Staphylococcus aureus Colonization among Dermatitis Atopik Patients and Healthy Population at Prof Dr. Margono Soekardjo General Hospital Aditya Avisiena and IDSAP. Peramiarti Faculty of Medicine and Health Science, Jenderal Soedirman University, Purwokerto
[email protected]
Abstract Staphylococcus aureus is normal floral in human skin, respiratory and digestive tract. Certain strain of S aureus are pathogenic in human being. The main cause of this infection is open lesions, contaminated stuffs. The purpose of this research was to evaluate the differences of S aureus colonization in atopik dermatitis (DA) patients and normal population at RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. This is a cross sectional observational analytic study. Thirty eight patients, consist of 19 atopik dermatitis patient and 19 normal population were enrolled in this study. The specimens were obtained from skin smear. S aureus identification was done at microbiology laboratory of Faculty of medicine UNSOED. The colony growth was counted by total plate count method (TPC). Parametric test consist of independent t test and Mannwitney as non parametric test was done with 5 % error level. There was a significant differences in colony amount between DA patient with control group on MSA media (t test; p < 0.005) (non parametric test; P<0,005). Keywords: Staphylococcus aureus, atopic dermatitis, normal population.
1
Intisari Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada kulit manusia, saluran pernafasan dan saluran pencernaan .Strain tertentu pada manusia bersifat patogen dan menyebabkan infeksi.Sumber utama infeksi ini adalah lesi terbuka, barang-barang yang terkontaminasi lesi, saluran nafas dan kulit. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan jumlah kolonisasi S. aureus pada pasien Dermatitis Atopik dan Populasi Normal di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel yang diambil sebanyak 38 pasien1(19 pasien Dermatitis Atopik dan 19 Populasi Normal). Spesimen penelitian diperoleh dari apusan kulit. Identifikasi S.aureus dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK UNSOED. Perhitungan pertumbuhan koloni dihitung dengan metode Total Plate Count (TPC). Uji statistik yang digunakan adalah uji parametrik yakni uji t independent dan uji nonparametric yakni Mann-witney dengan tingkat kesalahan 5%. Hasil uji t independent menunjukan nilai P=0,000 (P<0,005) berarti terdapat perbedaan jumlah koloni antara pasien DA dengan kelompok kontrol pada media MSA dan uji non parametric menunjukan nilai P=0,000 (P<0,005) berarti terdapat perbedaan jumlah koloni antara pasien DA dengan kelompok kontrol pada media PCA. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan perbedaan jumlah kolonisasi S. aureus pada Pasien Dermatitis Atopik dan Populasi Normal di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Kata Kunci: Staphylococcus aureus, dermatitis atopik, populasi normal.
Latar belakang Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal-gatal yang pada umumnya sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak (Djuanda, 2007). Hal tersebut sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
2
adanya riwayat DA pada keluarga atau penderita. Distribusi lesi DA yang khas yaitu berada di daerah lipatan kulit. Kelainan kulit dapat berupa papul yang gatal dan selanjutnya menjadi eksoriasi serta likenifikasi (Djuanda, 2007). Patogenesis DA sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui, tetapi bukti-bukti menunjukan bahwa DA merupakan penyakit yang diakibatkan oleh berbagai interaksi faktor endogen dan eksogen. Diantaranya faktor genetik, imunologik, farmakologik dan lingkungan. Adanya berbagai faktor yang mempengaruhi kejadian DA, hal tersebut menyebabkan mekanisme terjadinya DA menjadi lebih komplek (Leung et al., 1999). Staphylococcus aureus merupakan flora normal pada kulit manusia, saluran pernafasan dan saluran pencernaan. Pada strain tertentu, S. aureus bersifat patogen dan dapat menyebabkan infeksi. Sumber utama infeksi S. aureus adalah lesi terbuka, barang-barang yang terkontaminasi lesi, saluran nafas dan kulit (Brooks et al.,2005). S. aureus merupakan flora normal yang berpotensi menjadi patogen oportunistik. Pada kulit pasien DA, mengalami perubahan struktur dari keadaan normal sehingga mengakibatkan beberapa dampak diantaranya berubahnya kemampuan kulit