Vol. 1 No. 01 Desember 2015
STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITAS DALAM PENDAYAGUNAAN RUMAH SUSUN SEWA COKRODIRJAN, KOTA YOGYAKARTA Maria Immaculata Krisna Adyasari Peneliti Permukiman Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemeterian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Email:
[email protected] Abstract The notion of public rental flats development has been initiated since 1980’s with the publication of Law number 16 of 1985 about public housings. Cokrodirjan Flats that has been built in 2004 is one of the development scheme of vertical housing in Yogyakarta City. The self-management system that is emphazised on community participation is the main characteristic of Cokrodirjan Flats that makes it unique. However, for achieving sustainability on its utilization, this management system requires high community capacity to take role on management. This research is conducted to investigate how much the community capacity on Cokrodirjan Flat’s utilization. Further, this research tries to find options of strategy to build community capacity. Conducted in descriptive qualitative methods, this research reveals that Cokrodirjan Flat’s residents have high value in community capacity. They have high social bonding resultantly as they have high kinship. Its decision making process is more consensus. Norm and ethics play main roles in controlling utilization. However, capacity building is still needed to be done to increase the quality of its human resources because of due to low educational level of residents and administrators, flats performance are still constantly shabby. Keywords: strategy, capacity, development, public rental flats, utilization Abstrak Gagasan pembangunan rumah susun telah diinisiasi sejak tahun 1980-an dengan diterbitkannya UU no. 16 tahun 1985 tentang rumah susun. Rusunawa Cokrodirjan merupakan salah satu implementasi penerapan skema hunian susun di Kota Yogyakarta yang dibangun pada tahun 2004. Rusunawa Cokrodirjan termasuk rumah susun yang unik di Kota Yogyakarta karena dikelola secara swakelola dan menekankan pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya. Untuk mencapai sustainabilitas pengelolaan rumah susun, pola swakelola tentunya membutuhkan daya dukung kapasitas masyarakat yang cukup sebagai pelaku pengelola. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi sejauh mana kapasitas masyarakat dalam pendayagunaan Rusunawa Cokrodirjan sebagai sampel rusunawa dengan pola pengelolaan swakelola. Lebih lanjut, kajian ini berusaha untuk menemukan opsi strategi untuk pengembangan kapasitas masyarakat. Penelitian dikembangkan dengan metode kualitatif deskriptif. Penelitian menemukan bahwa Rusunawa Cokrodirjan memiliki kapasitas yang cukup tinggi di tataran komunitas. Ikatan sosial antar penghuni cukup tinggi karena masih membawa struktur sosial kampung. Kelebihan dari pola pengelolaan ini yaitu proses pengambilan keputusan yang lebih konsensus. Norma dan etika menjadi kekuatan untuk proses kontrol utilisasi. Namun demikian, pengembangan kapasitas masih perlu dilakukan karena kualitas sumber dayanya masih rendah. Kata Kunci: strategi, pengembangan, kapasitas, pendayagunaan, rumah susun sewa
1 - 60
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 1 No. 01 Desember 2015
1. PENDAHULUAN Ide pembangunan rumah susun telah muncul di Indonesia sebagai salah satu solusi penyediaan rumah layak huni untuk masyarakat berpenghasilan rendah sejak tahun 1980-an. Undang-undang tentang rumah susun pertama kali dibentuk pada tahun 1985 dan kemudian diperbaharui menjadi Undang-undang no.20 tahun 2011 tentang rumah susun. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa pembangunan rumah susun dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan backlog perumahan dan sekaligus sebagai upaya merevitalisasi kawasan permukiman kumuh. Pembangunan rumah susun memperhatikan aspek lingkungan dan memiliki peranan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan sebagai antisipasi berkembangnya permukiman kumuh di kawasan perkotaan padat penduduk. Berdasarkan UU Rumah Susun no.20 tahun 2011, terdapat dua jenis rumah susun umum, yaitu Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) dan Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami). Perbedaan kedua jenis rusun ini yaitu pada status kepemilikan dan sasaran penghuninya. Rusunawa adalah rusun dengan sistem sewa, disewakan oleh pemerintah untuk golongan MBR dengan penghasilan di bawah Rp. 2.500.000,00 atau golongan berpenghasilan menengah ke bawah dengan penghasilan (Rp 2.500.000,00 – Rp 4.000.000,00). Pengembangan rusunawa memiliki tanggung jawab meningkatkan aset dan kapabilitas MBR. Rusunawa telah mencapai tujuannya meningkatkan aset kepemilikan rumah layak huni bagi MBR dengan harga terjangkau dan memberikan jaminan ketersediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar. Namun demikian, Dinas PUP-ESDM DI Yogyakarta pada tahun 2013 menemukan bahwa keberlanjutan rusunawa masih menjadi problematika akibat kurang jelasnya