SMI SllMBtR DAVA RlRM 116
KERBAU MANFAATNYA UNTUK RAKYAT INDONESIA
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
APRIL 1985
PROYEK SUMBER DAYA EKONOMI KELOMPOK STUD1 LITERATUR KERBAU - MANFAATNYA UNTUK RAKY AT INDONESlA
Penterjemah Penyunting
: R.P. Utojo : Soenartono Adisoernarto
iii
KATA PENGANTAR Terjemahan yang disajikan dalarn studi literatur k d i ini adalah mengenai kerbau. Dalam salah satu terjemahan yang lalu, perlhd kerbau telah pula dikupas, mencakup pengetahurn umum tentang kerbau dan peternakannya. Kali ini artikel mengenai kerbau yang diketengahkan adalah pemanfaatmnya untuk Rakyat Indonesia dilihat dari segala sep, baik yang bersifat fisik maupun yang mistik. Dengan mengetengahkan artikel' ini, diharapkan bahwa pandangan terhadap kerbau dapat diberikan secara menyeluruh. Memang, sebetulnya dalam beberapa bagian uraian artike1 ini terdapat hal-hal yang seolah-olah tidak masuk aka1 dan melanggar peri kemanusiaan. Namun, praktek semacam itu, paling sedikit sebagian, masih dilakukan di behrapa tempat di Indonesia. Mungkin, praktek semacam itu kini telah menjadi ha1 yang merutin belaka, tanpa dilandasi latar belakang yang rnengembangkan atau menjelmakan praktek tersebut. Membaca artikel ini secara lengkap akan menolong memahaminya. Pada akhir-akhir ini, kerbau mulai mendapat perhatian lagi. Usaha meningkatkan mutu serta populasinya sedikit demi sedikit terasa diperlukannya. Mengimpor kerbau dari luar negeri untuk digunakan meningkatkan penampilan kerbau asli klah dilaksanakan. Dengan memahami artikel ini, hendaknya usaha-usaha dalam meningkatkan mutu dan populasi kerbau di Indonesia dapat diarahkan kepada sasaran yang lebih bermanfaat. Kerbau dalah binatang ternak peliharaan khalayak umum, terutama rakyat biasa. Kiranya cukup perlu artikel yang ditampilkan ini dijadikan bahan pemikiran dalam menentukan arah pengembangan kerbau. Kepada para ilmuwan dan para mahasiswa yang melakukan penelitian mengenai kerbau diharapkan mudah-mudahan artikel ini dapat digunakan dengan baik. Kepada para pemelihara kerbau pun diharapkan buku ini dapat mem berikan pe tunju k un tuk memanfaatkan kerbaunya. Adanya hal-ha1 y m g tidak masuk aka1 hendaknya dijadikan bahan renungan akan tindakan kita, terutama y ang berkaitan dengan mistik. Masihkah kita akan melakukan penanaman kepala kerbau untuk menandai dimulainya suatu pembangunan? Kebiasaan ini sudah dilakukan masyarakat manusia yang hidup sekitar 4000 tahun yang lalu ! ,
berwarna", demikian tulis dua peneliti ilmu pengetahuan alam dari
Swiss,bernama Paul dan Fritz Sarasin dalam bukunya tentang Sulawesi. Lain orang lagi menyatakan, bahwa kerbau tidak tahan terhadap bau yang tidak biasa ada di situ dari orang-orang kulit putih, atau jika diperluas, bahwa bau badan orang Eropa pada umumnya membuat alat penciuman hewan ini sering tidak suka menerima. Bila kerbau setengah liar dalam perjalanan, tatkala berpapasan dengan orang lalu melawan, demikian berkata orang Toraja, itu disebabkan karena hewan yang bersangkuhn dibuat marah oleh baunya si manusia tersebut. Praktek menyatakan, bahwa eebaik-baik kerbau, kita tidek boieh membentak-bentek padanya karena kerbau itu akan berontak. Majikan dapat banyak memperkerjakan kerbaunya, tetapi jika knaga kerbau sudah tidak memungkinkan lagi untuk terns bekerja, nmh walaupun rnemaksa kerbau untuk bkerja dengan cara kekerasan, tidak akan dihasilkan pekerjaan apapun juga. Bahkan kesabaran yang istimewa kerbau itu tidak jarang dapat mengubah kerbau menjadi melawan tanpa dapat didamaikan kembali. Jika demikian, sekonyongkonyong kerbau benar-benar menjadi keranjingan dan tidak mau menahan diri lagi, ldu menyerang lawan secara fisik. Tanduknya yang kuat menjadi senjata alaminya yang ampuh dan celakdah korban yang terkena ujung tanduknya. Tanah untuk pertanaman padi yang sesudah direndam air hams diinjak-injak oleh kerbau sampai tanah tersebut luluh, sebagai halnya yang banyak sekali dijumpai terutama di daerah-daerah di luar Jawa, merupakan pekerjaan yang meletihkan. Hewan-hewan menjadi letih, sering agak melemah dan kemudian membdik serta menyerang para pengawas yang hanya bersenjatakan tongkat-tongkat. Kerbau-kerbau yang meliar menjadi lebih berbahaya terhadap orang bila mereka melihat dirinya dikejar-kejar atau karena sesuatu hal merasa dipojokkan. Hal ini lebih-lebih akan terjadi pada kerbau yang sedang menyusui anak. Oleh karena itu - lihatlah di bawah nanti - rupanya pelaksanaan pengusahaan menangkap dan menjinakkan kerbau liar atau kerbau yang rneliar adalah pekerjaan yang penuh bahaya. Tidak pada tempatnya untuk menembak hewan tersebut, jika mereka tidak pasti akm mengena sasaran, karena jika kerbau tidak mati pada tembakan pertama tetapi hanya krserempet saja, posisi kerbau menjadi beralih dari individu yang cluerang menjadi kerbau penyerang. Siapa pun juga yang biasa berburu hewan besar, mengetahui bahwa dari sernua hewan di hutan belukar, kerbau itulah yang paling berbahaya, karena dengan kecepatan d m kekuatannya, kerbau dapat memainkan tanduk yang kuat itu untuk membanting kerhullawannya dengan kekuatan sampai tidak berkutik la. Kerbau-kerbau jantan kelana di luar hubungan dengan golongan atau kelompok,adalah hewan-hewan yang selalu membahayakan. Semua
itu h
~Wadi t b n a dengan sukatela kerbau j a n h menyhpmg
pula ted , setelah suatu ~erkeiahiarlyang hebat dengan kerbau pejmtan lain d& golongan yang Silma karena ''perchhan" dan mengakibath kerbau ini dari kelompok. Kerbau doliter yang w a d i karena diusir biman~amencari tempat Yang cukup jauh letaknya untuk m m n q nasibn~akembali dm memikirkan dunin lingkungmya ~ambil* menung sendiri dan mendongkol tentang ke~adian-kejadia~ yaw lalu. Hewan ini menjedi sangat berbahaya kalau murnpa orang. Rasa tukut yang sangat mendalam pada kerbau terhadap apa saja yang lain daripada kebiasw, rupanya berada bersarna dengan sifat ingin tahu, suatu sifat yang sering dijumpai pada mpi. Mengenai hal ini ada ceritera dari tahun 1870 tatkala jalan kereta api Pasifik yaw ter kenal itu seled. Kereta-kereta api ekonyong-konyong harus berhenti, tidak dapat hrus berlalu, karena serombongan bison berkerumun di re1 ingin tahu h a n g mainan apakah yang ada di situ yang belurn pemah dilihat aebelumnya. Pengalman serupa menimpa penulh buku ini di jaman dahulu sebagai kontralir di Sumatra Barat. Ia mengadakan perjalanan dinas dengan dokar. Pada waktu itu ada serombongan kerbau yang lepas b e h yang menutup seluruh jdan yang mernang kecil dan sudah Biap menghadapi kemnngkinan untuk diserang kalau perlu, d m tidak ada tanda-tanda menyingkir dari situ. Tampak kepala mengarah ke bawah, dm dengan hidung ymg gelap mengarah ke depan, kerbaukerbau tenebut berdiri melihat orang-orang di depannya dengan penuh kecurigaan. Untuk menolong diri, dipikirkan lebih baik keluar dari kendaraan dan pergi ke kampung sebelah untuk memesan beberapa orang penghalau kerbau. Mereka dapat mengush kerbau-kerbau ini dengan cara berteriak keras, sehingga hewan-hewan besar ini berputar hduan dan kemudian lari terbirit-birit dengan ekor terrulgkat sampai lurus, menuju sawah (berair) dan terjun di sana. Oleh karena penerjunan ini bungkul-bungkul tanah besar terlempar sampai jauh tinggi disebabkan teracak mereka yang lebar itu. Kalau pada dasarnya kerbau seeara naluri tidak tauka pada "Belanda", sebaliknya orangsrang pada umumnya jugs kurang simpatik terhadap kerbau karena Becara alami hewan kerbau itu menyeramh d m krasa tidak dapat dipercaya. Kerbau itu sebaliknya merupakan satu-satunya hewan piaraan yang dapat dibina secara lumayan oleh petani petemak. Petani peternak dan kerbau mernpunyai d i n g pengertian dalam pekerjm dm dalam keadaan rumah tangga. Di pulau Jawa dan di daerah luar Jawa hewan ini aeakan-akan lebih d e b t d i n g hubungmenghubungi daripada orang terhadap sapi atau kuda yang bertingkah sekali dalam kehidupan sehari-hari. ~ o l o n ~ a n nuntuk ~ a dapat hidup lebih tenang, atau dapat
I,
Mengenai kesabaran besar kerbau tersusun ceritera "Bodhisattwa monyet", suatu ceritera yang berasd dari literatur Budhisme. Terlukiskan se bagai relief di Candi Boro budur, Jawa Tengah, hutan tempat tinggal Bodhisattwa (inkamasi dari Budha) yang berupa i r kerbau liar dengan muka suram, tetapi berjiwa bersih. Dia seldu berusaha mempraktekkan ke baikan. Hasrat jiwa bersih ini disalahgunakan oleh monyet durhaka, karena dia mengetahui bahwa kerbau tak akan M a melepas diri ke perbuatan amarah. Dengan mengganggu lndividu Besar ini dengan berbagai macam cara, kadang-kadang bila si kerbau nedang tidur, monyet tersebut sekonyong-konyong Ioncat sampai berada di atas kerbau. Pada lain kesempatan, monyet berayun-ayun di ,tanduk kerbau dengan berpegangan padanya, mengadakan macammacam gangguan pada waktu makan di padang rumput, juga memanjati badan sampai kepala kerbau ditutup-tutupi oleh tangan rnonyet, kemudian pindah ke punggung, berjalan kian kemari sambil memegang aebatang kayu. Kerbau Bodhisattwa ini bertahan saja terhadap perlakuan tidak senonoh ini, sama sekali tidak berubah menjadi marah atau menjadi kehilangan ketenangannya. Datanglah kemudian suatu Yaksa (roh baik) yang menjadi sakit hati melihat tabiat jahd si monyet, tatkala pengganggu ini mengulangi menaiki lagi punggung si kerbau dan berloncatan kian kemari di atasnya. Katanya kepada kerbau di tengah perjahan, barang apa yang menjiwainya untuk mernbiarkan sqja semua perbuatan aneh pada dirinya itu. Bukankah sebetulnya suatu tindakan yang tidak sukar baginya dengan menggunakan hnduk atau teracak menghabisi semua tingkah laku pengganggunya untuk selama-lamanya. Terhadap yang lebih kuat tidak akan menghasilkan suatu pahala sedikit pun, tetapi mempertahankan diri dengan bersabm terhadap penghinaan sama dengan rnenunjukkan kebersihan. Bahkan dia harus berterima kmih dahulu krhadap si monyet, bah wa dia tanpa mengetahui kerugian ymg di alami, terhadap dirinya senditi, klah memberikm kesempatan baik untuk melatih diri krhadap jiwa bersihnya lewat bersabar. Demikian dituliskan Krom dan Van Erp dalam kisah berjudul "Penguraian Barabudur I," halaman 342 dan selanjutnya. Ceritera ini terbenhng sebagai relief no. 128 - 132 di Candi Borobudur dari kisah datakamala oleh pengarang Cura. Karangan ini dipublikasikan d e b Prof. Kern di Boston.
- kerbau dan ,
'
Jumlah dan penyebaran ternntk kerbau B h a n sbtistik tentang jumlah kerbau di Indonesia y ang dahulu dimuat dalam "Koloniaie Verslagen" atau kemudian "Indische VersIagen" dapat dilihat sejak tahun 1839 terns-rnenerus secara bersinmbung. Indische-Veralag temkhir yang dikeluarkm Pernerintah (dahulu);keluar
I! ikan, atau menangkap kerbau. Contoh satu-aatunya diceriterakan ten+ orang-orang Toraja dari Tawailia (salah satu daerah pegunungan
dari Poso). Mereka di sana h a s berjaga baik-baik agar supaya salah
!
;
, ! I
i
[
1 ; 1
/
gorang anak mereka tidak menangis tatkala ayahnya berangkat berbum memgkap kerbau-kerbau liar. Pekerjaan ini dmnggap ber bahaya yang memerlukan konsentrasi tenaga untuk tetap sadar. "Air mata sianak (pang menangis) dapat berpengaruh kurang baik pada tenaga ayahnya". Kita telah membaca di halaman terdahulu bahwa memagar sawah itu ~ditdan hams hati-hati dengan memperhatikan berbagai faktor; jltga yang mengenai masalah magk y ang dipakai dalam usaha ini untuk menjaga, agar supaya pagar-pagar ini tidak menjadi lemah, tetapi juga tidak dapat dirusak kerbau-kerbau yang berkeliaran. Dalam mengerjab ini semua, mereka tidak diperbolehkan melompati pagar tersebut, agar supaya tidak merupakan contoh bagi hewan-hewannya. Orangorang di Toraja barat dilarang mengucapkan perkahn "kerbau" Icetika mereka sedang membuat pagar batas, karena ucapan demikian akan membuat lemah pagar yang bersangkutan. Jika orang-orang Timor sudah muhi menggarap tanahnya untuk ditanami kembali dengan jagung, pada waktu orang-orang perempuan memangguljmembawa wadah biji-biji jngung, mereka tidak boleh berbicara tatkala sedang berjalan, lagi pula U a k diperkenankan menengok ke kanan ke kiri. Kalau sarnpai terlepw M ~ U kata s@a, maka kelak akan datang kerbau dan babi hutan menembos pagar rnasuk ke tanah pertanian dan merusak tanamannya. Lebihhbih pada waktu tanaman berbuah, mereka harus berhati-hati sekali; mereka tidak boleh berteriak &tau main tiup suling. Pada waktu itu orangsrang yang bersangkutan diharuskan menjauhi tindakan hubungan wajib suami-isteri karena dikhawatirkan berakibat masuknya k e r h ~ a h hewan-hewan lain ke dalam hnah psrtanim (lewat pagar). Akhirnya rnasih ada beberapa p&tang berdasarki r&a ketakutan @a tindak-pengaruh suatu bayangan dan kontak. Tat kala ada hujan dengan cuaca gelap, para penggembala di Jawa tidak boleh me: ibunyikin cemetinya, ketakutan akan "mengundang" petir. Orang Toraja percaya bahwa bila seseorang meludah di atas berak kerbau, atau dengan sesuatu barang tajam rnenusuk-nus- k berak ini, kerbau yang mengeluarkan berak tersebut akan membun~utiorang yang bersangkutan dan melawan dengan tanduknya. Se!arna waktu wmua kerbau tenang berada di lapangan penggembalaan mengisi perut dengan rumput yang ada dengan sekenyang. kenyangnya, para burung berbagai macam, berkeliaran di sekitar kerbau, atau duduk di punggung dan kepala kerbau untuk memakan mangsa yang terdiri atas brbagai macam fauna di selutar kerbau tersebut. Deqpm demikian burung-burung hi memburu ribuan lalat dm binatang
semaeamnya yang rnengganggu ketenangan hidup kerbau,atau mencari mangea dalam bentuk ku tu/caplak yang menempeI di kulit kerbau yang tebal itu. Ada yang berkata bahwa, bwng-burung ini sering makan cacing yang bmyak terdapat di Iubang anus =pi. Kawan skreotip akrab kerbau ialah di antaranya burung jalak (Sturnopastot jalla), dan burung-burung sejenis bangau yang di Jawa dapat dipilnh-pilah menjadi jenis kecil, antma lain blekok (Ardeola specio-m) ldan kuntul (Bu bulcus coromandus). Henry 0.Forbes, seorang ilmuwan alam dari Skotlandia menulis bahwa tidaklah ada baginya waktu yang terbuang untuk menunggu saat buat menyaksikm sendiri hubungan keakraban y ang benar ada antara masyarakat burung lapangan ini dan "tuan-rumah" ternak bovin i tu. Seakan-akan burung-burung tersebut memang berkebiasmn berkumpul scam berkeiompok dan tidak bersebaran lagi di tempat itu menunggu kedatangan kerbau-kerbau .di lapsngan, karena begitu kerbau &tang, tampak burung-burung ter*but "me1andas"ddam jumlah banyak di atas punggung hewan b e r m empat yang berbadan 'besar ini dan menyenangkan secara nyata hidup kerbau tersebut, yang menikmati perbuatan burung-burunguntuk membebaskan hama kutu dm caplak yang rnengganggu kerbau. Bahkan burung-burung ini tidak rnenghiraukan adanya '%ocah-bocah"penggembala yang bertiduran terlentang di atas punggung kerbau, tetapi just= merasa arnan sekali di situ. Burung-burung ini hmggap di punggung telanjang bocah-bocah yang bertiduran ini dan berloncat-loncat dm tempat ini ke ski pinggul kerbau. Bila menjelang senja kelompok kerbau dihalau pulang maka bergegasgegaslah para jalak itu terbang kernbali ke h u h . Ksndmg untuk kerbau
Pindahlah kita ke peninjauan singkat tenhng berbagai macm ctva mernberikan kandang untuk kerbau di Kepulauan kdonesia. PE:';I kita berikan petunjuk sekedar untuk mengetahui bahwa perbedam-perbedaan yang ada itu juga mempunyai hubungan erat dengan taraf pertumbuhan usaha tani di daerah tersebut. Pada umumnya, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa orang-orang Jawa tidak t e W k untuk memelihara kerbau di dalarn kandang. Mereka lebih suka rnembiarkan kerbau-kerbaunya pada siang hari,berkeliaran di luar untuk mencari makan. Jika dengan cara tersebut kerbau masih kurang mendapatkan pakan, baru pemilik-pemilik memeIihara hewannya di kandang, baik kandang khusus di hdarnan rumah, atau kandang sebagai bagian rumah. EM ini terjadi terutama bila ada masalah ti&k adanya b&an penggembalaan, karena tanahnya sudah ditanami. Jika keadaan ini berjalan terus-menem, akibatnya ialah perneliharaan di kandang.
lawan yang kelihatan juga tidak ingin berkelahi. Terdengarlah kemudian dari semua penjuru gelanggang sorak sorai penonton yang mencemoohkan, dan menghasut harimau untuk berkelahi. Kerbau lawannya, Yaog terkejut karena suara gemuruh menjadi buas, berlarian keliling pagar untuk sekali lagi mencari peluang jalan keluar hnpa sekejap pun lengal pandangannya ke arah lawan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh si harimau untuk menerkam kerbau dari sisi. Binatan$ ini berbuat secepat gerakan kucing menerkam tikus, menancapkan kuku tajamnya pada leher kerbau. Kini kerbau menjadi marah, berjongkok dahulu tehpi segera mengangkat lagi kepala, sehingga lawan yang tidak mau melepas. kan cengkeramannya terpaksa terangkat dari tanah dan ditempatlm di atas kepala antara kedua tanduknya. Si kerbau bejongkok lagi untuk kedua kalinya, membenturkan kepalanya sekuat knaga ke arah tanah sehingga kita mendengar tulang pinggang si harimau patah, dilanjutkan dengan perobekan pent oleh tanduk. Sampai dua atautiga kali, kerbau menghajar lawannya dengan menggempuxkannya ke tanah, dan tidak lama kemudian si kerbau tidak hanya bebas dari gangman lawan, tetapi juga melihat lawan tidak berkutik lagi dm sudah menggeletak dekat kakinya. Menyembur-nyembur nafas yang menakutkan, bmah dengan darah aebagai keringat yang mernbusa, pemenang melihat ke arah semua penjuru gelanggang dengan mata yang bereinar puas dan megah bagaikan pahlawan yang gagah berani, karena telah memenangkan pertarungan. Sudah biasa terdapat be berapa banyak penjaga di aekeliling lapangan dun-alun bersenjatakan tombak dan berdebar-debar menjaga agar aupya harimau di dalarn tidak menemui lubang untuk keluar, terkecudi kalau harimau dapat meloncat tin@ sekali melewati tombak dan menghilang; tetapi biasanya harimau tidak berani meloncat setinggi itu. Ada pula kegemaran ttadisional rakyat secara luas, y ang dinamakan pacuan kerbau. Di Sumbawa Barat dinamakan "berapan" dm di pulaupulau Kangean sebelah timur Madura dinamakan "majir". Berapan di Sumbawa Barat tersebut sangat mirip kerapan di Madura; yang akhir ini tidak menggunakan kerbau sama sekali, melainkan hanya sapi-sapi jantan. Sebyai pula keadaan ddam menghadapi perayaan kerapan, bahwa orang-orang Madura memakai hewan-hewan muda yang dibesarkan secara khusus dan dilatih secara teratur, begitu pula mereka di Sumbawa menunjuk kerbau-kerbau yang sudah ditentukan lebih dahulu dan tidak pernah dipakai untuk pekerjaan lapangan. Agar supaya mereka mendapatkan benih kerbau baik untuk pacuan, kerbau ini jauh sebelumnya dm pada umur muda sudah dikebiri. Sementara itu, menjelang masa tanam padi, lapangan yang akan dipakai untuk pacuan digenangi air. Yang penting dalam pacum ini ialah usaha agar pasangan kerbau, yang masing-masing dirakit dalam satu pasang, datmg lebih dahdu di
wtu tiang {lesang) "finish", yang krletak di ujung seberang lapangan. Rap pasangan kerbau rnenarik suatu dudukan dengan seorang pembina d i r i untuk mengarahkannya. Biasanya dalam waktu yang sama, ber?acu dua atau tiga pasangan kerbau, berjajar lari ke arah lesang. Orang
~ m b i n adikatakan menang kalau sepasang kerbaunya dapat Iebih iahulu sampai pada lesang dan rnenjatuhkan lesang tersebut. Lapangan bakal aawah yang digunakan ini, digenangi air sedemikian tingginya, whingga kerbau-kerbau berpacu dalam air m p d setinggi dada. Sudah merupakan kebiasaan bahwa pada pacuan seperti ini diselenggarakan pula taruhan, sedangkan, sementara itu, pemilik sawah meny ajikan kepada para undangan masakan-masakan dengan daging kerbau. Pacuan yang di ~ a n ~ e dinamakan & "majir" itu diselenggarakan @a tiap hari Sabtu selama bulan-bulan Januari sampai Maret, jadi selama musim hujan, dengan menggunakan lapangan X O meter lebar berlandaaan pasir, yang untuk keperluan ini selalu diurus baik. Kerbaukerbau peserta &lam pacuan lari ini dibuat berpasangan dengan tanggungan kayu di atas lehernya. Para pemilik berkuda membawa kayu pemulcul tebal mengikuti kerbau-kerbau tersebut dari belakang sambii memukul kerbaunya bila diperlukan, dan membuat hewan-hewan ter=but hkut sekali sehingga. meskipun besat badannya, dapat menunjukkan betapa cepat rnereka dapat lari. Di sekeliling lapangan pacuan, ribuan penonton herkerumun sambil bersorak-sorak ramai untuk memk t u moral favorit-favorit mereka. Adat seternpat mer~buatgolongan untuk merneriahkan pacuan "majir" dm agar lebih berhasil. Golongan yang dibuat ini ialah pacuan golongan pertama, yang terdiri atas korbaukerbau anak, yang setelah berpacu biasanya menjadi rusak badannya, karena para penggerak berkuda yang girang memukuli kerbau-kerbau tersebut bertubi-tubi. Maksud pacuan ini, menurut C.O. van der Plas &am bulrunya "Herinneringen", idah untuk memohon hujan dari "dewadewa udara", "Apakah ada hubungan psikologis antara pemukulan yang tidalr berperikemanusiaan terhadap kerbau-kerbau itu dengan permintaan hujan?" demikian banyak orang bertanya-tanya. Karena pemukulan keras itu sudah tents kulit berdarah. Menurut peraturan "magis religiusW, masalah-masalah sexupa itu saling mempunyai kaitan yang tercermin @a perniban bahwa darah diperumpamakan hujan. Di dalam dam pemikiran sederhana. Pendugaan h i tidak h p a mdsud. Dari suatu euku di Australia Tengah ditulis bahwa "ahli-syihir" mencoba menurunkan hujm dengan cara mernbuat urat darah sendiri. Mengenai kedadi Indonesia, dapat kita hubungkan dengan kegiatan yang dikenal gbagd "sabet rotan", y d t u suatu duel kasar yang diselenggarakan demaksud untuk menurunkan hujan setelah musim kering berkePanjangan. Sebagai pertunjukan rakyat kita dapat melihat di Jaw a bebe-
rapa k d i dalam kesempatan musim giling tebu di pabrik-pabrik gula, pertunjukan yang diberi nama pula "ujung" atau "sampoyangan". Dnri kelompok manusia penonton tampil beberapa kali orang-oranglaki ke depan untuk pertunjukan ulangan. Mereka bersenjstakan rotan lembek dan secara bergantian satu sama lain terus-menerus saling memukd dm rnakin lama makin keras, sehingga darah mengalir lewat punggungnya
".
