STUDI KELAYAKAN APLIKASI LAMINATED GLASS BEAM; INVESTIGASI PROPERTI KACA INDONESIA DAN PEMODELAN PENGARUH DARI DIMENSI KACA PADA LAMINATED GLASS SEBAGAI BALOK I Ketut Hartana1, Triwulan2, dan Pujo Aji3 1
Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email:
[email protected] 2 Staf Pengajar,Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email:
[email protected] 3 Staf Pengajar, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Email:
[email protected]
ABSTRAK Untuk penerapan kaca sebagai balok di Indonesia harus memperhatikan beberapa isu yang mempengaruhi kondisi kaca yakni dari faktor lingkungan, firma, peraturan, dan propertis fisik dari kaca. Dilakukan perbandingan kondisi dari negara yang memiliki struktur dengan balok kaca untuk mendapatkan kelayakan aplikasi. Dari faktor lingkungan diperhatikan pengaruh dari perbedaan iklim, suhu, dan gempa. Pada faktor peraturan dilakukan perbandingan dari ASTM dan TRAV terhadap SNI. Pada studi firma dilakuan investigasi pada firma kaca di Indonesia. Untuk mengetahui propertis fisik dari kaca Indonesia dilakukan pengujian lentur berdasarkan SNI 15-0047-2005. Dari pengujian didapatkan beban maksimum dan displacement yang diolah untuk mendapatkan maksimum stress dan nilai poisson ratio dari kaca. Dilakukan pemodelan dengan program MIDAS FEA dalam analisa propertis dan permodelan balok kaca laminasi. Terakhir dilakukan studi mengenai faktor non-struktur yang dapat menyebabkan kegagalan pengaplikasian kaca sebagai balok. Berdasarkan faktor lingkungan, balok kaca tidak akan dipengaruhi oleh creep secara major dan beban desain gempa harus diperhatikan. Peraturan di Indonesia belum mengatur mengenai kapasitas izin dari kaca dan penerapan sebagai material struktur. Firma di Indonesia belum siap dalam memproduksi kaca untuk struktur. Dari pengujian didapatkan stress maksimum sebesar 40.253 MPa lebih besar 2.4 x dari allowable stress berdasarkan ASTM 1300-03. Untuk analisa displacement didapatkan nilai poisson ratio sebesar 0.23. Permodelan balok laminasi bahwa penambahan tinggi 100mm atau tebal 10mm dapat meningkatkan kemampuan balok kaca sebesar 10kN. Kegagalan pada balok kaca selain disebabkan oleh faktor beban, kandungan NiS dan local heating dapat menyebakan keretakan secara tiba-tiba sehingga perlu dikontrol dalam proses pembuatan kaca dan lokasi pembangunan. Kata kunci: Balok kaca, Glass Beam, Midas FEA, Laminated Glass Beam, PVB
1.