regulasi untuk pembangunan manusianya. Pengembangan rusunawa masih terbatas pada peningkatan kualitas fisik dibandingkan dengan kualitas manusia di dalamnya. Pernyataan ini didukung pula dengan pernyataan Rosadi (2010) bahwa pengembangan rusunawa baru berfokus pada peningkatan kondisi fisik, dan kurang menyentuh pada aspek ekonomi dan sosialnya. Mokh Subkhan (2008) melalui studi tentang pengelolaan rusunawa di Cengkareng, Jawa Barat, menemukan pula bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kurang optimalnya pengelolaan Rusunawa Cengkareng adalah aspek sosial dari penghuni rusunawa itu sendiri, termasuk keterbatasan waktu untuk pemeliharaan lingkungan, dan juga keterbatasan kapasitas penghuni. Sementara itu, OECD Afrika mengindikasikan bahwa batasan kapasitas merupakan hambatan utama bagi pembangunan berkelanjutan. OECD (2006) menyebutkan bahwa tanpa kapasitas yang memadai, upaya pembangunan akan sulit untuk menuju
keberhasilan, meski telah didukung dengan nilai pendanaan yang tinggi (OECD, 2006). Oleh karena itu, inspeksi terhadap kapasitas pendayagunaan sangat penting untuk dilakukan dalam rangka memastikan rusunawa dapat berkelanjutan. Kota Yogyakarta hingga tahun 2013 telah memiliki 3 lokasi rusunawa untuk MBR. Rusunawa tersebut antara lain Rusunawa Cokrodirjan, Rusunawa Juminahan, dan Rusunawa Jogoyudan. Rusunawa di Kota Yogyakarta dibangun dengan menggunakan skema relokasi dan revitalisasi. Berlokasi di kawasan bantaran Sungai Code, Rusunawa Cokrodirjan dan Juminahan diperuntukkan khusus bagi masyarakat lokal yang pada mulanya menempati tanah bantaran Sungai Code membentuk kawasan kumuh perkotaan (slum). Dengan latar belakang tersebut, Rusunawa Cokrodirjan menetapkan penghunian 60% unit untuk masyarakat lokal (dibuktikan dengan KTP daerah setempat) dan 40% unit untuk masyarakat pendatang. Rusunawa Cokrodirjan termasuk dalam rusunawa dengan pola pengelolaan yang unik. Rusun ini tidak menggunakan pola pengelolaan UPT seperti pola ideal yang diatur dalam UU rumah susun. Rusunawa ini menggunakan pola pengelolaan swakelola yang menekankan pada partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Bab II pasal 3 Perwal no. 85 tahun 2004 menjelaskan tentang tujuan pembangunan rusunawa ini, yaitu memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi MBR dengan jaminan hukum, meningkatkan daya dan hasil guna tanah dengan memperhatikan kelestarian alam dan lingkungan permukiman yang lengkap. Berdasarkan peraturan ini, Rusunawa Cokrodirjan dibangun dengan asas “Pola Pengelolaan dengan Pemberdayaan Masyarakat”, yaitu mengutamakan inisiatif masyarakat dalam proses: (1) Sosialisasi, dengan menjadi anggota tim; (2) Proses desain, dengan memberi masukan atau usulan pada awal pembangunannya; (3) Konstruksi, masyarakat lokal sebagai tenaga kerja; dan (4) Pengelolaan, sebagai manajemen/ pengelola (HRC, 2009). Sistem pengelolaan swakelola Rusunawa Cokrodirjan dituangkan dalam Keputusan Walikota Yogyakarta no.85 tahun 2004 tentang Pengelolaan Rumah Susun Milik Pemkot Yogyakarta. Pengelola rusunawa swakelola adalah Badan Pengelola yang bertanggung jawab kepada Badan Pembina dan Badan Pengawas. Badan Pengelola terdiri atas seorang manajer dan staf-staf administrasi yang dipilih oleh Dinas Sosial Kota Yogyakarta pada awal penghunian rusunawa Cokrodirjan. Sedangkan Badan Pembina dan Pengawas adalah Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi bersama dengan Badan Hukum, dan dinas-dinas terkait di Kota Yogyakarta. Dilihat dari latar belakang pembentukan organisasi pengelolanya, Rusunawa Cokrodirjan memiliki pola pengelolaan yang berbeda dengan Rusunawa lainnya, seperti contoh di Kabupaten Sleman. JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 61
Vol. 1 No. 01 Desember 2015
Adyasari (2014) dalam penelitian sebelumnya membahas mengenai perbedaan pola pengelolaan swakelola di Kota Yogyakarta dan pola UPT di Kabupaten Sleman. Dibandingkan dengan pola UPT di Kabupaten Sleman, pola swakelola belum memiliki pedoman khusus untuk peningkatan kapasitas masyarakat, baik pengelola dan penghuninya. Oleh karena itu, penting sekali untuk mengetahui tingkat kapasitas masyarakat dalam Rusunawa Cokrodirjan. Sebagaimana disebutkan dalam OECD, bahwa kapasitas masyarakat berperan sangat penting untuk mendukung sustainabilitas sebuah infrastruktur. Oleh karena itu, perlu sebuah kajian untuk mengetahui strategi pengembangan kapasitas masyarakat dalam pendayagunaan rusunawa supaya penghuni dan pengelola rusunawa dapat berdaya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi sejauh mana kapasitas masyarakat dalam pendayagunaan Rusunawa Cokrodirjan sebagai sampel rusunawa dengan pola pengelolaan swakelola. Lebih lanjut, kajian ini berusaha untuk menemukan opsi strategi untuk pengembangan kapasitas masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan kepada pemangku kepentingan, untuk dapat merumuskan strategi pengembangan rusunawa ke depan. 