"Dan inilah dia, mengdirnya darah bagaikan hujan J.G.F. Riedel berkata bahwa pertunjukan "sabet r o b " h i diadakan di kepulauan Tanimbar dengan maksud untuk memperoleh hujan. Menurut Baron G.W.W.C. van Hoevell permainan semacam ini di daerah Timor dan Babar sudah lasim diadakan, kalau mereka ingin mendapnt hujan. Di Bali, duel semacarn ini dinamakan "ende". Untuk Bemua peristiwa ini diterima pengertian yang simpatis bahwa darah ymg mengalir keluar itu akan mempengaruhi mengalirnya air hujan. Berapan, suatu permainan di Sumbawa itu, tidak saja suatu keg* maran rakyat, tetapi bersumber pada asd-mulanya yang hdianggap s e m i suatu ritus magis untuk mendapatkan hujan. Di atas kita m e b a t bahwa baik kerbau maupun orang-orang pembinanya terkena percikan genangan air yang mere~,rlamlapangan pacuan. Menurut hemat kIta, keadaan demikian itu asal-mulanya dimaksudkan untuk m e n h keadaan jika hujm turn, dengan harapan pula bahwa hujan ini benar pula akan segera datang. Kepercayaan bahwa kerbau-kerbau dalam peristiwa lain dapat mempengaruhi turunnya hujan, akan masih dibahas pada halaman-halaman selanjutnya nanti.
'
Bagian V SEGI EKONOMI KEPBAU SEBAGAI mRNAK Di daerah sawah beririgasi, harga tin& kerbau terlebk terutama pada knaga kerjanya. "Kekuatan dan bobot yang dinyatakan oleh shktur badannya memungkinkan kerhau m e d i k i tenaga yang dibutuhkan untuk rnembalik-bdikkan tanah sampai cukup mendalam. Ku ku teracak yang lebar dengan beiahan an tar-kuku merupakan dasar yang h a - untuk berpijak, sehingga dapat dielakkan terperosoknya badan brldu banyak di lumpur basah Di Cina, Jepang, Indocina, Indonesia dan di bekrapa bagian Asia lainnya, kerbau ini tepat disebut s e m i penggarap tanah istimewa. Di sernua daerah ada tiga faktor, "sawah, bajak dan kerbau-pembajak" yang merupakan "trio-lapangan" yang menonjol dan k h menandai dataran tersebut. Untuk para peninjau aekarang trio ini menjadi ungkapan ketergantungan yang tidak terpkahkan . Ungkapan demiluan, ketergantungan ini rupanya hanyalah "semu" dan faktor-faktor yang disebut di atas mungkin berasal dari d i n g kebutuhan satu sarna lain wja. Untuk beberap tanah pertmian, bajak, seperti yang telah disinggung di depan, dapat tidak cocok. Lagi pula pada beberapa suku getani, bajak ini tidak rllkenal, kdangkan mereka sendiri mempunyai tanah dan menggarap tanah. PenulL masalah ini, dengan sendirinya ingat kembali tatkala ia M u g a s di daerah pemerintahan di Mandailing dengan sedemikian luasnya pemilikan sawah yang cukup berpengairan. Melihat haail panen mwah ini dapat dipmtikan bahwa daerah ini menjadi kaya dan menjadi lumbung padi untuk seluruh Tapanuli Selatan . Walaupun demikian di seluruh daerah Mandailing tersebut di atas tidak ada satu bajak pun dapat dijumpai. Penggarapan tanah (perhian) dikerjakan hanya dengan elat yang dinarnakan "tajak" a b u "rimbas ", suatu alat berbentuk aebagai cukit, mempunyai permukaan di bagian besinya yang bengkok 90' dm dipegang sebagai hngkai 'hockey" dalam menggarap tanah. Dengan kerja demikian, bukannya gumpalan tanah yang dibalik-balikan, tetapi hanya permukaan tanah serta rerumputan di a h n y a gaja yang di ubit dan dialihkan ke sisi. Pekerjaan yang melelahkan ini bahkan dklenggarakm oleh para wanita dengan perciltan lumpur yang jatuh aampai eejsuh sekitw klinganya. DIsini kita melihat, bahwa mengerjakan tanah itu dapat dilaltsanakan tanpa penggunaan bajak dan tanpa kerbau, sedangkan h a d prduksinya cukup tinggi juga. Eahwasanya pada umumnya bqak dan kerbau itu tidak perlu h a s berhubungan satu sama lain terbukti a n k a lain
".
atas bahan kayu bagaikan dua silinder ymg berdiri
lurus terpahat menjadi bentuk cekungan sekrup, mampu saling kait mengkait pada kedua silinder tersebut dan keduanya diputar deng'an mah berkebalikan. Seekor atau satu pasang kerbau yang berjalan berputar menggerakkan kedua silinder tersebut, sehingga pekerjaan kita hanya krdiri atas meny usup-ausupkan batang-batang tebu ke antara kedua silinder untuk memeras keluar air gulanya. Cairan ini ditadah mmuk ke dalam mangkok tanah, kemudian diuapkan ddam panci dari logam. Bahan kental- yang diperoleh dituangkan ke dalarn bentuk setengah batok ketapa, untuk di sini cepat menjadi massa kering amorf yang berwarna coklat.
Tempat penggilingan padi yang ada di Jawa, juga di beberapa tempat di luar Jawa, kebanyakm diasuh oleh orang-orang Cina, ter. utama dipakai untuk menggiling padi menjadi beras dagangan di ddam negeri dan juga untuk konsumsi orang-orang Eropa. Alat penggilingan ini terdiri atas empat tiang berdiri (vertikal) satu sama lain dihubungkan dengan balok rnelintang. Bi bawah tiap tiang tersebut ditempatkan suatu roda batu yang berputar lewat tepi pinggiran bagian dalam wadah horisontal, digerakkan lewat sumbu vertikal. Pada salah satu balok melintang dikaitkan suatu batang alat pengangkat terpasang miring, sedangkan akhir ujung lain dihubungkan dengan "pikulan" kerhau. Di permukaan ataa penggilingan ditumpuklah padi yang akan digiling, sesudah dibebaskan dari rupa-rupa macam jerami. Sebagai tenaga gerak, selain kerbau sering pula dipergunakan roda kincir-air, yang dapat menggerakkan beberapa pengetam padi secara bergantian dengan arah naik tumn. Pekerjaan-pekerjaan kerbau yang telah diiukiskan di atas kaluu dibandingkan dengan pekerjaan-pekejaannya untuk kepentingan pertanian dan pengmgkutan sebetulnya ham pit tidak mempengaruhi keadaan jumlah seluruh ternak. Meskipun demikian, rupanya pekerjam itu sendiri cukup banyak memeras tenaga hewan yang krsangkutan, karena pekerjaan hams dilakukan terus-menerus berharian.
Kerbau sebagai hewan bibit Pada hakekatnya kerbau di Indonesia bukanlah ternak bi bit. tf ntuk pern bibitan secara rasional masyarakat tidak berminat sama sekali, bahkan tidak pusing-pusing memikir ke arah itu. Mereka selalu melihat, hahwa jumlah kerbaunya tiap kali bertarn bah tanpa pemi khan. Mengapa harus bersusah-susah mengadakan taktik perbuatan lain. Dokter Hew an J. Merkens tentang masalah tersebut rnengatakan uraian - bexikut : "Mengenai pembibihn ternak kerbau, sesuai dengan pengertian tentang faham ternak bibit, rnerrlilih hewan-hewan yang
a h kita kawinkan setelah penilaian dan berternak secara rasional, di Indonesia belum terjangkau. Ddam hubungan ini segala sesuatunya
:
;
w i h diserahkan kepada ibu alam. Di semua daerah, hampir semua hewan betina dewasa dipergunakan untuk mempertahankan jenis dan wmua ini berjalan hampir di luar campur tangan si pcmilik, Di tanah penggembalaan, apakah itu tanah penggembalaan alarni ataukah sawah bekas panenan (padi), terdapat semua macam h ~ w a nternak, tua muda, jantan atau betina, di bawah pengawasan si penggembala kecil atau bebas dari pengawasan sarna sekaU. Bila seekor texnak betina dalam keadaan birahi, pasti salah satu pejantan akan mengawininya, baik rnaaalahnya itu mengenai sapi k t i n a muda atall tua, dibuahi oleh pejmtan muda atau tua, pejantan buruk atau bermutu, tidaklah iagi menjadi pem j kiran". Sesuai pendapat ini, Dr. 't Hoen yany juga seorang dokter hewan, menulis : "Orang Indoneaia pribumi itu sedari dahulu adalah pelani, tetapi bukan peternak hewan bibit, yang merupakan suatu akibat keadaan yang tak terelakken. la menggunakan ternaknya terutama sebagai hewan tarik, tidak lagi memperhatikan kemungkinan ternaknya untuk menghasilkan sesuatu. Kalau tidak terpaksa oleh keadaan, ia hanya berbuat yang pedu-perlu saja un tuk ternakny a. Pada umumnya rakyat k u m g sskali menguasai pengetahuan tentang ternak bibit. Alamlah yang selalu meneruskan pengaturan itu. Dari pejantan rnana, hewan betinanya menjadi bunting, orang-orang pribumi tidak begitu acuh, bahkan ia tidak mengetahui masdah itu. Seleksi bibit dan mengucilkan pejantan-pejantan inferior untuk memperoleh keturunan addah hal-ha1 yang dalam garis pentingnya masih perlu dipelajarkan kepada mereka". Usha-usaha pernerintah clan pihak swadaya dulu untuk mem berikan bibit ternak yang lebih baik kepada masyardcat tetap t i d ~ kdapat berkembang.
Kerbau sebagai hewan potong Bila mnsalah kerbau di Indonesia ditinjau dari segi sebagai ternak bibit, tetap merupakan fenomena luar biasa. Dari segi sebagai hewan potong, dalam arti kata sebenarnya, tidak banyak kalahnya. Dr, Merkens menyatakan pendapatnya tentang jumlah rata-rata kerbau yang dipotong selama sepuluh tahun, 1915 sampai 1925, adalah 308.729 dan cenderung memberikim kesimpulan "bahwa kerbau ini mempunyai peran penting ddam penyediaan daging". Memang dapat dipikirkan adanya faktor bahwa masy arakat Indonesia pada umumnya sehari-harinya hany a sedikit makan daging. Perlu disebut bah wa di seluruh Asia Tenggara dan Asia Timur konsumsi daging hanya sediki t. Ba-
gi masyarakat Hindu dan penganut agama Budha, penggunaan dagin& seperti kita ketahui, dilarang. Tetapi di tempat lain pun yang keagamaan Hindu dm Budhanya tidak pernah menguasainya, di situ masyarakat timur memang tidak meny ukai daging. Kekurangan ini bukanlah masalah k e a g m m , tetapi suatu manifestasi higiene. Andree berkata: "Sikap itu wajar sekali, karena iklim panas di bumi timur membawa masyara. kat untuk mengurangi konsuntsi daging. Konsumd sayur-mayur di sana pada dewaaa ini maaih lebih pnting keadaannya". Meskipun car& hidup masymkat Indonesia vege taris, j ika kesempstan ada, mereka tidak menolak untuk makan daging. Tetapi secm iseng, melampiaskan diri memotong kerbau untuk makan dagingnya, di Indonesia secara umum jarang terjadi. Kebanyakan pemotongan kerbau didasarkan masalah keagaaman . Banyak orang melihat kejadian ini sebagai pemborosan. Tentang orang-orangT oraja, Dr. Kruijt rnenulin umpamanya : "Dari sejumlah ternaknya ia akan memotong seekor hewan kalau diperlukan buat perayam sesajen, makan bersama secara besar-besaran pada antara lain perayaan perkawinan atau pemakamm dan pada pekejam-pekerjaan y ang harus mendatangkan banyak orang (mesale), pada penanaman bahan pangan, mendirikan rumah d m lain sebagainya. Jika &orang kepala keluarga memotong seekor kerbau hanya untuk memenuhi keserakahan merkan daging, hd ini akan mengakibatkan kemasgulan keluarga-keluarga dalam lainnya, meskipun mereka mengetahui akan dapat bagian dmi pemotongan tersebut. Jika ada kejadian istimewa dalam kehidupan =orang Toraja, ditunjuklah seekor hewan janlun rnuda untuk memenuhi kebutuhan. Hewan ini haruslah seekor jantan yang diketahui nantinya akan dikeluarkan dari kelompok, atau diambil dari seekor btina yang'sudah berhenti bunting (ore). Jika dalam segerombolan kerbau ada seekor hewan yang sudah mempunyai pengaruh buruk pada berbagai orang, kerbau seperii ini didahulukan". Meskipun menurut konsumsi rutin dalam garis-garis besarnya tidak selalu ada daging untuk -rnakanan, sebaliknya pada peray ~ n - ~ eam r a santapan rnakan daging yang melampaui batas kondisinya pun tidak diperhatikan. Hewan mati pun tidak dihindari, bahkan sampai dapat rnengabaikan keadaan penyakit rnenular yang mengakibatkan kematian hewan tersebut. Mengehaj masalah ini dicerikrakan &jadi dalam lingkungan orang-orang Batak, Toraja d m Dayak. Antara lain M. Jouatra menguraikan kejadian tentang orang-orang Batak Karo : "Pada perayaan-perayaan besar mereka makan terus hampir-hampir dari pagi sampai sore, sekarang pada keluarga X, kemudian beralih ke keluarga Y dan apa ymg dimakan utama idah banyak daging. Orang-orang Karo sama sekdi tidak jijik pada daging busuk. Lebih-lebih kalau mereka dapat mengurangi rasa busuknya itu dengan cara pengolahan yang khusus
menggunakan sari suatu jenis cingkam, maka bereslh soalnya. Meekipun demikian mereka tak merasa terganggu oleh bau buauk. Daging ' yang berasal dari hewsn sakit atau hewan mati karena ~ a k i tdimakan juga. Tindakan ini pernah terjadi pula pada sapi d m kerbau yang rnati h n a penyakit bernung (rinderpest). Serupa dengan kejadian ini, seorang mhsionaris J. H. Meoerwaldt telah menambah catatan mengenai Batak Toba : "Aka orang melihat seekor hewan menjadi sakit dan akan : mati, hewan sakit ini cepat-cepat dipotong, bahkan kalau sampai menjadi mati, dagingnya maah dimakan juga". 5ahwamiya orang-orang Tomja d&m susunan makanannya tidak mka berlebihan, dibuktikan oieh pernyataan Dr. Kmijt di dalarn "Buku - Toraja" : "Hanya pada hari-hari berkecamuknya penyakit, jika banyak h b a u dan babi mati, orang-orang makan daging tiap hari oleh karena - '*g hewan mati pun masih dimakan. Bahkan mereka masih suka maltan hewan yang sudah membusuk. Drang-orang Toraja Bare tidak menguhmakan daging Wusus tetapi sebaliknya orang-orang dari To Napu menghargai perlakum khusus ini. Jika mereka memotong seekor - kerbau, daging ymg lebih disukai ialah ymg digantung selma beberapa hari. Kemudian daging ini b e m a dengan larva (dari lalat) yang merangkak keluar, direbus". Dalarn buku cetakan pertama d k b u t tuliaan Th. van Ardenne sebagai uraian tam bahan tentang tempat To Lampu Kabupaten Maliki : "Kira-kira empat tahun yang lalu berjangkit pnyakit menular radang limpa (miltvuur) pada banyak kerbau, dan , dvri sekim banyak orang yang memakan dagmg hewan yang mati, : ads kberapa y m g mati juga. Kemudian diperintahkan agar bangkaihngkai cepat dikubur sedalam mungkin atau dibakar habis, dengan tambahan melarang makan daging tersebut. Akibat tindakan tersebut ialah tidak lagi dilaporkannya adanya hewan sakit, karena mereka ingin makan daging. Para suku Dayak di Kaiimantan juga tidak enggan makan dagjng busuk". ~ i l aseekor kerbau dipotong, bissanya orang-orang bekerja rapi, tiada sebatang serat hewan terbuang. Semua bahan, misdnya dat v i s e d , jantung, paru, hati. perut, mu,kantong empedu, uterus, otak dan peler, dimanfaatkan menjadi bahan makman atau bahan baku obat-obatan. M. Joustra mengumkan lebih lanjut perilaku orang-orang.Babk Karo, hhwa pada waktu memotong kerbau mereka menggunakan bahan makanan isi perut kerbau, ddam konsistensi rnasih hijau - belum tercernakan seluruhnya, sebagai makanan lezat. Sering puIa kulit kerbau dimakm bemamaan dagingnya. Jika dabalat viseral dikeluarkan dari badan wklah kerbau dipotong d m bulu-bdu pada kulit sudah dapat dibakrmr habis, daging dipotong dern dicukil keluar d e n e n masih ada kulitnya yang melekat. Hanya di daerah yang sudah dapat menghargai kegunaan kulit, mereka mengupas kulit ,
,
~
tidak lagi dimakan bcrsama daging - lepas dari badan. Juga bersumber dari pemberitaan Dr. Kruijt, dapat pula dikisahkan berbagai berjta mengenai orang-orang Roti sebagai berikut : "Jika dahulu dalam sesuatu upacara perayaan daging kerbau dibagi-bagikan kepada pengunjung, berarti bahwa kulit selalu diikutsertakan. Jika kulit tersebut dikupas keluar, tindakan demikian ini akan dianggap sebagai penghinaan, dan mereka yang diberi akan menolak untuk menerimanya". Keadaan serupa dituturkan pula orang-orang Roti sebagai berikut : "Dahulu orang-orang dilarang mengupas lepas kulit kerbau y ang dipotong, tetapi mengharapkan agar daging dan kulit dipotong-potong kecil bersama". Dan tentang suku Nage dari Flores Tengah masih ada berjta berikut : "Dari kerbau-kerbau yang tiap tahun harm di korbankan dalam perayaan - panen d m - sesajen, kulitnya tidak djkupas setelah dipotong, melainkan bulu-bulunya sqjalah y ang sekedar dibakar habis". Bahwasanya kulit saja tanpa daging di beherapa tempat merupakan barang santapan tidak perlu mengherankm kita, kalau kita hubungkan lebih lanjut dengan keadaan yang terjadi juga di Eropa, yaitu Belanda, bahwa pada tiap menu masakan nasi yang terkenal, pada makan siang atau rnalarn, selalu diikutsertakan suatu porsi "krupuk ke bo". Pengolahan di mulai dari metebus kulit kerbau; setelah rnasak, subkutis kulit dipotong-potong tipis, dikeringkan ddam sinar matahari. Sehlum menjadi makanan di meja, lapisan-lapisan tipis ini dlgoreng minyak lebih dahulu, yang mengakibatkm gas minyak meresap ke subkuti8, mernbuat kulit ini rnenggembung sampai bentuk krupuk yang lezat untuk d i w t a p seleaai makan. Memang masakan itu tidak dapat kita nilai sama tinggi secara umum ! Namun apa yang blah diceriterakan oleh K. Th. Engelbert yang berasal dari Bevervoorde, mengenai mengolah kulit kerbau menurut rerrep Batak, mungkin masih menimbulkan keberatan onngorang Eropa. Kisahnya ialah bahwa pada tahun 1891, tatkala ia rnengunjungi dataran tinggi di Batak Karo. Ketika itu ia masuk ke kamar (rumah) yang berbau busuk tidak tertahan, tanpa diketahui dari man8 asal bau busuk itu. Tidak lama kemudian terlihat bahwa di kamar tersebut terdapat banyak kulit kerbau menggantung dalarn bentuk ikat pinggang. Ketika dihny a untuk apa kulit-kulit tersebut digantung serupa ini, "panghulu" menjawab bahwa barang-bmang ini nanti a h n diberikan k e p d a para wanita yang membawanya jauh ke ladang untuk diolah. Kulit kerbau yang berbentuk ikat pinggang ini langsung dibuat lunak di air, dipukul-pukul dan kemudian dimakan. Dua lem bar kulit tersebu t akan sudah cukup sebagai hekal untuk bertahan diri selama satu hari penuh bekerja berat ! Sebagai tanda keuletan dan ketahanan secara sirnbolik kulit kerbau dipergunakan juga di daerah Toraja Barat yang diceriterakan oleh Dr.
