TERORISME DAN KOMUNITAS MUSLIM Oleh Hasbi Sidik *)
Staf Pengajar Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Lampung
ABSTRACT Terrorism and Muslim Community are two inseparable issues nowdays. The papers focus on relation between both of them. After elaborating important terms, paper will show that the emergence of muslim community as terrorist actor is an integral series of triangle terrorism. Paper also discussed the approach used by muslim community namely hard approach and soft approach. The main argument is the Muslim community does not effectively combat terrorism. Keywords: Triangle terrorism, muslim community
Pengantar Bagai dua sisi dari satu koin, saat ini komunitas muslim dan terorisme seakan tidak terpisahkan. Pembicaraan mengenai terorisme modern hampir selalu merujuk ke komunitas muslim global atau masyarakat beragama Islam. Gong awal konstruksi ini dimulai paska 11 September 2001, dimana kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden menyerang World Trade Center di New York dan menewaskan sekitar 3000 jiwa. Tepat 911 hari kemudian, tanggal 11 Maret 2004, kereta komuter di Madrid juga di bom jaringan Islam radikal yang menyebabkan 200 orang terbunuh dan 1200 orang terluka. Ditahun yang sama, di Beslan Rusia, ekstremis muslim lainnya terlibat pertempuran dan menewaskan 120 jiwa (Promakov, 2006) Lebih jauh, juga terjadi beberapa aksi teroris lainnya seperti Bom Bali I dan Bom Bali II di Indonesia (2002 dan 2005). Penyerangan Charlie Hebdo di Perancis (2014). Sampai yang terbaru adalah kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di 2015 yang merekrut ribuan orang dari berbagai negara. Situasi ini memunculkan pertanyaan – pertanyaan; mengapa komunitas muslim terlibat bahkan dianggap sebagai penyuplai terorisme internasional, bagaimana komunitas muslim meresponnya dan apakah langkah komunitas muslim itu efektif menangkal terorisme?. Sampai saat ini tidak ada definisi tunggal terkait apa itu terorisme. Ini tidak lepas dari perdebatan keabsahan/legalitas dan aktor-aktor terorisme yang terlibat. Menurut Ganor (2005), terorisme adalah bentuk aksi kekerasan yang sasarannya adalah warga sipil untuk mencapai tujuan politik. Selanjutnya Federal Bureau Intellegent (FBI) menyatakan terorisme adalah the unlawful use of force or violence against persons or property to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives”. Jurnal Sosiologi, Vol. 17, No. 1: 43-48 43
Sedangkan US State Departement mendefiniskan teroris sebagai “ the term terrorism means premeditated, politically, motivated violence perprated against noncombatant targets by subnational group or clandestine agents, usually intended to influence an audience” Namun dari keberagaman definisi diatas, ada core yang bisa diambil yaitu terorisme merepresentasikan bentuk perjuangan politik yang dilakukan dengan kekerasan. Selanjutnya, aksi terorisme yang dilakukan oleh komunitas muslim yang dimulai dari teror WTC sampai dinamika ISIS saat ini dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme. Segitiga Terorisme Pertanyaan pertama dalam paper ini adalah mengapa komunitas muslim menjadi “penyuplai utama” pelaku terorisme internasional. Komunitas muslim yang dirujuk adalah masyarakat atau negara dengan jumlah atau populasi beragama Islam terbanyak. Hal ini tidak spesifik pada paham atau aliran dalam agama Islam itu sendiri. Menarik untuk mencermati data yang dikeluarkan oleh IntelCenter pada 2014 tentang Top 10 Country Threat Index (CTI). Data tersebut menunjukkan bahwa dari 10 negara yang berada 10 rangking teratas Country Threat Index, sembilan negara merupakan negara dengan mayoritas muslim atau komunitas muslim. Namun tentu saja komunitas muslim tidak tereduksi hanya pada aktor negara. Kelompok atau aktor non negara juga berpotensi sebagai pelaku gerakan teroris.
