Lokakarya Nasional Kambing Potong
STRATEGI PENINGKATAN KUALITAS PRODUK MELALUI TEKNOLOGI PASCAPANEN DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAMBING ABUBAKAR Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor
ABSTRAK Pembangunan bidang subsektor peternakan sampai saat ini tetap mempunyai peranan yang penting bagi kelangsungan pembangunan secara keseluruhan, baik untuk meningkatkan gizi masyarakat maupun untuk memperluas lapangan kerja disektor pertanian. Peningkatan produksi ternak yang sudah baik harus diikuti dengan teknologi pasca panen hasil yang tepat guna, hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas produk hasil ternak, maupun dalam rangka meningkatkan agribisnis ternak terutama di daerah pedesaan. Sampai saat ini produksi hasil ternak kambing (daging, susu, kulit dan hasil ikutannya) dirasakan pemanfaatannya belum optimal oleh karena adanya susut hasil, beragamnya mutu produk, kurang berdaya gunanya cara-cara penanganan dan pengolahan, mempunyai sifat mudah rusak, serta lemahnya sistem pemasaran. Pascapanen hasil ternak kambing yang baik dan tepat akan menghasilkan produk ataupun hasil olahan yang bermutu baik pula. Sehubungan dengan itu maka strategi peningkatan produk hasil ternak kambing yang bermutu dan aman (food safety) hendaknya dilakukan melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik, tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip pengamanan sejak ditingkat produsen, perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan berkesinambungan. Penelitian dan pengembangan teknologi penanganan dan pengolahan hasil ternak yang telah dihasilkan diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk dan nilai tambah sekaligus dapat menunjang pengembangan agribisnis kambing khususnya dan pembangunan sub sektor peternakan pada umumnya. Kata kunci: Peningkatan kualitas,teknologi pascapanen, agribisnis kambing
PENDAHULUAN Pembangunan di bidang subsektor peternakan telah menunjukan hasil yang nyata terutama dalam bidang produksi. Peningkatan produksi peternakan belum dikatakan berhasil apabila tidak diikuti oleh teknologi pasca panen yang pada akhirnya untuk mengembangkan agribisnis yang bertujuan untuk meningkatan nilai tambah hasil peternakan melalui pembangunan industri untuk memperluas kesempatan kerja, meningkatkan penghasilan dan memacu pembangunan ekonomi pedesaan. Dengan memperhatikan tersedianya peluang pasar yang sangat potensial, pengembangan agribisnis peternakan dilaksanakan dengan: 1). memprioritaskan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah seperti petani/peternak, pengusaha industri kecil, pengrajin dsb dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk hasil ternak. 2). pemilihan bidang agroindustri yang akan dikembangkan dengan lebih mengutamakan bidang usaha yang dapat menciptakan lapangan usaha baru yang padat karya. 3). mengusahakan distribusi agroindustri yang lebih tersebar di pusat-pusat peternakan di pedesaan. 4). mendorong perubahan
struktur expor dari komoditi peternakan ke arah komoditas olahan (DUDUNG, 1995). Langkah langkah pokok dalam pengembangan agibisnis hasil ternak sebagai usaha meningkatkan nilai tambah yang lebih besar melalui pembangunan industri pengolahan hasil peternakan yang mencakup: a). dukungan penyediaan bahan sarana produksi maupun mesin dan peralatan pengolahan hasil ternak. b). peningkatan nilai tambah dari produk hasil ternak melalui pertumbuhan industri kecil pedesaan maupun melalui pengembangan kelompok industri hulu dan hilir. Potensi agroindustri untuk meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk pada subsektor peternakan, pada pengembangan agribisnis masih sangat luas. Hasil peternakan merupakan bahan yang sangat mudah rusak sehingga perlu segera dilakukan penanganan. Berbagai teknologi penanganan/pengawetan dan pengolahan dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk. Limbah hasil peternakan juga merupakan sumber bahan baku untuk berbagai kegiatan industri kecil dalam menghasilkan produk akhir maupun produk setengah jadi (ABUBAKAR, et al. 1999)
97
Lokakarya Nasional Kambing Potong
