.
Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai situasi akses pangan pada situasi yang berbeda (pada saat musim panen dengan musim paceklik).
67
DAFTAR PUSTAKA Amin M, Suharno P, Saifullah A. 1998. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI: Konsep dan Kebijakan Penanganan Masalah Rawan Pangan. Jakarta: LIPI. Badan Pusat Statistik. 2005. Cirebon dalam Angka 2004-2005. Jakarta: Badan Pusat Statistik. ----------------------------. 2006a. Berita Resmi Statistik: Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2005-2006. http://www.ypr.or.id/download/s1.pdf [17 Maret 2008]. -----------------------------. 2006b. Cirebon dalam Angka 2005-2006. Jakarta: Badan Pusat Statistik. -----------------------------. 2006c. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia dan Provinsi. Jakarta: Badan Pusat Statistik. -----------------------------. 2006d. Pengeluaran untuk Konsumsi Indonesia/Provinsi. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Penduduk
-----------------------------. 2006e. Statistik Indonesia 2005/2006. Jakarta: Badan Pusat Statistik. ----------------------------. 2007. Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006 (Buku 2: Kabupaten). Jakarta: BPS. Berg A. 1986. Faktor Gizi. Achmad Djaeni Sediaoetama, penerjemah. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Departemen Pertanian. 2007a. Buku Pedoman Analisis Akses Pangan Pedesaan. Jakarta: Deptan. -------------------------------. 2007b. Penanganan daerah rawan pangan. http:// www.deptan.go.id/bkp/program_utama/pdrp.html [4 September 2007]. Departemen Pertanian dan World Food Programme. 2005. Peta Kerawanan Pangan Indonesia, A Food Insecurity Atlas of Indonesia. Jakarta: Deptan dan WFP. Dewan Bimas Ketahanan Pangan. 2001. Kebijakan Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta: Dewan BKP. Ensiklopedi Indonesia. 1983. Ensiklopedi Indonesia IV. Jakarta: Ichtiar baru-Van Hoeve.
68
Gibson RS. 1993. Nutritional Assesment a Laboratory Manual. New York: Oxford University. Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: IPB Press. ---------------, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor: PAU IPB. Harper LJ, BJ Deaton, JA Driskel. 1985. Pangan, Gizi dan Pertanian. Jakarta: UI Press. Hoddinott J, Yohannes Y. 2002. Dietary diversity as a household food security indicator. http://www.fantaproject.org [14 Nopember 2007]. Junaidi M. 1997. Pendapatan rumahtangga nelayan pada musim yang berbeda kaitannya dengan pola konsumsi pangan dan status gizi [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Kusharto C, Sa’diyyah NY. 2006. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor: IPB Press. Latief D et al. 2000. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII: Konsumsi Pangan Tingkat Rumahtangga Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi. Jakarta: LIPI. Loppies CRM. 1998. Pemanfaatan ikan laut hasil tangkap kaitannya dengan konsumsi pangan pada rumahtangga nelayan [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. MacArthur CT, John D. 1998. Social support and social conflict. http:// www.macses.ucsf.edu/research/psikosocial/notebook/socsupp [7 Februari 2008]. Marwati D. 2001. Strategi ketahanan pangan, ketersediaan, dan pola konsumsi pangan keluarga buruh tani dan buruh pabrik di Desa Kebon Dalem, Kota Cilegon [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Mubyarto, Soetrisno L, Dove M. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Jakarta: Rajawali Press. Nurhasanah. 2004. Analisis situasi kerawanan pangan berdasarkan dimensi akses pangan di Kota Jakarta Utara Propinsi DKI Jakarta [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Pambudy NM. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII: Menjembatani Kesenjangan dan Akses Pangan. Jakarta: LIPI. Papalia DE, Olds SW. 1981. Human Development. USA: Mc Graw-Hill. Pemerintah Kabupaten Cirebon. Pemberdayaan Masyarakat.
2005.
Potensi
Desa.
