’STREET LEVEL BIROKRASI’ KINERJA & IDEALITAS PELAYANAN PUBLIK
Robi Cahyadi Kurniawan Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
ABSTRACK Street level bureaucracy is the front-line of public service. Performance of bureaucracy at this level is determined by various factors such as system, structure, and culture of community. Bureaucracy’s mission and vision, at this level, sometimes can’t be realized since bureaucracy discretion is still perceived as taboo to be applied in Indonesia. Numerous solutions are recommended such as service problem identification, performance assesment, and allowing discretion, despite of transforming paradigm of culture, restructuring and reforming bureaucracy, especially at street level bureaucracy.
Kata Kunci: bureaucracy, performance, public service
PENDAHULUAN Birokrasi merupakan sebuah organisasi besar yang memiliki fungsi yang luas serta aparat (pegawai) pada setiap tingkatan (level). Para pemegang jabatan-jabatan penting berada pada level yang tinggi (high), sedangkan yang selalu berhadapan langsung dengan masyarakat dalam hal pelayanan biasanya berada pada level bawah (low). Orang-orang yang berada dalam level bawah inilah yang biasa disebut dengan ’birokrasi dalam tingkat ’street level’. Petugas kepolisian, baik dijalan raya atau yang mengurusi SIM, STNK, petugas medis (perawat dan dokter praktek), para guru, dosen, pemadam kebakaran, serta tentu saja para PNS lain disetiap departemen, dinas , lembaga, instansi pemerintah lain, sebagai contoh birokrasi di level ’street level’. Pemilihan birokrasi pada setiap tingkatan (level) walaupun dikatakan memakai sistem merit; yang
menekankan pada profesionalisme dalam pengisian jabatan-jabatan birokrasi, memilih seseorang dengan kompetensi dan keahlian yang sesuai. Akan tetapi praktek di lapangan tidak sesuai dengan profesionalisme. Beberapa kasus yang sudah menunjukkan indikasi peningkatan kinerja, akan tetapi tidak dapat dijadikan rata-rata untuk menjustifikasi tingkat pelayanan yang prima. Kasus-kasus seperti provinsi Sumatra Barat, Kabupaten Sragen, Jembrana, Solok, Surakarta, merupakan sebagia kecil yang cukup berhasil. Sedangkan sisanya yang berjumlah besar masih berkutat dengan masalah yang sama, yakni bagaimana meningkatkan kinerja birokrasi. Pelayanan yang diberikan kepada publik sebagai tugas pokok dari birokrasi masih sering dirasakan tidak maksimal. Masalah-masalah klasik seperti lambatnya pelayanan, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk berurusan dengan birokrasi, 1
besarnya biaya , belum lagi dengan masalah diskresi. Semuanya berawal dari sistem dan struktur birokrasi yang sebagian besar masih besar, sehingga menjadi lambat dan terkadang menjadi parkinson. Munculnya patologi birokrasi yang lain menyebabkan birokrasi semakin jauh dari fungsi pelayanan yang utama. Street level sebagai garda terdepan dari pelayanan dan berhadapan langsung dengan publik, adalah pihak yang pertama kali yang bertemu dan bertatap muka dengan publik. Sehingga, seluruh keluh kesah, tanggapan , respon dan juga tindakan yang dilakukan publik yang tercermin pada tindakan individu didalamnya langsung mereka hadapi. Keadaan ini memang merupakan tugas mereka, akan tetapi terkadang birokrasi pada tingkat ’street level’ tidak dapat menyelesaikan seluruh tugas yang ada. Kemudian yang terjadi adalah pelayanan yang tidak maksimal, lemahnya mental publik dengan merebaknya praktek kolusi dan nepotisme. Tentu saja, bila hal ini dibiarkan terus berlanjut akan menyebabkan semakin rusaknya mental publik dan birokrasi kita. Semakin lemahnya kepercayaan publik pada aparat birokrasi , dapat menyebabkan legitimasi birokrasi dari sisi masyarakat menjadi menurun. Kondisi terekstrem adalah masyarakat tidak percaya dan tidak ingin berurusan dengan birokrasi lagi, serta tidak membutuhkan kehadiran mereka. Dilatar belakangi oleh kondisi inilah tulisan ini coba mengungkap sisi dari birokrasi pada tingkat ’street level’. Pertanyaan-pertanyaan seperti
