STRATEGI BERTAHAN HIDUP PEREMPUAN PEDESAAN BERBASIS LAHAN KERING DAN LAHAN SAWAH (Studi Pada Perempuan Tani di Desa Sumbersalak Kecamatan Ledokombo dan Desa Tanjungrejo Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember) Oleh: Nur Dyah Gianawati Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Jember, Jl. Kalimantan No 37 Kampus Tegalboto Jember Kode Pos:68123 Hp. 081358422479 Email:
[email protected]
Abstrak Modernisasi pertanian dengan teknologi baru yang serba mesin menghilangkan kesempatan kerja bagi perempuan tani dan mengubah pula reduksi peran ekonomi perempuan dalam keluarga. Reduksi peran ekonomi tersebut membawa dampak penurunan status ekonomi perempuan dalam masyarakat. Posisi perempuan termarginalkan dan terlihat pada kesulitan perempuan dalam mengakses sumber daya ekonomi terutama yang berkaitan dengan pekerjaan di bidang pertanian. Faktor social budaya juga menempatkan perempuan tani kurang berdaya. Oleh karena itu, perempuan tani mempunyai berbagai cara atau strategi agar mereka tetap bertahan hidup. Untuk memahami tindakan sosial perempuan tani memerlukan pemahaman subyektif (verstehen). Tofografi lahan pertanian di Kabupaten Jember terbagi dalam 2 karakteristik yaitu Jember bagian utara sebagian besar lahan kering dan bagian selatan sebagian besar lahan sawah. Sedangkan karakteristik masyarakat Jember sangat spesifik. Konsentrasi penduduk berdasarkan etnis adalah Madura sebagian besar di wilayah utara (lahan kering) dan etnis Jawa sebagian besar di wilayah selatan (lahan sawah). Perbedaan jenis lahan dan kultur antar etnis Madura dan Jawa mempengaruhi strategi bertahan hidup perempuan tani. Latar belakang kondisi geografis yang kering (bercocok tanam di tegalan) membuat Perempuan tani Madura cenderung menjalani difersivikasi pekerjaan tanpa memilih dibanding perempuan Jawa. Perempuan Jawa yang hidup di lahan subur (pertanian sawah),lebih memilih jenis-jenis pekerjaan tertentu. Kata kunci: etnis, lahan kering dan lahan sawah, perempuan tani, strategi bertahan hidup,
khususnya pada kegiatan penanaman, penyiangan, pascapanen dan pemasaran, namun akses dan kontrol sumberdaya lebih didominasi oleh laki-laki (Departemen Pertanian, 1991).
1. PENDAHULUAN. Peran perempuan di sektor pertanian baik on-farm, non-farm dan offfarm, termasuk sektor perikanan sangat strategis karena memberikan kontribusi yang cukup signifikan. Pada sub sektor usaha tani padi dan palawija, peran aktif perempuan lebih besar dibanding laki-laki,
Wilayah penelitian ini adalah bagian utara yang berlahan kering di Desa Sumbersalak Kecamatan 1
Ledokombo. Menurut Wibowo (2001), lahan kering adalah lahan yang kebutuhan air tanaman sepenuhnya tergantung dari tadah hujan atau sumber air lainnya, tetapi tidak tersedia sepanjang tahun, termasuk lahan ini adalah lahan tadah hujan, tegalan atau kebun.
masuknya teknologi baru sebagai salah satu strategi dalam revolusi hijau semakin membawa dampak dalam pranata sosial asli petani. Akibat dari perubahan ini sebagian dari mereka banyak beralih pada jenis pekerjaan lain. Keadaan ini semakin rumit dan terpuruk dengan masuknya kekuatan ekonomi lain seperti ijon, tengkulak, renternir, dan penetrasi kekuatan pasar.
Luas lahan desa Sumbersalak 68,05 ha, dengan perincian luas sawah 491 ha dan tegalan 425 ha yang meliputi tanaman kopi, pinus dan juga kelapa. Sedangkan jumlah penduduknya 7.587 jiwa dengan perincian laki-laki 3.577 jiwa dan perempuan 4.010 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember,2008). Mata pencaharian penduduknya sebagian besar sebagai petani yaitu 1.851 jiwa, namun sebagai buruh tani jumlahnya 1.644 jiwa dengan perincian 751 laki-laki dan 893 adalah buruh perempuan, perdagangan 155 jiwa dan kerajinann 51 jiwa. Adapun jumlah penduduk miskin 4.715 jiwa (rumah tangga miskin berjumlah 2.006).