I'
i '
,
Kruijt, bahwa pada akad nikah, seorang ayah dari pengantin perempuan memberikan kepada keulua mempelai suntu keranjang b r i s i nasi dan kulit kerbau yang sudah direbus. Di atasnya diletakkan parang, celana, kain dan ulae kepala. Ia berkata dalam kesempatan ini : "inilah padi dan segala-segalanya yang masih kalian butuhkan. Kulit kerbau ini agar dipakai untuk memperkuat dan memperkeras kulitmu, agar kamu dapat bertahan terhadap sinar matahari yang kejam bila kamu bekerja di sawah". Kadang-kadang restu si ayah berbunyi lain, umpamanya : "Meskipun kamu sebagai pengantin laki akan banyak mengecam makanan yang dibuat oleh isterimu, kamu tentu tidak akan meninggalkan dia, karena hubungan yang telah kamu jalin adalah sekuat kulit kerbau ini". Di samping krupuk, sebagai bahan makanan, kerbau menyumbangkan pula mpa-rupa bahan lainnya pada menu mskan nasi, misalnya dendeng (bahasa Melayu balur) yang cukup kering setelah dijemur di malahari. Pembuatannya demikian. Daging segar dibersihkan dari lemak dan otot keraslalot, kemudian dipotong-potong melebar tipis, diurap dengan garam ditambahkan pula mrica, asam, jinten (Cuminurn cy minum). ketumbar (Coriandrum mtiuum) dan akar Alpinia galanga (laos atau langkuas) . Lem baran-lembaran daging tersebu t setelah dijemur menjadi k e r n dapat bertahan lama dan tetap baik, kemudian digoreng minyak sebelum dimakan. Dagjng kerbau mempunyai serat lebih kasar daripada daging sapi, warnanya lebih mantap merah coklat, tetapi menjadi agak muda warnanya beberapa jam setelah djpotong, sehingga sangat meny erupaj daging tlnak sapi, dernikian menurut Dr. Van der Burg. Bau yang menyerupai bau tikus, menurut penulis tersebut, disanggah oleh banyak orang Lainnya, karena mereka tidak pernah menjumpai yang demikian. Menurut pengalaman penulis, daging yang dinamakan 'lulur-jero" yang didapatkan dalarn rongga di bawah punggung, serta lidah kerbau muda ysng dimasak menurut cara masak di Eropa, setelah dinilai oleh ah11 coba masakan ternyata tidak mengecewakan. Pada lazimnya, memasak barang makanan itu adalah tugas utarna para wanita. Tugas para lelaki ialah keharusan membawa daging pulang ke rumah untuk dimasak, pada saat kekurangan bahan makanan. Orangorang di Aceh bahkan mempunyai adat untuk memberikan tugas kep d a seorang lelaki yang baru saja kawin selalu membawa pulang daging ternak bagi isterinya (puwoe sie) untuk selama satu tahun setelah menikah, pada hari perayaan umum potong ternak, sebelum diadakan pembukaan dan pada akhir bulan Ramadan. Mula-mula adat ini dianggapnya sebagai hadiah saja, seperti nama aslinya terse bu t. Lama-kelamaan hadiah tersebut diganti dengan bentuk uang seksar jumlah y ang biasa digunakan sehgai mas kawinlhadiah pengan tin. Pada hari-hari
beaar ternak kerbau dan yang lama sekali terisolasi dari pengaruh-p ngaruh luar, wperti keadaannya pada orang-orang Torqja, suku+uku dalam di Kalimanb, Bat& dm suku-suku yang terdapat di Kepulaum Nu= Tenggara. Keadaan ini menunjukkan keny ataan bahwa tern& kerbau di sana merupakan modal induk, yang selalu dapat ditadah pada waktu mengadakan perayaan, dm juga tatkala h a m membayar biaylt.' biaya adat seperti mas kawin dan denda. Bahwasanya orang-orang suku ini memberikan perhatian khusu 1 kepada masalah mag14 dan ddarn ha1 ini kerbaunya (yang k e b e t h menyerupai hewan magis) dipuja tinggi dan oleh karena itu menjedi bagian penting "harh-bendanya", dapat mudah dimengerti. "Meskipun kelak arti magis harts benda d m benda perdagangan akan berubah menjadi masalah ekonomi seperti diartikan oleh keadaan sekarang, kita . masih tidak boleh mengabaikan seluruh arti rnagis ini kdau kita tidal: ingin ditentang oleh kesalahfahaman jiwa primitif tersebut", demikian diucapkan oleh F.D.E. van Ossenbruggen, S.H. Bersurnbr pada uti magis rnengenai perihd "kekayaan" kita akan melihat bahwa ~ebenarnya ada hubungannya dengan lingkungan budaya primitif "berbelian". Dalam banysk h d berbelian ini bukannya h y a menukar barang berdasarkan hukum ekonomi, tetapi rnerupakan suatu tindakan magis yang juga terdiri atas pemberian eesuatu, yang oleh karena di belakangnya ada kekuatan magis itu mungkin juga ada kon-
,
'
sekuensi yang tidak diingini. Oleh karena itu konskuensinya dapt membatalkan sesuatu. Bahwasanya di sini tidak rnutlak dikehendaki harga imbalan barang y m g sudah diberikan, dibuktikan bahwa penggantian oleh orang-orang yang tidak mampu kepada p e n g h u m y a tidak jwang hanya dipakai sebagai kedok sqja. Hal demikian itu umpamanya terjadi di dalam masyardcat primitii tentang maaalah "mas kawin". Pembayaran ini bukanlah berarti pembayaran rnutlak harga seseorang bakal istri, tetapi adalah suatu pelunam magis agsr aupaya kekuatan-kekuatan rnagis yang dapat mexugikan, dan karena perkawinan melepdan diri kemudim dapat meqganggu, cepat cepat dapat dielakkan. lnilah sebabnya mengapa biaya beban ini tidak dibayat dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk barang tertentu, kuat dan magis yang dipakai khusus hanya dalarn maksud ini, atau : bahkan dalam bentuk kerbau. Sering barang-barang h i terdiri atan ben- I tuk-bentukyang krkadang tidak mempunyai harga sama sekali. Pada orang-orang di Toraja Timur, dikenal "olimporongo" atau "saki-mporongo" suatu mas kawin yang tediri atas 2 bagian, yaitu magis dan komersiil. Dari dua bagian ini yang terpenting addah dam utamanya. Kebanyakan pernikahan dilakukan atas dasar uhma seekor kerbau tetapi banyak p d a dijumpai pernikahan dengan dasar u b a dua atau tiga ekor kerbau. Selanjutnya masih ada serba-wrbi b m g
,
'
umpamanya potongan-potongan kain mori berbagai kuditas, piringan kuningan, mangkok tanah, bedog, tombak clan cincin kaki dari kuningan. Ada pula kadang-kadang terjadi bahwa kerabat pengantin lelaki tidak mampu menyerahkan d a m u h n a seekor kerbau yang dirnaksud. Maka remaja b d d rnenantu menyatakan kepada bakal orang mertuanya: "saya tidak dapat memberikan kerbau briar, akan tekpi jika bapaklibu berminat terhadap ha1 hi, say a &an menympaikan lain macam kerbau yang sesuai dengan kernampuan aayat; saya akan menyampaikan "kerbau-aren", "kerbau sirih ", 'kerbau pinang" atau "erbau kayu perapian". Remaja ini akan seumur hidupnya menyuguhkan 'kerbau-kerbau" pseudo tersebut, dengan kata lain, ia akan setia terhadap mertuanya. Bimanya m m kawin itu diatur menurut kondisi wanita dm tarit yang blah ditentukan dengan teliti. Kadang-kadang bahkan peraturannya menjadi kompleks seperti terbaca pada yang telah digambarkan oleh imam J. Woendreat rnengenai orang+rang To Bada. tidak jarang dj lelaki karena berdaaarkan kebanggaan kepangkatan "dibeii" lebh tinggi daripada patokan 'normal, biaya-biaya ini kemudh diperhitungkan kembali dan dikurangi dengan harga barang pemberian hadiah perkawinan. Penduduk dari daerah Laiwui, Kendari, Sulawesi Tenggara, mempuny a i peraturan bahwa bila ada perceraian yang d a h g dari pihak perempuan, yang akhir ini h a w mengembalikam mas kawin tersebut. Tentunya ia sudah tidak mampu mengembalikan. Dalam ha1 ini ia diperhlehkan membayar kernbali dengan angsuran. Urnpamany a, bila ia harus membayar 60 ekor kerbau ktapi tidak mampu, dapatlah ia memulai dahulu dengan tiga ekor dan nanti slupaya "dilunasi" menyambung pembayaran pertama itu. Biasanya pembayarruz pelunman dilakukm dengan barang-barang tidalc berharga, umpamanya beberapa potong kain putih, tetapi mereka rnembayangkan aeakan pembayaran aecara lunas ini betd-betul meliputi 60 ekor kerbau. Apa yang dhyatakan di a h --penetapan mas kawin- anehnya berjdan parale1 dencara-cara pembayaran denda. Tidak rnustahil bahwa pembayarn denda menganut cara pemikimn primitif ini, seperti halnya pula pada m d a h mas kawh yang dimak~udkanuntuk menetraliaasi konekuensi buruk pelanggaran sesuatu perbutan, dengan cara pemberian sesuatu yang "terisi mantra magis". Untuk kedua macarn keadaan tewbut, kerbaulah yang berpersn sebagai norma, karene perkasa dm iwkalian magis. Bila sebelum kekuasaan Pemerintah Belanda ada eeaeorrtlg di antua penduduk di daerah ToraJa yang melanggsr hukum, o m g ini akan dihukurn denda. Cara untuk menentukan denda ini oleh beberapa orang kepala desa di Toraja banyak disalah gunakan, demikian diuraikan oleh Dr. Kruijt . Mereka mengambil keuntungan dari sesuatu kejadian
kecil yang membuet mereka marah agar oleh karenanya memperoleh imbdan aebagai ganti kerugian. Di kalmgan Toraja penetapan sesuatu denda didasarkan delik karena: "keseleo mulut" ( d a nguju) kena denda 3 buah; karena "rnara tangan" (sala mpale) kena 5 b u d ; karena perbustan dengan "duruh badan" (sala sangkoro) kena 7 buah. Jumlah seluruh denda &an tergantung pada berapa buah (wia) dan berapa dari delik tersebut yang berlaku. Sebuah berarti satu unit yang d ~ p ~ melambangMan satu duitluang, atau satu ayarn, satu geblog kain putih, atau seekor kerbau, bahkan dapat berupa bud& belian. Biarra dinyatakan denda berupa suatu barang berharga sebagai dasar (pu'u), kemudian jumlah wia dipenuhi dengan jumlah barang (sebagai unit) yang hampir kurang berharga sebagai "tarnbahan" yang dinamakan wawonja. Denda d m untuk perbuatan sala sangkoro terdiri atas seekor kerbau. untuk sala mpaie seekor kambing dan untuk sala nguju seekor ayam, Bila seseorang hams rnembayar denda sebanyak beberapa ekor kerbau tetapi ia tidak dapat membayamya, denda tersebut dapat diperingan oleh barang pengganti y m g tidak begitu brharga. Keadaan dernikian
dinamakan "rakamba". Serupa hd ini dalam menentukan akomodaai denda krdapat pula pada orang-orang To Mori di Toraja Timur. Den& denda tersebut dapat pula dibayar secara "pro forma" menyebutkan kaibn dengan jumlah kerbau, tetapi pelaksanaannya maaih tergantung pada adanya kerbau hidup sejumlah itu abu sud& cukup dibayar dengan uang atau barang seharga nilai kerbau itu. Dalam pembayaran terakhir ini seekor kerhu dihargai sama dengan empat bahan tenun yang h i k dan empat gulung kain putih. Kalau pelanggaran beraifat ringan, mereka merujuk penilaian, mengubah nilai seekor kerbau menjadi dua bahan tenun yang baik dan dua gulung kain put&. Pembayaran dengan nilai paling rendah krdiri atas penilaian seekor kerbau yang sama dengan satu bahan tenun yang baik dan dua gulung kain. J. Kruijt, mak Dr. A. C. Kmijt, menguraikm peristiwa-peristiwapembayaran denda yang dapat kita kutip aebagai berikut: "Pada waktu membayat denda ada kebiasaan yang menyakitkan hati si penggugat, yaitu kebntuan bahwa penggugat dihrang rnemeriksa, mengukur dan menilai barangbarmg yang dibayarkan, bahkan mereka memberikan penjelasm, bahwa mmua hi bukanlah barang-barang yang dibeli". Jika kita membeli sesuatu, harus kita periksa bahwa harang yang di tangan h t a ini b u h barang bermutu rendah. Dalarn m d a h denda orang yang menerimanya harus menutup mata terhadap kltalitas. Kuantitaa atau jumlah baranglah ymg rnenjadi pstokan. Jikn d a l a m penetapan denda ~epertiyang dijumpai dalam kejadian m u m pembayaran tidak memuaskan penggugat, yang ternyata adalah warga-desa lain - disebabkan karena kata mpakat secara damai tidak dicapai untuk membayar kembali hutangnya, berlakulah hukum adat
-
:
hutang-piutang Toraja. Adat ini mernbolehkan penggugat menggunakan cara paksa bayar, karena sudah gagal dengan cara damai. Dengan bantuan ternan-ternan sekampungnya, ia pergi beramai-ramai ke desa orang ywg berhutang untuk =lama satu hari menangkap sebanyak mungkin kerbau. Perbuatm ini dinamakan. "mengambil kerbau" (mebaula atau menonto). Sebelum mereka berangkat mereka memberitah selunth masalah yang dipersoalkan kepada 'leluhur" dan amah nenek moyang mereka yang sudah tidak ada, untuk mohon bantuannya berpem pada kekuatan "sirih-pinang", agar supaya hewan-bewan yang setengah liar mash dapat tertahan, dan yang lain tidak pergi berlarian. Kesibukan "arnbil kerbau" ini hany a diperbolehkan aelama aatu hari M a . Seandainya harga kerbku ymg ditangkap itu kurang daripada beaamya hutang, mereka harus menerima apa yang ada. Sering terjadi tertangkapnya kerbau-kerbau orang yang tidak ada sangkubpaut sama sekali dengm masalah hutang ini. Kalau kedahan hi terjadi, pemilik yang malang hi harm mernperhitungkannya dengan orang yang berhutang. Kadang-kadang pemilikan ternak itu rnempunyai arti khusus bagi orang Indonesia sebagai penanaman modal. Pemilikan ini tidak diartikan untuk memperoleh laba, btapi lebih banyak ditujukan kepada penanaman uang tunai dalam bentuk a g , mengamankan miliknya yang pada waktunya dapat diubah la@ dalam bentuk uang. Dr.Merkens memberikan uraian dalam buku dissertasinya tentang kejadian-kejadian di Indonesia, di antaranya adanya kenyataan di tanah Batak, bahwa empat atau lima orang memiliki bersama m k o r kerbau. Keadaan demikian itu terjadi pula di Sumatra S e l a b . Dari J.F.C, Roobe kih'mendengar, bahwa "sekor kerhau adalah mil* tiga sampai empat orang, Jike orang Palembang rnempunyai uang lebih, ia dapat membeli suatu baglan kerbau yang rnasih hidup, umpamanya satu kaki depan atau kaki belakSod pembelian mupa ini dapat berekor dewan pedtiwapzistiwa aneh, wperti halnya yang dicerIterakan oleh W.X.H. Ypes ymg tmjadi pada orangqrang Batak Toba. Di eini dikhhkan suatu pertengkaran antara kakak-beradik mengenai an& eeekor kerbau milik bersama, tatkala kerbau induk itu mash bunt-, karena yang satu memiliki kerbau bagbm belakang d m yang lain mernillki'bagian d e p . Dalam pemilikan ini ditegwkan bahwa keduanya berhak tlecara mutlak menggunakan kerbau tersebut dalarn mengolah tanah pertaniannya. Ketika kemudian kerbau induk ini melahirkan anak, d a h amrang pemIWr menyita wluruh anak kerbau s e w miliknya, karetia d kerbau ini telah dibesarkan dalam bagm belakang kerbau hduk tersebut. Kekayaan seseorang wring dihubungkan dengan hak-hak istimewa orang itu turun temurun. P e w wadi di daerah Lampung, di bukanya kemungkinan bagi orangorang untuk memperoleh jabatan-jabatan tertentu dalarn kemasyarakatan d e n e cara membeli. Jika aeorang wkali
".
sudah diangkat dalam jabam ini orang ini mendapat kehonnatan dari masy h a t sekitamya dan memperoleh terbagai hak istimewa. Pengangkatan -menjadi pejabat tinggi memerlukan harga mahal, karena harm diadakan peray aan-perayaan meriah y ang harus ditutup dengan pengp a a n kerbau. Untuk menekan pengeluaran yang setinggi itu biamya mereka rnenggunakan dalih atau kktik adat yang disebut "ramban", Mereka rnerumuskan suatu ketentuan bahwa dari sekian banyaknya , kerbau yang dibutuhkan itu sebqian akan dapat berupa kerbau mati, yaitu kerbau yang dapat d ~ a n t dengan i bmng, seperti keris, tombak, kain tumbal dan piring-piring antik, senilai fiktif sama atau lebih tin@. Karena rumus cerdik inilah orang-orang lain yang tidak memiliki banyak kerbau tetapi memiliki banyak barang dapat memperoleh gelar dan derajat yang serupa. Ramban dati daerah Lampung ini kelihatan mempunyai ciri-ciri khusus, menyerupai perbuatan-perbuatan yang dipraktekkan di daerah Toraja yang disebut "rakarnba" pada peristiwa pembayaran den& dan tindakan lain seperti pelunasan pembayaran mas kawin. Begitu pula periatiwa pemkrian sesajen kepada patung berhala dan arwah yang birtila sudah dikerjakan wcara kekanak-kanakan dengen motto "est modus in robus". Dr. Kruijt menceritarakan keadaanorang orang Toraja sehubungan dengan adegan-adegan sebagai berikut : Kadmg-kadang mereka berniat meqyajikan seekor kerbau pu tih kepada arwah, sedangkan sebenarnya yang disqjikan hanydah aebutir blur ayam. ,Lain macam lagi ialah penydian a y m kepada amah yang sama. Mereka mengikat erat satu kaki ayarn sajian, kemudian memberikan ayam itu kepada arwah dengan cara melempar ayam ke arah yang dlmaksud. Sebaliknya, mexeka tarik tali pengikat ayam teraebut untuk mendapatkan kembali a y m ini. Contoh ini menunjukkan sikap mereka mengenai sewen kepada arwah yang tidak terlalu serius. Seakan-akan mereka itu mengelabui arwahlroh. Bahwa keadaannya demikian diurdkan juga oleh Pater P.P, Arndt tentang kekhususan orang-orang Ngadii (di Flores) tatkala diadakan perayaan "reba" yang khas dm khusus dan memerlukan biaya banyak sekali, tetapi tidak seimbang dengan kenyataan yang mereka laksanakan dengan seekor ayam yang "disebut" sebagai kerbau. Mereka seakan-akan mem bawa sesajen berupa barangbarang yang amat berharga dan rnelirnpahkan e m u ini kepada amah. Dalarn kenyataannya semua barang ini dari kualitas rendah. Sebaliknya bukdah suatu ha1 yang b i w bahwa orang-orang pribumi berlaku amat "rendah" dan bermuka khu~uktatkala memberikan sesajen. Umpamanya srtja di Sumba sudah merupdcan kebiasaan orang bahwa untuk menghorrnat tamu, suatu cara baik yang dipraktekkan hlah dengan menyampaikan seekor ay am (muda), jika wbetulnya yang dimaksudkan ialah mempemmbahkan seekor ker bau.