HASIL TERNAK KAMBING Ternak kambing atau sering juga dikenal sebagai ternak ruminansia kecil, merupakan ternak herbivora yang sangat populer dikalangan petani di Indonesia terutama yang tinggal di pulau Jawa. Jenis ternak ini mudah dipelihara, dapat memanfaatkan limbah dan hasil ikutan pertanian dan industri, mudah di kembangbiakkan, dan pasarnya selalu tersedia setiap saat serta memerlukan modal yang relatif sedikit dibandingkan dengan ternak yang lebih besar. Kemampuan ternak ini untuk memanfaatkan hijauan sebagai bahan makanan utama menjadi daging, menempatkan ternak kambing sebagai bagian yang cukup penting artinya bagi perekonomian nasional pada umumnya, maupun kesejahteraan keluarga petani di pedesaan pada khususnya. Kambing tersebar luas di daerah pedesaan dan biasanya dipelihara dengan tujuan sebagai tabungan hidup maupun sebagai ternak potong/ternak susu untuk dikonsumsi keluarga disamping kotorannya dapat dipergunakan untuk pupuk yang baik bagi tanaman. Pemeliharaan ternak ini di pedesaan merupakan bagian dari usaha tani secara keseluruhan dalam skala yang relatif kecil dengan rataan jumlah kepemilikan sebanyak 3-5 ekor/keluarga petani. Keadaan ini membuktikan bahwa ternak kambing belum mendapat kan perhatian yang besar dalam hal peningkatan potensinya sebagai pemasok daging untuk dapat ditingkatkan kepada skala produksi yang secara ekonomik memberikan keuntungan yang optimal. Karena beberapa sifatnya yang sangat khusus tersebut, kehadiran ternak kambing ini menunjukkan bahwa petani pemiliknya memiliki lahan dan modal yang terbatas (ANONIMOUS, 1989). Menurut penelitian, di pulau Jawa diperkirakan bahwa ternak kambing dapat dijumpai pada satu dari hampir setiap lima rumah tangga petani di pedesaan. Kenyataan ini menunjukkan besarnya peranan ternak kambing di pedesaan dan penting artinya bagi perekonomian masyarakat petani di Indonesia. Di daerah pedesaan, ternak ini biasanya dipelihara secara tradisional dengan sistem dikandangkan atau setengah digembalakan. Sistem perkandangan yang sederhana dan pemberian makanan yang berasal dari penyediaan alam sekitarnya serta belum adanya sistem pemilihan bibit yang terarah, merupakan ciri khusus dari cara pemeliharaan tradisionl tersebut. Pada umumnya kambing di Indonesia beranak pertama pada umur 15-18 bulan, dan keadaan ini sangat bergantung kepada tatalaksana pemeliharaannya. Dengan tatalaksana pedesaan,
98
ternak ini dapat memberikan pertambahan berat badan rataan harian sebesar 20-30 g, namun dengan tatalaksana yang lebih maju dengan pemberian pakan yang baik, pertambahan berat badan harian dapat mencapai antara 50-150 g. Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa dengan cara pemeliharaan yang baik produktifitas usaha pemeliharaan ternak kambing ini akan dapat lebih ditingkatkan lagi (ANONIMOUS, 1989). Pendekatan ini sekaligus dapat memanfaatkan sistem lingkungan usaha tani yang ada terutama dalam pengkajian dampak ekonomi bagi kesejahteraan keluarga petani. Secara singkat dapat dikatakan bahwa usaha ternak kambing pedesaan di Pulau Jawa yang sudah berlangsung selama beberapa abad ini masih merupakan bagian yang penting dalam sistem usaha tani secara keseluruhan. Ternak kambing potong, disamping sebagai penghasil daging, juga mempunyai potensi sebagai penghasil kulit yang bernilai ekonomi tinggi, sedangkan kambing perah disamping sebagai penghasil susu, juga meghasilkan daging setelah diafkir sebagai kambing perah disamping itu juga menghasilkan kulit, tulang, tanduk dan kotoran yang sangat bermanfaat. TEKNOLOGI PASCAPANEN DAN TUNTUTAN KEAMANAN PANGAN Peningkatan produksi hasil peternakan yang sudah baik telah mendorong dan sekaligus merupakan tantangan dalam teknologi pascapanen/penanganan dan pengolahan hasilnya, sehingga produksi hasil ternak dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan pendapatan peternak, meningkatkan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja, meningkatkan ekspor dan mengurangi impor serta memberikan dukungan yang kuat terhadap pembangunan (ABUBAKAR, 1994). Disamping produk utama (daging, susu), hasil ikutan dari ternak kambing seperti kulit dan tulang serta kotorannya juga mempunyai potensi yang besar dalam memberikan nilai tambah dari sub sektor peternakan. Sifat produksi hasil ternak yang mudah rusak dan kondisi lingkungan Indonesia dengan temperatur dan kelembaban yang cukup tinggi akan mempercepat proses kerusakan komoditi, maka untuk itu memerlukan penanganan pasca panen yang baik dan tepat sehingga mutu hasil ternak tetap terjaga dan aman dikonsumsi. Menutut UU tentang pangan yaitu No.7 tahun 1996, pengertian keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan
Lokakarya Nasional Kambing Potong