2. TINJAUAN PUSTAKA Hunian vertikal atau rumah susun merupakan salah satu solusi untuk penanganan perumahan dan permukiman kumuh sekaligus mencegah tumbuhnya enclaves kumuh baru sebagai konsekuensi dari pesatnya pembangunan kawasan perkotaan yang menuai dampak seperti meningkatnya kepadatan penduduk, tingginya kepadatan bangunan, rendahnya kualitas infrastruktur serta makin langkanya lahan yang diperuntukkan bagi permukiman. Pengelolaan rusunawa merupakan upaya memelihara prasarana, sarana, dan utilitas rusunawa serta lingkungan yang menjadi tanggung-jawabnya secara efisien agar dapat mencapai usia teknis dan usia ekonomis sebagaimana direncanakan. Pengelolaan rusunawa meliputi kegiatan teknis, persewaan, pemasaran dan pembinaan penghuni sewa, serta administratif dan keuangan yang menuntut kemampuan penanggungjawab lokasi dalam mengorganisasi sumber daya manusia yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam pengoperasian, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana terbangun serta utilitas terpasang (Departemen Pekerjaan Umum, 2007:3). Pengelolaan rusunawa paska konstruksi menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah. Berdasarkan UU No. 20 tahun 2011 pasal 57 ayat 3 dimungkinkan bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan subsidi biaya pengelolaan bagi rusunawa tersebut. Pengelolaan rusunawa merupakan tahap lanjut yang menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan termasuk 1 - 62
JURNAL INFRASTRUKTUR
masyarakat berkaitan dengan keberlanjutan kemanfaatan yang harus senantiasa dijaga, dimulai sejak gedung rusunawa tersebut dinyatakan layak untuk dihuni. Namun demikian, pada kenyataannya proses serah terima aset rusunawa dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah memakan waktu yang cukup lama. Sebelum serah terima aset, rusunawa di Kota Yogyakarta tidak mendapatkan alokasi APBD. Pengelolaan bergantung sepenuhnya pada pendapatan sewa unit hunian dan sewa unit bukan hunian, seperti ruang usaha dan ruang pertemuan yang dapat disewakan. Pengelolaan Rusunawa Cokrodirjan dipegang oleh sebuah Badan Pengelola. Badan Pengelola dipimpin oleh seorang Kepala dengan sebutan Manajer yang berada di bawah dan bertangungjawab kepada Kepala Instansi yang menangani bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi. Penetapan pimpinan dan pembantu pimpinan serta staf pada Organisasi Badan Pengelola berdasarkan hasil rekruitmen terhadap pelamar yang memenuhi persyaratan dan lulus seleksi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Penetapan pimpinan dan pembantu pimpinan tersebut dilaksanakan oleh Walikota. Untuk mengawasi proses berjalannya pengelolaan rusunawa, pemkot Yogyakarta membentuk Tim Pembina dan Pengawas dengan susunan organisasi yang terdiri dari sekda, kepala instansi, dan pejabat eselon III, camat, lurah, serta perwakilan tokoh masyarakat dan penghuni rusunawa setempat. Tugas Tim Pembina dan Pengawas yaitu: 3. METODE PENELITIAN Kajian ini bertujuan untuk menginvestigasi kapasitas masyarakat dalam pendayagunaan rumah susun sewa dengan pola pengelolaan swakelola, serta menemukan strategi pengembangan kapasitas masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, kajian ini dilakukan melalui beberapa tahap seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Metodologi Penelitian Kajian menggunakan metode deskriptif kualitatif. Analisis menggunakan data sekunder. Data mengenai kapasitas penghuni dan pengelola Rusunawa Cokrodirjan diperoleh dari hasil penelitian
Vol. 1 No. 01 Desember 2015
sebelumnya mengenai “Jejaring dan Kapasitas dalam Pendayagunaan Rumah Susun Sewa” (2014). Data sekunder lainnya diperoleh melalui UU dan peraturan, jurnal, serta penelusuran internet. Studi literatur dilakukan pada setiap tahapan, sebagai alat kroscek dengan teori. Analisis didahului dengan identifikasi kapasitas masyarakat dalam 3 level: personal, komunitas, dan sistem. Selanjutnya kondisi eksisting kapasitas masyarakat ini akan menjadi tolok ukur analisis strategi pengembangan kapasitas masyarakat dalam pendayagunaan rumah susun sewa. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Rusunawa Rumah susun Cokrodirjan terletak di Kelurahan Suryatmajan, Kecamatan Danurejan, Kota Yogyakarta. Rusunawa ini terdiri dari 72 unit hunian dengan harga sewa IDR 75,000 sampai dengan IDR 85,000 per bulan (tahun 2013). Biaya tersebut belum termasuk biaya listrik, sampah, dan air. Rusunawa tidak diperuntukkan sebagai tempat tinggal seumur hidup. Tiap penyewa memiliki periode penyewaan 3 tahun yang dapat diperpanjang maksimal 1 kali periode. Setelah 6 tahun tinggal di rusunawa tersebut, masyarakat dianggap telah mapan dan mampu untuk menyewa rumah yang lebih baik lagi. Rusunawa Cokrodirjan (Gambar 2) terdiri dari 4 lantai. Lantai dasar digunakan untuk ruang PAUD, balai serba guna, ruang ME (Machine and Engineering) untuk pengendalian listrik dan air, tempat bermain anak-anak, kantor pengelola, ruang unit usaha, dan ruang parkir. Di setiap unit tersedia kamar mandi, toilet, dapur, dan ruang jemur. Ruang utama rusun biasanya disekat semi permanen oleh penghuni untuk dijadikan bagian ruang tidur dan ruang tamu/ ruang keluarga.