J-LASIL KERBAU
! Kulit I
Selama hidupnya kerbau bermanfaat bagi banyak orang, begitu pula sesudah matinya. Setelah kerbau dipotong baik daging maupun Wn-bagian lunak lainnya, termartuk kulitnya, dapat dimakan orang. . Begitu pula mengenai bagian-bagan y ang keras eebagai penutup badannya, tanduk, teracak dan tulang-tulangnya, yang mendapat tempat untuk digunakan. Kulit kerbau dan sapi dari Indonesia, temtama yang dari Jawa, di mana saja digemari orang. Perdagangan ekspor kulit sebelum perang dunk dikuasai beberapa firma Eropa besar yang un tuk pembelian barang-barang di dalam negeri memperoleh h t u a n pedagang perantara yang terdiri atas orang-orang Indonesia, Cina dan Arab. Mereka ini mendapat kulit tersebut dari rumah potong atau langsung dad pedagang Indonesia. Laporan pada tahun 1939 menyatakan bahwa pulau Jawa dm Madura telah mengekspor kulit kerbau sebanyak 16.300 lembar, eedangkan lain-lain pulau hanya sekitar 70.000 lembar, seharga 3.171.000 d m 603.000 gulden. Oleh karena kulit yang tidak dimasak itu kaku dan tidak dapat diperlakukan wajar, bahan ini h a m s diolah brlebih d h u l u sebelum penggunaan teknis. Pengolahan yang diperlakukan sejak kulit keluar dari rurnah potong aampai pada saat ekspor addah relatif mudah. Setelah kulit terkupas dari badan kerbau, masih perlu dibersihkan ktul dari sisa-sisa daging lemak dm kotoran. Selanjutnya kulit ini dimasukkan kedalam bak arsenikum aelama beberapa menit. Untuk mempertahankan ratanya permukaannya, setelah diproses kulit hams direntang selama beberapa hari sarnpai menjadi kering. Seklah kering, kulit tersebut dilepas dari alat perentangnya dan dibawa ke tempat pengumpulan untuk ditentukan k d i t a s dan beratnya sebelum diekspor. Selanjutnya kulit-kulit ini ditumpuk menjadi satu sampai terkurnpul dalam jumlah terkumpd dan bob0tnya mencapai kuota siap ekspor. Menurut L. Th. Maijer, pengalahan kasar kulit kerbau di Jawa mengikuti proses sebagai berikut: Kulit yang harm diolah mula-mula direndam air hpur selama beberapa hari untuk suatu proses fermenwi, yang dapat rnelepaskan bulu dari dmarnya sehingga dapat mudah dikerok. Untuk pekerjaan ini diperluhn suatu pisau berhngan dua. Kemudian kulit ditempatkan di atas uap panm agar menjadi lembek dan lunak, sehingga bagian dalmnya dapat dibersihkan dari eisa-sla daging dan jaringan pengikat. Pembersihan ini dilakukan dengan megunakan dat besi berbentuk pahat yang melebar pada b e a n tajamnya.
h d u k , kemud~ankerangka waysng sendiri dijepit dengan bahan penp apit dari tanduk pula, begitu juga pada bagian tangan-hganan. Di samping gambar-gmbar kerangh wayang yang diperuntu kkan bagi pertunjukan wayang kulit mash diperlukan juga adegan yang dinamakan "gunungan" atau "kayon" yang terdiri a .bahan perkamen yang dipotong rapi menjadi bentuk daun sesuatu pohon. Gunungan ini lukisan suatu pohon mistik, dihimi cabang, daun dan bunga, yang mempunyai selingan gambar berbagai macam hewan dan motif-motif simbolik. Adegan gunuhgan ini dipergunakan oleh sang dalang dalam adegan awd dan akhir atau istirahat, atau juga s e w h d a untuk menutup auatu bagian pertupjukan tersebut, sehingga kalau gunungan sudah dip~eang di ten@, fungsinya menjadi 'layar tonil". J. A. Leober menguraikan penjelaarn bahwa bahan perkmum itu bukannya barang monopoli di Jawa tebpi ternyab didapatkan puh di b a p n timur Indonesia. Selanjutnya ia menyebutkan terdapatnya senjata tarneng atau perisai di Sumba, Flores, Solor Timor dan di pulaupulau barat-daya, sebagai barang yang terbuat dari perkamen. Bahkan ia memperlihatkan suatu tas ymg indah dari Timor untuk mewadahi peluru, dan dibuat dari perkamen. Dalam lapotannya ke kepulauan Timor dalam tahun 1891, Dr. H.F.C.ten Kate mencantumkan adanya suatu aplikasi bahan perkamen yang berasal dari kulit kerbau dalam pembuatan barang-barang dinding transparan di rumah. Ia melihat rumah raja-raja di Sumba yang disusun dengan s e b a n dinding luar tersebut dari potongan-potongan beaar kdit kerbau, tetapi dilihat dari dalam seakan-akan dinding tersebut dibuat dari kaca baur yang mengkilat agak merah. Dr. K.W. Dammerman melihat rumah Sumba "berdinding kulit kerbau dan transparan bagaikan perkamen ". Jika kini kulit-kulit kerbau yang kering se bagian besar dapat dijual kepada pedagang dengan harga m e n dk, barang-barang tersebut dahulu sudah lmim digunakan gebagni tempat duduk-duduk d m tidur-tiduran mperti yang kini htu lihat sebagai barang-barang serupa dalam bentuk bsntalan dan jok. Tiduran di atas aamak kulit, k r a r t i dihindarkan dari tusukan kerh &tautombak yang d a h g dari bawah lantai yang dilancarkrtn oleh para pengacau. Menurut P.J. Kooreman, pihak lawan di Sulawesi Selatan tidak jarang rnenjalankan tindakan soloro. "Soloro itu addah tindakan dendam yang mengerikan, yang dkelenggarakan oleh pihak terhina atau oleh salah seorang pengikutnya atau budak beliannya dengan cara merunduk pada malam hari di bawah rumah banggung) di tempat yang sudah diketahui terlebih dahulu di m m a bakal kerbau akan berbaring tidur dan bersembunyi tepat di bawah orang yang diincar itu sarnpai tiba saatnya. Pada waktu itu lewat lantai yang terdiri atas bambu, mereka mencoba mendengarkan denyutan jantung si bakal
korban, kemudian dengan mencokel dan meny ieih kan sedikit batang bambu, dan terlaksanalah pembunuhm den* menggumkan badiq (aejenis kefia), keris atau tombak, yang masing-maaing tergantung pada ketinggian rumah yang bersangkutan Barang-barang yang dapat dibuat dari kulit kerbau pula addah "pita" panjang tipie untuk d i p a h ~ b a g a pengikat i barang beban. untuk alat penjirat dan lasso atau lain sebagainya. Dalam pembuatan "pita" hreebut satu ujung digantungkan pada cabang atau tangkaj, pohon dan &&bani batu berat untuk menghindarkan pengleerutan. Pita kulit kerbau ini digunakan oleh orang-orang Toraja terutama dalam opemi penangkapan k e r b , Pada jaman dahulu, tali demikian ini digunakan pda dalam melakukan "perang saudara" untuk membantu tindakantindakan mereka. Dernikianlah penjelasan yang ditunjukkan secara teliti oleh Dr. Kruijt. Dalam serang-menyerang necara terbuka di lapangan antara suku Parigi dan suku Bugis dahulu, orang-orangParigi mengumpulkan semua kerbau milikny a yang kemudian diperlengkapi dengan banyak dam kelapa kering di atae punggungnya. Tatkda orang-orangBugis datang, daundaun (di atas kerbau) itu dinyalakan, dan terkejutlah kerbauk b a u ini karena merasa kebakman, M u lari k e g h - g i h n langaung menyerang orang+rang di depannya dm mematikan mereka dengan menancapkan tanduk-tanduknya Sehgaimana dalam para& di atas sudah dicoba diteropong sejauh mana kulit kerbau dapat membantu orang-orang dalam peralab annya, tempat ini adalah tepat untuk penguraian suatu ceritera ddam suatu adegan yang terjadi di h r a h Banten mengenai sukaduka Baron S w k di pulau Jawa. Mula-mula Baron tersebut datang ke Banten berkenalan dan dekabmendekati Sultan untuk mendapatkan rekomendasinya menapak di Jakarta dan dari ~ i n ibme merayap ke seluruh pulau Jawa. Lulus pula Baron kraebut berkawan den- Sultan Jakart~.Tibalah waktunya Baron ini mengqjukan permohonan mendapatkan sebidmg tanah berapa saja be-ya untuk m e n y k p a n peti-petinya. Sultan (Jakarta)rnenyetujui perminhannya, memberikan gambwan nyata d bearvnya mperti selembar kulit kerbau ini. Si Baron yang tidak putus asa memerintahkan untuk memotong kecil-kecil eelembar kulit kerbau itu diikat menjadi tali panjang dan menggaet dengan demikian sebidang tanah, cukup besar untuk mendirikan gudang-gudang dan benteng di atasnya. Selanjutnya baik pula untuk menyebutkan kegunaan kulit kerbau yang dipakai sebagai selaput bedug atau genderang. Di Malaya, untuk pembuatan bedug ini suatu batang pohon yang telah di lobangi me manjang ditutup kulit pada kedua sisinya. Bedug ini biasanya digunakan di masjid atsu musholla dan benar ditabuh menjelang adzan menghadapi
".
saat sembahyang. Oleh suku Sadan-Toraja, un tuk genderang-genderang yang di bunyi kan pada perayaan-perayaan kematian , dipakai pula kulit br bau sebagai material penutup. Lebih penting dmipada penggunaan kulit k e r h u dalam perdatan pada waktu damai, adalah dari dahulu penggunaannya sebagai bshan pelengkap alat-alat peperangan, untuk melindungi badan. Sebagai kelengkapan perang. untuk mempertahankan diri, dibuat barang-barang &perti tameng-penangkis, topi-perang, perlindungan badan, baju tebal dan barang lain yang serupa, yang berasal dari kulit kerbau sebagai bahan pentingnya. Banyak di antarr barang-barang yang disebutkm ini sebenamya sudah melewati jalan peningkatan kebudayaan Indonesia, dan oleh karena itu b a r a n g - h n g ini kini banyak ditemukan di museum. Di antara senjata perhhanan dalam peperangan addah tameng penmgkis Asia, yang bentuknya bulat terbuat dari kulit kerbau, perkamen, kayu, anyaman rotan atau logam (messing). Meskipun demikian ada pula yang berbentuk panjang, dengan sudut empat dan bentukbentuk yang aneh-aneh lainnya, y m g jug& terbuat dari perkamen. h a n g serupa ini yang terbuat dari kulit kerbau biasa dijumpai di eeluruh Indonesia. Yang urnum didapati adalah tameng yang dibuat dari kayu yang luarnya dilapis dengan kulit, seperti tameng-tameng orang Jerman- kuno yang dibelongsong dengan kulit =pi. Kulit kerbau yang h a t dan tebal ini, yang tidak dapat ditembus oleh anak panah dan tusukan tom bak, meskipun materialnya kasar, bermutu amat unggul. Percobaan yang dilakukan membuktikan bahwa pel--peluru senapan Beaumont (Belmda) tidab dapat menem bus pula. N ilai eesuatu tameng penangb diperhitungkan bu kan saja dengan ke kuatan lindung barang tersebut, tetapi juga di tentu kan oleh kepercay aan simpatetis-misti k. Kepercayaan i d adalah bahwa membawa sesuatu barang yang b r a d dari kerbau menimbulkan kekuatan dan keberanian hewan tersebut kepada pembawanya. Menurut kesukaan masing-masing, orang menghiaskan krbagai gambar pada hmeng-mengny a, umpamanya lingkaran besar bermotif mata kerbau ateu hduk-tanduk luar biaaa, dengan isian-isian seperti garnbar geomeki, yang biasanya kita lihat terlukis hdus psda bumbung bambu. D h p e r h a n itu dijumpai pula pemasangan kulit brang berwarna putih, berukuran kecil-kecil seperti mozaik porselein. Semua lukisan him ini dimaksudkan agar penyerang menjadi k u t dan geram, sem menarnbah kekuatan untuk rnenolaklmenangkis, baik tombak m u p u n peluru. Berdasarkan susunan mozai k kerang tersebut, k i h dapat melihat siapa yang brlibat ddhm perkelahian, apak& termaeuk kawan atau lawan. Tameng orang-orang Sadan-Toraja yang terbuat dari kulit kerbau berbentu k trapesium berkaki m a . Tameng ini dihias lebih lanjut dengan bentuk-bentuk aneh, y ang diperoleh dengan pembuangan cukilan kulit atas.
Biasanya orang-orang yang lu ka atau mati ddarn peperangan diangkut atau ditarik keluar medan prang dengan ditempatkan di a b bmengnya. Selain penggunaan k e n g dalam peperangan masih ada pula dalam tari-tman perang oleh suatu barisan yang mendahului jalan untuk dilewati oleh prajurit yang gugur. Tameng dipakai juga pa& latiban perang-perangan dan perang bay angan . Alat penyerang di Indonesia yang sering dipergunakan dalm perang saudara adalah apa y ang dinamakan "benteng bergerak" atau dalarn bahasa Aceh disebut "kuta jag". Penyerang-penyerang b e r b lompok dan maju sambil bersembunyi di belakang lengkungan lembar kulit ketbau, yang sekaligus merupakan satu tameng besar yang dapat dipergunakan oleh banyak orang. Contoh benteng tersebut adalah urnpamanya yang terkend ddam abad ke-18 (tahun 1700-an),yang dinamai epos Aceh Pacut Muhammad. Di tanah Gayo bnteng bergerak ini dikenal jug& dengan nama "kotea berjeuleum" terdiri atas perahtan sejenis sangkar dari kayu dan bambu beroda dan digerakkan oleh prajuri t-prajurit yang ada di dalamnya, sedangkan dindingnya diperlengkapi dengan lubang-lubang pucuk senapan. Orang-orang Batak rnernpunyai pula alat serupa yang rnereka narnai "gajah lumpat", suatu kendaraan beroda yang dapat membawa beberapa penyerang yang dadanya diperkuat dengan tutup yang berupa peralatun yang terbuat dari mat kelapa, untuk "didaratkan" di kmpung terdekat untuk mengusir para penjaga ke luar dari tempat itu. Orang-orang Dayak Serawai memperlehgkapi diri dengan peralatan serupa kalau mereka mulai menyerang kampung lawan. "Mereka menggunakan susunsn batang-batang kelspa yang dibentuk serupa huruf V menjadi tameng besar, yang ukurannya Iebih tinggi dari orang. Di belakang peralatan ini para penyerang berjaga-jaga dan bergerak maju membawa peralatan ini kejurusan kampung yang dituju. Karena peralatan ihi berat sekdi, gerak maju mereka h b m sekali!' Orang-orang Towa menggunakan juga suatu pelindung gerak alih (lako-lako dari perkataan lako = jalan) sebagai peralatan perang yang disusun dari kulit kerbau dan papan. 'Tameng ini dibawa maju oleh bebermlpa penyerang mendahului yang lain, dan d e n e n demikian rnereka terhindar dari tergngan dengan batu dan tornbak serta dari berbagai macam prayektil yang keluar dari senjata api musuh. Kopiyah tempur yang -terbuat dari kulit-kulit kerbau kita dapati terutama di bagian timur Numtenggara. Rupanya perlengkapan ini hrmasuk pula sebagai suatu bagian pakaian pfajurit jaman dahulu di bagian barat. Tandanya di tanah Gayo ~ d "ketupung" a d m di daerah Alas ada "tengkuluk", dua barang kopiyah yang dibuat dari kulit kerbau atau dari kain putih yang dilapis kapas. Untuk menambah haeraman pemakai dengm bergaya prajuri t, kopiyah-kopiyah p e m g ini dinya
punggung daun bambu yang digantung di a h kmdang, untuk menolak bda dan penyakit seperti yang blah dilakukan oleh nenek moyang di negara barat dengan coretan-coretansilang pula yang digambarkan pada kepala sapi mereka. Tindakan pembedahan terhadap penyakit kmak tidak pernah ada. h y a sekedar catatan dari Aceh tentang adanya pembakaran Iuka-luka kerbau dan ~ a p i yang , disebabkan oleh Iarva lalat, dengan menggunakan sepotong besi terbakar rnerah. Seperti diketahui di Indonesia krjadi berbagai macam penyakit menular pada ternak r'ta'un") yang rninh korban banyak sekali selama beberapa tahun. Di antata penyalut-penyakit hi penyakit temak yang dalam tahun 1880-anmemusnakan banyak ternak: di Jawa pada tahun 1879 - 1983, 1889 - 1893 dan 1897 1899,di Sumatra pada tahun 1883 - . 1890 dan 1897 dan di Kalimanhn pmtai barat pada d u n 187 8. Penyakit-penyakit menular pada temak ini disebabkan pula oleh hama darah yang dibawa oleh serangga-serangga penusuk, yang sering terdapat di tanah dan kubangan dan tertelan kerbau bersama rumput dan lain-lain bahan pakan. Depatlah dimengerti bahwa penduduk tetap berpegang pada kebiasaan nenek-moyang dalam memberan taa penyakit hewan yang bersangkutan, karena tidak mengetahui pokok-pangkal terjadinya penyakit, sehingga term saja mernprakt e k h cara ketakhayulan dalam m e n a n p i "pengobatan". Orang-orang blam di Aceh euka membawa temak yang sakit ke k u b w "terkenal" dan mencuci kepala hewan tersebut dengan air di tempat ini. J i h tempat itu jauh ~ekali,pernilik membawa ~ekedartanah dari kuburan untuk dicampurkan dengan air minum hewan-hewan yang hiedang sakit, Pemilik dengan pernikiran magisnya merasa blah membawa "bahan dingin" kepada ternak d m kandanpya untuk "membuat tawar semua pengaruh panas pembawa kegaduhan" tatkah timbul peny akit menular tersebut. &lam hal yang sama, orang-orang Toraja yang berorientasi pada penganut animkme, minta pertolongan dari ruh nenek-moyang
mereka dan berdoa dengan kata-kata "0Laki-tomba Karambau, Amponejore (sernua majikan dari para kerbau). di sini adalah hewan-hewan p i a r m u . hbhon kuku kakinya dibuat kuat, tatkala mereka makm rumput muda; sekdipun mereka menuruni bukit, tuntunlah mereka sampai mereka aman tiba di dataran; buatlah kubangan mereka sehlu basah; isilah seMu tempat rninum mereka dengan air d m dinginkanlah tempat penggembalaan mereka d e w keteduhan agar menjadi sehat. Tutuplnh mereka dengan "tanoana" yang tidlik pergi-pergi, berilah mereka keturunan yang melimpah seperti pada labah-labah, bumng hantu dan ikan. 0,majikan para penggembala ternak, Tmandaramu, asya tidak mengelabuirnu, tetapi sedang mengadakan ritus sesajen, yang diperintahkan oleh nenek-moymg kita". Kemudian diwaldah kerbau-kerbau mereka melewati tempat ritus dan pada tiap waktu ker-
! '
bau melewati dukun Toraja pemimpin ritus, dioleslah dengan darah habi, sebagai tindakan pengobatan. Qang-orang Ngada di Flores Tengah dengan kepercayaan kuno yang tetap melekat sejak jaman megalit, menempatkan suatu patok di tempt mereka mengadaka sesaji untuk mengusir penyakit menular. lhri contoh-contoh yang diuraikan di atas, terlihat betapa banyak cara yang hams ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan,ymg sedikit banyak juga ,tergantung pada kesadaran yang menggunakannya. Di sini tarnpak juga bagaimana masyarakat tidak berdaya lagi menghadapi masalah berjangkitnya penyakit menular pada ternak. Cara memusnahkan ternak diterapkan hanya bila ada kemungkinan menurnpas penyakit tersebut pada awalnya. Jika ternyata penjalaran penyakit tersebut tidak lagi dapat dielak kan , tindakan membunuh ternak yang bersangkutan segera dihentikan, demikian diuraikan oleh dokter hewan N. 't Hoen. Bila di suatu daerah di Toraja Timur ada tanda-tanda berkecamuknya penyakit "rinderpest", iwgera kerbau-kerbau di daerah brsebut di kurnpulkan di "gimpu", suatu kandang krd. Di sini selanjutnya diselenggarakan upacara se~ajen yang disebut "ndalwi" ymg berarti "mengobati dengan menggunakan daun luasi". Cruanya berbeda-beda tergantung pada daerahnya. Di daerah Toraja Timur, di ujung timur urnpamanya To lage dm To ondae, bertindak tujuh l e W dan tujuh perempuan, di antaranya imam-imam perempuan, dalam seragam upacar& mengeliling kral tujuh kali. h'gsing-masing mempunyai sesuatu di tangannya, y aitu bakul kecil dengan sirih-pinang, bakul kecil dengan beras berwarna, air dalarn kobokan yang berisi haman-tanaman berdaya vital, diantaranya dam luasi yang sudah dipotong kecil-kecil, serh ayam putih dan lain-lainnya. Seusai berjalan tujuh keliling (kandang kral) bejongkokIah pemimpin upacara ternbut di depan salah satu kerbau yang dianggap wakil semua pertanian. Ilitamhahkannya bakd sirih pinang dan bakul beras di atm kepala kerbau mebut sambil mengucapkan doa sebagai berikut : "Ya, berhala dari kayangan, puempala baru, inilah padi, bawalah itu dan ini tujuh potong kain putih. Berikanlah 'hawa sejuk" untuk kehidupan hewan-hewan piaraan kita. Dan engkau si putih (dengan hi dimaksudkan kerbau putih y ang dahm upacara ini dipilih sebagai wakil kelompok), sangat mungkin amarah *tan blah membuatmu apatis, tetapi inilah tujuh potong kain pum dan padi, maka jadilah kini segar. Ya "hnoana" berhala yang menghidupi kerbau-kerbau dari To Napu, dan dari To Luwu, jumpailah kerbau-kerbau kita agar pada wak tu kita hendak membeli hewan-hewan ini dengan harga m e , si pemilik mau menjuahya pada hta".(.Minya bahwa kalau si tanoana mereka tidak ada, hewan-hewan kurumya tidak berharga lagi).Kemudian salah satu jari kaki ayam pu tih dipotong, darah yang keluar diambil dan dioleskan pada tmduk-tandu k kerbau.
Sirih pinang ditaruh di atas kepala dan sebutir telur di pecah di dalam mulut kerbau. Kemudian orang-orang berjalan berkeliling melewati semua kerbau dan tiap hewan ditempeli sediht nasi kuning pada bagian
depan mukanya akhirnya kerbau diperciki air kegairahan hidup. Wtu pula, jika seekor kerbau setelah ditangkap menjadi jinak mau dilepas kembali, dan bila seseorolng menerima kerbau sebagai suatu pem bayarm, pelunaam denda atau hutang, orang Toraja memercik-mercik hewan tersebut dengan air yang k r i s i daun luasi dan lain-lain tanaman yang telah diptong-potong menjadi kecil. Selanjutnya untuk menjauhkan suatu penyakit ternak dari kerbau-kerbaunya, orang Toraja menaruh uang pecahan tua di drlsar kotak barnbu yang berisi garam khusus untuk kerbau. Dr. Kruijt menceriterakan juga, sesuai hd tersebut, cara yang dipakai orang-orang Toraja Barat. hlereka mengumpul kan-hewan-hewan miliknya di dalam kandang hal untuk memisahkan hewan-hewm ini dari malapetaka kematian besar yang terjadi di antara temalr dan untuk mengobatinya dengan air manjur yang diguyurkan di atas badan hewan-hewan itu. Pada keadaan ini, orang tidak diperbolehkan memotong kerbau, karena menurut perkhan, mengalimya darah keluar badan akan membuat penyakit lebih panas dan akan menyebabkan kematian le bih banyak hewan. Pertanda bahwa rinderpest akan brjangkit disimpulkan oleh orang-orang dari terlihatnya pelmgi yang melintasi kral atau tempat penggembalaan kerbau. Di tempat ini kemudian ditempatkan sasajian, dengan rnemanggil-mmggil "penguasa tempat penggemb*", yaitu tokoh yang rnemulai rnentemakkm kerbau d&m kelompok ini. Oleh orang-orang Sumba dianggap pula sebagai suatu pwtanda buruk, jika menurut pengllhatan dmar pelangi berpangkal seolah-olah pada suatu kelompok kerbau. Mereka menduga, tentu akan ada banyak hewan mati. Jika dasar pelmg tersebut berpangkal p d a areal pertanaman, keadaan ini merupakan pertanda tidak akan ada pertumbuhan di areal tersebut. Jika kita menunjuk arah tempat tersebut, tanamannya akan menjadi layu. Jika sebagian saja pelangi di b q u n timur seakan-akan menyentuh tanah, sudah menjadi pertanda akan terjadinya penyakit di antara kerbau-kerbau di &yo, demikian filsafat orang-orang di sana. lh tanah gayo, demikian juga di tempat-tempat lain, orang memasang secarik kain putih yang diikatkan pada hgkai-tangkd dengan tuban huruf-humf Arab, yang krisi angka-angka, peribahasa terhadap M a y a maut, atau penyebab penyakit. Warna putih Warn h d ini tidak dimaksudkan untuk menakuti si angkara murka, tetapi menurut penjelasan rakyat sendiri, justeru untuk menandai kesukaan hati mereka terhadap kekuatan yang tidak tampak. 13engan pemasangan ini dirnakm~dkanagar para angkara murka merasa puas dengan layman sederhana
,
ini, dan dengan demikian tidak mengganggu hewan-hewan. Bendera putih di dalarn peprangan diartikan untuk berdamai dengan musuh. Bendera putih berarti pula seperti halnya kalau mereka menanam kaia putih di d e b t atau di atas makarn kerarnat untuk menghormat yang klah dikubur disitu. Di alam orang Toraja, warna putih itu berarti kesepakatan . Pada umumnya rakyat di sana tidak mengerti arti menyendirikan hewan-hew= saht dan hewan yang tersangka &it dari yang sehat. Bahwasanya peraturan ini adalah untuk menjaga agar supaya hewan yang mas& sehat terhindar dari penyakit menuiar, tidak dapat masuk aka1 mereka. Di seluruh Sumatra, dan mungkin juga di luar, terdapat pula tindakan mengamankan temak di kandang, un tuk menanggulangi berbagai mara bahaya, yaitu penyakit binatang bum dan sebagamya, dengan cara mengisolasi kandang dengan lingkaran magis. Untuk maksud ini selalu diikutsertakan "doa penangkis" yang diucapkan dalam &ma Arab. Lingkaran atau garis magis tersebut dapat dinyatakan dengan cara menggoreskannya di tanah, atau dengan memakai Mi, cabang batang atau dengan memanfaatkan batu-batu kecil, butir beras atau air. Juga dengan cara menempatkan empat batu putih pada pojokpojok kandang. Batu-batu ini sudah dibacai mantera yang dengan upacara ditaruh pada waktu sunyi senyap, umpamanya pada tengah malam. Kah-kata "uris-baris laksamana" yang digunakan oleh orangorang tanah Malayu,, juga oleh orang-orang Acah dan Gayo, untuk membentuk lingkaran magis ini tidak berarti "Admiral's h n e " seperti yang diperkirakan oleh W.M.Skeat, tetapi tertuju pada lingkaran magis yang digariskan oleh Laksamana {menurut buku Hindu Kuno Rarnayana) untuk melingkari Sita, iskri Rama, scbelum djtinggalkan agar &pat berthan terhadap Rawana, raja-iblis dari negara Langkapura. Menurut orang-orang Aceh tiap kerbau, dan begitu juga hewanhewan lain atau orang, seharusnya sebelum menjadi dewasa sudah dapat mengatasi suatu krisis yang, dinamakan "saket ulee neuraya" atau "neurayeuq" yang berarti "penyakit menjelang pendewasaan", tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit. Pada kerbau, momentum krisis ini bemama "jatuhnya bulu mata". Bila hewan tersebut tidak tahan maka akibatnya adalah rupa-rupa penyaht.