Sedangkan teknologi pertanian dalam budidaya padi di sawah telah menggusur banyak perempuan dalam sektor pertanian. Modernisasi pertanian misalnya, ketika pemerintah memperkenalkan mesin huller, namun sekarang mesin huller tersebut di desain menggunakan kendaraan bermesin (di Jember ada istilah ”dedet”), yaitu mesin huller yang keliling, maka banyak tenaga kerja perempuan pedesaan yang kehilangan mata pencahariannya sebagai buruh huller. Peralihan sistem bawon juga akan lebih mempersempit ruang kerja buruh tani perempuan di pedesaan. Akibatnya perempuan pedesaan memperoleh upah lebih rendah, bahkan bisa juga adanya pembagian upah yang tidak berimbang. Strategi bertahan hidup petani perempuan di Bostwana, ditulis oleh Hovorko (2001). Hovorko melihat pertanian kota komersial sebagai strategi bertahan hidup perempuan dan bagaimana peran gender pada pertanian kota dapat memenuhi kebutuhan makanan keluarga.
Lahan sawah di Kabupaten Jember banyak terdapat di bagian selatan, salah satunya wilayah Kecamatan Wuluhan. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang ditanami padi , pada umumnya berada di daerah bawah yang landai dan mendapat aliran sungai (Marzali, 2003). Luas desa Tanjungrejo menurut klasifikasi tanah sawah teknis sebesar 408,60 ha dan tegalan 92,93 ha. Adapun jumlah penduduknya sebesar 14.231 jiwa dengan perincian jumlah penduduk laki-laki 6.975 jiwa dan perempuan 7.256 jiwa Wuluhan ( Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember, 2008). Sedangkan mata pencaharian penduduk sebagian besar sebagai petani yaitu 5.390 jiwa dan pedagang 333 jiwa. Meskipun Desa Tanjungrejo sebagai wilayah yang tanahnya subur namun penduduknya masih banyak yang miskin yaitu 1.528 jiwa (543 rumah tangga miskin), dan sebagian besar sebagai buruh tani.
Sedangkan penelitian ini berusaha mengungkap lebih mendalam tentang perempuan tani dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: bagaimana strategi bertahan hidup perempuan tani berbasis lahan kering dan lahan sawah, apakah ada perbedaan strategi bertahan hidup perempuan tani berdasarkan etnis Madura dan etnis Jawa? Dalam upaya membatasi konsep maka perempuan tani lebih ditujukan pada perempuan buruh tani berdasar etnis Madura dan Jawa.
Pekerjaan sebagai buruh tani tidak lagi dapat diharapkan karena adanya bagi hasil yang tidak merata, upah yang rendah, komersialisasi petani, dan panen yang kurang bagus akibat serangan hama wereng dan tikus. Apalagi dengan
Adapun tujuan penelitian adalah menganalisis strategi bertahan hidup perempuan tani berbasis lahan kering dan lahan sawah serta menganalisis 2
Kritik terhadap teori moral ekonomi Scott yaitu, teori ini cenderung meromantiskan perlawanan dalam bentuk kolektif untuk subsisten (tradisi) karena berprinsip mendahulukan selamat. Sedangkan penemuan penelitian di lapangan dijumpai bahwa perlawanan atau penolakan secara individual tidak hanya secara terbuka tetapi juga terselubung. Protes yang dilakukan petani bukan sekedar mempertahankan subsistensi tetapi juga mengadaptasikannya berdasarkan rasional individu yang bersangkutan, rasional dalam arti sejalan dengan pemahaman terhadap norma etika agama, ekonomi, dan sosiobudaya yang ada.
2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan perspektif fenomenologis (Taylor dan Bogdan,1992) yang dipelopori Weber. Lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu Desa Sumbersalak Kecamatan Wuluhan (wilayah lahan kering) dan Desa Tanjungrejo (wilayah lahan sawah). Sumber data diperoleh dari wawancara mendalam dari perempuan buruh tani dengan menggunakan pedoman wawancara. Disamping juga informan kunci juga diwawancarai untuk memperoleh informasi yang diperlukan. Data diolah kemudian dianalisis secara kualitatif. Keabsahan data dilakukan dengan trianggulasi sumber data.
