ANTARA MERUSAK DAN MEMANFAATKAN HUTAN MANGROVE PADA MASYARAKAT PESISIR (Studi Etnosains pada Hutan “Bakau” di Masyarakat Pesisir Desa Pematang Pasir, Lampung) Oleh Wawang Ardianto*), Erna Rochana**) *) Alumni program sarjana Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung **) Staf Pengajar Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung
ABSTRACT Mangrove is groups of plants growing along the coast and mangrove has a high adaptation ability to salinity of brackish water where it has to live in this environment. Mangrove forest functions to protect mainland from sea water abrasion, to provide living for people, to be environment for sea fish breeding. People have their reasons for inhabiting and using mangrove forest; not only for mangrove potential, but also their social background to live there. People control to mangrove forest is conducted by processes and from one season to another. People are aware of what they are doing as destructing mangrove forest. However, they do not have other options because their family members need food and their children have to go to school. Stopping mangrove forest destruction can be done by means of some stages. First, people should be aware of environment potentials when it is in good and destructed conditions, second village government should be consistent about their job descriptions and coordinate with its people to preserve environment, and finally, the Forestry Office should be routinely monitoring mangrove forest register. Key word: Mangrove, use, destruction, coastal communities
PENDAHULUAN Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini memiliki banyak wilayah pesisir dan lautan yang terdapat beragam sumberdaya alam. Wilayah pesisir terutama hutan mangrove mengandung banyak ikan, kerang udang dan dan tanah basah yang subur. Variasi sumberdaya alam wilayah pesisir diantaranya adalah sumberdaya alam berupa hutan mangrove dan pantai yang dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata, pertanian/perkebunan, dan pemukiman. Ekosistem mangrove memberikan kontribusi secara nyata bagi peningkatan pendapatan masyarakat, devisa untuk daerah(desa/keluarahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi), dan Negara.
Disamping potensi alam diatas, Hubungan interaksi masyarakat dan alam sulit ditentukan, siapakah yang paling kuat (bertahan) dan siapa yang paling lemah (beradaptasi). Dalam beberapa kasus, alam mampu menunjukan kekuatannya untuk membuat masyarakat tunduk terhadapnya. Hal yang paling sederhana adalah makanan yang dimakan oleh masyarakat adalah produk yang disediakan oleh lingkungan alam termasuk hutan mangrove. Manusia mendapatkan makanannya dengan cara memanfaatkan alam lingkungannya dan ketika makanan sudah habis maka masyarakat akan mencari makanan lainya atau mereka akan mati. Dalam kasus manusia memanfaatkan hutan mangrove menunjukan bahwa manusia tunduk terhadap kekuatan alam. Disisi lain masyarakat memiliki ambisi untuk dapat menaklukan alam. Masyarakat menyadari bahwa mereka akan sangat menderita jika alam menjadi rusak sementara mereka masih menggantungkan hidup sepenuhnya terhadap alam. Oleh karenanya mereka mengembangkan ilmu pengetahuannya untuk dapat mengendalikan alam. Tindakan pengendalian alam dilakukan dengan alasan bahwa kebutuhan hidup mereka harus dipenuhi dan masyarakt tidak mau bersaing dengan sesama karena jumlah mereka yang semakin banyak. Dengan ilmu pengetahuan, mangrove dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat yang tidak terbatas, dan alam (mangrove) dipaksa untuk berdaptasi melebihi kemampunnya. Pengrusakan inilah bentuk dominasi manusia terhadap alam. Masyarakat tidak akan pernah mengetahui rasio kebutuhan hidup mereka terhadap daya dukung hutan mangrove secara pasti. Makin lama jumlah masyarakat pesisir makin betambah, dengan bertambahnya jumlah masyarakat akan berakibat pada bertambahnya pembukaan lahan basah dan hutan mangrove yang diperuntukan sebagai pemukiman tempat tinggal, lahan pertanian dan areal tambak sehingga luasan lahan mangrove penyedia makanan pun ikut berkurang. Pembahasan tentang krisis pangan, kependudukan, dan lingkungan, sudah hangat dibicarakan sejak tahun 1973 oleh Mentri Dr. Sumarlin dalam rangka sambutannya terhadap Hari Lingkungan HidupDunia menunjuk adanya problematik lingkungan sebagai prioritas utama. Wacana ini dikemukakan sebagai perhatian atas pertambahan jumlah penduduk di setiap tahun semakin meledak sementara tempat mereka untuk tinggal dan mencari makan semakin sedikit. Fenomena ini membuat masyarakat mudah meluapkan konflik