Cirebon:
Badan
69
Penny DH. 1990. Kemiskinan: Peranan Sistem Pasar. Rahayu et al., penerjemah; Mubyarto, editor. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Starvatiion: the role of the market system. Pramudya SM. 1991. Distribusi konsumsi pangan dalam rumahtangga dan faktor-faktor yang mempengaruhi [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Raharto A, Romdiati H. 2000. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII: Identifikasi Rumahtangga Miskin. Jakarta: LIPI. Rahmah I. 2006. Analisis hubungan akses fisik, akses ekonomi, dan pengetahuan gizi terhadap konsumsi pangan mahasiswa IPB [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Rahmaulina ND. 2007. Hubungan pengetahuan ibu tentang gizi dan tumbuh kembang anak serta stimulasi psikososial dengan perkembangan kognitif akan usia 2-5 tahun [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Rohati. 1996. Beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi makanan, konsumsi pil besi, dan kadar hemoglobin (Hb) ibu hamil [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Satari AU. 1989. Pola pengeluaran dan konsumsi pangan serta status gizi anak balita pada rumahtangga nelayan pekerja [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Intitut Pertanian Bogor. Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo. Sharma RP. 1992. Monitoring access to food and household food security. http://www.fao.org/DOCREP/U8050T/U8050T02.HTM [14 November 2007]. Suhardjo. 1984. Tingkat Konsumsi Pangan dan Pendapatan di Kalangan Keluarga Pedesaan di Yogyakarta. Bogor: IPB Press. -----------. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: IPB Press. ----------- et.al. 1988. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bogor: PAU IPB. -----------, Hardinsyah, Riyadi. 1988. Survei Konsumsi Pangan dan Gizi. Bogor: PAU IPB. Sukandar D, A Khomsan, H Riyadi, F Anwar, ES Mudjajanto. 2006. Studi ketahanan pangan pada rumahtangga miskin dan tidak miskin. Gizi Indonesia 29(1):22-32. Sumarwan U. 2004. Perilaku Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia.
70
World Food Programme. 2005. Emergency Food Security Assessment Handbook: Methodological Guidance for Better Assessment. First edition. http://www.Wfp.org./operations/emergency_needs/EFSA_Communication _brief.pdf [14 November 2007].
71
72
Lampiran 1. Kuesioner Kode Keluarga
KUESIONER PENELITIAN ANALISIS AKSES PANGAN KELUARGA NELAYAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN
Nama Kepala Keluarga : ……………………... RT/RW : ……………………... Nama Enumerator : ……………………… Tangga Wawancara : ………………………
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
I. KETERANGAN ANGGOTA KELUARGA No
(1)
Hubungan dengan KK
Jenis kela min
Tahun
(2)
(3)
(4)
(5)
Keterangan : Kode kolom (3) Kepala RT Istri/Suami Anak Menantu Cucu Orang tua/Mertua Famili lain
1 2 3 4 5 6 7
Bulan
Berat badan (kg)
Tinggi badan (cm)
Status perka winan
Lama berse kolah (tahun)
Utama
Tambah an
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
Umur
Nama anggota keluarga
Kode kolom (9) Belum kawin Kawin Cerai hidup Cerai mati
1 2 3 4
Kode kolom (11) dan (12) Nelayan 1 Petani 2 Pedagang 3 PNS 4 Karyawan 5
Pekerjaan
Buruh Jasa angkutan Wiraswasta Guru Lainnya
6 7 8 9 10
II. ASET/KEPEMILIKAN ALAT TANGKAP Nama Barang Kapal/Perahu Motor Kapal Jaring Pancing
Kepemilikan (sendiri=1, sewa=2, hak milik=3)
Luas/Jumlah
Keterangan
74
III. DUKUNGAN SOSIAL No 1 2 3 4 5
Pernyataan Bantuan makanan selalu saya terima Petugas kesehatan selalu mengunjungi keluarga saya Ketua RT selalu memberikan semangat kepada saya Anak-anak saya bisa sekolah tanpa harus membayar uang SPP dan biaya lainnya Sanak famili saya mau mendengarkan masalah-masalah kami
6
Sanak famili saya berupaya untuk memperlihatkan perasaan cinta dan menunjukkan kepeduliannya kepada saya