Sedangkan Popkin beranggapan bahwa tindakan perlawanan merupakan tindakan individu petani yang bernuansa rasional dan kreatifitas adalah hanya atas dominasi pertimbangan kondisi ekonomi. Perlawanan itu lebih ditujukan pada elite atau penguasa. Kritik terhadap teori Popkin ini melihat bahwa perlawananan petani memang dilakukan perorangan tetapi bukan ditujukan pada perorangannya tetapi justru lebih ditujukan kepada programnya terbukti bahwa sebagian program intensifikasi yang dianggap rasional ternyata dilakukan petani.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perspektif kultural teori Scott tentang moral ekonomi dan perspektif ekonomi teori Popkin tentang Rasional Petani menjadi perdebatan teoritik yang berkepanjangan antara ”pendekatan moral ekonomi” yang dipelopori James C. Scott (1983) dengan ”pendekatan rational peasant” yang dipelopori oleh Samuel Popkin (1979) sejak beberapa tahun yang lalu, tampaknya sangat berpengaruh terhadap penelitian masyarakat tani sampai saat ini.
Secara kultural perempuan pedesaan melakukan suatu tindakan agar tetap survive. Mereka cenderung bertahan tidak memberikan respon terhadap tekanan atau perubahan dari luar bahkan menyelamatkan diri dari kondisi lingkungannya yang melingkupinya. Tindakan ini sesuai dengan formulasi kultural Geertz (1963) yang terkenal dengan agriculture involution, berarti bahwa intensifikasi pertanian dilakukan bukan dengan menciptakan atau mengimpor institusi ekonomi dan teknologi baru, akan tetapi dengan cara memadati sebidang sawah dengan makin banyak tenaga kerja, sehingga melampaui titik utilitas. Ini adalah salah satu ciri-ciri ekonomi masyarakat pedesaan Jawa yang mampu menekan hidup mereka dan juga ciri-ciri kultural Jawa yang senang dengan hidup tolong-menolong. Buruh tani perempuan adalah
Perubahan struktural dan ekonomi petani di pedesaan Jawa menggambarkan fenomena sosial ketimpangan di pedesaan sekarang. Uraian diatas memperlihatkan bahwa kemiskinan merupakan sebagian kecil fenomena paradoksial tentang kondisi petani dan hubungan kerja mereka. Selama ini sistem sosial petani yang sering digambarkan secara romantis oleh Scott (1972), yaitu tentang pola hubungan yang mencirikan ”bapak-anak” (patron-client relationship) yang merupakan bentuk hubungan kerja petani kaya dan petani miskin. Sehingga yang terjadi sekarang adanya polarisasi dan diferensiasi struktur lapisan. Di satu sisi petani komersial yang kaya semakin menguasai tanah serta mendominasi perekonomian desa, di sisi lain buruh tani semakin tidak berdaya. 3
mereka yang bekerja sebagai buruh di sawah atau ladang dengan mendapat imbalan upah, ada hubungan timbal balik antara pemberi kerja dan pekerja. Pada kehidupan sosial petani, hubungan kerja antar petani menggambarkan bentuk hubungan kerja (kontrak kerja) antara pemilik tanah atau ladang atau sawah dengan penggarap; pemilik dengan penyewa tanah; penyewa dengan penggarap; dan hubungan antara pemilik atau penyewa atau penggarap dengan buruh ataupun penebas. Buruh tani perempuan sebagian besar bekerja sebagai buruh di sawah ketika musim hujan. Sementara itu, mereka juga bisa bekerja di perhutani dengan menanam bibit pinus yang diberikan oleh perhutani. Peluang kerja yang lain adalah di perkebunan kopi yang mayoritas milik perorangan.