kepermukaan. Dahulu, saat jumlah masyarakat masih sedikit diwilayah pesisir, sumberdaya alam di wilayah ini bisa diakses oleh semua warga masyarakat. Masyarakat bisa menggarap lahan tambak dan sawah dengan gotong royong secara bergiliran, namun sekarang masyarakat kini sudah memenuhi wilayah pesisir (sampai ketempat yang tidak layak ditinggali) untuk bersaing mendapatkan akses sumber kehidupan mereka. Tidak sedikit hutan mangrove di lingkungan pesisir sudah menjadi milik pribadi dari masyarakat yang memiliki modal. Dengan meningkatnya jumlah warga di wilayah pesisir ditambah kurangnya kreativitas, minimnya pendidikan, dan rendahnya kesadaran ramah lingkungan menambah tingginya tingkat kepentingan dalam mengelola hutan mangrove secara berlebihan yang menimbulkan kerusakan dan berdampak pada masalah kemiskinan (Yulianto, 2009). Munculnya masalah kemiskinan dan kerusakan hutan mangrove nampaknya menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan masalah pengelolaan sumberdaya alam pesisir. Pada tahun 2007 pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada pasal 1 ayat 1 menyebutkan “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Pasal ini menjelaskan bahwa pengelolaan hutan mangrove sebagai bagian dari wilayah pesisir harus dimanajemen dengan mendasar serta pola pemanfaatannya yang berorientasi “Selalu bisnis” dirubah menjadi “Selalu lestari”. Selain itu subjek pelaksana pemberdayaan hutan mangrove bukanlah hanya tanggungjawab pemerintah daerah saja. Pengawalan pemberdayaan hutan mangrove untuk tetap lestari membutuhkan kerja sama atara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga swadaya terkait, swasta, dan masyarakat setempat. Melanjutkan misi dari undang-undang diatas Presiden SBY juga telah mencanangkan Program Ekonomi Hijau pada tahun 2012 lalu. Tujuan besar dari program Ekonomi Hijau adalah pelestarian lingkungan, penyediaan lapangan pekerjaan dan peningkatan kesejahteraan. Pendekatan program ini menegaskan bahwa Indonesia harus melakukan lompatan besar untuk meninggalkan pola ekonomi lama. Pola yang lama hanya menargetkan keuntungan jangka pendek namun mewariskan berbagai permasalahan lingkungan. Dalam konsep program Ekonomi Hijau ini membutuhkan paradigma dan gaya hidup masyarakat yang merasa adil diantara beberapa kelompok masyarakat. Masyarakat dituntut untuk mandiri dalam membangun lingkungannya yang lestari sehingga kesejahteraan masyarakat akan muncul dengan berlahan. Masyarakat bisa memulai dari hal kecil seperti penggunaan energi alternatif ramah lingkungan dan menanam pohon. Pewacanaan program pemberdayaan lingkungan semacam ini oleh Presiden menunjukan bahwa permasalahan degradasi hutan mangrove di lingkungan pesisir sudah menjadi masalah nasional, tanpa terkecuali Provinsi Lampung yang terletak di ujung pulau Sumatra ini. Provinsi Lampung memiliki banyak desa yang terletak di wilayah pesisir. Seperti wilayah pesisir pada umumnya, pesisir Lampung ditumbuhi hutan mangrove yang bermanfaat untuk menahan abrasi. Salah satunya adalah Desa Pematang Pasir Kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan. Jika di wilayah pesisir Kabupaten Pesawaran dan pantai sepanjang jalan Negara Kabupaten Lampung Selatan terkonsentrasi pada kegiatan pariwisata sedikit berbeda dengan wilayah pesisir di Desa Pematang Pasir. Desa ini merupakan salah satu desa di wilayah pantai timur Lampung Selatan yang padat dengan masalah kegiatan reklamasi. Di desa ini masyarakat setempat “Memanfaatkan” hutan mangrove untuk menangkap udang, ikan kepiting dan lainnya, namun setelah lahan mangrove berkurang masyarakat setempat pun kesulitan untuk mencari hewan tangkapan khas hutan mangrove. Melihat jumalah penduduk yang semakin banyak, munculah kreativitas masyarakat yang berlebihan untuk mengeksplorasi hutan mangrove di desa ini. Sehingga sepanjang garis pantai desa ini dipenuhi oleh reklamasi untuk kegiatan pertambakan dan pertanian. Pembukaan lahan mangrove yang tidak terkontrol mebuat abrasi laut mulai masuk ke areal pertambakan dan pemukiman. Areal tambak yang sudah terkena abrasi dan rusak tanggulnya membuat tidak digunakan lagi oleh masyarakat. Air dalam tambak yang sudah bercampur langsung dengan air laut akan meningkatkan kadar garam yang mengakibatkan udang mudah keracunan lalu mati. Tambak yang sudah rusak membuat harga jualnya menjadi murah, lalu terbengkalai dan tidak jelas peruntukannya. Sangat ironis, kegiatan “Pengrusakan” ini dilakukan sudah puluhan tahun dan mendapat dukungan dari pemerintah desa melalui “Surat Izin Garap” meski sudah ada larangan dari petugas kehutanan.
