BIROKRASI DAN PEMBANGUNAN PERKOTAAN
Bambang Utoyo Sutiyoso Staf Pengajar Jurusan Ilmu administrasi Negara FISIP Universitas Lampung
ABSTRACT In the future, cities will become more and more complex area, as the result of various social, economic and environmental dynamics that arise from the process of globalization, decentralization and urbanization. This development requires new development paradigm, where the management of the city in the future needs to be done betterly by paying more attention on sustainability. If these rules are not met, the development of the city would be a threat to the conservation of the environment and even to life itself. Therefore, the role that should be run by a bureaucracy is as consensus builder. This role should be run by building agreement between the state, private sector and communities. This role should be run by a bureaucracy due to the function as reforms agent and renewal facilitator.
Keywords: urban management, development, bureaucracy
PENDAHULUAN Seiring dengan bergulirnya era reformasi, serta fenomena globalisasi yang ditandai oleh menguatnya tuntutan akan demokratisasi; desentralisasi; perhatian terhadap persoalan lingkungan hidup dan pemberdayaan masyarakat, telah menjadikan birokrasi yang oleh Mustopadijaya (2002) diartikan sebagai “kantor penyelenggara kewenangan tugas pengelolaan kebijakan dan pelayanan pemerintahan”, yang merupakan bagian strategis dari setiap sistem administrasi negara modern yang dikembangkan guna mewujudkan tujuan suatu bangsa dalam bernegara menjadi semakin penting peranannya. Wilayah perkotaan, dalam konteks negara-kebangsaan (nation state) menjadi semakin penting. Bukan saja sebagai pintu gerbang sebuah negara, akan tetapi kemajuan suatu kota, dalam batas-batas tertentu mencerminkan kemajuan suatu bangsa. Kota-kota di Indonesia seperti juga kota besar lainnya di negara berkembang, merupakan engine of growth atau penggerak pertumbuhan ekonomi skala nasional maupun regional. Hal ini dicerminkan dalam besarnya kontribusi sektor-sektor yang digerakkan
dari perkotaan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hasil kalkulasi sederhana berdasarkan data BPS, sumbangan kegiatan dan sektor-sektor yang berada di perkotaan terhadap PDB diperkirakan mencapai lebih dari 60%. Selain daripada itu, seiring dengan terjadinya proses transformasi struktur perekonomian diketahui, bahwa proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan juga meningkat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari total penduduk nasional pada tahun 2015 (Dardak, 2006). Besarnya nilai Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan wilayah perkotaan dan konsentrasi penduduk yang terus meningkat, mencerminkan bahwa wilayah perkotaan telah mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat di kawasan perkotaan menyebabkan lebih meningkat pula kebutuhan prasarana dan sarana dasar
1
2 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
perkotaan seperti perumahan, pendidikan, transportasi, pasar, air bersih, drainase dan pengendalian banjir, sarana persampahan, pengolahan air limbah dan sebagainya. Di pihak lain, pertumbuhan kota-kota akan diikuti dengan tekanan-tekanan (urban development pressures) yang antara lain berupa: beralih fungsinya lahan-lahan pertanian yang subur di sekitar kota-kota menjadi lahan-lahan non pertanian; makin kritisnya cadangan air tanah dan air permukaan; meningkatnya inefisiensi dalam pelayanan prasarana dan sarana perkotaan karena wilayah perkotaan yang makin melebar ke segala arah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kawasan perkotaan di Indonesia dewasa ini cenderung mengalami permasalahan yang tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Selain itu daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan kependudukan. Permasalahan lainnya berkaitan dengan tingginya tingkat konversi atau alih guna lahan, terutama lahan-lahan yang seharusnya dilindungi agar tetap hijau menjadi daerah terbangun, yang menimbulkan dampak terhadap rendahnya kualitas lingkungan perkotaan. Lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang juga merupakan masalah seperti misalnya munculnya permukiman kumuh di bantaran sungai dan timbulnya kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu. Oleh karenanya, penyelenggaraan pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan seyogyanya senantiasa mengacu kepada rencana tata ruang wilayah (RTRW) agar tujuan yang diharapkan, yakni peningkatan pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi. Makalah singkat ini berusaha mengkaji peran dan keterkaitan birokrasi yang merupakan ADMINISTRATIO
pengejawentahan (personifikasi) negara dalam ujud konkritnya dalam pengelolaan pembangunan wilayah perkotaan. PEMBANGUNAN PERKOTAAN: PERAN DAN POSISI BIROKRASI Pembangunan perkotaan di Indonesia memberikan berbagai dampak bagi masyarakat secara luas, baik yang bersifat positif, maupun yang negatif. Disadari bahwa pembangunan di kotakota besar dan menengah di Indonesia, yang dipenuhi oleh penduduk yang berurbanisasi dari desa-desa memberikan banyak manfaat bagi pemerintah, maupun bagi masyarakat. Manfaat dimaksud di antaranya dukungan terhadap Product Domestic Regional Bruto (PDRB) memberikan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum serta penyediaan sarana dan teknologi untuk peningkatan pengetahuan dan kepentingan warga masyarakat. Disisi lain, pembangunan perkotaan yang terjadi juga telah melahirkan dampak negatif yang berupa urban development pressures yang bersifat sosial (seperti: dis-harmoni sosial; alienasi dan marginalisasi, dsb); ekonomi (kemiskinan; maraknya lingkungan kumuh, dsb) maupun lingkungan (alih fungsi lahan; polusi dan pencemaran udara; kongesti; degradasi sumberdaya alam, dsb). Dengan demikian, kota-kota menengah dan besar di Indonesia saat ini menyajikan kondisi dilematik. Di satu sisi pertumbuhan dan pembangunan kota cukup pesat, namun di sisi lain mengakibatkan masyarakat berpenghasilan rendah tersingkir dan semakin miskin (marginal-society). Terjadinya kontradiksi ini akhirnya sering menimbulkan konflik sosial yang mengarah kepada pengrusakan saranaprasarana fisik perkotaan dan sendi-sendi sosial antar kelompok masyarakat yang sebelumnya sudah cukup kuat dan terpelihara dengan baik. Namun disadari banyak dampak negatif yang ditimbulkan pembangunan kota-kota tersebut, diakibatkan berbagai ISSN : 2087-0825
Bambang Utoyo S ; Birokrasi dan Pembangunan Perkotaan 3
faktor, salah satu di antaranya kesalahan pendekatan penyusunan perencanaan pembangunan kota terutama diakibatkan kurang dilibatkannya masyarakat di dalam proses pembangunan kota-kota dimaksud, sejak proses awal yaitu dari tahap perencanaan, yang dalam konteks ini adalah perencanaan tata ruang wilayah kota (RTRWK), yang merupakan manisfestasi dari perencanaan regional (Isard, 1975). Disamping sebagai “guidance of future actions” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).
Terkait dengan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan kota (lihat: Silverman, 2006; Enserink & Koppenjan, 2007), partisipasi masyarakat dalam penataan ruang kawasan perkotaan merupakan suatu keharusan agar berbagai ide dan aspirasi orisinil stakeholders dapat terakomodasi secara adil dan seimbang, termasuk bagi kelompok-kelompok marginal perkotaan. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosialbudaya setempat (local unique) dan model kelembagaan setempat seperti misalnya melalui forum kota atau rembug masyarakat. Secara sederhana pemikiran tersebut dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram berikut ini.