kemiripan bahasa, kesamaan bahasa dimungkinkan karena etnis tersebut memiliki kesamaan sejarah tradisi kuno yang mewariskan tradisi yang mirip dan juga bahasa yang mirip. Dikala musim kering tiba, strategi perempuan tani di Desa Sumbersalak agar dapat memperoleh penghasilan untuk kelangsungan hidupnya mereka mencari kayu bakar dan rumput untuk makanan ternak (sapi, kambing). Hewan ternak yang mereka pelihara biasanya adalah dengan “sistem gaduh” Ada juga yang menekuni bidang perdagangan dengan menjual hasil pekarangan atau kebunnya. Bahkan mereka rela mengais sisa padi (ngassa’) yang telah di gebyos (diambil padinya) di wilayah lain yang masih ada tanaman padi. Untuk dapat memperoleh sisa padi, perempuan tani menggunakan berbagai cara, misalnya memberi upeti kepada penggebyos padi bisa berupa makanan atau rokok. Apabila memberi upeti, maka sisa padi yang diperoleh banyak. Ada simbolik kultural (simbol-simbol kebudayaan) yang dipergunakan untuk memelihara hubungan sosialnya dan digunakan untuk memperoleh sesuatu. Dalam sehari ‘ngassa’’ , bisa memperoleh sekitar 3 atau 4 kaleng roti yang kecil. Hasil ngassa’ ini bisa disimpan sebagai cadangan bahan pangan, namun juga bisa dijual dalam bentuk beras.
Lahan kering di Desa Sumbersalak berupa tegalan/ladang, hutan sebagai mata pencaharian utama penduduknya. Namun bisa ditanami padi jika musim hujan.Buruh perempuan tani pada umumnya menanam padi, membersihkan lahan, dan memanen padi. Hubungan kerja mereka antara pemilik dengan buruh ataupun penyewa dengan buruh. Sistem kerja mereka system upah harian,yaitu upahnya diberikan setelah pekerjaan selesai dikerjakan. Rata-rata mereka bekerja mulai jam 7.00 pagi sampai jam 12.00 dengan upah Rp.12.500,-, itupun masih ada pemberian makan meskipun hanya sekali. Pemilik, penyewa dan perempuan yang bekerja sebagai buruh tani pada umumnya etnis Madura.
Mencari kayu di hutan yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka, juga sebagai cara untuk mengatasi kelangsungan hidupnya. Adapun kayu yang diperbolehkan diambil adalah ranting-ranting yang telah kering, namun tidak menutup kemukinan kayu yang telah mati bisa dibawa.
Pengertian etnis menurut Frederich Barth (1980, diambil dari www.smartpsychology.blogspot.com/200 7/2008/etnis dan etnisitas.html, 24 November 2010) adalah menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Identifikasi etnis Madura, penulis mendalaminya melalui bahasa keseharian mereka. Goodenough (1997), identifikasi etnis adalah bahasa yaitu antara satu etnis dengan etnis lainnya kadang juga terdapat
Adapun etnis Jawa yang berada di Desa Sumbersalak jumlahnya sangat sedikit sekali, kira-kira hanya 1 RT saja. Letak tempat tinggal mereka dekat hutan pinus milik Perhutani. Identifikasi mereka sebagai etnis Jawa penulis melihatnya dari bahasa dan juga sejarah migrant mereka yang berasal dari daerah mataraman misalnya Blitar, Kediri dan Tulungagung. Adapun jenis pekerjaan mereka sebagai buruh di hutan pinus 4
buruh dan kebun kopi. Lahan di hutan pinus dimanfaatkan sebagai tanaman tumpangsari misalnya jagung, ketela pohon, atau kacang panjang. Buruh perempuan bekerja membersihkan, merawat dan juga memanen. Sebagai buruh mereka bekerja mulai jam 8.00 pagi hingga sore hari dengan upah yang diterima antara 15-20 ribu rupiah dan makan sekali. Etnis Jawa di desa Sumbersalak tidak mempunyai sawah dan juga tidak bekerja di sawah. Di kala tanaman pinus sudah mulai dipanen dan diambil getahnya maka mereka beralih pekerjaan sebagai buruh Perhutani. Upah yang diterima tergatung dari perolehan men”derres” (mengambil getah) pohon pinus, ukurannya dengan timba (ember, yaitu tempat air). Jika tidak ada lagi yang dilakukan di desa nya di musim kering, buruh perempuan etnis Jawa banyak tinggal di rumah. Mereka hanya berharap dari penghasilan suami. Sedangkan suami mereka di musim kering banyak meninggalkan desanya, mereka mengais rejeki di daerah lain (sebagian besar bekerja sebagai kuli bangunan di Bali). Selain itu, pekerjaan yang bisa dilakukan oleh perempuan tani Jawa adalah memetik sisa kopi ketika panen kopi telah usai, mereka diperbolehkan mengambil kopi yang tersisa di pohon.