Melihat dinamika hutan mangrove yang terjadi di Desa Pematang Pasir maka perlu diketahui apakah yang masyarakat lakuan terhadap hutan mangrove adalah kegitan pemanfatan yang wajar atau tergolong dalam pengrusakan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Desa Pematang Pasir kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Dipilihnya tempat ini sebagai lokasi penelitian dikarenakan maraknya pengrusakan hutan mangrove oleh masyarakat khususnya para petambak. Kegiatan ini sudah dilakukan bertahun-tahun lamanya meski sudah ada larangan dari pihak polisi kehutanan. Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan dengan pendekatan kualitatif, sikap dan cara pandang subjektif bisa digali lebih optimal. Metode pengumpulan data yang digunakan, yakni wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Tahapan proses pengambilan data diawali dengan observasi lapangan dengan tujuan mangetahui lokasi-lokasi kativitas warga dalam memanfaatkan mangrove sekaligus mengenali warga yang akan dijadikan informan. Metode wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai guide interview agar didapat gambaran utuh tentang pengalaman yang warga lakukan dalam menggunakan hutan mangrove. Metode dokmentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah gambar foto. Gambar foto bergunakan untuk menguatkan hasil data sebelumnya seperti data hasil wawancara dan observasi. Analisis data kualitatif digunakan untuk memahami bentuk penggunaan hutan mangrove yang rutin dilakukan waraga serta pendukungnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Mangrove adalah kelompok tumbuhan berkayu yang tumbuh di sekelilinh garis pantai dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap salinitas payau dan harus hidup pada kondisi lingkungan yang demikian. Mangrove merupakan tipe tumbuhan tropik dan subtropik yang khas, tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di pesisir pantai yang terlindungi dari gempuran ombak dan daerah landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur, sedangkan diwilayah pesisir yang tidak memiliki muara sungai pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh diwilayah yang terjal dan berombak besar yang berarus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat (media) bagi pertumbuhannnya. Fungsi dan Manfaat Utama Ekosistem Mangrove Setidaknya ada tiga fungsi utama ekosistem mangrove yang di kemukakan Nontji dalam Ghufran (2012), yaitu: 1. Fungsi fisis, meliputi: pencegah abrasi, perlindungan terhadap angin, pencegah intrusi garam, dan sebagai penghasil energi serta hara. 2. Fungsi biologis, meliputi: sebagai tempat bertelur dan tempat asuhan berbagai biota. 3. Fungsi ekonomis, meliputi: sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar dan arang), bahan bangunan(balok, atap, dan sebagainya), perikanan, pertanian, makanan,
minuman, bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat sintesis, penyamakan kulit, obat-obatan, dan lain-lain. Walaupun ekosistem mangrove tergolong sumberdaya yang dapat pulih, namun bila mengalihkan fungsi atau konfersi dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tanpa pertimbangan kelestariannya, maka kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat tetapi juga tidak berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan tersebut. Kerusakan ekosistem mangrove berdampak besar baik, ekologi, ekonomi, maupun social. Kerusakan mangrove biasanya disebabkan oleh konversi untuk pemukiman, konversi untuk tambak, pengambilan kayu dan pencemaran. Etnosains Etnosains adalah pengetahuan yang khas dimiliki oleh suatu bangsa. Tujuan etosains, adalah melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang diteliti. Asumsi dasarnya adalah bahwa lingkungan bersifat kultural, sebab lingkungan yang sama pada umumnya dapat dilihat dan dipahami secara berlainan oleh masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayaannya.