RESISTENSI PETANI TERHADAP KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KOTA BARU LAMPUNG
Hartoyo Staf Pengajar Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung ABSTRACT
This study describes the dynamics of the struggle for justice farmers, their land is evicted Lampung Provincial Government for the construction of the New Town Lampung. Data were collected by indepth interviews, documentation, and non-participant observation. The results found that, first, the right of farmers working on the foundation of agricultural land based on historical and socio-cultural. Second, the establishment of "sub-culture opposition" as a precondition emergence of peasant protest. The protest in the struggle of farmers based on: (a) the attitude of the local government that does not recognize the right of farmers on the land base according to formal law, (b) the provision of money "ex-gratia" is woefully inadequate; (c) cause the eviction of farmers decreased land condition social and economic, and psychological distress, and (d) strengthening resource mobilization of peasant organizations in the container. Third, farmers struggle stagnated due to: (a) the position of the government is much more powerful press, (b) the political opportunity structure is not conducive to sustainable farmers struggle; (c) the fighting spirit of elite actors and peasant organizations weakened to moderate, and (d) lack of support from other parties (civil society, political parties, and legislative). Keywords: land, conflict, farmer organizations, farmers protest, development.
PENDAHULUAN
Pada kondisinya seperti itu sangat logis jika memperhatikan hasil kajian Stephan (1992) yang menyimpulkan bahwa petani di banyak negara agraris secara politik tidak memiliki hak suara, secara ekonomi termarginalkan, dan secara kultural sebagai elemen masyarakat yang terancam (Brohman, 1996: 258). Tanah pertanian semakin bergeser ke arah fungsi ekonomi daripada fungsi sosial, karena terjadi penetrasi kapitalisme. Ciri tradisional masyarakat pedesaan semakin terkikis dan semakin berkembang ke arah sistem kapitalistik (Hashim, 1984:21). Perubahan kondisi masyarakat pedesaan yang demikian itu sebagai dampak dari proyek-proyek pembangunan fisik yang mengabaikan aspek sosiokultural masyarakat setempat. Sudah banyak proyek pembangunan yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan umum, tetapi bagi masyarakat setempat justru menjadi
Secara substantif tanah pertanian tidak bisa dipisahkan dari eksistensi kehidupan petani. Tanah pertanian bagi petani bersifat multi dimensi, yakni sebagai sumber mata pencaharian, sumber tata kehidupan, bernilai magis religio-kosmis, sebagai identitas, martabat, power, dan bahkan ideologis (Flor, 2002: 15). Pada sisi lain, realitas historis membuktikan bahwa nasib petani dalam setiap episode kekuasaan rezim selalu ditentukan oleh sistem agraria dengan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan kultural. Dalam setiap episode kekuasaan rezim selalu diwarnai oleh gerak perjuangan petani dalam mempertahankan tanah pertanian yang dikuasai dan dikelola secara produktif. Artinya, eksistensi petani tidak pernah lekang dari resistensinya terhadap kebijakan agraria dalam sistem hubungan agraria yang mapan. 27
28 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
bencana karena harus kehilangan lahan pertanian sebagai sumber kehidupannya Ketika lahan pertanianya digusur banyak petani yang kemudian mengalami penderitaan fisik, sosial, psikologis, ekonomi, dan cultural (Koentowijoyo, 1980; Hatta, 1991; Malik, dkk., 2003; Ngadisah, 2003; Silaen, 2006). Penderitaan serupa juga dialami oleh ratusan petani korban proyek pembangunan Kota Baru Lampung (KBL). Rencana pembangunan KBL dimulai pada awal tahun 2010 dan pada awalnya ditetapkan berada di wilayah Kecamatan Natar, Lampung Selatan. Pada tanggal 28 September 2010 Gubernur Lampung mengeluarkan surat edaran merubah wilayah pembangunan di Register 40 Gedung Wani, yaitu di Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan. Sebagian besar wilayah pembangunan KBL memanfaatkan lahan negara bekas garapan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan) seluas 950 Hektar, yang sudah lama digarap secara aktif dan produktif oleh petani. Pada tahun 2011 semua lahan tersebut sudah digusur dan petani diberi uang “kerokhiman” atau “tali asih” sebesar Rp 5.000.000/hektar. Kebijakan ini oleh petani dianggap tidak adil karena mengancam kelangsungan hidupnya. Petani kemudian