Sumber: http://intelcenter.com/reports/charts/cti/index.html
Untuk menjawab fenomelogi ini maka penulis menggunakan konsep triangle terrorism atau segitiga terorisme. Triangle terrorism terdiri atas 3 hal yaitu aggrieved population, supportive entities, dan suppressive entities (Khan, 2006). Pertama, aggrieved population yang bermakna populasi / masyarakat yang dirugikan. Term ini ditujukan untuk orang-orang yang berjuang menentukan nasib sendiri atau right of self-determination. Right of self determination disini tidak terpasung dalam lingkaran kolonialisme atau konteks pendudukan. Ia tidak juga terkurung dalam definisi masyarakat yang terpaksa secara formalistik. Restriksi teknis seperti itu jelas adalah hasil dari nilai imperalisme yang ketinggalan zaman. Jika penduduk dan ditolak haknya untuk membentuk arah politik, kehidupan beragama, dan usaha memperoleh kemerdekaan maka perjuangan mereka bisa disebut sebagai salah satu model self-determination itu sendiri. Ada dua varian dalam model self-determination. Pertama adalah external self determination, yaitu usaha yang ditujukan untuk membebaskan diri dari kekuatan eksternal. 44
Terorisme dan Komunitas Muslim
Sebaliknya, jika usaha yang dilakukan bukan dalam konteks memisahkan diri dan mendirikan negara baru maka usaha ini masuk kategori kedua dan disebut internal selfdetermination (Khan, 2006). Apa yang kemudian kita lihat sebagai aggrieved population adalah representasi dari pengabaian hak-hak menentukan diri sendiri. selanjutnya menjadi embrio yang kemudian melahirkan pasukan militan atau yang kita sebut dengan terorisme. Aggrieved population didalam komunitas muslim bisa dilacak dari berbagai negara. Namun ada dua model bagaimana aggrieved population dikonstruksi dalam komunitas muslim (Khan, 2006) yaitu : a. Primary grievances atau keluhan utama. Hal ini terjadi karena ada proses invasi, okupasi / pendudukan, apartheid, atau pengusiran. Sebagai negara dengan tingkat pelaku terorisme tertinggi, Irak digolongkan sebagai aggrieved population yang primary grievances. Ini terjadi pasca invasi yang dilakukan Amerika Serikat pada tahun 2003 dalam menumbangkan rezim otoriter Saddam Hussein. Masyarakat Irak hidup sebagai aggrieved population karena trauma invasi yang berimbas ketidakstabilan ekonomi, keamanan dan jalannya pemerintahan. Pemerintahan Irak saat itu dilihat tidak lebih sebagai kepanjangan tangan oppressor. Selanjutnya, berbagai kelompok aggrieved population muncul dan menggunakan teror sebagai model perjuangannya. Pasca Amerika Serikat menarik diri dari Irak, kelompok ini semakin kuat dan memperluas terornya dengan menyerang dan menaklukan daerah-daerah lainnya. Termasuk menyerang wilayah negara lain seperti Suriah. Kelompok inilah yang sekarang menjadi kelompok teroris terkuat dan paling berbahaya dan dikenal dengan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS). b. Secondary Grievances, jika primary grievances muncul sebagai akibat pola imperialisme maka pada varian dua ini, aggrieved population adalah produk dari kekejaman negara. Pada titik ini, kita melacak aggrieved population berawal sebagai gerakan pembebasan akibat aksi teror yang dilakukan oleh negara atau state terrorism. Komunitas muslim Chechnya atau pejuang Chechnya merupakan kategori kelompok ini. Mereka menjadi sasaran operasi Zachistki Rusia, sebuah upaya penggeledahan dan pembersihan setiap rumah yang mendukung gerakan pembebasan yang ingin memisahkan diri dari Rusia. Penahanan tanpa proses peradilan, penyiksaan dan pembunuhan kemudian dilakukan atas nama keamanan negara (Quin-Judge, 2001). Segitiga terorisme yang kedua adalah supportive entities / entitas pendukung. Ini adalah entitas yang menyokong keinginan atau tuntutan-tuntutan aggrieved population yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan tuntutan restorasi hak asasi manusia. Entitas ini termasuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Organisasi Kerja sama Islam (OKI), komunitas regional seperti Uni Eropa, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), dan Non-Governmental Organization (NGO). Selain itu entitas pendukung ini juga bisa perusahaan, kelompok masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung yang mendukung hilangnya penderitaan dari pendudukan, apartheid, rasialisme dll. Kelompok keagamaan terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama telah mengambil perannya pada konteks ini. Mereka secara konsisten mendukung terwujudnya perdamaian di kawasan muslim global. Terakhir adalah suppressive entities atau entitas penindas. Aktor nya sangat beragam. Bisa dari negara, korporasi, kelompok dan individu. Ketika supportive entities mendukung tuntutan-tuntutan dari aggrieved population, suppressive entities melakukan hal sebaliknya. Meskipun semua suppressive entities mengutuk bentuk dan pola militansi. Namun hal ini tidak ditujukan untuk bentuk dan pola militansi mereka. Tindakan Amerika Serikat yang Jurnal Sosiologi, Vol. 17, No. 1: 43-48 45