7
Saya mempunyai beberapa teman karib diluar keluarga saya yang saya yakini mereka juga sangat peduli dan mencintai saya
8 9 10
Kehidupan dalam masyarakat ini memberi perasaan aman dalam diri saya Saya mencoba untuk berhubungan dengan sanak famili saya seakrab mungkin Jika saya menghadapi masalah, tetangga saya selalu memberi pertolongan
11
Saya selalu mendapat bantuan keuangan dari orang tua/sanak famili ketika saya mendapat kesulitan
12
Tetangga saya mau membantu meminjamkan uang atau barang ketika saya menghadapi kesulitan
13
Saya merasa tenang dengan lingkungan tempat tinggal saya yang sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan anak-anak
14
Jika sedang dalam kesulitan saya selalu mendapatkan pertolongan dari masyarakat dimana saya tinggal
15
Saran yang diberikan tetangga sangat membantu dalam penyelesaian masalah yang saya hadapi
Ya
Tidak
Total
IV. KETERANGAN PENGELUARAN NONPANGAN KELUARGA Jenis Pengeluaran 1. Kesehatan Obat/Jamu Sabun Pasta gigi Sampo Bedak Lipstik Minyak telon Balsem Lainnya 2. Pendidikan SPP Peralatan Sekolah Uang Saku Ongkos Uang jajan
Sehari Satuan
Rp/Sat
Seminggu Satuan
Rp/Sat
Sebulan Satuan
Rp/Sat
Setahun Satuan
Rp/Sat
75
Jenis Pengeluaran Seragam Lainnya
3. Dapur BBM Minyak tanah Kayu bakar Solar Listrik Gas Peralatan dapur Lainnya
4. Perumahan Sewa/Cicilan Perbaikan rumah Lainnya
5. Pakaian Sarung Baju Lainnya
6. Pesta/Selamatan Hajatan Lainnya
7. Lain-lain Sumbangan Tabungan Telpon Rokok Pembantu Lainnya (Cukur, dll)
Sehari Satuan
Rp/Sat
Seminggu Satuan
Rp/Sat
Sebulan Satuan
Rp/Sat
Setahun Satuan
Rp/Sat
V. PENYEDIAAN PANGAN Frekuensi Penyediaan Hari Nama Pangan
Asal* Freq
1. Padi-padian Beras Jagung Terigu Mie Roti
2. Umbi-umbian Ubi Kayu Ubi Jalar Sagu Kentang
3. Pangan Hewani Daging Sapi Daging Ayam Daging Itik Telur Ayam Telur Bebek/Itik Telur Asin Telur Puyuh Ikan Segar…… Ikan Segar…… Ikan Segar……
Berat Total
URT
Minggu % Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
URT
% Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
Bulan URT
% Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
Tahun URT
% Kon Total sumsi Harga
77
Frekuensi Penyediaan Nama Pangan
Hari
Asal* Freq
Ikan asin…. Ikan asin..... Ikan asin..... Cumi-cumi/ sotong Rajungan Kepiting Susu bubuk Susu kental manis
4. Minyak dan lemak Minyak kacang tanah Minyak kelapa Minyak sawit Lemak
5. Buah/biji berminyak Kelapa Biji berminyak (kemiri)
6. Kacang-kacangan Kacang tanah Kacang kedelai Kacang hijau
Berat Total
URT
Minggu % Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
URT
% Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
Bulan URT
% Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
Tahun URT
% Kon Total sumsi Harga
78
Frekuensi Penyediaan Nama Pangan
Hari
Asal* Freq
Tempe Tahu
7. Gula Gula pasir Gula merah Gula batu
8. Sayur dan buah Sayur Ketimun Kacang merah Kacang panjang Buncis Kol/ kubis Sawi Tomat Wortel Kangkung Terung Lobak Rumput laut Toge
Berat Total
URT
Minggu % Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
URT
% Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
Bulan URT
% Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
Tahun URT
% Kon Total sumsi Harga
79
Frekuensi Penyediaan Nama Pangan
Hari
Asal* Freq
Berat Total
Buah Jeruk Pisang Duku Durian Jambu Mangga Nanas Pepaya Rambutan
9. Lain-lain Minuman Bumbu lainnya
Keterangan : URT : Ukuran Rumah Tangga Freq : Frekuensi Asal* : 1. Hasil produk sendiri 2. Pembelian 3. Pemberian 4. Meminjam dari Saudara/Tetangga 5. Hasil Melaut
URT
Minggu % Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
URT
% Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
Bulan URT
% Kon Total Berat Freq sumsi Harga Total
Tahun URT
% Kon Total sumsi Harga
80