PENDAHULUAN
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kaca kini dimanfaatkan sebagai elemen stuktur utama yang memilkul beban struktur. Kaca sebagai elemen struktural pertama dibangun di Paris pada tahun 1993 dan kemudian berkembang di negara German, Belanda, dan UK. Pada akhrnya tahun 1996 desain arstiektrural dengan menggunakan media kaca mulai berkembang di negara non eropa, yakni di Jepang, Saudi Arabia, dan sampai di USA pada tahun 2006 (Fu, 2010). Selain bersifat artistik, populernya kaca dilatarbelakangi karena dapat diaplikasikan sebagai elemen komposit pada material lain ataupun sebagai elemen murni struktur bermaterial kaca. Dari segi propertis, kaca memiliki
kuat tarik dan tekan 20 x dan 25 x lebih baik dari pada beton C20/25 serta kuat tekan 2 x lebih baik dari baja S235, namun kuat tarik kaca hanya 20% dari baja S235 (Wurm, 2007). Point penting dalam desain kaca adalah getasnya sifat kaca yang akan menyebabkan kaca runtuh tanpa mengalami kelelehan. Balok kaca merupakan salah satu aplikasi dari penggunaan kaca pada elemen struktur. Dimensi dan jenis material kaca yang digunakan tergantung dari perencanaan beban. Material kaca didesain menggunakan jenis annealed float, fully thermally, dan tempered glass. Ketiga jenis kaca ini memiliki karakter dan kemampuan yang berbeda sehingga dapat dipilih sesuai dengan desain kebutuhan. Metode yang populer digunakan adalah penggunaan tipe laminated glass, yaitu tiap-tiap lapisan kaca direkatkan satu dengan lainnya sehingga bekerja bersama secara komposit. Untuk merekatkan tiap lapis kaca digunakan Polyvinyl butyral (PVB) atau Santry Glas plus (SGP) (Luigi, 2010). Penelitian sebelumnya telah melakukan beberapa eksperimen mengenai sifat dan kemampuan balok kaca dalam menerima beban (umumnya terhadap transvers loading condition), serta pengaruh temperatur terhadap kekuatan balok kaca. Pada penelitian ini dilakukan study mengenai kelayakan aplikasi dari kaca sebagai material balok struktur di Indonesia, mengetahui kemampuan dan propertis fisik dari kaca hasil produksi firma di Indonesia, menemukan metode permodelan balok kaca monolithic dan laminated dalam menganalisa kemampuan balok kaca serta menentukan hubungan antara perubahan dimensi tinggi atau lebar terhadap peningkatan kemampuan balok kaca, dan terakhir adalah mengetahui faktor non struktur yang dapat memicu retak pada kaca sehingga menyebabkan kegagalan. Dari semua study tersebut diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam memanfaatkan material kaca sebagai material applicable pada konstruksi.mengelompokkannya dalam kelompok-kelompok yang sesuai.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
Laminated glass atau kaca laminasi adalah kaca yang pada umumnya teridiri dari dua lembar lapis kaca yang disatukan dengan interlayer polyvinyl butyral (PVB) atau sentry glass plus (SGP). PVB sendiri merupakan material serupa karet yang memiliki kemiripan dengan elastomer. (Dahliwal & hay, 2002), sedangkan SGP adalah lapisan ionolpast, yang terbuat dari ethylene/methacrylic acid copolymers yang dapat melekat secara permanen pada kaca. Lapisan kaminated glass dapat dilihat pada Gambar 1 (Dahliwal & hay, 2002)
Gambar 1. Struktur Laminated glass Asik bersama Tezcan pada tahun 2005 meneliti mengenai pengaruh temperatur pada kekuatan laminated glass. Pengaruh dari temperatur tersebut dibuat menjadi sebuah strength factor yang digunakan pada perhitungan perencanaan. Besar strength factor tergantung pada tingkat temperatur dan ketebalan dari laminated glass. Asik meneliti dengan variasi besar beban yakni 15, 50, dan 150 N pada balok kaca dengan panjang 0.5 meter dan ketebalan 50 mm. Pada suhu berkisar 0oC hingga 49oC. Didapatkan bahwa untuk jenis laminated glass strength berkisar antara 1.2 hingga 0.65 sedangkan untuk beban yang besar, strength factor berubah menjadi diantara1.07 hingga 0.95. Ratio panjang terhadap tebal dari laminated glass mempengaruhi nilai dari strength factor. Dari hasil penelitian, didapatkan semakin tipis laminated glass, maka strength menjadi lebih kecil Oleh Luigi Biolzi pada tahun 2010, diteliti mengenai pengaruh dari lapisan interlayer yakni penggunaan PVB dan SGP. Pada percobaan ini digunakan kombinasi berdasarkan variasi dari tebal masing-masing jenis kaca yang disatukan dengan PVB dan SGP. Tiap kombinasi dari laminated glass di test dengan three point bending test. Test in bertujuan untuk mendapatkan nilai lendutan atau displacement dari tiap kombinasi laminated glass. Test dilangsungkan dengan dimensi aktual dari beam, yakni 1350 mm. terdapat tiga kombinasi yang di