(Heddy:1994). Pendekatan Prosesual Vayda dalam Yunita (1999) mengemukakan bahwa untuk membentuk suatu proses, harus ada suatu peristiwa-periatiwa yang saling terkait satu sama lain secara berkesinambungan yang diamini juga oleh Moore dalam Yunita(1999) dengan pendapat tentang rangkaian peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan manusia berakumulasi membentuk suatu proses. Dari pendapat para antropolog ini kita dapat menjabarkan, bahwasannya ragkain peristiwa yang dapat diamati dan melibatkan tindakan manusia dapat merupakan peristiwa yang menyumbang pada pengalihan, penciptaan, pemproduksian atau pentaransformasian budaya(termasuk lingkungan di dalamnya). Kasus pembentukan pengetahuan dikalangan para petambak merupakan salah satu kasus untuk menunjukan bagaimana proses pembentukan itu berlangsung dari hari-ke hari, musim- ke musim, melalui rangkain peristiwa tindakan para petambak dalam mensiasati berbagai kesempatan, kendala dan ancaman merekayasa lingkungan bagi kelangsungan hidup mereka. Pendekatan Ekologi Bibit pendekatan ini telah ditanamkan sejak 1930 0leh Julian H. Steward dalam esai yang berjudul “The Economics and Sosial Basis of Primitive Bonds”, dalam esai inilah Steward pertama kali menyatakan tentang “interaksi budaya dan lingkungan dapat dianalisis dalam kerangka sebab-akibat” melalui sebuah perspektif ekologi budaya. Pendapat Steward di lanjutkan Murphy dalam Heddy (1994) yang mengatakan titik perhatian dari perspektif ini adalah analisis struktur sosial dan kebudayaan. Perhatian baru diarahkan pada lingkungan bilamana lingkungan mempengaruhi atau menentukan tingkahlaku atau organisasi kerja. Perspektif ini menegaskan bahwa penyesuaian berbagai masyarakat pada lingkungannya memerlukan bentuk-bentuk perilaku tertentu, perilaku-perilaku ini berfungsi sebagai proses adaptasi terhadap lingkungannya dan tunduk pada suatu sistem seleksi. Sebagai contoh bentuk adaptasi masyarakat dan lingkungan adalah perilaku penyesuaian kegiatan ekonomi paga petambak dan petani dipengaruhi oleh situasi lingkungan yang berbeda.
Pengaruh Lingkungan Dinamika kependudukan memiliki masalah yang kompleks, yang muncul biasanya adalah masalah pangan, pengangguran, hambatan pengembangan industri, pengembangan sumberdaya alam, pendidikan, kesempatan kerja dan teknologi pertanian. Sepintas masalahmasalah ini muncul sendiri-sendiri secara terpisah, namun menurut M.T.Zen (1979) jika diselidiki secara mendalam semua gejala dalam masyarakat saling kait-mengkait dan berasal dari satu masalah pokok yaitu benturan lingkungan. Ia menyimpulakan, apapun yang dilakukan oleh masyarakat terhadap lingkungan hidupnya (merusak atau melestarikan alam) dampaknya akan kembali ke masyarakat. Keputusan masyarakat untuk merubah atau melestarikan akan merubah ciri fisik alam yang menjadi dasar cara pemanfaatan dan efek dari pemanfaatan akan mempengaruhi pola-pola kegiatan ekonomi dan karakter masyarakat secara umumnnya. Kecendrungan Manusia Terhadap Lingkungan Manusia seperti hewan pada umunya, ia memiliki insting alami untuk bertahan hidup meneruskan keberlangsungan hidup, atau untuk menghadapi seleksi alam. hanya satu yang akan dilakukan manusia terhadap lingkungan alamnya yakni beradaptasi, Vadya dan Rappaport (1968) menerangkan bahwa pemanfaatan dan perilaku manusia terhadap lingkungan juga merupakan bentuk dari adaptasi. Tujuan dari adaptasi adalah merekayasa lingkungannya untuk keberlangsungan hidupnya. Dalam hal ini terkadang manusia terlihat lemah, mereka terlalu yakin terhadap kemampuan mereka menunjukan kemutlakan dan alam sebagai pelayannya. Hal ini justru menunjukan ketidak mampuan manusia menebak akibat-akibat (bencana alam) yang sama sebelum akaibat tersebut terjadi. Hal ini adalah akibat lupa bahwa proses seleksi alam mungkin sudah berlangsung tepat di depan hadapan mereka tanpa mereka ketahui. Masyarakat sangat berperan terhadap peningkatan degradasi lingkungan alam. masyarakat tidak akan pernah mengetahui rasio kebutuhan hidup terhadap daya dukung lingkungan secara pasti. Makin lama jumlah masyarakat semakin bertambah mengikuti deret hitung, dengan bertambahnya jumlah penduduk akan berakibat pada bertambahnya pembukaan lahan yang diperuntukan sebagai perkebunan dan tempat tinggal. Vadya menerangkan bahwa tingkat pertumbuhan masyarakat akan berbanding terbalik dengan jumalah luasan lingkungan yang lestari, menurunnya lingkungan akan memunculkan kekacauan alam. Dengan jumlah lahan yang terbatas dan jumlah kebutuhan masyarakat yang meningkat menjadikan masyarakat semakin