Upacara dengan ritus yang berulang Sesuai dengan pemikiran primitif yang berpegang pada kepercayaan bahwa tiap perubahan stadium hidup orang berarti juga perubahan posisinya di masyarakat dm lingkungan keagamaannya, dianpgap pula bahwa kejadian itu berlaku pula pada kehidupan kerbau, yang ljerkenaan dengan kesehatannya. Segi ini rnemerlukan perbuatan-perbuataneakral 'dan upacara untuk mengikat jiwa atau memperkuat fis ik hewan tersebut
.
agar teriindung dari pengaruh-pengaruh buruk. Kita kenal berbagai upacm magis: yang datang berulang pada waktu-waktu brtentu; yang diadakan menurut kebutuhan insidenu. Dalam upacara pertama ter-
mmuk rim-ritus fertilitas, yang ditujukan untuk menjamin kesuburan tanaman pertanian den tern&. Upacara ini berakar pada usaha mengkultuskan nenek-moyang masing-masing yang sering diiden tifikasi Ncara paralel dengm fertilitas. Adanya pengelolaan magis paling jelas tampak pada waktu dimulainya pengolahan sawah, yaitu ketika tanah hams dibalik atau suatu pe kerjaan yang mengandung dem ikian banyak hal misterius bagi orang yang berpikir sederhana. "Kemmpuan tanah untuk ~ r n e n m n b sesuatu buat orang primitif itu adalah bukti bahwa bumi mengandung banyak kemampuan magis, oleh karena kdau tidak demikian halnya, tidak mungkin ada sesuatu pertumbuhan dapat hrbuah di atasnya. Kejadian demikian i tu mungkin terhksana kalau ada f aktor-faktor hidup yang menunjang: faktor ini adalah kekuatan magis". Di mana harus a& fase baru dalam pengolahan tanah, diterimdah bahwa nenek-moyang mereka akan memainkan peran khusus terhadap tanah tersebut. "Kekuatan magis dan h a h dihubung-hubungkan dengan mereka. Mereka dapat mempengaruhi produksinya, sehingga ruh mereka yang sudah mati menjadi ruh pengolahan tanah". Bahwasanya kerbau yang ikut mengerjakan tanah hams juga dilindungi terhadap kekuatan-kekuatan jahil sudah wajar. "Tiap pembicaraan tentang teknik pertanian rakyat primitif tidak akan menjadi sempurna kalau tidak dibubuhi pendapat bahwa aturan-aturankeagamaan dan kekuatan magh itu mempunyai daya juga, minimal sama efektif d m bergunanya seperti pekerjaan di lapangan itu sendiri", demikian ditulis oleh Prof. Kay Birket- Smith. Sejumlah pemikitan dan penggunaan aturan kesgamaan mempunyai hubungan dengan bajak, suatu alat perhian keramat yang digunakan dalsm memecah pangkuan bumi untuk "membukmya" agar menjadi subur. Kalau petmi Jawa masih memegang teguh adat-istiadat kuno, ia pasti akan menggunakan upacara adet pada waktu bajak dibenamkan pertama kali di tanah. Dukun sawah yang juga sekaligus adalah pemimpin pehni, akan rnenyuluhkan hal-ha1 yang perlu. Ia menetapkan pula waktu-waktu tertentu untuk men@ rap tanah perhian dm disebut sebagai perantma dari orang ke berhttla. Orang-orang Indonesia pada umumnya rnembngi t a h n menurut posisi bintang. k y a bagi penganut agama blam diberlakukan penanggalan huh. Yang penting sekdi bagi petani adalah kemampuan untuk muhi bekerja pada hari yang yaitu setelah ditentukan berdamkan tabel-tabel yang rumit dengan menggunakan kata-kata yang her belibbelit. Tidak akan ada pekerjaan yang &pat dimulai kalau segala muatunya tidak dilaksanakan di bawah pengarub restu dari
w,
m,
yang hanya akan memberikan bantuan yang diperlukan pada waktuwaktu dan saataaat tertentu. Pada saat baik yang sudah diperhitungkan, pada waktu muhi bekerja membajak petani Jawa akan mengucapkan doa mulai dengan menyebut nar-a kayu bajak yang dipakai: "'iaban -(jati, wangu dll.) wunguo, werliho sakjatine" yang berarti: 'laban dan sebagainya hngunlah dan waspadalah tentang jurusan jalan yang sebenmya". Kemudian ia memasang hewan-hewan penarik bajak dengan menepuknepuk kab hewan tersebut untuk mengingatkan akan tugasnya, dengm menyerukan kalimat: "Kerbau-kerbau, di dalam hatimu tertulis bahwa orang itu dapat mematikan dan menahan kami,oleh sebab itu abdikanlah dirimu kepadanya dengan semua empat kakimu". Selanjutnya ia mengusir segala yang terdapat di depannya, ketika hewan itu melangkah maju perkma, agar terhindar dari dunia setan, dengm cata mengayun cemetinya e r t a mengucap: "0 dewa pertanlan, bantulah kami! Wnyisihlah kamu, penybt-penyakit dan hama-hama ! Pergilah kamu, cacingcacing dan tikus-tikus dm lain-lain satwa hama !". Ada dongeng rakyat yang menyebutkan adanya keharusan pengabdim kerbau kepada orang karena hukuman pada kerbau turun-kmurun. Pada jarnan dahulu, karma s a w seekor kerbau pemah menipu orang, dihukumlah k e r h u untuk mengabdi kepada orang. Demikian bunyi ceritera orang-orang asal To Kulawi, suatu golongan dari Toraja barat. a l u , para berhala memberikan kekuasaan kepada kerbau sebagai duta un tuk memberitahukm keinginan mereka kepada penduduk dunia. Kerbau-dunk ini seharusnya menyahkan suatu ketentuan kepada orang-orang di dunia bahwa mereka hanya diperbolehkan makan nasi satu kali sehari. Kerbau ternyata keliru menyatakan p e m yang d i h wanya dengan berkata bahwa kehendak berhala itu iahh melarang orang-orang makan daun padi tetapi menyisihkannya sebagai makanan kerbau, sedangkm orang-orang dapat mengumpulkan buah-buah padi dan mcmakannya dengan sayuran dan garam. TatkaIa para berhala mendengar cara kerbau menyampaikan pesan tersebut, mereka menjadi marah dan menusuk-nusuk kerbau di lehernya dengan kata-kata: "Oleh karena kekelixuan itu, sejak kini manusia akan memotong d m memakan karnu". Inilah sebabnya rnengapa kerbau itu mwih mempunpai satu atau lebih goresan putih di bawah lehernya sebagai tmda bekas tusukan. Menurut H.A. van Hien, di Jawa masih l a s h digunakan JumatPahing sebagai hari penyajian sesajen sebagai kenmgan dan kebahagian kerbau. Mereka memberi kan sewjen kepada s e b n - s e h dan itdbiblis, yang mash ada hubungannya dengan kerbau atau hewan lain dm bersamaan dengan itu memberikan istirahat kepada hewamhewan lain untuk tidak di lapangan pada hari itu. Penulis lain rnemberikan uraian bahwa pada "waktu gumbxg", yaitu salah satu bagian (terdiri atae tu-
juh h d ) dari keseluruhan 30 hari dalm sirkuit waktu h;tunann Jawa-
&no, banyak petani tidak mau melupakan ziarah pemberian sesajen untuk kebahagiaan kerbau-kerbaunya, agar supaya K e r b u i k e b u ini tetap kuat dan sehat serta selalu siap bekerja. Di Kabupaten Kebumen dari Juli sampai September tiap tahun oleh desa-desa ypng memiliki banyak temak diadakan pesta penggembala yang diadakan serempak oleh pemelihara dm pedggembala tern&, demikian diberitahukan oleh E . SchmueUing. Para tokoh desa datang bersama-sama dengan penggemM a ternak. Dalam pesta ini diundang puIa handai taulan dan kawan sekerjanya dari desa-desa sekitamya, untuk makm syukuran bersama dan m emohon kebahagiaan bagi ternak dalam tahun-tahun mendatang kepada berhala pelindung. Kadang-kadang pesta dan syukuran irii dimeriahkan dengan gending-gendinggarnelan d m tari tandak sampai tiga hari berturut-turut. Dewa pelindung pada peristiwa demikian ini dalam pesta sesajen biasanya diaebut dengan namanya masing-masing, dan dianggap bahwa dahulu kala mereka itu adalah manusia pula. Mereka adalahpernhka d e a yang pertama kalinya dan penwmpul modal kerbau, yang kemudian memberikan keturunannya sampai aekarang. Orang-orang percaya bahwa jiwa nenek moyang itu akm terus mengawasi hewan-hewan dan keturunannya, dan akan menolong temak yang bersangkutan supaya malmrur dan krlipat ganda. Di ujung timur Jawa Timur, nama desa pelindung kerbau addah "Kgai Dadung Awuk", ymg rnenurut Dr. Kruijt, asalnya adalah orang, yang menurut cerita orang-orang di kampung - mati di desa Pingit, di jalan menuju Malang. Kadang-kadang kita dapat mendengar suara seorang lelaki atau perempuan berteriak, pada waktu segerombolan kerbau dilepas kelu ar dari kandang kral: "Kyai Dadung Awuq, cucucucumu keluar ke lapangan, lindungilah mereka". Bila penanaman padi sudah selesai, sebuah ketupat digantungkan pada leher tiap kerbau, sebagai sesajian kepada Kyai Dadung Awuq agar kerbau-kerbau ini diberkahi. Pada waktu diadakan upacara sesajian untuk para dewa kerbau, harapan-harapan kebahagiaan umurn diuraikan secara panjang le bar. Perbuatan sahal ini baru berlaku efektif jika telah didengar uraian dari yang berwqjib, tentang perbuatan ini dan rnaksud diadakm upacara. Selanjutnya, dari auasana berpilur magis itu, dapat d i p e r b k a n bahwa sebenarnya ddam pengucagan nama orang, dicari sesllatu untuk mengidentif i kasi suatu sebutm atau Y uatu masalah . Pengucapan ini tidak hanya yang bertaut dengan kata tunggal, tetapi juga ymg bertalian dengan kompleks susunan kata (rumus, doa, harapan, d e k a h dan sebagahya), jadi Begala aesuatu yang diucapkan oleh ai pemimpin. Tidak jwang terjadi bahwa di d d m harapan itu hdapat hubungan yang
menyinggung sesuatu peristiwa yang dianggap bermanfaat untuk dikem u k a h pada waktu itu agar memenuhi kehendak orang banyak. Sangat ilustratif untuk yang telah disebut di atas adalah upacara adat yang selalu diadakan tiap tahun, dalam bulan Rajab, di kandang kerbau orang-orang di sekitar Padang dataran. Mereka memanggrl para dewa kerbau dan mengundang mereka un tuk "turun " ikut merneriahkan upacara tersebut ( manjanguk). Oleh karena itu, pesta demikian jni disebut juga "mbjanguk kandang", yang selanjutnya dia tur oleh ahli khusus, yaitu "dukun kerbau ", yang tidak boleh ketinggalan. Pintu masuk kandmg dihias dengan bunga-bunga. Di sekitar kandang ditaruh k r bagai macam tanaman y ang terkenal, y ang dalam tradisi dianggap sebagai pembuat suasana menjadi sejuk (dalam arti kata pembawaberkah) dengan sebutan "si tawar ", "si dinpn ", "cikarau " dan "cikumpai", yang biasa dipergunakan dalarn bermacam-macam upacara adat untuk "menawarkan" atau menolak pengaruh-pengaruh buruk. Selanjutnya, pada kedua sisi pintu masuk kandang dipasang "sanggar" setinggi orang lelaki. Sanggar ini terdiri atas sebilah bambu yang dibagi dua dan dipencar d m di atasnya diletakkan atap myaman barnbu yang lebar berbentuk segi-empat. Di atas sanggar disusun kotak-kotak kecil terbuat dari daun pinang, berisikan berbagai barang, y aitu daun sirih, bubur larnak (nasi dengan ~usukehpa), buah-buahan rimbang, beberapa batu, pasir dan sebagainya. Pada sanggar tersebut digantung pula tabung hambu kecil berisi air. Semua barang ini simbul yang mernpunyai arti pendiri-sendiri. Setelah pemimpin upacara membakar kemenyan untuk menerima inspirasi yang diperlukaa, ia berdiri kgak di depan pintu masuk kandang dan membaca doa yang berlagu ritmis, berisikan harapan-harapan dan permohonan-permohonan yang telah diuraikan dalam karangan lain, ddam teks Minangkabau, yang lasirn diucapkan rakyat setempat. Setelah "pemanasan" dengan kebiasaan Islam yang mendahdui upacara, para dewa kerbau, sebagai "pembuka jalan" seternpat dm memiliki ker bau-kerbau yang menjadi asal kerbau keturunan yang kini ada, dipanggil dengan nama aslinya. Kemudian si dukun mohon dengan kerendahan hati agar kerbau keturunan diperbanyak dan oleh karena hewan-hewan ini sangat dibutuhkan dalam pertanian, permohonan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di dalam dialog ini hewan-hewan yang ada disebut secara terperinci dengan rnenyebutkan posisi tanduknya, sambjl diucapkan: Ya Allah, karuniailah para auIia dan para ambia dan semua empat malaekat utama. Karunia-Mu u t u k 59 "ninik kurang oso onangpuluh", yaitu nenek-moyang yang blah membuka hutan dengan berbagai cara dan dengan demikian telah menjadi umpan nyamuk yang mengisap darah mereka sekenyangkenyangnya, pada pagi maupun sore hari, pada simg dm malam hari.
Merekalah y ang memperbaiki saluran-saluran air, pemilik be berapa bidang sawah, kgalm, kebun kelapa dan pinang, ladmg yang mahal dan tegalan padi kering, s e a kerbau dan kambing. Ya, Si Tuakar, Si Bugagar, Puti Sangkar Bulan dan kamu Nabi Ibrahim, sebagai rnoyang kerbau-kerbau Sumbarag -1, dan pula pemilik semua kerbau yang ada. Kita bermaksud minta kepadamu leblh banyak kerbau lagi, di anhanya seperti yang ada di sana dengan tanduk berbentuk coko, bangkang, belut, badun, si ampang labuh, si tulak maro, si tanai, si dorong mangganti, hewan-hewan yang paling terkenal di antara sedemikian ban yak kerbau dengan tandu k-tanduk seperti itu, dengan teracah putih bsgaikan perak. Kumpulkanlah mereka untuk bersatu di kandang ini. Terimalah salam hormat kita dan kabulkanlah permohonan kita. Kemenyan sudah di bakar, perlengkapan sirihitembakau sugi mdah siap, begitu pula bubur, air tawar, pasir dan batu kecil, buah rimbang d m bunga panggil-panggil, telah kita taruh di sana. Kami berkaksud mink kepdamu tambahan kerbau dan terus-menerus akan mengulangi permintaan kami selarna bumi dan langit tidak beralih posisi, selama air mengalir, selama mega itu putih dan burung gagak hitam dan selama gunung berdiri tegak. Semoga kerbau-kerbau rnuda dalam kandang ini cepat menjadi beaar dan semoga yang sudah ada ditambah jumlahnya, kemudian di atas tumpukan emas yang kami peroleh di taruh padi juga. Semoga temak dan persediaan padi berlipat ganda, sehingga kandang d m lumbung padi pun penuh. Kita mengundang kamu, agar berada di sini pada peringatan manjanguk kandang. "Para ninik kerbau Sumbarag sudah duduk rapi dengan kaki brsila. Kandang ini menjadi indah betul; ini adalah tempat bertolaknya para ninik kerbau rezeki dm di tempat ini pula mereka selalu datang". Siapa saja yang memimpin upacara mulai meraba-raba dan, sambil mengaduk dengan jarinya beberapa tempat kecil di depannya, menyebut semua yang tersimpan di tempat itu supaya sifat-aifat unggul seperti "ganda", "keras " dan "tahan", karena kekuatan suaranya, dapat dilimpahkan kepada hewan. Ia pun mengulang-ulang terns dengan nada nyanyian serupa: "Kumpulkanlah hewm itu menjadi satu di kandang ini seperti banyaknya butir pasir di panhi, bagaikan jumlah butir di pulau, bagaikan banyaknya buah pada pohon rimbang, bagaikan jumlah jenis pohon di hutan rirnba dm bagaikm berbagai rupa ,yang ada di daratan maupun di rimba raya, kumpulkanlah jadi satu semua kerbau itu, baik yang ada di hulu atau di hilir sungai Bangkok, Uuwa, &ku dan Sariki aerta semua yang mempunyai kubangan di pegunungan dan di dataran. Ninik-ninik kerbau-rezeki h i akan mengantar mereka dalam pbungan upacara kemari. Waktu ini kebetulan bulan "manjanguk kandang" yang kami tunggu. Oleh karena itulah kami mengagungkan para
ninik kerbau-kerbolu Sumbamg. Semua makanan yang ditaruh di sanggar, sernoga dimdm oleh mereka". Ihngan makan syukurm, upacara kemudian ditutup. Kurmg lebih satu bulan sebelum mereka memulai rnembfkjak tanah, orang-orang di Aceh menyelenggarakan kenduri lapangan yang pe-a untuk mendapatkan berkah kebahagiaan temak bajak dan kesuburan tanah yang baru saja menghasilkan panen, sehingga waktu yang akan datang akan berhasil juga. Setelah kenduri lapangan ini, s e h a tiga hari tidak diperbolehkan tnenggarap sesuatu pekerjaan di mwah (hi add* panhngan). Permpekerjaan akan ditentukan lagi oleh seorang "mdim" [ahli tulis) yang mahir dalam memperhitungkm saat-mat terbaik, pula me-
mahami ilmu klenik mengenai bercocok tanam padi. Dengan kepalanya digundul, ia pun tw'jun ke l a p a w pada tengah malam hari, aebab bila terjadi perjumpaan dengan orang atau satwa, misinya akan dianggap aebagtu kegagalan. Dengan pisnu gobangnya ia membuat bebrapa garis lurus menyusuri tanah pertaniannya, seakan-alum membuat gahn bajak yang pertama sambil mengucapkan manha toU U k , kemudian pulang ke rumah. Pembukm kerja pertama di lapangan ini oleh orang-orang Aceh &but "pu phon blang Seperti dijelaskan oleh orang-orang di Aceh-Besar, di daerah Pidie, dalam upacara buka sawah sahamental h i djpekerjakan juga bajak kecil dari emas, yang sebentar @a digeser-geserkan di aha tan&. Seperti halnya dengan besi, -1 emas pun mempunyai po tensi magis menurut pengertian orang-orang
".
keh.