benda-benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada dasarnya keamanan pangan (food safety) merupakan hal yang komplek dan berkaitan erat dengan aspek toksisitas mikrobiologik, kimia, status gizi dan ketentraman batin. Masalah keamanan pangan ini kondisinya terus berkembang, bersifat dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia yang meliputi aspek sosial budaya, kesehatan, kemajuan Iptek dan segala yang terkait dengan kehidupan manusia. Untuk mendapatkan jaminan mutu dan keamanan hasil ternak sebagai bahan pangan, maka para pelaku yang terlibat dalam mata rantai penyediaan hasil ternak mulai dari produsen hingga konsumen akhir, perlu menyadari dan memahami tentang pentingnya mutu dan keamanan hasil ternak untuk meningkatkan daya saing pasar dalam maupun luar negeri pada era globalisasi, dan untuk memperoleh hasil ternak yang berkualitas dan aman perlu diterapkan upaya-upaya pengamanan di setiap mata rantai produksi dengan penerapan konsep Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP). Konsep HACCP didefinisikan sebagai suatu metoda pendekatan kepada identifikasi dan penetapan “hazard” serta resiko yang ditimbulkan berkaitan dengan proses produksi, distribusi dan penggunaan makanan oleh konsumen dengan maksud untuk menetapkan pengawasannya sehingga diperoleh produk yang aman dan sehat. Pengertian “hazard” adalah merupakan titik kerawanan terhadap pencemaran baik yang sifatnya mikrobiologi, kimia maupun fisik yang secara potensial dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Critical Control Point (CCP) merupakan langkah atau prosedur dimana tindak pengawasan dilaksanakan untuk mengeliminasi, mencegah atau memperkecil “hazard” sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. Dengan menitik beratkan pada pengawasan, faktor kunci yang dapat mempengaruhi keamanan dan kualitas pangan, maka petugas pengawas, produsen maupun konsumen dapat menjamin terhadap tingkat keamanan pangan (ANONIMOUS, 1994). Prinsip pelaksanaan HACCP adalah, (1) mengidentifikasi “hazard” dan memperkirakan kemungkinan bahaya yang ditimbulkan (hazard analysis) pada mata rantai pangan serta menetapkan langkah-langkah pengendaliannya sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. (2) menetapkan critical control point (CCP) atau titik tindak pengawasan yang diperlukan untuk pengendalian hazard. Ada dua tipe titik tindak pengawasan yaitu tindak yang dapat menjamin keamanan produk dan titik tindak yang hanya dapat memperkecil kemungkinan bahaya yang timbul
akibat pencemaran. (3) menetapkan kriteria/ pengawasan yang menunjukkan pengawasan pada CCP yang ditetapkan tersebut telah berjalan sesuai prosedur. (4) menetapkan dan menerapkan prosedur untuk memonitor setiap CCP, misalnya, pemeriksaan, fisik/kimia, organoleptik, biologis dan pencacatan terhadap faktor-faktor penting lainnya yang diperlukan untuk kontrol. (5) menetapkan tindakan yang perlu diambil apabila ternyata menurut monitoring menunjukkan bahwa kriteria yang ditetapkan untuk mengawasi CCP tidak sebagaimana mestinya. (6) verifikasi kembali dengan menggunakan informasi pendukung dan pengujian untuk meyakinkan bahwa HACCP tersebut dapat dilaksanakan oleh bagian “Quality Controle” atau pihak lain sebagai unsur pengawas. (7) menetapkan cara pencatatan dan dokumentasi (ANONIMOUS, 1996). Teknologi Pengolahan Daging Menurut SOEPARNO (1994), daging konsumsi yang dijual dipasar tradisional maupun pada swalayan dapat dikatagorikan dalam dua kelompok, yaitu kelompok pertama, daging dari ternak besar seperti sapi, kerbau, kambing dan kelompok kedua, daging dari ternak kecil yaitu dari jenis unggas, ayam, itik, entog dan lain-lain. Menurut DIRJEN PETERNAKAN (2003), produksi daging di Indonesia pada tahun 2002 sebesar 1560,6 ribu ton, dan meningkat menjadi 1583,0 ribu ton pada tahun 2003. Sementara itu, konsumsi daging mencapai 1601,6 ribu ton yang berasal dari penyediaan dalam negeri dan impor sebanyak 43,5 ribu ton serta ada ekspor sebanyak 2,5 ribu ton pada tahun 2002. Keadaan pada tahun 2002, konsumsinya mencapai 1624,0 ribu ton yang berasal dari penyediaan dalam negeri dan impor sebanyak 43,5 ribu ton serta ada ekspor sebanyak 2,5 ribu ton. Daging kambing untuk konsumsi pada umumnya dihasilkan dari jenis-jenis kambing lokal pedaging atau afkir dari kambing penghasil susu antara lain, kambing etawah, kacang, bali/gembrong dan lain-lain. Hasil utama kambing tipe pedaging adalah berupa karkas yaitu tubuh kambing yang telah dihilangkan bagian-bagian isi perut, kepala, kaki dan kulit (BUCKLE, et.al. 1985). Seperti diketahui bahwa di Indonesia mempunyai daerah-daerah etnik Arab yang sangat menyukai daging kambing. Sebagian besar manfaat dari produk pangan hewani yang dikonsumsi manusia adalah daging, karena daging merupakan bahan makanan yang mengandung zat-zat gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia (WILSON, et al. 1991).