melakukan perlawanan menuntut keadilan melalui suatu wadah organisasi tani, yaitu Gabungan Petani Lampung (GPL). Penelitian ini secara umum menjelaskan dinamika perjuangan petani menuntut keadilan atas lahan garapan yang digusur Pemerintah Provinsi Lampung untuk pembangunan Kota Baru Lampung. Secara rinci bertujuan menjelaskan: (1) kronologi penggarapan lahan oleh petani; (2) klaim penguasaan petani terhadap lahan garapan; (3) dampak penggusuran lahan terhadap kehidupan petani; dan (4) perjuangan petani menggugat kebijakan agraria. METODE Penelitian ini dilakukan terhadap petani penggarap bekas lahan LIPI di Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam,
ADMINISTRATIO
dokumentasi, dan observasi. Pengolahan dan analisis data dilakukan melalui proses reduksi, penyajian dan verifikasi. Untuk mengurangi kemungkinan salah interpretasi digunakan teknik trianggulasi. Dalam penarikan kesimpulan tidak cukup sekedar olah pikir secara teoritis tetapi dibuktikan oleh perilaku, wacana, dan hubungan sosial para aktor yang menjadi subyek penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Kronologi Penggarapan Lahan Sekitar tahun 1970-an PT. Mitsugoro IV mendapat ijin mengelola lahan negara untuk usaha perkebunan. Tetapi pada tahun 1979 perusahaan ini bangkrut dan banyak buruh yang menolak diberi uang pesangon. Pada tahun 1982 sebanyak 82 KK diberi kompensasi lahan pemukiman seluas 300 Ha, dan transmigrasi lokal oleh pemerintah melalui KUPT Unit Bergen Periode Tahun 1984-1989. Pada tahun 1986 telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Transmigrasi Nomor 66/MEN/1986, Tanggal 24 Oktober 1986 tentang pelaksanaan dan pendayagunaan lahan perkebunan bekas dikelola PT. MITSUGORO dan PT. HIRMA. Pada poin 16 Surat Keputusan tersebut dinyatakan rincian peruntukannya, yaitu: 3.640 hektar sebagai lahan Gerhan, 1.000 hektar untuk keperluan Energi (LIPI), 300 hektar untuk perkebunan PTP X, 200 hektar untuk pemukiman Translok, 2.140 hektar untuk pemukiman penduduk setempat, dan 1.054 hektar bekas dikelola PT. HIRMA untuk pemukiman penduduk setempat. Pada tahun 1985 masyarakat mengajukan desa persiapan ke Pemda Kabupaten Lampung Tengah tetapi tidak ditanggapi. Kemudian mereka mengajukan ke Pemda Kabupaten Lampung Selatan dan diterima, dengan kompensasi lahan seluas 300 Ha untuk Pemda Tk. II Lampung Selatan (disebut lahan BAPPEDA). Pada tahun itu terjadi insiden penyerangan oleh beberapa warga yang tidak setuju desa persiapan tersebut masuk wilayah Lampung Selatan. Pada tanggal 2 Mei 1989 dikeluarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
ISSN : 2087-0825
Hartoyo; Resistensi Petani terhadap Kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung 29
Lampung Nomor G/118/B.III/HK/1989 tentang pengesahan Desa Persiapan dan berdiri Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Selatan. Pada daftar Lampiran dijelaskan bahwa wilayah Kecamatan Tanjung Bintang, Desa Induk Sinar Rezeki, dan Desa Persiapan Purwotani dengan luas wilayah 2002 Ha (lahan LIPI masuk wilayah desa Purwotani) dan dengan jumlah penduduk sebanyak 2.286 jiwa. Batas wilayah Utara Way Kandis, batas Selatan Way Hui, batas Barat Sinar Rezeki, dan batas Timur adalah tanah milik Transmigrasi Polri. Peta desa Purwotani dengan luas wilayah 2002 Ha tersebut dengan rincian seluas 1000 Ha adalah lahan garapan LIPI, seluas 300 Ha tanah Transmigrasi lokal, seluas 300 Ha tanah Bappeda, dan seluas 400 Ha adalah tanah wilayah pemekaran desa Purwotani. Luas tanah yang dibagibagi tersebut pada kenyatannya masih belum jelas. Contohnya, lahan LIPI yang luasnya 1000 hektar, pada pengukuran terakhir diklaim hanya seluas 950 hektar. Sekitar tahun 1979 masuk LIPI yang melakukan pengelolaan lahan guna menanam pohon Lamtoro sebagai bahan baku produksi pengolahan biji besi di daerah Lampung Selatan. Keberadaan LIPI ini melanjutkan izin PT. Mitsugoro selama 20 tahun terhitung sejak tahun 1979. Sejak tahun 1989 proyek penanaman pohon Lamtoro tidak dapat berjalan, dan karena itu petani yang berada di sekitarnya melakukan menggarapan areal tersebut untuk bercocok tanam dan mendapat izin tanaman tumpang sari. Kemudian pada tahun 2007 para petani penggarap mendapat binaan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan melalui program GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Lampung) untuk menanam tanaman produksi (Karet, Kelapa Sawit, Jati, dll.). Klaim Petani Terhadap Lahan Garapan Petani sadar bahwa lahan yang mereka garap adalah milik negara dan meraka juga tidak memiliki kekuatan hukum hak milik. Klaim penguasaan petani atas lahan garapan lebih didasarkan pada fakta empiris dan historis