Lampiran 2. Hasil uji deskriptif Variabel Usia Kepala Keluarga (th) Usia Istri (th) Jumlah Anggota Keluarga Lama Sekolah Kepala Keluarga (th) Lama Sekolah Istri (th) Pengeluaran Pangan Keluarga (Rp/kap/bln) Pengeluaran Nonpangan Keluarga (Rp/kap/bln) Pengeluaran Keluarga (Rp/kap/bln) Kepemilikan Aset Melaut Dukungan Sosial Tingkat Konsumsi Energi (%) Tingkat Konsumsi Protein (%) Valid N (listwise)
N
Minimum Maximum
Mean
Std. Deviation
65
25
70
40,46
11,949
65
20
66
36,46
10,361
65
2
12
5,54
2,158
65
0
15
2,89
3,202
65
0
12
3,08
3,309
65
42286
242458
104695,98
45223,266
65
14029
297092
94193,44
64964,943
65
61970
410075
198889,42
86840,531
65
0
9
3,43
3,046
65
16
30
25,18
3,107
65
37,93
148,12
76,4702
25,86820
65
33,99
176,91
85,0400
35,94995
65
Lampiran 3. Hasil uji beda (independent sample t-test)
Variabel
t-test for Equality of Means
Levene's Test for Equality of Variances t
Usia Kepala Keluarga (th)
Usia Istri (th)
Jumlah Anggota Keluarga
Lama Sekolah Kepala Keluarga (th)
Lama Sekolah Istri (th)
Pengeluaran Pangan Keluarga (Rp/kap/bln)
Pengeluaran Nonpangan Keluarga (Rp/kap/bln)
Pengeluaran Keluarga (Rp/kap/bln)
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
F
Sig.
,343
,560
,886
11,689
,838
,327
,454
3,412
,000
,350
,001
,363
,569
,503
,069
,996
df
Sig. (2tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
,974
63
,334
2,949
3,027
-3,099
8,997
,954
49,901
,344
2,949
3,089
-3,257
9,154
,878
63
,383
2,308
2,628
-2,944
7,559
,839
45,328
,406
2,308
2,750
-3,229
7,845
2,302
63
,025
1,218
,529
,161
2,275
2,099
37,530
,043
1,218
,580
,043
2,393
-,645
63
,521
-,526
,814
-2,153
1,102
-,616
45,028
,541
-,526
,854
-2,245
1,194
-1,073
63
,288
-,897
,837
-2,569
,775
-1,059
51,304
,295
-,897
,848
-2,599
,804
-,268
63
,790
-3090,485
11533,789
-26138,923
19957,954
-,260
48,432
,796
-3090,485
11865,629
-26942,435
20761,465
-2,243
63
,028
-35790,256
15953,155
-67670,092
-3910,420
-2,428
62,999
,018
-35790,256
14743,521
-65252,836
-6327,676
-1,799
63
,077
-38880,741
21612,336
-82069,549
4308,067
-1,824
56,192
,073
-38880,741
21317,604
-81581,806
3820,324
81
Lampiran 3. Hasil uji beda (independent sample t-test) (lanjutan) t-test for Equality of Means
Levene's Test for Equality of Variances
Variabel
t
Kepemilikan Aset Melaut
Dukungan Sosial
Akses Sosial
Akses Ekonomi
Akses Pangan
Tingkat Konsumsi Energi (%)
Tingkat Konsumsi Protein (%)
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
F
Sig.
,001
,975
4,383
,065
2,145
1,275
,363
,025
,040
,799
,148
,263
,549
,875
df
Sig. (2tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Upper
-,930
63
,356
-,718
,772
-2,261
,825
-,926
53,000
,359
-,718
,775
-2,273
,837
-,714
63
,478
-,564
,790
-2,142
1,014
-,658
39,193
,514
-,564
,857
-2,297
1,169
-1,512
63
,136
-,564
,373
-1,310
,182
-1,462
47,521
,150
-,564
,386
-1,340
,212
-,945
63
,348
-,295
,312
-,919
,329
-,989
60,996
,326
-,295
,298
-,891
,301
-1,036
63
,304
-,231
,223
-,676
,214
-1,009
48,808
,318
-,231
,229
-,690
,229
,022
63
,983
,14462
6,60119
-13,04680
13,33603
,022
52,914
,983
,14462
6,63051
-13,15500
13,44423
,473
63
,638
4,32821
9,15772
-13,97203
22,62844
,474
54,250
,637
4,32821
9,13189
-13,97820
22,63461
82
Lampiran 4. Hasil uji hubungan (korelasi Spearman) Variabel Besar Keluarga
Usia KK
Usia Istri
Tingkat Pendidikan KK
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Tingkat Pendidikan Istri
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Pengeluaran Total Keluarga
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Aset
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Besar Keluarga
Usia KK
Tingkat Pendidikan Istri
KK
Istri
Pengeluaran Total Keluarga
Dukungan Sosial
Aset
Akses Sosial
Ekonomi
Tingkat Konsumsi Pangan
Energi
Protein
1,000
,429(**)
,543(**)
-,223
-,201
-,341(**)
-,013
-,076
-,730(**)
-,232
-,568(**)
-,329(**)
-,202
.