99
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Orang makan daging dipengaruhi oleh berbagai alasan antara lain tradisi, nilai gizi tinggi, kesehatan, variasi, bersifat mengenyangkan dan prestise (gengsi). Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau atau rasa, jus daging. Disamping itu lemak intramuskular, susut masak, retensi cairan, ph daging ikut menentukan kualitas daging. Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukan yang dapat dinyatakan dengan sifat mudah dikunyah (SOEPARNO, 1994). Teknologi pangan yang utama harus diterapkan adalah teknologi penanganan daging segar, terutama teknologi sanitasi (PEARSON dan TAUBER, 1994). Komposisi kimia daging yang utama adalah air, protein, lemak dan abu. setiap 100 gram daging rata-rata dapat memenuhi kebutuhan gizi orang dewasa setiap hari sekitar 10 % kalori, 50% protein, 35% zat besi, dan 25-60% vitamin B komplek. Secara umum daging terdiri dari protein 18%, lemak 3,5%, bahan ekstrak tiada nitrogen 3,3%, air 75% dan karbohidrat berupa glikogen dalam jumlah sedikit (ZWEIGERT, 1991). Protein daging bersifat lengkap karena mengandung semua asam amino essensial dan masing-masing terdapat dalam susunan yang seimbang. Susunan asam amino essensial protein daging mendekati pola susunan asam amino yang diperlukan oleh tubuh manusia. Lemak merupakan komponen utama dalam daging. Lemak berfungsi sebagai pembentuk energi dan komposisi lemak terdiri dari gliserol dan asam lemak. Karbohidrat merupakan komponen yang memegang peranan utama didalam bahanbahan organik. Kebanyakan karbohidrat didalam jaringan tubuh hewan terdiri dari polisakarida komplek dan beberapa diantaranya berkaitan dengan komponen protein dan sulit dipisahkan, glikogen merupakan karbohidrat yang utama didalam daging (PRICE dan SCHWEIGERT, 1988). Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan cepat rusak. Kerusakan daging yang menyebabkan penurunan mutu daging segar terutama disebabkan oleh mikroorganisme. Daging akan terkontaminasi secara internal apabila tidak didinginkan setelah pemotongan hewan. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang mencemari permukaan karkas dan daging ditentukan oleh penanganan sebelum penyembelihan hewan dan tingkat pengendalian hiegines yang dilaksanakan selama penanganan pada saat penyembelihan dan pembersihan karkas hingga daging dikonsumsi (ABUBAKAR dan PUTU, 1997). Untuk mengatasi atau mengurangi kontaminasi diperlukan penanganan yang hieginis dengan sistem sanitasi yang sebaik-baiknya. Besarnya kontaminasi
100
mikroba pada daging akan menentukan kualitas dan masa simpan daging. Menurut BUCKLE et al. (1985), penyimpanan suhu rendah telah lama digunakan sebagai salah satu cara pengawetan bahan pangan, karena dapat mempertahankan cita rasa dan menghambat kerusakan bahan pangan tersebut. Dalam lemari pendingin suhu dapat dicapai jauh lebih rendah dari pada menyimpan dengan es, juga dapat digunakan untuk menyimpan berbagai bahan pangan dalam waktu terbatas. Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi metabolisme keaktifan respirasi sehingga pertumbuhan bakteri dan kebusukan dapat dihambat. Semakin rendah suhu lingkungan, enzim menjadi semakin berkurang. Daging yang masih hangat akan menurunkan suhu ruang pendingin, jumlah daging didalam ruang pendingin sebaiknya tidak berlebihan. Pendinginan daging adalah penyimpanan daging pada suhu ruangan dengan suhu lebih rendah dari 2oC. Faktor yang mempengaruhi laju pendinginan antara lain adalah panas spesifik daging atau kapasitas panas, berat ukuran daging, jumlah daging dalam ruangan pendingin dan jarak antar daging. Pengolahan Daging Secara Pendinginan Daging telah diketahui sebagai bahan yang mudah rusak, hal ini disebabkan karena komposisi gizinya yang baik untuk manusia maupun mikroorganisme, dan juga karena pencemaran permukaan pada daging oleh mikroorganisme perusak. Menurut BUCKLE et al (1985), sampai saat ini suhu rendah selalu digunakan untuk memperlambat kecepatan berkembangnya pencemaran permukaan dari tingkat awal sampai tingkat akhir dimana terjadi kerusakan. Waktu yang diperlukan untuk perkembangan mikroorganisme semacam itu merupakan ukuran ketahanan penyimpanan. Istilah “penyimpanan dingin” biasanya diartikan sebagai penggunaan suhu rendah dalam kisaran 10 sampai 3,50C, suhu yang jauh melebihi permulaan pembekuan otot, tetapi masih berada dalam suhu optimum –20C dan 70C bagi pertumbuhan organisme psikorofilik (ZWEIGERT, 1991). Jadi hal terpenting dalam pemasaran daging yang disimpan pada suhu dingin adalah penjualan yag secepat mungkin berdasarkan pada daya tahan yang tidak lebih dari 3–5 hari. Suhu dingin harus tetap terjaga selama penyimpanan dalam jumlah besar, distribusi, penyimpanan di pengecer dan penjualan. Cara ini sangat banyak dipergunakan di kota–kota modern, dan tergantung pada pemotongan ternak dalam jumlah besar dengan distribusi berantai dan penyimpanan dingin (dalam