bagaimana kondisi pelayanan birokrasi ada level ini, permasalahan yang dihadapi oleh birokrasi. Selanjutnya, hal-hal yang mempengaruhi pelayanan dan karakteristik birokrasi kita, masalah diskresi hingga upaya untuk (secara teoritis) mereformasi dan merestrukturisasi birokrasi hingga menjadi lebih baik. Kesemuanya akan coba penulis uraikan dalam ulasan dalam paper ini. KINERJA BIROKRASI
STREET
LEVEL
Berbicara mengenai ‘ Street Level Birokrasi’, adalah berbicara mengenai kualitas pelayanan yang diberikan oleh garda terdepan dari birokrasi yang dirasakan masih kurang. Kekurangan ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (a) Krisis kepercayaan terhadap birokrasi publik, karena birokrasi menjadi instrumen penguasa, kepentingan penguasa cenderung sentral dan menggusur kepentingan publik tercermin dalam kebijakan publik; (b) Sedikitnya kesempatan dan ruang yang dimiliki masyarakat dalam proses kebijakan publik; (c) Pengabaian aspirasi dan kepentingan masyarakat , dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (d) Meluasnya praktek KKN, sebagai sumber dari bureaucratic –cost; (e) Rendahnya kemampuan birokrasi merespon krisis, tidak adanya inisiatif dan kreativitas dalam mengendalikan krisis; (f) Orientasi kepada kekuasaan, distorsi pelayanan publik, memperburuk krisis ekonomi dan politik. Permasalahan diatas menjadi krusial karena setiap masa, dimulai
2
sejak masa orde lama, terlebih orde baru bahkan diera reformasi menjadi pekerjaan rumah besar yang tak kunjung selesai. Penjelasan mengapa pemerintah dan birokrasinya gagal mengembangkan kinerja pelayanan yang baik dapat dilihat pada kajian yang dipaparkan oleh Osborne & Plastrik (1997). Kedua ahli ini menjelaskan terdapat lima DNA (kode genetik) dalam tubuh birokrasi/pemerintahan yang mempengaruhi kapasitas dan perilakunya. Kelimanya berkaitan dengan pengelolaan terhadap hal berikut : a. MISI (purpose); kemampuan sebuah sistem dalam merespon dinamika yang terjadi di masyarakat. Birokrasi di Indonesia tidak memiliki misi yang jelas mengakibatkan : Pertama; fungsi dan aktivitas birokrasi semakin luas dan semakin jauh dari tujuan pembentukan birokrasi tersebut, disebabkan tidak adanya keinginan birokrasi untuk membantu masyarakat, tetapi didorong oleh keinginan birokrasi untuk memperluas akses kekuasaan dan anggaran. Kedua ; Menciptakan fragmentasi birokrasi yang tinggi, mengakibatkan membengkaknya birokrasi publik, duplikasi dan konflik kegiatan dan kebijakan antar lembaga birokrasi yang mengakibatkan inefisiensi dan kebingungan masyarakat. Ketiga ; Orientasi birokrasi terhadap peraturan dan prosedur amat tinggi sehingga menjadikannya sebagai barometer pelayanan, sehingga menyebabkan Keempat ; mengabaikan perubahan yang
terjadi dalam lingkungan dan alternatif cara pelayanan, mempermudah pengguna layanan untuk mengakses pelayanan secara murah dan cepat. Kelima; Tidak adanya keberanian untuk mengambil insiatif dan pengembangan kreatifitas dalam merespon perubahan, sehingga rutinitas dianggap sesuatu yang dianggap wajar dan benar. b. Akuntabilitas Tidak adanya proses pertanggungjawaban yang berasal dari dalam (inisiatif birokrasi itu sendiri). Berarti rasa tanggung jawab birokrasi rendah dan ketidakpedulian terhadap hasil pekerjaan. c. Konsekuensi Reward and punishment tidak berjalan. Berhubungan dengan peraturan perundangan yang mengatur birokrasi masih lemah dan tidak cukup kuat mengikat birokrasi. d. Kekuasaan; Sistem kekuasaan yang cenderung sentralistik dan paternalistik, terkonsentrasi pada pejabat atasan (puncak), pelayanan penyelenggaraan pemerintahan terkonsentrasi pada bawahan. Masyarakat dianggap sebagai client yang nasibnya ditentukan oleh birokrasi bukan sebagai pelanggan yang dibutuhkan oleh birokrasi e. Budaya Birokrasi pemerintahan yang berlangsung di Indonesia tidak memiliki kultur atau tradisi untuk
3