Gambar 2. Kondisi Rusunawa Cokrodirjan Sumber: Adyasari, 2014
4.2. Deskripsi Karakteristik Penghuni Rusunawa Cokrodirjan dihuni oleh masyarakat dari beberapa golongan usia. Mayoritas penghuni Rusunawa Cokrodirjan berusia produktif, yaitu antara 25 sampai dengan 40 tahun. Sisanya berusia 40 hingga 55 tahun, dan sekitar 10% penghuni berusia di atas 55 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikannya, penghuni rusun di Kota Yogyakarta didominasi oleh masyarakat dengan latar belakang pendidikan SMA. Lebih dari separuh jumlah penghuni berpendidikan terakhir SMA, sementara sisanya berpendidikan terakhir SD dan SLTP. Pekerjaan pokok penghuni Rusunawa Cokrodirjan sangat bervariasi. Berdasarkan jenis pekerjaan pokok, sebagian besar penghuni, yaitu sebanyak 44%, bekerja sebagai buruh. Kelompok ini adalah kelompok buruh becak, buruh cuci, dsb. Jumlah penghuni yang bekerja sebagai pedagang juga cukup banyak di rusun ini, yaitu sebanyak 22%. Sementara itu, 13% penghuni bekerja wirausaha/ wiraswasta, sebagai contoh penjahit dan lapak jasa pembuatan souvenir. Selanjutnya 10% penghuni bekerja sebagai pegawai perusahaan swasta, 3% penghuni bekerja tidak tetap, dan 3% penghuni tidak bekerja/ tidak memiliki pekerjaan. Mayoritas penghuni berpenghasilan rendah di bawah 1 juta rupiah per bulan. Kepemilikan aset penghuni rusun di Kota Yogyakarta tergolong rendah. Mayoritas masyarakat belum memiliki aset seperti kendaraan beroda empat, tanah, dan rumah. Tingkat saving money penghuni juga rendah (Adyasari, 2014:75).
Gambar 3. Karakteristik Penghuni Berdasarkan Jenis Pekerjaan Pokok Sumber: Adyasari, 2014 Berdasarkan Pedoman Penyiapan Penghuni dan Pengelola Rusun (Kementerian PU, 2014), proses awal penyiapan penghuni dan pengelola adalah menemukenali adaptasi masyarakat terhadap utilisasi rusunawa. Berdasarkan hasil wawancara dengan manajer Rusunawa Cokrodirjan, pada awal pembangunannya, memang Rusunawa Cokrodirjan JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 63
Vol. 1 No. 01 Desember 2015
melalui proses penolakan dari masyarakat. Maka, pada tahun 2004 Pemerintah Kota Yogyakarta menggunakan pendekatan sosial kepada masyarakat bantaran sungai dengan membuat kesepakatan bersama (MoU) yang berisi kesepakatan pelibatan masyarakat dalam proses pengelolaan rusunawa. Beberapa staff dan satu manajer diangkat dari masyarakat setempat, melalui seleksi oleh Dinas Sosial. Manajer dan staf bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Yogyakarta. Setiap komponen Badan Pengelola ini mendapatkan gaji dari pemerintah kota. Pada mulanya, skema ini direncanakan untuk menjadi tahapan awal pengelolaan sementara aset rusun belum diserahterimakan dari Kementerian PU kepada Pemerintah Kota Yogyakarta. Namun, dalam perjalanannya, pola pengelolaan ini tetap digunakan hingga tahun 2014 dengan keunggulan pengelolaan partisipatif. Perbedaan mendasar yang terdapat dalam pengelolaan ini adalah seluruh komponen pengelolanya adalah masyarakat lokal, berasal dari RT/RW setempat, atau penghuni rusunawa itu sendiri. Sehingga dengan ikatan sosial yang sudah kuat dalam tatanan sosial masyarakat kampung, trust antara penghuni dan pengelola lebih mudah terbentuk. Tentunya hal ini memudahkan proses utilisasi rusunawa. Adyasari (2014) juga menyebutkan bahwa proses pengambilan keputusan dalam masyarakat menjadi lebih konsensus, setiap penghuni bebas mengutarakan aspirasi. Sanksi yang dikenakan jika terjadi pelanggaran lebih kepada sanksi sosial. Etika lebih banyak berperan dibandingkan dengan aturan. 4.3. Eksisting Kapasitas Personal, Komunitas, dan SistemKapasitas Personal Kapasitas personal menyangkut pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan kreativitas. Meskipun memiliki keistimewaan pola pengelolaan dibandingkan dengan Rusunawa UPT, jika ditinjau dari tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi penghuninya, Rusunawa Cokrodirjan masih lemah dalam hal kapasitas sumber dayanya. Sehingga, untuk mengangkat wakil dari penghuni menjadi pengelola diperlukan upaya khusus untuk membekali pengetahuan, keterampilan, dan kreativitas dalam mengelola rusun. Begitu pula dengan proses pendayagunaannya. Apabila masyarakat penghuni kurang memiliki bekal pengetahuan yang cukup untuk memelihara PSU rusunawa, maka akan menurunkan kualitas lingkungan rusunawa. Salah satu contoh yaitu pengetahuan penggunaan fire extinguisher sebagai alat penanganan bencana kebakaran. Utilitas proteksi kebakaran sudah tersedia di dalam rusun, tetapi tidak dipergunakan sebagaimana fungsinya akibat kurangnya pengetahuan akan penggunaan utilitas pemadam kebakaran.