ADMINISTRATIO
sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat setempat. Selain itu, terdapat anggapan ada dukungan dari Dinas Kehutanan. Artinya, partisipasi aktif dalam pelaksanaan proyek GNRHL oleh petani dianggap sebagai bentuk dukungan pemerintah atas penguasaan lahan. Pertama, ada beberapa petani yang sudah menggarap lahan sejak tahun 1960an dan bermukim di lahan tersebut sampai generasi kedua. Ketika lahan belum dikuasai LIPI ada beberapa petani yang sudah lama menggarapnya dengan aman. Alasan historis tersebut oleh petani dianggap sudah kuat. Kedua, petani memperoleh ijin garap. Ketika LIPI beroperasi banyak lahan yang pengelolaannya diserahkan kepada penduduk sekitar untuk tanaman tumpangsari. Mereka diminta menjaga dan memelihara tanaman seluas lahan garapanya, dan mereka juga akan mendapatkan hasil dari proses penebangan dan pembuatan arang. Setelah LIPI tidak beroperasi, banyak petani yang meminta ijin menggarap lahan dan diberi ijin secara lisan. Bukti ijin secara lisan oleh petani sudah anggap sah sesuai dengan norma masyarakat setempat. Selain itu, mereka juga sudah menggarap cukup lama secara aman. Ketiga, hasil membeli dari orang lain, yaitu karena terdapat beberapa petani yang tidak mampu menggarap lahannya kemudian terjadi transaksi jual-beli. Kasus konflik agraria yang bersumber dari penguasaan secara historis dan berdasarkan cara-cara tradisional memang banyak terjadi di Lampung. Ini terjadi karena masih banyak petani yang belum memahami pentingnya memiliki kekuatan hukum positif dalam penguasaan tanah. Kondisi ini dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, politik, kultural, dan sikap mental. Petani masih banyak memakai cara-cara penguasaan secara nyata dan substantif berbasis pada hubungan-hubungan sosial informal, lebih mengedepankan faktor keamanan dan ketenteraman dalam konteks ikatan sosial-psikologis daripada kekuatan hukum formal. Penguasaan lahan secara aktif sudah cukup bagi petani sejauh mereka merasa aman dan diakui
ISSN : 2087-0825
30 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
keberadaannya. Artinya, karena penguasaan lahan pertanian bagi petani lebih bermakna sosio-kultural daripada makna ekonomi, maka legalitas formal bukan menjadi pilihan utama sejauh legalitas sosial sudah terpenuhi. Prakondisi Protes Petani Menggugat Kebijakan Agraria Penggusuran lahan merupakan peristiwa dramatis dan memilukan karena berhubungan dengan keberlanjutan nasib petani. Proses penggusuran lahan berkaitan dengan pemberian uang “Tali Asih” sebanyak Rp 5.000.000,- per hektar. Mereka menggunakan cara persuasif hingga represif meskipun masih berada pada kekerasan simbolik. Sebagian petani merasa tertipu oleh bujuk rayu para pihak pemberi, sedangkan sebagian lainnya merasa dipaksa. Menurut petani bahwa pemberian uang itu dianggap bukan uang “tali asih” tetapi “uang layat” yang tidak pantas diberikan kepadanya. Meskipun petani yang lahannya sudah digusur diklaim bahwa semua sudah setuju dan mendapatkan uang “tali asih”, tetapi terdapat beragam respon dan pengalaman petani terhadap praktek pemberian uang “tali asih”. Pertama, petani dikumpulkan oleh aparat pemerintah desa untuk menerima penjelasan tentang Rencana Pembangunan Kota Baru Lampung, tetapi tujuan utamanya adalah pemberian uang “tali asih”. Kedua, tim mendatangi petani dari rumah ke rumah pada malam hari dengan dikawal oleh aparat keamanan berpakaian lengkap dan membawa senjata api dengan alasan menjaga keamanan. Ketiga, tim mendatangi petani dari rumah ke rumah dengan menyisir mereka yang tidak aktif ikut menjadi anggota organisasi tani. Keempat, dengan tekanan kata-kata: “percuma anda menolak, lahan akan tetap digusur”. Kelima, menggunakan strategi pola “patron-klien”, yakni mempengaruhi para tokoh masyarakat sebagai alatnya. Proses penggusuran lahan dan praktek pemberian uang tali asih berdampak pada perubahan keeratan hubungan sosial. Keharmonisan sosial menjadi terganggu, baik dalam derajat
ADMINISTRATIO
