INTERAKSI EKSEKUTIF-BIROKRASI DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Alamsyah Dosen Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Lampung ABSTRACT This project seeks: (a) to describe the pattern of nexus executives-bureaucracy in Bandar Lampung municipality; (b) to analyze what are the determinants that influence those patterns; (c) to explain the implication of nexus executives-bureaucracy pattern to public policy process. It is probably useful: (a) to give new understanding to the political behavior of government agency, especially the institution of executive and bureaucracy, in local politics based on Law of 22/1999; (b) to recommend conceptual framework in order to identifying deficiency decentralization policy under Law of 22/1999; (c) to stimulate new ideas among post-graduated student, especially Public Administration Department, University of Gadjah Mada. This project applies qualitative-phenomenology as a method. Sample determined by purposive sampling. Technique of data gathering, data analyze, and verification of result research uses numerous techniques that developed in qualitative-phenomenology paradigm. Various determinants caused the integration of executives-bureaucracy in Bandar Lampung municipality. First, the executive character has decisions-making power, bureaucratic leaderships, charismatic, and very powerful in course of policymaking. Second, the character of bureaucracy maintaining narrow perspective, loyalties, mal-administration that legitimized culturally. Bureaucracy develops social interaction through the informal and formal patterns. Third, central governments remain to hold the substantive authority deal with to alternatives of procedure and substantive policy process in the bureaucracy at local government. Fourth, the bargain power of legislative has low when meet to executives and bureaucracy. Fifth, institution of state (as a representing by executives and legislative institution), remains too dominant in course of public policy. The executives-bureaucracy nexus tend to elitist and incremental. Public participation was low, substantive public policy does not serve public interest and abuses of power often happened.
Key Words: executive-bureaucracy nexus, politics, bureaucracy character PENGANTAR Disamping institusi eksekutif dan legislatif, proses politik di tingkat pemerintahan lokal tidak bisa mengesampingkan peran birokrasi sebagai salah satu aktor politik di daerah. Ketika periode rezim Orde Baru birokrasi sangat dominan karena sosok eksekutif lokal yang kuat dan pengaruh sentralisasi program-program pembangunan yang menekankan birokrasi lokal sebagai mitra utama Pemerintah Pusat. Kini, ketika institusi legislatif menguat dan peran Pemerintah
Pusat semakin terbatas, adakah perilaku politik birokrasi adalah tetap atau mengalami perubahan? Dalam rangka memahami interaksi eksekutif-birokrasi beberapa teoritisi administrasi publik mengajukan beberapa model, framework konseptual, atau paradigma yang berbeda. Modelmodel ini bertolak dari pertanyaan sederhana: bagaimana kedudukan birokrasi terhadap eksekutif? Apakah birokrasi itu sejajar dengan eksekutif (sublation of the executive)? Atau, sebaliknya,
1
birokrasi subordinasi eksekutif (executive ascendancy)? Ciri khas kategori model sublation of power adalah birokrasi dan eksekutif sama-sama terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Tetapi, peran kedua aktor ini dalam proses kebijakan publik tetap berbeda. Di lihat dari indikator materi kontribusi, eksekutif biasanya mengedepankan kepentingan, nilainilai, sensivitas politik sedangkan birokrasi mengedepankan fakta dan pengetahuan. Di lihat dari indikator fokus perhatian, eksekutif cenderung menekankan artikulasi kepentingan-kepentingan yang tidak terorganisir dengan baik sedangkan birokrasi mengartikulaskan kepentingan-kepentingan yang terorganisir dengan baik (Aberbach, et.al., 1982). Mengapa posisi birokrasi sejajar dengan eksekutif? Menurut Ledivina V. Carino (1992), jika situasi ini terjadi di negara-negara demokratis, maka kesejajaran birokrasi dengan eksekutif disebabkan karena motivasi untuk (1) menjaga kepentingan publik [public interest] dari ‘serangan’ politik yang dipersepsikan tidak responsif terhadap publik dan dunia yang kotor dan (2) mempertahankan posisi kekuasaan mereka. Argumen ini sejalan dengan model Pluralistdemocracy (Douglas Yates, 1982) dan model Pluralism (Dunleavy & O’leary, 1987) menganggap kesejajaran itu terjadi karena posisi birokrasi publik sebagai salah bentuk pusat kekuasaan yang bersifat netral. Sebagai pusat kekuasaan, birokrasi terlibat dalam proses kebijakan publik yang bercirikan tawar menawar, kompetisi, dan konflik antar aktor yang terlibat di dalamnya sebagai ‘a