Di lingkungan antara orang-orang Makasar, di Sulawesi Wtan, suatu perayaan "pal& " (atau "apalili") tetap diadakan Perayaan ini blah upawa yang tiap tahun diadakan dengan dibantu bajak suci
.
untuk memulai bekerja di sawah. Sejak dahulu upacara-upacara ini menggunakan lapangan buah dan bunga, yang berarti bahwa buah-buah yang bersangkutan akan diperuntukkan bagi raja. Sebagai bukti k k p a kern mereka mengkat diri pada arti tindakan 8 a l d hi, terietak pada peristiwa ymg M u m lama berselang terjadi di jaman kerajaan b a r Bone dan Goa. Orang-orang yang berani membajak tanahnya sebehun tanah raja digarap melalui u p m tradhional akan mendapat hukuman berat. W t u pula kelasiman di daerahdaerah yang dikuasai pemerintah. Di sini &tap dipegang kguh adat untuk menggarap lapanganhpangan raja dahulu. Lebih-lebih di Sigeri (di daerah dan linghungan utara Sulawesi dahulu ), uprrcara p k lapangan diadakan berle bihlebihan. Bahkan di sana nama bajak yang dipakai adalah khuma, yaitu "polon&!' a h u "pualonggi" suatu nama yang berkaitan dengan "tokoh langit" yang turun dari kayangan membawa bajak dan membuka tanah sawah pertama di Gigeri. Bahkan dhggapnya pada dewasa ini masih ada baraW kayangan yang dihormati yang b e r d dari pemberi yang
b u t kerbau-kerbau yang audah ditangkap menjadi cepat jinak dan tidak terjadi kecelakaan Pada upacara kerbau hi mash hams pula diperhitungkan hewanhewan yang sudah mati. Oleh karena itu, dibuatlah satu kral untuk jiwn kerbau yang sudah mati dan ditempdkan belakang kandang kral yang sudah ada. I3 situ mereka membuat beberapa kerbau-kerbauan (miniatur ) dari buah jeruk yang dibubuhi kaki dan bnduk dari kayu . Bila kerbau-kerbau yang blah tertmgkap dapat dilepas jadi aatu di kandang kral, beberapa orang Id-laki dan perempuan di tunju k un tuk menunaikan tugas tertentu menjelang upacara yang akan datang. Untuk keperluan ini diambil orang-orang dengan nama yang berarti "suatu kelebihan", umpamanya "monom bu (= banyak sekali ), karoho (= sentausa), tidaa (= tenang-knang di suatu tempat) dan mambuha (= subur). Orang-orang ini diharapkan - karena namanya -akan memberikan pengaruh baik terhadap kerbau, dengan menambah jumlah dan kekuatan, tidak pergi jauh dari rumah rnajikmnya, banyak beranak dan kelebihan-kelebihan lain. Mdarmuh mereka m e n v s adanga cukup air yang dikumpulkan dari ternpat-tempat kerbau minum dan dari desa-desa lain. Menurut Dr. Kruijt maksud cara demikian itu idah "agar air yang memberikan kekuatan kerbau di ;desa lain dapat juga menambah ke kuatan hidup kerbaunya sendiri". Karena perbuatan ini sedikit banyak adalah pelanggaran, mereka menyebut ha1 ini "mencuri air". Jika rnasih erbuka, keaempatan mereka memotong ujung ekor ;alah satu kerbau daerah lain untuk memin'dahkan tenaga yang berasal dari hewan tersebut ke air yang diambil. Pada waktu mengurnpulkan tanaman-tanaman ymg diperlukan dengan maksud agar supaya sifat-sifat baiknya dapat dialihkan kepada kerbau, orang-orang khusus mencari h a m a n yang berdasarkan namanya mempunyai sifat-sifatyang mengandung kekuatan vital. IX beberapa daerah bahkan ada p e r a t w bahwa pencari tanaman "obat-obatan " ini tidak boleh berbicara apa-apa, kecuali mengeluarkan suara tiruan uakm kerbau. Dari beberapa suku Toraja telah dikenal .&pa batu-batu kerbau (= watu baula, atau watu tedong) yang mengikat jiwa kerbau, oleh karena itu, perlu diberi sesajen pada waktu diadakannya pesta kerbau. Biasanya batu-batu jtu, ditempatkan tepat menghadap pintu masuk kral, sehingga kerbau yang mau masuk dipaksa berjalan melalui batu itu, agar supaya hewan-hewan tersebut kuat bertahan bagaikan batu. Untuk maksud yang sama digunakan pula batu-batu bulat yang sekaligus merupakan pusaka keluarga. Setelah panen selesai batu-batu tersebut digantung di lumbung padi. Selanjutnya, orang-orang berceri tera bahwa masih ada batu misterius ditemukan dalam badan kerbau atau badan hewan-hewan lain. Sangat mungkin yang dirnaksudkan itu adalah batu-
.
batu bezoar (= mutia, hamuru atau saxnuru). Menurut kepmayaan rakyat, batu-batu itu adalah pusat konsentrasi, oleh karena itu, daya hidup hewan (atau tanaman) terpusat di tempat batu ditemukan. Mereka mengetahui bahwa pada umumnya, menurut pandangan primitif tentang dam, batu merupakan benda-benda pusat kekuatan yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingannya sendiri. Lebih nyab keadaannya kdau seperti halnya dengan masdah macarn lain, karena peristiwanya menjadi kuat masuk perasam orang. Kegiatan persiapan pesta sesajen kerbau ini mencakup pula pemb u a h kerbau irnitasi. Beberapa barang ini dipancangkan di tanah tepat di depan pintu masuk kandang kral. Maksud peletakan kerbau imitasi krsebut ialah - menurut Dr. Kruijt - agar supaya seusai upacara jika digiring keluar kral kerbau-kerbau ini akan merobohkan kerbau imitasi dan menginjak-injaknya. Dengan perbuatan ini hew an-hewan yang bersangkutan akan mempunyai anak banyak. Selanjutnya, pada malam sebelum diadakan pesta, banyak "kerbau buatan" ini dibawa keluar desa dengan iringan upacara berulang-ulang dari Syamaan (imam) yang berkata: " h i adalah untukmu, para mahluk yang mati, janganlah kamu pwg ke tempat sesajen kerbau bersama kita besok pagi". Ruh mereka yang tahun lalu mati d m belum sampai selesai dikubur, m a t berkeinginan un tuk hadir pada upacara pesta kerbau hraebut, tetapi kehadiran mereka akan membuat keadaan kerbau-kerbau kini menjadi buruk. Oleh karena itu, orang-orang Toraja mengalihkan perhatian makhluk tersebut kepada "gambar " atau kerbau tiruan dengan harapan makhluk-makhluk tersebut akan puas dengan penggantinya dan tidak lagi mendekati kerbau-kerbau yang benar. &la segala sesuatu yang dibutuhkan dalam persiapan sudah h r kumpul dan semua kerbau sudah berada dalarn kral, para imam diberi undangan untuk melaksanakan tugas keimaman mereka di dekat kral. Fhh yang merasuk ke dalam imam (syamaan) ini umumnya tergolong pada ruh air, yang agak khusus krhubungan dengan kerbau-kerbau ini, karena kerbau-kerbau itu amat tertarik oleh air. Dengan perantaraan arwah air ini, arwah lain akan tertarik datang mendekat. Mereka &but satu per satu dan diminta agar hadir pula pada pengukuhan jiwa kerbau. "Datanglah kemari kamu yang ada di atas, usahakanlah tanaman padi kami berhasil dan kerbau-kerbnu kami heranak ban yak". Jika ruh tersebut sudah merasu k ke syamaan (baik lelaki atau perempuan), orang-orang di sekelilingnya menanyakan berbagai hal, yang biasanya dijawab dengan rnenjauhi masalah. Selanjutnya dibentuk harisan yang krdiri atav ielaki dan perempuan yang mempunyai "nama-nama baik ". Pertama, berjalan remaja Ielaki untuk mencari jalan di scla-sela kerbau. Kemudlan rlatang orang yan g rnel~mparkan bola-bola tanah k r u ~ l arah kerbau ";lgar kua! her!I pat k-1
ganda dan selalu berkumpul ddam kesatuan, bagaikan bola dan tanah hi". Sesudah orang tersebut, datanglah remaja perempuan membawa hak dengan air sesajen pembawa ke kuatan hidup. Kerbau-kerbau disiram dengan air tersebut, menggunakan kuas sirnbolik yang dibuat dari ikatan tanamamtanaman kuat untuk kehidupan. Menyusul para remaja perempuan meludahi kerbau-kerbau tersebut dengan obat Kemudian, orangorang la ki yang mernikul babi yang menggantung pada sebatang kayu, brjalan tujuh kali mengelilingi semua kerbau. Pada keliling yang ketujuh. babi dibacok di depan kral. Sebwan darah yang menyemprot keluar ditadah dan dimasukkan ke ddam bak air sesajen, sebagian lainnya disemprotkan ke a h kepala para yang hadir untuk lebih memperkuat kehidupannya. Sisa air sesajen kemudian dituangkan habis ke dalam kral atau di depan pintu keluar kral, sehingga nantj semua kerbau dapat menginjaknya tatkala meninggalkan kral. Setelah upacara tujuh keliling ini selesai, para anggauta barisan keluar kral, sedangkan kerbaukerbau tersebut masih tenang berkumpul dalam kandang. Oleh karena itu para pemibk menelaah apakah hewan-hewan rnereka sudah diberi tanda pernilik. Bila semua audah berldu , pdang-palang gerbang pen u tup krd disisihkan dan kerbau-kerbau digiring keluar, dan sekali lagi juga diikutsertakan berbagai macam upacara. Kemudian menyusul makan syukuran suci. Pada kesempahn ini disediakan pula makanan untuk para arwah. Pada beberapa suku, setelah selesai upacara kerbau-kerbau tersebut dibawa keluar ha1 untuk memasuki lapangan langsung mulai dengan membalikkan tanah. Peristiwa ini khusus diteliti, yaitu bagaimana cara hewan-hewan ini meninggalkan kral, dan dari cara itu k e m u d i disimpulkan apakah panen yang akan datang itu berhasil atau tidak, Oleh suku-suku lainnya kerbau-kerbau tersebut dikandangkan kembdi pada malam hari, dan begitu seterusnya selama empat atau tujuh hari berturut-turut. Dalam keadaan begini ini kerbau-kerbau dikeluarkan pada pagi harinya. Selama rnenjaga kral, para penjaga malarn tidak diperblehkan berada jauh dari kral. hkreka diharuskan pula mengikuti susunan makan tertentu. Setelah selesai kerbau rnengnjak-hjak tanah yang akan ditanami, diadakan lagi perayaan kedua yang lebih kecil, khusus bagi Eerbaukerbau tersebut sebelum dilepas sama sekali untuk mencari kesenangannya sendiri. Pada pesta kecil bagi kerbau ini pun ritus-ritus yang dipakai itu tetap berunsur magis animistis, dan semuenya mempunyai maksud un tuk memohon pangan dan kesehatw , menambah kethanan hidup kerbau agar supaya hewan-hewan ini dapat bertahan terhadap pengaruh-pengaruh buruk yang timbul ke tika kerbau-kerbau menggtlli dm membalik tanah, dan juga agar supaya kerbau-kerbau tersebut dapat melahirkan anak banyak.
.
Seperti telah diuraikan di depan, dengan usaha kerjanya, orangorang di M u , Tirnor Tengah, menyediakan satu ternpat dari batu-batu di dalam krainya untuk sesajen, y m g disebut serin. Biasanya di tempat paling bawah terdapat satu batu khusus d e n e n bentuk meh, yang dtunjuk oleh pemilik kerbau terdahulu sebagai batu baik yang dapat dikaitkan dengan jiwa hewan. Di tempat ini sajalah ditaruhnya sesajen. kdau mereka menduga akan datang rnalapetaka. Oleh karena bajak di Tirnor Tepgah tidak dikenal, pembalikan h a h pertanian dikerjakan dengan menggunakan teracek kerbau, yang plenginjak-injak tanah kian-kemazi atas ayunan tongkat para pekerja rarnbil diperkuat dengan kriakan-teriakannya untuk menakut-nakuti hewan-hewan itu, agar lari kian-kemari di seluruh tanah pertanian. Bila pekerjm wlesai, di serin (batu-batu tempat sesajen ) "dihidangkan" seekor babb Bersama ini ditaruh pula semua tongkat penggiring kerbau ditambah suatu wadah untuk air atau sebagai pengganti bumbung h b u . "Selanjutnya untuk kerbau-kerbau ini diadakm upacara seakana k a "memberslh kan" (be bas) pengaruh-pengaruh buruk yang mungkin ada padanya selama kerbau tersebut bekerja dj sawah. Untuk pel&aanarmnnya, seseorang berjdan mengitari kandang krd dengan membawa cabang berduri, rumpu t dan perak, selanjutnya menggosok-gosok badm semua kerbau. Ritus ini diperlengkap dengan menuangkan sekedar air, lebh baik air kelapa yang berasal dari wadah atau bumbung bambu, untuk mendinginkan badan kerbau dari panas yang didapat seIama bekerja, dm juga dengan rnaksud menyingkirkan pengaruh-pengaruh buruk. Kemudian tongkat-tongkat itu dikumpulkan kern bali dan digantungkan pada pohon "kosambi" oleh pemilik yang mengutarakan "rapal" untuk tidak meninggalkan tempat tersebut, apalagi masuk kembali kral untuk kemungkinan rnenyakiti dm mengganggu kerbau-kerbau yang bersangkutan ". Apa yang diberitahukan oleh H.J. Gryzen mempunyai relasi dengan M-hJ yang diuraikan oleh Dr. Kruijt tentang orangsrang Roti yang mengerjakan tanah untuk pertanian secara primitif juga. Sebelum mereka di sana memulai pekerjaanny a, kerbad-kerbau dikumpulkan dekat tempat pemilik membuka pesta kecil buat penggembala-penggembala kerbau. Pekerjaan ini dinamai "menurunkan tongkat atau cemeti untuk menggiring kerbau rnaju kerja". Untuk keperluan ini diadakan pula pemexcikan air dan penyebaran beras sebagai bahan "pendingin atau penolak bahaya" yang bekerja magis sebagai pembersih. Pesta serupa diadakan juga seusai kerbau-kerbau meiaksanakan pekerjaannya Pesta ini disebut "riiembenahi tongkat penggiring". Kemudian diadakan makm b e m a yang didhului dengan "memberikan santapan" kepada
gobang besi pembersih tanaman hama, dengan dipotong satu per satu sambil diusap-usapdengan jagung, y m g berarti menambahkan kekuatan hidup kepadanya.
Ritus upacara insidentil Telah diuraikan di depan, kejadian-kejadian yang timbuI secara kebetulan, yang oleh pemilik dianggap mempunyai peran mengganggu kesehatan ternaknya. Kemudian .oleh pemilik diambil tind+an magis preventif mengusir sangkaia yang akan menimpa kerbau-kerbaunya, terutama pada waktu transisi cara hiduy kerbau, umpmanya bila masuk atau keluar kandang kral, pergantim kandang hal, tatkala diadakan jual-beli pada waktu pernotongan kerbau dan sebagainya. Juga telah dibahas di atas pemberitaan Ik. Kruijt mengenai orang-orang Wkasar dengan bayangannya tentang pemanggilan summga (yaitu ruh hidup) kerbau untuk ikut dengan badan kerbau-kerbaunya tatkala keluar masuk kandang kral. Seorang (pemilik) yang hafal rapal tersebut berpendapat bahwa ia tidak akan mungkin kehilangan kerbau-kerbaunya, sebab kerbau yang hilang akan kembali sendiri, bila "sumanga" diucapkan dengan tepat. Telah pula disebut di depan keadaan di tanah Gayo, bahwa sebelum kerbau-kerbau dikirim keluar ke suatu tempat, lebih d h u l u diludahi air kunyahan sirih dan daun-daunan lain serta rerempahan (glasahi). Praktek ini adalah suatu tindakan magis terhadap orang dan hewan yang dikerjakan dengan tujuan untuk menambah energi hidup, atau menolak pengaruh-pengaruh buruk. Begitu pula halnya di Toraja Selatan, tentang pembersihan magis kerbau yang baru datang dari tempa t jauh. sang-orang membakar bahan jenis-jenis tumbuhm beraroma yang dianggap sebagai mempunyai khasiat penolak gangguan. Kemudian mereka menydurkan asap pembakaran tumbuhan tersebut melewati hewan yang dibersihkan. Tindakan ini disebut "mendugil aegala goda". I3 banyak lingkmgan di daerah Rmor ditempatkan suatu batu khmus di depan kral kerbau sebagai tempat memuja, mohon keselamab an bagi kerbaunya, seperti yang disebutkan di depan. Jika menurut dugaan pemilik, kerbau-kerbaunya sudah terlalu jauh mengembara dari kmpat tinggalnya, ia ,cepat mengambil tanah injakan klapak untuk dibawa ke batu tersebut, lalu dituangi sekedar air susu. Selanjutnya menurut kepercayaan pemilik, kerbau akan kern bali ke kralnya tepat p d a waktunya. Jika seekor akan beranak, pemilik menempatkan sedikit tanah injakan telapak kerbau betina yang bersangkubn di a b batu tersebut, ditambah dengan bem tumbuk dan bulu-bulu ayam yang disajikan sambil memanggil dewa-dewa. Kemudian kerbau dipercik dengan darah ayam tersebut setelah dicampur dengan tambahan air.
Mngenai cara berpikir dalam ketatatertiban dunia primitif, yang berhitan dengan rnasalah yang menyangkut diri orang atau hewan, dan ikut menguasai jalan pikiran tentang kehidupan yang akan mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi lucu, diantaranya pada jual-beli kerbau dengan adanya pertukaran tempat atau kral, dapat dilihat di halaman yang bersangkutan. Sampailah kita pada masalah Witis yang monyoroti hidup kerbau dan pemotongannya, jadi transisi dari hidup ke mati. Tepatlah kiranya untuk mengadakan upacara atau ritus magis, yang berkaitan dengan prakte k diera pemikiran magis. Jika see kor kerbau dipotong, orangorang Toraja rnenyiapkan keranjang dengan diisi sirih, pinang, tembakau dan kapur. Anggauta keluarga tertua sebagai pemilik kerbau menggerakkan keranjatlg tersebut tujuh kali ke kanan dan tujuh kali ke kiri ch atas kepala kerbau, sambil mengucap : "Saya memotongmu, tetapi saya hanya akan mengambil badanmu, agar supaya "tanoana" mau (energi hidup) tidak pergi". Kemudian ia letakkan keranjang tmehut di atas 'lingkaran bulu kepala kerbau" sebentar, kemudian mengangkat h i a n depan keranjang ini tujuh kali dengan jari manisnya. Ik.Kruijt berkata bahwa mereka seldu mengadakan gerskan-gerakan seperti ini pada tiap tindakan m a p dengan maksud untuk sedikit melonggarkan bmpat, termasuk diantaranya membebaskan energi hidup kerbau". Selanjutnya mereka membuang keranjang tersebut dengan ucapan "tanoana" mau klah berpindah ke keranjang". Satu bulu mata dan m b u t ekor hewan tersebut dibungkus dalam kain rnori, kemudian ditempatkan di keranjang itu. Rambut-rambut tersebut disirnpan baikbaik dan tiap kali ada kerbau yang dipotong, ditambahkan rarnbutrarnhut barn I@. PerluIls krsebut di atas menguraikan kebiasaan beberapa suku di 'I'uraja h a t , di bagian bwat dan b m t but Jhnau Poso, bahwa jika ada kerbau dipotong mereka mengadakan daya upaya untuk rnengelakkan pengaruh buruk yang diaebabkan oleh matinya kerbau tersebut agar tidak berallh pada ker bau-kerbau lainny a dari satu rom bongan. Oleh karena itu, orang-orang suku Rampig di Toraja mencabut bberapa rambut ekor, ubun dan kelopak mata kerbau yang akan dipotong. &h j u t n y a , ba&-bagian kecil -but dengan sengaja dijatuhkan di a&s hewan-hewan lainnya dari rombongan yang eama. Dengan berbuat demikian mereka berkab : "agar supaya kerbau-kerbau yang hidup tidak akan mencari temannya yang sudah mati, tidak jahat dan tidak menerjang orang dengan tanduknya". Sedikit daging kerbau yang dipotong y m g dicarnpur dengan sedikit nasi ditempatkan pada daun lalu diletakkan di Iapangan penggernbalaan hewan yang dipotong tersebut, dengan m a h d yang sama. Ada kebiasaan di berbqaj tempat untuk menempat-
kan sesajen seperti tersebut di atas pada pintu gerbang masuk kandang kral, setiap ada kerbau dari rombongan tersebut dipotong. I3 Timor Barat tiap kampung atau tiap keluarga mempiinyd rumah kecil khusua untuk menaruh sesajen bagi kerbau. DI sini disimpan juga beberapa bagian kerbau yang dipotong, yaitu tiga rusuk kanan, dua rusuk kiri, satu potong kecil kaki kanan dan juga kaki kiri, rambut alis h n a n , sayap hidung kanan dan telinga kanan : "Agar supaya jumlah rom bongan kerbau tidak menurun, agar supaya kerbau-kefiau tersebut melahirkan banyak anak". Timor Selatan dan bagian tengah yang tidak kita jumpai rumah khusus tersebut, orang-orang menyimpan bagian-bagian badan kerbau itu di lumbung padi. Jika sesudah beberapa waktu terkumpul terlalu banyak, orang-orang mengikat barang-barang tersebut menjadi satu, dibungkus dalam kain merah, kemudian memotong seekor ayam yang diperuntukkan buat Oesif Neno (pembina langit) dan Oesif Pah (majikan bumi), di dekat batu kerbau, kemudian ditempatkan bungkusan kain tersebut pada pangkal batang pohon.
Kepala kerbau Seperti yang sudah ditermgkan, orang-orang desa yang berpikir animis memberikan sirnpati kepda kerbau yang amat erat hubungannya dengan dia. Ia melihat hewan yang kuat dan mempunyai petalatan tanduk yang mengesankan, sebagai makhluk yang aneh, haik dalm kehidupan maupun dalam tingkah lakunya, yang terlihat penuh rnisteri. Ihri segalanya, baik dari segi ukuran, kekuatan dan keberaniannya, maupun dari segi lain-lainnya,tercermin ke kuatan yang tidak terhingga. Oleh karena itu , orang-orang primitif menduga bahwa lingkungan ekitarnya sudah diisi dengan energ kehidupan dan kekuatan magis sehingga mereka menganggapnya benar ada magm Asosiasi atau pikiran demikian itu ditujukan kepada kerbau juga. Bahwasanya orang-orang primitif itu berpikir sepenuhnya bahwa daya rnisterius tentunya ter&pat di d a l kepala ~ kerbau, dengan tanduk-tanduhya yang aneh, dapat dimengerti. Oleh karena hduk-tanduk hewen tersebut selama hidupnya merupakan dat istimewa untuk melindungi dan membela diri terhadap musuhnya, tentunya terbentuk perkiraan bahwa kekuatan yang tersimpan dalam hewan yang masih hidup, akan masih terdapat juga pada tanduk-tanduk tersebut, walaupun sudah dilepas dari hewm yang bemangkutan. Per kiraan ini didasarkan pedoman orang-orang primitif, bahwa suatu bagian makhluk akan mengikuti makhluk dalam keseluruhannya dan sebalifmya. Dengan kepala kerbau yang telah dipotong, atau hanya dengan menggunakan tanduk-tanduk s e w sumber kekuatan, orang sudah dapat mengerjakan suatu pengaruh magis, yaitu dengan memperkuat kekuatan sendiri yang ada atau
tom hanya boleh menusuk lima kah. Kalau kerbau belum juga mati, ia harus memukul mati dengan benda tumpul di Ieher dekat kepala. Bila tusukan pertama dapat mematik m , umum menganggap bahwa akan datang masa depan yang luar biasa dan cerah. Setelah selesai upacara pea& korban, semua pengunjung puiang. Kerbau yang sudah mati tetap tergeletak selama satu malarn dengan penjagaan. Menurut kepercayml mereka, jin-jin alam berkerumun mengelilingi bangkai pada m h itu untuk mengam bil bagian masingmasing. Pada e ~ o kharinya pernbagian daging kerbau dilakukan dan dinamakan "membagi sisa makanan sombaon." Pembagian ini dilakukan dengan ketelitian dm kecermatan menurut peraturan adat yang berlaku. Prof. Korn ymg menulis ha1 ini menambahkan pengarnatannya bahwa s e c m aklamarri orang Batak berpendapat bahwa pesta bius yang khas menyembah sombaon dengan menyajikan korban (peleon sombaon) ditujukan untuk memohon agar iklim y m g baik berhgsung terus dan kemakmuran dapat dinikmati, serta bencana kelaparan dan timbul nya wabah penyakit dapat ditiadakan. Permohonm lainnya adalah untuk mendapat hujan. Tiang pen~bantabn(borotan) dipersiapkan dengan cermat : mencari kayu, mengupm kulit , mengangku t , menghias dan mendirikannya disertai beberapa macam doa yang sudah tertulis rapi. Bila seseorang blah menemukan kayu yang cocok, dibakarlah kemenyan dan mengundang "kedatangan" ular-ular naga luar angkasa dengan pujaan-pujaan mereka di dunia. Kemudian mereka mohon kepada ketuhanan ymg tertinggi, agar yang di luar mgkasa t u n dan yang di b a d tanah naik. Di kampung, bagian atas tiang dihias dengan roda bertangkai empat, di atasnya l a diberi suatu wadah beriai ,,mbatua," yaitu campuran sihir dari perekat yang berasal dari burung berhidung pmjang. Dengan berlangsungnya pesta korban se bagai adat di tanah Toraja, perlu diketahui bahwa pesta-pesta sudah banyak diperlunak sejak permulaan abad k@-20 oleh Pemerintah Pusat seperti ymg telah dijelaskan oleh Dr. Adriani dan Dr. Kruijt whingga tidak lagi dapat diaeritakm sampai jauh ke akamya. Upacara yang khidmat pesta tersebut bertujuan untuk membersihkan masymkat dari "penularan penyakit menuju ajal " dengan pengertian membuang musibah apa saja yang berasal dari yang sudah meninggal, clan mern bina amah mereka menuju suatu kerajaan kehidupan dan cahaya. Pesta korban besar di tanah Toraja ialah pesta makan. Bila seseorang meninggal dunia, mayatnya dikubur, setelah satu atau dua haxi kemudian, &lam peti hrtutup rapat, berdiri di tempat penyangga (tambea), ditempatkan di luar kampung, sampai hari pesta kematian dikntuh. Pesta ini memerlukan pemiapan banyak. Faktor utama ialah apakah panen berhasil baik. Bebrapa kerbau hams ditangkap dari hutan,
agar untuk tiap mayat d+ediakan seekor hewan korban yang dipotong. Rumah pondokan bagi ratusan tamu hams dibuat. Oleh karena tingginya biay a y ang diperlukan, pesta kematian itu Cjuga bernama pembenah. m mayat) sering baru dapat dilaksanakan bertahun-hhun setelah kematian. Biasanya, sesudah panen, p oh yang mayatnya belum sempat dibenahi oleh para imam (tadu mburahe) dipanggil turun "menghadiri" peed.