uji berdasarkan ketebalan kaca. Ketiga jenis spesimen tersebut dilaminasi dengan PVB dan SGP sebagai interlayer. Tebal PVB yang digunakan adalah 0.76mm. Mechanical properties dari PVB tergantung pada loading rate, strain level, dan tempertaur dari spesimen. Nilai tangen modulus young E dari PVB berfariasi antara 2.15 Mpa hingga 14.9 Mpa untuk nilai kuat tarik sama dengan 2. Bila kuat tarik melebih 2 maka akan terjadi kegagalan. Nilai shear modulus G = E/3 dimana poisson ratio dari PVB adalah 0.5 (Benniso et.al, 2008). Dari hasil percobaan pengaruh jenis penggunaan PVB dan SGP sebagai interlayer menghasilkan grafik hubungan displacement dengan load capacity. Pada laminated glass yang menggunakan PVB, dibutuhkan beban sebesar 40 kN untuk menghasilkan disppalcement sebesar empat milimeter. Sedangkan untuk SGP dihasilkan disaplacement sebesar empat milimeter ketika beban bekerja sebesar 50 kN Pada tahun 2011 oleh Campione dkk, diteliti menganai sambungan structural pada kaca. Koneksi yang diteliti terbuat dari baja stainless denagan bentuk seperti baja siku. Umumnya pada sambugan dicari kemampaun maksimal dari kekuatan, katahanan, dan unsur estetikanya. Percobaan dilakukan dengan menggunakan three point bending test yang pembanannya dilakukan tepat pada daerah sambungan Dari hasil percobaan Three point bending test, didapatkan bahwa kemampuan terbesar untuk menerima beban adalah tipe sambungan siku penuh yang mampu menahan lendutan yakni sebesar sembilan milimeter dengan gaya 1650 N.
3.
METODA PENELITIAN
Dilakukan studi atau analisa mengenai kelayakan penerapan kaca sebagai balok di Indonesia dengan melakukan analisa literur dengan membandingkan kondisi dari lingkungan, firma, dan peraturan dari negara yang telah mengaplikasikan balok kaca sebelumnya. Tahap kedua dilakukan pengujian lentur dengan mengacu pada SNI 15-0047-2005 dengan jenis pengujian tiga titik. Benda uji berupa kaca monolithic jenis annealed glass, dengan dimensi 20 mm x 120 mm sebanyak 9 buah. Kecepatan pembebanan adalah 1 kg/detik. Data yang didapatkan berupa data beban dan dispalcement. Skema pengujian lentur dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Skema Pengujian Lentur Hasil pengujian berupa data strain dan load maksimum dilakukan analisa dengan menggunakan persamaan kuat lentur
Dengan: G P L t
πΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎ ππππππππππππ =
3 π₯π₯ πΊπΊ π₯π₯ ππ ππππ/ππππ2 2 π₯π₯ πΏπΏ π₯π₯ π‘π‘ 2
adalah beban pada saat benda uji patah (N) adalah jarak penumpu (mm) adalah lebar benda uji (mm) adalah tinggi benda uji (mm)
(1)
Dari data beban maksimum, didapatkan nilai tegangan yang bekerja pada balok kaca. Hal tersebut menunjukan kemampuan maksimum dari balok kaca. Nilai stress yang didapatkan akan dibandingkan dengan allowable sress dari perturan ASTM 1300-03, hasil pengujian dari Pilkington, dan stress yang didapatkna dari permodalan dengan bantuan program finite element. Sedangkan dari data displacement yang didapatkan dilakukan analisa propertis dengan bantuan program finite emelent. Analisa ini dilakuakn untuk mendapatkan propertis dari kaca produksi firma di Indoensia. Dalam analisa ini dilakukan pula uji sensitifitas untuk menentukan nilai propertis yang paling memengaruhi perubahan sifat kaca. Dua propertis yang dilakukan pengujian sensitifitas adalah nilai Modulus Young dan Poisson ratio. Pada laminated glass dilakukan dilakukan permodelan dengan menggunakan program finite emelent untuk mendaptakan perbandingan pengaruh dari penambahan tebal atau tinggi pada laminated glass beam yang bertujuan untuk mendapatkan desain dari laminated glass beam. Terakhir dilakukan analisa terhadap penyebab kegagalan/retak pada kaca akibat pengaruh non-stukrur.