Aktualisasi hal tersebut sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dalam konteks hubungannya antara masyarakat dengan negara. Birokrasi pemerintahan, sebagai personifikasi negara adalah wujud nyata negara dalam kehidupan sehari-hari. Tidak dipungkiri, bahwa semenjak konsep birokrasi legalrasional yang diperkenalkan oleh Max Weber, dewasa ini birokrasi telah menjadi organisasi publik yang peran dan
fungsinya menjadi signifikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tak terkecuali di Indonesia, kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Namun, yang saat ini terjadi justru sebaliknya ( Ratna, 2007). Hal tersebut, dapat terjadi mengingat birokrasi di negara kita tidak dapat melepaskan diri
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825
4 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
dari pengaruh eksternal yang melingkupinya, baik aspek politik, ekonomi maupun budaya (lihat: Rigg (1964); Jackson (1987); Mas’oed (1989); Rachbini (1991). Apalagi, sebagaimana diketahui bahwa, lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur. Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya (Thoha, 2002). Maka tidaklah mengherankan jika pada zaman orde baru mesin birokrasi nyata-nyata menjadi pendukung pemerintah dan Golkar, pada era reformasi tradisi itu masih berlangsung dalam formula yang sedikit berbeda. Jika seorang kader Partai A menduduki jabatan menteri, misalnya, bisa diperkirakan semua posisi penting di departemennya akan diisi kader-kader dari parpol bersangkutan. Dengan demikian, pada gilirannya kita beranjak pada penyakit kronis lainnya yang mengakar di birokrasi, yaitu kooptasi partai politik. Perkawinan antara birokrasi dan partai politik. Perkawinan antara birokrasi dan partai politik tak pelak lagi telah melahirkan sistem yang saling melemahkan (Ratna, 2007). Bahkan, birokrasi pemerintah semakin terkooptasi dan diintervensi oleh partai politik yang mempersiapkan kemenangan pemilu bagi partainya. Kepentingan subjektivitas partai semakin kuat untuk menguasai birokrasi pemerintah (Mifhtah Thoha, 2002) Kondisi tersebut pada gilirannya telah menghasilkan perilaku birokrasi yang cenderung memihak pada kepentingan tertentu, dibandingkan dengan kepentingan maupun masalahmasalah yang dihadapi publik. Akibatnya hasil pembangunan di kota-kota menengah dan besar di Indonesia cenderung mengarah untuk menampung kebutuhan sebagian kecil kelompok masyarakat, yang rata-rata berpenghasilan tinggi dan menengah. Di samping itu, kepekaan birokrasi untuk mengantisipasi tuntutan perkembangan
ADMINISTRATIO
masyarakat mengenai perkembangan ekonomi, sosial dan politik sangat kurang sehingga kedudukan birokrasi yang seharusnya sebagai pelayan masyarakat cenderung bersifat vertical top down daripada horizontal partisipative. Birokrasi masih belum efisien, yang antara lain ditandai dengan adanya tumpang tindih kegiatan antar instansi dan masih banyak fungsi-fungsi yang sudah seharusnya dapat diserahkan kepada masyarakat masih ditangani pemerintah. Paradigma birokrasi Weber atau scientific management dari Taylor yang berfokus pada fenomena struktural dan fungsional yang spesifik dan formal (legal) yang kaku pada masanya dianggap modern; namun dalam perkembangannya kemudian dipandang klasik atau tradisional (traditional paradigm) karena dalam konsep dan penerapannya ternyata dan mengarah pada pengembangan organisasi dan birokrasi maksimal yang dinilai kurang mengakomodasikan dimensi-dimensi kemanusiaan, di mana interaksi antar manusia bersifat hirarkikal yang menimbulkan kekakuan, dan mempengaruhi motivasi dan produktivitas. (Mustopadijaya, 2002). Pada sisi yang lain, pengaruh dan desakan mekanisme pasar yang dibelakangnya sarat dengan motif-motif ekonomi dari para pemilik modal semakin memperkeruh carut marut wajah kota. Sangat mudah kita menyaksikan, bagaimana “open space” yang merupakan ruang publik begitu mudah dialih fungsikan menjadi mall; hypermarket; apartemen atau sejenisnya; semakin tersingkitnya pasar tradisional dan pedagang kali lima, dan kesemuanya itu dibungkus dalam “revisi” kebijakan tata ruang yang sesungguhnya merupakan aliansi antara kepentingan penguasa dan pemilik modal untuk memburu ‘rente’ ekonomi dari kebijakan yang dibuat tersebut. Dan birokrasi berperan sebagai instrumen penting dalam implementasi kebijakan yang sarat dengan kepentingan penguasa dan pemilik modal tersebut, maka tidaklah terlalu mengherankan jika public interest dan public affairs atas
ISSN : 2087-0825
Bambang Utoyo S ; Birokrasi dan Pembangunan Perkotaan 5
pembangunan perkotaan tidak pernah memperoleh tempat yang semestinya dalam kebijakan pembangunan perkotaan.
governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipasi dan kemitraan. DAFTAR PUSTAKA
PENUTUP Sebagai agen perubahan, birokrasi harus mengambil inisiatif dan memelopori suatu kebijakan atau tindakan. Sedangkan sebagai fasilitator, Birokrasi harus dapat memfasilitasi kepentingankepentingan yang muncul dari masyarakat, sektor swasta maupun kepentingan negara. Kebetulan administrasi publik yang berkembang saat ini juga sangat mendukung proses demokratisasi, karena sudah tidak terlalu hirarkis dan parokial, tetapi lebih mirip sebuah jaringan (network). Kecenderungan ini mempunyai implikasi yang sangat penting dan positif terhadap perkembangan demokrasi, termasuk tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap perluasan liberalisasi politik, kewargaan, dan tingkat kepercayaan publik. Pada dimensi ini, pendekatan governance menurut hemat penulis, menjadi satu alternatif yang layak dipertimbangkan sebagai sebuah perspektif baru dalam pengelolaan pembangunan perkotaan. Governance merupakan konsep dan berarti: proses pengambilan keputusan dan juga proses bagaimana keputusan itu ditentukan, diambil dan diimplementasikan. Ia juga mempunyai struktur formal dan informal untuk pelaksanaannya. Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep
ADMINISTRATIO
Jackson, Karl D and Pye, Lucian W, 1987, Political Power and Comunications in Indonesia, California : University of California Press. Mas’oed, Mochtar, 1989, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 19661971, Jakarta : LP3ES. JURNAL Enserink, Bert and Koppenjan, Joop, 2007. “Public participation in China: sustainable urbanization ang governance”, dalam Jurnal Management of Environmental Quality: An International Journal, Vol. 18 No. 4 Tahun 2007. Silverman, Robert Mark, 2006. “Central city socio-economic characteristics and public participation strategies – A comparative analysis of the Niagara Falls region’s municipalities in the USA and Canada”. International Journal of Sociology and Social Policy (IJSSP), nomor Vol. 26 No. 3/4, 2006. MAKALAH SEMINAR Dardak, Hermanto, 2006. “Perencanaan Tata Ruang Bervisi Lingkungan Sebagai Upaya Mewujudkan Ruang Yang Nyaman, Produktif, Dan Berkelanjutan”. Lokakarya Revitalisasi Tata Ruang Dalam Rangka Pengendalian Bencana Longsor Dan Banjir, Yogyakarta, 28 Februari 2006 Effendi,
Sofian, 2005. “Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance”. Mimeo, makalah yang disampaikan di Lokakarya ISSN : 2087-0825
6 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
Nasional Reformasi Birokrasi Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN, Jakarta, 22 September 2005. Mustopadijaya, 2002. “Format Birokrasi NKRI Bagi Percepatan Pemulihan Dan Pembangunan Nasional, Pokok-Pokok Pikiran”. Mimeo, Disampaikan Pada Diskusi Dan Launcing Indonesian Bureaucracy & Service Watch (IBSW) Jakarta; 17 April, 2002. Thoha, Mifhtah, 2002. Seminar Good Goverance di Bappenas, tgl 24 Oktober 2002 . ARTIKEL Ratna, Myrna, 2007. “Membenahi Mesin Birokrasi Yang ‘Karatan”. Kompas, 16 Agustus 2007.
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825