Tibalah ,momen yang penting untuk berpesta. Para pengumpul tulang pada hari pertama pergi ke tempat penyimpanm mayat untuk membuka peti dan mengambil tulang-belulang y ang dianggap se bagai penjelmaan mereka y mg meninggal dengan berbagai macam keadaan yang dapat dilihat. Tulang-belulang ini diperkirakan sebagai aisa tunggal yang tak akan masnah, kemudian diberaihkan dari sisa daging yang maaih menempel dan disatukan dalam satu kotak untuk setiap mayat. Kemudian kotak hi dibawa ke "tonggalan" atau pondok mayat di pusat lapangan pesta. Kini meteka mempersiapkan amah untuk pergi ke 'lipu Iamoa:' yaitu tempat pernusatan semua arwah, dm bertemu dengan ayah-ayah yang telah mendahuluinya. Pengangkatan ini memerlukan eatu syarat : "tulang-beldang haru dibrsihkat~mutlak dari tanda-tanda kehidupan mereka dulu, rnisalnya bau sisa mayat yang sedang berubah. Selamaroh rnasih berbau, masih dianggap bahwa roh itu mash manusia. Penghuni akhirat tidak akan memperbolehkan mereka masuk ke sini," demikian ujar orang-orang Toraja. Setelah semua tulang sampai sebagai kiriman dan berada di pondok peak mayat, mulailah pekerjaan para imam mengharap amah untuk datang di tempat pesta dan mengantarkan ,denasah" dengan nyanyinyanyian ke "negara roh". Untuk menunjukkan perjalanan roh,kotakkotak tulang diarak dan diiring berputar-putar beberapa Mi. Dengan selesainya pestm ini, telah terselenggarakan puldah perpisahan. Bila tamu-Wu sudeh pergi, bungkusan h r i s i tulang dibuka isinya dipindahkan ke dalam peti khusus dm dibawa ke gua di bukit kapur untuk diserahkan kepada lingkungan dm. Gua serupa itu dianggap oleh orang-ormg Toraja sebagai pintu gerbang ke dam baka di bawah tanah. Ormg Taraja timur yang menghuni bagian barat menamakan pesta seperti ini "mompe-mate," yang menghuni bagian timur "motengke." Beda mokngke terletak pada tempat penyelenggaraan, yaitu pon dokpondok buatan di pura desa, dan peserta yang membuat "pemia" atau topeng pesta mati dari kayu ymg diletakkan pada bungkusan tulang masingmasing. Motengke berlangsung selarna tujuh hari, aedwkan "mompe-mate hany a tiga hari.
Puncak upacara addah pesta. Di suatu l o h i di luar lapangan pesta mompemate, diikat seekor kerbau pada tiang Siapa saja diperbolehkan menghajar kerbau yang tidak dapat bergerak ini dengan ayunan pedang atau tusukan tombak sampai kerbau itu terjatuh. Biasanya orang bertindak lebih dari itu dengan memotong otot achilles kerbau itu agar bila kerbau masih kuat untuk melepaskan diri dari tiang tidak l q i mampu menyetang orany-orang yetng menyiksanya. Bila Warn mompemak digunakan seekor kerbau (juga untuk orang yang meninggd lebih dari satu), dalam motengke lebih banyak kerbau yang dikorbankan; bila mungkin, untuk eetiap oman# yang sudah meninggd digunakan seekor ker bau. Orang-orang yang berkepentingan beramai-ramai menuju lapangan pesta yang sudah dilengkapi dengan kerbau yang terikat. Bungban-bungkusan yang berisi tulang dibawmya ke situ oleh para wanih untuk diserahkan kepada para "monda" yang berpakaian indah sambil menghimpit bwkusan pada tangan kui, berlari kencang dengan membawa pedang terhunue di tangan kanan, menuju hewan-hewan yang sudah tidak krdaye itu, untuk mernbantainya. Di beberapa tempat bahkan terjadi adanga wanita pembawa bungkusan itu yang seperti kesurupan ikut membmtai hewan-hewan yang bemngkutan. Semua lelaki dan remaja lelaki yang memberanikan din i kut pula membantai dengan menusuk ketbau tanpa ampun, ~ h i n g g asemua kerbau "menyerah" sambil bergelimpangan. Dari salah satu hewan korban, darah diusapkan pada wanita pembawa bungkuaan itu, yang kemudian mengusapkan darah tersebut pada topeng atau hneka yang blah disediakan. Selanjutnya, para wanih itu menerima kembali bungkusan dari para lelaki, untuk meneruskun ke beberapa pondok pesta dan nunah di desa sehingga amah dapat mohon diri dari kerabat dan kawan-kawan. Bagi orang-orang y ang audah meninggal blah disediakan sirih-pinang dan sebungkus beras yang digotong dalam arakan. Kejadian ini mmgakhiri upacara dalam ritus "putus hubungnn" antara mereka yang sudah meninggd, Warn kaitan' sosial religi, d m mereka yang man* hidup, dengan cara dmai clan a h b . Di daerah perbu!dhn seldtar Poso, misalnya Bada, Napu, Besoa dan Tawailia, serta l o h i Toraja thur dengan penghuni Mori, corak gesh berbeda, tetapi tetap berpokok pada dogma bahwa tulang-Mmg orang yang meninggal dapat dipakai ee bagai perantara untuk mem bawa roh orang yang meninggal itu ke lokasi roh untuk aelama-lamanya, Bila dibeberkan pelrta kematian eksklusif orang-orang TorQa, kite akan berpikir pula tentang masalah yang eama mengenai orang-orang Toraja bagian selatan, di eekitar daerah aliran sungai Sadan. Mereka adalah o w o r a n g gunung yang menempati lembah ,Rank ~ a dan o Makale dengan kultm kematian y ang tinggi dan rnernbudaya secara baik, Peata mati dinamakan "mar0", dm berlangsung selama beberapa minggu,
.
.
bahkan kadang-kadang sampai be berapa bulm Biasanya upacata ini dtsertai keriuhan dan dimerihkan oleh tuak, yaitu anggur palem. Pernkrsihan mayat, yang dirnaksudkan un tuk mengalihkanroh dari orang yang meninggal ke tempat tinggd roh, di sini berbeda dengan di daerah Poso. Di sini mayat dibuat menjadi mumi yang dibalut kbal agar menjadi- kering. Mayat orang kaya d i m dalarn gaya duduk di kamar tamu. Bila mayat akan dishpan lama di rumah, setelah dibdut
mayat disimpan dalarn peti dengan atau tanpa tutup. Sebatang bambu y ang menghublulgkan dasar peti a& mengalirkan cairan mayat keluar peti dan ditadahi dengan penampung khusus di bawah peti. Pipa bambu
lain ditancaph menerobos dinding peti dm diarahkan keluar rumah agar gaa yang keluar dari mayat dapat dilempar jauh keluar dari rnayat. Mayat diusung ke m a k m . Bagi orang kaya, penguaungannya dikkukan dengan upacara. Iringan pelayat dikelilingi oleh masyarakat yang menari-nrui d m bernyanyi. Paling depan adalah orang-orang bergaya prajurit, dengan seragam mewah, berpici khas yang terbuat dari rotan y m g di depannya terdapat basan dari kuningan berbentuk tanduk kerbau. Kemudian tiga ekor kerbau dituntun yang dihiasi beraneka ragm pada punggungnya. Kerbau-kcrhau ini diberi nama tondi tapasao, parepe dan tulag bolakahan Di ujung tanduk kerbau-kerbau itu dihncapkan lapisan bulat yang terbuat dari emas (tanduk bulawan). Di pding belakang barulah iring-iringan usungan mayat. Iringan ini brdiri ataa janda dan anak-anak orang yang meninggd. Mereka addah yang menjaga mayat. Mereka didudukkan di atas tandu yang diselubungi kain hitam agar "tidak kelihatan" roh orang yang meninggal yang masih ditetahui. Di belakang mereh adalah para wanita dengan ikat kepala dan dandanan khusus untuk pesta kematian yang menangis sepanjmg jalan karena duka. Paling belakang adalah mayat yang diusung dengan didahului boneka ~ Y (tan-tan) U sebesar orang diberi pakaian untuk mewujudkan orang yang meninggal itu. Barisan pemakaman ini menuju makam gua batu karang dengnn term yang diperuntukkan bagi boneka orang yang meninggal tersebut. A. Grubauer mempunyai garnbar-gambar bentuk makam d m perumahannya. Puncak pesta kematian di daemh Sadan adalah pengorbanan bagi kerbau (sampai puluhan) di "pantunuan" (tunu lapangan tempat herkumpulnya hewan). Kerbau-ketbau ini diikat dengan tali rotan tebal pada tiang korban untuk kemudian dipotong. Proses ini diselenggarakan selama mayat masih ada di atas tanah dan belum dimakamkan. Di pusat pesk disedinkan pondok-pondok untuk pam tamu. Disamping itu dibuat pula pondok h g g i dan kuat untuk menempatkan mayat. Ada pula "bdakayan" atau tempat rnakanan untuk rnernbagi-bagi d a i n g dan hewan korban kepada para tamu. Pembagim dilakukan dengan cermat menurut peraturan. Penyimpangan, yang disengaja atau tidak, akan me-
nimbulkan kekacauan dalarn urutan penyebutan nama-nama penerima y ang dapat dianggap sebagai penghinam. Pada pesta kematian orang pen ting terdapat kerja berat yang harm dilakukm yaitu membawa batu-batu dam yang masih kasar ke tempat pesta untuk ditanam. Kegiatan ini disebut "simbuang". Batu ymg setinggi dm sebeaar orang itrl berfungsi hanya sebagai peringatan terhadap orang yang blah meninggal, bukan sebagai penghormatan. Pada tiap ba tu dipancangkan tiang kayu terpilih untuk mengikat kerbau yang akan dipotong. Warna kerbau yang akan diikat di sini dipilih, Bagi mayat rakyat jelata tidak ada batu pilihan. Batu-batu yang dipilih itu berbentuk lurus memmjtmg dan bila ditegakkan mengingatkan kita pada batu-batu monolit dari Bretsgne - disebut "Menhir" - yang merupakan tanda-tanda sisn kebudayaan kuno megalit pra-sejarah yang arnat menarik perhatian, baik di Indonesia (sepertj Sumbawa, Flores, Roti, pulau-pulau di sebelah barat Sumatra, mis. Nias, dan juga Jawa), maupun daemh Assam dan Birma Barat, yang mempunyai kultus kematjan. Pada hari pertama ritus, pemotongan dua ekor kerbau, "parepe" dan "tulag balakaym", dilakukan lebih dulu dengan cara yang mengerikan. Daging kerbau parepe, yting dianggap berhubungan dekat, tidak boleh dimakan oleh anggota keluarga orang ymg meninggal, kwena ada kepercayaan bahwa roh orang yang meninggal itu menunggang kerbau ini keluar kampung untuk kemudian berganti kerbau lain yang diberi nama "tandi rapasan". Sebelum sejumlah kerbau (sampai 60 ekor atau lebih) di korbankan dan dipotong, hewan-hewan ini diadu kekuatannya. Dalam karangan yang ditulis pada tanggal 16 Januari 1948 tentang "Pesta kcmatian oleh orang Sadang Toraja" dalam majdah "Oost En West" diuraikan: Dengan sorak sorai yang riuh, dua ekor kerbau diadu, dengan mengadu kepala beberapa kali. Kelanjutannya bexbeda dengan adu sapi, sebab tidak lama kemudian salah seekor kerbau itu lari mengitari lapangan. Kejadian ini mengawdi pemotongan kerbau setelah ditangkap. Seorang yang terpilih mengangkat kepala kerbau dengan menarik cincin hidung, dan dengan gagahnya mengambil parang yang tajam dari sarungnya untuk membuat lubang pada leher kerbau yang tidak menduga apa pun, dengan sekaii sabet. Langsung terlihatlah adegan berdarah yang mengerikan erta rnemuakkan, sebab kerbau tersebut masih berjalan sempoyongan dengan mengalirkan darah dari aorta leher. Akhirnya kerbau ini mati lemas, rebah terkulai pada lututnya d m menggeletak di tanah. Menjelang rebahnya kerbau itu, dari b e r b w penjuru menghamburlah anak-anak lelaki yang membawe potongan bambu menuju kerbau dan menusukkm bambu-bambu tersebut ke dalarn Iubang pada leher kerbau untuk menampung darah kerbau sebanyak mungkin. Keadaan yang menunjukkan anak-anak berebut tempat dan bergumul di sekitar kerbau, yang me-
nyemburkan darah dm kerbau, dengan lumuran darah dan kepda Sampai jari kaki, merupakan hal yang menampar. Dalarn waktu singkat kerbau ini sudah dikuliti dan dagingnya dipotong-potong dan dibagikan kepada para tarnu. Suasana demikian rnerupakan pertunjukan 6eharihari yang monoton, terns berjalan sampai jumlah kerbau yang disediakan "habis terpakai ". Kita alihkan pembahasan kite pada keadaan suku Dayak di Kalimantan, suatu suku yang ddam adat istiadat mirip sekali orang-orang Toraja dari Sulawesi Tengah. Meskipun demikian, cara mereka mengumsi mayat berbeda-beda menurut bagim-bagian suku. Pada semua suku, hajat utama addah pesta kematian yang rnerupakan pesta paling besar. Orang 010-Ngaju, anak suku terbesax di Kalimanh Timur bagian selatan, rnenamakan pesta ini "tiwal", oleh orang Maany an "ijambe", orang Dusun "waral" atau "bukas", orang Ot Dmum "daro", di Kotawaringin "oyah", di Maanyan Pantai "marabea" dan sebagainya.Persiapan pesta ini memakan waktu yang lama, oleh karena itu pesta kematian diselenggarakan sekaligus un tuk banyak orang. Di sini pun arti pesta kematian tidak berbeda dengan yang diselenggarakan oleh orang-orang Tomja. Orang-orangdi dunia dan mereka yang sudah meninggal di akhirat, untuk s e m e n h berhubungan lagi secara erat untuk menghmilkan penguahn tenaga hidup bagi manusia,h~wan dan tumbuh-tumbuhan. Tujuan lain adalah membantu roh orang Fang meninggal melepaskan diri dari i k a h darn duniawi dm berpindah ke alam bahagia. Untuk mendapatkan jalan ke arah itu, mutlak diperlukan bantuan dari para imam lelaki yang disebut "basir" dan imam perempuan yang disebut "balian" yang bersama-sama dm terns-menerusmenyany ~ k a nlagu litani dengan kisah "pindah hidup". Oleh orang 010-Ngaju "sangiang", danyang atau wali utama yang mengurua perjalanan pindah hidup ke alam baka disebut "Tempon Tebor", oleh orang Dayak "maron" yang membereskan "lian" atau roh untuk berjalan ke "lewu lian" atau darn roh. Oleh orang Olc-Ngaju, mayat disimpan dalam peti mati (raung) di rumah atau di dekat rumah sarnpai waktu perayaan pesta kematian. Kemudian, mayat ymg sudah hancur a b u setengah hmcur dengan khusuk dipindahkan ke "sandong" yaitu peti besar yang m e a h dan dikiasi dan terbuat dari kayu h s i (lebih kuat dari kayu jati), yang ditempatkan di atas tiang-tiang dj tengah hutan. Lingk~nganhi adalah pemahaman keluarga Dayak. Semua harta benda yang hendak dilimpahkan kepada yang mati ditempelkm di sekelilhg peti itu. Barang yang amat berharga diiku t kan d a l m ben tuk tiruan, bukan aslinya. Oleh karena perayaan hari "tiwal" itu dimeriahkan dengan pengg u n m tuak, biasanya pesta tersebut berubah rnenjadi hari mabokmabokan Seorang aaksi rnah menulis kejadian ini sebagai berikut :
.
"Seorang 'bdian' bersama para anggclta keluarga rnemanggil banyak arwah dari kalangan mereka deggan suara dm nada yang mencekam. Bila anvah ini sudah datang, para pengunjung kramai-ramai menuju lapangan perayaan untuk pem berian sesajen berupa hewan yaitu ayarn dan babi yang sudah diaembelih, dan acara puncak yang menarik adalah giliran pembeiian sesajen kerbau. Hewan-hewm ini diikat kuat-kuat dengan tali rotan pada tiang pembantaian, dilanjutkan dengan majunya orang-orangyang berani untuk berebut menusukkan tombak pada hewan itu. Sesudah kerbau menjadi kumng berdaya, tindakan serupa diarnbil alih oleh orang-orang lain. BiIa kerbau sudah mati, dipotong-potonglah dagingnya menjadi banyak bagian dan dibagikan kepada para tarnu. Akhirnya semua peserta berlumuran darah kerbau, termasuk anggotaanggota keluarga orang yang meninggal. Selama hi para tamu menikmati tunk sepuas-puasnya, dan oleh karena itu mereka menjadi mabok melampaui batas. Inilah akhir dari pesta itu. Bukanlah tempatnya di sini untuk menguraikan secara panjmg lebar cara-cara perayaan serta kematian yang amat beraneka ragarn di kalangan orang Dayak. Walaupun demikian , terdapat kekhususan pada upacara kematian orang Olo-Nguyu, Dayak Maanyan Siung. Bila hari pesta kematim (ijambe) tiba, berdatangmlah mereka dari dekat dm jauh membawa peti berisi tulang-tulang yang dikumpulkan dari tempat penyimpanan sernentara. Di tepi deea, tulang-tulang tersebut dibersihkan dan dipindahkan ke peti lain yang ban. Berdasarkan kelaminnyer, tulang-tdang tersebut dipindahkan ke "tam bag" atau "pandm ". Kuku d m rambut dikumpulkan pula berdasarkan kelamin dan disimpan dalam bokor yang disebut "rapu". Jika para imam wanita telah menyanyikan lagi lagu pengantaran arwah ke dunia akhirat, pada hari kedelapan, yang dianggap sebagai hari tibanya arwah di tempat tujuan, diadakan pembakaran sisa-sisa mayat. Sebelum pembakaran ini, diadakan pem bantaian kerbau-kerbau. Pertama-tama yang diIakukan adalah menyayat kulit kepala bagian depan setiap korban, kemudian di sini disjsipkan sedikit material "rapu" pada antara tulang dan kuIit. Tidak diketahui untuk apa maksud tindakan ini. Dr. H. Scharer menuliskan keadaan menonjol yang pertarna dijumpainya kalnu ia masuk kampung Dayak, yaitu "kampatony" atau patungpatung yang terbuat dari kayu khusus dengan mata yang menatap orang yang memandangnya, dari puncak tiang kayu besi yang dipasang di sepanjang tepi jalan. Pembuatan d m pemasangan patung-patung tersebut adalA salah satu bagian persiapan pesta kematian. Maksud utama pemancangm "tiang kematian" adalah "untuk menampakkan nenek moyang", tetapi dapat pula dianggap sebagai "momok" bagi khalayak ramai tentang bencana atau muaibah yang akan menimpa. "Pmtar" (tiang kayu ddarn upacara) ini, yang berbentuk pada puncaknya sebagai
"burung bekantan", mengisahkan keberhasilan prowa pemancungm kepala (orang), se bagai tiang yang digunakan untuk mengikat korban , yang sekarang hewan (hewan, sapi) tetapi dulu orang, untuk dibantai. W .C. ten Cate dalam penguraian mengungkapkan pmta-pesta pengorbanan temebut dari beberapa s u h Dayak di panbi barat Kalimantan tidak kalah kasamya daripada di pantai tenggara. Hal ini dibuktikan dengan pesta kematian di lingkungan Melawi (Sintang). Upacara dimuI r i dengan mengikat hewan korban, kerbau dan sapi, dengan tali yang kokoh pada timg lurus yang dihinsi dengan m a - w a m i . Kemudian disusul tarian kel.iling tiang oleh orang-orang lelaki dm perempuan. Gairah tarian lambat laun meningkat, menyebabkan para penari menari kegila-giIaan, khususnya wanita yang tak darkan diri dm mendorong diri untuk menari di aha kobaran api h y u - h y u yang rnaaih membam aampai terjatuh dan mati. Sernentara itu, para kerabat terdekat orang yang meninggal menyandang senjnta tombak pmjang dan berkumpul di sekeliling hewan-hewan yang akan dibantai dm menjadi gelisah karena rrrmainya tarian. Sttkonyong-konyong menancnplah ujung tombak di kaki klakang bagian a b kerbau, menyuau1 kemudian pengucuran dm&. Hewan yang disikaa ini meloncat, tetapi penyerangnya blah undw sejenak, s e d a n g b tali pengikat tidak memungkinkan hewm membuat berbagai gerakan, kecuali hany a mengelilingi tiang. Melah lemparan pertama ini ,para lelaki dan wanita mengambil tom bak mmingmasing dan melemparkannya kepada korban. Penulis rnengungkapkan kelanjutannya aebagai berikut : 'Terlihatlah pesta bermandi kan darah, karena tanah rnenjadi lumpur bdarah, di tengah-tengah tangis keharuan anggoh keluarga. Kemudian berubahlah pertunjukan ini. Orangorang bermandikan darah dengan menari dan bergelimpwan di kubangan darah. Anak-anak dan bayi dibawa untuk ditaruh pada kubangan darah ini. Semuanya berubah menjadi ganas d m kotor yang menegakkan bulu roma orang-orang luar yang tidak terbiasa melihatnya, dm mengubah mereka untuk tidak sudi lagi melihat, dan dengan ketakutan berebut lari keluar. Semua orang kgak di a h darah, hampir Bemua melakukannya. Ada beberapa kekecudian, yaitu para wanitn muda yang lari keluar. Bila dalam perjalanan lapangan ini dilewati, tiang-tiang korban yang terbuat dari batu yang ditemukan di Kuhi Lama IKalimantan Timur) itu hrlihat sebagai kenangan peninggalan. Pada "menhir" (batu megal? kgak lurus) tidak terdapat tulisan apa pun, sehingga arti adanya tidak diketahui dengan jelas. Hal ini berbeda dengan tiang-tiang korban lainnya di Kalimantan, yang bertuliskan "yupa", kata h k r i t yang berarti tiang pe-ngorbanan. Menurut Prof. H.Kern dan hf J. Ph. Yogel, Yupa setinggi 1 - 2 meter itu beraeal dari abad pra-fiejarah, + 400 tahun sebelum Maehi, bertuliskan "Pallawa ", dit e m u h pada tahun 1879 seba-
.