“ngadissah”, yang diselenggarakan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhurnya yang pertama kali membuka desa (babat desa) yang disebut buju’ Adi. Dalam ritual ini, ada beberapa acara kesenian seperti ludruk, kuda lumping dan karapan sapi. Sebelumnya didahului oleh pengajian dan selametan yang dihadiri oleh peserta laki-laki. Fungsi dari ritual ini adalah untuk memperoleh keselamatan dan hasil panen yang banyak. Dalam ritual ini, masyarakat memberikan (menyumbang) yang dimiliki baik berupa bahan makanan pokok atau uang. Hal ini merupakan bentuk sedekah sebagai rasa syukur dari hasil panen yang diperoleh. Selain itu, ritual ini menunjukkan rasa solidaritas yang kuat bagi penduduk desa sebagai pengaman jaringan social (social networking). Adapun jenis pekerjaan perempuan buruh tani di Desa Tanjungrejo yaitu, menanam padi, membersihkan rumput di sawah, dan memanen. Dari semua jenis pekerjaan tersebut mereka bekerja pada pemilik sawah ataupun penyewa. Perempuan buruh tani bekerja mulai jam 7.00 pagi hingga jam 12.00 siang. Upah yang diterima sebesar Rp.10.000,-, jika pemilik atau penyewa masih membutuhkan tenaganya mereka akan bekerja lagi mulai jam 13.00. hingga jam jam17.00, dengan upah Rp.10.000,-. Namun ada juga pemilik atau penyewa yang menggunakan sistem bawon. Sistem bawon ini merupakan sistem bagi hasil tradisional di Jawa. Sifatnya terbuka, artinya memberi peluang semua anggota masyarakat untuk dapat turut serta memanen dengan memakai ani-ani dan menerima bagian tertentu dari hasilnya, misalnya setiap tujuh ikat mendapat satu ikat. Pada bentuk tradisional bagian yang diterima adalah dalam bentuk natural. Petani menurut tradisi tidak dapat membatasi jumlah orang yang ikut memanen. Berbeda dengan penduduk di desa ledokombo yang mayoritas etnis Madura, penduduk Desa Tanjungrejo mayoritas etnis Jawa, dan sebagian kecil etnis Madura (jumlahnya sekitar 48 orang).
Mengapa etnis Madura di Desa Sumbersalak mempunyai sawah dan bekerja di sawah? Sedangkan etnis Jawa tidak mempunyai sawah dan mereka bekerja di lahan perhutani? Berdasarkan wawancara dengan Nawiyanto (Mei 2011, ahli sejarah/staf pengajar fakultas sastra Universitas Jember) dalam kontek sejarah migran di Jawa Timur, orang Madura lebih awal melakukan migrasi ke daerah-daerah tapal kuda, termasuk ke Bondowoso pada pertengahan abad ke 19. Oleh karena itu Desa Sumbersalak yang wilayahnya dekat Bondowoso juga sebagai wilayah migran orang Madura. Sedangkan orang Jawa, melakukan migran dikarenakan leluhurnya bekerja di daerah perhutani. Oleh karena itu generasi berikutnya bekerja seperti leluhurnya. ritual
Di desa Sumbersalak terdapat bersih desa yang disebut 5
Namun penduduk etnis Madura ini tidak ada yang bekerja di lahan pertanian, aktifitas nya di perdagangan seperti menjual ikan segar dan penjual sayur (mlijo),serta memelihara ternak. Strategi perempuan buruh tani jika lahan terserang wereng atau tikus, mereka bisa bekerja sebagai buruh pembibitan benih sayuran, di gudang tembakau dan buruh pembuatan genteng yang lokasinya diluar desa.