kerenggangan hubungan horizontal maupun vertikal antara petani penggarap dengan aparat desa dan supra desa. Terjadinya gangguan keharmonisan sosial berkaitan dengan bervariasinya sikap terhadap pemberian uang “tali asih”. Bahkan sudah masuk pada retaknya hubungan saudara antara yang menerima dan tidak yang menolak pembangunan Kota Baru Lampung. Terdapat beberapa keuntungan yang diharapkan diperoleh dari kelompok yang setuju dan aktif mendukung pembangunan Kota Baru Lampung. Pertama, berharap mendapat akses material sejalan dengan semakin ramainya wilayah tersebut dari pembangunan fisik. Kedua, terbuka akses pekerjaan dan sebagai konsekuensinya mereka lebih mudah menjadi mitra kerja yang dapat menghasilkan keuntungan materi. Ketiga, menjadi “kaki tangan” para pemberi “tali asih” yang berhubungan langsung dengan petani penggarap, yang dengan jasanya itu mereka mendapatkan imbalan materi. Keempat, sikap dan tindakan mereka diharapkan mempengaruhi (melemahkan) sikap dan perilaku petani, dan dengan sikap dan tindakan itu mereka akan mendapat imbalan materi. Pada lingkup hubungan sosial seharihari sering terjadi ketegangan di antara yang pro dengan yang kontra terkait dengan pemberian uang “tali asih”. Selain itu, derajat gangguan keharmonisan sosial vertikal di tingkat desa dan supra desa yang terbangun akibat sikap dan perilaku para tokoh masyarakat (formal dan informal) sejalan dengan derajat gangguan keharmonisan sosial di tingkat bawah. Cara yang digunakan oleh para tokoh masyarakat dalam mempengaruhi petani agar menerima uang “tali asih” dengan menggunakan “kaki tangan” yang disebut “preman-preman kampung” dengan memperoleh imbalan sejumlah materi. Akibatnya, petani selain berhadapan dengan para tokoh masyarakat juga dengan para “premanpreman kampung” tersebut. Rasa takut, saling curiga, marah, tidak percaya, trauma, frustasi, dan berbagai perasaan negatif lainnya, bahkan sikap fatalistis
ISSN : 2087-0825
Hartoyo; Resistensi Petani terhadap Kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung 31
(pasrah) berkembang dengan cepat. Sikap dan perilaku sensitif petani terhadap pihak luar juga terjadi dan situasi tersebut berpengaruh terhadap derajat gangguan keharmonisan sosial horizontal. Realitas menunjukkan bahwa ada pihak luar yang ingin berperan sebagai “juru selamat” petani, tetapi hanya sebagai kedok untuk mencari keuntungan materi. Sebagian besar lahan garapan petani kurang dari satu hektar dan kelangsungan hidupnya sangat tergantung dari hasil pertanian. Proses penggusuran lahan berdampak pada perubahan kondisi ekonomi petani. Hilangnya lahan garapan berdampak pada tingkat pendapatan rumah tangga yang menurun drastis. Ekonomi rumah tangga mereka menjadi lumpuh, sedangkan pekerjaan lain tidak dapat dipastikan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada sisi lain, mereka juga tidak memiliki keterampilan dan tidak sempat mempersiapkan diri untuk beralih pada pekerjaan lain. Dalam perspektif pembangunan, bahwa penggusuran lahan harus dilakukan. Tindakan ini berdasarkan asumsi bahwa lahan yang digarap petani adalah dikuasai negara. Ketika pemerintah daerah sebagai representasi negara membutuhkan lahan untuk pembangunan, maka lahan tersebut dapat diambil sewaktu-waktu sekalipun dengan cara paksa. Terkait dengan penguasaan lahan, pada sisi lain, petani di dituduh sebagai “penumpang gelap” atau bahkan dianggap sebagai “perambah hutan”, sehingga berhak untuk diusir. Tuduhan dan anggapan seperti itu konsisten dengan sikap dan tindakan aparat terhadap petani yang cenderung represif. Sebagai konsekuensinya adalah petani sebagai pihak yang lemah tidak dipersiapkan dan juga tidak sempat mempersiapkan diri dan tidak mampu melakukan pekerjaan lain sebelum lahan garapannya digusur. Uang “tali asih” yang diterima tidak cukup untuk mengatasi kondisi ekonomi rumah tangga mereka yang turun drastis. Alih-alih uang tersebut dapat untuk mencari pekerjaan baru sebagai modal kerja, untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari mereka
ADMINISTRATIO
selama pasca penggusuran saja tidak mencukupi. Pola strategi adaptasi pekerjaan yang dilakukan petani setelah lahannya digusur lebih tampak sebagai tindakan yang diarahkan sekedar untuk mempertahankan hidup, bukan pekerjaan yang sudah dipersiapkan jauh-jauh dengan baik. Upaya tersebut antara lain mengandalkan pada usaha peternakan sapi dan kambing (ada yang sekedar gaduh), menjual harta kekayaannya, menjadi buruh tani, berdagang kecilkecilan (seperti sayuran), menjadi buruh perusahaan, mencari pekerjaan di kota, dan mencari lahan pertanian di provinsi lain (seperti ke Jambi dan Palembang). Dampak psikologis lebih ditujukan pada derajat tekanan dan beban psikologis petani setelah kehilangan lahan garapan sebagai sumber mata pencaharian utamanya. Dampaknya dapat dilihat dari pikiran, perasaan, sikap dan perilaku