menempatkan kepentingan masyarakat sebagai sentral dalam kehidupannya. Praktik-praktik, simbol dan nilai-nilai feodal yang sudah berpuluh tahun tertanam menjadikannya sebagai suatu kebiasaan dan memiliki kekuatan normatif. Tradisi kompetitif sebagai pendorong efisiensi juga kurang berkembang. Pelayanan yang diberikan oleh birokrasi kepada pengguna jasa (masyarakat pada umumnya) tidak maksimum disebabkan oleh berbagai hal, antara lain adalah rendahnya improvisasi, inisiatif dan juga keinginan menyelesaikan masalah sesegera mungkin. Saling lempar tugas serta tanggung jawab juga kerap terjadi. Semuanya akibat ketidaktahuan birokasi tentang bidang tugas dan penempatan tugas yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keahlian masingmasing. Guna memahami lebih lanjut dari kualitas ‘street level birokrasi’ di Indonesia, maka dapat dilihat potret birokrasi Indonesia , sebagai berikut : (a) Weberisasi dengan sasaran efisiensi, rasionalisasi, orientasi pemberian pelayanan publik, profesionalisme birokrasi; (b) Parkinsonisasi dengan sasaran proliferasi struktur dan personil birokrasi; (c) Orwelisasi dengan sasaran birokrasi sebagai instrumen politik negara dan alat kontrol politik; (d) Jaksonisasi dengan sasaran akumulasi kekuasaan melalui birokrasi, alienasi publik dari proses pengambilan keputusan. Potret diatas menggambarkan beberapa patologi birokrasi yang menyebabkan birokrasi tidak berjalan secara normal, sehingga pelayanan
yang dihasilkan pun tidak maksimal. Permasalahan tersebut berhubungan dengan kinerja dari birokrasi kita yang tidak dapat diukur dan dinilai dengan tepat. Kinerja birokrasi tidak dapat terdeteksi dengan tepat , disebabkan : (a) kinerja belum dianggap sesuatu yang penting oleh pemerintah; (b) tidak tersedianya informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik, Daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) jauh relevansinya dengan indikator kinerja sebenarnya; (c) Kompleksitas indikator kinerja yang digunakan mengukur kinerja birokrasi. Penyebabnya adalah banyaknya stakeholder birokrasi; masyarakat, anggota DPR, partai politik, kelompok kepentingan, yang memiliki kepentingan yang berbeda; (d) Efisiensi dan efektivitas, kepuasaan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas tidak terlaksana; (e) Tujuan dan misi birokrasi publik seringkali kabur dan bersifat multidimensional (multi tafsir). Kondisi birokrasi tersebut, pada setiap levelnya memerlukan indikator pengukur kinerja. Indikator yang digunakan, menurut Dwiyanto (1995), sebagai berikut: (a) Efisiensi; keberhasilan mendapatkan laba, memanfaatkan faktor produksi, rasionalitas ekonomis. Lebih objektif lagi meliputi; likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas; (b) Efektivitas; Tercapainya tujuan pendirian organisasi pelayanan publik. Erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, dan fungsi agen pembangunan; (c) Keadilan; mempertanyakan distribusi dan alokasi layanan yang diselenggarakan olrh organisasi, erat kaitannya dengan konsep
4
ketercukupan dan kepantasan. Apakah kebutuhan dan nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu tentang pemerataan pembangunan, layanan pada kaum miskin dsb dapat dijawab dengan kriteria ini; (d) Daya tangkap ; bagian dari daya tangkap negara/pemerintah terhadap kebutuhan vital masyarakat. Ahli lain, Salim & Woodward (dalam Thoha, 2003) melihat kinerja berdasarkan: (a) pertimbanganpertimbangan ekonomi; diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumberdaya yang seminimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik; (b) Efisiensi; menunjuk pada kondisi tercapainya keseimbangan antar input dan output pelayanan; (c) Efektivitas; melihat tercapainya pemenuhan tujuan dn target pelayanan yang telah ditetapkan; (d) Persamaan pelayanan; keadilan dalam bentuk pelayanan publik. Birokrasi ditingkat ‘street level’ perlu merespon faktor akuntabilitas birokrasi yaitu; suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesesuaian penyelenggara pelayanan dengan ukuran nilai/norma eksternal di masyarakat/para stakeholders. Indikator kinerjanya meliputi: (1) acuan pelayanan yang digunakan birokrasi dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik; (2) tindakan yang dilakukan aparat birokrasi alam pemberian pelayanan; (3) prioritas kepentingan pengguna jasa pelayanan oleh aparat birokrasi. Faktor lainnya berupa responsivitas yaitu; Kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-program
pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas mengukur daya tangkap birokrasi terhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan pengguna jasa. Organisasi dengan responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang rendah pula . Indikator responsivitas pelayanan publik, meliputi: (1) terdapat tidaknya keluhan dari pengguna jasa selama satu tahun terakhir; (2) sikap aparat birokrasi dalam merespon keluhan dari pengguna jasa; (3) penggunaan keluhan dari pengguna jasa sebagai referensi bagi perbaikan penyelenggaraan pemerintahan dimasa mendatang; (4) berbagai tindakan aparat birokrasi untukmemberikan kepuasan pelayanan pada pengguna jasa; (5) penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sIstem pelayanan yang berlaku. C. BUDAYA BIROKRASI INDONESIA Faktor budaya birokrasi digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi kedalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan. Budaya dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang memiliki sistem norma, sistem nilai, system kepercayaan, adat kebiasaan ,pandangan hidup yang difahami sebagai sesuatu yang baik dan benar. Patologi birokrasi muncul karena norma dan nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih
5
berorientasi keatas, yakni kepentingan politik kekuasaan, bukan kepada publik. Christensen (1995) mengemukakan argumennya bahwa elemen paling mendasar dalam melihat dinamika lingkungan politik lokal adalah karakteristik sosial ekonomi masyarakat. Beberapa variabel penting dalam membentuk setting politik lokal diantaranya; jumlah penduduk, kepadatan, heterogenitas penduduk, karakter sosio-psikologis masyarakat, dan variasi ekonomi lokal. Variasi dari satu variabel terhadap variabel lokalitas lainnya akan dapat menjelaskan perbedaan politik lokal antar daerah. Seperti perbedaan dalam struktur pemerintahan, tingkat partisipasi politik masyarakat, berbagai aktivitas kelompok kepentingan di masyarakat. Salah satu faktor penyebabnya yaitu budaya paternalistik dan feodalisme. Budaya paternalistik dan feodalisme yang tertanam sejak masa kerajaan mempengaruhi birokrasi Indonesia masa kini. Ciri-ciri birokrasi kerajaaan menurut Suwarno (1994) sebagai berikut: (1) Penguasa menganggap dan menggunakan administrasi publik sebagai urusan pribadi; (2) Administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya; (3) Tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja; (4) ‘Gaji’ dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugrah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja; (5) Para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.
Dalam pemerintahan pusat (keraton), urusan dalam pemerintahan diserahkan pada empat pejabat setingkat menteri (wedana lebet) yang dikoordinasikan oleh pejabat setingkat menteri koordinator (pepatih lebet). Pejabatpejabat kerajaan tersebut masingmasing membawahi pegawai (abdi dalem) yang cukup banyak. Daerah diluar keraton, contoh daerah pantai (pesisiran) raja menunjuk bupati yang setia kepada raja untuk menjadi penguasa daerah. Berasal dari bupati lama yang ditaklukkan raja, pemuka masyarakat setempat, atau saudara raja sendiri. Pengawasan terhadap bupati dilakukan oleh pejabat tinggi pengawas (wedana) yang ditunjuk raja. Tindakan pengawasan itu disebabkan posisi bupati memiliki bawahan, yang pola hubungannya sama seperti hubungan raja dan bawahannya (abdidalem). Kesetiaan bupati kepada raja ditunjukkan dengan menghadap ke istana raja minimal setahun tiga kali dengan membawa upeti sebagai bukti kesetiaan daerah. Kedudukan bupati sebenarnya sangat otonom, sehingga tidak terlalu sulit untuk merencanakan suatu pemberontakan, terlebih jika raja berkuasa dipandang lemah. Tiga (3) strategi politik yang digunakan Raja Mataram untuk mencegah bupati melepaskan diri dari kekuasaan raja: pertama, Menggunakan kekerasan dengan menjatuhkan hukuman mati kepada lawan-lawan politik raja, termasuk pada seluruh keluarganya; kedua, Mengharuskan orang terkemuka yang berpengaruh didaerahnya untuk tinggal dikeraton dalam jangka waktu
6