4.
HASIL
Hasil yang didapatkan bersumber dari analisa dengan mengumpulkan data bangunan dengan balok kaca dari negara Prancis, UK, Netherlands, Germany, Tokyo, Saudi Arabia, USA, dan China. Dilakukan perbandingan lingkungan, firma, dan peraturan pada masing-masing negara. Selain perbandingan, dilakukan juga study menganai bentuk bangunan, bentuk balok kaca, dan dimensi balok kaca yang bertujuan menemukan desain umum dari balok kaca yang diterapkan. Pengujian dilakukan terhadap jenis kaca monolithic annealed glass dengan hasilnya berupa propertis kaca produksi firma Indonesia. Pemodelan laminated glass dilakukan dengan bantuan program finite element MIDAS FEA yang hasilnya dibandingkan dengan hasil model uji dari Biolzi (2010). Perbandingan Lingkungan Perbandingan lingkungan berdasarkan analisa data geografi mencakup pada perbedaan iklim, temperature/suhu, zona gempa, dan kecepatan angin pada masing-masing wilayah pada negara yang telah menerapkan kaca sebagai sebuah balok pada struktur. Berdasarkan penelitian (Edel, 1997), peningkatan creep terbesar terjadi pada rentang suhu 10oC β 21oC dengan nilai creep terbesar berada pada suhu 12.6oC. Bila dihubungkan dengan besar temperatur di negara tropis (Indonesia) dengan rentang suhu berkisar antara 2231oC, maka dapat dikatakan penggunaan kaca laminasi sebagai material bangunan tidak akan dipengaruhi oleh creep secara siginifikan, namun tetap harus menggunakan nilai strength factor minimum. Penelitian oleh Asik (2006) menganai pengaruh temperatur pada laminated glass dengan percobaan terhadap material kaca baik monolit dan laminated pada tiga suhu berbeda (laminated) yakni 0oC, 21.11oC, dan 48.89oC. Didapatkan bahwa pada nilai beban yang sama nilai strength factor pada laminated glass di suhu 0oC mendekati 2x dari suhu 48.89oC (Asik & Tezcan, 2006). Perbandingan Peraturan Peraturan konstruksi di beberapa negara telah mengatur penggunaan kaca dalam struktur antara lain Euro Code (EC), ASTM, TRAV 2006, dan CAN. Studi Bentuk Bangunan dan Dimensi Balok Kaca Masing-masing struktur memilki dimensi dan desain yang berbeda tergantung dari fungsi dan beban yang diterima oleh struktur tersebut. Adapun jenis struktur yang umum didesain dengan menggunakan balok kaca adalah jembatan pejalan kaki, plat lantai, glazing, dan all glass structure lantai satu. Studi Industri Kaca (Firma) Dua dari lima perusaahaan kaca di Indonesia memiliki keterbatasan produksi kaca hingga jenis laminasi dua. Sedangkan tiga perusahaan lainnya mampu memproduksi kaca hingga laminasi tiga dengan batasan: 1. Jenis kaca yang akan dilaminasi harus sama, 2. Ketebalan kaca yang akan dilaminasi harus sama atau maksimum dengan perbedaan satu tingkat ketebalan (tebal masing-maing kaca lembar produksi telah diatur dalam perturan SNI 15-0047-2005), 3. Waktu produksi berkisar 3-4 minggu 4. Tinggi dari dimensi kaca yang dibuat