sensitif dan agresif untuk melakukan persaingan perebutan lahan ketimbang harus membuka lahan baru dan menebang pohon dihutan yang masih perawan. Persaingan inilah yang menjadi adaptasi masyarakat terhadap lingkungan alamnya yang kacau. Pola Pemanfaatan dan Konservasi Hutan “Bakau” Pemanfaatan hutan mangrove oleh warga Desa Pematang Pasir sudah lama dilakukan bertahun-tahun yang lalu. Dari penelitian diperoleh hasil sebuah data mengenai pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat yang memiliki aktivitas di sebuah daerah yang berdekatan dengan hutan mangrove ini. Sepuluh informan yang diwawancarai, semuanya mengaku memanfaatkan hutan mangrove dalam kegiatan sehari-hari. Pemanfaatan hutan mangrove di Desa Pematang Pasir yaitu meliputi: 1.1. Memanfaatkan Hutan Mangrove untuk Bertahan Hidup
Kesemua informan adalah wagra pendatang, sebagian besar masyarakat Desa Pematang Pasir berasal dari kota di luar Kabupaten Lampung Selatan seperti Kabupaten Tanggamus, Kabupaten Lampung Timur dan Kota Metro. Bahkan tidak sedikit waraga yang berasal dari pulau jawa seperti Kota Pacitan dan Pati Jawa Tengah. Alasan mereka untuk tinggal di Desa Pematang Pasir ini sangat beragam dari masalah latar belakang keluarga, pekerjaan, suku bangsa, hingga masalah kepadatan penduduk. Para informan mengaku sudah lama memanfaatkan hutan mangrove di Desa Pematang Pasir untuk kegiatan mereka dan kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini dikarenakan tempat mereka tinggal sangat dekat jaraknya dengan hutan mangrove selain itu mangrove juga menyediakan apa yang mereka butuhkan. Seperti yang disampaikan oleh para informan bahwa tempat lokasi tambak mereka bersebelahan dengan hutan mangrove, mereka juga menangkap ikan disana untuk makan sehari-hari dan pakan peliharan mereka. Semua informan mengaku juga memanfatkan kayu yang ada di hutan mangrove untuk kontruksi rumah mereka namun dilakukan secara diam-diam agar tidak di ketahui oleh Dinas Kehutanan. Hampir semua informan mengaku memiliki tambak yang berdekatan dengan hutan mangrove, menurut mereka, tambak mereka sekarang tidak dapat diisi oleh udang karena sering datang air pasang bisa membuat udang mati namun masih bisa diisi ikan bandeng. Maka dari itu mereka mengisi tambaknya dengan ikan bandeng. 1.2. Pengrusakan yang Disadari Informan yang peneliti wawancarai kesemuanya dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata “merusak”. Dengan latar belakang pendidikan yang rendah, mereka tetap dapat memberi penjelasan meski seragam dan bahasa yang disampaikan tidak baku. Mayoritas informan mengakui bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan tindakan yang merusak. Mereka menebang mangrove dan menjadikannya lahan tambak. Kegiatan ini akan menyebabkan hutan mangrove kehilangan fungsinya: fungsi fisik untuk melindungi dari datangnya air pasang, fungsi ekonomis untuk menyediakan kebutuhan masyarakat, dan fungsi biologis untuk tempat berkembang biak biota laut. Namun pengakuan mereka menjelaskan bahwa apa yang mereka lakukan sangat beralasan. Latar belakang ekonomi yang menjadikan mereka harus merusak hutan mangrove, karena hutan mangrove mampu menjadi sumber pemasukan bagi keluarga mereka dan membiayai anak-anak mereka untuk sekolah. Berbeda dengan satu informan yang mengaku bahwa tindakannya dalam menangkap ikan dengan jaring yang rapat tidak termasuk dalam tindakan yang merusak. Ia mengaku, selama hutan mangrove masih ada, ikan didalamnya tidak akan habis. 1.3. Tambak, Mengambil Kayu, Menjaring Ikan dan Menangkap Kepiting Kebiasaan yang para informan lakukan dengan memanfaatkan hutan mangrove Desa Pematang Pasir antara lain adalah bertambak, mengambil kayu, menjaring ikan dan menangkap kepiting. Masyarakat menggunakan lahan mangrove sebagai penyedia tempat untuk di jadikan tambak, setelah mendapat izin berupa surat garap dari Balai Desa. Kebiasaan yang dilakukan oleh warga Desa Pematang Pasir ini pernah di permasalahkan oleh Dinas Kehutanan dulunya, namun karena minimnya pengawasan dari Dinas Kehutanan dan tertarik oleh keuntungan paska panen, hal ini tetap berjalan sampai sekarang. Mereka memahami apa yang dilakukan saat ini adalah salah karena ini adalah tanah negara berupa register.