nyak 4 tiang dan pada tahun 1940 daerah Veda) di tulis &am bahaa jaman Veda Muda, ke dalam b "Brahmans", dalam bentuk prom berbagai ritus k o r b hewan di y~ a n h n y a A. eakchu yang lebih manb-mantra yang tertulis dala pohon, memancangknn kayunya c keadaan luar biasa, untu k mengen ganti dengan eimbol peringatan d T9rdapat kemungkinan besar orbanan Veda, Angami dan Naga Rof. Heine Geldern menulis : "Rt ymg berdasarkan bukan fisik keber Walaupun demikian, mmih terdap tuk akibat kronologis, ymjj rnasih budayaan orang 'Arier' Veda, ata rnunduran keadaan pra-sejarah, : diparttikan jawabannya." Jika posisi suku Ngada, suku jutkan dengan su ku-suku yang sat1 nya, seperti di Riung, Nagen, E ekspresi sistem jaman megalit mi Pater P. Arndt membuat k q a tu dikemukakan bahwa monumen-n temyata sangat menyolok, baik d Dr.A.N.J. Th.a Th.van der Hool semua teori yang dilontarkan oleh jaman megalit pra sejarah sebetuh sebut di Flores dalam tata hidup alat-alat batu yang terdapat pada pertama kita masuki, tetapi masil Rarik perhatim. Ada juga benda " dapat di tengah lapangan - p mengenang pimpinan kelompok c lebih beear, dengan demikian bila 1 kelompoknya, a h n dijumpai be be^ mati itu harus dihormati. Oleh k kan thg-tiang ngadu untuk mend dibangun "pepunden" yang berul atau "baka" untuk mengenang nen semgkai "ngadu dan baga" dibua yang berdiri tegak l u w di ataa ta I
nyak 4 tiang clan pada tahun 1940 tiga lagi. Upacara ritus Vedis (daerahdaerah Veda) di tulis Warn bahasa Veda, tetapi akan diubah dari teh jaman Veda Muda, ke dalam bahma yang dapat dimengerti, yaitu "Brahmans", dalam bentuk prosa. Dalam pesta korban ini ditunjukkan berbagai ritus korban hewan di yupa, ymg berasal dari kayu Acacia* di antaranya A. catechu yang lebih disukai. Semuanya dkerjakan dengan mantra-mantra yang tertulia dalam buku (dari India) untuk mencari pohon, memancnngkan kayunya dan membmtai hewan korban. Ddam keadaan lusr b i m , untuk mengenang k e b e w a n peek korban, yupa diganti dengan simbol peringatan dari batu. T d n p a t kemunghnan beear adanya persamaan antara ritus pengorbanan V d a , Angaqi clan Naga di India bagian barat. Dalam ha1 ini Prof. Heine Geldern menulis : "Rupanya pemamaan ini meliputi hal-ha1 yang berdasarkan bukan fisik kebendmnnya, tetapi justru ide pmipnya. Whupun demikian, mmih terdapat pertanyam, apakah ide ini terbentuk akibat kronologis, yang mash belum pasti, yang mempengamhi kebudayaan orang ' h e r ' Veda, atau hanya suatu perubahan bentuk kemun duran keadaan pra-sejarah, yang untuk sementara belum dapat dipastikan jawabanny a. " Jika posisi suku Ngada, suku pegunungan di Flores Tengah, dilanjutkan dengan suku-suku yang mtu dengan yang lainnya erat hubungannya, seperti di Riung, Nagen, Ende d m Lian, di drrerahdaerah ini ekspred sistem jaman megalit masih tampak jelas. Pada tahun 1932, Pater P. Arndt membuat karya tulis tentang ha1 ini, yang di ddarnnya dikemukakan bahwa monumen-monumen batu di d a e d sekecil itu hrnyata sangat menyolok, baik dalam bentuk maupun dalam nrtinya. Dr. A.N.J. Th.a Th.vm der Hoop menuls pendapatnya bahwa hampir semua teori yang dilontarkan oleh ahli-ahli arkeologi untuk menjelaskan jaman megalit pra sejarah wktulnya dipraktekkan oleh suku-suku tersebut di Flores dalam tata hidup megalit baru di sini. Bukanlah hanya alat-alat batu yang terdapat pada "pintu gerbang" d e ~ adi Ngada yang perhna kita masuki, tetapi mash ada benda-benda lainnya yang menarik perhatian. Ada juga benda "ngadu", tiang kayu korban yang terdapat di tengah hpangan - pusat desa - yang dibentuk untuk mengenang pimpinan kelompok orang-orang ganas. Di kampung yang lebi hesar, dengan demikm bila banyak kelompok seperti itu serta sub kelompoknya,a h dijumpai beberapa ngadu yang berjajaran. Roh orang mati itu hams dihormati, Oleh karena itu orang-orangNgada mendirikan tiang-timg ngdu untuk mendiang nenek moyangnya. Di sebelahnya dibangun "pepunden" yang berupa rumah basa yang disebut "baga" atau "baka" untuk mengenang nenek moyang mereka. Untuk setiap dua serangkai "ngadu dan baga" dibuat pula suatu "peo", yaitu batu besar yang berdiri tegak lurus di a t . tanah tempat diikatnya kerbau korban
yang akan dipotong. K h i lengkaplah p e r d a b baga, ngadu dan peo yang berdiri sejajar daIam satu garis horisontal, dengan ngadu di tengah. Bukan setiap pohon dianggap baik untuk digunakan sebagai tiang pengorbanan dan untuk pusat "bersemayamnya" nenek moyang mereka, karena pohon itu hams dari jenis kayu tertentu, setinggi okang, bercabang sebagai garpu. yang oleh rakyat setempat dinarnakan "tanduk!' h ~ n digbawah percabangan ini diukirkan ke dalam pohon gambar "muka orang" dan di atas gambar ini dibuat lubmg untuk memasang ikatan tali hewan korban. Di atas tiang-timg setinggi I - 1% m dibuat atap dari almg-alang h r b n t u k kerucut. Ujung kerucut dilengkapi himan berbentuk jago dan di bawah cukilan dengan gambar orang pada tiang pengorbanan dibuat pula lukisan beraneka ragam, tetapi gambar jago addah yang terbaik. Orang-orang Naga di sebelah timur Ngada juga memiliki tiang pengorbman yang bercabang seperti garpu tetapi tidak diberi atap. Lebih ke tirnur lagi, didnemh Lio, tiang temebut pada ujungnya diberi bentuk perahu kecil dari kayu yang berisi brrtu ceper aebagai bmpat meletakkan sesajen. Di Sumba juga terdapat tiang pengorbanan bercabang garpu, disebut "andung". Apabila akan dibuat suatu ngadu lagi, perlu diadakm upacara dengan mengorbankan beberapa ratus kerbau. Bila pohon yang bpat sudah dipotong d m dikuliti, tiang ngadu diarak oleh penduduk desa dakm suatu iring;-irinpan pesta yang khusuk. Pada waktu itu ngadu diletakkan di a h tandu kayu dm dipikul oleh para lelaki. Tatkala memotong h e m , secara bergiliran hewan-hewan korban itu diikat pada tiang ngadu dulu, kemudian dibantai dengan tusukan tombak dm pukulan parang. Darah yang keluar ditampung dalam rumrum bambu dan juga untuk membasahi tiang pengorbanan. Tidak lama kemudian lapangan pusat desa ini di sekeliling ngadu menjadi penuh dengan kerbau rnaci. Para remaja berdatangan untuk menunggu dimulainya pesta porn yang diadakan dalarn peristiwa ini. Semua tanduk kerbau dipajang sebagai kenangan kebewan di depan rumah pendiri tiang ngadu sebagai p e m y a h kekayaan penghuni rumah krsebut. Pater P. Arndt menceritakan kebiasaan p endudu k daerah Riung, Flores Tengah, bahwa pemegmg perm dalm pesta tiang ngadu ini, selama bulan pesta dilarany bekerja di lapangan, la@ pula tidak makan daging kerbau, kuda, kijang dan kera. Ketika tiba waktu pembantaian hewan korban, pemegang peran tersebut bemama ktriny a hams terus menenu tidak tidur eelama tiia malam di dalam gubug yang khusus didirikan. Untuk maksud tersebut mereka memukul gendang dan gong sambil menyanyi dan menari. Setelah tiga hari, timg ngadu selesai didirikan d m kepadanya segera diberikan nama dari salah seorang kakek.
Di berbagai tempat, di mana pun dijumpai, kelompok tiang pengorbanan ini selalu dilengkapi dengan nama brkntu, Pats tiang pengorbar~andi Riung ini mempunyai perm khusus, yaitu bahwa orang yang rnendirikan tiang itu dianggap sebagai kerbau. Orang -orang di eekitarnya bertindak juga seperti kerbau. Pem bantai perW a mendekati pendiri tiang dengm menggerakgerakkan tangan dan lengannya s e h - a k a n hendak membantai sbekor kerbau. Pendiri tiang yang menjadi "kerb&" itu harus menirukan tabiat kerbau, yaitu dengan membidikkan "tandu knya ", mengelakkan diri , berlindung diri dan sebagainya. Bahwa pertunjukan ini tidak boleh dianggap sebagai lawakan belaka, akan ternyata dari kenytltaan bahwa orang suku Ngada itu percaya pada anggapan adanya pengaruh timbal balik mtara nasib orang dan kerbau, BiJa pertunjukan ini berakhir, dibawalah kerbau yang selama beberapa hari ditekan kepalanya menghadap tanah dengm sebatang barnbu yang terikat, ke depan untuk kemudian dipotong dengan secara khusuk selalu dipanggd-panggil nama nenek moyang. Lelaki dilarang makan d w n g kerbau ini, hanya wanita yang &pat menikmatinya. Sebagai gejala yang Was idah ditemukannya penggunaan tiang pengorbanan dan batang kayu bercabang garpu sekarang ini pada sukusuku pegunungan Assam dan Birma. Semula kayu-kayu tersebut digunakan sebngai tiang pengorbanan dan untuk mengikat kerbau dan sapi korban, tetapi kini masih dijumpai pada suku-suku Garo, Naga dan Kuki. Biasanya, pemakaiannya dimaksudkan sebagai tugu peringatan, dengan satu Hang untuk seekor kerbau. Orang-orang Katsyari yang blah lebih maju kebudayaannya, pada jaman dulu mengpnakan tiang batu untuk keperluan tersebut di ibu kota Dirnapur yang dihancurkan pada tahun 1636. Para peneliti menganggap wajar tentang dugaan adanya sangkut-paut kebudayrran jaman megalit antura Nusa Tenggara Tirnur dan India belakang. Bila orang-orangNaga menganggap perlu didirikan tiang pengorbanan (peo) baru setelah bebrapa waktu, diadakan pesta besar. Baron B.C.M.M. van Suchtelen sebagai penonton pests itu, pada tahun 1919 rnenulh laporan pandarigan mata. Juga G. Beker, yang menonton peata yang serupa beberapa tahun sebelumnya, menamakan pesh itu sebegai pesta terima kasih mereka terhadap panen padi dan jagung yang blah berakhir, juga eebagai hari berdoa agar tanaman memberikan hail yang sama di masa mendatang, sambil mengundang arwah nenek moyang mereka serta menyediakan makanan. Inti pesta serupa ini terletak pada adu kerbau, mendah-dui pesta pora pengorbanan. Peak ini bu kan pertunjuh seperti fang dijumpai pada o m g Sadan (Toraja) yang mengadu kerbau calon korban, melain-
kan orang-orang pelawan kerbau yang agak rnirip pergulatan "toreador" dengan banteng aduan di Spanyol. Perkelahian manusia dengan kerbau jauh daripada sportif, karena sudah diatur iebil~dulu, bah wa pihak pertama hams menang dan si kerbau harus dibunuh. Seluruh Jaimnya pergulatan dan acara khidmat itu lebih berupa ritus pengorbanan daripada pesta rakyat pada umumnya. Pesta ini diselenggarakan di desa utama suku Naga di lapangan yang dikelilingi oleh pagar batu yang di dalamnya terdapat makam ncnek moy ang. Di tengah didirikan peo. tiang kay u un tuk sesajen, bercabang seperti garpu, s~tinggi2 - 3 m, suatu tanda penghormatan hi para nenek moyang. Di sekeliiing lapangan ini berdiri rumah-rumah desa. Un tuk rnenjaga agar kerbau-kcrbau yang akan dibunuh sesuka hati dengan cara penyi ksaan itu tidak menyerang penonton, sebgian lapangan rl~sadipagar batn bu setinggi 3 m. Di belakangnya didirikan tempat khusus untuk penonton. Oleh karena teinpat ini jauh daripada cukup untuk menampung banyak penonton, irrang yang tidak tertampunl: mrncari tempnt-kmpat lain sampai di atas atap rurnah. Pesta yang semarak jtu dimulai pada waktu matahari terbenarn. Kerbau pertama ynng diikat tali dibawa masuk ke lapangan y ang berpagar url tuk diikat pada tiang pengorbanan yang keramat. Kepala adat yang paling tjnggi kernudian mernanggil a ~ v a horang yang sudah meninggal dengan perminhm untuk menghadiri perayaan sambil muhon agar para arwdi bersedia i~elindungjmasyarakat dari pcny aki t dan kegagahn panen. Selaijutnya ia menarj kejang dcngan irama bunyi gong dan gendang, serta akhirnya rnenggenggam telur aynm dan beras di dalam satu tangan, dan parany di tangan yang lain sarnbil mendekati hewan korban dari belahang. Serta-merta in melemparkan teiur dan beras ke arah pinggul hewan sumbjl menusukkan parangnya pada hewan itu. Dengan upacara ini kerbau i tu menjadi sasaran pengorbanan . Tali dilr. paskan dan kerbau lari berpu tar-putar mengitari lapangan. Para jago herkelahi m e m b ~ a tkerbau lebih gila lagi, karena dari belakang diternbaki dongan senapan angin dan panah Sambu. Dengan tarian dan nyanyian yang diiringi bunyi-bunyian gendang, sejumlah lelaki dan perempuan rn~l>yrrbuhewan yang menjadi gila itu dan menyerangnya dengan tombak darl barn bu runciug. Siapa pun dari penonton yang terangsang dan terdort~ng~intukmembuktikan krkkuatan dan kemahirannya dapat ikut berkelahi. Meskipun banyaic peminal, ternyata tidak semua orane berani terjun ke lapangan perkrlahian. Mereka yang takut sudah cukup scrrang hila dari Ic3mpat y ang aman di atas pagar dapat rnenendan~kerbau yang kcbetulan lewat di dekatnya. Jhr. van Suchtelen telah rnelihal dua orang lago berkelahi lni yang hersarang di atas tandu k kerbau. Memang perkclahian ini tidak t.anpa hahaya.
B h karena kehabisan d a d dan parah, kerbau pertuna jatuh k r blungkup, para peserta pesta krteriak-brink minta kerbau yang lain. Setiba kerbau baru di lapangan, segera mulailah lagi permainan yang serupa. Berulang-ulang terdengar teriakan "dua kerbetu!", "tiga kerbau!", "empat kerbau!" dan seterusnya. Suara penonton yang mernbelah udara bemama membisingnya s u m gendanmg dan tongkat, memanaskan suasana peny erang. Dalam satu kali perkelahian tidak pernah dilepaskan lebih dari empat ekor kerbau. Menurut penulis, keneluruhannya memperlihatkan pertunjukan yang fantsstis, karena penampila "kerbau-kerbau, ymg dimtaranya benrpa hewan yang bagus, yang menjadi meng@a, para 'toreador' yang fanatik, y ang di antaranya ada yang berpakaian sangat indrah dengan senjak hias, publik yang berkerumun penuh semangat di tribun pagar dan di aks atap rumah, serta wanita dan para gadis yang berpakaisn sangat rapi dengan perhiasan Mug, y ang semuanya nyata-nyata mentakjubkan". Pesta yang diuraikan d e h Jhr. van Suchtelen i tu secara keseluruhan menelm sebanyak 183 ekor kerbau dalam waktu &brapa hari. Pada hari perkma, hanya 54 ekor yang dibunuh, dan bangkai-bangkainyaditumpuk di sakping pagar yang mengelilingi. Pesta ini biasanya berlangsung selama t i p hari. Tiap harinya pesta ini berakhir pada pukul lima sore, untuk dilanjutkan dengan mmuknya penonton beramai-ramai ke arena, yang mulai menari-nari berkeliljng bangkai kerbau, tens-menerus sarnpai kees~kanhari. Pada pukul 6 pagi para toreador sudah siep Iagi dengan tugas untuk membantai kerbau. Terdapat larangan keras agar tidak rnengambil daging kerbau un tuk bmakan sebelum sernua kerbau yang disediakan selesai dibantai. Selma pembantaim, bang kai-bangkai kerbau dibiarkan bergelimpangm. Pembantaian ini sering berlangsung sampd beberapa hari whingga daging kerbau y ang lebih dulu dibantai sudah menjadi berbau. Pembagian kerbau dimulai setelah matinya kerbau terakhir. Di daerah Riung, orang lelalu &larang m a h daging ~ ini, hanya pan wanita y ang berhak memanfaatkannya, demikian diungkapkan oleh Arndt. Di depan telah diuraikan pesta kematian dan kesuburan dengan menggunakan pengorbanan kerbau sebagai acara terpentjng . Juga telah dikatakan bahwa pesta-pesta tersebut bigsanya sambung menyambung Orang-orang berkeyakinan bahwa roh mereka yang sudah mati akan mem beri kan perhatianny a bahwa aemuanya berjalan lanc ar, baik y ang mengenai keadaan keturunan mereh, maupun keadaan ternak dan tumbnh-tumbuhanpakan temaknya. Sesajen yang diberikan akan menghimbau para arwah, agar ada jaminan untuk memberikan bantuan mere ka. Dalarn berbagai ha1 kehidupan lainnya pun upacara pemberian sesajen kerbau atau ternak piwaan I&n merupakan sesuatu yang mutlak.
Tak perlu lagi h y a memperinci rnasalah ini. Penelitian diperlukan lebih dulu untuk mengungkapkan materinya. Ada baiknya untuk m e w uraikan beberapa con toh kasus lain yang digunakan ddam sesajen berdarah dengan mengorbankan kerbau. Dalam berpikir magia, gerak gaya hidup orang dalam bentu k yang kelihatan adalah kesatuan miatik ymg meliputi orang, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda bumi lainnya. Akm selalu kita lihat bahwa mengolah tanah pertanian, penanaman baru, sod rumah, perbekalm, bahkan seluruh lingkungan atau dueun, menjadi ,obyek ritus pengorbanan "berdarah". Dr. J. Mallinckrodt menulis 'Tertuznbuhan adalah suatu ' ekspresi hidup dan hidup itu akm mungkin berlangsung kdau ada sarana yang berupa kekuatan magis yang baik. Kekuatan untuk daya hidup yang bersumbr dari tanah addah tanah m q i s yang prosesnya berjalan lmcar. Tanah menjadi "sial" bahkmi dapat mendatangkan mueibah apabila ada kesempatan bagi bekerjanya kekuatan mag^ yang kotor yang menimpa tanoh yang berkekuatan ma@ baik. Darah adalah magis dan berguna un tuk mentawnrkanp~ ngaruh kotor wmebut. Hal ini serupa tepung tawor bumi yang &gun&kan oleh "suku dalarn" di Sumatra Selatan yang membuat tanah hwar dengan dmah ymg diperoleh dwi kerbau yang dipotong dan dipercikpercikkan ke dalam sungai mengarah ke em pat, penjuru mgin". Bila di Toraja terjadi panenan yang gagd, dilangaungkan upacara khidmsrt untuk membuat tanah " b e d a d " (moroa, mowahe), gar kesuburan tanah kembali di situ. U n b k upacara ini dipotong seekor kerbau putih di desa atau di tanah lapang. Kelompok orang menuju hewan yang diikat erat, kemudian mulai mengelilinginya 7 kali dm sekrusnya menyerang, membacok dengan Map, sehingga sekejap saja h a h sudah "berrnandi" dmh. Sambil memanggil-manggil tuhan berhala, mereka berkate : "Di mana enykau hendak menernpatkan jiwa sakti padi saya, di tempat matahari terbit atau matahmi terbenam; saya harap padi saya a h memberikan panen yang baik di tahun depan. Saya bawakan berBama suatu sajen perdamaim". Tiap keluarga membawa beberapa batang padi dari sawahnya dan mencelupkannya ke d a l m darah hewm korban agar ~upayapa& panen padi yang akan &tang akan berhaail. ,"Kadangkadang upacnra ritw yang khidmat ini dilakukan di saluran irigasi. Orang-orang mengalirkan dmah he wan-hewan yang dip0tong ini ke dalam saluran irigwsi, sehirigga darah tersebut terbawa mengalir dan merata di sawah. orang-orang di daerah sekitar Ujung Pandang membawa kerbau yang diperuntukkan bagi leluhur setempat keliling desa dengan luka yang terbuka dm meneteskan darah, agar darah yang menetes itu meresap di berbagai tempat dan meninggalkan berkah dan kekuatan." Di Aceh, khususnya pulau-pdau kecil Rabo dan Pores, wtiap tahun penduduk berbondong-bondong ke parltai untuk mengadakan PWC8 7 hari. Pada hari ketujuh peata gila-gilaan ini, mereka mengorbankan