sebagai pelindung (barrier) tubuh terhadap berbagai macam infeksi kulit oleh bakteri, jamur maupun virus jika dibandingkan dengan kulit orang normal. Hal tersebut terjadi karena adanya gabungan efek faktor-faktor ekstraseluler, toksin-toksin, serta sifat invasif strain itu. S. aureus yang patogen dan invasif cenderung menghasilkan koagulase, pigmen kuning dan bersifat hemolitik (Brooks et al., 2005). Beberapa penelitian tentang prevalensi DA yang disebabkan oleh S. aureus antara lain penelitian pada pasien DA di Inggris dengan prevalensi yang bervariasi dari 21 % pada umur 0 sampai 6 bulan dan 6,4 % terjadi pada usia 16 tahun. Pasien dengan DA memiliki ratarata kolonisasi S.aureus yang tinggi pada kulit mereka dibandingkan kondisi normal. Studi mikrobiologi pada pasien dengan DA, rata-rata terjangkit S.aureus adalah 79% pada bagian saluran pernafasan, 76%
3
pada bagian luar kulit normal dan 93% pada kulit dengan lesi (Gadha et al., 2007). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan jumlah kolonisasi S. aureus pada kulit pasien Dermatitis atopik dan populasi normal di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Dengan adanya penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai perbedaan kolonisasi S. aureus pada kulit pasien Dermatitis atopik dan populasi normal di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto sehingga pelayanan kesehatan dan individu yang menderita Dermatitis atopik dalam mencegah terjadinya penyebaran lesi yang disebabkan S. aureus. Metode Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan metode potong lintang. Sampel adalah pasien dermatitis atopik di Klinik Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dan populasi normal di Purwokerto yang memenuhi kriteria inklusi. Pasien dermatitis atopik adalah pasien dengan suatu peradangan menahun pada kulit yang menyebabkan rasa gatal, seringkali terjadi pada orang-orang yang keluarganya memiliki riwayat atopik. Populasi normal adalah sekelompok orang yang tidak memiliki tanda dan gejala klinis penyakit kulit. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Kriteria inklusi adalah pasien dermatitis atopik yang baru pertama kali berobat di klinik kulit dan kelamin Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto periode Februari 2010 sampai dengan Maret 2010, Populasi normal yang terdapat di Purwokerto dan pasien yang sudah memberikan informed consent. Kriteria eksklusi adalah perawat populasi normal dengan luka kulit terbuka, Pasien yang sedang menggunakan antibiotik dan kortikosteroid oral maupun topikal. Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan dari bulan Februari - Maret 2010 di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dan Laboratorium Mikrobiologi FKIK UNSOED.
4
Pengambilan sampel dilakukan dengan swab pada permukaan kulit dengan menggunakan kapas bertangkai steril, tiap sampel diberi keterangan yang terdiri dari nama, waktu pengambilan, dan tanggal pengambilan; kapas bertangkai tersebut kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi Carry and Blair, ditutup rapat dan diberi label; kemudian dibawa ke Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UNSOED untuk dilakukan pembiakan. Isolasi S. aureus dilakukan dengan menggunakan medium selektif Blood Manitol Salt Agar (MSA Darah); sampel dilakukan pengenceran dan diambil sebanyak 0,1 ml dimasukkan ke dalam medium MSA-7% Darah; kemudian diratakan dengan menggunakan drugal sky ditutup, dan dibungkus; diinkubasi selama 1-2 x 24 jam dengan suhu 37 oC; hasil biakan diamati adanya koloni S. aureus dengan ciri-ciri koloni kecil-sedang, smooth, keping atau sedikit cembung, berwarna putihkuning, dengan haemolisis. Identifikasi dilakukan dengan pewarnaan gram pada koloni tersangka S. aureus (bulat, bergerombol dan gram positif); dilanjutkan dengan uji katalase, apabila positif menghasilkan gelembung gas; uji oksidase, dinyatakan positif apabila koloni pada kertas saring tidak berubah warna menjadi biru; uji koagulase, dinyatakan positif apabila lebih dari 1/3 volume cairan terjadi flokulasi plasma. Hasil Penelitian ini mengikutsertakan 38 pasien, yang terdiri dari 19 pasien dermatitis atopik dan 19 orang sehat sebagai populasi normal. Hasil perhitungan jumlah koloni S. aureus menunjukan jumlah koloni pada pasien DA sebanyak 3,61 X 109 CFU/ml sedangkan pada populasi normal sebanyak 1,60 X 10 9 CFU/ml (Gambar 1).