Menurut Para informan, warga lain yang tidak memanfaatkan hutan mangrove (mengambil kayu) di Desa Pematang Pasir ini tidak merasa terganggu kenyamanannya dengan kebiasaan warga desa yang membuka lahan register atau para pengambil kayu, semua salaing memahami dan pengertian atas keterbatasan masing-masing. Di sekitar tempat tinggal mereka, semua warganya rutin mencari ikan, kepiting bakau atau terkadang kerang. Kegiatan ini dilakukan pada musimmusim tertentu seperti para pencari kapiting yang aktif pada musim kemarau. Namun mereka tidak sadar bahwa kegiatan mereka termasuk kegitan yang merusak hutan mangrove, hal ini dikarenakan parapencari ikan menggunakan jarring rapat yang menangkap semua ikan kecil begitu pula dengan pencari kepiting bakau. 1.4. Menanam Bibit “Bakau”: Pelestarian yang Sesaat Semua informan mengaku pernah ikut dalam kegiatan pelestarian hutan mangrove berupa partisipasi penanaman bibit bakau secara bersama-sama. Namun, kini kegiatan itu sudah tidak ada lagi. Para informan berharap masih ada lagi kelompok pencinta alam yang datang untuk memfasilitasi masyarakat Desa Pematang Pasir dalam kegaitan pelestarian hutan mangrove. Para informan ini mengaku pernah ikut dalam kegiatan penanaman yang dilakukan oleh LMC (Lampung Mangrove Center), tatapi karena kegiatn ini tidak bergulir kembali dan bibit bakau yang mereka tanam sempat terkena abrasi dan mati maka semangat untuk melestarikan hutan mangrove pun berkenti. Semua informan memiliki rasa prihatin atas kondisi lingkungannya namun mereka juga memiliki keterbatasan, solusi yang mereka harapkan ada sebuah lembaga yang memfasilitasi penanaman bibit pohon mangrove terlepas dari pemerintah atau organisasi lain sehingga mereka tidak perlu menyediakan bibit mangrove sendiri. Etnosains: Memanfaatkan, Merusak dan Melestarikan? Manusia dan lingkungan memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Hubungan antara manusia dan lingkungan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah kebudayaan manusia itu sendiri. Lingkungan mempunyai arti penting bagi manusia. Melalui lingkungan fisik manusia dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan materilnya, dengan lingkungan biologis manusia dapat memenuhi jasmaninya, dan dengan lingkungan sosialnya manusia dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya. Bagi manusia, lingkungan dipandang sebagai tempat beradanya manusia dalam melakukan segala aktivitas sehari-hari, lingkungan tempat beranya manusia menentukan seperti apa bentuk manusia didalamnya. Karena itu, jika dikaitkan dengan harapan atas terciptanya manusia, semakin baik lingkungan tempat beradanya manusia maka semakin besar kemungkinan manusia yang ada didalamnya untuk berperilaku baik, kondisi serupa dapat terjadi pada ilustrasi sebaliknya. Oleh karena itu lingkungan memiliki arti yang sangat penting atas eksistensi manusia. Setelah peneliti mengolah data mengenai pemanfaatan hutan mangrove di Desa Pematang Pasir oleh masyarakat pesisir, peneliti melihat kecendruangan etnosains melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh masyarakat yang peneliti amati. Klasifikasi ini terkandung dalam penyataan dan ide-ide para informan tentang cara mereka memanfaatkan lingkungannya.Pemanfaatan yang mereka lakukan seperti menambak ikan dan udang, menjaring ikan, menangkap kepiting hingga hal yang merusak lingkungan seperti menebang pohon mangrove.