mereka dalam menghadapi kenyataan hidup yang menurun secara drastis. Hilangnya lahan garapan berdampak pada kondisi ekonomi dan berpengauh terhadap tekanan psikologis petani. Tekanan ekonomi ditambah dengan tekanan-tekanan eksternal lainnya, seperti jumlah uang “tali asih” yang sangat tidak memadai dan perlakuan yang cenderung memaksa di dalam mengambil alih lahan garapan, semua menambah beban psikologis tersendiri bagi petani. Pertama, proses pemberian uang “tali asih” dengan menggunakan berbagai cara, meskipun masih termasuk kategori tindakan persuasif, tetapi dilihat dari posisi para aktor yang lebih tinggi kedudukannya di dalam struktur sosial kemasyarakatan, maka sikap dan tindakannya itu secara tidak langsung cenderung mendekati unsur represif. Bagi petani yang dianggap “membandel” maka pendekatan represif cenderung digunakan meskipun masih sebatas pada “kekerasan simbolik”. Contohnya menggunakan katakata yang mengandung unsur ancaman dan hadirnya aparat keamanan berpakaian lengkap yang menakutkan petani. Kata-kata dan tindakan itu dianggap tidak memberikan solusi terbaik
ISSN : 2087-0825
32 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
bagi petani untuk mengatasi kelanjutan hidupnya, tetapi mengandung makna paksaan untuk menerimanya. Dampaknya terhadap petani adalah munculnya stress, trauma, pasrah, sampai dengan meninggal dunia secara mendadak. Kedua, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat pemerintah, meskipun secara tidak langsung, dipersepsi mengandung makna tekanan psikologis tersendiri bagi petani. Contohnya, hadirnya aparat keamanan dalam pemberian uang “tali asih” yang mendatangi rumah-rumah dengan membawa senjata dan berpakaian lengkap, hadirnya para “preman kampung”, dan seringnya pesawat yang terbang rendah berpatroli melintasi di atas desa-desa sekitar, semua berpengaruh terhadap meningkatnya derajat tekanan psikologis petani yang mengandung makna (pesan) agar para petani dan pendukungnya tidak berbuat macam-macam. Sempat juga besedar surat edaran dari aparat keamanan yang “mengandung unsur ancaman”. Makna inti dari isi surat edaran tersebut adalah agar para pihak tidak memprovokasi masyarakat (petani) untuk menolak pembangunan Kota Baru Lampung. Tekanan-tekanan psikologis, seperti kecemasan, ketakutan, pendapatan yang menurun drastis bersamaan dengan hilangnya lahan garapan, uang “tali asih” yang tidak memadai, semua menyebabkan petani mengalami kesedihan luar biasa dan merasa diperlakukan tidak adil. Tekanan-tekanan dan beban psikologis yang dialami petani, sebagian diekspresikan dengan sikap dan perilaku “pasrah” (fatalistis) dan sebagian lainnya mengekspresikan dengan melakukan tindakan perlawanan dan terus berjuang melalui wadah Gerakan Petani Lampung (GPL). Tujuan yang ingin dicapai sangtat mendasar dan prinsip, yakni mencari dan mendapatkan keadilan bagi keberlanjutan hidupnya. Petani tetap pada pendiriannya untuk terus berjuang memperoleh hak garap atas tanah pertanian. Keteguhan pendirian tersebut telah melahirkan suatu situasi yang disebut dengan “sub kultur oposisi petani”.
ADMINISTRATIO
Konsep “sub kultur” dapat dimaknai sebagai seperangkat perilaku dan kepercayaan sekelompok orang yang berbeda dan yang membedakan mereka dari kultur dominan di mana mereka menjadi bagiannya. Sedangkn konsep “oposisi” menunjuk pada pandangan, sikap dan perilaku yang bertentangan dengan pihak lain yang dianggap sebagai lawan. Jadi “sub kultur oposisi petani” diartikan sebagai realitas sosio-kultural melawan dominasi yang direproduksi secara aktif dalam struktur schemata petani, di dalam ruang-ruang interaksi dan berkembang selama persoalan pertanahan struktural berlangsung. Sub kultur oposisi petani lebih dinamis dibanding kultur dominan, tetapi sifatnya kurang cair (fluid) dibanding frame kolektif. Di dalam sub kultur oposisi petani selain terdapat akumulasi ketidakpuasan juga terdapat penguatan kesadaran konfliktual sejalan dengan kegagalan atas perjuangan yang pernah ditempuh. Terbentuknya sub kultur oposisi petani mambuka ruang bagi meningkatnya situasi hubungan agraria konfliktual yang berkembang di kalangan petani. Di dalam situasi hubungan tersebut sudah ada kesadaran oposisional petani tetapi masih berada pada derajat kesadaran konfliktual belum sampai pada kesadaran politik. Dimaksud kesadaran oposisional (oppositional consciousness) menurut Morris, dkk (1992:363) menunjuk pada seperangkat ide dan kepercayaan “memberontak” yang dikonstruksi dan dikembangkan oleh kelompok tertekan dengan tujuan mengarahkan perjuangannya untuk merusak atau meruntuhkan, mereforma atau menggulingkan suatu sistem dominasi. Sub kultur oposisi petani berkembang sejalan dengan berkembangnya situasi hubungan konfliktual dan tekanan struktural. Situasi ini mendorong rasa “frustasi aktif” (ketidakpuasan) dan meningkatkan ketegangan struktural terutama antara petani dengan pemerintah daerah. Kontinuitas tahapan ke dalam tindakan kolektif dalam bentuk protes petani tidak sepenuhnya didasarkan pada