memanjang maksimal adalah 300 mm, 5. Harga yg relatif mahal untuk pembuatan kaca jenis laminasi tiga 1210-12 mm (Β±7 juta/meter), 6. Belum dapat memproduksi jenis chemical tempered. Studi Propertis Fisik Material Dari beberapa nilai allowable stress berdasarkan ASTM1300-03, TRAV 2006 dan 2003, serta Pilkington, didapatkan bahwa ASTM 1300-03 memiliki tegangan izin untuk jenis tempered glass paling besar dibandingkan TRAV dan Pilkington yakni sebesar 77.2 Mpa, sedangkan TRAV dan Pilkington masingmasing memberikan tegangan izin yang lebih rendah sebesar 50 Mpa dan 59 Mpa. Peraturan lainnya yang dapat dijadikan rujukan adalah Peraturan Nasional Canadia CAN/CGSB 12.20. Pengujian Material Pengujian lentur dengan three point bending test berdasarkan peraturan SNI 15-0047-2005 menghasilkan data berupa kapasitas maksimum kaca dan displacement. Berdasarkan hasil beban maksimum rata-rata dari hasil pengujian 9 buah benda uji yakni sebesar 644.043 N dilakukan analisa dan didapatkan nilai stress pada benda uji sebesar 40.253 MPa. Pemodelan Balok Laminasi Dilakukan permodelan terhadap balok laminasi. Permodelan dilakukan dengan membandingkan dengan jurnal penelitian dari (Luigi, 2010) dengan menggunakan parameter dimensi dan data hasil percobaan.PVB didefiniskan sebagai interface pada program MIDAS FEA. Nilai yang digunakan dalam menentukan kemampuan ikat dari PVB tersebut diartikan dalam joint stiffness yakni berupa nilai normal stiffness (k1) dan shear stiffness (k2/3). Nilai tersebut didapatkan dari persamaan ππ1 =
Dengan k1 k2/3 Ea Ga tj
ππ2/3 = = normal stiffness = shear stiffness = Modulus young = Shear modulus = Tebal dari join
N/mm3 N/mm3 N/mm3 N/mm2 mm
πΈπΈππ π‘π‘ππ
πΊπΊππ π‘π‘ππ
(2)
Permodelan balok laminasi menggunakan permodelan solid dengan menggabungkan masing-masing elemen solid menjadi satu kesatuan elemen komposit. Permodelan balok ini menggunakan mesh dengan panjang sisi 30 mm dan perletakan ditentukan sebagai sendi rol. Sebagai perbandingan awal terhadap hasil penelitian Biolzi (2010), maka diambil hasil analisa ketika beban yang bekerja sebesar 40kN. Hasil stress, strain, dan displacement dapat dilihat pada Gambar 3.
Stress max: +1.11885e001 Kg/mm2
Strain max: +1.83159e-003
Displacement max: -3.65263e+000
Gambar 3. Hasil stress, strain, dan displacement permodelan laminated glass beam Kegagalan Tidak Terencana Kegagalan tidak terencana merupakan jenis kegagalan yang tidak disebabkan oleh kesalahan perencana, melainkan oleh faktor-faktor lainnya yang tidak terlibat dalam proses desain kekuatan. Kegagalan tersebut disebabkan oleh Unpure Glass- Unpure glass dapat mengakibatkan kagagalan spontan pada jenis kaca tempered/themally/proses. Kegagalan ini mengakibatkan retak di seluruh permukaan elemen tanpa beban langsung dan beban berlebihan. Umumnya kegagalan spontan tersebut akibat terdapatnya NiS (Nikel Sulfida) pada kaca proses atau kaca laminasi yang dapat memberikan tegangan lokal akibat NiS retarded expansion (Allewaert et al, 2011). Local Heating- Kaca dapat mengalami retakan yang disebabkan oleh thermal stress yang berlebih. Thermal stress sendiri disebabkan oleh t Analisa Data Literatur Berdasarkan perbandingan lingkungan, Iklim yang berbeda antara tropis dan sub-tropis memengaruhi beban yang bekerja pada struktur. Pada iklim subtropis perencanaan beban harus memerhitungkan salju yang menjadi beban tambahan untuk diperhitungan dalam desain, baik kaitannya dengan analisa struktur atau kondisi material laminasi kaca. Perbedaan ilkim tropis dan subtropis juga memberikan perbedaan pada jenis bencana badai yang terjadi. Pada iklim tropis umumnya menerima hembusan cyclone tropis (tidak secara langsung dilalui). Beban badai pada skala satu hingga tiga harus dapat ditahan oleh struktur kaca terutama glazing dan fins. Beban