Lokakarya Nasional Kambing Potong
lemari es) di rumah konsumen. Kerusakan daging yang diproduksi dan dipakai setempat dapat dihindari dengan cara menggunakan daging itu secepatnya. Bila diperlukan waktu simpan yang lebih dari 5 hari seperti halnya daging yang disiapkan untuk diekspor ke kota lain atau negara lain, maka suhu 10 sampai 3,50C tidak lagi memadai dan harus digunakan suhu yang lebih rendah, bersama-sama dengan cara-cara lain yang ada untuk mengurangi kecepatan kerusakan oleh mikroorganisme. Faktor-faktor ini menurut BUCKLE, et al (1985) antara lain adalah: 1) pengurangan tingkat pencemaran awal sampai akhir ke tingkat serendah mungkin dengan penggunaan prinsip-prinsip higiene yang ketat selama penyembelihan dan penanganan karkas. 2) pemilihan suhu terendah yang dapat menghindarkan pembekuan bagian tipis dari pada karkas dan pengawasannya seketat mungkin, dalam pelaksanaannya suhu ini adalah -1,50-0,20C. 3) dalam hal karkas, pemilihan kondisi penyimpanan supaya terdapat kelembaban relatif 81–87 % sehingga pengeringan permukaan yang mencapai 2–4% dari berat karkas terjadi di permukaan. Hal ini akan menghalangi pertumbuhan bakteri. 4) penambahan kedalam atmosfer penyimpanan sampai 25% CO2 yang akan mengakibatkan penurunan kecepatan pertumbuhan mikroorganisme. Jumlah CO2 yang melebihi 25% cenderung untuk mempercepat pembentukan metmioglobin yang tak diinginkan dan harus dihindari. 5) penggunaan daging dengan pH rendah, sebaiknya dibawah pH 5,8. 6) pengurangan waktu proses pendinginan karkas ke tingkat yang minimum. Pengolahan Daging Secara Pembekuan Menurut SOEPARNO (1994), pembekuan atau penyimpanan beku daging dilaksanakan pada suhu dimana mikroorganisme tidak akan tumbuh dan pada suhu dimana daging masih cukup keras dan tahan pada penimbunan secara besar–besaran. Dalam pelaksanaannya ini berarti penggunaan suhu dibawah –150C. Daging, seperti bahan biologis yang lain tidak mempunyai titik beku tertentu, akan tetapi mempunyai kisaran titik beku, jumlah air yang terdapat sebagai es ditentukan oleh rendahnya suhu. Jadi pada suhu 00C tidak terdapat es, pada suhu –100C kira–kira 83% dari air yang ada membeku dan pada –300C kira–kira 89% beku dan baru pada suhu dibawah –400C semua air yang ada membeku. Saat air mulai membeku kecepatan pembentukan es ditentukan oleh kecepatan penghilangan panas dan kecepatan penyebaran air dari struktur sel disekitarnya. Pada kecepatan beku
yang rendah, terbentuk beberapa pusat kristalisasi yang menyebabkan timbulnya kristal–kristal es yang besar yang menyebabkan pecahnya sel dan banyak air yang hilang bila daging dicairkan. Pada kecepatan yang tinggi, jumlah kristal es bertambah dan ukuran kristal tetap kecil. Dan bila daging dicairkan hilangnya cairan tidak akan terlalu banyak. Pendinginan daging tanpa tulang dari 100C menjadi –120C membebaskan panas kira–kira 250 Kj/kg daging, dimana sebagian besar dari panas ini adalah panas laten yang dibebaskan pada perubahan air menjadi es di dalam daging. Jenis olahan daging yang telah populer dalam dunia industri pengolahan pascapanen adalah: bakso, kornet, nugget, abon, dendeng, burger, sosis, dan daging asap. Sementara itu, teknologi pemotongan dan penanganan daging kambing sebelum pengolahan adalah berupa pembelahan karkas digantung pada kaki belakang dan kepala menghadap ke bawah dan pembelahan dilakukan persis membelah tulang punggung sampai ke tulang leher. Kemudian belahan kiri dan kanan tersebut dipotong atas bagian-bagian paha, lulur, lambung, rusuk, dada, bahu dan kaki depan, (SOEPARNO, 1994). Teknologi Pengolahan Susu Susu merupakan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi yang dapat diperoleh dari hasil pemerahan hewan seperti sapi, kerbau, kuda, kambing dan hewan lainnya. Komponen-komponen yang penting dalam air susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral, laktosa serta enzim-enzim dan beberapa mikroba (LAMPERT, 1980). Menurut DIRJEN PETERNAKAN (2003), produksi susu di Indonesia pada tahun 2002 mencapai 479,9 ribu ton dan meningkat menjadi 521,0 ribu ton pada tahun 2003. Sementara itu, konsumsi susu secara keseluruhan pada tahun 2002 mencapai 1225,6 ribu ton dan meningkat menjadi 1249,5 ribu ton pada tahun 2003, dimana konsumsi susu ini sebagian besar masih harus impor baik pada tahun 2002 maupun tahun 2003. Komposisi susu dapat dikatakan sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, antara lain bangsa, tingkat laktasi, pakan, interval pemerahan, temperatur dan umur, akan tetapi angka rata-rata untuk semua jenis kondisi dan jenis kambing perah adalah sebagai berikut: kadar air 87,81%, lemak 4,09 %, protein 3,71 %, laktosa 4,20 %, kadar abu 0,79% dan beberapa vitamin yang larut dalam lemak susu, yaitu vitamin A, D, E dan K (HANDERSON, 1981 dan BUCKLE et, al. 1985). Disini terlihat bahwa kadar lemak dan protein susu kambing lebih tinggi dibandingkan