ISSN : 2087-0825
Hartoyo; Resistensi Petani terhadap Kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung 33
deprivasi absolut (obyektif), tetapi juga secara bersama-sama didasarkan pada deprivasi relatif (subyektif) dan faktor lainnya. Tidak semua partisipan dalam aksi kolektif petani adalah miskin dan tidak memiliki lahan pertanian. Akan tetapi, realitas tersebut merupakan pertanda bahwa sistem hubungan agraria dominan tidak lagi kebal (immune) dan bahkan dapat mendorong berkembangnya perilaku oposisi petani. Kesadaran konfliktual petani tumbuh sejalan dengan berkembangnya sub kultur alternatif dengan segenap unsur-unsurnya yang terwujud dalam sub kultur oposisi petani. Ini kemudian menjadi suatu “tool kit” yang sangat berguna untuk melakukan mobilisasi sumberdaya dan mengkonstruksi tindakan-tindakan strategis dalam perjuangan petani selanjutnya. Mobilisasi Sumberdaya: Petani Berjuang Menuntut Keadilan Menurut petani, penggarapan lahan bekas garapan LIPI tidak dapat dikatakan sebagai perambah sebagaimana yang dituduhkan dengan beberapa alasan. Pertama, petani mendapat ijin garap dari LIPI. Kedua, diketahui dan diijinkan oleh Dinas Kehutanan, dan pada tahun 2007 menjadi mitra dalam program GNRHL. Ketiga, ada sebagian petani yang sejak tahun 1960-an sudah menggarap lahan tersebut. Keempat, beberapa warga mendapatkan legitimasi (sertifikat) dari Calon Bupati terpilih di Lampung Selatan sebagai petani yang baik. Sebaliknya petani juga menuduh pemerintah daerah tidak murni membangun untuk kepentingan negara tetapi juga untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Pertama, diduga Proyek Pembangunan Kota Baru Lampung sejak awal tidak dilakukan kajian AMDAL secara transfaran (terbuka) dan tidak dilakukan Uji Publik terhadap kebijakan pembangunan tersebut. Kedua, tidak ada proses land clrearing terhadap petani penggarap. Ketiga, pada kenyataannya Gubernur Lampung bukan hanya berencana memanfaatkan lahan untuk membangun perkantoran provinsi sebagaimana yang diargumenkan sebagai
ADMINISTRATIO
alat pembenar, tetapi juga bekerjasama dengan para pengusaha berencana membangun perumahan mewah. Sub kultur oposisi petani menguat dan menampakkan dirinya setelah berhasil dibentuk organisasi tani sebagai wadah perjuangan petani, yang disebut dengan Gabungan Petani Lampung (GPL). Berdirinya GPL ini tidak dengan sendirinya diprakarsai oleh petani tetapi juga diperkuat oleh para aktor intelektual dan didukung oleh berbagai organisasi masyarakat sipil. Pada tanggal 28 Oktober 2010 para petani penggarap yang di Kecamatan Jati Agung melakukan aksi unjuk rasa di kantor DPRD Provinsi Lampung. Mereka diterima oleh Komisi I dengan tuntutan menolak Pembangunan Kota Baru Lampung dan menolak pemberian ”Tali Asih” sebesar Rp 2.000.000 per hektar. Hasilnya, para anggota dewan akan mempelajari permasalahan tersebut. Pada tanggal 22 Nopember 2010 dilakukan aksi ke Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. Aksi tersebut menghasilkan kesepakatan bersama dan diperoleh Surat Edaran Dinas PU Bina Marga yang isinya meminta petani untuk mengecek kembali hasil pengukuran lahannya. Kemudian, Camat Jati Agung dengan diiketahui oleh para Kepala Desa mengundang petani pengarap untuk mengambil uang ”Kerohiman” atau ”Tali Asih” bukan lagi sebesar Rp 2.000.000 tetapi naik menjadi Rp 5.000.000 per hektar Tanpa ada surat bukti pengalihan hak dari petani penggarap kepada Pemerintah Daerah dan dengan melalui berbagai cara termasuk tekanan-tekanan sampai dilakukan penggusuran lahan. Dari data Dinas Kehutanan Provinsi Lampung diketahui bahwa lahan tersebut merupakan Hutan Produksi Tetap (HPT) yang dibuktikan dengan adanya Program GRHNL. Diskursus mengenai ketidakadilan sampai pada upaya membandingkan pelaksanaan proyek pembangunan yang sama di provinsi lain. Contohnya pelaksanaan proyek Pemindahan Kota Baru Provinsi Gorontalo menggunakan lahan tidak produktif, sedangkan di Lampung menggunakan lahan subur, produktif, dan aktif digarap petani.