guardian of constitution’ atau ‘safeguard the public interest’. Sebaliknya, jika situasi ini terjadi negara-negara otoritarian, maka faktor utama yang menyebabkan kesejajaran ini adalah kompatibilitas kepentingan di antara keduanya. Kompatibilitas kepentingan itu tercermin dari fakta bahwa baik otoritarianisme maupun birokrasi sama-sama menyukai konsentrasi kekuasaan. Dalam bahasa model Elitism, kesejajaran ini terjadi karena derajat kompatibilitas antara birokrasi dan demokrasi yang cenderung bersifat oligarchy atau diatur oleh sedikit orang (Dunleavy & O’leary, 1987). Penjelasan berbeda tentang fenomena kesejajaran eksekutifbirokrasi berasal dari model New Right, model Marxism, dan model Neo-pluralism. Bagi model New Right, kesejajaran itu disebabkan karena setiap aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik, termasuk birokrasi dan eksekutif, didorong oleh faktor untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka dan bukan mencapai tujuantujuan sosial. Sementara itu, model Marxism menganggap kesejajaran ini terjadi karena birokrasi publik merupakan bagian dari lingkaran the rulling class. Sedangkan model NeoPluralism berargumen bahwa kesejajaran birokrasi disebabkan karena sistem kebijakan publik yang bersifat interactive policy system yang berbentuk multiple networking agen-agen pemerintah dan komunitas kebijakan (Dunleavy & O’leary, 1987). Upaya memahami kesejajaran birokrasi dengan eksekutif juga dikembangkan, seperti diungkapkan Martin Laffin (1997), oleh model Agency, model Bureaucratic-politics,
2
dan model Institutionalism. Model agency melihat hubungan antara institusi politik dan birokrasi sebagai konflik kepentingan dimana pihak birokrasi merupakan pihak yang menguasai informasi. Akibatnya, aliran informasi menjadi asimetris. Fakta inilah yang menjadi sumber kekuatan tawar menawar birokrasi ketika berinteraksi dengan lembaga politik. Di sisi lain, lembaga politik memiliki kekuasaan untuk menentukan otoritas agen-agen birokrasi dan pola insentif mereka. Titik temu antara dua sumber kekuatan ini merupakan fenomena yang menjadi kajian utama model agency dalam memahami interaksi lembaga politik versus birokrasi. Model kedua, bureaucratic politics, melihat hubungan antara lembaga politik dan birokrasi sebagai proses tawar menawar antar individu yang perilakunya ditentukan oleh kehadiran afiliasi birokratis, partisan yang hadir dalam interaksi, kontrol atas sumberdaya dan tingkat kemampuan persuasif. Selain mengandalkan kekuatan politik, masing-masing aktor juga dipengaruhi – meminjam istilah Edwards Rhodes (1994) – seperti dikutip Martin Laffin (1997) sebagai interest-driven (kebijakan dipengaruhi oleh kepentingan masing-masing aktor) dan ideadriven (kebijakan dipengaruhi oleh persepsi masing-masing tentang kendala, prospek dan implikasi kebijakan di masa depan). Dalam konteks ini, Edwards Rhodes berkesimpulan bahwa para aktor kebijakan lebih dipengaruhi oleh idea-driven ketimbang interestdriven. Sedangkan model ketiga, institutionalism, menginterpretasikan pola-pola perilaku aktor yang terlibat
dalam proses interaksi tersebut berasal dari proses historis dan kelembagaan tertentu. Asumsi mendasar model ini adalah bahwa realitas sosial merupakan konstruksi sosial dan organisasi memainkan peran vital dalam proses rekonstruksi realitas sosial tersebut. Teoritisi institutionalism menganggap bahwa outcome organisasi bukan merupakan hasil bargaining antar individu – seperti yang dipahami model bureaucratic politics – tetapi merupakan output organisasi. Dengan demikian proses kebijakan harus dikaitkan dengan bagaimana proses setiap aktor memposisikan diri dalam sistem sosial dan berinteraksi (konflik, kooptasi, dan kooperasi, dan sebagainya) dengan isi dan bentukbentuk proses kebijakan publik yang ada. Sementara