Peneliti melihat ada kecendrungan kebudayaan masyarakat terhadap lingkungan. Dalam hal ini warga yang memanfaatkan hutan mangrove di DesaPematang Pasir untuk kegiatan sehari-hari seperti bertambak, menangkap ikan, mencari kepiting, atau mencari kayu. Kebiasaan yang sudah mereka lakukan bertahun-tahun ini akan sangat mempengaruhi lingkungan hutan mangrove. Beberapa informan berpendapat berkurangnya jumlah pohon mangrove menyebabkan berkurangnya jumlah ikan dan merubah kualitas air menjadi tidak baik. Kebiasaan yang warga lakukan selama bertahun-tahun membuat hutan mangrove telah berubah kondisinya, tidak lagi seperti pada tahun 1980-an yaitu mangrove masih lebat dan tinggi pohon-pohonnya. Pendekatan etnosains juga mejelaskan bahwa lingkungan mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Hal ini dikarenakan faktor geografis Desa Pematang Pasir yang memang mengalami siklus pasang surut air laut. Menurut warga, mangrove anugrah tuhan yang bebas dimanfaatkan oleh siapa saja. Dahulu hutan mangrove ini merupakan hutan mangrove yang lebat dan berukuran besar tiap pohonnya, kondisi seperti ini masyarakat manfaatkan untuk membuka tambak yang awalnya di gagas oleh masyarakat yang datang dari Pati Jawa Tengah. Setelah berhasil dalam panen dan masyarakat mulai memadati Desa Pematang Pasir ini lalu ikut bertambak juga kondisi hutan mangrove menjadi menurun kualitasnya. Menurut para informan semakin tahun tinggi abrasi semakin meninggi yang terkadang masuk kedalam tambak, maka masyarakat mengsiasati dengan menggunakan pompa agar air laut tidak memenuhi tambak. Bagi para informan meskipun kondisi hutan mangrove telah berubah tidak menyurutkan masyarakat untuk tetap memanfaatka hutan mangrove dan segala isinya. Pendekatan etnosains menjelaskan hubungan atara manusia dengan lingkungan memang saling mempengaruhi, tetapi dalam penelitian ini manusia terlihat cendrung lebih dominan dalam mempengaruhi lingkungannya. Manusia pada hakikatnya adalah mahluk aktif dan kreatif sehingga warga pengguna hutan mangrove di Desa Pematang Pasir merubah lingkungannya dalam hal ini lahan mangrove menjadi sesui dengan keinginan mereka sendiri. Peneliti menilihat bahwa manusia merupakan mahluk yang paling dominan mempengaruhi lingkungannya karena dengan cara sadar mereka merubah lingkungan sesuai dengan kebutuhannya. Informan yang memanfaatkan hutan mangrove di Desa Pematang Pasir tahu bahwa apa yang mereka lakukan sangat dilarang dan mereka tahu hutan mangrove menjadi seperti ini karena ulah kebiasaan memanfaatkan hutan mangrove. Hal ini dikarenakan para informan tertarik oleh keuntungan paska panen tambak yang tidak di barengi pelestarian secara nyata. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove Desa Pematang Pasir tidak lagi memiliki kearifan lokal terhadap lingkungannya. Kearifan lokal yang dimaksud adalah seperti apa usaha-usaha yang dilakukan warga yang memanfaatkan hutan mangrove tetap menjaga kelestariannya. Masyarakat pernah ikut serta untuk menanam bibit pohon mangrove namun berhenti semangatnya karena keterbatasan yang masyarakat miliki. Lingkungan yang menjadi tempat tinggal oleh warga Desa Pematang Pasir adalah ekosistem hutan mangrove. Menurut masyarakat, hutan mangrove adalah tempat yang cocok bagi tempat mereka tinggal. Mereka tinggal di tempat ini demi memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti, menjaring ikan, menangkap kepiting, dan bertambak. Lingkungan tempat tinggal yang berdekatan dengan hutan mangrove membuat sebagian besar warga memanfaatkannya sudah bertahun-tahun yang lalu.
Kebiasaan menebang pohon dan membuka lahan dilakukan bertahun-tahun seperti sudah menjadi suatu budaya yang sulit untuk dihilangkan. Budaya seperti ini membuat hutan mangrove menjadi gundul. Warga yang memanfaatkan hutan mangrove seolah tidak perduli lagi dengan konsep lestari dan hijau. Kondisi sosial masyarakat dan pemerintah desa yang tidak saling berkomunikasi menyurutkan semangat warga untuk terus menanam pohon mangrove. Air yang asin dan payau dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang sama saja. Pemahaman masyarakat, air asin dan payau tidak berpengaruh terhadap bandeng mereka kecuali udang. Semua petambak yang memiliki tambak dekat dengan laut tidak pernah berani untuk mengisi tambaknya dengan udang. Menurut informan hanya udang yang akan mati jika sewaktu-waktu air laut masuk kedalam tambak. Para petambak udang lebih memilih lokasi tambaknya yang berdekatan dengan sumber air payau atau sungai.