ISSN : 2087-0825
34 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
Semakin menguatnya sub kultur oposisi petani dalam wadah GPL ditandai adanya upaya penyatuan kebulatan tekad untuk berjuang. Pada tanggal 27 Januari 2011, bersama dengan beberapa organisasi masyarakat sipil lain menggelar acara “Rapat Akbar” di wilayah bekas lahan garapan dengan melancarkan slogan-slogan “Stop Pembangunan Kota Baru Lampung sampai petani sejahtera” dan “Tolak Investor Pembangunan Kota Baru Lampung”. Dari argumen-argumen yang dikemukakan sangat jelas bahwa hampir semua petani pada dasarnya tidak setuju pemberian uang tali asih, dan mereka memiliki beberapa tuntutan utama. Pertama, petani berupaya menolak penggusuran karena sebagian besar lahan sudah ditanami, terutama kelapa sawit, karet, dan singkong. Kedua, setelah lahan digusur mereka tetap berupaya dapat menggarap lahannya kembali, melalui pendudukan lahan (reclaiming) dan melakukan serangkaian protes kepada lembaga eksekutif dan legislatif, serta mencari dukungan kepada beberapa partai politik. Ketiga, mereka menghendaki penggantian lahan garapan yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Keempat, mereka menuntut uang “tali asih” yang sesuai untuk mempertahankan hidupnya, baik untuk membeli atau menyewa lahan garapan yang baru, atau untuk membuka usaha lain yang memadai. Pada acara Rapat Akbar, petani menyuarakan lima tuntutan utama yang wilayahnya bukan hanya pada lahan bekas garapan LIPI, tetapi pada lahan garapan petani lainnya yang pernah diperjuangkan sejak tahun 1998. Kelima tuntutan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Menghentikan penggusuran lahan/tanah rakyat di Desa Purwotani; (2) Sertifikasi sekarang juga tanah 6 desa di Register 40 Gedung Wani (Sinar Rezeki, Purwotani, Sidoarjo, Karang Rejo, Sumber Jaya, Margolestari); (3) Mendesak Pemda Lampung Selatan dan Pemerintah Provinsi (Gubernur Lampung) untuk mengkaji ulang Proyek Kota Baru yang akan menyengsarakan kehidupan petani; (3) Meminta kepada Dinas Kehutanan Provinsi
ADMINISTRATIO
Lampung dan Menteri Kehutanan RI untuk tetap mempertahankan lahan bekas garapan LIPI sebagai Hutan Produksi Tetap dan dikelola petani; (4) Kepada elemen rakyat yang sudah bergabung untuk tetap konsisten terhadap perjuangan petani Jati Agung. Dalam rangkaian perjuangan petani tersebut, mereka juga melakukan unjuk rasa ke Kementerian Kehutanan RI menuntut ditinjau kembali Kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung yang menyengsarakan petani. Selama tiga hari menginap di sana dan akhirnya diterima oleh Menteri dan dijanjikan akan dilakukan meninjauan kembali lahan yang telah digarap petani. Rangkaian perjuangan petani tidak hanya sampai disitu. Mereka juga melakukan aksi unjuk rasa kepada institusi DPRD Lampung Selatan guna meminta dukungan para anggota dewan agar memperhatikan nasib petani dengan melakukan desakan perubahan kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung. Selama tiga hari mereka berunjuk rasa dan menginap di lokasi tersebut, dan hasilnya oleh para anggota dewan berjanji akan memberikan dukungan terhadap tuntutan petani. Serangkaian strategi aksi protes juga dilakukan guna mempengaruhi persepsi publik dengan menggunakan ruang media massa cetak dan elektronik serta aksi-aksi lainnya dengan turun ke jalan. Di dalam aksi-aksi tersebut mereka melancarkan tuntutan yang sama. Aksi-aksi tersebut sebagai bentuk perjuangan yang juga dimaksudkan untuk lebih dapat melakukan tekanan-tekanan secara sosiopsikologis dan politik kepada para pengampu kebijakan. Stagnasi Perjuangan Petani Berbagai aksi protes petani yang telah dilakukan ternyata masih belum dapat mempengaruhi sikap pihak-pihak yang berwenang untuk merubah kebijakan yang memperhatikan nasib petani. Kemudian para petani menggunakan strategi aksi lain, yakni mencoba membuka peluang politik dengan melakukan serangkaian pendekatan dengan partai politik agar
ISSN : 2087-0825
Hartoyo; Resistensi Petani terhadap Kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung 35
mereka mau memberikan dukungan. Dukungan yang diharapkan adalah bagaimana partai politik melalui wakilwakilnya di parlemen dapat melakukan tekanan, kontrol dan evaluasi terhadap kebijakan Pembangunan Kota Baru Lampung. Banyak partai politik yang didatangi terutama yang mereka anggap memiliki kekuatan politik yang sangat berarti di dalam proses kegiatan para aktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kebijakan pembangunan, baik di lingkungan legislatif maupun eksekutif. Secara simbolik dukungan moral dari beberapa partai politik tersebut sudah diperoleh, tetapi dukungan secara riil tidak tampak dilakukan. Terdapat keragaman derajat respon positif dari beberapa partai politik yang telah didatangi untuk diminta dukungannya. Ada yang lebih responsif dalam mendukung perjuangan petani, tetapi ada juga yang masih perlu pendekatan lebih lanjut. Para elit aktor petani beranggapan bahwa kekuatan politik di dalam lingkungan legislatif dan eksekutif dapat dipengaruhi melalui berbagai aktivitas yang mungkin dapat dilakukan oleh partai-partai politik, karena logika rangkaian kekuatan di antara institusi-institusi tersebut dapat dijelaskan dan dapat dilihat dalam perilaku para aktornya secara nyata. Perjuangan petani melalui para elit aktornya terus dilakukan, meskipun dukungan politik yang diharapkan dari pada penguasa belum nampak nyata hasilnya. Besarnya uang “tali asih” masih tetap lima juta, pembangunan Kota Baru Lampung terus berjalan, tanah pengganti yang dijanjikan belum jelas, dan secara nyata di lapangan masih terjadi tekanantekanan sosial yang dapat mempengaruhi persepsi, sikap dan tindakan petani untuk berjuang. Pada titik akhir yang dikhawatirkan adalah jika tekanantekanan pihak luar dan belum jelasnya hasil perjuangan tersebut dapat memperlemah semangat juang petani dan para elit aktor strategis petani di kemudian hari.