itu, ciri khas model executive ascendancy adalah birokrasi tidak terlibat dalam proses kebijakan publik. Sosok birokrasi dimaknai dalam perspektif instrumentalis; sebagai implementor kebijakan. Mengapa subordinasi ini terjadi? Menurut penganut model administrative-efficiency, subordinasi birokrasi ini terjadi karena sosok eksekutif memainkan peran penting dalam proses koordinasi antar unit-unit birokrasi pemerintah (Douglas Yates, 1982). Di negara yang menerapkan sistem pemerintahan demokratis, subordinasi ini terjadi norma demokrasi menginginkan birokrasi tampil sebagai institusi yang netral dari pengaruh kekuatan-kekuatan politik. Di negara yang bercirikan otoritarian, subordinasi terjadi karena konsentrasi kekuasaan politik dalam pemerintahan otoritarian yang mendominasi
3
keseluruhan aspek kehidupan sosial-politik masyarakat (Carino, 1992). Terakhir, subordinasi juga disebabkan karena pembagian tugas yang jelas antara fungsi eksekutif dan fungsi birokrasi yakni: eksekutif – sebagai politisi – memformulasikan kebijakan dan birokrasi – sebagai administrator – mengimplementasikan kebijakan (Aberbach, et.al., 1981) CARA PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain riset kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Data primer penelitian ini diperoleh dari pelbagai sumber sebagai berikut: (1) Walikota Bandar Lampung; (2) Pimpinan DPRD Kotamadya Bandar Lampung; (3) Ketua dan anggota Komisi A DPRD Kotamadya Bandar Lampung; (4) Sekretaris Walikota Bandar Lampung; (5) Dinas di lingkungan Kotamadya Bandar Lampung yang merupakan mitra kerja Komisi A; (6) Pemimpin Redaksi SKH Lampung Post; (7) Pemimpin Redaksi SKH Radar Lampung; (8) minimal 3 (tiga) Lembaga Swadaya Masyarakat yang berdomisili dan concern terhadap isu-isu pembangunan daerah di Kotamadya Bandar Lampung; (9) minimal 3 (tiga) asosiasi pelaku pasar yang melakukan aktivitasnya di wilayah Kotamadya Bandar Lampung. Poin (8) dan (9) sengaja ditentukan minimal mengingat proses pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan atas pertimbangan kecukupan tingkat kualitas dan kuantitas data. Sementara itu, data sekunder akan dikumpulkan sejauh terkait dengan fokus penelitian.
Data dikumpulkan dengan teknik observasi lapangan, dokumentasi data-data sekunder, dan wawancara mendalam. Data kemudian dianalisa melalui fase reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), penarikan kesimpulan (conclusion drawing). Data penelitian diperika, dicek, dan diverifikasi dengan teknik triangulasi, pengecekan sejawat, kecukupan referensi, kajian kasus negatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter eksekutif, karakter birokrasi, dan peran yang dimainkan lembaga legislatif, komisi legislatif, serta aktor-aktor non-state (para pelaku pasar dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat) seperti diuraikan di atas merupakan dasar terbentuknya pola interaksi eksekutif dan birokrasi di Kota Bandar Lampung. Dalam penelitian ini, pola interaksi eksekutif-birokrasi yang muncul ke permukaan diistilahkan dengan konsep integrasi (lihat, Bagan 1). Per defenisi, integrasi merujuk pada proses penyatuan atau sintesa di antara dua unsur yang memiliki karakteristik berbeda. Unsur pertama adalah eksekutif yang mewakili dunia politik (ranah formulasi kebijakan). Unsur kedua adalah birokrasi yang mewakili dunia administrasi (ranah implementasi kebijakan) yang identik dengan serangkaian sistem dan prosedur administratif. Meskipun berbeda karakter, tetapi karakter eksekutif dan karakter birokrasi ini bersifat compatible antara satu dengan yang lainnya. Kompatabilitas karakteristik ini diwarnai kecenderungan dominasi salah satu unsur yang terlibat dalam
4