yang harus ditahan berupa shock load berupa blast dan hantaman dari debris dan tekanan dari air dan angin yang mencapai 224 km/h pada sekala tiga (bom, 2013). Selain suhu dan iklim, pengaruh gempa penting diperhitungan mengingat pengaruhnya terhadap beban bekerja pada struktur berupa beban dinamis Perbandingan peraturan memberikan gambaran mengenai peraturan-peraturan tiap negara atau benua yang mengatur menganai pembangunan dengan bahan kaca sebagai material elemen struktur bangunan. Untuk SNI (Standar Nasional Indonesia) bagian perturan yang mengatur menganai kaca adalah SNI 15-0131-2006, SNI 15-2609-2006, SNI 15-0047-2005, SNI 15-573-1989, dan SNI 15-1574-1989. Keseluruhan peraturan di atas tergabung dalam daftar perturan Industri Kaca dan Keramik. Perencanaan ASTM E1300-03 diaplikasikan pada struktur vertikal dan sloped glazing dengan beban-beban kombinasi dari beban angin, beban salju, dan berat sendiri yang tidak lebih dari 10 kPa. Untuk peraturan eropa yaitu EC (Euro Code) memiliki konsep dasar yang berbeda dengan perturan di Benua Amerika, baik itu ASTM maupun CAN. Namun masingmasing telah memiliki metode desain yang dapat digunakan. Keterbatasan kemampuan firma kaca di Indonesia akan menjadi kendala dalam mendesain sebuah bangunan yang menggunakan kaca laminasi sebagai struktur. Hal tersebut disebaban desain yang harus digunakan tidak
dapat melebihi kemampuan produksi dari Industri kaca di Indonesia. Maka dalam Indoensia harus menaikan standar produksi firma atau melakukan penelitian individual tanpa mengacu pada standar negara lain. Pengujian Material Nilai stress dari hasil pengujian laboratorium dibandingkan dengan nilai stress hasil pengujian Pilkington, permodelan, dan peraturan ASTM 1300-03. Nilai stress dari Pilkington memiliki nilai lebih besar 1.115 MPa. Dibandingkan dengan hasil dari permodelan nilai stress dari pengujian memberikan persen error sebesar 0.35%. Seluruh nilai stress tersebut dibandingkan dengan peraturan ASTM 1300-03 dengan allowable stress sebesar 16.6 MPa. Ini menunjukan bahwa nilai stress dari pengujian memiliki besar 2.4 x dari stress yang diizinkan. Uji sensitifitas dilakukan pada analisa displacement untuk mendapatkan variable acuan. Didapatkan bahwa sensitiftas dari nilai poisson ratio memiliki pengaruh yang lebih besar dari modulus young. Maka analisa difokuskan kepada nilai pisson ratio yang didapatkan dengan analisa pemodelan. Pemodelan dilakukan dengan rentang nilai poisson ratio sebesar 0.18-0.25. Hasil analisa dari permodelan berupa data displacement yang dibandingkan dengan data displacement rata-rata dari pengujain. Hasil perbandingan tiap-tiap nilai poisson ratio disajikan dalam bentuk persen error yang dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Nilai poisson ratio terhadap persen error
Poisson ratio vs Error Error (%)
2.00 1.80 1.60 1.40 1.20
0.18 0.19 0.2 0.21 0.22 0.23 0.24 0.25 0.26
Poisson ratio Dari Gambar 4 didapatkan bahwa nilai persen error terkecil terdapat pada nilai poisson ratio 0.23. dengan nilai persen error sebesar 1.31%. Dari hasil analisa poisson ratio, maka didapatkan kaca hasil peroduksi firma di Indonesia memiliki propertis yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data propertis float glass Jenis Data Density (g/cm3) Modulus Elastisitas (Gpa) Poisson ration Expansion Coeff.