101
Lokakarya Nasional Kambing Potong
susu sapi, dimana pada susu sapi kadar lemak 3,50% dan proteinnya 3,40%. Walaupun susu masih segar dan berasal dari kambing yang sehat tidak dijamin aman untuk dikonsumsi. Menurut BUCKLE et.al (1985), susu mudah terkontaminasi oleh bakteri patogen yang berasal dari lingkungan, peralatan pemerahan atau ternak itu sendiri. Tetapi susu yang telah mengalami pasteurisasi, sterilisasi atau pemanasan pada suhu tinggi merupakan susu yang aman untuk dikonsumsi. Kuman yang mencemari susu akan tumbuh dengan baik apabila lingkungan alam sekitar seperti keadaan anaerob, suhu, kelembaban, pH dan adanya laktosa yang mendukung. Menurut BUCKLE et.al (1985), beberapa kerusakan susu akibat aktivitas mikroorganisme antara lain adalah: 1) pengasaman dan penggumpalan yang disebabkan karena fermentasi laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan turunnya pH dan kemungkinan terjadinya penggumpalan kasein. 2) berlendir seperti tali yang disebabkan karena terjadinya pengentalan dan pembentukan lendir sebagai akibat pengeluaran bahan seperti kapsul dan bergetah oleh beberapa jenis bakteri. 3) penggumpalan susu yang timbul tanpa penurunan pH, hal ini disebabkan oleh bakteri seperti Bacillus cereus yang menghasilkan enzim yang mencerna lapisan tipis fosfolipid disekitar butir-butir itu menyatu membentuk suatu gumpalan yang timbul kepermukaan susu. Sifatsifat fisik dan kimiawi susu adalah: kerapatan susu bervariasi antara 1,0260 dan 1,0320 pada suhu 20oC, pH susu segar berada antara 6,6-6,7 dan warna susu yang normal adalah putih kebiru-biruan sampai kuning kecoklatan. Cita rasa susu, menyenangkan dan agak manis, dimana rasa manis berasal dari laktosa, sedangkan rasa asin berasal dari klorida. Penggumpalan susu merupakan sifat yang paling khas, yang diakibatkan kegiatan enzim atau penambahan asam (HANDERSON, 1981). Produk-produk olahan susu yang sudah dikenal dalam industri pengolahan adalah: susu pasteurisasi, homogen, susu skim dan es krim, mentega, keju, susu kental, susu bubuk, yoghurt, dadih, dali, kefir, es krim, karamel/kembang gula susu, dodol susu, dan krupuk susu (ABUBAKAR, 1994).
Teknologi Pengolahan Kulit Kulit kambing dapat dijadikan sebagai bahan pokok pembuatan sepatu, sandal, dompet, tas, ikat pinggang, jaket, dan lain-lain. Sebelum digunakan sebagai bahan industri, kulit segar harus diproses yaitu dibersihkan, diberi garam, dikeringkan
102
dengan matahari, dan disamak. Pada prinsipnya penyamakan kulit terdiri dari tujuh tahapan utama, yaitu: pengeringan awal, perendaman dalam larutan kapur, pencukuran bulu, pemberian obat-obatan dengan cara perendaman, pengeringan akhir, peregangan dan penghalusan dan pengkilapan akhir. Berdasarkan fungsinya, kulit yang sudah disamak dan sudah siap digunakan sebagai bahan pokok industri ada tiga golongan yaitu, kulit kalf, kulit sol dan kulit lapisan dalam. Kulit kambing dapat dibuat sebagai kulit kalf dan kulit lapisan dalam, sedangkan kulit sol biasanya berasal dari kulit sapi. Teknlogi Pengolahan Kotoran Ternak Kotoran kambing dapat digunakan sebagai pupuk kandang, dan mempunyai keunggulan dibandingkan pupuk alam lainnya, kotoran kambing mengandung unsur N, P dan K, yang lebih tinggi dari pupuk hijau dan kompos yaitu 0,95% N, 0,35% P205, dan 1,0% K20 (SUBAGYO dan SAMAD, 1985). Selain itu kotoran kambing dapat digunakan sebagai gas bio dan bahan makanan ternak, karena diduga mengandung vitamin B12 yang dapat merangsang pertumbuhan ayam atau ternak lain (WIRYOSUHANTO, 1985). Teknologi Pengolahan Tulang/Tanduk Kekurangan gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang paling umum dijumpai terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Zat gizi yang mempunyai peranan penting dalam tubuh yaitu mineral zat besi, phospor dan kalsium. Karena kekurangan zat besi sangat besar pengaruhnya dalam proses terjadinya kekurangan gizi maka seringkali istilah anemia gizi diidentikkan dengan istilah anemia besi. Kekurangan besi adalah penyebab utama terjadinya anemia, yang menurut beberapa pakar gizi digambarkan sebagai suatu kondisi menurunnya jumlah sel darah merah, sehingga kadar hemoglobin dalam tubuh berada di bawah normal. Sumsum tulang yang berfungsi sebagai tempat pembentukan sel-sel darah merah diyakini mengandung Fe yang siap digunakan untuk pembentukan sel darah merah. Sumsum tulang sebelum digunakan terlebih dahulu ditentukan kadar Fe-nya. Metode yang digunakan ialah destruksi dengan menggunakan HCl yang kandungan Fe-nya diukur dengan spektrofotometer pada λ 460 nm dan Spektroskopi Absorpsi Atom (AAS) pada λ 248.3 nm. Dari hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa kandungan Fe pada