tertentu dan daerahnya diserahkan pada wakil raja didaerah; ketiga, Menjalin persekutuan dengan perkawinan, baik antara raja dengan putri kepala daerah maupun puteri raja yang diberikan sebagai hadiah kepada tokoh-tokoh daerah. Contoh lain, kerajaan Gowa yang mewakili etnis makassar di Sulawesi, dipimpin oleh seorang raja yang dibantu oleh sebuah dewan perwakilan (bate salapang) yang keanggotaannya terdiri dari sembilan penguasa persekutuan (gaukang) pembentuk kerajaan Gowa. Sistem pemerintahan dibagi menjadi pusat dan daerah. Pemerintahan daerah dibagi menjadi 2: (a) Pemerintahan daerah yang terdiri dari 9 persekutuan (gaukang) pembentuk kerajaan Gowa yang bersifat otonom, independen terhadap pusat, artinya tidak ada intervensi politik dari pusat; (b) Pemerintahan daerah taklukan (vasal); tidak otonom, harus patuh terhadap peraturan pemerintahan pusat dan setiap tahun wajib menyerahkan upeti kepada raja sebagai bukti kesetiaan mereka. Sikap feodalistik yang diturunkan dari birokrasi kerajaan sulit dihapuskan dalam pemerintahan kolonial belanda, masa orde lama, terlebih orde baru bahkan masa reformasi saat ini, masih sering ditemukan aparat birokrasi yang sulit bersikap kritis terhadap pimpinannya, cenderung memiliki orientasi nilai pada kepentingan pimpinan bukan kepada publik. Perilaku feodalistik ini memberikan kontribusi besar terhadap munculnya patologi birokrasi, terutama korupsi. Faktor kultural, menurut Mas’oed (1994) juga memperkuat kondisi tersebut, cenderung kondusif
mendorong korupsi, seperti adanya nilai/tradisi pemberian hadiah kepada pejabat. Tindakan itu menurut masyarakat eropa dan Amerika dianggap korupsi, sedangkan oleh masyarakat Asia, termasuk Indonesia tidak. Dalam kultur Jawa, sebagai bentuk pemenuhan kewajiban oleh bawahan ( kawula) kepada rajanya (gusti). Akar kultural masyarakat Indonesia yang nepotisme memberi dorongan bagi tindak korupsi, umumnya mementingkan ikatan keluarga dan kesetiaan parokial. Mas’oed (1994) lebih lanjut menyatakan bahwa ketimpangan antara birokrasi dan rakyat dalam hal status, pendidikan dan kepemilikan informasi menimbulkan konsekuensi berupa: (a) pejabat dapat membuat keputusan sewenang-wenang tanpa dapat dihukum serta dapat meminta uang suap dari masyarakat; (b) warga yang dalam posisi lemah secara politik sering menawarkan uang suap kepada pejabat, guna mempengaruhi perilakunya serta memudahkan pelayanan birokrasi. Budaya birokrasi model ini yang sudah tertanam lama di Indonesia, tentu saja sulit untuk dirubah. Merebaknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagai bagian dari patologi birokrasi tak beranjak sirna. Perubahan struktur dan sistem birokrasi sejak kepemimpinan Habibie, Mega, Gus Dur bahkan SBY memang dirasakan memiliki hasil, tetapi tidak dapat merubah keseluruhan kondisi yang ada. Era otonomi daerah yang menjadikan tumbuh suburnya penguasa-penguasa lokal, dan cenderung tidak menghiraukan pemerintah pusat menyuburkan praktek-praktek KKN tersebut. Sekali
7
lagi bahwa, menurut penulis peran budaya masyarakat kita dan juga memepengaruhi budaya birokrasi kita yang menyebabkan kondisi ini. D. DISKRESI BIROKRASI Budaya paternalisme, sistem yang menempatkan pimpinan sebagai pihak yang paling dominan, memiliki corak hubungan seperti ayah dengan anak. Pola hubungan dipandang secara hierarkis. Dalam konteks pelayanan publik, ada dua dimensi, pertama; antara aparat dengan masyarakat, kedua; antara pimpinan/atasan dengan staff/bawahan. Corak hubungan paternalistik pada dasarnya lebih bersifat informal, sangat pribadi, serta kebiasaankebiasaan tidak resmi yang berkembang dalam struktur birokrasi (Blau & Scott, 1987). Corak hubungan dipengaruhi oleh feodalisme, yang biasanya dibangun berdasarkan hubungan yang asimetris, eksklusifisme karena adanya pembedaan dalam hal usia, jabatan, peran, kedudukan, maupun status seseorang. Dalam budaya paternalisme terdapat nilai tentang pentingnya peranan atasan dalam memberikan perlindungan terhadap bawahan (Eisenstadt, 1973). Perlindungan yang diberikan oleh pimpinan berwujud status dan pangkat, yang kedua atribut tersebut merupakan hak istemewa bagi seorang bawahan yang menentukan status sosialnya di mata masyarakat ( Mulder, 1985). Pengaruh paternalisme membawa konsekuensi pada pola pendelegasian wewenang yang terjadi dalam birokrasi. Masih berdasarkan pada kedekatan