selalu memveto resolusi Dewan Keamanan PBB terkait aggrieved population Palestina merupakan salah satu model suppressive entities. Berdasarkan pemaparan diatas maka tindakan terorisme akan selalu dipengaruhi oleh konektivitas 3 instrumen tersebut. Lebih jauh,aksi teror sebagai wajah politik kekerasan akan selalu muncul jika supportive entities tidak pernah mampu menekan bahkan menghilangkan militansi suppressive entities. Pendekatan Komunitas Muslim Secara umum ada dua model pendekatan yang dilakukan oleh aktor-aktor komunitas muslim dalam merespon terorisme. Pertama adalah hard approach yang diartikan sebagai pendekatan bersifat “fisik” untuk memerangi terorisme” (Mbai, 2009). Sasarannya untuk menghancurkan secara fisik baik jaringan, struktur organisasi, kepemimpinan, aliran dana, sumber-sumber logistik serta pendukung-pendukung terorisme. Sebagai bagian dari supportive entities, aktor dalam komunitas muslim sangat beragam yaitu mulai dari aktor negara dalam Organisasi Internasional seperti Organisasi Kerja sama Islam (OKI), Non Governmental Organization (NGO) seperti lembaga keagamaan sampai dengan individu. Lebih jauh, Organisasi Kerja sama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara mengeluarkan 42 pasal mengenai Kesepakatan dalam memerangi terorisme internasional (IOC, 2005). OKI mengutuk semua tindakan terorisme dan semua justifikasi rasionalisasinya. Selanjutnya OKI juga memperkuat koordinasi keamanan sesama negara anggota. Organization of Islamic Cooperation (OIC) juga mendeklarasikan OIC Combating on Terrorism namun juga menegaskan bahwa bentuk perjuangan terhadap kolonialisme, aggresi, pendudukan/okupasi dan self-determination yang tidak bertentangan dengan hukum internasional bukanlah kategori tindakan terorisme. Hal ini sejalan dengan aggrieved population yang muncul baik dari internal maupun external self-determination diatas. Indonesia adalah aktor negara dan bagian dari komunitas muslim dunia. Saat ini Indonesia telah membentuk payung hukum berupa Undang-undang Anti Terorisme yang tertuang dalam Undang-undang No.15 tahun 2003. Diaras implementasi, Indonesia juga melakukan penguatan lembaga-lembaga terkait kontra-terorisme, diantaranya penataan lembaga-lembaga intelijen Indonesia seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelejen Strategis (BAIS), Badan Intelejen di Kepolisian, serta berbagai elemen intelejen di Kementerian Kehakiman, Kementerian Keuangan, serta PPATK (Wise, 2005). Untuk memperkuat koordinasi, maka dikeluarkanlah Inpres No. 5/2002 tentang penunjukan BIN sebagai koordinator berbagai unsur intelejen tersebut. Selanjutnya pemerintah juga menjadikan institusi kepolisian sebagai ujung tombak pemberantasan terorisme. Ini lakukan dengan membentuk Detasement Khusus 88 (Densus 88), sebuah unit khusus polisi anti-teror dengan bantuan Amerika untuk menanggulangi terorisme, yang secara formal diresmikan tahun 2004 (Wise, 2005). Unit khusus polisi anti-teror inilah yang kemudian membongkar, menyergap menghancurkan kelompok-kelompok teroris di Indonesia. Selain Indonesia, beberapa negara Islam seperti Arab Saudi, Qatar, Iran, Suriah dan Malaysia juga memperketat pengamanan dan arus transaksi keuangan lintas negara. Hal ini merupakan upaya mempersempit dan membatasi arus pendanaan kelompok terorisme lintas negara (Ali, 2013) Disamping pendekatan “hard approach” seperti diuraikan diatas, komunitas muslim juga menggunakan “soft approach” (Mbai, 2009). Basis argumentasinya adalah bahwa perang melawan terorisme tidak semata-mata menyangkut perang fisik, seperti menghancurkan jaringan, infrastruktur, aliran dana, dan dukungan, tetapi diperlukan juga 46
Terorisme dan Komunitas Muslim