Lokakarya Nasional Kambing Potong
sumsum tulang dengan metode spektrofotometri sebesar 109 ppm (0.0109%), sedangkan dengan AAS sebesar 175.75 ppm (0.0176%) (ABUBAKAR, et al. 2004). Menurut ABUBAKAR dan HAERANI (2003), tulang juga mengandung kalsium, yang merupakan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, khususnya bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan, wanita hamil, dan orang tua. Kalsium banyak terdapat dalam tulang, oleh karena itu tulang kambing sebagai produk samping atau limbah dari pemotongan hewan ternak dapat digunakan sebagai suplemen kalsium. Kadar kalsium tulang telah diukur dengan dua metode, yaitu metode permanganometri dan Spektroskopi Absorpsi Atom (AAS). Dari metode permanganometri diperoleh kadar kalsium tulang sebesar 1,56%, sedangkan dari metode AAS sebesar 18,45%. Rendemen tepung tulang terhadap tulang diperoleh sebesar 60,86% (b/b). Dari hasil uji kualitatif, tepung tulang mengandung klorida, kalsium, fosfat, magnesium, dan besi, sedangkan sulfat ditemukan dalam jumlah sangat kecil. Dari hasil uji proksimat, tepung tulang mempunyai kadar air sebesar 0,26%, kadar abu sebesar 48,55%, dan kadar lemak sebesar 2,34% (ABUBAKAR dan HAERANI, 2003). Strategi Peningkatan Mutu Produk/Hasil Ternak Kambing Hasil ternak merupakan bahan yang sangat mudah rusak sehingga perlu segera dilakukan penanganan. Berbagai teknologi penanganan/pengawetan dan pengolahan dapat meningkat kan kualitas dan nilai tambah produk. Teknik-teknik penanganan dan pengolahan hasil ternak diharapkan dapat mengamankan hasil produksi terhadap penurunan mutu agar dapat meningkatkan kualitas dan nilai tambah hasil ternak, baik dari segi bobot, bentuk fisik, rupa dan gizi maupun rasa, bebas dari jazat renik patogen serta residu bahan kimia, sehingga produk aman (food safety) dan dapat memenuhi persyaratan pasar dalam dan luar negeri serta agroindustri pengolahan. Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain, genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif. Faktor setelah pemotongan adalah metode pelayuan, stimulasi listrik, metode
pemasakan, pH karkas, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk, hormon, lemak intra muskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging. Menurut SOEPARNO (1994), marbling menjadikan daging empuk, karena marbling berperan sebagai bahan pelumas pada saat daging dikunyah dan ditelan, juga berpengaruh terhadap sari minyak (juiceness) dan aroma (flavor) daripada keempukan daging. Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau atau rasa, jus daging. Disamping itu lemak intramuskular, susut masak, retensi cairan, ph daging ikut menentukan kualitas daging. Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukan yang dapat dinyatakan dengan sifat mudah dikunyah (SOEPARNO, 1994). Kualitas dan komposisi susu dapat dikatakan sangat beragam tergantung pada beberapa faktor, antara lain bangsa, tingkat laktasi, pakan, interval pemerahan, temperatur dan umur. Susu harus memenuhi syaratsyarat kesehatan dan kebersihan, karena susu merupakan media yang paling baik bagi petumbuhan mikroba, selain itu susu mudah pecah dan rusak bila penanganannya kurang baik, sehingga masa simpannya selatif singkat. Parameter spesifik kualitas susu sangat ditentukan oleh, berat jenis/total solid, kadar lemak, protein, dan jumlah kuman. Disamping itu untuk menangani kelebihan produksi air susu, maka langkah yang paling tepat adalah dengan mengawetkan susu tersebut untuk memperpanjang masa simpannya. Sehubungan dengan itu maka strategi peningkatan produk hasil ternak kambing yang bermutu dan aman (food safety) hendaknya dilakukan melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik, tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip pengamanan sejak ditingkat produsen, perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan berkesinambungan. Ketersediaan Teknologi Pengolahan
Berdasarkan hasil penelitian dalam teknologi penanganan dan pengolahan hasil ternak dari daging, susu, kulit dan tulang maka teknologi yang dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh pengguna, seperti pada tabel berikut.
103
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Tabel.1. Teknologi penanganan dan pengolahan hasil ternak yang tersedia Komoditi
Daging
Asal ternak
Kambing
Produk olahan
Teknologi penanganan/pengolahan
Abon
Mutu, beberapa jenis daging, penyimpanan.
Dendeng
Mutu, kemasan vaccum, penyimpanan.
Baso Sosis
Mutu, beberapa jenis daging, kemasan vakum, beberapa penggunaan tepung.
Kornet
Mutu, bahan pengisi, pengasapan.
Nuget
Mutu, teknik pengolahan, bahan pengasap
Asap Susu
Kambing
Pasteurisasi
Mutu, jenis aroma, kemasan, suhu.