Gambar 4. Kondisi jaringan proteksi kebakaran Rusunawa Cokrodirjan Sumber: Adyasari, 2014 Dalam rangka mengembangkan kapasitas, calon penghuni sebelum menempati rusunawa perlu diberikan pengetahuan mengenai tata cara penghunian rumah vertikal. Budaya bertempat tinggal di landed housing (rumah tapak) masih mengakar pada lapisan masyarakat ini. Pengenalan mengenai utilitas proteksi kebakaran (sprinkler, hidran, dan fire extinguisher), penggunaan sistem shaft sampah, penggunaan fasilitas sanitasi, dan utilitas lainnya yang tersedia dalam rusun sangat perlu untuk diberikan secara berkala, manakala terdapat penghuni baru yang akan tinggal di rusunawa tersebut. Beberapa poin penting yang perlu diberikan atau ditanamkan kepada calon penghuni antara lain: A. Pengetahuan individu terhadap regulasi dan kelembagaan pengelola; B. Pengetahuan individu terhadap peraturan dan tata cara; C. Pengetahuan individu dan kemampuan/ keahlian dalam mengatasi sendiri permasalahan utilitas; D. Kemauan untuk ikut dalam proses kontrol serta rasa memiliki (sense of ownership) dalam proses perencanaan dan implementasi programprogram dan kegiatan komunitas. 4.3.1. Kapasitas Komunitas Kapasitas komunitas yaitu mengenai kerjasama, toleransi, trust, dan menerima ide. Menurut Jackson dkk (2003), kapasitas komunitas dapat diindikasikan kuat, jika: A. Setiap orang berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi di dalam komunitas; B. Setiap penghuni dapat mengemukakan pendapat dalam forum komunitas; C. Penghuni memiliki persepsi positif terhadap komunitasnya; D. Setiap orang dalam rusun ikut serta dalam kegiatan perayaan bersama; E. Setiap orang dari setiap bagian (golongan) dalam
1 - 64
JURNAL INFRASTRUKTUR
Vol. 1 No. 01 Desember 2015
komunitas terlibat dalam aktivitas komunitas. Di Rusunawa Cokrodirjan terdapat paguyuban penghuni yang diketuai oleh satu orang wakil dari penghuni rusunawa pada setiap blok. Ketua paguyuban ini yang menjembatani komunikasi dan koordinasi antara pemerintah ataupun pengelola dengan masyarakat penghuni. Ketua dipilih melalui musyawarah bersama penghuni dan pengelola bersama. Kapasitas komunitas tampak dalam kerjasama yang dilakukan dalam mengelola air bersih untuk bersama. Jaringan air bersih dari PDAM tidak melayani Rusunawa Cokrodirjan karena tidak sesuai dengan daya beli kelompok MBR yang tinggal di Rusunawa. Manajer Rusunawa Cokrodirjan juga menyebutkan bahwa pernah ada jaringan PDAM yang melayani rusunawa pada tahun 2005. Akan tetapi, akibat biaya maintenance yang overbudget ketika ada kerusakan pipa dan pompa, penggunaan layanan PDAM dihentikan hingga saat ini. Melihat kendala ini, kreativitas penghuni muncul untuk mendayagunakan sumur dalam milik bersama di sekitar rusunawa. Melalui musyawarah dan kesepakatan bersama RT/RW setempat, warga rusunawa dan non-rusunawa bersepakat untuk mengelola air bersama. Untuk keperluan konsumsi, penghuni rusunawa dapat mengambil air bersih dari sumur-sumur kampung tanpa dikenakan biaya. Sebaliknya, untuk keperluan cuci dan mandi, warga kampung non-rusunawa dapat mengambil air dari sumur rusunawa. Sistem yang terbentuk dalam strata sosial masyarakat dalam pendayagunaan infrastruktur air bersih ini mengindikasikan bahwa terjadi ikatan sosial (social bridging) yang kuat antara komunitas penghuni rusunawa dengan penghuni kampung sekitar rusunawa. Kegiatan sosial memang masih berlangsung dalam tingkatan RT/RW dan melibatkan penghuni rusunawa. Wakil dari RT/RW yang berada pada tingkatan Badan Pengelola juga mampu memfasilitasi aspirasi dari dalam rusunawa ke luar rusunawa (lingkungan kampung), serta sebaliknya, aspirasi dari warga kampung ke dalam rusunawa. Kapasitas komunitas yang telah terbentuk dalam kawasan rusunawa akan sangat baik jika dikembangkan lagi. Relasi sosial yang telah terbentuk dapat menjadi modal bagi pembentukan kaderisasi. 4.3.2. Kapasitas Sistem Kapasitas sistem yaitu meliputi kemampuan regulasi, proteksi, dan fasilitasi. Kapasitas sistem dalam pendayagunaan rusunawa yang kuat dapat diindikasikan melalui: A. Peraturan dan regulasi mudah untuk dipahami B. Persyaratan dan administrasi mudah