proses integrasi. Di Kota Bandar Lampung, integrasi diwarnai dominasi eksekutif terhadap birokrasi publik. Secara normatif, pengertian eksekutif pada level pemerintahan daerah merujuk pada sosok bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota. Ide ini berbeda dengan apa yang dipratekkan sebelumnya, terutama selama rezim Orde Baru melalui UU No. 54/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah di Indonesia. Secara kelembagaan, eksekutif di Kota Bandar Lampung tidak jauh berbeda dengan kemauan normatif UU No. 22 Tahun 1999. Eksekutif terdiri dari Walikota dan Wakil Walikota. Keduanya berasal dari background yang berbeda. Walikota berasal dari kalangan birokrat dan sosok Wakil Walikota berasal dari sektor swasta. Ada beberapa karakteristik utama yang dimiliki eksekutif di pemerintah Kota Bandar Lampung. Pertama, meskipun aturan normatif melegalkan kehadiran wakil walikota sebagai representasi kekuatan politik tertentu, tetapi decisionmaking power tetap dipegang walikota. Eksekutif adalah walikota, dan bukan walikota plus wakil walikota. Kedua, eksekutif cenderung menampilkan gaya kepemimpinan yang birokratis. Prosedur dan mekanisme kelembagaan yang terkandung di tubuh birokrasi publik menjadi instrumen utama proses pengambilan kebijakan publik. Berhadapan dengan rigiditas struktur dan sistem pengambilan keputusan ala birokrasi publik ini, walikota Bandar Lampung memiliki hak veto dalam menentukan keputusan akhir setiap kebijakan publik yang ditawarkan birokrasi
publik. Ketiga, di kalangan birokrat pemerintah kota Bandar Lampung, walikota adalah sosok yang kharismatik. Nuansa ini lahir karena sebelumnya ia pernah menduduki jabatan sebagai sekretaris daerah kota Bandar Lampung. Situasi ini melahirkan efek psikologis di kalangan birokrat pemerintah kota Bandar Lampung yang menganggap sosok walikota bukan sebagai ‘orang luar’. Keempat, dalam proses pembuatan kebijakan publik, eksekutif lebih powerful ketimbang legislatif. Jika legislatif hanya selalu mengedepankan faktor ‘dinamika aspirasi masyarakat’, maka eksekutif selalu berpedoman pada aturan-aturan normatif yang ditetapkan institusi pemerintahan yang lebih tinggi. Sementara itu, secara normatif, UU No. 22/1999 menyebut birokrasi dengan istilah ‘perangkat organisasi daerah’. Sejujurnya, birokrasi pemerintah daerah itu diatur oleh Pusat. Pada awal implementasi UU No. 22/1999, Pusat memberikan kebebasan yang sangat luas kepada Daerah dalam merancang struktur organisasi perangkat daerah. Hal ini terlihat tertuang jelas dalam Bab VIII Pasal 22 PP No. 84/2000 yang berbunyi: nomenklatur, jenis dan jumlah unit organisasi di lingkungan Pemerintah Daerah ditetapkan oleh masing-masing Pemerintah Daerah berdasarkan kemampuan, kebutuhan dan beban kerja. Akibatnya, elit politik di Daerah cenderung seenaknya merancang ‘kabinetnya’. Ada kesan kuat, elit politik di Daerah memanfaatkan kebijakan ini sebagai instrumen bagi-bagi jabatan ke para pendukung dan kroninya. Apalagi, sebagian besar elit politik di Daerah
5
memiliki latar belakang sebagai birokrat. Birokrasi di lingkungan Pemkot Bandar Lampung memiliki karakteristik sebagai berikut: pertama, ide dan pemikiran birokrat sangat dipengaruhi apa dan dimana mereka bertugas. Dengan kata lain, ide dan pemikiran yang dikembangkan para birokrat dibatasi oleh sekat-sekat struktural berupa aturan normatif tentang tugas pokok dan fungsi yang mereka miliki (tupoksi). Kedua, aparat birokrat memposisikan diri sebagai bawahan yang memiliki keharusan memegang teguh prinsip loyalitas, baik kepada walikota maupun ke standard operating procedure yang berlaku. Ketiga, kecenderungan birokrasi untuk mempertahankan sikap maladministrasi dengan mengembangkan argumentasi apologitetik yang berpijak pada nilainilai kultural setempat. Keempat, interaksi sosial di tubuh birokrasi dilakukan melalui pola-pola formal dan informal. Karakter birokrasi dan karakter eksekutif ini secara bersamaan
mempengaruhi terbentuknya pola interaksi eksekutif-birokrasi di Kota Bandar Lampung yang bercirikan integrasi. Selain itu, pola integrasi ini dipengaruhi oleh kontribusi organisasi pemerintahan yang lebih tinggi (pemerintahan pusat dan pemerintahan provinsi. Pengaruh ini terlihat ketika pemerintah pusat tetap memegang memegang kewenangan substantif berkenaan dengan pilihan terhadap prosedur dan subtansi kebijakan yang diproses melalui birokrasi publik pada level pemerintahan daerah. Faktor lainnya adalah lemahnya posisi tawar menawar institusi legislatif terhadap eksekutif dan birokrasi dan ketidakberdayaan aktor-aktor non-state dalam menghadapi proses kebijakan publik yang bercirikan bureaucratic rule. Integrasi eksekutif-birokrasi melahirkan proses kebijakan publik yang elitis, inkremental, tidak berorientasi kepentingan publik, menutup ruang partisipasi publik, dan sering terjadinya prakteks abuses of power.