sistem patron-klien yang memposisikan mereka untuk selalu meminimalisasi resiko. UCAPAN TERIMA KASIH Saya ucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT karena penulisan paper telah selesai dengan baik dan lancar. Paper ini merupakan sebagian dari disertasi yang sedang saya tulis yaitu: Strategi Bertahan Hidup Perempaun Tani Berbasis Lahan Kering dan Lahan Sawah. Untuk itu saya juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat: 1) Prof.Dr.Ir.Keppi Sukesi,MS , selaku Promotor serta Prof.Dr.Ir. Kliwon Hidayat,MS dan Prof.Dr.Ir.Sanggar Kanto, MS yang masing-masing sebagai Co Promotor; 2) Pjs Bupati Jember yang telah memberikan ijin penelitian; 3) Bapak Camat Ledokombo dan Wuluhan, beserta aparatnya; 4) Bapak Kepala Desa Sumbersalak dan Desa Tanjungrejo beserta aparatnya; 5) Ibu-ibu buruh tani yang telah meluangkan waktu untuk saya wawancarai serta pihak-pihak terkait yang dibutuhkan informasinya; 6) Semua pihak yang tidak dapat saya tulis satu persatu. Semoga dari hasil lokakarya ini akan memperoleh kritik dan juga masukan yang sangat berharga untuk kesempurnaan disertasi. Penulis
4. KESIMPULAN Strategi bertahan hidup perempuan tani pedesaan di Sumbersalak dapat berupa ngassa’, mencari kayu, rumput, berdagang dan gaduh bagi etnis Madura. Sedangkan etnis Jawa bekerja di perhutani dan mengambil kopi dari pohonnya setelah panen. Sedangkan untuk di wilayah Tanjungrejo, strategi bertahan hidup perempuan tani etnis Jawa adalah bekerja di pembibitan benih sayuran, gudang tembakau dan sebagai buruh pembuat genteng di luar desanya. Untuk etnis Madura lebih terserap di bidang perdagangan (menjual ikan) dan ‘gaduh” sapi. Perbedaan strategi bertahan hidup etnis Madura dan Jawa di lahan kering dan sawah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah etnis Madura cenderung melakukan segala macam pekerjaan tanpa memilih, sedangkan Etnis Jawa cenderung memilih. Hal ini disebabkan etnis Madura kuat menerapkan prinsip merantau sehingga ada desakan dari lingkungan internalnya untuk selalu berhasil sehingga mereka lebih individual. Sedangkan etnis Jawa lebih terikat pada nilai-nilai komunalnya sehingga lebih menyukai bekerja secara bersama-sama. Strategi bertahan hidup etnis Madura masih berkaitan dengan teori rasionalitas Popkin yang menempatkan individu memiliki rasionalitas untuk memilih tindakan terbaik tidak peduli sekompleks apapun pilihannya. Etnis Jawa yang memiliki karakteristik solidaritas yang kuat sesuai dengan pandangan Scott tentang hubungan kerja di pertanian dimana mereka membangun
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember, 2008. Kabupaten Jember Dalam Angka Tahun 2008. Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Jember dan Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Jember. Bogdan,Robert & Steve J.Taylor .1992. Pengantar Metode Penelitian Kualitatif: Suatu Pendekatan Fenomenologis Terhadap IlmuIlmu Sosial. Surabaya: Usaha Nasional. Departemen Pertanian, 1991. Wanita TaniNelayan Indonesia: Tinjauan PustakaMengenai Pola Pembagian Kerja Wanita dan Pria dalam Rumah Tangga Petani Nelayan 6
Indonesia Dengan Analisis Gender. Depatemen Pertanian Geertz,Clifford.1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta: Bhatara. Hovorko,Alice,2001. Gender, Commersial Urban Agriculture and Urban Supply in Greater Gaborone,Botswana. Departement of Environmental Science, University of Botswana. Johnson,Doyle Paul,1981. Sosiological Theory, Classical Founders and Contemporary Perspectives, Lawang Robert (Penterjemah), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta:PT Gramedia. Marzali, Amri, 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Jakarta. Penerbit: Yayasan Obor Indonesia.
Mendatu, Achmanto. 2007, Etnis dan etnisitas(www.smartpsychology.b logspot.com), diakses tanggal 24 November 2010 Popkin, Samuel L,1979.The Rational Peasant. The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press. Scott, James C ,1983. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3ES Wibowo,Rudi,2001. Rekonstruksi Pengembangan Agribisnis Berbasis Lahan Kering. Jember. Jurnal Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember. Vol:IV-V, no:2-1
Popkin, Samuel L., 1979, The Rational Peasant. The Political Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press
7