C. Pengelola memiliki kelembagaan yang jelas sehingga ketika terjadi permasalahan/ gangguan, penghuni mengetahui ke mana mereka harus menyampaikan laporan/ keluhan D. Terdapat wakil dari penghuni yang duduk dalam level organisasi pengelola E. Kerusakan dan gangguan dapat segera ditangani F. Pengelola memiliki keahlian dan kreativitas tinggi untuk memecahkan permasalahan, memberikan layanan, dan mengelola utilitas Kapasitas sistem juga terkait dengan kemampuan sistem pengelolaan untuk menjalin jaringan (networking). Rusun Kota Yogyakarta yang dikelola oleh Dinas Sosial memiliki jaringan lebih banyak kepada program-program pemberdayaan dan UKM yang ditangani langsung oleh Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi. Dengan jumlah penghuni yang bekerja di sektor industri rumah tangga cukup banyak, program yang diselenggarakan adalah Kelompok Usaha Bersama (KUBE), kegiatan simpan pinjam (Baskoro), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program lain terkait kesejahteraan dan pendidikan yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Pendampingan Raskin, Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Askes Gakin), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kesemuanya merupakan program yang diselenggarakan pemerintah daerah. Rusunawa Cokrodirjan belum memiliki jaringan dengan stakeholder lain seperti akademisi atau NGO untuk mengawasi penyelenggaraan rusun. Hanya terdapat kegiatan anual dari universitas untuk melakukan Kegiatan Kerja Nyata (KKN) di rusunawa yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Dengan regulasi daerah, rusunawa telah memfasilitasi membuka network dengan badan pengawas. Namun demikian, ditemukan role-sharing yang kurang jelas dalam struktur kelembagaan penyelenggara rusun Kota Yogyakarta. Terkait dengan pengawasan secara partisipatif, pada rusun swakelola dibentuk regulasi bahwa penghuni dari daerah lokal menempati quota minimal 60% dari jumlah unit. Dengan sistem prioritas ini, pengawasan terhadap utilisasi menjadi lebih mudah. Penghuni lokal yang telah memiliki kekerabatan tersebut dengan mudah mengawasi penghuni pendatang. Namun, kelemahan dari sistem ini yaitu munculnya gap antara penghuni dari masyarakat lokal dan pendatang. Penghuni dari masyarakat lokal lebih dominan terlibat dalam forum dibandingkan dengan masyarakat pendatang. 4.4. Strategi Pengembangan Kapasitas Garlick dalam Sue McGinty (2003:9), menyebutkan bahwa terdapat lima unsur dalam penguatan kapasitas masyarakat, yaitu knowledge building, leadership, networking, valuing community, dan information gathering. JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 65
Vol. 1 No. 01 Desember 2015
yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas, dan menyesuaikan, sehingga timbul kreativitas dalam pendayagunaan rusunawa. Pembangunan pengetahuan dapat dilakukan melalui pembinaan dan penyuluhan dari pengelola/ wakil dari pemerintah daerah kepada calon penghuni dan penghuni rusunawa. Knowledge building perlu dilakukan pula kepada pengelola rusunawa. Pedoman penyiapan pengelola rusunawa dalam Surat Edaran Menteri PU no. 7 tahun 2013 dapat dijadikan acuan seleksi dan pembekalan calon pengelola rusunawa swakelola. 4.4.2. Leadership
Gambar 5. Strategi Pengembangan Kapasitas (McGinty, 2003) Dengan demikian strategi yang dapat ditempuh untuk mengembangkan kapasitas personal, komunitas, dan sistem di antaranya: A. Membangun pengetahuan, meliputi peningkatan keterampilan, mewadahi penelitian dan pengembangan, dan bantuan belajar, B.