KESIMPULAN Dari hasil penilitian terhadap sepuluh informan tentang pemanfaatan hutan mangrove di Desa Pematang Pasir oleh masyarakat pesisir, maka didapat kesimpulan sebagai berikut: (1) Alasan warga Desa Pematang Pasir dalam memanfaatkan hutan mangrove di desa ini adalah karena hutan mangrove menyediakan beberapa kebutuhan hidup mereka seperti ikan, kepiting, kerang, kayu dan juga lahan potensial. Sebagian besar informan memanfaatkan lahan sebagai tambak ikan bandeng karena harga lahan lebih murah dibanding dengan lahan tambak bersertifikat terlebih didukung oleh pemerintah desa Desa Pematang Pasir yang memfasilitasi surat garapan. Dilain pihak minimnya pengawasan dari Dinas Kehutanan juga mendukung adanya pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat desa ini. (2) Masyarakat memahami apa yang dimaksud dengan “Rusak”, dan mereka menyadari bahwa apa yang mereka lakukan adalah bagian dari pengrusakan lingkungan. Pengrusakan lingkungan yang dilakukan masyarakat Desa Pematang Pasir lakukan dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi rumah tangga mereka yang tidak mapan. Kondisi ekonomi rumah tangga yang tidak mapan memaksa masyarakat Desa Pematang Pasir untuk melakukan apa saja yang mereka bisa lakukan untuk keberlangsungan hidup keluarga mereka. (3) Kegiatan yang sebagian besar dilakukan para warga pengguna hutan mangrove adalah menjaring ikan, menangkap kepiting, mengambil kayu dan membuka lahan tambak. Namun tidak semua informan memiliki lahan tambak di areal hutan mangrove ini, karena minimnya biaya ada sebagian informan yang hanya menyewa lahan ini dari petambak lain. Tapi kebiasaan yang sudah dilakukan selama bertahuntahun ini dinilai tidak menjadi masalah bagi masyarakat yang tidak ikut memanfaatkan hutan mangrove. (4) Setelah sekian lama memanfaatkan hutan mangrove di Desa Pematang Pasir, sebagian besar informan tidak pernah mengikuti kegiatan apapun untuk menjaga kelestarian hutan mangrove. Hal ini dilakukannya dengan pertimbangan keterbatasan biaya untuk pengadaan bibit disertai tidak adanya ajakan dari warga lain atau pemerintah desa untuk menjaga kelestarian hutan mangrove. (5) Hasil penelitian ini mendukung teori yang peneliti gunakan. Peneliti menggunakan teori Ulrich Beck tentang Adaptasi Lingkungan yang berpandangan bahwa
lingkungan adalah produk budaya dari manusia.Pemanfaatan hutan mangrove yang sudah bertahun-tahun lamanya dilakukan oleh warga Desa Pematang Pasir merupakan ekspresi masyarakat terhadap potensi kekayaan alam lingkungannya. Masyarakat beranggapan bahwa kekayaan hutan mangrove akan menunjang kebutuhan hidup masyarakat, oleh karenanya masyarakat Desa Pematang Pasir terus melakukan perombakan potensi hutan mangrove sesuai dengan bentuk yang mereka butuhkan agar keluarga mereka bisa hidup. Bentuk-bentuk hasil budaya dari buah tangan masyarakat terhadap hutan mangrove adalah berupa penggundulan pohon mangrove, pembangunan tambak, dan aktivitas lain seputar kegiatan masyarakat pesisir. (6) Penelitian ini cendrung kearah pendekatan etnosains, karena dalam penelitian ini diperoleh informasi tentang cara masyarakat memanfaatkan lingkungannya, cara pandang mereka terhadap alamnya, adaptasi masyarakat ketika alamnya rusak, dan lainnya yang menjadi fokus pembahasan studi etnosains. Pendekatan etnosains menjelaskan bagaimana interaksi manusia dan lingkungannya yang saling mempengaruhi, tetapi dalam penelitian ini manusia cendrung menjadi aktor dominan yang mempengaruhi lingkungannya. Manusia yang aktif dan kreatif mampu merubah hutan mangrove menjadi areal tambak dan wahana mereka mencari makan. Perubahan hutan mangrove menjadi areal tambak dan wahana mencari makan dilakukan oleh masyarakat secara bertahap melalui sebuah proses tindakan-tindakan masayarakat itu sendiri. Fenomena proses penguasaan hutan mangrove oleh masyarakat ini mendukung pendekatan yang Vayda rumuskan dalam kajian etnosains yaitu “Pendekatan Prosesual”.
DAFTAR PUSTAKA Bengen.2002. Pedoman teknik pengelolaan ekosistem mangrove. Bogor. IPB. Basrowi. Suwandi. 2008. Memahami penelitian kualitatif. Jakarta. Rineka Cipta Dahuri, Rokhimin. 1996. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Jakarta. Pradnya Paramita. Ghufran, M. 2012. Ekosistem mangrove; potensi, fungsi dan pengelolaan. Jakarta. Rineka Cipta K. Dwi Susilo Rahmat.2008. Sosiologi lingkungan. Jakarta. Rajawali Pers. Koentjaraningrat. 1996. Atlas etnografi sedunia: dan percontohan etnografi sedunia. Jakarta. Dian Rakjat L. Moleong. 2002. Metode penelitian kualitatif. Bandung. Remaja Rosdakarya Sulistyo.2006. Studi lingkungan. Medan. USU Pers. T.Zen.M.1981. Menuju kelestarian lingkungan hidup. Jakarta. Djaya Pirusa.
Yulianto, Herza. 2009. Menata kembali pesisir Lampung. Lampung. Bapeda Provinsi Lampung.