Yoghurt
Mutu, beberapa jenis susu, jenis aroma, penyimpanan
Kefir
Mutu, jenis aroma, penyimpanan
Dali
Mutu, penggunaan susu
Dadih
Kemasan, penyimpanan
Karamel
Mutu, penggunaan susu,
Dodol
Identifikasi mikroba, penyim panan. Mutu, kemasan, penyimpanan. Mutu, teknik pengolahan.
Krupuk
Mutu, teknik pengolahan
Keju
Mutu, renet alami dari kambing
Kulit dan kulit bulu
Kambing
Kulit samak
Domba
Samak bulu
Tulang
Kambing
Mineral Ca, P, Fe
KESIMPULAN Peningkatan produksi ternak kambing yang sudah baik harus diikuti dengan teknologi pascapanen hasil yang tepat untuk meningkatkan kualitas produk hasil ternak, maupun dalam rangka meningkatkan agribisnis ternak. Produksi hasil ternak kambing pemanfaatannya dirasakan belum optimal oleh karena masih adanya susut hasil, beragamnya mutu produk, kurang berdaya gunanya cara-cara penanganan dan pengolahan, mempunyai sifat mudah rusak, serta lemahnya sistem pemasaran, maka strategi peningkatan produk hasil ternak kambing yang bermutu dan aman (food safety) hendaknya dilakukan melalui pemilihan bibit ternak yang unggul, pemberian pakan dengan mutu baik, tatalaksana pemeliharaan yang baik, pengendalian penyakit, teknologi pascapanen yang tepat guna, serta menerapkan prinsip-prinsip pengamanan sejak ditingkat produsen, perantara dan tingkat pemasaran selanjutnya sampai konsumen secara terarah dan berkesinambungan. Penelitian dan pengembangan teknologi penanganan dan pengolahan hasil ternak diharapkan dapat meningkatkan kualitas produk, sekaligus dapat menunjang pengembangan
104
Mutu, beberapa teknik samak kulit, kulit bulu. Teknik analisis
agribisnis kambing khususnya dan pembangunan sub sektor peternakan pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA ABUBAKAR. 1994. Teknologi Penyimpanan dan Pengemasan Hasil Ternak (Dukungan terhadap Agroindustri Komoditi Ternak). Proseding Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering. Batu - Malang 26-27 Oktober. Sub BPT Grati. ABUBAKAR dan IG.PUTU. 1997. Pengaruh Percikan Air Dingin (Spray Chilling) terhadap Penurunan Susut Berat Karkas Sapi Brahman Cross selama Penyimpanan pada Suhu Ruangan 5-6O C. Proseding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 18-19 November. Puslitbang Peternakan Bogor. ABUBAKAR, TRIYANTINI, R.SUNARLIM dan H. SETIYANTO. 1999. Teknologi Pasca Panen untuk meningkatkan nilai tambah hasil ternak dalam usaha merangsang pertumbuhan agroindustri. Proseding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 18-19 November. Puslitbang Peternakan Bogor. ABUBAKAR dan C. HAERANI. 2003. Pemanfaatan tulang sapi sebagai sumber suplemen kalsium. Proseding Seminar Nasional, Perhimpunan Ahli Teknologi
Lokakarya Nasional Kambing Potong
Pangan Indonesia (PATPI), Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
LAMPERT. CM. 1980. Modern Dairy Prouct. New York Publishing , Co. Inc.
ABUBAKAR, D MUSTIKA dan SUGIARTO. 2004. Zat besi dari sumsum tulang sapi sebagai suplemen untuk pencegahan anemia gizi. (belum publikasi).
PRICE JF and BS. SCHWEIGERT. 1988. The Science of Meat and Meat Product. Food and Nutrition Press, Inc. Westport Connecticut.
ANONYMOUS, 1989. Pedoman praktis beternak kambing– domba. Puslitbang Peternakan, Bogor.
PEARSON, AM AND FW. TAUBER. 1994. Processed Meat. Avi Publish Co, Inc. Westport, Connecticut.
ANONYMOUS, 1994. HACCP: The Hazard Analysis Critical Control Point in the Meat and Poultry Product. The American Meat Institut Foundation.
SOEPARNO, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. PO Box 14 Bulaksumur Yogyakarta.
ANONYMOUS, 1996. Generic HACCP Model for poultry slaughter. The International Meat and Poultry HACCP Alliance.
SUBAGYO dan B. SAMAD. 1985. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jilid II. PT. Soerongan, Jakarta.
Buckle, KA., RA. Edwards. GH.Fleet and M.Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta DIRJEN PETERNAKAN, 2003. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Deptan, Jakarta. DUDUNG, AA. 1995. Sistem, strategi dan program pengembangan agribisnis. Badan Agribisnis Departemen Pertanian, Jakarta. HARDERSON. JL. 1981. The Fluid Milk Industri (3 rd Ed). Connecticut: AVI Publishing Inc.
WILSON, ARP, J. DYETT, RB. HUGHES and CR JONES 1991. Meat and Meat Product: Factor Affecting Quality Control. Applied Sci Publish. London. WIRYOSUHANTO, SD. 1985. Produksi dan penggunaan kotoran ternak. Monografi Limbah Pertanian. Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan, Jakarta. ZWEIGERT, P. 1991. Meat Science and Technology. The Science of Meat and Meat Product. WH.Freeman Co, San Francisco.
105