C.
Peningkatan kepemimpinan/ kemampuan untuk mengembangkan secara bersama dan mempengaruhi apa yang terjadi di wilayah, Perluasan jaringan, meliputi usaha membentuk kerjasama dan aliansi,
untuk
D. Penghargaan terhadap komunitas untuk bersamasama mencapai tujuan, E. Pemberian dukungan informasi, meliputi upaya untuk mengumpulkan, mengakses dan mengelola informasi yang bermanfaat. Dalam rusunawa dengan sistem swakelola seperti Rusunawa Cokrodirjan, penguatan kapasitas perlu upaya yang besar. Penguatan kapasitas tidak hanya dilakukan kepada pengelola, tetapi juga kepada penghuni. 4.4.1. Knowledge Building Pembangunan kapasitas dalam ranah pengetahuan sangat pokok untuk dilakukan. Rusunawa Cokrodirjan masih memiliki tingkat pendidikan yang cukup rendah, sehingga pengetahuan mengenai pendayagunaan rusunawa penting sekali untuk diberikan. Pengetahuan (kognitif) merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan seseorang (Notoadmojo, 2003). Proses penyerapan pengetahuan diharapkan tidak hanya dalam tataran tahu (know), tetapi sampai dengan tataran sintetis (syntetis), yaitu mampu menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi 1 - 66
JURNAL INFRASTRUKTUR
Pada kelompok penghuni, kepemimpinan dibutuhkan untuk mengajak seluruh penghuni melakukan tindakan nyata pemeliharaan lingkungan rusunawa. Pembentukan kader-kader, sebagai contoh kader penggerak PKK, kader lansia sehat, kader kebersihan lingkungan rusunawa. Di Rusunawa Cokrodirjan, kader yang sudah terbentuk yaitu kader posyandu, yang secara rutin mengadakan kegiatan posyandu. Pembentukan kader-kader ini perlu diikuti dengan pemberian penghargaan pada kader berprestasi. Dengan demikian, masyarakat terpacu untuk melakukan gerakan-gerakan positif untuk pengembangan masyarakat dan lingkungan rusunawa. 4.4.3. Networking Networking atau perluasan jaringan penting sekali untuk dilakukan. Jaringan berfungsi untuk mendukung sistem pembiayaan operasional rusunawa, maupun untuk memaksimalkan kegiatankegiatan pemberdayaan masyarakat. Pada kasus Rusunawa Cokrodirjan, benar bahwa pengelolaan rusunawa berada di bawah Dinas Sosial. Dengan kebijakan ini, pengembangan rusunawa tidak hanya terpusat pada pengembangan lingkungan fisiknya saja, tetapi juga kuat dalam pengembangan manusianya. Program-program pemberdayaan masyarakat dari Dinas Sosial mudah diakses oleh penghuni dan pengelola rusunawa. Akan tetapi, nampaknya tidak ada program khusus yang diberikan untuk kawasan pengembangan rusunawa MBR. Program-program terpusat di kelurahan dan kecamatan setempat, dan sosialisasi yang terbatas menyebabkan penghuni kekurangan informasi bahkan tidak tahu menahu mengenai program pemberdayaan tersebut. Dalam hal ini, pengelola rusunawa perlu memiliki kompetensi khusus, sigap tanggap pada peluang program-program pemberdayaan yang dicanangkan pemerintah daerah. Pengelola harus dapat memfasilitasi informasi aktual kepada penghuni rusunawa. Perluasan jaringan juga dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan sektor swasta. Dalam FGD pengelola-pengelola rusunawa dan Dinas PUP-
Vol. 1 No. 01 Desember 2015
ESDM di Kota Yogyakarta (2013) disebutkan bahwa pengelola sudah memiliki kemauan berinovasi untuk menjalin kerjasama dengan sektor pariwisata, seperti hotel-hotel di sekitar rusunawa supaya bekerjasama memberikan kegiatan pemberdayaan berupa pelatihan keterampilan memasak dan perekrutan tenaga kerja untuk jasa pengepakan sabun, dan sebagainya. Upaya ini diharapkan dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi penghuni rusunawa, sehingga meningkatkan taraf ekonominya. 4.4.4. Valuing community Karena terdiri dari komponen masyarakat lokal, sebenarnya kapasitas komunitas dalam rusunawa swakelola sudah cukup kuat. Adanya kinship (hubungan kekerabatan) memungkinkan interaksi sosial yang luwes di antara anggota komunitas. Untuk menjunjung tinggi nilai kekerabatan dalam komunitas penghuni rusunawa, budaya setempat dan semangat gotong royong perlu untuk terus dipertahankan. Strategi penguatan komunitas dalam hal ini dapat dilakukan dengan penyelenggaraan kegiatan-kegiatan bersama. Seperti kegiatan perayaan kemerdekaan di skala lingkungan kampung, hingga kegiatan bersama yang mengajak masyarakat luas untuk berkunjung ke rusunawa. 