6
BAGAN 1 INTEGRASI EKSEKUTIF-BIROKRASI DI KOTA BANDAR LAMPUNG KARAKTERISTIK EKSEKUTIF
KARAKTERISTIK BIROKRASI
memiliki decion-making power berupa hak veto; gaya kepemimpinan birokratis; sosok yang kharismatis; lebih powerful ketimbang legislatif, karena penguasaan teknis aturan-aturan kebijakan;
ide dan pemikiran para birokrat dibatasi sekat struktural berupa aturan normatif tentang tupoksi; bawahan harus loyal praktek mal-administrasi dipertahankan dengan legitimasi kultural interaksi sosial di tubuh birokrasi dilakukan melalui pola-pola formal dan informal.
INTEGRASI EKSEKUTIF-BIROKRASI
Birokrasi adalah eksekutif, tetapi eksekutif belum tentu birokrasi; Pendalaman loyalitas struktural dan kultural birokrat terhadap eksekutif dan status quo sistem birokrasi; Eksekutif tidak inovatif terhadap proses reformasi birokrasi publik;
KONTRIBUSI ORGANISASI PEMERINTAHAN YANG LEBIH TINGGI (PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH PROVINSI):
Pemerintah pusat tetap memegang kewenangan substantif berkenaan dengan pilihan terhadap prosedur dan subtansi kebijakan yang diproses melalui birokrasi publik pada level pemerintahan daerah;
KONTRIBUSI LEGISLATIF:
INSTITUSI
DAN
KOMISI
DAMPAK
1. 2. 3. 4.
Proses kebijakan bersifat elitis dan inkremental; Ruang partisipasi publik semakin kecil; Substansi kebijakan tidak melayani kepentingan publik; Praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) sering terjadi
Minim karena lemahnya posisi tawar menawar institusi legislatif terhadap eksekutif dan birokrasi;
KONTRIBUSI AKTOR-AKTOR NON-STATE:
Minim karena ketidakberdayaan aktor-aktor non-state dalam menghadapi proses kebijakan publik yang bercirikan bureaucratic rule;
7
KESIMPULAN DAN SARAN Pola eksekutif-birokrasi yang terjadi di Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung disebut dengan integrasi. Integrasi merujuk pada proses penyatuan atau sintesa di antara dua unsur yang memiliki karakteristik berbeda. Konsep integrasi mengandung tiga preposisi yang terkait satu sama lain, yakni: birokrasi adalah eksekutif, tetapi eksekutif belum tentu birokrasi; pendalaman loyalitas struktural dan kultural birokrat terhadap eksekutif dan status quo sistem birokrasi; eksekutif tidak inovatif terhadap proses reformasi birokrasi publik. Di Kota Bandar Lampung, integrasi diwarnai dominasi eksekutif terhadap birokrasi publik. Integrasi eksekutif-birokrasi di Pemerintah Daerah Kota Bandar Lampung terjadi karena: (a) karakter eksekutif yang memiliki decionsmaking power, gaya kepemimpinan birokratis, kharismatis, dan sangat powerful dalam proses pembuatan kebijakan; (b) karakter birokrasi yang mempertahankan pola berpikir sempit [narrow perspective], loyalitas, praktek-praktek maladministrasi yang dilegitimasi secara kultural, dan kecenderungan birokrasi untuk membangun interaksi sosial melalui pola-pola formal dan informal; (c) pemerintah pusat tetap memegang kewenangan substantif berkenaan dengan pilihan terhadap prosedur dan subtansi kebijakan yang diproses melalui birokrasi publik pada level pemerintahan daerah; (d) lemahnya posisi tawar menawar institusi legislatif terhadap eksekutif dan birokrasi; dan (e) institusi negara, baik itu lembaga legislatif, eksekutif,