,000
,000
,075
,108
,005
,917
,547
,000
,062
,000
,007
,107
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
,429(**)
1,000
,841(**)
-,226
-,421(**)
-,214
,145
-,136
-,561(**)
-,060
-,350(**)
,011
-,072
,000 65
. 65
,000 65
,070 65
,000 65
,086 65
,250 65
,279 65
,000 65
,637 65
,004 65
,932 65
,569 65
,543(**)
,841(**)
1,000
-,214
-,440(**)
-,336(**)
,130
,008
-,599(**)
-,187
-,450(**)
-,037
-,103
,000
,000
.
,087
,000
,006
,303
,947
,000
,136
,000
,769
,413
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
-,223
-,226
-,214
1,000
,595(**)
-,101
-,056
-,145
,471(**)
-,214
,215
,001
,202
,075
,070
,087
.
,000
,425
,659
,248
,000
,086
,085
,993
,106
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
-,201
-,421(**)
-,440(**)
,595(**)
1,000
,030
-,141
-,041
,540(**)
-,106
,272(*)
-,028
,167
,108
,000
,000
,000
.
,813
,263
,743
,000
,398
,028
,826
,184
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
-,341(**)
-,214
-,336(**)
-,101
,030
1,000
,268(*)
-,110
,115
,772(**)
,570(**)
,498(**)
,463(**)
,005
,086
,006
,425
,813
.
,031
,383
,361
,000
,000
,000
,000
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
-,013
,145
,130
-,056
-,141
,268(*)
1,000
-,193
-,164
,731(**)
,421(**)
,307(*)
,360(**)
,917
,250
,303
,659
,263
,031
.
,124
,193
,000
,000
,013
,003
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
83
Lampiran 4. Hasil uji hubungan (korelasi Spearman) (lanjutan) Variabel Dukungan Sosial
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Besar Keluarga
Usia KK
Tingkat Pendidikan Istri
KK
Istri
Pengeluaran Total Keluarga
Aset
,124
.
,039
,205
,544
,472
,165
65
65
65
65
65
65
65
,115
-,164
,257(*)
1,000
-,022
,582(**)
,162
,205
,000
,361
,193
,039
.
,859
,000
,196
,101
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
-,187
-,214
-,106
,772(**)
,731(**)
-,159
-,022
1,000
,640(**)
,451(**)
,451(**)
,637
,136
,086
,398
,000
,000
,205
,859
.
,000
,000
,000
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
-,568(**)
-,350(**)
-,450(**)
,215
,272(*)
,570(**)
,421(**)
,077
,582(**)
,640(**)
1,000
,399(**)
,399(**)
,000
,004
,000
,085
,028
,000
,000
,544
,000
,000
.
,001
,001
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
-,339(**)
-,064
-,004
,041
-,051
,443(**)
,275(*)
-,039
,187
,392(**)
,394(**)
1,000
,659(**)
,006
,614
,974
,748
,686
,000
,026
,760
,135
,001
,001
.
,000
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
-,207
-,109
-,082
,221
,122
,453(**)
,382(**)
-,148
,188
,441(**)
,396(**)
,659(**)
1,000
,098
,387
,515
,076
,333
,000
,002
,241
,134
,000
,001
,000
.