hubungan antara pimpinan dan bawahan, dibangun berdasar perasaan suka dan tidak suka, sehingga kondisi diskresi juga berawal dari kondisi ini. Secara konseptual diskresi merupakan suatu langkah yang ditempuh oleh administrator untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu yang tidak/belum diatur dalam suatu regulasi yang baku. Diskresi dapat berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan pada pengguna jasa. Pertimbangannya adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan/peraturan tidak mungkin merespon banyak aspek dan kepentingan semua pihak, sebagai akibat keterbatasan prediksi para aktor. Diskresi secara teoritis merupakan penyimpangan. Prinsip dalam diskresi, pelanggaran atau tindakan penyimpangan prosedur tidak dipersoalkan, sepanjang tetap pada koridor visi, misi dan tujuan organisasi. Rendahnya kemampuan birokrasi dalam melakukan diskresi menjadi indikator rendahnya tingkat responsivitas dan berpatokan pada aturan yang diterapkan secara kaku. Indikator untuk melihat diskresi dalam birokrasi, meliputi serangkaian tindakan yang dilakukan aparat pelayanan berdasarkan pada inisiatif, kreativitas, dan tidak terlalu bersandar pada peraturan atau juklak secara kaku. Indikator tersebut meliputi hal-hal sbb: (a) tindakan yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan ketika pimpinan tidak berada di tempat kerja; (b) Tindakan atau langkah yang dilakukan ketika menemui kesulitan dalam menjalankan tugas; (c) Pernah tidaknya menerapkan prosedur
8
pelayanan yang berbeda dengan juklak. Diskresi dinilai baik apabila aparat birokrasi selalu berupaya mengatasi sendiri kesulitan melalui cara-cara yang berorientasi pada upaya pemuasan kepentingan publik. Tindakan diskresi yang ditempuh meliputi mendiskusikan suatu masalah dengan rekan kerja, dan memutuskan suatu masalah berdasarkan visi organisasi. Sebaliknya, diskresi dinilai buruk apabila aparat pelayanan dalam merespon kesulitan yang dihadapi memilih mengambil tindakan dengan meminta petunjuk pimpinan atau
menunda pelayanan sampai pimpinan datang. Pemberian kewenangan untuk melakukan diskresi dalam birokrasi masih merupakan langkah yang belum dipahami substansinya dan tidak popular dalam jajaran birokrasi pelayanan. Berikut ini penulis lampirkan beberapa tabel untuk melihat kondisi ‘diskresi birokrasi’ berdasarkan sebuah penelitian pada sejumlah pegawai negeri pada level bawah ( street level dengan data kuantitatif pada tiga wilayah, yakni Sumatra Barat, DI Jogja dan Sulawesi Selatan.
Tabel 1. Inisiatif pelayanan ketika pimpinan tidak ada Jenis tindakan Sumatra Barat DI Yogya Sul Selatan Penundaan pelayanan 37,3 43,1 49,7 Bantuan rekan kerja 15,3 27,4 10,7 Inisiatif sendiri 47,4 29,5 39,6 Total 100,0 100,0 100,0 N=912 N=287 N=325 N=300 Sumber: Data primer, 2000, (penelitian Agus Dwiyanto dkk, Pusat study Kependudukan dan Kebijakan UGM )
Tabel 2. Tindakan aparat ketika menemui kesulitan tugas Jenis tindakan Meminta petunjuk atasan Bantuan rekan kerja Inisiatif sendiri Jumlah (N) & sumber : idem
Sumatra Barat 67,9 8,7 23,3
DI Yogja 62,2 16,9 20,9
Sul Selatan 62,2 16,9 20,9
Tabel 3. Dasar penerapan prosedur pelayanan Dasar penerapan prosedur pelayanan Aturan formal/ Juklak Sesuai situasi Jumlah (N) & sumber : idem
Sumatra Barat 81,5 18,5
DI Jogja 76,3 23,7
Sulwsi Sel 88,0 12,0
Tabel 4. Tindakan pemenuhan kecepatan pelayanan Tindakan pelayanan Menolak Melayani dengan syarat dipenuhi kemudian Jumlah (N) & sumber : idem
Sumatra Barat 46,3 53,7
DI Jogja 67,4 32,6
Sulwsi Sel 53,0 47,0
9
Tabel 5. Penolakan pelayanan akibat kurangnya persyaratan administratif Tindakan pelayanan Ya Tidak Jumlah (N) & sumber : idem
Sumatra Barat 76,7 23,3
DI Jogja 88,0 12,0
Sulwsi Sel 87,0 13,0
Tabel 6. Tindakan aparat apabila pimpinan melakukan kesalahan Tindakan aparat Mengingatkan langsung Mengingatkan tidak langsung Membiarkan Sumber: Data primer, 2000
Sumatra Barat 84,7 8,7 7,3
DI Jogja 64,3 14,2 21,5
Sulwsi Sel 73,0 8,3 18,7
Tabel 7. Dasar pembedaan pelayanan oleh aparat Dasar Pembedaan Kedekatan dengan petugas Status sosial pengguna jasa Sikap pengguna jasa Sumber : Data primer, 2000.