dan birokrasi tetap dominan dalam proses kebijakan publik; Integrasi eksekutif-birokrasi menyebabkan proses kebijakan publik cenderung: (a) elitis dan inkremental; (b) ruang partisipasi publik semakin kecil; (c) substansi kebijakan publik tidak melayani kepentingan publik; (5) praktek abuses of power sering terjadi. Terkait dengan hasil penelitian ini, ada beberapa saran yang ingin penulis kemukakan, yaitu: 1. Agar legislatif mampu berperan optimal sebagai instrumen kontrol politik, maka keterlibatannya dalam suksesi kepala daerah harus diminimalisir. Kepala daerah sebaiknya dipilih melalui pemilihan langsung (direct election); 2. Dalam jangka pendek, kehadiran staf ahli legislatif per komisi adalah salah satu jalan keluar untuk mengatasi kegamangan para politisi dalam menghadapi bureaucratic rule yang menyelimuti proses kebijakan publik pada level pemerintahan daerah; 3. Reformasi proses kebijakan publik di Kota Bandar harus diarahkan untuk meminimalkan procedural constraint berupa bureaucratic rule melalui penerapan pendekatan participatory dan subtantive constraint yang berwujud perilaku elit politik dan senior birokrasi yang bekerja karena dorongan kepentingan kelompok/pribadi (interestdriven), bukan idea-driven, melalui aplikasi pendekatan
8
kepentingan publik (public interest). 4. Bagi komunitas LSM, strategi ‘kaukus politik’ idealnya dapat dilembagakan sehingga gerakan tidak terkesan reaktif, tetapi proaktif. Fragmentasi perlu diminimalisir sedini mungkin tanpa harus terjebak dengan perdebatan ideologis yang paradigmatis. Perlu dipikirkan strategi yang tepat untuk merangkul komunitas lembaga swadaya masyarakat yang dicap ‘flat merah’. Bagaimanapun juga, mereka adalah bagian dari masyarakat kota Bandar Lampung yang setiap saat dapat dipengaruhi oleh kebijakan publik yang diproduksi institusi negara; 5. Peran media massa dalam mempengaruhi proses politik di Bandar Lampung cukup optimal dan perlu dipertahankan. Yang penulis khawatirkan, konsistensi ini berubah karena desakan pasar yang memaksa media terseret dalam arus kapitalisme media; 6. Para pengusaha yang tergabung dalam Kadinda
perlu memotong tali ketergantungan terhadap sektor publik. Perlu dipikirkan strategi transformasi insitusi Kadinda menjadi ‘think thank’ para pengusaha dalam rangka mensiasati beragam peluang bisnis yang lahir dari prinsip-prinsip murni pasar: demand dan supply; 7. Terakhir, bagi para peneliti yang ingin menjadikan elit politik dan elit birokrasi sebagai responden penelitian, maka tahapan penelitian harus disiapkan dengan matang tetapi fleksibel. Sebab, jadwal interview dengan para pejabat publik sewaktu-waktu dapat diubah tanpa konfirmasi sebelumnya. Lagipula, mayoritas pejabat publik cenderung tak bersedia membuka informasi seluasluasnya. Karenanya, jangan berharap banyak dari proses pengumpulan data primer, tetapi cobalah untuk mengolah argumentasi mereka yang bertebaran di pelbagai media komunikasi massa (majalah, koran, situs, jurnal, dan sebagainya).