N 65 65 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed)
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
65
Tingkat Konsumsi Energi
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Tingkat Konsumsi Protein
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
-,193
,547
,279
,947
,248
,743
,383
65
65
65
65
65
65
-,730(**)
-,561(**)
-,599(**)
,471(**)
,540(**)
,000
,000
,000
,000
65
65
65
-,232
-,060
,062
Protein -,174
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
-,110
Energi -,091
Akses Pangan
-,041
Pangan ,077
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
-,145
Ekonomi -,159
Akses Ekonomi
,008
Sosial
Konsumsi
,257(*)
Akses Sosial
-,136
Akses
1,000
N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
-,076
Dukungan Sosial
84
85
Lampiran 5. Hasil uji regresi logistik karakteristik keluarga terhadap TKE Variables in the Equation Step 1(a)
jumakelA jumakelB
B 1,968
S.E. 1,327
Wald 2,199
-,546
1,263
16,847
df 1
Sig. ,138
Exp(B) 7,159
,187
1
,666
21312,041
,000
1
,999
krisikkB krisibuA krisibuB
-2,358
1,410
2,797
1
,094
,580 20720609, 373 ,095
-36,264 2,789
45493,713 1,710
,000 2,658
1 1
,999 ,103
,000 16,263
pnddknkkA pnddknkkB
-43,118 ,634
56841,444 1,138
,000 ,310
1 1
,999 ,577
21,732
40192,970
,000
1
1,000
-,780
1,135
,472
1
,492
,000 1,885 27431515 26,307 ,458
,995 ,439
1,208 ,829
,679 ,280
1 1
,410 ,597
2,705 1,551
-,961 -,707 1,801 -,825
1,514 1,567 ,810 1,947
,403 ,204 4,943 ,179
1 1 1 1
,526 ,652 ,026 ,672
,383 ,493 6,059 ,438
krisikkA
pnddknbuA pnddknbuB asetA asetB duksosA duksosB kripengtal2 Constant
a Variable(s) entered on step 1: jumakelA, jumakelB, krisikkA, krisikkB, krisibuA, krisibuB, pnddknkkA, pnddknkkB, pnddknbuA, pnddknbuB, asetA, asetB, duksosA, duksosB, kripengtal2.
Lampiran 6. Hasil uji regresi logistik karakteristik keluarga terhadap TKP Variables in the Equation Step 1(a)
jumakelA jumakelB krisikkA krisikkB krisibuA krisibuB pnddknkkA pnddknkkB pnddknbuA pnddknbuB asetA asetB duksosA duksosB kripengtal2 Constant
B 1,002 -,681
S.E. 1,201 1,256
Wald ,696 ,294
-3,842 -1,297 -15,020 1,820
2,357 1,290 40192,970 1,685
-41,968 2,643
df 1 1
Sig. ,404 ,588
Exp(B) 2,723 ,506
2,659 1,011 ,000 1,166
1 1 1 1
,103 ,315 1,000 ,280
,021 ,273 ,000 6,171
56841,444 1,291
,000 4,193
1 1
,999 ,041
22,104
40192,970
,000
1
1,000
-,344 2,804
1,104 1,376
,097 4,150
1 1
,755 ,042
,000 14,054 39766881 26,191 ,709 16,506
,945 -1,248 -,967
,921 1,451 1,524
1,051 ,739 ,402
1 1 1
,305 ,390 ,526
2,572 ,287 ,380
2,120 -1,092
,890 2,001
5,677 ,298
1 1
,017 ,585
8,335 ,335
a Variable(s) entered on step 1: jumakelA, jumakelB, krisikkA, krisikkB, krisibuA, krisibuB, pnddknkkA, pnddknkkB, pnddknbuA, pnddknbuB, asetA, asetB, duksosA, duksosB, kripengtal2.
86
Lampiran 7. Hasil uji regresi logistik akses pangan keluarga terhadap TKE Variables in the Equation Step 1(a)
aksosA aksosB aksekA aksekB
B 1,162
S.E. 1,194
Wald ,947
1,247 2,818
,672 ,980
3,440 8,272
df
1,083 ,629 2,958 -1,704 ,687 6,143 a Variable(s) entered on step 1: aksosA, aksosB, aksekA, aksekB. Constant
1
Sig. ,330
Exp(B) 3,198
1 1
,064 ,004
3,481 16,736
1 1
,085 ,013
2,952 ,182
Lampiran 8. Hasil uji regresi logistik akses pangan keluarga terhadap TKE Variables in the Equation Step 1(a)
aksosA aksosB aksekA aksekB Constant
B 2,270
S.E. 1,341
Wald 2,866
,980 3,691
,690 1,204
2,018 9,398
1,212 ,645 3,526 -1,685 ,698 5,832 a Variable(s) entered on step 1: aksosA, aksosB, aksekA, aksekB.
df 1
Sig. ,090
Exp(B) 9,679
1 1
,155 ,002
2,665 40,073
1 1
,060 ,016
3,361 ,185