4.4.5. Information gathering Ketersediaan dan kelancaran arus informasi menjadi kunci bagi pengembangan kapasitas. Seperti disebutkan sebelumnya, informasi mengenai program pemberdayaan harus mudah diakses oleh penghuni dan pengelola. Pemerintah daerah perlu melakukan sosialisasi lebih khusus untuk kawasan pengembangan rusunawa karena penanganan sosial masyarakat kawasan rusunawa tentunya berbeda. Terlebih lagi pemerintah daerah harus dapat memberikan layanan informasi mengenai pola pembiayaan rumah murah, jika penghuni telah mengalami habis masa sewa di rusunawa. Kasus yang terjadi, penghuni yang telah habis masa sewa unitnya belum mampu untuk berpindah ke hunian layak baru, sehingga kembali mengontrak rumah di lingkungan kumuh, kemudian mendaftar kembali untuk giliran sewa rusunawa berikutnya. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Rusunawa Cokrodirjan sebagai rusunawa dengan pola pengelolaan swakelola telah memiliki kapasitas komunitas yang cukup kuat dengan adanya ikatan sosial yang tinggi antar penghuni, karena masih membawa struktur sosial kampung. Kelebihan dari pola pengelolaan ini yaitu proses pengambilan keputusan lebih konsensus. Norma dan etika menjadi kekuatan untuk proses kontrol utilisasi. Namun demikian, pengembangan kapasitas masih perlu dilakukan karena kualitas sumber dayanya
masih rendah. 5.2. Saran Rusunawa dengan pola pengelolaan swakelola sangat perlu pengembangan kapasitas penghuni dan pengelola. Pengembangan kapasitas tersebut dapat dilakukan melalui 5 strategi: A. Membangun pengetahuan, meliputi peningkatan keterampilan, mewadahi penelitian dan pengembangan, dan bantuan belajar, B. Peningkatan kepemimpinan/ kemampuan untuk mengembangkan secara bersama dan mempengaruhi apa yang terjadi di wilayah, C. Perluasan jaringan, meliputi usaha untuk membentuk kerjasama dan aliansi, D. Penghargaan terhadap komunitas untuk bersamasama mencapai tujuan, E. Pemberian dukungan informasi, meliputi upaya untuk mengumpulkan, mengakses dan mengelola informasi yang bermanfaat. DAFTAR PUSTAKA Chaskin, R.J. (2001). Building Community Capacity. New York: Walter de Gruyter, Inc. Departemen Pekerjaan Umum. (1987). Petunjuk Perencanaan Kawasan Permukiman. Jakarta. Jackson, S.F., Cleverly, S., Poland, B., Burman, D., Edwards, R., and Robertson, A. (2003). Working with Toronto Neighborhoods Toward Developing Indicators of Community Capacity. Health Promotion International vol 18, no 4. Lichterman, Paul. 2009. Social Capacity and the Styles of Group Life. Los Angeles: American Behavioral Scientist. McGinty, Sue (2003) The literature and theories behind community capacity building. Dalam McGinty, Sue, (ed.) Sharing Success: an Indigenous Perspective. Common Ground Publishing , Altona, VIC, Australia. OECD, Organization for Economic Co-operation and Development. (2006). The Challenge of Capacity Development, Working Towards Good Practice. Perancis: OECD, Peraturan Walikota no. 45 Tahun 2009, tentang Pengelolaan Keuangan Rumah Susun Sederhana Sewa Milik Pemerintah Kota Yogyakarta. Peraturan Walikota Yogyakarta no. 44 Tahun 2009, tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa Milik Pemerintah Kota Yogyakarta.
JURNAL INFRASTRUKTUR
1 - 67
Vol. 1 No. 01 Desember 2015
Rosadi, Meta Grizanda Meizy. 2010. Efektivitas Pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) dalam Penanganan Lingkungan Permukiman Kumuh, Studi Kasus Rusunawa Gemawang, Rusunawa Jogoyudan, dan Rusunawa Cokrodirjan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Thesis MPKD. Soeprapto, Prof.Dr.H.R. Riyadi, MS. 2010. The Capacity Building For Local Government Toward Good Governance. World Bank. Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum no. 7 tahun 2013, tentang Pedoman Penyiapan Pengelola dan Penghuni Rumah Susun.
1 - 68
JURNAL INFRASTRUKTUR