Float 2.5 70 0.23 8.1e-6
Pengujian Material Dari hasil pemodelan, dilakukan perbandingan dengan hasil pengujian penelitian Biolzi (2010) menganai laminated glass. Perbandingan berupa grafik nilai hubungan load vs dispalcement dan strain yang ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Perbandingan hubungan load terhadap displacement dan strain
Dari kedua grafik diatas, didapatkan bahwa hasil dari displacement dari hasil permodelan dapat mendekati dari hasil uji yang dilakukan oleh Biolzi (2010). Perbedaan dari kedua grafik tersebut adalah hasil pengujian Biolzi (2010) memiliki garis displacement yang lebih landai dengan nilai displacement yang lebih besar dibandingkan dengan hasil permodelan. Ketika beban mencapai 40kN, displacement yang terjadi pada percobaan Biolzi (2010) mencapai 4.1 mm sedangkan pada permodelan MIDAS FEA, nilai displacement sebesar 3.65 mm. Untuk perbandingan nilai strain, didapatkan bahwa hasil dari permodelan memberikan nilai strain yang mendekati hasil pengujian Biolzi (2010), namun sedikit lebih besar daripada hasil pengujian Biolzi (2010). Dari permodelan didapatkan nilai strain maksimum mencapai 1.83e-03. Sedangkan dari hasil pengujian didapatkan nilai strain sebesar 1.75e-03. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan parameter, yakni perbedaan pada propertis material dan permodelan beban. Dilakukan pemodelan balok laminasi berdasarkan variasi dimensi. Pada permodelan pertama dilakukan perubahan tebal balok dengan tebal PVB sebesar 1.14 mm untuk satu lapisan. Permodelan yang kedua yakni, dengan tebal yang sama dengan desain balok original/model 1 (12-6-12) dan dilakukan perubahan tinggi balok Adapun rangkuman perubahan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Data dimensi variasi model balok Dimensi Tebal kaca (mm) Tebal PVB (mm) Tinggi kaca (mm)
1 12-6-12 0.67 150
Balok/Model 2 3 15-10-15 12-6-12 1.14 0.67 150 250
Dilakukan perbandingan hasil untuk masing-masing tipe model 1,2, dan 3 untuk nilai strain dan displacement. Perbandingan disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 6. Gambar 6. Perbandingan hubungan load terhadap displacement dan strain
5.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang sudah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: A.
Pengaruh berbagai factor di Indonesia terhadap penerapan kaca sebagai struktur balok adalah:
Lingkungan Suhu di Indonesia berkisar antara 22-31oc sehingga creep dapat memengaruhi desain dan strength factor yang dgunakan < 1, bencana iklim di Indonesia (cyclone, thypone, hurricanes) memiliki intensitas lebih kecil daripada daerah beriklim subtropics (kawasan samudra) sehingga meminimalkan pengaruh shock load. Gempa di Indonesia memiliki intensitas dan skala yang beragam dari rendah hingga tinggi sehingga perlu diperhatikan dalam lokasi pemangunan dan desain dari balok kaca laminasi. Peraturan Matrial kaca pada peraturan sni berada pada sub-industri. Sni di Indonesia belum mengatur menganai aplikasi kaca pada bangunan yang bekerja sebagai struktur baik dalam segi kuat sifat material dan desain. Firma Firma di Indonesia belum siap dalam memproduksi kaca dengan kebutuhan atau desain yang dibutuhkan dalam aplikasinya sebagai elemen struktur. B.