E.RESTRUKTURISASI BIROKRASI Dalam teori Liberal, birokrasi pemerintah menjalankan kebijakankebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat pemilu. Jadi birokrasi pemerintah tidak hanya diisi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian tertentu yang disi oleh pejabat politik. Hubungan antara pejabat politik dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi. Persoalan yang muncul kemudian siapa yang mengontrol, memimpin dan menguasai siapa. Persoalan klasik ini, menurut Carino (dalam Thoha, 2003), disikapi dengan dua alternatif solusi, yaitu birokrasi sebagai subordinasi dari politik (executive ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation atau attempt at co-equality with the executive. Melihat fenomena birokrasi saat ini, menurut penulis pemikiran
Sumatra Barat 77,8 18,9 3,3
DI Jogja 88,9 9,4 1,7
Sulwsi Sel 85,4 12,7 1,9
tentang restrukturisasi birokrasi pemerintah (konsep pemikiran Max Weber) , layak untuk dicermati, yaitu: (a) Perumusan apa yang dimaksud jabatan politik dan jabatan karier (birokrasi); (b) Penggolongan identifikasi jabatan (mana yang dimaksudkan jabatan politik dan jabatan publik); (c) Menetapkan batas-batas tugas, tanggung jawab, dan kewenangan antara kedua jabatan tersebut sehingga tidak saling simpang siur dan intervensi; (d) Penetapan hubungan kerja antara kedua jabatan dan pejabat tersebut. Penulis sependapat dengan pemikiran Weber bahwa perlu adanya pembedaan yang jelas dan tegas antara jabatan politik dan birokrasi. Penegasan ini diperluakan agar kinerja birokrasi tidak dipengaruhi oleh keinginan politik dari penguasa. Birokrasi tidak lagi dijadikan sapi perahan seperti pada masa orde baru, sehingga fokus
10
pekerjaan birokrasi hanya pada sektor pelayanan publik. Seiring dengan perubahan zaman, cara kerja dengan menggunakan teknologi informasi sudah dilakukan. Cara kerja seperti ini menjadikan birokrasi seperti organisasi tanpa batas (boundaryless organization). Konsekuensinya, birokrasi semacam ini menurut Lucas (1996) akan banyak memperkenalkan paperless organization, atau organisasi birokrasi yang nir-kertas, yang akan menghemat anggaran birokrasi. Jika birokrasi yang tanpa batas dan tanpa kertas ini diberlakukan, maka tatanan organisasi yang vertically operated akan berubah menjadi lebih pendek, ramping dan permeated (merembes). Sesuai dengan azas demokrasi, kewenangan birokrasi tidak hanya berada di hierarki atas (penguasa) melainkan ada dimanamana (decentralized). Tidak dapat dipungkiri, akibat belum jelasnya pemisahan jabatan politik dan jabatan publik (birokrasi), kondisi birokrasi di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh intervensi partai politik. Dunleavy (1987) menguraikan beberapa model yang digunakan untuk meminimalisir intervensi partai politik terhadap birokrasi pemerintah : 1. Model perwakilan konstitusional (constitutional-representative government) Adanya lembaga yang dipilih melalui pemilu, model ini meletakkan pegawai pemerintah sebagai mesin birokrasi yang harus netral dari keterpengaruhan pejabat-pejabat pemerintah (political appointees)
yang dipilih dan didukung oleh parlemen. Artinya pegawai pemerintah berkeinginan dan harus mampu melayani secara sama (equal effectiveness) kepada perbedaan administrasi yang datang silih berganti, sehingga menghendaki dalam pemerintahan ada pejabat politik (dari parpol) dan pejabat birokrasi. 2. Model perhitungan pluralis (pluralist-account) Tidak berbeda dari model pluralist-democracy (Douglas Yates), dan berintikan sama dengan model perwakilan konstitusional. Perbedaannya model pluralist memandang organisasi birokrasi pemerintah sebagai kelompok kepentingan seperti kelompok kepentingan lain yang ada dalam masyarakat1. Salah satu tujuannya sebagai kelompok penekan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. 3. Model otonomi yang demokratis (the autonomy of the democracy model) Berada dalam bayangan model kedua pluralis, model ini melihat proses pembuatan kebijakan publik terbagi dalam jejaring (policy network), tetapi pejabat birokrasi pemerintah tidak bisa memainkan kekuasaan dan kepentingannya jika tidak mempunyai preferensi dari kebijakan tersebut. Solusi dari model ini agar birokrasi mempunyai otonomi dalam 1
Dowding, Keith (1991) Rational Choice and Political Power, Edward Edgar, Aldershot, UK
11