5
Gambar 1 Diagram rerata jumlah koloni Staphylococcus aureus pada DA dan Kontrol
Uji normalitas mengindikasikan data berdistribusi normal, maka uji statistik yang digunakan adalah uji parametrik, yaitu uji t tidak berpasangan. Pada uji t tidak berpasangan diperoleh angka signifikansi 0,000 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kolonisasi S. aureus pada DA dan populasi normal pada media MSA, sedangkan pada data PCA tidak berdistribusi normal walaupun sudah di transformasi log. Maka perlu dilakukan uji alternatifnya yaitu Mann Whitney. Hasil uji Mann whitney diperoleh angka signifikasi 0,000 sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan koloni pada DA dan populasi normal pada media PCA (Gambar 2). Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan jumlah koloni pada pasien DA dan populasi normal. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Gadha et al. (2007) yang menyatakan bahwa pasien dengan DA memiliki rata-rata kolonisasi S.aureus yang lebih tinggi pada kulit mereka dibandingkan dengan kondisi normal. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa S. aureus (60,48%) merupakan bakteri yang mendominasi lesi DA (Saimary et al., 2006). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saimary et al., (2006) dan Higaki et al., (1999) di Jepang melaporkan bahwa jumlah koloni S. aureus sebanyak 85,7% yang diisolasi dari lesi pasien DA. Peningkatan jumlah koloni S. aureus pada pasien DA, terutama berkaitan dengan perubahan lingkungan (Leung, 2002).
6
Gambar 2 Diagram perbandingan koloni MSA dan PCA pada pasien DA
Pembahasan Staphylococcus aureus pada DA mudah sekali untuk berkembang biak pada suhu yang panas dan lembab. Keadaan kebersihan yang kurang terjaga dan faktor emosi dapat mempermudah timbulnya suatu penyakit. Staphylococcus aureus merupakan flora normal yang berpotensi menjadi patogen oportunistik. Bakteri yang merupakan flora normal pada kulit dapat berubah menjadi patogen, hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam antara lain pH pada kulit, perubahan lipid dan menurunnya kadar sphingosine. Pada penderita DA, pH pada kulitnya lebih alkali sehingga menyebabkan ikatan S. aureus dan keratinosit menjadi lebih baik (Arikawa et al., 2004). Aktivitas antibakteri berkurang karena menurunnya kadar sphingosine (Ong et al., 2002). Dengan adanya S. aureus dapat memperberat lesi dari DA (Higaki et al., 1999). Semakin parah lesi DA, hal tersebut dapat menjadi sumber penularan melalui kontak lesi. Staphylococcus aureus merupakan faktor pemicu di dalam peradangan kulit dan eksaserbasi akut dari DA (Leyden et al 1994). Kebiasaan pasien DA yang sering menggaruk bagian lesi dapat menyebabkan lesi semakin meluas. Hal ini sesuai dengan penelitian Yoshino et al., (2000) dan Cho et al. ( 2001) yang menyatakan bahwa penderita DA yang mempunyai kebiasaan menggaruk kulit akan menyebabkan permukaan dari kulit terbuka sehingga barrier kulit rusak sehing ga memudahkan S. aureus menjadi patogen. Penyebaran
7
organisme patogen umumnya terjadi dari satu lesi ke daerah kulit lain melalui jari tangan dan pakaian (Brooks et al., 2005). Kolonisasi terjadi setelah S.aureus mampu menginvasi kulit yang terluka kemudian menginfeksi dengan cara menghasilkan enzim, toksin dan melemahkan sistem imun untuk menyebabkan suatu penyakit (Brooks et al., 2005). Patogenesis DA mengacu pada teori imunitas yang menggunakan konsep dasar Skin-Associated Lymphoid Tissue (SALT). Mekanisme imunologik dapat terjadi melalui dua jalur patogenesis. Jalur pertama adalah hipersensitivitas tipe 1 menurut gell dan comb, sedangkan jalur kedua terjadi melalui perantaran sel langerhans epidermis yang dikenal sebagai IgE-mediated Dellayed Type Hypersensitivity. Patogenesis DA suatu kombinasi antara aktivasi sel T dan molekul IgE sedangkan sel langerhans berperan sebagai sel penyaji antigen yang bekerja sama dengan molekul MHC kelas II. IgE berperan pada infiltrat sel inflamasi DA melalui berbagai macam mekanisme termasuk reaksi bifasik, presentasi alergen oleh sel langerhans, aktivasi makrofag dan auto reaktivitas IgE (Leung, 2002). Defek sistem imun seluler diduga terjadi pada penderita dengan riwayat atopik. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus seperti herpes simpleks, muluskum kontangiosum dan veruka; infeksi jamur seperti dermatohitosis, tinea versikolor, kandidiasis; dan infeksi. S. aureus pada penderita atopik (Leung et al.,1999). Penyebab DA sampai saat ini belum dapat dijelaskan, apakah DA terjadi karena gangguan pada sistem imunitas atau faktor genetik autosomal resesif yang dominan. Untuk itu diperlukan pencegahan yaitu dengan cara menghindari semua faktor pencetus yang mungkin bisa menimbulkan manisfestasi klinis, menjauh dari allergen pencetus. Dilanjutkan dengan pengobatan sistemik dengan menggunakan antihistamin, kortikosteroid dan bila ada infeksi sekunder bisa diberikan antibiotik. Berdasarkan hasil penelitian yaitu kolonisasi S. aureus pada kulit pasien DA lebih tinggi dibandingkan dengan kulit populasi normal, dapat direkomendasikan untuk penggunaan obat antibiotik untuk
8
perawatan pasien DA terutama jika terdapat tanda-tanda infeksi. Apabila terobati dengan baik maka prognosisnya baik (Siregar, 2005 ; Djuanda, 2007). Kesimpulan Terdapat Perbedaan Kolonisasi S. aureus pada Pasien Dermatitis Atopik dan populasi normal di Purwokerto, yaitu 3,61 X 10 9 CFU/ml koloni S. aureus pada pasien DA dan populasi normal sebanyak 1,60 X 10 9 CFU/ml. Daftar pustaka Arikawa, J., Ishibashi, M., Kawashima, M., Yakagi, Y., Ichikawa, Y., Imokawa, G. 2002. Decrease Levels of Sphingosine, a natural Antimicrobial Agent, may be Associated with Vulnerability of the Stratum Corneum from Patients with Atopic Dermatitis to Colonization by Staphylococcus areus. J Invest Dermatol, 119: 433 – 439. Brook, GF., Janet SB., dan Nicholas O. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba Medika, Jakarta, p317-326. Brook, GF., Janet SB., dan Nicholas O. 2008. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23. EGC, Jakarta, p211-217. Cho, S., Strickland, I., Tomkinson, A., Fehringer, A.P ., Gelfand, E.W. 2001. Prefential Binding of Staphylococcus areus to skin to Skin Site of Th2-Mediated Inflammation in a Murine Model. J Invest Dermatol, 166: 658 – 63. Djuanda A. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai penerbit FKUI. Jakarta.p 138-147. Gadha M., Ian B., dan Edward J. 2003. valence Of Nosokomial Infection In Italy: Result From The Lombardy Survey In 2002. J Hosp Infect, 54: 141-148. Higaki, S., Morohashi, M., Yamagishi, T., dan Hasegawa, Y. 1999. Comparative study of staphylococci from the skin of atopic dermatitis patients and from healthy subjects . Int J Dermatol. 38: 265-9
9
Leung, DYM. 2002. Peran Staphylococcus aureus pada dermatitis atopik. dalam Bieber, T. and leung, DYM. Atopic dermatitis. Marcel Dekker, Inc New York. pp:401-418. Leyden, JJ., Marples, RR., dan Kligman, AM. 1994. Staphylococcus aureus in the lesions of atopic dermatitis. Br J Dermatol. 90:525-. 30 Ong, P.Y., Brandt, C., Strickland, I., Boguniewicz, M., Ganz, zt., Gallo, R.L., Leung, D.Y.M. 2002. Endogenous antimicrobial peptides and skin infection in atopic dermatitis. N Engl J Med, 347 (15): 1151 – 60. Siregar, RS. 2005. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi 2.EGC. Jakarta, p115-118. Yoshino, T., Asada, H., Sano, S., Nakamura, T., Itami, S., Tamura, M. and Yoshikawa, K. 2000. Impaired responsses of peripheral blood mononuclear cells to Staphylococcal superantigen in patients with severe atopic dermatitis: A role of T cell apoptosis. J Invest Dermatol, 114: 281 – 288.
10