Propertis fisik material masing-masing jenis kaca adalah:
Peraturan Berdasarkan astm 1300-03 diberikan allowable stress untuk annealed glass, heat-strengthned glass, dan temepered glass masing-masing sebesar 19.3 Mpa, 38.6 Mpa, dan 77.2 Mpa. Oleh trav diberikan allowable stress untuk annealed glass, heat-strengthned glass, dan temepered glass masing-masing sebesar 18 mpa, 22.5 mpa, dan 50 mpa. Berdasarkan pilkington diberikan allowable stress untuk annealed glass dan temepered glass masing-masing sebesar 17.8 Mpa dan 59 Mpa Pengujian Berdasarkan hasil pengujian didapatkan stress maxiumum kaca jenis annealed glass clean cut edge, adalah sebesar 40.253 Mpa dengan data propertis yang didapatkan berupa nilai poisson ratio sebesar 0.23. C. Dalam permodelan yang perlu diperhatikan sifat brtille dari kaca dan rekatan dari adhesive PVB. Material kaca harus didefiniskan dengan memasukan allowable stress pada crack desain. Sedangkan rekatan dari PVB dapat menggunakan propertis normal striffness dan shear stiffness. D. Balok kaca laminasi memiliki kemampuan pikul beban maksimum sebesar 50kN dengan beban normal/rata-rata sebesar 40kN. Kemampuan pikul tersebut bergantung pada dimensi dan panjang balok. E. Dari hasil permodelan didapatkan bahwa penambahan tinggi pada balok kaca laminasi menghasilan displacement lebih kecil. Namun untuk hasil strain, penambahan tinggi atau lebar memberikan nilai strain yang serupa. Berdasarkan nilai strain, maka dengan perubahan tebal dan tinggi dapat menaikan kemampuan pikul balok kaca menjadi 60kN. F.
Faktor-faktor luar yang dapat memengaruhi kegagalan:
1. Kandungan NIS minimum sebesar 40Β΅m hingga 60 Β΅m dapat menyebabkan keretakan tiba-tiba pada jenis tempered glass dan heat-stregthned glass. Keadaan ini disebut dengan unpure glass. 2. Local heating dapat menyebabkan tegangan tarik pada kaca dan menimbulkan keretakan. Penetuan lokasi dan shading dari elemen sekitar struktur dapat menyebabkan local heating.
DAFTAR PUSTAKA Allewaert, D., Belis, J., Vanderbroek, M., & Impe, R. V. (2011). Spontaneous failure of a passable laminated glass floor element. Engineering Failure Analysis 18, 1889-1899. Asik, M. Z., & Tezcan, S. (2006). Laminated glass beams; Strength factor and temperture effect. Computers and Structures , 364-373 Benniso, n. S., qin, m., & davies, p. (2008, may ). High-performance laminated glass for structurally efficient glazing in innovative light-weight structures and sustainable facades. P, pp. 1β12. Campione, G., Colajanni, S., & Minafo, G. (2012). The Use of Steel Angles for The Connestion of Lamninated Glass Experiment and Modelling. Construction and Building Material, 682-689. CWCT. (2001, January 1). Center for Window and Clading Technology Glass and Glazing. Retrieved from cwct.co.uk: www.cwct.co.uk/facets/pack08/text06.htm Dahliwal, A., & Hay, J. N. (2002). The characterization of polyvinyl butyral by thermal analysis. Thermochimica Acta 391, 245β255. Edel, M. (1997). The effect of temperature on thebending of laminated glass unit. Texas: Departement of Civil Engineering, Texas A&M University Fu, L. (2010). Glass Beam Designs For Architects: Brief Introduction o The Most Critical Factor of Glass Beam and Easy Computer Tool. Southern California: Faculty of The Usc School of Architecture University of Southern California. Luigi Biolzi, S. C. (2010). Progressive damage and fracture of laminated glass beams. Construction and Building Materials , 24, 577β584. Retrieved from www.elsevier.com/locate/conbuildmat Wurm, J. (2007). Glass Structures: Design and Construction of Self-Supporting Skins. German: Birkhauser Verlag AG.