menentukan kebijakan serta mengurangi kepentingan kelompok penekan lain. 4. Model kanan baru (new right) Memandang birokrasi bisa dibuat lebih efisien dan bagaimana seharusnya birokrasi bekerja dengan lebih baik. Model ini melihat ada suatu dinamika dalam birokrasi (internal dynamic) yang cenderung berbuat tidak efisien dan berkembang seenaknya dalam mesin pemerintahan. Model kanan baru melihat partai politik (model konstitusional) dan kelompok kepentingan (model pluralis) menyebabkan in-efisiensi dalam pemerintahan disebabkan fragmentasi kepentingan politik tertentu. Model ini memberikan istilah rent seeking (memburu rente) yang menggambarkan beberapa kelompok memperoleh keuntungan secara ekonomi. Biasanya dalam proyek-proyek pemerintah seperti bantuan petani, masyarakat miskin dan kesejahteraan sosial serta subsidi. F. SIMPULAN Merubah wajah birokrasi di Indonesia, menurut penulis lebih ideal dilakukan secara holistik (menyeluruh). Dimulai dari sistem dan strukturnya, yang berkaitan dengan peraturan perundangan yang berlaku khususnya mengenai birokrasi. Lalu, pemisahan dengan wilayah politik yang sarat kepentingan dengan misi birokrasi yang melayani. Memasukkan kinerja berbasiskan pemahaman kepada
birokrasi (khususnya pada tingkat street level) bahwa masyarakat adalah warga negara yang memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan maksimal. Didukung oleh pemahaman masyarakat tentang birokrasi, tugas dan profesionalitasnya, sehingga masyarakat enggan untuk melakukan praktek-praktek yang dapat menghambat kinerja birokrasi, misalnya kolusi dan nepotisme. Tak kalah pentingnya adalah, keberanian dari birokrasi pada tingkat street level untuk melakukan diskresi (kebijaksanaan) dalam pekerjaannya. Tentu saja dengan berpatokan pada visi dan misi organisasi., dengan tidak terlalu kaku dengan aturan administratif yang ada. Dilain pihak, para pejabat pada level higher atau manager lebih mempercayai dan memberi kewenangan kepada street level. Mengemban amanah pekerjaan guna melancarkan urusan (biasanya administratif) guna peningkatan kualitas pelayanan terhadap publik. Restrukturisasi atau reformasi birokrasi menjadi pekerjaan rumah utama,dalam tingkat street level berguna untuk lebih menyederhanakan pekerjaan, fokus pada masalah tetentu dan tenju saja peningkatan pelayanan. Beban pekerjaan yang terlalu banyak, cakupan yang terlalu luas hingga struktur dan sistem yang tidak mendukung dapat teratasi. Penciptaan iklim pekerjaan yang kondusif serta nyaman dapat membuat para pekerja birokrasi tingkat street level menjadi produktif, sehingga target pelayanan maksimal dapat terjangkau.
12
DAFTAR PUSTAKA Ashkenas, Ron; Ulrich, Dave; Jick, Todd & Kerr Steve (1995), The Boundaryless Organization, breaking the cain of arganization structure, San Francisco,CA Blau, Peter M. & Richard W. Scott. 1987. Formal Organization. San fransisco, Chandler Publishing Co Christensen, Terry. 1995. Local Politics; Governing at the Grassroots. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company Dowding, Keith (1991), Rational Choice and Political Power, Edward Edgar, Aldershot, UK Dunleavy,P. & O’Leary, B (1987), Theories Of the State, Macmillan, London, UK Dwiyanto, Agus.1995. “Penilaian kinerja organisasi pelayanan public, Seminar kinerja organisasi sektor publik, kebijakan dan penerapannya.Jur. ANe, Fisipol UGM, Yogyakarta, 20 Mei Eisanstadt, S.N. 1973. Tradisional Patrimonials & Modern Neopatrimonialism, California, Sage Publicati Lipsky, Michael.1980. Street – Level Bureaucracy, Russel Sage Foundation, New York Lucas JR, Henry C (1996), T. Form Organization, using technology to design organizations for the 21st century, Jossey-Bass Publishers, san Fransisco, CA Mas;oed, Mohtar. 1994. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar Mulder, Niels.1985. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta : Sinar Harapan Osborne, David & Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy; the five Strategies for Reinventing Government. California Smith, B.C. 1988. Bureaucracy and Political Power, Wheatsheaf Books. Sussex, St Martin’s Press, New York. Suwarno, P.J.1994, Habengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemeritahan Yogyakarta, 1942-1947, sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta; Kanisius
13
Thoha, Miftah (2003), Birokrasi dan Politik di Indonesia , PT Raja Grasindo Persada, Jakarta
14