DAFTAR PUSTAKA Aberbach, Joel. D., et.al., 1981. Politicians and Bureaucrats in Western Democracy. London, Oxford University Press. Appleby, Paul., 1945. Big Democracy, dalam Shafritz, Jay M., & Hyde, Albert C., (eds.), 1997. Classic of Public Administration. Forth Worth, Harcourt Brace Collegese Publisher. Asian Development Bank, 2002. Asian Development Bank Outlook 2002. London, Oxford University Press. Caiden, Gerald E., 1982. Public Administration. California, Palisades Publishers.
9
Charlesworth, James C., 1951. Governmenal Administration. New York, Harper & Brothers Publisher. Desveaux, James A., 1995. Designing Bureaucracy: Institutional Capacity and Large Scale of Problem Solving. California, Standford University Press. Elgie, Robert., 1997. Models of Executive Politics: a Framework for the Study of Executive Power Relations in Parliamentary and Semi-presidential Regimes, dalam Political Studies Vol. XLV, hal. 217 – 231. Gaffar, Affan., 1992. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Goodnow, Frank J., 1900. Politics and Administration, dalam Shafritz, Jay M., & Hyde, Albert C., (eds.), 1997. Classic of Public Administration. Forth Worth, Harcourt Brace Collegese Publisher. Gruber, Judith E., 1987. Controlling Bureaucracies: Dillemas in Democratic Governance. Barkeley, University of California Press. Jackson, Karl D., Bureaucratic Polity: A Theoretical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia, dalam Jackson, Karl D., dan Pye, Lucian W., (eds.), 1978. Political Power and Communication in Indonesia. Barkeley, University of California. Kahin, George McT., Indonesia, dalam Kahin, George McT., (eds), 1963. Mayor Government of Asia. New York, Cornell University Press. Kramer, Fred A., 1977. Dynamic of Public Bureaucracy. Cambrdige, Wintrhtop Publisher, Inc. Laffin, Martin., 1997. Understanding Minister-Bureaucrat Relation: Applying MultiTheoritic Approaches in Public Management, dalam Australian Journal of Public Administration, Vol. 56, No. 1, hal. 45 – 56. Lay, Cornelis., 2002. Eksekutif dan Legislatif di Daerah: Potensi Konflik Antara DPRD dan Birokrasi di Daerah. Jakarta, Kementerian Riset dan Teknologi & Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Long, Norton., 1949. Power and Administration, dalam Gawthrop, Louis C., (eds.), The Administrative Process and Democratic Theory. Boston, Houghton Mifflin Company. Mac Andrews, Collins., the Structure of Government in Indonesia, dalam Mac Andrews, Collins., (eds.), 1986. Central Government and Local Development in Indonesia. New York, Oxford Universitu Press. Mas’oed, Mohtar., 1994. Politik, Birokrasi, dan Pembangunan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Moeloeng, Lexy J., 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Rosda Karya.
10
Pfiffner, James P., 1987. Political Appointees and Career Executives: The Democaracy-Bureaucracy Nexus in the Third Century, dalam Public Administration Review Vol. 47, No. 1, hal. 57 – 65. Rourke, Francis E., 1984. Bureaucracy, Politics, and Public Policy. Boston, Little, Brown and Company. Santoso, Priyo Budi., 1992. Birokrasi Pemerintah Indonesia Orde Baru, 1966 – 1984. Skripsi di Jurusan Administrasi Negara FISIPOL UGM Yogyakarta 1992. Saroso, Oyos H. N., et.al., 2003. Kesadaran Masyarakat tentang Bahaya Korupsi. Bandar Lampung, Komite Anti Korupsi (KoAK). Syaukani, et.al., 2002. Otonomi dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Wilson, Woodrow., 1887. The Study of Administration, dalam Shafritz, Jay M., & Hyde, Albert C., (eds.), 1997. Classic of Public Administration. Forth Worth, Harcourt Brace Collegese Publisher. Wrigth, Maurice., 1999. Who Governs Japan? Politicians and Bureaucrats in the Policy-making Process, dalam Political Studies Vol. XLVII, hal. 939 – 954. Yates, Douglas., An Analysis of Public Bureaucracy, dalam Lane, Frederick S., (eds), 1986. Current Issues in Public Administration. New York, St. Martin Press. Situs Lampungonline.com SKH Kompas, beberapa edisi. SKH Lampung Post, beberapa edisi.
11