adalah perang di level “alam pikiran” atau ideologi ekstrimis. Untuk itu perlu pendekatan khusus untuk menetralisir ideologi ekstrim Temasuk didalamnya pula adalah upaya mencegah agar “virus” gagasan radikal tersebut terkontrol dan tidak menyebar ke masyarakat yang lebih luas. Martin (2008) pernah memperingatkan bahwa, “Extremist ideologies and beliefs are the fertile soil for politically violent behaviour. History has shown that coercive measures used to counter these tendencies are often only marginally successful” (Martin, 2008: 261). Ditingkat praksis di Indonesia, soft approach ini lazim disebut sebagai program “deradikalisasi” (ICG, 19 November 2007). Sebuah program yang dilakukan polisi di lembaga pemasyarakatan dengan tujuan mendidik atau merehab para napi teroris yang berpikiran ekstrimis menjadi sadar kembali. Intinya, mereka diharapkan berubah menjadi “moderat” dan bisa menularkan pemikirannya moderatnya tersebut kepada para napi teroris yang lain (Effendy, 2008). Efektivitas Untuk menjawab pertanyaan terakhir apakah kebijakan komunitas muslim berhasil dalam melawan terorisme, bisa dilihat dari titik temu tiga faktor yaitu kapasitas, kesempatan dan motivasi. Sejauh mana hard approach mampu menghancurkan kapasitas terorisme. Lebih jauh, bisakah pendekatan itu mereduksi bahkan menihilkan peluang gerakan terorisme. Dan terakhir apakah soft approach bisa menjadi tameng dan menetralisir ideologi radikalisme teroris didalam komunitas muslim. Jawaban pertama merupakan sesuatu yang sulit. Hal ini disebabkan keragaman pendekatan yang dilakukan berbagai aktor dalam komunitas muslim. Namun data yang muncul dari Institute for Economic and Peace di tahun 2014 menyebutkan beberapa hal. Pertama, hampir 100.000 lebih serangan teroris terjadi dalam kurun waktu 2013. Ini meningkat sekitar 44% dari tahun sebelumnya. kedua, lebih dari 80% serangan teroris di dunia tercatat hanya terjadi di 5 negara yaitu Irak, Pakistan, Afghanistan, Nigeria dan Syria. Kelima negara ini merupakan negara dengan mayoritas adalah muslim. Dari data ini, secara komprehensif, hard approach tidak berhasil menghancurkan aksi terorisme global. Meskipun hal ini berbeda dibanding Indonesia yang cenderung terjadi penurunan. Selanjutnya peran soft approach sebagai perisai ideologi terorisme dalam komunitas muslim global. Upaya untuk mengukur keberhasilan ini sangat kompleks. Meskipun aksi terorisme bisa dicegah, namun ideologi terorisme akan sulit diatasi. Banyaknya jumlah warga negara dari berbagai negara yang bergabung dengan gerakan terorisme seperti Islamic State of Iraq and Syria menjadi bukti bahwa efektifitas komunitas muslim internasional masih belum maksimal. Kesimpulan Terorisme saat ini sangat lekat dengan komunitas muslim. Ini tidak lepas dari banyaknya aktor-aktor terorisme yang muncul dengan membawa simbol-simbol islam. Upaya melihat kemunculan itu bisa dilakukan melalui segitiga terorisme. Sebuah pendekatan yang terdiri atas aggrieved population, supportive entities dan suppressive entities. Selanjutnya, kebijakan yang dibuat oleh komunitas muslim global sebagai bentuk respon terdiri atas dua model yaitu hard approach dan soft approach. Dua model yang kemudian menjadi titik awal melihat keberhasilan atau efektivitas komunitas muslim dalam Jurnal Sosiologi, Vol. 17, No. 1: 43-48 47
menghadapi aksi terorisme. Yaitu kemampuan menghancurkan kapasitas, menihilkan kesempatan dan meniadakan ideologo terorisme. Sesuatu yang tidak mudah bagi komunitas muslim.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhammad. 2013. Kebijakan Kontra-Terorisme: Efektivitas dan Gaya. Paper presented to Seminar Terorisme, Radikalisme dan Bina Damai. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Effendy, Bahtiar. 2008, Combating Terrorism in Indonesia: Where are We Now Exactly?. The Jakarta Post, Monday, 14-3-2015. Ganor, Boaz. 2005. The Counter-Terrorism Puzzle – A guide for decision makers. Transaction Publishers. NJ. http://intelcenter.com/reports/charts/gti/index.html, viewed 4.00 AM. 14-3-2015 http://www.oic.org/english/convenion/terrorism_convention.htm, viewed 4.35 AM. 14-32015 http://www.prnewswire.com/news-releases/2014-global-terrorism-index-number-of-liveslost-to-terrorism-increased-61-yoy-number-of-countries-experiencing-50-or-moredeaths-increased-60-yoy-282990761.html, viewed 4.38 AM. 14-3-2015 Mbai, Ansyaad. 2009. Interview by Ali Muhammad, Jakarta 26 May 2009. Presented to Seminar Terorisme, Radikalisme dan Bina Damai. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Martin, Gus. 2008. Essentials of Terrorism: Concepts and Controversies. Sage Publication. Los Angeles. Khan, A.L. 2006. A Theory of International Terrorism: Understanding Islamic Militancy. Martinus Nijhof Publisher. Netherland Promakov, M.Y. 2006, A World Challenged : Fighting Terrorism in the Twenty First Century. The Nixon Center and Brooking Institution Press. Washington DC. Quin-Judge, P. 2001. In Ruins of Grozny; the Dirty War’ in Chechnya. Human Right Watch. March, 2001. Wise, Willam. 2005. Indonesia’s War on Terror. Published by the United States–Indonesia Society. USINDO.
48
Terorisme dan Komunitas Muslim