ADMINISTRATIO
KESIMPULAN Kronologi penggarapan lahan eks. LIPI oleh warga masyarakat setempat dapat ditelusuri mulai dari tahun 1960-an sebagai dampak dari kebijakan pembukaan lahan pertanian dikawasan hutan oleh Dinas Kehutanan. Kemudian lahan tersebut dikuasai oleh dua perusahaan, yakni PT. Hirma dan PT. Mitsugoro. Setelah kedua perusahaan tersebut tidak beroperasi kemudian sebagian lahannya digarap oleh LIPI dan dalam pelaksanannya mengijinkan warga masyarakat menggarap lahan dengan cara tumpang sari. Setelah LIPI tidak beroperasi, kemudian di garap sepenuhnya oleh petani. Alas hak petani atas lahan tersebut hanya sebatas pada penguasaan untuk menggarap. Status penguasaan lahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum formal, sehingga petani sangat rentan terhadap setiap upaya penggusuran. Penguasan petani terhadap lahan tersebut didasarkan pada fakta historis, ijin lisan oleh yang yang mereka anggap berwenang, dan transaksi jual-beli dengan penggarap atau yang menguasai lahan sebelumnya. Petani penggarap merasa memperoleh legitimasi lebih kuat setelah mendapat “dukungan” dari Dinas Kehutanan melalui proyek GNRHL. Tindakan penggusuran lahan garapan petani untuk Proyek Pembangunan Kota Baru Lampung berdampak pada menurunnya derakat keharmonisan hubungan sosial horizontal dan vertikal baik pada tataran desa maupun supra desa. Selain itu, tekanan psikologis petani meningkat dan kualitas kehidupan ekonomi menurun drastis. Berbagai kondisi terpuruknya kehidupan dan ketidakpuasan petani kemudian terkristalisasi dalam bentuk “sub kultur oposisi petani”. Terbentuknya situasi ini sebagai prakondisi lahirnya protes petani dalam memperjuangkan hak-haknya. Petani terus berjuang menyampaikan tuntutan-tuntutannya melalui wadah organisasi tani (GPL). Dinamika internal GPL selain ditentukan oleh kualitas dan konsistensi dukungan struktur sumberdaya mobilisasi, juga oleh
ISSN : 2087-0825
36 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4, No.1, Januari – Juni 2013
derajat responsif berbagai pihak yang memberikan dukungan. Karena posisi tawar GPL masih belum setara dengan kekuatan pihak lawan (pemerintah daerah) dalam melakukan tekanantekanan, maka perubahan kebijakan yang dicapai belum sesuai dengan yang diharapkan.
Silaen, Victor. 2006. Perlawanan Komunitas Lokal pada Kasus Indorayon di Toba Samosir: Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: IRE Press.
DAFTAR PUSTAKA Brohman, John 1996. Popular Development: Rethinking the Theory and Practice of Development. Blackwell Publishers Ltd. Flor,
Alexander G (Editor). 2002. Communication and Culture, Conflict and Cohesion. Philippine: Foundation for Development and Communication.
Hashim, Wan. 1984. Petani Dan Persoalan Agraria. Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti SDN. BHD. Hatta, Meutia. 1991. Proyek Pembangunan Pemindahan Kampung dan Stres Pada Masyarakat Marunda Besar, Jakarta: Utara. Jakarta: Universitas Indonesia, Disertasi. Koentowidjojo. 1980. Social Change in An Agrarian Society: Madura. PhD. Disertation. Malik, Ichsan; Boedhi Wijardjo; Noer Fauzi dan Royo Antoinette. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumberdaya Alam. Jakarta: Yayasan Kemala. Morris, D dan Muller, Carol McCurg (Editors). 1992. Frontier in Social Movement Theory. New. Haven and London: Yale University Press. Ngadisah. 2003. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua. Yogyakarta: Pustaka Raja.
ADMINISTRATIO
ISSN : 2087-0825